Majalah Soeket Teki Edisi 6

Page 1

Soeket Teki

Edisi 07 20112 ISSN: 0853-497x http//suketteki.wordpress.com


Penerbit: Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT IAIN Walisongo Izin Penerbitan: SK Rektor IAIN Walisongo Semarang No. 026 tahun 1984 ISSN: 0853-487X Pelindung: Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA (Rektor IAIN Walisongo) Pembimbing: S Prasetyo Utomo, Prie GS, Triyanto Triwikromo, Joko J Prihatmoko, Ajang ZA, Joko Tri Haryanto, M. Munif, Rosidi, Siswanto, Pujiyanto, M.Olis, Wahyu Agung, Musyafak. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Khoirul Muzakki Pemimpin Redaksi: Akhmad Baihaqi Arsyad (Ipank) Dewan Redaksi: Abdul Arif, Khoirul Muzakki, Hammidun Nafi’S, Eny Rifa’atul Mahmudah, Siti Yuliyanti, Fathul Jamil............ ................................................................. Penata Letak: Ipank Sirkulasi: Rohman Kusriyono Alamat Redaksi: Jl. Prof. Hamka KM 3 Semarang 50185, SKM AMANAT PKM Kampus III IAIN Walisongo Semarang. E-mail: kampoengsastra_soeketteki@ymail.com Blog: www.suketteki.wordpress.com www.skm-amanat.blogspot.com


Sapa Redaksi

Runtangruntung Rukun

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

1


Cerita Pendek

Ka rinna ď Ž Cerpen Eny Rifa’atul M

N

amanya Karinna Damayanti, KA-R-I-N-N-A,dengan dobel N. Karin tak pernah tahu artinya, dan tak peduli. Nama itu pemberian Om Haryono, adik bungsu ayahnya. Katanya, dengan nama itu kelak saat kuliah Karin tak akan dicemooh karena mempunyai nama yang kampungan seperti nama sepupu-sepupunya. Nama itu diputuskan sebagai identitasnya lantaran waktu lahir, ayah ibunya belum memutuskan nama untuknya. Waktu itu banyak usulan nama dari sanak saudara. Ada yang mengusulkan nama Laili, karena Karin lahir di malam

2

Soeket Teki

hari. Ada juga yang mengusulkan nama Firda karena Karin lahir pada tanggal satu. Namun yang paling menggelikan adalah Simbah Putri yang mengusulkan nama Surati karena Karin lahir pada bulan Sura, sehingga orang-orang pun menertawakan usulannya. Tanggal satu Sura menyebabkan pemberian nama ini agak menyulitkan, karena masyarakat kampung yang agak kejawen menganggap bulan Sura sebagai bulan keramat. ** “Satu Sura dan Karinna tak pernah cocok. Mengapa dulu tidak pilih nama

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Tentang seorang - - - -

Laili atau Firda Saja. Tak kalah bagus dan mempunyai arti yang baik.” Simbah kakung dari selalu mengatakannya setiap kali Karin melakukan kenakalan. Ya, Karin memang nakal. Boleh dikatakan sangat nakal karena kenakalannya ini tidak sewajar kenakalan gadis-gadis kecil di kampung Kalinang. Sejak umur empat tahun, Karin suka mengejar Hayati, ibunya, dengan sebilah pisau atau celurit jika keinginannya tidak dituruti. Saat berumur lima tahun, Karin sering bernyanyi dengan pengeras suara masjid di samping rumahnya. Di rumah maupun di sekolah, mengerjai dan menakut-nakuti teman-temannya sudah menjadi kebiasaan setiap harinya. Bahkan saat umur delapan tahun, Karin sudah berani membunuh kucing, ayam, bahkan kelinci-kelinci milik tetangganya. Sebenarnya sudah banyak usaha yang dilakukan orang tua Karin untuk menyembuhkan kenakalan anaknya itu, mulai dari membawa Karin sowan ke beberapa kiai besar untuk dimintakan doa, dibawa ke psikiater, hingga dibawa ke orang pintar untuk mengusir auraaura jahat yang mungkin menempel padanya. Namun semua ikhtiar itu tak pernah menampakkan hasil. Malahan ulah Karin semakin menjadi-jadi. Saat Hayati melarang karin keluar rumah dan mengunci pintu kamarnya, Soeket Teki

