Tabloid SKM Amanat Edisi 127

Page 1

AMANAT Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

CERITA LAMA

SARANA PRASARANA Edisi 127/September 2016 ISSN: 0853-497X


TERAS

SURAT KABAR MAHASISWA

AMANAT

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Taqwa

Penerbit:

Unit Kegiatan Mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT UIN Walisongo Semarang Izin Terbit: SK Rektor UIN Walisongo Semarang No. 026 Tahun 1984 International Standart Serial Number (ISSN): 0853-487X

SALAM

L

Kesiapan Menghadapi Proses

aiknya sebuah perjalanan, setiap kegiatannya memang haruslah mendapat perhatian dan persiapan yang matang. Satu hal utama yang harus dipersiapkan adalah bekal. Tidak mungkin berangkat ke medan perjalanan tanpa membawa persiaan apapun untuk mencapai target yang kita harapkan. Sebuah perjalanan tak pernah tanpa tujuan. Entah suatu tujuan itu merupakan sebuah tempat tertentu ataupun sekadar perjalanan itu sendiri. Yang perlu diingat ketika ingin mencapai sebuah tujuan adalah bagaimana mempersiapkan diri untuk menempa proses yang entah panjang atau pendek, mudah atau susah. Ketika seorang diri itu sudah siap beradu dengan proses yang ada di depan matanya, ihwal panjangpendek dan mudah-susah tak lagi menjadi persoalan. Sebaliknya, jika tidak siap berhadapan dengan proses maka perlu bersiap menghadapi kegagalan. Agaknya, analogi tersebut tidak terlalu jauh jika kita ingin memperbincangkan tentang kampus kita UIN Walisongo sebagaimana seorang diri di atas. Seiring perjala-

2

REDAKSI

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

nannya, kita dapat menilai barang tentu tujuan UIN bukanlah sekadar perjalanan biasa untuk sampai ke “sebuah tempat”. Sebelum sampai pada tempat itu. UIN harus beradu dengan proses yang panjang karena tempat tujuan yang letaknya jauh. Di antara proses itu adalah harus menerima mahasiswa semakin banyak, membuka fakultas semakin banyak, menaikkan biaya kuliah, dan memfasilitasi sekian banyak mahasiswa tersebut. Visi kampus itulah “sebuah tempat”. Hal-hal di atas seperti menjadi persoalan, sebab UIN belum mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi itu semua, terutama kurangnya fasilitas. Ketidaksiapan fasilitas itu menjadikan dilema tersendiri bagi mahasiswa, terutama mahasiswa baru. Sebab, fasilitas memiliki peranan penting guna mendukung tercapainya kualitas pembelajaran yang baik. Itulah yang menjadi bahasan utama pada Tabloid Amanat edisi kali ini sebagai sajian yang barangkali dapat menjadi penyampai suara-suara mahasiswa yang menjadi “korban” ketidaksiapan. Selamat membaca! Redaksi

Sentilan Bang Aman Kelas padat merayap Mohon bersabar ini ujian, ujian dari Allah, ditahan emosi. Memang mengecewakan UIN Walisongo lagi bangun gedung baru Pembangunan SDM mahasiswa gimana ya? Audit 2 direnovasi sik asik, sik asik, ganti baju.

PELINDUNG Rektor UIN Walisongo Semarang PENANGGUNG JAWAB Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama PEMBINA Kabag. Akademik dan Kemahasiswaan PEMIMPIN UMUM Abdul Ghofur SEKRETARIS UMUM Robbiatul Addawiyah BENDAHARA Anissa Gina Nazda Chalia Mufida PEMIMPIN REDAKSI Fareh Hariyanto PEMIMPIN REDAKSI ONLINE Muhammad Hasan SEKRETARIS REDAKSI Sulistyowati REDAKTUR PELAKSANA Arifatun Khorida DESK BERITA Uswatun Khasanah DESK ARTIKEL Iva Nurlaili DESK SASTRA BUDAYA Fajar B. A. LAYOUTER Muhammad Syafiun Najib ILLUSTRATOR Ahmad Shodiq KOORDINATOR REPORTER Sigit A.F. REPORTER Ida Fauziatul, Umi Nur M, Rustiana, Ihda Mardliana. PUSAT DOKUMENTASI Nur Zaidi SIRKULASI & PERIKLANAN Diyah Nur Inayah HUMAN RESOURCES DEPARTMENT Muhammad Ulul Albab, Fattahul Alim STAF AHLI Joko Tri Haryanto, Amin Fauzi, Musyafak, Khoirul Muzaki

AMANAT Surat Kabar Mahasiswa

Untuk Mahasiswa dengan Penalaran dan Takwa

Gedung baru Ma’had mangkrak. Yo ngono iku, gowa-gawe gowa-gawe, ra diopeni. Zainuddin resah mencari Hayati, Rangga sibuk mencari Cinta, lulus UIN? Bingung mencari kerja. Dema UIN baru dilantik lho…. Ojo lali syukurane, kerjone alon-alon wae. Toilet cewek cowok tak dibedakan Mayan bisa modus. Bang Aman yang kadang pakewuh

CERITA LAMA

SARANA PRASARANA Edisi 127/September 2016 ISSN: 0853-497X

Ilustrasi: Ahmad Shodiq


L APORAN U TAMA

SARANA PRASARANA

Cerita Lama Sarana Prasarana Beberapa fakultas di UIN Walisongo kekurangan ruang kelas. Usaha pembangunan gedung baru terus digalakan birokrasi kampus.

P

Ibarat buah saat itu UIN Walisongo seperti simalakama. Mundur kena maju pun kena kita. Priyono, M.Pd. Kepala Biro Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan UIN Walisongo

Fadil yang kala itu datang terlambat, bingung saat akan duduk. Kursi yang berada di ruangan perkuliahannya sudah penuh diduduki mahasiswa lain. Melihat temannya tak kebagian tempat duduk, Ahmad Ghozali menawarkan kepada Fadil, agar duduk bersama dikursinya. Kelas yang semula sepi mendadak ramai melihat tingkah dua mahasiswa tersebut. Ghozali terpaksa berbagi kursi dengan Fadil karena kasihan melihat temannya ada yang berdiri tidak kebagian kursi. “Dari pada dia berdiri, kan kasihan, ya sudah saya pangku saja,” katanya. Hal yang sama juga dialami Nafa Sofiyana Reza, mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum. Mulanya ia tertarik mendaftar pada jurusannya sekarang karena melihat biaya

Amanat. Tarowan

embukaan beberapa fakultas baru di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo memberikan angin segar bagi calon mahasiswa baru. Sebelum diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Muyajat Faqih, mahasiswi Jurusan Sosiologi, sempat berpikir, fakultas baru yang akan ia tempati itu telah benar-benar siap dari segi prasarana dan infrastruktur penunjang. Namun, hal itu tampaknya jauh panggang dari api. Saat aktivitas perkuliahan dimulai, ia terkejut lantaran kelas yang ia pakai untuk proses perkuliahan ternyata masih menumpang di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). “Kuliahnya kurang nyaman karena campur baur dengan mahasiswa fakultas lain,” katanya. Ia menyayangkan, minimnya fasilitas kampus di fakultasnya tak sebanding dengan biaya UKT yang harus ia keluarkan setiap semester. Padahal, menurut dia, sebagai fakultas baru, biaya UKT mahasiswa FISIP saat ini terhitung lebih mahal ketimbang fakultas lain. “Sudah kitanya bayar mahal, tapi malah kelasnya masih numpang,” keluh mahasiswa semester satu itu. Disisi lain, terkadang ada juga dosen yang meminta perpindahan jam kuliah dikarenakan waktu mengajar berbenturan dengan kesibukan dosen. Alhasil karena seluruh kelas terpakai mahasiswa harus rela kuliah di Masjid atau taman FDK. Hal itu, menurutnya menjadikan ironi tersendiri. Kelas Gemuk Keluhan mengenai minimnya Sarpras juga dialami mahasiswa fakultas lain. Ahmad Fadil mahasiswa FDK saat tengah mengikuti perkuliahan di Ruang I 9 harus rela berbagi tempat dengan temannya Ahmad Ghozali dalam satu kursi. Mereka berdua adalah mahasiswa yang sedang mengikuti perkuliahan mata kuliah Public Relation yang diampu oleh Nilnan Ni’mah, (20/10/2016).

Dikebut: Pembangunan 2 gedung baru UIN Walisongo dalam proses pembangunan.

kuliahnya lebih murah dibanding jurusan sama pada Perguruan Tinggi (PT) lain. Namun, rupanya ia harus menerima konsekuensi terhadap biaya kuliah yang murah tersebut, karena setelah mengikuti perkuliahan ia baru tahu fasilitas sarana dan prasarana kampus belum memadai. “Saya kira fasilitas disini sudah seperti di PT lain, tampaknya saya keliru,” katanya. Berbagai persoalan menyangkut prasarana pun bermunculan, di antaranya, kondisi ruang kelas yang overload atau melebihi daya tampung karena kelebihan mahasiswa. Saat ini, berdasarkan data yang dihimpun Amanat rata-rata ruang kelas di Fakultas Syari’ah dan Hukum harus menampung 40-50 mahasiswa. Padahal, sebelum konversi IAIN menjadi UIN, ratarata kelas menampung 30 mahasiswa saat proses perkuliahan berlangsung. Tak hanya soal ruang kelas, Nafa juga merasa heran melihat fasilitas penunjang kampus seperti toilet yang tak laik. Menurutnya, banyak toilet yang berada di fakultasnya memiliki kondisi yang memprihatinkan. “Sudah toiletnya digabung antara pria wanita, kondisinya kotor juga,” ujarnya. Namun, di sisi lain, ia menyambut positif terkait geliat pembangunan gedung baru di UIN Walisongo baru-baru ini. Mahasiswa semester satu itu mengungkapkan, sudah selayaknya kampus mulai memaksimalkan pembangunan gedung untuk mensiasati peningkatan jumlah mahasiswa yang cukup drastis. “Agar nantinya mahasiswa tidak lagi berebut kelas dan jam perkuliah malam dapat dihapuskan,” kata mahasiswa asal Tegal itu. Angin Segar Wakil Rekor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan Imam Taufik tak memungkiri kondisi prasarana di UIN belum memadai untuk mengakomodir kebutuhan civitas akademika kampus. Karena kondisi tersebut pula, kata Imam, UIN Walisongo sampai saat ini belum berani menerima mahasiswa baru melebihi kuota yang telah ditetapkan. “Kuota untuk mahasiswa baru tahun ini saja hanya 3886 orang. Padahal, jumlah pendaftar sampai 20 ribu peserta,” katanya. Meningkatnya animo pendaftar sebagai konsekuensi konversi UIN, kata Imam, perlu diimbangi dengan perubahan segala bidang. Di antaranya, perubahan visi, program kerja, paradigma keilmuan, termasuk

percepatan pembangunan sarana prasarana kampus dengan membangun gedung perkuliahan serta fasilitas penunjang lainnya. Namun, upaya untuk hal tersebut tidak dapat dilakukan secara instan. “Butuh proses panjang serta jalan terjal untuk merealisasikan rencana itu,” kata Imam, saat ditemui Amanat di ruang kerjanya, Kamis, (19/01/2017). Tak ingin masalah prasarana kampus kian centang-perenang, birokrasi kampus melakukan berbagai upaya agar UIN Walisongo dapat menambah gedung baru. Rabu, (20/07/2016) lalu, Muhibbin bersama para Wakil Rektor dan para Dekan melakukan peletakan batu pertama dua gedung baru berkapasitas 24 kelas dan dua kantor fakultas di sebelah timur lapangan sepak bola Fakultas Syari’ah dan Hukum. Mulanya, lahan tersebut tak ubahnya kebun jati yang tak terawat. Kini, lahan yang konon bekas pekuburan itu disulap menjadi dua gedung megah bernilai miliaran rupiah. Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahasiswaan dan Kerja sama (AAKK), Adnan, selaku sekretaris pengelola pembangunan gedung tersebut, mengatakan, anggaran pembangunan gedung perkuliahan itu berasal dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) tahun 2016. SBSN adalah Salah satu dana abadi negara yang dikelola oleh Kementrian Agama (Kemenag). Dana tersebut, lanjut Adnan. bisa dicairkan dan dialokasikan pada suatu aset negara sesuai dengan acuan yang didasari pada prinsip Syariah. Lebih lanjut ia menjelaskan, terkait pelaksanaan pembangunan gedung tersebut, dilakukan oleh PT Reka Esti Utama dengan konsultan pengawas CV Aretas dan CV Sembada Desain dengan nilai kontrak Rp. 17.760.460.000.-. Nilai kontrak tersebut, kata Adnan, belum termasuk pengadaan mebel, generator, pendingin ruangan dan kelengkapan lainnya termasuk pavingisasi dan pembuatan taman di sekitar gedung itu. “Total keseluruhan anggaran senilai 23 miliar,” ujarnya. Dilematis Rektor UIN Walisongo Semarang, Muhibbin mengungkapkan, proses pengajuan dana SBSN untuk pembangunan gedung itu sempat terganjal lantaran UIN telah meneken kontrak dengan The Islamic Development Bank (IsDB) medio 2009. Puncaknya, saat audiensi dengan Men-

tri Agama di Jakarta, ia sempat “mengancam” akan menerima Mahasiswa Baru (Maba) dibawah standar kuota yang di tetapkan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama jika tahun 2016 UIN tidak ada penambahan gedung baru. Alasannya, menurut Muhibbin kapasitas gedung UIN tidak akan sanggup menampung jumlah mahasiswa yang setiap tahun kuota penerimaannya meningkat. Di sisi lain, peningkatan jumlah mahasiswa baru itu tak diimbangi dengan penambahan gedung perkuliahan. “Saat itu saya mengatakan akan menerima seribu mahasiswa jika gedung tak kunjung dibangun,” kata Muhibbin. Kepala Biro Administrasi Umum Perencanaan dan Keuangan (AUPK), Priyono, mengamini hal tesebut. Menurutnya, UIN Walisongo saat itu berusaha memenuhi kekurangan prasarana dengan mengajukan dana ke Kemenag lewat program SBSN. Pengadaan gedung, kata dia, tidak bisa diambilkan dari dana yang dibayarkan mahasiswa. UKT, menurut Priyono, sudah memiliki porsi alokasi yang akan kembali lagi ke mahasiswa. Kampus hanya mengelola 600 ribu dari SPP. Priyono mengakui posisi UIN Walisong kala itu memang cukup dilematis. Kontrak dengan IsDB mengakibatkan tertutupnya peluang kampus mendapat bantuan dari pihak lain. “Ibarat buah saat itu UIN Walisongo seperti simalakama. Mundur kena maju pun kena kita,” katanya. Ia menambahkan, usaha keras yang dilakukan jajaran birokrasi kampus kala itu akhirnya memetik hasil. Saat ini , kata Priyono proses pembangunan gedung baru sudah mencapai tahap akhir. Dua gedung tersebut, lanjut Priyono, merupakan gedung A dan B. Lantai 1 gedung A yang menghadap ke selatan akan digunakan sebagai kantor FISIP sementara lantai 1 gedung B yang menghadap ke barat diperuntukan untuk kantor Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK). Lebih lanjut, ia menjelaskan, terkait penggunaan ruang perkuliahan dalam gedung itu. Menurutnya, untuk ruang perkuliahan akan dipakai bersama dengan fakultas lain yang mengalami kekurangan ruangan. “Ruang kuliah gedung ini milik bersama, jadi nanti juga digunakan Fakultas Syariah, Ekonomi dan Dakwah,” katanya.n M. Ulul Albab & M. Syafiun Najib AMANAT Edisi 127

Desember 2016

3


L APORAN U TAMA

Amanat. Tarowan

SARANA PRASARANA

Satu Atap: Perpustakaan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam masih menyatu dalam satu ruangan dengan Fakultas Syari’ah dan Hukum.

Fakultas Baru Perpustakaan Lama Pemekaran fakultas baru tak diimbangi dengan pembangunan perpustakaan baru yang layak. Mahasiswa fakultas baru kebingungan mencari referensi.

S

ariul Safitri terlihat sibuk mencari buku di Perpustakaan bersama Fakultas Syari’ah dan Hukum dan Fakultas Ekonomi Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Walisongo (UIN) Semarang. Tangannya sambil memegang sebuah gawai tampak sibuk menelisik buku yang ia cari. Siang itu, Kamis (17/11/2016). Beberapa buku ia ambil, lalu dikembalikan lagi ketempatnya semula. Sari, begitu ia biasa dipanggil, tak sendirian. Dia bersama temannya, Alifatul Muafidah, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Walisongo Semarang Semester 5. Keduanya mengaku sedang mencari bahan rujukan sebagai bahan penulisan tugas akhir. Beberapa waktu berlalu, Sari dan Alifa tak kunjung menemukan buku yang dicari. Sari mengaku sering mengalami kesulitan saat mencari referensi di perpustakaan fakultasnya yang notabene masih menumpang. “Seharusnya tiap fakultas ada perpustakaannya masing-masing, agar mahasiswa tidak mengalami kesulitan literatur” kata mahasiswi Jurusan Perbankan Syariah itu. Sebelumnya, Sari sempat mencari buku yang ia butuhkan di Perpustakaan Pusat UIN Walisongo Semarang. Namun, ia tak medapatkan buku yang ia inginkan. Sari lantas ke perpustakaan fakultas yang dinilainya memiliki koleksi buku yang lebih lengkap sesuai jurusannya. Tapi hasilnya nihil, ia tetap tak menemukan buku yang ia butuhkan. Tak jarang dia harus rela mencari buku ke Perpustakaan Wilayah Jawa Tengah demi mendapat buku rujukannya itu. Sejak pemekaran FEBI dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) akhir Desember 2013 lalu, kedua fakultas itu tak lagi berada satu atap. Gedung perkuliahan, dan fasilitas penunjang fakultas pun telah dibagi untuk kedua fakultas tersebut. Namun, untuk perpustakaan dan gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM), sampai saat ini masih menyatu. Keberadaan perpustakaan tunggal untuk dua fakultas tersebut rupa-

4

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

nya dikeluhkan sejumlah mahasiswa FEBI. Perpustakaan tersebut dinilai belum mengakomodir kebutuhan mahasiswa fakultas itu. Fakultas Saintek Bernasib Sama Keluhan sama dirasakan mahasiswa fakultas lainnya. Ana Reni Ratnawati, mahasiswi Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) mengungkapkan kesusahannya saat mencari bahan rujukan untuk tugas perkuliahannya. Ia mengaku sulit menemukan buku yang menyangkut bidang keilmuannya di perpustakaan fakultas. Praktis, minimnya ketersediaan bahan rujukan membuat Reni harus putar otak agar bisa mendapatkan referensi yang ia butuhkan. Saat tidak menemukannya di perpustakaan, ia mengaku sampai harus meminjam dari kakak tingkatnya. “Saya sering kesulitan saat mencari buku, khususnya buku-buku terkait biologi umum dan teknik laboratorium,” kata mahasiswa asal Jepara tersebut. Berdasarkan data yang dihimpun Amanat, Fakultas Saintek merupakan pecahan dari Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Meski keduanya sudah tidak bernaung dalam satu manajemen. Nahasnya, perpustakaan kedua fakultas itu masih berada satu atap. Pun begitu, perpustakaan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) juga menginduk pada perpustakaan FITK. Alhasil, satu perpustakaan tersebut menaungi tiga fakultas sekaligus. Reni, sejak awal perkuliahan sudah mengetahui dari tulisan di pintu perpustakaan FITK jika Fakultas Sainstek tidak memiliki perpustakaan sendiri, melainkan menumpang dengan perpustakaan FITK. Hal itu, ia sadari lantaran hanya perpustakaan itu saja yang menyedia bahan rujukan terkait perkuliahannya di kampus dua, meski tak lengkap. “Saya terkejut saat pertama kali kuliah disini, ternyata keadaan perpustakaan fakultasnya masih menumpang,” ujar mahasiswi semester satu itu.

Berbeda dengan Reni, Ahmad Fadlan Choirul Anam, mahasiswa Pendidikan Matematika, memaklumi Perpustakaan Saintek yang masih satu gedung dengan Perpustakaan FITK. Alihalih membangun gedung penunjang untuk perpustakaan baru, untuk gedung utama perkuliahan saja, menurut dia, UIN Walisongo masih kekurangan. Menurut mahasiswa semester tujuh itu, penggabungan fasilitas penunjang untuk dua fakultas tersebut dikarenakan pihak kampus belum memprioritaskan perpustakaan sebagai prioritas utama arah pembangunannya. “Bagaimana kampus ingin menambah perpustakaan baru, jika saat ini saja banyak fakultas lain yang kekurangan ruang kelas,” ujarnya. Mahasiswa asal Temanggung itu sebenarnya tak mempermasalahkan penggabungan perpustakan beberapa fakultas tersebut. Asal, perpustakaan itu harus mengakomodir kebutuhan mahasiswa dari masing-masing fakultas. Penyediaan buku harus adil dengan referensi yang lengkap untuk masingmasing fakultas. Terlebih, pada jurusannya, ia sempat merasakan betapa sulitnya saat mencari buku referensi untuk bahan penulisan skripsi. Bahkan, menurutnya, bisa dikatakan buku rujukan itu tidak ada karena koleksi buku Jurusan Saintek di perpustakaan FITK hanya buku materi perkuliahan saja. “Kalau sudah begini mahasiswa bisa berbuat apa coba,” ujar Ahmad. Perpustakaan Terpusat Alasan utama penggabungan perpustakaan Fakultas Saintek dan FITK merupakan realisasi dari Organisasi Tata Kerja (Ortaker) 2014. Hal itu dikatakan Ruswan, Dekan Fakultas Saintek, UIN Walisongo Semarang. Menurutnya, dalam Ortaker tersebut, hanya ada satu perpustakaan pusat yang menaungi semua perpustakaan fakultas. Ruswan menambahkan, perpustakaan fakultas yang sudah mapan, sedang dalam proses peralihan agar bisa menjadi satu manajemen dengan perpustakaan pusat UIN Walisongo. “Kedepaannya tidak ada lagi pen-

gelolaan perpustakaan oleh fakultas,” ujarnya. Lebih lanjut ia menjelaskan, perpustakaan yang sudah ada akan tetap beroperasi sediakala, hanya saja untuk status kepegawaiannya nanti akan membaur dengan perpustakaan pusat. Meski saat ini, kata Ruswan, status kepegawain petugas perpustakaan fakultas masih menjadi tanggungjawab fakultas yang bersangkutan. Adapun pemanfaatan layanannya, digunakan bersama dengan fakultas lain. Terkait pembangunan fisik gedung perpustakaan fakultas baru, hemat Ruswan, hal tersebut tidak menjadi sebuah keharusan. Baginya, hal terpenting adalah pengadaan buku yang sesuai kebutuhan, jumlah pegawai yang memadai, dan meningkatkan pelayanan daring perpustakaan. “Jadi, perpustakaan yang baik itu sudah menggunakan sistem daring untuk pengembalian bukunya,” kata Ruswan. Ruswan menambahkan, untuk pengadaan buku sendiri perpustakaan memiliki sistem bottom up. Sistem ini dilakukan dengan cara perpustakaan pusat menyebar edaran kepada dosendosen di setiap fakultas untuk mengusulkan judul-judul buku yang diinginkan. Adapun besaran anggaran pengadaan, kata Ruswan, tergantung anggaran dana yang tersedia pada tahun itu. Krisis perpustakaan tidak hanya terjadi di Saintek dan FEBI saja. Berdasarkan pantauan Amanat, terdapat dua fakultas baru yang perpustakaannya masih mengginduk pada perpustakaan fakultas lain. Sebut saja Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) dan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK). Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Muhyar Fanani, mengatakan, bergabungnya perpustakaan fakultas yang ia pimpin dengan perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), dikarenakan FISIP masih dalam tahap penyempurnaan fakultas. Ia menjelaskan, izin opersional fakultas baru yang keluar sejak September 2015, menjadikan FISIP masih memprioritaskan untuk melengkapi tenaga pengajar, kebutuhan administrasi, kebutuhan sarana pengajaran dan prasarana perkuliahan. “Baru per 1 Maret 2017 nanti, FISIP menempati gedung baru,” katanya. Sementara itu, terkait pembuatan perpustakaan fakultasnya, Muhyar mempunyai pendapat yang berbeda dengan Ruswan. Menurutnya, untuk pembuatan perpustakan fakultas tersebut, meski tidak masuk dalam Ortaker terbaru, namun keberadaannya termasuk dalam ranah kebijakan dekan meski nantinya menggunakan ruang kelas. Perpustakaan fakultas, lanjut Muhyar merupakan upaya untuk mendekatkan perpustakaan dengan mahasiswanya. Mengingat letak kampus UIN Walisongo yang berjauhan antar kampus satu dengan yang lainnya. “Perpustakaan fakultas tersebut, nantinya akan tetap dalam satu manajemen dengan perpustakaan pusat,” ujar alumnus UIN Sunan Kalijaga 2005 itu. Muhyar menambahkan, pada prinsipnya perpustakaan pusat itu adalah kumpulan dari perpustakaan fakultas. Ia menilai terkait tidak perlunya pembuatan perpustakaan baru di Fakultas Sainstek menurutnya karena prioritas yang berbeda. “Saintek harus melengkapi peralatan labnya yang itu tidak ringan, tapi di FISIP karena ilmu sosial jadi labnya tidak begitu berat. Namun, perpustakaannya harus diperkuat,” katanya. n Fareh Hariyanto


AMANAT D OELOE

Gedung

Baru

Itu...

Ketika kampus merubah nomenklaturnya dari Institusi menjadi Universitas, tak dapat dipungkiri segala aturan yang melekat di dalamnya pun akan berubah. Contohlah penerimaan mahasiswa yang awalnya hanya berkisar seribuan, kini harus menjadi sekitar tiga ribuan.

