Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
1
Pengantar Redaksi:
Memahami Peran Perempuan dalam Arus dan Pusaran Sejarah Indonesia
P
ara pembaca yang budiman, khususnya para guru sejarah di seluruh Indonesia, Jurnal AGSI kembali hadir di tengah-tengah Anda. Kehadiran kali ini melalui edisi kami yang keempat yang mengusung tema: Peran Perempuan dalam Arus Sejarah. Secara khusus, edisi ini kami persembahkan sebagai bingkisan di hari Guru, 25 November. Semoga melalui jurnal ini, para guru sejarah dapat memaknai hari guru secara lebih bermakna. Hal pokok yang melatarbelakangi tema tersebut ialah, pertama: perempuan memang sungguh-sungguh telah absen dalam sejarah kita. Cobalah periksa buku-buku sejarah kita! Seberapa banyak perempuan dihadirkan di sana? Kalaulah ada, dapat dipastikan perempuan hanya sekadar objek pelengkap penderita kaum lelaki. Sejarah kita dengan demikian telah memarjinalkan kaum perempuan. Padahal, mungkinkah sejarah mampu terus meng-arus tanpa perempuan? Bukankah sejarah mengajarkan bahwa sosok lelaki bisa menjadi hero karena ada perempuan hero yang mendampinginya? Jadi, di balik namanama besar –yang hampir seluruhnya adalah kaum lelaki– dalam sejarah kita, menjadi besar karena peran kaum perempuan yang setia mendampinginya. Itulah sebabnya, menjadi sangat menarik mempertanyakan bagaimana perempuan dalam arus dan bahkan pusaran sejarah kita. Kedua, atas dasar pemikiran di atas, muncul pertanyaan: apakah perempuan mempunyai sejarah? Menyusul pertanyaan lain, seberapa pentingkah peran perempuan dalam perjalanan sejarah kita? Dalam hubungan itu, rubrikasi kami kali ini diarahkan untuk menjawab pertanyaan di atas. Rubrik Sajian Utama menyajikan tulisan yang diharapkan menambah wawasan kita menyangkut keberadaan tokoh perempuan yang tak asing bagi kita, Kartini. Kendati ia begitu populer sebagi tokoh emansipasi wanita, namun banyak hal yang belum tentu kita ketahui, salah satunya mengenai pemikirannya tentang multikulturalisme. Didi Kwartanada akan memaparkan seputar masalah tersebut. Wawasan kita mengenai tokoh perempuan, juga akan diperkaya dengan tulisan Ratna Hapsari yang akan menceritakan tokoh perempuan lain yang dikenal sebagai pejuang lautan. Tokoh ini jarang dikenal khalayak. Namun, melalui penjelajahan semasa hidupnya, kita dapat mengetahui sumbangsih yang yang ia berikan dan sangat relevan dengan situasi Indonesia saat ini. Bagaimana konteks kehidupan perempuan-perempuan tersebut yang mendorong lahirnya pikiran-pikiran emansipatif? Apa kontribusi terbesar dari pemikiran tersebut? Apa relevansinya dengan situasi Indonesia saat ini? Bagaimana pemikiran tersebut terus hidup (atau mati) dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa kini? Sajian utama berikutnya, ditulis oleh FX. Domini B. B. Hera. Ia mengulas tentang kehidupan wanita penghibur asal Jepang pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Walaupun dianggap sebagai sampah masyarakat, namun kelompok ini ternyata memberikan kontribusi besar dalam perekonomian Jepang di masa-masa kemudian. Masih dalam rubrik Sajian Utama, Ade Munajat, Guru Sejarah di SMA Negeri 1 Cibadak Sukabumi Jawa Barat, menyajikan artikel mengenai Peran Perempuan pada Masa Pemerintahan Orde Baru Dilihat dari Perspektif HAM. Rubrik kedua mengenai Profil dan Inovasi Guru. Menampilkan kiprah guru sejarah, tentu saja guru perempuan. Namanya Maria Yovita Sri
2
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
3
KARTINI: PELOPOR PLURALISME Didi Kwartanada 1
Wuryaningsih. Beliau adalah guru sejarah di SMA Negeri 70 Jakarta. Bu Sri, demikian panggilan akrabnya, berikhtiar bagaimana membuat pengalaman belajar sejarah menjadi menyenangkan bagi siswa? Menurutnya, beberapa cara dapat ditempuh, yakni, sebagai berikut: mengajak para siswa tidak hanya sekadar mampu menjawab pertanyaan who, when, where saja dalam sejarah, tetapi para siswa harus diajak mencoba mengerti “something behind the fact”. Apa sebenarnya yang mendasari atau memotivasi seseorang, sekelompok orang, atau masyarakat bahkan bangsa melakukan aktivitas penting yang menjadi peristiwa sejarah itu. Dari sana, selanjutnya bisa dikaji nilai-nilai luhur, nilai spiritual, serta motivasi yang mendorong perilaku. Dari situlah siswa bisa belajar memaknai peristiwa masa lalu sebagai cermin dan teladan bagi sikapnya menghadapi kehidupan dan kekinian. Karena semestinya orang itu bertindak dengan meniru atau mengambil contoh masa lalunya sebagai acuan dan inspirasi yang positif untuk menghadapi masalahnya di masa sekarang. Rubrik ketiga Liputan. Liputan kali ini mengenai: Mengenal Sisi Lain Sejarah Jakarta Bersama Komnas Perempuan dan MGMP Sejarah DKI Jakarta. Liputan ditulis oleh Nani Asri Setyani Guru Sejarah SMA Negeri Unggulan M.H. Thamrin Jakarta. Sisi lain dimaksud yakni hal yang bersangkut paut dengan napak tilas Reformasi. Napak tilas dilakukan dengan menyusuri situs-situs sejarah yang terkait peristiwa Tragedi Mei 1998. Tujuan kegiatan ini adalah mengungkap berbagai fakta dan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) peristiwa Mei 1998 kepada para siswa dan pengajar sejarah khususnya di tingkat SLTA. Informasi-informasi yang berhasil dikumpulkan nanti akan dikemas sebagai bahan ajar yang siap pakai. Rubrik keempat Kolom Serba Serbi. Kolom ini ditulis oleh Taat Ujianto Guru SMP Sint Joseph dan Anggota ISSI. Judulnya kolomnya ialah Kartini VS Ratu Kalinyamat. Dalam kolom dimuat ihwal Ratu Kalinyamat dan Kartini yang telah berjasa dan ikut berkontribusi dalam memberikan hikmah sejarah. Keduanya adalah pendekar pada zamannya. Keduanya patut dihormati dan tak ada mana yang paling hebat dan mana yang lebih lemah. Kalau pun kemudian ada gelar “pahlawan” yang disematkan oleh negara terhadap Kartini, bukan berarti tokoh lain seperti Sang Ratu dimaksud bukan pahlawan karena, menurut penulisnya, yang berwenang menentukan pahlawan atau bukan, bukanlah hanya mutlak di tangan negara. Berikutnya Rubrik kelima adalah Klinik Pembelajaran Sejarah. Seperti biasanya rubrik ini akan mendiskusikan kemungkinan-kemungkinan pilihan alternatif dalam memecahkan persoalan kesulitan dalam pembelajaran sejarah. Rubrik ini diasuh oleh Presiden Asosiasi Guru Sejarah Indonesia. Rubrik terakhir, ialah Resensi Buku. Kali ini buku yang diresensi berjudul Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa. Penulisnya Kamala Chandrakirana, Ayu Ratih, dan Andy Yentriyani. Buku tersebut diterbitkan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Para pembaca yang budiman, edisi kali ini lahir dari suasana bulan Ramadhan, suasana libur menjelang Hari Raya Idul Fitri termasuk perayaan Hari Raya Idul Fitri tersebut. Dalam hubungan itu, kiranya segenap Tim Redaksi mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Mohon Maaf Lahir dan Bathin. Semoga, setiap kita berlapang dada membuka pintu maaf bagi setiap kesalahan dan berkehendak membuka lembaran sejarah baru yang penuh kedamaian dan kesejahteraan serta kerukunan. Amin. Majulah bangsaku! Semoga! Salam Jasmerah! 4
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
R
Kami ingin benar berhubungan dengan orang-orang dari berbagai bangsa, kepercayaan dan aliran (Surat Kartini kepada Ny Abendanon-Mandri, 14-12-1902) (Kartini 2000: 401)
aden Ajeng Kartini (1879-1904) adalah salah satu dari sedikit Pahlawan Nasional Indonesia berjenis kelamin perempuan. Dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 tanggal 2 Mei 1964, Soekarno menganugerahkan gelar tersebut atas dasar bahwa Kartini adalah seorang pejuang emansipasi perempuan. Tidak sekedar diangkat menjadi Pahlawan, hari kelahirannya pun setiap tahun diperingati sebagai “Hari Kartini” secara nasional. Namun ketokohan Kartini seringkali diidentikkan dengan busana daerah yang mesti dikenakan anak-anak sekolah dasar di setiap hari ulang tahunnya. Pemikiran R.A. Kartini sudah banyak dikaji sarjana Indonesia maupun manca negara,2 namun pemikirannya tentang pluralisme, suatu isu yang relevan bagi keadaan Indonesia dewasa ini, seperti tercermin dari kutipan di atas, belum banyak diungkap. Berbeda dengan golongan elit pribumi semasa, ternyata Kartini justru memiliki pandangan positif akan etnis Tionghoa dan Arab. Keduanya dimasukkan sebagai kelompok “Timur Asing” sekaligus “perantara” di masa kolonial. Bahkan golongan Tionghoa dianggap sebagai kelompok “pariah” (liyan). Kolonial Belanda yang memiliki keterbatasan sumberdaya manusia, melihat bahwa Tionghoa bisa menjadi perantara antara mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (hak pengelolaan) jalan tol, candu, rumah gadai, dll. Akhirnya beberapa pengusaha Tionghoa, menjadi sangat kaya. Kedudukan ekonominya cukup mapan, namun mereka dibenci oleh rakyat. Inilah yang memang diinginkan oleh penguasa kolonial, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” di saat terjadi kerusuhan menentang penguasa. Kedudukan politik etnis Tionghoa yang demikian lemah menjadikannya sasaran empuk dalam setiap tindak kekerasan. Tanpa mempunyai perlindungan sedikit pun, etnis Tionghoa selalu dijadikan kambing hitam dan korban kesewenang-wenangan. Dalam teori ilmu sosial, fenomena 1 Penulis adalah Sejarawan, staf di Yayasan Nabil, Jakarta. Email: kwartanada@gmail.com 2 Lihat antara lain Haryati Soebadio dan Saparinah Sadli, Kartini: Pribadi Mandiri (Jakarta: Gramedia, 1990); Th Sumartana, Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini (Jakarta: Grafiti Pers, 1993); dan Elisabeth Keesing, Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan dan Karya Kartini (Jakarta: KITLV-Djambatan, 1999).
ini disebut “middlemen minority” (minoritas perantara). 3 Membuka ulang surat-surat Kartini tentang pluralisme, terasa bahwa pemikirannya masih relevan dewasa ini, ketika kanvas kemajemukan banyak terkoyak. Pemikiran Kartini tentang pluralisme sempat cukup lama (di)hilang(kan) dan tidak tersedia bagi publik pembaca berbahasa Indonesia. Dalam kumpulan surat-surat Kartini yang diseleksi oleh mentornya, Abendanon, Door Duisternis tot Licht (DDTL, cetakan 1, 1911), terdapat dua surat yang berbicara soal orang Tionghoa. Pertama, surat tertanggal 17/6/1902 kepada Ny De Booij-Boissevain, Kartini sangat terkesan dengan kabar beberapa perempuan Tionghoa yang hendak menempuh ujian guru. Serunya “Hura! Untuk kemajuan! Saya sungguh gembira tentang hal itu! Orang-orang Cina sangat keras dalam mempertahankan adat: sekarang kita lihat juga, bahwa adat yang paling keras dan paling lama dapat dipatahkan juga! Saya mendapat semangat dan harapan! (Kartini 1985: 213) Nampak di sini bahwa kemajuan di kalangan putri Tionghoa itu banyak menginspirasi Kartini. Dilanjutkannya: “Ingin benar saya berkenalan dengan anak-anak Cina yang berani itu! Ingin sekali saya hendak tahu pikiran, cita-cita dan perasaan mereka, jiwa mereka! Selamanya saya ingin mempunyai teman Cina!” (Kartini 1985: 213) Bagi Kartini, tidak ada sekat-sekat dalam pergaulan, walau nanti kita tahu, bahwa ayahnya melarangnya bergaul dengan orang Tionghoa. Kedua, dalam suratnya kepada Ny.R.M. Abendanon-Mandri, tanggal 27/10/1902, diceritakan bahwa dia pernah sakit keras, tidak ada yang bisa menolong, termasuk dokter Eropa. Kartini baru sembuh setelah oleh seorang Tionghoa disuruh minum abu lidi sesaji dari Klenteng di Welahan. Maka dengan penuh syukur dikatakannya “bahwa saya anak Buddha” (Kartini 1985: 286). Ironisnya, ketika DDTL diterjemahkan secara selektif oleh Armijn Pane, Habis GelapTerbitlah Terang (cetakan ke-1, 1938, cetakan ke-28, 2009), kedua surat itu ternyata tidak diikutkan. 3 Lebih jauh tentang “middlemen minority” lihat Didi Kwartanada, “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern”, http://web.budayationghoa.net/the-history-of-china/dinasti-xia/243-tionghoa-dalam-dinamikasejarah-indonesia-modern-refleksi-seorang-sejarawan-peranakan (diakses 12 September 2011).
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
5
Barulah di tahun 1979, Sulastin Sutrisno menerjemahkan DDTL secara utuh. Pada tahun 1987 di Belanda terbit kumpulan surat Kartini yang lebih lengkap, ditujukan kepada Ny Rosa Abendanon-Mandri dan suaminya, Abendanon. Dua tahun kemudian, muncul edisi terjemahan lengkapnya, yang kembali diterjemahkan Sulastin. Di sini gagasan dan komentar Kartini tentang kemajemukan semakin banyak terungkap. Surat Kartini bertanggal 3/1/1902 kepada Ny Abendanon memuji Oei Tiong Ham, konglomerat asal Semarang,4 sebagai seorang filantropis yang banyak menolong orang miskin dan “ayah anak-anak perempuan yang sangat maju. Seorang diantaranya pasti pandai luarbiasa dan mempunyai rencana pergi ke Eropah untuk belajar menjadi pengacara— hebat!” (Kartini 2000: 219). Dapat diperkirakan, yang dimaksud adalah Oei Tjong Lan, putri sulung keluarga Oei dan kakak dari Oei Hui Lan, yang kemudian menjadi Madame Wellington Koo yang ternama. Dengan rada kemayu, Kartini melanjutkan ‘Sayang mereka tidak mempunyai saudara lakilaki, kami pasti akan mengambil hatinya” (Kartini 2000: 220). Nampak Kartini begitu terpesona dengan keluarga yang ber-kemajuan ini, sehingga dia pun sempat berpikir untuk menjalin hubungan dengan lelaki Tionghoa modern. Surat tertanggal 14/12/1902 bagi Ny Abendanon adalah surat yang paling panjang dan paling kuat tentang kemajemukan (Kartini 2000: 401-406). Di sini, selain golongan Tionghoa, Kartini banyak bicara juga mengenai golongan Arab di Rembang. Selain itu Kartini juga menyuarakan protesnya akan sekat-sekat pemisah dan diskriminasi yang dibangun keluarganya serta masyarakat terhadap golongan Tionghoa. Kartini sudah cukup akrab dengan golongan Arab (Koja) di Rembang sejak masa remajanya. Dia mengamati kebiasaan mereka dan kemudian membuat studi mengenai pernikahan orang Koja di kota itu. Karyanya ini dimuat di jurnal Bijdragen tot de Taal-Land en Volkenkunde yang sangat prestisius di usianya yang ke-16. Hebatnya, tulisan itu diselesaikannya beberapa tahun sebelumnya. Namun, karena dirasakan belum cukup umur, nama Kartini tidak muncul di jurnal tersebut, melainkan nama Pamannya, yang mengirimkan naskah tersebut. Barangkali Kartini bisa dianggap sebagai antropolog Indonesia pertama, berdasarkan karyanya tadi. Sahabat-sahabat Arab keluarga Kartini yakin, bahwa keluarganya memiliki darah Arab. Melihat penampilan fisik Ayahanda dan saudara saudarinya, Kartini menduga memang ada darah Arab di dalam tubuh keluarga Sosroningrat. Dari sini dia bertanya pada Ibu angkatnya, Ny Abendanon:
diskriminatif Ayahnya. Berdasarkan pengamatan, pendapat orang, serta apa yang dibacanya di surat kabar. Kartini menampilkan bukti berupa aksi-aksi filantropis orang Tionghoa dalam menolong korban bencana kelaparan dan kekurangan air: “Ada sungguh-sungguh hati mulia dari jiwa luhur di antara mereka”, tulisnya (Kartini 2000: 405) Lebih lanjut, dengan kritisnya, dia malah menyindiri penguasa kolonial, “Mengapa bantuan yang murah itu hanya datang dari pihak Cina yang dihina? Mengapa bantuan itu tidak mengalir dengan melimpah kepada kami dari pihak Eropah? (Kartini 2000: 405) Keterpesonaannya pada gadis-gadis keluarga Oei Tiong Ham kembali diulanginya. Dia ingin benar berkenalan dengan mereka. Namun dengan sedih ditulisnya: “Semua kenal keluarga itu, kecuali kami” (Kartini 2000: 405). Sayang sekali hingga wafatnya, keinginan Kartini untuk bisa berkenalan dengan mereka tidak terkabul. Ironisnya, bagi Oei Hui Lan, yang sudah menulis dua otobiografi, rupanya juga tidak pernah tahu, bahwa aksi-aksi kemajuan yang mereka lakukan dengan dukungan ayahnya, ternyata juga mengilhami seorang Putri Jawa yang dengan paksa mesti menjalani pingitan. Membaca cuplikan pemikiran Kartini di atas, hal utama yang menonjol adalah ketulusan hatinya dalam berinteraksi dengan berbagai golongan. Bagi dirinya, kemajemukan adalah satu keniscayaan. Banyak hal positif bisa diambil dari golongan yang berbeda sebagai pelajaran untuk mencapai kemajuan. Hal lain yang tak kalah petingnya dari tulisan Kartini adalah sikapnya yang menekankan kesetaraan antar berbagai golongan. Satu golongan tidak boleh mendiskriminasikan lainnya. Hendaknya pemikiran Kartini tidak hanya dikaji setahun sekali, setiap menjelang tanggal 21 April. Ide tentang pentingnya penghargaan pada pluralisme yang diwariskannya tetap relevan untuk kita renungkan. Kapan saja.
