Jurnal Pendidikan Sejarah Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) edisi 5 Penggunaan Arsip Visual dalam Pembelajaran Sejarah
PENGANTAR REDAKSI Penggunaan Arsip Visual dalam Pembelajaran Sejarah
3
SAJIAN UTAMA Merintis Bahan Ajar Alternatif Taat Ujianto
5
Pengertian Pemanfaatan dan Perkembangan Media Pembelajaran Ratna Hapsari
15
PROFIL DAN INOVASI Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran Sejarah Dewi Suhartini Kantaatmadja
18
KLINIK PEMBELAJARAN Ratna Hapsari
22
LIPUTAN Semiloka Sejarah Lokal di Purbalingga
24
SERBA-SERBI Sin Po dan Nasionalisme Etnis Tiong Hoa Sherley Amelita
26
RESENSI BUKU Antara Kesuksesan dan Aq Drs. Ade Munajat, M.Hum.
29
RUBRIK SISIPAN 31
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
1
2
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Penggunaan Arsip Visual dalam Pembelajaran Sejarah Pengantar Redaksi: Pembaca budiman, kembali kami hadir dalam Jurnal AGSI edisi kelima. Edisi kali ini mengambil tema tentang Penggunaan Arsip Visual dalam Pembelajaran Sejarah. Untuk dapat memahami isi dan maksud kami mengambil tema tersebut, alangkah baiknya Pembaca Budiman, khususnya Bapak/Ibu Guru pelajaran sejarah, berkenan menengok empat penerbitan Jurnal AGSI sebelumnya. Hal ini penting kami sampaikan mengingat sesungguhnya ada suatu proses saling berkaitan dan berkelanjutan. Pada edisi pertama, kami mencoba mengajak para guru untuk menengok kembali peranan pelajaran sejarah. Maksud hati, kita bersama-sama meninjau ulang bagaimana dan sejauh mana pelajaran sejarah yang selama ini kita geluti memberikan andil dalam pembentukan generasi bangsa. Dan, telah kita sepakati bersama bahwa pelajaran sejarah memanglah sangat strategis dan penting dalam upaya membentuk siswa didik mempunyai karakter kebangsaan dan semangat nasionalisme. Agar pembelajaran sejarah sesuai dengan tujuan, pengembangan seperti apa yang perlu kita lakukan? Maka, pada edisi-edisi berikutnya Jurnal AGSI berusaha memberikan beberapa tawaran pengembangan pendidikan sejarah. Pada edisi kedua, kami mengajak para guru untuk menggunakan biografi pelaku sejarah sebagai basis pembelajaran sejarah. Terlepas dari beberapa kelemahan, melalui pendekatan biografi pelaku sejarah, siswa dapat diajak untuk menyelami perjuangan dan dinamika hidup sang tokoh sekaligus mengambil hikmah dari padanya. Siswa akan lebih mudah menghayati dan ikut merasakan bagaimana HIDUP sang tokoh. Hal ini seperti ditegaskan oleh Prof Hamid Hasan: “Pelaku sejarah adalah manusia dan manusia tidak pernah lepas dari kelebihan dan kekurangan: ada warna hitam-putih-abu. Lagipula, pendekatan biografis memberikan gambaran keseluruhan kepribadian seorang pelaku sejarah sehingga perubahan pemikiran, pandangan, sikap, nilai, dan bahkan karakter dapat dipahami dalam suatu totalitas.� Pada edisi ketiga, Jurnal AGSI mengajak para guru untuk menengok siapa diri kita. Kita adalah agen perubahan. Perubahan apa? Perubahan menuju dunia yang lebih damai. Guru sejarah hendaknya berani tegas dalam mengarahkan generasi untuk mengutamakan prinsip non kekerasan dalam perjuangan apa pun. Hal ini penting mengingat ada kecenderungan bahwa masyarakat Indonesia dalam menyelesaikan suatu masalah, cara kekerasan semakin menjadi trend. Ada kekerasan berbau agama, tawuran, konflik pilkada, tawuran antar kampung dalam karena persoalan sepele, dan lain-lain. Singkat kata, Jurnal AGSI mengingatkan bahwa para guru mempunyai misi sebagai agen perdamaian. Dan selanjutnya, dalam edisi keempat, Jurnal AGSI mengemukakan pendapat bahwa perempuan mempunyai andil yang besar dalam pembentukan ke-Indonesiaan. Hanya saja, sosok perempuan sering terlupakan, disingkirkan, dan dilupakan. Oleh karena itu, dalam pembelajaran sejarah, sosok perempuan dan hak-hak hidupnya patut selalu menjadi catatan, prinsip, dan nilai yang penting ditanamkan. Melanjutkan upaya pengembangan pendidikan sejarah, Jurnal AGSI edisi kelima yang Bapak/Ibu baca saat ini, mencoba melontarkan gagasan bagaimana pembelajaran sejarah dikemas dengan cara menarik. Pembelajaran sejarah seringkali membosankan. Untuk mengatasinya, Jurnal AGSI menawarkan metode visualisasi materi bahan ajar dalam bentuk kartun, foto, ilustrasi, dll. Untuk membuat bahan ajar ini, AGSI bekerjasama dengan ISSI dan sejumlah seniman mencoba merintis Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
3
bahan ajar melalui visualisasi biografi pelaku sejarah. Sebagai sample, dipilihlah Ki Hadjar Dewantara sebagai pintu masuk pembahasan era kebangkitan nasional. Kenapa memilih Ki Hadjar Dewantara? Kenapa era Kebangkitan Nasional yang dipilih? Jawaban seputar pertanyaan ini dapat Bapak/Ibu baca dalam rubrik Sajian Utama yang ditulis Ibu Ratna Hapsari dan Taat Ujianto. Dalam rubrik ini juga diungkap mengenai pentingnya visualisasi bahan ajar dan bagaimana proses AGSI-ISSI merintis bahan ajar tersebut. Harapan kami, Bapak/Ibu guru sejarah dapat belajar dan ikut memproduksi model bahan ajar yang coba kami rintis. Dalam rubrik Profil dan Inovasi, kami sajikan profil dan karya seorang guru SMAN 2 Bogor, Ibu Dewi Suhartini Kantaatmadja. Ibu guru yang satu ini telah mengembangkan pembelajaran sejarah e-learning berbasis teknologi informatika dan komunikasi (TIK). Kemudian pada rubrik Liputan, Jurnal berbagi cerita tentang perjalanan anggota ISSI dan AGSI menghadiri undangan MGMP Purbalingga dalam acara diskusi tentang era Demokrasi Terpimpin. Khusus dalam edisi ini, terdapat tambahan satu rubrik, kami istilahkan dengan rubrik Sisipan. Sengaja kami sampaikan beberapa alamat website yang sebetulnya bisa Bapak/Ibu gunakan untuk mendapatkan sejumlah bahan sebagai sumber visualisasi foto. Dari web-web tersebut, Bapak/Ibu bisa langsung mengunduhnya sesuai materi yang diinginkan. Dari referensi sederhana ini, mungkin dapat berguna dalam mengemas bahan ajar yang lebih variatif, kreatif, dan menarik. Dan, yang tak kalah menarik dari jurnal kali ini adalah karya Sherley Amelita, seorang siswi SMAK 7 BPK Penabur, Perum Bukit Kencana II, Jl. Abadi III Blok FF/8, Jatimakmur, Pondok Gede. Adalah patut dibanggakan, sebagai siswa SMK, ia telah begitu fasih menjabarkan tentang sejrah pers melalui Sin Po dan Nasionalisme Etnis Tionghoa. Boleh digarisbawahi di sini, inilah karya perdana seorang siswa SMA/SMK dalam Jurnal AGSI. Baiklah, untuk lebih lengkapnya, kami persilakan Pembaca Budiman untuk menikmati sajian kami lembar demi lembar. Semoga semakin melengkapi referensi khasanah sejarah para pembaca sekalian. Selamat membaca! Salam Jasmerah!
4
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
MERINTIS BAHAN AJAR ALTERNATIF Taat Ujianto 1
1 Tatkala negeri ini dirundung berbagai masalah sosial seperti korupsi, tindak kekerasan komunal, terorisme, penolakan keberagaman budaya dan sebagainya, semua elemen masyarakat mendambakan perubahan melalui pendidikan. Agar seluruh persoalan tidak berlarut, pendidikan digadang-gadang menjadi kunci utama menghentikan pewarisan persoalan itu. Ia diharapkan menghasilkan generasi baru yang kritis, jujur, bermoral tinggi, relijius, dan nasionalis. Secara khusus, pendidikan sejarah ikut dipesan agar mampu mencetak generasi berkarakter, sadar terhadap perjalanan bangsa Indonesia, serta memahami dan mengambil hikmah dari nilai-nilai yang mendorong lahirnya ke-Indonesia-an serta jatuh bangun selama sekitar 66 tahun. Dan ketika semua pihak tergopoh-gopoh melimpahkan nasib bangsa kepada guru, motor penggerak pendidikan, dengan imbalan tertentu, ternyata masih jauh dari harapan. Kendati tuntutan profesionalisme melalui sertifikasi dan tunjangan untuk menaikkan taraf hidup guru digulirkan agar terpacu memikul tanggung jawab masa depan generasi muda, roda perubahan tetap berjalan lambat. Tak jarang, mekanisme itu justru kontraproduktif. Tunjangan yang diberikan malah melahirkan mentalisme, ”Ngapain susah-susah belajar dan memikirkan pendidikan sejarah lagi, Mas! Sekarang kan sudah tercukupi semua.” Solusi pun menjadi benang kusut.
Memperbaiki negeri melalui pendidikan ternyata tak semudah membalikkan telapak tangan dan hanya berseru kun fayakun kemudian tercapai. Diperlukan kerja keras dan tahan banting dari ujian dan bangun dari kegagalan. Upaya dan jatuh bangun inilah yang sedang dialami Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) dalam mengembangkan pendidikan sejarah. Betapa tidak? Hampir tiga tahun keduanya menggodok berbagai cara dalam memberikan solusi perubahan, namun roda perubahan belum bisa digulirkan cepat. Hingga akhirnya memutuskan, ”Yah, mungkin inilah jawabannya!” AGSI dan ISSI berusaha menjawab masalah pendidikan sejarah dengan merintis bahan ajar alternatif semenarik mungkin yang melibatkan seniman. Sesederhana inikah yang bisa diperjuangkan AGSI dan ISSI? Cukupkah hanya pembelajaran yang menarik? Untuk menjawabnya, Bapak/Ibu Guru yang budiman, marilah berkaca diri dan saling membuka diri, ”Seberapa menarikkah saat kita menjalankan tugas di hadapan siswa?” Semakin menarik pembelajaran, semakin nyaman pula siswa belajar. Dari sanalah, kemudian tumbuh kesukaan, pemahaman, dan insya Allah, menyerap nilai-nilai dari pendidikan sejarah. Kenapa Harus Menarik? Pendidikan sejarah belumlah mampu menyumbang banyak hal dalam melahirkan generasi berkarakter keIndonesia-an yang jelas. Bolehlah sementara disimpulkan 1
Penulis adalah anggota ISSI dan guru SMP Sint Joseph, Jakarta Pusat
demikian, bila tidak mau disebut gagal. Ah, itu hanya kesimpulan sembrono tanpa dasar. Cobalah tanyakan ke siswa, ”Apa pendapatmu tentang pelajaran sejarah?” Niscaya, mayoritas akan menjawab, ”Membosankan, diulang-ulang dari SMP dan SMA, bikin ngantuk, bikin bete.” Dengan pertanyaan dan jawaban yang sama itu, AGSI dan ISSI dibuat terkesima saat beberapa kali bertatap muka dengan siswa dan mahasiswa.2 Bahkan, mahasiswa jurusan sejarah di sebuah universitas di Jakarta pun menjawab demikian. Pelajaran sejarah saat mereka di SMA kerap membosankan. Pertanyaan selanjutnya, “Kenapa pelajaran sejarah membosankan? Materinya tidak menarik? Ataukah cara pembelajarannya tidak menarik?” Problem menarik-tidaknya pembelajaran sejarah adalah masalah klasik. Tapi, sebetulnya tidak dapat dianggap remeh. Kalau dibilang sepele, harus diakui, persoalan sesederhana itu pun ternyata belum terselesaikan. Di samping itu, ada juga masalah lain dalam tataran kebijakan maupun praktik di lapangan. Kita bisa menyalahkan Menteri Pendidikan yang diskriminatif membedakan jam pelajaran antara kelas IPA dan IPS. Kita bisa menyalahkan sistem Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang membuat beban guru makin berat. Kurikulum sejarah dipandang tidak fokus. Materi mana yang esensial untuk membentuk karakter yang kuat juga tidak jelas, dan seterusnya. Perubahan tidak akan bergulir jika semua pihak saling menyalahkan. Saatnya berbagai elemen masyarakat turut memikirkan tentang bagaimana melakukan pembaharuan pendidikan sejarah dan mengupayakan jalan keluar. Silakan memilih, mana yang terlebih dahulu diperbaiki dan dikembangkan. Maka, AGSI dan ISSI bekerja sama memilih jalur pengembangan bahan ajar yang menarik. Keduanya mencoba menciptakan bahan ajar aplikatif dan bisa digunakan langsung di kelas. Ternyata itu pun sulit. Pertanyaannya, bagaimana mengembangkan pendidikan sejarah yang kreatif, menarik, dan sarat nilai kebangsaan. Oleh karena itu, AGSI dan ISSI sepakat menjawab pertanyaan itu melalui perumusan modul bahan ajar yang dapat digunakan guru di kelas. Pengembangan: Bukan Hanya dengan Mengubah Kurikulum AGSI dan ISSI memilih upaya penyusunan bahan ajar alternatif bukanlah kebetulan dan hanya sekadar memilih cara. Pilihan ini muncul setelah keduanya melewati rangkaian program pengembangan pendidikan sejarah sepanjang 2009-2011. Diawali gagasan pendidikan sejarah multikultur untuk menjawab kecenderungan maraknya antikeberagaman, 2 Dalam suatu diskusi bertema ”Wajah Pendidikan Sejarah Kontemporer”yang diselenggarakan Glosarium di Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta, 2 April 2011, sejumlah mahasiswa jurusan sejarah menceritakan pengalaman mereka belajar sejarah yang sangat membosankan di SMA.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
5
sementara Indonesia adalah negara dengan beragam budaya. Dengan menghayati sejarah keragaman budaya, diharapkan terbentuk generasi yang toleran dan nasionalis. Program ini melahirkan gagasan bahwa untuk mengajarkan sejarah yang multikultur perlu pemetaan materi esensial terkait nilainilai multikultur. Sesudah pemetaan tercapai diharapkan dapat digunakan sebagai panduan bersama, bahkan dapat direkomendasikan untuk menentukan perubahan kurikulum pendidikan sejarah SMA. Kala itu, AGSI dan ISSI berpendapat bahwa dengan memperbaiki kurikulum, maka pendidikan sejarah menjadi lebih baik.
Standar Kompetensi 1. Menganalisis perkembangan bangsa Indonesia sejak masuknya pengaruh Barat sampai dengan pendudukan Jepang.
Kompetensi Dasar 1.1. Menganalisis perkembangan pengaruh Barat dan perubahan ekonomi, demografi, dan kehidupan sosial budaya masyarakat di Indonesia pada masa kolonial 1.2. Menganalisis hubungan antara perkembangan paham-paham baru dan transformasi sosial dengan kesadaran dan pergerakan kebangsaan 1.3. Menganalisis proses interaksi Indonesia-Jepang dan dampak pendudukan militer Jepang terhadap kehidupan masyarakat di Indonesia.