I

hwal itu menjadi bumerang tersendiri bagi sivitas kampus UIN Walisongo Semarang karena peningkatan jumlah mahasiswa tak diimbangi dengan penambahan prasarana gedung yang memadahi. Walhasil kelas yang semula menampung kurang lebih 30-an mahasiswa harus dipaksa menampung 50-an orang mahasiswa. Sungguh mencerahkan membaca cerita-cerita lama tentang kampus hijau ini terkait kekurangan prasarana gedung. SKM Amanat edisi 64 Bulan Mei 1996 dengan judul Gedung Baru Itu... menulis bagaimana sarana dan prasarana tidak sekadarnya saja dalam kegiatan belajar untuk mendukung keberhasilan output mahasiswa. Cerita itu bermula tatkala Dirjen Binbaga Islam Depag Dr. Hj. Andi Rosdiana pada pertengahan April 1996 lalu di gedung baru Fakultas Dakwah IAIN Walisngo Semarang saat meresmikan sejumlah proyek fisik kampus IAIN Walisongo Semarang. “Dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana, harus dapat meningkatkan semangat kerja dan kedisiplinan yang tinggi di jajaran IAIN. Sebab tujuan prinsip dibangunnya sejumlah proyek gedung di IAIN Walisongo Semarang adalah dalam rangka peningkatan efisiensi kerja karyawan/dosen, di samping mendorong semangat mahasiswa,” kata Rosdiana. Pada kesempatan itu diungkapkan pula oleh Rektor IAIN Walisongo Semarang Prof. Drs. H. Achmad Ludjito, bahwa salah satu dari lima faktor keberhasilan pendidikan adalah tersedianya saran dan prasarana. Karena itu, dengan dibangunnya sejumlah proyek sarana fisik tersebut akan sangat membantu bagi pencapaian tujuan pendidikan .

“Selama ini IAIN Walisongo memang sangat kekurangan ruang kuliah, termasuk kantor fakultas. Tapi dengan diresmikannya sejumlah gedung oleh Dirjen, kekurangan tersebut telah dilengkapi,” ujar Ludjito. Menurut pimpinan proyek PTA IAIN Walisongo Semarang Drs. H. Zen Yusuf dalam laporannya menjelaskan, sesuai dengan Daftar Isian Proyek (DIP) tahun anggaran 1995/1996 Nomor099/XXV/31//1995, proyek Perguruan Tinggi Agama/IAIN Walisongo memperoleh dana sebesar Rp. 2.561.000.000,- Dana tersebut untuk proyek IAIN Walisongo Semarang, Surakarta dan Purwokerto. Proyekproyek tersebut meliputi, pengadaan peralatan gedung, pembangunan gedung, pembangunan prasarana lingkungan, renovasi gedung, pengadaan buku, pendidikan, pelatihan, penelitian, operasional dan pemeliharaan dan orientasi kurikulum. Sedangkan realisasi pelaksanaan proyek fisik 100 persen berhasil dengan keuangan 99,07 persen dari jumlah anggaran yang ditetapkan. Dan royek-proyek fisik yang dimaksud : Pembangunan gedung kantor Fakultas Dakwah berlantai II dengan dana sebesar Rp. 400.596.000.- Gedung kantor Fakultas Syari’ah berlantai II dengan dana sebesar Rp. 479.828.000.Renovasi gedung Rektorat dengan dana sebesar Rp. 98.749.080,- semua proyek tersebut berada di Semarang. Di samping itu, pembangunan gedung kuliah Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo di Surakarta berlantai II dengan dana sebesar Rp. 463.200.000,- Pembangunan gedung

Sarana dan prasarana tidak sekadarnya saja dalam kegiatan belajar untuk mendukung keberhasilan output mahasiswa.

kuliah Fakultas Tarbiyah Salatiga dengan Dana sebesar Rp.45.753.000.Kemudian pembangunan Talut/ prasarana lingkungan dengan dana sebesar Rp. 115.610.400.Dalam sambutannya Dirjen Binbaga Islam Depag mengatakan, diresmikannya sejumlah proyek fisik tersebut menandakan bahwa IAIN Walisongo Semarang tengah mendapatkan perhatian khusus dari Depag Pusat. Pengembangan IAIN selama ini mengacu pada Rencana Induk Pengembangan (RIP) 25 tahun, mulai tahun 1995 sampai 2019. RIP tersebut dijabarkan oleh masing-masing IAIN termasuk IAIN Walisongo, menjadi pengembangan 25 tahun jangka menengah. Ditandaskan pula, indikasi keberhasilannya diletakan pada 8 bidang pengembangan sebagai kunci sukses IAIN yaitu kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, perpustakaan, penelitian, penelitian pada masyarakat, kemahasiswaan serta sarana dan prasarana. Dijelaskan pula, untuk pengembangan sarana dan prasarana mengacu pada masterplan yang disusun untuk pengembangan IAIN selama 25 tahun yang akan datang. Oleh karena itu pimpinan IAIN dalam pengembangan program-program tahunannya mesti mengacu pada masterplan tersebut.

Hal ini dimaksudkan agar tidak acak dalam membangun dan mengembangkan IAIN. Begitu pula, penyimpangan dari masterplan demi pertimbangan sesaat perlu dihindari. Untuk itu, “Hendaknya senat IAIN selalu diikutsertakan dalam setiap pengambilan keputusan.” Acara peresmian sejumlah gedung dan proyek baru tersebut oleh Dirjen Binbaga Islam Depag Dr. Hj. Andi Rosdiana didampingi Rektor IAIN Walisongo ditandai dengan penanda tanganan lima prasasti. Hadir pula Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jaten, Kakanwil Depag Jateng HD Sunaryo SH, Walikotamadya Semarang (diwakili H. Sukamto SH), para Dekan dan Dosen serta ketua lembaga kemahasiswaan dilingkungan IAIN Walisongo Semarang. Pada kesempatan tersebut Rektor mengucapkan terima kasih kepada Walikotamadya Semarang Sutrisno Suharto atas bantuan Pemda berupa materiil maupun moril demi pengembangan IAIN selama ini.n Ida N L

Tabloid Amanat Edisi 64 Tahun 1996

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

5


MEREKA BICARA

Kekurangan sarana prasarana di UIN Walisongo banyak dikeluhkan mahasiswanya. Terutama soal keberadaan ruang perkuliahan yang tak memadai di beberapa fakultas. Karenanya pejabat tinggi UIN Walisongo terus berusaha memenuhi kekurangan gedung perkuliahan tersebut. Berikut komentar para pihak terkait darurat prasarana kampus.

Priyono M.Pd.

Prof. Dr. H. Muhibbin M.A,g Rektor UIN Walisongo Semarang

R

ektor UIN Walisongo Semarang, Muhibbin, banyak bercerita terkait proses pembangunan sarana prasarana kampus. Menurutnya, kedua hal tersebut merupakan suatu komponen penting untuk penunjang kegiatan perkuliahan mahasiswa. Ia mengatakan, perencanaan sarana prasarana sebenarnya telah dirumuskan sejak lama. Sebelum konversi IAIN ke UIN dulu, kata Muhibbin, kampus dalam hal ini birokrasi terus berusaha memenuhi defisit sarana prasarana. Kala itu, dengan memperluas tanah untuk pembangunan gedung baru di barat Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK). “Awal tahun 2017 ini proses pembangunannya akan segera dimulai,” terangnya. Lebih lanjut, Muhibbin menjelaskan terkait peruntukan pembangun gedung tersebut. Program yang diprakarsai atas Biaya Islamic Development Bank (IsDB) itu diwacanakan akan digunakan untuk gedung fakultas, rektorat dan planetarium. Ia menekankan kalau program dari IsDB itu bukan bantuan, melainkan sebuah pinjaman yang nantinya akan dikembalikan oleh pemerintah. Padahal, menurutnya kesepakatan MoU itu sudah disetujui sejak 2009, tapi baru bisa terealisasi tahun 2017. “Hal ini dikarenakan syarat yang yang ditetapkan oleh IsDB terlalu banyak,” ujarnya. Saat ini, kata Muhibbin, proses yang sedang dikerjakan terkait prasarana kampus adalah penyelesaian tahap akhir gedung A dan B yang berkapasitas 24 ruang kelas di timur lapangan sepak bola Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Proyek yang didanai melalui program Surat Berhaga Syariah Negara (SBSN) itu akan digunakan untuk Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) bersamaa fakultas lain yang membutuhkan ruang perkuliahan. “Pada awal maret nanti, saat perkuliahan dimulai, mahasiswa sudah bisa menggunakan,” kata mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum itu.n

Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK)

T

erkait sarana prasarana Priyono berpandangan UIN Walisongo kini terus berbenah. Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK) itu mengungkapkan, selain proses penambahan gedung baru. Kampus juga dalam proses perbaikan gedung yang sudah ada. Ia mencontohkan perbaikan Auditorium II Kampus III yang kabarnya akan siap digunakan akhir Januari 2017. Akan tetapi semua hal itu, menurut Priyono masih berjalan perlahan dan terus berkesinambungan. Ia menganalogikan, UIN Walisongo saat ini ibarat orang memakai sarung yang cingkrang. Maksudnya, niatan untuk menutupi bagian bawah tapi tidak bisa lantaran sarung terlalu pendek. “Anggaran yang digelontorkan pusat tidak sebanding dengan kebutuhan kampus,” ujarnya. Ia menyoroti bagian dana yang dikucurkan Kementerian Agama (Kemenag). Anggaran 2017 yang dirapatkan pada 2015 dari Kemenag hanya disetujui 180 miliar dari usulan awal 400 miliar yang diajukan. Hal tersebut, kata Priyono, harus memaksa pihak kampus memutar strategi dengan membuat skala prioritas dan penghematan disegala lini. “Kesulitan yang kita alami saat ini memang terkait pembiayaan yang kurang maksimal,” katanya. Sementara itu, kadang pihak kampus juga mengalami kesulitan terkait prioritas perencanaan UIN Walisongo yang harus didahulukan. Masing-masing bagian, kata Priyono, saat rapat kerja dengan pimpinan semua saling memperjuangkan apa yang menjadi tugas dan haknya. Ia menambahkan, mulai dari Bagian Akademik, Bagian Perencanaan dan Keuangan serta Bagian Kemahasiswaan hingga para Dekan saling bersikukuh untuk memperjuangkan haknya. “Kalau sudah seperti itu semuanya dirasa penting untuk diprioritaskan, tapi kadang-kadang yang kalah selalu sarana prasarana,” terangnya.n

Dra. Siti Sholihati, M.A.

Dr. Darmuin, M.Ag.

Kepala Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)

Dekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK)

D

ekan Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK) Darmuin, angkat bicara terkait minimnya prasarana kampus di fakultas yang ia pimpin. Menurutnya, sarana prasarana itu sifatnya ada dua macam, minimal dan ideal. Untuk awal berdirinya sebuah fakultas baru, ia mafhum dengan segala keterbatasannya. Namun, dirinya menyambut positif terkait pembangunan gedung baru untuk FPK yang akan resmi digunakan pada awal semester genap 2017. “Gedung baru itu sudah meliputi kantor dan tempat perkuliahan mahasiswa, meskipun penggunaannya bersama dengan fakultas lain” katanya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa pihak kampus masih dalam usaha pembangunan gedung perkuliahan. Gedung baru yang akan di tempati FPK, kata Darmuin, jika untuk memenuhi kriteria akreditasi kelayakan sebuah fakultas baru, mungkin masih sangat jauh. Mengingat gedung baru tersebut masih belum ada spesifik khusus untuk ruang dosen, ruang jurusan, dan ruang dekanat. Hal itu dikarenakan semuanya masih menyatu dalam satu ruangan. “Kalau secara minimal tata administrasi perkantoran kita sudah ada, meskipun belum ideal,” ujarnya. Kekurangan gedung tersebut, baginya bukanlah sebuah bentuk keluhan. Hanya saja, ia menyadari jika kebutuhan untuk sebuah standar akreditasi belum terpenuhi. Memang ia mengakui bahwa pihak kampus lebih memprioritaskan tempat perkuliahan mahasiswa yang masih kurang. Ihwal itu dikarenakan kenyamanan mahasiswa masih menjadi pekerjaan rumah bagi UIN Walisongo. “Dari pihak kami hanya berusaha melengkapi segala sesuatu yang belum ada saja,” katanya.n

6

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

K

epala Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Siti Sholihati, mengungkapkan pendapatnya perihal sarana prasarana kampus UIN Walisongo. Ia berpandangan jika saat ini kampus masih dalam pembenahan. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya program yang dilakukan UIN Walisongo berfokus pada pembangunan prasarana gedung. Menurutnya, pembangunan fisik kampus seharusnya diimbangi dengan sarana pendukung akademiknya. Ia menyoroti terkait prasarana perpustakaan di fakultasnya yang tak mengakomodir kebutuhan jurusan. “Cukup disayangkan melihat kondisi perpustakaan yang digunakan untuk menaungi empat jurusan di sini,” katanya. Lebih lanjut ia menambahkan, terkait sarana perpustakaan fakultas, saat ada dosen yang menyarankan mahasiswa untuk merujuk pada suatu buku, ironisnya buku tersebut justru tidak ada di perpustakaan fakultas itu. Idealnya, kata Solihati, ada perhatian khusus dari birokrasi kampus untuk lebih mengakomodir segala kukurangan baik pembangunan fisik kampus maupun sarana akademiknya. Terkait pembangunan gedung, kadang ia juga mempertanyakan, fasilitas gedung yang dibangun megah itu dibuat untuk siapa, karena menurutnya, semenjank perubahan sistem UIN Walisongo menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Tidak sedikit aset yang dimiliki kampus baru bisa digunakan mahasiswa dengan menyewa. “Seharusnya sarana prasarana yang dibangun perguruan tinggi bisa dimaksimalkan untuk kepentingan mahasiswa guna menunjang kreativitas,” katanya.n Nur Zaidi, M.Ulul Albab

n TAJUK

S

“Angin Segar” Pembangunan

ejak enam bulan terakhir ini, tepatnya Rabu, (20/07/2016). UIN Walisongo disibukkan dengan pembangunan gedung mewah bernilai milyaran rupiah. Kegiatan asing bagi mahasiswa yang selama ini merasakan sulitnya prasarana perkuliahan yang memadai. Pembangunan tersebut berasal dari program Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Direktur Jendral (Dirjen) Pendidikan Tinggi Islam Kemenag. SBSN merupakan Salah satu dana abadi negara yang dikelola oleh Keme-ntrian Agama. Dana tersebut, bisa dicairkan dan dialokasikan pada suatu aset negara sesuai dengan acuan yang berlaku. Momentum ini merupakan bangkitnya UIN Walisongo dari titik nadir pembangunannya. Semenjak perubahan nomenklatur IAIN menjadi UIN, kuota mahasiswa setiap tahunnya meningkat drastis. Nahasnya, peningkatan tersebut tidak dibarengi dengan penambahan prasarana perkuliahan yang memadai. Walhasil, dibeberapa fakultas mafhum dijumpai beberapa kelas yang overload kapasitasnya, perkuliahan hingga larut malam dan hari sabtu pun masih ada mahasiswa harus rela berangkat. Hal tersebut menjadi siasat kampus agar roda perkuliahan tetap berjalan ditengah keterbatasan. Menurut Wakil Rektor II Bidang Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan Imam Taufik, tahun 2016 tak kurang 3886 orang tercatat sebagai mahasiswa baru. Proses seleksi tak mudah, serta lika-liku yang harus dilalui. Tampaknya tak menjadi jaminan mereka dapat fasilitas laik. Hal ini tampak kentara di Fakultas Hukum dan Syariah serta Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Ruang kelas yang dulunya hanya digunakan untuk 30-an mahasiswa kini harus menampung 40 sampai 50 mahasiswa dalam satu perkuliahan. Tak jarang mahasiswa harus rela duduk berhimpitan dalam satu kursi ataupun duduk beralas dinginnya lantai. Menumpuknya mahasiswa dalam satu perkuliahan disebabkan dua hal. Pertama, bahwa jumlah mahasiswa yang terus meningkat tak diimbangi dengan pembangunan gedung kampus secara sistemis. Berapapun jumlah mahasiswa yang diterima gedungnya tetap itu-itu saja. Kedua, rumitnya alur birokrasi di Dirjen Pendidikan Tinggi Islam untuk pengajuan penambahan gedung. Mengingat, semenjak meneken kontrak dengan The Islamic Development Bank (IsDB). Nyaris, hal tersebut menutup kemungkinan kampus mendapat bantuan penambahan prasarana perkuliahan. Persoalan pertama, haruslah menjadi perhatian kampus. Mengingat cepat atau lambat prasarana penunjang merupakan prioritas utama yang harus segera dikejar. Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11 Ayat 2 yang menyebutkan, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Persoalan kedua, terkait alur birokrasi yang rumit tampaknya kini mulai terurai. Proyek IsDB yang telah diteken sejak 2009 baru menampakan hasilnya baru baru ini. Puncaknya, Project Four in One dari proyek tersebut mulai akan direalisasikan awal tahun 2017, dengan diawali pembuatan desain perencanaan. Bantuan hutang IsDB ini mungkin akan menjadi “angin segar” yang mampu mendukung pencapaian visi dan misi UIN Walisongo kedepan, terkait integrasi ilmu agama dan sains. Kampus tidak perlu pusing-pusing memikirkan bagai mana cara membayarnya, karena semua akan menjadi tanggungan Negara. Menilik kilas balik, dulu saat awal program IsDB digulirkan. Antusiasme birokrasi kampus saat itu cukup tinggi. Namun, lambat laun semangat mulai kendur lantaran dalam perjalanannya program ini mensyaratkan berbagai macam standar yang harus dipenuhi kampus. Hal itulah yang menjadikan progres pembangunan kampus tampak berjalan stagnan. Pun begitu, aturan dari pusat menekankan, bahwa Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang telah mendapatkan program IsDB tidak diperkenankan memperoleh bantuan lain. Hal itulah yang menjadi simalakama IsDB UIN Walisongo kata Priyono Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK) UIN Walisongo Semarang. Kualitas memang harus jadi tujuan utama perguruan tinggi. Hal tersebut, perlu dukungan dari birokrasi kampus untuk menyediakan sarana prasarana perkuliahan yang memadai. Ke depannya, mahasiswa dan birokrat harus sering duduk bersama. Mahasiswa tak lain adalah “bahan mentah”. Butuh tempat meracik yang baik, agar menjadi produk bermutu untuk kemudian dilempar ke pasar. Karenanya, pelayanan terbaik bagi mahasiswa adalah keharusan.  Redaksi


LAPORAN K HUSUS

UANG KULIAH TUNGGAL

Alotnya Penyesuaian UKT R Upaya penyelarasan besaran UKT dilakukan pihak birokrasi. Realisasinya hanya terpaku data isi.

Sumber: www.walisongo.ac.id

apat yang digelar di lantai dua gedung Rektorat Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang, pada akhir September 2016 lalu, dihadiri oleh jajaran birokrasi kampus hijau itu. Tak hanya Rektor, Wakil Rektor dan para Dekan juga turut dilibatkan dalam pertemuan itu. Hanya satu agenda yang akan dibahas, menentukan rancangan pedoman penyesuaian Uang Kuliah Tunggal (UKT) bagi mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Hasil rapat itulah yang melahirkan Keputusan Rektor Nomor 161 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyesuaian UKT Mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Keputusan itu menjadi landasan hukum bagi mahasiswa yang merasa tak sesuai perolehan besaran UKT dengan kemampuan ekonominya. Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum dan Perencanaan, Imam Taufik , yang terlibat dalam pertemuan tersebut mengatakan, Kala itu memang sudah direncanakan untuk masa penyesuaian UKT. Gagasan tersebut, menurutnya sudah mulai masuk perencanaan program sejak Agustus 2016. Imam menambahkan, pertimbangan awal, pertemuan tersebut, pertama, memberikan desain terkait rancangan pedoman penyesuaian UKT untuk menjadi Keputusan Rektor. Saat itu juga dibahas siapa yang terlibat dalam tim yang menangani berkas mahasiswa. Hingga, mengatur sanksi bagi mahasiswa yang kedapatan memalsukan data yang dikumpulkan. Sementara itu, penentuan waktu pelaksanan dan keterlibatan Kepala Jurusan (Kajur) dalam tim, jadi pertimbangan karena itu terkait masalah teknik. Pun begitu, karena penyesuaian ranahnya sudah tingkat universitas maka keterlibatan Kajur tidak begitu kentara seperti saat seleksi awal masuk UIN Walisongo. “Sekarang kita menggunakan tim independen untuk memverifikasi data yang masuk,” katanya. Tim tersebut, lanjut Imam, terdiri dari dosen muda dan ahli Informasi Teknologi (IT) dari Pusat Pangkalan Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) UIN Walisongo Semarang. Ia menjelaskan, setiap orang dari tim tersebut mendapat bagian 20 orang data mahasiswa dengan jumlah keseluruhan data mencapai ratusan data yang masuk. Dulunya, kata Imam, saat proses penentuan besaran UKT mahasiswa baru 2016, semua data bersumber dari unggahan mahasiswa dan itu dibuktikan dengan data fisik saat verifikasi di kampus. Namun, untuk saat ini, panitia juga menggunakan teknik sampling. Hal tersebut dilakukan jika terdapat hal yang mencurigakan. Imam mencontohkan jika terjadi penurunan yang drastis antara data yang diunggah saat penyesuaian dengan data saat pendaftaran dulu, timnya bekerja sama untuk melakukan verifikasi langsung dengan cara menelpon ke alamat rumah yang bersangkutan. “Untuk saat ini, kita percaya data meskipun tak dipungkiri kemungkinan manipulasi itu ada,” ujarnya.

Penyesuain UKT: Pengumuman penyesuain UKT bagi mahasiswa yang besaran perolehan UKT-nya dinilai tak sesuai.

Mekanisme Penyesuaian Ketua PTIPD Wenti Dwi Yuniarti, menjelaskan terkait mekanisme proses penyesuaian UKT tersebut. Menurutnya, langkah yang dilakukan tetap sama seperti saat proses pendaftaran mahasiswa baru. Bedanya, menurut Wenti, pihak pemohon juga harus menyertakan surat keterangan dari Wakil Dekan II di masing-masing fakultas. Selain itu, surat pernyataan bermatrai yang menjelaskan pekerjaan dan penghasilan orang tua perbulan juga wajib dilampirkan. “Hal itu dilakukan agar menjaga validitas data pemohon,” katanya. Pun begitu, Wenti tak memungkiri jika saat proses verifikasi tahap awal ada sebagian berkas yang tak lolos lantaran tak memenuhi standar administrasi yang ditetapkan kampus. Ia menambahkan, sebenarnya ruang penyesuaian UKT memungkinkan untuk menaikan besaran UKT pemohon jika terdapat data yang ganjil saat verifikasi. Namun, kata Wenti, data yang masuk tidak ada yang layak untuk UKT-nya dinaikan. “Hingga saat akhir pengumuman, jika tidak turun ya tetap UKTnya,” ujarnya.

Karena jika hanya terpaku pada data, kemungkinan fiktif tentu ada.

Fatkhiyatun Nisyail Ulya Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Arab 2016

Terkait proses pengumuman penyesuaian UKT yang dilakukan secara personal, Wenti mempunyai pandangannya sendiri. Menurutnya, alasan tim khusus penyesuaian mengumumkan hasil penyesuaian secara personal melalui laman www.uktbkt.walisongo. ac.id dengan mahasiswa login ke akunnya masing-masing dilakukan karena sejak awal pengajuannya bersifat personal maka pengumumannya pun idealnya personal. Hal itu, kata Wenti, mafhum digunakan di lembaga manapun yang pengajuan berkasnya dilakukan secara personal, maka pengumumannya pun akan dilakukan secara personal juga. “Untuk menjaga privasi masing masing pemohon,” katanya. Tak Memuaskan Setelah proses pengumuman penyesuaian UKT yang dilakukan UIN Walisongo, tampaknya hasil itu tak memuaskan beberapa mahasiswa yang mengaku berkeberatan atas putusan akhir kampus tersebut. Fatkhiyatun Nisyail Ulya masygul saat mengetahui pengumuman besaran UKT-nya tak berubah. Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) itu mengaku besaran UKT yang ia dapat tak sebanding dengan penghsilan orang tuanya. Menurutnya, pihak kampus harusnya menggunakan standar ganda saat penyesuaian UKT tersebut. Ihwal itu, kata Fatkhi, harus dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penentuan besaran UKT bagi mahasiswa. Ia menambahkan, idealnya kampus bisa melakukan wawancara langsung dan cek tempat tinggal mahasiswa yang bersangkutan. “Karena jika hanya terpaku pada data, kemungkinan fiktif tentu ada,” kata mahasiswa asal Jepara itu. Sebenarnya, Fatkhi menyambut baik terkait program penyesuaian UKT tersebut saat awal digulirkan. Namun, nahasnya ia justru kecewa lantaran sistem yang digunakan tak jauh beda dengan penentuan awal UKT saat dirinya mendaftar di UIN Walisongo lantaran hanya berbasis data isian yang diunggah. Fatkhi tak sendirian, Ihsan Hanafi mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi (Saintek) juga mengeluhkan kekecewaannya. Ia yang masuk seleksi penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri mengaku heran lantaran mendapat besaran yang tak sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarganya. Ihsan mengaku berkeberatan dengan biaya tersebut. Hal itu bukan tanpa sebab, mengingat ia masih mempunyai dua orang adik yang masih duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengan Kejuruan (SMK) yang masih menjadi tanggungan keluarga. “Saya bingung dengan indikator yang ditetapkan UIN Walisongo sebagai tolak ukur penentuan besaran UKT,” kata mahasiswa Jurusan Pendidikan Kimia. Padahal, kata Ihsan, data yang ia unggah saat penyesuaian dengan data waktu pendaftaran ada perbedaannya. Namun, hal tersebut tampaknya tidak menjadi tolak ukur kampus untuk penyesuaian UKT-nya.n Chalia Mufidha

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

7


SARANA PRASARANA

A

asal me“ Kalau makai, nanti

takutnya ada masalah. Lebih baik kita hati-hati dengan sesuatu yang berurusan dengan hukum. Dr. Imam Taufik, M.Ag. Wakil Rektor II UIN Walisongo

fa’. Bahkan, Fadlolan mengungkapkan, ia sering mendapat protes dari sejumlah wali mahasiswa, lantaran anak mereka tidak diterima di ma’had. “Saya kasihan pada mahasiswa baru yang jauh-jauh datang dari luar Jawa ingin nyantri di sini. Sementara saat tes seleksi tidak masuk, dia harus rela mengantre menjadi cadangan jika nanti ada santri yang keluar,” katanya Fadlolan melihat animo mahasiswa yang ingin tinggal di ma’had begitu tinggi, sementara kuota penerimaan santri di ma’had terbatas. Ma’had hanya mampu menampung 460 santri tiap tahunnya. “Padahal mahasiswa yang mendaftar sampai ribuan. Terpaksa sebagian kami tolak,” ujarnya. Gedung baru mangkrak Fadlolan merasa prihatin, di saat ma’had tak mampu menampung seluruh mahasiswa baru yang mendaftar,

8

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

Amanat. Tarowan

viva Yuniar, senang bukan kepalang ketika melihat pengumuman yang menyatakan, ia diterima di Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang medio 2016 lalu. Keberadaan Ma’had Walisongo menjadi daya tarik tersendiri baginya. Ia yang berlatar belakang pendidikan umum itu berharap dapat memperdalam ilmu agama melalui ma’had, di samping pendidikan di kuliah. Terlebih, letak ma’had di dalam area kampus memudahkannya untuk menjangkau aktivitas akademik. Namun, niatnya bergabung di Ma’had kandas karena seleksi masuk ma’had terlalu berat baginya. “Ada tes Bahasa Arab, saya sadar diri karena saya dari SMA, jadi saya mundur,” katanya, mengeluh. Berbeda dengan Yuniar, Laila Nur Syarifah mahasiswi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) memilih mendaftar Ma’had Walisongo lantaran ingin meneruskan pendidikan pesantren yang telah ia jalani sebelum masuk UIN. Selain itu, letak Ma’had di kampus dua yang masih satu komplek dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) juga menjadi pertimbangannya. Ia menceritakan awal mulanya berminat dan ingin masuk ma’had pada pertengahan 2016. Kala itu, kenang Laila, ia dan kedua temannya mengikuti seleksi ujian masuk Ma’had Walisongo. Ia sangat percaya diri bisa diterima ma’had karena merasa jebolan pondok pesantren. Namun, rupanya harapannya kandas. “Dari kami bertiga, yang mendapat SMS pemberitahun diterima hanya satu orang, yaitu teman saya. Ya sudah, mau gimana lagi,” katanya pasrah. Tingginya animo mahasiswa baru untuk bergabung di ma’had diamini Pengasuh Ma’had Walisongo Fadlolan Musyaf-

LAPORAN P ENDUKUNG

Tak Terawat: Gedung bantuan Kemenpera untuk ma’had terlihat memprihatinkan tampak rumput menjulang. Ternit di beberapa sudut gedung rusak (kiri).

