Agsi iii

Page 1

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

1


Guru Sejarah Sebagai Agen Perdamaian

3

GURU SEBAGAI AGEN PERDAMAIAN

PERANAN GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER

KLINIK PEMBELAJARAN

HALLLO EDUCATORS

Oleh: Drs. Subiyarto, M.Hum . *

UPAYA MENANAMKAN NILAI NILAI HAK ASASI MANUSIA MELALUI PEMBELAJARAN SEJARAH DI SMA * Oleh : Ratna Hapsari

PENDIDIK BERWAWASAN HAK ANAK

TOPI ”PANAMA” DARI TANGGERANG

DEDI SAMBAS GURU “ PINGGIRAN “ YANG INOVATIF

ORDE ZODER ORDER

Oleh : Suparman

2

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

SAWAH LODOK SEBUAH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NTT

Oleh: Ade Munajat

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

3


Sudah sepantasnya jika puji syukur kita haturkan ke hadirat Tuhan YME, karena tanpa banyak hambatan yang berarti, Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) telah menjumpai pembaca kembali melalui jurnalnya pada edisi yang ketiga. Keberhasilan ini, selain karena rahmat Tuhan, juga tidak dapat terlepas dari bantuan banyak pihak yang memandang pentingnya pendidikan sejarah, sebagai suatu mata pelajaran yang dekat dengan aspek afektif di antaranya adalah yang terkait dengan pengenalan jati diri dan pembangunan watak generasi muda bangsa. Tema yang kami angkat dalam terbitan jurnal kali ini adalah Guru Sebagai Agen Perdamaian. Kami sengaja tidak mencantumkan kata sejarah di belakang kata guru karena akan terkesan sangat membatasi lingkup tanggung jawab, karena sesungguhnya tugas membangun watak bangsa adalah tugas pendidikan secara menyeluruh dengan guru sebagai ujung tombak, terlepas dari mata pelajaran apapun yang diampunya. Mengapa tema ini yang kami pilih? Hal ini tentunya tidak terlepas dari berbagai kondisi dan situasi sosial yang sedang berkembang saat ini. Maraknya tindak kekerasan dalam berbagai bentuk, tujuan, dan latar belakang telah menunjukkan adanya kemunduran nilai dan normanorma sosial yang terdapat dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sekarang. Sepanjang sejarah manusia, kekerasan sepertinya memang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat itu sendiri, dimulai dari masyarakat praaksara hingga masyarakat modern. Pada masyarakat pra-aksara tindak kekerasan yang terjadi masih dalam taraf yang sederhana, hanya berkisar pada memperebutkan hasil buruan, perebutan tempat tinggal sementara antar kelompok suku yang ketika itu masih hidup secara nomaden. Semakin maju suatu masyarakat, bentuk-bentuk kekerasan pun semakin beragam dan persoalan yang menjadi penyebabnya pun menjadi semakin kompleks. Tujuan pendidikan sejarah sendiri jika mengacu kepada UU nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat 2 yang tertulis dalam penjelasannya bahwa pendidikan sejarah adalah bagian dari ilmu pengetahuan sosial (IPS), dan bahwa bahan kajian IPS dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. Dengan demikian maka dapatlah dikatakan bahwa pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di masyarakat. Untuk itu maka guru dituntut agar mampu membimbing peserta didik untuk dapat menggunakan konsep yang telah dipelajarinya secara bermakna, melalui peristiwa-peristiwa sejarah dan menggunakan nilai-nilai baru yang telah dipahaminya untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat serta lingkungannya. Jika tuntutan pendidikan sendiri mengarah kepada pengembangan kepekaan peserta didik terhadap berbagai masalah sosial yang dihadapi, maka perlu dilakukan pengembangan terhadap kurikulum sejarah, yang setidaknya sesuai dengan tuntutan jaman. Terdapat beberapa acuan dasar yang dapat digunakan untuk mengembangkan kurikulum pendidikan sejarah, yaitu : (1) UU nomor 20 tahun 2003 pasal 36 ayat (1) menentukan pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan untuk

4

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

mewujudkan tujuan pendidikan nasional, (2) UU nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat (2) seperti yang telah disebutkan di atas, dan PP nomor 19 tahun 2005 pasal 16 ayat (1) penyusunan kurikulum tingkat satuan pendidikan jenjang dasar dan menengah berpedoman pada panduan yang disusun oleh BSNP (Badan Standarisasi Nasional Pendidikan) Keterkaitannya dengan berkembangnya tindak kekerasan dalam hidup bermasyarakat tentu dilandasi oleh terbatasnya pemahaman individu sebagai anggota masyarakat terhadap hak-hak asasi manusia. Meskipun kesadaran tentang adanya hak asasi manusia telah diawali oleh Hammurabi, (tahun 2100 SM) raja Babylonia yang menciptakan kodifikasi hukum yang pertama bagi rakyatnya. Kodifikasi ini diundangkan untuk membawa keadilan bagi seluruh rakyatnya,seperti memberantas kejahatan dan mengingatkan bahwa yang kuat tidak melakukan penindasan terhadap yang lemah. Tetapi hak asasi manusia baru mulai dikenal luas ketika lahir Universal Declaration of Human Rights pada tanggal 10 Desember 1948 yang mengandung empat gagasan inti yaitu, freedom of speech (kebebasan mengutarakan pendapat), freedom of religion (kebebasan dalam beragama), freedom of fear ( kebebasan dari rasa takut) dan freedom of want (kebebasan dari kekurangan). Realitas yang ada di dalam masyarakat seringkali jauh dari kondisi ideal yang diharapkan oleh para individu yang menjadi bagian di dalamnya. Tindak kekerasan yang menonjol seringkali terkait dengan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, seperti yang sering kita temukan dalam rangkaian peristiwa dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia seperti pelanggaraan terhadap kemerdekaan, kesetaraan, rasa hormat dan toleransi terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya masyarakat yang dilakukan penguasa pada jaman berlangsung. Lalu bagaimana guru dapat memainkan perannya untuk ikut serta mengurangi tindak kekerasan yang semakin hari berada dalam tingkat yang mencemaskan? Melalui jurnal ini kami ingin mengajak teman-teman guru sekalian, untuk dapat menyisipkan ajaran-ajaran akan nilai-nilai hak asasi manusia melalui pemaknaan peristiwa-peristiwa sejarah mana sajakah yang dapat dikembangkan melalui diskusi-diskusi yang menarik tentang hak-hak asasi manusia ini. Agar peserta didik memahami tindakan yang tepat ketika mereka menghadapi sejumlah permasalahan dalam kehidupan nyata, untuk tetap bersikap menghormati hak-hak orang lain, memiliki toleransi tinggi terhadap perbedaan atau keberagaman, dan lain sebagainya. AGSI bekerjasama dengan beberapa elemen masyarakat, dalam waktu dekat akan menerbitkan buku panduan guru, yang akan kami bagikan secara cuma-cuma agar para guru dapat mengemas pembelajaran tentang HAM melalui peristiwa sejarah yang diajarkan terutama di sekolah menengah tingkat atas. Kami memang tidak berharap terlalu tinggi, meskipun dengan langkah kecil dan sederhana sebagai guru wajib berbuat sesuatu untuk berperan dalam membina watak bangsa dan agen perdamaian.

SELAMAT BERKARYA SAUDARAKU, HIDUPLAH SEPERTI LILIN KARENA CAHAYANYA SELALU MENJADI PENERANG BAGI YANG LAIN

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

5


biasanya terjadi seiring dengan terjadinya pergantian kabinet yang diikuti dengan pergantian menteri. Oleh karena itu wajar jika kemudian muncul pernyataan “ganti menteri, ganti kurikulum”. Pernyataan yang demikian ada benarnya karena jabatan menteri adalah jabatan yang bersifat politis. Akibatnya tidak tertutup kemungkinan bahwa pendidikan dipolitisir dan bersifat indoktrinatif sehingga tidak jarang peserta didik harus merelakan dirinya menjadi “kelinci percobaan” bagi kurikulum baru. Bagaimana dengan posisi guru sebagai pendidik?

PERANAN GURU DALAM PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER Oleh: Drs. Subiyarto, M.Hum . *

2. SEJARAH PERKEMBANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA

1. PENDAHULUAN Sistem pendidikan nasional telah dimulai sejak zaman Yunani dan Romawi Kuno yang melahirkan pemikir-pemikir besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Plato adalah pendiri perguruan tinggi tertua di dunia yang diberi nama “Akademia”. Perguruan tinggi ini didirikan demi tujuan ilmiah dan memberikan pendidikan secara intensif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan filsafat kepada generasi muda. Keberadaan perguruan tinggi ini mampu bertahan selama berabad-abad, bahkan istilah “akademi” masih terus digunakan hingga sekarang (Zazuli, 2009: 53). Plato yang hidup pada abad ke-5 SM, telah merancang cita-cita pendidikan yang ingin dikembangkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cita-cita pendidikan Plato dapat diungkapkan sebagai berikut: “Bagi Plato tujuan pendidikan itu adalah: membentuk warga negara secara teoritis dan praktis. Tiap-tiap manusia mempunyai tugas untuk mengabdikan kepentingannya kepada kepentingan negaranya. Itulah sebabnya, maka pendidikan harus diselenggarakan oleh negara dan untuk negara. Plato berpendapat, bahwa kesukaran-kesukaran politis dapat diatasi apabila ada keadilan. Keadilan akan terwujud, bila tiap-tiap orang melaksanakan tugas sebaikbaiknya. Maka tujuan pendidikan itu selanjutnya ialah: membentuk negara susila yang berdasarkan keadilan” (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976: 28). Orientasi pendidikan tidak sekadar transformasi ilmu pengetahuan (science) tetapi hal yang lebih penting adalah membangun karakter (character building) bagi terbentuknya generasi muda harapan bangsa yang memiliki rasa tanggung jawab baik secara mentalspiritual maupun intelektual. Meminjam istilah Prof. Anhar Gonggong, pendidikan hendaknya menghasilkan generasi yang “terdidik-tercerahkan”. Terdidik artinya mengalami perubahan pada tingkat kecerdasan otak, sedangkan tercerahkan mengandung arti terbentuknya sikap mental yang bertanggung jawab dan pantas diteladani. Perkembangan ilmu pengetahuan berbanding lurus dengan perkembangan dunia pendidikan. Lembaga pendidikan merupakan wadah di mana ilmu pengetahuan * Dosen Universitas Indraprasta PGRI, Guru SMA Nusantara, dan Kepala Sekolah SMK Nusantara 1 6

yang telah dikemas dalam kurikulum akan ditransfer kepada peserta didik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peserta didik merupakan agen bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu, baik secara teoritis dalam ranah kognitif maupun secara praktis dalam ranah psikomotorik. Tentu tidak boleh mengabaikan satu aspek yang lain yakni ranah afektif. Pandangan yang demikian telah menjadi filosofi para pendidik yang berpijak pada teori taksonomi yang diajarkan oleh ahli pendidikan barat seperti Bloom (1956) dan Kratwohl (1964) dalam Taxonomy of Educational Objectives (Uzer Usman, 1995: 34). Begitu pula dengan pendidikan yang berkembang di Indonesia. Jika perkembangan itu dilihat dari kurikulum ke kurikulum yang silih berganti sejak awal kemerdekaan hingga sekarang, maka pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah setiap pergantian kurikulum memiliki hubungan kesinambungan atau berjalan secara linier (segaris) seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan? Pada masa pemerintahan Bung Karno (19451966) yang kemudian digantikan dengan rezim Orde Baru di bawah Suharto (1966-1998) hingga era reformasi (19982011) memiliki orientasi yang berbeda dalam hal pendidikan. Pengalaman historis menunjukkan bahwa proses lahirnya sebuah kurikulum baru disebabkan karena adanya anggapan kegagalan kurikulum yang digantikannya. Kondisi demikian diperkuat dengan pandangan Herbert M.Kliebard yang menyatakan bahwa: “Pencetus ide baru tentang kurikulum biasanya mengecam dan menolak teori kurikulum sebelumnya. Banyak kurikulum baru hanya melihat kelemahan kurikulum yang lama tanpa menghiraukan kebaikan-kebaikannya. Maka teori kurikulum yang baru tidak didasarkan pada apa yang telah dikembangkan. Itu sebabnya maka dikatakan bahwa pengembangan teori kurikulum tidak mempunyai landasan historis. Maka karena itu teori kurikulum tidak memiliki pengetahuan kumulatif yang dikembangkan secara kontinu. Itu pula sebabnya pembaharuan itu tidak diterima berdasarkan pertimbangan teoritis akan tetapi karena instruksi, desakan, persuasi dan mungkin juga karena propaganda bahwa yang baru itu selalu dengan sendirinya lebih baik” (S. Nasution, 1993: 184). Di Indonesia momentum pergantian kurikulum Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Masih segar dalam ingatan masyarakat Indonesia, bahkan telah menjadi memory collective di mana pada era 1970-an hingga 1980-an kurikulum pendidikan yang berorientasi pada CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) dianggap sebagai terobosan yang sukses. Tetapi seiring berjalannya waktu dan terjadinya pergantian menteri, kurikulum tersebut dikecam bahkan dianggap sebagai biang keladi kegagalan pendidikan di Indonesia. Padahal peserta didik yang telah menamatkan pendidikannya sebagai produk kurikulum dimaksud merupakan sumber daya manusia yang memiliki daya saing cukup tinggi, baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi maupun memasuki dunia kerja. Malahan pada masa itu negara tetangga (Malaysia) memberikan apresiasi yang luar biasa khusususnya kepada pendidik di Indonesia yang dinilai sukses mengantarkan peserta didiknya dalam menyelesaikan studi. Itulah sebabnya tidak mengherankan jika kemudian “Negeri Jiran” tersebut mendatangkan pendidik Indonesia untuk mengajar di Malaysia. Hasilnya sangat ironis, sekarang perkembangan pendidikan di Indonesia jauh tertinggal oleh Malaysia. Menyimak kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegagalan dan keberhasilan sebuah kurikulum tidak memiliki tolok ukur yang jelas. Bahkan dapat dikatakan bahwa keberhasilan dan kegagalan lebih disebabkan oleh propaganda. Karakteristik masyarakat Indonesia yang merupakan warisan zaman feodal dan kolonial yang bersifat paternalistik memiliki kecenderungan untuk mengikuti kemauan pemerintah (baca: kebijakan pemerintah). Jika sebuah kurikulum dinilai oleh pemerintah baik dan dipropagandakan sebagai hal yang baik maka masyarakat pun akan menganggapnya baik pula. Begitu pun sebaliknya, jika sebuah kurikulum dianggap gagal sehingga harus digantikan dengan lahirnya kurikulum baru maka masyarakat pun tidak serta merta melakukan protes. Setidaknya gambaran ini tercermin pada dua periode pemerintahan yang berlangsung di Indonesia sebelum datangnya era reformasi. Sedangkan pendidikan yang berlangsung pada masa reformasi menunjukkan fenomena yang sebaliknya dari dua periode sebelumnya. Pada masa reformasi yang memberi peluang lebih luas terhadap kebebasan masyarakat untuk mengoreksi kebijakan pemerintah, tetapi justru pemerintah menanggapinya dengan gaya feodal. Masalah paling aktual yang berkembang dalam konteks pendidikan di Indonesia belakangan ini adalah ketika pemerintah dipraperadilankan oleh sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan komunitas korban Ujian Nasional (UN). UN yang hasilnya digunakan sebagai alat penentu kelulusan peserta didik di tingkat SMP/sederajat dan SMA/sederajat dianggap sebagai kebijakan yang salah dan tidak berpihak

