Buletin SKM Amanat Edisi 20

Page 1



DAFTAR ISI

PemimpinUmum M Ulul Albab

Redaktur Sigit AF, Fajar BA, M Syafi’un Najib

Pemimpin Redaksi Badrus Salam

Sekretaris Redaksi

4

Atika Ishmatul U

Laporan Utama: Di Balik Penetapan Denda Perpustakaan

Reporter Rima Dian Pramesti, Ari Yuwono Saputro, Desi Pradita A, Wiwid Saktia N, Nur Khasanah, Alfita Salsabila F, Noor Rahmah NN, Alfi Zulfa, Elok Nur Azizah, Khalimatus Sa’diyah, Nurul Eka WH, Siti Arofatul Oktaviani, Fathmah Alfiani NA, Febbi Fekhitilawati, Iin Endang Wariningsih, Arina Firha H, Fika Eliza, Khanif Maghfiroh

M Iqbal Shukri, Mufazi Raziqi

Laporan Khusus: Babak Baru Prodi TH

Fotografer Riduwan, Fahmi Habiburrahman

Staf Ahli Miftahul Arifin, Akhmad Baihaqi Arsyad, Abdul Arif

26

Feature: Warna-warni Kehidupan di Kampung Pelangi

6

Layouter


4

Editorial

Tinjau Ulang Kenaikan Denda Pada 1 Maret 2017, Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Walisongo No. 09 Tahun 2017 resmi diberlakukan. Kebijakan itu mengubah besaran uang denda dari Rp 500 per hari untuk satu buku menjadi Rp 1000 per hari untuk satu buku.

Jika melihat sebabnya, dasar kenaikan denda merupakan respon atas laku pemustaka yang dinilai kian indisipliner dalam pengembalian buku. Sedangkan, koleksi buku di perpustakaan jumlahnya terbatas. Untuk itu, denda dinaikkan supaya pemustaka lebih disiplin dalam pengembalian buku. Niat kampus untuk mendisiplinkan pemustaka yang bandel tentu­nya tidak keliru. Pemustaka lain tentu akan senang jika buku yang ia cari ditemukan dan dapat dipinjamnya. Namun, kita patut mempertanyakan asumsi ini, benarkah pemustaka UIN Walisongo kian indisipliner sehingga denda harus dinaikkan dua kali lipat? Hasil penelusuran reporter bulettin Amanat memperlihatkan hal yang berbeda. Tidak ada data yang dimiliki oleh perpustakaan yang menunjukkan pemustaka kian indisipliner. Sistem perpustakaan hanya bisa merekap jumlah buku yang telat peminjamannya, bukan jumlah mahasiswa yang telat pengembalian dari waktu ke waktu. Artinya, tidak pernah ada data yang menunjukkan bahwa pemus­taka kian indisipliner. Lalu atas dasar apa kebijakan itu dibuat? Jika, jumlah keterbatasan buku adalah masalahnya, sepatutnya hal ini dapat disikapi dengan bijak. Semisal, perpustakaan bisa menambah jumlah eksemplar pada jenis buku tertentu yang peminjamnya lebih banyak dari buku yang lain. Dengan demikian, pihak perpustakan atau pun pemustaka tidak akan risau dengan keterbatasan buku yang ada.

Kebijakan kenaikan denda harus ditinjau ulang. Jangan sampai mahasiswa mengira, perpustakaan juga turut dijadikan kampus sebagai ‘sapi perah’ untuk menambah penghasilan kampus lewat BLU. Karena, bagaimana pun juga perpustakaan merupakan jantung sebuah universitas yang kehadirannya begitu vital bagi civitas akademik kampus.

Menjadikan perpustakan yang nyaman dangan pelayanan yang baik tentu menjadi idaman setiap pemustaka. Kenyaman tanpa keri­sauan akan bayang-bayang denda harus dihilangkan. Perpustakaan harus menjadi lautan, tempat nelayan mencari ikan tanpa kekhawatiran bahwa ikan itu akan habis. Redaksi Edisi 20 | Desember 2017


Salam Redaksi

5

Kesungguhan Adalah Koentji ! Deras hujan yang disertai badai, panas terik mentari yang membakar kulit, dingin udara malam yang menusuk tulang, halangan dan rintangan yang silir berganti terus menerpa langkah demi langkah yang kami lalui. Deng­ an segala kemampuan dan kekuatan serta fikiran yang ada kami terus berjuang mele­ wati itu semua.

“Man jadda wa jada” begitulah kata pepatah Arab, yang berarti “barang siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan mendapat­ kannya”. Kalimat yang sudah begitu populer ini menjadi pembakar, pemicu dan penyemangat bagi kami untuk terus berproses. Kalimat itu pula yang mengikat kami dalam kekompakan, keuletan, kesabaran dan pengorbanan dalam mengumpulkan data. Sehingga, data-data itu terakumulasi sebagai berita yang dapat dibaca oleh segenap civitas akademik UIN Walisongo.

Pada edisi kali ini, bahasan utama kami adalah ihwal Perpustakaan Pusat UIN Wali­ songo. Di mana, pada penulusuran Tim Buletin Amanat menemukan, ada kejanggalan dalam kebijakan kenaikan denda. Dalam

kondisi ini, mahasiswa layaknya diposisikan kampus sebagai objek semata. padahal seharusnya, Mahasisa dan petugas perpustakaan harus ditempatkan sebagai subjek. Mahasiwa subjek yang memanfaatkan buku, petugas perpustakaan adalah subjek yang melayani mahasiswa.

Selain itu, kami juga melakukan polling untuk mengetahui bagaimana mahasiswa memandang kebijakan kenaikan denda dan pendapat mahasiswa terkait pelayanan petugas Perpustakaan Pusat. Lalu, pada laporan khusus, pembahasan kami adalah seputar konversi prodi Tafsir Hadis (TH) menjadi prodi Ilmu Al Quran dan Tafsir (IAT). Hal itu dilakukan sebagai respon atas dihapuskannya Prodi TH di Kementerian Agama.

Masih banyak tambahan informasi yang kami sajikan. Di antaranya, artikel, resensi film dan buku, sosok, cerpen, serta puisi. Simak lebih jauh untuk dapat menikmatinya. Selamat Membaca!!! Redaksi

Edisi 20 | Desember 2017


6

Laporan Utama

Di Balik Penetapan Denda Perpustakaan

(Amanat/ Riduwan)

Dibanding denda perpustakaan di beberapa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang lain, denda Perpustakaa

Dua orang mahasiswi sedang melakukan peminjaman buku kepada petugas Perpustakaan Pusat UIN Walisongo, Selasa (31/10).

P

asrah dan tak tahu bagaimana harus protes, merelakan uang Rp 125 ribu akhirnya menjadi satu-satunya pilihan Miftah Mega Aulia. Uang itu dihibahkan secara terpaksa ke Perpustakaan Pusat UIN Walisongo sebagai hukuman atas keterlambatan empat buku yang dipinjamnya. Mega memang teledor dan tak taat aturan. Dia sadar.

Yang membuatnya kecewa bukan denda itu. Tapi lantaran sebelumnya sudah berusaha mengembalikannya namun ditolak karena baru dua buku yang dia bawa untuk dikembalikan. Padahal, setahu dia, tak ada aturan peminjaman bebe­ rapa buku harus dikembalikan secara bersamaan. “Maaf mbak, buku yang jatuh tempo harus dikembalikan semua, tidak boleh nyicil,â€? ujar Edisi 20 | Desember 2017

mahasisa semester 7 Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) ini menirukan petugas perpustakaan.

Selang beberapa waktu, Mega kembali ke perpustakaan dengan empat buku yang sudah jatuh tempo itu. Kekecewaannya mencapai klimaks. Ternyata denda sudah naik dua kali lipat. Lagi-lagi Mega harus pasrah. Dia tak tahu bagaimana caranya memprotes.


Laporan Utama

an UIN Walisongo beda dua kali lipat.

Kebijakan kenaikan denda perpustakaan sesuai dengan Surat keputusan (SK) Rektor No. 09 Tahun 2017 Tentang Jenis dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum (BLU). Poin SK salah satunya mengubah besaran uang denda dari Rp 500 per hari untuk satu buku menjadi Rp 1000 per hari untuk satu buku.

Tarif baru itu mulai diberlakukan sejak awal Maret 2017. Aturan itu “memukul” rata semua mahasiswa yang terlambat mengembalikan buku. Pemberlakuan denda baru ini lantas menimbulkan pro dan kontra dari mahasiswa UIN Walisongo. Termasuk Mega. Dia menilai kenaikan denda terlalu tinggi jika dibandingkan dengan denda di perpustakaan lain.

”Lho kok (dendanya, red) banyak banget bu. Padahal seha­ rusnya kan hanya separuh,” ujar Mega pasrah sebagaimana dia ceritakan kepada reporter Buletin Amanat pertengahan September lalu. Petugas perpustakaan menjawab bahwa denda sudah naik. Dari petugas itu Mega tahu untuk pertama kalinya kalau denda sudah naik dua kali lipat.

Tim Buletin Amanat mencoba melakukan penelusuran untuk membandingan denda Perpustakaan di perguruan tinggi yang lain. Ditemukan, denda di Perpustakaan UIN Maulana Malik Ibrahim sebesar Rp 500, UIN Sunan Kalijaga sebesar Rp 500, UIN Sunan Ampel sebesar Rp 500, dan UIN Syarif Hida­ yatullah sebesar Rp 500.

Selain terlalu tinggi, Mega menya­yangkan terbatasnya buku di perpustakaan. Buku tertentu yang peminatnya banyak tapi jumlahnya sedikit seharusnya disiasati dengan menambah eksemplar,” katanya. Berbeda dengan Mega, Istatik Vina Kamala, mahasiswa Ilmu Edisi 20 | Desember 2017

7

Al Quran dan Tafsir (IAT) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) semester tujuh ini sepakat dengan kenaikan denda. Menurut­ nya, banyak mahasiswa yang menunda-nunda pengembalian buku karena menganggap dendanya tertalu murah. “Itu kan, akan mendapat jera. Jadi mahasiswa tidak akan te­ lat lagi mengembalikan buku,” terangnya.

Hasil jajak pendapat yang dilakukan Amanat dengan responden 350 mahasiswa dari delapan fakultas, memperlihatkan, 67,5 % mahasiswa menyatakan tidak setuju kenaikan tarif. Sisanya, 22,5 % setuju. Kepala Perpustakan Miswan mengatakan, kenaikan denda bertujuan agar mahasiswa lebih disiplin. Denda murah menurut Miswan bisa jadi alasan mahasiswa mengulur pengembalian buku.