Pada tahap pemetaan materi esensial ini terjadi diskusi dan perdebatan yang alot. Peta materi esensial yang dihasilkan ternyata bersifat multitafsir dan belum bisa menjadi dasar untuk mengajukan perubahan kurikulum. Peta esensial yang dihasilkan mempunyai kelemahan di sana-sini. Bila menengok dasar-dasar penyusunan kurikulum, ada berbagai syarat dan alasan yang kuat. Di antaranya mampu menjelaskan pertanyaan tentang ke mana arah bangsa ini mau dibawa, mengapa dibawa ke arah itu, dan bagaimana cara membawanya. Maka, untuk menjawab pertanyaan itu dibutuhkan penelitian khusus, tidak hanya bersifat historis tetapi juga filosofis. AGSI dan ISSI belum mampu menjawab pertanyaan itu.
Pembaca dengan mudah menyimpulkan cakupan materi sejarah seputar kebangkitan nasional kelas XI sangat luas. Materi itu harus selesai dalam 3-7 kali pertemuan masingmasing 45 menit (tergantung kebijakan sekolah). Selain itu, dalam KTSP tidak ada acuan jelas menentukan materi yang dianggap esensial. Ketika AGSI-ISSI merumuskan materi esensial dalam lokakarya yang dihadiri guru SMA, ternyata mengalami proses panjang dan penuh perdebatan.
Selanjutnya, jika kita berpikir kurikulum yang diibaratkan sebagai rel dari pendidikan sejarah dipandang sebagai solusi perbaikan, berapa kali kurikulum diubah dan diperbaiki? Kenapa berubah-ubah? Apa dasarnya? Dan apakah pendidikan sejarah kemudian berhasil mencerdaskan dan membentuk generasi muda berkarakter nasionalis? Apakah setiap pergantian kurikulum memiliki hubungan kesinambungan atau berjalan linier (segaris) seiring perkembangan ilmu pengetahuan? Jelaslah bahwa orientasi pendidikan selalu berubah seiring perubahan rezim. Pada masa pemerintahan Bung Karno (1945-1966), pendidikan berorientasi sosialis, dan tatkala rezim Orde Baru di bawah Suharto (1966-1998) memimpin, orientasi pun berubah ke militeristis dan prokapitalis. Sementara, era reformasi (19982011) tampaknya masih kabur tetapi samar-samar bersifat prokapitalis. Lihat, bagaimana maraknya perlombaan menjadikan sekolah berstandar nasional dan internasional.
Berikut ini penggalan materi esensial era Kebangkitan Nasional paparan Asvi Warman Adam pada seminar “Membangun Paradigma Baru Dalam Pendidikan Sejarah� yang diselenggarakan AGSI-ISSI di Galeri Nasional, 6 Maret 2010.
Melihat dinamika sejarah kurikulum, proses kelahiran kurikulum baru seringkali hanya didasarkan adanya anggapan kegagalan kurikulum sebelumnya. Soal politis erat melekat dalam hal itu. Padahal, pendidikan sejarah harus kritis dan bebas dari kepentingan politis rezim. Bahkan, bila dikaji mendalam, dunia pendidikan Indonesia ternyata penuh kepentingan ekonomi-politik raksasa kapital internasional. Melihat beratnya argumen dan dasar-dasar perubahan kurikulum ini, AGSI dan ISSI menyadari belum mampu memikul tanggung jawab itu. Di sisi lain, peta materi esensial juga sarat multitafsir. Subyektivitas guru justru lebih mengemuka. Hal ini terlihat dalam perdebatan di lokakarya AGSI dengan ISSI pada 2010. Sebelum menanggapi materi esensial, baiknya kita meninjau Standar Kompetensi/SK (pencapaian standar yang harus diberikan guru) dan Kompetensi Dasar/KD (pengetahuan dasar yang harus dicapai murid) dalam KTSP kelas XI program IPS. Menurut ketentuan KTSP, SK dan KD adalah baku dan tidak boleh diubah:
6
Materi Esensial
Titik Berat
Pergerakan kebangsaan pada awal abad XX (dari etnonasionalisme menjadi nasionalisme)
o Dua organisasi nasional yang perlu ditekankan adalah Budi Utomo dan Sarekat Islam. Hanya saja perlu dilihat, BU punya keinginan mendirikan sekolah karena ada kecenderungan dari kelompok lain untuk mendirikan sekolah. Tahun 1900 kelompok orang Tionghoa mendirikan sekolah Tionghoa Hwe Koan yang kemudian diikuti keturunan orang Arab yang mendirikan Jamiatul Khair. Pendirian BU tidak bisa dilepaskan dengan organisasi lain. o Organisasi lain yang perlu dibahas: Perhimpunan Indonesia, PNI, NU, dan Muhammadiyah
Sumpah Pemuda dan Manifesto Perhimpunan Indonesia 1925
o Selain sumpah pemuda, perlu juga ditekankan tentang Manifesto Perhimpunan Indonesia tahun 1925 yang menyebutkan bahwa persatuan saja tidak cukup tetapi perlu kemerdekaan di mana di dalamnya ada kebebasan, persamaan, dan kesetaraan antarkeluarga. o Merupakan suatu keajaiban, karena sebelumnya para pemuda sangat membangga-banggakan sukunya masing-masing. o Orang-orang tua yang turut membantu dan mendukung: Mr. Soenaryo (turut serta sebagai penasehat hukum, turut serta dalam manifesto PI), Mr. Sartono, Sukarno dan Tan Malaka (menyampaikan dukungan melalui surat).
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Lokakarya diawali pembahasan peta materi esensial yang dihasilkan seminar “Membangun Paradigma Baru Dalam Pendidikan Sejarah”.3 (Lihat BOKS). Menurut peserta lokakarya, peta materi esensial harus dimulai dari SK dan KD yang berlaku dalam kurikulum. Hasil seminar hanya bersifat masukan. Oleh karena itu, perumusan akhirnya dimulai dari SK dan KD dalam KTSP. Pembahasan SK dan KD pun dimulai. Setiap peserta memiliki pemahaman berbeda tentang materi yang dianggap esensial dan tidak. Selama dua hari berturut-turut tidak tercapai kesepakatan bulat. Padahal, lokakarya diharapkan menjawab bahan ajar seperti apa yang perlu digunakan guru.
Nama Guru (Inisial) Ibu A, mengajar di Jakarta
Nama Guru (Inisial) Bapak B, mengajar di Sukabumi
Materi yang Diajarkan
Catatan
• Perbedaan pergerakan dan perjuangan: tujuan, ideologi, kepemimpinan, skala/cakupan pergerakan, bentuk • Pengertian bangsa, kebangsaan • Definisi nasionalisme • Faktor pendorong internal: dorongan dalam diri, cendekiawan • Organisasi pergerakan (bersifat pilihan, karena waktunya tidak cukup dan bisa membuat anak bosan). Organisasi yang penting: Budi Utomo, Sarekat Islam (SDI dan SI Merah-Putih), Indische Partij dan tiga serangkai, Perhimpunan Indonesia, PNI, PKI. • Organisasi keagamaan: Muhammadiyah, NU, Partai Katolik, Perkumpulan Kristen • Organisasi kepemudaan: Jong Java, Sumatera, Ambon, Sulawesi, karena nama-nama dalam organisasi ini yang duduk dalam PPKI dan badan-badan kenegaraan • Sumpah Pemuda: apa itu Sumpah Pemuda, makna dari setiap diktum. Materi ini dapat menunjukkan bahwa identitas nasional tidak menghilangkan, tapi merangkum dan memperkaya semua perbedaan. Suku bangsa, agama, budaya dan bahasa menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Saat mengajarkan materi ini, kadang anak diminta untuk memerankan pemuda dari berbagai suku. • Materi berhenti sampai pada GAPI
• Waktu mengajar sangat sempit. Untuk IPS, jam pelajaran sejarah hanya 3 jam per minggu. Sedangkan IPA, hanya 1 jam per minggu. 1 jam = 45 menit. Biasanya, dalam 1 jam pelajaran, 20 menit habis untuk penertiban kelas, mengecek kehadiran dan pembukaan. • Materi pergerakan nasional bisa dialokasikan sekitar 3-4 jam pelajaran. • Mayoritas siswa kurang minat membaca buku sejarah, tetapi suka komik, film, dan kuis bergambar.
Materi yang Diajarkan
Catatan
• Definisi pergerakan nasional • Faktor pendorong lahirnya pergerakan nasional (intern, ekstern). Ketika bicara faktor internal, sering memulai dengan biografi tokoh, misalnya Sutomo. Dimulai dengan cerita Sutomo ketika kecil yang disuruh menunduk oleh orang tuanya ketika kereta kuda milik Belanda berlalu. Sutomo kemudian mempertanyakan perilaku ini. • Dinamika perjalanan pergerakan nasional: masa radikal, masa bertahan, dsb. (Tidak secara spesifik membahas profil-profil organisasi. Ini hanya menjadi tugas tambahan anak di rumah) • Mengurai bentuk interaksi Indonesia-Jepang pada masa kolonial • Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang interaksi Indonesia-Jepang • Kebijakan politik pemerintah Jepang pada masa awal dan akhir pendudukan di Indonesia • Mobilisasi massa untuk kepentingan Jepang • Sikap Jepang terhadap organisasi pergerakan nasional • Pengaruh revolusi Perancis, Amerika Serikat, Rusia dengan pergerakan nasional dan keragaman ideologi • Penjelasan tentang liberalisme, demokratisme, sosialisme, dll
• Bahan yang digunakan : Pembukaan UUD 45 (untuk menekankan kemerdekaan sebagai hak), media visual (cuplikan film, gambar, foto) yang didapat dari internet, novel Pramoedya, pembacaan pembukaan UUD 1945 secara teatrikal. • Anak ditugaskan untuk membaca biografi tokoh dan mencari materi di internet • Mewajibkan membaca buku tertentu untuk mengatasi minat baca yang rendah. • Persoalan utama: anak hanya mengetahui, tanpa menghayati
3 Seminar dihadiri 62 guru SMA dan SMP dari Jakarta, Rangkasbitung, dan Sukabumi dengan pembicara: Asvi Warman Adam (Sejarawan), Teuku Ramli (BSNP), Dr. Umasih (Dosen UNJ), dan Ratna Hapsari (Presiden AGSI)
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
7
Nama Guru (Inisial) Bapak C, mengajar di Rangkasbitung
Materi yang Diajarkan
Catatan
• perbedaan perjuangan dan pergerakan • perbedaan bangsa dan Negara • konsep Indonesia • konsep nasionalisme, perbedaan perjuangan organisasi gerakan nasional, teori pembentukan bangsa, dsb • masuk ke kasus-kasus kecil terkait pergerakan nasional. Misalnya, bagaimana orang tua Moh. Hatta menjual tanah mereka agar ia bisa sekolah ke Belanda
• Materi tidak disampaikan semua karena waktu terbatas · Penjelasan yang tidak dapat dikemukakan di kelas, diberikan melalui tugas struktur dan tugas tak terstruktur. • Karena keterbatasan jam ajar, anak diminta membuat biografi berbagai tokoh pergerakan nasional, lalu dikumpulkan dan dibukukan • Persoalannya, apakah anak mampu menyerap itu semua? • Kelemahan di Rangkasbitung, anak sulit mencari sumber. • Pemahaman sampai ke detil, masih sulit. Sehingga anak hanya mengetahui permukaannya saja, yaitu profil organisasi • Dengan materi yang banyak, dan jam pelajaran yang terbatas, dibutuhkan sesuatu yang sifatnya riil sehingga anak bisa lebih cepat menyerap. • Dibutuhkan media yang bisa menjadi jembatan agar anak tertarik pada sejarah dan mempercepat penyerapan anak terhadap materi sejarah, sehingga tertanam jiwa nasionalisnya. Hingga kini bentuk bahan ajar kebanyakan masih flash atau power point saja, tidak variatif, hanya mengacu ke materi, tidak bersifat merangsang anak
Lokakarya tidak berhasil merumuskan peta materi esensial, bahkan tidak ada waktu tersisa membahas bahan ajar. Namun, ada masukan baru yang “menyadarkan” peserta lokakarya. Hampir semua guru yang hadir sepakat bahwa: a. Dengan materi yang banyak, dan jam pelajaran yang terbatas, dibutuhkan sesuatu yang bersifat riil sehingga anak cepat menyerap. b. Dibutuhkan media yang bisa menjadi jembatan agar anak tertarik kepada sejarah dan mempercepat penyerapan nilai materi sejarah, sehingga tertanam jiwa nasionalis. “Kesadaran” baru ini semakin kelihatan bentuknya setelah ISSI menampilkan beberapa contoh pengolahan sumber sejarah yang disusun anggota dan seniman ISSI. Pengolahan materi semacam itu dipandang menarik karena kaya visualisasi dan diharapkan membantu imajinasi siswa. Respons guru sangat positif, bahkan mereka sangat membutuhkan bahan dalam format visual yang menarik, sehingga membuat siswa tertarik belajar. Para guru menyadari bahwa persoalan solusi mengembangkan pendidikan sejarah di sekolah bukan hanya dengan mengubah kurikulum. Ada cara lain yang bisa ditempuh sesuai kapasitas masing-masing. Peserta lokakarya pun bersepakat mengembangkan pendidikan sejarah di masa depan, jalan keluarnya “memproduksi bahan ajar alternatif, menarik, kreatif, dan sarat nilai kebangsaan”. Bahan ajar itu tidak lepas dari acuan kurikulum yang berlaku dan bisa digunakan langsung oleh guru di kelas sebagai alat bantu yang bersifat interaktif. Untuk membuat bahan ajar yang menarik, peserta lokakarya secara bulat menyatakan bahwa guru membutuhkan kerjasama dengan sejarawan dan seniman. Kerjasama antara guru, sejarawan, dan seniman sangat penting. Guru sangat menguasai pembelajaran di kelas, tetapi mereka perlu dibantu sejarawan untuk menentukan materi sejarah sesuai kaidah keilmuan. Sementara, untuk membuat bahan ajar menarik dalam bentuk komik, kartun, karikatur, visualisasi 8
foto, bahkan film, dibutuhkan sentuhan tangan seniman. Pendekatan Biografi Pelaku Sejarah Sebagai Pembelajaran Efektif Dari pengalaman AGSI-ISSI, diketahui bahwa antara guru yang satu dan lain mempunyai perbedaan menyampaikan materi pelajaran sejarah yang dianggap esensial. Walaupun berbeda, mereka bersepakat bahwa bahan ajar haruslah menarik minat siswa, dan bukan buku saja yang mampu menjelaskan segalanya. Untuk membantu pemahaman materi, pendekatan biografi pelaku sejarah seringkali dipilih guru agar siswa “merasakan” semangat zaman melalui tokoh tersebut. Selain itu, siswa juga akan dikenalkan tentang bagaimana pergulatan tokoh, dinamika emosi, pilihan sikap, dan keberpihakan, jatuh-bangun perjuangan. Singkatnya, pendekatan biografi pelaku sejarah dipandang lebih efektif daripada pendekatan lain.4 Pada tahap awal merintis bahan ajar alternatif, AGSIISSI memilih era kebangkitan nasional sebagai percontohan karena tidak mungkin seluruh babakan sejarah dikerjakan. Pilihan era kebangkitan nasional karena di masa inilah ide awal ke-Indonesia-an digagas dan dicita-citakan. Dengan mengkaji era ini, siswa diharapkan mampu memahami dan merasakan semangat ke-Indonesia-an yang ingin diperjuangkan para pendiri Indonesia. Melalui pendekatan biografi tokoh, sebenarnya ada banyak hal menarik dan penting diungkap. Dengan menyusuri biografi tokoh tertentu, keberadaan organisasi pun akan muncul sendiri. Selain itu, daripada hanya jelaskan definisi liberalisme atau istilah asing lain, lebih baik menunjukkan bagaimana liberalisme menjadi bagian pengalaman tokoh. Pengalaman konkret tokoh ini lebih menarik dibanding analisis sosiologis paham baru. Dengan paparan hal-hal nyata dan terjadi dalam keseharian, siswa diajak ke hal-hal yang lebih dekat dengan dirinya. Penghayatan menjadi tujuan 4 Bandingkan S. Hamid Hasan, “Pendidikan Sejarah untuk Membangun Inspirasi dan Mengembangkan Aspirasi,” Jurnal AGSI edisi ke-2, halaman 6-11. Esai ini menjelaskan tentang kelebihan pendekatan biografi pelaku sejarah.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
