PROGRAM FOOD ESTATE DALAM TINJAUAN KONFLIK PEMANFAATAN SDA DAN KONSERVASI LINGKUNGAN : LITERATURE REVIEW SHOFWAN HIDAYAT PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG ABSTRAK Pandemi Covid-19 berdampak terhadap semua dimensi termasuk ketersediaan pangan. Lembaga pangan dunia, Food and Agriculture Organisation (FAO), memberikan peringatan kepada seluruh negara bahwa terdapat potensi krisis pangan global akibat pandemi (FAO, 2020). Pemerintah Indonesia merespon hal tersebut dengan menguatkan program Food Estate yang telah menjadi Program Strategis Nasional. Pada tanggal 9 Juli 2020, Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto, untuk memimpin program ini dengan koordinasi berbagai kementarian lainnya. Salah satu strategi yang dijalankan adalah ekstensifikasi pertanian di luar pulau Jawa, untuk memperluas lahan pertanian dan meningkatkan produktivitas. Namun, terdapat beberapa dampak terhadap manusia dan alam. Maka dari itu, literature review ini akan membahas dampak program food estate terhadap konflik pemanfaatan SDA, serta konservasi lingkungan. Selain itu, akan dibahas pula manfaat dari program food estate ini sehingga dapat diambil kesimpulan dan saran yang berimbang. Literature review ini meninjau dan menganalisis beberapa jurnal yang berkaitan. Kata kunci : Pandemi, Food Estate, konflik pemanfaatan SDA, konservasi lingkungan A. Pendahuluan Ketahanan pangan selalu menjadi agenda penting tiap bangsa. Urgensitasnya ditunjukkan dengan sejarah yang membuktikan ketahanan pangan selalu menjadi faktor kelangsungan hidup suatu komunitas. Kelaparan besar yang terjadi di Athena mendorong gerakan sosial untuk meruntuhkan Republik tersebut (Burn, 1982). Selain itu, hal ini cukup membuktikan ketahanan pangan mempengaruhi kondisi multidimensi. Misalnya politik, keamanan, kesehatan, dan lainnya. Selain mempengaruhi kondisi multidimensi, ketahanan pangan juga dipengaruhi oleh kondisi multidimensi. Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi menjadi salah satu buktinya. Lembaga pangan dunia, FAO, mengatakan bahwa pandemi Covid-19 secara nyata mendisrupsi sektor pertanian. Lembaga ini memperingatkan negara di dunia untuk mewaspadai ancaman krisis pengan global. Maka dari itu, berbagai langkah diambil sejumlah negara untuk mempertahankan pangannya. Bagi Indonesia sendiri, ada atau tak ada pandemi ketahanan pangan senantiasa menjadi tantangan. Tingginya jumlah penduduk beserta peningkatannya menyebabkan kebutuhan akan pangan semakin tinggi. Di tambah lagi pandemi Covid19 menambah tantangan karena menyebabkan kerentanan akan krisis pangan semakin besar. Karena kepentingan tersebut, pemerintah semakin gencar melakukan program yang selama ini menjadi andalan untuk mempertahankan pangan Indonesia dalam jangka panjang. Program ini dinamakan food estate yang menjadi Proyek Strategis Nasional 2020-2024. Pada dasarnya, program food estate adalah konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi mencakup pertanian, 1
perkebunan, bahkan peternakan di suatu kawasan. Program food estate diharapkan berhasil mewujudkan ketahanan pangan dalam jangka panjang, terutama menyelamatkan Indonesia dari kemungkinan krisis pangan selama pandemi. Program yang menjadi Proyek Strategis Nasional semenjak tahun 2015 ini bahkan diharapkan mampu mewujudkan Indonesia menjadi lumbung pangan dunia. Selain itu, manfaat program food estate yang disampaikan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Pertanian antara lain, pengembangan usaha tani sekala luas oleh petani, terbukanya potensi ekspor pangan ke negara lain, terintegrasinya sistem sentra produksi, pengolahan dan perdagangan, dan harga pangan yang menjadi murah akibat produksi pangan melimpah. Masifnya program ini ditunjukan dengan banyaknya pihak yang terlibat. Presiden Joko Widodo menunjuk Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk memimpin pengembangan program strategis ini dengan kerjasama serta koordinasi dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementrian Pertanian (Kementan), Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Kementrian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Yang