“Koleksi buku di perpustakaan itu terbatas. Mahasiswa harus disiplin supaya buku dapat didistribusikan secara merata untuk mahasiswa yang membutuhkan,” jelas Miswan ketika ditemui di kantornya, Selasa (4/10). Namun, saat diminta data mengenai total jumlah mahasiswa yang telat mengembalikan buku dari semester genap 2016/2017 dan semester ganjil 2017/2018 untuk melihat tingkat kedisiplinan


8

Laporan Utama

mahasiswa dalam pengembalian, Miswan mengatakan sistem perpustakaan belum bisa melakukan itu.

“Sistem kami tidak bisa memun­culkan pemustaka yang terlambat mengembalikan buku. Sistem hanya bisa memberi warning peminjam buku yang telat saat itu. Tidak ada modul untuk merekap dalam kurun waktu atau periode tertentu,” paparnya. Miswan mengakui, bahwa tidak ada data statistik yang digunakan untuk melihat kedisiplinan pemustaka yang telat mengembalikan buku. Yang bisa dilakukan sistem perpus adalah merekap jumlah buku yang telat peminjamannya, bukan jumlah mahasiswa.

“Ada sekitar 144 buku pada 2016 yang belum dikembalikan. Lalu, 400-an buku pada 2017, dari bulan januari hingga akhir bulan September,” jelas Miswan, sembari menunjukkan sistem perpustakaan yang ada di komputer­ nya, Rabu (27/9). Sejak diberlakukan kebijakan kenaikan denda, menurutnya, pemustaka yang telat dalam pengembailian buku kian berkurang. Pernyataan itu ia dapatkan dari pengakuan sejumlah petugas perpustakaan yang berjaga secara lisan.

Miswan juga merespon terkait kasus Mega. Ia menegaskan ti-

dak ada aturan yang melarang pemustakan harus mengembalikan buku sesuai jumlah yang dipinjam. Namun ia tidak memung­kiri jika hal itu dilakukan oleh sejumlah petugas perpustakaan yang berjaga. “Mungkin, hal itu dilakukan untuk memudahkan petugas,” katanya.

Penambahan Jam Dalam buku panduan perpustakaan Tahun 2017 dijelaskan, pelayanan perpustakaan pada Senin-Kamis mulai 08.0017.00 WIB. Sedangkan Jumat pelayanan pukul 08.00-16.00 WIB. Khusus Sabtu, pelayanan buka setengah hari. Mulai pukul 08.00-12.00 WIB.

Penelusuran Buletin Amanat di lapangan menemukan, pelayanan tak sesuai jadwal. Jam buka Perpustakaan Pusat berakhir pukul 16.30 WIB. Saat kru Bulettin Amanat bertanya pada salah satu petugas, mereka menjawab, sisa waktu 30 menit digunakan petugas untuk menertibkan bukubuku. Kondisi ini disesalkan maha­ siswa. Salah satunya Desy Ikmalia Camilin. Mahasiswi Pendidikan Agama Islam (PAI) ini bercerita, suatu ketika dia bersama teman-temannya sedang mengerjakan tugas makalah. Saat itu baru sekitar pukul 16.30 sudah disuruh keluar oleh petugas. “Padahal belum waktunya tapi sudah disuruh keluar. Waktu Edisi 20 | Desember 2017

itu tugasku sudah deadline,” katanya.

Camilin membayangkan, andai saja perpustakaan bisa buka hingga malam, pasti akan banyak membantu kebutuhan mahasiswa. Camilin menya­ yangkan karena kenaikan denda seolah tak berbanding lurus dengan pelayanan dan sarana perpustakaan.

”Sekarang mesin fotokopi juga tidak berfungsi. Ini menyulitkan mahasiswa. Terutama yang butuh referensi dari buku yang tidak bisa dipinjam karena terbatas,” katanya. Menanggapi itu, Miswan menga­ku sudah sering di­ tanya soal penambahan jam pelayanan perpustakaan. Hanya saja, hal itu belum bisa dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja dan anggaran. Dikatakan, Jumlah staf perpustakaan pusat saat ini pusat hanya 18 orang. Dia menilai belum bisa mencukupi jika pelayanan dibuka sampai malam hari. “Kalau anggaran dan tenaga kerja sudah mendukung, kami siap buka sampai malam,” dalihnya.

Apalagi, tambahnya, dengan adanya monatorium nasio­ nal yang tidak mengijinkan penambahan pegawai atau staf kecuali sangat urgen pada bidang-bidang tertentu.n

Khanif Magfiroh dan Badrus Salam


Surat Pembaca

9

Kehadiran Dosen Saya ingin menyampaikan kritik dan saran kepada universitas saya tercinta. Universitas yang telah mengajarkan banyak hal dan pengetahuan kepada saya. Sebelum ada untaian kalimat dari saya, saya ingin mempertegas bahwa kritik ini tidak akan pernah mengurangi ta’dzim saya kepada para dosen UIN Walisongo.

Dalam dunia perkuliahan, kemandirian mahasiswa dalam belajar memang sangatlah dibutuhkan. Mahasiswa tidak boleh mengandalkan belajarnya hanya dalam ruang kelas. Namun, penjelasan dan kehadiran dosen dalam kelas juga penting. Saya merasa agak kecewa jika ada dosen yang tidak bisa hadir dalam perkuliahan, dan itu berulang hingga beberapa kali. Memang, tugas seorang dosen tidaklah sedikit dan saya memaklumi tentang hal itu. Tapi dosen juga harus tahu, kami datang dari jauh, banyak hal yg harus kami keluarkan agar dapat menimba ilmu di sini. Oleh sebab itu kami sangat mengharapkan kehadiran dosen dalam setiap perkualian.

Ulya Ainun N. Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST) 2015.

Laboratorium Bahasa Sudah Tak Layak Pakai

Kondisi Laboratorium Bahasa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo sudah tak layak pakai. Saya mewakili mahasiswa khususnya prodi bahasa sangat mengeluhkan hal tersebut. Sebagai perguruan tinggi, seharusnya UIN Walisongo dapat memberikan fasilitas yang layak. Pasalnya, Laboratorium Bahasa merupakan salah satu ruang yang dijadikan tempat kuliah khususnya prodi Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Namun kami mahasiswa prodi bahasa kurang mengerti apa sesungguhnya fungsinya.

Ruang yang cukup sempit itu berisi puluhan komputer, namun sepertinya, komputer itu hanya sebuah pajangan. Selama proses kuliah berlangsung tidak pernah sekalipun komputer itu terlihat menyala. Headphone yang ada di sebelah komputer juga terlihat sudah banyak yang rusak.Ketika mata kuliah listening misalnya, audio yang didengarkan kurang jelas akibat suara sound hanya satu di meja dosen, jika audio listening itu dapat didengar melalui headphone, tentu suaranya akan lebih jelas dan mahasiswa juga lebih konsentrasi dalam belajar listening. Tidak hanya itu, akibat ruang yang terlalu sempit, ada beberapa mahasiswa tidak kebagian tempat duduk untuk kelas yang jumlah mahasiswanya banyak. Sehingga terpaksa harus duduk di bawah. Hal itu dapat mengakibatkan mahasiswa hanya duduk di pojok ruang laboratorium Bahasa, bermain gawai dan tidak mendengarkan kuliah.

Kami rasa, hal ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak fakultas, mengingat baru-baru ini jurusan Pendidikan Bahasa Inggris juga sudah terakreditasi A. Fasilitas semacam Laboratorium Bahasa yang layak pakai juga sangat penting agar mahasiswa merasa nyaman dan pembelajaran berlangsung kondusif.

Zimam Farid Hadi Jaza, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) 2016. Edisi 20 | Desember 2017


Polling

10

66 Persen Mahasiswa Tidak Setuju Kenaikan Denda

W

awasan dan keilmuwan menjadi hal penting bagi mahasiswa. Selain didapat dari pro­ ses kuliah dan diskusi, sumber wawasan itu adalah buku.

Berbicara buku di perguruan tinggi berarti berbicara perpustakaan. Ibarat organ tubuh, perpustakaan adalah jantung perguruan tinggi sebagai sumber pengetahuan. Mahasiwa dan dosen membutuhkan perpustakaan untuk menambah wawasan dan keilmuan.

Di sinilah pelayanan perpustakaan menjadi penting. Sarana harus lengkap, tempat harus nyaman. Mahasiwa dan petugas perpustakaan harus ditempatkan sebagai subjek. Mahasiwa subjek yang meman­ faatkan buku, petugas perpustakaan adalah subjek yang melayani mahasiswa. Surat Keputusan (SK) Rektor UIN Walisongo No 09 tahun 2017 tentang kenaikan denda seolah-olah menempatkan mahasiswa sebagai objek semata. Mahasiswa dituntut tapi pihak perpus tidak menuntut dirinya untuk berbedah. Tak bisa sepenuhnya disalahkan jika mayoritas mahasiswa UIN tidak setuju dengan kenaikan tersebut.

Tim Buletin Amanat melakukan polling untuk mengetahui respon mahasiswa terhadap kebijakan kenaikan denda dan pendapat mereka mengenai pelayanan perpustakaan.

Jajak pendapat dilakukan kepada 350 mahasiswa dengan rincian 80 mahasiswa dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), 40 mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum), 40 maha­ siswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), 40 mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), 40 mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), 80 maha­ siswa Fakultas Sains dan Teknologi (FST), 30 mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip), dan 30 mahasiswa Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK). Metode angket menggunakan cluser random sampling dan disebar keseluruh fakultas di lingkup UIN Walisongo. Kategori sampel yang kami ambil adalah mahasiswa semester empat ke atas. Tak Memicu Perbaikan Hasilnya, 9% responden mengaku tidak mengetahui kebijakan tersebut. Sisanya, 91% mengetahui. Edisi 20 | Desember 2017

Kondisi ini dirasa penting oleh Tim Buletin Amanat untuk diberitakan guna memberi informasi kepada civitas akademik. Tanggapan mereka pun beragam. Sebanyak 66% responden tidak setuju. Hanya 34% yang setuju. Responden yang tidak setuju menilai bahwa kenaikan denda tak diimbangi dengan meningkatnya pelayanan. Pertanyaan “Bagaimana pelayanan di Perustakaan Pusat UIN Walisongo?” yang diajukan kepada responden, 94% menyatakan belum ada perubahan. Sisanya, 6% menjawab, perpustakaan menjadi lebih baik.