Ia akan melompat lewat jendela, bahkan ketika Hayati mengunci jendelanya, Karin menjeblak jendela hingga daun jendela itu lepas dari engselnya. Karin pun tega mengancam ibunya dengan belati jika tidak diberi uang. Hayati benar-benar tak berdaya menghadapi Karin. Ikhtiar yang tersisa adalah perintah Simbah Kakung untuk mengganti nama Karin. Menurut Simbah Kakung, Karin keberatan menyangga namanya hingga dia tak bisa mengendalikan diri untuk berbuat nakal. “Karinna Damayanti itu nama yang terlalu berat untuknya, lebih baik diganti saja. Setelah itu pasti Karin tidak akan nakal lagi, bahkan akan menjadi anak baik dan penurut.” Kata Simbah Kakung. “Apa benar mengganti nama bisa merubah sifat dan kelakuan Karin, pak?” tanya Margono, ayah Karin. Hayati diam di samping suaminya mendengarkan. “Eit, jangan salah kamu. Dulu kangmasmu, Sujarno, itu saat masih bernama Sarif juga nakal. Tapi setelah namanya diganti menjadi Sujarno, dia berangsur-angsur menjadi anak yang baik sampai sekarang.” Jawab Simbah Kakung. Sujarno diam tersipu malu. Kata-kata Simbah Kakung seperti pujian baginya. “Tapi perubahan nama itu tidak bisa

Bicara sastra dengan rasa

3


- - - - Tentang seorang - - - -

menjamin Karin akan berubah. Kang Sujarno itu diganti namanya kan karena dulu dia sering sakit dan tak kunjung sembuh.” Kata Haryono. Sujarno, Margono dan Hayati ikut mengangguk. “Kalian ini dibilangi orang tua mbok ya manut. Jangan ngeyel. Mbok ya dicoba dulu merubah nama Karin. Apa kamu tidak yakin dengan perkataan bapakmu ini yang sudah lebih lama hidup?” tanya Simbah Kakung. “Kalau benar begitu, lalu apakah nama Karinna Damayanti diganti semua, atau Karinna, atau Damayantinya saja yang dirubah?” Hayati mulai angkat bicara. “Ah. Kalau mau merubah ya Damayantinya saja. Biarkan nama Karinna tetap. Karinna itu nama yang bagus. Tak ada duanya di kampung ini, jadi biarkan saja.” Jawab Haryono ngotot. Dia tidak rela nama pemberiannya itu dibuang begitu saja. “Benar juga.” Kata Eyang putri yang sedari tadi hanya mendengarkan. “Selain itu nama penggantinya juga harus bagus dan bukan nama yang ndeso seperti Surati atau Sumiyati.” Tambah Haryono mengingat nama yang mung4

Soeket Teki

kin dipikirkan oleh ibunya. “Terserah kalian. Yang penting namanya diganti. Titik.” Tambah Simbah Kakung dengan raut yang tidak kalah ngotot dengan anak bungsunya itu. “Baiklah, kalau begitu kita putuskan mengganti nama Damayantinya saja.” Jelas Margono. “Lalu nama apa yang kira-kira cocok untuk Karinna?” tanya Hayati. Semua peserta musyawarah ini mengerutkan dahi. Semuanya sedang berpikir keras untuk mencari nama yang bagus dan cocok menggantikan Damayanti. Lima menit berlalu dengan diam. Sepuluh menit, dua puluh menit, setengah jam kemudian masih belum ada usulan. Hayati, Margono dan Sujarno beradu pandang tanda saling menanyakan satu sama lain, namun nihil. Haryono sedang berbisik pada Margono tentang usulan nama untuk Karin, yaitu Rahmawati. Namun Simbah Kakung yang mendengarnya serta merta marah dan mengatakan bahwa tak ada bedanya nama Rahmawati dan Damayanti. Haryono menggerutu kesal sedangkan Margono menundukkan kepala tidak berani mebantah ayahnya. Pada akhirnya Simbah kakung memutuskan untuk sowan ke Kiai Baihaqi, pemimpin pesantren di desa sebelah. Simbah kakung yakin Kiai Baihqi akan mencarikan nama yang cocok untuk