perlu diperhatikan adalah program ini tidak bisa dilakukan tanpa proses ekstensifikasi pertanian. Karena lahan di Pulau Jawa terbatas, maka proyek ini dilaksanakan di luar Pulau Jawa. Rencana awal proyek ini akan menggunakan lahan sebanyak 190 ribu hektar di Kalimantan Barat, 10 ribu hektar di Kalimantan Timur, 190 ribu hektar di Maluku, dan 1,9 juta hektar di Papua (Agam & Persada, 2017). Kepentingan yang semakin mendesak menyebabkan munculnya beberapa strategi. Salah satu strategi yang paling terlihat adalah upaya dibukanya lahan baru untuk program ini. Di Kalimantan Tengah sendiri, pada tahap awal setidaknya terdapat lahan 30.000 hektar, diperluas hingga dua tahun ke depan dengan penambahan 148.000 hektar. Di tempat yang sama, trauma terhadap kegagalan pembukaan lahan belum hilang, yaitu Proyek PLG (Pengembangan Lahan Gambut) pada era Presiden Soeharto. Akibatnya ekosistem gambur dan kawasan rawa menjadi rusak, dan jaringan tata air makro tidak berfungsi dengan baik (Didi, 2018). Penerbitan Peraturan Menteri LHK P.24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate, selain berpotensi merusak lingkungan juga dianggap merugikan kelompok masyarakat adat di Papua. Aliansi yang dinamakan Koalisi Masyarakat Sipil Total Food Estate di Papua telah mengeluarkan siara pers untuk menolah program ini. Dari kedua contoh dapat terlihat program Food Estate memiliki potensi menyebabkan masalah konservasi lingkungan serta konflik pemanfaatan sumber daya alam. Maka dari itu, literature review ini akan membahas dampak foodestate dari dua cakupan permasalahan, yaitu konservasi lingkungan dan konflik pemanfaatan sumber daya alam. B. Metode Metode yang digunakan adalah literatur review. Menurut Hasibuan, Zainal A. (2007), Literature review berisi uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian. Uraian dalam literature review ini diarahkan untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas tentang pemecahan masalah yang sudah diuraikan dalam sebelumnya pada perumusan masalah. Pencarian literatur dilakukan menggunakan situs Google Scholar. Pada tahap 2
awal pencarian menggunakan kata kunci “food estate” didapatkan 634 hasil. Dari hasil tersebut diambil 3 jurnal yang paling sesuai dengan topik literature review ini. Diantaranya : 1. Percepatan Pengembangan Food Estate Untuk Meningkatkan Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Nasional (Edi, 2014). 2. Modernisasi Tanpa Pembangunan Dalam Proyek Food Estate Di Bulungan Dan Merauke (Kamin, 2019). 3. Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional Pada Era Pandemi Covid-19 (Alfin, 2020). Selain itu, ketiga jurnal tersebut dielaborasikan dengan artikel yang ditemukan di internet. Sehingga uraian menjadi lebih komperhensif. C. Hasil Hasil yang didapatkan dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu manfaat program food estate, teori mengenai konservasi lingkungan, teori mengenai konflik pemanfaatan SDA, food estate dan konservasi lingkungan, serta food estate dan konflik pemanfaatan SDA. D. Pembahasan i) Manfaat Program Food Estate Sejarah menunjukan pandemi sangat mempengaruhi sektor pangan. Kelaparan kerap kali menjadi akibat lanjutan dari bencana ini. Kematian akibat wabah menyebabkan tenaga kerja, termasuk sektor pertanian berkurang drastis dan mengakibatkan banyak lahan tak terurus (Hays, 2005, hlm.239). Misalnya, ketika wabah tipes melanda Kepulauan Britania antara tahun 1843 hingga 1850 dan mengakibatkan berkurangnya dua juta penduduk Irlandia. Tidak adanya sekuritisasi terhadap ketahanan pangan membuat beberapa negara lainnya mengalami kasus serupa imbas bencana pandemi. Walaupun teknologi semakin berkembang, pandemi Covid-19 juga berpeluang menyebabkan ancaman yang sama. Pandemi menimbulkan “efek domino” dalam rantai suplai pangan dunia (Schmidhuber, 2020). Efek domino ini diawali dengan negara penyuplai pangan yang harus melakukan lockdown, sehingga terjadi perlambatan ekonomi. Akibatnya industri pangan dan pertanian juga ikut terganggu (FAO, 2020). Atas dasar ini serta pendapatan per kapita yang rendah, impor pangan menjadi kebijakan yang