kepada peserta didik. Hasilnya, pemerintah dinyatakan kalah bahkan pada tingkat banding di Pengadilan Tinggi (PT) sampai pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), komunitas masyarakat korban UN memenangkan perkara tersebut. Artinya bahwa penentuan kelulusan peserta didik dikembalikan kepada pihak penyelenggara pendidikan karena hal ini sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, tetapi pemerintah tak bergeming. Sikap demikian inilah yang dimaksudkan dengan gaya feodal. Padahal keputusan PT dan MA tersebut mendapat support dari para pakar pendidikan di Indonesia. Apabila mengacu pada teori taksonomi sebagai pijakan dalam menentukan arah pendidikan, maka pendidikan yang berlangsung pada periode Bung Karno memiliki sedikit persamaan dengan periode Suharto. Keduanya sama-sama menekankan pendidikan yang berkarakter untuk membentuk manusia Indonesia yang memiliki ilmu pengetahuan yang memadai (kognitif), memiliki ketrampilan yang cukup (psikomotorik), dan hal yang tidak kalah penting yaitu memiliki sikap mental yang sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang berbudaya (afektif). Pada periode Bung Karno salah satu tujuan pendidikan nasional adalah mewujudkan terbentuknya generasi muda yang dapat menunjang konsep “kepribadian bangsa”. Sedangkan pada masa Suharto pendidikan diarahkan pada terbentuknya “jatidiri bangsa” (Saifuddin dan Karim, 2008: 71). Jika dibandingkan dengan dua periode tersebut, maka pendidikan yang berlangsung pada masa reformasi justru mengalami disorientasi karena mengabaikan domain afektif dan hanya mengejar ketertinggalan pada domain kognitif semata melalui UN. Hal ini justru merupakan titik kelemahan dari UN itu sendiri sebagai alat ukur karena tidak mampu mengukur tingkat kemampuan siswa secara komprehensif. Kelemahan yang lain dari sistem penyelenggaraan UN selama ini dapat diidentifikasi, sebagai berikut:

1. Tidak memperhatikan atau mengabaikan perbedaan tingkat kemampuan peserta didik yang secara alamiah memiliki intelligensi berbeda.

2. Tidak memperhatikan proses belajar yang berlangsung selama tiga tahun karena hanya ditentukan sesaat dari hasil UN.

3. Bertentangan dengan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang mengacu pada konsep belajar tuntas (mastery learning) dengan tingkat ketuntasan yang berbeda pada masing-masing satuan penyelenggara pendidikan.

4. Tidak didasarkan atas pertimbangan perbedaan kondisi tiap satuan penyelenggara pendidikan seperti kelengkapan sarana dan prasarana sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan dalam kegiatan pembelajaran.

5. Pendidik dan peserta didik sama-sama tersita perhatiannya oleh beberapa mata pelajaran yang di UN-kan sehingga mengabaikan beberapa mata pelajaran lain yang memiliki peranan penting dalam membangun karakter (character building) seperti Pendidikan Agama, Sejarah, Pendidikan Kewarganegaraan, dan mata pelajaran lain yang tidak di UN-kan.

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

7


6. Dalam proses penyelenggaraan UN sangat dimungkinkan terjadi kecurangan secara sistematis sehingga hasil UN tidak mencerminkan kemampuan yang sesungguhnya bagi peserta didik.

bergeming dengan pola penentuan kelulusan peserta didik seperti telah diuraikan di atas, maka harapan untuk memperbaiki keadaan yaitu menghasilkan generasi yang “terdidik-tercerahkan” akan menjadi harapan yang jauh panggang dari api.

7. Jika dugaan poin 6 mengandung kebenaran, maka hasil UN tahun 2010 di mana banyak peserta didik baik di tingkat SMP sederajat maupun SMA/sederajat yang mengalami kegagalan merupakan buah dari kecurangan yang terjadi pada tiga tahun sebelumnya di mana peserta didik yang diterima sekolah negeri tidak didasarkan atas nilai UN yang otentik.

8. Bertentangan dengan Undang-Undang Sisdiknas dimana penentu kelulusan adalah pendidik dari satuan penyelenggara pendidikan.

Jika ditelaah dari struktur mata pelajaran yang ada sesuai dengan kurikulum yang berlaku di sekolah (SMA dan SMK) dan dilihat dari karakteristik untuk tiap mata pelajaran, maka setiap mata pelajaran mengemban tugas yang berbeda. Pendidikan karakter lebih sesuai jika ditanamkan melalui mata pelajaran tertentu seperti Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, dan Sejarah. Sayangnya di era reformasi ini justru pelajaran Sejarah tidak mendapat porsi yang memadai. Dalam struktur kurikulum SMA program studi IPA hanya terdapat satu jam pelajaran Sejarah per minggu, dan yang lebih memprihatinkan di SMK tidak ada sama sekali. Hal ini tidak sejalan dengan semangat pendidikan karakter yang harus digali dari landasan idiil Pancasila, dan landasan konstitusional UUD 1945.

Mungkin masih banyak kelemahan-kelemahan lain yang luput dari pengamatan. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika pemerintah melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap penyelenggaraan UN dengan mempertimbangkan kelayakannya sebagai penentu kelulusan. Alangkah bijaknya jika bangsa ini mau belajar dari sejarah karena sejarah adalah guru kehidupan (historia magistra vitae).

3. KONDISI SOSIAL BANGSA INDONESIA Belakangan ini kita dihadapkan pada persoalan bangsa yang menciderai semangat persatuan dan kesatuan dan mengancam sendi-sendi kehidupan yang damai dalam masyarakat. Konflik horisontal dengan faktor penyebab bernuansa sara (suku, agama, ras, dan antar golongan) dalam masyarakat yang berbeda tetapi selama ini hidup berdampingan secara damai justru mulai menyeruak kembali ke permukaan sebagai persoalan baru. Jika diidentifikasi, beberapa persoalan dapat ditunjukkan sebagai berikut:

1. Lunturnya semangat solidaritas, berkembangnya semangat primordialisme dan egosentrisme dalam masyarakat. Indikatornya terjadinya konflik horisontal di berbagai daerah.

2. Melemahnya rasa toleransi intern dan antar umat beragama. Indikatornya timbulnya konflik sesama umat Islam yang berbeda aliran, dan konflik antara umat Islam dengan penganut agama lain.

3. Memudarnya nilai-nilai kegotongroyongan atau kerjasama. Indikatornya adanya konflik dalam tubuh organisasi seperti PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dan seringnya pejabat pemerintah melontarkan pernyataan sikap yang berbeda untuk masalah yang sama.

4. Hilangnya sikap ramah tamah dan sopan santun yang selama ini dinilai oleh dunia luar sebagai karakter bangsa Indonesia. Sifat ke-Indonesiaan yang selama ini diagungkan dan dibanggakan telah menjelma menjadi sifat yang beringas, pemarah, dan mudah tersinggung.

Menghadapi kenyataan tersebut pemerintah memandang pentingnya pendidikan karakter yang diinterintegrasikan dengan setiap mata pelajaran. Sejauh manakah efektivitasnya, tentu masih memerlukan kajian yang mendalam dan komprehensif. Jika pemerintah tak 8

Situasi yang menggambarkan kondisi masyarakat bangsa yang belakangan muncul ke permukaan, sehingga kurikulum Sejarah di sekolah perlu segera mendapat perhatian pemerintah ditunjukkan oleh guru besar Pendidikan Sejarah dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof. Dr. S. Hamid Hasan dalam sebuah kesempatan seminar, sebagai berikut: “Ketika bangsa ini carut marut dengan kenyataan kehidupan yang mengancam keutuhan bangsa, kurikulum (Sejarah-pen) masih tetap pada jalur semula. Pandangan esensialisme dan perenialisme yang berakar tunjang dan menghujam ke bumi selama lebih dari setengah abad memberikan pohon wawasan dan kebijakan yang kokoh. Ketika masyarakat ini penuh dengan kenyataan pahit seperti korupsi, kemiskinan, ketidakstabilan politik, kerencanan sosial, mental menerabas, semangat penipuan yang terhunjam dari atas ke bawah, kurikulum tidak merespons secara mendasar dan konseptual. ...” (Hasan, 2007). Keprihatinan yang sama ditunjukkan oleh guru besar Universitas Negeri Padang Prof. Dr. Mestika Zed, dalam kesempatan yang sama pula. Mestika Zed mengemukakan pandangannya, sebagai berikut: “Isu-isu kritis dalam dunia pendidikan dan pengajaran sejarah di sekolah dewasa ini pada gilirannya melahirkan sejumlah pertanyaan pokok tentang banyak hal. Terutama berkenaan dengan isu tentang kebijakan-kebijakan pemerintah yang kurang menguntungkan terhadap pengajaran sejarah; peranan perguruan tinggi “pencetak” guru sejarah dan kontribusi sejarawan professional dalam pengajaran sejarah pada umumnya dan yang lebih penting lagi ialah kondisi pendidikan dan pengajaran sejarah di sekolah dewasa ini, di samping penilaian-penilaian masyarakat terhadap mata pelajaran sejarah. …” (Zed, 2007). Dari dua kutipan tersebut telah cukup memberi gambaran dan informasi kepada masyarakat tentang betapa kurikulum pengajaran sejarah di sekolah sudah selayaknya mendapat sentuhan perhatian dari pemerintah. Jika tidak, maka bangsa ini akan menatap generasi masa datang yang tidak mewarisi nilai-nilai luhur yang menjadi kebanggaan di masa lalu seperti kejayaan, keteladanan, persatuan, semangat nasionalisme, pluralisme, semangat patriotisme, dsb. Bahkan sangat dimungkinkan bahwa Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

generasi yang akan datang merasa tidak perlu belajar sejarah, dan apabila kekhawatiran ini terjadi maka kita tinggal menunggu waktu akan menjelma menjadi sebuah bangsa yang tidak memiliki “jatidiri bangsa” (istilah yang berkembang pada masa Suharto) dan atau “kepribadian b a n g s a ” (istilah yang berkembang pada masa Sukar no) (Saifuddin dan Karim, 2008: 71).