Penambahan Jam Buka Responden berharap pihak kampus dapat segera mewujudkan dan memberikan fasilitas yang baik khususnya mengenai penambahan jam pelayanan sampai malam hari. Apakah relevan ada kenaikan denda sementara jam pela­ yanan tetap sama? 98%responden menjawab tidak. Hanya 2 % responden menyatakan relevan. Sebanyak 86% responden menginginkan jam pelayanan ditambah. Sisanya, 14% tidak setuju ditambah.


Polling

Wajar mahasiwa menginginkan itu. Ada regulasi baru harusnya juga ada pelayanan baru. Hal ini sebagain bentuk feedback dari kebijakan baru pihak perpustakaan bagi mahasiswa.

Pelayanan yang Baik Dari jajak pendapat dapat dilihat bahwa kebijakan kenaikan denda masih menuai pro dan kontra di kalangan mahasiwa. Tapi mayoritas tidak sepakat. Terutama karena kenaikan

terlihat sekadar dalih agar mahasiwa lebih disiplin.

Di sisi lain, kedisiplinan yang hendak ditanamkan kepada mahasiswa tidak dipegang teguh oleh pihak perpustakaan sendiri. Salah satu bukti, beberapa kali diketahui, perpustakaan tutup sebelum waktunya.

Inilah yang mestinya dipahami bersama. Antara mahasiwa dan petugas perpustakaan

Edisi 20 | Desember 2017

11

harus seimbang. Pihak perpustakaan berhak mengatur regulasi, tapi mahsiswa juga berhak mendapat pelayanan yang baik. n

*Survei ini dilakukan oleh Tim Buletin Amanat dari 2-6 Oktober 2017. Hasil survei ini tidak dimaksudkan untuk mengevaluasi kinerja Perpustakaan Pusat, namun hanya sebagai gambaran.


12

Laporan Khusus

Babak Baru Prodi TH Sempat terjadi penolakan, Pemisahan prodi Tafsir Hadis (TH) dilakukan juga.

Tansformasi dilakukan dengan mempertimbangkan peratu­ ran Kementrian Agama Nomor 33 Tahun 2016 tentang Keaga­ maaan dan Gelar Akademik di lingkungan Perguruan Tinggi Islam dan berdasarkan kajian serta usulan Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang Nomor R-6728/ Un.0.10/kp.02.3/12/201 pada 16/12/2016 tentang penyesuaian nomenklatur prodi.

Sebelum UIN Walisongo, prodi TH di Perguruan Tinggi Keaga­ maan Islam Negeri (PTKIN) lain telah lebih dulu melakukan tranformasi itu. Di antaranya, UIN Sunan Kalijaga (2013), UIN Syarif Hidayatullah (2016). Ketua Jurusan (Kajur) IAT Syahroni menerangkan, wacana pemisahan prodi TH sebenarnya telah bergulir sejak lama. UIN Walisongo diakuinya memang termasuk yang akhir dalam melakukan perubahan

ini, karena ada beberapa pihak yang tidak setuju.

“Kalo sudah begini (ada peraturan dari pemerintah, red) mau gimana lagi,” katanya saat ditemui kru buletin Amanat di kantornya, Kamis (08/06).

Ia mengandaikan, jika prodi TH tetap bertahan, itu bagaikan bus yang tidak memiliki garasi. “Kita punya prodi TH, tapi di Kemenag prodi TH sudah tidak ada. Lalu, kita mau ngurusin akreditasi dan lain sebagainya kemana,” paparnya. Syahroni menjelaskan, sebenarnya prodi TH bisa berubah menjadi dua prodi, yaitu IAT dan Ilmu Hadis (IH). Namun, karena aturan dari Kemenag mengharuskan memilih salah satu. Akhirnya, UIN Walisongo memilih prodi IAT.

Hal itu dikarenakan, dalam survei yang dilakukan Fuhum animo masyarakat, mahasiswa, dan dosen lebih besar kepada prodi IAT dari pada prodi IH. “Untuk prodi IH, pihak fakultas harus kembali mengajukan pemberkasan seperti halnya mengajukan program studi baru,” terangnya. Edisi 20 | Desember 2017

(Amanat/ Riduwan)

S

urat Keputusan (SK) Jendral Pendidikan Islam No: 521 Tahun 2017, pada 25/01/2017 menjadi awal resminya transformasi program studi (prodi) Tafsir Hadis (TH) Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) UIN Wali­ songo menjadi Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT).

Resepsionis Fakultas Ushuludin dan Humaniora (Fu mahasiswa, Selasa (7/11).

Hal itu diamini oleh Mukhsin Djamil dekan Fakultas Ushu­ luddin dan Humaniora (Fuhum). Ia menerangkan, berkas untuk prodi IH sudah diproses dan dilayangkan ke Kemenag.

“Proses sudah tiga bulan berlangsung, tinggal menunggu visitasi dari Jakarta saja,” akunya. Jika sesui rencana, lanjutnya, prodi IH akan dibuka pada penerimaan mahasiswa baru tahun 2018.

Selain itu, Mukhsin menambahkan, fokus perbaikan kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia, utamanya dosen akan menjadi prioritasnya. Sehingga, apa yang dicita-citakan dapat tercapai.


Laporan Khusus

hadis sembari mendapatkan keilmuan tafsir.

Hal serupa juga diutarakan Ahmad Alfian Nasrullah, mahasiswa prodi IAT semester lima. Ia menilai, ketika keilmuan tafsir dan hadis dipisahkan, maka akan terjadi ketimpangan.

uhum) sedang melayani seorang

Pro dan Kontra Transformasi prodi TH mendapat tanggapan bera­ gam dari mahasiswa. Wardah Muzakiyyah, mahasiswa semester lima prodi IAT mengkawatirkan transformasi itu. Menurutnya, keilmuan tafsir dan hadis itu sangat berkaitan. Sehingga pemahaman dari keduanya tidak bisa dipisahkkan. Terlebih, lanjutnya, pada tingkat strata satu (S1) itu tidak perlu.

“Strata Satu (S1) tak perlu dipi­ sah antara keilmuan tafsir dan hadis. Fokus selanjutnya lebih baik dilakukan pada Strata Dua (S2),” sarannya. Ia menceritakan, niatnya masuk prodi TH awalnya karena ingin mendalami keilmuan

“Banyak mahasiswa yang masuk prodi TH, karena mereka melihat hanya tinggal UIN Walisongo yang mempertahankan prodi tersebut. Jadi ketika dipisah, ya pasti ada kekecewaan lah,” ungkap mahasiswa asal Lumajang ini.

Pandangan berbeda dikemukakan oleh Dwi Indah Sari, Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) IAT. Ia mengaku begitu setuju dengan adanya transformasi itu. Menurutnya, fokus keilmuan merupakan hal yang bagus, karena di prodi TH ada dua fokus keilmuan. Dengan adanya pemecahan, tambahnya, mahasiswa bisa fokus ke salah satu keilmuan, baik itu ke Al Quran maupun ke hadis secara mendalam.

“Untuk memahami satu keilmuan dibutuhkan ketelatenan,” jelas mahasiswi semester tujuh ini. Konsep Keilmuan Musyafik, Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kelembagaan Fuhum merespon kekhawatiran yang berkembang. Transformasi Prodi TH ke IAT, ia tegaskan, bukan beEdisi 20 | Desember 2017

13

rarti fokus keilmuannya hanya pada kajian Al Quran. Komposisi keilmuannya adalah 75% ilmu Al Quran dan 25% Ilmu Hadits. Saat masih prodi TH, komposisi keilmuannya adalah ilmu Al Quran 50% dan ilmu hadis 50%.

“Jadi walaupun lebih banyak mempelajari Ilmu Al Quran, porsi keilmuan hadis juga tidak ditinggal. Begitu juga sebaliknya, jika IH sudah resmi menjadi prodi di UIN Walisongo,” paparnya.

Walaupun perubahan TH ke IAT diresmikan di pertengahan semester genap lalu, Musyafik memastikan, perubahan ini tidak akan berpengaruh terhadap kurikulum prodi TH tahun akademik 2016 ke bawah. Kurikulum prodi IAT hanya akan diterapkan pada angkatan 2016 ke atas. Mahasiswa, lanjutnya, akan tetap menggunakan kurikulum TH yang sudah ditetapkan di masing-masing angkatan. Begitu pula dalam pengajuan pembuatan skripsi. Mahasiswa angkatan 2016 ke bawah masih bisa memilih kajian hadis maupun tafsir. “Kita patok sampai angkatan 2016, sampai nanti dia lulus akan tetap menggunakan kurikulum TH. Untuk menghabiskan Mahasiswa prodi TH ini membutuhkan waktu sekitar tujuh tahun,” jelasnya.n

Riduwan


14

Artikel

Mengapa Kita Harus Membiarkan Anak Tumbuh Secara Alami Oleh: *Kalimatus Sa’diyah

Manusia adalah mahluk hidup yang diberi kesempurnaan berupa akal. Dengan akalnya, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

Akal bisa berkembang dan bisa dikembangkan. Oleh sebab itu manusia selalu bergerak dinamis, karena akal pikiran mereka berkembang. Proses perkembangan akal manusia dilalui dengan tahap belajar. Sejak baru lahir, seorang bayi akan belajar bernapas sendiri menggunakan paru-parunya yang masih lemah, selain itu dia juga harus belajar mencari asupan makanan dengan meminum asi dari ibunya. Tahap belajar seorang anak, berkembang sesuai dengan usianya. Pada awalnya, anakanak hanya belajar melalui orang terdekat mereka (kelu­ arga). Namun ketika sudah memasuki usia sekolah, peran teman sebaya dan lingkungan memegang kendali yang cu­ ku­p besar dalam perkembangannya. Hal seperti ini dapat diperoleh melalui pendidikan. Proses belajar secara umum bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu pendidikan formal dan pendidikan non-formal. untuk pendidikan formal contoh yang sudah jelas adalah sekolah baik negeri atau swasta. Sedangkan, pendidikan non-formal adalah penEdisi 20 | Desember 2017

didikan yang diperoleh dari lingkungan, baik keluarga, teman, ataupun masyarakat.

Lembaga pendidikan formal di Indonesia sudah banyak berdiri, meskipun persebarannya belum merata. Tentu, kehadiran sekolah diharapkan mampu membangun kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia agar mampu mengolah kekayaan alam maupun masyarakat yang ada. Itulah cita-cita kesejahteraan bangsa yang termaktub dalam UUD 1945.

