Dipersembahkan oleh:
Redaksi: Penasehat:
Prof. Dr. S. Hamid Hasan, Prof. Susanto Zuhdi Pemimpin Redaksi:
Suparman
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) didirikan di Jakarta pada tahun 2007 atas prakarsa dan didanai oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Pemikiran yang mendasari berdirinya AGSI adalah keinginan pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional ketika itu, yang mengharapkan adanya wadah komunikasi bagi para guru mata pelajaran di seluruh Indonesia untuk dapat mengembangkan profesionalismenya.
Tim Redaksi:
Ratna Hapsari, Nani Asri Setyani, Warsono, Ade Munajat, Taat Ujianto, Grace Leksana
Sumbang Saran&Tulisan Jurnal AGSI adalah terbitan yang dikelola oleh para guru sejarah dan ditujukan bagi pengembangan pendidikan sejarah. Untuk itu, redaksi mengundang para guru sejarah di seluruh Indonesia untuk turut mengisi jurnal ini secara sukarela. Para guru sejarah dapat mengirimkan tulisan-tulisannya tentang: 1.
2.
3. 4. 5.
Inovasi pendidikan sejarah: artikel ini berupa profil guru yang menekankan pada pengalamannya menggunakan bahan ajar, media, sumber sejarah, dan metode belajar yang inovatif dan kreatif. Tulisan pengalaman ini kami anggap penting, karena dapat dicontoh oleh guru-guru di sekolah lain dan mendorong pengajaran yang tidak hanya mengacu pada buku teks. Liputan tentang seminar, workshop atau kegiatan lainnya yang diikuti oleh para guru dan dapat membantu mengembangkan praktek pendidikan sejarah di sekolah. Sejarah lokal: kisah sejarah di daerah para guru. Karikatur sejarah Resensi buku-buku sejarah (di luar buku teks) yang dapat digunakan oleh para guru sebagai sumber acuan dalam mengajar.
Bekerjasama dengan: INSTITUT SEJARAH SOSIAL INDONESIA (ISSI) adalah sebuah lembaga studi yang didirikan oleh sejumlah sejarawan dan aktivis kemanusiaan di Jakarta pada 2003. ISSI bertujuan untuk memajukan perspektif historis di Indonesia, terutama dalam penggunaan metode sejarah lisan dalam penelitian sejarah. Untuk menunjang hal tersebut, ISSI memiliki perpustakaan yang berisi arsip-arsip suara yang berasal dari riset sejarah lisan para penelitinya, 4.200 judul buku, makalah dan majalah yang sebagian besar di antaranya berasal dari koleksi pribadi sejumlah individu. Tiga program besar ISSI adalah riset dan publikasi, dokumentasi dan pendidikan (bekerjasama dengan AGSI). Alamat: Jl. Batu Kramat no. 19, RT 11/ 05, Jakarta Timur 13520. e-mail: issi@sejarahsosial.org website: www.sejarahsosial.org
Didukung oleh:
Artikel-artikel tersebut ditulis dengan font Times New Roman 12, spasi 1,5 dan maksimal 8 halaman A4. Pengiriman artikel dapat dilakukan melalui email ke: jurnalagsi@gmail.com atau pos ke Institut Sejarah Sosial Indonesia, Jl. Batu Kramat no. 19, RT 11/ 05, Jakarta Timur 13520. Alamat-alamat ini juga dapat digunakan untuk meminta penjelasan atau panduan lebih lanjut dalam penulisan artikel-artikel di atas. Kami tunggu partisipasi Bapak/ Ibu sekalian! Salam, Redaksi
2
Disain, tata letak, dan juru cetak: Pokjajambubatu Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Nomor ISSN: 2087 2690 BULETIN Jurnal Pendidikan Sejarah Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) 'edisi perdana': Mengkaji Ulang Peranan Pendidikan Sejarah
Daftar isi: 4
Pengantar Redaksi Mengkaji Ulang Pendidikan Sejarah SMA
6 11 15
Sajian Utama: Pendidikan Sejarah: Kemana dan Bagaimana? (Prof. Dr. S. Hamid Hasan) Peran Guru Dalam Penentuan Kebijakan Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran (Suparman)
19
RubrikKegiatan AGSI: Selayang Pandang Tentang Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (Ratna Hapsari)
22
Profil dan Inovasi: Ade Munajat, Sosok Guru Yang Aktif, Kreatif, dan Inovatif (Ade Munajat)
26
Rubrik Liputan: Seminar Pembelajaran Sejarah Melalui Media Museum Sebagai Upaya Membangun Karakter Bangsa (Suparman)
29
Resensi Buku: Antara Kita, Nyai, dan Pergundikan di Hindia Belanda (Taat Ujianto, S.Pd.)
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Perjalanan Pelajaran Sejarah: Dari Otoritarianisme Menuju Demokrasi (Grace Leksana)
3
Mengkaji Ulang Pembaca budiman di seluruh Indonesia, setelah melalui jalan panjang dan berkat kerjasama dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dan Hivos, akhirnya Jurnal Pendidikan SejarahAsosiasi Guru Sejarah Indonesia (JPS-AGSI) dapat terbit untuk pertama kali. JPS-AGSI ini hadir dan diharapkan menjadi media komunikasi antar anggota AGSI serta seluruh guru sejarah tingkat SLTA di Indonesia. Bagi AGSI sendiri, media ini juga dimaksudkan untuk menyebarluaskan hasil program kerja AGSI selama tahun 2010 yang berupa rangkaian kegiatan Seminar dan Workshop tentang Pemetaan Materi Esensial Mata Pelajaran Sejarah serta penyusunan bahan ajar mata pelajaran sejarah SLTA, dalam upaya mengembangkan dunia pendidikan khususnya bidang sejarah. JPS-AGSI edisi perdana mengangkat tema “Mengkaji Ulang Pendidikan Sejarah SMA”. Melalui tema ini, JPS-AGSI ingin mengingatkan masyarakat dan para pendidik sejarah tentang pentingnya pendidikan sejarah bagi suatu bangsa. Prof. DR. Said Hamid Hasan dalam tulisannya yang berjudul “Pendidikan Sejarah, kemana dan bagaimana?” mengupas secara jelas tentang pentingnya, kemana dan bagaimana pendidikan sejarah semestinya diselenggarakan. Dilihat dari sisi proses tumbuh kembang anak maka penyelenggaraan pendidikan sejarah tingkat SMA mempunyai beberapa tujuan utama yaitu sebagai upaya pengembangan nilai-nilai yang menopang karakter bangsa serta pengembangan kemampuan berpikir, ketrampilan melakukan penelitian sejarah, kemampuan menganalisis isu kontemporer serta pengambilan keputusan (tentu sesuai dengan jenjang pendidikan siswa). Selanjutnya, JPS-AGSI akan mengupas sejarah lahirnya kebijakan pendidikan sejak awal kemerdekaan hingga saat ini. Grace Leksana dalam tulisannya “Sejarah Pelajaran Sejarah” mencoba menguak awal pentingnya pendidikan sejarah dalam sistem pendidikan nasional. Dalam penjelasan umum UU no. 12 tahun 1954 yang mengatur tentang Dasar-
4
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Pendidikan Sejarah SMA dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah menyebutkan bahwa pendidikan dan pengajaran akan mempengaruhi “di kemudian hari sifat-sifat rakyat umumnya, dan pemimpin-pemimpin yang akan timbul dari rakyat khususnya”. Tawaran yang diberikan UU ini adalah pendidikan yang bersifat nasional dan demokratis, artinya berdasarkan kebudayaan kita sendiri. Dari konsep inilah kemudian muncul pernyataan tentang pelajaran sejarah: “Dalam pendidikan yang demikian pengajaran sejarah akan menjadi pengajaran yang penting sekali”. Dengan diberlakukannya UU ini, maka pemerintah Indonesia saat itu telah menyadari dan meletakkan pelajaran sejarah sebagai ujung tombak pembentukan karakter kebangsaan. Sayangnya, setelah 56 tahun penyelenggaraan pendidikan sejarah dianggap penting untuk mendidik karakter bangsa dalam sistem pendidikan nasional kita, ternyata peranannya masih jauh dari yang diharapkan. Para generasi tua mengeluh tentang anak-anak masa kini yang tidak peduli dengan sejarah bangsa, para generasi muda juga mengeluh tentang pelajaran sejarah yang membosankan dan tidak ada esensinya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu 56 tahun tersebut? Apa yang membuat harapan dan kenyataan terpisah begitu jauh? Sementara itu, di tengah jauhnya harapan dan kenyataan dalam pendidikan sejarah, Suparman dalam tulisannya “Peran Guru Dalam Penentuan Kebijakan Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran” mencoba menawarkan dan mengajak pada para pendidik sejarah untuk segera keluar dari belenggu. Lagi pula, walaupun terdapat banyak persoalan dalam pendidikan sejarah, sebetulnya masih ada sejumlah pendidik sejarah yang cukup berani melakukan inovasi pembelajaran. Salah satunya di Sukabumi, ada Ade Munajat. Ia melakukan kegiatan pembelajaran yang berbeda dari biasanya. Ade Munajat menjadikan pengalaman anak dan pemahaman anak terhadap buku yang dibacanya menjadi sangat penting dalam kegiatan belajar sejarah. Dengan melakukan eksplorasi pembelajaran sejarah inovatif menjadi pokok yang dipikirkan dan bagian yang dipraktikkan, inspirasi pembelajaran inovatif dapat lahir karena belajar dari pengalaman, diskusi, atau hasil pemahaman atas membaca buku. Dalam edisi perdana ini JPS-AGSI dibidani oleh gabungan semangat kaum tua, setengah tua dan kaum muda. Ibu Ratna Hapsari (Ketua Umum AGSI) yang sudah sangat senior sebagai pendidik sejarah, saya sendiri yang harus mengaku sudah setengah tua bergelut dengan pendidikan sejarah, dan generasi muda dari ISSI, yaitu Grace Leksana dan Taat Ujianto yang ikut memeriahkan media perdana ini melalui rubrik tinjauan buku “Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda”. Kami mencoba menampilkan yang terbaik tetapi kami juga sangat berharap kritik dan saran dari pembaca budiman dan para pendidik sejarah agar JPS-AGSI ini menjadi permulaan untuk membangun komunikasi antar pendidik sejarah dan masyarakat sehingga pendidikan sejarah kita ke depan menjadi lebih baik.
Salam Jasmerah! Drs. Suparman
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
5
Pendidikan Sejarah: Kemana dan Bagaimana?1 S. Hamid Hasan2 1 Disajikan pada seminar Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), Jakarta, 6 Maret 2010 dan atas seizin Penulis, menjadi sajian utama Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI setelah dipadatkan/editing oleh Ade Munajat 2 Adalah guru besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung
Pendahuluan Dalam setiap upaya pendidikan ada dua kepentingan yang selalu menjadi perhatian yaitu kepentingan masyarakat/bangsa dan kepentingan peserta didik. Keduanya saling terkait dan kepentingan yang satu tidak boleh mengalahkan kepentingan yang lain. Salah satu kepentingan masyarakat/bangsa yang harus diperhatikan pendidikan adalah jati diri bangsa. Jati diri bangsa terbentuk dari karakter bangsa sedangkan karakter bangsa terbentuk dari berbagai kebajikan (virtue) yang dikembangkan oleh bangsa tersebut dalam waktu yang panjang. Kebajikan itu terdiri atas nilai-nilai yang disepakati anggota bangsa sebagai dasar untuk berkomunikasi, bekerjasama, berkarya membangun kehidupan kebangsaan dan kehidupan global. Dalam kehidupan kebangsaan, nilai-nilai dari kebajikan itu membentuk karakter masyarakat/komunitas anggota bangsa dan seterusnya menjadi jatidiri bangsa. Ketika anggota bangsa atau pun bangsa itu bergaul dalam masyarakat internasional maka prilaku anggota dan bangsa tersebut diwarnai oleh jatidiri tadi. Orang Indonesia memiliki jatidiri bangsa yang berbeda dari bangsa Malaysia walau pun kedua bangsa itu terbentuk oleh anggota bangsanya yang sebagian besar suku bangsa Melayu dan berbahasa yang berkembang dari bahasa Melayu. Perkembangan bangsa itu dalam perjalanan waktu yang panjang telah membuat perbedaan-perbedaan tersebut. Peserta didik sebagai calon anggota produktif masyarakat bangsanya akan hidup dan berkarya dalam masyarakat dan bangsa dengan jati diri Indonesia. Dia adalah anggota bangsa dengan jatidiri yang sudah terbentuk dan sangat mungkin menjadi penyumbang yang berpengaruh dalam mengembangkan jatidiri bangsa itu di masa kemudian. Nilai-nilai tersebut berakar pada budaya masyarakat bangsa sejak masa awal kehadiran masyarakat di wilayah yang menjadi wilayah bangsa Indonesia masa kini hidup. Budaya itu berkembang sesuai
dengan tantangan zaman yang dihadapi masyarakat bangsa ini pada kurun waktu tertentu dan keunggulan anggota masyarakat dalam menjawab tantangan zaman yang dihadapi. Keunggulan yang dimiliki anggota masyarakat bangsa pada suatu kurun waktu mungkin dalam bentuk pengetahuan tentang alam dan sesamanya, teknologi yang dimiliki, dan sikap dalam menghadapi alam dan menggunakan teknologi menentukan perkembangan kehidupan masyarakat pada waktu itu. Peserta didik dapat mempelajari pengetahuan, teknologi, sikap, dan cara-cara yang digunakan masyarakat bangsa pada waktu dulu untuk dijadikan inspirasi dan aspirasi dalam menghadapi tantangan masa kini dan masa mendatang. Pendidikan Sejarah merupakan media pendidikan yang paling ampuh untuk memperkenalkan kepada peserta didik tentang bangsanya di masa lampau. Melalui pelajaran sejarah peserta didik dapat melakukan kajian mengenai apa dan bila, mengapa, bagaimana, serta akibat apa yang timbul dari jawaban masyarakat bangsa di masa lampau tersebut terhadap tantangan yang mereka hadapi serta dampaknya bagi kehidupan pada masa sesudah peristiwa itu dan masa kini. Tindakan apa yang dilakukan para pelaku sejarah yang tidak mampu mencapai tujuan sehingga dapat dianggap sebagai suatu kesalahan atau bahkan kegagalan, perbuatan apa yang mereka lakukan yang mampu mencapai tujuan sehingga dianggap sebagai suatu keberhasilan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan kebangsaan sesudahnya mau pun masa kini. Selain untuk mengembangkan karakter bangsa, pendidikan sejarah adalah wahana pendidikan untuk mengembangkan disiplin ilmu sejarah. Dalam upaya ini maka peserta didik diajak untuk berpikir dalam tatanan berpikir historis dan kemampuan kesejarahan dalam mengumpulkan data, melakukan seleksi untuk menemukan fakta sejarah, merekonstruksi fakta yang ditemukan menjadi suatu peristiwa sejarah. Dalam upaya ini pendidikan sejarah diposisikan sebagai pendidikan
6
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