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Tentang seorang - - - -

Karin. Namun Haryono masih mencoba membujuk Simbah Kakung menerima usulannya. Dia masih tidak terima nama pemberiannya digantikan dengan nama pemberian Kiai Baihaqi yang mungkin saja akan memberi nama secara Islami namun wagu dan ndeso. Haryono membayangkan nama Siti, Jamilah, atau Khomsatun. Haryono benar-benar ngeri membayangkannya. Karena itu Haryono bersi keras untuk mengganti nama Damayanti menjadi Rahmawati. “Pak, walaupun nama Rahmawati dan Damayanti tidak berbeda jauh, tapi cobalah dulu barang sebentar. Siapa tahu nama Rahmawati cocok untuk Karin. Toh tak ada ruginya mencoba. Kalau dalam jangka waktu tertentu tidak ada perubahan pada Karin, kita bisa menggantinya lagi. Benarkan, Kang Margono?” Jelas Haryono. Semua peserta musyawarah mengangguk-angguk tanda setuju, sedangkan Simbah Kakung masih ragu. “Itu benar Pak. Setelah merubahnya menjadi Rahmawati, kita lihat adakah perubahan perilaku Karin. Kalau tidak ada, nanti kita sowan ke Kiai Baihaqi.” Tambah Sujarno menguatkan pendapat adiknya. Simbah Kakung masih berpikir lama. “Baiklah, kita coba nama Rahmawati. Jika setelah satu bulan tidak ada peSoeket Teki

rubahan pada perilaku Karin, Margono dan Hayati harus meminta bantuak Kiai Baihaqi.” Jawab Simbah Kakung. Akhirnya malam itu Hayati membuat Jenang Abang sebagai bancaan atas perubahan nama Karin menjadi Karinna Rahmawati. Karin yang tahu maksud dari perubahan namanya sama sekali tidak peduli. Malahan di acara perubahan namanya ini, dia membuat onar dengan menumpahkan beberapa piring makanan dan melemparkan beberapa kue kepada para tamu di tengah-tengah acara tahlilan. Karin tertawa kegirangan melihat orang-orang panik menghindari lemparannya. Margono kemudian membawa paksa putrinya ke kamar dan menguncinya, sedangkan Simbah Kakung hanya bisa menggelengkan kepala. Sudah sebulan berselang sejak nama belakang Karin dirubah menjadi Rahmawati. Namun perubahan nama itu malah membuatnya semakin bandel. Kali ini Karin tak hanya mengejar Hayati, bahkan sekarang dia telah berani mencegat dan meminta uang anak-anak tetangganya sebelum berangkat sekolah. Karin sudah jadi tukang palak. Simbah Kakung sudah tidak tahan lagi mendengar keluhan tetangga-tetangganya tentang ulah Karin. Akhirnya Simbah Kakung menyuruh Margono dan Hayati sowan ke tempat Kiai Baihaqi

Bicara sastra dengan rasa

5


di desa sebelah. Pagi harinya Hayati membuat Jenang Abang. Kali ini tidak ada tahlilan mengingat apa yang sudah dilakukan Karin pada acara yang sama sebulan yang lalu. Hayati membagikan Jenang Abang pada tetangga di sekitar rumahnya seraya mengumumkan nama baru Karin, yaitu Siti Karinna. Para tetangga pun menjadi agak tenang mengetahui nama itu pemberian Kiai Baihaqi. Mereka berharap nama itu akan bisa memperbaiki kelakuan Karin. Tiga hari berlalu, Karin benar-benar menjadi anak yang baik dan patuh. Margono dan Hayati pun sangat senag dengan perubahan perilaku putri semata wayang mereka. Simbah yang merasa punya andil besar dalam penggantian nama ini pun berucap bangga bahwa seharusnya mereka mendengar dan melakoni nasihat Simbah Kakung 6