“Apakah saya toh masih boleh tetap menjadi anak Nyonya, kalau ternyata saya bukan gadis Jawa asli? Juga orang Arab dapat mencintai dengan sepenuh jiwa mereka, dan mereka dapat baik” (Kartini 2000: 404) Setelah membahas orang Arab, mendiskusikan orang Tionghoa.
Kartini
kembali
“Kami senang sekali bersahabat dengan berbagai bangsa. Hanya dengan Cina, kami tidak boleh berhubungan, itu kehendak Ayah dan saya sedih sekali sebab juga bangsa itu ingin saya kenal dari pandangan yang murni” (Kartini 2000: 404) Di sini Kartini dengan berani memprotes tindakan
BIBLIOGRAFI Kutipan diambil dari dua terjemahan Sulastin Sutrisno Kartini, 1985, Surat-surat Kartini: Renungan tentang dan Untuk Bangsanya, cetakan ke-3 (Jakarta: Jambatan, 1985) Kartini, 2000, Kartini: Surat-surat kepada Ny R.M. AbendanonMandri dan Suaminya, cetakan ke-3 (Jakarta: Djambatan, 2000).
4 Lebih lanjut tentang Oei Tiong Ham, lihat Yoshihara Kunio (ed), Konglomerat Oei Tiong Ham (Jakarta: Grafiti Pers, 1992). 6
LAKSAMANA KEUMALAHAYATI PEREMPUAN PRAJURIT PERTAMA DALAM LINTAS SEJARAH INDONESIA Ratna Hapsari
A. PENDAHULUAN
B
uku-buku pelajaran di sekolah maupun historiografi Indonesia jarang sekali mengungkap tentang peran perempuan dalam berbagai peristiwa sejarah yang pernah ada dalam perjalanan sejarah bangsa. Kalaupun ada yang sering ditonjolkan hanyalah peran-peran perempuan yang tidak berarti, seperti kegiatan mereka sebagai penyelenggara dapur umum dalam sebuah peristiwa heroik, atau sebagai kelompok yang dimarjinalkan misalnya sebagai korban perang atau korban kekerasan seksual yang seolah telah menjadi sebuah kelaziman dalam kegiatan penguasaan wilayah oleh bangsa-bangsa lain dan dengan perempuan sebagai korbannya. Selama ini sejarah jika bicara tentang perempuan selalu memunculkan Kartini sebagai tokoh utama dalam pemajuan pemikiran perempuan, padahal jauh sebelum Kartini lahir telah banyak perempuan yang hadir dalam sejarah bangsa dan mempunyai peran penting dalam jamannya. Salah satunya adalah Laksamana Keumalahayati, laksamana perempuan pertama dari Aceh, yang ternyata memiliki peran penting dalam pemerintahan Kesultanan Aceh Darussalam. Laksamana Keumalahayati atau Malahayati, berdasarkan bukti-bukti tertulis berupa manuskrip yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia yang berangka tahun 1254 H atau sekitar 1875 M adalah perempuan pejuang yang hidup saat Kesultanan Aceh Darussalam berada di bawah pimpinan Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1589-1604 M). Keumalahayati merupakan keturunan bangsawan Aceh, ayahnya Laksamana Mahmud Syah , juga seorang laksamana dari angkatan laut Aceh yang sering membawanya mengarungi samudra, karena sejak usianya masih sangat muda Keumalahayati telah ditinggal wafat oleh ibunya. Mungkin karena kebiasaan yang ditanamkan oleh ayahnya, Keumala memiliki jiwa bahari. Kehidupan di laut telah membentuknya mempunyai sifat yang gagah berani. Kakeknya adalah Laksamana Muhammad Said Syah merupakan putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah di Kesultanan Aceh pada sekitar tahun 1530-1539. Sultan ini adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri kesultanan Aceh Darussalam. Sebagai perempuan masa
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
itu, Keumalahayati tidak banyak memperoleh hambatan dalam mengekspresikan dirinya. Jiwa kebaharian dan keberaniannya telah mengantarnya memperoleh pendidikan dalam sebuah akademi militer milik Kesultanan Aceh yang bernama Mahal Baitul Maklis. Dalam masa pendidikannya tersebut, Keumala menemukan seorang pemuda yang kemudian menjadi suaminya. Sayangnya, mengenai siapa pemuda ini tidak ada data tertulis yang mengungkap. Setelah lulus dari pendidikan kemiliteran, Keumala kemudian diangkat oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV Saidil Mukammil yang memerintah Aceh pada tahun 1589-1604 M, sebagai komandan protokol istana dalam Kesultanan Aceh. Jabatan dan kepercayaan ini telah membuat Keumalahayati belajar lebih banyak tentang etika dan diplomasi. B.
SEPAK TERJANG KEUMALAHAYATI DALAM TUGAS KEPRAJURITANNYA
Keumalahayati kemudian terlibat dalam banyak peperangan di Selat Malaka, terutama dalam kegiatan melawan Portugis, demikian juga peperangan di daerah pantai timur Sumatra dan Malaya. Dalam salah satu peperangan inilah, suami Keumalahayati tewas. Keumalahayati kemudian bertekad untuk terus berjuang membela kesultanan Aceh, dan meminta ijin Sultan untuk membentuk prajurit perempuan yang terdiri dari para janda yang suaminya tewas dalam peperangan. Permohonannya disetujui dan Keumalahayati kemudian menjadi pemimpin amada Inong Balee. Ia pun diangkat sebagai laksamananya. Anggota Inong Balee pada awalnya hanya sekitar 1000 orang tetapi dengan sangat cepat berkembang menjadi sekitar 2000-an orang dan tidak lagi terdiri dari para janda, tetapi juga perempuan Aceh lainnya yang ingin berbakti pada kesultanan Aceh. Teluk Lamreh Krueng Raya kemudian menjadi pangkalan militernya. Laksamana Keumalahayati juga membangun sebuah benteng di perbukitan, yang kemudian benteng tersebut lebih dikenal dengan nama benteng Inong Balee. Tugas armada laut di bawah pimpinan Keumalahayati ini adalah mengawasi kegiatan para syahbandar yang berada di bawah kekuasaan Kasultanan Aceh. Seorang nakhoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris, yang bernama John Davis, mencatat tentang sepak terjang
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
7
Laksmana Keumalahayati. Dalam catatannya, pada masa ini Kesultanan Aceh telah memiliki armada angkatan laut lebih dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas 400500 orang. Demikian juga seorang penulis perempuan asal Belanda yang bernama Marie van Zuchyelen dalam bukunya Vrouwolijke Admiral Malahayati. Ia memuji Laksamana Keumalahayati dengan armada Inong Balee-nya ini yang telah memiliki 2000 prajurit perempuan yang gagah perkasa dan sangat terlatih. Pada tanggal 11 September 1599, datanglah dua kapal berbendera Belanda yaitu Deleeweu dan Deleeweuin yang dipimpin oleh dua bersaudara yaitu Cornelis dan Fedrick de Houtman. Maksud kedatangan mereka adalah untuk melakukan perjanjian dagang dan memberikan bantuan dua buah kapal untuk membawa pasukan Aceh yang ingin menaklukan Johor. Peminjaman kapal ini ternyata hanya merupakan tipu muslihat Belanda saja, karena ketika prajurit kesultanan naik ke kapal, mereka dilarang masuk oleh kedua kapten kapal tesebut. Peristiwa ini membuat Sultan Aceh merasa tidak senang sehingga mengutus Laksamana Keumalahayati untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Serangan pasukan Aceh yang dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati berhasil
membunuh Cornelis de Houtman dan menangkap Fedrick de Houtman untuk kemudian memenjarakannya. Kedatangan kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman ini bukan merupakan yang pertama kalinya. Pelayaran pertamanya pernah berhasil berlabuh di Banten pada tahun 1596 dan kemudian menjalin hubungan perdagangan dengan sultan Banten. Selain bertugas sebagai laksamana, seperti telah disebutkan di atas, Keumalahayati juga dipercaya Sultan untuk mengemban tugas diplomatik, yaitu berperan sebagai juru runding khususnya untuk urusan luar negeri. Hal ini disebabkan karena pembawaannya tegas dan berani, tetapi juga ramah dan luwes. Keumalahayati berkembang menjadi tokoh yang disegani di kalangan istana. Pada tanggal 21 November 1600, Aceh didatangi kembali oleh kapal Belanda. Kali ini di bawah pimpinan Paulus van Caerden. Sebelum masuk ke perairan Aceh, kapal ini telah menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh yang penuh dengan lada, dan memindahkan isinya ke dalam 8
kapal tersebut. Karena telah melakukan perompakan, maka kapal berbendera Belanda ini tidak meneruskan perjalanan ke pelabuhan Aceh. Kemudian pada tanggal 31 Juni 1601, datang lagi kapal Belanda di bawah pimpinan Laksmana Yacob van Neck. Mereka memperkenalkan diri sebagai pedagang Belanda yang akan membeli lada. Tetapi atas perintah Keumalahayati, dan dengan persetujuan Sultan, seluruh kapal yang datang beserta anak buah kapalnya ditahan oleh para prajurit Aceh. Tindakan ini dilakukan sebagai ganti rugi atas tindakan yang telah dilakukan Belanda yang merompak kapal pedagang Aceh sebelumnya. Tidak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 23 Agustus 1601 tiba kembali rombongan empat buah kapal Belanda ( Zeelandia, Middleborg, Laughe Brake, dan Sonne) yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker. Kedatangan mereka membawa perintah dari pangeran Maurits dari kerajaan Belanda untuk menyampaikan sepucuk surat dan hadiah kepada Sultan Aceh. Sebelum surat disampaikan telah terjadi pertemuan antara Laksamana Keumalahayati dengan para utusan tersebut. Kesepakatan yang dicapai adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh yaitu pembebasan
terhadap Federick de Houtman, dengan syarat bahwa Belanda mengganti kerugian para pedagang lada yang kapalnya telah dirompak oleh anak buah Paulus van Caeder. Belanda kemudian bersedia dan membayar kerugian tersebut sebesar 50.000 gulden. Setelah itu hubungan antara Aceh dan Belanda berjalan cukup baik. Mereka diperbolehkan untuk berdagang di Aceh, bahkan Aceh menindaklanjuti hubungan baik itu dengan mengutus Abdoel Hamid, Sri Muhammad yang merupakan anak buah Laksamana Keumalahayati, serta Mir Hasan seorang bangsawan Aceh untuk menghadap pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda di Belanda. Meskipun pada saat itu Belanda sedang menghadapi perang melawan kolonialisme Spanyol, kedatangan para utusan Aceh ini disambut dengan upacara kenegaraan.Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati terus berlanjut. Antara tahun 1558-1603 M, Inggris juga telah mengirim beberapa kali utusan untuk menjalin hubungan dagang dengan Aceh. Salah satunya, yang kemudian berhasil, adalah bahwa pada tanggal 6 Juni 1602, berlabuh di Aceh, tiga buah kapal Inggris yang bernama Dragon, Tretor, dan Ascentic di bawah pimpinan James Lancaster Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
seorang perwira angkatan laut Inggris. Para utusan ini datang menemui Laksamana Keumalahayati terlebih dahulu. Sebelum menghadap kepada Sultan, para utusan ini menyampaikan harapannya agar Aceh dapat menjalin hubungan dagang dengan Inggris. Juga permohonan agar tidak melakukan hubungan dagang dengan Portugis. Laksamana Keumalahayati kemudian meminta James Lancaster menuliskan permohonan itu secara tertulis dengan mengatasnamakan ratu Inggris. Setelah disetujui, Laksamana Keumalahayati mempersilahkan para utusan untuk menghadap Sultan. Keumalahayati juga mempunyai cukup pengaruh di kalangan istana, terutama ketika terjadi suksesi di Kesultanan Aceh yang saat itu berada di bawah pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah IV Saidil Mukammil. Pada sekitar tahun 1603, Sultan Alaiddin mengangkat anak lakilakinya yang tertua untuk menjadi pendampingnya. Tetapi putranya ini berkhianat. Ia kemudian menggulingkan pemerintahan ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dan bergelar Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil (1601–1604). Sejak masa awal pemerintahannya Kesultanan Aceh tertimpa banyak masalah, baik bencana alam seperti berlangsungnya musim kemarau yang sangat panjang, pertikaian antar saudara dalam keluarga besar kesultanan, serta ancaman serangan dari Portugis. Tetapi tampaknya Sultan tidak memiliki perhatian yang penuh dalam menyelesaikan semua masalah ini, sehingga banyak menimbulkan kekecewaan baik dari para punggawa istana, maupun di kalangan kerabatnya sendiri. Salah satu kerabat istana yang berani menentang adalah kemenakan sultan sendiri bernama Dharma Wangsa Tun Pangkat. Namun, atas perintah Sultan, Dharma Wangsa kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Pada sekitar bulan Juni 1606, tentara Portugis menyerang Aceh. Penyerangan dipimpin oleh Alfonso de Castro. Dalam serangan awal, prajurit Aceh sempat terdesak. Dari dalam penjara, Dharma Wangsa mendengar berita penyerangan tersebut. Ia kemudian meminta kepada Sultan untuk membebaskannya sehingga ia dapat ikut berperang melawan Portugis. Atas desakan Laksamana Keumalahayati, permohonan Dharma Wangsa ini dikabulkan Sultan, dan secara bersama-sama mereka kemudian berperang melawan Portugis dan berhasil memperoleh kemenangan. Setelah kemenangan tersebut, banyak kalangan tidak lagi mempercayai Sultan Muda Ali Riayat Syah V Mukammil. Ia disangsikan mampu memimpin Aceh dengan baik. Maka, Sultan diminta mundur. Dengan berat hati Sultan Muda Ali Riayat Syah V, mengudurkan diri dan digantikan oleh Dharma Wangsa yang kemudian bergelar Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M). Pada masa pemerintahan sultan inilah, Aceh kemudian mencapai jaman keemasannya.
