Kartini Catatan Pena Bagi Bangsaku
1
Kartini: Catatan Pena Bagi Bangsaku / penyunting: Agung Ayu Ratih. Ed. 1. -Jakarta: Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI); Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI), 2014 20 hlm.: 20 x 28 cm ISBN Kartini: Catatan Pena Bagi Bangsaku
Penyunting Agung Ayu Ratih Penyusun Narasi Irma Widyani Penyusun Garis Waktu dan Anotasi Grace Tjandra Leksana Ilustrasi Ariwowo Arif Hidayatullah Endro Supriyanto Desain Alit Ambara
2
Cetakan Pertama: 2014 Penerbit Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) Jalan Batu Kramat No. 19, Batu Ampar - Condet, Kramat Jati, Jakarta 13520 T: 021-8088 2075 E: sejarahs@gmail.com W: www.sejarahsosial.org Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Jakarta, Indonesia T: 081808791966 (Warsono, S. Pd.) E: jurnalagsi@gmail.com Penerbitan ini sebagian didukung oleh Yayasan TIFA
KARTINI Catatan Pena Bagi Bangsaku
Daftar Isi
Namaku Kartini 4 Catatan 17 Daftar Pustaka 18
3
Kweekschool (sekolah guru) pertama didirikan.
Pembukaan pelayanan pos modern. Dinas kereta pos digunakan untuk hubungan pos darat di Pulau Jawa.
Pembukaan jalur kereta api yang pertama.
8 Oktober: Douwes Dekker lahir di Pasuruan, Jawa Timur.
1852
1862
1867
1879
21 April: Kartini lahir di Jepara.
Tak ada yang bisa berbicara keras pada sebuah hati selain air mata darah. Peristiwa-peristiwa terakhir telah menunjukkan dan membuatku jelas bahwa aku bisa membangkitkan keharuan dengan penaku. Demikian di antaranya aku pernah menulis surat kepada sahabatku Estella Zeehandelaar. Karena jika masyarakat bisa mengenangku pastilah karena aku menulis. Di antara tembok pingitan dan perbedaan perlakuan terhadap perempuan, di mana rakyatku menderita di bawah tekanan kaum feodal dan kolonial, tak ada cara lain yang bisa kulakukan kecuali dengan menulis untuk menyampaikan pikiranku.
NAMAKU KARTINI.
K
etika aku dilahirkan, 21 April 1879, ayahku, R.M.A.A. Sosroningrat masih menjabat sebagai Asisten Wedana onderdistrik Mayong, tempat ayahku bertemu dan menikahi ibuku: Ngasirah, perempuan dari kalangan rakyat biasa. Tidak lama berselang ayahku menikahi R.A. Moerjam, bangsawan dari Madura yang diangkat sebagai garwa padmi (istri utama). Perkawinan antara bangsawan semacam syarat untuk seseorang bisa menjadi bupati. Beberapa saat setelah kelahiranku ayahku diangkat menjadi bupati Jepara. Aku anak ke lima dari sebelas bersaudara dari dua ibu. Sejak kecil aku sudah dapat melihat kesakitan hidup berpoligami yang menyertai kehidupanku • PRAKTIK POLIGAMI DI MASA KOLONIAL
Praktik poligami diperbolehkan secara adat dan dalam agama tertentu. Berdasarkan sensus pada 1920, ada 1,5% suami yang melakukan praktik poligami di Jawa. Sedangkan pada sensus 1930, ada 2,6% suami di seluruh Indonesia yang berpoligami. Meskipun persentasenya kecil, praktik itu mendapat tentangan keras terutama dari kaum perempuan sendiri. Selain karena secara emosional dan personal praktik itu merugikan kaum perempuan, alasan lain mereka menentang adalah alasan ekonomi, karena pendapatan harus dibagi di antara istri-istri dan anak-anaknya. Usulan kaum perempuan saat itu untuk menghambat praktik poligami adalah pendidikan kaum perempuan dan mendorong kemandirian ekonomi perempuan. Pemerintah kolonial
4
sendiri tidak mengambil langkah serius untuk mengatur poligami secara legal, hingga isu itu diangkat secara nasional pada Kongres Perempuan 1928.