Soeket Teki

sedrai dulu, jadi, semua akan baikbaik saja. Namun belum genap sehari Simbah membusungkan dada, Karin kembali berulah. Kali ini dia tak hanya memalak anakanak sebayanya, namun juga orang tua yang melewati gang kecil di sebelah rumahnya. Kenakalan Karin semakin menjadi-jadi. Karin tak hanya meminta uang, tapi juga memukul dan melukai korbannya dengan pisau. Simbah Kakung yang mendengarnya langsung memutuskan untuk pergi sendiri menghadap Kiai Baihaqi. “Pak Yai, saya dan anak-anak saya sudah berusaha sebaik mungkin mendidik Karin dan beberapa mengganti namanya, namun tak ada hasil. Karin, cucu saya itu, benar-benar sangat nakal. Rasanya tak ada upaya yang belum kami lakukan untuk merubah kelakuannya. Namun hingga sekarang Karin tetap nakal, bahkan semakin menjadi-jadi. Sepertinya segala upaya kami tidak membuahkan hasil. Kami sekeluarga sudah putus asa. Apa yang harus kami lakukan pak Kiai?� Tanya Simbah Kakung sambil terisak di de-

Bicara sastra dengan rasa


pan Kiai Baihaqi. “Kalau begitu, ganti saja namanya lagi. Mungkin aku salah memberi nama karena anak dan menantumu tidak menjelaskan keadaan cucumu saat menghadapku.” Jawab Kiai Baihaqi. “Enggih Pak Kiai. Sekarang saya pasrah saja dengan keputusan pak Kiai. Saya yakin njenengan akan memberikan nama yang baik dan sesuai untuk Karin.” Kata Simbah Kakung. “Hem.. sepertinya nama ini cocok untuk Karin. Luthfiani, dari Bahasa Arab yang artinya kelembutanku. Bagaimana menurutmu?” tanya Kiai Baihaqi. “Enggih Pak Yai, itu bagus sekali. Mudah-mudahan cocok untuk Karin.” Jawab Simbah Kakung dengan senyum lebarnya. Sebelum berpamitan, Simbah Kakung mengucapkan beribu terima kasih kepada Kiai Baihaqi dan meminta ijasah do’a dari Kiai Baihaqi agar nama ini benar-benar cocok untuk Karin. Simbah Kakung pulang dengan hati bahagia membayangkan nama itu akan cocok untuk Karin. Malam ini Simbah Kakung meminta Hayati untuk membuat Jenang Abang lagi untuk mengganti nama Karin menjadi Karinna Luthfiani. Simbah Kakung pun merapalkan ijazah Do’a yang diterimanya dari Kiai Baihaqi. Setelah menyelesaikan bacaanya. Simbah mendatangi Karin yang tertidur Soeket Teki

pulas dan mengusap kepalanya. Simbah Kakung berharap Karin akan menjadi gadis yang lembut sesuai namanya yang baru. Pagi ini Simbah Kakung terbangun sebelum subuh karena Karin membangunkannya dengan paksa. Dengan cara manis yang tidak seperti biasanya, Karin bersikeras ingin bercerita pada Simbah Kakung tentang apa yang dilakukannya setelah bangun tidur. Kakek yang masih mengantuk menyuruh Karin untuk langsung bercerita. “Mbah Kakung, pagi ini Karin membawakan hadiah bagus untuk mbah Kakung” Kata Karin berbisik di telinga simbah Kakung. “Kamu bawa hadiah apa, Nduk?” Tanya Simbah Kakung dengan lirih. Meski penasaran dengan hadiah Karin, diamdiam Simbah mulai senang karena cara berbicara Karin lebih lembut dari pada biasanya. Itu artinya nama Luthfiani berhasil merubah Karin. “Mbah,” Kata Karin lembut sembari mengulurkan tangan kananya ke wajah simbah Kakung,”lihat apa yang ku bawa.” Simbah membuka mata tak sabar. Tiba-tiba jantungnya berhenti melihat benda di tangan cucunya. Karin menyodorkan seekor ular kobra. Amanat Hall, Wednesday, January, 11 2012 15:44

Bicara sastra dengan rasa

7


Puisi

Menghapus Jejak Lilin Kau selalu datang di waktu gelap Saat lorong-lorong hatiku mulai senyap Dan kau membawakanku lilin Suatu waktu ia menjelaskan lekuk tubuhmu Biar bisa kuraba dadamu Padamkan saja, aku bilang Aku tak butuh lilin terang Aku bisa mengeja tanda tubuhmu tanpa cahaya Suatu waktu ia melelehkanmu Dan kau hanyut bersama sisa-sisa remang Sudah kubilang Jangan bermain dengan api kecil Kau takkan merasakan kehangatan, kecuali secuil Mengapa tak sekalian kau bawakan matahari Biar kita sama terbakar

