Majalah SUARA USU Edisi 7

Page 1

MEGAPROYEK PARIWISATA

Gairah pariwisata Danau Toba kian lama kian surut. Adi proyek Tao Toba dilancarkan Jokowi guna menjadi Monaconya Asia.

EDISI VII/XXI/2016

Rp 15.000

ISSN 2355-8946

SUARAUSU.CO



28 56

34

20

3

60 KONTEN: mejuah-juah & konten lepas laporan utama riset opini

03 04 06 12 24

jelajah esai foto apresiasi ulas cogito

MEJUAH-JUAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Salam Pers Mahasiswa! Sepanjang tahun ini, berbagai berita hangat dan menarik kami sajikan dalam portal berita online dan dua tabloid terdahulu. Kini, saatnya kami persembahkan satu lagi produk yang tak kalah spesial; Majalah Mahasiswa SUARA USU Edisi 7. Sebagai pembuka dan rubrik utama. Berkat berbagai potensi yang dimilikinya, danau ini dicita-citakan menjadi Monaco-nya Asia. Namun, danau yang indah ini ternyata juga punya cerita tak indah. Kelihatan baik tapi nyatanya tak baik-baik saja. Lantas, siapkah danau toba jika kini pemerintah menjadikannya sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional? Hasil liputan secara mendalam kami rangkum dalam Laporan Utama. Selanjutnya, ada rubrik khusus yang bercerita dengan berbagai foto. Sinabung masih berkabung dan berjuang dalam waktu bersamaan. Begitu juga dengan masyarakatnya yang merasakan hal sama. Potret kehidupan terkini di bawah kaki gunung kami abadikan dalam rubrik Esai Foto. Anda tahu ndikkar? Silat asli dari Karo ini tak banyak dikenal, bahkan di masyarakat asalnya sendiri. Meski nenek moyang merekalah yang telah melahirkan ndikkar ke dunia. Beruntungnya masih ada segelintir orang yang tahu dan mau tahu. Cerita selengkapnya tersaji dalam rubrik Apresiasi. Mari bergeser ke Kabupaten Labuhan Batu Utara. Tepatnya di Desa Padang Halaban terdapat konflik agraria antara warga dan pengusaha perkebunan. Kronologisnya bahkan sudah dimulai sejak jaman orde baru. Baca selengkapnya dalam rubrik Lentera. Jika Anda suka menjelajah, kami juga menyajikan cerita mengenai pesona Pulau Mursala. Sayangnya, eksploitasi tak terelakkan baginya. Cerita Mursala ada di rubrik Jelajah. Masih banyak lagi informasi yang kami sajikan dalam rubrik lainnya dan sayang untuk Anda lewatkan. Selamat membaca!

28 wawancara 34 lentera 40 figur 46 52

54 56 62

Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara | Penasehat: Wakil Rektor I Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Yulien Lovenny Ester Gultom | Bendahara Umum: Ika Putri Agustini Saragih Pemimpin Redaksi: Tantry Ika Adriati | Sekretaris Redaksi: Retno Andriani Redaktur Pelaksana: Arman Maulana Manurung| Koordinator Online: Nurhanifah Redaktur Cetak: Nurmazaya Hardika Putri | Redaktur Foto: Vanisof Kristin Manalu |Redaktur Artistik: Alfat Putra Ibrahim | Redaktur Online: Dewi Annisa Putri | Reporter: Rahmad Alfiansyah, Raihan Uliya, Rizka Ananda Aulia Fotografer: Adinda Zahra Noviyanti dan Maria Patricia Sidabutar | Desainer Grafis: Retno Andriani dan M Rizky Afandy Pohan | Ilustrator: Vanisof Kristin Manalu dan Maria Patricia Sidabutar Pemimpin Perusahaan: Amelia Ramadhani Staf Perusahaan: Dina Mardani dan Habibul Amin | Desainer Grafis Perusahaan: Ibrahim Husain dan Suratman Kepala Litbang: Anggun Dwi Nursitha | Koordinator Pengembangan SDM: Rizky Adrian Staf Pengembangan SDM: Desi Trisnasari | Staf Kepustakaan: Naqya Assyfa Staf Ahli: Tikwan Raya Siregar, Firdha Yuni Gustia, Andika Bakti, Aulia Adam, Sriyanti, dan Ferdiansyah DESAIN SAMPUL: Alfat Putra Ibrahim

ISSN: No. 2355-8946 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: www.suarausu.co Percetakan: Kevin’s Percetakan & Advertising (isi di luar tanggung jawab percetakan) Informasi Pemasangan Iklan dan Berlangganan, Hubungi: 082388102715, 082294181133 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000 hingga 6000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausutabloid@ymail.com


LEPAS | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 4

Ancang-Ancang Jadi Monaco Asia Mega proyek pariwisata Danau Toba seharusnya menguntungkan semua pihak; khususnya masyarakat. Perlu rencana yang lebih matang agar tak sekadar jadi proyek ‘untung-untungan’ segelintir pihak saja.

A

da danau seluas seribu kilometer persegi membentang di sepanjang tujuh kabupaten Sumatera Utara. Danau Toba namanya. Danau yang hingga kini masih tercatat sebagai danau terbesar di Asia Tenggara. Ia memiliki topogra�i unik dan luas wilayah yang serupa dengan salah satu kota pariwisata termasyhur di dunia. Kota Monaco di Eropa Barat. Kesamaan topogra�i dan potensi ini membuat Danau Toba dilirik dan diancangancang akan menjadi salah satu rupa kota Monaco Asia. Rencana yang diusung langsung oleh orang nomor wahid Indonesia, Presiden Joko Widodo. Tak main-main, langkah awal yang dilakukan ialah menetapkan Danau Toba menjadi salah satu Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Ada iming-iming kawasan ini akan menjadi Bali kedua. Rencana pengembangan pun mulai disusun. Juni lalu dibentuk Badan Otoritar Danau Toba yang berfungsi mengawasi langsung pengembangan pariwisata Danau Toba. Sebagian besar rencana pemerintah di awal adalah melakukan pembangunan infrastruktur. Misalnya seperti yang diungkapkan Jokowi saat berkunjung ke Danau Toba Agustus lalu; akan ada penambahan kapal feri untuk warga, akan dibangun jalan tol dan jalan lingkar yang mengitari Pulau Samosir agar jarak dari Medan ke Danau Toba ditempuh lebih dekat, akan diperbaiki bandara Silangit dan Sibisa di Kabupaten Toba Samosir, akan dibangun juga fasilitas baru seperti lapangan golf dan hotel binntang lima. Rencana ini juga kami dengar langsung dari Gubernur Suma tera Utara Tengku Erry Nuradi beberapa waktu usai kedatangan Jokowi. Latar belakang inilah yang memutuskan kami mengangkat Danau Toba ke dalam laporan utama majalah tahun ini. Isinya tetap dalam dengan gaya narasi. Dibagi ke

Oleh: Redaksi dalam tiga main story, yang masing-masing punya bahasan sendiri tentang Danau Toba. Namun Laporan Utama ini belum sepenuhnya merangkum permasalahan ketujuh kabupaten. Sampel diambil dari daerah yang bisa mewakili ribuan penduduk. Histori dari Laporan Utama main story I didapatkan dari beberapa warga di Desa Motung dan Desa Tomok. Bersumber dari warga kami rekam ulang kebudayaan masyarakat sekitar. Realitasnya tak jauh-jauh, hampir seluruh masyarakat bergantung hidup dari kekayaan alam Danau Toba. Mulai dari memanfaatkan air dan hasil perikanan, bertani jagung dan kopi di ladang-ladang, hingga beralih menjadi pedagang di kawasan wisata. Intinya cuma satu; Danau Toba adalah jantung kehidupan masyarakat. Lantas saja seiring berkembangnya zaman kini sudah banyak perusahaan asing yang sukses memanfaatkan kekayaan alam Danau Toba. Sebut saja perusahaan budidaya ikan PT Aquafarm Nusantara dan PT Japfa, perusahaan pengolah kayu menjadi kertas yakni PT Toba Pulp Lestari, dan perusahaan ternak babi terbesar di Sumatera yakni PT Allegrindo Nusantara. Adanya perusahaan-perusahaan besar ini tentu juga membantu masyarakat mendapatkan lapangan kerja. Saat pertemuan dengan sekretaris daerah provinsi Sumut dikatakan juga pemerintah sedang mengupayakan pembersihan Danau Toba. Sebab kondisi danau makin hari makin memburuk. Air mulai tercemar dan hutan-hutan rusak karena sering dibakar. Hal ini jika terus menerus terjadi tentu akan mengurangi nilai jual Danau Toba sebagai kawasan pariwisata nasional. Dalam main story II Laporan Utama dibahas salah satu penyebab rusaknya air Danau Toba karena limbah dari kotoran ikan yang disinyalir paling banyak berasal dari kotoran ikan milik keramba jaring akut perusa-

haan besar PT Aquafarm. PT Aquafarm sendiri tak menampik menjadi salah satu penyebab kerusakan lingkungan di Danau Toba. Namun pada akhirnya kerusakan lingkungan ini tak hanya disebabkan satu faktor saja. Ada faktor lain seperti penggundulan hutan, limbah peternakan, dan limbah dari rumah-rumah masyarakat yang dibuang langsung ke danau. ‘Jantung’ warga ternyata sakit akibat pemanfaatan buruk dari masyarakat dan perusahaan besar yang bernaung di sekitarnya. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah. Perbaikan infrastruktur ternyata bukan satu-satunya cara mengembangkan Danau Toba di tengah pusaran kon �lik yang tengah terjadi. Ada hal lain juga yang mesti diperhatikan; salah satunya persiapan masyarakat dalam menyambut ‘Monaco’ baru Asia ini. Sebelum serta merta menjalankan proyek besar pariwisata Danau Toba. Banyak masyarakat yang senang dengan pengembangan ini namun tak sepenuhnya sepemikiran. Seperti rencana pembangunan hotel dan lapangan golf, akan dibangun dari lahan warga yang digunakan sebagai lahan bertani. Tentu saja hal ini nantinya akan mematikan ekonomi masyarakat karena sebagian besar mata pencaharian warga merupakan bertani. Apalagi jika pemba ngunan hotel besar dan lapangan golf dikhususkan bagi perusahaan-perusahaan besar dari dalam negeri maupun luar negeri. Tujuan ini bertentangan dengan tujuan pengembangan untuk memakmurkan masyarakat. Seyogyanya, pengembangan-pengembangan yang dilakukan harus melibatkan masyarakat lokal. Baik itu dari sektor pembangunan maupun pengembangan pariwisata. Sosialisasi juga seharusnya lebih digiatkan, terutama dalam hal pemberdayaan masyarakat. Agar nantinya tak hanya sekadar jadi proyek ‘untung-untungan’ segelintir pihak saja.


tI M

MA J eDI ALAH SI 7

aNGGUN DWI NURSITHA PENULIS DAN FOTOGRAFER

dEWI ANNISA PUTRI

PENULIS DAN FOTOGRAFER

ARMAN MAULAN A MANURUNG

IKA PUTRI aGUSTINI SARAGIH PENULIS

PENULIS

YULIEN LOVENY ESTER GULTOM PENULIS DAN FOTOGRAFER

NURHANIFA PENULIS

AMELIA RAMADANI PENULIS

TANTRY IKA ADRIATI

PENULIS DAN FOTOGRAFER

VANISOF KRISTIN MANALU

PENULIS DAN FOTOGRAFER


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 6

Tao Toba atau Danau Toba terbesar di Asia Tenggara memiliki manfaat yang berlimpah, mulai dari danaunya hingga tumbuhan di sekitarnya. Kekayaannya perlahan-lahan membuat masyarakat terlena dan menimbulkan berbagai macam masalah.