sehari-hari. Tetapi sukar bagiku membicarakan hal itu karena hanya akan menyudutkan ayahku yang sangat kucintai. Garis keturunan ayahku dari keluarga bangsawan terpandang. Kakekku Ario Tjondronegoro, bupati Demak, sangat disegani karena ia ningrat pertama yang memberi anak-anaknya pendidikan barat. Sebagai keturunannya seharusnya lebih mudah bagiku mendapat pendidikan yang kukehendaki. Ternyata tidak. Sesudah lulus sekolah rendah ayahku memasukkan aku ke dalam kotak pingitan. Padahal sekolah adalah tempat yang paling aku sukai. Bujukanku untuk mendapat pendidikan lebih tinggi tidak dikabulkan. Aku lari ke kolong ranjang untuk menyembunyikan perasaan sedihku yang berubah menjadi sedu sedan yang mengamuk. • PENDIDIKAN SEKOLAH RENDAH
Pada 1893, pemerintah kolonial mulai membuka Sekolah Kelas Satu untuk orang pribumi. Sekolah itu memakai sistem modern/Barat, dan menggunakan bahasa daerah dan Melayu sebagai bahasa pengantar. Murid-murid lulusan sekolah itu hanya bisa meneruskan ke sekolah perdagangan, teknik, dan keterampilan setelah lulus. Di sekolah-sekolah tersebut, hanya 8% dari jumlah murid di Jawa dan Madura yang perempuan. Pada 1910, ada 5.114 murid perempuan dan 66.125 murid laki-laki yang bersekolah. Sedangkan pada 1915, terdapat 18.619 anak perempuan dan 242.236 anak laki-laki yang menjadi murid di sekolah-sekolah desa.
5
Pingitan. Semacam apakah tempat memingit? Bukan semacam sel, melainkan rumah besar dengan pekarangan yang luas, pagarnya tembok yang tinggi, tembok itulah yang mengurungku. Betapapun luas, tetaplah kurungan. Sekali waktu guru sekolah bertanya, apakah aku tidak berniat meneruskan belajar ke Holland seperti anaknya. Ah, jangan tanyakan aku mau atau tidak, tapi tanyalah boleh atau tidak. Semacam penganan yang disorongkan ke hadapan orang yang sedang kelaparan, tapi tak boleh memakannya. Bagaimana aku melewati masa pingitanku? Aku bukan orang yang taat pada aturan apalagi aturan yang tidak penting. Berbeda dengan kakak perempuanku yang sekurungan denganku. Ia orangnya tenang dan terkendali. Jika aku menyampaikan pikiran dengan penuh semangat, ia hanya menjawab, “Masa bodoh, aku hanya orang Jawa!� Jawaban itu membuat jantungku seperti tersenggol tangan kasar. Sementara ia tidak suka aku dekat dengan adik-adik yang lain karena ia dan adik-adik yang lain bukan saudara seibu denganku. Terlebih kalau kakak laki-lakiku yang paling besar datang. Ia minta setiap orang menuruti segala kemauannya. Berulangkali dia mengingatkan yang lebih muda harus takzim kepada yang lebih tua dan gadis harus menurut pada abangnya. Aku tidak mengerti mengapa harus bersikap semacam itu. Bagiku tidak perlu tunduk kepada siapa pun kecuali kepada nuraniku. Seringkali kami saling berhadaphadapan. Ia akan memaki dan menggebahku dengan kata-kata kasar.
Sumber: Frances Gouda. Dutch Colonial Overseas: Politik Kolonial di Hindia Belanda, 1900-1942. Jakarta: Serambi, 2007, hlm. 142.
6
Tentu tidak semua hari menjadi muram. Ayah dan kakak laki-lakiku paling muda, Sosro Kartono, sangat mengasihiku. Mereka tidak memandangku sebagai anak yang bodoh atau tidak sopan. Tapi mereka tidak selalu ada buatku. Ayahku terlalu sibuk dan abangku hanya ada di rumah ketika liburan sekolah. Maka satu-satunya cara menghabiskan hari-hari yang menjemukan adalah dengan membaca. Atas gagasan keduanya setiap minggu didatangkan leestrommel, semacam kotak baca untuk pelipur
Para kuli di perkebunan tembakau Deli.
Koelie ordonnantie dikeluarkan. Isinya bahwa pemutusan kontrak kerja oleh para pekerja pribumi dianggap sebagai pelanggaran hukum.