--Khoirul Muzakki Warga Soeket Teki 8

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


~ ~ ~ Puisi ~ ~ ~

Gamang Barangkali kau tak dengar Berulangkali kuketuk pintu Atau kau berpura-pura? Sebab, terlalu pelan untuk sebuah ketukan Lantaslah aku mengeja kembali Sebelum kau benar-benar membuka : sebait sajak ingin kutilawahkan untukmu 15-05-2011

Jangan Percaya Nak, kelak kau pergi jauh Ke sebuah alamat Lewati jalan melupakan siang dan malam Hanya ada putih dan buram Jangan percaya sesiapa Sebab mereka tak tau apa-apa Bahkan pada dirimu Yang gamang itu 16-05-2011

--Arif Srabi Lor Warga Soeket Teki Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

9


Kajian

“Biogra�i Pram” Oleh Akhmad Baihaqi Arsyad

10

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Wadah Ekspresi - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

11


Kajian

“Karya-karya Pram” Oleh: Abdul Arif

12

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - “Inflasi” Kata - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

13


- - - - “Inflasi” Kata - - - -

14

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


Cerita Pendek

Peri Cerpen Farid Helmi Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

15


- - - - Peri Bisu - - - -

16

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Peri Bisu - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

17


- - - - Peri Bisu - - - -

18

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Peri Bisu - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

19


Cerita Pendek

Mata di Ufuk Timur ď Ž Cerpen Azid Fitriyah Rasanya otakku ingin meledak karena menopang pikiran-pikiran yang tak kuat ku nalar. Begitu banyak pertanyaan dan pernyataan terbesit dibenakku. Apa yang harus kulakukan. Apakah aku harus membunuh fikiranku atau aku harus membunuh diriku sendiri. 20

Soeket Teki

Tubuhku tak kuat lagi. Aku duduk bersandarkan tembok dikamar kosku. Bukuku berserakan. Kamarku berantakan. Ya. aku marah. Entah pada siapa? Apakah aku marah pada diriku sendiri? Atau pada dia? Atau pada keadaan? Atau pada tuhan

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Mata di Ufuk - - - -

yang sudah menciptakan perbedaan? Titah-titahnya yang mengungkapkan beda itu indah adalah bullshit. Apakah pantas mahluk hina dari keturunan yang di usir dari surga pantas mencaci maki penciptanya? Apakah pantas seorang hamba membantai sabda-sabda majikannya? Aku merasa bumi ini semakin panas. Aku merasa malaikat izroil sedang dalam perjalanan untuk mencabut nyawaku. Membawaku kedalam dunia-dunia baru yang kekal. Membawaku terbang menghantarkanku bertemu tuhan. Malam yang menghadirkan gejolakgejolak muda bangkit dari keterpurukannya. Mengibas, menguras jiwa-jiwa yang terhampar dipulau kehampaan. Angin berjalan pelan melewati sela-sela jendela kamarku. Menyenggol bibir keluku. Kurasakan sunyi malam ini. Meski terdengar hiruk pikuk hajatan tetanggaku. Aku tergeletak beku karenamu, wahai jelita hatiku. Engkau begitu cantik, takkan jenuh mata adam ini menatap sinar binar wajahmu. Tingkah laku yang santun dan tidak neko-neko seakan malaikatpun tunduk hanya sekedar menyapamu. Takkan pernah terlupa tiap-tiap pertemuanku denganmu. Ya. pertemuan awal kita tanggal 27 januari 2010. Usai sholat subuh aku melihatmu tak jauh dari masjid kau duduk sendiri seperti orang linglung. Aku menghampirimu. Aku bertanya Soeket Teki