Di lembaga pendidikan formal, sekolah dibuat berjenjang. Bahkan untuk sekarang, jenjang pendidikan di Indonesia sudah dimulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) yang rata-rata siswanya berumur 3-4 tahun. Mengutip dari J.J Rousseau dia menganggap bahwa anak pada dasarnya adalah baik “innate goodness”. Karena pada dasarnya sudah baik, maka semestinya anak-anak dibiarkan tumbuh secara alamiah dengan sedikit pengasuhan orang tua dan sedikit batasan. Dalam bukunya “Emile” Rousseau menyatakan bahwa tugas orang tua dan pendidik adalah menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan perkembangan yang telah diatur oleh alam itu berjalan secara spontan dan tidak dirintangi oleh campur tangan orang dewasa.


Artikel

15

Dalam hal ini Roesseau menggambarkan anak sebagai suatu “nable savage� yang telah dibekali dengan pengertian norma tentang yang benar dan yang salah oleh alam, sehingga akan dapat berkembang dengan baik. Frustasi yang kemudian timbul dialaminya merupakan akibat dari adanya pembatasan-pembatasan yang diperoleh dalam proses sosialisi. Secara singkatnya Roesseau ingin mengatakan bahwa anak-anak itu jangan terlalu dibatasi. Lalu bagaimana dengan kehadiran lembaga pendidikan formal laiknya sekolah atau perguruan tinggi. Mereka tidak serta merta membiarkan anak-anak untuk berkembang sesuai dengan keinginanya. Namun sekolah atau kampus terkesan mendikte dan memaksa untuk ikut sesuai kurikulum yang ada. Padahal seperti yang kita tahu. Manusia memiliki banyak tipe kecerdesan, bukan hanya tiga kecerdasan seperti yang kita tahu pada umumnya. Howard Gardner dalam ilmu psikologi pengembangan modern mengungkapkan bahwa ada sembilan tipe kecerdasan yang dimiliki manusia yaitu kecerdasan spasial, naturalis, musikal, logika-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik-jasmani, lingusitik, intra-personal.

Di mana setiap manusia mempunyai kesembilan kecer­dasan namun dalam tingkat yang berbeda. Sedangkan jika berada pada lembaga pendidikan formal, anak-anak atau mahasiswa dituntut untuk cerdas dalam segala hal, sampai-sampai mereka tidak mempunyai waktu untuk mengembangkan potensi kecerdasan alamiahnya. Meskipun sudah diberi terobosan dengan mengadakan kegiatan ekstrakurikuler atau mengikuti unit kegiatan mahasiswa (UKM), namun hal ini belumlah cukup. Pelajaran atau mata kuliah lebih membebani mereka. Belum lagi stereotip yang masih berkembang di masyarakat bahwa nilai adalah segalanya, pendidikan Edisi 20 | Desember 2017

tinggi adalah tangga lompatan untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Masyarakat belum banyak mengerti bahwa yang dibutuhkan sebenarnya adalah skill bukan hanya teori.

Jika begini, benar apa yang diungkapkan Rousseau bahwa frustasi yang menimpa anakanak adalah karena campur tangan orang dewasa dalam hal ini termasuk lembaga pendidikan formal yang membatasi ruang gerak pelajar atau mahasiswa. Jadi masih perlu dipertanyakan apakah lembaga pendidikan formal mampu meningkatkan kesejahteraan kalau efeknya menimbulkan frustasi. n *Penulis adalah mahasiswa prodi Psikologi dan kru di SKM Amanat


16

Opini

Kisah Fedelis dan Hukum Kita

Oleh: *Atika Ishmatul U Sanubari kita mungkin sama-sama menolak terhadap vonis yang pernah dijatuhkan kepada Fidelis Ari Sudarwoto, Pria asal Sanggau, Kalimantan Barat. Di altar pengadilan, Ia dijatuhi hukuman 8 bulan penjara karena kasus kepemilikan 39 batang ganja(cannabis sativa). Fidelis bukan pengedar, apalagi pecandu. Tak ada niatan dalam hatinya untuk melawan hukum. Ia hanya memanfaatkan tanaman ganja itu, untuk mengobati istrinya, Yeni Riawati yang menderita penyakit di tulang belakang, Syringomyelia. Dalam kondisi istrinya yang begitu lemah, Yeni tak mung­

kin menjalani operasi. Sehingga, sang suami harus mencari pengobatan altertanif. Dan ia temukan, satu satunya obat itu adalah ekstrak ganja. Akhirnya, Fidelis mulai menanam ganja untuk pengobatan istrinya. Yang ia tau pengobatan itu, terus membuat kondisi sang istri membaik. Namun hukum tetap hukum. Undang-Undang Narkotika Nomor 35 Tahun 2009 Pasal 111, menyatakan, setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk Edisi 20 | Desember 2017

tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar. Fedelis pun ditahan. Semenjak Fedelis ditahan, kondisi kesehatan istrinya kembali anjlok. Bahkan usai 32 hari penahanan, Yeni meninggal dunia.

Fidelis kini telah menjalani masa tahanannya dan bebas pada, 16 November 2017 lalu. Kasus Fedelis menjadi catatan tersendiri bagi hukum kita. Bagaimana ternyata penegak hukum di Indonesia seperti menampilkan wajah yang


Opini

tidak Humanis. Seolah hukum hanya untuk hukum. Bukan jalan mencapai keadilan. Kondisi yang menimpa kelu­ arga kecil Fedelis sehingga mengharuskan dia berbuat demikian, ternyata bukan sebuah pengecualian.

bukanlah main-main. Hasil putusan salah maupun benar yang ditetapkan, menentukan nasib seseorang.

Disadari atau tidak, dalam kasus Fedelis kita malah lebih fokus mencari segudang argumentasi hukum untuk menyalahkan atau membenarkan perkara. Kita lupa dengan inti permasalahan yang sesungguhnya, bahwa ada orang sakit yang sedang membutuhkan pengobatan. Saat negara tak bisa hadir untuk Yeni, seharusnya negara tak harus juga menghalangi Fidelis mengobatinya.

Selarasnya hubungan nilai dalam proses hukum tergantung pada moral penegak hukum. Namun, hingga kini kabut hitam masih menyelimuti lembaga peradilan kita. Mulai dari kasus sanksi kode etik ke dua yang dijatuhkan pada ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat dan terus membanyaknya jumlah jaksa nakal. Data Kejaksaan Agung tercatat ada 207 jaksa yang ditangani bidang pengawasan kejaksaan pada 2017. Meningkat dari tahun sebelumnya yang berjumlah 129 jaksa.

Dalam buku Mengenal Sosiologi Hukum, Soerjono Soekanto memaknai kasus-kasus baik penyelewengan hukum maupun kewenangan terjadi karena tidak selarasnya hubungan nilai-nilai dalam proses penegakkan hukum. Banyak orang memiliki kecerdasan tinggi namun melupakan aspek moral. Bagaimana pun juga,jabatan hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ di dunia

Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah mengupayakan kondisi dalam proses pene­ gakkan hukum yang selaras antara hubungan nilai dan proses hukum, demi terciptanya keadilan. Hal paling utama yang harus dibenahi adalah moral dari setiap praktisi hukum. Berbicara tentang moral artinya ber-

Kasus yang mempertemukan dua persoalan, yaitu hukum dan kemanusiaan, selayaknya diputuskan dengan kebijaksanaan. Jangan sampai atas nama penegakan hukum, negara malah membunuh orang yang sedang berjuang melawan penyakitnnya.

17

Selama luka yang terdapat dalam tubuh lembaga itu tidak kunjung diobati, gelombang hilangnya kepercayaan terhadap Lembaga Yudikatif akan terus meningkat. Apalagi jika dihadapkan dengan kasus yang mempertemukan antara kasus kemanusiaan dan hukum. Tanpa adanya kebijaksanaan tidak akan ada keadilan.

Edisi 20 | Desember 2017

bicara tentang proses pendidikan. Proses pendidikan harus juga diarahkan untuk membentuk karakter kaum terdidik. Jangan sampai apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, yaitu “education without character” terjadi di lembaga pendidikan kita. Sistem hukum di Indoneisa haruslah memiliki landasan keadilan untuk masyarakat. Jangan sampai kasus yang menimpa Fedelis terjadi lagi di kemudian hari. Hukum bukan ada untuk membunuh manusia yang sedang berjuang melawan penyakit dan memenjarakan seseorang yang berusaha mempertahankan hidup istrinya.n *Penulis adalah mahasiswa prodi Sosiologi dan Kru SKM Amanat.


18

Karikatur

Edisi 20 | Oktober 2017


19

(Amanat/ Riduwan)

Varia Kampus

Penggawa Baru SKM Amanat Jumat (29/12), Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat mengadakan Rapat tahunan dan Suksesi di Laboratorium Dakwah (Labda) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). Segenap Kru dan alumni SKM Amanat turut andil dalam agenda yang berlangsung selama sehari. Ketua Panitia M. Iqbal Sukhri mengungkapkan, kegiatan tersebut sebagai Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) pengurus serta reorganisasi SKM Amanat. “Ada tiga bidang dalam struktur kepenggurusan di SKM Amanat, yaitu Bidang

Umum, Bidang Keredaksian, dan Bidang Human Resource Departement (HRD),” ujarnya.

Setelah pembacaan LPJ yang dipimpin ketua per bidang, acara dilanjutkan dengan pemilihan pemimpin baru. Melalui pemilihan yang demokratis, terpilihlah penggawa baru, Fajar Bahruddin Achmad sebagai Pemimpin Umum (PU) SKM Amanat periode 2018 . Di bidang Keredaksian, Sigit Aulia Firdaus mendapatkan suara terbanyak untuk menduduki posisi Pemimpin Redaksi (Pemred) SKM Amanat. Edisi 20 | Desember 2017

Di akhir acara, Fajar berterima kasih forum telah mempercayakan SKM Amanat kepada mereka berdua. Harapannya, semua anggota akan tetap mengawal agar cita-cita luhur SKM Amanat dapat terealisasi. “Kita adalah keluarga. Butuh sikap saling membahu untuk mewujudkan cita-cita SKM Amanat. Dengan begitu SKM Amanat akan tetap menjadi media kampus yang kritis, independen, dan berintegritas,” pungkasnya. n

Mufazi Raziqi


20

Resensi

Rekonstruksi Perspektif Islam Menuju Kemaslahatan Umat

M

ungkin kita akan dibikin keheranan sekaligus was-was ketika membaca laporan yang dikeluarkan oleh The Soufan Group, Lembaga Riset dan kajian Strategi Internasional yang bermarkas di New York. Lembaga itu merilis Jumlah anggota ISIS dari luar negeri di penghujung 2015 kurang lebih ada sebanyak 31.000 orang, berasal dari 86 negara di dunia. Anehnya, ada sekitar 500 sampai 700 pejuang asal Indonesia di sana.