para tamu agung baik dari dalam maupun dari luar negeri yang mengadakan kunjungan resmi ke Kesultanan Aceh. Jejak perjuangan Laksamana Keumalahayati yang hingga kini masih tersisa adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan sebuah reruntuhan benteng yang disebut dengan benteng Inong Balee yang berada di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Mesjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Lokasi pemakaman yang berada di atas bukit melambangkan penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan seperti halnya kompleks raja-raja Mataram di Imogiri, makam Sunan Giri, Sunan Muria di Gunung Muria dan Sunan Gunung Jati di Cirebon, serta kompleks makam Papan Tinggi dan Mahligai di Barus. Meskipun belum semua perjuangan Laksamana Keumalahayati terungkap, tetapi keberadaan peninggalan arkeologis ini menguatkan bukti sejarah bahwa pernah hidup seorang prajurit perempuan yang perkasa, yang tidak saja setia berjuang membela kerajaannya tetapi juga telah menegakkan harkat dan martabat perempuan pada jamannya. Untuk mengenang jasanya, maka sekitar 500 meter ke arah utara dari lokasi kompleks makamnya terdapat pelabuhan laut tempat bongkar muat barang maupun untuk penyeberangan yang diberi nama pelabuhan Malahayati, dan namanya pun diabadikan dalam sebuah kapal perang milik TNI Angkatan Laut di kawasan timur, yaitu KRI Malahayati. DAFTAR PUSTAKA Ambary, Hasan Muarif, 1996. Makam-makam Islam di Aceh dalam Aspekaspek Arkeologi Indonesia no 19. Jakarta : Puslit Arkenas, Depdikbud ------------------------------, 1998 Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta :Puslit Arkenas, Depdikbud Pramono,Djoko,2005 Budaya Bahari. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Soekmono, R, 1973 Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Jakarta: Kanisius Tim P3SKA, 1998. Buku Obyek Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh. Banda Aceh: Perkumpulan Pecinta Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan Aceh (P3SKA) Gambar: makam Keumalahayati
Gambar: reruntuhan tembok benteng Inong Balee
C. PENUTUP Keberadaan prajurit perempuan Aceh hingga masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda ini masih tetap dipertahankan. Sultan memperbesar dan mempermodern Angkatan Perang Aceh, diantaranya dengan membentuk pasukan pengawal istana yang terdiri dari para prajurit perempuan terlatih dan dipimpin oleh seorang jendral perempuan yang bernama jendral Keumala Cahaya. Sejarah mencacat keberadaan kesatuan prajurit perempuan ini merupakan kesatuan kawal kehormatan istana yang ratarata berwajah cantik. Tugas mereka adalah menyambut Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
9
(Shiraishi dan Shiraishi, 1998: 7).
MENJUAL TUBUH DI NEGERI JAJAHAN: PROSTITUSI JEPANG1 DI HINDIA BELANDA, 1885-1912 MENJUAL TUBUH DI NEGERI JAJAHAN: PROSTITUSI JEPANG DI HINDIA BELANDA, 1885-19121
P
F. X. DOMINI B. B. HERA2 rostitusi sebagai fenomena sosial senantiasa muncul dan berkembang di setiap zaman dan keadaan. Secara biologis, selama ada nafsu birahi manusia maka prostitusi akan terus lestari. Tak heran jika prostitusi tak pernah selesai dikupas, apalagi dimusnahkan (Utomo, 2001). Walaupun demikian, prostitusi tidak hanya mengungkap sisi gelap kehidupan manusia seperti bentuk transaksional hubungan kelamin, eksploitasi perempuan dan "pemain-pemain" yang terlibat di dalamnya saja. Tetapi, prostitusi mampu menggerakkan kehidupan sosio-ekonomi, seperti yang dilakukan para pelacur dari Jepang, baik melalui devisa yang masuk ke Jepang dan perdagangan di banyak tanah rantau, salah satunya Hindia Belanda (Indonesia sekarang). Peranan dan kontroversi dalam dinamika keberadaan prostitusi Jepang tidak dapat dianggap remeh. “Pahlawan Devisa” ini mengalami dinamika dalam menjalankan bisnis “surga dunia”. Mulai dianggap sebagai salah satu tulang punggung pendapatan ekonomi (back bones) Restorasi Meiji hingga dilarang oleh konsulat Jepang di seluruh daerah persebarannya. Secara kultural, pelaku prostitusi Jepang juga mempunyai peran, yaitu sebagai perantara untuk memperkenalkan Jepang kepada penduduk Indonesia, baik pribumi, Cina, maupun orang Belanda sendiri (Pangastoeti, 2007). AWAL KEDATANGAN Sejarah mencatat, pekerja seks komersial Jepang yang disebut karayuki-san melakukan kedatangan pertama pada tahun 1885 ke Hindia Belanda. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kedatangan mereka seperti pengaruh Restorasi Meiji (1885-1890), di mana kolonialisasi yang dilakukan Jepang mengalami transisi dari “kolonialisasi dalam negeri” menjadi “kolonialisasi daerah luar negeri”. Kemudian, karena konsep daerah Nanyo sebagai daerah selatan Jepang (Wilayah Asia Tengara) yang harus diekspansi karena berpotensi memiliki kekayaan sumber daya alam sehingga memiliki harapan yang cerah untuk prospek hidup sejahtera. Dan yang terakhir, karena akibat 1 Tulisan ini pernah disajikan dalam Forum Studi Kajian HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) Sejarah pada Jumat tanggal 30 Oktober 2009 di ruang J8.102, Gedung J, Universitas Negeri Malang. 2 Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ilmu Sejarah Angk. 2007, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Malang (FIS UM). Pernah menjadi Sekretaris Pelaksana Seminar Nasional HMJ Sejarah dan Musyawarah Wilayah III IKAHIMSI pada tahun 2008; Ketua HMJ Sejarah Periode 2009/2010; Pemimpin Umum Jurnal Dimensi Sejarah (2009); Ketua BEM FIS Universitas Negeri Malang (2010); dan Pemimpin Umum Jurnal Ilmu-ilmu Sosial Verstehen (2010). Saat ini aktif di PUSKA RADYA (Pusat Studi-Kajian Sejarah dan Budaya) sebagai Kepala Divisi Jaringan dan Kerjasama. Dapat dihubungi via E-mail: Francis_x_hera@yahoo.co.id dan Ponsel 0857 5513 2683.
10
pemberlakuan Undang-Undang Liberalisasi Hindia Belanda pada tahun 1870 yang memungkinkan pendatang dari luar negeri mencari penghidupan yang layak di Hindia Belanda, ditambah Jepang memiliki hubungan baik dengan Belanda sejak tahun 1600 (Wibawarta, 2008: 250). Adapun gelombang kedatangan karayuki-san ke Hindia Belanda adalah tonggak awal sebelum kedatangan gelombang rombongan pedagang, terutama pedagang kelontong Jepang (Nawiyanto, 2010; Asnan: 2011). Menurut Shimizu Hajime (dalam Astuti, 2008: 3), seorang ahli sejarah ekonomi Jepang, menyatakan bahwa pedagang kelontong awalnya melayani kebutuhan karayuki-san. Aktivitas mereka antara lain sewa-menyewa kamar (sehubungan dengan kegiatan prostitusi karayuki-san), membuka kedai makanan untuk menyediakan masakan Jepang, membuka salon rambut penataan sanggul cara Jepang, memperjualbelikan ikat pingang untuk kimono dan lain sebagainya. PRAKTEK PROSTITUSI Daerah persebaran karayuki-san meliputi daerah Siberia, Manchuria, Cina, daerah Pasifik Selatan, India sampai Amerika dan Afrika. Fukuzawa Fukichi, seorang cendekiawan dan tokoh terkemuka pada zaman Meiji, menyebutkan peranan penting karayuki-san dalam sosioekonomi Jepang. Karayuki-san mengirim uang kepada sanak sudaranya di Jepang yang secara tidak langsung mendatangkan devisa bagi negara Jepang dan mendukung perkembangan serta pembangunan negara tersebut. Mereka masuk ke Hindia Belanda melalui Singapura, dan menyebar ke Medan, Palembang, Batavia, Surabaya, hingga Sandakan (kini bagian dari Sabah, Malaysia Timur). Menurut Peter Post (1992: 161) yang meneliti kegiatan orang Jepang di Hindia Belanda pada periode tahun 18681942, menemukan fakta bahwa pada tahun 1896 jenis pekerjaan penduduk Jepang di Hindia Belanda terdapat 48.0% karayuki-san dan sebanyak 9.1% adalah pemilik bordil atau germo. Kehadiran pelacur impor seperti karayuki-san memang menjadi favorit para lelaki hidung belang (dimasa itu disebut “pria berhidung putih”). Seiring kedatangan para karayukisan, pelacur dan escort lady asal daratan Tiongkok juga berdatangan. Pada masa itu pria Jepang sangat bergantung pada wanita, baik secara langsung mengeksploitasi pelacur sebagai germo dan pemilik bordilnya ataupun melayani kebutuhan sehari-hari mereka sebagai penari Rickshaw (jinrikisha-fu), tukang cukur, tukang cuci, tukang foto, tukang gigi, tukang pijat, penjual tekstil (gofuku-sho), pemilik toko perhiasan (khususnya kulit kerang), warung, restoran, pemilik bar, dokter umum dan sebagainya Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Ida Ruwaidah Noor (dalam Srinth!l, 2006: 144), seorang praktisi seksualitas, mengemukakan empat prinsip dan pola skenario seksual (sexual script) yang jika diperhatikan memiliki persamaan dengan kegiatan prostitusi karayukisan di Hindia Belanda, antara lain; (1) pola perilaku seksual yang cenderung lokalistik pada prakteknya, (2) pola perilaku seksual karayuki-san muncul bukan semata akibat dorongan biologis semata, tetapi lebih karena pengaruh budaya, (3) pola perilaku karayuki-san membentuk sebuah proses akulturasi dengan budaya di mana prostitusi tersebut berkembang, (4) pola perilaku seksual termodifikasi sesuai dengan kebutuhan individu karayuki-san. Menurutnya, seksualitas secara umum pada dasarnya merupakan konsep sosial yang tidak mandiri, alias sarat dengan kepentingan ekonomi politik yang ada di belakangnya. BERAKHIRNYA PROSTITUSI JEPANG Di Hindia Belanda prostitusi Jepang “dihapuskan” pada tahun 1912, dua tahun setelah konsulat didirikan. Hal ini terjadi karena perubahan paradigma pemerintah Jepang, dalam hal ini konsulat-konsulat Jepang di luar negeri tidak lagi melihat prostitusi sebagai profesi hina yang diperlukan dan untuk dibiarkan demi “kepentingan nasional dan kepentingan negara” Jepang (koku ‘eki), namun profesi ini dipandang sebagai “kehinaan nasional” (kokujoku). Dengan demikian mereka berubah dengan mencabut kategori pekerjaan tersebut, yaitu dengan penghapusan prostitusi Jepang berlisensi (haisho). Pada awal-awal tahun beroperasinya konsulat (satu demi satu didirikan antara akhir tahun 1890-an dan 1910an) tidak mempunyai alternatif kecuali menyetujui kegiatan prostitusi ini, sebab prostitusi adalah landasan ekonomi mereka dan sumber devisa asing bagi negara Jepang. Konsulat Jepang dengan cerdik mempropagandakan perasaan dan keyakinan bahwa bangsa Jepang adalah bangsa “kelas satu” (Ikuyu Kokumin atau Ito Kokumin) dan mereka tidak dapat mengabaikan kenyataan bahwa cap “aib nasional” yang dilemparkan kepada karayuki-san, germo dan pemilik bordil ke dalam posisi "makin menjadi orang buangan" dalam komunitas Jepang. Hal ini berakibat menimbulkan tekanan dari komunitas terhadap para pihak pelaku prostitusi. Konsulat Jepang di Batavia menggolongkan populasi orang Jepang menurut pekerjaan yang dilaporkan sendiri oleh para pendaftar, maka laporan tahun 1913 mencatat bahwa para pelacur termasuk dalam kategori “lain-lain pekerjaan” dan “tidak bekerja”. Bahwa pada tahun itu terdapat 918 wanita yang terdaftar sebagai “tidak bekerja”, dapat diduga bahwa kebanyakan dari mereka itu adalah pelacur, sebagaimana tahun 1912 dilakukan pelarangan kegiatan prostitusi. Dengan demikian, bahwa para pelacur tersebut terus dihitung setelah tahun itu, walaupun dengan sebutan yang lain (Murayama, 1998: 140). Di Hindia Belanda pada tahun 1898 bangsa Jepang disetujui sama status hukumnya dengan orang kulit putih. Hal ini memberi pengaruh pada status gengsi dan mobilitas vertikal naik, dari yang semula warga kelas dua (bersama dengan warga keturunan Arab dan Cina, orang Timur Asing) menjadi warga kelas satu bersama warga Eropa. Ketergantungan perekonomian Jepang di Hindia Belanda terhadap prostitusi juga mulai ditinggalkan sebagai konsekuensi logis dari kemenangan Jepang dalam perang
Rusia-Jepang (1904-1905) dan penaklukan Korea (1910). Kemunculan Jepang sebagai negara imperial “kelas satu” di Asia setelah Perang Dunia Pertama turut membawa pengaruh perpindahan profesi orang Jepang ke pekerjaan yang lebih terhormat pada dunia usaha dan industrialisasi dalam jaringan perdagangan Jepang. Tak dapat disangsikan bahwa keberadaan karayukisan memicu munculnya perdagangan kecil hingga ekspansi konglomerasi Jepang seperti perusahaan Mitsubishi, Toyoda yang berubah menjadi Toyota, Mitsui, pelayaran OSK Lines dan lain-lain. Singkatnya, kegiatan prostitusi Jepang merupakan cikal bakal gurita industri dan bisnis Jepang di Indonesia hingga saat ini. Tak ketinggalan prostitusi Jepang turut direkam dan memberi inspirasi para penulis besar Indonesia mulai dari Pramoedya Ananta Toer dengan tokoh Maiko, karayuki-san yang menjadi salah satu kembang dalam roman Bumi Manusia, hingga Remy Sylado dengan novel Kembang Jepun karangannya (dalam Santosa, 2009: 27). Hal ini membuktikan bahwa prostitusi Jepang di Hindia Belanda tak sekedar urusan transaksional kelamin belaka melainkan sebuah kegiatan yang mampu menggerakkan perekonomian baik di dalam negerinya maupun pengaruhnya yang tak terelakkan di dunia internasional. Sejarah telah membuktikannya.
DAFTAR RUJUKAN Asnan, G. 2011. Penetrasi Lewat Laut: Kapal-kapal Jepang di Indonesia. Yogyakarta: Ombak. Astuti, Meta Sekar Aji. 2008. Apakah Mereka Mata-mata? Orangorang Jepang di Indonesia (1868-1942). Yogyakarta: Ombak. Murayama, Yoshitada. 1998. Pola Penetrasi Ekonomi Jepang ke Hindia Timur Belanda Sebelum Perang. Dalam Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (Eds.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Terjemahan oleh P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Nawiyanto. 2010. Matahari Terbit dan Tirai Bambu: Persaingan Dagang Jepang-Cina. Yogyakarta: Ombak. Pangastoeti, S. 2007. Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan prostitusi Jepang di Indonesia 1885-1920. Tesis tidak diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Post, Peter. 1992. Japanse Bedrijvigheid in Indonesië 1868-1942: Structurele Elementen van Japan’s Economische Expansie in Zuidoost Azië. Disertasi tidak diterbitkan. Amsterdam: Vrije Universiteit. Santosa, Iwan. 27 Mei 2009. Sejarah Prostitusi Karayuki-san hingga Amoy dan Uzbek. KOMPAS, hlm. 27. Shiraishi, Saya dan Shiraishi, Takashi. 1998. Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara: Sebuah Tinjauan. Dalam Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi (Ed.), Orang Jepang di Koloni Asia Tenggara. Terjemahan oleh P. Soemitro. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tanpa nama. 2006. Subaltern di Balik Konsep Seksualitas. Srinth!l No. 10, hlm. 135-146. Toer, Pramoedya Ananta. 1981. Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra. Utomo, Djoko, dkk. Pemberantasan Prostitusi Di Indonesia Masa Kolonial, Penerbitan Naskah Sumber, Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta, 2001. Jakarta: Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation dengan ARSIP NASIONAL RI. Wibawarta, Bambang. 2008. Dejima: VOC dan Rangaku. Wacana Vol. 10 No.2, Oktober 2008.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
11
PERAN PEREMPUAN PADA MASA PEMERINTAHAN ORDE BARU: PERSPEKTIF HAM
MEMILIH, MEMILAH, DAN MEMBERIKAN MATERI AJAR SEMENARIK MUNGKIN
Ade Munajat (Guru sejarah di SMAN 1 Cibadak Sukabumi Jawa barat)
M
enjelang pemerintah Orde Baru berkuasa, Indonesia tercatat sebagai salah satu negera termiskin di dunia dengan pendapatan per kapita US$190. Itulah sebabnya, pemerintah Orde Baru memiliki perhatian utama terhadap pemulihan keadaan ekonomi yang buruk. Dalam rangka itu, pemerintah Orde Baru membuka ruang bagi penanaman modal asing di Indonesia. Berkat penanaman modal tersebut berkembanglah pembangunan di Indonesia.