4. GURU SEBAGAI AGEN PERUBAHAN (AGENT OF- CHANGE) Presiden RI pertama Bung Karno pernah mengatakan bahwa: “bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju dan jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli”. Malah dalam kesempatan yang lain Bung Karno mengaitkannya dengan masalah pembangunan bangsa (nation building) sehingga berkembang menjadi pembangunan bangsa dan pembangunan karakter (nation and character building). Hal ini disampaikan dalam pidato memperingati kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1962 yang diberi judul “Tahun Kemenangan” (Sukarno, 2003: 498; Kansil, 1962). Jika ditinjau secara historis, sebuah konsep dalam sejarah menjadi bermakna terutama disebabkan oleh semangat zamannya. Begitu pula dengan konsep “pembangunan bangsa dan pembangunan karakter” (nation and character building), menjadi sangat penting dan bermakna ketika pada era 1960-an menghadapi berbagai permasalahan bangsa sebagai akibat pluralisme atau kemajemukan, seperti timbulnya gerakan separatis di beberapa daerah, pemberontakan dengan berbagai motifnya, dan masalah rasialisme. Jadi konsep ini lahir

dari pemikiran untuk menjawab tantangan zaman. Bagaimana perbedaanperbedaan yang secara obyektif dimiliki oleh bangsa Indonesia dapat dipersatukan dengan faktor subyektif melalui semangat persatuan dan kesatuan.Kini setengah abad kemudian, kondisi serupa kembali mengoyak kehidupan bangsa Indonesia dengan sebab yang sedikit berbeda. Ekses dari adanya tuntutan d e m o k r a s i dan otonomi daerah telah mengancam nilainilai persatuan dan kesatuan, l e b i h jauh telah mendorong bangkitnya kembali semangat primordial dan sektarian. Bahkan era reformasi bergulir dari gerakan rasialis dimana warga keturunan Cina menjadi sasaran amuk massa di bulan Mei 1998. Kehidupan masyarakat majemuk yang berdampingan secara damai pun terkoyak. Untuk itulah konsep “pembangunan bangsa dan pembangunan karakter” (nation and character building) yang pernah digagas para founding fathers dapat kembali dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia dewasa ini melalui jalur pendidikan. Konsep pendidikan karakter (character education) yang digagas oleh pemerintah pada era reformasi dalam rangka menghadapi tantangan terjadinya perubahan sosial telah menimbulkan banyak opini dan menyita ruang publik. Banyak kalangan yang menyambut positif terhadap kehadiran konsep tersebut dalam dunia pendidikan, tidak sedikit pula yang bersikap apriori dengan alasan yang berbeda. Terlepas dari kontroversi tersebut, penulis berpendapat bahwa lahirnya konsep pendidikan karakter dapat menjadi salah satu alternatif untuk menyelamatkan generasi dibanding tidak berbuat sama sekali. Hal yang memerlukan perhatian adalah bagaimana agar konsep ini tidak hanya menjadi slogan kosong yang memadati laci meja para pendidik, tetapi dapat diimplementasikan secara nyata

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

9


dengan tindakan (action). Satu perbuatan lebih baik dari pada seribu kata-kata.

mempengaruhi dengan memberikan bimbingan dan penyuluhan.

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun 2010, dicanangkan tema besar yakni “Pendidikan Karakter Untuk Membangun Keberadaban Bangsa”. Sejalan dengan tema besar tersebut, kebijakan pemerintah akan pentingnya pendidikan yang berbasis karakter perlu segera dimplementasikan di sekolah-sekolah. Sudah barang tentu kebijakan tersebut menuntut guru sebagai pendidik mengambil peran lebih aktif. Sementara anggapan masyarakat yang berlaku secara umum bahwa setiap persoalan yang muncul dianggap sebagai kegagalan pendidikan. Guru sebagai pendidik dapat dengan mudah dijadikan kambing hitam sebagai tumpuan kesalahan, sedangkan dalam keberhasilan guru tidak mendapat pujian. Hal ini terjadi karena adanya pola pikir (mindset) yang keliru yakni guru dianggap sebagai satu-satunya faktor penentu keberhasilan dalam proses belajar. Padahal guru hanya merupakan salah satu unsur penentu dan masih banyak unsur lain seperti kualitas peserta didik itu sendiri, kesesuaian bahan pelajaran dengan tingkat kemampuan peserta didik, ketepatan dalam memilih metode dan sistem evaluasi, sarana dan prasana penunjang yang memadai, dan sistem administrasi yang baik (Arikunto, 2009: 5).

5. Penutup

Dalam sebuah kesempatan yang masih merupakan rangkaian kegiatan Hardiknas, Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas) Prof. Dr. Fasli Jalal mengungkapkan bahwa agar setiap sekolah dan seluruh lembaga pendidikan memiliki school culture, di mana setiap sekolah memilih pendisiplinan dan kebiasaan mengenai karakter yang akan dibentuk. Lebih lanjut Fasli menyampaikan pesan agar para pemimpin dan pendidik mampu memberikan suri tauladan mengenai karakter tersebut. Pendidikan karakter yang dimaksud diharapkan dapat membangun wawasan kebangsaan serta mendorong inovasi dan kreasi peserta didik. Selain itu, nilai-nilai yang perlu dibangun dalam diri generasi penerus bangsa secara nasional antara lain adalah kejujuran, kerja keras, menghargai perbedaan, kerja sama, toleransi, dan disiplin. Dari pernyataan Wamendiknas ini jelas secara eksplisit bahwa guru sebagai pendidik menjadi tumpuan harapan bagi keberhasilan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah. Secara teoritis profesi guru dituntut memiliki kompetensi tertentu yang membedakan dengan profesi yang lain. Dua jenis kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru secara teoritis dapat dijabarkan sebagai berikut (Usman, 1990: 16-19):

1. Kompetensi pribadi yang meliputi, mengembangkan kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan penyuluhan, melaksanakan administrasi sekolah, melaksanakan penelitian sederhana untuk keperluan pengajaran.

2. Kompetensi profesional yang meliputi, menguasai landasan kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran, melaksanakan program pengajaran, menilai hasil dan proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan.

10

Pada masa sekarang ini guru sebagai pendidik menghadapi kenyataan yang dilematis, yaitu di satu sisi mengemban beban tugas dan tanggung jawab untuk membentuk sikap mental sesuai dengan nilai-nilai pendidikan karakter, dan mempersiapkan peserta didik untuk menghadapi UN di sisi yang lain. Kenyataan yang dihadapi terutama bagi guru atau peserta didik yang bertugas di sekolah-sekolah dengan sarana dan prasarana minim tetapi harus mampu mencerdaskan peserta didik. Di samping itu tingkat kesejahteraan yang belum memadai juga mempengaruhi konsentrasi dan totalitas kerja karena bagaimanapun guru atau pendidik tidak cukup hanya dengan predikat sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”. Diluncurkannya kebijakan sertifikasi bagi pendidik sejak 2006 untuk bisa mendapatkan tunjangan profesi belum bisa dinikmati oleh semua pendidik di seluruh Indonesia.

Apakah semua guru di Indonesia dapat memenuhi kriteria kompetensi dan persyaratan khusus yang dimaksud? Untuk mendapatkan jawaban yang akurat tentu diperlukan penelitian yang mendalam, tetapi secara rasional pasti masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu menggantungkan harapan kepada peran guru sebagai pendidik tidak sepenuhnya salah, tetapi harus disadari bahwa “guru juga manusia” artinya tidak terlepas dari segala kekurangan dan keterbatasan. Meskipun demikian harus diakui juga bahwa bagaimanapun guru sebagai pendidik merupakan teladan hidup (living model) bagi siswa sebagai peserta didik. Mungkin hanya profesi guru yang melekat terus dalam diri penyandangnya sekalipun dia tidak berada di lingkungan tempat kerjanya. Dalam kehidupan sosial masyarakat, orang akan tetap menyapanya dengan sebutan “pak guru” atau “bu guru”. Artinya keteladanan yang diberikan oleh seorang guru dibawa ke manapun ia pergi, selama orang mengenalnya sebagai figur seorang guru. Sebagai model seorang guru atau pendidik dapat menerapkan metode keteladanan dengan tahapan yaitu mengetahui yang terbaik (knowing the good), merasakan yang terbaik (feeling the good), dan melakukan yang terbaik (acting the good). Di samping keteladanan, seorang guru atau pendidik juga diharapkan dapat berperan sebagai motivator yang dapat mempengaruhi siswa atau peserta didik untuk berbuat sesuai dengan apa yang diinginkan dalam pendidikan karakter. Dalam hal ini guru atau pendidik dapat menggunakan kompetensinya untuk memberikan bimbingan dan penyuluhan kepada peserta didik. Menurut teori tabularasa yang dikemukakan oleh John Locke, bayi lahir diibaratkan selembar kertas putih dan akan tergores sesuai dengan lingkungan yang mempengaruhinya. Demikian pula dengan peserta didik, dapat digambarkan sebagai selembar kertas putih dan akan tergores sesuai kehendak pendidik berdasarkan kemampuannya untuk Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Disadari atau tidak pada umumnya lembaga penyelenggara pendidikan atau sekolah-sekolah, waktu dan tenaga pendidiknya telah terforsir untuk mempersiapkan peserta didik agar memperoleh nilai yang baik dalam ujian UN. Dengan demikian mau tidak mau secara otomatis aspek-aspek lain yang berhubungan dengan pendidikan karakter terabaikan. Padahal tugas dan tanggung jawab pendidik adalah menjaga keseimbangan terhadap hasil pendidikan pada tataran antara kemampuan intelektual dan moral/mental atau “terdidik-tercerahkan”. Membebankan keberhasilan dari pendidikan karakter hanya kepada lembaga penyelenggara pendidikan rasanya terlampau berlebihan. Oleh karena itu perlu adanya kerja sama yang simultan dan sinergi dengan lembagalembaga lain yang terkait seperti Kementerian Pemuda dan Olah Raga, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, dan lembaga-lembaga lain yang dapat memberikan kontribusi bagi terselenggaranya pendidikan karakter di luar sekolah. Orang tua pun memiliki peran yang tidak kecil bagi keberhasilan putra-putrinya dalam menyelesaikan pendidikannya. Kurangnya perhatian orang tua terhadap putra-putrinya dapat mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Semoga langkah besar membentuk generasi yang berkarakter senantiasa mendapat bimbingan dari Tuhan Yang Maha Kuasa.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2009. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Jakarta: Bumi Aksara. Djumhur, I dan H. Danasuparta. 1976. Sejarah Pendidikan. Bandung: Penerbit CV Ilmu. Hasan, S. Hamid. “Pendidikan Sejarah untuk Pengembangan Potensi Kemanusiaan Peserta Didik”, makalah disampaikan pada seminar Sosialisasi Penulisan Sejarah Indonesia dan Peringatan 50 Tahun Seminar Sejarah Nasional Pertama (1957-2007), di Cipanas-Jawa Barat, tanggal 12-14 Desember 2007. Kansil, C.S.T. (et. al.). 1964. Capita Selecta: Pembinaan Kesatuan Bangsa. Kompartemen Perhubungan Dengan Rakjat, Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa. Nasution, S. 1993. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Penerbit Citra Aditya Bakti. Saifuddin, Achmad Fedyani dan Mulyawan Karim (Penyunting). 2008. Refleksi Karakter Bangsa. Diterbitkan Atas Kerjasama Kementerian Negara Pemuda dan Olah Raga RI dan Ikatan Alumni Universitas Indonesia: Penerbit Forum Kajian Antropologi Indonesia. Sukarno. 2003. Dibawah Bendera Revolusi (Jilid Kedua). Jakarta: Penerbit Yayasan Bung Karno. Usman, Moh. Uzer. 1997. Menjadi Guru Profesional (Edisi Kedua). Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Zazuli, Mohammad. 2009. 60 Tokoh Dunia Sepanjang Masa. Yogyakarta: Penerbit Narasi. Zed, Mestika. “Isu-isu Kritis dan Strategis Dalam Pengajaran Sejarah di Sekolah Menengah Dewasa Ini: Sebuah Pemetaan Pendahuluan”, makalah disampaikan pada seminar Sosialisasi Penulisan Sejarah Indonesia dan Peringatan 50 Tahun Seminar Sejarah Nasional Pertama (1957-2007), di Cipanas-Jawa Barat, tanggal 12-14 Desember 2007.

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

11


UPAYA MENANAMKAN NILAI NILAI HAK ASASI MANUSIA MELALUI PEMBELAJARAN * SEJARAH DI SMA

Perhatian massa ditarik ke pertokoan, lalu terdengar kata ’serbu’ - Dok TRK

kerusuhan diawali provokasi sekelompok orang tak dikenal oleh warga sekitar lokasi kejadian - Dok TRK

Oleh : Ratna Hapsari

Kasus Semanggi I - Dok TRK Aparat menghalangi demonstrasi mahasiswa. Dok TRK

api menjilat bangunan sementara sejumlah orang di dalamnya terjebak - Dok TRK

A. Latar Belakang Realitas yang ada di dalam masyarakat seringkali jauh dari kondisi ideal yang diharapkan oleh individu-individu yang menjadi bagian di dalamnya seperti dalam kasuskasus pelanggaran hak asasi manusia. Jika kita menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia dari masa ke masa sangat banyak ditemukan peristiwa-peristiwa pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia seperti pelanggaran terhadap kemerdekaan, kesetaraan, rasa hormat terhadap hak-hak sipil, politik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat yang dilakukan oleh penguasa pada jaman berlangsung. Sebagian dari perjalanan sejarah Indonesia telah mencatat peristiwa reformasi yang terjadi 13 tahun yang lalu, dimana saat itu telah disampaikan sejumlah agenda perubahan yang seharusnya telah dapat diselesaikan oleh pemerintahan Republik Indonesia, sesudah era Orde Baru, namun pada kenyataannya agenda reformasi yang telah disampaikan oleh para mahasiswa, yang merupakan elemen masyarakat tersebut ternyata masih meninggalkan sejumlah catatan masalah yang tak kunjung terselesaikan. Terutama kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti misalnya kasus Trisakti yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998, yang sampai hari ini masih memunculkan berbagai di dalam masyarakat tentang siapa sesungguhnya aktor intelektual yang berperan di balik penembakan para mahasiswa tersebut. Demikian pula dengan kasus Semanggi I dan II yang terjadi pada tanggal 13 November 1998 dan 24 September 1999, sekali lagi terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat yang bertugas mengamankan demonstrasi, yang menyebabkan beberapa mahasiswa dan masyarakat sipil tewas. Para orang tua korban, yang saat Kasus Trisakti - 12 Mei 98 - Dok TRK

* Disampaikan pada Seminar Nasional “Pendidikan Sejarah Dalam Mambangun Masa Depan Depan Bangsa�, kerjasama Asoisiasi Pendidik dan Peneliti Sejarah dengan Jurusan pendidikan Sejarah FPIPS UPI tanggal 16-20 Maret 2011 di Istola Resort UPI Bandung 12

Aparat menghalangi demonstrasi mahasiswa. Dok TRK

itu dengan didampingi para aktivis HAM, telah meminta kepada DPR untuk membentuk panitia khusus (pansus) agar pemerintah lebih fokus dalam menuntaskan permasalahan tersebut telah menemui jalan buntu, terutama ketika pansus yang dibentuk DPR telah menyatakan bahwa kasus Semanggi I dan II tersebut tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat Kematian aktivis HAM, Munir pada tanggal 7 September 2004, karena diracun dalam pesawat Garuda yang ditumpanginya dalam perjalanan menuju Belanda, telah menambah deretan panjang dari kasus-kasus pelanggaran terhadap HAM . Munir yang lahir di Malang pada tanggal 8 desember 1965, adalah aktivis HAM yang telah menangani beberapa kasus pelanggaran HAM berat seperti kasus Tanjung Priok, Aceh dan Talangsari. Nama Munir mulai dikenal ketika menangani kasus kematian buruh perempuan yang bernama Marsinah dimana ketika itu Munir masih tinggal di Surabaya. Di balik badannya yang kecil ia sering bersuara lantang untuk menyuarakan perasaan dari kelompok masyarakat yang takut bersuara dalam memperjuangkan hak-haknya untuk memperoleh keadilan negara. Dalam keseharian kita istilah tentang hak-hak asasi manusia telah sering kita dengar, yang menjadi dokumen terpenting, meskipun bukan satu-satunya dalam bidang hak asasi manusia ini adalah Universal Declaration of Human Rights yang lahir pada tanggal 10 Desember 1948, yang kemudian dalam sidang umum Perserikatan Bangsa Bangsa Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

(PBB), disetujui untuk digunakan sebagi tolok ukur yang umum di seluruh dunia dalam setiap pembahasan mengenai hak-hak asasi manusia.