Teks: Nurhanifah Foto: Dewi Annisa Putri

LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

PANGGIL AKU DANAU TOBA

7


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 8

B

ulan sedang penuh, terang bulan begitu sebutan Kartini Sidabutar (76) dan kelima belas kawannya. Malam ini mereka bermain di pinggir danau. Pasirnya masih putih, membentang sepanjang tiga puluh meter dari pinggir danau. Ada enam bentuk persegi yang mereka gambar di atas pasir. Mereka bermain galah, permainan tradisional yang biasa dimainkan oleh dua grup, salah satu menahan lawan yang satu harus berhasil melewati kotak yang dijaga lawan. Mereka harus berhasil melewati keenam kotak untuk bisa jadi pemenang. Pagi pun datang, saatnya Kartini dan perempuan lainnya di Tomok mengambil air untuk minum. Tanpa dimasak, air Danau Toba bisa langsung dinikmati. “Subuh jam lima, ambil air ditarok di ember,” ujarnya. Ia ingat betul saat menjinjing ember di atas kepalanya. Danau Toba benar-benar jernih, cerita Kartini. Setelah ia menikah, suaminya bekerja sebagai nelayan. Masih mudah mencari ikan di sana. “Ihhan na (rasa daging ikan—red) manis,” jelasnya. Ada banyak jenis ikan di air tawar itu, ikan mujair, ikan mas, ikan jurung-jurung, ikan pora-pora, dan berbagai jenis biota danau lainnya. Tempat yang sama, di Kabupaten Samosir ada Ucok Parangin-angin. Ucok berenang ke Danau Toba. Pria yang kini sudah berusia 75 tahun itu kerap berenang sambil memburu ikan. Kala itu usianya masih tujuh tahun ketika mengayuh sepeda seorang diri menuju Danau Toba. Ia tidak begitu ingat nama daerah rumahnya dulu, “Samosir goarnya na jolo (Samosir namanya dulu—red),” ucapnya saat ditanya alamat tempat tinggalnya. Ibunya sangat suka ikan jurung-jurung, biasanya disebut ikan Batak. Ia ingin menghadiahkan ibunya ikan jurung-jurung. Namun pajak (pasar—red) besar masih beberapa hari lagi. Masyarakat hanya bisa berbelanja satu kali dalam seminggu. Ia putuskan untuk memancing ke Danau Toba. Ikan bisa didapatkan kapan pun, tak perlu menunggu pajak besar. Sejam berenang, ia mendapatkan tiga ekor ikan jurung-jurung. Ukurannya besar, sepanjang jari tangan hingga sikunya. Cukup untuk dimakan bersama ayah, ibu, dan kedua adiknya. Ibunya mengecupnya berulang kali. “Ini hadiah paling manis,” ucap Ucok meniru kata-kata ibunya. Ia tertawa. Nampak beberapa giginya telah tanggal. Dari sudut lain Horma Sidabutar (32) sedang mengambil kayu bakar di hutan. Keluarganya masih memasak menggunakan kayu bakar. Hal ini sudah biasa ia lakukan. Memas-

uki hutan tidak jarang ia melihat monyet-monyet yang sedang bergelantungan dari satu pohon ke pohon lain. Selain itu ia juga membantu orang tuanya untuk menanam jagung dan memetik jagung saat waktu panen tiba. Tanah disamping rumahnya mereka manfaatkan untuk berkebun jagung. Desa Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir memiliki tanah yang subur, hal ini dimanfaatkan masyarakat untuk bertani. Konon, dulunya Danau Toba ialah gunung api. Meletus ribuan tahun lalu membentuk kawah, inilah yang disebut Danau Toba. Ribuan

tahun setelahnya muncul sebuah pulau yang disebut Samosir. Danau ini dikelililingi oleh tujuh kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Hambang Hasundutan, Kabupaten Toba Samosir, dan Kabupaten Samosir. Danau Toba disebut-sebut sebagai surgo (surga—red). Lima puluh tahun pun berlalu, aktivitas menikmati bulan purnama dan kebiasaan perempuan-perempuan yang menjinjing air untuk minum tidak ada lagi. Pasir putih sepanjang tiga puluh meter di Tomok kini tidak tampak, hanya pelabuhan kapal dari Tomok-

Dua orang warga Samosir menuruni Kebun Raya Samosir usai melakukan penanaman pohon bersama Presiden Joko Widodo, Minggu (21/8).


Toba, mereka ingin juga membawa buah tangan. Sejak saat itu pula banyak pengrajin dan penenun ulos yang menunjukkan serta menjual karyanya. Padahal sebelumnya menenun ulos hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat. Tak hanya itu tari-tarian khas Batak juga diangkat untuk menarik turis-turis mancanegara. Di balik perkembangannya, Mangido Tua Sidabutar (80), tokoh masyarakat dari Tomok khawatir. “Danau Toba ibarat jamban terbesar,� tegasnya. Sebab kini Danau Toba sudah tercemar.

Air tak bisa langsung dikonsumsi, limbah dari kapal-kapal wisatawan sudah di mana-mana. “Mereka buang kotoran langsung ke danau,� ujarnya sedih. Ia pernah mengusulkan pada pemerintah agar limbah di kapal ditampung dan dikubur dalam tanah, namun hal tersebut tak digubris. Jumlah kapal-kapal penyeberangan semakin banyak. Dulu ia ingat betul yang digunakan adalah kapal tanpa mesin, mereka mendayung untuk mengambil ikan dan menyeberang, kini limbah kapal pun mencemari danau, belum lagi bensin atau oli kapal yang terbuang ke danau ketika mesin

LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Aji Bata dan kapal menuju Samosir lainnya yang terlihat. Kini kebiasaan lama Kartini tidak lagi dapat dilakukan. Sudah tidak lagi ada anak-anak yang bermain galah di sekitar Danau Toba. Pun, perempuan-perempuan paruh baya menggelar lapak di depan pelabuhan, berjualan. Ada ikan mujair, sayur mayur dan buahbuahan yang mereka jual. Tak sampai di situ, kedai-kedai untuk menjual oleh-oleh ramai berkembang pesat. Tomok berkembang pesat, turis lokal kini lebih banyak datang ke Danau Toba. Melihat turis yang senang dengan keindahan Danau

9


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 10

dinyalakan. Dampak tercemarnya danau dirasakan pula oleh Denny Manurung. Sudah sepuluh tahun ia menjadi nelayan, pada tahun 2006 ia dapat memancing sebanyak lima kilogram ikan dalam sejam. Kini sehari ia tidak bisa lagi membawa ikan sebanyak itu. Pencemaran yang terjadi di danau membuatnya kesulitan untuk menombak ikan Mujair. “Dulu sampek dasarnya pun nampak, sekarang di bawah semua lumpur,” ujarnya. Ikan Mujair asli Danau Toba ukurannya hanya sebesar telapak tangan. “Kecil-kecil, tapi manis,” paparnya. Kini ikan Mujair ukurannya sangat besar bisa tiga kilo per ekornya tapi rasanya tak seenak ikan asli danau. Konon, ia mendengar ikan Mujair dimandulkan sehingga ukurannya membesar, dampak diman dulkan nyatanya juga terkena pada ikan Mujair asli danau sehingga ikan asli danau tidak lagi berkembang biak. Meski rasanya tidak seenak dulu, hingga saat ini nelayan masih memancing di Danau Toba. Perkembangan wisatawan yang pesat juga dirasakan oleh Hotma, kini tidak ada lagi hutan tempatnya mengambil kayu bakar. Hutan tersebut sudah berubah, sebagian menjadi permukiman dan sebagian lagi menjadi milik perusahaan. Tidak punya rumah dan makanan, Monyet-monyet yang dulu mendiami hutan mulai mendatangi permukiman warga. Mereka menjarah makanan warga, merasa terusik masyarakat menembaki mereka. Sebagai petani, ia dan masyarakat di desanya juga merasakan perubahan. Awalnya ia bertani jagung, kini ia bertani kopi. Perubahan tanaman ini disebabkan mereka diberikan izin untuk memanfaatkan lahan milik pemerintah selama tiga puluh tahun sejak 2007. Sebelumnya, mereka hanya bertani di lahan sebelah rumahnya. Meski hanya memiliki hak pakai, masyarakat sangat memanfaatkan lahan seluas sepuluh hektare tersebut. Pemilihan pupuk terbaik, bibit terbaik, cara memanen yang baik diterapkan. Mereka ingin menghasilkan kualitas kopi terbaik. “Kopi Danau Toba, biar tahu orang itu,” ucapnya. Masyarakat memperlakukan kopi bagai anak sendiri. Jika waktu panen tiba, tidak jarang rumah akan kosong. Penghuninya menginap di pondok kebun, supaya pagi-pagi sekali dapat lanjut memanen. Pemilihan kopi yang akan dijual juga punya cara sendiri, dengan tujuan konsumen mendapatkan kopi terbaik. Dalam satu tangkai, umumnya terdapat sepuluh gumpalan-gumpalan kopi berwarna merah. Dari sepuluh gumpalan kopi tersebut hanya gumpalan kopi yang berada di posisi tengah yang dapat dipanen.Gumpalan kopi

ke tiga, empat, lima, enam, tujuh, dan delapan dipanen dan dijual, sementara dua gumpalan kiri dan dua gumpalan kanan akan disisikan untuk konsumsi sendiri. Alasannya kopi yang di tengah merupakan kopi terbaik. Ia tidak begitu paham alasan spesi�iknya. Informasi tersebut mereka terapkan karena tahu dari anak-anak desa yang merantau ke luar kota. Semenjak cara itu diperaktekan oleh seluruh masyarakat, hasil panen pun meningkat..

“KIta punya tujuh pintu, yang punya kebudayaan berbeda dengan mutu terbaik.” - ratnauli gultom

Banyak pemasok-pemasok yang meminta kopi dari Desa Motung. Pemberdayaan masyarakat

Ratnauli Gultom, memahami Danau Toba memiliki potensi besar untuk dijadikan objek wisata Indonesia yang dapat mendunia. Wanita berusia 48 tahun ini tinggal di Desa Silamalombu, Kecamatan Onanrunggu, Kabupaten Samosir.Tapi, untuk membangkitkan potensi tersebut ada pekerjaan rumah yang terlebih

dahulu harus diselesaikan oleh pemerintah. Pemahaman tempat wisata kepada masyarakat sekitar. Pemerintah harus dapat memberdayakan masyarakat demi wujudkan tempat wisata yang ramah terhadap pengunjung. Masyarakat harus dibina bagaimana melayani pengunjung, bersikap ramah sehingga meninggalkan kesan dan membuat mereka tidak bosan untuk terus berkunjung. Budaya Timur sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat, pekaian yang terkesan minim bisa jadi bahan pertengkaran. Berpakaian minim dianggap melanggar norma. Salah. Jadi jangan merasa aneh jika ada pengunjung mancanegara yang sedang berjalan dengan tanktop dan hot pants akan diteriaki dengan Bahasa Batak. “Ini bukan Bali,” terangnya. Jujur dan apa adanya, ini merupakan sikap orang Batak. Tetapi bisa jadi kisah tidak menyenangkan jika dialami pengunjung mancanegara yang tidak begitu paham budaya masyarakat. “Bayangkan jika setiap kamu berjalan diteriaki dengan bahasa yang kamu tidak mengerti dan dipandang dengan tatapan sinis. sungguh sangat menyedihkan karena kamu tidak sepenuhnya paham apa yang sedang mereka permasahkan, dan kamu tidak tahu alasannya,” jelasnya memeberikan contoh. Sebenarnya hal ini tidak akan berbuntut panjang, jika kedua pihak saling berkomunikasi. Bahasa. Masyarakat diharapkan menguasai Bahasa inggris. Ini harus. Pun, ketika pengunjung tahu pakaian mereka dianggap tidak layak bagi masyarakat dan hal ini diberitahu kepada mereka, tidak menutup kemungkinan mereka akan berpakain layak. Saidi Sidabutar (59), masyarakat Desa Motung juga punya pendapat yang sama dengan Ratna mengenai pemberdayaan masyarakat dalam upaya mengenalkan Danau Toba sebagai tempat wisata. Pemerintah perlu berdiskusi dengan masyarakat untuk menghilangkan pemikiran mencari untung besar-besaran terhadap turis mancanegara, sebab hal ini dapat memberikan kesan tidak menyenangkan. Ia contohkan penjual buah sering kali memberikan buah yang busuk kepada pembeli, padahal sebelumnya mereka telah memilih sendiri buah-buahan yang bagus untuk dijual. “Padahal mereka (penjual—red ) jadi rugi sendiri,” ucapnya. Menurut Ratna, secara keseluruhan Danau Toba sangat kaya. Kekayaan alam dan tentu saja budaya menjadi nilai lebih sebab Danau Toba diapit oleh tujuh kabupaten. Pun, sudah seyogyanya masing-masing kabupaten menonjolkan kebudayannya sebagai nilai jual. “Kita punya tujuh pintu, yang punya kebudayaan berbeda dengan mutu terbaik,” tutupnya.