1880
laraku. Buku sudah jadi semacam candu bagiku. Kebiasaan itu membantuku memperdalam bahasa Belanda yang pernah kuterima semasa di sekolah rendah. Setiap kata asing aku catat dan kutanyakan kepada Sosro Kartono jika ia pulang untuk liburan. Bacaan bukan saja memberi kenikmatan tetapi juga pelajaran yang tak ada habis-habisnya. Sementara kakak laki-laki pertama keluar dari rumah, kakak perempuanku juga lepas dari kurungan karena ia harus menikah. Agak malu kukatakan bahwa aku bersyukur ketika mereka meninggalkan rumah. Kami bersaudara hanya karena kebetulan kami memiliki orangtua yang sama. Tak ada ikatan lain kecuali hubungan darah. Selebihnya masing-masing merasa
asing. Ketika adik-adikku Roekmini dan Kardinah menyusul masuk pingitan, sudah kuniatkan aku tidak akan bersikap sama seperti saudara tuaku berhubungan denganku. Aku ingin sekali kami bisa berhubungan akrab. Karenanya aku mulai dengan tidak mengharuskan mereka berbicara dengan bahasa Jawa kromo terhadapku, cukup ngoko. Mereka tidak harus meluncur ke tanah hanya karena aku lewat. Cara-cara itu membuat aku memiliki saudara dalam arti sesungguhnya. Kami mesra bergaul tanpa sekat tradisi. Dengan kedua adikku kami menamakan diri kami “Daun Semanggi dari Jepara�. Masa pingitanku sendiri diperpanjang karena aku menolak dijadikan Raden Ayu, sebuah gelar bang-
• SOSRO KARTONO
Lahir pada 1877 dan bersekolah di HBS Semarang. Ia kemudian berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studinya di Sekolah Politeknik di Delft, namun beralih mempelajari bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden. Dengan kemampuan bahasa Jawanya, ia membantu G.P. Rouffaer dan H.H Juynboll menyusun karya De batikkunst in Nederlandsch-Indie en Haar Geschiedenis (Seni Batik di Hindia Belanda dan Sejarahnya) yang ditulis pada 1899 dan diterbitkan pada 1914. Pada 29 Agustus 1899 ia berbicara dalam Kongres XXV Ilmu Bahasa dan Sastra Belanda. Secara singkat, Sosro Kartono mengungkapkan pentingnya Bahasa Belanda untuk memajukan kehidupan masyarakat Hindia Belanda. Penting bagi orang-orang Belanda di Hindia Belanda untuk bersikap lebih terbuka terhadap pemakaian bahasanya oleh orang pribumi. Ia juga mendorong para pemuda Hindia agar mau belajar dan di sisi lain, menuntut pemerintah Hindia memberikan masyarakat Hindia apa yang menjadi hak mereka, yaitu pendidikan.
7
20 Desember: Rohana Koedoes lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat. 4 Desember: Dewi Sartika lahir di Bandung.
1884
sawan yang dikenakan pada perempuan yang menikah sebagai istri pertama. Di Jawa cinta itu hanya khayalan. Bagaimana bisa suami istri saling mencinta sementara mereka baru pertama kali bertemu sesudah terikat dalam tali perkawinan? Bagiku pertama kali mencintai pastilah karena kita menghargai pasangan kita. Pasangan yang menikah seharusnya individu-individu yang setara. Perempuan tidak berutang ketaatan atas perkawinannya. Jika ia menuruti kemauan suaminya, itu karena ia mencintainya. Tetapi banyak laki-laki yang begitu rendah perangainya, sudah beranak istri masih mengambil perempuan lain untuk dikawininya karena sudah bosan dengan yang lama. Meski banyak orang mengatakan itu bukan dosa, tetapi aku, selama-lamanya akan menganggap itu dosa. Bagiku setiap benih perbuatan yang menyakitkan orang lain adalah dosa. Semua hukum berpihak kepada
8
laki-laki, tak ada satu pun yang tersisa bagi perempuan. Berilah aku pekerjaan apa saja. Aku sanggup menerima pekerjaan yang serendah-rendahnya asal jangan suruh aku menikah. Meski dalam pingitan banyak hal yang kami kerjakan bersama-sama. Kami belajar membatik, memasak, dan membuat sekolah kecil-kecilan untuk para gadis di halaman belakang rumah kabupaten. Aku juga suka memasak. Aku membukukan keahlianku itu dengan menulis “Memasak ala Jawa dan Belanda�. Kami juga belajar melukis. Nyonya Ovink Soer, istri asisten residen Ovink, tertarik pada kegiatan kami dan menawarkan kepada ayahku untuk memberi pelajaran melukis. Kebetulan adik asisten residen ahli melukis. Ayahku setuju. Rumah asisten residen dekat dari kabupaten, namun kami diantar juga dengan kereta. Tapi meski aku ikut belajar banyak
Pada periode ini, wilayah Jawa dibagi menjadi kekuasaan kasultanan dan bupati, tetapi praktiknya mereka tunduk kepada pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, Residen Belanda di Surakarta berwenang mengontrol keuangan keluarga Kraton Mangkunegaran.