keilmuan dan pengembangan kemampuan intelektual menjadi tujuan yang utama dibandingkan dengan upaya pertema yang dikemukakan di atas di mana tujuan pengembangan ranah afektif lebih utama. Oleh karena itu pemahaman berbagai peristiwa sejarah menurut kaedah ilmu sejarah adalah penting. Kualitas berpikir seperti kronologis, pemahaman fakta sejarah, kemampuan analisis dan penafsiran sejarah, kemampuan penelitian sejarah, kemampuan menganalisis isu kontemporer, dan pengambilan keputusan (historical issues-analysis and decision making) (NCHS, 1996: 6-7) menjadi tujuan penting dalam pendidikan sejarah. Tujuan pendidikan sejarah yang pertama sangat diperlukan bagi seluruh warganegara. Pendidikan dalam program WAJAR 9 Tahun adalah pendidikan untuk seluruh anak bangsa dan oleh karena itu pengembangan nilai-nilai yang menopang karakter bangsa bersamaan dengan kemampuan berpikir kritis-analitis, kebiasaan membaca dan kemampuan belajar (learning skills) menjadi tujuan utama pendidikan sejarah. Pengenalan dan pemahaman sejarah masyarakat sekitarnya beserta tokoh sejarah daerah dilanjutkan dengan sejarah nasional, penghargaan terhadap jasa pahlawan, keinginan untuk mencontoh tindakan kepahlawanan adalah penting untuk membangun memory kolektif sebagai bangsa pada diri peserta didik. Tujuan pendidikan sejarah yang kedua yaitu pengembangan kemampuan berpikir, ketrampilan melakukan penelitian sejarah, kemampuan menganalisis isu kontemporer erta pengambilan keputusan (tentu sesuai dengan jenjang pendidikan siswa) adalah tujuan utama bagi pendidikan sejarah di SMA. Tentu harus dikemukakan bahwa kualitas lain seperti mencintai kepahlawanan serta tindakan kepahlawanan, kebiasaan membaca, dan kemampuan belajar tetap menjadi tujuan pendidikan sejarah sebagai pendidikan disiplin ilmu di SMA. Oleh karena itu berbagai kemampuan dalam berpikir dan penelitian sejarah diberikan pada semester awal sebagai kemampuan awal. Kemampuan ini yang kemudian dikembangkan pada semester-semester berikutnya ketika siswa membahas berbagai peritiwa sejarah yang dicantumkan dalam kurikulum. Hal ini disesuaikan dengan kedudukan SMA sebagai satuan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Pendidikan Berbasis Kompetensi untuk Kurikulum Sejarah Kurikulum yang berlaku sekarang ini adalah kurikulum berbasis kompetensi. Berbagai akhli mengartikan kompetensi meliputi berbagai aspek kemampuan yang harus dimiliki seseorang. Becker (1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi �pengetahuan, pemahaman, ketrampilan, nilai, sikap, dan minat�. Jadi secara mendasar pengertian kompetensi haruslah menggambarkan kemampuan untu melakukan sesuatu. Artinya, kompetensi yang dikembangkan dalam mata pelajaran sejarah haruslah kompetesi yang berkenaan dengan kemampuan kognitif (berpikir kronologis, pemahaman peristiwa sejarah, menerapkan ketrampilan heuristik dan kritik serta mengumpulkan data/fakta dari sumber sejarah, menganalisis hubungan kausalita dan penafsiran sejarah, mensintesis berbagai fakta dan Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
keterkaitan fakta serta penafsiran untuk membangun suatu cerita sejarah, berkomunikasi, mengevaluasi cerita sejarah), kemampuan afektif (jujur, kerja keras, kreatif, menghargai kepahlawanan, mencintai bangsa dan tanah air, mau belajar dari peristiwa sejarah, senang membaca, rasa ingin tahu, disiplin), dan kemampuan psikomotorik (teliti). Aspek kompetensi yang dikemukakan di atas adalah kompetensi yang berkenaan dengan proses, nilai, dan sikap. Aspek kompetensi ini tidak bisa diajarkan tapi dikembangkan. Jika diajarkan maka semua kemampuan (kognitif, afektif, dan psikomotor) tersebut menjadi pengetahuan. Ini yang terjadi pada pelajaran sejarah di sekolah-sekolah karena aspek kompetensi kemampuan diperlakukan sebagai materi yang diajarkan dan menjadi sesuatu yang dihafalkan. Aspek kompetensi kemampuan haruslah dikembangkan melalui proses pembelajaran ketika peserta didik membahas berbagai pokok bahasan yaitu peristiwa sejarah. Tentu saja harus diakui bahwa pada langkah awal kemampuan tersebut dimulai sebagai pengetahuan dan diajarkan tetapi kemudian dikembangkan melalui proses pembelajaran. Melalui kajian peristiwa sejarah peserta didik mengembangkan pada dirinya berbagai kemampuan (kognitif, afektif, dan psikomotor) tadi melalui proses pembelajaran. Pada dasarnya, materi kompeteni yang bersifat kemampuan memerlukan waktu panjang untuk menjadi milik peserta didik. Pada tahap-tahap awal penguasaan kemampuan itu akan menyita sebagian besar waktu yang tersedia tetapi apabila peserta didik sudah menguasai kemampuan tersebut mereka mampu menggunakannya untuk belajar lebih cepat materi peristiwa sejarah. Pengembangan Silabus Pendidikan Sejarah Dalam kebijakan kurikulum kini, dimana setiap satuan pendidikan harus mengembangkan KTSP, tugas guru sejarah yang tak kalah beratnya dibandingkan mengembangkan KTSP adalah mengembangkan silabus. Dalam mengembangkan silabus, guru sejarah harus berpikir dalam jangka waktu tiga tahun. Oleh karena itu jika di suatu satuan pendidikan guru sejarah terdiri atas guru kelas satu, dua, dan tiga maka ketiganya harus bekerjasama dalam mengembangkan silabus. Kerjasama itu terkait dengan karakteristik materi kemampuan kompetensi. Materi ini tidak mungkin dimiliki peserta didik dalam satu atau dua semester. Pengembangan materi kemampuan ini bersifat “developmental� dan oleh karenanya berkesinambungan antara satu semester dengan semester berikutnya. Komplekitas kemampuan yang harus dikuasai peserta didik, kemampuan awal peserta didik (entry behaviour), dan fasilitas pendidikan yang dimiliki peserta didik serta satuan pendidikan menjadi dasar bagi guru sejarah untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk menguasai satu kemampuan. P a d a dasarnya, apabila kemampuan kompetensi sudah dikuasai ketika membahas pokok bahasan di kelas awal (kelas X) maka pokok bahasan berikutnya dan pembelajaran di kelas XI dan XII merupakan pemantapan lebih lanjut. Oleh karena itu dalam silabus dapat dicantumkan matriks yang menggambarkan keterkaitan antara pokok bahasan dengan kemampuan yang dikembangkan, sebagai berikut:
7
Tabel 1: Keterkaitan Antara Materi Kemampuan dengan Materi Pokok Bahasan SEMESTER DAN POKOK BAHASAN KEMAMPUAN
SEM 1 PB1
PB2
SEM 2 PB1
PB2
SEM 3 PB1
PB2
SEM 4 PB1
PB2
SEM 5 PB1
PB2
SEM 6 PB1
PB2
Berpikir kronologis Pemahaman peristiwa sejarah Ketrampilan sejarah Kausalitas Penafsiran Cerita sejarah Berkomunikasi Evaluasi cerita Jujur Kerja keras Kreatif Kepahlawanan Cinta bangsa & tanah air Belajar dari sejarah Senang membaca Rasa ingin tahu Disiplin Teliti
Keterangan Tabel: SEM = Semester PB = Pokok Bahasan 1, 2, 3 dan seterusnya
Tabel di atas menggambarkan bahwa setiap materi kemampuan dikembangkan melalui proses belajar yang dilakukan peserta didik ketika mereka melakukan kajian terhadap setiap pokok bahasan. Organisasi konten demikian bersifat mendasar dan merupakan organisasi yang sesuai dengan karakter konten kemampuan. Realisasi Silabus dalam Proses Pembelajaran Sejarah Setiap proses pembelajaran yang berkenaan dengan kompetensi terdiri atas kegiatan belajar sebagai berikut: 1. Pencarian informasi; 2. Pemahaman informasi; 3. Penggunaan informasi; 4. Pemanfaatan informasi. Keempat kegiatan pembelajaran ini perlu digalakkan karena pada saat sekarang kebanyakan proses pembelajaran sejarah yang terjadi berfokus pada pemahaman informasi. Kegiatan pencarian informasi, kegiatan penggunaan, dan pemanfaatan informasi merupakan kegiatan pembelajaran yang sangat langka terjadi di kelas-kelas pembelajaran IPS/sejarah. Kegiatan pencarian informasi yang sering terjadi di kelas pada saat sekarang kebanyakan hanya bersifat satu
arah dimana guru menjadi sumber informasi. Buku teks digunakan baru sebagai pengganti guru sebagai sumber informasi. Sumber informasi lain yang memerlukan kemampuan belajar mencari sumber, menentukan informasi yang relevan, dan mengumpulkannya belum menjadi suatu kenyataan umum di kelas sejarah. Guru mata pelajaran sejarah masih harus bekerja keras untuk merealisasikan kegiatan pencarian informasi ini. Pada saat sekarang dengan kurikulum sejarah berbasis kompetensi maka kegiatan mencari informasi yang dilakukan peserta didik harus mendapat tempat yang lebih dari apa yang terjadi pada saat sekarang. Metode pemberian tugas masih merupakan metoda yang menonjol dalam kegiatan ini dan hal ini akan berlanjut sampai peserta didik memiliki kemandirian dan inisiatif dalam kegiatan pencarian informasi. Artinya, proses awal suatu pembelajaran dimulai dari mengembangkan kemampuan belajar mencari informasi dari sumber seperti buku teks sampai kepada sumber sejarah yang lebih asli dan autentik. Kegiatan pemahaman informasi berkenaan dengan upaya memahami isi yang terkandung dari suatu informasi. Sumber informasi yang tertulis atau terekam dengan teknologi elektronik memang memiliki berbagai keunggulan dibandingkan dengan sumber informasi lisan. Diantara keunggulannya adalah sumber tersebut dapat dibaca ulang. Kegiatan belajar dalam implementasi kurikulum sejarah berbasis kompetensi
8
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
harus menggunakan berbagai metode dan teknik agar peserta didik dapat memahami isi informasi dengan baik dan pada tingkat pemahaman yang tinggi. Kemampuan pemahaman adalah kemampuan yang harus terlatih pada diri siswa setiap saat mereka membaca, mengamati, atau kegiatan belajar lainnya. Pemahaman terhadap suatu teks mulai dari yang sederhana sampai kepada yang kompleks. Memahami informasi bukan menghafal dan dapat dimulai dari memahami data, fakta, istilah, definisi, konsep, penafsiran, kausalita, makna, pelajaran sejarah, teori bahkan keseluruhan cerita sejarah. Peserta didik yang belajar sejarah harus dapat mengidentifikasi berbagai jenis informasi yang diperoleh dari suatu sumber: fakta, konsep, generalisasi, teori, prosedur, proses, nilai, ketrampilan psikomotorik dan sebagainya.
Asesmen Hasil Belajar Sejarah Hasil belajar peserta didik kurikulum sejarah adalah kompetensi. Kompetensi tersebut dapat berbentuk pengetahuan, sikap, ketrampilan, minat, dan kebiasaan (habit). Dalam asesmen hasil belajar kurikulum sejarah, guru harus mendapatkan informasi yang akurat tentang tingkat pencapaian peserta didik, melakukan perbaikan jika belum memenuhi persyaratan minimal, dan memiliki informasi yang akurat mengenai materi yang sulit dikuasai peserta didik. Perubahan orientasi dan pelaksanaan asesmen ini mutlak dilakukan dalam implementasi kurikulum sejarah berbasis kompetensi.
Kegiatan penggunaan informasi adalah kegiatan menerapkan apa yang sudah dipahami dalam suatu konteks baru di kelas dan di sekolah. Kegiatan ini menghendaki peserta didik mampu menggunakan informasi yang telah diperolehnya. Dalam kegiatan ini peserta didik haruslah mendapatkan sesuatu yang berkenaan dengan apa yang telah dipelajarinya tetapi bukan suatu pengulangan. Peserta didik harus menggunakan konsep yang telah dipelajari untuk mempelajari sesuatu yang baru tadi, menggunakan prosedur dan proses yang sudah dipahaminya untuk mempelajari atau menyelesaikan masalah baru yang dihadapinya, dan menggunakan nilai yang sudah dipahaminya untuk menyelesaikan masalah baru yang sekarang ada di depan matanya. Dalam konteks ini maka pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di masyarakat. Kemampuan yang diperoleh dari pelajaran sejarah harus dapat digunakan dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di luar lingkungan sekolah. Belajar adalah untuk kehidupan dan belajar sejarah adalah belajar tentang kehidupan masyarakat di masa lalu. Kemampuan berpikir kritis, kausalita, nilai, dan ketrampilan yang mereka pelajari di kelas sejarah haruslah dapat mereka gunakan setelah keluar dari kelas tersebut. Nilai dan sikap menghargai kepahlawanan menjadi nilai dan sikap yang mereka tunjukkan ketika bergaul dengan anggota masyarakat. Kegiatan pemanfaatan informasi merupakan kegiatan yang tertinggi dan ini menjadi suatu kegiatan yang akan mengembangkan jati dirinya. Jika dalam penggunaan informasi peserta didik masih banyak mendapat bimbingan guru maka pada kegiatan pada tahap ini peserta didik akan melakukan pemanfaatan informasi berdasarkan inisiatif dan kreativitas mereka. Keempat kegiatan di atas bersifat saling terkait dan berkelanjutan. Guru dapat merencanakan kedalaman kajian satu pokok bahasan berbeda dari kedalaman kajian pokok bahasan lain untuk mengembangkan kemampuan yang tercantum dalam tabel 1. Konsekuensi dari kedalaman materi pokok bahasan ialah waktu yang dialokasikan untuk suatu pokok bahasan yang dikaji lebih dalam lebih lama dibandingkan yang kurang dalam. Mungkin saja guru sejarah menetapkan bahwa dua pokok bahasan dikaji dalam satu jam pertemuan sedangkan pokok bahasan lain memerlukan waktu dua jam pertemuan kelas. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Hasil asesmen yang dilakukan guru harus menjadi masukan baik bagi guru mau pun bagi peserta didik. Suatu posisi dasar yang penting bagi guru adalah lebih baik peserta didik belajar sedikit tapi memiliki kemampuan dan memahami pokok bahasan yang sudah mereka kaji dibandingkan dengan banyak pokok bahasan yang dikaji tetapi sedikit atau hanya sebagian kecil saja kemampuan yang dikuasai dan pemahaman peristiwa sejarah hanya terbatas pada pengetahuan faktual. Posisi dasar asesmen hasil belajar sejarah ini akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperbaiki kekurangannya serta bagi guru untuk membantu peserta didik.