RISET | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 12

Danau Toba sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional

K

awasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) merupakan cara pemerintah untuk memprioritaskan penataan ruang di wilayah daerah tertentu. Setelah ditetapkannya Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2014, kini Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu dari KSPN. Pertanyaannya, sudah mampukah pemerintah daerah maupun pusat untuk memba-ngun dan mengembangkan KSPN Danau Toba? Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 384 mahasiswa USU, dengan jumlah mahasiswa 163 orang dan mahasiswi 221 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara accidental dengan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Kuesioner disebar mulai dari 5 hingga 13 September 2016. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dan sampling error lima persen. Jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat mahasiwa USU. (Litbang)

Apakah Anda mengetahui atau tidak mengetahui jika Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu wilayah pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional?

Tahu

1 82,3%

Tidak Tahu 17,7%

Jika tahu, dari mana Anda mengetahui informasi tersebut?

Mendengar informasi dari orang lain

Televisi

19,9%

37,0% Media Cetak

Internet

10,2%

32,9%

2


70 60 50 40

5

30 20 10 0 Setuju

95,6%

3 4

Tidak Setuju

2,6%

Menurut Anda, bagaimana peran pemerintah selama ini dalam melakukan pembangunan dan pengembangan pariwisata Danau Toba?

13

Tidak Tahu

1,8%

Setuju atau tidak setujukah Anda bahwa pariwisata Danau Toba menjadi salah satu pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional?

Baik (13,5%) Menurut Anda mampu atau tidak mampukah pemerintah dalam membangun dan mengembangkan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Danau Toba?

Kurang Baik (45,6%) Cukup Baik (37,3%)

Mampu

88,8%

Tidak Mampu

11,2%

RISET | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

100 90 80

Tidak Baik (3,6%)


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

14

Tahu Sama Tahu Danau Toba


hawa sejuk dari hutan sekitarnya dan tak lupa budaya masyarakat sekitarnya yang khas. Semua itu, apa masih iya?

Teks: Ika Putri A Saragih Reporter: Vanisof Kristin Manalu dan Nurmazaya Hardika Putri

LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Danau Toba. Konon, ia punya sejarah masyhur tentang air jernih siap minumnya,

15

Keramba jaring apung di pinggiran Danau Toba, Minggu (22/9). | Vanisof Kristin Manalu


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 16

Danau Toba dari pinggiran pelabuhan Ajibata , Minggu (22/9). | Vanisof Kristin Manalu

L

auren (40) nama panggilannya, ke sehariannya berladang dan mengambil ikan sewaktu sore hari. Ia tinggal di pinggiran Danau Toba yang menawarinya segudang rezeki. “Yah beginilah hidup, harus disyukuri,” ujarnya sambil menyeka keringat yang hampir jatuh dari keningnya. Sore itu ia baru selesai mengerjakan pekerjaan rutinnya mengambil ikan. Tak banyak yang ikan yang ia dapati di bubu itu, hanya beberapa ikan nila dan lobster. Semakin hari semakin tak menjanjikan saja pekerjaan nelayan satu ini, “Tak seperti dulu,” ujarnya dengan senyum lekat. Ingatan mulai memenuhi kepalanya. “Woy sebar ke sana juga,” perintahnya pada temannya. Sambil menanti ikan datang mereka berangkat ke sekolah. Sekitar pukul 13.00 WIB mereka kembali melihat jaring dan bubu yang mereka pasang pagi tadi. Di dalam jaring dan bubu itu mereka bisa melihat ikan telah memenuhi tiap rongganya. Ada ikan nila, ikan porapora, ikan sepat, udang dan ikan kecil-kecil lainnya.Ikan hasil tangkapan, ia jual sebagian lagi untuk keperluan dapur rumah tangga. Selain

memanfaatkan hasil danau, biasanya ia juga menggunakan air danau untuk keperluan mandi dan minum. Suatu sore saat ia selesai mandi, ia merasakan gatal disekujur tubuhnya. Bukan hanya ia saja, masyarakat yang tinggal di sekitar danau pun merasakan hal yang sama. Esoknya ia melihat air Danau Toba yang ia tampung di ember sudah berubah warna menjadi warna keku ning-kuningan. Menurut mereka hal ini terjadi karena sebuah perusahaan asing berbasis budidaya ikan yang memanfaatkan air danau sebagai tempat berbisnis. Mereka mencurigai makanan ikan–pelet–yang dituang tiap hari ke danau menyebabkan hal ini. Laksamana Umanda Sitanggang, Pejabat Fungsional Pengendali Dampak Lingkungan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sumatera Utara bilang banyak faktor yang memengaruhi tercemarnya sumber air di Kawasan Danau Toba (KDT). Salah satunya aktivitas harian masyarakat seperti mencuci pakaian dan peralatan rumah tangga, kerambah, peternakan, pertanian, dan aktivitas domestik seperti di sekitar KDT. “Semua aktivitas masyarakat ini pasti akan mem-

buat kualitas air di Danau Toba semakin menurun,” pungkasnya. Bagi seorang nelayan seperti Lauren air danau memang jantung kehidupan mata pencaharian. “Bagaimana bila jantung kita sakit, kan lama-lama bisa mati,” ujarnya berfilosofi. Lauren berharap pemerintah saat ini lebih tegas dalam menangani kasus seperti ini. Karena Danau Toba tak membutuhkan perusahaan yang membuat ia sakit. Tak hanya Lauren, Maruap Siahaan yang merupakan Ketua Yayasan Pecinta Danau Toba (YPDT)merasakan hal yang sama. Maruap yang lahir dan besar di Porsea ini merasa terpanggil untuk menyelamatkan Danau Toba yang dulu jadi tempat bermainnya saat masih belia. Berbekal bimbingan dosennya yang juga merupakan salah satu dari tujuh puluh tokoh pendiri YPDT Prof Midian Sirait saat masih berkuliah di Bandung ia kini aktif menjadi aktivis lingkungan Danau Toba. Maruap menuturkan air tercemar diakibatkan beberapa hal. Pertama sekitar tiga puluh persen pakan–pelet–ikan Nila yang dikelola PT Aquafarm Nusantara tak dimakan oleh ikan.


Lebih lanjut Umanda nyatakan pengangkatan ikan-ikaan mati dinilaai kurang efektif. Sebab hanya mampu mengangkat limbah sebanyak satu persen dari limbah yang ada. “Tetapnya limbah tadi disitu. Enggak efektif itu,” ujarnya. Ia pun mengungkapkan data mencengangkan bahwa pada 2015, dari ribuan KJAyang ada di Danau Tobatercatat sudah lebih dari sembilan ribu ton limbah yang masuk ke danau. Khususnya yang berasal dari budidaya perikanan. Sayangnya, waktu normal sesuatu yang ada di Danau Toba adalah 81 tahun. Maksudnya apabila seseorang meletakkan sesuatu ke Danau Toba, 81 tahun kemudianlah sesuatu tersebut baru terbuang lewat sungai Asahan. “KJA itu baru tiga puluh tahun umurnya artinya semua limbah tersebut masih ada di dalam danau,” pungkasnya. Lebih lanjut ia terangkan beban sumber pencemaran yang teridentifikasi paling besar adalah dari hasil perikanan. Data perbandingan beban pencemar total Nutrien terhadap budidaya perikanan mencapai 3073,9 ton per tahun. Sementara untuk beban pencemar total Posfor budidaya perikanan mencapai 1082,1 ton/tahun. Danau Toba dalam Pusaran Konflik Kini Danau Toba telah ditetapkan jadi sepuluh tempat andalan pariwisata yang membawa wajah Indonesia ke dunia internasional. Namun Danau Toba tak hanya menyoal hutannya yang mulai punah. Namun soal air dan masyarakat

nya. Dengan segala potensi alamnya, Danau Toba dilirik oleh banyak perusahaan raksasa yang bermaksud mengolah alamnya. Sebut saja dua perusahaan budidaya ikan yakni PT Aquafarm Nusantara dan PT Japfa, perusahaan yang mengolah kayu hutannya menjadi bahan baku kertas yakni PT Toba Pulp Lestari dan PT Allegrindo Nusantara yang merupakan sebuah perusahaan ternak babi terbesar di Sumatera yang berada di Desa Urung Pane. Pertama kali PT Aquafarm menginjakkan kaki di kawasan Danau Toba, ia dianggap bak pahlawan. Setidaknya demikian yang digambarkan oleh Saruhum. PT Aquafarm membuka bisnisnya di Jawa Tengah pada tahun 1988. Sebagai pelopor bisnis ikan kemasan ekspor di Indonesia, perusahaan ini lantas kerap diundang untuk menghadiri berbagai pameran Menteri Kema ritiman. Dalam suatu kali pameran, Gubernur Sumut yang menjabat saat itu Tengku Rizal Nurdin mengundang perusahaan asal Amerika ini ke Danau Toba. Setelah melakukan pengecekan kawasan Danau Toba, Aquafarm sepakat untuk membuka bisnisnya. Maka PT Aquafarm mulai bisnisnya di Danau Toba saat krisis moneter. Saruhum tambahkan waktu itu desa di sekitar kawasan danau banyak diinggal oleh pemudanya. Sebab pariwisata dan pertanian yang saat itu jdi andalan warga mengalami musim paceklik. Aquafarm lantas merekrut karyawan dari sekitar kawasan danau. Kini Aquafarm memperkerjakan sekitar 4830 karyawan yang berada di Danau Toba, Medan

LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Hal ini menyebabkan pelet tersebut menjadi bahan makanan buat gulma air. Akhirnya terjadi eutrifikasi yang menyebabkan oksigen menipis sebab ikan harus berbagi oksigen dengan gulma air yang tumbuh subur. Ikan yang mati karena kekurangan oksigen maupun mati saat di keramba menciptakan bakteri baru yang juga membutuhkan oksigen. Siklus ini membuat ikan-ikan yang tersisa sulit bertahan hidup. Di kawasan Balige berdiri sebuah kafe bernuansa modern minimalis dengan sajian utama pizza andaliman. Di halaman belakang kafe itu terdapat poster yang bertuliskan ‘Goodbye TPL (Toba Pulp Lestari), Aquafarm, Japfa’. Kafe tersebut merupakan binaan YPDT. Selain poster demikian, kata Maruap kini mereka menyebarluaskan tagline ‘Danau Toba tanpa keramba jaring apung (KJA)’. Humas PT Aquafarm Nusantara Afrizal angkat bicara perihal beberapa hal yang dialamatkan pada perusahaannya. Pertama, pakan yang digunakan untuk makanan ikan merupakan pakan apung. Jadi pakan tersebuat bisa dipastikan tidak akan tenggelam dan mencemari dasar danau. Pun, ia lanjutkan pihak perusahaan telah membuat pembatas dalam keramba agar pakan tidak terbuang, mengangkat feses-feses ikan, dan mensanitasi ikan yang mati lantas diolah buat dijadikan kompos dan diberikan ke warga. Lebih jauh, ditambahkan juga oleh Saruhum Rambe Manajer CSR PT Aquafarm keramba yang ada di Danau Toba bukan hanya milik PT Aquafarm Nusantara. Dari ribuan KJA yang ada di sana, milik PT Aquafarm berkisar 553 unit yang tersebar di Samosir, Simalungun, dan Toba Samosir. Sisanya milik warga dan perusahaan yang turut mengelola KJA. “Banyak warga yang bergantung hidup dari situ. Kalau KJA dilarang mau dapat penghasilan dari mana warga?” tuturnya. Namun seperti yang diterangkan Umanda berdasarkan data yang diambil oleh BLH Sumut dari tahun 2005 hingga 2010 terungkap bahwa untuk menghasilkan satu kilogram ikan yang ada di Danau Toba membutuhkan dua kilogram pakan. Dari dua kilogram pakan yang dikonsumsi ikan, lima puluh persennya dikeluarkan melalui kotoran. Kotoran ikan tersebutlah yang menjadi penyebab limbah di danau karena mengendap di dasar Danau Toba. “Urin ikan itu pun sebenarnya menjadi bahan pencemar juga,” ujarnya Saruhum tak menampik jika sampai saat ini pihaknya tengah melakukan uji coba pengolahan kembali untuk pengolahan feses ikan. Pun tidak ada jawaban gamblang kapan Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB) yang jadi standardisasi pengolahan budidaya ikandilakukan oleh PT Aquafarm.

17

Spanduk penolakan warga terhadap KJA milik PT Aquafarm, Minggu (21/8). | Dewi Annisa Putri


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 18

Salah satu hasil tangkapan lobster nelayan di Pantai Bebas, Minggu (22/9). | Vanisof Kristin Manalu

dan Serdang Bedagai. Saruhum sadar perusahaan tempatnya bernaung rentan akan isu pencemaran. Meskipun ia katakan perusahaan telah mengantongi standar operasional prosedur yang bersertifikat nasional maupun internasional, karena memanfaatkan alam tentunya akan jadi sorotan utama. Namun ia nyatakan banyak aspek yang buat Danau Toba sakit. Mulai dari limbah masyarakat, penggundulan hutan dan perusahaan yang memanfaatkan potensi alam danau.Maka seperti mengutip pernyataan Jokowi, jangan lagi permasalahkan KJA-nya. Sekarang fokuskan saja ke penataan agar tampilan KJA menjadi elok. Betul kata Saruhum. Diagnosis Danau Toba bukan melulu hanya disebabkan para perusahaan yang bersemayam di sana. Namun masyarakat lokal juga turut bersumbangsih pada pencemaran danau. Seperti yang dibilang Lauren. Ia mengakui jika kebanyakan di sekitar danau membuang limbah rumah tangga langsung ke danau. “Limbah pembuangan dari kamar mandi juga dialirkan ke danau,” ungkap wanita dari anak ini. Kata Lauren masyarakat bukan tak sadar, tapi sudah jadi kebiasaan. Tapi ada juga kesadaran

untuk menjaga danau. Tiap melihat sampah kerap ia mengutipnya pun dengan warga lainnya. Memang dari dua puluh tiga wilayah yang diambil sebagai titik sampling oleh BLH Sumut untuk menguji status mutu air Danau Toba pada tahun 2005 hingga 2010 terdapat dua dari dua puluh tiga titik sampling yang status mutu airnya tercemar ringan. Yakni kawasan Tengah Tao Silalahi dan Lintong. Namun pada tahun 2012 ke dua puluh tiga wilayah tersebut naik tingkat statusnya menjadi mutu air cemar sedang. Padahal dari sembilan puluh enam dusun pemukiman di pinggiran Danau Toba Pesisir Sumatera hanya sembilan belas dusun yang tidak menggunakan air Danau Toba secara langsung. Sementara seluruh dusun yang terletak di Pulau Samosir kehidupan masyarakatnya sangat bergantung pada sumber air Danau Toba. Terakhir, seperti mengutip pernyataan Saruhum, “Danau Toba ini ibarat sajian di meja makan,” tutupnya. Artinya ia mungkin saja jadi objek kepentingan buat berbagai pihak. *** Asap mengepul di perbukitan sepanjang jalur darat yang menghubungkan Parapat de-

ngan Balige. Total kepulan itu ada lima. Kepulan asap yang terlihat melalui pinggir jalan terlihat lebih sedikit ketimbang yang berada di seberang danau. Hampir bisa dipastikan, itu pepohonan yang terbakar. Hingga keesokan malam harinya, entah itu titik api yang sama dengan sehari sebelumnya jalan dari Parapat menuju Berastagi pun diwarnai merah api menyala. Totalnya sama dengan sore hari kemarin. Sebagian dari hutan terbakar yang mulai redup menyisakan bara api kemerahan dan rerumputan layu kecokelatan. Tanda-tanda upaya pemadaman tiada kelihatan. Pepohonan itu bahkan ada yang hampir menyentuh bahu jalan. Padahal itu satu-satunya jalan berbukit yang bisa dilalui jika ingin ke Berastagi dari Parapat. Kondisi hutan merah itu berbanding asimetris dengan keadaan danau yang juga berada di pinggir jalan. Danau Toba terlihat bergairah di malam hari. Di beberapa sudut, airnya berwarna keperakan akibat pantulan sinar lampu yang berasal dari hotel dan rumah penduduk yang ada di bibir danau. Mungkin inilah yang mengapa ia dijuluki sebagai Monako-nya Asia. Memang segala keruwetan aktivitasnya tersamarkan oleh gelapnya malam. Cukup menyiratkan bahwa ia sejatinya sedang sakit.



LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

20


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 21

dilem a MonaCo of asia Edisi kejar tayang pembangunan Danau Toba dinilai punya dampak positif dan negatif sekaligus. Tak pelak jika pemerintah mencoba untuk berlaku bijak dan adil.

Teks dan foto: Dewi Annisa Putri


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

D

22

“sekarang kita lagi mengusulkan kepada menteri kehutanan untuk menyiapkan lahan jadi tempat badan otorita.”

- Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi

esa Tomok terlihat sibuk pagi itu. Ratusan anak berseragam putih merah dan putih biru berbaris rapi di pinggir jalan. Mereka mengibarkan bendera plastik. Merah putih. Penjaja suvenir di sepanjang jalan menuju objek wisata Sigale-gale kompak mengenakan ulos. Ratusan personel kepolisian dan tentara berjaga di setiap sudut. “Jokowi datang, Jokowi datang!” teriak seorang warga dari ujung jalan. Sontak ratusan suara sambung-menyambung memanggil nama sang Presiden. Minggu, 22 Agustus 2016 lalu, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo mengunjungi Desa Tomok di Pulau Samosir. Jokowi yang saat itu mengenakan seperangkat pakaian adat Batak Toba persembahan para tokoh adat, berdiri bersama istrinya, Iriana Joko Widodo. Ia menjawab beberapa permintaan dari Bupati Samosir untuk memajukan Pulau Samosir. Pertama, perihal jumlah kapal feri yang kurang. Setiap hari Sabtu-Minggu masyarakat harus mengantre untuk menyeberang ke pasar karena hanya tersedia satu kapal feri. “Nanti saya siapkan, moga-moga tahun ini. Feri yang paling baik,” ujar Jokowi diikuti riuh tepuk tangan masyarakat. Jokowi mengatakan akan memberikan feri terbaik karena menurutnya Samosir adalah tempat wisata yang dilihatnya paling bagus pula. Selain itu, Jokowi juga berjanji akan memberi sedikit sentuhan pada dermaga di Desa Tomok. “Kalau bisa juga tahun ini,” katanya. Bukan tanpa alasan Jokowi memberikan bantuan untuk mengembangkan Desa Tomok. Sebab, Pulau Samosir merupakan salah satu bagian penting dari Danau Toba. Danau terbesar di Asia ini telah dimasukkan ke dalam daftar 10 Destinasi Pariwisata Prioritas (DPP) oleh pemerintah. Di antara kesepuluh DPP yang juga disebut sebagai 10 Bali Baru tersebut terdapat Danau Toba, Wakatobi, Kepulauan Seribu dan Kota Tua, Borobudur, Bromo Tengger, dan Labuhan Bajo, ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Selebihnya, yaitu Tanjung Kelayang, Mandalika, Pulau Marotai, dan Tanjung Lesung, ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus Pariwisata (KEK). Jokowi menunjukkan keseriusannya mengembangkan Danau Toba dengan membuat perencanaan yang panjang. Timeline pun disusun. Ada tujuh kabupaten yang mengelilingi Danau Toba, di antaranya kabupaten Samosir, Toba Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Karo, Tapanuli Utara, dan Simalungun. Sejak tahun lalu, tujuh bupati sepakat bersatu untuk membangun Danau Toba. Rapidin Simbolon salah satunya. Bupati Samosir ini mengatakan akan lebih fokus untuk membangun fasilitas yang layak di pulau

yang berada di tengah Danau Toba itu. Misalnya pengadaan air bersih. Selama ini air yang digunakan masyarakat diambil dari danau dengan kondisi keruh. “Biar masyarakat dulu yang diutamakan. Lagi pula, kalau air bersih, wisatawan juga akan lebih nyaman di sini kan,” ujar Rapidin. Ia juga bercita-cita membuat masyarakat lebih terampil dalam menghadapi wisatawan yang datang. Putra-putri daerah dapat menekuni bidang pariwisata di sebuah akademi pariwisata yang rencananya akan dibangun di Samosir. *** Awal tahun ini, Jokowi kembali memberi peringatan untuk memastikan percepatan pembangunan. Lima menteri melaksanakan rapat koordinasi membahas tindak lanjut Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba (BOPKPDT). Pada hari pertama bulan Februari, diadakan rapat koordinasi membahas pembentukan BOPKPDT khusus untuk mengembangkan Danau Toba. Total rapat teknis tim kecil dilakukan sebanyak 12 kali pada Maret untuk membahas payung hukum, bentuk kelembagaan, sistem keuangan, dan hal-hal lainnya terkait BOPKPDT. Setelah melalui proses yang cukup panjang, akhirnya Perpres Nomor 49 Tahun 2016 Tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba ditetapkan pada 1 Juni lalu dan diundangkan pada 13 Juli. Struktur organisasi dan tata kerja BOPKPDT pun disusun. Strukturnya diisi oleh menteri-menteri sebagai dewan pengarah dan diketuai oleh Menteri Koordinator Maritim. Gubernur Sumatera Utara Tengku Erry Nuradi yang tergabung dalam BOPKPDT menyebutkan saat ini BOPKPDT sedang membahas perihal pembangunan infrastruktur. “Sekarang kita lagi mengusulkan kepada menteri kehutan menyiapkan lahan untuk badan otorita,” ujarnya. Erry mengatakan pembangunan berbagai infrastruktur di kawasan Danau Toba sudah mulai dilakukan. Pulau Samosir nantinya akan punya jalan lingkar yang mengitari pulau tersebut. Turis domestik maupun mancanegara nantinya dapat menempuh jarak yang lebih dekat dari Bandara Internasional Kualanamu Medan ke Danau Toba karena akan dibangun jalan tol baru. Hanya butuh 1,5 jam untuk sampai di Danau Toba. Selain itu, akan ada dua bandara di kawasan Danau Toba yaitu Bandara Silangit dan Bandara Sibisa di Kabupaten Toba Samosir. Sehingga turis juga tak harus naik pesawat ke Medan terlebih dahulu. Tiga atau empat bulan yang lalu, cerita Jokowi, ia berkunjung ke Silangit. Saat itu ia melihat ada bandara yang tidak terpelihara dengan baik, sebab memang tidak ada pesawat yang turun di situ. Ketika ia masuk ke terminalnya, hal yang sama ditemukannya; kecil dan sangat tidak terawat. “Saat itu juga