utama bila menghendaki perkembangan segi afektif siswa. Penghayatan dan mampu merasakan menjadi kebutuhan mendesak daripada kemampuan menganalisa, evaluasi, atau kritik suatu zaman. Saat merumuskan standar apa saja dalam menyusun bahan ajar alternatif ini, AGSI-ISSI mencoba merumuskan beberapa kriteria yaitu: a. Harus menarik (siswa biasanya senang cerita bergambar, komik, kartun, karikatur, foto, film). b. Membebaskan siswa dari pencapaian target baku dalam standar kompetensi. c. Tidak terbelenggu pada keharusan menghafal profil organisasi, tapi anak memahami pemikiran yang memotori organisasi. d. Memuat nilai-nilai keberagaman dan kehendak bersatu. e. Tokoh yang dipilih sebisa mungkin mewakili berbagai elemen, misalnya organisasi, pendidikan, sosial, politik, tokoh, ekonomi, dan perjuangan perempuan. f. Jika peran perempuan terwakili dalam gerakan nasional, maka pemikiran terkait dengan nasionalisme juga bisa mendalam. Sebab, perjuangan gerakan perempuan dan kebangkitan nasionalisme bukan hanya melawan penjajahan, tapi juga praktik feodalisme. g. Menggabungkan antara tematis dan kronologis. h. Ketika membahas pergerakan nasional, jangan hanya membahas sisi anti-Belanda saja karena banyak tokoh pergerakan yang juga mengkritik feodalisme. i. Tokoh yang dipilih tidak hanya menonjolkan kepahlawanannya tetapi juga menggambarkan kesehariannya sebagai sosok manusia biasa yang sering jatuh-bangun dan tahan banting, setia dan konsekuen dalam pilihan perjuangannya. j. Tokoh yang dipilih mempunyai kaitan dengan materi pelajaran sebelumnya (era negara/kerajaan tradisional) k. Tetap mencantumkan peristiwa penting yang umum
Skema Tematis Sampel Bahan Ajar Biografi Ki Hadjar Dewantara
Pendidikan dan Kebudayaan: - Taman Siswa (1922) sebagai konsep sekolah “model” nusantara - Konsep bahasa dan budaya nasional - Konsep demokrasi dan kepemimpinan - Ordonansi sekolah liar (1932) - Sekolah guru di Jetis
diketahui banyak orang tanpa harus mengungkapnya secara mendalam (dalam bentuk time line) dan menjadi semacam “bingkai” bagi materi utama atau cerita tokoh yang dipilih agar tetap terlihat dalam ruang dan waktu dari gerak zaman. l. Tokoh yang dipilih diharapkan mengungkap pula bagaimana cerita di masa mudanya sehingga diharapkan bisa menjadi cermin bagi siswa didik. m. Bahan ajar ini dibayangkan sebagai alat penunjang yang bisa disimpan, terus dipakai, dan tidak ‘basi’ setelah anak selesai sekolah. Tahapan pekerjaan pun dijalani. Pertama, dengan kriteria tersebut, siapakah tokoh yang representatif? Sempat muncul beberapa pilihan seperti: Kartini, Soetomo, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hadjar Dewantara. Setelah berbagai argumen dan pilihan mengemuka, sebagai contoh pertama, pilihan jatuh pada biografi Ki Hadjar Dewantara. Pilihan terhadap tokoh ini bukanlah serba ideal atau sempurna, ada kelebihan-kekurangan. Untuk Ki Hadjar, unsur representatif dari keragaman budaya sulit dipenuhi. Kesan Jawa sentris tetap menonjol. Sebagai percontohan, AGSI-ISSI sepakat memilih Ki Hadjar. Dalam sepanjang perjalanan hidupnya, ada banyak sekali dimensi nilai sejarah yang dapat menjadi hikmah bagi siswa. Melalui perjalanan hidupnya, berbagai tematis dapat dijembatani. Ia pernah bergulat dalam pendidikan, ekonomi, pers, kebudayaan, terlibat berbagai organisasi (Budi Utomo, Sarekat Islam, Indische Partij), perlawanan politik terhadap Belanda, perjumpaannya dengan masalah hukum yang berlaku di masa itu, melalui kakaknya Soerjopranoto menyentuh masalah perburuhan, feodalisme, hingga persoalan sehari-hari semasa kecil, remaja, dan saat sekolah.
Transportasi/ mobilitas: - Kapal uap - Kereta api
Hukum: - Adhi Dharma - Pengalaman penangkapan/ pembuangan
Pers: - Biro pers/ IPB - De Express - Menulis “Seandainya Saya Seorang Belanda” - Bersinggungan dengan Tirto Adhi Soerjo
Perempuan: Nyi Hadjar
Ekonomi: - krisis 1918 - krisis 1931 (resesi) - Bersinggungan dengan Soerjopranoto
Politik dan organisasi: - Budi Utomo - Ketua SI Bandung - Indische Partij - Perhimpunan Indonesia - Insulinde
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
9
Bolehlah kita membayangkan ada jarak antara kehidupan saat ini dan abad ke19-20. Ada semangat dan persoalan hidup yang berbeda. Untuk memahami dan menyelami semangat zaman dan menyerap nilai perjuangan di masa itu dibutuhkan suatu jembatan. Dengan menelusuri perjalanan hidup Ki Hadjar, siswa diajak memasuki masa lalu. Apa keistimewaan perjalanan hidup Ki Hadjar Dewantara? Dalam tulisan ini, penulis hanya menggarisbawahi strategisnya sejarah hidup Ki Hadjar sebagai jembatan membahas materi sejarah lainnya.5 Ki Hadjar adalah tokoh tiga zaman. Ia mengalami masa kolonial Hindia Belanda, pendudukan Jepang, dan kemerdekaan. Di masa kolonial, ia berperan besar menabur benih kebangkitan nasionalisme. Ia pelaku sekaligus saksi sejarah. 5 Bandingkan Ibe Karyanto, “Taman Siswa: Pendidikan Sebagai Gerakan Kebudayaan”, Jurnal AGSI , Edisi ke-2, hlm 12-17.
10
Sebagai keturunan raja Jawa, Soewardi Soerjaningrat (nama kecil Ki Hadjar) lebih banyak hidup bersama kawula alit (masyarakat kebanyakan). Ayahnya, Kanjeng Pangeran Aryo Soerjoningrat, sangat merakyat. Dari asuhan ayahnya, ia bersifat kritis terhadap praktik feodal dan mengenal nilainilai kebajikan. Ia melawan laku dhodhok dan sejak kecil mulai membenci kesewenangan pemerintah kolonial yang tercermin pada tindakan mencabuti papan bertulisan “NIET TOEGANKELIJK VOOR HONDEN EN INLANDERS” (Dilarang masuk bagi anjing dan pribumi) di taman rekreasi Benteng Vredeburg. Papan larangan itu menghina martabat Ki Hadjar yang sadar sebagai pribumi. Bukankah kesadaran dan sikap perlawanan terhadap feodalisme serta kesewenangan kolonial adalah ciri lahirnya era kebangkitan nasionalisme? Kelak setelah menerima pendidikan barat dan mempelajari kebudayaan barat, nilai budaya Jawa, kesadaran, kebencian terhadap kolonial, ia mengalami metamorfosa yang melampaui batas-batas pemikiran pada zamannya. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Timeline/ Kronologi 1908
• 1911
• 1912
.............. 1942
Visualisasi: ilustrasi, foto, komik Visualisasi: ilustrasi, foto, komik
Visualisasi: ilustrasi, foto, komik
Teks: penjelasan/cerita/anotasi, dll ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................
Pemikiran itu kemudian dituangkan dalam perjuangan di bidang pendidikan yang tak lain adalah gerakan kebudayaan. Soewardi Soerjaningrat aktif melakukan kerja agitasi-propaganda dan membentuk organisasi modern paling awal di awal abad ke-20. Di STOVIA, ia memprovokasi perlawanan tentang praktik diskriminatif Kolonial yang melarang pribumi berpakaian ala Barat. Ia memprovokasi dengan meledakkan petasan, membaca puisi perjuangan dan antikolonial. Setelah dipaksa keluar dan tidak tamat dari STOVIA ia sempat disorientasi (khas sekali dengan psikologi remaja). Ia sempat bekerja di pabrik gula tapi tidak betah dan pindah kerja di apotik. Ia dikeluarkan lagi karena salah meracik obat. Dalam masa pencarian ini, ia mengasah kemampuannya menulis. Ia pun dikenal luas di kalangan pergerakan dan menjadi bagian penting di dalam gerakan. Kerja kerasnya itu membawa Soewardi sebagai pejuang pers (De Expres, Oetoesan Hindia, Kaum Moeda, Tjahaja Timoer,
Sediotomo, Midden Java, dan Poesara). Goresan penanya tajam dan memekakkan telinga pemerintah kolonial, seperti tulisannya “Seandainya Saya Seorang Belanda�. Karena tulisan ini, ia pun dijerat hukum kolonial Belanda. Ia dibuang dan memilih Belanda sebagai pembuangannya. Namun, hukuman itu justru mematangkan pribadinya. Ia tetap kuat menghadapi kesulitan ekonomi meski harus menghidupi anak dan istrinya di pembuangan. Di Belanda ia mendalami teori pengajaran yang kelak melandasi pendirian Taman Siswa. Pulang dari pembuangan, ia sempat membantu gerakan buruh yang dimotori kakaknya, Soerjopranoto, yang dikenal sebagai raja mogok. Soewardi juga mendirikan sekolah Adhi Dharma bagi pribumi. Di sini, ia mempraktikkan teori yang diperolehnya di Belanda sekaligus uji coba sebelum mendirikan Taman Siswa pada 1922. Taman Siswa makin berkembang dan didukung banyak kalangan dari kaum priyayi sampai rakyat jelata. Di masa pengembangan Taman
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
11
Siswa inilah, Soewardi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara. Menarik membaca Ki Hadjar yang memilih berjuang di bidang pendidikan dan kebudayaan, sementara banyak temannya memilih bidang politik. Ucapannya yang menarik saat ia memulai menggeluti pendidikan bahwa, “Kita sudah cukup lama menggempur benteng musuh. Kini sudah waktunya kita membangun benteng kita sendiri.” Puncak perjuangan Taman Siswa yang dirintis Ki Hadjar adalah kemenangannya menghadapi Ordonansi Sekolah Liar sekitar 1932. Ordonansi ini dikeluarkan untuk memelihara ketertiban umum, atau mencegah praktik pengajaran yang menimbulkan bahaya bagi Belanda. Maka, semua sekolah harus meminta izin untuk bisa memberikan pengajaran. Izin dapat ditolak atas dasar sangkaan itu. Ordonansi ini kemudian mengundang perlawanan. Pemerintah kolonial sendiri tak sanggup memberikan pengajaran yang dibutuhkan sehingga masyarakat secara swadaya mewujudkan hal itu. Selain itu, pemerintah kolonial menghendaki agar Taman Siswa meminta izin kepada pemerintah. Dalam perkembangannya, Taman Siswa tetap dianggap sekolah liar dan harus dibubarkan. Ki Hadjar menolak. Pernyataan protesnya ia tuangkan dalam telegram kepada Gubernur Jenderal de Jonge, di Bogor. Telegram itu ia tulis dalam bahasa Belanda. Isinya antara lain sebagai berikut: ... exelensi meneruskan dengan cara diktatoris pelaksanaan ordonansi mengenai sendi tulang masyarakat dan adab yang dibuat amat tergesa-gesa setelah anggaran pengajaran (pemerintah) ditolak (oleh Volksraad) menimbulkan kesan bahwa pemerintah seolah-olah getar kebingungan dalam soal yang mutlak bagi kepentingan rakyat hingga salah mengerti dan salah langkah. Bolehkah saya memperingatkan bahwa makhluk yang tidak berdaya sesuai nalurinya mempertahankan hidupnya dengan perlawanan seperti halnya kami mungkin karena terpaksa meningkatkan sikap menjadi perlawanan sekuat-kuatnya dengan cara diam. Sikap Ki Hadjar juga dituangkan dalam Pusara yang menyediakan kolom khusus perlawanan ordonansi secara terus-menerus. Ia mengeluarkan maklumat tentang ordonansi ini sebagai berikut: Untuk melawan tekanan penguasa-penguasa, rakyat harus menggunakan kekuatan efektif. Betapa pun kerasnya mereka meneriakkan protes dan tuntutantuntutannya, tanpa menggunakan kekuatan tenaganya, oleh penguasa semua itu paling-paling akan dianggap “rengekkan anak yang manja”. Ada dua cara untuk menggunakan kekuatan: secara aktif dan secara pasif. Cara aktif digunakan bila dua tenaga yang berhadapan sama kuat; cara pasif ialah cara yang digunakan jika kekuatan lahir yang satu tidak mengimbangi kekuatan lahir lawannya. Ki Hadjar mengobarkan perlawanan dengan cara diam untuk menunjukkan “tertib dan damai, tata tentrem” versi Taman Siswa dengan rust en orde versi pemerintah kolonial. Terbukti gerakan perlawanan ini berjalan tertib dan didukung oeh segenap anggota Taman Siswa, bahkan dari organisasi pergerakan lainnya antara lain Partai Bangsa Indonesia, 12
Paguyuban Pasundan, Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia, THHK, Muhammadiyah, Sekolah Diniyah, Kaum Ulama Majalengka, Pakempalan Kawula Ngayogyakarta. Namun, pemerintah kolonial tidak pernah berhenti menghalangi kemajuan Taman Siswa. Anak pegawai pemerintah kolonial yang bersekolah di Taman Siswa dicabut tunjangannya. Karcis bebas siswa Taman Siswa yang ayahnya bekerja di Perusahaan Kereta Api dicabut. Kemudian seluruh guru yang mengajar di sekolah Taman Siswa wajib membayar pajak upah kerja. Masalah itu diselesaikan pada 15 Juli 1940 setelah Ki Hajar bertemu dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Istana Cipanas, Bogor. Ordonansi tersebut akhirnya dibatalkan. Voksraad kemudian mengeluarkan “Ordonansi 1933 No 66” pada 20 Februari 1933 yang menyatakan bahwa pelaksanaan ordonansi 1932 ditunda selama setahun dan ordonansi lama diberlakukan lagi. Setelah ordonansi ini keluar, hingga pemerintahan Kolonial Belanda di Indonesia berakhir, larangan ‘sekolah liar’ tidak pernah terjadi lagi. Keberhasilan Ki Hadjar bersama Taman Siswa menghadapi ordonansi sekolah liar, merupakan kegemilangan perjuangan Ki Hadjar. Solidnya perjuangan kaum pergerakan dalam suasana tertib dan damai memaksa pemerintah kolonial menyerah dan membatalkan niatnya mengontrol dan membatasi gerakan pendidikan yang sedang tumbuh. Taman Siswa tampil sebagai penggerak perlawanan organisasi pendidikan yang merakyat dan nasional. Dari perjalanan Ki Hadjar, setidaknya kita bisa menyentuh tema dan peristiwa besar yang selama ini menjadi materi kurikulum pendidikan sejarah era kebangkitan nasional antara lain berdirinya organisasi modern (Budi Utomo, SI, Indische Partij), latar belakang lahirnya nasionalisme (feodalisme dan kesadaran antipenjajahan), Sumpah Pemuda, perlawanan, persatuan, dan dinamika menghadapi kesewenangan pemerintah kolonial tanpa kekerasan, pentingnya pendidikan untuk mendobrak perubahan. Memulai, Selalu Tidak Mudah Pada bagian sebelumnya sudah dijelaskan kenapa memilih Ki Hadjar. Langkah selanjutnya menyusun bahan ajar yang dimaksud bersama seniman. Untuk menghindari anakronisme dan memenuhi syarat akademik, dilakukanlah riset kecil sebelum menyusun narasi tentang Ki Hadjar Dewantara. Proses ini memakan waktu sekitar empat bulan. Data yang diperoleh kemudian dijahit sehingga menjadi cerita utuh dan kronologis tentang sejarah Ki Hadjar. Pada awal Juli 2011, sejumlah anggota ISSI yang menyusun narasi ini memandang materi dapat divisualisasikan bersama seniman. Maka, pada 1-3 Juli 2011, diadakanlah lokakarya pembuatan bahan ajar seperti dimaksud. Ada enam seniman yang terlibat selama lokakarya ini.6 Mereka mencoba menorehkan narasi dalam bentuk visual antara lain membuat kartun, karikatur, visualisasi foto. Hingga hari ketiga, upaya kreatif seniman ternyata mengalami kendala sehingga belum mencapai tujuan yang diinginkan. Olahan sementara sangat “miskin” visual. Model dan isi bahan ajar yang benar-benar alternatif belum tampak. Secara umum, visualisasi yang ada berupa ilustrasi. Teks narasi masih mendominasi di sana-sini. 6 Para seniman yang terlibat berasal dari ISSI dan Pokjajambubatu. Mereka mempunyai keahlian di bidang seni grafis dan seni rupa.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Para seniman mengalami kesulitan membuat karya visual karena narasi yang dibuat sangat “eksak” yakni berupa data (tanggal, peristiwa, dsb) yang dirakit. Belum ada “sentuhan emosional” yang memungkinkan seniman bisa berimajinasi dan melahirkan ide visual (bandingkan contoh narasi di bawah ini). Karena itu, peserta lokakarya merekomendasikan perbaikan narasi dan pengolahan bahan ajar lagi. Alhasil, pembuatan bahan ajar harus mundur satu langkah lagi. Perbaikan narasi harus dilakukan dan ini ternyata tidak mudah. Diperlukan seseorang yang cukup “ahli” mengemas narasi sehingga membantu seniman berkreasi.