tidak tepat. Maka dari itu, pengembangan agrikultur dalam negeri menjadi alternatif solusi untuk meredam dampak krisis pangan global. Didukung oleh dominasi lapangan pekerjaan pada sektor aglikultur di Indonesia yang telah mencapai 27,33 persen di Indonesia (Menkominfo, 2019). Sehingga, program food estate memiliki manfaat utama untuk meningkatkan ketahanan pangan. Manfaat lainnya adalah dengan dibukanya lahan pertanian yang memadai, hasil pangan ini dapat dikonsumsi masyarakat setempat bahkan memberikan manfaat bagi petani lokal. Apabila program ini berkembang dengan baik, dapat menjadi dorongan bagi sektor produksi maupun konsumsi nasional. Akibatnya terbuka lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan terwujud keadilan sosial-ekonomi (Internasional Labour Organization, 2008) 3
Manfaat jangka panjang dari pengembangan food estate ini adalah dapat mengurangi angka kemiskinan nasional. Karena, pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh sektor pertanian lebih efektif dibanding sektor konstruksi dan manufaktur (Loayza and Radatz, 2006). ii) Program Food Estate dan Pengaruhnya terhadap Konflik Pemanfaatan SDA Konflik pemanfaatan sumberdaya seringkali terjadi ketika tidak adanya keadilan dalam pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya alam. Konflik pemanfaatan sumber daya alam tidak lepas dari sisi manusianya. Uraian ini akan dibagi menjadi dua, berdasarkan pihak yang menghadapi kerugian akibat konflik pemanfaatan sumber daya alam. Yaitu, petani dan penduduk lokal. Pelaksanaan program ini telah merubah hubungan antara negara, petani, dan korporasi. Petani justru terpinggirkan dengan proyek yang sangat bergantung para korporasi. Korporasi bekerjasama dengan pemerintah mengadakan transmigrasi petani. Hubungan kemintraan akan muncul dan memberikan beberapa dampak negatif bagi petani, yakni: lahan pertanian yang luas dan manajemen usaha tani secara profesional mengancam distribusi pangan karena korporasi memiliki kekuasaan mengatur pasar, hubungan yang berdasarkan perjanjian menyebabkan keterlibatan petani transmigram semakin sedikit, hak penguasaan atas lahan pertanian menyebabkan ketergantungan petani terhadap perusahaan dalam hal produksi, serta terdapat kecenderungan kecurangan dalam pembagian keuntungan antara korporasi dan petani (Sagala, 2018). Program food estate juga tak terpisahkan dari modernisasi petani. Namun, apakah petani telah disejahterakan dengan modernisasi ini? Faktanya pendapatan petani transmigran tidak lebih baik dibandingkan ketika bekerja di daerah asalnya. Penelitian Sutanto pada tahun 2019 terhadap petani transmigran di Bulungan, Kalimantan Utara menunjukkan petani harus mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan, petani perlu membeli beras karena tidak bisa diproduksi secara mandiri. Selain itu, dari segi hak milik atas tanah, petani tidak diberi jaminan yang memadai oleh pemerintah. Penelitian oleh McCarthy & Obidzinski (2015) menunjukan petani harus kehilangan tanahnya karena berhadapan dengan peramapasan lahan yang dilakukan oleh korporasi kelapa sawit. Bahkan, mereka masih berhadapan dengan gagal panen yang diakibatkan oleh degradasi lingkungan. Selain itu, ketidakjelasan status pelepasan tanah adat untuk program food estate juga mengakibatkan bersitegang antara petani transmigran dan penduduk lokal. Penduduk lokal pun menunjukan ketidaksetujuannya dengan mengeluarkan pernyataan sikap yang didukung oleh aliansi penolak program food estate. Uraian ini akan melihatnya dari dua daerah, yaitu Kalimantan Tengah dan Papua. Di Kalimantan Tengah, sebanyak 161 organisasi membentuk aliansi dan menyampaikan pernyataan sikapnya. Dalam pernyataan sikap masyarakat sipil yang berjudul, “Hentikan Proyek Cetak Sawah/Food Estate di Lahan Gambut Kalimantan Tengah”, disebutkan paska kegagalan PLG ketimpangan penguasaan lahan dan konflik tanah terus meningkat. Hal ini disebabkan diberikannya izin bagi perusahaan sawit yang bahkan menabrak tata ruang karena berada di kawasan hutan dan fungsi lindung gambut. Hal ini mengakibatkan hilangnya sistem pertanian seperti, handil, tatah, dan tabat. Selain itu, sistem adat dan kearifan lokal sebagai bentuk pertanian kolektif yang berkembang di masyarakat adat selama ini. Penempatan transmigran juga merubah struktur sosial dan model kepemillikan lahan. 4