Momentum pembangunan harus dijaga agar rakyat dapat keluar dari kemiskinan. Perpolitikan Indonesia harus selalu dalam keadaan stabil tanpa gangguan. Sehubungan dengan hal itu pemerintahan Orde Baru menekankan pentingnya militer menjaga stabilitas politik. Guna menjaga dan memacu pembangunan berkelanjutan, pemerintahan Orde Baru sangat memperhitungkan keterlibatan kaum perempuan. Perempuan diatur. Pemilik identitas “ibu rumah tangga” atau mereka yang pekerjaannya “turut suami” diposisikan sebagai istri atau pendamping suami. Kemudian, suamilah yang dianggap menjadi aktor utama dalam proses pembangunan yang sedang digiatkan pemerintah. Ruang bagi perempuan berkisar pada persoalan mengasuh dan mendidik anak. membina generasi muda, serta mengatur ekonomi rumah tangga. Di desa-desa perempuan dimanfaatkan tenaganya untuk mendorong peningkatan produksi beras. Perempuan bekerja sebagai penuai padi, pengangkut, dan penumbuk padi. Modernisasi pertanian yang dilakukan pemerintah Orde Baru menyingkirkan perempuan dari pekerjaan itu. Sebagian perempuan menjadi buruh pembantu rumah tangga di kota-kota. Sejumlah perempuan lainnya terpaksa menjadi buruh migran. Seiring dengan industrialisasi, perempuan beralih pekerjaan ke pabrik-pabrik.
dari Amerika Serikat melalui USAID pada tahun 1976/1977 dengan total bantuan sebanyak 44% dari keseluruhan program keluarga berencana nasional. Target akseptor terus ditingkatkan. Bahkan dengan cara-cara paksaan tanpa mengindahkan soal-soal kesehatan reproduksi dan hak untuk menolak pelaksanaan program itu. Kaum perempuan yang memperoleh pendidikan tinggi dan kemudian mendapat pekerjaan yang baik atau yang kemudian menikah dengan suami yang kemudian memiliki posisi penting dalam suatu jabatan, lebih beruntung secara ekonomis dari pada nasib perempuan lainnya. Namun demikian, secara politis ruang gerak mereka pun dibatasi. Perempuan hanya menjadi orang kedua dalam pengambilan keputusan strategis. Perempuan tidak layak berpolitik. Kodrat perempuan, dalam pandangan pemerintah Orde Baru ialah sebagai isteri pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus keturunan dan pendidik, pencari nafkah tambahan, dan warga masyarakat (GBHN 1983). Itulah sebabnya organisasi-organisasi perempuan pada masanya lebih merupakan penataan ruang gerak bagi kaum perempuan. Organisasi-organisasi perempuan hanya merupakan bagian dari bentuk kepatuhan kepada suami dari pada sebagai ekspresi kesadaran kaum perempuan itu sendiri. Akhirnya perempuan terpinggirkan dalam kehidupan rumah tangga maupun kehidupan kemasyarakatan yang kemudian membuka jalan bagi tindak kekerasan terhadap perempuan. Di bawah pemerintahan Orde Baru, peran perempuan disempitkan, perempuan dipisahkan dari politik, ditata tubuh dan ruang geraknya, serta menjadi alat untuk tujuan ekonomi politik yang harus patuh mendukung peraturan pemerintah.
Bertumbuh kembangnya pembangunan masa Orde Baru meningkatkan derajat kesejahteraan masyarakat. Pertambahan penduduk meningkat. Namun, pertambahan tersebut dikhawatirkan melampaui pertumbuhan ekonomi. Kaum perempuan kembali menjadi perhatian pemerintah. Dengan alasan meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan ibu, anak, keluarga, dan bangsa, kaum perempuan menjadi sasaran program keluarga berencana (KB). Program KB, semula hanya penyebaran informasi mengenai pembatasan kelahiran. Selanjutnya meningkat menjadi proses pencarian target akseptor (pengguna).
Daftar Pustaka
Program keluarga berencana memperoleh perhatian dunia internasional. Bantuan keuangan dari luar negeri untuk itu terus meningkat. Bantuan terbesar diperoleh
Kamala Chandrakirana, Ayu Ratih, Andy Yentriyani. 2009. Kita Bersikap: Empat Dasa Warsa Kekerasan terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
12
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Maria Yovita Sri Wuryaningsih
N
ama saya adalah Maria Yovita Sri Wuryaningsih. Saya lahir di kota Salatiga pada tanggal 16 Maret 1955. Sejak kecil saya bercita-cita ingin menjadi dokter atau stewardess (pramugari) namun entah mengapa saya manut saja ketika almarhum ibu saya meminta saya untuk melanjutkan ke SMEA setelah lulus SMP. Alasan beliau karena letak sekolah tersebut dekat dengan rumah saya. Sebetulnya, nilai saya tidak terlalu hebat, namun prestasi saya selalu menjadi yang terbaik di kelas bahkan menjadi juara umum di kelas III .
dalami. Di masa kuliah, mesin fotocopy masih jarang dan hanya kadang-kadang saja saya ke kedai fotocopy tersebut untuk memfoto copy berkas yang benar-benar penting. Buku penerbitan tidak sebanyak dan semudah sekarang. akibatnya, saya harus tekun berjam-jam setelah selesai kuliah untuk mempelajari literatur di perpustakaan. Dengan sedikit pegal, saya salin halaman demi halaman buku sumber yang saya perlukan. Dari situ, saya mulai mengerti dan menghayati peristiwa sejarah yang selama ini asing bagi saya.
Saya tak pernah berpikir untuk kuliah. Saya mau mencari kerja agar dapat mandiri. Namun, karena kemurahan Tuhan, saya mendapat kesempatan bea siswa untuk melanjutkan kuliah di Universitas/IKIP Kristen Satya Wacana Salatiga. Saya mengambil Fakultas Ilmu Sosial Jurusan Sejarah dan lulus Strata 1 tahun 1979. Itulah yang membuat saya semakin mantap untuk menjadi guru sejarah dan saya tinggalkan cita-cita saya semula.
Kecintaan terhadap belajar sejarah makin menguat dalam sanubari saya. Saya kagum dengan para dosen saya dalam mengajar dan saya mendengar banyak pengalaman beliau. Beruntung, saya langsung bisa belajar dari ahli sejarah Indonesia yang kesohor yaitu Bapak R.M. Soebantardjo almarhum yang juga menjadi pembimbing utama skripsi saya. Dengan gayanya yang khas sebagai sejarawan, saya kagum menyimak kuliah beliau mengalir begitu saja. Ilmu yang tak terkira nilainya, saya peroleh dari beliau. Bagaimana beliau menceritakan penggurunan di benua Afrika, proses kimiawi dari arang menjadi batubara dan intan, dll. Beliau berseloroh “Jika ada yang ulang tahun, bungkus saja kado baginya, segumpal arang agar yang menerima sabar sampai menjadi intan yang kemilau.” Dan, “Grrrrr,” mahasiswa sekelas tertawa lepas.
Di usia saya yang sudah senja sekarang, saya masih ingin terus belajar. Sejak tahun 2009 hingga sekarang, saya duduk sebagai mahasiswa program magister pendidikan di UHAMKA, Jl. Limau Jakarta Selatan bersama 18 guru lainnya yang berasal dari satu sekolah, tempat saya mengajar yakni SMA Negeri 70 Jakarta. Karena anugerah dan kemurahan Tuhanlah, saya menjadi seperti sekarang. Kesadaran in kemudian menjadi Motto hidup saya, “Mengasihi dan memberikan yang terbaik, yang saya bisa lakukan untuk sesama, sebagai wujud rasa syukur saya kepada Tuhan.”
PENGALAMAN KULIAH Terus terang, semula saya asing dengan mata pelajaran sejarah. Di SMP nilai sejarah saya di rapor tertulis angka merah karena memang saya belum menemukan cara belajar sejarah yang tepat. Saya pusing untuk menghafal angka tahun dan nama tokoh, seolah menjemukan jika harus mengingat-ingat peristiwa masa lalu yang menjadi kajian ilmu sejarah. Di SMEA saya hanya sedikit memperoleh pengetahuan sejarah. Begitu kuliah, saya mencoba memahami bagaimana belajar sejarah itu menjadi menyenangkan. Mata kuliah pengantar ilmu sejarah, sejarah Indonesia Lama, sejarah Indonesia Baru, sejarah Eropa, sejarah Afrika, sejarah Eropa Timur, filsafat ilmu sejarah dan sebagainya menjadi sajian pokok yang harus saya pelajari dengan senang dan saya
Dosen lain yang cukup menggelitik jika memberi kuliah adalah Bapak Nathanael Daldjuni almarhum. Beliau pakar Geohistory. Banyak peristiwa sejarah dijelaskan dari latar belakang geografi. Antara lain, dikisahkan mengapa pada perang/pertempuran Palagan Ambarawa, tentara Inggris kocar-kacir menghadapi pasukan tentara Indonesia. Setelah ditelaah pertempuran itu terjadi masa musim penghujan. Tentara Sekutu tak tahan dingin sementara pasukan kita terlatih dengan cuaca penghujan yang dianggap bukan rintangan yang berat. Hal lain yang membuat saya memiliki kecintaan yang kuat terhadap sejarah saat kuliah adalah kesempatan melakukan studi lapangan dengan mengunjungi situssitus peninggalan candi baik di Jawa Tengah bagian Utara (Candi Dieng, Gedongsongo), Jawa Tengah bagian Selatan (Kompleks Borobudur dan Prambanan), Candi-candi di Jawa Timur baik di Kediri, Singasari, maupun Majapahit bahkan sampai ke Bali. Ini semakin memperkuat kekaguman saya akan aneka ragam kekayaan budaya bangsa Indonesia di masa lampau yang sudah tinggi. Untuk mendapatkan dana guna membiayai kegiatan studi lapangan tersebut, kami
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
13
pernah melakukan pentas sendratari Ramayana, mengambil lakon Sinta Obong. Wah, kami berlatih sekuat tenaga dan saya mendapat peran sebagai kijang kencana. Sungguh ini pengalaman tak terlupakan. Sebuah penghayatan mahakarya yang sudah dikenal mendunia. Setelah menyelesaikan studi beberapa tahun dengan membaca, menyalin naskah, melihat situs-situs peninggalan sejarah, serta menghayati lakon sejarah melalui sendratari tersebut, saya merasa cukup banyak menyerap nilai-nilai kehidupan dalam peristiwa sejarah. Satu hal yang saya dapatkan di akhir kuliah adalah sebuah perenungan: “Untuk apa kita mesti belajar sejarah?� Banyak orang pandai dan cakap, tetapi tidak semua orang bijaksana. Hanya orang yang mau belajar dari masa lampaulah, yang akan bertindak dengan bijaksana (History make man wise).
PENGALAMAN BERAKTIFITAS Sejak dari bangku sekolah dan kuliah, saya senang berorganisasi sehingga membuat saya mudah untuk bergaul dan bekerjasama dengan sesama teman. Selain mengajar, saya aktif dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) antara lain pada mata pelajaran PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) di tingkat Kotamadya Jakarta Selatan (tahun 1984-1994) maupun MGMP Sejarah baik tingkat Kotamadya maupun Provinsi DKI Jakarta serta Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI). Selama tiga minggu pada bulan Maret 2010 saya berkesempatan mengikuti program kunjungan Guru Indonesia ke Australia melalui proyek BRIDGE (Building Relationship through Intercultural Dialogue and Growing Engagement) sebagai utusan dari SMA Negeri 70 Jakarta bersama perwakilan guru Indonesia lainnya yang terpilih.
PENGALAMAN SEBAGAI GURU SEJARAH Setiap guru sejarah memiliki cara tersendiri untuk dapat mendekatkan siswa dengan materi pelajaran yang akan dipelajarinya untuk mencapai tujuan pembelajaran mengacu pada standar kompetensi yang termuat dalam kurikulum. Seperti halnya pengalaman saya sebagai siswa di atas. Para siswa yang kutemui di kelas, juga menyatakan pada umumnya mereka kurang menyenangi pelajaran sejarah atau boring, istilah mereka. Kegiatan belajar mengajar sejarah terasa kering dan membosankan. Ini sejajar dengan keinginan mereka, pada umumnya mereka setelah lulus SMA ingin melanjutkan di UI atau ITB dan memilih jurusan yang favorit namun hanya satu atau dua orang siswa yang akhirnya tercatat sebagai mahasiswa jurusan sejarah. Bagaimana membuat pengalaman belajar sejarah menjadi menyenangkan bagi siswa? Upaya yang saya lakukan secara sederhana adalah sebagai berikut: saya mengajak para siswa tidak hanya memahami pengertian dasar dengan mengenal who, when, where saja tetapi para siswa saya ajak untuk mencoba mengerti “something behind the fact� Apa sebenarnya yang mendasari atau memotivasi seseorang, sekelompok orang, atau masyarakat bahkan bangsa melakukan aktifitas penting yang menjadi peristiwa sejarah itu. Di sini kita bisa mengkaji nilai-nilai luhur, nilai spiritual, serta motivasi yang mendorong perilaku. Dari situlah siswa bisa belajar memaknai peristiwa masa lalu sebagai cermin dan teladan bagi sikapnya menghadapi kehidupan dan kekinian. Karena semestinya orang itu bertindak dengan meniru atau mengambil contoh masa lalunya sebagai acuan 14
dan inspirasi yang positif guna menghadapi masalahnya di masa sekarang. Saya kadang kaget membaca narasi dan ungkapan polos bahkan cermin dari analisa yang cukup tajam dari para siswa menyoroti peristiwa sejarah masa lalu yang sangat relevan dalam tindakan yang akan mereka lakukan apabila peristiwa serupa menimpa kehidupannya. Contohnya sebagai berikut: Setelah membahas peristiwa reunifikasi Jerman yang ditandai dengan runtuhnya tembok Berlin pada tahun 1989, maka saya memberi kesempatan kepada para siswa untuk berdiskusi kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 3-4 siswa yakni laki-laki semua atau perempuan semua.
Hal lain yang tak kalah menarik adalah mengajak para siswa untuk studi lapangan sehingga mereka dapat mengenal peristiwa sejarah dengan indera mereka secara tajam, serta merasakan nuansa peristiwa sebenarnya. Tak lupa para siswa perlu dibekali Lembar Kerja Siswa (LKS) yang juga menarik dan menantang untuk mereka dalami di lokasi serta memberikan ruang untuk apresiasi bagi potensi siswa dengan multi talenta mereka. Jangan sampai para siswa dalam studi wisata hanya sibuk dengan berfoto atau belanja souvenir tanpa ada kenangan yang membekas dalam pembelajaran sejarah. Berikut saya sertakan contoh LKS pada saat mendampingi studi wisata siswa . Kiranya contoh ini dapat menginspirasi kita semua.