Buku ini meletakkan terorisme sebagai kajian utama. Di dalamnya juga mengklarifikasi berbagai konsep keagamaan seperti khilafah, hijrah, bay’ah, qital (perang), unf (kekerasan), irhab (teror), qishash, bu­ghah, dan al walla’ wa al barra’ (loyalitas dan pembangkangan) yang paling kerap disalah pahami dan disalahgunakan dalam prakteknya oleh kelompok ekstremis-teroris. Pada dasarnya istilah “tero­ risme” tidak ditemukan dalam Al Quran bahkan dalam kosa kata Arab sekalipun. Isu Terorisme merupakan produk zaman modern. Para ahli tafsir

dan hukum Islam modern berpendapat bahwa kata “irhab” memiliki makna yang jauh dari konsepsi terorisme dalam kamus politik barat. Kitab suci menyebut kata rahaba (akar kata irhab) di 12 tempat, dan moyoritas di antaranya menunjukkan pada makna takut (khauf) dan ketakutan (ruhbah) terhadap Allah Swt.

Rujukan utama yang menjadi landasan pembenaran kelompok ekstrimis adalah surah AnNahl (8): 60. Dalam buku ini

Padahal, jika ditinjau dari aspek sosiologi, faktor yang cukup kuat yang mendorong terorisme terus hidup adalah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi-politik di dunia.

ditegaskan bahwa penyiapan kekuatan bersenjata untuk mengetarkan musuh dilakukan agar musuh tidak berani menyerang dan perdamaian tetap terjaga. Penggunaan ayat “teror” ini juga digunakan Edisi 20 | Desember 2017

manakala sebuah perjanjian damai dikhianati, namun lagi-lagi pengunaan teror itu ditujukan guna memperta­ hankan kedamaian, bukan untuk menciptakan ketakutan dengan cara kekerasan yang selama ini dilakukan oleh para teroris (hal. 24).

Dalam Bab pertama, Falahuddin salah satu penulis di buku ini mengutip pemikiram dari seorang intelektual Muslim asal Maroko, M. Abid Al-Jabiri yakni mengenai bayani, burhani, dan irfani. Falahudin berpendapat untuk memahami ayat-ayat Al Quran ketiga pendekatan itu harus diterapkan secara intregralistik-komprehensif. Problemnya, kelompok ekstrimis-teroris, hanya menggunakannya secara parsial-linier.

Membaca ayat-ayat dalam Al Quran­­—khusunya yang berkaitan dengan jihad dan peperangan—tidak bisa hanya mengandalkan satu pendekatan bayani, yang terpaku pada teks secara rigid dan kaku. Ia harus juga dibarengi dengan pendekatan burhani yang berusaha mempertemukan teks dan


Resensi

kontek, lalu pendekatan irfani yang berusaha menemukan makna terdalam yang terkandung dalam sebuah ayat. Sehingga mampu didapatkan makna yang mendekati kebenaran. selain itu, dalam agama Islam ada yang dinamakan dengan maqashid al-syariah (tujuan puncak syariah). Wahyudi Abdurrahim, salah satu penulis dalam buku ini menarik kesimpulan bahwa, terorisme telah menghancurkan lima prinsip dasar dalam maqashid al-syariah. kelima prinsip itu adalah perlindungan keagamaan (hifzh al-din), perlindungan akal (hifzh al-aql), perlindungan jiwa (hifzh nafs), perlindungan keturunan dan keberlangsungan hidup (hifzh al-nasl), serta perlindungan harta dan properti (hifzh almal).

Oleh karena itu, Wahyudi berpendapat, aksi terorisme dan juga sarana yang dapat dijadikan pintu masuk pelaku teror harus ditutup. Ia merupakan bagian dari saddu dari’ah (Hal. 123).

Islamofobia Berkaitan dengan tema Islam dan terorisme, dalam buku ini dikemukakan bahwa masalah ini merupakan stereotipe dan bias yang sengaja dibang­ un oleh para akademisi dan pemimpin keagamaan di barat mengenai Islam atau Islamofobia. Di antaranya, Paus Benedict XVI dan para intelektual

berpengaruh seperti Samuel P. Huntington, Benjamin Barber, Bernard Luwis, dan Daniel Pipes. Mereka melontarkan berbagai pandangan dan tesis yang serupa bahwa Islam itu lebih keras dan berbahaya dari pada agama-agama lain.

Bisa dikatakan tesis-tesis mengenai Islam yang mere­ ka keluarkan merupakan pembenaran bagi kalangan ektrimis teroris. Padahal, jika ditinjau dari aspek sosiologi, faktor yang cukup kuat yang mendorong terorisme terus hidup adalah ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi-politik di dunia. Dalam impitan ekonomi-politik global, kelompok teror ini mengandalkan kekerasan sebagai mata pencarian mereka. Ada lima sumber pendapatan ISIS: pertama, hasil dari Judul

: Jihad Khilafah dan Terorisme

Penulis

: Azyumardi Azra, CBE dkk

Penerbit

: Mizan

Tebal

: 664 halaman

Ukuran Buku

: 23,5 cm

Resentator

: Iin Endang Wariningsih

Edisi 20 | Desember 2017

21

invasi wilayah. kedua, penculikan dengan tebusan. ketiga, sumbangan dari Arab Saudi dan negara-negara Teluk yang sering disamarkan atas nama “dana amal kemanusiaan’. keempat, dukungan materi yang diberikan oleh pejuang asing, dan kelima, penggalangan dana melalui jaringan komunikasi digital. Buku hasil dari symposium nasional “Halaqah Fikih anti-terorisme” para ulama dan cedikiawan berlatarbelakang Muhammadiyah ini, merupakan bacaan yang layak dan berbobot untuk segenap kalangan akademisi. Pembahasannya yang kontektual juga membuat buku ini patut dibaca setiap kalangan. Apalagi bagi yang ingin mengetahui secara komprehensif kajian mengenai terorisme dari berbagai pendekatan.n


22

Resensi

Melihat Dunia Masa Depan Apa jadinya ketika batas antara manusia dan mesin berusaha dilenyapkan. Ketika mesin adalah manusia, dan manusia adalah mesin.

Judul : Ghost In The Shell Genre : Action, Drama, Sci-Fi Sutradara : Rupert Sanders PenulisSkenario:JonathanHerman,Jamie Moss RumahProduksi:DreamWorksSKG, Grosvenor Park Production, DistributorFilm:ParamontPictures Tanggal Rilis : 31 Maret 2017 (USA) Negara Asal : USA Bahasa Film : English Resentator : Febbi Ferkhilawati

Kemajuan teknologi memungkinkan manusia meningkatkan diri­ nya dengan perangkat sibernetika. Di masa depan Para ilmuwan membuat ekperimen untuk mentranspa­ lasi otak manusia ke dalam tubuh sintesis secara penuh. Mereka menggabungkan atribut terkuat dari manusia dan robot. Caranya ilmuwan menyiapkan kerangka robotika yang nantinya akan diselaraskan dengan otak manusia.

Mesin tidak bisa memimpin, hanya bisa mengikuti perintah. Mesin tidak bisa membayangkan, memiliki rasa peduli ataupun berintuisi. Tapi, karena pikiran manusia yang berada dalam kerangka sibernetika, semua itu dapat dilakukan.

Ghost in the Shell merupakan film asal Amerika Serikat yang menggambarkan manusia dengan usahanya mencapai bentuk Edisi 20 | Desember 2017

sempurna. Namun, pencapaian dalam film ini dimanfaatkan demi kepentingan milliter. Yaitu, sebuah perusahaan robot, Hanka Robotika yang menjual karyanya kepada lembaga pertahanan negara. Film berdurasi 107 menit ini dibintangi oleh Scarlett Johansson sebagai Mayor Mira Killian (pemeran utama), Michael Pitt sebagai Kuze, Pilou Asbaek sebagai Batou, Juliette Binoche sebagai Dr. Ouelet, Chin Han sebaga Togusa, Takeshi Kitano sebaga Chief Daisuke Amaraki, dan Petter Ferdinando sebagai Cutter.

Film ini menceritakan tentang seorang manusia cyborg yang memimpin devisi operasi khusus Section 9, The Mayor. Unit yang ia pimpin memiliki spesialisasi untuk menangani dan menyelesaikan kasus kejahatan yang berhubungan dengan teknologi canggih, seperti cyber crime dan hacker. Mereka harus menghadapi musuh yang memiliki tujuan utama untuk menyabotase dan melenyapkan teknologi kecerdasan buatan dari Hanka Robotika. Namun dalam usahanya menjaga perusahan yang telah menyelamatkan hidupnya, ia harus mencari tahu kebenaran apa yang disembunyikan dari perusahaan tersebut.


Resensi

Kegelisahan Manusia Cyborg Mayor tidak dapat mengingat masa lalu, meskipun ia mempunyai otak. Ini karena semua memorinya telah diretas oleh Hanka Robotika. Ia diberi memori palsu berisi ingatan mengenai kekejaman teroris yang membunuh seluruh keluarga Mayor dan menenggelamkannya di laut. Hanka Robotika membuat realitas palsu seolah perusahaan itu adalah penyelamat hidupnya. Sejak, saat itu mayor berperan sebagai agen militer yang bekerja di bawah komando Chief Daisuke Amaraki, untuk menumpas kejahatan siber.

Pembunuhan demi pembunuhan terjadi pada Ilmuwan Hanka Robotika yang ikut terlibat dalam eksperimen 2-7-5-1. Suatu hari major mendapatkan tugas untuk menyelidiki serangkaian kasus yang didalangi oleh hacker misterius, Kuze. Ia adalah buronan nomer satu dalam kejahatan siber. Kuze mencoba mengembangan kemajuan tek­ nologi siber, lebih canggih dari pada Hanka Robotika.

Sebenarnya Kuze adalah manusia ke 98 yang dijadikan eksperimen oleh Hanka Robotika. Tapi karena otak Kuze tidak selaras dengan kerangka sibernetika, ia lantas coba dimusnahkan. Entah mengapa kuze tetap bisa bertahan hidup hingga menjadi Hacker, tidak dijelaskan dalam film ini.