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 23

Penampilan kebudayaan Provinsi Kalimantan Barat dalam Festival Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Balige, Minggu (21/8). saya sampaikan agar landasan diperpanjang, kemudian terminalnya juga saat itu saya beri waktu seminggu untuk segera diruntuhkan,” ujar orang nomor wahid se-Indonesia tersebut. Jokowi ingin Bandara Silangit diperbaharui dan untuk itu ia memberikan target agar tahun ini airport itu selesai semuanya. Baik landasan maupun terminalnya sehingga akan semakin banyak nantinya pesawat-pesawat yang datang di kawasan Toba ini, terutama turis. “Sehingga kita harapkan semakin banyak uang beredar di sini dan itulah yang akan memberikan kesejahteraan kepada masyarakat,” ujar Jokowi. Namun, Elifer Sidabutar, Mahasiswa Universitas Bhayangkara Jakarta Raya yang lahir dan besar di Desa Motung, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, merasa kecewa dengan pembangunan Bandara Silangit. Sebab tak jauh dari tempat tinggalnya, juga terdapat bandara yang tak terawat. Bandara Sibisa namanya. Menurut Elifer, seharusnya bandara inilah yang lebih dahulu dikembangkan daripada Bandara Silangit karena jauh lebih dekat untuk akses ke pelabuhan Ajibata. Rico M Sirait, Koordinator Bandara Sibisa, mengatakan pada 18 Agustus lalu Menteri Pariwisata Arief Yahya mengunjungi bandara tersebut untuk meninjaunya. Akhirnya, ia

meminta bandara yang telah vakum lebih dari setahun tersebut untuk diperluas dalam waktu dua tahun. Arief meminta Bandara Sibisa seluas 800 meter ini segera diperluas landasannya menjadi 2 Km. Proyek akan dimulai Oktober ini dengan biaya 117 miliar rupiah. Sekretaris Daerah Provinsi Sumut Hasban Ritonga menyebutkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur sebesar 21 triliun. “Belum lagi di kementeriankementerian yang berkaitan, misalnya berapa dari menteri pariwisata dan lainnya,” ujarnya. Menurut Hasban, pembangunan akan dilakukan secara paralel. Selain infrastruktur, akan dilakukan pembinaan kepada masyarakat, agar siap untuk mengelola daerah pariwisata dan melayani wisatawan yang datang nantinya. Ia misalkan masyarakat Dairi yang menurut ajaran nenek moyangnya tidak boleh mengumbar senyum ke orang lain. “Kalau sekarang sudah bolehlah, kita buat budaya senyum,” ujarnya. Limbah yang mencemari Danau Toba pun akan dikelola. Sumber pencemaran seperti keramba jaring apung sedang dilakukan pengkajian ulang untuk dibuatkan program yang sesuai. Erry menambahkan, saat ini menteri kehutanan sedang mempersiapkan lahan se-


LAPORAN UTAMA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 24

luas lima ratus hektar untuk nantinya dibangun fasilitas-fasilitas baru yaitu hotel bintang lima dan lapangan golf. “Sudah kita ajukan dan sedang proses di kementerian,” katanya. Horma Sidabutar, warga Desa Motung di Kecamatan Ajibata mengaku kesal mendengar rencana pembangunan tersebut. “Bodat (badan otorita—red) itu tak pikirkan kami masyarakat kecil ini,” ucapnya dengan nada tinggi. Menurut Horma, hotel-hotel bintang lima tersebut akan dibangun di lahan kopi warga Desa Motung. Ia mengatakan lahan tersebut merupakan hutan kemasyarakatan. Tahun 2007 lalu, tanah tersebut secara sah dipinjamkan menteri kehutanan pada warga selama tiga puluh tahun untuk bertani. “Tapi kalau sekarang diambil, mau nanam di mana lagi kami untuk makan?” ujar Horma. Menanggapi keresahan warga Desa Motung, Hasban mengatakan pemerintah tidak akan merampas begitu saja lahan tersebut. Nantinya pemerintah akan melakukan audiensi kepada masyarakat di daerah tersebut untuk mencari kesepakatan bersama. “Nantikan bisa duduk sama. Misalnya kalau kontraknya belum habis nanti kita berikan kompensansi,” ujarnya. Namun Horma masih berharap pemerintah tidak serta merta membangun hal baru yang justru menggerus ciri khas lokal di daerah tersebut seperti kopi-kopi yang mereka tanam. Menurutnya, lebih baik jika pemerintah membantu masyarakat Desa Motung untuk mengembangkan kebun kopi sehingga dapat mengenalkan desa ini sebagai desa penghasil kopi terbaik di sekitar Danau Toba. Menanggapi rencana pembangunan hotel bintang lima tersebut, Tiger Simanjuntak, salah satu pemilik hotel di Parapat terdiam sejenak sebelum menjawab. Ia khawatir tak lama lagi usaha yang telah dilakoninya selama 31 tahun tidak bisa lagi menghidupinya dan keluarga. Sekarang saja, tak banyak lagi pengunjung yang datang untuk menginap di ho-

telnya. “Apalagi kalau ada hotel-hotel bagus, ya sudahlah, tutup punyaku,” ujarnya dengan tatapan nanar. Padahal, dengan umurnya yang sudah genap enam puluh tahun, ia berencana akan mewariskan usahanya kepada sang anak dan cucu. Kini, harapannya nyaris pupus. Ia berharap pemerintah lebih memerhatikan hotelhotel lokal yang sudah ada daripada membangun hotel baru. “Kalau memang tujuan pemerintah kembangkan Danau Toba untuk menarik turis dan mengenalkan Danau Toba ke dunia, pemerintah bisa berdayakan masyarakat sini. Kalau sampai mau narik pihak swasta, sudah beda lagi itu tujuannya. Dan rakyat pula yang dirugikan,” ujarnya. Menurut Tiger, pemerintah seharusnya memberikan modal kepada pemilik hotel lokal untuk memperbesar dan memperindah hotelnya. Secara keseluruhan Tiger berharap pemerintah bisa mengambil langkah yang bijak dalam pengembangan KSPN Danau Toba ini. “Agar semua pihak senang dan dapat manfaatnya, pemerintah harus adil pada masyarakat kecil di sini,” pungkas Tiger lalu melempar pandang ke Danau Toba. *** Jokowi tiba di Balige setelah bertolak dari Tomok. Ia langsung naik ke atas mobil terdepan. Mobil berwarna hitam itu dihias sedemikian rupa dengan gaya khas Batak. Jokowi memimpin 33 mobil pawai lainnya, masingmasing mewakili setiap provinsi di Indonesia. Acara puncak Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba 2016 tersebut berlangsung di Balige. Karnaval ini akan dilaksanakan setiap tahun di kawasan Danau Toba. Selain itu, Jokowi menargetkan semua program pembangunan bisa selesai dalam waktu paling lama dua tahun ke depan. Ia, seperti yang selalu disebut-sebutnya, ingin menjadikan Danau Toba sebagai Monaco of Asia.

Bandara Sibisa di Kabupaten Toba Samosir, Minggu (21/8).



OPINI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 26

Kuasa Senjata Militer Atas Sipil “Camkanlah, hanya “nabi” yang bersenjata lengkap yang berhasil menaklukkan, sedang “nabi” yang berjuang tanpa senjata akan memperoleh kekecewaan dan kematian”. – Niccolo Machiavelli

Moh Said Mashur Anggota Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Hasanuddin

B

enar kata Machiavelli seorang filsuf, diplomat, dan politikus Italia abad 16, bahwa hari ini kita bisa melihat kekuatan senjata perang menjadi satusatunya alat paling ampuh untuk melegitimasi kekuasaan. Tahun ini nyaris saja Turki bernasib sama dengan Mesir yang sebelumnya telah dibombardir oleh kekuatan militer atas sipil, berikut juga kejadian sebelum dan sesudahnya di era Arab Spring. Myanmar baru saja menikmati demokrasi setelah hampir setengah abad dikekang oleh junta militer, dan masih banyak lagi negara-negara yang tidak berdaya atas kekuatan senjata. Bahkan seorang “nabi” pun takan mampu melakukan penaklukan jika tak menenteng senjata kata Machiavelli. Di Indonesia sendiri, sudah lebih setengah abad pascakemerdekaan, rentetan peristiwa pelanggaran hak asasi manusia terus bergulir mengikuti perkembangan teknologi senjata penghilang nyawa yang semakin canggih. Sebelum itu mari kita coba merefleksikan kembali kilas balik munculnya kekuatan yang ditentukan oleh kecanggihan teknologi senjata di dunia sampai ke Indonesia. Tidak bisa dimungkiri bahwa pascarevolusi industri bergulir hampir tiga abad yang lalu, peradaban intelektual manusia mengalami kemajuan besar setelah berhasil menciptakan tekonologi yang menjadi satu-satunya alat kekuasaan paling menakutkan sepanjang sejarah. Setiap manusia telah berhasil menjadikan dirinya sebagai poros kekuasaan paling kejam dengan teknologi perang yang maha canggih. Hal ini pula yang menjadi cikal bakal gerakan kolonialisasi di dunia. Dari masa ke masa persaingan tumpuk kekuasaan negara-negara di dunia terus bergulir diikuti oleh perkembangan teknologi hasil dari kolonialisasi. Nusantara seperti kita ketahui menjadi salah satu korban kolonialisme di kawasan Asia. Ini pun menjadi awal dari sejarah panjang perjuangan rakyat pribumi dalam mempertahankan tanah yang menjadi sumber daya untuk mengisi perut agar bisa bertahan hidup. Kesimpulan atas kilas balik perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan adalah kekuatan rakyat dan militer yang kemudian dibentuk, berangkat dari semangat anti kolonialisme yang sama-sama menginginkan kemerdekaan. Akan kita temukan sebuah orientasi yang cukup kontradiksi jika kita melihat kekuatan militer di Indonesia saat ini. Cerminan atas kilas balik tersebut sudah dipecahkan oleh kepentingan kekuasaan dan kesewenangwenangan.