1888
kesenian, penalah yang paling aku kehendaki. Dengan pena aku berhubungan dengan beberapa sahabat yang kemudian sangat berarti dalam perjalanan hidupku. Salah satunya Estelle Zeehandelaar yang biasa kupanggil Stella, lebih tua lima tahun dariku. Ia menanggapi pengumumanku mencari sahabat pena di majalah mingguan Belanda, De Hollandsche Lelie. Ia seorang pegawai muda kantor pos di Amsterdam, kontributor untuk jurnal-jurnal, dan pembaca yang maju karena jurnalnya selalu menyerukan untuk mengubah prilaku sosial perempuan. Stella seorang sosialis yang mempunyai hubungan erat dengan gerakan sosialis ternama di Belanda. Ia semacam belahan jiwaku meskipun nasib tidak pernah mempertemukan kami.
Hindia Belanda maupun Belanda. Beberapa meminta aku menulis secara berkala. Aku mau tetapi tidak selalu mendapat izin dari ayahku. Bisa saja aku menulis tidak dengan namaku tetapi di Hindia ini yang menulis artikel-artikel tentang perempuan Jawa akan segera bisa ditunjuk pelakunya: aku. Orang berpendapat bahwa wanita Jawa yang menulis dalam bahasa Belanda amatlah menarik. Itu menjadi rahasia sukses majalahnya. Sementara keuntungan yang kudapat adalah bisa menceritakan suka dan duka kehidupan perempuan Jawa. Tetapi ketika kuangkat kezaliman yang merajalela di duniaku itu, akan mengundang kebencian dari orang yang merasa dirugikan. Ayahku tidak akan mengijinkan. Maka surat-menyurat dengan sahabat-sahabatku orang Belanda menjadi saluran hasratku menulis.
Tulisan-tulisanku kukirim ke majalah dan jurnal di
Masa pingitan dicabut entah dengan alasan apa.
• DE HOLLANDSCHE LELIE
Majalah itu mulai digagas oleh Johanna van Woude dan S.M.C. van WermeskerkenJunius pada 1887. Editor terbitan itu adalah C. Alberdingk Thijn. Awalnya majalah yang terbit di Amsterdam tersebut diperuntukkan bagi pembaca perempuan muda, namun sejak 1900 majalah itu dibuat bagi pembaca perempuan yang lebih dewasa.
9
Zijlker mendirikan perusahaan yang kelak menjadi Royal Dutch Shell.
Kuli kontrak pertama kali dikirim ke Suriname, Amerika Selatan.
Sekolahsekolah “Kelas Satu” untuk kaum bumiputra didirikan.
1890
1891
1893
Ketika itu aku dan adik-adikku dibawa ke sebuah pentasbihan gereja baru di Kedung Penjalin. Peristiwa itu sudah lama terjadi tapi aku masih mengingatnya dengan jelas. Pembebasan itu sendiri pun belum tampak nyata. Kami masih ditahan di rumah tapi lambat laun boleh berpergian ke lebih banyak tempat. Baru pada perayaan penobatan Ratu Wilhelmina tahum 1900 kami memperoleh kebebasan secara resmi. Dari membaca aku mendapat kearifan dalam memandang lingkunganku. Sikap semena-mena kakak laki-lakiku dan budaya permaduan adalah contoh tata cara kaum feodal yang menempatkan kaum perempuan di tempat yang lebih rendah. Jika aku menengok sedikit saja ke luar tembok rumah kami maka tergelar kehidupan masyarakat yang tertindas oleh aturan-aturan feodal. Praktik hamba-menghamba
menunjukkan tanggung jawab sosial hanya berlaku dari bawah ke atas. Dan yang paling atas takluk kepada penjajah Belanda. Kaum feodal sebenarnya ikut menjajah bangsanya sendiri. Kenikmatan turun-menurun kaum feodal menjadi hambatan bagi kesejahteraan rakyat. Ada semboyan yang menyakitkan, “Pertahankan kebodohan khalayak ramai, orang pun akan tetap berkuasa atas mereka!” Betapa culas perasaan yang terganggu karena melihat orang lain mencari ilmu pengetahuan. Bagiku itu bukan sikap bangsawan. Tak ada bangsawan kecuali bangsawan hati dan bangsawan budi. Tak ada yang lebih gila dan bodoh daripada membanggakan diri pada apa yang disebut keturunan bangsawan. Kebangsawanan seharusnya menanggung kewajiban atas kesejahteraan rakyat.
• POLITIK ETIS
Cikal-bakal dari Politik Etis adalah tulisan C. Th. van Deventer yang dimuat pada jurnal de Gids pada 1899. Artikel berjudul ‘Een Eereschuld’ (Utang Kehormatan) mengungkapkan bahwa pemerintah Belanda berutang kepada rakyat Hindia atas seluruh kekayaan yang diambil dari Hindia Belanda. Utang harus dibayar dalam bentuk kebijakan kolonial yang mengutamakan kepentingan rakyat Hindia. Setelah melalui berbagai perdebatan di parlemen Belanda, akhirnya pada 1901 pemerintah secara resmi menerapkan Politik Etis di Hindia Belanda. Tiga prinsip utama dalam Politik Etis, yaitu pendidikan, irigasi dan emigrasi.