1. Kelompok yang beranggotakan para siswi menjadi kelompok masyarakat Jerman Timur. 2. Kelompok yang beranggotakan para siswa menjadi kelompok masyarakat Jerman Barat. Topik diskusi ditentukan sebagai berikut: Diskusikan apa yang melatar belakangi keinginan kalian untuk reunifikasi! Disodorkan permasalahan tersebut banyak kemungkinan jawaban akan muncul baik dari hasil diskusi para siswa maupun para siswinya. Berikut contoh kesimpulan hasil diskusi dari kelompok siswa yang saya terima : 1.
Ingin menolong masyarakat Jerman Timur yang secara sosial ekonomi belum membaik.
2.
Menyatukan kembali persatuan Jerman Raya sebagai bangsa besar seperti pada masa kejayaan Perdana Menteri Otto von Bismarck.
3. Mencegah terjadinya perang saudara yang berkelanjutan yang akan membawa kesengsaraan rakyat. 4. Menghapus ideologi komunis yang selama ini membelenggu penduduk Jerman Timur. 5. Berkumpul kembali dengan sanak keluarganya yang terpisah akibat pemisahan Jerman. 6. Mengembangkan karier yang kemungkinaan peluangnya besar di Jerman Timur. 7. Siapa tahu jodoh saya berada di Jerman Timur sehingga reunifikasi memungkinkan saya ketemu jodoh tersebut. Menarik bukan? Dengan menyajikan topik diskusi seperti di atas, saya yakin para siswa SMA yang sudah pandai membuat analisa dan senang mengungkapkan pendapat pribadi akan semakin tertarik untuk mengkaji peristiwa sejarah yang dipelajarinya karena tidak melulu harus menghafalkan fakta nama-nama tokoh dan tempat serta tanggal dan waktu kejadian yang cenderung merupakan fakta kering. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
15
SETELAH MEMBACA WACANA DI ATAS, JAWABLAH SOALSOAL DI BAWAH INI DENGAN URAIAN YANG TEPAT!. 1. Arti kata Borobudur :
d. Mengapa lubang-lubang stupa ada yang belah ketupat di tingkat 7-8 namun di tingkat 9 lubang stupa persegi empat ?
6
........................................................................................ ............................................................................................. ........................................................................................ ............................................................................................. ........................................................................................ ............................................................................................. 5. Tuliskan kitab-kitab yang dipahatkan dalam dinding ............................................................................................. candi sebagai relief yang bermutu tinggi. Dan apa isi 2. Buku sumber untuk ilmu bangunan adalah silpa sastra, singkat masing-masing! sedangkan ahli bangunan/ arsiteknya bergelar silpin. a. ........................................................................................ Siapakah silpin Borobudur ? ........................................................................................ ............................................................................................. ............................................................................................. b. ........................................................................................ ........................................................................................ ............................................................................................. 3. Bagaimana cara membangun Borobudur ?? ( Ingat, ada batu yang beratnya perbuah lebih dari 300 kilogram!.
c. ........................................................................................ ........................................................................................
............................................................................................. .............................................................................................
6. Candi Borobudur sebagai pusat studi lintas ilmu pengetahuan berdasarkan data dan relief candi dapat dibuktikan sebagai berikut :
4. Perhatikan gambar di bawah ini !
NO. 1
2
3
a. Stupa merupakan lambang 3 komponen milik Sang Budha yaitu :
4
ILMU SEJARAH
Agama Budha
Kesenian
Sosial
........................................................................................ ........................................................................................ ........................................................................................
b. Fungsi stupa pada umumnya
........................................................................................ ........................................................................................ ........................................................................................
c. Fungsi stupa Borobudur
........................................................................................ ........................................................................................ 16
5
Alam (Biologi)
7
URAIAN a. Raja yang membangun : .................................................. b. Penemuan I pada masa pemerintahan .................................................. c. Pemugaran dilakukan oleh : .................................................. a. Aliran : ......................................................... ......................................................... b. Ajaran : ....................................................... ....................................................... ................................ a. Seni rupa berupa : ...................................................... b. Seni musik berupa : ...................................................... a. Pakaian berupa : ........................ ....................................................... b. Tingkatan masyarakat : ............ ....................................................... c. Hukum masyarakat yang berlaku adalah : .................................. ....................................................... ....................................................... a. Pohon dan buah : ....................... .................................. b. Kalpataru : ................................. ..................................
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Matematika
a. Jumlah arca/patung Budha : .................................................. ................. b. Jika stupa di tingkat 7-10 berjumlah 73 buah sedang di tingkat 10 (puncak candi) ada 1 stupa dan tingkat 9 ada 16 stupa. Hitunglah masing-masing stupa di tingkat 7 dan 8 (deret aritmatika ) tingkat 7 : .........; tingkat 8 : ............ 73 = 7+3 = 10 = 1+0 = 1 (lambang keesaan)
Kerusakan candi disebabkan oleh berbagai faktor : a. Fisika : .................................................................. ................................................................................... ................................................................................... ......... b. Kimia : ...................................................................... ................................................................ ..................... ...................................................................................... c. Biologi :..................................................................... ............................................................... ...................... ......................................................................................
7. Tuliskan sikap Anda yang tepat sebagai wisatawan Indonesia pada waktu berkunjung di candi Borobudur!
e. Keamanan :
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
f. Bagi penduduk setempat :
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ 9. Sejauh mana pemahaman Anda bahwa Borobudur telah ditetapkan sebagai salah satu warisan peradaban dunia ? ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
10. Ungkapkan apresiasimu setelah berkunjung ke Boro- budur. Tema “ Aku dan Borobudur�
Karya bisa berbentuk : gambar, karikatur, puisi, prosa, lagu dan sebagainya pada kolom di bawah ini!
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ 8. Dampak pengembangan Borobudur sebagai kawasan wisata yang dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri baik dampak positif dan negatif adalah :
a. Ekonomi :
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ b. Sosial : ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
c. Politik :
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
d. Kebudayaan :
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................ Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
17
II.
M
SENDRATARI RAMAYANA
7
asa kejayaan kerajaan Hindu ditandai oleh berkuasanya dinasti Sanjaya dengan peninggalan candi Hindu yang terkenal yakni Prambanan. Candi Prambanan merupakan kompleks percandian yang jumlahnya mencapai ratusan candi namun candi yang utama adalah candi Siwa, Wisnu dan Brahma. Di candi Siwa ditemukan patung Siwa Mahadewa, Siwa Mahaguru, Ganesha serta patung Dewi Durga (isteri Siwa) yang lengkapnya disebut Durga mahesa sura mardini (Durga = dewi kematian, mahesa = kerbau, sura= raksasa, mardini = membunuh) digambarkan dalam patung tersebut Durga sedang membunuh raksasa ahangkara yang memporak porandakan nirwana/surga, setelah berulang kali menjelma dalam berbagai bentuk, yang terakhir raksasa masuk ke tubuh kerbau dan berhasil ditaklukkan oleh Durga.Patung ini juga dikenal dengan nama Rara Jonggrang (rara = dara/gadis; jonggrang = semampai) memang patung Durga digambarkan sebagai wanita gemulai yang mempesona.
.................................................... .................................................... .................................................... ....................................................
3. Uraikan pendapatmu terhadap kepribadian tokoh-tokoh dalam kisah Ramayana: No.
Kebaikan/positif
Kelemahan/negatif
2.
Kebaikan/positif
Kelemahan/negatif
3.
Kebaikan/positif
Kelemahan/negatif
.................................................................................. 2. Kitab Ramayana terbagi menjadi 7 kanda /episode yakni: Kanda
1
2
3
Isi pokok ceritanya .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... .................................................... ....................................................
4
.................................................... .................................................... .................................................... ....................................................
5
.................................................... .................................................... .................................................... ....................................................
6
.................................................... .................................................... .................................................... ....................................................
18
Bagaimana pendapatmu terhadap sikap Kumbakarna tersebut?
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
............................................................................................ ............................................................................................
............................................................................................ ............................................................................................
4.
INDONESIA IS MY LOVELY COUNTRY, I LOVE YOU FULL PENUTUP
S
8. Bagaimana upaya dunia pendidikan untuk melestarikan dan mengembangkan budaya tradisional yang bernilai adi luhung (luhur) agar tidak musnah ditelan waktu ?
ejarah merupakan salah satu ilmu yang perlu diajarkan untuk pembentukan karakter bangsa. Generasi muda perlu mengenal sejarah bangsanya bahkan peradaban dunia untuk sumber inspirasi guna menatap era globalisasi dan masa depannya agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang sama. Pengajaran sejarah perlu dimodifikasi dan diberi suasana yang menyenangkan, menarik dan merangsang siswa untuk ingin tahu peristiwa masa lampau, mengkritisi dan menarik hikmah dari peristiwa masa lalu sehingga dapat bertindak bijaksana. Pilih, pilah, dan pemberian sajian materi sejarah dengan pendekatan yang sophisticated dan multi dimensional sehingga akan menjadi daya tarik untuk siswa mau belajar sejarah. Guru dapat menjadi model pelaku sejarah yang dapat menginspirasi dan diteladani oleh para siswanya.
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
Penulis Maria Yovita Sri Wuryaningsih, Guru SMAN 70 Jakarta
7. Seniman/seniwati tradisional seperti penari sendratari ini telah bergelut puluhan tahun menekuni profesinya walau dengan imbalan yang kurang memadai.
1. Siapakah pencipta kitab Ramayana?
No.
9. Refleksikan tekad Anda setelah menyaksikan pertunjukan sendratari Ramayana ini dalam rangka mewujudkan pribadi yang mencintai tanah air dan berkepribadian Indonesia !
6. Kesimpulan apakah yang dapat Anda tarik mengenai kisah Ramayana tersebut?
1.
Di tubuh candi Siwa digambarkan relief yang sangat indah yaitu cerita Ramayana sebagai salah satu epos terkenal dari India selain Mahabharata.Selain disajikan dalam relief, cerita Ramayana dipagelarkan dalam sendratari oleh seniman Yogyakarta yang bertahan sampai sekarang. Cermati sendratari Ramayana dan ikuti alur ceritanya, kemudian jawablah pertanyaan berikut:
Tokoh
5. Walaupun tahu bahwa saudaranya yaitu Rahwana bertindak salah namun Kumbakarna tetap mau berperang demi membela negaranya melawan Rama dengan semboyan “ Right or wrong is my country�
Menurut pendapatmu bagaimana cara memperbaiki nasib para seniman tersebut?
............................................................................................ ............................................................................................ ............................................................................................
Kebaikan/positif
Kelemahan/negatif
4. Diskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam kisah Ramayana ! a. Kekuasaan : ........................................................................................ ........................................................................................ b. Kesetiaan : ........................................................................................ ........................................................................................ c. Kepatuhan : ........................................................................................ ........................................................................................ d. Kesabaran : ........................................................................................ ........................................................................................ e. Kelicikan : ........................................................................................ ........................................................................................ f. Kegigihan : ........................................................................................ ........................................................................................ Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
19
KLINIK PEMBELAJARAN Pengantar: Pada edisi jurnal yang ke 4 ini, redaksi akan secara khusus akan menyajikan konsep pendidikan karakter dan implementasinya dalam perencanaan dan proses pembelajaran. Sehingga pendidikan karakter yang sedang menjadi focus utama dalam upaya membangun watak peserta didik, benar-benar dapat terintegrasi di dalam kegiatan pembelajaran tanpa harus merubah sistematika proses pembelajaran secara menyeluruh. Tentu saja hal ini tidak merupakan sebuah harga mati bagi temanteman guru, karena proses implementasi pendidikan karakter sebenarnya sangat tergantung kepada kreatifitas para guru, asalkan rambu-rambu tentang karakter apa yang diharapkan terbentuk pada peserta didik itu memiliki kriteria yang jelas.
Pertanyaan: Apa yang dimaksud dengan pendidikan karakter itu ? Jawab: Pendidikan karakter di dalam konteks pendidikan dapat dimaknai sebagai sebuah proses internalisasi dari sifat-sifat utama yang menjadi cirri khusus dari suatu masyarakat yang disampaikan kepada peserta didik sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa sesuai dengan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Pertanyaan: Apakah selama ini pendidikan di Indonesia tidak mengandung unsur-unsur pendidikan karakter sehingga sekarang ini perlu secara khusus dimunculkan sebagai sebuah wacana baru ? Jawab: Sebenarnya kalau kita mengamati mencermati apa yang termaktub dalam UU nomor 20 tahun 2003, pasal 3 menegaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warganegara yang demokratis serta bertanggung jawab. Demikian juga dalam PP nomor 19 tahun 2005, seperti yang terdapat dalam Standar Kompetensi Lulusan, pada pasal 4 menjelaskan bahwa Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Selanjutnya kita lihat pasal 13, dijelaskan bahwa kurikulum untuk SMP/ MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat, SMA/SMK/ MA atau bentuk lain yang sederajat, dapat memasukkan 20
pendidikan kecakapan hidup yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan kecakapan vokasional. Dalam pasal 25 juga dijelaskan bahwa kompetensi lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan ketampilan , dimana hal ini diperjelas dalam pasal 26 yang menyatakan bahwa semua jenjang pendidikan mulai tingkat dasar sampai perguruan tinggi, berorientasi pada kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta ketrampilan untuk hidup mandiri. Maka jika kita renungkan dari isi semua pasal-pasal tersebut di atas, hal ini menunjukkan bahwa praktek pendidikan di Indonesia telah berorientasi kepada pendidikan karakter. Orientasi tersebut kita temukan pada kalimat di pasal 4 “membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat” pada pasal 13 “ kecakapan pribadi dan kecakapan sosial” serta “ kepribadian dan akhlak mulia” dan yang terdapat dalam pasal 26, sehingga sebenarnya pendidikan karakter itu telah sedemikian melekatnya dalam system pendidikan nasional. Pertanyaan: Jika telah sedemikian melekat dalam system pendidikan nasional, mengapa sekarang ini pendidikan karakter perlu diekspresikan secara khusus?
Pertanyaan: Bagaimana mengimplementasikan Pendidikan Karakter di Sekolah? Jawab: Pendidikan karakter di sekolah dapat diimplementasikan melalui tiga cara yaitu : (1) melalui pendekatan formal, yaitu dengan mengintegrasikan pendidikan ke dalam kurikulum. Sebenarnya hal ini telah terintegrasi di dalam Standar Isi tetapi kurang spesifik, sehingga perlu lebih dieksplorasi di dalam KTSP, dengan cara diintegrasikan di dalam tema dan ciri khas mata pelajaran. (2) melalui pendekatan budaya sekolah atau school culture yaitu pendekatan yang didasari dengan jabaran visi dan misi sekolah dan (3) melalui pendekatan paradigmatik, yaitu pendekatan yang didasarkan pada perubahan paradigma pendidikan. Tujuan pendidikan nasional Indonesia menonjolkan tiga unsur utama dalam pendidikan karakter peserta didik, yaitu religious, cerdas dan nasionalis, sehingga perlu dikembangkan proses pendidikan yang kontekstual, tidak terjebak kepada pendidikan agama yang dogmatis dan indoktriner, tetapi pendidikan agama yang rasional. Perlu juga dikembangkan pendidikan kewarganegaraan yang demokratis tidak terjebak pada pengingatan pasal-pasal dan penyampaian yang bersifat doktrin, substansi yang idealistik, legalistik, dan normatif.
Jawab:
Pertanyaan:
Sebab perkembangan sosial politik dan perilaku kehidupan berkebangsaan saat ini telah menujukkan taraf yang sangat mengkhawatirkan. Perilaku anarkis, tawuran antar warga masyarakat, penyalahgunaan penggunaan narkoba, korupsi, pergaulan bebas, kerusakan lingkungan dan sejumlah patologi sosial lainnya menunjukkan indikasi adanya kerusakan yang mendasar dari karakter bangsa. Meskipun jika ada kecenderungan bahwa pendidikan karakter dapat menjadi solusi bagi carut marutnya seluruh persoalan bangsa, agaknya juga menjadi suatu yang berlebihan.
Pendidikan karakter seperti apakah yang harus dikembangkan dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia ?