kenapa, kau hanya diam. Aku mencoba menawarkan bantuan, kau masih juga diam. Terfikir dibenakku mungkin kau ingin sendiri. Aku mulai beranjak berputar arah membelakangimu. Tapi kau hentikan langkahku. Memegang tanganku. Aku palingkan wajah kaget dengan apa yang kau lakukan. Kau masih saja menundukkan kepalamu. Mungkin wanita ini gila, itu yang ada dipikiranku. ”Aku tidak gila.” itu kata yang pertama keluar dari mulutmu. Seolah kau bisa membaca pikiranku. “Terimakasih” itulah kata kedua yang kau ucapkan. Aku tak mengerti maksudmu. Seribu pertanyaan terbesit diotakku. Kau berdiri. Sekilas kulihat sinar binar sepasang Mata yang indah pancarkan cahaya bak mentari di ufuk timur. Lalu kau pergi. lari. Menjauh dariku. Aku pikir pertemuan ku denganmu ba’da shubuh itu takkan berarti apaapa. Tapi aku tak tahu kenapa. Aku tak bisa melupakan mata itu. Mata yang seolah terus membuntutiku. Mata yang terus membayangiku. Aku merasa tak pernah sendiri. Dalam gelap terpancar secuil cahaya dari matamu. Mata itu terus hadir memenuhi setiap pojok otakku. Jujur aku ingin bertemu kamu lagi. Setelah satu minggu lebih mata itu menguasai fikiranku. Aku bertemu lagi dengannmu. Disaat yang tak terduga.

Bicara sastra dengan rasa

21


- - - - Mata di Ufuk - - - -

Karena terburu aku lari dibelokan gang hingga aku menabrakmu. Kau marah-marah karena buku dan kertaskertasmu jatuh berserakan. Aku rindu pada mata itu. Aku betah memandanginya. Kau marah karena aku tak minta maaf dan membantu mengambil kertas-kertasmu. Tapi aku tak peduli. Kau meneriakiku. Aku hanya diam terus menatapmu. Kau mulai jengkel dengan tingkahku. Dan pergi. Spontan ku pegang tanganmu aku bilang aku tidak gila. Kau terperangah mendengrnya. Kata yang kedua Terimakasih itu yang terlontar dariku. Dan aku langsung pergi teringat aku akan janji bersama temanku. Tepat dua minggu setelah pertemuan pertama. Aku melihatmu lagi ditempat yang sama dengan pakaian yang sama. Warna putih. Apa kau suka warna putih. Fikirku. Ba’da subuh. Lagi-lagi kau disana apa yag kau lakukan. Aku menghampirimu. “Hai,” kau menyapaku. Spontan aku kaget. “Hai juga,” jawabku singkat. “Aku bukan orang gila” katamu. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Dan terimakasih. Kita ucapkan kata itu bersama. Seolah kita punya ikatan batin. Kita tertawa bersama untuk pertama kalinya. Meski hanya tertawa kecil. Sejenak aku terlena olehmu. Ternyata kau banyak bicara. Jauh ber22

Soeket Teki

beda dengan wanita yang kulihat dua minggu lalu. Apakah kau wanita yang sama?. Tanpa sungkan kau banyak menceritakan kisah-kisah konyol dan lucu tentangmu bersama temanmu. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Senyummu sungguh manis. Kita duduk di gang dekat masjid. Saat mentari mulai muncul. kau bergegas pulang. Aku memegang tanganmu. Bertanya siapa namamu. Ria itu yang keluar dari bibir manismu. Lalu kau berlari. Aku memanggilmu. Kau tak peduli. Dengan suara keras nan lantang aku bertanya kapan kita bertemu lagi. Kau bilang satu minggu lagi ditempat dan waktu yang sama. Meski sudah agak jauh tapi aku masih jelas mendengarnya. Sejam yang takkan pernah aku lupakan. Engkau sungguh misterius. Tapi setidaknya kini aku tahu nama dari si pemilik sepasang mata yang menghantuiku. Dan aku tahu satu minggu dari sekarang kita akan bertemu. Aku tak sabar menanti hari itu. Aku merasa waktu begitu lambat. Andai aku bisa mempercepat waktu. Aku ingin satu minggu itu terjadi sekarang. Aku tak sabar ingin melihat mata itu. Hidupku tak tenang karena senyummu, candamu, wajahmu yang elok terus menggeruyutiku. Tanggal 17 februari 2010. Kau menepati janjimu. Kini giliranku yang bercerita