Gedung Ma’had Tak Terawat

Keberadaan gedung baru Ma’had UIN Walisongo cukup memprihatinkan. Animo tinggi mahasiswa yang ingin menjadi santri tak diimbangi kesiapan kampus untuk memenuhi kebutuhan sarana Ma’had. di belakang ma’had, terdapat gedung megah tiga lantai yang justru tak terpakai. Gedung yang mulanya direncanakan untuk pengembangan Ma’had Walisongo kini kondisinya memprihatinkan. Sebagian material eternit atap gedung rontok. Beberapa titik bangunan gedung mengalami keretakan. Bahkan, tangki septik yang berada di sisi utara gedung ambles. “Padahal, gedung itu dulu cukup sulit pengajuan pembangunannya,” kata Fadlolan. Fadlolan mengaku terlibat langsung dalam pengajuan proposal pembangunan gedung baru untuk ma’had ke Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Ia mengaku menyerahkan langsung proposal yang telah ditandatangani rektor UIN Walisongo kepada Menteri Perumahan Rakyat kala itu, pada sebuah acara Seminar Internasional di Jakarta. “Saya katakan kepada menteri waktu itu, pak, ini dari UIN Walisongo, meminta untuk menambah Rusunawa yang diperuntukkan untuk ma’had, karena banyak mahasiswi putri belum mendapatkan tempat. Dia pun merespon positif, ” katanya. Fadlolan mengungkapkan, mulanya permintaan UIN Walisongo melalui proposal itu, adalah pembangunan gedung twin block empat lantai. Pengajuan proposal itu sempat terkendala lantaran muncul kebijakan pemerataan pembangunan. Bagi institusi yang pernah mendapatkan bantuan gedung, diprioritaskan tidak mendapat bantuan kembali. “Sampai kami tawar menawar dengan direktur dan Dirjenya langsung. UIN Walisongo sudah pernah dapat bantuan gedung, sehingga tidak boleh mendapat lagi,” ujarnya Setelah melalui negosiasi panjang, pengajuan pembangunan gedung Rusunawa UIN Walisongo akhirnya dikabulkan. Walaupun, kata Fadlolan, spesifikasi gedung bantuan tidak sesuai dengan permintaan pada proposal awal. “Meskipun tidak seperti gedung (ma’had) sebelumnya, tidak masalah,

yang penting proposal diterima,” imbuhnya. Setelah pembangunan ma’had rampung, gedung tak dapat langsung dipakai lantaran perlengkapan penunjang gedung belum terisi. Pada tahun 2015, kata Fadlolan, UIN sempat berencana mengajukan pengadaan mebel untuk mengisi gedung yang telah jadi. Namun, prioritas alokasi anggaran UIN waktu itu untuk pembangunan gedung utama dan fasilitas penunjang lain. “Tahun 2016 sudah diajukan lagi, namun mengalami hal serupa. Sampai sekarang akhirnya gedung belum bisa ditempati. Karena tidak ada lemari dan ranjang. Tidak mungkin kan, santri suruh tidur di lantai,” ujarnya. Digadang jadi pondok tahfidz internasional Dekan Fakultas Sains dan Teknologi yang juga mantan Wakil Rektor II Ruswan membenarkan, gedung Rusunawa itu merupakan bantuan dari Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera). Di Perguruan Tinggi umum, Rusunawa difungsikan sebagai Asrama Mahasiswa. Sementara di UIN Walisongo, Rusunawa difungsikan sebagai ma’had. Rusunawa tidak sekadar menjadi tempat tinggal bagi mahasiswa, namun sekaligus tempat menimba ilmu agama sebagaimana pesantren pada umumnya. Birokrasi kampus kala itu, kata Ruswan, sempat mewacanakan gedung tersebut akan dijadikan Pondok Tahfidz Internasional melalui kerjasama atau MoU dengan Tahfidz Sulaimaniyah Turki Ustmani, Turki. Pihak Turki Ustmani, kata Ruswan, saat itu menyanggupi pemberian bantuan dana sekitar satu milyar guna pembelian perlengkapan mebel untuk mengisi gedung. Namun, lanjut Ruswan, kerjasama itu terpaksa dibatalkan lantaran pihak Turki Ustmani menghendaki adanya santri non mahasiswi di ma’had. Keberadaan mereka untuk mengisi aktivitas ma’had yang kosong di pagi dan siang hari, saat santri mahasiswi kuliah.

“Maksud mereka, para ustadzah biar tidak menganggur waktu mahasiswi kuliah, karena mereka juga dibayar. Itu yang menjadikan Rektor tidak setuju. Karena kuota untuk mahasiswi saja kurang, sampai harus diseleksi, kok malah memasukkan non mahasiswi,” tegasnya. Ruswan mengatakan, gedung memerlukan perlengkapan penunjang atau mebel agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Sementara pengadaan mebel tidak tercantum dalam Laporan Keuangan Kementerian Lembaga (LKKL). “Kala itu kita sudah mengajukan usulan. Namun, tidak disetujui oleh pusat. Ketika itu ditolak, kita tidak bisa membeli funitur. Saya kira sudah pernah dibicarakan lagi terkait pengadaan itu, akan tetapi saya kurang tahu untuk saat ini, apakah sudah dianggarkan atau belum,” imbuhnya. Administrasi belum clear Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, Imam Taufik mengatakan, gedung yang telah setahun tak terpakai itu belum diserahterimakan secara tertulis oleh Kemenpera kepada UIN Walisongo hingga kini. Karena permasalahan itu, menurut Imam, gedung tersebut belum bisa digunakan sebagaimana ma’had yang telah ada sebelumnya. Birokrasi sebenarnya sempat akan menganggarkan pengadaan furnitur pada tahun anggaran 2016. “Karena belum clear, kami belum berani untuk merealisasikannya. Kami menunggu clear semuanya dulu. Kalau asal memakai, nanti takutnya ada masalah. Lebih baik kita hati-hati dengan sesuatu yang berurusan dengan hukum,” ujarnya. Saat ini, lanjut Taufik, birokrasi tengah mengupayakan agar gedung segera diserahterimakan kepada UIN Walisongo. Setelah urusan serah terima selesai, pihaknya berjanji akan segera menganggarkan untuk pengadaan fasilitas penunjang gedung agar segera dapat dimanfaatkan sebagai ma’had. “Mudah-mudahan tahun 2017 sudah clear semua terkait surat-suratnya, karena anggaran untuk furnitur sudah kita alokasikan pada tahun tersebut,” katanya.n Nur Zaidi


LAPORAN P ENDUKUNG

PUSAT PENGEMBANGAN BAHASA

Terjegal Sertifikat Toefl

Amanat. Ulul A.

Sertifikat Toefl menjadi prasyarat wajib untuk mengikuti ujian kelulusan bagi seluruh mahasiswa. Namun, kelayakan sertifikat masih dipertanyakan dalam dunia kerja

Serius: Sejumlah peserta tes Toefl di PPB UIN Walisongo tengah mengerjakan soal.

M

eski dalam masa libur kuliah, Ika Indri Astuti tidak pulang ke rumah asalnya Purbalingga. Akan tetapi, mahasiswa semester tujuh Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) itu sengaja menetap di kos Tanjung Sari, Ngaliyan, lantaran harus mengikuti les bahasa oleh Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Walisongo bersama teman satu kelasnya guna persiapan tes Toefl. Untuk mewujudkan hal itu, terpaksa mahasiswi angkatan 2013 itu harus mengikuti semua sesi les yang sudah terjadwal. Indri sapaan akrabnnya berharap, mengikuti les bahasa tersebut agar bisa mengerjakan ujian dan bisa mendapatkan sertifikat lulus. Meski dari awal Indri sudah mengetahui bahwa sertifikat hanya berlaku sebagai prasyarat mengikuti ujian komprehensif dan tidak berlaku di dunia kerja setelah lulus nanti, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk les. Namun, ia menyayangkan, terhadap aturan yang sudah ditetapkan oleh pihak kampus. Menurutnya aturan sertifikat Toefl menjadi syarat wajib mengikuti ujian komprehensif menghambat mahasiswa untuk lulus tepat waktu. Indri mempertanyakan kenapa Toefl tidak dipakai sebagai syarat mengikuti sidang munaqasah saja. “Kasihan mahasiswa yang sudah harus fokus skripsi namun masih harus terkendala untuk ujian komprehensif lantaran kesulitan tes Toefl.” tutur mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir saat diwawancara reporter Amanat. Lain halnya Indri, Mawaddah Murtiawati mahasiswa Jurusan Perbankan Syari’ah juga menuturkan hal serupa, selain aturan yang tidak jelas, ia mempertanyakan kenapa ada perbedaan bagi mahasiswa yang tidak mengikuti les di PPB dengan mahasiswa yang mengikuti les di PPB khususnya saat mengikuti tes. Dalam faktanya, mahasiswa yang mengikuti les di PPB diberikan kemudahan untuk mengerjakan soal dengan diberikan kisi-kisi. Sementara, yang tidak ikut les tidak diberikan. “Seharusnya PPB bisa adil tidak boleh membeda-bedakan,” ungkap Mawaddah mahasiswa asal Kendal tersebut. Dari data yang terhimpun oleh Amanat, di samping mengeluhkan tidak lakunya sertifikat, banyak juga mahasiswa yang meragukan keseriusan PPB dalam melaksanakan tes tersebut. Ihwal

itu, dapat terlihat dari tidak layaknya sarana pendukung ujian. Seperti dialami oleh Yorhananta, mahasiswa Jurusan Tafsir Hadits 2012. Ia mengatakan pengeras suara untuk mengerjakan soal sesi listening ketika ujian tidak terdengar jelas. Sehingga membuat para peserta ujian harus benar-benar ekstra mendengarkan pertanyaan soal listening. “Saya baru bisa lulus tes saat mengikuti ujian yang kedua dengan ruang yang memakai headsat, karena suaranya lebih jelas,” ujar mahasiswa semester sembilan itu. Prasyarat kelulusan Berdasarkan SK Rektor pasal 27 tahun 2013 ujian Toefl merupakan syarat untuk mendaftar Ujian Komprehensif bagi mahasiswa angkatan 2012-2014. Sedangkan angkatan 2015 ujian Toefl diberlakukan sebagai syarat pendaftaran mengikuti sidang munaqosah. Syarat tersebut diperlunak mengingat angkatan 2015 harus lulus delapan semester. Hal itu disampaikan oleh Kepala PPB UIN Walisongo Semarang, Muhammad Saifullah. Ia mengatakan, bahwa ujian Toefl hanya sebagai syarat mengikuti ujian komprehensif dan sidang munaqosah. Ia juga menegaskan, ujian Toefl, tidak dipakai untuk melamar kerja. “Sementara, fungsi diadakannnya tes Toefl adalah untuk melihat standard kemampuan mahasiswa sesuai dengan pembelajaran bahasa yang sudah diterapkan di UIN,” paparnya. Saifullah juga menyinggung, kenapa kebanyakan mahasiswa merasakan kesulitan saat tes Toefl. Ia melihat bahwa kesalahan itu terjadi lantaran mahasiswa tidak langsung mendaftar ujian Toefl sesaat setelah mengambil mata kuliah Bahasa Inggris II dan III. Akan tetapi ditunda-tunda mendekati pelaksanaan ujian komprehensif atau sidang munaqosah. “Akibatnya, mahasiswa lupa materi dan mengalami kesulitan saat mengerjakan soal Toefl,” katanya. Menyinggung sertifikat yang tidak diakui oleh lembaga luar. Saifullah menjelaskan, bahwa sertifikat dapat digunakan jika lembaga mempercayai Toefl yang ada di UIN. Seperti Toefl Institutional Test Program (ITP) merupakan Toefl multinasional yang dapat digunakan untuk pengajuan beasiswa luar negeri. Jenis yang akan diteskan adalah listening comprehenshion, structure & writtern expression, dan reading comprehension. -

syaratkan harus mempunyai nilai Toefl min 550 atau Ielts 6.0,” ujarnya. Dispensasi Fakultas Terkait kesulitan ujian komprehensif bagi mahasiswa yang belum lulus tes Toefl, Wakil Dekan 1 Fakultas Syariah dan Hukum, Sahidin mengatakan, bahwa mahasiswa yang mengalami kesulitan tes Toefl diberikan keringanan atau dispensasi berupa surat keterangan agar dapat mengikuti ujian tersebut. “Disepensasi ini berlaku untuk mahasiswa yang sudah gagal mengikuti tes Toefl selama enam kali dan bagi yang sertifikatnya masih dalam proses pembuatan ketika mendaftar ujian.” katanya. Surat keterangan tersebut, menurut Sahidin sebagai jaminan dari PPB untuk pengganti sertifikat ketika mendaftar ujian dengan keterangan bahwa mahasiswa dalam tes Toefl. Ia juga membenarkan, adanya tes Toefl sebagai syarat mengikuti ujian komprehensif untuk kurikulum 2010 dan ujian munaqasah untuk kurikulum “Hanya saja harganya lebih mahal 2015. Tujuanya agar mahasiswa memdari tes yang ada di UIN, sekitar Rp 350 punyai bekal bahasa yang baik. ribu hingga Rp 500 ribu rupiah untuk “Karena persaingan utama sekasekali tes,” ungkapnya. rang bagi sarjana baik bekerja maupun Ia juga menambahkan bahwa dahu- melanjutkan kuliah adalah bahasa,” kata lu sudah ada pengumuman bahwa UIN dosen pengampu Mata Kuliah Muadapat menyelenggarakan tes Toefl ITP. malah itu. Namun kurangnya minat dan harganya Sementara itu, Sahidin beranggapan yang mahal untuk sekali tes akhirnya bahwa skor kelulusan di UIN Walisongo sekarang tidak dibuka. masih tergolong rendah dengan nilai “Sama halnya dengan universitas 400. Menurutnya, skor itu tergolong renlain, seperti Undip, Unnes dan Unis- dah untuk sebuah capaian pendidikan. sula. Sertifikat hanya menjadi syarat ke- Namun, ironisnya skor tersebut justru lulusan mahasiwa lulusan S1 (sarjana) dianggap sulit bagi mahasiswa hingga maupun S2 (pascasarjana),” katanya. sampai berulang kali mengikuti tes. Hal senada disampaikan Nur Hal berbeda diungkapkan oleh, AhSyafa’ah Dosen Bahasa Inggris di Juru- mad Musyafiq Wakil Dekan I Bidang san Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Akademik Fakultas Ushuluddin dan UIN Wali-songo. Ia mengatakan, sertifi- Humaniora (Fuhum). Ia mengatakan, kat Toefl dapat dipakai di lembaga atau ketika mahasiswa mengeluhkan gagal instansi luar dengan catatan lembaga tes Toefl berarti kemampuan kompetersebut mau mempercayakan kela- tensi bahasa mahasiswa tersebut patut yakan dan garansi sertifikat Toefl itu. dipertanyakan. “Salah satu alasan sertifikat Toefl Menurutnya, Toefl sebagai kualifidari kampus kurang kuat, karena tesnya kasi mahasiswa dalam kemampuan bercenderung sebagai formalitas kelulu- bahasa inggris. “Mahasiswa yang belum san saja.” ujarnya. lulus berarti belum layak dalam kompeDi sisi lain, ia juga menyinggung ter- tensi bahasa,” katanya. kait dosen pengampu saat proses pemIa mencontohkan di Fuhum, yang belajaran Bahasa Inggris dari PPB dilihat bukan surat keterangan yang terkadang tidak linier dispensasi melainkan surat dengan keilmuannya. pernyataannya. Seperti Menurut Nur, linieritas mahasiswa yang akan keilmuan memang mendaftar sidang Salah satu alasan diperlukan dalam munaqasah harus sertifikat Toefl dari sebuah institusi membuat surat perkampus kurang kuat, pembelajaran. Nanyataan yang isikarena tesnya cenderung mun, ada beberapa nya tertulis masih catatan penting. dalam proses tes sebagai formalitas keluluIa menjelaskan, Toefl jika ia belum san saja. bahwa perlunya memiliki sertifikat linieritas itu terganToefl dari PPB. Nur Syafa’ah, M. Pd tung dengan target “Ketika jadwal Dosen Jurusan PBI capaian yang ingin disidang sudah keluar, UIN Walisongo raih. Kalau yang diajar semua berkas harus sudah adalah mahasiswa Jurusan terkumpul. Bila tidak, mahaPBI, kata Nur, maka mutlak pesiswa dinyatakan gagal mengikuti ngajarnya harus lulusan dari Bahasa ujian,” paparnya. Inggris. Musyafiq menambahkan, bahwa “Karena konsep keilmuannya tidak tes Toefl di UIN Walisongo sebenarnya hanya melatih kemampuan mende- tidak begitu sulit bahkan tergolong ngarkan, berbicara, membaca dan ringan. Berkaitan dengan kualifikasinya, menulis saja,” katanya. sertifikat tidak berlaku di dunia pekerLebih lanjut ia menjelaskan, jika jaan karena dilihat dari grade skor Toefl target pembelajaran di PPB agar maha- rendah. siswa dapat lulus tes Toefl. Maka tidak “Sementara, sertifikat lembaga lain menjadi persoalan siapapun dosennya, layak jual karena berani menetapkan asalkan pernah berhasil mencapai ang- aturan dengan skor diatas 470 bahkan ka Toefl minimal 500 atau pernah studi 500,” katanya.n di luar negeri. Ida Fauziatun Azizah “Modal studi di luar negeri juga di-

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

9


SKETSA

KONSENTRASI MM

Tarik-ulur Pembubaran MM

Amanat. Tarowan

Konsentrasi Muqaranah al Mazahib (MM) sempat digadang menjadi jurusan andalan di Fakultas Syariah. Tak dinyana, setelah tiga tahun kelas berjalan, konsentrasi tersebut tak dibuka lagi pada tahun 2015.

Masih Bertahan: Suasana perkuliahan salah satu kelas MM yang masih ada.

Q

oimatuz Zulfa, teringat dua tahun silam ketika mengikuti Orientasi Pengenalan Akademik (Opak), akhir Agustus 2014. Ketika ia sedang duduk mendengarkan arahan dari pihak Fakultas Syariah dan Hukum (FSH), panitia membagikan selebaran pada seluruh mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam (HPI). Selebaran tersebut berisi tawaran untuk masuk Konsentrasi Muqaranah al Mazahib (MM). Syarat untuk masuk konsentrasi itu, di antaranya, harus lulusan pesantren. “Karena saya merasa pernah mondok, akhirnya saya tertarik masuk MM,” ujar Zulfa. Zulfa yang saat ini memasuki semester 5 Jurusan HPI konsentrasi MM angkatan ke-3 itu mengungkapkan, pilihannya pada konsentrasi MM pun didorong oleh saran teman-teman dan kakak tingkat jurusannya. Di tahun 2015, saat Zulfa semester 3, dia sempat merasa kaget mengetahui konsentrasi pada jurusannya tidak dibuka kembali. Kekecewaan Zulfa, menimbulkan pertanyaan pada batinnya tentang nasib dari konsentrasi MM angkatan ke-3 itu. “Jelas saya bingung, terlebih angkatan saya merupakan angkatan terakhir Konsentrasi MM. Karena pada saat itu saya ragu, saya konsul pada Kajur untuk keluar dari kelas MM, tapi tidak diperbolehkan,” tambah Zulfa. “Begitupun dalam perhatian, hanya MM angkatan saya yang nonbeasiswa,”tambah Zulfa. Akhmad Dika Kurnia Rokhman, mahasiswa semester 7 konsentrasi MM, mengaku prihatin lantaran konsentrasi yang ia tekuni selama ini saat ini tidak lagi membuka kelas baru. Ia mengaku tertarik masuk pada konsentrasi MM lantaran ingin memperdalam keilmuannya di bidang hukum Islam. Pada konsentrasi itu, hukum Islam benar-benar dikaji secara mendalam. Terbukti ketika diskusi, mahasiswa MM dituntut lebih aktif dan harus mengambil referesnsi dari madzhab yang berbeda. “Hal itu membuat point plus tersendiri bagi mahasiswa MM,”ujar Dika Digadang jadi Jurusan Konsentrasi MM pertama kali dicetuskan pada masa kepemimpinan dekan Fakultas Syariah Imam Yahya, pada tahun 2012. Saat itu, UIN Walisongo masih berstatus Institut Agama Tinggi Islam (IAIN), dan Fakultas Syariah belum mengalami pemekaran. MM pada periode tersebut, berkembang di bawah jurusan HPI dengan Kepala Jurusan (Kajur) Anthin Lathifah. Pembentukan konsentrasi MM waktu itu

10

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

digadang sebagai embrio untuk berkembang menjadi Program Studi (Prodi). Untuk mengawal konsentrasi tersebut agar berkembang, pihak fakultas menawarkan pemberian beasiswa bagi mahasiswa yang tertarik masuk konsentrasi MM. Kajur HPI, Anthin Lathifah mengungkapkan, konsentrasi MM dibuka terakhir pada tahun 2014 yang diikuti 26 mahasiswa HPI. Angkatan tersebut merupakan generasi ke-3 sejak konsentrasi itu dibuka pertama kali pada tahun 2012. Saat itu, dekan Fakultas Syariah dijabat oleh Imam Yahya yang kini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) setelah Fakultas Syariah mengalami pemekaran. Selepas kepemimpinan Imam Yahya, tahun 2013, Antin melihat perhatian birokrasi FSH terhadap konsentrasi MM cenderung menurun. “Angkatan ke-3 yang kini non-beasiswa, itupun merupakan perhatian yang surut,” ujar Antin. Menurut Antin, ada dua faktor dominan yang menyebabkan kelas untuk konsentrasi MM di tahun 2015 tidak dibuka lagi. Pertama, ia mengangap komitmen fakultas untuk mengawal beasiswa bagi mahasiswa MM menurun. Padahal, menurut dia, beasiswa bagi mahasiswa MM merupakan bagian dari upaya untuk menghidupkan konsentrasi tersebut. Sementara pemberian beasiswa hanya diberikan kepada mahasiswa pada angkatan pertama dan kedua konsentrasi MM. Penyebab kedua, menurut Antin, minat calon mahasiswa untuk masuk konsentrasi MM, tiap tahunnya menurun. “Karena MM merupakan konsentrasi yang harus dipelihara, seharusnya perlu dikawal dengan beasiswa yang kontinu,” tambah Antin. AkhmadGhazali, dosen pengampu mata kuliah Bahsul Kutub turut menyesalkan penutupan kelas pada konsentrasi MM. Ghazali termasuk pengajar yang sejak awal getol memerjuangkan eksistensi konsentrasi MM. Ghazali menilai, konsentrasi MM sangat dibutuhkan bagi UIN Walisongo yang didirikan dengan tujuan mencetak ahli agama. Konsentrasi MM, dinilainya dapat mencetak sarjana yang ahli pada penguasaan Hukum Islam. Pada konsentrasi itu, mahasiswa tidak hanya menggali sumber pada satu mazdhab, tetapi juga mempelajari dari beberapa sumber mazdhab dalam mengkaji permasalahan hukum. “Saya menyayangkan hilangnya konsentrasi MM. Sejak awal saya termasuk yang paling getol mendukung konsentrasi MM,” ucap Ghazali.