Berkat jejaring dan persahabatan AGSI-ISSI, didapat pula orang yang dimaksud dan mau membantu pekerjaan itu secara sukarela7. Hanya ia perlu waktu menyelesaikannya. Karena itu pula, upaya merintis bahan ajar alternatif ini masih berproses dan belum rampung. AGSI-ISSI memperkirakan perlu waktu sekitar tiga bulan. Maka, pada 2012, diharapkan bahan ajar tersebut kelihatan bentuknya yang memang benar-benar “alternatif” sebagai jawaban atas kebutuhan pengembangan pendidikan sejarah. Semoga.
7 Kerja AGSI dan ISSI lebih dominan didasari keikhlasan. Para guru, sejarawan, dan seniman yang terlibat bekerjasama secara sukarela karena sama-sama melihat pentingnya pengembangan pendidikan sejarah.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
13
Daftar Sumber: Risalah Seminar “Membangun Paradigma Baru dalam Pendidikan Sejarah”, diselenggarakan AGSI-ISSI, Galeri Nasional, 6 Maret 2010. Risalah Workshop “Pemetaan Materi Esensial Pendidikan Sejarah”, diselenggarakan AGSI-ISSI, Wisma Hijau Cimanggis, Depok, 28-30 Mei 2010. Risalah Lokakarya “Penyusunan Sampel Bahan Ajar Periode Kebangkitan Nasional untuk SMA”, diselenggarakan AGSI-ISSI, Wisma Hijau Cimanggis, Depok, 9-10 Oktober 2010 Risalah Lokakarya “Penyusunan Narasi Ki Hadjar Dewantara untuk Bahan Ajar Sejarah SMA”, diselenggarakan AGSI-ISSI, Wisma PGI, Jakarta Pusat, 11 Maret 2011. Risalah Lokakarya “Pembuatan Bahan Ajar Kreatif tentang Ki Hadjar Dewantara”, diselenggarakan AGSI-ISSI, Galeri 678, Jakarta Selatan, 1-3 Juli 2011. 14
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
PENGERTIAN PEMANFAATAN DAN PERKEMBANGAN MEDIA PEMBELAJARAN Oleh Ratna Hapsari 1
A. Pengantar Bagi sebagian besar guru, pemanfaatan media di dalam pembelajaran sudah tidak merupakan hal baru lagi. Semua guru pasti sudah memahami bahwa penggunaan berbagai jenis media merupakan bagian penting untuk menyempurnakan proses interaksi yang terjadi antara guru dan siswa di kelas. Sehingga sajian utama jurnal kali ini yang berjudul Pengertian, Pemanfaatan dan Perkembangan Media Pembelajaran lebih merupakan tulisan yang bersifat penyegaran atau dalam konteks berbagi pengalaman. Harapannya ketika kajian teoritis ini dibaca, maka pemahaman tentang media akan semakin memantapkan guru dalam meningkatkan kemampuannya memanfaatkan media dalam keseluruhan proses pembelajaran yang akan dilaksanakan. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Kemp (1975) bahwa dasar dari penggunaan media harus sesuai dengan situasi pembelajaran tertentu. Kemp mengatakan. “[T]he question of what media attributes are necessary for given learning situation becomes the basis for media selection.� Jadi, klasifikasi media, karakteristik media, dan pemilihan media merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam menentukan strategi pembelajaran. Kata pembelajaran sengaja digunakan sebagai padan kata instruction dalam bahasa Inggris. Kata ini mempunyai pengertian yang lebih luas daripada pengajaran. Jika kata pengajaran (guru mengajar siswa belajar) hanya ada dalam konteks guru dan siswa di kelas atau di ruang belajar yang formal, maka pembelajaran atau instruction mencakup kegiatan belajar-mengajar yang tidak selalu perlu dihadiri oleh guru secara fisik. Oleh karena itu, dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber belajar karena tidak adanya kehadiran guru harus terjadi. Hal tersebutlah yang dinamakan sebagai pembelajaran.
juga mengalami perkembangan dan tampil dalam berbagai jenis dan format, seperti audio, film, visual, di mana masingmasing mempunyai ciri dan kemampuan, sehingga perlu dilakukan pengelompokkan dan klasifikasi dari bermacammacam media tersebut. Secara etimologi, media berasal dari bahasa Latin medius, yang berarti tengah, perantara atau pengantar. Menurut Brezt (1972), media dapat digolongkan dalam tiga unsur pokok yaitu suara (audio), visual (gambar), dan gerak. Dari ketiga unsur ini oleh Brezt, media kemudian dikembangkan dalam 8 klasifikasi media yang meliputi : (1) audio visual gerak; (2) audio visual diam; (3) audio visual semi gerak; (4) visual gerak; (5) visual diam; (6) visual semi gerak; (7) audio; dan (8) cetak. Untuk tujuan praktis maka berikut ini akan dibahas karakteristik beberapa jenis media yang biasa digunakan dalam pembelajaran di Indonesia. 1. Media Visual, salah satu yang termasuk media visual ini adalah media grafis, yang berfungsi untuk menyampaikan pesan yang dituangkan ke dalam simbolsimbol komunikasi visual. Simbol-simbol yang akan digunakan ini perlu dipahami dengan benar terlebih dahulu sehingga proses penyampaian pesan itu dapat berhasil dan efisien. Ada pepatah Cina yang mengatakan bahwa gambar berbicara lebih banyak daripada seribu kata. Misalnya gambar atau foto, kemudian tugaskan siswa untuk melakukan hal sebagai berikut, perhatikan baikbaik gambar di bawah ini dan buatlah deskripsi singkat dari gambar atau foto tersebut sesuai pemahamanmu.
B. Pengertian Media Dalam pengertian teknologi pendidikan, media merupakan salah satu komponen dari sistem intruksional. Pengertian media sering dikacaukan dengan peralatan, maka untuk menghilangkan kerancuan ini perlu ada pembatasan yang jelas tentang media. Media adalah bahan atau perangkat lunak (software), yang berisi pesan atau informasi pendidikan yang biasanya disajikan dengan menggunakan peralatan. Dengan lajunya perkembangan teknologi, media
1 Guru SMAN 6 Jakarta dan Ketua Umum Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
15
Kelebihan dari media ini sifatnya konkret, lebih realistis dibandingkan hanya dengan menggunakan media verbal saja. Gambar dapat mengatasi batasan ruang dan waktu, karena tidak semua obyek atau peristiwa dapat dihadirkan di kelas. Media lain yang termasuk media visual adalah sketsa, diagram, bagan (chart), grafik, kartun, poster, peta, papan flanel
berbarengan, dan mengurangi verbalisme yang mungkin masih bisa terjadi jika media yang digunakan hanya berupa visualisasi. Adalah Edgar Dalle yaitu seorang yang melakukan penelitian tentang manfaat media dengan mengadakan klasifikasi pengalaman penggunaan media terhadap siswa dari tingkatan yang paling konkret ke tingkat yang paling abstrak. Klasifikasi inilah yang kemudian dikenal dengan nama kerucut pengalaman (cone of experience), yang kemudian digunakan oleh banyak guru untuk menentukan alat bantu atau media seperti apakah yang paling sesuai digunakan pada siswa untuk pengalaman belajar tertentu.
2. Media Audio, contohnya radio, tape recorder, laboratorium bahasa 3. Media proyeksi diam, film bingkai atau yang lebih dikenal dengan istilah slide, media transparansi (over head projector /OHP), televisi, film, video, game (permainan/ simulasi) C. Pemanfaatan dan Perkembangan Media Mengapa media diperlukan dalam kegiatan pembelajaran? Awalnya media memang hanya digunakan sebagai alat bantu guru (teaching aids) yang menunjang kegiatan pembelajaran. Tetapi, dengan munculnya perkembangan teknologi pada sekitar pertengahan abad ke-20, media pembelajaran juga mengalami perkembangan yakni yang tadinya hanya dikenal media audio dan media visual secara mandiri, maka dengan kemajuan teknologi keduanya dapat disatukan menjadi audio visual atau audio visual aids (AVA). Dengan kemajuan ini maka pemanfaatan media untuk pembelajaran menjadi lebih berkembang karena guru dapat menyampaikan pesan pelajarannya dengan lebih komunikatif, yaitu melalui penglihatan dan pendengaran secara 16
Keterangan singkat dari kerucut pengalaman belajar siswa, hasil penelitian Edgar Dalle. Siswa ternyata hanya 10 persen berhasil menyerap pengalaman belajarnya dengan membaca, 20 persen melalui mendengar (verbal), dan 20 persen lainnya dengan melihat (visualisasi) Ă remembering and understanding. Siswa akan mencapai pengalaman belajarnya sampai 50 persen kalau ia dapat melihat dan mendengar, dan akan mencapai 70 persen (applying, analysing, and evaluating) jika pengalaman belajar yang diperolehnya melalui apa yang mereka katakan dan mereka mampu menuliskannya. Sedangkan kemampuan mencapai 90 persen (creating) adalah jika mereka dapat melaksanakan atau melakukan apa yang telah mereka katakan dan tuliskan. Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Seperti telah disampaikan di atas bahwa menentukan media pembelajaran, harus sesuai dengan keseluruhan rencana pembelajaran dalam situasi tertentu. Ketercapaian perencanaan dan pemanfaatan media tertentu sangat tergantung pada kemampuan guru dalam menentukan penggunaan kata kerja operasional dalam pencapaian kompetensi dasar (KD) tertentu. Sekadar berbagi, dalam menentukan kata kerja operasional sebaiknya menggunakan tahapan dalam taksonomi yang dikembangkan Bloom dan disempurnakan Anderson.
keberhasilan Hayam Wuruk sebagai raja, Hayam Wuruk ternyata juga memiliki beberapa kelemahan yang dapat mengantar Majapahit ke lembah kehancuran. 5. Mengevaluasi (evaluating) dalam tahapan ini siswa kemudian dapat memberikan penilaian secara obyektif tentang peranan Hayam Wuruk sebagai raja Majapahit, baik yang merupakan keberhasilan maupun kegagalan. Dalam tahap ini guru dapat membantu siswa untuk memberikan kriteria-kriteria tentang keberhasilan dan kegagalan seorang raja dalam pemerintahan. 6. Menciptakan (creating) dalam tahapan ini, siswa diharapkan dapat menciptakan dengan melakukan sintesis dari apa yang telah diperolehnya dari tahapan kognitif sebelumnya. Sebagai contoh siswa kemudian dapat memberikan pandangan positif berdasarkan pada kriteria-kriteria tertentu, bagaimana seharusnya Hayam Wuruk sebagai raja dapat mencegah keruntuhan Majapahit sepeninggalnya.
Sedikit penjelasan tentang tahapan kognitif Bloom yang disempurnakan oleh Anderson dalam versi baru, 1. Mengingat (remembering) seperti nama, hari, bulan dan istilah-istilah penting merupakan tingkatan yang paling dasar dalam tahapan kognitif. Mengingat atau mengenali materi yang sudah dipelajari merupakan landasan untuk tahapan pembelajaran selanjutnya. Contoh, seperti mengingat Hayam Wuruk sebagai raja yang telah membawa Majapahit ke jaman keemasan. 2. Memahami (understanding) di dalam tahap ini diharapkan dapat menunjukkan pemahamannya dengan mengubah atau memanipulasi informasi. Contoh, setelah mampu mengingat bahwa Hayam Wuruk adalah raja Majapahit yang dapat membawa kerajaannya ke jaman kejayaan, selanjutnya siswa dapat mengidentifikasi dan menyampaikannya dengan bahasa sendiri langkah-langkah apa saja yang telah dilakukan Hayam Wuruk sehingga Majapahit dapat mencapai kejayaan. 3. Menerapkan (applying) dalam tahapan ini siswa diharapkan dapat menggunakan informasi yang telah diperoleh ke dalam beberapa jenis pemecahan masalah. Misalnya sebagai raja, Hayam Wuruk berhasil mewujudkan kerukunan beragama di wilayah kerajaannya, mengapa hal tersebut sulit dilakukan di negara kita saat ini?