10
ANRI
Ukiran Jepara
Hindia Belanda mengorganisasi monopoli opium yang diselenggarakan negara untuk menguasai perdagangan candu (Opiumregie)
1894
Aku ingin sekali bekerja dengan rakyatku tapi aku tidak tahu dari mana memulainya. Apa yang bisa diberikan oleh perempuan yang tidak punya kebebasan semacam aku? Suatu kali kami diajak ayah naik sampan ke kampung Blakang Gunung, kampung seniman di belakang benteng Portugis, di atas bukit. Di sana ayahku memperlihatkan pekerjaan para pengukir, pandai besi, dan pemahat kulit. Keadaan para seniman itu jauh dari menyenangkan, tidak sesuai dengan keahliannya. Artis ulung tapi miskin. Hal itu membuat aku sangat prihatin. Sebuah keindahan dihasilkan orangorang yang bekerja setengah telanjang, dengan kaki menyelonjor di atas tanah tak beralas. Mereka tidak mendapatkan penghargaan yang memadai. Maka aku menulis tentang mereka dan hasil pekerjaannya lewat sebuah prosa berjudul “Pojok yang Dilupakan�, tentang Jepara yang ditinggalkan dengan seni
ukirnya yang sejati. Kukirimkan juga banyak contoh barang ke mana-mana dan juga hadiah untuk Sri Ratu. Hasilnya sungguh tidak terduga. Prosaku ternyata dengan cepat menawan hati para pembaca. Kampanye yang kulakukan di kalangan orang-orang Eropa sangat berhasil. Permintaan akan ukiran Jepara berlipat ganda. Bukan berarti aku Eropasentris, tetapi aku tahu apa pun yang dilakukan orang Eropa akan segera ditiru bangsawan pribumi. Kalau dalam resepsi keresidenan bupati melihat residen menaruh ukiran Jepara segera para bupati akan menghias pendoponya dengan barang yang sama. Demikian juga dengan rakyat, amatlah setia kepada bangsawan junjungannya sehingga apa pun yang diperbuat bangsawan mereka anggap baik. Dari pengetahuan inilah aku menganggap peru-
11
Jami’at Khair berdiri untuk mendidik anak-anak keturunan Arab.
1895
bahan masyarakat lebih mudah dilakukan jika dimulai dari kaum bangsawan. Karena itulah kaum bangsawan harus terpelajar. Mereka bukan hanya harus belajar tentang ilmu pengetahuan tapi juga budi pekerti. Itu bukan pekerjaan mudah karena orang Belanda tidak suka kami menjadi pandai. Untuk mempelajari bahasa Belanda saja memerlukan perjuangan sengit. Dengan penguasaan bahasa tidak ada yang bisa disembunyikan dari kaum pribumi. Selama ini para pegawai pribumi tidak boleh menggunakan bahasa Belanda dengan atasannya sementara si atasan tidak mau menggunakan bahasa Melayu yang baik. Mereka bicara kepada bawahan dengan bahasa Melayu Babu. Sungguh merendahkan! Jangan salah paham. Aku cinta bahasa Jawa dan bahasa Melayu, tetapi bahasa Belanda merupakan alat perjuanganku. Aku mau tunjukkan bahwa pribumi juga pandai.
Tak disangka-sangka terjadi perubahan di negeriku lewat kebijakan Politik Etis. Pemerintah kolonial mulai berpikir tentang pentingnya kesejahteraan kaum bumiputera dan salah satu bidang yang mereka perhatikan adalah pendidikan. Pada suatu hari Mr J. H. Abendanon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Kerajinan, menemui kami bertiga untuk membicarakan program pendidikan bagi gadis Jawa. Kami menjadi akrab dengan istrinya dan sering bertukar pikiran lewat surat tentang pendidikan bagi kaum perempuan. Maka diedarkan ke seluruh residen di Jawa tentang rencana sekolah itu yang intinya perempuan adalah unsur penting dalam peradaban, intelektual bangsa tidak akan berjalan lancar jika wanita diabaikan, wanita adalah pengemban peradaban bangsa.
• J. H. ABENDANON (1852 - 1925)
len di Bandung, Magelang dan Probolinggo direorganisir menjadi sekolahuntukmenciptakan pegawai negeri sipil dan diubah namanya menjadi OSVIA (Opleiding Scholen voor Inlandsche Ambtenaren). Pada 1900-1902, sekolah ‘DokterJawa’ di Batavia diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Abendanon juga memperluas akses pendidikan untuk pribumi dengan menghapus biaya pendidikan sekolah rendah bagi orang tua pribumi yang memiliki pendapatan di bawah f50 per bulan.