9
DAFTAR BACAAN Burke, J. (Ed.)(1995). Competency Based Education and Training. London: The Falmer Press. Conley, D. (1999). Statewide Strategies for Implementing Competency-based Admissions Standards. Denver: State Higher Education Executive Officers. Cinterfor (2001). Competency-based Curriculum Design. Available at http://www.ilo.org, tanggal 24 Januari 2002. Deb, S. (2003). Textbook Troubles. Available at http://www. countercurrents.org Education Guardian (2007). A New History of Iraq. Available at http://education.guardian.co.uk/ Elam, S. (1971). Performance Based teacher Education. Monograph. Washington, D.C: American Educational Research Association. Ferguson,F. (2000). Outcomes-Based Curriculum Development. Available at http://www.c2t2.ca, tanggal 24 Januari 2002. Garvey, B. dan Krug, M. (1977). Models of History teaching in the Secondary School. Oxford: Oxford University Press Giese, J.R. (1996). Studying and Teaching History, dalam Teaching the Social Sciences and History in Secondary Schools: A Methods Book. Long Grove, Illinois: Waveland Press, Inc. Hasan, S.H. (1977). An Analysis of the Use of Inquiry Approach in Teaching Sosial Studies in Indonesia. Sydney: Macquarie University, Unpublished Master Thesis Hasan,S.H. (2003). Strategi Pembelajaran Sejarah Pada Era Otonomi Daerah Sebagai Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Hasan, S.H. (2007). Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah disajikan pada Seminar Pendidikan Sejarah di UPI. Bandung Indiana University Medical Sciences Program (?). Implementation of the Competency Based Curriculum in Bloomington. Available at http://medsci.indiana.edu, tanggal 9 Mei 2002. Jakubowski,C. (2002). Teaching World History: Problems and Promises Faced by Young Teachers. World History Bulletin. XVIII, 2. Koblin, D. (1996). Beyond the Textbook: teaching history using documents and primary sources. Portsmouth, NH: Heinemann. Kumar, K. (2002). Shared Heritage but Different History textbooks. Available at http://www.tribuneindia.com Kupper,H.A.E. dan Arnold A.W. van Wulfften Palthe (?), Competency-based curriculum development, Experiences in Agri Chain Management in the Netherlands and in China.
10
Levstik,L.S. (2000). Articulating the Silences: Teachers’ and Adolescents’ Conceptions of Historical Significance, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives, ed. Stearns,P.N., P. Seixas, dan S. Wineburg. Loon,J.van (1998). Holistic or Discrete? A Competency Based Assessment Issue in the Certificate of General Education for Adults Reading and Writing Stream. Available at http://education.curtin.edu. au, tanggal 9 Mei 2002. Nebraska State Board of Education (1998). Nebraska Social Studies/History Standards. Grade K-12. Available at http://www.nde. state.ne.us/SS/SocSStnd, tanggal 25 Mei 2001. Oliva, P.F. (1997). Developing the Curriculum, 4th ed., New York: Longman Ohio State Department of Education (2001). Academic Content Standards Development. Available at http://www.ode.state.oh.us/ academic_content_standards, tanggal 20 Februari 2002. Panikkar, K.N. (2007). History Textbooks in India: Narratives of Religious Nationalism Patton, M.A. dan T. Shanka (1997). Developing an Outcomebased Quality Standard based on Graduate Achievement and Perception. Available at http://www.cbs.curtin.edu.au/mkt/research, tanggal 10 Maret 2000. Quillen,D.M. (2001). Challenges and Pitfalls of Developing and Applying a Competency-based Curriculum. Family Medicine, Oktober 2001. RMIT (2002). Competency Based Curriculum. Available at http:// www.rmit.edu.au, tanggal 9 Mei 2002. Suparno, A. S. (1995). Pengajaran Sejarah sebagai Sarana Memperkuat Jati Diri dan Integrasi Bangsa: Sudut Pandangan Ilmu Pendidikan, dalam Pengajaran Sejarah, Kumpulan Makalah Simposium. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Wineburg, S. (2000). Making Histrotical Sense, dalam Knowing Teaching and Learning History: National and International Perspectives (Eds. Stearns,P.N., Seixas, P. dan Wineburg, S.). New York: New York University Press Wineburg, S. (2001). Historical Thinking and Other Unnatural Acts: Charting the Future of Teaching the Past. Philadelphia: Temple University Press
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Peran Guru Dalam Penentuan Kebijakan Pendidikan dan Inovasi Pembelajaran Oleh : Suparman (Sekretaris Jenderal Asosiasi Guru Sejarah Indonesia/AGSI) Disamping peran keluarga, peran startegis guru meletakan dasar-dasar yang kuat bagi masa depan bangsa tidak dapat diragukan lagi. Etika berpolitik, nasionalisme, patriotisme, humanisme, sains-teknologi kemanusiaan dan estetika anak/peserta didik mulai dipertaruhkan masa depannya ketika terjadi interaksi guru-murid baik dalam kegiatan pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Kegagalan membangun dasar-dasar yang kuat dalam interaksi tersebut memberi peluang bagi kegagalan masa depan bangsa. Inilah ideal peran strategis guru. Bagaimana realitasnya? Yuridis : Dilihat dari sisi profesinya saat ini guru diatur oleh UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, PP SNP, dan PP Guru. Secara mikro, Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (PPSNP) menyebutkan bahwa : “Kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/ MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik”. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebenarnya dapat dijadikan pintu masuk bagi setiap guru bersama satuan pendidikannya untuk melakukan berbagai inovasi pembelajaran disesuaikan dengan karakteristik subyek belajar di satuan pendidikannya. Ditambah dengan otonomi yang semestinya dimiliki oleh guru sebagai pekerja profesi maka sebenarnya berbagai terobosan untuk melahirkan inovasi pembelajaran termasuk pembelajaran bervisi satu menjadi terbuka cukup lebar. Dalam konteks yang luas di tingkat satuan pendidikan peran guru secara yuridis cukup memberi peluang. PPSNP Pasal 52 ayat (2) Menyebutkan bahwa : ”Rapat Dewan Pendidik memutuskan Pedoman kerja Satuan Pendidikan seperti: kurikulum sekolah, kalender pendidikan, pembagian tugas pendidik, peraturan akademik dan kode etik hubungan antar guru dan dengan masyarakat”. Pasal 53 ayat 3 PPSNP menyebutkan bahwa : ”Rencana kerja satuan pendidikan; kalender pendidikan, jadwal kurikulum, mata pelajaran yang ditawarkan, buku teks, jadwal penggunaan sarana, pengadaan bahan habis pakai, program peningkatan pendidik/tenaga kependidikan, jadwal rapat dewan pendidik, termasuk RAPBS harus disetujui rapat dewan pendidik setelah memperhatikan pertimbangan dari Komite Sekolah/Madrasah” PPSNP Pasal 54 ayat (4) menyebutkan bahwa : ”Pelaksanaan pengelolaan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dipertanggungjawabkan oleh kepala satuan pendidikan kepada rapat dewan pendidik dan komite sekolah”. Ketiga pasal PPSNP ini secara tegas menempatkan Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
posisi guru yang cukup strategis di tingkat satuan pendidikan. Dewan Guru/Dewan Pendidik menjadi sangat strategis ketika memiliki posisi penentu dari sejumlah kebijakan pendidikan bersama dengan komite sekolah. Mulai dari penentuan kalender akademik sampai memberi persetujuan RAPBS dan menilai pertanggungjawaban kepala sekolah. (catatan: masa sebelumnya peluang ini belum ada, dan bahkan di tingkat implementasi sampai saat ini peran guru sangat terbatas). Dalam konteks yang lebih luas lagi UU Guru Pasal 14 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru BERHAK memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan”. Secara lebih lengkap peran guru untuk ikut dalam penentuan kebijakan pendidikan termuat didalam PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru. Pasal 45 PP Guru menyebutkan bahwa: (1) Guru memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat: a. satuan pendidikan; b. kabupaten atau kota; c. provinsi; dan d. nasional. (2) Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan di tingkat satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi: a. penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya; b. penetapan kalender pendidikan di tingkat satuan pendidikan; c. penyusunan rencana strategis; d. penyampaian pendapat menerima atau menolak laporan pertanggungjawaban anggaran dan pendapatan belanja sekolah; e. penyusunan anggaran tahunan satuan pendidikan; f. perumusan kriteria penerimaan peserta didik baru; g. perumusan kriteria kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan; dan h. penentuan buku teks pelajaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (3) Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat kabupaten atau kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam: a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan; b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan c. kebijakan operasional pendidikan daerah kabupaten atau kota.
11
(4) Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat propinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam: a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan; b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan c. kebijakan operasional pendidikan daerah propinsi. (5) Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan di tingkat nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan dalam: a. penyusunan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan; b. penyusunan rencana strategis bidang pendidikan; dan c. kebijakan operasional pendidikan tingkat nasional. (6) Saran atau pertimbangan tertulis ataupun lisan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) disampaikan baik secara individual, kelompok, atau melalui Organisasi Profesi Guru, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Kendala : 1. Masih kuatnya budaya birokrasi (birokratisasi) profesionalisme guru: Birokratisasi profesi guru di jaman Orde Baru telah menghasilkan mayoritas guru bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para guru. Jabatan guru utama sebagaimana layaknya guru besar di perguruan tinggi tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karir yang harus diraih seorang guru melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan. Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini. Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja “atasan-bawahan” yang lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk menentukan berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai pembaruan. Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk patuh pada perintah “atasan”. Guru yang berani mengritik apalagi memprotes tindakan “atasan” yang tidak benar dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di Temanggung, kasus mutasi 10 orang guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan mutasi Isneti di Jakarta, dan beberapa kasus penindasan terhadap guru di berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru sampai saat ini. Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran masih banyak guru yang tidak
membangun suasana pembelajaran yang demokratis dan terbuka. Anak-anak didik dijadikan ”bawahan-bawahan” baru yang harus tunduk dan patuh pada guru sesuai dengan juklak dan juknis atau atas nama kurikulum (dikutip dari artikel sendiri ”Jangan Takut Menjadi Guru”, Kompas, 27 Maret 2006); 2. Inkonsistensi peraturan perundang-undangan: Pengembangan profesionalisme guru melalui aturan KTSP ternyata masih menyisakan adanya campur tangan Pemerintah/ Pemda sehingga pengembangan otonomi guru dan satuan pendidikan menjadi tidak maksimal. Usaha pengembangan akhirnya terganjal dengan aturan yang mengharuskan guru dan satuan pendidikan terikat sesuai dengan petunjuk dan malahan proses pembelajaran yang dikembangkan secara otonom menjadi terabaikan. Jika pasal 17 ayat (1) PPSNP guru bersama satuan pendidikan diberi kebebasan mengembangkan kurikulum sesuai dengan potensi yang ada di setiap satuan pendidikan maka ternyata dalam pengembangannya masih harus diawasi oleh pemerintah/pemerintah daerah. Pasal 17 Ayat (2) PPSNP menyebutkan bahwa : ”Sekolah dan komite sekolah, atau madrasah dan komite madrasah, mengembangkan kurikulum tingkat satuan pendidikan dan silabusnya berdasarkan kerangka dasar kurikulum dan standar kompetensi lulusan, di bawah supervisi dinas kabupaten/kota yang bertanggungjawab di bidang pendidikan untuk SD, SMP, SMA, dan SMK, dan departemen yang menangani urusan pemerintahan di bidang agama untuk MI, MTs, MA, dan MAK”. Pasal 16 ayat (1) PPSNP menyebutkan bahwa :” (1) Penyusunan kurikulum pada tingkat satuan pendidikan jenjang pendidikan dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP”. Dalam UU Sisdiknas pasal 58 ayat (1) disebtkan bahwa : “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Ini menunjukkan bahwa kegiatan evaluasi secara proses sampai dengan penentuan kelulusan peserta didik sepenuhnya dilakukan oleh pendidik, tetapi kenyataannya didalam pasal 64 dan 66 PPSNP pasal ini ditafsirkan lain sehingga evaluasi hasil belajar dapat dilakukan oleh satuan pendidikan dan oleh pemerintah. Pasal inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Ujian Nasional. Kebijakan UN inilah yang melahirkan kontroversial dalam dunia pendidikan karena sejumlah pakar, pendidik, pengamat dan masyarakat dinilai tidak sesuai dengan prinsip-prinsip pedagogis, pemborosan uang negara, dan tidak adil buat peserta didik (saat ini gugatan UN sedang diproses MA terkait dengan putusan PN Jakpus diperkuat oleh PT DKI yang secara subsidair memenangkan gugatan masyarakat, dan akhirnya pemerintah melakukan kasasi). Kebijakan UN ini akhirnya diperkuat juga dengan UU Guru dan Dosen yang memberikan hak kepada guru untuk sekedar ikut dalam penentuan kelulusan peserta didik (Pasal 14 ayat (1) f ); 3. Kurangnya pemahaman guru terhadap peraturan perundang-undangan: Dalam setiap pertemuan akademis, seperti seminar dan diskusi ketika ditanyakan siapa saja guru yang pernah membaca UU Guru, kebanyakan mereka belum membaca. Bahkan banyak guru yang belum pernah mengetahui
12
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
ada UU Guru. Banyak guru swasta yang belum pernah mengetahui bahwa hubungan kerja antara dirinya sebagai pekerja profesi dengan satuan pendidikannya selama ini semestinya dipayungi oleh UU Ketenagakerjaan dan jika terjadi persoalan hubungan kerja, jika perundingan tidak tercapai maka penyelesaiannya harus dilakukan di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Saat ini ada UU BHP dan PP Guru yang juga ikut mengatur guru yang belum diketahui oleh banyak guru. Banyak guru yang belum mengetahui adanya hak kebebasan berserikat sebagai cara bernegosiasi dan hak untuk memperoleh perlindungan. Perlindungan Guru : Undang- Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 7 ayat (1) menyebutkan bahwa salah satu prinsip profesionalitas guru adalah ”Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”, dan pasal 14 ayat (1) poin c menyebutkan pula bahwa : “Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan guru berhak memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual”.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Kreativitas guru pada dasarnya sudah memiliki ruang secara yuridis, saat ini tinggal bagaimana guru mau menyikapi dengan sungguh-sungguh untuk membangun kreativitasnya sekaligus terus berjuang meluruskan inkonsistensi kebijakan negara/pemerintah yang masih belum sepenuhnya memberikan otonomi kepada guru. Historia Magistera Vitae Semua guru sejarah pasti tahu makna ungkapan latin ini. Artinya ”sejarah adalah guru kehidupan”. Ungkapan ini bermakna bahwa jika ingin membangun kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang maka setiap orang pada masa hidupnya (masa kini) harus belajar dari masa lalu. Hal-hal yang tidak baik di masa lalu harus ditinggalkan atau diperbaiki, dan hal-hal yang sudah baik harus disempurnakan supaya menjadi lebih baik lagi. Bung Karno sendiri seringkali menyampaikan ungkapannya yang terkenal sampai saat ini ”Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”, sering disingkat menjadi Jasmerah. Lalu bagaimana kedua ungkapan ini dapat dimaknai oleh guru sejarah? Guru sejarah tidak boleh menutup mata bahwa selama ini mata pelajaran sejarah digugat oleh masyarakat. Belajar sejarah menjenuhkan! Dari 35 murid didalam kelas sudah cukup bersyukur ada 5 sampai 10 orang murid yang antusias mengikuti ”pembelajaran” sang guru sampai bel pelajaran berakhir. Meskipun antusiasme mereka belum tentu didasari oleh peminatan yang cukup tinggi terhadap pelajaran sejarah. Di antaranya mungkin disebabkan karena toleransi saja kepada gurunya. Sementara sebagian besar anak asik dengan pikirannya sendiri, sebagian lagi terlihat tertidur lelap. Alasan yang menyebabkan timbulnya rasa jenuh terhadap pelajaran sejarah cukup beragam; membosankan, ceritanya kering, hanya hafalan tanggal-tanggal dan hafalan sejumlah peristiwa, gurunya tidak menarik, pelajaran yang tidak bermanfaat untuk masa depan, selalu mengulang hal-hal yang sama mulai dari bangku sekolah dasar sampai perguruan tinggi, membuat kantuk yang berkepanjangan, materi pelajaran yang padat, dan sederet alasan lainnya. Jika gugatan masyarakat disampaikan langsung kepada guru-guru sejarah dalam sebuah diskusi atau dialog, umumnya guru mempunyai banyak alasan untuk menjawab soal buruknya pembelajaran sejarah dan rendahnya minat anak terhadap pelajaran sejarah, mulai dari alasan yang paling rasional sampai alasan yang paling apologis. Mulai dari buruknya kurikulum yang padat materi, hanya berorientasi kognitif, politis, miskin metodologi, input yang tidak bermutu, jam tatap muka yang sangat sedikit, tidak ada pengembangan profesionalitas guru sampai pada urusan rendahnya kesejahteraan guru. Ketika guru-guru sejarah menyadari bahwa semua hal itu harus diperbaiki, umumnya disadari bahwa selain faktor internal guru yang mesti terus menerus diperbaiki, ada satu faktor eksternal yang menjadi penghambat untuk terjadinya perubahan. Faktor eksternal tersebut adalah kebijakan makro yang tidak sinkron dengan tujuan pembelajaran sejarah. Kebijakan makro menyebabkan pembelajaran sejarah semakin jauh dari tujuan afektif pembentukkan karakter kebangsaan pada murid, menyebabkan waktu tatap muka yang sedikit sehingga interaksi antara guru-murid tidak efektif, kebijakan ujian nasional yang menyebabkan pelajaran sejarah lebih mengutamakan hasil akhir daripada proses, dan kebijakan pemerintah atau pemerintah daerah
13
yang menyulitkan guru mengajak muridnya melakukan studi lapangan agar dapat berinteraksi dengan fakta-fakta sejarah di lapangan. Apakah faktor eksternal ini dapat berubah? Tentu tidak akan ada perubahan jika guru-guru sejarah hanya sebatas mengeluh di dalam ruang-ruang diskusi. Harus ada gerakan nyata yang dilakukan oleh guru-guru sejarah untuk melakukan perubahan terhadap faktor-faktor penghambat internal maupun eksternal. Caranya? 1. Guru-guru sejarah harus membangun kepercayaan dirinya bahwa mereka memiliki potensi untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat satuan pendidikan sampai di tingkat nasional. Ruang untuk peran tersebut secara yuridis sudah ada. Harus terus membangun kapasitas diri dan keberanian untuk ikut dalam penentuan kebijakan pendidikan. 2. Membangun organisasi profesi yang kuat dan independen. Kebebasan untuk berserikat sudah dijamin oleh konstitusi, termasuk UU Guru. Dengan organisasi profesi, guru semakin memperkuat dirinya untuk menyetarakan relasi kekuasaan yang selama ini terbangun tidak seimbang yang menyebabkan guru selalu diposisikan sebagai bawahan-bawahan administratif dari birokrasi atau kekuasaan. Organisasi profesi guru tidak hanya berperan untuk mengembangkan profesionalisme guru semata tetapi berbarengan dengan itu dapat melakukan sejumlah advokasi terhadap kebijakan pendidikan yang tidak menguntungkan guru secara pedagogis dan yuridis; 3. Profesionalisme guru harus dimaknai sebagai cara bagi guru sejarah untuk terus menerus mengasah sikap kritisnya terhadap diri dan lingkungannya serta kritis terhadap sejumlah kebijakan yang bertentangan dengan aspek-aspek pedagogis yang ujung-ujungnya akan merugikan kepentingan terbaik anak. Profesionalisme juga harus dimaknai untuk terus menerus melakukan perubahan seiring dengan dinamika kehidupan masyarakat, tentu dengan tanpa mengurangi sikap kebangsaan kita yang multikultur; 4. Memilih menjadi guru adalah sebuah keberanian, apalagi memilih menjadi guru sejarah. Tetapi guru sejarah yang berarti adalah guru sejarah yang berani melakukan perubahan. Jika guru sejarah mengajarkan tentang nilai-nilai keberanian kepada murid-muridnya maka akan menjadi sangat konsisten jika keberanian itu dimulai dari guru sejarah itu sendiri. Jasmerah! Jadilah guru-guru sejarah pemberani, guru-guru sejarah yang membuat sejarah!