Dari pengenalan dan pemahaman terhadap tahapan kognitif yang harus dicapai siswa dalam proses pembelajaran, guru dengan mudah dapat menentukan media yang tepat untuk digunakan dalam membantu ketercapaian Kompetensi Dasar dari mata pelajaran yang diampunya. Sebagai contoh, media yang tepat digunakan untuk tahapan kognitif mengingat (untuk contoh di atas) salah satunya adalah peta, yang menunjukkan lokasi kerajaan Majapahit, terkait dengan lokasi ini maka dapat dikembangkan kepada kondisi geografis, sistem mata pencaharian penduduk, dan nama raja-raja Majapahit, misalnya dengan menampilkan diagram silsilah, dan menunjukkan raja mana yang memiliki peranan penting dalam kerajaan tersebut. Demikian seterusnya sehingga media yang digunakan akan berfungsi lebih dari sekadar alat bantu. Selamat berkreativitas!
Daftar Pustaka Anderson, Lorin W. and David R. Krathwol (ed). A Taxonomy for Learning, Teaching and Assesing, A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objective. New York: Longman, 2001. Arends, Richard I. Learning to Teach. Fourth Edition, Singapore: McGraw Hill, 1998. Dick, Walter, Carey Lou and James O. Carey. The Systemic Design of Instruction. Boston Pearson, 2005. Miarso, Yusufhadi, Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta: Prenada Media, 2004 Semiawan, Conny R. Landasan Pembelajaran Dalam Perkembangan Manusia. Jakarta: Centre of Human Competency Development, 2007.
4. Menganalisis (analysing), dalam bentuknya yang paling dasar menganalisis adalah kemampuan yang melibatkan proses mengamati seluruh entitas dan fenomena, memetakannya ke dalam bagian-bagian yang terpisah atau kemampuan menentukan ciri-ciri khusus. Misalnya, di balik Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
17
Pemanfaatan Teknologi Dalam Pembelajaran Sejarah Dewi Suhartini Kantaatmadja
wakil kepala sekolah bidang humas. Oleh karena itu, tugas tersebut membuat ibu guru yang ramah ini beberapa kali harus mengunjungi Singapura dan Malaysia mendampingi peserta didiknya mengadakan sister school. Selain itu, ia juga menjadi administratur situs sekolah tempatnya mengabdi (www.sman2bogor.sch.id), juga mengajar di FKIP Universitas Ibnu Khaldun-Bogor, dan aktif sebagai pengurus PBSI Bogor.
Pemanfaatan Teknologi Dalam Pembelajaran Sejarah Ibu Dewi Suhartini Kantaatmadja, lahir di Bandung pada 29 Nopember 1965. Ia menyelesaikan S1 Jurusan Pendidikan Sejarah di IKIP Bandung pada 1988, dan S2 di Program Pascasarjana UPI Bandung jurusan Pendidikan IPS pada 2001 dengan tesis “Minat Siswa Terhadap Topik-topik Mata Pelajaran Sejarah dan Beberapa Faktor yang Melatarbelakanginya.” Enam tahun kemudian, pada 2007, ia meraih gelar doktor dari Sekolah Pascasarjana UPI Bandung jurusan Pendidikan IPS dengan disertasi berjudul “Pemanfaatan e-Learning Dalam Meningkatkan Minat dan Hasil Belajar Peserta Didik pada Pembelajaran Sejarah”. Kariernya dalam dunia pendidikan dimulai pada 1988 yakni ketika ia diangkat sebagai pegawai negeri sipil di SMA Negeri Cikalongetan, Bandung, tetapi pada 1990 ia kemudian pindah ke SMA Negeri 2 Bogor hingga kini. Di sekolah terakhir ini, ia mendapat tugas tambahan sebagai 18
Menurut ibu guru yang sudah mengajar selama lebih dari dua dasawarsa ini, Sejarah adalah mata rantai batiniah untuk menghayati apa yang terjadi pada masa lalu, akibatnya pada masa sekarang, dan dampaknya pada masa yang akan datang (Suhartini, 2001: i). Mata pelajaran sejarah memiliki arti strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat serta dalam pembentukan manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air seperti tercantum dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 22 tahun 2005. Dengan demikian, maka keberadaan pelajaran sejarah itu sangat penting, bukan hanya semata-mata dimaksudkan agar peserta didik mengetahui dan hafal tentang peristiwa masa lalu bangsa dan negaranya saja, namun diyakini mampu mengajarkan pengalaman masa lalu yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan masa sekarang bahkan masa mendatang seperti ungkapan terkenal dari Cicero, “Sejarah adalah guru kehidupan” (Historia magistra vitae). Pengajaran sejarah bertujuan agar peserta didik Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
menyadari adanya keragaman pengalaman hidup pada masing-masing masyarakat dan adanya cara pandang yang berbeda terhadap masa lampau untuk memahami masa kini dan membangun pengetahuan serta pemahaman untuk menghadapi masa datang. Dalam hal ini, mata pelajaran sejarah berperan dalam membentuk kepribadian peserta didik agar dapat memiliki nasionalisme dan patriotisme yang kuat, serta siap memasuki masa depan. Karena itulah pembelajaran sejarah harus diajarkan secara kreatif oleh guru, sehingga tidak akan timbul kebosanan dan peserta didik pun tidak akan menganggap seakan-akan sejarah sama dengan urutan peristiwa yang terbatas pada peristiwa politik yang jauh dari kehidupan peserta didik. Hal ini harus dilakukan oleh guru, mengingat pembelajaran sejarah yang disampaikan secara “kering� dapat mematikan gairah dan minat belajar peserta didik (Kartodirdjo, 1999:77). Ibu Dewi yang gemar membaca ini menyatakan bahwa salah satu cara agar peserta didik berminat untuk belajar sejarah adalah dengan mengubah proses pembelajaran sejarah. Di antara perubahan yang dapat dilakukan adalah penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran sejarah. Pembelajaran sejarah dianjurkan agar menggunakan media yang berpotensi menambah wawasan dan konteks belajar serta meningkatkan hasil belajar. Slide, film, radio, televisi, komputer yang dilengkapi CD ROM dan hubungan internet dapat dimanfaatkan untuk mengakses berbagai informasi tentang isu-isu lokal, nasional, ataupun internasional (Depdiknas, 2003: 5). Penelitian Schade (Munir, 2003a: 4) menemukan bahwa daya ingat bagi orang yang membaca sendiri adalah yang terendah (1%). Daya ingat ini bisa ditingkatkan hingga 25%30% dengan bantuan alat pengajaran lain seperti televisi atau video. Metode pengajaran dan pembelajaran pun dapat lebih meningkat sebanyak 60% bila media tiga dimensi (3D) digunakan. Di samping itu, studi yang dilakukan Al-Seghayer pada 2001 (Munir, 2003a: 4) menunjukkan pula bahwa klip video memberikan kesan yang lebih bermakna terhadap penguasaan kata (90%), daripada gambar (76%) dan teks (60%). Multimedia juga memiliki kemampuan menampilkan konsep tiga dimensi (3D) yang mengesankan, bila kurikulum pembelajaran dapat direncanakan secara sistematis, komunikatif, dan interaktif selama proses pembelajaran. Temuan Nuraini (2003:4) juga menunjukkan bahwa terjadi peningkatan penting setelah pemberian materi dan tugas disajikan dalam bentuk multimedia. Mereka yang belajar dengan multimedia lebih antusias dan memperhatikan dengan penuh minat jika dibandingkan mereka yang belajar hanya dengan menggunakan papan tulis dan kapur.
melakukan perluasan dan pendalaman terhadap materi yang diajarkan (Slameto, 1995:180-181). Sementara, Ngatimin dan Shah (2004: 24-25) juga menyatakan bahwa ICT adalah salah satu kaedah pengajaran dan pembelajaran mata pelajaran sejarah yang inovatif. Berbekal studi dan pengalaman di dunia pendidikan sepanjang kariernya, Ibu Dewi menyimpulkan bahwa guru sejarah pada masa sekarang harus menguasai dan dapat memanfaatkan teknologi. Pemanfaatan teknologi dalam suatu pembelajaran memberi hasil positif, juga pelaksanaan proses belajar-mengajar pun menjadi lebih menyenangkan dan kondusif sehingga peserta didik termotivasi untuk belajar. Dalam kaitan ini pula, maka suatu proses belajar dinyatakan berhasil jika peserta didik berinteraksi dan terlibat selama proses pembelajaran berlangsung. Bercermin pada pengalaman perempuan pendidik ini, ragam aktivitas yang bisa dilakukan peserta didik pada pembelajaran sejarah akan menggugah rasa ingin tahu peserta didik dan menghapus anggapan bahwa belajar sejarah itu membosankan. Ibu Dewi Suhartini Kantaatmadja merasa tertantang untuk mengembangkan pembelajaran sejarah sehingga peserta didik merasakan sesuatu yang memang perlu dipelajari. Ia juga merasa tertantang untuk meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran Sejarah. Hal ini membawanya pada model pembelajaran sejarah dengan e-learning. Dengan pembelajaran e-learning akan menggugah rasa ingin tahu dan menghapus kesan bahwa belajar sejarah hanyalah sekedar menghapal fakta dan peristiwa. Langkah-langkah yang Ibu Dewi biasa lakukan di sekolah antara lain sebagai berikut: Saat memulai pembelajaran, ditampilkanlah layar monitor foto dan tulisan e-learning di sebelah kanan bawah. Gambar berikut adalah tampilan intro website pembelajaran sejarah. Gambar 1. Tampilan Intro Website Pembelajaran Sejarah
Tentang kreativitas dalam pengajaran, Ibu Dewi menyatakan bahwa guru hendaklah kreatif dalam mengembangkan bahan pelajaran. Mereka harus mampu memilih, menggunakan model, dan strategi pembelajaran yang sesuai dengan minat serta harapan peserta didik dalam mempelajari sejarah. Menurut Kemp (Ibrahim, 2004: 73) suatu program pembelajaran dikatakan sangat efektif yaitu 1) bila 80% peserta didik mencapai 80% tujuan pembelajaran; dan 2) makin sedikit tingkat kesalahan unjuk kerja yang dilakukannya. Dengan mengetahui kecenderungan minat peserta didik dalam belajar, khususnya dalam mempelajari sejarah, maka hal ini bisa dijadikan dasar dan acuan bagi guru untuk Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
19
Peserta didik harus meng-klik tulisan e-learning yang terdapat di sebelah kanan bawah, yang merupakan langkah awal untuk dapat memasuki program pembelajaran sejarah selanjutnya. Pada tampilan awal website pembelajaran sejarah, saat peserta didik akan mulai belajar tampak pada layar monitor ucapan: Selamat Datang sebagai pembukaan.
Setelah form registrasi selesai diisi, kemudian peserta didik menekan ok dengan mengklik mouse atau menekan enter.
Di sebelah kanan atas terlihat gambar manusia purba dan di sebelah kiri atas terlihat gambar globe. Pada bagian kiri ada tulisan Konten, yang isinya terdiri dari enam bab materi pembelajaran yang dapat dipelajari oleh peserta didik. Sedangkan, pada bagian kanan ada berbagai pilihan yaitu Home, Registrasi, Login dan Faq.
Gambar 3. Tampilan Form Registrasi
Setelah selesai melakukan registrasi, dan tercantum pada list user, peserta didik diharuskan login. Pada form login, peserta didik diharuskan menulis username dan password yang sebelumnya telah didaftarkan pada saat registrasi.
Gambar 2 Tampilan Awal Website Pembelajaran Sejarah
Peserta didik diminta untuk melakukan registrasi terlebih dahulu. Ada tujuh kolom yang harus diisi oleh peserta didik pada saat mengisi Form Registrasi yaitu menulis nama lengkap, No Induk Peserta didik, Alamat, Account, Password, Password lagi dan e-mail.
Gambar 4. Tampilan Form Login
Konten sebagai menu utama, menampilkan materimateri yang akan dibahas dalam pembelajaran. Tampilan menu utama berupa daftar pokok bahasan yang akan dipelajari peserta didik.Peserta didik yang akan mempelajari Bab I, tinggal meng-klik bagian itu, maka akan muncul pokok bahasan juga sub-sub pokok bahasan yang terdapat di dalam Bab I, sehingga peserta didik dapat langsung memilih bahasan mana yang akan dipelajarinya, demikian pula dengan babbab lainnya.
20
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Gambar 5 . Tampilan Materi Pembelajaran
Di akhir pokok bahasan peserta didik diharuskan mengerjakan evaluasi. Waktu yang tersedia untuk mengerjakan evaluasi dibatasi selama 45 menit, waktu 45 menit ini setara dengan satu jam pelajaran di kelas tradisional. Dalam evaluasi, peserta didik diberi soal-soal pemahaman yang berbentuk pilihan ganda dengan lima option. Setelah evaluasi selesai dikerjakan, komputer akan langsung memperlihatkan jumlah nilai peserta didik yang diperolehnya dalam evaluasi itu.
Gambar 6. Tampilan Soal Evaluasi
Setelah selesai melakukan evaluasi dan melihat jumlah nilai yang diperolehnya dalam evaluasi itu peserta didik dapat keluar dari web site pembelajaran Sejarah setelah melakukan log out terlebih dahulu. Daftar peserta didik yang mengikuti pembelajaran Sejarah dengan e-learning tercantum pada List user. Dalam List user ini dapat dilihat nomor induk peserta didik, nama lengkap, alamat rumah, alamat e-mail dan score peserta didik.