Mantan Dekan Fakultas Syariah yang juga pencetus MM, Imam Yahya mengatakan, konsentrasi MM seharusnya dipertahankan dan dikembangkan menjadi jurusan yang menjadi kekhasan bagi FSH. Imam menilai, FSH membutuhkan orang-orang yang mampu mengkaji Hukum Islam secara matang, di antaranya melalui kajian kitab kuning. Hal itu pula yang mendasari proses seleksi penjaringan mahasiswa pada konsentrasi MM dilakukan lebih ketat, di antaranya mensyaratkan mahasiswa baru lulusan Pondok Pesantren (Ponpes). “Fakultas itu harus punya kekhususan dan keunggulan. Keunggulan FSH seharusnya terletak pada penguasaan dibidang kitab kuning,” ujar Imam. Imam mengungkapkan perjuangannya saat itu demi menghidupkan konsentrasi MM di fakultasnya. Saat menjabat sebagai dekan FSH, tahun 2012, Imam menyadari, konsentrasi MM sangat dibutuhkan. Imam saat itu lantas berupaya menghidupkan konsentrasi itu dengan mencari beasiswa bagi mahasiswa yang menekuni konsentrasi MM. Dua angkatan pertama konsentrasi MM, Imam melihat konsentrasi MM berkembang baik. Melihat perkembangan tersebut, Imam sempat berkeinginan untuk mentransformasi konsentrasi MM menjadi sebuah jurusan yang akan menjadi kebanggan Fakultas Syariah. Sayang, Imam tak dapat lagi mengawal konsentrasi tersebut, setelah pada 2013, ia dipindahtugaskan menjadi Dekan FEBI setelah Fakultas Syariah mengalami pemekaran. “Tahun 2013 saya dialihtugaskan menjadi Dekan FEBI. Setelah saya lengser, mungkin karena presepsi yang berbeda, akhirnya MM tidak diteruskan lagi,” tambah Imam. Dilema Fakultas Dekan FSH, Akhmad Arif Junaidi mengatakan, pihaknya menutup kelas konsentrasi MM pada 2015. Saat itu, Arif mengaku dilema. Pihaknya dihadapkan pada dua pilihan, untuk mengembangkan konsentrasi MM menjadi sebuah jurusan atau menutupnya. Masalahnya, pada tahun tersebut, lahir kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) No.4798/E.E2.3/ KI/2015, yang mengatur, tiap Prodi pada program S1 minimal harus memiliki enam dosen tetap. “Sementara dosen tetap kita terbatas. Kampus juga belum melakukan perekrutan dosen tetap,”katanya Konsentrasi MM pada tahun 2015, kata Arif, sebenarnya bisa bertransformasi menjadi jurusan MM. Masalahnya,

saat itu bertepatan dengan momentum konversi IAIN menjadi UIN, yang diikuti dengan transformasi Fakultas Syariah menjadi Fakultas Syariah dan Hukum. Fakultas dengan nama baru itu, kata Arif, wajib memiliki Prodi Ilmu Hukum. Dengan bertambahnya jurusan Ilmu Hukum, FSH setidaknya harus memiliki minimal 30 dosen tetap. Pertimbangan Arif, jika dosen tetap dari tiap jurusan di FSH ditarik ke MM untuk menjadi sebuah jurusan, maka akan berpengaruh pada penilaian akreditasi pada jurusan Hukum Perdata Islam, Hukum Pidana Islam, dan Hukum Ekonomi Islam yang telah terakreditasi A. “Saya rasa dengan lima jurusan yang FSH miliki saat ini, cukup untuk meningkatkan kualitas dan kompetensi mahasiswa. Kedepan, mahasiswa juga akan lebih jelas dengan gelar SH,” ujar Arif. Lepas Beasiswa Pemberian beasiswa DIPA pada konsentrasi MM di tahun 2012, sempat menimbulkan pro-kontra di tiap fakultas kampus. Saat itu, birokrasi Fakultas Syariah melobi bagian kemahasiswaan Institut, agar pemberiaan beasiswa mahasiswa Konsentrasi MM disamakan dengan mahasiswa Fakultas Ushuluddin Program Khusus (FUPK). Mantan Wakil Dekan 3 FSH, tahun 2012, AkhmadArief Budiman mengungkapkan, ketika itu Fakultas Syariah meminta agar beasiswa DIPA, dibagi terlebih dahulu untuk Konsentrasi MM dan FUPK. Setelah itu, beasiswa baru dibagikan kepada mahasiswa pada jurusan lain. “Fakultas lain yang tidak memiliki kelas unggulan sempat mempertanyakan kebijakan ini. Saya jelaskan kepada mereka, ini bukan persoalan domestik, tapi karena kebetulan programnya ada di Fakultas Syariah,” ucap Arief Budiman. Arief Budiman menjelaskan, selama ia menjabat hingga akhir periode tahun 2014, pendistribusian beasiswa bagi Konsentrasi MM selalu terkawal. Ia mengeklaim tidak ada permasalahan terkait alokasi beasiswa DIPA bagi mahasiswa Konsentrasi MM. “Beasiswa memang kita usahakan, komitmen awal selama delapan semester mahasiswa MM full mendapat beasiswa DIPA,” ucap Arief Budiman. Arief mengungkapkan, saat ada masalah terkait pendistribusian beasiswa DIPA tahun 2012, mantan Dekan Fakultas Syariah, Imam Yahya mendapat informasi mengenai akses beasiswa di lingkungan Kementerian Agama (Kemenag), yakni beasiswa Pendidikan Diniyah (PD), Pondok Pesantren (Pontren) Ustadz/Ustadzah. Imam kemudian memberi akses beasiswa tersebut kepada mahasiswa Konsentrasi MM angakatan pertama. “Beasiswa yang diusahakan, kami berikan sebagai apresiasi mahasiswa MM,” jelas Arief Budiman. Sementara Mohammad Arifin, Wakil Dekan 3 FSH menjelaskan, mahasiswa Konsentrasi MM angkatan ketiga, sejak awal masuk pada tahun 2014, memang sudah diprogram tidak mendapatkan beasiswa sebagaimana angkatan sebelumnya. Pihak birokrasi FSH pun tidak menjanjikan beasiswa DIPA pada MM angkatan ketiga. “Angkatan ke-1 dan 2 mendapat beasiswa karena untuk menarik peminat di awal-awal pembentukan Konsentrasi MM,” ujar Arifin. Menurut Arifin, dengan difasilitasi beasiswa DIPA, diharapkan bisa melahirkan daya tarik bagi calon mahasiswa untuk masuk konsentrasi MM, terutama bagi mahasiswa lulusan Ponpes, yang berstatus kurang mampu. “Dari beasiswa DIPA, akan membuka harapan bagi yang kurang mampu untuk kuliah,” katanya. Fajar Bahruddin Achmad


Amanat. Tarowan

SKETSA

Fotokopi Rusak: Fotokopi di Perpustakaan Pusat UIN Walisongo dalam kondisi rusak, keadaan ini sudah berlangsung sejak pertengahan 2016

Tanggung Rugi Layanan Fotokopi

Layanan fotokopi di Perpustakaan Pusat UIN Walisongo telah lama mandek karena mesinnya rusak. Mahasiswa kebingungan saat ingin mengfotokopi buku berkode C1 di tempat.

R

uang baca perpustakaan pusat Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang sesak dipadati mahasiswa. Sebagian di antara mereka tengah membaca buku, ada yang bermain laptop, dan sebagian lain mencari referensi. Khaziqoh, mahasiswa Jurusan Siyasah Jinayah Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) tampak sibuk menyalin tulisan dari buku referensi ke buku tulisnya. Sebelumnya ia mencari referensi guna memenuhi tugas perkuliahannya. Sayangnya, buku yang ia cari memiliki kode C1, yang menandakan, buku itu tidak dapat dipinjam. Khaziqoh pun harus rela meluangkan waktu untuk menyalin materi yang ia butuhkan dari buku tersebut. Kegiatan seperti itu bukan pertama kali ia lakukan. Sejak mesin fotokopi perpustakaan rusak, Ziqoh terpaksa selalu menyalin materi buku yang tak boleh dipinjam ke buku tulisnya dengan tulisan tangan. Ziqoh menilai, pihak kampus kurang tanggap menindaklanjuti mesin fotokopi yang rusak dan mengakibatkan mahasiswa kerepotan. “Masa hampir satu semester rusak belum diperbaiki,” keluh Khaziqoh. Hal serupa juga dialami oleh Istikharah, mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK). Awalnya, Isti merasa kerepotan dan kebingungan saat mengetahui fotokopi tersebut rusak dan belum diperbaiki. Padahal, kata Isti, saat itu ia ingin menggandakan referensi dari buku di perpustakaan yang kebetulan berkode C1. Isti sempat mencoba meminjam buku dengan jaminan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) kepada petugas perpustakaan, namun permintaannya ditolak. Jaminan KTM dianggap tidak berlaku lagi. Aturannya kini, saat mahasiswa hendak meminjam buku dengan kode

C1, mereka harus meninggalkan SIM atau STNK miliknya. “Bawa motor saja enggak, bagaimana saya memenuhi syarat tersebut,” katanya kesal. Menurut dia, tidak semua mahasiswa mempunyai kendaraan. Jadi, kata Isti, aturan untuk meninggalkan SIM atau STNK sebagai jaminan saat meminjam buku dengan kode C1 sangat memberatkan mahasiswa. Tak jauh beda dengan Isti, Sirojul Fuad, juga mengeluhakan hal serupa. Mahasiswa semester tiga Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Fakultas Ilmu Tar-

Dalam hitungan bisnis pelayan tersebut bisa berdampak kerugian. Hasil fotokopi perhari tidak seberapa. Miswan, M.Hum.

Kepala Perpustakaan Pusat UIN Walisongo

biyah dan Keguruan (FITK) itu mengaku sering mengunjungi Perpustakaan Pusat untuk mencari bahan referensi. Namun akhir-akhir ini ia sering kesulitan saat mencari buku yang ia butuhkan. Pasalnya, buku yang ia jumpai untuk bahan rujukan tugasnya rata-rata memiliki kode C1.

“Sejak peningkatan mahasiswa di UIN Walisongo, pihak perpustakaan tampaknya tidak juga menambah jumlah koleksi bukunya,” katanya. Menurut Rojul, pihak Perpustakaan Pusat seharusnya bisa menyesuaikan jumlah koleksi buku dengan peningkatan jumlah mahasiswa baru UIN yang signifikan setiap tahunnya. Pihak perpustakaan bisa mensiasati dengan melakukan penggandaan buku sesuai dengan kebutuhan mahasiswa saat ini. Jika jumlah koleksi buku belum mampu mengakomodir keseluruhan jumlah mahasiswa, paling tidak perbedaannya tidak terlampau jauh. “Jadi mahasiswa tidak kesusahan saat mau meminjam buku disini,” ujar Sirojul. Kekurangan tenaga Kepala Perpustakaan Pusat UIN Walisongo, Miswan, mengatakan, kerusakan mesin fotokopi di perpustakaan pusat UIN Walisongo Semarang memang sudah terjadi sejak medio 2016 lalu. Mesin fotokopi itu, kata Miswan, usianya memang sudah tua, sekitar 8 tahun sejak pertama kali mesin tersebut didatangkan pada tahun 2008. Saat dibeli pun, mesin itu tidak dalam kondisi baru alias bekas. “Kalaupun di perbaiki belum tentu bisa tahan lama,” katanya. Miswan menambahkan, daripada memperbaiki mesin tua, lebih baik pihaknya membeli mesin fotokopi yang baru. Namun, untuk pembelian mesin baru pun belum bisa segera terealisasi lantaran belum ada anggaran yang cukup dari kampus. Di sisi lain, perpustakaan juga menghadapi kendala jika layanan fotokopi dibuka kembali. Minimnya jumlah staf perpustakaan membuat Miswan berfikir ulang untuk membuka layanan fotokopi tersebut. “Tiga orang tenaga kerja baru saja dipensiunkan dan belum ada pengganti-

LAYANAN PERPUSTAKAAN nya. Kalau pun kita menyuruh salah satu orang untuk menjaga fotokopi, maka pelayanan lain bisa kacau,” keluhnya. Pihak perpustakaan tidak mau menanggung risiko. Jika layanan fotokopi dibuka kembali, kata Miswan, sementara staf perpustakaan belum ditambah, pihaknya harus merekrut tenaga dari luar untuk menjaga layanan fotokopi tersebut. Sementara estimasi gaji perbulan untuk karyawan dari luar itu tidak akan seimbang dengan penghasilan dari layanan jasa fotokopi. “Dalam hitungan bisnis pelayan tersebut bisa berdampak kerugian. Hasil fotokopi perhari tidak seberapa,” kata Miswan. Menurut Miswan, pihak perpustakaan sebenarnya telah menawarkan solusi terkait masalah rusaknya mesin fotokopi itu. Selain diperbolehkan memfoto buku dengan gawai, mahasiswa juga diperkenankan membawa keluar buku C1 dengan syarat meninggalkan SIM atau STNK sebagai jaminan. Syarat tersebut, lanjut Miswan, awalnya diperlunak dengan menggunakan KTM atau kartu perpustakaan saja. Namun, hal itu justru dimanfaatkan oknum mahasiswa yang tidak bertanggung jawab dengan tidak segera mengembalikan buku C1 yang dipinjam sesuai kesepakatan awal. “Untuk mengantisipasi peminjaman yang tidak bertanggungjawab itu kami menerapkan aturan ini,” terangnya. Sementara terkait masalah minimnya koleksi buku, Miswan mengungkapkan, pihaknya mengakui keterbatasan anggaran untuk jatah penambahan bahan rujukan itu memang menjadi kendala tersendiri.. Disisi lain, pihak perpustakaan juga tidak berani melakukan penggandaan buku tanpa seizin pihak penerbit, demi memutus kesenjangan antara jumlah mahasiswa dengan jumlah referensi buku yang ada di Perpustakaan Pusat UIN Walisongo Semarang. “Kita menghormati hak cipta, kalau mahasiswa mau fotokopi silakan. Karena kita lembaga jadi kita tidak berani menggandakan buku itu,” ungkap Miswan. Skala Prioritas Terkait pengadaan mesin fotokopi di Perpustakaan Pusat, Kepala Sub Bagian (Kasubag) Barang Milik Negara (BMN) UIN Walisongo Semarang, Sirojuddin Munir, mengatakan, pangadaan itu dapat diajukan melalui usulan belanja modal dan barang di tiap kebutuhan unit. Jika dalam analisa barang itu sangat dibutuhkan, menurut Munir hal tersebut bisa di usulkan untuk segera diadakan. Ia menambahkan, untuk mekanisme pengadaan BMN, jika nilai kontraknya dibawah Rp. 50 juta bisa dikerjakan melalui unit masing-masing. “Mekanisme lelang, dilakukan jika nilai kontarktualnya diatas itu” katanya. Pun begitu, Munir mengakui kadang kampus juga memperhitungkan prioritas barang mana yang harus didahulukan. Mengingat di tahun kemarin, terjadi efisiensi sekala nasional, karena hal tersebut UIN Walisongo pun terkena imbasnya. Atas dasar itu, kata Munir, pihaknya harus memilah berdasarkan skala prioritas, mengingat anggaran yang didapat dari pemerintah juga terbatas. Ia menambahkan, jika pepustakaan pusat mengajukan proposal pengadaan mesin fotokopi tahun ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi. Munir menjelaskan, kemungkinan pertama pengadaan itu bisa terealisasi tahun depan. Atau bisa saja disetujui tahun ini, dengan catatan barang tersebut dianggap penting dan sangat urgen. “Namun, hal itu harus memperoleh persetujuan divisi, baik dari tingkat satuan kerja maupun pusat,” ujarnya. Rustiana AMANAT Edisi 127

Desember 2016

11


SKETSA

MAHASISWA WIRAUSAHA Belakangan ini sering ditemukan di sudut-sudut kampus 2 dan 3 UIN Walisongo lapak-lapak dagangan mahasiswa. Semangat berwirausaha sejumlah mahasiswa ini harus terganjal regulasi kampus, karena dinilai mengganggu ketertiban.

Dilema

Kantin Kejujuran

H

12

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

Amanat. M. S. Najib

ari masih pagi (3/12). Kampus 3 belum banyak ada mahasiswanya. Tapi, Mudrikah, mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam (EI) sudah sibuk menata dagangannya di meja taman Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo. Setelah menatanya dengan rapi, barang dagangannya ditinggal begitu saja. “Biasa saya ambil lagi setelah pulang kuliah,” tuturnya. Ada 3 kotak yang saat itu ia bawa, masingmasing berisi tahu bakso, sosis, dan pisang coklat. Semua makanan itu ia beli dari Pasar Ngaliyan dan akan ia jual di kampus. Kotak jualan yang dibawa Mudrikah sudah dimodifikasi. Dia menempelkan wadah kecil yang berfungsi sebagai kasir. Di situ tertulis “Uangnya taruh di sini, kembalian ambil sendiri.” Pada umumnya, setiap penjual akan menunggui barang dagangannya. Tapi kasir ala kantin kejujuran ini beda, pembeli bisa menaruh uangnya dan mengambil kembalian sendiri. Tak lupa Mudrikah juga menempel label harga barang yang ia jual. Untuk membeli di kantin tersebut, pembeli diharuskan membayar secara jujur meskipun barang dagangan tidak ada yang menjaga. Atas dasar inilah, mahasiswa menyebut lapak-lapak tersebut dengan kantin kejujuran. Selesai menaruh barang dagangannya di Taman Dakwah, Mudrikah menuju Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Masih dengan tujuan yang sama, menggelar dagangannya. Ada beberapa lokasi di UIN Walisongo yang menjadi lokasinya berjualan. Diantaranya adalah di FDK, FEBI , dan Fakultas Syariah dan Hukum (FSH). Bermula dari tugas mata kuliah Mahasiswi semester 5 tersebut mengaku, berjualannya ini bermula bagian dari tugas mata kuliah Kewirausahaan. Dia bersama 3 teman satu kelompoknya mulai merintis bisnis ini sejak 3 bulan terakhir. Mudrikah diberi tugas dosennya untuk membuat suatu bisnis yang riil dan melaporkan perkembangan bisnis tersebut. Akhirnya kelompok itu bersepakat untuk berjualan kantin kejujuran. Mereka terinspirasi dari kantin-kantin yang sudah ada sebelumnya. Mudrikah dan teman-temannya menilai berjualan di kantin kejujuran lebih mudah dibandingkan dengan wirausaha jenis lainnya. “Julan seperti ini praktis,” ujarnya. Merasa keuntungan yang didapat lumayan, Mudrikah dan teman-temannya berencana tetap berjualan, meski tugas mata kuliahnya sudah selesai. Mudrikah mengaku, dengan modal Rp. 80 ribu, dia berhasil mendapat hingga Rp. 40 ribu setiap kali berjualan. Berisiko Meski sering untung, mahasiswi semester 5 ini mengaku setiap kali membuka lapak, uang yang diterimanya tidak sesuai dengan barang yang habis. Pernah suatu ketika, kata dia, saat berjualan, seharusnya saat itu dia mendapatkan uang Rp 120 ribu, tetapi saat uang diambil ternyata hanya berjumlah Rp 90 ribu. “Pasti setiap kali jualan, uangnya pasti kurang,” keluh Mudrikah. Bahkan Mudrikah pernah mendapatkan pengalaman paling pahit selama ia berjualan di kantin kejujuran. Saat ia membuka lapak di perpustakaan pusat di kampus 3. Sorenya, setelah selesai kuliah, Mudrikah mengambil kembali dagangannya itu. Ia kaget bukan kepalang, Mudrikah menemukan barang dagangannya ludes, tapi anehnya, ia tak menemukan uang sama sekali di kotak kasirnya. Setelah kejadian itu, Mudrikah secara berkala mengawasi dagangannya. “Sesekali saya tengok dagangan dan uangnya,” ujarnya. Mudrikah pun mengaku pernah mempergoki ada seorang mahasiswa yang sengaja tidak membayar setelah memakan barang jualannya. Saat itu, mahasiswa tersebut mengeluarkan uang dari dompetnya, tapi tidak menaruh uangnya di kasir. Namun, meli-

Di sisi lain, para penggiat kantin kejujuran ini tidak hanya berjualan, tapi juga mengajarkan nilai kejujuran.” M. Alfandi, M.Ag.

Wakil Dekan II Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisonngo

hat kejadian tersebut, Mudrikah membiarkan dan hanya memperhatikan saja sambil bergumam. “Kok tega ya?” Hal yang sama juga dialami Maslikhan, pedagang kantin kejujuran di Fuhum. Mahasiswa semester 5 Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum) tersebut juga beberapa kali pernah mendapat uang yang kurang. “Kadang memang uangnya kurang, tapi dihari selanjutnya ada lebihannya,” katanya. Menurutnya, itu adalah risiko dari pedagang seperti dirinya. Maslikhan beralasan, dia berjualan untuk memenuhi kebutuhannya kuliah. Hasil jualannya tersebut mampu membuat dirinya lebih mandiri. Sehingga ia tidak selalu meminta kiriman uang dari orang tuanya. Sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap kebersihan di lingkungan jualannya, setiap sore, selesai berjualan, Maslikhan mengaku selalu membersihkan sampah-sampah bungkus makanan yang ada di sekitar lapak dagangannya. Dia menyadari, pembeli di kantin kejujuran kerap menaruh bekas bungkus makanan sembarangan. Mahasiswa asal Rembang tersebut mengaku berjualan sejak semester 3. Saat itu, menurutnya, belum banyak yang berjualan melalui kantin kejujuran. “Dulu yang jualan cuma satu dua saja, gak seramai sekarang,” tuturnya. Ditertibkan Karena maraknya kantin kejujuran ini, Fuhum tidak tinggal diam. Fuhum akhirnya melarang pedagang kantin kejujuran ini berjualan di lingkungan fakultas itu. Moh. Masrur, Wakil Dekan III Fuhum menjelaskan, yang menjadi masalah utama terkait keberadaan kantin kejujuran adalah menyangkut kebersihan. Sehingga pihaknya terpaksa menertibkan kantin itu. Biasanya, kata Masrur, di sekeliling barang dagangan tersebut banyak sampah bekas bungkus makanan yang berceceran. Bungkus makan tersebut ditinggal pembelinya begitu saja disekitar lapak jualan. Masrur mengeluhkan kesadaran kebersihan yang dimiliki mahasiswa masih sangat rendah. “Kalau mahasiswa luar negeri kan setelah makan, bungkusnya dibuang di tempat sampah, kalau mahasiswa sini belum,” tuturnya, membandingkan. Hal tersebut tidak sejalan

Pilah pilih jajan: Seorang pembeli kantin kejujuran di samping Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan slogan yang digalakkan Fuhum selama ini, yaitu Green Campus. Selain kebersihan, Masrur juga melihat, kantin kejujuran itu mengganggu ketertiban. Menurutnya, kampus merupakan pusat pengembangan ilmu, bukan sentra pedagang kaki lima (PKL). Karena itu, Fuhum mengambil sikap tegas dengan menertibkan lapak yang dianggapnya mengganggu keindahan kampus. Masrur mengaku, sistem kantin UIN Walisongo belum tertata secara rapi sehingga perlu belajar dari universitas lain. “Unissula misalnya, itu kantin mereka terpusat di satu tempat,” kata dia. Di sisi lain, Masrur mengapresiasi usaha para penggiat kantin kejujuran tersebut. Masrur menganggap, hal tersebut merupakan sebuah bentuk kreativitas mahasiswa. Kegiatan mahasiswa itu juga diakuinya dapat melatih mereka dalam berwirausaha. Namun, Masrur berprinsip, mereka boleh mengejar untung, namun jangan sampai Fuhum dirugikan akibat aktivitas mereka. “Kami tidak ingin membunuh kreativitas mahasiswa, mereka sudah berani berjualan itu kita hargai,” katanya. Awal November 2016 lalu, barang dagangan yang ada di wilayah Fuhum disita oleh pihak fakultas, lalu dipindahkan ke ruang dosen. Setelah itu pemilik dagangan dipanggil untuk melakukan audiensi di kantor dekanat Fuhum dengan dihadiri Wakil Dekan II Ushuluddin Rokhmah Ulfah. Saat pertemuan tersebut, mereka yang berjualan di Fuhum rupanya bukan hanya mahasiswa Fuhum, melainkan mahasiswa dari FDK, dan FEBI. Saat mereka ditanya alasan berjualan di Fuhum, mahasiswa-mahasiswa itu menilai, jualan di Fuhum lebih menguntungkan dibandingkan tempat lain. “Barang yang habis dengan uang yang didapat itu sesuai, kalau di fakultas lain, itu kurang terus,” kata Masrur, menirukan pernyataan pedagang kantin kejujuran. Dalam audiensi tersebut, dekanat menyosialisasikan larangan membuka lapak di lingkungan Fuhum. Namun, pihak fakultas memberikan jalan keluar bagi mahasiswa yang ingin tetap berjualan di Fuhum dengan memberikan izin berjualan di Fuhum selama satu hari dalam seminggu, yaitu setiap Jumat. “Sementara satu hari dulu dalam seminggu, kita lihat dulu perkembangannya,” ucapnya. Rencananya, kata Masrur, pihaknya menyediakan beberapa tempat yang diperbolehkan untuk berjualan, di antaranya, di depan perpustakaan Fuhum, gasebo, taman Fuhum, Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Fuhum, dan di samping ruang dosen. “Nanti akan kami sediakan meja dan akan kami pasang tulisan,” tutur dosen mata kuliah Ayat-ayat Sains tersebut. Sementara itu, di FDK, terdapat beberapa titik lokasi favorit bagi pedagang kantin kejujuran dalam menggelar dagangan. Lokasi yang sering dijadikan tempat berjualan adalah di teras Laboratorium Dakwah (Labda), kursi samping perpustakaan FDK dan teras gedung I.