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Mata di Ufuk - - - -

padamu. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai suka banyak berbicara. Tapi disampingmu aku seperti orang lain. Aku seperti budak yang mengikuti tuannya. Atau mungkin aku sudah terbudak olehmu. Kita terdiam sejenak. Aku lupa aku belum memperkenalkan diriku. Pasti kau tak tahu namaku. Tapi ternyata dugaanku salah. Kau tahu aku, Namaku, Tempat tinggalku, Aktivitasku, Aku kaget. Kau hanya berdalih kau penggemarku. ????????????????????????????? Aku ter????????????????????????????? sipu malu ????????????????????????????? menden???????????? garnya. Memiliki penggemar secantik dirimu. Aku bertanya padamu tentang pertemuan awal kita, Sedang apa kau disana? Apa yang terjadi? Wajahmu tampak berbeda kala aku menanayakannya. Kau diam sejenak dan berkata waktu yang kan menjawab. Fajar segera duduk disinggasananya apa kau akan pergi. Batinku. Kau menunduk. “Kapan kita akan bertemu lagi?” tanyaku. Kau hanya menggeleng. Dan berkata lagi waktu yang kan menjawab. Kemudian kau berpamitan ingin pergi. Soeket Teki

Aku ingin mengantarkanmu. Tapi tak kau izinkan. Kau pergi berlari bersama bayanganmu. Meninggalkanku. Ria aku merindumu. Entah kenapa kau begitu mudah masuk kedalam hidupku. Kau sangat pandai mengoyak hatiku. Kau ukir dengan paten namamu diotakku. Lama tak bertemu kau membuatku hariku tak berarti apa-apa. Kau dimana Ria?. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Aku masih selalu setia menunggumu. Usai solat subuh aku selalu berharap kau sudah ada di gang itu menungguku. Tapi aku tak menemukanmu. Ku sempatkan duduk sejenak digang itu. Berharap kau akan datang. Tapi harapanku itu pupus seperti bulan yang pupus terhempas lengser oleh fajar. Hari ini. Disiang yang terik. Aku seperti melihat sosokmu. Kau memakai pakaian warna putih. Aku berlari mengejarmu dan memanggilmu, Tapi kau tetap berjalan terus. “Hai”. Sapaku Dengan nafas tersengasenga. Aku kaget melihat pakaianmu. “kenapa kau memakai pakaian itu, seperti…” kau memotong ucapanku “Biarawati” jawabmu singkat “Ia. Tapi lucu sih… kamu masih terlihat cantik . karena kamu memang cantik. Jadi pakai apa saja tetap cantik” “Terimakasih” Seseorang keluar dari gerbang. Dengan

Bicara sastra dengan rasa

23


- - - - Mata di Ufuk - - - -

pakaian sama seperti yang kau kenakan. Dan menyapamu serta berkata “Suster Maria, kita sudah ditunggu pastur.” “Ia sebentar lagi. Silahkan Anda duluan” Wanita itu lalu masuk kedalam gereja. Aku baru sadar ternyata kita berada persis didepan gerbang gereja. Aku tak mengerti. “Suster??. Ini maksudnya apa?? Maria itu siapa?” tanyaku. “Namaku Maria Magdalena. Aku seorang kristiani. Aku yatim piatu. Aku dibesarkan oleh para biarawati, jadi semenjak itu aku bercita-cita ingin menjadi seorang biarawati. Dan kau Muhammad Alfa. Aku tak tahu apa yang kau punya. Aku sering melihatmu diperempatan kau sedang menunggu bis. Aku tak tahu kenapa aku suka melihatmu. Aku ingin mengenalmu lebih jauh. Tapi cita-citaku ingin menjadi biarawati. Memaksaku membinasakan rasa itu. Karena rasa itu memang tak seharusnya ada. Itu yang membuatku mencari ketenangan. Ba’da shubuh di gang dekat tempat ibadahmu. Itulah tempatku mencari ketenangan. Karena ditempat itu aku ingin menyambut fajar. Menyambut hari baru. Tapi, justru aku bertemu denganmu. Rasa itu terus berkecamuk dalam hatiku. Aku bernafsu ingin bersamamu terus menemuimu. Tapi sekali lagi aku sadar. Aku 24

Soeket Teki

harus membinasakan rasa itu”.