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Jawab: Melalui KTSP, pendidikan karakter yang dipilih sangat tergantung pada kebijakan managemen sekolah. Karena tanpa mufakat dari seluruh komponen sekolah pengimplementasian pendidikan karakter tidak akan menemui keberhasilan. Tetapi sebagai contoh salah satunya
adalah wawasan kebangsaan, yang terdiri atas 4 komponen, yaitu, Pancasila, Undang-undang Dasar 45, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika. Pertanyaan: Mengapa pendidikan karakter berwawasan kebangsaan itu penting ? Jawab : Pancasila merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa, falsafah Pancasila mengamanatkan, apapun agama yang dianut semua orang akan mengakui kekuasaan Tuhan Yang Esa, mengakui bahwa setiap orang memiliki harkat kemanusiaan yang sama, mengakui pentingnya persatuan bangsa, mengakui bahwa setiap warganegara memegang kedaulatan sebagai bangsa, dan mengakui bahwa setiap warganegara berhak mendapatkan keadilan sosial. UUD 1945 mengamatkan kemerdekaan bangsa yang bebas dari penindasan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Negara melindungi segenap warga, seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan sebuah kesatuan wilayah, penduduk dan pemerintahan yang menjamin seluruh warga bangsa adalah sederajat dan mempunyai kedudukan yang sama, dan Bhineka Tunggal Ika mengamanatkan kepada kita untuk menghormati perbedaan, memelihara toleransi dan mementingkan persatuan bangsa. Salam dan selamat berkreativitas !
Catatan : redaksi berhak untuk mengedit, menolak dan tidak memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan tujuan rubrik, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
21
MENGENAL SISI LAIN SEJARAH JAKARTA BERSAMA KOMNAS PEREMPUAN DAN MGMP SEJARAH DKI JAKARTA
Oleh Nani Asri Setyani, Guru Sejarah SMA Negeri Unggulan M.H.Thamrin, Jakarta
P
agi ini, Minggu 15 Mei 2011, udara cerah sama sekali tidak ada tanda-tanda akan hujan. Semoga saja acara hari ini juga secerah pagi ini, berjalan lancar, dan bermanfaat. Itu doa pertama yang saya ucapkan dalam hati sebelum berangkat menuju Museum Sejarah Jakarta atau Museum Fatahillah yang terletak di kota lama Batavia. Museum tersebut sering dijadikan meeting point bagi komunitaskomunitas masyarakat pecinta sejarah yang saat ini banyak bermunculan di Jakarta, misalnya saja Komunitas Historia atau Sahabat Museum. Pagi ini, Komnas perempuan dan MGMP sejarah DKI Jakarta juga menjadikan Museum Sejarah Jakarta sebagai meeting point bagi kegiatan awal kami untuk melakukan napak tilas perjalanan Reformasi. Taksi yang saya tumpangi bersama Ibu Ratna Hapsari (Ketua Asosiasi Guru Sejarah Indonesia) harus mencari jalan lain karena pagi itu bertepatan dengan Car Free Day di seputaran Jalan Sudirman dan M.H. Thamrin, sehingga akses jalan yang harus kami lalui menjadi sedikit lebih jauh. Untunglah, kami tidak terlambat. Kami disambut oleh Mbak Soraya Ramli dan Mbak Theresia Yuliawati sebagai panitia acara dan ketua Komnas Perempuan Mbak Yuniyanti Chuzaifah. Di dalam bus sudah ada serombongan wartawan dan Perkumpulan Wanita Tionghoa yang akan menjadi teman kami selama di perjalanan.
melibatkan Kementerian Pendidikan Nasional. Nantinya, materi ini akan dikemas secara cerdas untuk diintegrasikan dalam kurikulum pendidikan, khususnya pendidikan sejarah nasional. Kegiatan ini, bekerja sama dengan komunitas korban dan organisasi advokasi hak asasi manusia (HAM) yang tergabung dalam peringatan 13 Tahun Tragedi Mei 1998 serta Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah. Lewat kegiatan ini diharapkan mampu menjadi cara meneruskan pesan dan arti penting solidaritas, toleransi, penghargaan kepada kebhinekaan masyarakat Indonesia dan penghormatan kepada hak asasi manusia bagi para generasi bangsa. Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi semacam integrasi ingatan dan pembelajaran dari Tragedi Mei 1998. Pasalnya, perjalanan reformasi selama tiga belas tahun terakhir belum mampu menguatkan kewibawaan hukum. Kita semua pasti paham kalau sejarah korban pelanggaran HAM sampai saat ini tidak pernah diakomodir dalam sejarah Indonesia. Satu-satunya pelanggaran HAM yang masuk ke sejarah adalah tragedi kemanusiaan 1965 saja, itu pun hanya membahas soal sejarah politik. “Sejarah yang muncul tidak pernah obyektif, Sejarah dari sisi korban tidak pernah muncul.�
GEDUNG GALANGAN KAPAL VOC
Di masing-masing kursi sudah tersedia goodie bag yang berisi kaos, scarf, mug, CD, alat tulis, jadwal acara, serta brosur kegiatan. Acara ini terselenggara berkat kerja sama antara Komnas Perempuan, Perkumpulan Wanita Tionghoa, dan MGMP Sejarah DKI Jakarta.
22
Tepat pukul 08.00, perjalanan kami pun dimulai. Lokasi pertama kunjungan kami adalah gedung galangan VOC. Gedung tersebut semula merupakan galangan kapal Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Beng Kong merupakan tokoh besar yang memengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya di bumi Nusantara. Bahkan, nama besarnya telah dikenal dunia internasional. Satu hal yang unik, bahkan mungkin suatu keajaiban, adalah makamnya yang berumur lebih kurang 365 tahun dan masih bertahan terhadap kikisan perubahan zaman serta bertahan dari keganasan penggusuran (baca: pembangunan kota). Makamnya masih tetap pada lokasi semula. Sungguh suatu hal yang langka, di tengah gencarnya perebutan dan pemanfaatan lahan sebagai komoditas komersial.
Kita sangat beruntung memiliki seseorang seperti Ibu Susilawati. Beliau sangat peduli dan memiliki ketertarikan terhadap peninggalan budaya dan sejarah. Beliau memberi inspirasi untuk menjadikan gedung galangan kapal VOC sebagai pusat kebudayaan Tionghoa. Pada 2006 galangan kapal VOC membuka Sanggar Tari Walet yang mengajarkan tarian khas Tionghoa, sekolah musik Tionghoa Huang Hua, dan kaligrafi. Biaya pemeliharaan dan perawatan gedung didapat Ibu Susi dari membuka restoran yang digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan atau sekadar minum kopi dan teh. Menilik nilai historis gedung tersebut, rasanya kita semua sebagai pemerhati sejarah sangat bersyukur dan terharu karena masih ada orang-orang yang memiliki kesadaran sejarah, tanpa meminta bantuan apa pun dari pemerintah. Mereka tergerak untuk melestarikan dan memelihara peninggalan sejarah. Seandainya banyak orang seperti Ibu Susilawati di Indonesia, barangkali banyak monumen atau bangunan bersejarah terselamatkan. Setelah mengunjungi galangan kapal VOC, rombongan pun bergerak menuju kawasan Taman Sari untuk mengunjungi makam Kapitan Souw Beng Kong.
Napak reformasi ini dilakukan dengan menyusuri situs-situs sejarah yang terkait peristiwa Tragedi Mei 1998. Tragedi ini tidak bisa dilepaskan dari diskriminasi etnis Tionghoa, ketika situasi ekonomi Indonesia mengalami kemerosotan. Tujuan kegiatan ini adalah mengungkap berbagai fakta dan temuan TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) peristiwa Mei 1998 kepada para siswa dan pengajar sejarah khususnya di tingkat SLTA. Informasi-informasi yang berhasil dikumpulkan nanti akan dikemas sebagai bahan ajar yang siap pakai. Guru-guru sejarah akan dilibatkan dalam penyusunan narasi, serta sebagai bahan diskusi yang
VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang terletak di Jalan Kakap No. 1, Penjaringan, Jakarta Utara. Gedung ini berdiri pada 1628 dan berfungsi sebagai kantor dan tempat dagang VOC. Luas gedung lebih dari dua ribu meter persegi. Dahulu, di sekitar galangan VOC menjadi pusat perdagangan utama di Asia karena semua kapal baik kecil maupun besar melakukan bongkar muat di galangan ini. Pada 1980-1990, gedung ini digunakan sebagai gudang gula. Juga, sebagai bengkel besi, dan kayu, gudang bahan kimia, bahkan gedung sempat tidak digunakan sama sekali. Namun, pada 1997, PT Sunda Kelapa Lestari (pimpinan Ibu Susilawati) mempunyai inisiatif untuk melestarikan gedung bersejarah ini, dan merenovasi gedung tanpa mengubah struktur bangunan asli.
RIWAYAT SINGKAT SOUW BENG KONG
MAKAM KAPITAN SOUW BENG KONG
Terus terang, saya malu karena sebagai guru sejarah, saya tidak tahu sama sekali tentang sosok Souw Beng Kong. Sepertinya saya harus belajar banyak tentang sejarah Jakarta, walaupun saya telah lama menjadi penduduk kota ini. Berikut ini merupakan sedikit biografi yang mengantarkan kita ke sosok Souw Beng Kong.
Rombongan kemudian melanjutkan perjalananan ke kawasan Mangga Dua untuk mengunjungi makam Kapitan Souw Beng Kong. Tokoh Tionghoa ini memiliki peranan besar dalam pengembangan cikal bakal kota Batavia. Souw
Souw Beng Kong lahir di kota Tong An, Hokkien Tiongkok pada 1580. Sejak kecil Souw Nem Kong memiliki cita-cita besar, sangat cerdas, menguasai ilmu pengetahuan yang luas dan ilmu bela diri yang tinggi. Pada masa
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
23
mudanya bersama beberapa teman Souw gemar berlayar mengarungi Laut Cina Selatan.
parah dan memakan korban jiwa paling banyak pada saat tragedi Mei 1998.
Souw Beng Kong pertama kali tiba di Pulau Jawa pada masa akhir dinasti Ming, di daerah Banten (1604). Kemudian ia menetap dan mengembangkan pertanian, perkebunan serta tata pengairan bersama dengan para pendatang (orang Tionghoa) lain di sana. Ia berdagang hasil bumi, terutama lada, sehingga menjadi kaya raya dan terkenal.
PRASASTI JARUM MEI 1998
Souw menjadi tokoh rebutan antara Sultan Banten dan VOC, karena dipandang sebagai penggerak pembangunan yang dapat mendatangkan keuntungan dan kemakmuran daerah kekuasaannya. Bahkan, Sultan Banten telah mengeluarkan peraturan hukum bagi warganya yakni melarang penduduk Banten termasuk orang Tionghoa untuk berpindah keluar daerah kekuasaannya. Setelah Belanda merebut Jayakarta pada 30 Mei 1619, Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen memerlukan orang yang berpengalaman dan berpengaruh untuk membantunya membangun Batavia. Pilihan jatuh pada Souw Beng Kong, dan VOC berhasil membujuk Beng Kong untuk pindah dari Banten ke Jayakarta. Selanjutnya VOC mengangkat Beng Kong menjadi kapitan, beliau adalah orang pertama Tionghoa yang menjadi kapitan di Batavia. Setelah menjadi kapitan, Beng Kong berhasil mengembangkan Batavia menjadi kota utama VOC. Pada akhir 1628, Batavia diserang dari tiga arah yaintu dari barat oleh Sultan Banten, dari timur oleh Sultan Agung, dan dari utara (laut) oleh Inggris. Sultan Banten dan Belanda telah meminta bantuan Souw Beng Kong untuk membantu, tetapi keduanya ditolak dengan alasan Souw tidak mau campur tangan masalah politik. Orang Tionghoa berpendapat tidak perlu mencampuri urusan peperangan karena mereka hanya menuntut hidup dari pertanian dan perdagangan. Souw Beng Kong sangat dihormati oleh masyarakat Tionghoa atas jasa-jasa baiknya di bidang pembangunan kota dan peningkatan kesejahteraan. Souw wafat pada 8 April 1644, dan dimakamkan di kawasan Mangga Dua (Sekarang Jalan Pangeran Jayakarta). Makamnya masih bertahan hingga kini. Itulah riwayat singkat Souw Beng Kong. Bagi sebagian besar masyarakat Tionghoa Batavia, beliau merupakan seorang tokoh pahlawan yang ikut membangun dan menyejahterakan Batavia tempo dulu. Tidak heran makam beliau pun dipugar dan dirawat oleh komunitas masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Yayasan Kapitan Souw Beng Kong. Dari kawasan Mangga Dua, perjalanan kami lanjutkan ke wilayah Klender, Jakarta timur. Tepatnya di kawasan Jogya Department Store, kawasan yang dulu menjadi tempat paling 24
Masih membekas dalam ingatan kita tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998, pada 13-14 Mei 1998. Beberapa lokasi di Jakarta, seperti Mitra Bahari Penjaringan Utara Pluit – Muara Karang, Mangga Dua, Sunter Podomoro, Plumpang Koja, Yogya Plaza Klender dan masih banyak lokasi lain luluh lantak dalam peristiwa tersebut.
1998, pengungkapan peristiwa tiga belas tahun lalu ini belum terselesaikan. Padahal, mereka yang tergabung dalam TGPF adalah orang-orang yang kompeten, di antaranya dari unsur pemerintah, Komnas HAM, LSM, dan organisasi kemasyarakatan lain. TGPF dipimpin oleh Marzuki Darusman. Pihak TGPF hanya menyimpulkan bahwa keterlibatan banyak pihak mulai dari preman lokal, organisasi politik dan massa, hingga keterlibatan sejumlah anggota dan unsur dari tubuh ABRI yang di luar kendali dalam kerusuhan ini.
Rata-rata di tiap lokasi terjadi konsentrasi massa (masyarakat sekitar) dan sekelompok orang yang tidak dikenali warga setempat. Mereka datang membawa berbagai peralatan seperti besi, linggis, dan melakukan perusakan di area-area publik seperti pasar, pertokoan,dan lain-lain. Mereka kelihatan terorganisir dan mengajak warga sekitar bergabung untuk melakukan perusakan, tetapi setelah warga turun dan melakukan perusakan, kelompok ini pun pergi meninggalkan lokasi. Skenario inilah yang terjadi ketika kerusuhan 13–14 Mei 1998 di Jakarta dan sekitarnya. Banyak kesaksian seperti ini yang diceritakan oleh para saksi mata. Banyak korban berjatuhan antara lain korban yang terpanggang hidup-hidup ketika mereka berada di dalam pertokoan atau departemen store. Tidak jelas siapa yang melakukan pembakaran dan pembunuhan. Ironisnya mereka yang menjadi korban dalam peristiwa tersebut sering di sebut sebagai penjarah atau pencuri. Seperti yang dialami oleh Ibu Ruminah dan rekanrekannya ketika anak yang mereka sayangi harus menjadi korban dalam peristiwa tersebut di Yogya Department Store. Rata-rata anak yang menjadi korban berusia antara 12-13 tahun. Satu hal yang diinginkan oleh para ibu seperti Ibu Ruminah adalah pemerintah mencabut tuduhan penjarah bagi anak-anak mereka yang menjadi korban kekerasan dalam peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998, karena selama ini tuduhan pencuri dan penjarah menjadi kata-kata sakti dari pemerintah untuk menggambarkan mereka yang sebenarnya menjadi korban. Satu hal yang paling diingat oleh Ibu Ruminah dan ibu-ibu lain yang anaknya menjadi korban adalah, awalnya warga sekitar hanya melihat aksi orang-orang tersebut, tetapi selanjutnya mereka diajak dan disuruh ikut melakukan perusakan dan penjarahan. Umumnya aparat keamanan tidak ada di lokasi kejadian saat kerusuhan berlangsung dan baru tiba ketika kerusuhan selesai. Walaupun pemerintah telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa 13-15 Mei Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
tersebut saya tanyakan kepada Ibu Ruminah, beliau menjawab dengan lugas dan tegas bahwa jarum dan benang mempunyai makna untuk merajut luka-luka dari tragedi Mei 1998. Melalui prasasti inilah para ibu di lingkungan kampung tersebut ingin mengenang anak-anak mereka yang menjadi korban dalam tragedi berdarah Mei 1998. Konservasi prasasti ini menjadi keprihatinan saat ini. Prasasti ini sempat akan digusur untuk kepentingan jalur hijau. Keamanan prasasti ini juga sulit terjaga, baik karena diambil besinya, dicoret-coret, maupun karena alam (hujan dan panas). Padahal ini merupakan satu-satu monumen yang ada untuk mengenang peristiwa Tragedi Mei 1998. Di akhir kunjungan kami para ibu di lingkungan Kampung Klender memberikan kami suatu suvenir berbentuk boneka. Namun, ada yang menggelitik rasa ingin tahu saya, sebab boneka yang mereka berikan bermimik cemberut dan sama sekali tidak menarik. Ketika hal tersebut kami tanyakan, mereka menjawab “Ketika membuat boneka ini, hati kami masih luka dan tercabik-cabik, jadi boneka yang kami buat seperti ini bentuknya. Barangkali kalau pemerintah sudah menuntaskan kasus kerusuhan Mei 1998, serta membersihkan nama anak-anak kami, bahwa mereka bukanlah penjarah, mungkin boneka yang akan kami buat selanjutnya penuh dengan senyuman.�
KILAS JEJAK 13 TAHUN PENANGANAN TRAGEDI MEI 1998 Ada secercah harapan bagi para ibu di kampung Klender yang mengharapkan pemerintah bisa menuntaskan persoalan hukum dan kemanusiaan dari Tragedi Mei 1998 yaitu, sudah ada 2 dari 8 rekomendasi TGPF (Tim Gabungan Pencari fakta) peristiwa 13-14 Mei 1998 yang telah ditindaklanjuti oleh pemerintah. Pertama, perbaikan jaminan keamanan bagi saksi dan korban dengan membuat undang-undang seperti yang dimaksud dan membuat badan permanen untuk melaksanakan program perlindungan terhadap para korban dan saksi.