M. Alfandi, Wakil Dekan II, Bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan, FDK melihat kejadian ini dari dua sisi, pertama memang terkesan tidak tertib. “Tapi di sisi lain, para penggiat kantin kejujuran ini tidak hanya berjualan, tapi juga mengajarkan nilai kejujuran,” katanya. Saat ini pihaknya belum bisa memfasilitasi tempat jualan yang representatif untuk kantin-kantin tersebut. Seperti etalase ataupun rak yang bisa dimanfaatkan mahasiswa pedagang itu. Alfandi menjelaskan, apapun yang dibeli harus melalui tahapan perencanaan anggaran, sehingga tidak serta merta bisa langsung dibeli. Memudahkan mahasiswa Keberadaan kantin kejujuran di UIN Walisongo rupanya disambut positif bagi sebagian mahasiswa. Pipit Candra Eka Puspita, mahasiswi Jurusan Ekonomi Islam, FEBI, mengaku sangat terbantu dengan kehadiran kantin kejujuran di samping kelasnya tersebut. Dia mengatakan, dagangan yang diletakkan di samping kelasnya ini memudahkan ia saat ingin jajan. Dia tidak perlu berjalan jauh ke kantin atau keluar kampus sekadar untuk membeli pengganjal perut. Apalagi saat pergantian jam kuliah dengan jeda waktu terbatas, biasanya ia memilih membeli makanan di lapak-lapak kantin kejujuran itu dengan pertimbangan efisiensi. “Hampir tiap hari saya beli risoles di sini,” katanya. Namun, bagi sebagian mahasiswa lain, keberadaan kantin kejujuran itu dianggap meresahkan. Yulfa Tya Astri, mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) FDK menyesalkan keberadaan kantin itu yang memakai fasilitas mahasiswa sebagai dasaran. Mahasiswa harus berbagi kursi dengan barang dagangan kantin kejujuran. Pasalnya, barang dagangan tersebut diletakkan di atas kursi samping perpustakaan FDK yang biasa ia dan teman-temannya duduki. “Kalau bisa jangan di kursi, kasihan yang mau duduk,” ujar mahasiswi asal Kendal itu. Dia mengharap, pihak fakultas bisa memberikan jalan keluar, jangan sampai keberadaan lapak-lapak itu merugikan kepentingan mahasiswa lain. Alih-alih tersaingi dengan keberadaan kantin kejujuran yang semakin marak, Ahmadun, salah satu pemilik kantin resmi di kampus 3, malah mendukung kegiatan mahasiswa yang berjualan di kantin kejujuran. Mahasiswa semester akhir Jurusan KPI, FDK itu menganggap, aktivitas tersebut dapat menempa jiwa wirausaha mereka. “Saya mendukung, kalau lebih banyak lebih bagus,” tuturnya. Dia menjelaskan, kapasitas kantin kampus terbatas, sehingga tidak mungkin kantinnya mengakomodir kebutuhan seluruh mahasiswa. Semenjak adanya kantin kejujuran, ia mengaku tidak ada penurunan pelanggan di kantinnya. “Di kantin saya juga ada tahu bakso, tapi ya enggak ada pengaruhnya,” ujarnya. n M. Syafiun Najib


SKETSA

S

uasana depan ruang dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo terlihat ramai. Sejumlah mahasiswa bergerombol di ruang tunggu. Sebagian di antaranya sibuk membolak balik berkas skripsi. Ada yang bermain gawai. Sebagian lain duduk sambil bercakap-cakap dengan teman disampingnya. Helmi Abdul Latif, mahasiswa FITK bersama beberapa mahasiswa lain tengah menunggu dosen pembimbing skripsi. Ia ingin mengetahui hasil penilaian dosen pembimbing terhadap naskah skripsinya yang kini berada di tangan sang dosen. Namun, ia sering dibuat jengkel saat harus menunggu dosen pembimbing yang tak kunjung datang. Ia pun merasa waktunya banyak terbuang sia-sia lantaran harus menunggu dosen pembimbing yang tak pasti jadwal kedatangannya. Helmi menyadari, dosen mempunyai kesibukan di luar membimbing mahasiswa. Namun, ia juga merasa punya hak untuk mendapatkan bimbingan dari dosen. “Seharusnya dosen pembimbing memperhatikan tanggungjawabnya kepada mahasiswa. Saya sabagai mahasiswa juga punya hak untuk mendapatkan bimbingan rutin,” katanya. Karena dosen pembimbing sulit untuk ditemui, proses pengerjaan skripsinya pun tersendat dan molor dari target. Helmi mengatakan, peran dosen pembimbing penting dalam memberikan masukan untuk penyempurnaan skripsinya. “Untuk bimbingan saja, saya harus menugggu empat sampai lima hari,” keluh mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) itu. Beda Perspektif Hal yang sama dialami Arif Wibowo, Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Humaniora (Fuhum). Menurut Arif, selain susah ditemui, ia mengeluhkan perbedaan perspektif di antara dosen pembimbing sehingga menimbulkan kebingungan bagi mahasiswa. Arif mengungkapkan, ia mempunyai dua dosen pembimbing yang sudah setuju untuk jenis penelitian dengan metode kualitatif studi lapangan. Karena dosen pembimbing satu berhalangan, ia diganti dengan dosen lain. Pembimbing baru itu kemudian meminta dia mengganti jenis penelitiannya dari penelitian lapangan menjadi kepustakaan. Ia menuruti permintaan dosen tersebut dan mengganti skripsinya menjadi studi kualitatif kepustakaan. Saat pengerjaan sudah berjalan, kata Arif, dosen pembimbing dua justru memintanya mengubah kembali skripsi dengan penelitian lapangan seperti awalnya. “Gara-gara itu saya harus mengulangnya dari awal lagi” keluhnya. Arif juga mengeluhkan jumlah dosen pembimbing di fakultasnya yang sangat terbatas. Ia menjumpai beberapa mahasiswa FITK yang hanya mendapat satu pembimbing. Itu tentu kurang ideal karena tidak semua dosen ahli pada dua bidang sekaligus. Namun, positifnya, dengan satu pembimbing, bisa memudahkan mahasiswa karena tidak akan ada perbedaan persepsi sebagaimana terjadi pada dua pebimbing. “Pembimbing yang seharusnya fokus pada materi skripsi, justru ikut membahas metodologi. Hal itu terkadang yang menjadi awal mula kesalahpahaman ketika ada dua pembimbing,” katanya.

PAHLAWAN LINGKUNGAN

Tampak Sibuk: Sejumlah mahasiswa sedang menunggu giliran bertemu dosen pembimbing di Kantor Dekanat FITK

Misi Lulus Tak Berujung Mulus

Tekad besar UIN Walisongo untuk mempercepat kelulusan mahasiswanya tak diimbangi dengan suprastruktur yang memadai. Masih ada sebagian mahaiswa yang dipersulit saat bimbingan skripsi. Beban Dosen Sementara itu, Ikhrom, Kepala Jurusan PBI menjelaskan, dosen pembimbing tidak boleh mempersulit mahasiswa dalam menyelesaikan tugas akhir. Sebaliknya, mereka harus siap membantu memberikan solusi atas kesulitan yang dialami mahasiswa dalam pengerjaan skripsi. Disinggung mengenai sebagian d o s e n pembim-

Di lain sisi, beban pekerjaan yang diterima setiap dosen pembimbing cukup berat. Setiap dosen, kata Ikhrom, diwajibkan membimbing kurang lebih dua puluh mahasiswa. Sehingga, Ikhrom meminta mahasiswa untuk memahami kondisi beban pekerjaan dosen pembimbing mereka. “Jadi seharusnya mahasiswa dapat memahami bagaimana kondisi pembimbingnya itu,” ujarnya. Di sisi lain, Ikhrom menambahkan, mahasiswa perlu aktif mengingatkan pembimbingnya apabila mereka sudah lama menunggu untuk bimbingan. Itupun dengan catatan jika mahasiswa dosen sudah membuat janji dengan mahasiswa. Pada Prodi PBI, pihaknya selalu menjalin komunikasi dengan para dosen pembimbing, serta mengingatkan mereka agar profesional dalam membimbing. “Namun, mahasiswa juga harus mengerti, jangan mendadak kalau meminta bimbingan” katanya. Hal senada juga diungkapkan Musyafiq, Wakil Dekan I Bidang Akademik Fuhum. Menurutnya, selama proses bimbingan skripsi, mahasiswa harus menjalin komunikasi yang baik dengan dosen pembimbingnya. Ia mencontohkan, tak sedikit mahasiswa yang baru menghubungi dosen sesudah mereka menunggu terlalu lama. Musyafiq juga meminta mahasiswa agar memperhatikan etika. Ia mencontohkan, jika mahasiswa sudah lama tak melakukan bimbingan skripsi, jangan sampai tiba-tiba menghadap pembimbing hanya untuk meminta tanda tangan, ketika sudah mendekati ujian munaqosah.

Mahasiswa bisa memanfaatkan kemajuan era informasi teknologi untuk konsultasi tanpa tatap muka guna mempercepat proses bimbingan. Dr. Musahadi, M.Ag.

Wakil Rektor I UIN Walisongo

b i n g yang sulit ditemui mahasiswa, Ikhrom berdalih, setiap dosen mempunyai banyak pekerjaan yang berhubungan dengan pengamalan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni menyangkut pendidikan dan pengajaran, penelitian, serta pengabdian. “Pada dasarnya setiap dosen pasti mempunyai itikad baik untuk membimbing mahasiswa” katanya.

“Hal semacam itu tidak etis dilakukan mahasiswa,” ujarnya. Mekanisme bimbingan skripsi di Fuhum, menurut Syafiq, juga sudah sesuai dengan panduan akademik yang dikeluarkan kampus. Satu pembimbing membidangi substansi keilmuan dan pembimbing lainnya membimbing dari segi metodologi penelitian. “Kami sedang dalam rangka integrasi dan interkoneksi ke arah yang lebih baik agar semakin banyak pembimbing yang bagus” kata Musyafiq. Terpisah, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kelembagaan UIN Walisongo, Musahadi, mengatakan, perbedaan perspektif di antara pembimbing itu merupakan bentuk kewajaran. Namun, ia menyarankan, perbedaan itu harus dikomunikasikan secara langsung dari kedua belah pihak untuk menemukan solusi. Jika tidak menemukan titik terang, mahasiswa, kata Musa, boleh meminta ganti dosen pembimbing. “Dengan catatan masalah itu harus dikaji secara benar oleh pihak program studi,” katanya. Mengenai kesibukan dosen yang menyebabkan mereka sulit ditemui, Musa tak memungkiri. Kadang, kata Musa, dosen memang memiliki pekerjaan dan urusan yang tidak dapat diprediksi. Namun, ia berpendapat, teknologi sekarang sudah semakin maju dan bisa membantu menjembatani permasalahan tersebut. Seharusnya, lanjur Musa, kemajuan teknologi informasi bisa menjadi angin segar untuk mempermudah mahasiswa dalam proses pembuatan skripsi. “Mahasiswa bisa memanfaatkan kemajuan era informasi teknologi untuk konsultasi tanpa tatap muka guna mempercepat proses bimbingan” ujarnya.n Iva Nurlaili

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

13


MAHASISWA THAILAND

HUMANIORA

Kendala Bahasa Mahasiswa Thailand Keberadaan mahasiswa asing dalam proses belajar mengajar di kampus dirasa masih berat lantaran minim penguasaan bahasa. Ironisnya, pihak kampus dinilai abai dan tutup mata

B

erawal dari kedatangan Mahusen Damae menginjak di kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang pada pertengahan 2015 silam. Dalam anganya ia berharap bisa memperdalam pengetahuan agama Islam. Hal itu, dikarenakan, Mahusen yang sekarang mahasiswa semester 7 Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), berasal dari daerah Patani yang terletak di Negera Thailand Selatan. Di mana daerah tersebut merupakan daerah dengan mayoritas muslim terbanyak, akan tetapi menjadi kaum minoritas muslim di Negeri Gajah Putih tersebut. Akibatnya, untuk belajar atau memperdalam agama Islam mendapat pengawasan ketat oleh pemerintah khususnya pihak militer Thailand. Sehingga, negara Indonesia menjadi pilihan mahasiswa muslim untuk memperdalam ilmu agama. “Pilihan itu jatuh di kampus UIN Walisongo Semarang,” kata Mahusen salah satu mahasiswa asing dari sekitar 62 orang yang sekarang belajar di kampus UIN Walisongo yang tersebar diberbagai jurusan saat ditemui Amanat. Namun, harapan yang selama ini ia dambakan, tak menuai hasil, lantaran masih sulitnya menerima pelajaran dari para dosen di dalam kelas untuk memahami pelajaran dengan menggunakan Bahasa Indonesia. “Harusnya kami diperlakukan khusus ketika perkuliahan berlangsung, tidak disamaratakan dengan mahasiswa Indonesia. Sehingga ini yang memberatkan kami yang harus dituntut berbagai tugas yang diberikan para dosen,” jelas Mahusen yang kini menjabat sebagai Ketua Persatuan Mahasiswa Islam Patani Indonesia (PMIPTI) Semarang. Ditambah lagi, pihak kampus seakan abai dan tutup mata, terhadap apa yang menjadi kesulitan para mahasiswa asing belajar di kampus UIN Walisongo khususnya, untuk memahami perkuliahan dengan menggunakan bahasa Indonesia. “Harusnya pihak kampus memperhatikan kami dengan memberikan kelas

14

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

atau progam khusus untuk bisa menguasai bahasa Indonesia. Agar kedepannya saat pembuatan tugas akhir mahasiswa asing tidak kesuliatan,” tegasnya. Mahusen, juga mengungkapkan kedatangannya untuk kuliah di Indonesia tidak atas beasiswa dari Pemerintah Thailand maupun Institusi-institusi terkait yang menyediakan beasiswa. Menurutnya, sebagian besar mahasiswa Thailand di UIN Walisongo, kuliah dengan biaya sendiri. “Diantara kami, ada yang orang tuanya hingga menjual tanah perkebunannya,” ucap Mahusen. Hal serupa yang dirasakan oleh Rahanee Seree, Mahasiswi Pascasarjana UIN Walisongo asal Patani, Thailand Selatan. Ia mengatakan, UIN Walisongo merupakan satu diantara Universitas Islam di Indonesia yang menjadi tujuan para mahasiswa dari Patani Thailand Selatan. “Akan tetapi ketika belajar di UIN Wa-lisongo, seakan mahasiswa dituntut mandiri untuk bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal, kami sangat mengharap adanya kelas atau progam khusus dari kampus untuk membuka palajaan khusus bahasa Indonesia,” harapnya. Menghadapi kasus itu, Azizatul Khusniyah, dosen peneliti angkat bicara. Dalam penelitiannya di tahun 2016 yang berjudul “Pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing (BIPA) Studi Kasus di UIN Walisongo Semarang” ditemukan bahwa mahasiswa asing (Thailand) ketika perkuliahan mengalami kesulitan untuk memahami bahasa Indoneisa yang disampaikan dosen. Tidak hanya itu, hasil penelitian juga ditemukan, mahasiswa ketika menerima tugas penulisan seperti karya tulis ilmiah, mereka mengalami kesulitan dalam ketata bahasaan. “Jika dilihat keaktifan di kelas, mereka sangat antusias, bahkan mereka sempat meminta jam kuliah tambahan di luar kelas,” tutur Azizah. Azizah mengatakan, berdasarkan pengalamannya saat mengajar salah seorang mahasiswa Thailand. Menurut-

nya, mere-ka sering mengalami kesulitan beradaptasi saat perkuliahan bersama dengan mahasiswa asli Indonesia. “Seharusnya mahasiswa Thailand di beri kelas khusus bahasa Indonesia, termasuk sarana dan prasarananya,” kata Azizah. Wahyuddin, Wakil Dekan 3 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengatakan, terdapat 20 mahasiswa asal Thailand yang berada di FITK. Mahasiswa Thailand tersebut, memiliki semangat yang baik dalam mengikuti kegiatan kampus, hanya saja dari segi bahasa, terkadang masih menjadi kendala. Idealnya, menurut Wahyu, dari pihak Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) UIN Walisongo dapat memfasilitasi mahasiswa dari luar negeri dengan remidiasi sebelum masuk diterima di kampus. “Sistem remidiasi, akan mengurangi kendala kami dari dekanat FITK, terlebih pada pembuatan skripsi,” ujar Wahyuddin.

Seharusnya mahasiswa Thailand di beri kelas khusus bahasa Indonesia, termasuk sarana dan prasarananya. Azizatul Khusniyah, S.Hum. Dosen Peneliti

Lebih lanjut, Wahyuddin menambahkan, sempat dari Dekanat FITK memberi solusi agar mahasiswa asing yang mengalami kesulitan berbahasa Indonesia dapat memilih tempat tinggal yang membaur dengan mahasiswa Indonesia. Namun, kenyataannya banyak dari mahasiswa itu justru memilih satu tempat tinggal dengan kesuluruhan mahasiswa Thailand.

Solusi lain, himbauan agar mahasiswa Thailand dapat turut serta aktif dalam kegiatan organisasi kampus, seperti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), dan sebagainya. “Kedua solusi tersebut tentu harapannya agar mereka lancar berbahasa Indonesia karena terbiasa berkomunikasi dengan mahasiswa Indonesia,” tambah Wahyuddin. Kerjasama mengikat Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Suparman Syukur, mengatakan adanya mahasiswa Thailand di UIN Walisongo berawal dari kerjasama antara UIN Walisongo dan PTIDAM dari daerah Patani, Thailand Selatan. Memorandum of Understanding (MoU) tersebut tercatat pada tahun 2013. Menurut Suparman, pada tahun itu merupakan awal mula berlangsungnya transfer pelajar. Kala itu jumlah awal mahasiswa sebanyak 13 orang. “Hingga tahun 2016 tercatat 62 mahasiswa asal Thailand Selatan yang menjadi mahasiswa UIN Walisongo,” katanya. Jumlah tersebut, ungkap Suparman, dua diantaranya mendapatkan beasiswa dari Direktur Jendral Pendidikan Agama Islam (Diktis) Kementerian Agama (Kemenag). “Yang jelas mendapat beasiswa dari Indonesia hanya dua orang, sisanya dari Yayasan asal mereka,” Ujar Suparman. Lebih lanjut, Suparman menjelaskan terkait kesulitan bahasa yang dialami mahasiswa asing itu memang ada. Namun, pihaknya mengakui belum mampu mengakomodir keluhan tersebut mengingat dalam MoU tidak diatur hal semacam itu. Secara formal, kata Suparman, tidak ada aturan untuk pembelajaran bahasa Indonesia secara khusus bagi mahasiswa Asing. Rata-rata mereka berusaha mandiri untuk belajar bahasa Indonesia. “Kedepan ini akan menjadi salah satu prioritas untuk program kerja kami,” katanya. n Ihda Mardliana, Fajar B.A.

Amanat. M. S. Najib

Adakan Kegiatan: Salah satu kegiatan yang dilakukan mahasiswa asal Thailand dalam rangka memperingati Peristiwa Takbai di Auiditorium 1 UIN Walisongo


J

Tidak hanya habitat ikan, mangrove pun telah menyelamatkan sendi perekonomian kami.

Juraimi

Ketua Kelompok Tani Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (Camar)

Kala itu bertepatan hari ulang tahun Pertamina, sejumlah 54 ribu bibit mangrove ditanam. Selanjutnya, Per-

PAHLAWAN LINGKUNGAN

Amanat. Fareh Hariyanto

uraimi tengah asyik mengobrol bersama sejumlah rekannya di sebuah gubuk yang berada di kampung Tambakrejo, Tanjung Mas, Semarang Utara. Setelah berdiskusi dengan Officer Corporate Social Responsibility (CSR) Pertamina MOR IV, Lilik Hardiyanto, Juraimi mengajak anggota Kelompok Tani Cinta Alam Mangrove Asri dan Rimbun (Camar), merancang target penanaman 59 ribu mangrove di akhir tahun 2016. Sore itu Kamis, (27/10/2016). Juraimi, Ketua Kelompok Camar mengatakan, sejak kelompoknya berdiri pada tahun 2011, pihaknya telah menanam 110 ribu mangrove di pesisir Kampung Tambakrejo. Juraimi mengatakan, seandainya di kampungnya belum dimulai penanaman mangrove saat itu, kampungnya kini telah tenggelam karena abrasi. “Mangrove sejauh yang saya tahu, dapat menahan abrasi dan erosi. Seandainya kita belum menanam mangrove, mungkin abrasi telah sampai di jalan Arteri,” ucap Juraimi. Juraimi mengungkapkan asal mula penanam mangrove di desanya. Pada 2011, CSR Pertamina bekerjasama dengan Universitas Negeri Semarang (UNNES), mendatangi Kampung Tambakrejo dengan membawa beberapa tawaran program pembinaan desa. Program yang ditawarkan tersebut, meliputi pembangunan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lingkungan. Program CSR Pertamina berkaitan dengan lingkungan, kata Juraimi, kemudian dikelola oleh sejumlah kepala keluarga warga Tambakrejo. Kegiatan itulah yang menjadi tonggak awal berdirinya Kelompok Tani Camar. Kelompok tersebut selanjutnya mendapat bimbingan mengenai pengetahuan lingkungan dan konservasi dari akademisi dan instansi terkait. “Mereka semua yakin, hanya Kelompok Camar yang dapat menunjang kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis pada lingkungan kami,” ujar Juraimi. Lebih lanjut, ia menceritakan awal mula penanaman bibit di tahun 2011.

HUMANIORA

Gubuk Camar: Rumah kecil ini menjadi tempat berlangsungnya berbagai kegiatan bagi kelompok Camar .

Tanam Mangrove Berbuah Makruf

Bermodalkan rasa peduli lingkungan, Juraimi dan Kelompok Camar gotong royong menjaga pesisir Tambakrejo dari ancaman abrasi. tamina secara bertahap terus menyuplai bibit sampai total kini sejumlah 110 ribu bibit mangrove telah tertanam di pesisir Tambakrejo. Dari sekian bibit tanaman mangrove yang ditanam, 97% mangrove bisa bertahan hidup dan berhasil dibudidayakan. “20 Desember 2016 lalu, CSR Pertamina kembali menanam bibit mangrove sebanyak 59 ribu,” katanya. Mayoritas warga Tambakrejo bekerja sebagai nelayan. Sehingga, menurut Juraimi, penting bagi warga untuk menjaga kelangsungan hidup habitat satwa laut untuk kelangsungan mata pencaharian warga. Keberadaan mangrove, kata Juraimi, mendukung kelestarian profesi yang digeluti mayoritas kaum pria kampung Tambakrejo. “Tidak hanya habitat ikan, mangrove pun telah menyelamatkan sendi perekonomian kami,” tambah Juraimi. Olahan Mangrove Jerih payah Kelompok Camar untuk menghijaukan kawasan pesisir kini tampak hasilnya. Hutan mangrove yang membentang sepanjang sekitar 1 kilometer sampai bibir pantai tumbuh merimbun. Juraimi mengatakan, warga Tambakrejo yang sebelumnya sempat meragukan pekerjaan yang dilakukan kelompok Camar, kini lambat laun tersadar karena turut merasakan manfaat keberadaan hutan mangrove di lingkungannya. “Saat ini kita juga bisa memanfaatkan hasil dari pengelolaan budi daya mangrove,” ucap Juraimi. Selain fokus pada pembudidayaan mangrove, Kelompok Camar juga berhasil membina para ibu rumah tang-

ga yang terwadahi dalam Kelompok Merah Delima. Kelompok tersebut memproduksi beberapa aksesoris berbahan dasar mangrove. Beberapa produk karyanya meliputi bros, tas gawai, tas tisu, dan kerajinan tangan lainnya. Selain aksesoris, ibu-ibu dari Kelompok Merah Delima juga memproduksi makanan berbahan mangrove antara lain, keripik daun mangrove dan puding dari bahan sari pati mangrove. Juraimi menjelaskan, produk makanan dari mangrove menjadi konsentrasi pengembangan ekonomi produktif Kelompok Camar dan Merah Delima. Persoalannya, kata Juraimi, tidak semua jenis tanaman mangrove dapat dijadikan bahan baku produksi makanan. “Kita berharap, kedepan semoga dapat terealisasi untuk mengembangkan produk olahan mangrove dengan menunggu kerjasama program dari perusahaan atau instansi terkait,” katanya. Kelompok Merah Delima, lanjut Juraimi, juga berencana mengembangkan produksi batik berbahan mangrove. Pihaknya telah menguasai teknik pembuatan batik berbahan mangrove, lantaran pernah mengikuti pelatihan dari Dinas Kelautan dan Perikanan, berupa teknik pengeringan, penyulingan, pemasakan dan penjemuran. Namun sementara ini pihaknya belum bisa mengembangkan batik mangrove lantaran keterbatasan alat produksi. “Jika ke depan fasilitas sudah terpenuhi, pola batik

mangrove dapat diproduksi,” ujar Juraimi. Kembangkan Ekowisata Di sisi lain, melihat perkembangan positif budi daya mangrove di Tambakrejo, Kelompok Camar akan mengembangkan kawasan pesisir Tambakrejo sebagai ekowisata. Menurut Juraimi, untuk mengawali hal itu, rumah pembibitan mangrove milik Kelompok Camar kini dijadikan tempat studi mangrove bagi pelajar dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). “Antusias mereka untuk mengetahui seluk beluk mangrove cukup tinggi,” katanya. Officer CSR Pertamina MOR IV, Lilik Hardiyanto mengatakan, keberhasilan Kelompok Camar menginspirasi dan menjadi pusat studi pelestarian mangrove bagi kelompok lain, termasuk peneliti dari perguruan tinggi. Lilik berharap, keberadaan mangrove di pesisir Tambakrejo dapat mendukung program Kampung Bahari pemerintah di kawasan tersebut. Menurut Lilik, Mangrove Tambakrejo dapat dikembangkan menjadi ekowisata yang bisa mendukung sektor pariwisata dan perekonomian warga. “Untuk mendukung ekowisata, dapat dibuatkan fasilitas jogging track, gasebo, dan gardu pandang. Kami harap bisa bersinergi dengan pemerintah untuk mengembangkannya,” ujar Lilik.n Fajar Bahruddin Achmad AMANAT Edisi 127

Desember 2016

15


HUMANIORA

HAK PEDESTRIAN

Berebut Trotoar di Jalur Ngaliyan Keberadaan PKL di sepanjang Jalan Prof Hamka Ngaliyan semakin meresahkan karena memakan trotoar dan sebagian badan jalan. Mahasiswa pejalan kaki UIN Walisongo terancam keselamatannya karena harus turun ke jalan raya di tengah padatnya arus kendaraan.