14
Jurnal Pendidikan Sejarah AGSI // OKTOBER 2010
Perjalanan Pelajaran Sejarah: Dari Otoritarianisme Menuju Demokrasi Oleh: Grace Leksana (Institut Sejarah Sosial Indonesia/ ISSI) Pasca proklamasi 1945, banyak ‘pekerjaan rumah’ bagi sebuah bangsa yang baru merdeka. Memang tidak mudah untuk merumuskan visi besar yang akan melandasi perkembangan bangsa, sekaligus memikirkan kebutuhan mendesak rakyat Indonesia yang harus dipenuhi saat itu juga. Pendidikan nasional merupakan salah satu ‘pekerjaan rumah’ yang mengalami masa-masa sulit pasca kemerdekaan. Situasi politik yang belum stabil, agresi militer dan perang menyebabkan proses perumusan kebijakan pendidikan nasional tersendat. Baru pada 1950, S. Mangoensarkoro selaku Menteri Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan mengesahkan Undangundang no. 4 tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengadjaran di Sekolah. UU ini diberlakukan lagi pada 1954, melalui Undang-undang no. 12 tahun 1954. UU ini terdiri dari 17 bab yang mengatur tujuan, dasar dan jenis pendidikan dan pengajaran; bahasa; pendidikan jasmani; kewajiban belajar; penyelenggaraan dan pendirian sekolah-sekolah; sekolah partikelir; guru; murid; pengajaran agama di sekolah negeri; pendidikan campuran dan terpisah; uang sekolah dan alat pelajaran; liburan sekolah; serta pengawasan dan pemeliharaan pendidikan dan pengajaran. Bagi saya, hal yang menarik dari UU no. 12 tahun 1954 justru terletak pada bagian penjelasan umum. Di dalamnya dikatakan bahwa UU ini penting sekali karena pendidikan dan pengajaran akan mempengaruhi “di kemudian hari sifat-sifat rakyat umumnya, dan pemimpin-pemimpin yang akan timbul dari rakyat khususnya”. Juga ditekankan bahwa dasar-dasar pendidikan harus berlainan dengan jaman Belanda, karena pendidikan pada jaman tersebut ”tidak berakar pada masyarakat Indonesia”. Tawaran yang diberikan UU ini adalah pendidikan yang bersifat nasional dan demokratis, artinya berdasarkan kebudayaan kita sendiri. Dari konsep inilah kemudian muncul pernyataan tentang pelajaran sejarah: “Dalam pendidikan yang demikian pengajaran sejarah akan menjadi pengajaran yang penting sekali. Bermacam-macam peristiwa yang terjadi dalam sejarah kita harus ditinjau kembali, dengan mempelajari sumber-sumber kita sendiri [penekanan dari penulis], sehingga dapat disusun kitabkitab sejarah Indonesia yang bersifat lain daripada jika dilihat dengan kaca mata bangsa asing. Peristiwa-peristiwa yang dapat dibanggakan dan menunjukkan kejayaan bangsa kita harus ditegaskan dengan sejelasnya, sehingga menimbulkan rasa kepercayaan atas diri sendiri pemuda-pemuda kita.” Dengan diberlakukannya UU ini, maka pemerintah Indonesia saat itu telah menyadari dan meletakkan pelajaran sejarah sebagai ujung tombak pembentukan karakter kebangsaan. Sudah 56 tahun berlalu sejak UU tersebut disahkan, dan saat ini kita berada di bawah regulasi UU Sistem Pendidikan Nasional yang berbeda. Namun tampaknya pelajaran sejarah belum memainkan peran seperti yang Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
dibayangkan 56 tahun silam. Sementara para generasi tua mengeluh tentang anak-anak masa kini yang tidak peduli dengan sejarah bangsa, para generasi muda juga mengeluh tentang pelajaran sejarah yang membosankan dan tidak ada esensinya. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dalam kurun waktu 56 tahun tersebut? Apa yang membuat harapan dan kenyataan terpisah begitu jauh? Melalui analisis terhadap serangkaian kebijakan nasional (Undangundang, kurikulum, rencana pembangunan), artikel ini mencoba melacak kembali perjalanan pelajaran sejarah Indonesia dari masa ke masa. Merumuskan Pijakan Dasar Perumusan konsep pendidikan nasional mulai dilaksanakan pada masa pendudukan Jepang, melalui Sub Panitia Pendidikan dan Pengajaran yang dipimpin oleh Ki Hadjar Dewantara dan berada di bawah Panitia Persiapan Kemerdekaan. Sub panitia ini hanya berhasil merumuskan rencana pengajaran saja, sehingga pasca proklamasi, belum ada konsep pendidikan nasional yang utuh. Ini merupakan pekerjaan yang sulit bagi sebuah Negara yang baru merdeka. Satu-satunya pijakan adalah pemikiran bahwa sistem pendidikan nasional yang baru teramat penting untuk menciptakan masyarakat yang mampu mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Sistem pendidikan yang lama, yang pada dasarnya bersifat kolonialistik dan feodalistik dipandang tidak akan dapat mengembangkan pada diri generasi muda sifat-sifat pribadi serta watak bangsa yang dibutuhkan oleh suatu Negara dan bangsa merdeka (Buchori, 2007:53). Serangkaian usaha terus dilakukan untuk mencapai suatu rumusan pendidikan nasional. Misalnya, pada 1946, Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) membentuk ‘Panitia Penyelidik Pendidikan Pengajaran’ yang bertugas meninjau kembali dasar-dasar, isi, susunan dan seluruh usaha pendidikan dan pengajaran. Kemudian dilanjutkan dengan Pertemuan Badan Himpunan Pendidikan di Surakarta pada 4-7 April 1947, dan Kongres Pendidikan AntarIndonesia di Yogyakarta pada Oktober 1949. Pembicaraan dalam kedua pertemuan besar ini difokuskan pada konsep-konsep makro pendidikan nasional, di antaranya: landasan ideologis dan cultural pembaharuan pendidikan, pemerataan kesempatan, serta pendidikan khusus (pendidikan teknik, kewanitaan, TNI, asing). Usaha lainnya adalah pembentukan ‘Panitia Pembentukan Rencana UU Pendidikan dan Pengajaran’ pada 1948 oleh Menteri PPK. Dalam instruksinya, ditegaskan agar panitia menggunakan bahan-bahan yang pernah dibahas dalam kongres-kongres pendidikan nasional sebelumnya (Sjamsudin, Sastradinata & Hasan, 1993: 46). Karena situasi politik saat itu, UU tersebut baru bisa diselesaikan pada 1950. Rencana Pelajaran yang pertama disusun pada 1947 dan kemudian diperbaharui menjadi Rencana Pelajaran Terurai pada 1952 (Jasin, 1987: 80). Rencana Pelajaran ini seharusnya menjadi pedoman bagi guru yang digunakan
15
secara luas, tapi kenyataannya tidaklah demikian. Bagi Hersri Setiawan, seorang guru sejarah Taman Guru Taman Siswa, SMA Piri II dan SMA Kulonprogo pada 1956/57, buku teks-lah yang menjadi pedomannya1. Ketertarikannya pada pelajaran sejarah berkembang pesat karena guru SMA-nya yang membawa materi-materi sejarah dengan bercerita, namun mampu menampilkan esensi dari materi tersebut. Hersri sendiri juga menggunakan metode yang sama ketika ia mengajar siswanya. Misalnya saja, ketika akan membawakan materi tentang perlawanan Sultan Agung terhadap Belanda, ia tertarik dengan pernyataan bahwa kegagalan perlawanan Sultan Agung disebabkan karena gudang-gudang perbekalannya di sepanjang Brebes ke arah Barat dibakar oleh ’pengacau’. Dengan mencari informasi lain dari buku The Indonesian Society in Transition oleh Wertheim, buku bahasa Belanda Kotagede oleh van Mook yang bercerita tentang kelahiran Kotagede, buku tentang kebangkitan ekonomi di pedalaman Jawa pada abad 16 yang ditulis oleh van Leur, dan buku dongeng prasejarah Prono Citro Roro Mendut terbitan Balai Pustaka, Hersri membuat interpretasi yang berbeda. Menurutnya, Sultan Agung berjaya dengan cara menindas rakyatnya. Misalnya saja, dalam cerita Roro Mendut, Mendut harus membayar pajak yang semakin tinggi setiap hari ketika ia berjualan rokok. Berdasarkan literatur yang dibacanya, Hersri menyimpulkan bahwa di Mataram, khususnya Kotagede sedang tumbuh golongan ketiga di masyarakat, selain golongan pendeta dan aristokrat, yaitu kaum pedagang. Jadi pembakaran gudang-gudang perbekalan Sultan Agung merupakan sebuah aksi menentang pemerintahannya yang dilakukan oleh kelas baru yang sedang tumbuh. Buku teks tetap dipakai oleh Hersri ketika mengajar, mengingat siswa-siswinya mungkin akan mengikuti ujian negara. Namun ia meminta pada murid-muridnya agar selalu mencari cerita di balik peristiwa sejarah, jika mereka menangkap hal-hal yang aneh dalam peristiwa tersebut. Ia mendorong muridnya agar menggunakan sumbersumber lisan atau sastra, karena dari sumber tersebut kita bisa mendapatkan sisi lain dari sebuah peristiwa. Melihat dinamika dan sisi-sisi lain menurutnya adalah hal penting, karena sejarah yang menjadi pakem selalu dirumuskan oleh orang-orang yang berkuasa. Sayangnya, eksplorasi yang demikian tidak menjadi hal umum yang dilakukan oleh semua guru di masa itu. Melanjutkan Cita-cita Revolusi Pada 1964, Urusan Pendidikan SMA Jawatan Pendidikan Umum Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Rencana Pelajaran dan Pendidikan SMA Gaya Baru. Panduan ini muncul di masa Demokrasi Terpimpin, ketika pemerintahan Sukarno cenderung bersikap otoriter. Seluruh kekuasaannya pada waktu itu digunakan untuk ‘meneruskan cita-cita revolusi’, yaitu mewujudkan sosialisme Indonesia, dunia baru tanpa eksploitasi (Pidato Sukarno ‘Tahun Vivere Pericoloso, 1964) dan berdiri di atas kaki sendiri (Pidato Sukarno, 1965) 2. Dengan demikian, seluruh kebijakan pemerintah didorong menuju pelaksanaan misi besar tersebut, termasuk pendidikan. Maka tidaklah mengherankan jika Rencana Pelajaran 1 Wawancara dengan Hersri Setiawan, 6 Juli 2010. 2 Menurut Vickers (2005: 151), berdiri di atas kaki sendiri berarti mencari alternatif bantuan dari Uni Soviet dan Cina, sementara menolak campur tangan Negara-negara kapitalis Amerika dan Inggris.