Di masa depan, para ilmuwan membuat ekperimen untuk mentranspalasi otak manusia ke dalam tubuh sintesis secara penuh. Pertemuan mayor dengan kuze di ruang bawah tanah, tempat persembu­nyian kuze, seketika mengubah alur cerita. Mayor mendapati kenyataan bahwa ia adalah eksperimen ke 99 yang berhasil dijalankan Hanka Robotika. 98 eksperimen manusia sisanya gagal dan mati. Ada yang beruEdisi 20 | Desember 2017

23

saha dimusnakan karena tidak sempurna, seperti Kuze. Kekejaman ini tidak dapat diterima oleh Mayor.

Daya tarik utama dari film Ghost in the Shell terletak pada visualisasi yang memikat. Deretan bangunan serta jalanan kota yang futuristik dan berbagai macam teknologi menarik dan juga pencapaian visual yang luar biasa. Gambar-gambar bernuansa neon ditujukan untuk membuat kita terpesona dalam format IMAX dan 3D membuat penonton tercengang. Film yang disutradarai oleh Rupert Sanders, diproduseri oleh produser ternama yang telah mengahasilkan beberapa film besar, Avi Arad seperti, The Amazing Spider-Man series, Ghost Rider series, dan Spider-Man Homecoming, bersama dengan Steven Paul (JL Ranch). Film ini didistribusi oleh Paramount Pictures dengan perusahaan produksinya, DreamWorks Pictures, Reliance Entertainment, Amblin Partners dan Arad Productions.n


24

Fotografi

Sentra Penjualan Ikan di Pesisir Semarang Pasar Tambaklorok menjadi salah satu pusat penjualan ikan di Semarang. Lokasinya berada di pinggiran Kota Semarang, tepatnya di Sungai Banger, KelurahanTanjung Emas. Ditempatiniterdapattempatpelelanganikan(TPI)yangtakjauhdaridermaganelayan yang membuat harga ikan di sini lebih murah dibandingkan tempat lain. Pemerintah rencananya akan menata kawasan ini menjadi Kampung Bahari.

Edisi 20 | Desember 2017


Fotografi

Edisi 20 | Desember 2017

25


Warna-warni Kehidupan Kampung Pelangi

Selain ada di Malang dan Jogja, kini kampung pelangi juga hadir di Semarang. Kampung yang tengah hangat diperbincangkan di media sosial ini menjadi sangat viral karena keunikannya. Kampung pelangi seakan menjadi laboratorium mini kemajemukan Kota Semarang.

S

ekelompok anak muda berjalan kesana kemari. Mereka menjajali spot foto yang ada di di Kampung Pelangi (19/06). Spot foto yang dihiasi mural dinding tersebar di gang-gang yang ada di Kampung Pelangi. Selain itu warga juga menyediakan properti tambahan yang dapat di pinjam gratis untuk berfoto. Topi hias, bunga ikat, dan flower crown dapat digunakan secara cuma-cuma. Keindahannya akan semakin terlihat jika dari kejauhan.

Pengendara yang melintas disuguhi pasar bunga Kalisari dengan background warna-warni pemukiman warga kurang lebih sepanjang 500 meter. Tumpukan rumah-rumah itu

dibalut warna di setiap sudut.

Dari mulai dinding, atap, pintu, jendela, hingga jalan setapak tak luput dari kuasan cat.

Terdapat sungai memisahkan antara pasar bunga kalisari dengan kampung. Jembatan yang menghubungkan pun dipercantik.

Bermacam warna digunakan untuk mewarnai setiap dinding rumah yang ada di kampung itu. warna-warna tersebut seolah menunjukkan jati diri kota Semarang. Hal ini seakan menjadi laboratorium kecil kemajemukan yang ada di Semarang. Kota yang berjuluk Kota Atlas memang dihuni penduduk yang berwarna-warni agamanya, budaya, suku, dan lain sebagainya. Meski begitu mereka tetap harmoEdisi 20 | Desember 2017

nis, layaknya Pelangi yang indah dengan keberagaman. Ternyata yang membuat indah adalah perbedaan.

Kampung Pelangi kini menjadi ikon baru pariwisata Semarang. Tak lengkap rasanya melintasi Semarang tanpa berkunjung ke kawasan Wonosari.

Ide pembuatan kampung pelangi ini datang dari pemerintah, yang ingin menata kawasan pasar bunga, namun kondisi kampung belakang pasar yang tidak mendukung. Kampung Brintik kala itu masih dianggap kumuh. Untuk menyiasatinya, pemerintah memiliki inovasi dengan mengubah Kampung Brintik dengan kampung yang penuh warna.


Feature

(Amanat/ Rima)

Salah satu wisatawan, Novia Widya Astuti mengaku senang bisa berkunjung ke Kampung Pelangi. “Di sini banyak tempat foto yang menarik,” tutur mahasiswa UIN Walisongo asal Jakarta tersebut. Namun ia juga mengaku kecapekan saat berada di sana. Kampung Pelangi yang sebenarnya merupakan bukit membuatnya ngosngosan saat naik turun menjajali spot foto yang ada. “Tapi tidak apa-apa, hitung-hitung menurunkan berat badan,” ujarnya sambil berkelakar. Kampung Pelangi mempunyai luas sekitar 4 hektar, dengan 7 gang. Lokasi kampung ini terletak di pusat kota, hanya beberapa ratus meter dari Tugu Muda, tepatnya di belakang Pasar Bunga Kalisari, Wonosari, Kelurahan Randusari, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang, Jawa Tengah. Pembangunan kampung pelangi dimulai pada bulan April lalu, warga kampung gembira dan bergotong royong membantu pemerintah dalam pengecetan kampung. Saat Amanat berkunjung pada bulan Juni lalu, pengecatan masih dalam tahap 60 persen.

Viral di Medsos Karena kepopulerannya di media sosial, tidak heran jika suasana kampung pelangi di penuhi oleh para remaja yang berswafoto ria bersama teman-temannya. Warga pun semakin aktif menambah spot foto, salah satu yang baru adalah gembok cinta.

Bagi para pengujung yang mempunyai pasangan dan ingin merasakan sensasi gembok cinta tidak

perlu jauh-jauh ke Paris, karena di Kampung Pelangi Semarang pun sekarang sudah terdapat gembok cinta yang terpasang di salah satu jembatan Kalisari.

Karena bagi wisatawan, warga sekitar kecipratan rezeki. Mereka kini banyak yang membuka warung dan menjajakan minuman dan makanan. Salah satu pedagang minuman Sumiyati, mengaku senang dengan perubahan yang terjadi di kampungnya. Suasana kampung yang dulunya sepi kini menjadi ramai di penuhi wisatawan.

“Paling rame ya ketika pagi dan sore, hari libur dan tanggal merah itu pengunjungnya sangat banyak,” kata perempuan yang sejak kecil dibesarkan di Kampung Brintik. Akan Terus Berbenah Ketua PKK sekaligus pengurus Kampung Pelangi, Setyaningsih mengatakan, selain warga kampung pelangi ini tidak diperbolehkan berjualan di dalam kampung. Kampung ini juga harus steril dari pengemis. “Dari Pemkot sendiri kan cita-citanya mensejahterakan warga kampung pelangi. Ini rame, warga disuruh jualan semua,” ujarnya saat di temui oleh kru SKM Amanat.

Untuk bisa masuk ke kampung pelangi, pengunjung tidak di kenai biaya tiket, cukup membayar parkir Rp. 2 ribu saja bagi yang membawa kendaraan motor. Ia menambahkan, program pembangunan kampung pelang­i belum sepenuhnya Edisi 20 | Desember 2017

27

rampung. “Banyak rumahnya, ada sekitar 400-an, dan yang selesai diwarnai masih sebagian,” jelas Setyaningsih Juni lalu.

Meski belum selesai 100 persen, namun kunjungan wisatawan semakin meningkat.

Pemerintah Kota Semarang juga berencana akan merevitalisasi sunga­­i yang menjadi pembatas antara jalan raya dengan Kampung Pelangi. Rencananya, di sungai tersebut juga akan wahana wisata air, seperti bebek kayuh dan lain sebagainya.n Rima Dian Pramesti

Pemandangan Kampung Pelangi dari belakang Pasar Kembang Kalisari (kiri). Anak tangga yang tak luput dari kuasan cat berwarna -warni, (19/06).


Cerpen

28

Rantai dalam Tutur Manis Sang Kiai Deburan ombak terdengar santer di telinga. Terbawa angin yang mulai berhembus kencang. Rumah-rumah penduduk, satu persatu mulai rapat tertutup,gelap tanpa cahaya. Dengkuran-dengkuran terdengar. Hewan-hewan laut mulai merangkak ke daratan, membuat lubang yang esoknya akan hilang tersapu ombak. Seakan tahu bahwa di seberang pasir pantai, ada seorang perempuan yang menggali untuk ditutup esoknya. Ningrum sedang mencumbui kerinduannya yang terakhir. Cinta dalam senyuman yang selama ini ia lakukan, kini harus berakhir tanpa pengucapan. Tidak ada lagi kegiatan saling mencuri pandang, atau saling melempar senyum. Tidak ada lagi kegiatan mengendap-endap di dapur pondok, untuk sekedar melihat. Semuanya akan berakhir besok. Kaffa harus dikubur secara paksa olehnya, karena besok ia akan diikat oleh sebuah hubungan. Kaffa terlalu sempurna untuknya, setidaknya itulah yang dikatakan sang Kiai.

***

Keadaan rumahnya pagi ini serba semrawut, terutama di bagian dapur. Ibu-ibu berlalu

Oleh: Khalimatus Sa`diyah lalang, keluar masuk dapur membawa tampah-tampah yang berisi jajanan. Berteriak memanggil dengan kencang. Sedangkan kaum bapak hanya duduk santai sambil udud dengan kaki jlegrang di depan rumah.

Lain halnya dengan Ningrum, ia sudah terpoles halus dengan beberapa bedak. Dia duduk sendiri di dalam bilik menghadap cermin. Abaya biru tua membalut tubuhnya dengan kain panjang berwarna hitam yang menjadi penutup kepala. Celak hitam di garis bawah matanya mempertegas keindahan. Namun garis itu tak mampu mengusir wajah suram yang terlukis jelas.

Karena lompatan kenangan mengenai drama sang kiai, kini seakan menari-nari di depan cermin. Membuatnya harus membuang muka dari kaca putih itu. Sebuah drama yang berakhir dengan kekalahan sang hamba sahaya. Betapapun dia masih ingat saat sang Kiai tertawa lebar mendengar penuturan Ningrum yang diam-diam jatuh cinta dengan putranya, Kaffa. Sambil tersenyum dia menuturi Ningrum bahwa tidak ada putra kiai yang menikah dengan santri dari keluarga biasa, Kewajiban untuk meneruskan Edisi 20 | Desember 2017

generasi yang alim dan saleh hanya bisa didapatkan ketika kiai berbesan dengan kiai. Bukan berbesan dengan nelayan. Dia mendesak Ningrum untuk menerima keputusannya. Keputusan untuk menikah dengan seseorang yang meminta dicarikan pasangan oleh sang Kiai.