Gambar 6. Tampilan Evaluasi
Pada saat peserta didik akan mengerjakan evaluasi Bab I, maka peserta didik harus meng-klik bagian itu, demikian pula jika peserta didik akan mengerjakan evaluasi bab lainnya. Dalam evaluasi terdapat soal-soal pilihan ganda yang harus dikerjakan oleh peserta didik.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
21
KLINIK PEMBELAJARAN Disajikan oleh : Ratna Hapsari
Pengantar Para pembaca jurnal AGSI yang setia, pada edisi ke 5 ini, redaksi akan menyampaikan sebuah metode pembelajaran yang relative masih baru untuk kegiatan pembelajaran di sekolah. Metode ini disebut dengan hypnoteaching, yaitu sebuah metode yang dapat diterapkan di dalam kegiatan pembelajaran baik yang formal maupun non formal. Tetapi ada hal yang penting diingat bahwa tidak ada satu metodepun yang bisa dengan tepat diterapkan dalam kegiatan pembelajaran di kelas-kelas, karena semuanya masih tetap memerlukan kreativitas, inovasi dan niat guru dalam meningkatkan kemampuan siswanya dalam beberapa aspek. Klinik ini diasuh oleh : Ratna Hapsari guru sejarah SMA Negeri 6 Jakarta, dapat dihubungi melalui e-mail: ratna.rudjito@gmail. com , @tribuana98, dan cell: 0815 873 9089 Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan hypnoteaching itu? Jawab : Hypnoteaching adalah sebuah metode pembelajaran yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dengan menggunakan bahasa-bahasa yang mampu mengaktifkan bawah sadar manusia (hypnosis) yang ternyata memiliki pengaruh dominan terhadap cara kerja otak manusia. Hypnoteaching berasal dari kata hypnosis, yaitu nama dari dewa tidur bangsa Yunani Pertanyaan: Dapatkah dijelaskan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan hypnosis? Jawab: Hypnosis dapat didefinisikan sebagai bagian dari seni komunikasi, yang digunakan untuk mempengaruhi seseorang dengan merubah tingkat kesadarannya, yaitu dengan cara menurunkan gelombang otak dari beta menjadi alpha dan theta. Atau secara singkat hypnosis adalah proses memasukkan informasi ke dalam pikiran seseorang. Pertanyaan: Mengapa melalui pikiran? Jawab: Karena segala sesuatu yang berupa tindakan berakar dari pikiran, semua orang mulai dari anak-anak sampai manusia dewasa melakukan segala sesuatu karena mempunyai pikiran. Contoh: mengapa bayi terdorong untuk belajar berjalan? Karena ia berpikir dan melihat semua orang di sekitarnya 22
berjalan, bukan karena usianya yang membuat ia berjalan, andaikan ia melihat orang di sekitarnya merangkak maka ia akan merangkak juga. Pertanyaan: Apakah yang dimaksud dengan gelombang otak manusia? Jawab: Ada beberapa jenis gelombang otak, yaitu Beta, Alpha, Theta, dan Delta, yang dapat diukur dengan menggunakan alat yang disebut dengan Electroencephalography (EEG). • Beta (12-25 cycles per second/cps). Pada kondisi ini seseorang sedang berada dalam kesadaran penuh dengan pikiran sadar yang sangat dominan sehingga ia mampu mengerjakan beberapa kegiatan dalam waktu yang bersamaan seperti, mencatat sambil bernyanyi atau mengobrol dengan teman sebangkunya • Alpha (7-12 cps). Pada kondisi ini seseorang mulai berkurang sikap kritisnya, berganti menjadi analistis dan waspada, ia mulai membuka pikirannya untuk menerima masukkan, ini terjadi jika seseorang berada dalam kondisi santai, relaks atau kondisi menjelang tidur • Theta (4-7 cps). Pada kondisi ini seseorang cenderung berada dalam kondisi yang sangat relaks, dengan pikiran bawah sadarnya, tetapi panca inderanya masih tetap aktif dan dapat menerima stimulus dari luar, artinya dalam kondisi seperti ini ia masih dapat menerima masukkan dari luar. (hypnotheraphy) • Delta ( 0,5-4 cps) pada kondisi ini seseorang berada dalam kondisi tidur yang sangat pulas tanpa mimpi, panca indera sudah tidak aktif dan tidak dapat menerima masukkan dari luar Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Pertanyaan: Bagaimanakah langkah-langkah untuk melaksanakan Hypnoteaching? Jawab: 1. Niat dan Motivasi : untuk dapat melaksanakan hypnoteaching dengan baik, guru harus mempunyai niat yang kuat untuk melakukannya. Karena hanya dengan niat yang kuat maka akan memunculkan motivasi dan komitmen yang tinggi untuk menggunakan metode ini dalam proses pembelajarannya. 2. Pacing : ini merupakan bagian yang paling mendasar untuk dapat mengusai metode ini, yaitu bagaimana guru dapat menyamakan gelombang otak dalam situasi belajar dengan siswanya. Sebelum menyampaikan materi, buatlah suasana kelas dan perasaan siswa nyaman terlebih dahulu misalnya melalui sapaan, gerak tubuh, posisikan diri kita adalah bagian dari mereka. Pada umumnya manusia cenderung dapat berinteraksi dengan baik jika bersama dengan manusia lain yang memiliki kesamaan.
bagi seseorang untuk melakukan sesuatu lebih baik dari sebelumnya. 5. Modeling : adalah proses dalam memberikan keteladanan, melalui ucapan dan perilaku guru yang konsisten, sehingga siswa memiliki trust atau kepercayaan kepada kita. Memberikan satu contoh perilaku yang baik akan lebih berarti dibanding menyampaikan seribu nasehat. Modeling merupakan kunci keberhasilan guru dalam melaksanakan metode hypnoteaching dalam pembelajarannya. Pertanyaan: Kemampuan apa yang harus dimiliki guru, agar dapat melaksanakan hypnoteaching dengan berhasil? Jawab: 1. Kuasai materi pelajaran secara lebih komprehensif 2. Libatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran 3. Lakukan interaksi informal lebih banyak dengan siswa
3. Leading : berasal dari kata lead yang artinya memimpin, setelah proses pacing berhasil (siswa sudah berada dalam kondisi tenang, tidak ada perasaan takut, perasaan tertekan dan lain-lain) maka mulailah dengan mengarahkan siswa untuk melakukan tindakan yang kita inginkan, seperti mendengarkan penjelasan, dan melaksanakan kegiatan pembelajaran lainnya.
4. Berikan kewenangan dan tanggung jawab terhadap pelajaran kepada siswa
4. Gunakan kata-kata positif dan lakukan pujian : langkah berikut ini adalah langkah yang mendukung keseluruhan proses hypnoteaching, terutama pada pacing dan leading tadi, biasakan mengawali kegiatan pembelajaran dengan menggunakan kata-kata positif, bawah sadar manusia pada umumnya menolak kata-kata negatif, sebagai contoh hindari penggunaan kata “jangan”, misalnya “hey jangan ribut” gantilah dengan “anak-anak harap tenang ya”. Berikan sebanyak mungkin reward, hebat kamu, jawabanmu bagus sekali, hindari terlalu banyak punishment dan memberikan labeling kepada siswa, seperti “Kamu ini kok bodo banget sih, sudah diterangkan berkali-kali tetap saja tidak mengerti “ gantilah dengan “Coba beritahu bapak/ibu bagian mana sih yang tidak kamu mengerti?” Pujian yang tulus dapat meningkatkan harga diri seseorang dan membantunya membangun konsep diri, pujian dapat menjadi motivasi
7. Memberikan keyakinan kepada siswa bahwa mereka mampu
5. Meyakini bahwa setiap siswa memiliki gaya dan kecepatan belajar yang berbeda 6. Memberikan kesempatan siswa untuk melaksanakan sesuatu secara kolaboratif dan kooperatif
8. Upayakan materi pelajaran disampaikan secara kontekstual
Salam dan selamat berkreativitas!
Catatan : Redaksi berhak untuk mengedit, menolak, dan tidak memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan tujuan rubrik, tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
23
SEMILOKA SEJARAH LOKAL DI PURBALINGGA
P
urbalingga, kota yang terletak di timur laut Purwokerto, di akhir bulan Juli menyisakan satu kisah tersendiri terutama bagi guru-guru sejarah di kota yang sejuk ini. Di hari itu, aktivitas ekonomi dan lain-lain warganya tetap berlangsung normal. Pasar tetap dipenuhi oleh transaksi antara pedagang dan pembeli. Jalan-jalan juga tidak disesaki oleh kendaraan bermotor yang saling berebut mencapai tempat tujuan. Kehidupan seolah berjalan seperti biasa. Suasananya tenang dan ketenangan ini turut membentuk karakter warga kota ini dalam menyikapi keseharian ataupun kehidupan bermasyarakat. Setidaknya itulah kesan umum tentang kunjungan kawan-kawan AGSI ke Purbalingga pada 29-30 Juli lalu. Kunjungan kali ini dalam rangka seminar dan lokakarya (semiloka) sejarah Indonesia yang berlangsung di kantor/ aula Dinas Pendidikan Kabupaten Purbalingga. Penyelenggara adalah Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejarah Purbalingga. Tema yang diangkat dalam diskusi adalah masa demokrasi terpimpin hingga transisi kekuasaan di pertengahan 1960an. Peserta diskusi berasal dari guru IPS/sejarah sekolah menengah pertama dan atas, kejuruan, dan madrasah tsanawiyah setempat dan Purwokerto. Sekitar tiga puluhan lebih peserta hadir dalam diskusi yang berlangsung sejak pukul 9 pagi hingga 2 sore itu.
FotoDok. oleh: Ratna Hapsari
24
Semiloka sejarah era d e m o k r a s i terpimpin ini menghadirkan tiga pembicara yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama
menguraikan dari sisi sejarah disampaikan oleh M. Fauzi (Institut Sejarah Sosial Indonesia/ISSI) dan sisi hukum serta pemerintahan disampaikan oleh Ganjar Pranowo (anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-P). Sedangkan bagian kedua mengenai sisi kurikulum pembelajaran sejarah disampaikan oleh Ratna Hapsari (Ketua Umum AGSI). Sebelum semiloka dimulai, sambutan dari Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga, Ruskanto, penting dipandang dari segi pembelajaran dan pendidikan karakter. Ia menekankan pentingnya sejarah sebagai bagian dari kecintaan terhadap bangsa. Ia juga menekankan arti penting peninggalan sejarah yang berada di wilayah Purbalingga sebagai pembelajaran bagi siswa. Dalam konteks ini, sejarah Purbalingga tak bisa diabaikan pula dalam muatan lokal. Selesai sambutan dari Kepala Dinas Pendidikan Purbalingga tersebut, diskusi bagian pertama semiloka ini dimulai. Fauzi memaparkan tentang masa demokrasi terpimpin dengan fokus pada perkembangan ekonomi, kebudayaan, dan juga politik. Dalam teks sejarah, masa ini yang juga disebut sebagai era Soekarno memang menjadi bagian menarik di ujung kekuasaan Soekarno. Ketegangan antarkekuatan politik yang ada pascapemilu 1955 berimbas pada bidang-bidang lain. Tarik-ulur soal nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing misalnya menjadi topik menarik sejak kebijakan itu digulirkan. Soal ini mempunyai andil pula dalam kejatuhan pemerintahan Soekarno karena menyangkut kepentingan modal (capital) di dalamnya. Pembangunan infrastruktur pada masa ini juga bukan sesuatu yang mudah, baik dari segi dana maupun tenaga ahli. Di sisi lain, ada upaya untuk menjalankan program bagi rakyat melalui proyek pembangunan rumah bagi buruh di wilayah Jakarta. Contohnya, Gubernur Jakarta Brigjen Soemarno Sosroatmodjo pada akhir 1960 mengeluarkan peraturan yang mewajibkan semua perusahaan yang memekerjakan lebih dari dua puluh buruh untuk membangun perumahan minimum secara bertahap. Tanah dan bahan bangunan untuk itu disediakan oleh pemerintah daerah, dan perusahaan daerah menyetor dana sekitar Rp 50 ribu untuk setiap bangunan. Proyek pertama adalah pembangunan rumah minimum berukuran 50 m² di wilayah Cempaka Putih, Jakarta Pusat, untuk menampung sekitar 10.000 keluarga. Masa demokrasi terpimpin sebagai topik dalam pembelajaran sejarah menawarkan banyak hal yang bisa diajarkan kepada murid, dan tidak selalu peristiwa politik mendominasi semua uraian tentang periode itu. Seperti dijelaskan pula oleh Fauzi, soal tenaga ahli atau tenaga profesional contohnya pada masa itu merupakan hal lain yang juga penting dijelaskan dalam kaitan pembangunan pada masa demokrasi terpimpin. Selain itu, menurut Fauzi, upaya Soekarno mengisi Jakarta dengan gedung dan patung seharusnya dilihat pula dari sisi lain dalam kaitan dengan nasion dan karakter bangsa dan tidak melihatnya hanya dari sisi keuangan atau ambisi arsitektur atau seni Soekarno. Ganjar Pranowo, sebagai pembicara kedua, mengurai Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
masa demokrasi terpimpin dan pemerintahan dari sisi legalistik. Ia menguraikan paparan tentang era demokrasi terpimpin ini dengan cara yang menarik, dan tak memisahkannya dengan situasi kekinian. Ia pun memasukkan produk-produk hukum terkait uraiannya tentang masa ini. Pranowo dalam paparannya setidaknya membuka wawasan bagi guru-guru yang hadir tentang pentingnya melihat atau mempelajari produk-produk hukum pada masa ini untuk memahami era demokrasi terpimpin dan bahkan sesudahnya.
Dalam sesi tanya-jawab, pertanyaan yang diajukan para peserta juga tak kalah menarik. Pertanyaan beragam yaitu menyangkut kurikulum, materi esensial, dan bahkan tentang peristiwa sejarah yang masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan sendiri yaitu peristiwa ’65. Pertanyaan para guru Purbalingga yang hadir dalam semiloka itu tergolong kritis dan ini pula yang membuat suasana diskusi tidak membosankan dan guru-guru tetap mengikuti jalannya diskusi hingga acara ini selesai.
Dalam studi sejarah hukum, berbagai produk yang lahir pada masa demokrasi terpimpin ini memang belum banyak menjadi satu kajian mendalam, juga menjadi bahan ajar dalam memahami periode krusial dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Penjelasan Pranowo setidaknya mengingatkan para guru untuk tidak mengabaikan aspek hukum ketika menjelaskan tentang era demokrasi terpimpin kepada para siswa.
Kegiatan yang berlangsung sejak pagi hingga sore hari ini menyisakan banyak hal tentang pentingnya sejarah dalam pendidikan. Juga, kegiatan semacam ini penting untuk saling tukar pengalaman baik antara guru-guru yang berada di wilayah Purbalingga dan guru-guru dari kota sekitarnya, dan antara guru-guru Purbalingga dan individu atau kelompok yang mempunyai perhatian terhadap dunia pendidikan khususnya sejarah. Semangat guru-guru Purbalingga dan Purwokerto untu hadir dalam acara ini menunjukkan bahwa komunikasi dan diskusi sesama rekan seprofesi atau pihak lain yang punya perhatian yang sama terhadap sejarah cukup penting dan besar manfaarnya. Kontak atau komunikasi antarguru yang hadir dan peserta lain tidak hanya berhenti di semiloka ini seperti harapan beberapa guru yang hadir usai acara.
Pembicara ketiga yaitu Ratna Hapsari menjelaskan tentang kurikulum berdasarkan pengalamannya sebagai guru di sekolah menengah atas. Hapsari dengan bersemangat mengurai pentingnya kreativitas guru dalam mengajar dan mengolah bahan ajar sehingga menjadi sesuatu yang menarik bagi siswa untuk mengetahui lebih mendalam lagi. Ia menekankan pentingnya bahan ajar yang inovatif dan menarik sehingga menggugah siswa untuk tertarik kepada pelajaran dan sekaligus memacu guru untuk terus berkreasi dan menemukan cara yang tepat mengajar di kelas. Paparan Hapsari tidak hanya menjadi suatu tantangan bagi para guru untuk menyampaikan pelajaran dengan cara yang menarik bagi siswa, tetapi juga bagaimana menghasilkan bahan ajar yang inovatif sekaligus menarik. Uraian Hapsari itu berdasarkan pengalamannya mengajar dan berkutat di bidang kurikulum bahan ajar selama bertahuntahun sebagai guru. Ia menjelaskan tentang bagaimana seorang guru menggunakan kurikulum yang ada secara kreatif. Memang, seperti pengakuannya, guru tak mudah menyajikan suatu bahan ajar yang menarik dan menggugah siswa untuk tertarik pada pelajaran itu. Hal itu sejalan pula dengan tujuan semiloka kali ini yakni supaya guru memiliki penguasaan standar untuk melakukan pengembangan materi pembelajaran sejarah, berupa kemampuan pembuatan berbagai bentuk inovasi metodologi pembelajaran dan penulisan bahan ajar sehingga proses pembelajaran menarik bagi siswa dan menyenangkan. Rangkaian semiloka ini memang bertujuan agar guru memperoleh manfaat berupa penambahan kemampuan yang terukur di bidang pengembangan penulisan materi pembelajaran, yang akan mendukung kemampuan guru dalam proses pembelajaran; juga guru mendapat pengalaman dari para pembicara terutama dalam pembahasan materi esensial; selain itu guru dapat membandingkan kemampuan, sekaligus bertukar gagasan tentang penulisan materi bahan ajar dengan peserta lain atau pembicara seperti Hapsari.