Karena di dalamnya terdapat gagasan inti tentang hak hak asasi manusia, seperti freedom of speech (kebebasan mengutarakan pendapat), freedom of religion (kebebasan dalam beragama), freedom from fear (kebebasan dari rasa takut) dan freedom from want (kebebasan dari kekurangan). Lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) ini sendiri telah melalui perjalanan sejarah yang cukup panjang dimana penyusunannya telah banyak melibatkan tokoh filsafat, hukum, politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sehingga apa yang tercantum di dalam deklarasi tersebut sesungguhnya merupakan kristalisasi dari sejumlah pemikiran pemikiran sebelumnya. Aristoteles seorang filsuf dari Yunani telah mempunyai ketentuan tentang kesamaan hak untuk berbicara di depan umum dan di depan pengadilan.

Kemudian kesadaran tentang hak asasi manusia telah diawali oleh Hammurabi (2100 SM), raja dari Babylonia ini telah menciptakan kodifikasi hukum yang mengatur berbagai hak warganegara di kerajaannya. Dalam mukadimahnya Hammurabi menuliskan bahwa kodifikasi ini diundangkan untuk membawa keadilan bagi seluruh negeri, memberantas semua kejahatan, dan mengingatkan agar yang kuat tidak melakukan penindasan terhadap yang lemah. Asas yang sama atau persamaan di dalam hukum ini juga terdapat dalam perintah raja Thutmose (1500 SM) dari Mesir yang ditujukan kepada ketua mahkamah agungnya yang bernama Rakhmire. Demikian juga asas-asas yang sama didapati pula dalam perintah raja Asoka dari India sekitar abad ke tiga. Confusius, seorang filsuf terkemuka dari Cina dan lahir pada sekitar tahun 551 SM, telah menekankan pula pada ajarannya, terhadap keharusan seseorang untuk memperlakukan orang lain dengan baik, adil dan sesuai dengan sifat-sifat luhur manusia.

Aksi keluarga Korban mendesak penuntasan kasus. Dok TRK

Pansus Trisakti-Semanggi 6-Feb-2000

Wiranto berikan kesaksian pada Pansus Trisakti-Semanggi 6-Feb-2000

Desakan mahasiswa utk penuntasan kasus pelanggaran HAM - Dok Trk

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

13


Mencari Korban terbakar di RSCM Keluarga korban Mei dan TRK melakukan peringatan Mei 98 lewat tabur bunga di pemakaman massal Pondok Rangon - 14 Mei 2002 - Dok TRK

Salah satu korban yg dibakar massa dan cacat seumur hidup-Dok TRK

pemakaman massal korban Mei 98 di Pondok Rangon - Sumber Media Indonesia 19-5-98

Kasus Trisakti - 12 Mei 98 - Dok TRK ’Mereka membakar anak dan istri saya saat saya membantu aparat di Sunter’ - Dok.TRK Pemakaman BN. Irmawan (Wawan)

C. Mengembangkan Silabus Sejarah Berwawasan Nilai-nilai Hak Asasi Manusia Pemakaman 113 peti jenasah tak teridentifikasi korban Mei 98 sumber Republika 19-5-98

Menurut Sandyawan Sumardi, di Indonesia sendiri prinsip-prinsip pokok tentang hak-hak asasi manusia telah tercakup di dalam Undang Undang Dasar 1945, meskipun hal itu harus melewati sebuah perdebatan yang panjang di antara para penggagasnya. Lihat saja diantaranya dalam pasal 27 ayat 2, tertulis bahwa tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (freedom from want), pasal 28, mencantumkan tentang negara menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengemukakan pendapat baik dengan secara lisan maupun tulisan (freedom of speech), pasal 29 ayat 2, menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu (freedom of religion), dan masih banyak pasal-pasal lainnya. Uraian ini telah memberikan gambaran kepada kita bahwa the four freedom dari presiden RoOsevelt yang telah mendasari isi dari Universal Declaration of Human Right ternyata telah pula menjiwai UUD 1945 seperti yang tercantum di dalam pasal-pasal yang telah disebutkan di atas tadi. Jika demikian, bagaimana pelaksanaan hak-hak asasi manusia di Indonesia, selain kasus-kasus pelanggaran HAM berat seperti telah diuraikan di atas tadi? Terjadinya berbagai konfllik horizontal yang bernuansa SARA juga masih sering terjadi pada masyarakat kita. Ini berarti bahwa pehamanan tentang hak-hak asasi manusia di Indonesia, seperti toleransi, menghargai keberagaman dan lain-lain belum sepenuhnya dipahami sebagai tuntutan yang bersifat universal tetapi baru sekedar sebagai nilai moral yang berlaku atau memang baru sebatas retorika?

B. Tujuan Pendidikan Sejarah Pendidikan sejarah di sekolah menengah memiliki arti yang strategis dalam pembentukan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat, serta pembentukan 14

manusia Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Hal ini seperti yang diuraikan di dalam rambu-rambu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), dimana materi pendidikan sejarah meliputi:

1. Mengandung nilai-nilai kepahlawanan, keteladanan, kepeloporan, patriotisme, nasionalisme dan semangat pantang menyerah yang mendasari proses pembentukan watak dan kepribadian peserta didik.

2. Memuat khasanah mengenai peradaban bangsa- bangsa termasuk peradaban Indonesia. Materi tersebut merupakan bahan pendidikan yang mendasar bagi proses pertumbuhan dan penciptaan peradaban Indonesia di masa depan.

3. Menanamkan kesadaran persatuan dan persaudaraan serta solidaritas untuk menjadi perekat bangsa dalam menghadapi ancaman desintegrasi bangsa

4. Sarat dengan ajaran moral dan kearifan yang berguna dalam menghadapi krisis multidimensi yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari

5. Berguna untuk menanamkan dan mengembangkan sikap bertanggung jawab dalam memelihara keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup.

Intinya pendidikan sejarah merupakan media pendidikan yang ampuh untuk memperkenalkan peserta didik tentang bangsanya di masa lampau. Dan tidak itu saja, melalui pelajaran sejarah peserta didik dapat melakukan kajian mengenai apa, bila, mengapa, bagaimana serta akibat apa yang dilakukan pelaku sejarah yang tidak mampu mencapai tujuan sehingga dapat dianggap sebagai suatu Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

kesadaran atau bahkan kegagalan, perbuatan apa yang mereka lakukan yang mampu mencapai tujuan, sehingga dianggap sebagai suatu keberhasilan dan memberikan dampak positif bagi kehidupan kebangsaan sesudahnya maupun masa kini (S.Hamid Hassan, dalam Pendidikan Sejarah : Kemana dan Bagaimana, makalah hal 3, 2010)

Dengan demikian, apa yang sebenarnya diharapkan dari mempelajari sejarah? Selain mengembangkan kemampuan kognitif melalui pemahaman fakta sejarah, juga meningkatkan kemampuan menganalisis dan kemampuan menggunakan semua yang dipelajari melalui peristiwa sejarah dalam kehidupan yang sekarang dan di masa yang akan datang.

Masalah utama yang terdapat dalam mengembangkan silabus adalah bagaimana guru dapat mengembangkan berbagai kemampuan peserta didik dalam kegiatan belajar pada sebuah proses pembelajaran. Pengembangan kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan dalam mencari dan mengumpulkan informasi, memahami informasi serta kemampuan menerapkan atau menggunakan informasi tersebut di dalam kehidupan sehari-hari. Kedudukan guru saat ini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi. Informasi saat ini dapat diperoleh dengan mudah dari berbagai sumber, maka yang diperlukan sekarang adalah kemampuan melakukan kritik terhadap sumber-sumber informasi tersebut, untuk memperoleh informasi yang relevan, yang dibutuhkan dan yang terkait dengan materi yang sedang dibahas. Memahami informasi menjadi bagian dari proses pembelajaran yang penting, karena dalam hal ini peserta didik dituntut untuk mampu memahami fakta, konsep, definisi, makna dari peristiwa sejarah dan lain-lain. Kembali menurut S. Hamid Hassan, pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di dalam masyarakat. Sehingga kegiatan penggunaan dan penerapan informasi adalah kegiatan menerapkan apa yang sudah dipahami peserta didik dari dalam proses pembelajaran yang berlangsung, untuk menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapinya di dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga dalam rangka kebermaknaan belajar sejarah adalah dilihat dari relevansinya terhadap kehidupan peserta didik di dalam masyarakat. Maka prinsip pengembangan silabus dalam pendidikan sejarah; bahwa pelajaran sejarah harus dapat mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut di atas dengan menggunakan berbagai macam metode pembelajaran yang tepat pada saat penyampaiannya. Kesadaran terhadap nilai-nilai yang ada di dalam hak-hak asasi manusia dapat disisipkan melalui peristiwaperistiwa sejarah yang berlangsung sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia sendiri. Materi pendidikan

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

15


HAM tidak perlu menjadi materi yang berdiri sendiri, sehingga semakin memperpadat kurikulum sejarah yang memang sudah terasa sangat padat. Materi tersebut harus terintegrasi ke dalam materi ajar sejarah (peristiwa) dan bersifat pengetahuan dasar. Bagaimana menyisipkan nilai-nilai sadar HAM ke dalam peristiwa sejarah, hal itu dapat dilakukan melalui bercerita, atau memberikan tugas membaca, menganalisis suatu masalah. Sebagai contoh misalnya tentang peristiwa penerapan kebijakan gubernur jendral De Jonge tentang berlakunya ordonansi atau undang-undang sekolah liar, yang didasarkan kepada pandangan bahwa sekolah-sekolah yang didirikan secara mandiri oleh rakyat dianggap berbahaya bagi pemerintahan Belanda saat itu. Karena keberadaan sekolah-sekolah ini dianggap sebagai bagian dari gerakan politik radikal, hal mana yang membuat Ki Hajar Dewantara mengirimkan telegram kepada De Jonge dengan sedikit nada memperingatkan: “karena terpaksa boleh jadi kami akan melakukan perlawanan sekuat-kuatnya dengan cara tidak menggunakan kekerasan (lijdelijk verzet) “ karena saat itu Ki Hajar Dewantara telah mengembangkan perguruan Taman Siswa yang memiliki konsep pendidikan yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan konsep pendidikan barat yang diselenggarakan pemerintahan kolonial. Mengapa Belanda sampai perlu mengeluarkan undangundang ini, apakah pendidikan yang diselenggarakan memang secara murni ditujukan bagi peningkatan dan kesempatan bagi pribumi untuk memperoleh pendidikan, dan apakah ordonansi bertentangan dengan hak asasi manusia? Semua akan menjadi sebuah diskusi yang menarik jika guru mampu mengemasnya dalam cerita yang mampu mendorong imajinasi peserta didik. Contoh lain misalnya ketika terjadi perang Diponegoro (1825 – 1830), penting ditekankan kepada perkara pelaksanaan pungutan pajak yang sangat memberatkan rakyat, itulah sebenarnya yang membuat Diponegoro sampai mengobarkan perang, di samping sebab khusus lainnya seperti penanaman pancangpancang rencana pembuatan jalan yang melewati tanah leluhurnya tanpa ijinnya. Diponegoro menjadikan perang itu sebagai perang yang menuntut keadilan bagi rakyat, dan harapan rakyat tentang munculnya Ratu Adil ketika itu adalah perwujudan dari harapan rakyat yang tertekan. Yang penting diingat lagi bahwa cerita yang disajikan tidak perlu secara tajam atau secara eksplisit mengemukakan bentuk-bentuk tindakan represif yang dilakukan pemerintah sekarang terhadap masyarakat sipil, sehingga dapat menimbulkan perasaan anti pemerintah, atau mengkaitkannya dengan persoalan-persoalan yang bersifat politik praktis. Tetapi lebih menekankan kepada membangun nilai-nilai universal seperti toleransi, keadilan, pluralisme,atau keberagaman, perjuangan menegakkan HAM, kesetaraan gender dan kesadaran pemeliharaan ekologi. Dan yang lebih penting lagi tidak menjadi beban tambahan bagi guru tetapi lebih kepada pemberian pengayaan terhadap bahan ajar sejarah.