Waktu memang tepat, seolah ini sudah berada dalam satu garis takdir. Ningrum tak bisa menolak, karena di dalam pondok diajarkan untuk berkata iya pada setiap perintah sang Kiai. Kehidupan yang penuh dengan barokah menjadi upahnya. Upah karena mengiyakan permintaan sang Kiai. Ajaran itu sudah terpatri dalam hatinya, selama 10 tahun ajaran itu selalu didengungkan, sehingga tanpa sadar dia mengiyakan permintaan tersebut.

Dia resah setiap kali mengingat kejadian itu. Kepalanya berdenyut kencang, napasnya sesak. Ia tidak mau hatinya goyah untuk keseratus kalinya. Cukup dengan 99 kali saja, ia berharap kegoyahan itu akan menjelma sebagai doa indah, layaknya keindahan 99 nama sang pencipta. Namun hati tak bisa membohongi, kekhawatiran itu menjelma menjadi sebuah pertanyaan yang sarat dengan ketakutan.


Cerpen

“Siapa dia? Apakah aku bisa menerimanya? Apakah aku akan berakhir sebagai seorang istri yang dimadu atau akulah orang tersebut. Apakah akan berujung dengan kekerasan? Tuhan dia masih sangat samar untukku. Bahkan sujud malam dalam istikharahku tak membuat terang perkara ini. Tuhan kenapa aku begitu bodoh mengiyakan setiap perkataannya, menerima seolah dia adalah ayahku. Sedangkan orang tuaku sendiri tak mempunyai andil untuk hal ini.� Air mata mulai menetes, membasahi pipi yang molek itu. Ningrum bergelut dengan kekalutan. Jiwanya meringkih, menderita, dan meragu. Pembicaraan orang tuanya yang tak sengaja ia dengar, membuat air mata makin kerap menetes. Pembicaraan mengenai masa depan Ningrum yang mereka mimpikan. Bukan yang sang Kiai inginkan.

Sedangkan para ibu tiduk peduli dengan kekalutan itu, mereka mulai asyik membicarakannya di setiap pojok rumah. Membicarakan bahwa enak sekali menjadi dirinya, dijodohkan oleh kiai pasti dijamin bahagia dan sejahtera. Setidaknya itulah yang mereka bicarakan tiap sore setelah ashar. Berita itu menyebar terlalu cepat. Enteng sekali mereka berbicara, seolah melupakan banyak percerain, penderitaan, dan KDRT yang terjadi pada pasangan yang dijodohkan oleh kiai sekali-

pun. Mereka lupa akan hal itu. Sosok kiai adalah orang yang paling benar, titik. Itulah pandangan mereka.

Sementara sang tokoh utama tengah bergelut dengan keresahan. Dari luar keramaian mulai tampak. Rombongan keluar dari mobil, bak lebah yang baru keluar dari sarangnya. Senyum manis mereka pertontonkan. Semua yang ada di dalam dan di luar rumah, berjejer rapi menyambut mereka. Kecuali Ningrum,yang masih harus bersembunyi dalam biliknya. Satu persatu tamu memasuki rumah, melempar senyum pada sang empunya. Hantaran sebagai simbol kewajiban laki-laki kini telah berpindah tangan, memenuhi sudut ruangan yang tidak dapat terlihat dari depan. Ning masih duduk memalingkan wajahnya dari cermin. Saat itulah pintu kamar diketuk pelan, ia dihampiri dengan manis oleh dua perempuan yang tak lain adalah sepupunya. Dia ditarik keluar dari bilik, paras ayu terpancar, lewat jilbabnya yang tersulur panjang. Menutupi bagian dada dan abaya yang dia kenakan. Semua pasang mata mengekor pada Ning yang kini duduk di tengah, berhadapan dengan laki-laki yang dijodohkan kiyainya. Laki-laki yang ia terima secara terpaksa. Karena khidmah atau entah kebodohannya. Laki-laki yang hanya ia tahu namanya, Renjana. Edisi 20 | Desember 2017

29

Prosesi utama akan segera dimulai,setelah beberapa sambutan oleh dua keluarga, kini tiba waktunya untuk Ning ditanting. Ditanya apa dia menerima pinangan ini. Ning masih menunduk,dia tidak berani memandang kedepan. Mulutnya gemetar ingin berujar, namun entah mengapa kelu tiba-tiba menyergap. Dia merasa ada yang sakit. Namun tak tahu yang mana. Dia merasa ada yang hilang, namun apa? Dia terisak, cairan bening itu mengalir. Semua yang hadir saling memandang, bertanya-tanya ada apa gerangan. Dia tidak menyadari jika saat ini, isakannya telah menciptakan suasana hening. Semua mulut terkunci rapat. Ruangan yang awalnya penuh dengan wajah-wajah sumringah, mendadak menjadi ruangan yang penuh dengan bahaya. Wajah-wajah cemas terlihat. Saling bertanya dan berbisik dengan sebelahnya. Sang ibu menyentuh pundaknya berniat mengingatkan, namun di luar dugaan Ning malah memeluk erat tubuh ibunya itu. Isakan tangis yang awalnya lirih, kini semakin terdengar jelas. Hingga akhirnya sang ibu meminta diri untuk membawa Ning ke kamar ***

Ning menangis, bukan lagi terisak. Siluet cemara pantai, terukir di tembok putih kama-


30

Cerpen

rnya. Sebuah siluet indah yang tercipta karena pancaran sang surya. Dia duduk di pinggiran kasur, sang ibu menarik kursi pelan. Tangan halus Ning dipegang lembut oleh ibunya.

Lompatan kenangan pahit kini mulai muncul. Terukir jelas saat kedua orang tuanya tak berdaya menghadapi permintaan sang Kiai. Seperti ketidakberdayaannya. Orang tuanya hanya menerima dengan pasrah. Dengan seulas senyum palsu yang mereka pertontonkan. Mereka punya rencana sendiri untuk putrinya, namun lagi-lagi mereka harus mengalah, karena beranggapan sang Kiai adalah orang yang paling tahu dan lebih hebat dari mereka.

Ningrum masih menangis dalam peluk ibunya. Kedua matanya memandang tajam melihat jejeran kitab kuning klasik yang tersusun rapi dalam kotak buku yang telah menempel 10 tahun lebih di kamarnya. Dia merasa mereka semua tidak ada gunanya. Kitab akhlak yang dia pelajari, syiir-syiirnya yang ia hafalkan setiap hari,rasanya menjadi biang keladi atas masalah yang terjadi. Atas perkataan “iya” yang ia ucapakan untuk tawaran sang Kiai. Bukan seperti itu, yang Ningrum inginkan. Tapi tak bisa lagi dia menolak. Kitab telah mengajarinya untuk berkata “iya” pada setiap katanya. Ketenteraman yang dia janjikan, cerita dan mimpi manis

yang dia ceritakan. Ning masih ingat, betapa kiainya sumringah saat bercerita. Garis wajahnya tertarik sempurna, giginya terlihat jelas. Putih berderet. Bilik kamarnya ikut sunyi, ibunya diam seribu bahasa. Ning menunduk,tangannya yang dilukis indah dengan warna merah menjadi basah. Pintu kamar berdecit memecah kebisuan, seorang laki-laki setengah tua masuk. Dia menutup kembali pintu itu sebelum menghampiri putrinya yang masih tertunduk di sudut ranjang. Tak lagi dihiraukan, sorot cahaya sang surya yang menembus korden jendela. Menatap wajah.

Kini berganti,sang bapak yang duduk di depannya. Ning mendongak,menatap wajah sang bapak melas. Dengan bulir air mata yang masih ada,seakan berbicara bahwa kali ini dia benar-benar terluka. “Nduk, kenapa kamu menangis? Bukankah bapak sudah bilang untuk diam dan mengangguk saja,” tukas bapaknya.

“aku ndak mau Pak! Mereka yang mengatur hidupku. Bapak dan ibu yang lebih berhak untuk itu,” jawab Ning dengan sorot mata yang menyala.

“Bukan mereka Nduk yang mengatur hidupmu, tapi kamu sendiri. Kenapa kamu berani mencintai Gus mu (putra dari Kiainya). Kenapa kamu Nduk? Sepintar apapun, kamu ndak Edisi 20 | Desember 2017

boleh menebar benih yang membuat Gus mu jatuh hati,” jelas Bapak pada Ning.

Seketika itu juga, Ning terdiam. Benar kata bapaknya, namun semangat memberontak masih tersisa, dia bertanya dalam hati perasaan cinta yang belum sempat berkembang mengapa itu yang menjadi alasan? Ning tidak lagi bisa mengelak, pilihan harus tetap diterima. Terlepas sama atau tidaknya dengan impian. Tidak menjadi penghancur dalam keluarga kiainya adalah hal utama sekarang. Ning hanya bisa menghembuskan napas beratnya, sebelum semuanya menjadi rumit. Sebelum itu juga Ning harus pergi. Dia paham inilah usiran halus untuk dirinya. Dirinya yang harus terusir karena menyebabkan sang penerus tahta jatuh cinta pada hamba sahaya.

***

Ning keluar dari biliknya, dengan diapit kedua orang tuanya. Ning kembali kepada ketidakberdayaan. Kepada tutur manis itu yang mengikatnya. Semua orang mengarahkan pandangan pada Ning. Harapharap cemas, karena tadi. Ning telah duduk pada tempatnya semula, berhadapan dengan Renjana. Dia tersenyum pada orang-orang yang hadir. Seolah memberi tahu bahwa dia tidak apa-apa.n


Puisi

Segudang Wawasan di Hatinya

Dimensi Kerinduan

oleh: Nailin Najjihah

oleh: Wiwid Saktia

Jika inti jantungmu tersentuh

Dari ufuk manapun

Pintu hatinya tak peduli

Mereka yang hanya menerka nerka

Luas tak mengharap imbalan

Dalam kotak kotak kemungkinan

Namun ia terdiam

Dan apakah yang mereka temukan

Kesunyian membuat bungkam Di hadapan dua mata jendela yang menatap cakrawala

Setiap waktu Penasaran lalu lalang Membawa sejuta dahaga

Satu harapan melayang pada burung burung senja

Pada masanya

Pada matanya

Kini

Aku melihat pintu pintu yang terkunci

Alunan cakralawa menyambut perih

Jiwa jiwa yang masih suci

Haus akan sentuhan Merintih terabaikan

Wahai siang yang tenang dan malam yang muram

Hatinya usang

Adakah arti memiliki

Penuh debu kegelisahan

Diri kami bukanlah milik kami

Tercekik pudarnya zaman

Mereka jiwa jiwa yang terpejam

Segudang wawasan pun tak menolong

Tidur dalam dimensi kerinduan

Edisi 20 | Desember 2017

31


Profil

32

Membentuk Jiwa Motivator Muda Kabupaten Kendal ini memang tak pantang menyerah, Edmi mengaku mendapat petunjuk di jalan yang benar, untuk melanjutkan pendidikan di UIN Walisongo.