DOKUMENTASI PRIBADI

Pergeseran Wewenang Menjadi Kekuasaan Setelah dibentuknya sebuah lembaga militer yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 1947 oleh presiden Soekarno dengan tujuan menyatukan kelompok-kelompok militer. Agar kelompok-kelompok tersebut terorganisir menjadi satu kekuatan besar untuk menjaga keamanan dan kemerdekaan negara dari kolonialisme. Wewenang keamanan negara sepenuhnya dipercayakan kepada TNI dengan Jendral Sudirman sebagai pemimin pertamanya. Pengeluaran keuangan negara pun sebagian besar dikhususkan untuk memajukan kekuatan militer. Setelah berjalan beberapa dekade, kekuatan militer akhirnya menjadi kekuatan besar yang sangat berpengaruh. Akhirnya Soekarno sendiri pun diduga kuat lengser karena kekuatan politik militer yang cukup konspiratif. Peristiwa lengsernya Soekarno sebagai presiden Indonesia tahun 1967 mengikuti peristiwa berdarah antara militer dengan sipil yang berasal dari Partai Komunis Indoesia (PKI) tahun 1965 yang menajadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia terbesar sepanjang sejarah bangsa ini. Di sinilah perpolitikan dari kubu militer dimulai. Kekuasaan tertinggi negara pun akhirnya diambil alih oleh kekuatan militer yang dipimpin oleh Soeharto. Selama tiga puluh dua tahun bangsa Indonesia dipimpin oleh rezim militer. Selama itu pula kebebasan berpikir dan berpendapat ditutup rapat-rapat menggunakan senjata. Waktu tiga puluh dua tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk menyuapkan makanan kepada rakyat sampai kenyang sembari


MARIA PATRICIA SIDABUTAR | SUARA USU

menanamkan paradigma anti kebebasan berekspresi. “Adil atau tidak adil, benar atau tidak benar, yang penting kenyang. Masih enak zaman pak Harto toh?” Begitu perkataan sebagian besar rakyat yang lahir dan besar saat rezim orde baru berkuasa. Rezim tersebut akhirnya berhasil ditumbangkan oleh gerakan pembebasan dari masyarakat sipil tahun 1998. Kepemimpinan lalu diberikan kepada BJ Habibi yang berasal dari sipil. Sejak tahun 1998 sampai dengan tahun 2004, pemimpin sipil menguasai lembaga kepresidenan, sejak saat itu pula polemik di Indonesia kian memburuk dengan guncangan protes sana sini dari publik, kerusuhan terjadi di mana-mana. Pun banyak yang menduga beberapa di antara kerusuahan yang terjadi tersebut didalangi oleh oknum Militer. Hingga akhirnya kerusuhan mulai sedikit demi sedikit meredam saat kepresidenan diduduki oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang berasal dari militer. Sejak saat ini militer kembali berkuasa, hingga sampai pada pemilihan umum presiden tahun 2009 bisa dilihat

dari ketiga pasangan calon yang maju semuanya diisi oleh oknum militer. Pun sampai era Jokowi ini masih tercium bau kekuasaan miliiter di tubuh pemerintahan. Baru saja kita memperingati 12 tahun kepergian pejuang hak asasi manusia Munir Said Thalib. Salah satu pembunuhan konspirasi terbesar yang dilakukan oleh rezim kekuasaan. Hingga saat ini, berbagai rentetan kasus pelanggaran hak asasi manusia telah tercatat rapi dan hampir saja terlupakan dibenak kita masing-masing. Banyak kasus perampasan lahan terhadap petani yang berakhir pada penganiayaan serta kesejahteraan yang diskriminatif di Papua yang berujung pada pembantaian. Kita kembali mengenang satu peristiwa berdarah terbesar yaitu Gerakan 30 September. Beberapa tragedi ini setidaknya memberikan gambaran kepada kita betapa tidak berdayanya msayarakat sipil jika ngotot melawan senjata dengan tangan kosong. Saya pun bersepakat jika anggota militer itu disebut sebagai robot-robot antik yang tidak pernah usang digunakan untuk merampas dan mejalankan kekuasaan. Mereka dididik dan

dilatih untuk betul-betul patuh dan tunduk atas perintah kekuasaan sampai naluri kemanusiaan dalam diri mereka ikut dimatikan. Sehingga persoalan menindas adalah urusan gampang bisa dilakukan dengan bergantung perintah dari tuhan—pimpinan—mereka. Di kalangan masyarakat kita pun akhirnya ikut-ikutan menindas dengan berdalihkan hirarki antara majikan dan buruh, antara guru dan murid, antara laki-laki dan perempuan, antara senior dan junior. Sehingga wajar saja jika sampai hari ini mental ke-“binatangan” masih tertanam subur hasil dari perawatan panjang tiga puluh dua tahun lamanya. Di kalangan masyarakat kita bahkan sampai pada kalangan intelektual seperti mahasiswa yang seringkali menumpahkan bau mulutnya di jalanan meneriakkan kebebasan. “Masih terlalu banyak mahasiswa yang bermental sok kuasa. Merintih kalau ditekan, tetapi menindas kalau berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, teman seideologi dan lain-lain. Setiap tahun datang adik-adik dari sekolah menengah. Mereka akan jadi korbankorban baru untuk ditipu oleh tokoh-tokoh mahasiswa semacam itu.” –Soe Hok Gie

OPINI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

ILUSTRASI

27


JELAJAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 28

Teks: Yulien Lovenny Ester Gultom dan Anggun Dwi Nursitha


TEREKSP(OS)LOITASI

JELAJAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

mursala

29

Air terjun ke lautan | Yulien Lovenny Ester Gultom


JELAJAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 30

P

hami Luddin Tanjung sedang menunggu di bibir Pantai Bosur. Pantai yang terletak di Kota Pandan, Tapanuli Tengah tersebut perlu ditempuh sepuluh jam dari Kota Medan. Hari-hari libur seperti hari Minggu seperti sekarang ini digunakan Phami untuk menunggu sewa. Tapi hari ini sepi, semua kapal bersandar di haluan. Ada puluhan jumlahnya. Sebagian melaut sembari menunggu sewa, sisanya diam di warung-warung pinggir pantai mencari-cari orang yang akan menggunakan jasa mereka. “Sekali berangkat kisarannya satu sampai dua juta,” paparnya. Harga bensin untuk bahan bakar mesin dan oli cukup tinggi mencapai tiga ratus ribu per seratus liter. Sekali jalan, Phami hanya meraup untung dua ratus hingga tiga ratus ribu. “Sekali dapat sewa satu per hari, ya sudah enggak narik lagi,” tuturnya. Hari-hari libur besar seperti Lebaran dan tahun baru, enam juta rupiah bisa dikantonginya. Tapi hal ini berbeda pada hari biasa, kadang tak ada sewa. Bahkan dibuat tarif dua puluh ribu per kepala untuk mengelilingi Pandan sebagai alternatif. Ternyata nasib baik sedang dialami Phami hari ini. Satu keluarga menyewa kapal miliknya. Melihat kesempatan ini, kami meminta untuk ikut bergabung bersama mereka. Setelah bernegosiasi dengan satu keluarga yang ingin mengelilingi tiga pulau yaitu Pulau Mursala, Pulau Putri, dan Pulau Bakkara, harga dua juta rupiah menjadi tarif yang diberikan untuk berangkat. Tiga jeriken

bensin diangkut ke dalam Nemo—kapal mesin berbahan bensin. Kapal pun melaju menuju pulau-pulau di sekitar Tapanuli Tengah. Salah satunya Pulau Mursala. Phami tak sendiri, ia dibantu seorang anak buahnya untuk mengendarai kapal. Terlebih dahulu mereka menghidupkan tiga buah mesin penggerak kapal yang terletak di bagian belakang. Lautan cukup tenang hari ini, walau begitu butuh dua jam perjalanan untuk tiba di Pulau Mursala. Sekilas Pulau Mursala tampak biasa saja, tak ada yang menarik hanya tampak rimbunan pohon. Pandangan ini seketika berubah ketika melihat dari sisi Barat pulau. Air terjun setinggi tiga puluh meter menyambut kedatangan kami. Konon, air terjun ini berasal dari tiga aliran sungai atasnya. Karena air sungai tawar dan langsung terjun ke laut terjadi perbedaan rasa dari air laut Pulau Murasala. Air di bagian tengah laut terasa tawar sedangkan sekitarnya asin. Mesin kapal dimatikan, air terjun kini berada tepat di depan kami. Pengunjung langsung mengambil pelampung dan melompat dari kapal ke lokasi jatuhnya air. Percikan air dan derasnya air menjadi sensasi tersendiri. “Air di sini tawar, yang sebelah sana agak asin,” tunjuk salah seorang pengunjung pada lokasi jatuhnya air. Terumbu karang juga tertanam indah di bawah pulau ini. Tapi sebagian kondisinya sudah rusak akibat penyelam yang mengambil teripang laut, Kadang terumbu terpijak dan sebagian dijadikan bahan bangunan


JELAJAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 31

Terumbu karang di Pulau Mursala | Dokumentasi Dinas Perikanan dan Kelautan

karena tak perlu dibeli cukup diambil dari laut. Sudah tiga bulan Ade tinggal di Pulau Mursala, ia ditugaskan dari dinas pariwisata untuk mengeksplor salah satu pulau terbesar di Tapanuli Tengah tersebut. “Butuh tujuh hari untuk mengelilingi Pulau Mursala, kita harus jalan kaki terus,” Ade memulai ceritanya. Di sana belum ada listrik dan akses jalan yang memadai. Untuk makan, Ade hanya perlu duduk di pinggir pulau dan memancing. Tak perlu kail mahal, hanya seutas benang nilon, umpan, dan gagang sederhana, ia mampu memenuhi kebutuhan makannya untuk sehari. Masih banyak ikan berlimpah di sekitar pulau. “Sejuta saja bisa bertahan hidup hingga tiga bulan di sana,” ujarnya. Ade pun berbaur dengan masyarakat, ada empat puluhan keluarga bersuku Nias yang menetap di pinggir pulau. Mereka bukanlah suku asli Pulau Mursala. Konon masyarakat asli Pulau Mursala— masyarakat bersuku Melayu—banyak yang mulai pindah dan menetap di Kota Pandan. Hari itu, Ade pun memulai perjalanannya. Dari labuhan kapal ia berjalan kaki menuju puncak air terjun. Butuh 24 jam berjalan kaki. Tiba di puncak air terjun, ia takjub. Tiga aliran sungai menyatu dan langsung tumpah ke laut. Tak hanya itu, keindahan hutan di Mursala juga luar biasa, rimbun, dan pohonnya luar biasa tinggi. Tapi kemudian ia terenyuh, beberapa kayu sudah habis ditebang, gelon-

dongan kayu berjatuhan di tanah. Pulau seluas 7.551 hektar ini selain memiliki air terjun juga memiliki beragam jenis kayu. Kayu yang dimiliki pun bukan kayu biasa, tapi kayu berkualitas dan punya nilai ekonomis tinggi. Ada kayu jati, kayu mahoni, dan konon ada kayu langka yang hanya dimiliki oleh Tapanuli Tengah. Keindahan pulau ini nyatanya sudah tersebar, sineas pun tertarik berkarya. Tahun 2013 silam industri perfilman mengangkat Mursala sebagai film. Film yang dibintangi Rio Dewanto ini menceritakan tentang budaya Batak, masih erat dengan romantisme. Mundur ke tahun 1976 ada film King Kong, salah satu scene dalam filmnya diambil dari atas air terjun, ketika King Kong hendak menyelamatkan gadis yang ia suka. Sudah dua kali diangkat ke dunia perfilman nyatanya tak membuat kemajuan yang berarti untuk Pulau Mursala. Akses masih sebatas kapal cepat dengan biaya yang tidak murah untuk sekali jalan. Pengunjung datang, kemudian menyaksikan air terjun lalu bertolak ke pulau lainnya. Tak ada tempat perhentian khusus seperti dermaga atau sejenisnya. Mursala punya banyak cerita yang sarat dengan kisah mistis. Mulai dari kisah Putri Runduk yang bunuh diri melompat dari air terjun, tempat bertapanya 44 aulia, hingga tempat pedagang Arab yang salat bersamasama ketika selamat dari perjalanan. Arah air terjun tidak secara kebetulan juga mengarah ke Barat, arah kiblat bagi umat Muslim.