Lahir di Suriname, menjabat sebagai Menteri Pendidikan Kolonial pada periode 19001905. Ia menikah dengan Rosa Manuela Mandri pada 1883, yang merupakan istri keduanya. Pasangan ini adalah penganut dan penggerak utama Politik Etis di Hindia Belanda. Melalui pendidikan bergaya Eropa di Hindia Belanda, diharapkan akan muncul tenaga-tenaga kerja baru untuk mengambil alih pekerjaan pegawai negeri sipil yang selama ini dilakukan oleh orang Belanda. Melalui penciptaan tenaga kerja pribumi, pemerintah kolonial tidak hanya berhasil mengurangi pengeluaran administratifnya, tapi juga telah menciptakan kelompok elit baru yang kooperatif terhadap mereka. Di masa kepemimpinan Abendanon, pada 1900, tiga sekolah hoofdenscho-
12
Tenyata ajakan itu tidak disambut antusias sehingga pemerintah beranggapan pendidikan bagi bang-
Tan Malaka dilahirkan di Pandan Gadang, Sumatera Barat.
Van Heutsz memimpin pendudukan Aceh dengan didukung Snouck Hurgronje sebagai penasehatnya. Perang Aceh selama 5 tahun menyebabkan 60.000 warga Aceh terbunuh, lebih 2.000 pasukan Belanda tewas, 10.000 pasukan Belanda mati karena penyakit, dan 25.000 pekerja Belanda juga mati selama periode itu.
1897 1898
sawan perempuan Jawa tidak diperlukan oleh orang Jawa sendiri. Bagiku mengherankan bagaimana tentangan itu datang dari orang-orang yang seharus mendapat keuntungan dari rencana mulia itu dan memberi kebajikan bagi rakyat. Jadi sesungguhnya kemajuan rakyat dihalang-halangi oleh kaum bangsawannya sendiri, orang-orang yang justru menganggap dirinya paling mulia di dalam masyarakat. Marah campur kecewa sampai penaku kehilangan kata-kata! Sakit rasanya di tengah semangat akan sebuah kemajuan dihempaskan oleh kepicikan bangsaku sendiri. Sukar benar para perempuan untuk menggapai harkatnya di bumi Jawa ini.
mengirim surat dinas kepada Gubernur Jendral Rooseboom berisi permohonan subsidi bagi kami guna meneruskan pelajaran ke Batavia. Surat itu langsung ditanggapi oleh Gubernur Jendral dengan pertanyaan mengenai izin dari ayahku. Ternyata ayahku menarik kembali izin yang sudah diberikan. Meski ia berpikiran maju, rupanya tak sanggup juga ia mendengarkan pergunjingan orang mengenai rencana kepergian kami. Kerap aku malu terhadap diriku sendiri. Kemudahan yang sering kami dapat karena kami bangsawan sering tidak sejajar dengan cara kami memanfaatkannya. Susah bagiku melawan putusan-putusan yang diambil ayahku karena itu akan sangat melukai hatinya.
Semangatku muncul kembali saat kami mendapat tawaran belajar ke Batavia dari Mr. Abendanon. Setelah mendapat persetujuan dari ayahku ia
Sekali lagi kami dapat kesempatan belajar, kali ini ke Negeri Belanda, atas pertolongan sahahabatku, Stella. Ia meminta kawan separtainya Van Kol, ang-
13
Van Deventer, seorang pembaharu kolonial, menulis artikel “Een Eereschuld� dalam majalah De Gids, yang isinya menuntut agar uang yang dikumpulkan pada masa lampau dari Hindia Belanda dikembalikan ke Hindia Belanda untuk melunasi utang kolonial yang kian meningkat. Willem Roseboom diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda hingga 1904.
1899
gota parlemen Kerajaan Belanda yang kebetulan akan mengadakan perjalanan ke Jawa dan Madura untuk mampir ke Jepara menemui kami. Van Kol menanyakan apakah aku mau ke Negeri Belanda. Tentu saja aku mau. Semula Van Kol mengira tujuanku ke Negeri Belanda akan mencari jodoh karena tahu aku membenci perkawinan di kalangan bangsawan Jawa. Setelah aku mengutarakan keinginanku untuk belajar, dan sesudah selesai ingin membuka sekolah berasrama untuk para gadis bangsawan, baru ia percaya. Subsidi itu sendiri hanya diperlukan untuk kami berdua, aku dan Roekmini, karena Kardinah sudah menikah. Aku akan mengambil ilmu pendidikan dan ilmu kesehatan, sedangkan Roekmini ingin belajar menggambar atau sekolah rumah tangga.