Angka korban secara nasional sangat sulit dipastikan karena ada banyak kelemahan data di lapangan, terutama dalam prosedur pemantauan dan pelaporan. Tapi yang pasti sebagian besar dari para korban merupakan rakyat kebanyakan dan mereka meninggal karena di/terbakar. Mereka tidak dapat disalahkan begitu saja dengan stigma sebagai penjarah. Untuk mengenang mereka yang meninggal dalam peristiwa tersebut, masyarakat di sekitar lokasi kampung di Klender, yang sebagian besar menjadi korban dalam peristiwa Mei 1998, membangun Prasasti Jarum Mei 1998. Prasasti ini berdiri di samping sungai yang melintasi Kampung Klender, salah satu lokasi pemukiman yang sejumlah warganya menjadi korban ter/dibakar dalam kerusuhan Mei 1998, terutama di Mal Yogya Klender. Ada rasa penasaran dalam diri saya, sewaktu melihat prasasti itu. Pertanyaan pertama yang terlintas di benak saya adalah mengapa jarum dan benang? Sewaktu hal
Kedua, meratifikasi konvensi internasional mengenai anti diskriminasi rasial, merealisasikan pelaksanaannya dalam hukum positif, termasuk implementasi dalam konvensi anti penyiksaan. Termasuk dalam hal ini adalah kebijakan negara untuk mencabut aturan-aturan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa dan penerbitan UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sayangnya, sampai hari ini pemerintah belum menyusun dan mengumumkan buku putih mengenai peranan dan tanggung jawab serta keterkaitan satu sama lain serta pihak-pihak yang bertalian dengan kerusuhan tersebut, berdasarkan hasil penyelidikan lanjutan terhadap sebab-sebab pokok dan pelaku utama peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998. Walaupun TGPF Mei 1998 telah merekomendasikan agar beberapa pihak terkait yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut, tampaknya pemerintah masih belum menentukan sikap terhadap temuan fakta di lapangan yang dikumpulkan oleh TGPF Mei 1998. Bahkan DPR RI sendiri telah memerintahkan untuk membentuk pengadilan ad hoc untuk pengusutan tuntas
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
25
kasus tersebut, namun sampai saat ini upaya tersebut belum terwujud.
KARTINI VS RATU KALINYAMAT
Rehabilitasi dan kompensasi belum tersedia bagi semua korban kerusuhan. Upaya pemulihan lebih banyak merupakan inisiatif dari masyarakat sipil. Upaya untuk memastikan adanya tugu peringatan Mei 1998 di pemakaman massal korban Mei 1998 Pondok Rangon, tempat sebagian besar korban di/terbakar, belum mendapatkan dukungan dari Pemda DKI. Prasasti Jarum Mei 1998 yang terletak di Klender harus berhadapan dengan risiko dirusak bahkan sempat diberitakan akan digusur. Tragedi Mei 1998 tidak diintegrasikan dalam agenda resmi negara sebagai peristiwa nasional yang harus diperingati setiap tahun. Dalam kurikulum pendidikan sejarah nasional juga tidak banyak diulas. Padahal, melalui pendidikan sebetulnya sangat penting untuk memastikan peristiwa serupa tidak terulang lagi di masa mendatang.
B
isa dikatakan, tokoh perempuan Indonesia yang paling dikenal adalah Kartini. Namun, tak jarang orang membanding-bandingkan kehebatan Kartini dengan tokoh perempuan lainnya. Bahkan, ada yang bilang bahwa Kartini kalah hebat dengan tokoh ini dan tokoh itu. Salah satunya adalah mempertentangkan kehebatan Ratu Kalinyamat dengan Kartini1. Dua pendekar perempuan tersebut sama-sama berasal dari kalangan ningrat pribumi Jawa, tepatnya Jepara, Jawa Tengah.
Perjalanan kami hari ini ditutup dengan diskusi, dan renungan bersama para korban dan saksi mata dalam peristiwa Mei 1998. Apa yang kami diskusikan hari ini merupakan bentuk keprihatinan kami semua terhadap peristiwa tersebut dan berharap pemerintah menjamin agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi di masa datang. Renungan kami hari ini juga paling tidak menjadi penyejuk dan bentuk solidaritas dukungan dan kekuatan bagi para korban terutama kaum ibu yang kehilangan orang-orang terkasihnya dalam peristiwa Mei 1998. Bagi kami para Guru Sejarah, perjalanan hari ini memberikan banyak pelajaran berharga yang wajib kami integrasikan dalam pembelajaran di kelas. Fakta-fakta yang kami dapatkan hari ini semoga bisa menambah informasi bagi proses pembelajaran yang selama ini kami lakukan.
Boleh-boleh saja pendapat seperti itu. Hanya saja, dalam kacamata sejarah, haruslah bijak dalam memahami dan melihat persoalan tersebut. Perjuangan Kartini dan Ratu Kalinyamat harus ditelaah pada konteks zamannya. Dengan demikian, akan jelas dimana letak perbedaannya. Ratu Kalinyamat adalah tokoh sekitar abad ke16 dimana feodalisme mendominasi corak kehidupan masyarakat Jawa. Ia memang dipercaya sebagai ratu yang baik, adil, dekat dengan rakyat, setia, dan berani. Terlepas dari berbagai mitos yang melingkupi keagungan Ratu Kalinyamat, hal utama yang harus kita ketahui, ia adalah seorang ratu yang mewarisi cita-cita Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor dalam upaya mengusir bangsa Portugis. Portugis menguasai pusat perdagangan di Malaka. Kala itu, Malaka adalah daerah strategis dalam menggalang rempahrempah untuk dijual ke wilayah Eropa. Hal ini menyebabkan Demak tidak mampu memperoleh keuntungan besar dalam perdagangan antar Pulau. Kesejahteraan Demak sebagai kerajaan maritim sangat bergantung pada kemampuannya menguasai jalur perdagangan dengan wilayah luar Jawa baik sebagai penghasil rempah maupun jalur pemasaran.
Sayangnya waktu beranjak sore. Dengan terpaksa kami harus menyelesaikan perjalanan kami hari ini. Semoga apa yang kami lakukan pagi hingga siang hari ini dapat memberikan pembelajaran berharga bagi kami semua. Semoga tahun depan KomnasPerempuan bersedia melakukan kegiatan ini kembali, agar kami dapat bertemu dan berbagi kekuatan dengan para keluarga korban. Bagaimana pun peristiwa Mei 1998 memberikan warna tersendiri bagi perjalanan Sejarah Indonesia. Sembari berharap pemerintah memiliki good will untuk menuntaskan persoalan hukum dan kemanusiaan dari peristiwa ini, para guru sejarah dapat ikut bersolidaritas melalui pengajaran sejarah agar kasus serupa tidak berulang lagi.
Dalam konteks ini, cita-cita Pati Unus yang juga diwarisi Ratu Kalinyamat sesungguhnya sangatlah mulia. Belajar dari kekalahan Pati Unus saat menyerang Malaka, Ratu Kalinyamat kembali menyusun armada perang dan mengajak kerjasama dengan Kerajaan Aceh. Namun lagi-lagi berakhir dengan kekalahan. Setelah itu, cita-cita menguasai jalur laut tak pernah lagi ada penerusnya. Padahal, justru karena ketiadaan cita-cita itulah yang kemudian menyebabkan wilayah laut (pengikat kesatuan Nusantara) dikuasai oleh bangsa Eropa. Sementara kekuasaan di Jawa kemudian semakin masuk ke pedalaman dan tak mampu lagi mengembangkan bidang perdagangan. Artinya, 1 Pernyataan ini pernah dipaparkan dalam sebuah artikel berjudul “Selamat Tinggal Kartini, Selamat Datang Ratu Kalinyamat”, bdk: Miftahus Surur, Srinthil Media Perempuan Multikultural, edisi 9, 2006, halaman 7-31 26
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
dengan dikuasainya wilayah laut, kerajaan-kerajaan di Jawa hidup dalam “tawanan” bangsa Eropa hingga kemudian tunduk tak berdaya. Dalam pemahaman inilah Ratu Kalinyamat patut kita hormati. Sedangkan dalam konteks feodalisme yang melingkupi sepanjang hidupnya, kita patut kritis dalam mengambil hikmah. Sebab, sistem feodal itulah yang kemudian dikritik oleh Nasionalisme Indonesia. Dan Kartini, adalah salah satu tokoh pertama yang mengkoreksinya. Ia adalah perempuan di zaman peralihan yang menjadi pijakan awal lahirnya era kebangkitan nasionalisme. Pemikirannya yang tajam menjadi benih-benih yang berusaha mengubur feodalisme pribumi Jawa yang sudah menjadi “pesakitan”. Feodalisme pribumi Jawa di abad ke-19 adalah suatu sistem kehidupan sosial warisan kebudayaan Hindu dimana masyarakat terbagi dalam sekat-sekat dan tingkatan dari yang tertinggi dan terendah. Yang tertinggi sangat menentukan pihak yang dibawahnya. Yang tertinggi dianggap sebagai wakil Tuhan di atas bumi sehingga harus disembah. Saat kebudayaan Islam masuk di Nusantara, feodalisme Jawa belumlah sepenuhnya berakhir, dan keburu masuk era kolonialisme. Sistem kehidupan inilah yang kemudian dikritik oleh Kartini dan terus berlanjut di era kebangkitan Nasionalisme abad ke-20. Kritik Kartini
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
27
kecil itu tak boleh menghampiri, sebelum aku berkenan mengambil barang sedikit. Duh, Stella, kau harus lihat, bagaimana di kabupatenkabupaten lain saudari dan saudara itu bergaul! Mereka itu saudara, hanya karena mereka anak dari orangtua yang sama; tak ada ikatan lain yang menghubungkan mereka terkecuali darah. Saudara-saudara itu hidup, berdampingan seperti orang-orang asing satu terhadap yang lain, cuma persamaan raut muka, yang kadang-kadang pun tak nampak, yang jadi tanda kesaudaraan mereka. ... Wanita-wanita yang lebih tua dari pada aku, tetapi merupakan bawahanku sejauh mengenai kebangsawanannya, menghormati aku, karena hal itu memang sudah jadi hakku. Aku tahu mereka lakukan itu dengan sukarela, sekalipun aku jauh lebih muda dari pada mereka, tapi aku seorang keturunan ningrat yang mereka puja, yang rela mereka korbankan harta dan darahnya. Sungguh mengharukan betapa bawahan itu begitu patuhnya kepada atasannya (Surat, 18 Agustus 1899, kepada Estelle Zeehandelaar). Kartini menggambarkan feodalisme pribumi Jawa dalam gambaran real sehari-hari dengan cukup terperinci. Dalam gambaran seperti inilah berlaku tata kehidupan masyarakat. Perikemanusiaan menjadi tidak setara, bahkan pun dalam satu hubungan darah di satu keluarga. Apalagi bila dalam hubungan atasan dan bawahan, antara pejabat dengan bawahannya, antara pejabat dengan rakyat jelata. Hubungan yang kaku antara kelompok bangsawan dengan rakyatnya masih dapat ditemukan kembali dalam cerita dan pementasan wayang berdasar epos-epos Hindu Mahabharata dan Ramayana, maupun cerita yang sudah digubah oleh Sunan Kalijaga. dapat dilihat dari beberapa penggalan suratnya seperti berikut ini. Mengejutkan adat kami orang Jawa. Seorang adikku, lelaki maupun wanita, tak boleh jalan melewati aku, atau kalau toh harus melewati, dia mesti merangkak di atas tanah. Kalau scorang adik duduk di atas kursi dan aku hendak lalu, mestilah dia segera meluncurkan diri ke tanah dan di sana duduk menekuri tanah itu sampai aku tak nampak lagi olehnya. Terhadap aku, adik-adikku tidak boleh bera kuber-kau; dan pada setiap akhir kalimat yang keluar dari mulutnya harus mereka tutup dengan sembah. Kalau adik-adikku, tak peduli lelaki atau wanita, bicara dengan orang- orang lain tentang diriku, mereka harus pergunakan bahasa tinggi segala apa yang berhubungan dengan diriku, misalnya pakaian, tempat duduk, tangan, kaki, mata, pendeknya apa saja milikku. Kepalaku yang terhormat ini tiada boleh mereka menyentuhnya tanpa izin istimewa dari aku dan itu pun sesudah diupacarai dengan beberapa kali sembah.