JELAJAH | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 32

Mursala; orang Arab dari suku Mur yang melakukan salat. Masyarakat Tapanuli Tengah pun demikian, anak-anak atau nelayan tak boleh pulang larut malam dari sana atau menginap jika melihat ombak sedang tidak bersahabat dan kalau melanggar maka akan tersapo—di ambil makhluk gaib. Tapi sekarang, nampaknya kisah mistis yang beredar berkurang sebab sebagian kepala keluarga bekerja sebagai nelayan dan penyelam di sekitaran Pulau Mursala. Agus Salim masih remaja, usianya kirakira enam belas tahun ia berprofesi sebagai nelayan swallow. Ia sering menyelam di sekitar Pulau Mursala. Pagi itu sekitar pukul delapan pagi ia hendak menyelam seperti biasanya. Singg…singg…sing. Suara mesin pemotong kayu terdengar sebelum ia menyelam. Ada kepulan asap di sekitar sumber bunyi. Awalnya ia heran dan mencari asal suara mesin itu. “Apa ada pembangunan di atas ya,” pikirnya sambil menengadah ke Pulau Mursala. Lamat-lamat suara mesin pun berhenti, Kemudian bekerja kembali. Tak begitu peduli, Agus langsung terjun ke dalam lautan menuntaskan pekerjaannya. Ia bercerita suara ini sering ia dengar pagi dan sore hari. Karena terlalu sering mendengar suara mesin seperti itu, Agus terbiasa dan membiarkannya. “Memang terjadi pembalakan liar,” ujar Asep Perry, Kepala Bidang Kehutanan Kabuputen Tapanuli Tengah. Ia membenarkan bahwa Pulau Mursala telah dikontrak oleh salah satu perusahaan swasta pengolah kayu yaitu PT Sibolga Timber pada 2013 silam. Asep mengaku tak tahu apakah memang perusahaan tersebut yang

mengambil kayu secara ilegal atau tidak. “Kasusnya sedang diperiksa, itu urusan orang hukum,” ujarnya. Asep bersama pihak keamanan pernah naik ke atas Pulau Mursala melakukan sidak (inspeksi medadak—red) untuk menangkap pelaku pembalakan liar tapi tidak ditemukan. Hanya sebuah alat berat berwarna kuning yang tertinggal. Sampai saat ini pelaku pembalakan belum dapat diprediksi apakah masyarakat atau dari suatu instansi. “Sepertinya sebelum kami datang (untuk sidak ke atas hutan—red) mereka sudah tahu,” ungkapnya. Untuk proses hukum, Asep katakan pihak berwenanglah yang bisa melakukannya. Dinas Kehutanan hanya bisa mengimbau dan berupaya mencegah terjadinya pembalakan liar. Upaya-upaya tersebut seperti melakukan sidak dan pemberian edukasi pada masyarakat mengenai pentingnya hutan. Menurut Asep meski pernah terjadi pembalakan, Pulau Mursala belum mengalami kegundulan sehingga belum dirasa perlu untuk ditanam kembali. Jika Mursala gundul, tak hanya ekosistem yang terganggu, hutan gundul mampu merusak sedimentasi tanah dan berdampak pada kondisi terumbu karang di sekitar pulau. “Ada 43 jenis terumbu karang di Tapanuli Tengah,” jelas Edward Bangun, Kepala Seksi Rehabilitasi Terumbu Karang. Ia mengakui, sudah terjadi kerusakan sekitar lima puluh hingga enam puluh persen terumbu karang. Padahal terumbu karang hanya tumbuh satu sentimeter dalam beberapa bulan. Banyak faktor yang membuat hal ini terjadi, faktor manusia seperti penggunaan bom peledak, penyelam yang menginjak terumbu karang, dan terumbu karang yang dijadikan pondasi bangunan. “Mengedukasi masyarakat, itu yang kami

lakukan, mengadakan seminar dan lainnya,” ujarnya. Phami tak sepakat, ia mengatakan pemerintah tak lagi turun seperti beberapa tahun sebelumnya, bahkan untuk memberikan edukasi pada masyarakat. “Selama ini ya kami kerja seperti ini,” ujarnya. Hal serupa juga dirasakan nelayan dan pengemudi kapal lainnya, bahkan kapal yang mereka miliki merupakan milik sendiri, ada juga yang dimodifikasi dari kapal nelayan menjadi kapal penumpang. “Itu di sana yang berlumut punya pemerintah,” tunjuknya pada kapal kecil yang terikat di dermaga. Bagian bawahnya memang terlihat berwarna hijau dan ditumbuhi lumut sebab jarang dipakai. M Risdam, Kepala Pemasaran dari Dinas Pariwisata mengatakan memang kapal pemerintah di dermaga jarang digunakan karena harganya lebih mahal dari kapal nelayan. “Sekitar tiga juta sekali jalan,” ujarnya. Menurutnya kapal milik pemerintah memiliki kualitas yang baik dan kecepatan yang lebih tinggi. “Kapal nelayan bisa dua jam, kalau kapal yang itu sejam langsung sampai,” ujarnya. Risina Janet Nababan salah satu pengunjung menggunakan kapal milik Phami untuk berlibur bersama keluarganya. Ia merogoh kocek sebesar dua juta rupiah untuk berkeliling ke tiga pulau. Walau tak menggunakan kapal milik pemerintah tapi ia berharap pemerintah mampu mengembangkan Pulau Mursala. Bukan hanya air terjun, namun ada pendukung lainnya untuk memanjakan wisatawan seperti restoran dan hotel. “Sayang saja hanya sebentar bisa menyaksikan Pulau Mursala karena tak ada fasilitas yang memungkinkan,” tuturnya.

Fahmi Ludhin Tanjung dan awaknya mengemudikan kapal menuju Pulau mursala, Minggu (7/8). | Yulien Lovenni Ester Gultom.



ESAI FOTO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 34

CERITA SINABUNG

Teks dan Foto : Vanisof Kristin Manalu

D

esa itu dikelilingi pohon pinus. Sejauh kaki melangkah terdapat tumpukan kayu dan gundukan tanah yang belum rata. Desa yang baru. Rumah-rumah bewarna hijau. Siosar nama desanya. Jauh dari perkampungan dan perkotaan, untuk mencapainya harus menempuh jarak sejauh 17 Km dari kota terdekat. Saat memasuki desa, sekumpulan remaja memakai ulos Karo membawa bakul di tangan mereka. Setiap pengendara yang akan memasuki desa diberhentikan. Mereka menyodorkan bakul kosong tersebut. “Sumbanglah, Bang. Sedikit saja,” ujar Lina Surabina Br Sembiring Milala diikuti oleh teman-temannya. Sang pengendara menyodorkan selembar uang dua puluh ribu. “Terima kasih banyak, Bang,” ujar mereka semangat. Panas terik matahari tak menghentikan aktivitas mereka. Sudah beberapa bulan mereka mencari dana untuk acara tahunan tersebut. Perayaan acara pesta tahunan seharusnya dilaksanakan beberapa bulan lalu. Biaya yang tak mencukupi memaksa mereka menunda perayaan dan lebih memilih melakukan aksi dana dengan meminta sumbangan. “Pemerintah setempat sudah memberikan sumbangan, tapi tak cukup. Kami butuh sekitar lima puluh juta untuk melakukan acara tahunan ini,” ujarnya. Mereka hanya mengandalkan bantuan sebab untuk menjual hasil panen tak lagi dapat diharapkan. Sejak dibuka Desember 2014 lalu, hutan Siosar diubah menjadi desa. Masyarakatnya adalah gabungan dari tiga desa yaitu Desa Simacem, Desa Bakerah, dan Desa Sukameriah. Ketiga ini merupakan desa yang hancur akibat bencana alam letusan Gunung Sinabung tahun 2013 silam.


ESAI FOTO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 35

Wow.. Indah Membawa Luka


ESAI FOTO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 36

Hingga saat ini pun Gunung Sinabung masih berstatus awas sebab masih sering mengeluarkan awan panas. Kecepatannya tiga ribu meter ke arah Tenggara Timur. Lebih dari sepuluh kali letusan kecil terjadi dalam sehari. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) memperkirakan aktivitas vulkanik Gunung Sinabung masih akan terus berkembang hingga waktu yang belum dipastikan. “Kami sudah menetap tinggal di sini,” ujarnya. Air mukanya menunjukkan ketegaran. Ia dan keluarga harus meninggalkan tanah kelahiran mereka dan membangun kembali kehidupan di tanah yang baru dari pemerintah. Bukan hanya membuat pemukiman baru, pemerintah daerah setempat juga membuat pembatas menuju daerah yang rawan terkena aliran erupsi Sinabung. Di pembatas tersebut ditempel spanduk peringatan agar tidak memasuki zona merah atau zona berbahaya. Kawasan ini dijaga oleh seorang anggota Tentara Nasional Indonesia. Salah satunya Legiman. Ia mendapat tugas menjaga perbatasan menuju Desa Berastepu. Hal tersebut dilakukan untuk mengurangi risiko bertambahnya korban akibat bencana ini. Namun kesadaran masyarakat setempat masih sangat kurang. “Sudah terlalu sering diperingatkan,” ujar Legiman. Meski plang telah ditutup, masyarakat malah membuka jalan setapak baru agar bisa melewati plang tersebut. Masyarakat berdalih untuk melihat keadaan desa dan kebun. Meski demikian pemerintah tetap mengawasi dan membina masyarakat secara langsung. Kadang juga mengadakan diskusi dengan masyarakat. Hingga saat ini masih banyak keluarga yang tinggal di tempat-tempat pengungsian seperti di UKA I dan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP). Legiman berharap masyarakat yang berada di sekitar gunung jangan dulu pulang ke daerah yang masih rawan bencana,”Mohon dengarkan saran dan imbauan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan,” ujarnya.

Berladang di Bawah Gunung


ESAI FOTO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Keadaan Kampung Beras Sitepu Sepi Tak Bernyawa

37

Menerobos Plang dengan Santai

Aduhh.. Kumuhnya Tempat Pengungsian


ESAI FOTO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Pemandangan dari Bawah Sinabung

38

Bagi Sikit Rupiah Bang!

Rumah Pengungsian Siosar Mulai ditata dengan Rapi



APRESIASI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 40

Ndikkar

Nyaris Binasa di Bentala Karo

Teks: Tantry Ika Adriati Ndikkar bukan silat, melainkan ilmu bela diri. Hampir lesap dikekang adat, hampir dilupakan masyarakat. Masa ini mulai dikenalkan lagi oleh orang-orangnya.