dan Pendidikan SMA Gaya Baru kental dengan nuansa revolusioner. Disebut ‘Gaya Baru’ karena berisi bukan hanya rentetan bab-bab dari berbagai mata pelajaran yang harus diajarkan, tapi segi-segi kependidikan yang tersimpul dalam tiap mata pelajaran mendapat sorotan yang tajam pula (Dep. PD dan K, 1964: 10). Berbeda dari pengaturan sebelumnya, Rencana Pelajaran dan Pendidikan Gaya Baru ini membagi struktur SMA menjadi empat jenis untuk kelas II dan III (Budaya, Sosial, Ilmu Pasti, dan Ilmu Pengetahuan Alam), dan hanya satu jenis untuk kelas I. Akibatnya, pelajaran sejarah juga dibedakan menjadi 4 jenis: Sejarah Indonesia (dasar, untuk kelas I, II dan III), Sejarah (khusus untuk kelas I), Sejarah Kebudayaan (untuk kelas Budaya) dan sejarah Dunia (khusus kelas Sosial). Pada bagian Sejarah Indonesia, disebutkan dengan jelas bahwa semua pendidikan dan pengajaran berkewajiban untuk membantu terlaksananya tujuan revolusi Indonesia, terutama mata pelajaran Sejarah yang dianggap dapat memberikan sumbangan yang besar (Dep. PD dan K, 1964: 34-35). Selanjutnya juga dijelaskan pelajaran sejarah Indonesia yang harus bersifat proklamasi-sentris dan ber-eskatologi masyarakat sosialis Indonesia, untuk mewujudkan tujuan tersebut. Artinya, seluruh tinjauan dan seleksi fakta-fakta sejarah diarahkan untuk menegaskan pencapaian dan usaha mempertahankan kemerdekaan serta gerak arah bangsa yang menuju pada pembentukan masyarakat adil dan makmur atau masyarkat Sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila3. Materi tentang Sosialisme dimasukkan pada bagian Sejarah Indonesia dan Sejarah khusus untuk kelas I Caturwulan I. Sedangkan Sejarah Dunia untuk kelas Sosial menitikberatkan pada sejarah India, Tiongkok dan Jepang, serta sejarah Perekonomian Dunia yang juga membahas Sosialisme dan Komunisme. Konsep ini juga tercermin dalam pembagian periode/ periodisasi sejarah. Misalnya saja, masa 1600-1908 disebut sebagai masa penindasan kolonial dan penghisapan, atau jaman Amanat Penderitaan Rakyat akibat penghisapan dan penindasan imperialisme, kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Periode sesudahnya disebut sebagai masa menuju ke sosialisme Indonesia yang terbagi lagi menjadi lima jaman4. Pertama, Jaman Perintis (1908-1927), karena partai-partai dan perkumpulan-perkumpulan mulai merintis cita-cita Indonesia Merdeka dan merasakan perlunya memajukan pendidikan, kebudayaan, ekonomi dan persatuan. Jaman ini berakhir dengan pemberontakan PKI 1926-1927. Kedua, Jaman Penegas (1927-1938), dimana cita-cita akan Indonesia yang merdeka dan bentuk negara republik semakin menguat, juga semakin ditegaskan oleh PNI pada 1927. Ketiga, Jaman Pencoba (1938-1942), dimana partai-partai berusaha bekerja sama untuk memperoleh status bagi Indonesia. Petisi-petisi dalam Volksraad dilahirkan pada jaman ini. Keempat, Jaman Pendobrak (1942-1945), yang merupakan jaman pendudukan Jepang. Namun pada masa ini ikatan tradisionil yang berdasarkan kepentingan kaum imperialis dan feodalis didobrak. Bangsa Indonesia mulai menduduki jabatan-jabatan penting, dan gerakan ilegal serta legal berusaha menyongsong kemerdekaan. Terakhir, Jaman Pelaksana (1945- hingga saat Rencana Pelajaran dan Pendidikan ini digunakan) 3 Lihat Rentjana Peladjaran dan Pendidikan SMA Gaja Baru. 1964. Jakarta: Urusan Pendidikan SMA Djawatan Pendidikan Umum Dep. P. D dan K. 4 Penjelasan tentang isi dari kelima jaman tersebut tercantum dalam Rencana Pelajaran dan Pendidikan untuk SMP yang dikeluarkan oleh instansi yang sama dalam tahun yang sama. Dalam Rencana Pelajaran dan Pendidikan untuk SMA, para guru Sejarah Indonesia SMA diminta untuk mempelajari Rencana Pelajaran Sejarah Indonesia untuk SMP, guna memahami periodisasi tersebut dan melihat kesinambungan isi pelajaran Sejarah Indonesia SMP dan SMA.
16
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
yang dibagi lagi menjadi periode physical revolution (19451950), periode survival (1950-1955), dan periode social and economic revolution (1955 dan seterusnya). Periodisasi ini mencerminkan nuansa pelajaran sejarah yang menekankan anti kolonialisme dan menumbuhkan kebanggaan pada perjuangan bangsa. Inilah yang menjadi panduan para guru sejarah hingga masa pemerintahan Sukarno berakhir. Pasca peristiwa 1965, kekuatan secara bertahap berpindah ke tangan Suharto dan dengan demikian, ideologi negara pun berubah: dari sosialisme Indonesia menuju kapitalisme masif. Melayani Pembangunan Berbeda dengan masa pemerintahan Sukarno, Suharto menyambut baik kedatangan modal-modal asing dan lembaga internasional yang mengatur perekonomian dunia seperti IMF dan World Bank dengan argumen meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Rencana Pembangunan Jangka Panjang untuk periode 25 tahun disusun agar mencapai stabilitas ekonomi dan politik. Rencana jangka panjang tersebut terdiri dari Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) I hingga V. Repelita I dimulai pada 1969/70 dan secara tegas menyatakan bahwa sistem ekonomi di masa lampau telah gagal karena ‘diabdikan kepada politik dan mengabaikan prinsip ekonomi yang rasional’ (Buku Pertama Rencana Pembangunan Lima Tahun 1969/70-1973/74, 1968:11-13). Oleh karena itu, pemerintahan Orde Baru menyatakan dirinya akan melakukan “pendobrakan salah urus dalam segala bidang terutama dalam bidang ekonomi jang di wariskan oleh Orde Lama”. Untuk mencapai tujuan ini, maka garis kebijakan yang dipilih adalah menciptakan ‘iklim de-kontrol dan de-birokratisasi’ yang dianggap mampu mendorong daya kreasi masyarakat secara optimal. Dalam arti sebenarnya, ‘de-kontrol dan de-birokratisasi’ diwujudkan untuk mendukung pasar bebas dan keikutsertaan Indonesia dalam sistem perekonomian neoliberal. Akibatnya, cetak biru pendidikan nasional juga diarahkan untuk mendukung konsep makro pembangunan di atas. Bab 10 Repelita I tentang Pendidikan dan Tenaga Kerja menyatakan secara jelas bahwa salah satu tujuan pembangunan di sektor pendidikan adalah menghasilkan tenaga kerja terdidik untuk pembangunan. Oleh karena itu, “program pendidikan secara horizontal akan lebih diarahkan kepada kebutuhan pendidikan dan latihan untuk sektor-sektor pembangunan yang diprioritaskan, seperti pertanian, industri yang mendukung pertanian, industri ringan dan kerajinan rakyat, pertambangan, prasarana serta pariwisata” (Buku Kedua Rencana Pembangunan Lima Tahun 1969/70-1973/74, 1968). Pemahaman bahwa institusi pendidikan adalah medium untuk mencetak tenaga kerja bagi pembangunan mewarnai kelima Repelita. Hanya pada Repelita III (1979/80-1984/85) disinggung pendekatan kebudayaan dalam pendidikan. Namun pemahaman tentang pendekatan kebudayaan tidak jelas, dan tetap jatuh hanya sebagai pelaksana pembangunan: “Pembangunan nasional pada hakekatnya adalah usaha yang sistematis dan terarah untuk memperlancar terjadinya proses transformasi tersebut, dimana pendidikan yang merupakan bagian kebudayaan yang sedang berkembang secara fungsional harus menunjang pelaksanaan pembangunan” (Buku Kedua Rencana Pembangunan Lima Tahun 1979/80-1984/85, 1978). Selanjutnya konsep pendidikan pada Repelita IV dan V tidak berubah. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Pada 1968, Direktorat Pendidikan Umum, Kedjuruan dan Kursus-kursus Dinas SMA mengeluarkan Rencana Pendidikan dan Pelajaran SMA yang baru sebagai pengganti Rencana Pelajaran dan Pendidikan SMA Gaya Baru tahun 1964. Ada beberapa perubahan mendasar di kurikulum 1968 ini. Pertama, pemadatan jenis kelas sebanyak 4 kelompok di kurikulum 1964 menjadi hanya 2 kelompok di kurikulum 1968, yaitu kelompok sastra-sosial-budaya dan ilmu pastiilmu pengetahuan alam. Kedua, dengan fokus pendidikan sebagai pencipta tenaga kerja untuk pembangunan, maka titik berat pengembangan pendidikan adalah vocational education. Hal ini sebenarnya menjadi ranah sekolahsekolah kejuruan. Namun bukan berarti SMA tidak berkontribusi pada pembangunan, karena menurut Kepala Dinas SMA A.W.J Tupanno, “Dengan adanya mata pelajaran Prakarya itu kita memberikan di SMA vocational training” (Dinas SMA, 1969: 3). Tampaknya prakarya di SMA lebih diidentikkan dengan pembangunan industri kerajinan daripada media ekspresi seni. Ketiga, mata pelajaran SMA dikelompokkan menjadi tiga kategori: kelompok pembinaan jiwa Pancasila, pembinaan pengetahuan dasar, dan pembinaan kecakapan khusus. Sejarah masuk dalam kategori pengetahuan dasar, namun tidak diajarkan di kelas Ilmu Pasti/ Pengetahuan Alam. Keempat, adalah penambahan bagian metodik/ didaktik pendidikan selain rumusan materi pelajaran pada kurikulum 1968. Bagian metode tersebut tidak ada di kurikulum 1964, yang hanya memberikan daftar materi-materi yang perlu disampaikan pada siswa. Metodik/didaktik ini dianggap perlu untuk mencapai keseimbangan penguasaan pengetahuan, mental/ moral dan aplikasi pengetahuan siswa. Singkatnya, metodik/ didaktik harus menekankan nilai-nilai Pancasila, korelasi antar mata pelajaran, experience-centred, menggunakan problem solving, serta hubungannya dengan masyarakat sekitar, tanah air dan dunia. Periodisasi dalam kurikulum sejarah 1964 tidak digunakan lagi dalam kurikulum 1968. Periodisasi di masa sejarah menjadi sangat sederhana: perjuangan rakyat Indonesia di berbagai daerah (tidak lagi menitikberatkan pada penderitaan rakyat akibat kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme), perjuangan menuju pada kemerdekaan (perbandingan karakteristik perjuangan sebelum dan sesudah 1908, serta masa pendudukan Jepang) dan masa perjuangan memajukan kehidupan yang bebas, adil dan makmur berdasarkan Pancasila (perjuangan mempertahankan kemerdekaan 1945-1949, 1949 hingga kembali pada UUD 1945, 1959 hingga sekarang). Materimateri tentang sosialisme dihilangkan, baik dalam sejarah Indonesia maupun dunia. Selain mendukung proyek pembangunan Suharto, kurikulum 1968 ini disusun untuk menghilangkan unsur-unsur Manipol-Usdek peninggalan Orde Lama. Kurikulum berikutnya muncul pada 1975, yang menurut Jasin (1987: 82) merupakan kurikulum transisi ‘sambil mengusahakan kurikulum yang lebih relevan melalui eksperimen dan uji coba’. Menurut kurikulum ini, ada tiga jenis kelas, yaitu IPA, IPS dan Bahasa. Hal penting dalam kurikulum ini adalah orientasinya pada tujuan. Konsekuensi teknisnya adalah identifikasi tujuan terlebih dahulu sebelum menentukan jam dan bahan pelajaran. Perumusan tujuan tersebut berlangsung pada tingkatan umum/ tujuan institusionil hingga tujuan instruksionil khusus yang akan memberikan arah pada pemilihan bahan dan kegiatan belajar untuk tiap satuan pelajaran
17
yang terkecil. Maka untuk setiap mata pelajaran, terdiri dari tujuan kurikuler (tujuan yang harus dicapai setelah mengikuti program pengajaran selama masa pendidikan di SMP/ SMA), tujuan instruksionil umum (tujuan yang hendak dicapai dalam setiap satuan pelajaran baik semester atau tahunan), pokok bahasan, sub-pokok bahasan dan bahan pengajaran. Kurikulum sejarah sendiri tidak banyak berubah dari kurikulum 1968, hanya menjadi lebih detil karena tujuan hingga bahan pengajaran tercantum di dalam kurikulum 1975. Pelajaran sejarah juga tetap tidak diajarkan di jurusan IPA. Pada tahun yang sama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga menerbitkan Sejarah Nasional Indonesia jilid I yang disunting oleh Sartono Kartodirjo, Marwati Juned Pusponegoro dan Nugroho Notosusanto. Buku ini terbit hingga 6 jilid dan menjadi acuan bagi penulisan buku-buku teks sejarah. Beragam kritik dilontarkan terhadap buku ini, terutama karena membuat ilmu sejarah menjadi sangat sentralistik, tidak dinamis dan mematikan interpretasiinterpretasi baru. Pelajaran sejarah pun menjadi demikian, dengan adanya buku ini dan kurikulum yang mengatur hingga penggunaan bahan ajar. Kondisi ini berlangsung cukup lama, meskipun pada 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan kurikulum baru dan pada 1999 mengeluarkan penyempurnaan/ penyesuaian kurikulum 1994 yang hanya menyederhanakan pokok bahasan tapi tidak mengubah hal-hal lainnya.
tidak menjadi bahan pelajaran sejarah di masa ini, karena pembangunan pada masa pemerintahan Suharto justru mendorong ekspansi kapital besar-besaran. Dengan demikian, pelajaran sejarah dalam dua pemerintahan ini cenderung menonjolkan satu hal dan menegasikan hal lainnya. Bagaimana sejarah diajarkan di sekolah menjadi keputusan penguasa sepenuhnya. Ketika Suharto turun dari kepemimpinannya, rakyat Indonesia berharap pada perwujudan nilai-nilai demokrasi. Keran-keran politik yang selama ini tertutup mulai dibuka: kebebasan pers, pembentukan partai-partai politik, pemilu yang (katanya) lebih demokratis, penegakan HAM, termasuk pembaharuan dalam pendidikan. Terlepas dari berbagai kelemahan Kurikulum Berbasis Kompetensi (2003) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006), kurikulum di masa reformasi ini memberikan otonomi yang lebih besar pada para guru. Hanya kompetensi dasar yang diatur dalam kurikulum ini, dan tidak ada uraian tentang pokok bahasan maupun bahan pengajaran seperti yang tercantum dalam kurikulum-kurikulum sebelumnya. Bisa jadi ini menjadi kesempatan bagi masyarakat Indonesia (khususnya para guru) untuk menghentikan penyusunan dan pengajaran sejarah menurut kehendak penguasa. Ketika ruang itu telah diberikan pada kita, bagaimana kita akan mengisinya?
Menuju Demokratisasi Pendidikan Bagaimana sejarah diajarkan di sekolah tidak lepas dari politik pendidikan dalam dua masa pemerintahan pasca kemerdekaan. Sejarah diakui sebagai pelajaran yang berperan penting dalam membentuk karakter bangsa, baik untuk mewujudkan masyarakat sosialis maupun menciptakan tenaga kerja yang siap pakai dalam proyek pembangunan. Pada masa Orde Lama, siswa dipaparkan pada kesengsaraan rakyat akibat imperialisme dan kolonialisme serta sosialisme sebagai jalan keluar menuju kesejahteraan. Sebaliknya, pada masa Orde Baru, sosialisme tidak disinggung dalam pelajaran sejarah. Kalau pun dibahas, ia hanya menjadi contoh kegagalan pemerintahan Orde Lama dan menguatkan ideologi pembangunan Orde Baru. Ekspansi kapital di jaman kolonial yang berujung pada penindasan juga
Daftar Pustaka Buchori, Mochtar. Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool Sampai ke IKIP 1852-1998. 2007. Yogyakarta: Insist Press.
Rentjana Pembangunan Lima Tahun III (1979/80 – 1983/84): Buku I dan II. 1979. Jakarta: Bappenas.