sidi dari pemerintah Belanda. Pidatonya di depan Majelis Rendah Belanda mampu meyakinkan Menteri Jajahan Idenburg untuk memberi kami subsidi. Sayang, di tengah situasi yang penuh harapan dan kegembiraan tiba-tiba Mr. Abendanon menyarankan aku membatalkan kepergian ke Belanda. Serasa mati langkahku. Alasan-alasan yang ia sampaikan membuatku tak berkutik. Jika kami lama di Negeri Belanda masyarakat Jawa akan melupakan kami. Ayah sudah tua dan kurang sehat. Banyak kesulitan yang akan kami alami di Negeri Belanda yang tak bisa diperkirakan. Sesudah pulang kami dianggap ‘nona-nona Belanda’ dan masyarakat tidak mau lagi mempercayakan anaknya kepada kami untuk kami didik di sekolah yang kami impi-impikan.
Untunglah kali ini ayahku memberi izin. Kami tinggal menunggu usaha Van Kol untuk mendapatkan sub-
Aku tidak tahu apa yang melatari perubahan sikap Mr. Abendanon. Ia sangat ingin mencegah keper-
14
17 Maret: Tiong Hoa Hwee Koan (THHK), organisasi warga keturunan Tionghoa, berdiri di Batavia. THHK mendirikan sekolahsekolah, jumlahnya 54 sekolah pada 1908 dan mencapai 450 sekolah pada 1934.
1900
gian kami. Terlepas dari itu, alasan yang ia ajukan adalah teguran yang sebelumnya tak terpikirkan olehku, karena kami terlelap dalam semangat dan kegembiraan untuk mendapatkan kebebasan kami. Ia tambahkan pula, apa kata Pemerintah Hindia Belanda terhadap ayahku mengizinkan kedua putrinya belajar ke Negeri Belanda, sementara sebelumnya ke Batavia saja tidak diperkenankan. Kenyataan ini terasa seperti pil pahit. Kalau kutelan pun tidak membuatku sehat. Sementara tata krama sebagai orang Jawa yang harus menurut kepada orangtua tidak memungkinkan aku menentangnya. Aku sangat kecewa. Beberapa hari kemudian kami menerima surat dari Mr. J. Slingenberg, staf Kementrian Jajahan Kerajaan Belanda, yang berisi pertanyaan seputar pendidikan bagi perempuan Jawa. Surat ini harus segera
1 Juni: Soekarno lahir di Surabaya. Ratu Wilhelmina mencanangkan Politik Etis di Hindia Belanda.
1901
12 Agustus: Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi.
1902
dijawab karena akan dibawa kepada Menteri Jajahan, yang tengah mempersiapkan undang-undang pendidikan bagi negeri jajahan. Bersama Roekmini aku menulis jawaban untuk pertanyaan itu dalam bentuk nota berjudul “Berilah Jawa Pendidikan�. Beberapa bulan kemudian kami menulis nota serupa untuk Gubernur Jendral Willem Rooseboom dalam usaha meminta kembali bantuan untuk dapat belajar ke Batavia setelah ayah kami sepakat. Kerajaan Belanda harus mengetahui kekurangan dan kelalaian pemerintah Hindia Belanda dalam hal memenuhi kewajiban moral kepada bangsaku – bangsa yang ratusan tahun diperas dan ditindas untuk memenuhi pundi-pundi mereka. Hindia tanah yang kaya, tanah bangsa kami, karenanya kami berhak atas kekayaan tanah air kami. Untuk menjadikan bangsa kami, bangsa berkulit
15
16 Januari: Dewi Sartika membuka Sekolah Istri di Bandung bagi kaum perempuan. Sukses dalam perang Aceh, van Heutsz diangkat menjadi gubernur jenderal sampai 1909. 13 September: Kartini Wafat
1904
coklat sejahtera dalam arti kebendaan dan kerohanian. Berilah kami pendidikan, pendidikan yang tidak sekedar kecakapan akal tapi juga kecakapan budi. Perempuan adalah pembentuk budi pekerti masyarakat. Sebagai ibu dia adalah pendidik pertama. Kembangkanlah perempuan Jawa menurut hati dan pikirannya. Orang-orang akan mendapat pembantu-pembantu yang cakap untuk kerja raksasa yang indah itu: peradaban bangsa! Berilah kami kesempatan belajar bahasa Belanda, karena tak ayal bahasa itu semacam kunci untuk kami membuka dunia ilmu pengetahuan. Kesempatan anak laki-laki dan anak perempuan mencari kepandaian akan mampu membawa tanah air dan bangsanya ke arah perkembangan jiwa, ke arah kecerdasan pikiran, serta kemakmuran, kesejahteraan yang merupakan perhiasan dan kehormatan bagi Negeri Belanda.