S

16

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

Aturan Mengikat Kepala Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) Kota Semarang, Endro Pudyo M, mengatakan, persoalan PKL sudah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang Nomor 11 tahun 2000. Di antara aturan tersebut menyebutkan, PKL boleh berjualan sesuai dengan tempat dan waktu yang sudah ditentukan. Di tempat yang diperbolehkan berjualan, kata Endro, waktu berjualan ditentukan mulai pukul 16.00 - 23.00 WIB. Itupun dengan syarat, lapak tidak

boleh dibangun permanen. PKL juga tidak boleh memanfaatkan badan jalan untuk berjualan. Lebih lanjut, Endro, menjelaskan terkait sanksi bagi PKL yang melanggar aturan itu, diawali dengan teguran. Jika teguran tersebut tak diperhatikan, Satpol PP akan menindak tegas dan menyita barang dagangan PKL yang membandel. “Barang boleh diambil lagi dengan membawa surat dari lurah desa setempat,” terangnya. Terkait PKL di trotoar Ngaliyan,

yang digunakan untuk tempat berjualan di sepanjang Jalan Prof. Dr. Hamka Ngaliyan Semarang. Persoalan bangunan yang menyerobot fungsi trotoar juga masif ditemukan. Seperti bangunan yang berada disebelah selatan kampus III UIN Walisongo. Bangunan yang baru-baru ini digunakan untuk usaha cuci mobil oleh pemiliknya itu tampak jelas menyerobot fungsi trotoar di halaman depannya. Kepala Dinas Tata Kota dan Perumahan (DTKP) Kota Semarang, Agus Riyanto, mengungkapkan, bangunan-

Amanat. Fajar B.A

iti Fatimatul Fajria Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) mengaku prihatin dengan kondisi trotoar di Prof Hamka Ngaliyan Semarang yang biasa ia lalui. Siti bersama temannya, Mufti Aimatul Ngaliyah teman satu kelasnya di Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) baru selesai kuliah dan hendak menuju pondoknya di sekitar Jerakah Semarang. Sore itu, Selasa (29/11/2016). Fatimah tak habis pikir, trotoar yang mestinya diperuntukan untuk pejalan kaki, beralih fungsi menjadi tempat berjualan Pedagang Kaki Lima (PKL). Tak cukup di trotoar, PKL bahkan banyak yang mendirikan lapak sampai badan jalan. Semakin sore, kondisi sepanjang Jalan Prof. Dr. Hamka semakin ramai dengan aktivitas PKL. Fajria mengatakan, pemandangan seperti itu biasa ia jumpai setiap pulang kuliah sore. Dia mengaku terpaksa berjalan kaki di luar bahu jalan, lantaran trotoar untuk pejalan kaki dipenuhi lapak PKL. Fajria tentu takut, di tengah padatnya arus kendaraan, berjalan kaki di jalan raya tak ubahnya menantang maut. Kendati takut, ia mengaku tak punya pilihan lain. Aktivitas jalan kaki sudah menjadi rutinitasnya untuk mencapai tujuan terdekat. “Sebenarnya saya gak rela berjalan di luar trotoar, takut ketabrak motor yang lewat,” katanya. Keberadaan PKL yang menggelar lapak sampai badan jalan juga membuat lalu lintas di Jalan Prof Hamka macet. Kondisi diperparah dengan banyaknya pembeli yang memarkir kendaraan di depan lapak PKL sampai ke tengah jalan raya. Akhirnya, separuh badan jalan hanya dipakai untuk aktivitas jual beli. Tak heran, saat jam pulang kerja, sore hari, ratusan kendaraan mengular di sepanjang jalan tersebut karena macet. “Trotoar penuh lapak, jalan raya juga macet dan sesak dengan kendaraan. Lalu harus lewat mana pejalan kaki, tidak ada ruang,” katanya. Kondisi tersebut diperparah dengan perilaku sebagian pengendara yang sewenang-wenang di jalan raya. Tamzizatul Farikhah mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), sering kali dibuat kaget oleh oknum pengendara sepeda motor yang melawan arus di jalan Prof Hamka yang kadang nyaris menabraknya. Ulah pengendara itu semakin mengancam keselamatan pejalan kaki yang terpaksa berjalan di tepi jalan. “Sudah jalan sempit, banyak yang melawan arus lagi. Banyak kendaraan yang tak sabar lalu memainkan klakson,” keluh mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam tersebut. Mahasiswi semester tiga itu berharap trotoar di Jalan Prof Hamka dapat dikembalikan fungsinya seperti semula, yakni sebagai fasilitas untuk para pejalan kaki. Badan jalan juga harus disterilkan dari aktivitas pasar agar tak menimbulkan kemacetan dan kerawanan lalu lintas. “Apalagi disini dekat dengan kampus, pasti banyak mahasiswa yang ke kampus jalan kaki. Keselamatan mereka terancam,” ujarnya.

Menghindar: Dua mahasiswi terpaksa melintas di luar bahu jalan lantaran trotoar digunakan tempat berjualan

Seharusnya PKL juga memikirkan bagaimana hak orang lain yang terampas itu. Endro Pudyo M Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol-PP) Semaramg

Endro menyampaikan, apabila PKL tersebut membangun lapak di atas trotoar secara permanen, pihaknya akan membongkar paksa lapak itu. Sebab menurut dia, lapak PKL harus bersifat bongkar pasang. Di samping itu, PKL juga harus memperhatikan batas waktu jualan yang ditentukan sesuai aturan. “Jadi, tetap tidak boleh permanen bangunan mereka,” jelasnya. Endro mengatakan, penyebab menjamurnya PKL lantaran kurangnya kesadaran PKL akan hak orang lain. Meski itu menyangkut mata pencaharian PKL, mereka mestinya memikirkan dampak buruk yang ditimbulkan dari aktivitas mereka. Endro menilai perlu ada sinergitas penanganan PKL oleh pihak terkait. Pasca penindakan atau penertiban PKL di trotoar, instansi terkait bisa menindaklanjutinya sesuai dengan kewenangan masing-masing. “Pemerintah Kota (Pemkot) melalui Dinas Bina Marga, atau Dinas Kebersihan dan Pertamanan bisa membangun trotoar dengan yang baru dan mempercantik taman agar tak lagi diduduki PKL,” katanya. Sanksi Pidana Berdasarkan pantauan Amanat, tak hanya permasalahan mengenai trotoar

bangunan yang didirikan di tepi jalan protokol tidak boleh menyalahi ketentuannya. Termasuk memanfaatkan sarana umum (trotoar .red) untuk keperluan pribadi. Menurut Agus, adanya pemilik bangunan yang menyerobot fungsi trotoar di Jalan Prof. Hamka Ngaliyan Semarang dapat dikenakan sanksi pidana. Ia menambahkan, untuk bangunanbanguan lama, mungkin sudah sesuai dengan perizinannya. Namun ia tidak menjamin untuk bangunan baru, mengingat semakin pesatnya pembangunan di daerah tersebut. “Untuk bangunan baru ini saya dan pihak DTKP mengaku kesulitan untuk memantau,” katanya. Pihaknya, lanjut Agus, selalu berupaya untuk berkomunikasi dengan Satpol PP Kota Semarang untuk menertibkan bangunan yang menyalahi fungsinya. Selain itu, ia juga meminta pejabat setempat setingkat Lurah atau Camat agar aktif memantau bangunan-bangunan baru di sekitar wilayah kerjanya. Agar sesuai dengan peruntukannya dan tak mengganggu ketertiban umum dan tata kota. “Kedepan, peran aktif masyarakat untuk kesadaran ketika membangun hunian juga harus ditingkatkan,” ujarnya.n Nur Uswatun Khasanah


SURAT PEMBACA

Kelas Padat bukan Solusi Tepat K

ampus kita, UIN Walisongo Semarang tiap tahunnya mengalami penambahan angka penerimaan mahasiswa baru. Hal itu jelas, tentu dengan bertambahnya Fakultas dan Jurusan yang baru akan semakin menarik minat publik untuk kuliah di kampus hijau ini. Pasca konversi IAIN ke UIN yang terealisasi akhir tahun 2014 lalu. Hal tersebut semakin mendukung UIN Walisongo untuk menerima ribuan mahasiswa baru. UIN Walisongo berhasil mewadahi tiap mahasiswa di tiap Fakultas yang ada. Hanya saja ada ketidakseimbangan yang belum sejalan dengan kouta mahasiswa saat ini. Bertambahnya kouta mahasiswa di UIN Walisongo, berimbas pada sebagaian fakultas yang memaksakan

ruang kelas. Terbukti dengan sebagian kelas yang terkadang harus menampung hingga 50 mahasiswa. Pemadatan kelas tersebut, berakibat pada kondisi mengajar yang tidak kondusif. Tak sedikit pula mahasiswa yang terkadang tidak kebagaian kursi. Di sisi lain, pemenuhan kelas itu, mudah menimbulkan rasa jenuh, baik pada dosen maupun mahasiswa. Semoga dengan adanya pembangunan gedung baru, pihak universitas ataupun fakultas dapat mencari solusi agar tidak ada lagi pemadatan kuota kelas, karena itu bukan solusi tepat. Muhammad Yusrul Falahk, Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam, Fakultas Syariah dan Hukum

KTM Mahasiswa Tanggung Jawab Siapa?

S

udah lebih dua tahun saya menjadi mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Namun, selama itu, hak untuk mendapatkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) sebagai identitas tak kunjung dipenuhi oleh pihak kampus. Sebelumnya, saya dan temanteman satu kelas, telah mengumpulkan foto secara bersamaan. Ironisnya, ketika KTM sudah jadi, ternyata KTM saya, dan enam mahasiswa lainnya tidak ada. Ketika saya meminta konfirmasi perihal keterlambatan KTM itu di salah satu kantor yang berada di Gedung Kopertais UIN Walisongo, mereka justru meminta saya membuat surat pernyataan dari ju-

rusan. Setelah itu, pihak yang bersangkutan meminta saya untuk mengurus sendiri KTM ke pihak Bank BTN. Hemat penulis, tindakan semacam ini sangat gegabah, karena pihak birokrasi terkait tampak lepas tangan dan lari dari tanggungjawabnya. Padahal, saya selaku mahasiswa telah mengikuti segala prosedur yang ditetapkan. Saya berharap, kedepan ada perbaikan agar tidak ada mahasiswa lain yang mengalami nasib yang sama. Fitri Lutfiani, Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin & Humaniora

Perpustakaan Manual itu Merepotkan

K

adang idealitas tak sejalan dengan realitas yang ada. Hal itulah yang sering dialami mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Walisongo Semarang, saat memanfaatkan layanan perpustakaan fakultas. Kebutuhan akan referensi buku yang tinggi, kadang terkendala sistem manual yang hingga kini masih dipertahankan pihak perpustakaan. Bukan karena enggan, hanya saja sistem manual itu merepotkan. Tidak sedikit mahasiswa FDK yang terkena “getah� akibat sistem tersebut lantaran kartu pinjam buku perpustakaan yang rawan disalah gunakan orang lain. Karena kartu tersebut pada umumnya di titipkan anggota perpustakaan di meja penjaga. Alhasil, orang lain dengan mudahnya bisa pinjam buku mengatasnamakan kartu yang bukan miliknya. Sebut saja beberapa kejadian terkait

kesalahan peminjaman buku, hingga mahasiswa yang tidak meminjam harus bertanggungjawab mengganti buku yang sama sekali tidak ia sentuh. Hal itu terjadi lantaran sistem manual yang . Syarat tersebutlah yang menjadi biang keladi lantaran sering disalahgunakan oleh oknum peminjam yang tidak bertanggung jawab. Sebagai mahasiswa saya ingin agar Perputakaan FDK menselaraskan diri laiknya perpustakaan fakultas yang lain. Rasa peduli fakultas terhadap perpustakaan yang dimiliki merupakan wujud peduli akan keberlangsungan Majelis Ilmu. Menurut saya pribadi, perpustakaan merupakan tolak ukur kemajuan dalam sebuah lembaga. Istiharotul Khoir, Mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas Dakawah dan Komunikasi

Bobot SKS Berkurang P

emangkasan bobot Sistem Kredit Semester (SKS) lambat laun semakin tak jelas arah. Hal ini semakin saya rasakan ketika ada perbedaan antara semester lalu dengan yang sekarang. Menurut saya pemangkasan tersebut menyulitkan mahasiswa dalam menyerap materi perkuliahan Mata kuliah yang seharusnya mempunyai bobot 4 SKS, sekarang mengalami penyempitan menjadi 2 SKS. Entah apa tujuannya, semua alasan itu masih kurang bisa saya terima lantaran target kelulusan yang sudah saya rencanakan semakin terancam mundur. Selain itu juga, tingkat pencapaian persyaratan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang sekurang-kurangnya telah lulus 120

SKS membuat waktu perkuliahan akan semakin lama. Kalau memang adanya penyempitan bobot SKS itu strategi untuk mengantisipasi kekurangan ruangan kelas, bagi saya itu bukan solusi maksimal. Pengurangan jam kuliah demi mengatasi kelas yang kurang kondusif justru semakin memberatkan mahasiswa. Lebih baik menyewa tempat perkuliahan dari pada mepersulit di bagian akademik. Fatimatul Fajriyah, Mahasiswi Manajemen Pendidikan Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Dwifungsi Lahan UIN

K

ondisi lingkungan di lahan belakang Gedung K Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang tampak memprihatinkan. Meskipun baru-baru ini lahan tersebut sudah dibersihkan, namun dwifungsi lahan menjadi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah menjadi ironi tersendiri. Seringkali pembakaran sampah menggangu pernafasan lantaran kabut asap yang menyebar hingga pemukiman warga. Pun begitu, kondisi lahan yang tak terawat menyebabkan banyak rumput tumbuh liar semakin mencermin seakan-akan lahan tersebut tak berpenghuni. Alasan saya sering melewati lahan tersebut dikarenakan di sana terdapat akses jalan yang menghubungkan Ma’had Walisongo ke arah pintu gerbang kampus II. Di tengah jalur tersebut terdapat jalan yang langsung menuju tempat indekos putri tempat teman saya tinggal. Kadang saat malam hari pun saya dan beberapa teman sering melewati jalan tersebut, meski suasana gelap dan menyeramkan lantaran penerangan yang tak memadahi. Bahkan suatu hari saya dan teman saya pernah mendapati sepasang sejoli sedang asyik berduaan di jalan itu. Suasana yang temaram kadang dimanfaatkan oknum yang mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi saya khusnudzon kalau mereka bukan mahasiswa UIN Walisongo Semarang. Besar harapan saya bila lahan tersebut bagian dari kampus, seharusnya ada perhatian yang sama dari pihak birokrasi untuk selalu merawat kebersihan dan keamanannya. Disamping itu, penambahan lampu penerangan guna meminimalisasi tindakan amoral juga perlu menjadi prioritas. Mengingat hal tersebut menyangkut harkat dan martabat sebuah lembaga sebagai kampus Islam. Mahmudah Nururrohmah, Mahasiswa Jurusan Tasawuf Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin dan Humaniora

Mata Kuliah PHP S

aya mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) semester 7 yang terpaksa harus menambah satu semester lagi masa perkuliahan lantaran mata kuliah PHP. Kala itu, mata kuliah Perbandingan Mazhab saat penawaran di awal semester tujuh muncul di papan pengumuman FSH. Namun ironisnya, saat mengisi Kartu Rencana Studi (KRS) online, mata kuliah tersebut mendadak hilang. Ketika saya dan beberapa teman satu kelas meminta penjelasan Bagian Akademik tetap saja hasilnya nihil dan mata kuliah tersebut tetap tidak bisa keluar di semester tujuh. Akibat hal tersebut, saya dan beberapa teman saya harus menambah satu semester lagi hanya untuk mengambil mata kuliah yang tak muncul tersebut. Awalnya sempat kecewa juga namun mau bagaimana lagi, malang tak dapat ditolak mujur tak dapat diraih, niat hati lulus tepat waktu namun takdir belum tertuju. Sederhana saja, semoga kedepan tak ada lagi masalah seperti ini sehingga memberatkan mahasiswa lantaran harus terganjal proses akademiknya. Nasrul Azis, Mahasiswa Jurusan Hukum Perdata Islam, Fakultas Syariah dan Hukum

Prestasi Terhambat Dana

K

etika itu, pada tahun 2015, saya dan kedua rekan dinyatakan lolos ke tahap wawancara beasiswa Programe Student Mobility. Dalam surat edaran yang di keluarkan oleh Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam, jelas tertera bahwa biaya transportasi dan akomodasi selama mengikuti tes wawancara di tanggung oleha Perguruan Tinggi asal. Nyatanya, dari kampus tidak mengeluarkan dana sepeserpun untuk mengikuti tes tersebut. Saya sempat bertanya dan akan mengajukan permohonan dana kepada pihak kemahasiswaan, akan tetapi menurut mereka, dana transportasi dan akomodasi untuk mengikuti tes yang diselenggrakan Direktorat Jendral Pendidikan Agama Islam tersebut tidak masuk dalam anggaran. Menanggapi hal ini, saya beranggapan bahwa pihak kampus kurang mengapresiasi prestasi dari tiap mahasiswanya. Sekalipun seleksi beasiswa, hal ini jelas merupakan prestasi bagi UIN Walisongo Semarang. Beasiswa Programe Student Mobility merupakan program dalam naungan Kementrian Agama, dan hal ini bertaraf nasional. Pihak kampus, kedepan harus lebih mendukung prestasi mahasiswa, baik akademik maupun non akademik. Siti Nur Jannah, Jurusan Pendidikan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi

Surat Kepada Redaksi

Anda dipersilahkan mengirim surat pembaca atau komentar mengenai kebijakan kampus, layanan kampus, ataupun pemberitaan di Tabloid SKM Amanat. Surat pembaca atau komentar dikirim ke skmamanat@gmail. com atau ke Kantor Redaksi SKM Amanat Jalan Prof. Dr. Hamka, Km 2, Gedung PKM Kampus III Lantai I UIN Walisongo Semarang, dengan menuliskan nama lengkap, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi, disertai dengan fotokopi atau scan identitas diri.

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

17


MIMBAR

Hanacaraka Sang Ajisaka

OLEH JETEHA Bagi orang Jawa, segala sesuatu memiliki rasa, mempunyai batiniah, memuat simbol, dan membangun nilai. Salah satu khazanah luhur budaya Jawa adalah warisan huruf Jawa atau huruf Carakan yang terdiri atas dua puluh huruf, yakni ha na ca ra ka, da ta sa wa la, pa dha ja ya nya, ma ga ba tha nga. Bait tersebut artinya ada utusan, kemudian bertengkar, sama-sama kuatnya, akhirnya menjadi mayat. Asal mula huruf Carakan tersebut adalah sabda Sang Ajisaka, salah satu pepunden orang Jawa, yang memperingati kematian dua orang abdi yang setia, Dora dan Sembada. Dalam versi masyarakat Tengger kedua orang itu adalah Setyo dan Setuhu, atau Alif dan Hana. Masyarakat Tengger di Desa Ngadas Malang bahkan memiliki versi cerita, Sang Ajisaka berguru pada Nabi Muhammad di tanah Ngarab. Revolusi Kebudayaan Huruf Carakan dalam wacana sejarah budaya Jawa, menandai awal dimulainya revolusi kebudayaan Jawa oleh Sultan Agung bersamaan dengan perubahan penanggalan baru yang merupakan perpaduan dari sistem kalender Hindu-Budha dengan sistem kalender

n KOLOM

Hijriyah. Penulisan huruf-huruf merupakan perubahan dari jenis huruf Jawa lama yang lebih rumit menjadi huruf yang relatif lebih mudah dalam penggunaannya. Sebagaimana diketahui, bahwa huruf-huruf yang telah dipergunakan sejak era kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di tanah Jawa umumnya menggunakan huruf Pallawa. Dengan demikian, sesungguhnya sebelum adanya ke dua puluh huruf tersebut, telah berlaku tradisi keaksaraan di Jawa terutama di kalangan elit. Huruf Carakan Jawa yang disusun dalam bait cerita memudahkan dalam menghafal dan mengingat. Perubahan huruf ini sekaligus sebagai upaya untuk menyeragamkan penggunaan kepenulisan dalam tujuan korespondensi kerajaan Mataram dengan daerah-daerah bawahannya. Upaya penyempurnaan keaksaraan Jawa terus dilakukan sejak era Mataram tersebut sampai era penjajahan Balanda, bahkan setelah kemerdekaan. Misalnya kegiatan Lokakarya tahun 1926 yang menghasilkan Wewaton Sriwedari untuk menyeragamkan tata cara penulisan aksara ini dalam industri percetakan. Kemudian dalam Konggres Bahasa Jawa III tahun 2001 juga menyempurnakan bentuk-bentuk penulisan. Lepas dari sejarahnya yang cukup pelik, huruf-huruf Carakan tersebut ternyata oleh masyarakat Jawa juga dimanfaatkan untuk menanamkan nilainilai kehidupan bagi masyarakat. Kedua puluh huruf hanacaraka tersebut, tidak saja diartikan dalam pengartian yang tekstual sebagai fragmen kisah tragedi dua abdi, melainkan dimaknai dengan nilai-nilai kehidupan yang utama. Hal ini pula yang terdapat dalam tradisi Tengger dalam memaknai lebih lanjut huruf-huruf hanacaraka tersebut. Makna Huruf Warga desa Ngadas Kabupaten Malang, mengenal kitab Adam Makna Budha Jawa Sanayata yang menguraikan makna dari masing-masing huruf. Makna huruf-huruf tersebut dalam versi Ngadas sebagai berikut : Ha : hanakna huripira kang sejati, urip mung tunggu pati // Na : ningna dhawuhing Pangeran, Pangeran

S

aya selalu ingat kata Pram, sebutan salah satu sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer: Bersikap adillah sejak dalam pikiran. Jangan kau jadi hakim sebelum tahu duduk perkaranya. Pram, dalam kalimat singkat pertama seolah tak ingin memaknai adil atau keadilan hanya secara terminoloDesember 2016

Sementara di Tengger wilayah Lumajang, sebagaimana diungkapkan oleh Ayu Sutarto dalam bukunya Kamus Tengger, juga ada pemaknaan lain lagi dari huruf hanacaraka, yaitu: Ha : Hanakna marang panggawe kang becik // Na : Nuduhna pitakon kang satuhu // Ca : Caritaa kang ndadekake asil // Ra : Racikana sabar tawakal ira // Ka : Kadarpira manungsa ana ing alam donya // Da : Zat Ira den eling-eling saka pasa // Ta : titenana sira ing alam donya // Sa : Satemene sira mung kinaryo margo // Wa : wajib weruh sira marang Gusti sira // La : Labedana waskitaning dulur Ira // Pa : Pasti slamet sira aneng donya // Dha : Dusta Ian goroh den dohana // Ja : jalaraning mulya saka utamaning asma // Y a : Yektine sira tinitah mulya // Nya : Nyaketna marang panggawe kang becik // Ma : Matri piwulang klakuwan kang utama // Ga : Gajulen saking Iaku kang utama // Ba : Bapa-biyung ira sira pundi Ian bektenana // Tha : Teleng ira sira waspadakna // Nga : Ngakiri goleka marga kang utama Membaca pemaknaan-pemaknaan di atas, kita dapat menyelami alam pikiran manusia Jawa yang arif dan harmoni. Pemaknaan huruf-huruf hanacaraka di atas menunjukkan kearifan lokal masyarakat dalam memanfaatkan khazanah budayanya untuk mentransformasi nilai-nilai keutamaan. Sengaja makna-makna di atas tidak diterjemahkan karena diksi atau pilihan kata dalam pemaknaan di atas mengandung makna yang mendalam, yang tak cukup terjemahkan ke bahasa Indonesia. Penterjemahan terkadang malang mereduksi makna yang dalam tadi. Dengan demikian membaca pemaknaan harus dengan pemaknaan, baru bisa memahami utuh. Namun makna-makna tersebut menjadi tidak berarti jika hanya menjadi kelangenan belaka. Makna-makna di atas baru benar-benar bermakna, hanya jika dinyatakan dalam sikap dan perilaku. Ngelmu iku kelakone kanthi laku, demikian ujar arif ungkapan Jawa.n Joko Tri Haryanto, S.Ag, M.S.I., Peneliti di Balitbang Kemenag Semarang

Mengadili Pikiran OLEH MIFTAHUL ARIFIN

18

dhawuh ora goroh // Ca : cakepa piwulang sepuh, tumindaka kang turut // Ra : rasanen sing nganti tembus, rasanen kanti wening // Ka : kalimput, kalingan padhang kaling-kalingan kadonyan // Da : dalaning dumadi sing endi, Bapa Biyung // Ta : tatag titis tetegna jumbuhna lahir batinmu // Sa : sasabana barang sing murni, barang kang sak mesthine // Wa : wadhahana ngelmu kang sejati, ngelmu kang nyata // La : lali eling sak mesthine donya owah gingsir // Pa : patrap mamak-mumuk hinahana, watak kang merwira budi kang utama // Dha : dhasarana sabar lan eling, tumindak apa wae // Ja : jajagana mumpung isih urip, telaten open kanten // Ya : yektekna tindakira, yen dha ngandel kudu percaya // Nya : nyatakna pribadimu, pribadi mesti bener dan pener // Ma : mertobata nyang ing gawe urip ngaturake sembah sungkem lan tansah eling // Ga : gagabana bener luputu ngakoni apa anane // Ba : Bapa biyung kawruhana bekti dan ngabekti // Tha : thak-thukna sing nganti ketemu pilah-pilahen mesthi ketemu // Nga : ngalumpuk sak liring dumadi manungsa kang wus wani sak drema Masyarakat Tengger tidak hanya di wilayah Malang saja, tetapi juga di Lumajang, Pasuruan dan Probolinggo. Masing-masing wilayah ini, meskipun sama-sama Tengger, mengembangkan tradisi dan versi yang tidak sama. Demikian pula dalam memaknai cerita Ajisaka maupun huruf-huruf hanacaraka, di wilayah di luar Ngadas memiliki versi mana yang lain. Versi masyarakat Tengger di Pasuruan menyebut hurufhuruf hanacaraka merupakan singkatan dari kata-kata yang mengandung makna hidup masyarakat Tengger di Pasuruan. Makna huruf-huruf tersebut dalam versi Tengger Pasuruan sebagai berikut: Ha-na-ca-ra-ka : hingsun nitahake cahya rasa karsa // Da-ta-sa-wa-la : dumadi tetesing sarira wadi laksana // Pa-dha-ja-ya-nya : panca dhawuh jagat yekti nyawiji // Ma-ga-ba-thanga : marmane gayuhen bali thukul ngakasa

AMANAT Edisi 127

gis lalu digunakan sebagai wujud aksiologisnya. Pram ingin lebih dari itu. Ia ingin adil atau keadilan perlu dimulai dari sikap paling dasar pikiran. Pram seolah ingin mengatakan, sebab pikiran manusia kerap terperangkap pada kesalahan fatal. Adil dalam pikiran boleh jadi maksud Pram ialah menempatkan peran pikiran sesuai porsi. Misalnya, akal sehat tak akan menolak jika disuguhi pernyataan matematis sederhana, satu ditambah satu sama dengan dua. Badan kemudian melakukan uji coba, misalnya, mengambil satu buah apel. Tak lama ia mengambil apel satu lagi. Akal akan menyimpulkan bahwa ada dua apel yang diambil karena satu apel ditambah satu apel sama dengan dua apel.