Jasin, Anwar. Pembaharuan Kurikulum Sekolah Dasar Sejak Proklamasi Kemerdekaan. 1987. Jakarta: Balai Pustaka
Rentjana Pembangunan Lima Tahun IV (1984/85 – 1988/89): Buku I dan II. 1984. Jakarta: Bappenas.
Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 – Buku I: Ketentuanketentuan Pokok. 1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rentjana Pembangunan Lima Tahun V (1989/90 – 1993/94): Buku I dan II. 1989. Jakarta: Bappenas.
Kurikulum Sekolah Menengah Atas (SMA) 1975 – Buku IIC: Ilmu Pengetahuan Sosial. 1979. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Rentjana Pendidikan dan Peladjaran SMA. 1969. Jakarta: Direktorat Pendidikan Umum, Kedjuruan dan Kursus-kursus Dinas SMA.
Rentjana Pembangunan Lima Tahun I (1969/70 – 1973/74): Buku I dan II. 1968. Jakarta: Bappenas.
Rentjana Peladjaran dan Pendidikan SMA Gaja Baru. 1964. Jakarta: Urusan Pendidikan SMA Djawatan Pendidikan Umum Dep. P. D dan K.
Penyempurnaan/ Penyesuaian Kurikulum 1994 (Suplemen GBPP) SMU/ MA. 1999. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sjamsuddin, Helius; Sastradinata, Kosoh & Hasan, Said Hamid. Sejarah Pendidikan di Indonesia Zaman Kemerdekaan (1945-1966). 1993. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.
Rentjana Pembangunan Lima Tahun II (1974/75 – 1978/79): Buku I dan II. 1974. Jakarta: Bappenas.
Vickers, Adrian. A History of Modern Indonesia. 2005. New York: Cambridge University Press.
18
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Selayang Pandang Tentang Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Oleh : Ratna Hapsari Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia
Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) didirikan di Jakarta pada tahun 2007 atas prakarsa dan didanai oleh Dirjen Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Pemikiran yang mendasari berdirinya AGSI adalah keinginan pemerintah khususnya Departemen Pendidikan Nasional ketika itu, yang mengharapkan adanya wadah komunikasi bagi para guru mata pelajaran di seluruh Indonesia untuk dapat mengembangkan profesionalismenya. Asosiasi mempunyai posisi yang strategis di dalam menghimpun guru dari mata pelajaran sejenis dalam sebuah kegiatan yang positif, yaitu untuk dapat saling berbagi pengalaman, menimba ilmu dari guru yang lain, menyebarkan informasi dan kreativitas yang semuanya akan memperkaya khasanah proses pembelajaran yang dilaksanakan guru di sekolah masing-masing. Inisiatif Dirjen PMPTK ini tentu saja memberikan angin segar bagi masyarakat guru sejarah, terutama yang berdomisili di Jakarta, yang diberi tugas untuk menyelenggarakan pembentukan Asosiasi Guru Sejarah ini. Melalui sebuah kongres yang berhasil menghimpun perwakilan guru sejarah dari 23 provinsi ketika itu, terbentuklah Asosiasi Guru Sejarah Indonesia, dengan mengangkat tema “ Implementasi KTSP dalam Pembelajaran Sejarah di Sekolah “ Mengapa tema ini yang dipilih oleh panitia penyelenggara ketika itu tentulah bukan tanpa alasan. Sudah bukan merupakan rahasia lagi jika pelajaran sejarah bukan merupakan pelajaran yang disukai siswa. Arah pendidikan di Indonesia yang selama ini lebih berkesan science oriented merupakan persoalan tersendiri bagi eksistensi pembelajaran sejarah di sekolah. Seakan-akan pelajaran yang dalam karekteristik pembelajarannya sarat dengan pendidikan afektif ini terpinggirkan secara sistematis dalam kedudukannya yang juga sebagai ilmu pengetahuan. Dalam tujuan pembelajarannya telah diberi rambu-rambu sebagai pelajaran yang memiliki kemampuan untuk menanamkan nasionalisme, menumbuhkan jiwa patriotisme, menumbuhkan dorongan untuk bela negara, dan banyak pendidikan afektif lainnya hanya menjadi slogan-slogan yang seakan tanpa makna. Ditambah dalam proses pembelajarannya guru sering terjebak pada pemaparan fakta sejarah yang kering tanpa makna, semakin membuat pelajaran sejarah seolah hanya sebagai pelengkap di dalam struktur kurikulum. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Tema di atas mengajak para guru sejarah untuk melakukan introspeksi terhadap apa yang selama ini telah mereka lakukan dalam proses pembelajaran sejarah? Mengapa siswa jarang yang menyukai pelajaran sejarah? Apakah kreativitas guru sejarah telah mati karena sikap apriori yang ditunjukkan siswa di kelas ketika pelajaran ini berlangsung? Memang banyak persoalan yang terkait dengan pelajaran sejarah di sekolah, yang perlu dirembug bersama dalam sebuah wadah yang dinamis dan sebaiknya secara berkesinambungan. Pendirian Asosiasi Guru didukung oleh undangundang no 14 tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, mengamanatkan bahwa guru dalam menjalankan tugasnya berhak memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi yang bersifat independen. Organisasi profesi tersebut adalah perkumpulan yang berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh guru untuk mengembangkan profesionalitas guru. Undang-undang ini juga mengamanatkan kewajiban guru untuk memiliki kualifikasi akademik, kompetensi dan sertifikat pendidik, adanya hak-hak dan kewajiban guru, serta hak guru untuk memperoleh penghargaaan dan perlindungan. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Guru dan Dosen maka guru Sejarah sebagai bagian dari profesi pendidik mempunyai peran penting dalam membangun karakter bangsa, membangun kecerdasan, kesadaran akan keberagaman dalam semangat ke-Indonesiaan, dan tetap membangun persatuan dan kesatuan bangsa, mempunyai kepentingan untuk membangun kapasitas organisasi profesinya sesuai dengan perubahan dan perkembangan yang ada dengan tetap mengasah sikap kritis dan tetap membangun tradisi yang mendorong demokratisasi pendidikan, menjunjung Hak Asasi Manusia, membangun profesionalisme dan melakukan perubahan. Dalam tindak lanjutnya AGSI telah berhasil melaksanakan Kongresnya yang ke dua di Bandung, pada tahun 2008 dengan mengangkat tema “Pembelajaran Sejarah Berbasis Multikulturalisme“ yang dihadiri oleh perwakilan guru sejarah dari 26 provinsi. Dan menghadirkan sejumlah pembicara yang terdiri dari para guru besar yang kompeten di bidangnya Masalah kesadaran multikultur bangsa ini mulai mengkhawatirkan, konflik etnis, dominasi golongan mayoritas terhadap minoritas, tersisihnya masyarakat adat karena kebijakan yang sarat dengan kepentingan kelompok tertentu, berkembangnya
19
gagasan-gagasan fundamentalis yang seolah ingin mengikis habis keberagaman telah menjadi isu-isu yang terus berkembang dalam kehidupan masyarakat kita. Sehingga melalui pelajaran sejarah sebagai pendidikan afektif perlu disisipkan pentingnya siswa memahami keberagaman sebagai kekayaan bangsa yang harus dijaga kelestariannya, bahwa dalam proses menjadi Indonesia pun, bangsa ini telah dibangun dengan fondasi akulturasi, asimilasi dan amalgamasi dari berbagai bangsa yang telah singgah di Indonesia sejak abad pertama masehi. Meskipun ada kendala pada pendanaan kegiatan AGSI tetap berjalan, dengan membangun kerjasama dengan lembaga-lembaga independen yang memiliki visi dan misi yang sama dalam membangun jiwa dan raga generasi muda bangsa. Masih banyak persoalan bangsa yang tidak kunjung terselesaikan, seperti pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia yang semuanya telah menjadi catatan sebagai fakta sejarah yang kelam bagi negeri ini, sementara penyampaian fakta sejarah tidak dapat dilakukan dengan bebas, karena paparan sejarah memang tidak dapat lepas dari kepentingan pemerintah. Penyampaian fakta sejarah tidak cukup hanya dipaparkan melalui fakta, tetapi juga melalui penafsiran, dan penafsiran sering tidak dapat lepas dari kepentingan mereka yang melakukan penafsiran itu. Ada usaha dememorialisasi terhadap fakta sejarah dan ini tugas guru sejarah untuk tetap menyajikan kebenaran dan bukan pembenaran, dan secara terus menerus berusaha menemukan cara untuk membangun ingatan kolektif tanpa harus memelihara dendam sejarah. Kerjasama AGSI dengan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) telah memperkaya kemampuan guru sejarah dalam memilih materi-materi esensial dalam pelajaran sejarah, dan mempersiapkan bahan ajar yang menarik dan interaktif, baik melalui kegiatan workshop, ataupun seminar sehari dengan mengundang sejumlah pembicara yang memiliki kompetensi dalam bidangnya. Perpustakaan ISSI terbuka bagi guru sejarah yang ingin
memperkaya pengetahuan kesejarahannya meskipun saat ini masih terbatas bagi guru sejarah yang ada di wilayah Banten dan Jabodetabek. Guru sejarah yang berada di luar wilayah tersebut dapat menjangkau informasi melalui www.sejarahsosial.org. Kerjasama dengan Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) telah menambah wawasan guru tentang pentingnya pendidikan HAM dalam pelajaran sejarah melalui kegiatan Workshop bagi guru sejarah di provinsi Jawa Tengah dan DIY Jogyakarta, dan provinsi Jawa Timur dengan menghadirkan guru besar filsafat dan sejarawan bergelar doktor dari Universitas Gajah Mada dan Universitas Negeri Malang.. Kerjasama dengan Aliansi Nasional Bhineka Tunggal Ika (ANBTI) telah memberikan tambahan wawasan guru terhadap sejumlah isu-isu yang bersifat kontroversial seperti penerapan Undang-Undang Pornografi, Meluruskan Wacana Hak Paten Kebudayaan Tradisional, Pancasila Dalam Pusaran Globalisasi dan Fundamentalisme, dan pelaksanaan diskusi interaktif untuk siswa dengan Tema Mengenang Gus Dur Bapak Pluralisme Indonesia. Belum banyak memang yang dilakukan AGSI sebagai wadah pengembangan bagi profesi guru, tetapi keberadaan AGSI memperoleh sambutan hangat dari banyak pihak baik dari kalangan guru sejarah sendiri, maupun dari berbagai komponen masyarakat yang peduli terhadap pembangunan watak generasi muda agar lebih banyak berbuat bagi bangsanya, dengan belajar lebih banyak dari sejarah, karena sejarah adalah guru kehidupan “Historia Magistra Vitae” Workshop kerjasama JSKK dan AGSI “Pengembangan Bahan Ajar Sejarah Berbasis HAM”, Malang, 8-9 Agustus 2009
Workshop kerjasama JSKK dan AGSI “Membangun Kesadaran Sejarah Untuk Kebenaran dan Keadilan”, Jakarta, 29-30 Mei 2009
Ulang Tahun Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, November 2009
20
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Seminar Sehari “Membangun Paradigma Baru Pendidikan Sejarah di SMA”, Galeri Nasional Jakarta, 6 Maret 2010
Workshop Kerjasama AGSI dan ISSI “Pemetaan Materi-materi Esensial Mata Pelajaran Sejarah SMA” di Depok, 28-30 Mei 2010
Teuku Ramli Zakaria dari BSNP dan Dr. Umasih dari UNJ berbicara di Seminar Sehari “Membangun Paradigma Baru Pendidikan Sejarah di SMA”, dengan Moderator Drs. Suparman dari AGSI
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
21
Ade Munajat,
Sosok Guru Yang Aktif, Kreatif, dan Inovatif Identitas Adalah Ade Munajat, lahir di Sukabumi, 17 Juni 1966. Ia menyelesaikan pendidikan S-1 di Jurusan Pendidikan Sejarah IKIP Bandung (Sekarang Universitas Pendidikan Indonesia) pada tahun 1991. Pada tahun 2006, lulus dari Program Pascasarjana Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Aktivitas Ade Munajat telah menjadi guru sejarah sejak tahun 1993. Selain mengajar, ia aktif dalam berbagai organisasi seperti: Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Sukabumi (1994-2000), Sekretaris Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Propinsi Jawa Barat (1998-2001), Koordinator Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Ikatan Alumni Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Komisariat Jawa Barat (2005-Sekarang), Sekretaris Divisi Pengembangan Pendidikan/ Pengajaran Ilmu-Ilmu Sosial Himpunan sarjana Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (HISPISI). (Indonesia Association for Social Sciens Educationist (IASSE)) Jawa Barat. 2002-Sekarang, Seksi Hubungan Luar Negeri pada Kelompok Studi Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2005-Sekarang), Anggota Redaksi Jurnal Ilmu Sejarah:BANDAR yang diterbitkan oleh Kelompok Studi Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (2005-Sekarang), Wakil Sekretaris Jenderal Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) (2007-2011), dan Pengurus Daerah Federasi Guru Independen Indonesia Jawa Barat (2007-2012). Prestasi Selama mejadi guru sejarah, lelaki yang sangat aktif ini pernah menjadi Pemenang III Lomba Karya Tulis (LKT) Peningkatan Imtaq (Integrasi Imtaq-IPTEK) bagi Guru SD/ SMP/SMA/SMK/SLB Tingkat Nasional Tahun 2007 yang diselenggarakan oleh Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Makalah Berjudul: Pentingnya Memahami Konsep Sejarah Menurut Al-Qur’an Sebagai Muatan IMTAQ Pada Mata Pelajaran Sejarah Pokok Bahasan Masyarakat Prasejarah dan Skenario Implementasinya di
dalam Ruang Kelas. Kemudian menjadi Juara Pertama Nasional dalam rangka kegiatan Lomba Mengarang Kesejarahan pada Lawatan Sejarah Nasional ke VI dari tanggal 10-14 Juli 2008 yang diselenggarakan di Propinsi Bali oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bali-NTBNTT Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Sejumlah buku pelajaran sejarah yang ditulisnya telah diterbitkan oleh penerbit nasional terkemuka. Bahkan, beberapa jilid buku yang pernah ia tulis dibeli copyright-nya oleh Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional dan dijadikan Buku Sekolah Elektronik. Ia juga pernah menjadi pemakalah pada kegiatan lokal dan nasional. Tulisan lepasnya pernah diterbitkan dalam Koran Republika. Tulisan bersambung pernah dimuat secara berseri dalam 7 terbitan berkala pada Majalah berbahasa Sunda, Sunda Midang. Selain itu, ia juga aktif mengikuti berbagai kegiatan ilmiah di daerahnya maupun ditingkat nasional. Tempat Bekerja Sekarang, Ade Munajat mengajar di SMA Negeri 1 Cibadak Sukabumi, Jawa Barat. SMA Cibadak berdiri sejak tahun 1969 dan merupakan SMA tertua yang kemudian merintis dan membina sejumlah sekolah negeri yang belakangan berdiri di Kabupaten Sukabumi. SMA itu sekarang dijadikan pioneering sekolah bertaraf internasional. Siswa yang bersekolah di SMA Negeri 1 Cibadak ialah siswa yang berasal dari berbagai SMP di Kabupaten Sukabumi dan daerah lainnya yang terseleksi dengan ketat. Dengan statusnya sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), SMA Negeri 1 Cibadak memiliki keunggulan berupa manajemen sekolah yang sudah bersertifikat ISO, aplikasi teknologi canggih dalam pembelajaran, kurikulum yang compatible dengan sekolah di negara maju, dan guru-guru serta tenaga kependidikan lainnya yang professional. Cara Mengajar Eksplorasi pembelajaran sejarah inovatif menjadi pokok yang dipikirkan dan bagian yang dipraktikkan oleh Ade Munajat. Inspirasi pembelajaran inovatif ia dapatkan karena belajar dari pengalaman, diskusi, atau hasil pemahaman atas membaca buku.