D. Kesimpulan

Jika pembelajaran sejarah tidak dapat dilepaskan dari berbagai keadaan dan masalah yang terjadi di masyarakat, maka peristiwa-peristiwa sejarah dapat diberikan pemaknaan yang ada relevansinya dengan 16

kehidupan yang akan dihadapi peserta didik ketika mereka terjun ke masyarakat. Bahwa materi pembelajaran yang diberikan sisipan tentang nilai-nilai hak asasi manusia, yang paling mendasar bertujuan agar peserta didik dapat mengenali konsep-konsep dasar tentang hak-hak asasi manusia yang dikembangkan melalui peristiwa sejarah, sehingga mereka dapat mengambil nilai-nilai yang positif untuk diteladani. Apakah semua ini nantinya tidak bertentangan dengan kurikulum sejarah yang berlaku saat ini? Tentu saja tidak, karena jika kembali kepada tujuan pendidikan sejarah, sangat memungkinkan terjadinya pengembangan kurikulum yang terintegrasi (integrated curriculum) yang sesuai dengan anjuran pengembangan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Ini didukung pula oleh apa yang tercantum dalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 37 ayat (1) dan penjelasannya, yang mengatakan bahwa pendidikan sejarah adalah bagian dari ilmu pengetahuan sosial (IPS). Bahan kajian IPS dimaksudkan untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman dan kemampuan analisis peserta didik terhadap kondisi sosial masyarakat. Sehingga melalui peran aktif guru dalam membelajarkan sejarah dengan menyisipkan nilai-nilai pemahaman HAM dasar, diharapkan, bahwa generasi muda di masa yang akan datang dapat menyelesaikan dengan baik semua masalah yang terkait dengan pelanggaran HAM dengan didasari oleh sikap jujur dan adil. Dengan demikian di masa yang akan datang tidak lagi terjadi sebuah memoria pasionis (kenangan duka) bagi rakyat yang telah menjadi korban.

Daftar Pustaka Alkatiri, Zeffry. Belajar Memahami HAM. Jakarta: Ruas 2010 Bahar, Saafroedin dkk (penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945-22 Agustus 1945. Jakarta: Sekretariat Negara,1995 Kartodirdjo,Sartono. Pengantar Sejarah Indonesia Jilid 1. Jakarta: Gramedia,1990 S.Hamid Hasan, Pendidikan Sejarah: Kemana Dan Bagaimana ? Makalah: yang disajikan pada seminar AGSI, Jakarta 6 Maret 2010 ----------------, Kurikulum Pendidikan Sejarah Berbasis Kompetensi. Makalah yang disajikan pada Seminar Pendidikan Sejarah di UPI. Bandung 2007 Sandyawan Sumardi, Kajian Filisofis Perjalanan Sejarah Hak Asasi Manusia, makalah yang disajikan pada seminar AGSI. Malang,2009

PENDIDIK BERWAWASAN HAK ANAK 1 Oleh : Suparman

Pasal 14 Ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalannya guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundangundangan. Pasal ini pernah menuai kontroversi ketika dalam draft RUU-nya pernah dimuat hak imunitas guru yang dilekatkan pada hak pemberian sanksi tersebut. Sebagai orang yang terlibat langsung sejak awal dirumuskannya RUU Guru, saya menyampaikan protes karena saya nilai hak imunitas dapat dimanfaatkan secara salah untuk meneguhkan sistem pendidikan yang selama ini sering menuai kritik karena masih gencarnya tindak kekerasan di sekolah, baik yang dilakukan oleh sesama murid, masyarakat/orang tua terhadap murid, termasuk guru terhadap anak didiknya sendiri. Sampai saat ini saya pun tidak tahu siapa pihak yang mengusulkan hak imunitas tersebut. Untungnya usulan hak imunitas tersebut kemudian dihapus dan hak untuk memberi sanksi pun akhirnya dibatasi dengan ketentuan harus sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturanperundang-undangan. Seiring dengan perubahan paradigma pembelajaran dari pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered) menjadi berpusat pada anak (student centered) maka idealnya setiap kegiatan pembelajaran sudah didasari oleh pemahaman yang utuh tentang pentingnya hak anak (pembelajaran berwawasan hak anak). Paradigma pembelajaran ini tentunya sejalan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA). Pasal 2 UUPA menyebutkan bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Pasal ini tentu mengasumsikan

bahwa tindakan yang membelakangkan kepentingan terbaik anak, termasuk adanya tindak kekerasan terhadap anak bukan hanya dapat dilakukan oleh orang-perorang tetapi juga dapat dilakukan oleh lembaga yang disebut Negara. Kasus ujian nasional dapat menjadi contoh karena telah dinyatakan melanggar hak anak oleh pengadilan. Mencermati pasal 54 UUPA yang menyebutkan bahwa Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya, maka pembicaraan tentang batasan kekerasan guru terhadap anak didik menjadi tidak tepat lagi. Karena dalam konteks UUPA tidak boleh ada ruang sedikit pun bagi guru untuk melakukan tindak kekerasan dengan alasan apapun. Sebab dalam penjelasan pasal 13 UUPA tindak kekerasan dimaknai sebagai perbuatan melukai dan/ atau mencederai anak, dan tidak semata-mata fisik, tetapi juga mental dan sosial. Jadi jika dikaitkan dengan hak guru untuk memberikan sanksi kepada anak didik sebagaimana diberikan UU Guru, maka hak tersebut tidak boleh sampai melukai dan/ atau mencederai anak baik fisik, mental maupun sosialnya. Jika anak merasa terasing dan terdiskriminasi dari lingkungannnya akibat sanksi yang diberikan oleh guru maka hal itu dapat dimaknai sebagai tindak kekerasan mental dan sosial anak.

1

Zuhro,Siti R. Demokrasi Lokal, Perubahan dan Kesinambungan Nilai-Nilai Budaya Politik Lokal. Yogyakata: Ombak, 2008 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar Nasional “Mengkaji Batasan Kekerasan Guru terhadap Anak Didik dalam Tinjauan UndangUndang Perlindungan Anak “, diselenggarakan oleh Forum Idekita FIP Universitas Negeri Jakarta, 21 Februari 2010 Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

17


Untuk mewujudkan pendidikan yang berwawasan hak anak, maka berbagai langkah perlu ditempuh. Pertama, perubahan paradigma pembelajaran harus terus dilakukan melalui berbagai pelatihan untuk guru. Selain pelatihan yang terkait dengan pengembangan metodik-didaktik, penting bagi guru untuk memperoleh pelatihan hukum dan HAM agar guru memperoleh pemahaman yang utuh tentang hak anak dan HAM, peraturan perundangundangan yang terkait langsung/ tidak langsung dengan profesinya, sekaligus memahami hak-haknya sebagai pekerja profesi. Dengan pelatihan-pelatihan ini guru dapat mensinergikan antara hak dengan kewajibannya sebagaimana termuat dalam UU Guru pasal 20 yang salah satunya mewajibkan guru untuk: “bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru‌â€?. Pasal ini mengajak guru untuk melihat anak sebagai subyek yang unik, yang berbeda satu dengan lainnya. Oleh karena itu dalam menerapkan metode dan sumber belajar harus berbasiskan pada keragaman anak. Itu berarti harus menerapkan sumber balajar yang beragam pula untuk anak yang beragam. Kedua, faktor eksternal yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja guru seperti kesejahteraan yang tidak memadai, beban kerja yang terlalu berat, rasio kelas yang terlalu padat, sarana prasarana pendidikan yang minim mesti menjadi perhatian pemerintah/ pemerintah daerah untuk diperbaiki setiap saat. Kebijakan makro pendidikan yang masih sentralistik yang menuntut kewajiban anak dan guru untuk memenuhi target-target politik kekuasaan pemerintah/ pemerintah daerah sudah semestinya dikaji ulang. Kebijakan makro ini tentu berdampak pada kebijakan mikro yang menjadi turunannya di sekolah-sekolah. Peraturan-peraturan disiplin yang lebih mengutamakan kepentingan sekolah/ guru tanpa melibatkan anak dan orangtua akan berpotensi menjadi bentuk kekerasan yang dilakukan oleh lembaga sekolah.

Anak. Karena profesi guru saat ini sudah terbuka bagi semua sarjana maka kedua mata kuliah tersebut menjadi wajib diajarkan pada program-program pendidikan profesi guru. Karena kita ketahui sarjana-sarjana lulusan non-LPTK tentunya belum pernah memperoleh mata kuliah tersebut. Terkait dengan hukuman fisik dalam dunia pendidikan, buku Hak Atas Pendidikan yang diterbitban oleh Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO (terjemahan oleh Depdiknas) menggariskan bahwa metode-metode mengajar yang menggunakan hukuman fisik sebagai motivasi ternyata tidak cocok dengan tujuan inti pendidikan. Karena itu, proses mengeluarkan hukuman fisik dari undang-undang yang mulai tahun 1990-an menggiring kepada perubahan-perubahan di seluruh dunia. Sejumlah negara yang secara hukum telah melarang hukuman fisik di sekolah, menggambarkan betapa cepat proses perubahan ini terjadi di semua wilayah di dunia. Negara-negara tersebut antara lain : Afrika Selatan, Albania, Andora, Armenia, Austria, Azerbaijan, Bahrain, Belanda, Belarus, Belgia, Bosnia dan Herzegovina, Bulgaria, Burkina Faso, Cina, Siprus, Denmark, El Salvador, Erithria, Estonia, Ethiopia, Filipina, Fiji, Finlandia, Georgia, Jerman, Guinea Bissau, Honduras, Hongkong, Hongaria, Indonesia, Inggris, Iran, Irak, Irlandia, Islandia, Israel, Italia, Jepang, Kamerun, Kazakhstan, Kenya, Kolumbia, Kongo, Kosta Rika, Kroasia, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxemburg, Macedonia, Malawi, Maladewa, Malta, Mauritius, Mesir, Moldova, Monaco, Mongolia, Namibia, Norwegia, Oman, Perancis, Polandia, Portugal, Qatar, Republik Cheko, Republik Dominika, Republik Korea, Rusia, Samoa, San Marino, Selandia Baru, Serbia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Sri Lanka, Suriname, Swedia, Switzerland, Taiwan, Thailand, Trinidad dan Tobago, Turki, Uganda, Ukraina, Uzbakistan, Yunani, Zambia, Zimbabwe (www. endcorporalpunishment.org, January 2003).

Ketiga, organisasi-organisasi profesi guru mempunyai kewajiban untuk melakukan perubahan paradigma berpikir guru dengan berbagai pelatihan guru agar para anggotanya lebih professional dalam arti yang sesungguhnya, bukan sekedar memperoleh sertifikat pendidik. Ada baiknya setiap organisasi guru juga mengeluarkan panduan ringkas tentang pembelajaran yang berperspektif anak. Keempat, kurikulum di LPTK selain memuat mata kuliah wajib yang mengajarkan paradigma baru pembelajaran kepada mahasiswa yang di dalamnya memuat pengenalan dan pemahaman hak-hak anak dengan bacaan utama UUPA dan Konvensi Hak 18

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

19


yang berguna baik di sekolah maupun di luar sekolah.