Orang berpikir adil tak langsung menolak atau marah-marah jika dalam kesempatan yang sama berucap, satu ditambah satu bukan dua. Sekalipun yang berucap, misalnya, musuh bebuyutan puluhan tahun. Sebaliknya, ia akan menimbang terlebih dahulu, kemudian melakukan verifikasi maksud ucapan si musuh. Dan benar bahwa satu ditambah satu bukan hanya dua. Tapi boleh jadi delapan per empat, empat per dua, bahkan bisa seratus per lima puluh. Itu sebabnya Pram melanjutkan kalimat pertamanya dengan ucapan: jangan kau jadi hakim sebelum tahu duduk perkaranya. Dengan lain kalimat, Pram seolah ingin berkata, jangan kau ikut menilai jika tak tahu persoalan. Orang yang ingin adil akan menelusuri akar masalah sebelum meny-

impulkan. Dalam contoh di atas, orang adil tak mudah membenci sekalipun berbeda jawaban satu persoalan. Apalagi sampai mencari-cari kesalahan lalu memperkarakannya pada pihak yang berwajib, misalnya. Dalam kontek ini adil tentu kurang tepat jika dimaknai tidak berat sebelah atau setara. Adil harus bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dan, Â satu masalah kurang tepat jika harus dicampur aduk dengan masalah lain. Sejak saya lahir pada Agustus 1992 lalu, baru belakangan ini saya suka menonton sepak bola. Saya tak perlu menjelaskan alasannya. Sebab, menurut sebagian orang, suka tak perlu beralasan. Entah, pokoknya suka. Sejak saya suka menonton sepak bola itu, ada komponen dari pertandingan sepak bola yang menggelitik pikiran saya:


ARTIKEL

Amanat Menjaga Nasionalisme

OLEH M. RIKZA CHAMAMI Benedict Anderson membuat catatan menarik dalam karyanya Imagined Communities: “Itulah contoh watak nasionalisme resmi yang jelas—strategi antisipatif yang diadopsi oleh kelompok-kelompok dominan yang merasa terancam oleh pinggiran (marginalisasi) atau pengucilan (ekslusi) dari komunitas kebangsaan imajiner yang baru”. Catatan ini menjadi sindiran, bahwa setiap bangsa memastikan dirinya memiliki kelas sosial. Dari kelas sosial inilah lahir kesenjangan-kesenjangan yang mampu melahirkan konflik. Maka model gerakan nasionalisme itu menjadikan tali perekat dari problem kesenjangan dimaksud. Nasionalisme ingin mencoba merapatkan keberbedaan yang ada. Dimana hakikat dari nasionalisme berusaha mempersatukan perbedaan. Untuk menyatukannya tentu membutuhkan ikatan kuat. Dalam bahasa janji penduduk Indonesia diikrarkanlah komitmen: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia. Semua penduduk Indonesia merasakan bersama-sama lelah dan pedih saat dijajah. Sama-sama merasakan bahagia di saat merdeka. Dan kini, kemerdekaan yang telah beru-

suppoter. Jika pemain yang didukung melanggar permainan, menyenggol hingga pemain lawan jatuh misalnya, para supporter akan menutup mulutnya rapat-rapat. Atau paling tidak bersorak dengan nada mengejek, hanya tersenggol sedikit sudah jatuh. Berbeda kasus jika yang menyenggol pemain lawan. Para supporter akan berteriak kegirangan seolah hendak melompat pagar stadion. Apalagi jika wasit tak membunyikan pluit, pertadingan berujung gool, setelah itu waktu habis. Protes dari suppoter pendukung tidak mustahil terjadi. Sebaliknya supporter pemain yang menang akan mengunci mulut rapat-rapat. Pengalaman menonton sepak bola secara langsung ini membuat saya berasumsi bahwa suppoter tadi tak berpikir dan bersikap tak adil. Sebab, yang menjadi ukuran adalah fanatisme berlebihan. Bukan aturan dalam sepak bola. Demi dukungan, mereka melupakan tugas akal sehat. Kondisi semacam ini juga menge-

sia tujuh puluh tahun dinikmati secara bersama-sama. Yang patut dikhawatirkan hari ini adalah penduduk Indonesia. Kenapa? Masihkah ratusan juta penduduknya memiliki nasionalisme? Sebuah pertanyaan yang patut untuk dijawab bersama. Ada anggapan bahwa nasionalisme penduduk Indonesia mulai luntur. Kok bisa? Bisa, karena semakin banyak muncul teroris dan menjamurnya aliran radikal. Sebab terorisme dan radikalisme lahir karena hilangnya nasionalisme. Namun tidak perlu ragu. Di sisi lain, masih banyak penduduk Indonesia yang masih kuat memegang janji nasionalismenya. Oleh sebab itu, musuh bangsa yang berasal dari dalam negeri perlu disadarkan kembali. Ruh nasionalisme perlu kembali dibangkitkan. Rasa cinta bangsa juga perlu digugah. Sehingga semangat memiliki Indonesia dan menjadikannya maju selalu berkobar. Menjaga Diri Hilangnya nasionalisme karena jiwa kebangsaan mengalami gangguan. Maka gangguan-ganguan itu perlu disadarkan. Disinilah butuh kesadaran berkebangsaan. Ada pesan indah dari Syaikh Mushtofa Alghulayaini dalam kitab Idzatun Nasyi’in: “Rasa kebangsaan yang sejati adalah suka untuk memperbaiki negara, berusaha untuk melayaninya. Orang yang paling besar rasa kebangsaannya adalah orang yang bersedia mati untuk mensejahterakan negaranya dan bersedia sakit untuk menyehatkan umatnya”. Sungguh luar biasa. Itulah yang dimaksud dengan jatidiri bangsa yang sejati. Lalu bagaimana membangun nasionalisme di masa sekarang? Yang jelas, Indonesia memiliki Pancasila. Itulah yang perlu dijaga dan dilestarikan. Bahwa Pancasila selalu menjadi ruh kehidupan berbangsa yang terpatri secara mendalam. Tentunya Pancasila yang memiliki keberpihakan kepada semua warga. Bukan Pancasila yang diterjemahkan untuk kepentingan koorporasi. Jika ditarik dari pesan Syaikh Mushtofa di atas, maka ada pesan 4M yang perlu dijalankan dalam mempertegas nasionalisme: memperbaiki, melayani, mensejahterakan dan menyehatkan. Bahwa bangsa Indonesia yang besar

ini tidak mungkin bisa dipersatukan jika pemerintah tidak tuntas menggarap 4M ini. Berikut pula, pemerintah tidak mungkin berjalan sendiri bersama aparatnya, namun haru melibatkan masyarakat. Maka pada titik inilah sinergi pemerintah dan rakyat menjadi sangat penting. Tiga pokok dalam unsur negara harus selalu diperhatikan: penduduk (rakyat), wilayah dan pemerintah. Di sisi lain rakyat memiliki kewenangan, namun negara dalam konteks normatif juga memerankan tiga sifat: memaksa, monopoli dan mencakup semua (all encompassing, all embracing). Oleh karenanya, rakyat perlu berperan aktif mejaga komunikasi baik. Dan pemerintah tidak seenaknya sendiri dalam menjalankan fungsi 4M. Kegagalan mempertahankan nasionalisme di negeri ini dipengaruhi kuat oleh deideologisasi Pancasila dan radikalisme agama. Dua hal ini yang menjadikan suasana persatuan dan kesatuan bangsa mengalami gesekan. Dibutuhkan solusi jitu dalam mencairkan suasana harmoni ke i n d o n e s i aa n yang akhir-akhir ini mengalami titik sumbatan kronis. Deideologisasi Pancasila sengaja dilakukan oleh oknum warga yang tidak sepakat dengan prinsip hidup bernegara secara heterogen. Padahal ini menjadi ancaman serius. Ketika Indonesia sudah tidak lagi yakin dengan hidup berpancasila, ini sama dengan ingin Indonesia pecah. Maka gerakan semacam ini perlu segara diantisipasi. Adanya kelompok yang tidak mau menghormat bendera dan tidak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya sudah nyata di depan mata. Sudah saatnya pemerintah hadir untuk melakukan pembinaan. Dengan siapa? Pemerintah tidak bisa sendirian menghadapinya.

Harus bersama-sama dengan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap hidup berbangsa dengan Pancasila. Masalah radikalisme agama juga menjadi tantangan serius bagi Indonesia. Selama pemahaman agama dijadikan pilihan untuk menyalahkan agama lain, maka disitu awal dari konflik. Dan konflik agama dalam hidup berindonesia selalu berbuntut panjang. Maka komitmen untuk menjadi kerukunan agama, turut serta mempengaruhi nalar kebangsaan kita semua. Atas dasar meneguhkan jati diri bangsa Indonesia yang memegang teguh Undang-undang Dasar 1945 dan Pancasila, maka agama dijadikan pemersatu bangsa. Caranya? Mengajak pada semua tokoh-tokoh agama untuk mengajarkan agama yang damai dan penuh cinta kasih. Negara bersama dengan warga negara melakukan giat aktif penyebaran penanaman cinta agama dan cinta bangsa. Dengan model cinta agama dan cinta bangsa ini, bangunan nasionalisme akan berjalan secara baik. Usaha semacam ini juga tidak akan sukses tergarap dengan baik tanpa adanya kerjasama yang kuat. Sebab bangsa Indonesia dengan potensi perbedaan yang sangat besar ini butuh kerjasama yang kuat. Kemungkinan-kemungkinan adanya pemufakatan jahat merusak kesatuan Indonesia perlu dihadapi secara tegas dan penuh kearifan. Yang jelas bahwa menjaga nasionalisme adalah amanat. Amanat yang tidak sepele, tetap amanat mulia yang sangat berat. Maka semuanya harus bersatu padu: negeri sudah tua, maka harus dijaga dengan penuh cinta kasih.n

jala pada lingkup yang lebih luas. Kasus Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, misalnya. Karena Ahok bangsa ini seolah pecah jadi dua golongan besar: pembenci dan pendukung. Meski, di luar itu, ada yang bersikap netral atau acuh tak acuh. Oleh pembencinya, juga orangorang yang belum tahu duduk persoalannya, Ahok dinilai telah menistakan agama karena perkataannya “jangan mau dibohongi pakai surat Al Maidah ayat 51” di kepulauan Seribu. Kebenciannya pada Ahok membabi buta. Padahal tak tahu langsung, hanya dengardengar, dan hakim hakim belum mengetok palu. Tak berhenti di sini, pendukung Ahok ikut dibenci. Bahkan tokoh-tokoh yang tanpaknya ingin mendinginkan suasana jadi sasaran kebencian. Yang paling aneh lagi dari pembenci Ahok ini, “sesosok” roti bernama Sari Roti juga jadi sasaran amukannya. Belakangan muncul seruan untuk memutus hubungan dengan pendukung Ahok

telah dituduh menistakan Islam. Saya gagal paham. Sementara pendukung Ahok, tak dipungkiri punya pemikiran sama. Meski tak begitu tanpak di lapangan. Paling tidak, asumsi saya, mereka jadi orang paling bersyukur senadainya Muhammad Rizieq Syihab yang paling getol menyuarakan Ahok di tahan lalu keselek dan meninggal setelah orasi di atas mimbar. Masalah ini menyebar luas. Pembenci dan pendukung Ahok berpegang teguh pada pandangan masing-masing. Saling membenci satu sama lain. Padahal belum tahu jelas duduk persoalannya. Lebih dahulu menghakimi sebelum hakim mengetok palunya. Boleh jadi pembenci Ahok ini sudah benci jauh sebelum Ahok dinilai menista. Mereka kemudian memanfaatkan kesempatan. Inilah yang mungkin dimaksud Pram: tak bisa bersikap adil dalam pikiran. Mengadili pikiran berarti menilai, untuk kemudian bersikap, sesuai

aturan main, menempatkan diri sesuai tempatnya dan menilai persoalan sesuai porsinya. Dalam kontek permainan sepak bola, supporter yang baik memposisikan diri sebagai pendukung yang menilai secara sportif tidak permainan sesuai aturan permainan. Bisa menyambut kemenangan sekaligus menerima kekalahan. Begitu pula kebencian terhadap Ahok: tak meperlakukannya semacam orang murtad yang hilang semua kebaikannya. Apalagi sampai ikut benci benci pada “sesosok” roti karena pemiliknya dinilai mendukung Basuki. Sama juga kebencian pada Rizieq. Jika harus dibenci, bencilah ia jika masih bersikeras ingin menegakkan khilafah di negara Pancasila. Karena Rizieq juga bagian dari Indonesia. Bukankah kita sudah sepakat bahwa bangsa ini bersaudara?n

Pemerintah tidak bisa sendirian menghadapinya. Harus bersama-sama dengan warga negara yang memiliki komitmen kuat terhadap hidup berbangsa dengan Pancasila.

M. Rikza Chamami, M.S.I., Dosen UIN Walisongo dan Peneliti Aliansi Kebangsaan

Miftahul Arifin, Mantan Pimpinan Umum LPM Idea Fakultas Ushuluddin dan Hu maniora AMANAT Edisi 127

Desember 2016

19


CERITA ERITA P ENDEK ENDEK

Hujan, dan Wanita yang

Semayam di Matanya

Untuk sementara waktu, aku menyebutmu Nun. Sungguhpun aku tahu itu bukan namamu. Bukan mengapa, Dik. Di luar terlalu berisik dan omong kosong hingga angin semakin tak beraturan. Nanti setelah cuaca tenang kembali, kusebut namamu terus terang. OLEH HASAN TAROWAN

N

un, tenangkan dirimu sejenak. Tunggu sampai hujan benar-benar reda. Setelah itu, ku izinkan engkau tak mencintaiku lagi.” “ Sesedih apakah rintik hujan yang datang tidak tepat waktu, perlahan-lahan menggenang membasahi jalanan, kota-kota, tempat duduk, menghapus sekian alamat, dan nama-nama. sehingga tampak air keruh di permukaan laut dadanya. Setabah apakah perasaan seseorang yang menjumpai musim hujan tepat di matanya sendiri? Saat pancaroba, keadaan jiwanya tidak menentu sampai menyusun bahasa paling sepi. Setiap kali hujan datang, selalu ada orangorang kesepian, lalu keheningan melingkar di kepalanya. Walaupun sebenarnya, saat hujan, halilintar menggelegar terdengar hingga ke dasar laut. Akan selalu ada orang-orang menangis bila menikmati malam di taman ini. Dan mereka tak perlu alasan untuk melakukannya, meneteskan air mata ketika melihat hamparan rerumputan, bunga-bunga, kolam kecil, dan ketika awan yang mengandung hujan mulai mengirimkan titik-titik air. Aku awali cerita ini dari sini, karena diantara orang yang menangis itu, aku akan melihatmu, mengitari bangku di tepi taman, sebelum kemudian duduk dengan kaki terjulur lurus ke depan, jatuh menitik di pipimu air mata yang paling sendu. Jangan pernah sekali pun melupakan bagaimana perkenalan kita, pertemuan di satu titik yang rapuh. Ketika itu kamu adalah wanita yang ahli merangkai pertanyaan dan menyusun kecurigaan-kecurigaan. “Aku menyaksikan hujan, lalu memikirkanmu,” kata seorang lelaki pada kekasihnya. Di suatu malam, di sekitar sudut taman. Keduanya saling berhadapan, menikmati malam dengan hembusan angin, sesekali menatap ke langit melihat bintang yang menyala-nyala. Di taman itu, setiap panggung seolah disiapkan. Seperti menunggu pertemuan, atau perpisahan. Orang-orang yang menamakan dirinya pemuda, selalu saja menunggu. Seolah ia tidak akan pernah menjumpai malammalam berikutnya. “Tahu kenapa aku memikirkanmu setiap kali datang hujan?” Wanita itu tak menjawab, ia cuma diam, tapi bening matanya menagih jawaban. “Karena hujan seperti dirimu, seperti kam-

20

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

pung halaman. Adalah tempat memulangkan rindu.” Seperti apakah hujan yang membuka kembali lembar demi lembar kenangan, pengingat setiap peristiwa, yang katanya lebih keras dari hantaman ombak di tepi pantai, lebih nyaring dari tangis bayi tengah malam. Sungguh, tak bisa terbayangkan. Siapa mampu menghindar dari kenangan yang menggumpal di langitlangit matanya? “Aku suka berlama-lama disini, denganmu saja.” “Begitukah?” “Ya, seperti tugu ini, kita akan selalu merasa lebih muda.” Sepanjang malam, angin berembus kencang. Dingin. Wanita itu terus mengajak pulang. Tapi malam masih terlalu ramah untuk ditinggalkan. Ia terus merengek seperti anak kecil. Belum waktunya pulang, orang-orang masih banyak berdatangan. Ada yang duduk, berdiri, berjalan, lalu kemudian mengambil gambarnya sendiri. Hujan belum juga datang, dan sisa kopi di depannya belum sepenuhnya dingin. “Benarkah kau tak punya niatan mengajakku pulang?” Tanya perempuan itu, barangkali ia mulai jenuh dengan kesunyiannya sendiri. “Tentu saja tidak.” “Ah, Jangan terlalu nakal, Sayang.” “Lalu?” “Ini sudah larut malam, itu saja.” “Oh.” “Ya.” “Kalau begitu, anggap saja ini siang hari.” Kenangan seperti mata pisau, sama tajamnya. Siap merobek siapa saja yang berani mendekati, namun terkadang seorang kekasih rela bersedia melakukan apa saja sekalipun semua itu dapat melukainya. Malam itu semakin sepi, bahkan pembicaraan berikutnya seperti akan menjadi malapetaka bagi mereka. Kecuali keheningan yang semakin tumpang tindih, tapi sepasang kekasih itu belum juga pulang. Hingga wanita itu mendapati kerisauan melintas di kepalanya, seperti angkutan umum yang hilir-mudik melintas tepat dibelakang mereka. Begitu dekatnya mereka dengan jalan raya, bila pengemudi mobil menekan klakson telinga mereka ikut bergetar. “Kamu tidak kasihan terhadapku?” Tanya wanita itu. “Mungkin kita Cuma butuh pindah tempat yang lebih jauh.” “Tapi?”

“Ku pastikan, kamu akan selalu merindukan peristiwa semacam ini,” ucap lelaki itu Tentu saja. *** Tugu muda, monumen peringatan. pada tiap sisi bangunan mengalir darah pemudapemuda yang tabah, setabah dan sebening air mata. Di monumen ini, banyak terekam peristiwa-peristiwa penting. Bukan hanya tentang sepasang kekasih yang datang untuk menikmati keindahan kota, lebih dari itu, kejadian-kejadian sejarah lain manusia terdahulu tersimpan dibalik bangunan yang sabar itu. Semuanya adalah cerita. Mungkin saja, Tugu muda, malam, dan sepasang kekasih akan menjadi hal yang paling sulit dipecahkan. Bisa saja sepasang dari mereka akan menjumpai perpisahan, dan tidak mampu menghapus peristiwa-peristiwa ketika datang dengan kekasihnya itu, ketika menikmati malam dan lampu-lampu kota. Seolah mereka sedang menulis cerita cintanya sediri untuk dikisahkan, pada setiap alamat tertulis namanya. Pada suatu ketika, salah satu diantara mereka akan datang ke tempat itu, sendiri cuma. Duduk disana, tanpa melakukan apa-apa, hanya demi mengenang kekasihnya. Meski ia tau, kekasihnya tak akan pernah benar-benar kembali, sebab ia mengerti bila melihat kursi tempat mereka biasa duduk akan merasa demam, kepalanya menjadi pening seketika. Tetapi, orang-orang akan tetap selalu berdatangan, ketika malam, ketika lampu merah, hijau, serta biru bergantian menyala diatas tiang besar dan tinggi yang terbuat dari batu, serupa lilin. ketika air kolam hias memancur di sekelilingnya. Sekali waktu, seorang pemuda berdiri di pingir jalan, di sekitar monumen itu. Sebelum kemudian bergerak ke warung tempat biasa memesan secangkir kopi. Tugu muda, sungguh tempat yang romantis. Di sana terdapat sebuah taman mengelilingi, pohon-pohon cemara tinggi menjulang, duplikasi bambu runcing, serta lampu-lampu warna putih dan kuning yang menyala, terlihat anggun di malam hari. Di sisi timur tugu, berdiri sebuah bangunan kuno peninggalan belanda, Lawang Sewu. Semua ornamen bangunan, kaca, jendela dan pintu mengadaptasi gaya arsitektur belanda. Lelaki itu membiarkan kopinya menunggu terlalu lama, Ia hanya sibuk membayangkan dan menyusun pertanyaan-pertanyaan untuk kekasihnya di masa lalu; Nun, benarkah eng-

kau benar-benar berlayar? Pada laut dadamu aku tidak mendengar gelombang. Sepertinya, ia sangat tertekan. Perubahan pada wajahnya tampak jelas, seperti sedang menyaksikan keadaan batin yang sedang kacau. Ia mulai mengingat-ingat ulang percakapan demi percakapan yang pernah terjadi di taman itu. “Mari kita habiskan kopi ini, jangan biarkan membeku seperti musim-musim lalu,” kata kekasihnya. “Kau ingin kita lekas pulang?” “Ya.” “lalu?” “Aku masih bisa memikirkanmu.” “Apakah cinta sudah cukup sempurna hanya dengan saling memikirkan?” Sepanjang malam, pertanyaan semacam itu tetap saja percuma, tak ada gunanya. Ia nikmati sisa kopi di depannya dengan sungguh-sungguh, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Ia berdiri dan terus melangkahkan kaki, semakin jauh dari tempat memesan kopi. Malam itu tampak temaram, bulan sabit yang menyerupai celurit itu makin susut, bergerak diarak angin mengantarkan lelaki itu pada seikat kenangan yang tanggal. Betapa terasa sangat panjang ruas jalan menuju sebuah perjumpaan, angin malam berembus menyisir rambutnya yang tidak tertata. Sesekali ia menoleh, melihat taman-taman di belakangnya. Tentu saja, bukan taman yang pernah didatangi dengan kekasihnya, Ini hanya taman yang lain. Tugu muda sudah terlihat dari kejauhan. Mata lelaki itu nanar, wajahnya mengerut, tampak seperti sedang menanggung perasaan tidak nyaman. Tapi, ia harus terus melangkah menuju sebuah taman, dengan perasaan yang bermacam-macam di hatinya. “Sepanjang ingatan tentangmu, akankah kau merindukanku?” Ah, rindu memang sepenuhnya seperti dipaksakan. Ketika dia semakin dekat dengan taman, ia melihat sepasang kekasih sedang duduk di salah satu sudut taman, mereka melambaikan tangannya. Seolah tidak peduli dengan kerisauan yang meluap-luap di dadanya. Lelaki itu membalas lambaian mereka. Sementara di sekeliling tugu itu, airnya tidak memancur sempurna. Lampu yang biasanya menyala terang, terlihat redup serupa bulan diselimuti awan tebal. Lelaki itu membatin, seperti itukah wajah tugu muda bila ia datang seorang diri? Tetapi, belum benar-benar selesai kecemasannya, tiba-tiba kejadian aneh terjadi, lampu di taman itu mendadak mati, aliran air kolam juga mati. Orang-orang di dalam taman semua terkejut, semua saling bertanya-tanya. Ada apa ini, mengapa tenaga listrik lampu di taman mendadak mati, menurun drastis tengah malam. Apakah lampu-lampu taman itu juga merasakan kecemasan yang sama? Atau ini semacam permainan? Tapi terkadang tak semua butuh jawaban untuk kejadian-kejadian yang aneh, bukan? Mungkin saja, tugu muda hanya tak mampu untuk berteriak padanya. Seperti ingin menyampaikan pesan, agar kembali mengingatkan kekasihnya walaupun dalam keadaan gelap: “Nun, tenangkan dirimu sejenak. Tunggu sampai hujan benar-benar reda. Setelah itu, ku izinkan engkau tak mencintaiku lagi.”n Hasan Tarowan, Aktif di Kampung Sastra Soeket Teki SKM Amanat UIN Walisongo; Kitab Puisinya berjudul Orang Mabuk di Negeri Mahapetry terbit tahun lalu.


DI BALIK PEMENTASAN KPT BETA

Hukum dalam Riak Lumpur Dua naskah teater dari genre yang berbeda, surealis dan realis dipentaskan. Ketimpangan sosial menjadi tema besarnya.

K

etimpangan sosial yang terjadi di masyarakat, menjadi salah satu penekanan Kelompok Pekerja Teater (KPT) Beta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Walisongo Semarang. Ihwal itulah yang menjadi spirit sekaligus pesan dari pementasan dua naskah dalam acara puncak peringatan hari lahirnya yang ke-31, yang dipentaskan akhir Desember 2016 lalu. Pementasan naskah itu berjudul Riak Lumpur dalam Belanga dan Overdosis. Kedua pentas itu mengingatkan kita pada Teater Koma panggungnya Norbertus Riantiarno, yang selalu menampilkan karya-karya yang menggelitik, kontroversial, dan kritik tajam bagi penguasa negeri. Seperti pementasan naskah Opera Kecoa oleh Teater Koma di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta (10-20/11/2016). Ratna Riantiarno sebagai Pimpinan Produksi dan disutradarai oleh N Riantiarno. Sebuah pentas yang mengisahkan orang-orang kecil yang hidup di dunia yang keras. Mereka tinggal seperti kecoa, dalam gorong-gorong, selokan, kolong jembatan, dan kawasan kumuh lainnya yang gelap dan berbau busuk. Gambaran itu yang diperlihatkan oleh Teater Koma sebagai kritik kekuasaan pemerintah yang memperlakukan orang-orang kecil dimasa zaman orde baru laksana kecoa.