22
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Yang lahir dari pengalaman ialah:
Metode yang digunakan
Divariasikan dengan
Metode Ceramah
Tanya jawab Mengulang pertanyaan dan mengulang jawaban Menemukan dan menyampaikan informasi tertentu dari buku sumber, kamus, ensiklopedi, gambar tertentu Media power point, film, gambar tertentu, dan narasi tertentu. Diskusi untuk menemukan jawaban tertentu Membuat, membaca peta konsep
Yang lahir dari diskusi ialah: 1.
Proyek Aku Ingin Tahu Metode yang digunakan “Pr oyek Aku Ingin Tahu” Langkah: 1. Siswa diberi informasi me ngenai SK dan KD yang akan dipelajari selama satu 2. Siswa secara variatif dib semester; eri keb mana yang akan dipelajarinya ebasan memilih SK dan KD terlebih dahulu; 3. Setelah siswa memilih SK dan KD tertentu sesuai pilihannya, kemudian kepada nya diminta untuk menjawab per tanyaan sebagai berikut : a. Apa yang ingin aku tahu? (dari SK dan KD yang dipilih b. Bagaimana caranya aga nya) r aku tahu? c. Apa yang aku tahu? d. Apa manfaatnya penget ahuan itu bagi diriku? e. Kapan aku akan menye lesa f. Berapa aku akan memb ikan proyekku? eri nilai pada proyek yang aku kerjakan ini?
2.
Paspor Pencapaian Kompetensi PASPOR PENCAPAIAN KOMPETENSI Mata Pelajaran Nama Siswa Kelas/Program/Semester
No.
Kompetensi Dasar
: Sejarah Indonesia :_______________________________ :_______________________________
Standar Kompetensi
Indikator
Nilai yang dicapai Tidak Lulus Lulus ≥79 ≤79
Tanggal Pencapaian
Penilaian dilakukan oleh Diri Sendiri
Teman Sebaya
Guru
Cibadak,_______________________2010 Siswa, Guru Mata Pelajaran Sejarah _______________________________ Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Drs. Ade Munajat, M.Hum
23
Pembelajaran Sejarah Lokal Kabupaten Sukabumi terkenal sebagai panggung sejarah. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Sukabumi telah dihuni manusia sejak masa prasejarah. Peneliti D. Erdbrink menemukan alat-alat palaeolitik bercorak kapak perimbas di Jampang Kulon. Para peneliti setelahnya berhasil menginventarisir aneka ragam bentuk budaya batu yang lebih muda yang tersebar pada wilayah Pelabuhanratu, Cicurug, dan Sukaraja. Di wilayah Pelabuhanratu, tepatnya di kawasan Kecamatan Cisolok, telah diinventarisir peninggalan prasejarah berupa Menhir yang terletak Kampung/Desa Tugugede dan di Kampung/Desa Cimaja Girang, kemudian peninggalan prasejarah berupa Patung Polinesia di Kampung/ Desa Ciarca, serta peninggalan sejarah berupa Punden Berundak di Kampung/ Desa Pangguyangan. Selanjutnya di Kampung Sukarame, Desa Sirnarasa terdapat kompleks perkampungan adat dengan tata letak dan arsitektur khas serta dengan tatanan nilai budaya yang masih murni dan utuh. Di wilayah Cicurug diinventarisir temuan prasejarah berupa Batu Dakon di Kampung/Desa Salakdatar, kemudian Batu Bergores dan Menhir dengan ukuran: tinggi 120 cm; lebar 160 cm; garis tengah 176 cm dan Menhir dengan bentuk yang lebih kecil ditemukan masing-masing di Desa/ Kampung Kuta dan Cileueur. Peninggalan prasejarah berupa Menhir juga diinventarisir di Kampung/Desa Parakansalak Kecamatan Parakansalak. Di wilayah Sukaraja, di Kampung Tugu dan Pasirhalang diinventarisir juga peningggalan dari masa prasejarah berupa Menhir. Yang paling monumental ialah temuan arkeologis di Cibadak. Di sana ditemukan prasasti di atas empat batu mengenai pembuatan sebuah perdikan untuk pemujaan Sang Hyang Tapak. Perdikan itu didirikan oleh Raja Sunda (Prahiyan Sunda) Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisynumurtti Samarawijaya Sakalabhuwanamandaleswaranindita Haro Gowarhana Wikramotunggadewa. Prasasti itu berangka tahun 1030 tertulis dalam bahasa dan huruf Jawa Kuno. Dengan memerhatikan peninggalan sejarah seperti tersebut, jelaslah, masyarakat di Kabupaten Sukabumi memiliki akar sejarah yang jauh hingga masa prasejarah.
Selanjutnya, Kabupaten Sukabumi sebagai pangung sejarah, juga memilki catatan yang berkesinambungan hingga perjalanan sejarah memasuki periode pengaruh Islam. Masjid dan pesantren serta tokoh kiai dan guru ngaji yang tersebar di seantero wilayah Kabupaten Sukabumi menggambarkan betapa kuatnya pengaruh ajaran Islam melekat di masyarakatnya. Pengaruh Islam dalam masyarakat di Sukabumi dapat dilihat pula pada beberapa hukum adat yang dipraktikkan mereka. Hukum waris, perkawinan, pemuliaan waktu atau tanggal tertentu seperti antara lain bulan Maulud dan Rewah, upacara memeringati orang yang telah meninggal. Dalam Kesenian pengaruh Islam tampak dalam antara lain, debus, doblang, genjingan, rudat, terbang muludan atau terbang barjanzi. Dalam masa kolonial, Kabupaten Sukabumi memegang posisi penting sebagai wilayah perluasan terdekat dari pusat pemerintahan kolonial yang berkedudukan di Batavia atau Jakarta sekarang. Karenanya, banyak peninggalan sejarah berupa bangunan kolonial. Selanjutnya dari masa pergerakan nasional, Sukabumi merupakan tempat pembuangan para tokoh pergerakan nasional. Pun demikian, dari masa pendudukkan Jepang dan masa periode perang kemerdekaan. Sukabumi panggung sejarah yang secara umum dapat dipertimbangkan sebagai bahan bagi pertimbangan penggunaan sejarah lokal dalam rangka pembelajaran sejarah. Sebagian besar dari aneka peninggalan sejarah tersebut telah didokumentasikan dalam aneka bentuk foto, VCD, dan buku. Mengingat hal tersebut, pembelajaran sejarah lokal menjadi bagian pada mata pelajaran yang diajarkan di dalam kelas. Respon Murid terhadap Pelajaran Sejarah Ade Munajat meyakini bahwa pembelajaran sejarah yang variatif, menantang, sekaligus menyenangkan bukan merupakan satu-satunya faktor yang dapat menumbuhkan respon antusias siswa dalam belajar sejarah. Faktor lain yang sangat signifikan adalah kepribadian guru. Kepribadian guru yang luwes, familiar, mau mendengar,
24
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
dekat dengan siswa, penuh perhatian, kasih sayang, ikhlas, luas cakrawala pengetahuan yang melekat dengannya keterampilan pembelajaran yang variatif, menantang, sekaligus menyenangkan merupakan faktor yang kuat yang menstimulan siswa belajar sejarah bahkan kemudian mengidola menjadi guru sejarah. Kesulitan dalam Mengajarkan Sejarah Kesulitan yang sering dijumpai adalah masalah ketersedian bahan pembelajaran, kepiawaian menggu-
nakan media pembalajaran yang sangkil dan mangkus, selalu mau tahu dan terus belajar mengenai hal yang baru yang relevan dengan ilmu yang dibelajarkan mengurangi kesulitan-kesulitan dalam mengajarkan pelajaran sejarah. Dalam hubungan itu guru adalah murid yang tidak pernah berhenti belajar.
Siswa-siswi SMAN 1 Cibadak, Sukabumi
Kegiatan belajar mengajar di SMAN 1 Cibadak, Sukabumi
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
25
Pembelajaran Sejarah Melalui Media Museum Sebagai Upaya Membangun Karakter Bangsa Oleh: Drs. Suparman Pendidik Sejarah (IKIP Jakarta 1986), Sekjend AGSI
“Pembelajaran Sejarah Melalui Media Museum Sebagai Upaya Membangun Karakter bangsa“, itulah tema seminar yang diangkat oleh Komunitas Historia Indonesia (KHI) pada tanggal 21 Juli 2010 yang diselenggarakan bersama dengan manajemen Museum Bank Indonesia (MBI) dalam rangka memperingati satu tahun diresmikannya MBI oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono setahun yang lalu. Saya hadir setelah mendaftar melalui email seperti yang diminta oleh KHI melalui publikasinya di jejaring sosial Facebook. Dalam publikasi tersebut tercantum tema “Menggugat Pembelajaran Sejarah“, dengan menghadirkan pakar kurikulum pendidikan sejarah Prof. Dr. Said Hamid Hasan (Guru Besari UPI, sekaligus penasehat Asosiasi Guru sejarah Indonesia/AGSI) dan Dr. Hermana (Pusat Kurikulum Depdiknas). Pembicara lain adalah ketua KHI sendiri Asep Khambali dan praktisi pendidikan dari Labschool, Shobirinnur Rasyid. Acara bertempat di Auditorium MBI, dan menurut publikasi akan dimulai pukul 07.00 pada hari Rabu, 21 Juli 2010. Seminar mulai jam 7 pagi? Inilah salah satu yang mengundang ketertarikan saya untuk ikut seminar ini. Ada apa gerangan seminar dimulai jam 7 pagi? Saya mengira mungkin panitia mencoba komitmen dengan tema membangun karakter bangsa dan bermaksud mengajak peserta untuk berpihak pada pendapat “lebih pagi akan lebih baik” atau mungkin juga panitia sudah mengantisipasi bahwa biasanya kita akan datang telat 1 sampai 2 jam untuk memenuhi sebuah undangan, dengan kata lain panitia berkompromi pada karakter orang Indonesia yang suka ‘ngaret’ alias telat waktu. Sebagai seorang pendidik saya mencoba untuk tidak terlambat. Tujuh menit sebelum jam 7 pagi saya sudah tiba di MBI. Masih sepi. Bersyukur sudah ada beberapa anak muda ditambah satu orangtua dengan puterinya berada di depan meja registrasi. Saya hitung ada sekitar 7 orang. Ada
26
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
satu orang panitia yang terlihat agak resah, sepertinya menunggu kawannya yang tidak kunjung datang membawa lembar registrasi peserta padahal waktu sudah di atas jam 7. Awalnya saya mengira jangan-jangan cuma dia satu-satunya panitia yang datang lebih awal dan panitia yang lain seperti biasanya pasti telat. Tetapi saya berlega hati ketika mencoba ‘nyelonong’ masuk ke auditorium MBI ternyata saya melihat sosok anak muda yang wajahnya sudah sering terlihat di jejaring Facebook, media cetak dan televisi, dialah Asep Khambali, Ketua KHI. Dalam hati saya bergumam ”Cukup berkomitmen, sudah berada di tempat sebelum tamu undangan datang“. Ternyata alasan mengantisipasi orang datang ‘ngaret‘ menjadi alasan utama undangan seminar menyebutkan jam 7 pagi. Buktinya setelah ruangan cukup padat pun dan jam sudah menunjukkan pukul 9 acara belum dimulai. Alasannya masih menunggu satu pembicara yang belum datang. Setelah cukup bergeser jauh dari waktu yang ditentukan- karena lebih dulu diawali dengan acara coffee morning yang tempatnya cukup jauh untuk menjangkaunya , maka acara pun dimulai. Sesi pertama menampilkan pembicara Ketua KHI Asep Khambali, Pakar kurikulum sejarah dan penasehat Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Bapak Prof. Dr. Hamid Hasan dan seorang siswi SMA Negeri di Jakarta. Asep Khambali memulai paparannya dengan memperkenalkan sejumlah kegiatan yang dilakukan KHI dalam rangka membangun kecintaan masyarakat Indonesia khususnya anak-anak muda dan remaja agar mereka mencintai sejarah bangsanya sendiri melalui kegiatan jalan-jalan mengelilingi kota tua yang didalamnya terdapat sejumlah bangunan-bangunan tua yang telah dijadikan museum dan lingkungan kota tua yang meninggalkan jejak-jejak sejarah masa lampau. Dari kegiatan KHI selama ini ia menyimpulkan bahwa melalui kecintaan anak-anak terhadap museum maka sebenarnya kita dapat menanamkan dan membangun karakter bangsa dengan menyodorkan sejumlah peristiwa yang patut diteladani atau menjadi contoh ketidak pantasan yang pernah dilakukan oleh manusia dan tentu tidak boleh ditiru. Ia mengingatkan betapa pentingnya belajar sejarah bagi generasi muda. Bahkan ia menyampaikan suatu pendapat yang sudah sering dipublikasi bahwa untuk mengahancurkan suatu bangsa dengan mudah dapat dilakukan dengan cara menghilangkan memori kolektif, terutama memori kolektif generasi mudanya. Ia mencontohkan saat ini saja masyarakat sudah melupakan 600 bahasa daerah yang ada di masyarakat kita padahal bahasa daerah yang kita miliki mencapai 800 bahasa daerah. Oleh karena itu menjadi sangat penting bagi generasi muda untuk memiliki memori kolektif yang kuat terhadap sejarah bangsanya sendiri. Untuk membuat para remaja/anak muda/pelajar tertarik pada museum dan sejarah, Asep Khambali menawarkan beberapa cara:
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
1. Penyajian materi pembelajaran harus dibuat semenarik mungkin. Contohnya ia selalu menekankan bahwa dalam setiap pembelajaran/berkomunikasi dengan anak-anak sekolah/remaja tidak membolehkan anakanak tersebut memegang buku tulis untuk mencatat apa yang disampaikan. Mengapa? Supaya anak-anak konsentrasi dan fokus pada materi yang sedang digali bersama dan tidak hilang konsentrasinya karena berbagi waktu untuk menulis semua catatan. Dengan berdialog lepas diharapkan anak-anak langsung dapat merekam hal-hal penting yang didiskusikan bersama; 2. Pendidik semestinya pandai berperan sebagai orang yang mampu menghidupkan suasana kehidupan masa lalu dengan menceritakan sejumlah kisah/persitiwa dan tokoh-tokoh utama dalam peritiwa tersebut. Dengan demikian anak-anak akan tertarik pada peristiwapristiwa yang disampaikan penuh dengan penghayatan oleh sang pendidik; 3. Penampilan pendidik juga menjadi faktor penting yang dapat menjadikan anak-anak semakin tertarik dengan cerita-cerita yang disampaikan karena senangnya melihat penampilan si pendidik yang enak dipandang mata; 4. Mengajak anak-anak mengenal lebih dekat lagi dengan bukti-bukti sejarah yang menjadi topik pembahasannya di kelas. Anak-anak sangat perlu untuk diajak ke tempat-tempat bersejarah yang dibahas dalam pelajaran-pelajaran sejarah di kelas; 5. Menilai anak bukan atas kemauan guru/kita tetapi atas kekuatan motivasi anak untuk melakukan atau menghasilkan sesuatu. Ia juga mengungkapkan fakta bahwa umumnya pelajaran sejarah di sekolah belum mampu memberi motivasi kepada anak untuk menyukai sejarah dan bahkan menjadi pelajaran yang membosankan. Banyak faktor penyebabnya, salah satunya adalah faktor pendidik yang belum begitu menarik dalam menyampaikan pelajaran tersebut. Dalam kesempatan tersebut tampil seorang siswi SMA di Jakarta yang bercerita tentang bagaimana ia sebenarnya menyukai hal-hal yang berbau sejarah tetapi menjadi merasa bosan ketika ia belajar di kelas karena sang guru selalu menyampaikan fakta-fakta peristiwa yang mesti dihafalkannya . Agar kesukaannya pada sejarah tetap bisa disalurkan tanpa harus merasa bosan di sekolah maka ia mengikuti kegiatan-kegiatan diluar sekolah seperti mengikuti kegiatan KHI. Ia juga menyampaikan bahwa kecintaannya pada sejarah bukan karena motivasi yang tumbuh di sekolah tetapi karena Ibu dan neneknya memiliki kesukaan yang sama. Pada sesi paparan berikutnya Prof. Dr. Hamid Hasan menyampaikan beberapa hal : 1. Kekeliruan dalam pembelajaran sejarah di sekolah salah satu faktor penyebabnya memang guru. Tetapi kita tidak bisa begitu saja menyalahkan guru karena kondisi kerja guru seperti itu juga dipengaruhi faktor