DEDI SAMBAS GURU “ PINGGIRAN “ YANG INOVATIF

Pada edisi ketiga, profil guru sejarah inovatif yang kita tampilkan adalah seorang Guru yang menyebut dirinya “Orang Pinggiran“. Mungkin orang pinggiran yang dimaksud guru muda yang aktivitasnya luar biasa ini, adalah karena ia mengajar di salah satu SMA di ujung Barat Pulau Jawa, tepatnya di SMAN 3 Rangkasbitung. Drs. Dedi Sambas, M.MPd, dengan Pangkat Pembina Tk I (IV.B) ini, memulai karier gurunya sejak 1993. Beliau pernah mengajar bermacam-macam mata pelajaran, karena pada masa itu katanya, di Rangkasbitung masih banyak kekurangan guru. Sarjana Pendidikan Sejarah lulusan UPI tahun 1991 dan berkesempatan meraih gelar S2 Managemen Pendidikan dari Sekolah Tinggi IMNI tahun 2008 ini, pernah mengajar Biologi, PPKn, Ekonomi, Sosiologi, Tatanegara dan Bahasa Inggris. Baru lima tahun terahir ini saja beliau benar-benar jadi guru sejarah. Selain menebar ilmu sejarah, beliau juga seorang wakil kepala sekolah di SMAN 3 Rangkasbitung, fasilitator/ instruktur sejarah, admin tetap situs www.pensa-sb.info dan www.pgrilebak.org, penilai angka kredit guru Kabupaten Lebak, tim pengembang kurikulum Propinsi Banten dan dosen di STKIP Setyabudi, Rangkasbitung. Di sela-sela kesibukanya, bapak guru yang kalau berbicara lugas tegas dan jernih ini, senang sekali menghadiri seminar, workshop, simposium, diskusi publik. Mengapa? “Pokoknya yang berkaitan dengan menambah ilmu, aku sangat-sangat suka karena guru itu harus belajar dan belajar terus..... Apalagi kalau kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh AGSI dan ISSI, pasti aku sempet-sempetin. Ya…., selain silaturahmi dengan teman-teman sejawat guru sejarah, di situ kan aku bisa ketemu dengan orang-orang yang memiliki idealisme kesejarahan yang tinggi“, demikian penjelasannya. Lebih lanjut, secara bijak, lelaki kelahiran Garut tanggal 26 Oktober 1968 ini mengatakan, “Adakalanya, hidup ini harus melihat lingkungan sekitar dalam rangka menakar posisi dan kemampuan kita sehingga dapat menilai kualitas kita dan memotivasi kita untuk terus maju “. Mempelajari sejarah, menurut guru berprestasi kabupaten Lebak tahun 2008 ini, sangatlah penting bagi siapa saja. Karena, dalam sejarah perjalanan umat manusia, banyak sekali pelajaran yang dapat kita ambil dan kita sikapi dengan arif dan bijaksana. Terlebih lagi, kita sebagai pelaku sejarah, walaupun dalam konteks waktu dan tempat yang 20

berbeda. Kemampuan kita dalam memahami dan mengkaji setiap gejala dalam peristiwa sejarah merupakan prestasi tersendiri karena hal tersebut akan berpengaruh pada penempatan diri di leading position. Apa yang telah dilakukan dan apa yang telah diraih oleh manusia dalam perjalalan sejarahnya tentu berdasar pada kemampuan memahami setiap keadaan yang ada di sekitarnya dan juga kemampuan memanipulasi keadaan. Kedua hal itu merupakan realisasi dari kemampuan berfikir agar dalam kehidupan kita tetap survive. Sejarah telah memberikan bukti bahwa ada banyak pelaku sejarah yang memiliki kemampuan dalam mengkaji, memahami, dan memanipulasi setiap keadaan yang ada untuk kemakmuran dan kesejahteraan kita. Kita bisa belajar dari bagaimana kerajan Sriwijaya yang berkembang menjadi sebuah kerajaan maritim yang makmur. Kita bisa belajar dari kerajaan Majapahit, dimana dalam waktu yang relatif singkat menjadi kerajaan yang memiliki wilayah yang sangat luas. Kita juga bisa belajar dari Kerajaan Banten, dengan kemampuan memanipulasi kondisi geografis mampu menjadi kerajaan yang disegani di Nusantara. Dalam perjalanan sejarah, keberhasilan manusia dalam meraih prestasi yang berujung pada kemakmuran dan kesejahteraan bukan perkara gampang seperti membalikkan tangan. Kita harus dapat menyelami bagaimana pelaku sejarah itu mampu mempelajari, memahami, dan memberdayagunakan setiap potensi yang dimiliki dalam mendukung setiap rencana yang telah ditetapkan. Kemudian, mengarahkan potensi sumberdaya berdasar pada hasil analisa kemampuan sumberdaya tersebut akan mampu mengoptimalkan pencapaian tujuan. Di dalam menjalankan tugas sehari-hari sebagai guru sejarah, guru yang senang mengunjungi dan mendokumentasikan objek-objek sejarah ini berprinsip bahwa kegiatan pembelajaran sejarah yang dilaksanakan oleh guru di kelas harus menarik. Tujuanya, agar siswa menjadi tertarik untuk belajar. Jika siswa sudah tertarik dengan pembelajaran yang kita adakan, maka tujuan pembelajaran akan mudah dapat dicapai. Kiat-kiat guru sejarah agar siswa tertarik belajar sejarah menurutnya dapat disimak dari pendapat Schneider (Ed) (1994) sebagai berikut:

1. Bahan pelajaran hendaknya menyajikan pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan sikap Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

2. Proses pembelajaran menawarkan gagasan- gagasan yang penting melalui topik-topik yang terpilih untuk membangun pemahaman, apresiasi peserta didik, dan aplikatif dalam kehidupan nyata.

3. Signifikansi dan kebermaknaan dari isi materi sejarah yang disajikan oleh guru dan diraih oleh peserta didik, tergantung dari cara penyajiannya dan perkembangannya melalui berbagai kegiatan.

4. Guru melalui refleksi membuat perencanaan, melaksanakan, dan mengevaluasi keberhasilan proses belajar mengajar untuk kemudian merubah, memodifikasi, merenovasi demi kebutuhan.

5. Proses pembelajaran harus memberikan tantangan bagi peserta didik dengan mengajak mereka berpikir, mengemukakan pendapat, menyusun argumen yang bernalar.

Berangkatlah dari pemikiran klasik tentang sejarah ”No document, no history”. Cobalah terapkan pemikiran itu dalam pembelajaran sejarah. Metode apa pun yang disajikan oleh guru dalam pembelajaran sejarah akan kurang memiliki kedalaman makna, jika guru tersebut tidak mengalaminya. Yang dimaksud mengalami di sini tentu sangat luas. Guru tersebut bisa saja memahami apa yang terdapat dalam buku-buku sejarah, atau guru tersebut pernah berkunjung ke situs-situs atau tempat-tempat bersejarah yang ada lalu mendokumentasikannya. Dalam dokumentasi tersebut, guru ada di bagian latarnya. Bagi peserta didik, hal ini akan memiliki makna tersendiri saat guru menggunakan power point atau program aplikasi lainnya, laptop, dan in focus. Peserta didik kemudian diajak membahas pengalaman guru saat di lapangan (seperti dalam presentasi dokumen). Selanjutnya, tinggalah kemampuan guru untuk mengaitkanya dengan materi yang sedang diajarkan.

6. Guru menyusun strategi yang membawa peserta didik aktif berpartisifasi, dan mengurangi cara-cara penyampaian yang selalu menerangkan atau memberikan informasi, dan karenanya memberikan peranan pasif kepada peserta didik, dengan mendorong mereka lebih mandiri dan secara bertahap mengurangi ketergantungan kepada peran guru sebagai sumber informasi, dengan melakukan inkuiri sendiri.

7. Pendidikan nilai melalui sejarah perlu dilakukan untuk mengembangkan etika dan kehalusan rasa peserta didik melalui latihan membahas kontroversi, agar mereka mulai belajar berpikir reflektif di dalam menanamkan kepedulian terhadap kesejahteraan bersama dengan mengaplikasikan nilai-nilai sosial yang mereka pelajari. 8. Pembelajaran nilai ini melatih mereka berpikir kritis dan mengambil keputusan berdasarkan nilai-nilai yang telah mereka pahami dan miliki (value-based decision), melatih mereka menghormati pendapat orang lain, menghormati adanya perbedaan dan keragaman budaya, serta belajar memikul tanggung jawab sosial.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka alangkah bijaknya seorang guru apabila berbicara tentang A, maka siswa harus sudah bisa membayangkan tentang A. Apabila guru berbicara tentang Borobudur, maka ditangan guru sudah memegang gambar atau miniatur Borobudur. Apabila guru membicarakan tentang Proklamasi kemerdekaan, maka sajikan audio visual tentang proklamasi. Saat guru berbicara tentang perundingan-perundingan IndonesiaBelanda, maka sajikanlah audio visual tentang hal tersebut. Kemudian, berikan kesempatan kepada siswa untuk mengomentari apa yang mereka lihat dan dengar. Dengan cara ini, akan menorehkan kesan khusus bagi siswa dalam pembelajaran sejarah.

Contoh: Saat kita berbicara masa pra sejarah, maka kita berikan visualisasi yang berhubungan dengan pra sejarah

Saat kita berbicara mengenai kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia, maka visualisasikan gambar yang berkaitan dengan hal tersebut. Pembelajaran sejarah dengan model demikian akan sangat berarti bagi guru dan siswanya. Dari visualisasi gambar tersebut, menggambarkan bahwa guru pernah mengalaminya sehingga ada kesan faktual, tidak fiktif pada diri siswa. Bukankah dalam benak kita mungkin masih ingat kejadiankejadian waktu masih SD, SMP, atau yang masih diingat, di antaranya kejadian yang berkesan.

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011 21

21


Jadi, intinya bagaimana pembelajaran sejarah bisa meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa dengan menciptakan pembelajaran sejarah yang memberikan kesan. Sebab, sesuatu yang berkesan akan selalu diingat.

KLINIK PEMBELAJARAN

Salam Harmonie In Cronica , Progressio In Educatia. Berikut adalah beberapa contoh perangkat power point yang digunakan beliau dalam mengajar:

Terakhir, Bapak yang sudah menyinggahi objekobjek sejarah di Jawa Barat, Jawa tengah, Jawa Timur bahkan sampai di luar Jawa ini, memperlihatkan dokumendokumen foto-foto koleksinya dan perangkat pembelajaran berbasis IT yang canggih dengan gambar-gambar dan visualisasi yang mempesona. “Membuat perangkat pembelajaran yang canggih itu tidak mahal, modalnya kita menguasai IT, mau kreatif dan inovatif�, katanya.

PENGANTAR Pembaca jurnal AGSI yth, Pada penerbitan jurnal edisi ke tiga ini, tim redaksi menambahkan sebuah rubrik baru yaitu Klinik Pembelajaran. Rubrik ini ditujukan kepada seluruh pembaca yang ingin berbagi atau bertanya tentang segala sesuatu yang terkait dengan kegiatan pembelajaran secara umum, atau kegiatan pembelajaran sejarah secara khusus. Redaksi berharap rubrik ini dapat pembaca manfaatkan sebagai media pengembangan wawasan dan media bertukar pengalaman bagi para guru dalam usaha meningkatkan profesionalismenya. Pertanyaan : Pendidikan sejarah sering dikatakan diperlukan dalam kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perubahan, di masa yang akan datang pendidikan sejarah seperti apa yang perlu diajarkan dan bagaimana proses pembelajarannya?

Jawab : Menurut Said Hamid Hasan, memiliki kesadaran sejarah itu dalam arti, (1) memiliki kesadaran akan penting dan berharganya waktu untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, (2) kesadaran akan terjadinya perubahan secara terus menerus sepanjang kehidupan manusia dan lingkungannya (3) memiliki kemampuan mengidentifikasi nilai-nilai yang terkandung dalam suatu peristiwa sejarah (4) memiliki kemampuan untuk menjaring nilai-nilai yang terkandung di dalam sejarah, memilih dan mengembangkan nilai-nilai yang positif menjadi milik dirinya (5) memiliki kemampuan untuk mengambil teladan yang baik dari para pelaku dalam berbagai peristiwa sejarah dan (6) memiliki kemampuan untuk menyadari tidak akan mengulang lagi atau menghindari bahkan meniadakan hal-hal yang bersifat negatif dalam peristiwa sejarah. Pertanyaan : Langkah-langkah apa sajakah yang harus dipenuhi, ketika guru akan melakukan pengembangan kurikulum?

(Penanya ;abczxv, SMA xxxx, Solo)

(xxxxx, SMA mmmmn, Surabaya)

Jawab:

Jawab:

Secara ringkas Von Lue mengatakan bahwa, bentuk pembelajaran sejarah masa depan hendaknya mengacu kepada : (1) sejarah global, dengan pandangan sejarah yang bernalar, bukan sejarah yang menekankan hanya kepada sejarah nasional atau sejarah lokal, (2) sejarah yang berintikan kepada hubungan selaras sesama manusia dengan landasan saling mengasihi dan meyayangi serta memperkokoh rasa kesetiakawanan sosial antar umat manusia, (3) sejarah yang berperspektif ke masa depan dengan bertolak dari peristiwa masa lampau.

Seperti apa yang dikemukakan oleh Tyler, ada empat langkah yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan kurikulum. Keempat langkah itu meliputi: (1) merumuskan tujuan pendidikan; (2) menyusun pengalaman belajar; (3) mengelola pengalaman belajar; dan (4) menilai pembelajaran. Yang dimaksud dengan tujuan pendidikan meliputi tujuan nasional, institusional dan tujuan dari pembelajaran itu sendiri baik secara umum dan secara khusus. Pengalaman belajar perlu disusun untuk dijadikan arah bagi guru tentang rincian kegiatan pembelajaran yang harus dilaksanakan dengan beberapa kriteria, seperti validitas, kelayakan, pengembangan cara berpikir rasional, optimal dalam mengembangkan pengetahuan dan lain-lain, dan menentukan materi pembelajaran. Sedangkan dalam pengelolaan pengalaman pembelajaran diuraikan di dalam desain pembelajaran, dan menilai pembelajaran merupakan suatu proses pengumpulan, pelaporan dan penggunaan informasi hasil belajar peserta didik.

Pertanyaan Dalam beberapa seminar yang pernah saya hadiri, para pakar, atau sejarawan sering menyebutkan bahwa pendidikan sejarah antara lain memiliki kesadaran sejarah, sebenarnya apa yang dimaksud dengan kesadaran sejarah itu? (Penanya :yyyyyy, MAN dddd, Banten)

Catatan: redaksi berhak untuk menolak dan tidak memuat pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada relevansinya dengan tujuan rubrik, tanpa pemberitahuan. 22

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

23


language(bahasa), dan ini berlaku pada bidang studi apapun. Mind, body dan language adalah dasar dalam pengembangan NLP, dalam proses pembelajaran guru seharusnya menggabungkan ketiga hal tersebut dalam rangka lebih memahami tingkah laku, dan pola berpikir setiap peserta didik.