(Dok. Pribadi)

Menjadi seorang motivator bukanlah hal yang mudah. Perlu adanya bakat tersendiri dan keberanian. Kemampuan terbatas bukan menjadi suatu halangan untuk menekuni hal tersebut. Bakat itulah yang kini dikembangkan dalam diri Edmi Istifaryadi, mahasiswa semester sembilan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo.

Mahasiswa yang kerap disapa Edmi ini menceritakan perjalanan hidupnya. Dulu, ia seorang pendiam, introver, bahkan anti sosial. Titik balik hidupnya, adalah ketika ia sempat bekerja sebagai kuli bangunan selama enam tahun. Pada saat itu, Edmi mulai mendapat kekuatan untuk bangkit dan berubah. Sehingga, kini ia dapat menjadi sosok motivator muda yang terbilang sukses. Semangat pria yang lahir dan besar di Desa Pegandon,

“Ilmu dunia akan terbuang sia-sia jika tidak diimba­ ngi ilmu agama,” tuturnya, (9/10).

Keaktifannya di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Korp Dai Islam (Kordais) FDK, menjadi awal mula ia meniti karir.Kejenuhannya di bidang ceramah akhirnya mengantarkan dirinya untuk menjadi seorang motivator. Sekitar empat tahun Edmi menjalankan training motivation. Kini, ia memanen buah dari usahanya. Banyak tawaran dari dalam maupun luar kampus untuk mengisi public speaking atau sebagai motivator.

Salah satu langkah yang melambungkan namanya adalah ketika ia membuka SOM (School of Motivation) yang merupakan tempat pelatihan public speaking di kalangan muda. Ia berharap bisa meres­ mikan usahanya ini Kemen­ terian Hukum dan Hak Asasi Manusia, supaya diakui oleh pemerintah dan bermanfaat bagi masyarakat. Edisi 20 | Desember 2017

Selain menekuni bisnis pelatihan public speaking, saat ini Edmi juga sedang menulis buku berjudul: Tamparan Motivasi, yang menceritakan tentang perjalanan hidupnya. Rencananya buku itu akan terbit dalam waktu dekat. Dari ceritanya, Edmi berpesan untuk tidak terlena dengan masa muda yang penuh dengan kesenangan.

“Gali terus potensi dalam diri kita, serta milikilah impian dan wujudkan dengan kemampuan yang kita miliki, agar kelak kita menjadi orang yang berpengaruh untuk bangsa ini,” ungkapnya.n Nurul Eka WH

Curriculum Vitae

Nama: Edmi Istifaryadi Tanggal lahir: Kendal, 26 April 1992 Prestasi: Pembicara di lapas Kedung Pane, Panti Rehabilitasi Pecandu Narkoba dan Gelandangan, I news TV, Kampus, Ponpes dll; Pendiri KomunitasPenyebarMotivasi Pengalaman Organisasi: Ketua Ikatan Remaja Mushola Al Falah Pegandon tahun 20132015; Ketua Kordais tahun 2015


Sosok

33

Ikhlas

Usianya tidak muda lagi. Namun, Syamsudin Yahya (74), dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo ini terus semangat mengajar. Setiap akan mengajar, Ia harus melaju dari Solo ke Semarang dengan meggunakan bus. Kegiatan ini telah ia jalani selama 41 tahun lebih. Pria yang biasa mengenakan baju batik dan membawa tas slempangan berwana hitam itu, tak pernah mengaku lelah. Baginya, bertemu rekan seja­ wat dan mahasiswa menjadi sebuah perantara untuk tetap menjalin silaturrahmi. Ia merasa bahagia ketika mahasiswa menyapanya dengan santun. “Sapaan mereka yang bertanya kabar dengan panggilan kakek menjadi hadiah kebahagian tersendiri bagi saya,” ungkap Syamsudin, (11/9). Di usianya yang telah menginjak kepala tujuh, Syamsudin

tetap memperlihatkan semangat mudanya. Pria kelahiran Ngawi, 31 Desember 1943 itu telah mengabdikan dirinya di UIN Walisongo selama 47 tahun. Ia kerap disebut dengan panggilan dosennya para dosen. Di antara muridnya ialah Guru Besar Manajemen Pendidikan Islam, Prof. Fatah Syukur.

Penuan yang ia alami tidak menjadi penghalang untuk tetap berbagi ilmu dan pengalaman. Syamsudin mengung­ kapkan, mengajar baginya tidak sebatas sebuah ibadah. Lebih dari itu, mengajar telah menjadi sebuah hiburan. Tiap kali mengajar, Syamsudin sering memberikan nasihat mengenai hal yang baik dan yang buruk. Pesan yang kerap ia sampaikan pada mahasiswa yakni tentang menerapkan kedisiplinan waktu masuk kelas. Kedisiplinan terhadap waktu

Curriculum Vitae

Nama: Syamsudin Yahya Tempat, tanggal lahir: Ngawi, 31 Desember 1943 Pendidikan: S1IAIN Sunan Kalijaga Yogyakara

berkaitan dengan ketertiban dalam menunaikan ibadah salat. Jika hari pertama di kelas saja sudah telat, maka salat pun selalu menjadi makmum masbuh. “Menjaga kedisiplinan waktu kuliah sama dengan menjaga salat, dan semuanya merupakan ibadah yang indah,” ujar Syamsudin.

Selain menjadi dosen di UIN Walisongo, Syamsudin juga menjadi dosen di Universitas Nahdhlatul Ulama (UNU) Surakarta. Syamsuddin beranggapan bahwa mengajar bukan semata-mata untuk mengejar uang demi kebahagian duniawi. Baginya, mengajar merupakan representasi dari sebuah ibadah. Ia menanamkan pada pribadinya bahwa mengajar merupakan waktu untuk dapat berkomunikasi dengan banyak orang.

“Saya mengamalkan ilmu sebagai dosen bukan untuk perkara finansial. Namun, pertemuan saya bersama rekan dan para mahasiswa jauh lebih berharga,” ungkapnya.n

Fika Eliza

Edisi 20 | Desember 2017

(Amanat/ Fika)

Sebagai Motivasi Hidup


34

Esai

Generasi Bullying B

ullying bukan lagi cerita baru. Umurnya mungkin setara dengan umur kehidupan sosial yang dijalani manusia. Namun, akan menjadi sebuah ironi tersendiri jika tindakan ini dilakukan di lingkungan lembaga pendidikan. Lingkungan yang seharusnya menjunjung tinggi etika dan akhlak.

Bullying berasal dari bahasa Inggris, dari kata bully yang berarti menganiaya, menggertak. Sedangkan menurut Wikipedia bullying adalah penggunaan kekerasan, ancaman, dan paksaan untuk menyalahgunaan atau mengintimidasi orang lain. Bentuk intimidasinya dapat berupa penindasan fisik atau penindasan psikis. Di mana penindasan fisik dapat menimbulkan perasaan sakit fisik, seperti luka, cedera, dan yang lainnya. Berbeda dengan penindasan fisik, penindasan psikis justru lebih berat efeknya. Penindasan psikis dapat mengakibatkan trauma psikologis, ketakutan, depresi, kecemasan, dan stres.

Dalam dunia pendidikan bullying biasanya dilakukan oleh teman sebaya atau sekelompok orang. Hal ini seperti telah menjadi tradisi dan mendarah daging dari generasi ke generasi. Individu yang kuat dalam kasus bullying mungkin tidak akan mengalami gangguan, baik gangguan fisik maupun gangguan psikisnya. Namun, mereka yang lemah bisa saja mengalami gangguan pada dirinya. Korban bullying pun tidak menutup kemungkian akan mengalami cacat mental, cenderung murung, trauma berat, bahkan sampai depresi dan tidak mau lagi melanjutkan sekolahnya. Motif bullying biasanya dilakukan oleh pelaku yang merasa memiliki hak untuk menyakiti,

menghina, atau mengendalikan orang lain yang dianggap lemah, rendah, tidak berharga dan tidak layak mendapatkan rasa hormat. Selain itu, tak jarang pelaku hanya ingin mencari sensasi, ingin merasa hebat dan dihargai banyak orang, ingin memiliki kekuasaan sehingga berbuat semena-mena pada orang lain. Korban bullying akan mudah ditindas. karena sikapnya yang aneh, berbeda, pendiam, susah bersosialisasi, introver, dan tidak disukai oleh teman-temannya. Sehingga, ia dikucilkan.

Hal ini bukan lagi menjadi persoalan biasa. Begitu ironis, jika dunia pendidikan yang nota­ bene adalah tempat pembentukan karakter malah dijadikan ajang pembunuhan karakter. Sebagai contoh yang terjadi di SMA 3 Jakarta tahun 2015 lalu, beberapa jenis pemerasan dilakukan oleh sekelompok murid kelas XII terhadap murid kelas X, seperti pemalakan senior untuk dibelikan pulsa kepada juniornya. Data dari Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sejak tahun 2011 hingga 2016 menunjukkan, terjadi sekitar 23 ribu kasus kekerasan fisik dan psikis terhadap anak. Khusus untuk bullying, tercatat ada sekitar 253 kasus. Jumlah tersebut terdiri dari 122 anak menjadi korban dan 131 anak menjadi pelaku. Sementara itu, Kementrian Sosial hingga pertengahan tahun 2017 telah menerima 117 kasus mengenai bullying. Persoalan seperti ini akan terus berlanjut jika tidak ada tindakan yang tegas bagi para pelaku bullying. Oleh karena itu, tradisi buruk ini harus dihentikan dan dihilangkan demi memajukan anak dan generasi muda penerus bangsa.n

Edisi 20 | Desember 2017

Fika Eliza



Edisi 20 | Desember 2017


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.