27
faktor lain seperti kebijakan makro yang tidak memberi ruang kreativitas kepada guru. Dengan kebijakan pendidikan yang lebih mengutamakan aspek kognitif semata maka mau tidak mau guru pun ‘terjebak’ dalam arus kebijakan tersebut. Usaha untuk berkreasi menjadi sempit ruangnya karena waktunya habis untuk menyelesaikan sejumlah tugas-tugas yang menyebabkan guru tidak kreatif. Sudah semestinya kita tidak hanya menyalahkan guru tetapi justru membantu para guru supaya berdaya untuk melakukan perubahan-perubahan. Kita memang perlu membantu guru untuk merubah paradigmanya sendiri tetapi juga harus membantu guru-guru untuk merubah sistemnya; 2. Beban kerja guru juga sangat mempengaruhi tinggirendahnya kreatifitas/kualitas guru. Di Indonesia beban kerja guru sangat berat. Umumnya 85 % guru menjalani beban kerjanya. Sementara di Inggris paling tinggi 65 % dan Singapura cuma 35 % saja. Itu artinya guru-guru di Inggris mempunyai waktu 35 persen untuk keperluan istirahat, rekreasi dan kegiatan diluar beban kerja, di Singapura guru-guru lebih banyak lagi waktunya untuk istirahat, rekreasi dan keperluan-keperluan lain diluar kerja yaitu 65 %. Di Indonesia guru punya waktu untuk istirahat, rekreasi dan keperluan diluar kerja hanya 15% ! 3. Terkait dengan pendapat yang menyebutkan bahwa sejarah menjadi tidak menarik karena tidak dijadikan pelajaran utama yang di UN kan dalam skala nasional maka Prof Hamid berpendapat bahwa memang sebaiknya pelajaran sejarah tidak di-UN-kan. Mengapa? Karena jika di -UN-kan pelajaran sejarah justru akan menumpulkan kreativitas anak didik. Contoh, saat ini tidak di-UN-kan saja pelajaran sejarah terjebak pada kepentingan mengejar target kelulusan melalui Ujian Sekolah, bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika pelajaran sejarah di UN-kan. UN menurut Prof Hamid justru merupakan musibah dalan kebijakan kita karena telah menumpulkan kreativitas anak-anak didik; 4. Ada baiknya dipikirkan bahwa pendidikan sejarah tidak mengajar banyak hal kepada anak didik tetapi
dalam satu semester hanya mempelajari satu pokok pembahasan saja tetapi fokus dan pada akhirnya (akhir semester) anak dapat menghasilkan sesuatu (menghasilkan sejarah); 5. Terkait dengan pembelajaran nilai, maka patut dibahas/didiskusikan mengapa Soekarno yang memiliki kesarjanaan sebagai insinyur lebih memilih berjuang daripada kerja sebagai seorang enginering yang tentunya akan sangat prospektif pada masa itu untuk kehidupannya? Mengapa pula Moh. Hatta yang berasal dari keluarga berada dan memiliki kesarjanaan di bidang ekonomi lebih memilih menjadi pejuang daripada menjadi seorang ekonom yang menjanjikan hidupnya? Bagaimana pula dengan Cipto Mangunkusumo yang lebih memilih posisi sebagai pejuang daripada memilih karir kedokterannya yang menjanjikan. Diskusi tentang pilihan-pilihan hidup para pejuang tentu sangat menarik untuk membangun nilai kejuangan dan pemihakan kepada kemanusiaan pada anak didik. 6. Belajar sejarah adalah belajar tentang kehidupan, sangat penting. Oleh karena itu bagaimana merubah kebijakan/sistem sekarang yang tidak mendukung makna pembelajaran sejarah? Perlu ada revolusi pendidikan! Seminar diakhiri dengan jelajah sejarah mengelilingi situs Museum Bank Indonesia. Gratis! Bravo untuk KHI !
KHI: Seminar “Pembelajaran Sejarah Melalui Media Museum Sebagai Upaya Membangun Karakter bangsa�, Jakarta, 21 Juli 2010
KHI-5: Salah satu koleksi Museum Bank Indonesia
28
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
Antara Kita, Nyai, dan Pergundikan di Hindia Belanda
Judul Asli Judul Terjemahan Penulis Penerbit Tahun Terbit Kota
: De Njai: Concubinaat in Nederlands-Indie : Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda : Reggie Baay : Komunitas Bambu : 2010 : Jakarta
Banyak laki-laki muda datang ke Nederlandsh Indie dengan harapan dapat membina masa depan yang lebih baik. Mereka semua bujangan yang masuk dinas tentara, pemerintahan, atau onderneming. Namun, selama beberapa tahun mereka tidak boleh membawa istri. Maka, banyak di antara mereka itu berkumpul kebo dengan seorang nyai. Hubungan seperti ini seringkali tidak tahan lama karena alasan berbeda-beda. Kadang anak laki-laki keturunan mereka dikirim ke Belanda untuk belajar, kadang ditinggalkan saja oleh ayahnya dan ibu sendiri kurang mampu. Banyak anak dari hubungan seperti ini tak bersekolah, kurang mengenal agama, tidak mempunyai keahlian. Karena alasan serupa kaum putri sukar mendapat suami yang baik (Di Sini Matahariku Terbit, 150 Tahun Perhimpunan Vincentius Jakarta, 2005, hal 21). Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
29
Saya adalah salah satu guru sejarah di sekolah Saint Joseph (SD, SMP, SMK). Sekolah ini bernaung di bawah payung Yayasan Perhimpunan Vincentius Jakarta (PVJ). Sejak awal berdiri, sekolah Sint Joseph mayoritas terdiri dari anak-anak Panti Asuhan Vincentius Putra dan Putri yang juga bernaung di bawah Yayasan PVJ. Lembaga ini telah didirikan sekitar tahun 1856 sebagai upaya mengatasi keprihatinan Gereja atas banyaknya anak-anak IndoBelanda di Batavia yang tidak mendapatkan kehidupan yang sepantasnya. Latar belakang PVJ sebagai wadah untuk menampung anak Indo di abad IX, sangat menarik bagi saya sehingga setiap kali membahas materi era pendudukan bangsa Eropa di Indonesia, pasti tak lupa membahas tema tentang Nyai dan Pergundikan dengan mengkaitkan sejarah PVJ. Nampaknya pembahasan tema khusus ini mendapat sambutan baik dari anak-anak yang begitu antusias dengan sejarah tempat mereka tinggal. Hanya saja, tak gampang untuk mendapatkan informasi yang memadahi agar dapat menggambarkan bagaimana kehidupan pernyaian dan pergundikan di era itu. Sumber informasi yang saya pergunakan lebih banyak dari sastra misalnya Nyai Dasima dan tetralogi karya Pramudya Ananta Toer.
Dalam buku tersebut diungkapkan, berdasarkan penelitian H. Van Kol yang telah melakukan perjalanan di Nusantara, pada tahun 1902, penduduk Eropa di Jawa dan Madura mencapai 75.833 orang dan 51.379 di antaranya merupakan Indo-Eropa. Lebih jauh lagi, 17.000 orang dari seluruh Indo-Eropa hidup dalam kemiskinan dan kesengsaraan (hal 177). Dengan mengandaikan masingmasing orang mempunyai dua orang keturunan selama dua generasi maka ada sekitar 204.000 orang yang kini mempunyai hubungan darah dengan para Nyai. Hal itu tidak mengada-ada, sebab di Belanda saja pada tahun 2008, diperkirakan terdapat 800.000 orang yang memiliki akar ”nenek moyang” dari Hindia Belanda atau Indonesia (hal xvi). Fakta keberadaan Nyai dan keturunan Nyai masih banyak terpendam dalam rimba sejarah mengingat begitu banyak hal yang menimbulkan dilematis baik bagi pemerintah Hindia Belanda kala itu, pihak lelaki Eropa yang melakukan pergundikan, wanita pribumi yang menjadi nyai, maupun keturunannya. Reggie Baay menceritakan bagaimana ia tidak pernah diberikan penjelasan oleh ayahnya, yang seorang Indo, tentang keberadaan neneknya. Setelah ayahnya meninggal, ia baru tahu bahwa neneknya bernama Moenah, seorang perempuan berasal dari Solo, Jawa Tengah, yang lahir sekitar tahun 1900. Keberadaan Moenah tak diketahui rimbanya sejak ia menyepakati akta penyerahan anak kandungnya kepada Louis Henri Adriaan Baay (kakek Reggie Baay). Tak lama setelah itu, ia
diperintahkan pergi (sebutan waktu itu ”dikirim kembali ke kampung”) guna memberi tempat kepada perempuan 09 19 un tah t ua ganya. Foto dib i) bersama keluar Eropa yang akan menjadi Srie (kedua dari kir istri resmi. Kenyataan seperti itu menjadi pengalaman traumatis bagi ibu maupun anak, terbukti dari sikap ayah Reggie Baay yang mencoba menutup rapat-rapat sejarah ibunya. Beruntung sekali ketika terbit buku Nyai & Kenyataannya, ia sebenarnya mempunyai salinan akta Pergundikan di Hindia Belanda karya Reggie Baay. Buku yang coba ia ”sembunyikan” dan baru diketahui anaknya ini seolah menjadi solusi dari kekurangan itu. Bahkan, setelah ia meninggal (hal xvi-xvii). Reggie Baay sesungguhnya tidak hanya berjasa bagi saya tetapi juga bagi bangsa Indonesia. Besar kemungkinan, Dalam buku Baay, secara garis besar praktek masih banyak generasi Indonesia saat ini yang sebenarnya pergundikan banyak terjadi di dalam dunia sipil, tangsi mempunyai pertalian darah dengan sejarah Nyai dan (tentara Hindia Belanda), dan perkebunan-perkebunan Pergundikan. terutama di Deli Sumatera. Semua praktek pergundikan
30
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
tersebut, menempatkan para nyai dan anak-anak yang dihasilkan sebagai korban dari praktek pergundikan kolonial Belanda.
Tjoe Tanah bersama para putrinya Foto dibuat tahun 1919
Bagi para Nyai, menjadi gundik pria Eropa merupakan salah satu pilihan tidak gampang. Kebanyakan mereka berasal dari keluarga miskin dan terbelakang. Tetapi ada juga yang berasal dari keluarga mapan dan dijodohkan kepada lelaki Belanda karena orang tuanya haus jabatan. Anak perempuan mereka, dalam beberapa kasus justru ”dijual” orang tuanya yang tak mampu atau motif agar naik jabatan. Di satu sisi, dengan bekerja sebagai pengurus rumah tangga dan ”teman tidur” majikan Eropa, ia bisa mendapat kebutuhan hidup dan terhindar dari kelaparan. Di sisi lain, di mata masyarakat, menjadi Nyai dipandang sebagai perempuan rendah seperti pelacur yang hidup bersama kafir. Ia juga bisa saja sewaktu-waktu diusir untuk memberi tempat pada perempuan Eropa yang akan menggantikannya menjadi istri resmi majikan. Anak-anak dari hasil pernyaian, sebagian diakui oleh sang ayah, tetapi malang bila anak-anak itu tak diakui dan
. Foto dibuat tahun 1897
Minah dan Thomas dan kedua anak tertua mereka
harus ikut sang Nyai setelah diusir. Tidak banyak anak Indo yang kemudian berhasil. Satu di antaranya yang mampu bangkit dari perlakuan diskriminasi adalah E.F.E. Douwes Dekker yang menjadi tokoh penting di era Kebangkitan Nasional melalui Indische Partij yang ia dirikan (hal 189). Namun banyak anak indo yang masuk lubang kemiskinan seiring pengusiran sang Nyai. Saat kembali di kampung, Nyai dan anak tersebut tersisih dari masyarakat. Secara fisik keturunan Eropa, tetapi hidup bersama pribumi, bahkan tanpa peninggalan nama Eropa sebagai tanda untuk mengetahui siapa ayahnya. Anakanak inilah yang besar kemungkinan banyak ditampung oleh Panti Asuhan Vincentius di abad IX. Sama halnya seperti diceritakan dalam buku ini tentang Van der Steur, seorang penyebar agama Kristen di daerah Magelang Jawa Tengah. Karena prihatin dengan begitu banyaknya anak-anak hasil pergundikan para tentara Hindia Belanda (tangsi), ia mendirikan panti asuhan ”Pa” van der Steur untuk menampung dan mendidik mereka (hlm. 117-118). Terhadap praktek pergundikan, sebenarnya Pemerintah Hindia Belanda banyak mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Hanya saja, motif ekonomi penjajahan nampaknya selalu lebih diutamakan. Di tengah keterbatasan perempuan Eropa di Hindia Belanda, Nyai adalah solusi untuk memenuhi kebutuhan biologis lakilaki Belanda yang jauh dari negerinya. Walaupun praktek tersebut dianggap dapat mengurangi kehormatan bangsa Eropa sebagai ras yang unggul, namun tetap dipandang lebih menguntungkan. Sebab, dengan pergundikan, laki-laki Eropa yang bekerja sebagai tentara, pekerja perkebunan, maupun pemerintahan dimudahkan dari Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010
31
pekerjaan rumah tangga dan dorongan seksual sehingga dapat maksimal menjadi mesin kolonial. Hanya saja, yang selalu menjadi korban justru para Nyai dan anak-anak yang dilahirkannya. Mereka tetap diperlakukan tidak sama dengan bangsa Eropa melalui praktekpraktek diskriminasi. Ras pribumi dan campuran tetap dipandang lebih rendah dari ras Eropa. Sampai sekarang, sebenarnya pertalian darah antara nyai, anakanak hasil pergundikan, dan kita yang hidup sebagai generasi masa kini, belum diungkap secara gamblang. Bisa saja, di antara kita juga ada keturunan mereka. Dan, Reggie Baay telah mempelopori bagaimana itu bisa diungkap. Mungkin apa yang dilakukan Baay, dapat juga merangsang sejumlah selebritis yang merasa bangga karena dirinya seorang Indo yang secara fisik cantik, ganteng, berbeda dengan fisik pribumi. Maka ia patut pula bertanya siapa nenek moyangnya. Jika benar, kebanggan yang tak layak itu berdiri di atas derita dan kepedihan sang Nyai.
Jakarta, 13 Agustus 2010 Penulis Taat Ujianto, SPd
Djoemiha bersama keluarganya. Foto
32
diambil sekitar tahun 1918
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI // OKTOBER 2010