Kalau ada penganan di meja, bocah-bocah
28
Kartini ingin mengungkapkan bahwa tinggi rendahnya kehormatan seseorang terletak pada darah kebangsawanannya dan jabatan yang didudukinya. Seorang yang berdarah ningrat dan semakin tinggi ia menduduki jabatan, tak peduli ia bodoh, bermoral, beradab atau tidak, terpelajar atau tidak, bijaksana atau tidak, berbudi atau tidak, kejam atau pun tidak, ia tetap berhak dihormati, disembah oleh semua orang apalagi bawahannya. Nilai manusia dan kehebatan manusia bukan terletak pada kemampuannya dan sumbangsihnya pada masyarakat tetapi terletak pada ada dan tidaknya darah bangsawan yang mengalir dari padanya dan di mana jabatan atau kedudukannya. Terhadap sistem sosial seperti inilah Kartini mengkritik. Ia berpendapat bahwa sistem tersebut mengakibatkan tata hidup mana yang baik dan mana yang buruk, tidak dapat diukur. Di dalamnya pun tidak ada makna keluhuran apa pun. Sebab, semuanya bergantung kepada suatu formalitas hampa. Rakyat ibarat benda berbentuk manusia dan harus tunduk pada si dalang. Bangsawan menentukan segalanya. Sistem sosial seperti ini bertahan beratus-ratus tahun karena pada era pemerintahan raja-raja, memang sedang berlangsung zaman dimana masyarakat butuh suatu sistem peraturan dan pelapisan-pelapisan sosial yang keras. Tujuanya adalah keteraturan, ketertiban sehingga raja bisa melangsungkan berkah dan ketentraman bagi masyarakat Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
yang setiap saat terancam oleh serangan-serangan dari kerajaan lain. Dan puncak dari era ini berlangsung pada masa pemerintahan Majapahit. Begitu Majapahit hancur, sebenarnya sedang berlangsung kehancuran sistem feodalisme. Raja-raja Islam selanjutnya belum selesai membuat tatanan baru karena sudah keburu masuknya kolonialisme Barat yang mempunyai ilmu pengetahuan dan teknologi lebih modern. Tatkala bangsa kolonial mampu menguasai Nusantara, mereka masih tetap mempertahankan sistem feodal di bawah pimpinan raja-raja atau bangsawan lokal. Para bangsawan tersebut menjadi “pegawai” resmi yang tunduk pada pemerintah kolonial. Dengan cara ini, kolonial tidak perlu bersusah payah mengatur rakyat secara langsung. Jadi, dengan kata lain, rakyat Nusantara justru “dikalahkan/ ditundukkan” oleh kolonial melalui kaum feodal. Lagi pula, dengan cara ini, proses munculnya kesadaran baru, nilainilai kemanusiaan, ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan kesetiakawanan dihalang-halangi atau paling tidak tidak bisa tumbuh di hati rakyat Nusantara secara cepat (revolusi). Singkat kata, melalui kaum feodal, bangsa kolonial yang pernah berkuasa di Jawa (Belanda, Inggris, Perancis) dapat melakukan eksploitasi tanpa bersusah payah. Akibatnya, lapisan masyarakat yang paling rendahlah yang paling menderita dan menanggung beban penjajahan. Kaum petani dan pekerja dianggap sudah pantas menjalankan pekerjaan kotor dan keras, karena mereka dianggap sudah “takdirnya”. Kaum bangsawan tidak boleh bekerja keras, karena dalam sistem feodal “kerja” (apalagi kerja yang mendekati dengan unsur-unsur tanah) dianggap sebagai tanda kehinaan dan “tidak kerja” merupakan kemuliaan dan itu milik kaum feodal. Maka, ketika dalam diri Kartini muncul kesadaran memberontak terhadap sistem sosial semacam ini, sesungguhnya sudah termasuk revolusi jiwa yang sangat menentukan dalam suatu proses perubahan masyarakat. Kesadaran ini bukanlah lahir sekonyong-konyong namun hasil dari pergulatan batin seorang wanita ketika harus menghadapi ketidakadilan dan kepincangan feodalisme yang berlangsung di depan matanya, di dalam keluarganya sendiri, serta di masyarakat Jepara. Ia mengkritik praktek poligami sementara ia lahir dari praktek poligami. Di masa itu, hampir semua wanita tak ada yang berani menolak permintaan seorang bangsawan yang menghendaki menjadi istrinya yang ke sekian. Ia mengalami langsung bagaimana rasanya sebagai korban (baca: anak) dari praktek permaduan. Dan praktek poligami di Jawa adalah warisan sistem feodal dan bukan warisan Islam. Ia juga menyaksikan penderitaan anak-anak yang kurang makan sementara ibunya hidup sendiri ditinggal suaminya yang kawin lagi.Ia juga mengetahui bagaimana penderitaan praktek tanam paksa dan kerja paksa yang berlangsung di bawah perintah kaum feodal sebagai perpanjangan kolonial. Ia mengalami tradisi pingitan sampai datangnya pelamar atau jodoh yang ditentukan tanpa ia kenal terlebih dahulu. Ia menyaksikan keterbelakangan kaum perempuan dan menghendaki pendidikan bagi kaum perempuan. Dan penderitaan serta ketidakadilan lain yang juga selalu menyayat hatinya. Situasi-situasi ini pula yang ikut membentuk Kartini. Bila memahami dinamika pergulatan batin dan hidupnya, kita bisa menyelami bagaimana penderitaan Kartini sekaligus bagaimana revolusi jiwa, revolusi kemanusiaan, dan revolusi pikir berlangsung (pencerahan) yang kelak ikut
berperan dalam mengilhami pemikran kaum nasionalis. Dan ini hal ini bukan mengada-ada. Dalam surat-suratnya yang tidak diterbitkan oleh Abendanon, ia berharap agar kaum muda yang terdidik secara Barat dikemudian hari secara bertahap dapat membawa rakyat yang tertindas menuju pembebasan dari kolonialisme (memerintah sendiri)2. Nampaknya sebagian cita-cita Kartini kemudian terwujud dan pemikirannya pun banyak mengandung kebenaran dan dibutuhkan di zaman setelah ia wafat di usia yang begitu muda. Begitulah berturut-turut kemudian masuk zaman kebangkitan nasionalisme, zaman kemerdekaan, zaman Jepang, hingga zaman kemerdekaan. Indonesia yang kemudian lahir dinyatakan tegas bukanlah kelanjutan dari negara feodal. Sistem feodal ditinggalkan walaupun sisa-sisanya belum bisa kita kikis habis sampai detik ini. Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan, antara Ratu Kalinyamat dan Kartini telah berjasa dan ikut berkontribusi dalam memberikan hikmah sejarah. Keduanya adalah pendekar pada zamannya. Keduanya patut kita hormati dan tak ada mana yang paling hebat dan mana yang lebih lemah. Kalau pun kemudian ada gelar “pahlawan” yang disematkan oleh negara terhadap Kartini, bukan berarti tokoh lain bukan pahlawan. Dengan kata lain, yang berwenang menentukan pahlawan atau bukan, bukanlah hanya mutlak di tangan negara. Biarlah negara mempunyai kriteria-kriteria versi mereka, tetapi tak berhak memonopoli pemahaman mana pahlawan dan mana yang bukan dalam arus sejarah. Kita tidak perlu terjebak dalam pengkotakkotakan versi mereka. Sebab, kita semua adalah pelaku sejarah. Di tangan pelaku sejarah, pahlawan tidak pernah tunggal. Taat Ujianto Guru SMP Sint Joseph dan Anggota ISSI
Daftar Bacaan: Miftahus Surur, Srinthil Media Perempuan Multikultural, edisi 9, 2006, halaman 7-31 Kartini, RA. Habis Gelap Terbitlah Terang, Djakarta: Balai Pustaka, 1968 Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja, Jakarta: Lentera Dipantara, 2006.
2 Surat-surat Kartini tidak semua dimuat dalam Door Duisternis tot Licht yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tersebut diluncurkan oleh Abendanon dengan tujuan memenuhi kepentingan politik etik sehingga surat-surat Kartini yang mengkritik pemerintah Hindia Belanda dan budaya Barat sengaja tidak dipublikasikan, bdk: Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, 2003, Jakarta: Lentera Dipantara, halaman 153-154.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
29
Yentriyani sedikit dari kaum perempuan yang telah menjadi pengisah bagi kaumnya. Di atas keyakinan bahwa perempuan harus menulis sejarahnya sendiri, mereka berhasil melakukan penelitian tentang bagaimana peran perempuan dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia yang kemudian dituangkan melalui sebuah buku berjudul Kita Bersikap: Empat Dasawarsa Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Perjalanan Bangsa. Buku yang terbit pada 2009 dengan penerbit Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan memiliki ketebalan sejumlah xii + 207 halaman dengan format orientasi landscape. Sebuah format buku yang tak lazim sebagaimana format buku sejarah yang ada pada umumnya. Pun demikian, dengan warna jilid buku termasuk foto sampul muka. Warna jilid genit khas perempuan dengan foto sampul muka yang membuat merinding pembaca dengan keterangan. “Foto disampul adalah sisa-sisa rumah Geudong, tempat pemerkosaan dan penyiksaan seksual terhadap sejumlah perempuan Aceh terjadi. Rumah ini dibakar oleh massa setelah status DOM Aceh dicabut. Sisa-sisa rumah Geudong adalah bukti bagaimana jejak sejarah bangsa perlahan sirna oleh waktu bila tidak ada yang mau mengingat dan merawatnya”. Dari judul dan foto sampul sebagaimana digambarkan di atas dapatlah kita memperoleh pemahaman mengenai nasib perempuan Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Sebuah nasib yang tidak menguntungkan, meskipun secara tradisonal dimuliakan.
KITA BERSIKAP: EMPAT DASA WARSA KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN DALAM PERJALANAN BANGSA Resensi oleh: Ade Munajat
Penulis Kamala Chandrakirana, Ayu Ratih, Andy Yentriyani Penerbit Komisi nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Tebal 207+ xii halaman
T
ema historiografi Indonesia semakin beragam. Setelah tema politik, ekonomi, sosial, pendidikan, maritim, militer, agraria, kesenian, ABRI, diplomasi, tata negara, agama, serta sejarah lokal, kini bertambah dengan tema sejarah perempuan. Mengenai tema historiografi yang disebut terakhir lahir karena perempuan dipandang absen dari sejarah. Menurut peneliti dari Universitas Sydney, Safrina Thristiawati, perempuan telah menghilang dari literatur sejarah Indonesia. Dalam berbagai kajian, menurut Safrina, perempuan kadang dikatakan berperan penting, tetapi bahasannya tidak terlihat. Dari segi jumlah, tambah Safrina, dari lebih 1.700 buku mengenai sejarah yang diterbitkan di Indonesia sejak 1997, hanya dua persen yang membahas peran perempuan. Itu pun belum dalam perspektif yang lebih berkeadilan. Historiografi kita memang penuh dengan kisah heroisme kaum laki-laki. Dengan demikian sejarah kita menjadi sejarah kaum laki-laki. Sejarah yang didefisikan sebagai sejarah androsentris, yakni sejarah yang berpusat pada kaum lelaki.
Ada banyak faktor penyebab mengapa historiografi menjadi androsentris. Pertama, karena persepsi bahwa kehidupan perempuan dianggap timelessness. Kehidupan perempuan terbatas hanya pada persoalan domestik rumah tangga seperti mengandung, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak serta pekerjaan lain dalam lingkungan rumah tangga. Di dalam konteks demikian tidak terdapat ruang bagi perempuan dalam dunianya kaum lelaki berupa politik yang syarat intrik dan kekerasan. Bahwa apabila perempuan kemudian hadir dalam konteks tersebut, lazim perempuan diperankan sebagai obyek pelengkap penderita kaum laki-laki. Faktor berikut, lebih dari sekadar persepsi sebagaimana dijelaskan di atas, ialah tradisi dalam masyarakat kita berupa konstruksi klasifikasi sosial yang menarik garis demarkasi 30
antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Laki-laki adalah maskulin dan perempuan adalah feminim. Kontruksi sosial semacam itu menjadi tidak menguntungkan bagi kehadiran perempuan dalam historiografi. Sebab, para penulis sejarah kita menjadi sangat terikat bias gender. Minat penelitian para peneliti-penulis sejarah yang mengarahkan pada tema heroisme, perlawanan bersenjata, misi-misi dengan risiko tinggi dalam perjuangan sama sekali mengabaikan peran perempuan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun. Hal demikian semakin terasa sangat kental bila kita merujuk pada budaya Jawa dengan patriarki sangat menonjol dengan anggapan bahwa perempuan akan sangat terhormat jika menjalankan peran kultural domestiknya. Jadi, bila terdapat perempuan keluar dari peran itu, maka perempuan itu didefinisikan sebagai bukan perempuan biasa. Dia merupakan perempuan pemberani. Hal tersebut, sesungguhnya, jika dicermati, menjadi suatu kenyataan bahwa ketika perempuan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan kaum laki-laki menjadi tidak dianggap sebagai suatu kewajaran tetapi di luar kewajaran. Itulah sebabnya, diduga, Cut Nyak Dien, tidak lebih populer ketimbang Kartini. Patut juga menjadi renungan kaum perempuan, bahwa ketidakhadiran perempuan dalam historiografi Indonesia ialah karena sebab sedikit sekali –untuk menyebut tidak ada– perempuan peduli terhadap nasib perempuan itu sendiri dalam sejarah. Kekurangpedulian menyebabkan ketidakadaan minat pada penelitian mengenai peran perempuan dalam sejarah. Itulah sebabnya harus dibangkitkan spirit : setiap perempuan harus menulis sejarahnya sendiri. Perempuan harus mengisahkan dirinya sendiri. 2
Guna memperoleh gambaran utuh mengenai hal tersebut, berikut disajikan petikan isi dari setiap bab yang ada dalam buku ini. Bab I Pendahuluan. Bab ini berisi apologi mengapa buku itu ditulis. Menurut para penulis, buku itu ditulis untuk menemukan keterkaitan antara satu peristiwa kekerasan dan peristiwa lain sekaligus menghimpun suatu pembelajaran utuh sampai ke akar masalah untuk mempertajam pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan seraya menunjukkan jalan bagi langkahlangkah penyikapan agar kekejian terhadap perempuan tidak terulang di masa yang akan datang. Dalam tautan itu, para penulis buku kemudian memberikan batasan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan terhadap perempuan. Menurut mereka, kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun kehidupan pribadi. Erat kaitan dengan keberhasilan para penulis buku menuangkan penjelasan sejarah ialah pilihan metode. Sejarah lisan rupanya menjadi pilihan metode para penulis buku itu. Dengan menggunakan perspektif sejarah intelektual mereka berhasil memotret dan menampilkan wajah perempuan sebagaimana terabstraksikan dalam judul yang dikemukakan terdahulu.
ditawarkan kaum perempuan dalam konteks pegerakan kebangsaan dengan maksud menghindari resistensi kaum lelaki atas kehadirannya dalam panggung sejarah. Konsep itu juga merupakan bagian dari keyakinan bahwa bangsa membutuhkan kepiawaian perempuan untuk mengurus masalah “rumah tangga” bangsa selain berupa penegasan di hadapan pemerintah kolonial bahwa perempuan Indonesia bertekad dan berkemampuan untuk melahirkan bangsa baru yang tak akan mudah diperlakukan sewenangwenang oleh bangsa lain. Gagasan-gagasan tersebut mampu mendorong kehadiran perempuan dalam panggung sejarah sehingga secara kuantitatif jumlah perempuan yang memasuki arena politik semakin bertambah. Bersebab dari itu, para penulis buku itu kemudian mengabstraksi perempuan ibu bangsa kini bermetamorfosis menjadi perempuan republik yang turut mengurusi republik yang baru saja dilahirkan. Guncangan pun kemudian terjadi. Sebagian perempuan dalam organisasi Gerwani dituduh terlibat aksi kejahatan pembunuhan terhadap sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat. Gerwani kemudian dipecat dari Kowani. Lebih lanjut, pemerintahan baru yang didominasi kaum lelaki menjinakkan gerakan kaum perempuan yang membuka ruang terjadi diskriminasi serta kekerasan terhadap perempuan. Menimbang ulang posisi perempuan dalam pembangunan menjadi judul bab ketiga buku itu. Dalam bab ini, para penulis menyoroti peran perempuan dalam proyek-proyek pembangunan negara. Dalam hubungan itu muncul konsep baru: perempuan buruh. Konsep itu terasa menjadi hambar jika disandingkan dengan konsep Ibu Bangsa, Ibu Republik. Kehambaran konseptual mengenai perempuan bertambah ketika tubuh dan ruang gerak perempuan kemudian ditata dan dibatasi serta dikerdilkan perannya oleh kaum lelaki. Bab keempat buku ini mengurai peristiwa kontemporer dengan judul: Menyingkap Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Konflik. Sejumlah peristiwa kontemporer seperti Tragedi Mei 1998, Timor Timur, Aceh, Papua, Ruteng Nusa Tenggara Timur, Maluku, Poso, jamaah Ahmadiyah disingkap. Kemudian semacam sisipan disingkap juga mengenai bagaimana kekerasan terhadap perempuan dalam sangkutan dengan peristiwa 1965. Termasuk hal itu ialah semacam review terhadap Tragedi Mei 1998 setelah sepuluh tahun. Bab terakhir buku itu memuat semacam kearifan sejarah berupa judul: Belajar dari Sejarah dan Arah ke Depan. 3 Buku ini sangat menarik dan seksi untuk dibaca. Menarik karena kecenderungan tema politik dalam historiografi Indonesia ternyata bagian dari isu gender. Berikutnya bahwa sangat tidak masuk akal suatu dinamika perjalanan sejarah bangsa tanpa perempuan. Kemudian, sejarah lisan sebagai pilihan metode merupakan pilihan lain dari pernyataan bahwa tak ada dokumen tak ada sejarah. Lebih dari itu, buku itu mengantar kepada refleksi dan pandangan ke arah masa depan memuliakan kaum perempuan. Benarkah?
Adalah Kamala Chandrakirana, Ayu Ratih, dan Andy
Bab kedua buku itu berjudul Menelisik Perjalanan Perempuan dalam Pergerakan Kebangsaan. Terdapat tiga anak judul yang turut membingkai judul itu yakni, Jejak awal: Menjadi Iboe Bangsa, Dari Iboe Bangsa Menjadi Perempuan Republik, dan Keperempuanan Indonesia Terguncang. Konsep Iboe Bangsa sejatinya merupakan pilihan strategi yang
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011
31
Cover Buku:
32
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// JULI-AGUSTUS-SEPTEMBER 2011