Siaran pers dalam rangka menghentikan rencana food estate di wilayah Papua juga disampaikan oleh aliasnsi masyarakat yang dinamai Koalisi Masyarakat Sipil tolak Food Estate di Papua. Koalisi ini terdiri dari 10 organisasi masyarakat sipil (CSO) antara lain Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Papua KPCK Sinode GKI di Tanah Papua, Perkumpulan Advokat HAM (PAHAM) Papua, Perkumpulan Terbatas untuk Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat Adat (pt.PPMA) Papua, SKP Keuskupan Agung Merauke, Jaringan Kerja Rakyat (JERAT) Papua, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, SKPKC Fransiskan Papua, KIPRa Papua dan Pengurus Nasional Papuan Voices. Dalam siaran pers ini disampaikan bahwa rangkaian pembangunan berbasis industri yang telah terjadi di Papua sudah cukup berakibat pada krisis multidimensi. Dimana orang Papua kehilangan kearifan lokal sebagai identitas, transformasi sosial, ekonomi kearifan lokal, tempat berburu, obat-obatan tradisional, serta hal lainnya yang menunjang kebutuhan hidup jangka panjang. Hilangnya sumberdaya ini memperlihatkan krisis domestik yang dilakukan negara. Selama ini, akibat pemerintah pusat yang mengunakan kekuasaan polutuk untuk mereduksi kewenangan penelolaan hutan, mengakibatkan keterbatasan akses bagi orang asli papua mengelola hutan miliknya. Tentu hal ini berpotensi memicu konflik pemanfaatan sumberdaya alam. iii) Program Food Estate dan Pengaruhnya terhadap Konservasi Lingkungan Sebelumnya akan diuraikan tentang pengertian konservasi lingkungan. Menurut beberapa sumber konservasi lingkungan artinya: 1) Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya terpelihara dengan baik (Piagam Burra, 1981) 2) Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan terhadap sesuatu yang dilakukan secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan cara pengawetan (Peter Salim dan Yenny Salim, 1991) 3) Kegiatan konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya (Undangundang No. 32 Tahun 2009) 4) Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia yang meningkat, sedangkan dalam kegiatan manajemen antara lain meliputi survei, penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan (IUCN, 1968). 5) Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980). Dari semua definisi tersebut, secara sederhana kita dapat mengartikan konservasi sebagai upaya yang dilakukan manusia untuk melestarikan atau melindungi alam. Sekarang, kita akan melihat apakah program food estate mendukung prinsip konservasi lingkungan ini. Yang perlu diketahui, untuk menunjang program food estate tentunya diperlukan lahan baru. Artinya proses utama yang akan menunjang program ini adalah ekstensifikasi pertanian. Ekstensifikasi pertanian adalah perluasan lahan dengan cara mencari lahan baru yang bisa ditanami tanaman dan menghasilkan produksi tanaman yang dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Ekstensifikasi pertanian ini bisa dilakukan oleh perseorangan (petani) maupun mengikuti program yang telah dilakukan oleh pemerintah. Ekstensifikasi 5
pertanian atau perluasan lahan pertanian ini dilakukan secara mandiri, berkesinambungan dan mendapat pengawasan penuh dari pemerintah. Salah satunya adalah dengan menggerakkan program transmigrasi (Badan Penyuluh Pertanian, 2012). Berdasarkan Badan Penyuluh Pertanian, macam-maca ekstensifikasi pertanian yaitu: 1) Perluasan lahan pertanian dengan pembukaan hutan baru 2) Perluasan lahan pertanian dengan pembukaan lahan kering 3) Perluasan lahan pertanian dengan lahan gambut Yang akan menjadi titik berat pada pembahasan ini adalah perluasan dengan membuka hutan baru yang terjadi di Papua dan lahan gambut di Kalimantan Tengah. Dengan diterbitkannya Peraturan Menteri LHK P.24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate percepatan laju deforentasi dan kerusakan lingkungan hidup di wilayah hutan semakin tinggi. Deforestasi di Papua sudah sangat