Tak berapa lama empat orang pencoleng muncul berada di kurungan dari bilah bambu. Lalu mereka mulai bercerita satu persatu tentang kejahatan yang telah diperbuatnya. Seorang pencoleng mengaku sebagai pembunuh dan perampok. Lalu, pencoleng selanjutnya merupakan seorang pemerkosa. Sementara itu, pencoleng ketiga mengaku sebagai penipu dan pencoleng terakhir merupakan seorang koruptor. Tak lama kemudian, dengan diiringi musik yang sedikit rancak, muncul seorang hakim. Suasananya remangremang. Dalam keremangannya itu berkatalah Sang Hakim “Hai manusiamanusia dalam kurungan, kau tampak jadi contoh yang jelas, dunia sudah samar, kejahatan harus ditegakan,” kata sang hakim. Banyak adegan satire yang menggelitik dan mengkritisi landasan hukum negeri ini. Seperti adegan hakim dan penegak hukum yang tawarmenawar untuk segera memberikan keputusan kepada para pencoleng. Namun, sang hakim meminta penegak hukum untuk bersabar, serta menyarankan penegak hukum agar kasus dapat diselesaikan dengan tepat, tidak membawa penurutan hanya dengan nafsu semata. Ironisnya penegak hukum bersikeras untuk secepatnya memberikan

Mencekam: Salah satu adegan dalam pentas Naskah Riak Lumpur saat para pencoleng akan menerima hukuman

Pun begitu pementasan dua naskah yang ditampilkan KPT Beta yang digelar di Auditorium 1 UIN Walisongo Semarang. Kedua naskah itu Tampak ingin menyajikan kritikan akan ketimpangan sosial baik dari segi hukum maupun kehidupan masyarakat di negeri ini. Danang Diska Atmaja sutradara Riak Lumpur dalam Belanga mengatakan, ingin mencoba merefleksi beberapa kasus hukum yang terjadi di Indonesia yang masih simpang siur. Walaupun ia mengakui pementasannya masih jauh dari ekspektasi awal dan belum ada koherensi. Menurutnya, sejak awal ia ingin memunculkan dan mengkritisi tentang hukum tersebut. “Seperti kasus kopi bersianida Jessica Kumala Wongso dan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok,” ujarnya. Lebih lanjut Danang menjelaskan, bahwa pentas tersebut, merupakan adaptasi dari naskah karya Ahmad Arwani alumni KPT Beta. Dimulai dengan tata panggung yang menampilkan tempat yang didominasi ornamen bambu. Serta latar panggung yang minimalis dengan sebuah kurungan dari bambu yang diibaratkan penjara. Di sebelah utaranya terdapat tempat hakim yang menjulang tinggi ke atas dengan media bambu. Tak ketinggalan gulungan kain hitam menutupi di belakang latar pementasan.

keputusan. Menurutnya, pekerjaan penegak hukum diibaratkan sebagai permainan peran yang selalu dituntut oleh peran yang berlainan sosial. Tetapi, tetap saja hakim bersikukuh dengan keputusannya untuk menunggu waktu yang tepat. Hingga di ujung percakapan dengan penegak hukum, sang hakim berteriak mengatakan “Aku tahu kalau kamu itu penegak hukum bukan penegak hakim, kita harus memotong kejahatan dan penyebabnya,” teriak hakim lantang. Anti Mainstream Meski pementasan tersebut tak seperti biasa, karena malam itu salah satu kelompok teater di lingkungan UIN Walisongo tersebut menampilkan pementasan dengan aliran surealis. Padahal sebelumnya, mereka dikenal senang melakonkan naskah-naskah realis. Pada puncak acara Harlah yang Ke-31 itu, KPT Beta menyuguhkan naskah surealis dan realis. Inovasi dan keberanian menampilkan karya yang keluar dari mainstream itu muncul lewat kedua naskah tersebut. “Ingin menampilkan hal yang berbeda,” ujar Danang sesaat setelah diskusi pementasan. Kamis (22/12/2016). Penonton tampak memadati ruangan Auditorium I UIN Walisongo

Semarang, tempat pementasan berlangsung. Ya, meski realitas pasar mahasiswa yang cenderung homogen dibanding pasar di luar mahasiswa. Itulah yang menurut Danang melatarbelakangi pementasan tersebut. “Kalau kita menampilkan realis terus, takut mereka bosan,” kata mahasiswa asal Batang itu. Danang menambahkan, awalnya genre naskah Riak Lumpur dalam Belanga ingin dibuat absurd. Salah satu aliran sastra modern yang memandang kehidupan itu irasional, tidak pasti, penuh kontradiksi dan kacau. Bisa dikatakan bahwa aliran itu sering menampilkan banyak penyimbolan dari sesuatu. Namun, pihaknya dan tim produksi merasa tidak mampu karena naskahnya sendiri sudah absurdisme. Menurutnya, proses penggarapan naskah tersebut memang cukup sulit, mengingat ia mengaku baru pertama kali menggarap genre naskah semacam itu. “Ini seperti ide sepintas, yang langsung kita eksekusi,” ujarnya. Genre yang berbeda, kata Danang, diusung dalam pementasan tersebut agar memberikan alternatif baru dalam proses kreatif di dunia seni pertunjukan terutama teater kampus. Sementara itu, Zaenal Arifin, sutradara Overdosis mengatakan, jalan alternatif yang coba ditawarkan KPT Beta dalam pementasan naskah ini tidak menerobos kode etik dunia teater. Inovasi, lanjut Zaenal, dalam dunia teater adalah sebuah keniscayaan. Bahkan ia menilai akan lebih baik jika sebuah pementasan juga mempertimbangkan aspek penyampaian pesan kepada penonton “Asalkan tidak mereduksi pesan yang ingin disampaikan tidak apaapa,” ujarnya. Konflik Warga Pesan sama terlihat dalam naskah Overdosis, sang sutradara, Zaenal, berusaha mengkritisi pemerintah lewat tokoh-tokoh yang berasal dari desa serta lembagalembaga pemerintah lewat simbol-simbol dalam pementasan. Overdosis menceritakan sebuah desa yang tertimpa bencana alam. Sebab itulah akhirnya desa tersebut mendapat bantuan dari pemerintah berupa alat deteksi bencana dini. Konflik yang terjadi adalah konflik antar warga yang setuju dengan warga yang tidak setuju akan datangnya bantuan tersebut. Latar drama ini terjadi di sebuah desa, bernama Desa Dhemen Dhugem. Warga yang setuju diwakili oleh Dukuh Sor Pelem dan Dukuh Lor Kali. Sementara barisan yang kontra adalah dari Dukuh Masa Depan. Namun, ketiga dukuh bersikeras dengan pendiriannya sendiri-sendiri. Intrik berlanjut saat terjadi penyamaran dari perwakilan Dukuh Lor Kali dengan melakukan pengintaian kepada Dukuh Masa Depan dan Dukuh Lor Pelem demi mendapatkan tempat untuk penempatan proyek alat bantuan pemerintah tersebut. Singkat cerita, bantuan yang diharapkan oleh beberapa warga tampaknya tak kunjung datang lantaran tidak ada dukungan swadaya masyarakat. Adegan ditutup saat seorang aparat menjawab telepon dari Carik Desa Demen Dugem dan menceritakan hal ikhwal yang mengganjal proses bantuan tersebut. Ironisnya, di tengah kegagalan proses bantuan, sang aparat justru mengungkitungkit tentang biaya yang telah dihabiskannya guna memuluskan proyek tersebut. “Kebutuhan saya ini juga harus dipikirkan Pak Carik,” katanya di ujung telepon. Oknum Aparat di sini, menurut Zaenal adalah simbol pegawai yang mata duitan. Satu sisi aparat (seakan-akan) membantu masyarakat. Di sisi lain justru mereka bermain di dalamnya. “Bahkan tidak jarang oknum aparat menjadi salah satu sindikat,” katanya sesaat setelah pementasan.n Chalia Mufida, Diyah Nur I.

n Puisi

SASTRA ASTRA B UDAYA UDAYA

Persinggahan Kelam Pagi tak selamanya sama Pun kau, Bayang tak kasat mata Setengah abad kau pergi Menuju samudera, terarahkan mata angin Pada singgasana Raja Aku, Membatu nanar menatap ruang hampa Berbalut angan di balik Jerujiku, Sejak kau tinggalkan Aku, 2016

Kilau

Sebersit cahaya Menikung, Putih, berbercak kuning Tinggalkan sebuah, Bayang 2016

Selebaran Kertas Dari ujung timur

Berlari tertarih, seorang anak Buram aku menatap hadirnya Ia kujurkan tangan, berikan selebaran kertas Kutatap lekat tiap gores tinta itu Atap bumi, tuangkan keabadian Di tiap angan peri-peri kecil tertawa Tak pernah luput pengharapan Habispun tidak, dia hidup Kau datang kembangkan senyum Beserta puisi untukku 2016

Bayang Ragu

Tak sedikit yang rapuh

Tak sedikit yang jatuh

Tataplah, harapan jauh Lurus di ujung penantian Resah, ragu timbulkan waswas Menggelantung di tiap bayang dan angan Menatap kelampauan, itu petaka Kematianmu di ambang keyakinan Waktu, butakan matamu di atas khayal 2016 Fajar Bahruddin Achmad Lahir di Tegal, 16 November 1995. Aktif di Kampung Sastra Soeket Teki dan SKM Amanat UIN Walisongo AMANAT Edisi 127

Desember 2016

21


OPINI MAHASISWA

Efektivitas Unit Kegiatan Mahasiswa

Syamsul Ma’arif*

Nandani Rahayuningtyas*

Berkelit dari Kematian

D

ewasa ini kampus dinilai memiliki peran penting dalam mencetak produk unggul suatu negara, dengan memberikan komposisi yang cukup ideal bagi lulusannya. Hal ini dibuktikan dengan adanya pendidikan khusus, dibarengi kegiatan yang mendukung agar siap terjun pada persaingan dunia secara global. Namun untuk menyiapkan persaingan tersebut, mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan soft skill yang menjadikan salah satu pertimbangan awal ketika memasuki dunia kerja. Di sisi lain, Pendidikan yang ada di bangku perkuliahan, kadang hanya akan melahirkan segelintir penguasaan ilmu, yang tak jarang sekedar formalitas untuk sebuah gelar. Maka tak jarang, mafhum ditemui sebagian mahasiswa yang rela meluangkan waktunya pada kegiatan di luar bangku perkuliahan. Kegiatan ini terbungkus secara rapi dalam organisasi intra kampus, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Adanya kreativitas dan sifat kritis dari mahasiswa inilah sebagai wujud dari kegiatan yang dimiliknya. Seperti halnya pendekatan pemberantasan korupsi melalui budaya populer, seperti musik, yang hingga sampai saat ini sedang berkembang. Pun beberapa negara memakai pendekatan budaya untuk membangkitkan kesadaran pada bahaya laten korupsi.

Filantropi Ormawa

Di indonesia, justru sebaliknya, di saat segelintir musikus bergerak seperti yang dilakukan Slank dan Iwan Fals, dengan membuat lagu tentang pemberantasan korupsi. Hal tersebut justru tak digubris oleh anggota Dewan yang terhormat. Mereka malah pasang kuda-kuda dengan mengesahkan revisi UU KPK yang patut diduga bakal mengebiri pemberantasan korupsi. Sementara itu, meskipun UKM memiliki kontribusi besar dalam mendukung peningkatan mahasiswa untuk mengembangkan kreativitas. Hal tersebut kadang masih dipandang sebelah mata. Hal ini didasari adanya sifat mahasiswa dalam mengkritisi suatu masalah baik dunia luar maupun dalam kampus. Sifat kritis ini muncul ketika adanya kesenjangan antara pihak terkait dengan mahasiswa itu sendiri. Escape from the death (berkelit dari kematian), itulah istilah yang pantas dan harus selalu tertanam pada diri seorang terdidik yang menginginkan kebebasan dari wahana suara perebutan tahta. Jadi, Sebagai mahasiswa kita sepatutnya sadar akan problematika yang ada pada tubuh birokrasi kampus maupun lingkungan sekitar. *Pegiat LPM Missi Fakultas Dakwah & Komunikasi UIN Walisongo

J

argon mahasiswa sebagai agen perubahan kerap disuarakan. Tentu hal itu dalam artian menuju arah yang lebih baik. Mahasiswa digadang-gadang sebagai pelopor perubahan oleh bangsa dan negara, terutama lingkungan di sekitarnya. Besar harapan masyarakat pada mahasiswa supaya bersikap antisipatif. Namun sebelum menyebarkan perubahan, tahap awal yang harus dirubah adalah diri sendiri. Potensi diri seseorang dapat digali dengan beragam cara. Salah satunya adalah bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). UKM yang notabene merupakan organisasi intra Kampus berfungsi sebagai wadah untuk menyalurkan dan mengembangkan potensi diri mahasiswa. Terdapat UKM tingkat Fakultas dan Universitas yang dapat diikuti. Berbagai kegiatan penunjang kemampuan, penyelenggaraan kegiatan dan segudang aktivitas dalam UKM menjadi tempat terbaik untuk metamorfosis mahasiswa kearah yang positif. Mahasiswa dalam kehidupan kampus pasti mengalami prosesnya masing-masing. Ketika sudah memutuskan untuk mengikuti UKM, secara otomatis mengemban tanggungjawab organisasi. Hal itu patut disadari, tanpa melupakan statusnya sebagai mahasiswa yang berkewajiban melaksanakan tugas perkuliahan. Bagi mahasiswa yang menyandang gelar aktivis perlu kerja ekstra untuk mengatur antara kuliah dan organisasi. Meski tak dapat dipungkiri sering terjadi benturan antar keduanya. Sehingga mau tidak mau, suka atau ti-

dak suka, kita harus membuat prioritas untuk menentukan keputusan terbaik. Berbagai pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan inilah yang akan mendewasakan dalam kehidupan mendatang. Kadang, filantropi organisasi membuat mahasiswa cenderung lalai terhadap perkuliahan. Tanggungjawab organisasi menjadi alasan menomorduakan tugas kuliah. Namun di sisi lain, potensi maupun soft skill yang tidak diperoleh dari bangku perkuliahan selalu diasah dalam organisasi itu. Maka bagi mahasiswa yang aktif kuliah dan organisasi perlu adanya manajemen yang tepat, baik itu waktu maupun prioritas. Meski berjalan timpang antara keduanya, minimal ada fokus agar mendapat hasil yang ingin dicapai. Pencapaian tersebut diharapkan dapat bernilai positif bagi diri sendiri dan orangorang di sekelilingnya. Organisasi adalah wadah untuk mahasiswa berproses, melatih mental, perantara bersosialisasi dengan masyarakat, menjalin persaudaraan serta melatih diri untuk selalu bersyukur. Pun begitu, meski organisasi tidak memberikan fasilitas layaknya bangku perkuliahan. Justru hal itulah yang menuntut mahasiswa agar berperan aktif untuk membangunnya sebagai kawah candradimuka. Karena tak jarang, pengalaman berorganisasilah yang kelak menjadi bekal setelah keluar dari perkuliahan. *Ketua UKK Korps Suka Rela (KSR) UIN Walisongo

TEMA MENDATANG

Linieritas Dosen dengan Mata Kuliah yang Diajar Kirim opini anda melalui surel: skmamanat@gmail.com. Naskah tidak lebih dari 2500 karakter. Sertakan biodata, foto terbaru dan nomor HP yang bisa dihubungi. Pengiriman naskah paling lambat Maret 2017. Tulisan yang dimuat akan mendapatkan bingkisan dan piagam penghargaan.

n RESENSI

Kompas, di Tenggah Pusaran Zaman

D

i era pasca revolusi industri ini, sering kita mendengar akan ada zaman “dunia tanpa kertas” (paperless world). Segala tulisan tidak lagi mengunakan cara lama; menuangkan tinta di atas kertas. Namun diramalkan, semuanya akan berbentuk digital. Itu artinya, media yang berbasis cetak kertas akan mendapatkan tantangan besar di era digitalisasi ini. Dalam buku yang ditulis oleh St. Sularto dan F. Harianto Santoso Kompas Way; Jakob’s Legacy ini diungkapkan, Jakob justru bertanya benarkah akan ada zaman paperless world? Benarkah kehadiran media cetak tinggal hitung jari? Apakah media baru akan menggantikan media lama serta mematikan media cetak? Selama ini sejarah menunjukkan tampilnya medium baru tidak menggantikan medium lama. Radio tidak menggantikan surat kabar, begitu pula film. Jakob Oetama termasuk yang percaya akan masa depan surat kabar dan majalah (hal 51). Pernyataan di atas adalah sebuah bentuk penyikapan zaman yang dilakukan oleh Jakob Oetama, pendiri Kompas bersama rekannya Petrus kanisius Ojong (wafat, 1980). Setelah meninggalnya P.K Ojong secara otomatis menempatkan Jakob sebaga pimpinan utama di Kompas hingga sekarang. Kompas yang berdiri sejak 1965 merupakan koran tertua dalam skala nasional yang hingga kini masih bertahan dan eksis. Kompas telah mengarungi tiga masa, orde lama, orde baru dan reformasi. Sebagai media yang pernah hidup di za-

22

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

man orde baru, Kompas pun mengalami tekanan oleh rezim Soeharto, hingga pada 21 Januari 1978 mengalami pembredelan oleh pemerintah dan kembali terbit lagi pada 5 Februari 1978 dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi dari pemerintah pada waktu itu. Manusia dan Kemanusiaan Cornelius Antonius Maria (Kees) de Jong dalam desertasinya tentang Kompas 1965-1985 melakukan penelitian tentang peranan harian Kompas dalam meningkatkan kerukunan antarumat beragama di Indonnesia. Menurutnya, penamaan Kompas merupakan pengembangan makna compassion (welas asih)—secara herarkis welas asih di atasnya cinta—yang antara lain memuat harapan manusia untuk bisa bertenggang rasa kerena setiap orang bisa berbuat salah. Kompas memulai perjalanan hidupnya dengan mengacu pada gagasan besar yang dibawa PK Ojong yang diilhami dari mazhab Sosialisme Fabian di Inggris (1884). Jakob mengadopsi gagasan dari banyak pemikir dunia, bahkan ensiklik pimpinan tertinggi Gereja Katolik dalam Konsili Vatikan II, dan menurunkannya ke dalam ekstraksi “compassionate” atau empati (hal 215). Gaya dua pendiri Kompas ini menjadi visi dan kebijakan editorial Kompas dan itulah satu diantara isi materi Kompas Way. Berita-berita koran sejatinya tidak sama sebangun isinya sebab berita ditulis mengikuti jalan pikiran kebijakan editorial atau redaksional masing-masing. Bagaimana dengan Kompas?

KOMPAS WAY JAKOB’S LEGACY

Pengarang: St. Sularto dan F. Harianto Santoso Penerbit: PT Kompas Media Nusantara Terbit: 2016 Tebal: 256 hlm Resentator: Sigit Aulia Firdaus

Jakob Oetama pernah menuliskan: manusia dan kemanusian adalah napas pemberitaan Kompas. Dalam seluruh pemberitaan Kompas, segala aspek sepak terjang manusia, cobaan dan permasalahannya, aspirasi dan hasratnya , keagungan dan kehinaannya, menjadi titik sentral pemberitaan. Manusia tidak dilihat secara hitam atau putih, banar atau salah, menang atau kalah, berhasil atau gagal, melainkan perjuangannya diantara hitam dan putih, di antara benar dan salah, di antara menang dan kalah, di antara berhasil dan gagal (hal 6). Kompas mencoba peka terhadap nasib manusia demi mencapai kemanusiaan. Mengenai bencana atau mengenai akibat kemanusiaan, Jakob selalu berpihak pada realitas manusia yang menjadi korban. Sejak dibolehkan terbit kembali, 6 Februari Kompas memainkan peran sebagai polite watch dog (anjing penjaga yang sopan). Sebutan itu merujuk pada kenyataan bagaimana Kompas bermain menghadapi tantangan sosiologis, ekonomis,kultural, dan politis yang kemudian diberi nama Kompas Way (hal 202).

Di bawah Jakob sebagai Pimpinan Umum sekaligus Pimpinan Redaksi selama puluhan tahun, Kompas menjadi salah satu usaha bisnis besar Indonesia. Bisnis media yang didaasarkan atas kepercayaan Franz Magnis-suseno SJ mengatakan ada empat alasan mengapa Kompas menjadi koran dengan paling banyak pembaca. Pertama, di Kompas pembaca mendapatkan informasi paling luas tentang apa yang terjadi di Indonesia, dari ibu kota sampai pelosok hingga di seluruh dunia. Kedua, apa yang ditulis Kompas ditunjang dengan penelitian tangguh. Ketiga, bahasa di Kompas bagus secara konsisten. Keempat, di Kompas para pemikir dari segala aliran membagi keprihatinan mereka. Kompas Way tidak hanya strategi atau cara, tetapi lebih lengkap dari itu. Buku ini memuat beragam isi, dalam kontek memenangkan perang sebagai strategi, tidak hanya memberikan teladan atau katakata yang mengajar, tetapi seluruh pemikiran dan tindakan, ucapan dan perbuatan Jakob Oetama.n


REHAT KUIS ASAH OTAK (KAO) 127 Menurun 1. Negara bagian Amerika 2. Hal gaib 3. Nanometer 4. Marah; berang 5. Tommy Winata 6. Acuh tak acuh 7. Unduh (antonim) 12. Hidangan dari katak 13. Rotan besar 17. Pelajaran sendiri 18. Mungil (Perancis) 19. Hantu terbaru 20. Angin musiman 23. Perintah sholawat (Arab) 24. Kemewahan (Inggris)

Mendatar 1. Menghasut; menantang 3. Makanan pasta lekat manis, berisi kacang 6. Antarctic Wildlife Research Unit 8. Kata benda (Arab) 9. Seni ilustrasi potret wajah yang bersaling-silang secara geometri 10. Negara Adikuasa 11. Analisi 12. Ranting (Inngris) 15. Tahun 16. Sebagai (Inggris) 18. Lulusan FSH

Ketentuan Menebak 1. Tulis jawaban, cantumkan nama, alamat, dan nomor HP yang bisa dihubungi. 2. Foto hasil isian KAO. 3. Kirim jawaban ke surel: redaksi.skmamanat@gmail.com 4. Pengiriman jawaban paling lambat 20 Maret 2017. 5. Pemenang akan diumumkan di Tabloid Amanat edisi selanjutnya. 6. Diambil 2 pemenang. Masingmasing mendapatkan 1 buku menarik.n

21. Salah satu media dosial 22. Inti batang pisang 24. Tidak banyak tingkah; bersahaja 25. Kecerdasan buatan 26. Kain pembebat leher; selendang 27. Simpang ... (tidak julas) 28. Berita bohong 29. Lumat halus spt tepung 30. Kotor; bercak 31. Melangkah cepat 31. Surya Paloh 32. Cermat; Saksama

n KOMIK

AMANAT Edisi 127

Desember 2016

23


SOSOK

Dok. Pribadi

Bekal Diri di Kemudian Hari

M

enulis bukanlah bakat. Ia adalah pindaian tindakan, kemampuan yang terbatas bukan halangan untuk bisa menekuni aktivitas literasi. Tekad itu sudah lama tumbuh dalam diri Selamet Hambali pria kelahiran 5 Agustus 1954 yang kini tercatat sebagai dosen Ilmu Falak Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang. Hambali menekuni dunia tulis menulis berawal dari kecintaaannya terhadap disiplin ilmu tentang falakiah dan mawaris. Pun begitu, meski terdapat dua keilmuan yang ditekuninya berbeda, hal itu tak pernah menyurutkan kecintaannya pada aktivitas menulis. Pelopor berdirinya Program Pendidikan Ilmu Falak di UIN Walisongo ini mempunyai rutinitas menulis sejak

24

Desember 2016

AMANAT Edisi 127

tahun 80-an hingga sekarang. Hambali mencontohkan hasil usahanya yang berhasil diterbitkan pada tahun 2011, diantaranya Ilmu Falak 1, Almanak Sepanjang Masa dan Arah Kiblat Setiap Saat. “Kegiatan menulis harus dibiasakan sedini mungkin, karena seorang dosen yang aktif menulis itu sudah diawali ketika masih menjadi mahasiswa,” ucapnya. Ia mengungkapkan kalau aktifitas tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh. Membiasakan diri untuk selalu menulis dan mengisi jurnal adalah sebuah ritus yang selalu ia jalankan. Oleh karenanya, Hambali berharap agar dari kalangan muda mulai aktif menulis, apapun disiplin ilmunya. Berbekal sejumlah pengalaman yang pernah ia geluti di dunia tulis menulis. Pria asal Desa Bejangan, Kelurahan Beringin, Kecamatan Ngaliyan ini mengungkapkan faktor utama yang menjadi kendala penulisan adalah kemalasan. “Hal yang terpenting ketika menulis adalah niatan untuk memenuhi sebuah kewajiban untuk berkarya,” kata Ketua Lazanah Falakiyah PWNU Jawa tengah. Menuai Hasil Selain menulis, Wakil Ketua Tim Hisab Rukyah Provinsi Jawa Tengah ini juga mempunyai beberapa temuan, di antaranya mengenai Pengukuran Arah Kiblat dengan menggunakan segitiga dan bayang-bayang matahari yang dimuat dalam tesisnya. Hambali menerangkan, cara pengukurannya itu tidak perlu menggunakan

alat khusus, hanya memanfaatkan bayangan matahari seseorang dapat mengetahui arah kiblat dari tempat yang diinginkan. Tak lupa, pemanfaatan penggaris dan benang juga digunakan untuk memudahkan pengukuran. “Praktek tersebut kadang tidak mudah dilakukan bagi orang yang belum memahaminya,” ujarnya. Sementara itu, di usianya yang kini genap 62 tahun, tidak mengurangi kecepatan dan ketepatannya dalam hal hitung-menghitung. Ketika ditemui oleh Kru SKM Amanat, Hambali membuktikan dengan hitungannya terkait hari lahir salah satu kru tersebut. Dengan waktu tak kurang lima menit, ia bisa menebak mulai dari tanggal bulan dan tahun lahirnya. Dosen yang dikenal dengan kesederhnaannya oleh mahasiswa ini,

merupakan sosok yang bersahaja. Ihwal itu dapat dilihat dengan sikapnya yang tak sungkan membawa sepeda motor keluaran tahun 952 saat mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum. Hambali berpesan, agar mahasiswa mulai menyiapkan diri untuk bekal masa depannya. Bekal tersebut, lanjutnya, dapat dimulai dari aspek yang sederhanaa seperti menulis dan banyak membaca. Ia menghimbau, jangan membuang waktu untuk hal-hal yang tidak penting, sebelum penyesalan datang di kemudian hari. “Gunakanlah waktu sebaik mungkin untuk menimba ilmu, berpikir dan terus mencoba menemukan sesuatu yang baru,” ujar Hambali.n Uswatun Khasanah, Rustiana

Curriculum Vitae Drs. KH. Selamet Hambali, M.S.I. Pendidikan: Pondok Pesantren Salafiyah di Pulutan Salatiga; Lulus S1 dari Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo pada tahun 1979, Lulus S2 dari program pasca sarjana IAIN Walisongo pada tahun 2011. Organisasi dan Aktivitas: Ketua Lajnah Falakiyah PWNU Jawa Tengah; Anggota MUI Komisi Fatwa Jawa Tengah; Waki Ketua Tim Hisab Rukyat Provinsi Jawa Tengah; Wakil Ketua Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama; Anggota Tim Hisab Rukyat Kementrian Agama RI. Karya: Ilmu Falak 1 Penentuan Awal Waktu Shalat dan Arah Kiblat Seluruh Dunia; Almanak Sepanjang Masa Sejarah Sistem Penanggalan Masehi, Hijriyah dan Jawa; Pengantar Ilmu Falak Menyimak Proses Pembentukan Alam Semesta; Ilmu Falak Arah Kiblat Setiap Saat.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.