Aktivitas serupa di masa depan mungkin tidak berhenti pada semiloka ini, mengingat ilmu pengetahuan selalu berkembang dengan temuan baru atau kajian terbaru menyangkut sejarah. Seperti harapan penyelenggara semiloka ini bahwa dalam penulisan materi pembelajaran guru mampu melakukan inovasi kreatif dan penalaran yang inspiratif kepada siswa. Hal itu agar siswa tidak sekadar menghafal peristiwa tetapi siswa dapat diarahkan berpikir kritis dengan cara pandang yang rasional melalui pendekatan kontekstual. Selain itu, semiloka ini dapat mengubah paradigma dalam proses pembelajaran di kelas, yang diperoleh guru melalui pendekatan telaah informasi pendidikan, memiliki kemampuan dalam penulisan bahan ajar yang menarik dan tidak saling bertentangan. Paradigma harus diubah dengan pemahaman pendekatan historis tanpa membangun dendam sehingga tidak terjadi permusuhan yang berujung pada kekerasan antar sesama. Pendekatan ilmiah juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber belajar baru bagi guru dan pihak sekolah satuan pendidikan. Sementara nilai aplikatif yang dapat diperoleh sekolah adalah memiliki sumber belajar internal (guru peserta) yang memiliki kemampuan bertambah dalam hal kemampuan mengomunikasikan informasi sekolah dalam bentuk komunikasi tulisan; terselesaikan satu konsep pembelajaran yang lebih komprehensif sebagai sumber belajar di sekolah dan dapat menjadi referensi kepustakaan sekolah; dan terselesaikan satu tulisan sejarah yang mendekati kebenaran dan obyektif dengan perspektif pendidikan, serta dapat dipublikasi kepada khalayak melalui media cetak dan atau internet. (TU/MF)
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
25
SIN PO DAN NASIONALISME ETNIS TIONG HOA Sherley Amelita1
1 Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Wahid menindaklanjuti dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2001 bertanggal 9 April 2001 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur fakultatif (hanya berlaku bagi mereka yang merayakannya). Barulah pada 2002, Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional oleh Presiden Megawati Soekarnoputri mulai tahun 2003. Peran etnis Tionghoa pun lebih besar setelah peristiwa tersebut.
Dalam hal kepahlawanan, dari 152 orang pahlawan nasional Indonesia, hanya satu yang beretnis Tionghoa. Kemungkinan hal ini berkaitan dengan peristiwa G 30 S yang diduga melibatkan negara RRC sehingga menimbulkan trauma tersendiri bagi Indonesia. Sebenarnya sebelum negara Indonesia terbentuk, etnis Tionghoa sudah banyak berperan terutama dalam hal penyebaran informasi melalui media massa, contohnya koran Sin Po yaitu koran pertama yang memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya.
Sejarah Koran Sin Po Koran Sin Po pertama kali terbit pada 1 Oktober 1910 di Batavia dalam bahasa Melayu. Pemimpin redaksi pertama adalah Kwee Heng Tjiat yang sudah mendapat 1 Siswa SMAK 7 BPK Penabur, Perum Bukit Kencana II, Jl. Abadi III Blok FF/8, Jatimakmur, Pondok Gede; e-mail: sakurahikari110495@ gmail.com 26
status sebagai orang Eropa. Tidak ada informasi khusus yang menyatakan siapa yang mencetuskan adanya koran ini. Koran ini mempunyai beberapa bahasa, yaitu bahasa Melayu, Mandarin, Tionghoa, Indonesia dan Belanda. Sin Po adalah koran pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya. Teks lagu tersebut diminta khusus oleh W.R Supratman sendiri untuk di publikasikan di Sin Po. Selain itu, Sin Po juga banyak memuat tentang perjuangan nasional Indonesia maupun etnis Tionghoa. Koran ini juga turut memelopori penggunaan nama Indonesia sebagai pengganti nama Hindia Belanda, dan koran ini banyak pula menuliskan artikel tentang pendapat mereka yang tidak menyetujui perbuatan para aparatur kolonial. Semua komentar ataupun berita yang dimuat Sin Po mempunyai pengaruh sangat besar terutama terhadap masyarakat kolonial. Banyak juga orang yang sependapat dengan pendapat mereka sehingga berkembang menjadi suatu aliran politik yang dikenal sebagai aliran Sin Po. Memasuki 1924 keadaan keuangan perusahaan masih belum stabil. Edisi Jawa Timur dan Tionghoa terus merugi. Edisi Jawa Timur misalnya sebagian isinya dicetak di Jakarta dan setiap hari dikirim dengan kereta api cepat ke Surabaya, sementara sebagian lagi dicetak di Surabaya. Dengan kesibukan seperti itu, maka Sin Po memiliki bagian redaksi dan percetakan di Surabaya yang dipimpin oleh Lim Boek Sioe yang diutus dari Jakarta (Memoar Ang Yan Goan, 2009; 44). Awal 1925, keuangan Sin Po pulih. Pada 1928, Sin Po juga pernah memuat artikel tentang rapat PPPKI (Permufakatan Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Perhimpunan Politik-politik Kemerdekaan Indonesia). Pada 1936, Sin Po dilarang terbit selama delapan hari karena memuat artikel-artikel tentang pergerakan anti-Jepang. Pemerintah Hindia Belanda menganggap hal itu dapat membahayakan hubungan baik antara Jepang dan Hindia Belanda. Pada 1941, tanpa peringatan apa pun, Sin Po edisi Tionghoa diberhentikan. Setahun kemudian yakni pada 1942, Sin Po diberhentikan karena terdengar beberapa kali suara ledakan dahsyat yang disebabkan gempuran pasukan Jepang. Tahun 1945, Sin Po kembali terbit dan yang terdengar adalah tentang kemerdekaan Indonesia. Beberapa tahun kemudian, pada 1962, Sin Po pun berganti nama menjadi Warta Bhakti, yang pada akhirnya dibredel oleh pemerintah pada 1965 setelah peristiwa G 30 S. Pernah terjadi pembaruan Sin Po di beberapa edisi. Di edisi bahasa Indonesia, hanya terjadi perubahan kecil yakni ada tajuk yang berbobot dan juga cerita bergambar. Dalam bahasa Tionghoa, Sin Po menampilkan ciri khasnya yaitu lebih meliput berita yang terjadi di Tiongkok, terutama di provinsi Fujian dan Guandong, juga di Hongkong, Shanghai, dan Singapura. Dalam hal politik, Sin Po mendukung sepenuhnya keinginan rakyat Indonesia untuk memiliki pemerintahan sendiri. Bung Karno pun sangat menghargai usaha yang dilakukan Sin Po dalam mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia. Jadi, Sin Po dapat dikatakan sebagai koran yang merekam perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari 1910 hingga 1965.
Aliran Sin Po Oleh karena banyak orang yang mendukung pendapat
Sin Po, maka terbentuklah sebuah aliran yang disebut sebagai aliran Sin Po. Jajaran redaksi Sin Po juga tergabung dalam aliran tersebut. Selain itu, mereka jugalah yang berhasil melakukan kampanye terhadap kawula Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap, selanjutnya disebut WNO) dengan mendapatkan tanda tangan 30.000 orang Tionghoa yang tidak mau menjadi kawula Belanda. Pada 1930, ada tiga kelompok aliran yang berpengaruh. Sin Po adalah aliran tertua dari yang lain. Aliran ini dibentuk oleh Tjoe Bou San dan kemudian dilanjutkan oleh Kwee Kek Beng. Pada 1930-an, aliran Sin Po mulai menurun. Ini menjadikan mereka sebagai sasaran empuk pemerintah Hindia Belanda. Dapat dikatakan di sini bahwa antara aliran Sin Po dan koran Sin Po sangatlah erat kaitannya. Dengan berakhirnya peredaran Sin Po, maka aliran Sin Po lambat laun juga menghilang. Banyak sekali tokoh Tionghoa yang tergabung dalam aliran Sin Po dan perjuangan mereka tidak bisa diabaikan. Liem Koen Hian adalah salah satu orang Tioghoa yang ikut merancang UUD 1945, tetapi akhirnya ia meninggal dengan status warga negara asing. Ia juga pernah ikut dalam pergerakan bawah tanah bersama Amir Sjarifuddin, tetapi pada akhirnya ia ditahan sementara Amir dilepaskan karena ada koneksi dengan Soekarno. Dari semua perjuangan tersebut, Liem hanya meminta pengertian hak asasi manusia untuk etnisnya yang disebutkan sebagai warga negara Indonesia keturunan Cina. Tjou Bou San adalah orang yang memelopori koran Sin Po dalam hal nasionalisme etnis Cina Jawa yang menjadikan pengaruhnya terasa bagi pihak kolonial. Selain dia, Ang Jan Goan adalah salah satu pemimpin redaksi Sin Po, ia bergabung pada pertengahan 1921. Ia seorang nasionalis dan juga pendiri Rumah Sakit Jang Se Ie, kini bernama Rumah Sakit Husada. Beliau jugalah yang pertama kali mendengarkan lagu Indonesia Raya sebelum dikumandangkan di Kongres Pemuda II pada 1928 dan dinyanyikan oleh W.R Supratman
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
27
dengan memainkan biolanya. Kedua orang ini mendukung penuh perjuangan nasional bangsa Indonesia maupun etnis mereka sendiri.
Peran Etnis Tionghoa dalam Politik Di dalam keanggotaan BPUPKI, ada lima orang yang beretnis Tionghoa , mereka adalah Liem Koen Hian, Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong Hauw, Tan Eng Hoa, dan Yap Tjawn Bing. Pada saat Kongres Pemuda II pada 1928, ada beberapa orang Tionghoa yang hadir, salah satunya ialah Kwee Tiam Hong. Di dalam keanggotaan DPR pada masa Soekarno, juga ada seorang yang beretnis Tionghoa yang ditunjuk langsung untuk menjadi anggota DPR. Beliau adalah Siauw Giok Tjhan yang tidak lama kemudian diangkat menjadi deputi menteri. Salah satu kabinet baru pada saat itu juga berisi satu orang Tionghoa yakni Tan Po Goan. Pada saat diselenggarakan Konferensi Meja Bundar, wakil Presiden Mohammad Hatta menjadi pemimpin delegasi Indonesia yang sangat besar, dan ada dua orang Tionghoa peranakan yang ikut dalam rombongan tersebut yaitu Tan Eng Oen dan Oey Yong Tjioe. Secara khusus, saya sendiri sebagai keturunan Tionghoa bangga mengetahui hal ini, karena selama ini saya mengira hanya kaum mayoritas saja yang berjuang untuk kemerdekaan. Walaupun etnis saya termasuk etnis minoritas, kenyataannya mereka telah menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk kemerdekaan Indonesia. Entah, mengapa selama ini hal tersebut tidak disinggung sama sekali dalam penulisan sejarah. Ini menunjukkan bahwa kaum Tionghoa masih menjadi minoritas di Indonesia. Telah disebutkan bahwa semboyan Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika. Namun, saya sendiri masih merasa bahwa semboyan tersebut belum terwujud. Itu terbukti dengan masih ada diskriminisasi terhadap kaum minoritas. Pahlawan bukan hanya orang yang berjuang untuk kemerdekaan, tetapi mereka juga adalah orang yang mengharumkan merah-putih baik di kancah nasional maupun internasional. Negara Indonesia dikenal sebagai negara bulutangkis karena prestasi di bidang olahraga ini yang mendunia. Seperti kita ketahui, Rudy Hartono − keturunan etnis Tionghoa, ialah pebulutangkis Indonesia yang memenangkan tujuh kali gelar kejuaraan All England. Saya pernah mendengar ada seorang atlet bulu tangkis yang berhasil mengharumkan nama Indonesia, tetapi pemerintah tetap tidak memberikan kewarganegaraan Indonesia kepada beliau. Sungguh ironis, beliau masih menjadi orang asing. Buku-buku sejarah pelajaran saat ini harus direvisi dan disempurnakan agar tidak ada sejarah yang terlupakan lagi. Bukankah sejarah tidak dapat diperlakukan sebagai suatu produk yang sudah selesai sehingga setiap generasi perlu mempelajari sejarah dan memperbaruinya?
Daftar Bacaan Adam, Asvi Warman. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Peristiwa, Jakarta: Kompas. Kochar, S.K. Grasindo.
2008. Pembelajaran Sejarah. Jakarta:
Sin Po , 5 Desember 1928, Lembaran kedoewa. Suryadinata, Leo. 1986. Politik Tionghoa Peranakan di Jawa 1917-1942. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
28
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
Antara Kesuksesan dan AQ Oleh: Drs. Ade Munajat, M.Hum. Identitas Buku Judul buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Publikasi pertama oleh Jhon Wiley & Son Inc. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh T. Hermaya dengan editor Yovita Hardiwati, dan diberi judul Adversity Quotient: Faktor Paling Penting dalam Meraih Sukses. Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Penerbit PT Grasindo. Jakarta. Terbit pertama pada tahun 2000. Apakah AQ itu? AQ merupakan kependekan dari adversity quotient. Secara leksikal kata adversity memiliki sinonim dengan nasib buruk, atau nasib malang (Echols dan Shadily 2003). Dalam wacana akademik terjemahan kata adversity bervariasi. Ada yang menerjemahkan sebagai kecerdasan mengatasi kesulitan, kecerdasan mengubah masalah menjadi berkah, dan yang paling populer adversity diterjemahkan sebagai ketahanmalangan. Diyakini bahwa penerjemahan kata adversity sebagaimana dikemukakan di atas memiliki alasan. Namun, definisi adversity sebagai kecerdasan mengatasi kesulitan lebih reasonable dan kontekstual dibanding yang lain. Istilah tahan malang atau ketahanmalangan yang memiliki kedekatan cita rasa kata dengan nasib malang atau nasib buruk menjadi sangat kategorikal. Padahal kesulitan merupakan fenomena umum yang lazim dihadapi setiap orang. Di dalam Advanced Learner’s Dictionary (New York: Cambridge University Press, 2003), adversity quotient didefinisikan sebagai a difficult or unlucky situation or event . Markman (tersedia dalam Peaklearning.com, 2005) menambahkan bahwa adversity intelligence (AI) is the science of human resilience, people who succesfully apply AI perform optimally in the face of adversity the challenges, big and small, that confront us each day. In fact, they not only learn from these challenges, but they also respond to them better and faster.