memprihatinkan. Apabila dilanjutkan akan mengakibatkan berbagai dampak yang bertentangan dengan konservasi lingkungan. Misalnya, hilangnya keanekaragaman hayati, turunnya sumberdaya air, hilangnya kesuburan tanah, dan global warming. Lahan gambut adalah salah satu ekosistem yang unik dan penting untuk keseimbangan iklim. Selain itu, biodiversitas lahan basah juga penting untuk menghindari sumber penyatik zoonosis yang berasal dari pengrusakan alam. Ekstensifikasi pertanian untuk program food estate di Kalimantan Tengah yang menggunakan lahan eks-PLG mengancam biodiversitas seperti kayu Ramin dan Meranti Tawa. Hal ini juga akan mengakibatkan hilangnya habitat asli orangutan. Dampak lainnya adalah hilangnya monumen kanal primer dan sekunder sepanjang ratusan ribu km yang menjadi penyebab kekeringan gambut dan sumber bencana kebakaran dan asap di Kalimantan Tengah yang berakibat pada kesehatan penduduk dan pelepasan emisi gas rumah kaca. Fakta sejarah mencatat setelah kebakaran yang memakan 80% dari lahan ini pada tahun 1997, wilayah ini menjadi sumber titik api dan mengalami kenakaran seluas 465.003 Ha atau 39% dari keseluruhan kebakaran lahan di Kalimantan Tengah. E. Kesimpulan Dari pembahasan yang diambil dari beberapa jurnal diatas, dapat dikatakan bahwa Program Food Estate memang bermanfaat. Baik jangka pendek, untuk memastikan ketahanan pangan selama pandemi maupun setelah pandemi. Maupun jangka panjang, untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, terdapat dampak buruk yang dihasilkan, baik dalam hal konflik pemanfaatan SDA maupun konservasi alam. Dalam hal konflik pemanfaatan SDA, dampak yang timbul dirasakan oleh petani dan penduduk lokal, yaitu keterlibatan yang semakin kecil, potensi kecurangan, pendapatan yang berkurang, dan konflik agraria hutan. Dalam hal konservasi alam, dampak yang timbul adalah hilangnya keanekaragaman hayati, kekeringan, hilangnya kesuburan tanah, dan global warming. Dapat disimpulkan pula bahwa strategi ekstensifikasi pertanian yang menggunakan lahan gambut maupun hutan, menjadi sumber konflik pemanfaatan SDA maupun konservasi alam. 6
F. Saran Berdasarkan kesimpulan, pemerintah perlu meninjau kembali Program Food Estate ini sehingga dampak buruk bagi masyarakat dapat dihindarkan. Perlu dipertimbangkan pula alternatif untuk menggantikan strategi ekstensifikasi pertanian yang menggunakan lahan gambut maupun hutan. Daftar Pustaka Basundoro, A. F., & Sulaeman, F. H. (2020). Meninjau Pengembangan Food Estate Sebagai Strategi Ketahanan Nasional Pada Era Pandemi Covid-19. Jurnal Kajian Lemhannas RI, 8(2). Kamin, A. B. M., & Altamaha, R. (2019). Modernisasi Tanpa Pembangunan Dalam Proyek Food Estate Di Bulungan Dan Merauke. BHUMI: Jurnal Agraria dan Pertanahan, 5(2), 163-179. Santosa, E. (2014). Percepatan Pengembangan Food Estate Untuk Meningkatkan Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Nasional. RISALAH KEBIJAKAN PERTANIAN DAN LINGKUNGAN: Rumusan Kajian Strategis Bidang Pertanian dan Lingkungan, 1(2), 80-85. indonesiabaik.id. (2017). Food Estate : Pangan Melimpah, Harga Lebih Murah. Diakses pada 13 Oktober 2020, dari http://indonesiabaik.id/infografis/foodestate#:~:text=Untuk%20menjaga%20ketahanan%20pangan%20Indonesia,b ahkan%20peternakan%20di%20suatu%20kawasan. walhi.or.id. (2020). Hentikan Proyek Cetak Sawah/Food Estate di Lahan Gambut di Kalimantan Tengah. Diakses pada 13 Oktober 2020, dari https://www.walhi.or.id/hentikan-proyek-cetak-sawah-food-estate-di-lahangambut-di-kalimantan-tengah walhi.or.id. (2020). Hentikan Rencana Food Estate di Papua (Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Food Estate di Papua). Diakses pada 13 Oktober 2020, dari https://www.walhi.or.id/hentikan-rencana-food-estate-di-papua-koalisimasyarakat-sipil-tolak-food-estate-di-papua walhi.or.id (2020). Stop Food Estate di Kawasan Hutan; Batalkan Peraturan Menteri LHK P.24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Diakses pada 13 Oktober 2020, dari https://www.walhi.or.id/stop-foodestate-di-kawasan-hutan-batalkan-peraturan-menteri-lhk-p-24-tentangpenyediaan-kawasan-hutan-untuk-pembangunan-food-estate-infografis
7