HALLLO EDUCATORS By Nani Asri Setyani

Dr. Puchta menjelaskan NLP bukanlah sebuah metode mengajar atau alat yang berfungsi untuk manipulasi manusia, melainkan NLP dapat membantu guru untuk mencapai hasil pembelajaran yang lebih maksimal. Bagaimana NLP dapat menjembatani proses belajar mengajar di kelas, apa yang bisa dilakukan guru untuk memotivasi pembelajaran di kelas, agar tujuan pembelajaran berjalan dengan baik, pertanyaan tersebut terlintas di benak saya ketika Dr. Puchta memberikan penjelasannya. Menurut beliau, NLP membantu guru dalam :

Hallo Educators..... Jika saya menuliskan kalimat di atas bukan tanpa maksud lho....hehehe, kalimat di atas adalah kalimat pembuka ketika saya menghadiri Cambridge Day 2011 di hotel Ciputra Jakarta 26 Februari lalu. Sebuah acara gathering dan workshop training bagi guru-guru dalam rangka peningkatan kemampuan mereka di dalam proses pembelajaran. Acara ini merupakan kerjasama antara Mentari books Indonesia dengan Cambridge University Press, menghadirkan sekitar 500 guru dari jakarta, Tangerang, Cilegon, Bandung, dan Lampung. Dalam acara ini ada 3 pembicara yang menyampaikan berbagai teori dan pandangannya tentang proses pembelajaran di kelas, yaitu Dr. Herbert Puchta, Ms. Uyen Pham dan Mr. Stuart Vinnie. Sebenarnya acara ini khusus diadakan bagi guru-guru pengajar Bahasa Inggris, tapi karena rasa ingin tahu yang besar akhirnya saya menghadiri acara tersebut ( sssssttt...nggak ada yang tahu lho kalo saya guru sejarah.... hehehe). Setelah registrasi peserta, acara dimulai tepat jam 09.00 WIB, pembicara pertama adalah Dr. Herbert Puchta. Beliau adalah penulis buku “ English in Mind “, judul presentasi beliau adalah “ Energising Your Student Through NLP (Neuro Linguistic Programming) “ atau Memberi semangat kepada siswa dalam pembelajaran melalui NLP. NLP adalah sebuah analisis yang berhubungan dengan pola tingkah laku, kemampuan berpikir dan bagaimana manusia berkomunikasi di berbagai situasi dengan baik.

1. Lebih memahami sistem alami dari komunikasi antar manusia.

2. Memberikan pemahaman mendalam terkait bagaimana membantu siswa untuk belajar dan mengingat secara efektif.

3. Bagaimana mengembangkan strategi pembelajaran. 4. Bagaimana gaya dan cara mengajar guru. Beberapa prinsip dasar dalam NLP antara lain : • Dalam melakukan pemetaan terhadap kemampuan setiap siswa, guru selalu mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan pengalaman, keyakinan, budaya, bahasa dan ketertarikan siswa, semua itu menjadi filter dalam mengembangkan nilai-nilai yang kita gunakan untuk berkreasi dalam proses pembelajaran. • Setiap siswa telah memiliki segala hal yang mereka butuhkan untuk mengantarkan mereka menuju kesuksesan di masa datang, di sinilah tugas penting kita sebagai guru untuk menggali seluruh potensi tsb. • Pembelajaran adalah sebuah struktur yang dapat kita gunakan serta dapat kita kembangkan melalui berbagai strategi untuk mencapai sukses. • Guru dapat menjadikan NLP sebagai cara/ alat untuk memotivasi dan menumbuhkan keberanian mereka agar terbiasa mengemukakan pendapat atau opini sekalipun pendapat atau opini mereka terkadang sedikit ekstrim.

Bagaimanapun juga proses pembelajaran adalah sebuah proses sistemik yang di dalamnya mengkaitkan mind(otak), body(tubuh) dan

• Mengajar ketelitian dan kronologis kepada siswa untuk senantiasa membuat catatan setiap materi, opini atau pendapat baik dari sesama siswa atau guru.

1 Guru Sejarah SMA Negeri Unggulan MH.

Thamrin Jakarta

24

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

• Mengubah persepsi siswa tentang halhal yang selama ini menjadi pegangan mereka selama bertahun-tahun dengan kata lain membangun persepsi mereka terhadap sebuah persoalan dengan lebih adil dan bermakna. Setelah menyampaikan berbagai opininya tentang NLP, Dr. Puchta mengajak kita semua untuk melakukan permainan yang disebutnya dengan “ The happiest moment in my life “ , atau saat paling bahagia di kehidupanku. Pertama, kita diminta untuk membuat gambar saat paling bahagia dalam hidup kita kemudian rekan di sebelah kita diminta untuk mengajukan pertanyaan yang berhubungan dengan obyek yang kita gambar dan dilakukan secara bergantian. Menurut beliau proses pembelajaran akan menyenangkan dan terfokus apabila seseorang terlebih dahulu dibawa atau diingatkan kepada hal-hal yang menyenangkan. Presentasi kedua diberikan oleh Ms. Uyen Pham, beliau adalah penanggung jawab pelaksanaan ujian ESOL/Cambridge untuk Asia Tenggara. Ms. Uyen Pham menjelaskan tentang “ Incorporating Exam Preparation into Large Classes “ atau menyiapkan materi ujian bagi kelas besar. Setiap sekolah biasanya memiliki jumlah siswa yang berbeda di tiap kelasnya, ada kelas yang hanya berisi 15 – 25 siswa atau bahkan ada yang berisi hingga 40 siswa tiap kelasnya. Biasanya kelas-kelas di SMA Negeri rata-rata berisi hingga 40 siswa. Selain mekanisme ujian yang harus menjadi bahan pertimbangan, kelas besar juga memiliki beberapa kendala diantaranya :

• Guru kesulitan mengontrol kelas karena jumlah siswa yang bayak di dalam kelas.

• Setiap siswa memiliki kemampuan kognitif dan gaya belajar berbeda.

• Setiap siswa memiliki motivasi yang berbeda dalam belajar.

• Berkaitan erat dengan penyusunan silabus sekolah. Untuk menyikapi kesulitan tersebut terutama menyiapkan bahan ujian, Ms. Pham mengemukakan beberapa hal yang menurutnya berkaitan erat dengan materi ujian bagi kelas besar, diantaranya :

• Apa yang harus dilakukan para siswa untuk mempersiapkan diri • Materi-materi apa saja yang akan di evaluasi

• Bagaimana Anda merencanakan evaluasi yang sesuai dengan aktivitas yang biasa dilakukan para siswa

• Bagaimana hal-hal yang seharusnya kita lakukan dapat diakomodir di dalam kelas yang besar

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

25


Mendengarkan penjelasan Ms. Pham, saya jadi diingatkan kembali tentang esensi pembuatan tes. Terkadang tanpa kita sadari, kita hanya terpaku untuk memberikan tes sesuai kebutuhan kita sebagai guru tanpa mengindahkan hak-hak mereka sebagai siswa. Sebagian besar dari kita hanya menekankan bagaimana memenuhi target kurikulum serta target-target penilaian, tanpa sedikit pun pernah berpikir sudahkah kita mengakomodir kebutuhan siswa berkaitan dengan evaluasi atau ujian yang kita buat. Bukankah siswa juga berhak mendapatkan kesempatan tes untuk mengakomodir kebutuhan afektif dan psikomotor tidak hanya kognitif semata. Di akhir penjelasan Ms. Pham, saya jadi merenung dan bertanya dalam hati “ Sudahkah soal-soal tes yang saya berikan mengakomodir hak dan keinginan siswa saya ? “ Sayangnya penjelasan Ms.Pham berlangsung singkat, sebenarnya masih banyak hal-hal yang ingin ditanyakan kepada beliau. Setelah makan siang, presentasi/pembicara ketiga adalah Mr. Stuart Vinnie, beliau menjelaskan tentang “ Readers and Reading : Inspiring Stories to Promote Learning” atau “Pembaca dan membaca : Bagaimana menyelenggarakan pembelajaran melalui cerita-cerita yang menginspirasi”.

Tak bisa dipungkiri bahwa proses pembelajaran berkaitan erat dengan aktivitas membaca, pada mata pelajaran apapun tidak hanya di kelas bahasa atau sejarah. Tugas kita sebagai guru adalah untuk memberikan motivasi kepada siswa agar mereka mau dan gemar membaca.

Guru dapat memberikan gambaran kepada siswa bagaimana siswa dapat melakukan aktivitas membaca secara intensif sehingga membaca menjadi sebuah kebutuhan. Dapat saja dengan memberikan berbagai pemahaman tentang membaca, misalnya :

Mr.Vinnie mengemukakan idenya melalui cerita-cerita yang dapat menginspirasi seorang anak akan tertantang untuk mau membaca. Saya teringat dengan aktivitas budaya baca yang dilakukan teman saya di SMAN Unggulan MH. Thamrin, Ibu Helmi dan Pak Joko (teman saya di MHT) mewajibkan para siswa untuk membaca buku “ Bumi Manusia “ karangan Pramudya Ananta Toer serta mempresentasikan isi bacaan secara berkelompok. Bahkan ada diantara para siswa kemudian melakukan aktivitas role plays berdasarkan isi cerita dari buku “Bumi Manusia” tersebut.

• Membaca adalah kegiatan yang mudah untuk dilakukan.

Saya selalu mewajibkan para siswa untuk membaca buku sastra sejarah yang berhubungan dengan materi ajar saya. Misalnya mereka saya minta mereka untuk membaca buku “Oliver Twist” karya Charles Dickens sebelum kita membahas tentang Revolusi Industri atau membaca buku tentang “Panembahan Senopati” ketika kami akan memulai belajar tentang Mataram Islam. Menurut Mr. Stuart Vinnie ada 3 hal krusial bagi guru dalam rangka membangkitkan motivasi selama proses pembelajaran berlangsung, diantaranya adalah :

-

Biarkan Siswa secara konsisten untuk mengkritisi tugas-tugas mereka yang kita berikan.

-

Rangsang kemandirian mereka dan biarkan mereka melakukan sesuatu yang terbaik bagi mereka.

-

Biasakan memberi semangat kepada para siswa yang berhasil bekerjasama dan berkolaborasi dengan kelompoknya.

Aktivitas membaca bermanfaat besar tidak hanya dalam proses pembelajaran, membaca dapat pula merangsang aktivitas afektif dan psikomotor selain aktivitas kognitif tentunya, antara lain :

• Siswa dapat memilih buku jenis apapun untuk dibaca (tentu saja bukan buku porno.. hehehe)

• Siswa melakukan kegiatan membaca untuk memperoleh informasi, mencari makna filosofi atau untuk mendapatkan kesenangan.

• Membaca dapat dilakukan secara individual dan tidak menimbulkan suara. • Siswa dapat menjadikan guru sebagai role model.

Pada akhir paparannya Mr. Stuart Vinnie mengajak semua untuk mulai menjadikan membaca sebagai satu aktivitas wajib yang harus dilakukan siswa di kelas. Pada akhir sesi workshop kembali Dr. Herbert Puchta memaparkan presentasinya yaitu “Success with Teaching Teens” atau Sukses mengajar para remaja. Saya tertarik dengan kalimat pembuka yang beliau katakan yaitu “If you can teach teenagers, you can teach anyone” atau jika anda mampu mengajar remaja maka anda akan mampu mengajar siapapun. Bagi sebagian besar guru mengajar remaja memiliki tantangan tersendiri, karena menurut Dr. Puchta remaja memiliki karakteristik emosi yang naik turun. Terkadang mereka terlihat polos dan penurut namun seringkali mereka terlihat memberontak dan menentang. Menurut Dr. Puchta sukses mengajar para remaja itu lebih kurang tergantung kepada materi, tehnik mengajar, analisis bahasa dan hal lain yang di dalamnya berhubungan dengan aktivitas di kelas. Proses pembelajaran memerlukan pertautan emosi antara siswa dan guru, sebab tanpa hal tersebut maka tidak akan ada proses pembelajaran.

Wah begitu mendengarkan penjelasan Dr. Puchta, saya jadi tersadar dan mulai bertanya dalam hati, apakah siswa saya di kelas kerap melakukan hal-hal tersebut selama belajar dengan saya? Ketika seorang peserta mengajukan pertanyaan, halhal apa saja yang membuat seorang remaja labil dan merasa tidak nyaman ketika proses pembelajaran berlangsung, Dr. Puchta sambil berkelakar berkata singkat “Teacher need to join the teenage fan club”, atau dengan kata lain guru sebaiknya bergabung dengan kelompok para remaja. Bila kita cermati jawaban tersebut memiliki arti yang mendalam, yaitu betapa penting bagi para guru untuk memahami dan mengerti dunia mereka, mereka memerlukan dukungan, motivasi, cinta, keyakinan, kreativitas, toleransi, kesabaran, dan yang paling penting kemampuan untuk meyakinkan kepada mereka bahwa mereka adalah bagian dari masa depan bangsa dan negara. Para remaja biasanya memerlukan role model, idola atau bahkan super hero yang mereka anggap sebagai motivator agar mereka memiliki keberanian bertindak sesuai kata hati mereka. Bila kita sebagai guru tidak tanggap pada kebutuhan mereka alangkah sayangnya bila mereka kemudian memilih motivator yang salah yang mungkin saja bisa menjerumuskan mereka pada hal-hal yang tidak bermanfaat. Hari ini banyak sekali yang saya pelajari, semoga saya kembali mendapat kesempatan untuk mendengarkan segala informasi baru serta bergabung dengan kelompokkelompok profesional lain yang lebih menarik dan berkualitas. Tanpa terasa sudah pukul 16.45, saatnya harus pulang, walaupun ini hari sabtu yang seharusnya dihabiskan bersama keluarga, namun informasi yang saya terima hari ini benar-benar luar biasa, rasanya waktu saya kali ini benarbenar berkualitas. Setelah mengucapkan selamat berpisah, kami pun bergegas pulang.... sampai jumpa di lain waktu.... semoga kita dipertemukan kembali tahun depan...