Stoltz (1997), mendefinisikan adversity quotient dalam tiga bentuk, yaitu : 1. Adversity quotient merupakan suatu kerangka kerja untuk memahami dan meningkatkan semua segi yang bertaut dengan kesuksesan; 2. Adversity quotient merupakan suatu pengukuran mengenai bagaimana seseorang merespons kesulitan; 3. Adversity quotient merupakan sarana yang berbasis pada pengetahuan sains untuk meningkatkan kemampuan seseorang dalam merespons kesulitan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adversity quotient ialah kemampuan seseorang dalam menghadapi berbagai kesulitan di berbagai aspek kehidupannya. Melalui adversity quotient dapat diketahui seberapa jauh individu tersebut mampu bertahan dalam menghadapi kesulitan yang dialami, sekaligus kemampuannya mengatasi kesulitan itu. Adversity quotient juga dapat meramalkan siapa yang akan tampil sebagai pemenang dan siapa yang akan putus asa dalam ketidakberdayaan sebagai pecundang. Selain itu, adversity quotient dapat pula meramalkan siapa yang akan menyerah dan siapa yang akan bertahan saat menghadapi suatu kesulitan. Tumbuh Kembang Wacana Ilmiah Adversity Quotient Adversity quotient semula berupa judul sebuah buku karya Paul G. Stoltz. Buku itu terbit pada 1997. Lengkapnya buku itu berjudul Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities. Publikasi pertama oleh Jhon Wiley & Son Inc. Edisi bahasa Indonesia buku tersebut terbit pada 2000, yang diterjemahkan oleh T. Hermaya dengan editor Yovita Hardiwati dan diberi judul Adversity Quotient: Faktor Paling Penting Dalam Meraih Sukses. Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Buku ini mendapat tempat di banyak
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
29
pembaca di Indonesia, terbukti sejak diterbitkan pertama kali pada tahun itu sudah mengalami tak kurang dari enam kali cetak ulang hingga saat ini. Di dalam buku ini Stoltz menjelaskan bahwa karya yang dihidangkannya ke meja para pembaca merupakan hasil penelitian selama sembilan belas tahun dan hasil kajian lebih dari lima ratus referensi. Konsep yang kemudian dinamakannya sebagai adversity quotient (selanjutnya disingkat AQ) merupakan konsep utama yang bersanding dengan konsep kecerdasan lain seperti IQ, EQ, SQ. Menurutnya, AQ adalah kecerdasan untuk mengatasi kesulitan. Bagaimana mengubah hambatan menjadi peluang. Tambahnya, seseorang yang memiliki AQ tinggi akan lebih mampu mewujudkan cita-citanya dibandingkan orang yang AQ-nya rendah. Misalnya, Stoltz menggunakan analogi para pendaki gunung. Dalam hal ini, Stoltz mengategori tiga pendaki gunung, yakni: 1. Quitter (yang menyerah pada keadaan). Para quitter ialah mereka yang sekadar bertahan hidup. Mereka mudah putus asa dan menyerah di tengah jalan; 2. Camper (yang berkemah di tengah perjalanan). Mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi risiko yang aman dan terukur. Cepat puas dan berhenti di tengah jalan;
dan tidak lulus, mereka terus mencoba dan terus mencoba lagi. Tentang bagaimana cara siswa dalam menetapkan tujuan, mengambil risiko, perjuangan meraih cita-cita serta persaingan dalam seleksi masuk perguruan tinggi. Untuk dunia pekerjaan dan kehidupan sangatlah jelas. Banyak pekerja yang intelektualnya (IQ) rendah bisa saja mengalahkan mereka yang ber-IQ tinggi tetapi tidak punya semangat dan keberanian untuk menghadapi masalah dan bertindak. Dengan AQ dapat dianalisis bagaimana para karyawan atau pekerja mampu mengubah tantangan menjadi suatu peluang yang akan meningkatkan produktivitas dan keuntungan perusahaan. Rekomendasi Buku ini sangat baik dibaca sebagai upaya menjawab hal ihwal AQ atau kecerdasan menghadapi kesulitan beserta implikasinya pada lembaga atau personal yang melihat keberhasilan dalam suasana serba keterbatasan dan kesulitan. Juga, dengan membaca buku ini diharapkan memberi manfaat bagi pencerahan pribadi untuk melejitkan potensi diri baik sebagai pribadi maupun dalam rangka membantu melejitkan potensi pribadi orang lain.
3. Climber (pendaki yang mencapai puncak). Berani menghadapi risiko dan menuntaskan pekerjaannya. Merekalah yang berada di puncak. Konsep AQ memiliki tautan dengan sukses. Dalam kehidupan nyata, hanya para climbers-lah yang akan mendapatkan kesuksesan dan kebahagiaan sejati. Sebuah penelitian yang dilakukan Charles Handy terhadap ratusan orang sukses di Inggris memperlihatkan bahwa mereka memiliki tiga karakter yang sama sebagaimana Stoltz beranalog. Pertama, mereka berdedikasi tinggi terhadap apa yang tengah dijalankan. Dedikasi itu bisa berupa komitmen, passion, kecintaan atau ambisi untuk melaksanakan pekerjaan dengan baik. Kedua, mereka memiliki determinasi. Kemauan untuk mencapai tujuan, bekerja keras, berkeyakinan, pantang menyerah dan kemauan untuk mencapai tujuan yang diinginkannya. Terakhir, selalu berbeda dengan orang lain. Orang sukses memakai jalan, cara atau sistem bekerja yang berbeda dengan orang lain pada umumnya. Dari ciri-ciri tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa dua dari tiga karakter orang sukses erat kaitan dengan kemampuan seseorang dalam menghadapi tantangan. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Thomas J Stanley (2003) kemudian ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Millionaire Mind menjelaskan hal yang sama, bahwa mereka yang berhasil menjadi milioner di dunia ini adalah mereka dengan prestasi akademik biasa-biasa saja (rata-rata S1), namun mereka adalah pekerja keras, ulet, penuh dedikasi, dan bertanggung jawab, termasuk tanggung jawab yang sangat besar terhadap keluarganya. Implikasi Bertumbuhkembangnya Wacana AQ Dalam dunia pendidikan, kita bisa menggunakannya untuk menganalisa perbedaan para siswa yang manja dengan mereka yang terus berjuang. Para siswa yang malas dalam belajar dengan mereka yang gigih belajar. Para siswa yang suka menggunakan cara-cara curang dan instan untuk meraih nilai tinggi dan memastikan kelulusan dengan mereka yang tidak kenal lelah untuk terus mencoba dan terus bertahan. Walaupun mungkin nilai mereka jelek 30
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
RUBRIK SISIPAN Pembaca yang budiman, rubrik SISIPAN kali ini menampilkan sejumlah situs nasional dan internasional yang menyediakan fotofoto yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan visual untuk pengajaran sejarah. Selain itu, rubrik ini juga akan menjelaskan langkah-langkah untuk mengunduh dan menyimpan foto-foto tersebut. Beberapa situs yang berguna bagi pembaca:
Pengelola
Isi Situs
KITLV(Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde/ Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies/Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Asia Tenggara dan Karibia)
Koleksi foto yang terdapat dalam situs ini berasal dari periode abad ke-18 dan ke-19 dengan beragam tema, seperti suasana Surabaya, pendidikan jaman kolonial, perkebunan, tokoh-tokoh pergerakan nasional (Tan Malaka, Soewardi Soerjaningrat, Soekarno, dan lain-lain).
KITLV memfokuskan pada pengumpulan informasi dan riset tentang negara-negara kolonial Belanda dan sekitarnya. Koleksi KITLV meliputi jutaan buku, jurnal, majalah dan koran, foto, kartu pos bergambar, cetakan dan gambar, peta dan atlas, manuskrip serta arsip audiovisual. Sekitar ¾ koleksi ini berasal dari Asia Tenggara, terutama Indonesia.
Cara cepat mencari foto yang diinginkan: Klik pilihan ‘Zoek/ Search’, lalu pilih ‘Basic Search’. Silakan masukkan kata kunci dari foto yang dicari. Misalnya, jika ingin mencari foto suasana Jakarta pada 1900, maka ketik ‘Batavia 1900’ dalam kolom yang tersedia. Sayangnya, situs ini hanya menerima kata kunci dalam bahasa Inggris dan keterangan foto menggunakan bahasa Belanda.
Alamat Situs http://kitlv.pictura-dp.nl/ Wikimedia Foundation Wikimedia Commons menyediakan suatu tempat penyimpanan terpusat untuk karya lisensi bebas berupa foto, diagram, animasi, musik, pidato, klip video, dan berbagai jenis media yang berguna. Wikimedia Commons bersifat bebas, artinya semua orang dizinkan untuk menyalin, menggunakan, atau memodifikasi semua berkas di situs ini dengan bebas asal sumber dan penciptanya diberi kredit serta selama pengguna memberikan salinan/pengembangannya secara bebas pula bagi orang lain.
Alamat Situs http://commons.wikimedia.org Nederlands Foto Museum
Jenis file yang terdapat dalam situs ini tidak hanya berupa foto/gambar, tapi juga videoklip dan rekaman suara. File-file ini telah dikelompokkan berdasarkan topik (alam, budaya/kemasyarakatan, ilmu alam, teknik), lokasi (bumi, antariksa), tipe (gambar, suara), pencipta (arsitek, komposer, pelukis, dll), lisensi (status lisensi) dan referensi (ensiklopedia, jurnal, terbitan). Situs ini memiliki koleksi foto dan gambar dalam rentang waktu cukup panjang, dari masa lampau hingga saat ini. Setidaknya ada dua cara cepat mencari foto yang diinginkan: 1. Melalui kategori Klik ’Image’ yang terdapat di bagian kanan atas. Lalu klik pilihan ‘Pictures and Images by topic’. Setelah itu akan muncul pilihan ‘Historical Images’ dan ‘Historical pictures’. Kategori pertama berisi semua arsip visual bersejarah, seperti peta, lukisan, gambar, dll. Sedangkan kategori kedua hanya berisi foto saja. Pengguna dapat langsung melihat foto/gambar/arsip visual dan memilih data yang dibutuhkan. 2. Menggunakan kata kunci yang dimasukkan ke kolom ‘Search’ Cara lebih cepat adalah memasukkan kata kunci di kolom ‘Search’ pada halaman awal. Misalnya, jika ingin mencari foto peninggalan bersejarah, maka pengguna dapat mengetik kata kunci ‘peninggalan bersejarah’ di kolom ‘search’. Pengguna dapat menggunakan kata kunci bahasa Indonesia jika gambar/foto yang ingin dicari bersumber dari Indonesia. Jika ingin mencari arsip visual dari negara lain, maka pengguna tetap harus menggunakan bahasa Indonesia. Koleksi Nederlands Fotomuseum umumnya berasal dari abad ke-19 dan ke-20, yang dibuat oleh para fotografer Belanda dan beberapa fotografer asing yang tinggal cukup lama di Belanda. Untuk melihat koleksi foto ini, pengguna dapat mengklik kolom ‘Collections’ dan memilih ‘Image Selections’. Pada bagian ini, terdapat tab pilihan ‘Selections: A to Z’ yang menampilkan kategori tema foto berdasarkan abjad.
Alamat Situs http://www.nederlandsfotomuseum.nl
Jika ingin mencari foto berdasarkan kata kunci, maka pengguna dapat kembali ke halaman depan, klik kolom ‘Collections, dan memilih ‘Image Bank’. Pada kolom ‘search’, silakan masukkan kata kunci yang dimaksud, tentu dengan bahasa Inggris.
Tropenmuseum
Koleksi Tropenmuseum mencapai 155.000 foto dan gambar bersejarah, terutama dari 1855 hingga 1940 mencakup Hindia Belanda Timur (Indonesia) dan Hindia Barat Belanda (Antillen-Kepulauan Karibia). Foto-foto ini diambil oleh fotografer profesional pada masa tersebut.
Alamat Situs http://collectie.tropenmuseum.nl/ http://collectie.tropenmuseum.nl/nindex.asp?lang=en (bahasa Inggris)
Saat pengguna membuka alamat situs di kolom sebelah, maka kolom ‘search’ akan langsung tampil. Pengguna dapat langsung mencari foto yang diinginkan dengan memasukkan kata kunci yang tepat serta menggunakan bahasa Inggris. Sayangnya, keterangan foto menggunakan bahasa Belanda.
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011
31
Pengelola ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia)
Isi Situs Situs ISSI menampilkan koleksi foto Oei Hay Djoen, yang meliputi berbagai peristiwa dalam periode 1960-an, seperti Asian Games, Kongres Pengarang Asia-Afrika, Festival Film Asia-Afrika, serta kegiatan-kegiatan organisasi kiri pada masa tersebut, terutama Lekra. Koleksi lain adalah tentang Timor Leste, Pramoedya Ananta Toer, microfilm pers Indonesia, buku dan jurnal tentang sejarah, kebudayaan, sastra.
Alamat Situs www.sejarahsosial.org Google (LIFE photos by Google)
Alamat Situs http://images.google.com/hosted/life Iconic Photos
Alamat Situs http://iconicphotos.wordpress.com/ US National Archives (Arsip National Amerika Serikat)
Alamat Situs http://www.archives.gov/research/military/ww2/photos/ Photographic libraries Alamat Situs http://www.photographiclibraries.com/index.php?c=2
Situs ini menyediakan foto-foto koleksi majalah LIFE sejak 1750 hingga saat ini. Pengguna dapat mencari foto yang diinginkan dengan menggunakan kategori tahun atau tema. Kedua kategori ini langsung ditampilkan saat pengguna mengakses alamat situs di kolom sebelah ini.
Situs ini memuat foto-foto artistik yang umumnya dibuat fotografer profesional. Rentang waktu foto-foto itu antara abad ke-19 hingga masa kini. Menariknya, di setiap foto terdapat esai singkat mengenai latar belakang foto atau isu dan peristiwa yang diangkat dalam foto. Pengguna dapat mencari foto yang diinginkan dengan menggunakan fasilitas ‘Search’ yang ditampilkan sejak halaman awal. Sayangnya kategorisasi situs ini tidak umum, sehingga dapat membingungkan pengguna dengan latar belakang nonfotografi. Situs ini dibuat khusus untuk menyimpan dan menampilkan foto-foto terkait Perang Dunia II. Pengguna dapat melihat koleksi foto atau mencari foto yang diperlukan dengan mengklik kategori yang relevan di halaman awal. Cara lain yang dapat dilakukan adalah menggunakan fasilitas ‘search’ dengan memasukkan kata kunci yang relevan. Menariknya, situs ini menyediakan satu halaman berjudul ‘Teacher’s Resources’ atau sumber-sumber untuk guru. Di dalamnya terdapat berbagai informasi yang dapat digunakan oleh guru, misalnya tentang bagaimana menggunakan sumber primer di kelas. Sayangnya, situs ini sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris dan berorientasi pada sejarah Amerika. Situs ini tidak memuat arsip visual, tetapi menyediakan daftar seluruh alamat situs yang menyediakan arsip visual, terutama foto dan film, disertai penjelasan isi masing-masing situs itu. Sayangnya, alamat-alamat situs tidak terkategorisasi, namun pengguna tetap dapat memanfaatkan fasilitas ‘Search’ untuk mencari situs yang diinginkan.
Catatan Penting : Beberapa situs di atas memiliki hak cipta. Jika pengguna ingin memanfaatkan arsip visual yang disediakan, maka pengguna harus menghubungi lembaga yang bersangkutan dan meminta izin dari mereka, bahkan membayar sejumlah uang untuk penggunaan arsip koleksi mereka. Namun, jika arsip visual hanya digunakan untuk kepentingan sendiri, tidak dipublikasikan secara luas, atau diperdagangkan, misalnya hanya untuk pengajaran di kelas, maka pengguna dapat langsung menggunakan arsip visual tersebut. Selain arsip-arsip visual yang dapat diakses secara langsung dalam situs-situs di atas, terdapat dua lembaga yang juga menyediakan arsip visual, yaitu: 1.
Arsip Nasional RI (ANRI) Alamat: Jl. Ampera Raya No. 7 Jakarta 12560 Telp. 62 21 7805851 Faks. 62 21 7810280 - 7805812 Situs ANRI yaitu www.anri.go.id tidak menyediakan koleksi arsip visual secara online. Untuk mendapatkan arsip visual ANRI, pengguna harus mendatangi kantor ANRI dan melihat langsung koleksi yang tersedia. Semua arsip visual ANRI tidak disediakan dalam bentuk digital. Jika pengguna ingin mendapatkan foto koleksi ANRI, pengguna dipersilakan memesan dan mereproduksi ulang foto yang diinginkan melalui staf ANRI dengan biaya tertentu.
2.
Indonesia Press Photo Service/IPPHOS Direktris: Ny. Y. Meity Mubagio-Mendur Alamat Kantor: Jl. Kampung Melayu Besar 3F, Jakarta Timur 13320 Telp.021-8509804/8509809 Alamat Rumah: Kali Mulia, Depok Telp.021-7782355 HP.0816-909415
32
Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// OKTOBER-NOVEMBER-DESEMBER 2011