16
Hollandsch Chineesche School dibuka pemerintah Belanda. Salah satu faktor pendorong adalah perkembangan pesat sekolah-sekolah THHK.
1908
Poetri Hindia, surat kabar untuk perempuan terbit pertama kali.
1909
Organisasi perempuan Kaoetamaan Istri berdiri di Tasikmalaya dengan tujuan mendirikan sekolah untuk anak-anak gadis. Surat-surat Kartini dibukukan dan diterbitkan dengan judul Door Duisternis Tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
1911
Organisasi perempuan Poetri Mardika berdiri di Jakarta. Tokohnya R.A. Sabaroeddin, R.A. Soetinah, Djojo, R.R. Roekmini.
1912
CATATAN Akhirnya Kartini tidak pernah berkesempatan melanjutkan sekolah yang sangat ia kehendaki. Belakangan terungkap bahwa kegagalannya berangkat ke Belanda disebabkan oleh perseteruan antara Abendanon dan Van Kol. Van Kol menyambut baik rencana Menteri Jajahan Idenburg untuk mengeluarkan bantuan bagi Kartini dan Roekmini belajar ke Negeri Belanda, karena artinya ia akan memiliki dua narasumber untuk memperkuat kampanye anti kolonialisme di Belanda. Sebaliknya, pemerintah Hindia Belanda khawatir dengan Kartini dan Roekmini ke Negeri Belanda akan terbongkar kebobrokan mereka di Jawa. Karena itulah Abendanon diutus menemui Kartini supaya Kartini membatalkan keberangkatannya ke Negeri Belanda. Stella menulis pada Nellie Van Kol (istri Van Kol). ..adalah teramat kejam jika kita pikirkan bagaimana anak itu dengan kehidupannya yang indah dan memberikan banyak harapan telah dikorbankan kepada gagasan-gagasan yang egoistis. Sebab dalam hal ini saya seluruhnya sependapat dengan almarhum Tuan Van Overveldt, bahwa ia (Kartini) telah dikorbankan untuk kepentingan Pemerintah Hindia Belanda.
Berdiri Yayasan Kartini (Kartini Fonds). Pada 1916 yayasan itu membuka tujuh sekolah swasta di Semarang, Batavia, Madiun, Bogor, Malang, Cirebon dan Pekalongan. Sekolahsekolah itu memberikan pendidikan dasar kepada anak-anak perempuan bangsawan pribumi.
1913
perjuangannya. Ia berjuang sendirian untuk menggapai apa yang ia impikan dan menyerah pada sesuatu yang sangat tidak ia sukai, perkawinan. Pilihan itu bagi banyak orang merupakan pengkhianatan kepada diri sendiri. Surat terakhir sebelum menikah bernada kepasrahan namun juga berusaha berpikir positif dengan mencari segi baik dari suaminya, Raden Adipati Djojo Adiningrat, bupati Rembang, laki-laki beristri dan sudah memiliki enam orang anak. Yang menurutnya sepaham dalam mencintai rakyat, mendukung cita-citanya, dan akan memberi kesempatan ia mengembangkan sayap. Sikap yang diambil Kartini adalah sikap yang selalu ia lakukan. Seperti yang dikatakan Pramoedya Ananta Toer, Kartini tidak berangkat berjuang, tetapi ia tidak mengkhianati perjuangannya. Ia hanya menundanya. Kemanapun Kartini bergerak – di dunia kenyataan ataupun pemikiran – ia selalu menemukan batas-batas ini. Tapi nasib kali ini tidak bersahabat dengan penundaan yang ia lakukan. Maut lebih dulu datang, setahun sesudah pernikahannya. Menikah Oktober 1903 – meninggal 13 September 1904.
Siapakah sesungguhnya sahabat Kartini? Orang yang ia kasihi seperti ayahnya dan suami-istri Abendanon yang sudah dianggap seperti orangtuanya sendiri justru orang-orang yang mengkhianati
17
DAFTAR PUSTAKA Arbaningsih, Dri. Kartini Dari Sisi Lain: Melacak Pemikiran Kartini Tentang Emansipasi “Bangsa�. Jakarta : Kompas, 2005. Pane, Armijn. Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka, 2008. Toer, Pramoedya Ananta. Panggil Aku Kartini Saja. Jakarta: Lentera Dipantara, 2010. Yulianto, Vissia Ita (Alih bahasa). Aku Mau...Feminisme dan Nasionalisme Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. Jakarta : Irbpress dan Kompas, 2004.
18
19
20