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Rapat Tikus - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

25


Resensi

Gagah dalam Keterbatasan

Judul : Elegi Surtini dan Ayunda Penulis : Prie GS Penerbit : Republikata Tebal : 272 Halaman Cetakan : 2010 Resentator : Arif Srabi Lor

26

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Gagah - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

27


- - - - Gagah - - - -

28

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


Tokoh S o e s i l o

T o e r

Soesilo Toer Oleh Fathul Jamil

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

29


- - - - SoesiloToer - - - -

30

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - SoesiloToer- - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

31


Puisi

Rangkaikanlah untukku sebait sajak ;tentang mimpi indah yang pedihnya terbawa sampai kau terjaga, atau mimpi buruk yang indahnya baru kau temu esok paginya. tentang bertemu yang sejenak tapi lekat bayangnya tak dapat sirna. tentang ingin yang tak pula menemu cara mewujudkannya. tentang nama yang kau tak tahu bagaimana memujanya.

huruf-huruf yang tak terbaca Sepasang mata itu adalah huruf-huruf yang tak terbaca. terangkai menjadi kata iya sekaligus tidak. bagaimana aku akan mengartikan jika ia adalah dekat yang jauh. seorang gadis meminta setangkai mawar? bukan, sepertinya bukan begitu. lalu aku berlari. jauh, jauh, jauh. benar-benar jauh. aku tahu huruf-huruf itu akan terus mengejar sebab sepasang mata itu masih menatapku.

--Hammidun Nafi’ S Warga Soeket Teki

32

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


~~~Puisi~~~

Di ujung jalan itu‌! Di ujung jalan itu, Ketika udara mulai senyap dan terhenti sejenak Pelan, meliukkan sebatang alang yang layu Seakan membuat nurani terbelalak menyekat Di ujung jalan itu, Ketika langkah-langkah para pejalan beristirahat Mengayun, menyembulkan sketsa penghujung Seakan membuat angan tercengang akan giat keadaan Di sudut jalan itu, Langkah itu mulai terderap Mensketsakan masa depan yang semakin suram, Yah, di sudut jalan itu Masa depan kan berlalu

--Azed Yayah D. Nihayah, Warga Teater Metafisis Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

33


- - - - Puisi - - - -

Sesaji malam ini… Hooooooeeeee…

Maka…

Ya’eeeeeee…

Jarah-lah sesaji agar pelukan ini semakin hangat...

Gelak tawa menyeruak..

Jarahlah sesaji agar nafsu bertaut semakin erat…

Mengakak lepas terbahak-bahak… Eeee…a…..eee…

Ya,,,,,Kita butuh sesaji…

kami rampok canda malam ini tawan…tahan….jangan lepaskan… Teriakkan….tertawakan…

Tapi aku berkata “tidak” untuk ayam mati…

Yah…..kabut  canda tebal tertata,

Aku berkata “tolak” untuk bunga melati.

Menyelimuti malam dengan setumpuk bahagia…

Aku berkata “muak” untuk sepincuk nasi

Bebas…lepas…..dan dahsyat….

Dan aku-pun berkata “terima” untuk secangkir kopi...

Ya ya ya…

Hanya kopi…Bukan yang lainnya…

Lenyapkan segala penat dan takdir sesat... Lupakan neraka meski hanya sesaat Bawalah candu agar malam di penuhi hasrat

Untuk menebus kerinduanku pada”nya”… Ketika kita Bersulang bersama… membaca masa dan dunia…

--Jihan Avie Yusrina Pegiat Beranda Sastra Edukasi (BSE)

34

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


Cerita Pendek

Cerpen Ahmad Khotim Muzakka

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

35


- - - - Sukri - - - -

36

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Sukri - - - -

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

37


- - - - Sukri - - - -

38

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa


- - - - Sukri - - - -

--Ahmad Khotim Muzakka Pegiat Pesanggarahan Kalamende

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa

39


40

Soeket Teki

Bicara sastra dengan rasa



Hujan Bulan Juni

MBAH PRAM MRINGIS

Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan juni Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan juni Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu. Sapardi Djoko Damono (Hujan Bulan Juni, 1994: 90)

Surat Kabar Mahasiswa

AMANAT

Untuk mahasiswa dengan penalaran dan taqwa


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.