• Merangsang daya imajinasi para siswa, sebab dapat saja mereka memiliki ending berbeda ketika mereka menafsirkan sebuah cerita. • Kemampuan berbicara menjadi lebih baik. • Ketrampilan menulis pun ikut terasah.

• Termotivasi untuk mendengarkan dan menghargai kisah/cerita siswa lain. • Keterampilan mengingat menjadi lebih baik.

26

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

27


TOPI DARI ”PANAMA” TANGGERANG

SAWAH LODOK SEBUAH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NTT

Di masa kolonial Belanda menguasai daerah Tangerang, terdapat home industry kerajian topi yang sempat menjadi idola warga Paris dan dikenal dengan sebutan topi ”Panama”. Namun siapa menyangka kalau topi yang banyak menarik perhatian orang saat dipamerkan di Brussel awal abad ke-20, ternyata dibuat oleh orang pribumi Tangerang?

Pernah dengar istilah sawah lodok? Model pembagian lahan persawahan agar keadilan bisa mewujud ini, banyak terdapat di daerah Nusa Tenggara Timur. Berdasarkan penelusuran beberapa foto koleksi KITLV , nampaknya keberadaan sawah lodok di Kabupaten Manggarai, NTT, sudah terbentuk sejak era kolonial. Pemetaan tanah sawah menurut adat Manggarai berbentuk sarang laba-laba yang berpusat dan dibagi lurus ke arah luar. Bagi masyarakat lokal, sistem lodok merupakan satu di antara mata rantai kehidupan yang langsung menyatu dengan kebudayaan setempat. Penyatuan ditunjukkan dengan sistem atau aturan khusus sebagai suatu kesepakatan antar seluruh komunitas di wilayah itu dalam upaya penyediaan lahan. Lodok adalah sebutan lokal untuk sistem pembagian tanah ulayat. Sawah lodok sering disebut juga dengan sawah ulayat atau sawah lingko. Tanah-tanah adat (lingko) dibagi kepada warga dengan sistem lodok. Pembagian dimulai dari teno di pusat lingko. Di pusat lingko inilah ditanam sebatang kayu yang disebut teno (berasal dari pohon teno). Teno merupakan pusat lingkaran tanah lingko yang selanjutnya disebut sebagai lodok (titik pusat). Dari teno ditarik garis batas lurus (jari-jari) yang disebut langang (batas tanah) sampai ke batas terluar tanah lingko yang disebut cicing. Dari sini lalu menghasilkan sawah dengan kenampakan yang sangat unik seperti sarang laba-laba. Masyarakat Manggarai membagi ukuran tanah berdasarkan moso (satu jari tangan) sebagai dasar pembagian awal. Besar-kecil moso relatif, tergantung pada 28

berapa jumlah warga yang akan menerima pembagian di lingko yang bersangkutan. Makin banyak warga yang akan menerima, makin kecil ukuran moso. Sebaliknya, makin sedikit jumlah penerima, makin besar ukuran moso. Ukuran moso yang dibagikan juga tergantung pada kedudukan seseorang dalam beo (kampung). Warga yang dianggap sebagai pemimpin (tu’a beo atau golo) atau tuan tanah (tua teno) biasanya mendapat moso wase (tiga jari). Ukuran ini tentu saja paling besar. Sementara itu, warga lain akan menerima moso biasa (satu jari) atau moso kina (satu setengah jari). Sawah Lodok juga memiliki kaitan erat dengan aspek hidrologis. Sebaran sawah lodok di dua kecamatan (Ruteng dan Lengkerembong) misalnya menempati jalur antar sungai. Sebagian lain berada di aliran sungai kecil. Ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat telah menggunakan prinsip tata kelola air. Selain itu, ekstraksi data arah aliran permukaan juga memberikan gambaran mengenai hubungan arah aliran pada pusat lodok dengan arah sentrifugal petak-petak sawah. Posisi Sawah lodok umumnya menempati lereng sangat datar sampai datar (kurang dari 8 derajat).

Topi tersebut dianyam dari bahan bambu dan pandan oleh pengrajin di Tangerang. Seorang pengusaha bernama Petit Jan, seorang Perancis, menghimpun topi dari para pengrajin dengan harga murah, kemudian mengekspornya ke luar Jawa. Karena kualitasnya yang tinggi topi Tangerang mampu menembus pasar dunia. Dengan label topi ”Panama”, harganya pun berubah jauh lebih mahal dibanding saat ia beli dari pengrajin. Selain ke Eropa, topi ini juga diekspor ke Amerika melalui pelabuhan Tanjung Priuk. Topi Tangerang juga diperdagangkan di dalam negeri oleh orang Tionghoa, sedangkan pemasaran ke luar negeri banyak dilakukan oleh pe¬dagang Eropa. Gambaran tingginya nilai ekonomi topi bambu dari Tangerang, ditunjukkan oleh angka-angka ekspor sebagai berikut. Tabel 5. Ekspor Topi dari Tangerang

Tahun

Jumlah

Kejayaan topi Tangerang baru berakhir sekitar tahun 1930 dan hingga kini tak mampu bangkit kembali. Kemunduran tersebut diawali dengan merosotnya eksport akibat adanya perubahan mode yang diminati pasar dunia dan saingan mode topi dari pengrajin di Amerika Selatan. Selain itu karena adanya krisis ekonomi tahun 1930 dimana menghantam eksport-import dunia. Sepotong cerita tentang topi “Panama” yang sempat menjadi idol warga Paris dan ternyata dari hasil jerih payah pengrajin Tangerang, nampaknya tetap berlanjut di era Industri. Model “tipu-muslihat” industri seperti itu, hingga kini pun tetap ada. Sejumlah produk bermerk diproduksi di Tangerang. Saat diekspor namanya berubah tanpa meninggalkan bekas-bekas jerih payah warga Tangerang

(Taat-ISSI). Sumber:

Brousson, H.C.C Clockener. 2007. Batavia Awal Abad 20. Jakarta: Masup Jakarta. Hal 72-74 Ekajati, Edi S. dkk. 2004. Sejarah Kabupaten Tangerang. Tangerang:.

Nilai Total Nilai Tiap Topi

1913

5.495.394 f

1.328.820

26 sen

1917

2.573.033 f

668.983

26 sen

1922

2.826.058 f

847.817

30 sen

1928

4.947.104 f 2.044.889

41 sen

1929

4.436.568 f

1.009.878

23 sen

1930

2.935.745 f

445.165

16 sen

1931

1.163.307 f

147.529

13 sen

Pemerintah Kabupaten Tangerang, hal 120.

(Indonesia. Arsip Nasional, 1980 : cxv dalam Ekajati, 2004: 120).

Fauzi-ISSI\ Sumber: http://kitlv.pictura-dp.nl

Foto Pengrajin Topi Tangerang

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=43970.

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

29


ORDE ZODER ORDER Oleh: Ade Munajat

Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998 Frans Husken dan Huub de Jonge (eds.) @ Verlag fur Entwicklungspolitik Saarbrucken GmbH, 2002 Judul Asli: VIOLENCE AND VENGEANCE Discontent and Conflict in New Order Indonesia viii + 254 halaman; 14,5 x 21 cm 1. Kekerasan di dalam negara 2. Orde Baru 3. Pembalasan dendam 4. Kekerasan di dalam masyarakat ISBN: 979-3381-05-1 Penerjemah: M. Imam Aziz Editor: Retno Suffatni Rancang sampul: Haitami eI-Jaid Ilustrasi sampul diolah dari lukisan Dadang Cristianto, “Kengerian Tak Terucapkan� (Bentara Budaya Jakarta 4-14 juli 2002) Setting/layout: Santo

Apakah guru sejarah dapat menjadi agen perdamaian (terutama) dalam situasi dunia yang sarat konflik dan tindak kekerasan?

Penerbit: LKiS Yogyakarta Salakan Baru No. I Sewon Bantul Jl. Parangtritis m. 4,4 Yogyakarta Telp. Faks.: (0274) 419924 e-mail: e1kisC indosat.net.id

Pertanyaan tersebut sangat menarik untuk dijawab mengingat sejarah (baca pelajaran sejarah) hampir tidak pernah meninggalkan untuk tidak mencantumkan konflik dan tindak kekerasan. Bahkan konflik dan kekerasan merupakan arus utama dalam historiografi dengan genre tertentu. Misalnya, sebuah buku yang dieditori oleh Frans Husken dan Hub de Jonge dengan titel Orde Zonder Order: Kekerasan dan Dendam di Indonesia 1965-1998. Buku ini semula berjudul VIOLENCE AND VENGEANCE: Discontent and Conflict in New Order Indonesia dengan copyright yang dimiliki oleh Verlag fur Entwicklungspoitik Saarbrucken GmbH, 2002. Sekarang buku ini (cetakan I pada Oktober 2003) diterbit dan terjemahkan oleh LKiS Yogyakarta. Ini adalah sungguh sebuah buku yang menghimpun peristiwa tindak kekerasan sepanjang pemerintahan Orde Baru. Telaah terhadap isi buku tersebut menohok nurani perdamaian sejarah Indonesia dimana Indonesia, tidak lagi memperoleh penggambaran sebagai bangsa syarat adab dan martabat. Dalam buku itu Indonesia bercorak sebagai negeri yang secara keseluruhan, pada abad-abad yang lalu, masa kolonial maupun setelah kemerdekaan diwarnai dengan kekerasan. Bahkan, kekerasan yang berlangsung sepanjang sejarah Indonesia itu, dalam berbagai spektrum, memiliki akar budaya yang bersumber dalam individuindividu, keluarga-keluarga, suku-suku, desa-desa, dan wilayah-wilayah (halaman 3). Tesis tersebut dapat ditelisik dalam keseluruhan isi buku yang dimulai dengan dua tulisan yang meneliti wacana dan praktik kekerasan. Kemudian kasus kekerasan di sebuah desa di Jawa dan mengaitkannya dengan bagaimana cara-cara kekerasan disahkan secara kultural, serta menyelidiki hubungan antara Negara, komunitas, dan kejahatan; dan menunjukkan di dalam kasus-kasus macam apa dan di bawah keadaan bagaimana para penduduk desa main hakim sendiri dan kapan mereka dipersiapkan untuk menyerahkan penyelesaian konflik dan tindakan-tindakan kriminal kepada Negara.

Selanjutnya, di bawah judul: Bermain dengan KataKata? Lelucon dan Permainan Kata-Kata sebagai Protes Politik di Indonesia diungkapkan mengenai lelucon sebagai tanggapan terhadap kekerasan dan juga ungkapan simbolik dari kekerasan. Tulisan berikutnya beralih pada penggunaan kekerasan secara tidak resmi oleh Negara Orde Baru melalui penyebaran tentara swasta. Setelah itu, berisi tulisan yang memusatkan pada bidang-bidang kemasyarakatan yang bertentangan, yakni ketertiban dan kerusuhan. Ditimpali oleh tulisan yang mengkonsentrasikan pada persoalan kekerasan dalam rumah tangga sebagai bentuk kekerasan yang nyaris dilupakan orang. Terakhir, dimuat uraian mengenai pembunuhan-pembunuhan di Bali 1965-1966 dengan menggunakan pendekatan historis dan budaya, ditambah tulisan akhir dengan judul: Lebih baik putih tulang daripada Putih Mata: Tindakan Menolong Diri Sendiri dengan Kekerasan dalam masyarakat Madura. Buku tersebut sesungguhnya merupakan hasil sejumlah peneliti yang terdiri dari Eldar Braten, Jean Luc Maurer, Nico G. Schulte Nordholt, Kess van Dijk, Rosalia Sciortino dan Ines Smyth, Stefan Eklof, serta Huub de Jonge sendiri. Dapat dibayangkan, apabila kekerasan telah tertanam dalam alam pikiran peserta didik sebagai sebuah rasa hayat sejarah maka kekerasan bukan hal mustahil akan menjadi sesuatu pilihan dalam keseluruhan resolusi konflik di masa depan. Apalagi kalau dipercayai bahwa gagasan yang mengemuka hari ini (baca: cara penyelesaian konflik dengan kekerasan) adalah hal yang akan mewujud di hari esok. Dengan demikian, tawuran pelajar, tawuran mahasiswa, dan tawuran yang berlangsung di gedung DPR sebagaimana dipertontonkan media massa elektronik akan menjadi tuntunan. Lalu, apakah guru sejarah dapat menjadi agen perdamaian (terutama) dalam situasi dunia yang sarat konflik dan tindak kekerasan? Saya kira ya, apabila guru sejarah selalu merefleksi diri, antisipatif terhadap segala hal yang akan mewujud di hari esok. Benarkah?

Cetakan I: Oktober 2003 Percetakan dan distribusi: LKiS Yogyakarta SaIakan Baru No. I Sewon Bantul JI. Parangtritis Km. 4,4 Yogyakarta TeIp./Fa ks .: (0274) 419924 e-mail: elkis@indosat.net.id

1

Peneliti sejarah di Komunitas Bambu. Alamat: Jln. Pala No. 4B Beji Timur Depok 16422. Telp/Fax: 021 77206987 HP. 081586622532.

30

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011

31


32

Jurnal Pendidikan Sejarah-AGSI// APRIL- MEI-JUNI 2011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.