DOKUMENTASI PRIBADI


“Kalau aku melanggar, maka aku akan mati karena memakan ayam persumpahan ini,” tutup Simpei dan Yasmin bersamaan. Sumpah ini dimaksudkan agar murid dan guru berkomitmen tidak menggunakan ilmu ndikkar untuk kejahatan, tetapi untuk melindungi diri dari bahaya binatang buas maupun lawan. *** Ndikkar. Orang-orang kerap menyebutnya Silat Ndikkar. “Bukan silat ndikkar, tapi ndikkar saja,” ralat Yahmin. Silat Ndikkar berarti gabungan dari dua ilmu bela diri. Pemahaman yang salah kaprah. Sebetulnya ndikkar merupakan sebuah nama untuk bela diri. Serupa dengan ilmu bela diri lainnya seperti pencak silat, taekwondo, ataupun kung fu. Jadi tak absah kiranya jika ndikkar disebut bagian dari silat. Sebab keduanya setara dengan ragam bela diri lainnya. Disebut juga pandikkar untuk si pemain. Beda istilahnya dengan pendekar. Pendekar terdiri atas satu suku kata; artinya orang yang berkuasa. Dalam kata pandikkar terdiri atas dua suku kata. Pa—sebutan untuk orangnya, dan ndikkar—sebutan untuk ilmunya. Artinya orang yang sedang memainkan ndikkar. Bisa saja oang yang sedang belajar ataupun seorang guru ndikkar. Sebab dalam ndikar tak ada tingkatan ilmu seperti dalam pencak silat. Tak bisa dipastikan kapan ilmu ndikkar ini masuk ke Karo. Sejak manusia telah menempati bentala Karo, sejak itulah ndikkar mulai berkembang di masyarakat. “Ndikkar hidup bersama orang-orangnya,” tambah Simpei. Dahulu kala, orang-orang Karo mempelajari ndikkar untuk melindungi diri dari ancaman binatang buas. Mereka meniru gerakan-gerakan binatang untuk melawan binatang yang menyerang. Misalnya, untuk melindungi diri dari ular, para leluhur akan menirukan gerakan elang untuk menghindar dari terja-ngannya. Lantaran elang mampu mengalahkan ular. Beda tempat beda pula jurus andalannya. Tergantung kondisi lingkungan di daerah tesebut. Daerah Lingga misalnya, identik dengan jurus harimau karena dulu daratannya terdiri atas ladang-ladang yang banyak dikunjungi harimau. Daerah lain di hilir Karo didominasi sawah-sawah, binatang yang dominan adalah ular dan burung. Maka jurus andalannya adalah gaya memangsa ular dan burung. Nama leluhur pandikkar yang dikenal pun berbeda-beda. Tiap daerah menceritakan kelebihan masing-masing. Di daerah Pancur Batu terdapat air sungai Lau Cekala. Maka dinamakanlah Pandikkar Lau Cekala. Pandikkar Buntu berasal dari daerah yang dulunya bernama Buntu—sekarang berubah nama menjadi Pertumbukan. Sementara di Lingga sering disebut Pandikkar Kitik—sebab orang-orang Lingga berbadan kecil.

APRESIASI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

S

impei Sinulingga datang kepada Yahmin. Seorang pria 65 tahun yang sedang bercengkerama di warung kopi. Hari itu senja akan malam. Simpei memesan tuak. Pria bermata sipit, berkulit hitam, dengan rambut ikal hitam legam. Sekilas Simpei terlihat mirip perawakan Yahmin ketika muda dulu. Pria itu berusia 36 tahun, umurnya separuh usia Yahmin. “Pak, tolong ajarinlah aku ndikkar,” katanya. “Ah tak ada gunanya itu,” jawab Yahmin. Ia menyesap tuak yang telah dipesan. “Aku serius mau belajar ndikkar. Supaya tak hilang tradisi kita ini, Pak.” Ucapan Simpei hanya ditanggapi Yahmin dengan manggut-manggut. Tak mengiyakan permintaan Simpei. Mungkin ia merasa belum melihat keseriusan Simpei. Dua tahun berlalu, Yahmin akhirnya menerima tawaran Simpei untuk berguru kepadanya. Simpei dan ketiga orang teman seperguruannya diajari langkah—gerak dasar dalam ndikkar. Melihat keseriusan Simpei dalam berlatih, Yahmin akhirnya memutuskan menerimanya menjadi murid. Namun sebelum itu, mereka harus melaksanakan sebuah ritual. Semacam tradisi yang dilakukan oleh calon-calon pandikkar—sebutan untuk orang yang melakukan ndikkar. Disiapkan ayam jago merah masak yang telah dipotong per bagian. Ada bagian kepala, sayap, dan paha. Yahmin meminta Simpei memilih salah satu bagian ayam. Lalu memakannya. Bagian yang dipilih Simpei akan menentukan arah Yahmin dalam memberikan ilmu. Simpei memilih bagian paha ayam. Kata-nya, “Orang yang memilih bagian kaki berarti orang-orang yang akan mengalami perjalanan panjang atau petualangan.” Maka ia akan ba-nyak diajari latihan-latihan kesabaran. Berbeda dengan orang yang memilih bagian kepala. Terkesan keras kepala. Harus dilatih dengan keras. Sementara jika memilih sayap diumpamakan ringan memberi dan mengambil. Ibaratnya menyayangi gampang, menampar juga gampang. Maka sang guru akan mengajari perjalanan panjang untuk membuang sifat buruknya. “Orang yang memilih kaki lebih kuat tendangannya. Orang yang memilih sayap lebih lincah tangannya,” cerita Simpei setelah mendengar filosofi itu dari Yahmin. Sebagai penutup, sebelum ayam dimakan, Simpei dan Yahmin mengucapkan sumpah. Sumpah pertama diucapkan oleh calon murid. Sumpah untuk tidak melawan kepada orang tua, teman seperguruan, dan Sang Guru. Selanjutnya disusul oleh Yahmin. Janji untuk menurunkan seluruh ilmunya kepada Simpei.

41

VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU

“Ndikkar hidup bersama orang-orangnya.” - simpei


APRESIASI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 42 Simpei Sinulingga mengajarkan dan menyampaikan filosofi cara memakai sarung yang akan digunakan saat latihan tari ndikkar, Minggu (25/9). VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU

Sebagai salah satu ilmu bela diri, tentu ada yang berbeda dengan ndikkar. Selain dari sejarah dan filosofinya, ndikkar juga tidak mempunyai gerakan baku. Gerakan apa saja bisa dikreasikan asalkan pada akhirnya fungsinya tercapai; untuk menjatuhkan lawan. “Kalau bela diri lain ada kurikulumnya, kita tidak punya,” sahut Simpei. Ndikkar membebaskan pemainnya melakukan gerakan apa pun. Sebab inti dari bela diri ndikkar adalah ‘martial art of killer’—yakni ilmu bela diri yang mematikan. Artinya ilmu ini hanya digunakan untuk membunuh lawan. Ibarat elang menangkap ular, gerakannya harus tepat. Jika tidak tepat maka ular akan dimangsa elang, atau elang akan dimangsa ular. Persis saat ndikar digunakan saat bertarung, salah satu lawan akan mati, paling ringan menderita luka berat. Karenanya banyak warga Karo belajar ndikkar secara sembunyi-sembunyi. Orangorang akan mengetahui seseorang pandikar setelah terlibat masalah dan harus melindungi diri. Kala itulah ia mengeluarkan kemampuan ndikkar dan bertarung sampai salah satu di antara mereka mati. Dulu ndikkar hanya digunakan untuk dua hal; pertama melindungi diri dari binatang buas, kedua melindungi diri dari serangan musuh. Seiring berkembangnya zaman, binatangbinatang buas jadi punah. Maka orang-orang Karo hanya menggunakannya untuk melawan musuh. Itu sebabnya gerakan ndikkar bukan hanya gerakan menyerang (rebuat), yang paling utama adalah menghindar. Istilahnya dinamakan buang lepas. Memanfaatkan tenaga lawan untuk mengalahkan lawan itu sendiri.

“Karena dalam ndikkar tidak ada menangkis,” kata Simpei. Sebab ilmunya untuk membuat lawan mati. Simpei menarik napas. Pengalamannya belajar ndikkar merupakan yang paling diingatnya. Sebab ndikkar adalah ilmu bela diri yang berharga. Satu-satunya di bumi Karo. Ia hanya membutuhkan waktu satu tahun untuk belajar ndikkar dari Yahmin. Alih Bela Diri Jadi Tari Panggung itu didominasi suara alunan musik bertempo pelan. Dua orang lelaki saling berhadapan. Mereka mengenakan baju hitam dibalut sarung, lengkap dengan penutup hitam di kepala—bulang-bulang. Keduanya melekukkan tangan, melangkah pelan, lalu bergerak mengikuti suara gendang. Lima orang duduk di ujung panggung. Dimainkan suara gendang yang berbeda. Gendang lima sendalanem; gung, penganak, singanaki, singindungi, dan sarune. Keduanya saling bergerak mengikuti tempo musik. Gerakan-gerakan meniru tingkah binatang. Musik memelan. Pertunjukan pun berakhir. Simpei turun dari panggung. Ia merupakan salah satu dari penari di atas panggung tadi. Senyum mengambang di wajahnya. Ia puas, hari itu adalah penampilan terbaiknya. “Itu adalah tari ndikkar,” cerita Simpei. Usai berlatih tahun 2013 silam, setahun yang lalu akhirnya ia memutuskan untuk menurunkan ilmu ndikkar. Dibangunlah sebuah sanggar bernama Nggara Simbelin. Letaknya di Desa Lingga, kegiatannya beriringan dengan Perguruan Sigar yang dibangun oleh gurunya, Yahmin. Sebanyak lima belas murid diajarinya. Namun tak semua orang tertarik belajar


ujar Herlina. Inilah yang menyebabkan orang enggan belajar ndikkar. Menurut Herlina, cara Simpei melestarikan ndikkar lewat tari dan mendirikan sanggar patut diapresiasi. Memang susah melestarikan suatu seni yang dulunya mengandung unsur mistis dan melebur ke dunia modern sekarang. Kembali lagi pada semuanya. Warga Karolah yang mestinya lebih dulu mencintai kekayaan seni sendiri. Yaitu dengan mempelajari ndikkar, berpartisipasi dalam pertunjukan ndikkar, atau bahkan menurunkannya ke penerus-penerus seperti yang dilakukan Simpei dan Yahmin. Pemerintah juga harus peduli dengan ndikkar. Minimal memberikan dana dan fasilitas yang baik untuk warga Karo yang ingin belajar ndikkar. “Tak hanya dana. Kalau bisa dijadikan kurikulum dalam pelajaran sekolah dasar di Karo,” pinta Simpei sambil tertawa. Atas usahanya itu, kini Simpei sering dipanggil jika orang-orang ingin menanyakan perihal ndikkar. Akhir-akhir ini, selain melakukan pertunjukan ndikkar, ia juga sedang diminta menjadi salah satu pemain dalam film sekuel lokal bertemakan ndikkar. Mungkin akan menjadi jembatan lain untuk mengenalkan ndikkar di mata nasional.

“BUKAN silat ndikkar, tapi ndikkar saja - YAHMIN

APRESIASI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

DOKUMENTASI PRIBADI

ndikkar. Maka untuk menarik minat warga Karo, Simpei juga mengajar seni Karo yang lain. Seperti mengajarkan menari dan mengukir—keahlian yang didapatkan Simpei sebelum menguasai ndikkar. Tapi ia tetap fokus mengajari anak-anak sanggarnya menarikan ndikkar. Tari ndikkar berbeda dengan ilmu dirinya. “Lebih bagus disebut mayan, bukan ndikkar,” terang Yahmin suatu waktu. Sebab di dalam mayan terdapat gerakan ndikkar. Simpei akui, berkembangnya zaman memang semakin membuat ndikkar tak dikenal di tanah Karo. Ia mulai menghilang bersama orang-orangnya. Memasuki zaman penjajahan Belanda, tak semua orang merasa butuh ilmu ndikkar. Sebab waktu itu sudah tak ada lagi binatang buas. Untungnya kompeni merasa tertarik dengan gerakan yang ada dalam ndikkar. Dijadikanlah ndikkar sebagai pertunjukan untuk menghibur petinggi-petinggi Belanda. Orang-orang menikmati pertunjukan ndikkar untuk memastikan siapa pemenang-nya. Tahun ke tahun tujuan menonton pertunjukan tak lagi sama, orang-orang hanya ingin melihat seperti apa rupa ndikkar. Tak semua orang mengerti filosofi dalam gerakan ndikkar. Itu sebabnya kini banyak yang menyangka ndikkar merupakan bagian dari tari. Padahal tidak, ndikkar murni ilmu bela diri. Penempatan gerakan ndikkar dalam tari itu sebenarnya cara untuk melestarikan ndikkar agar tak punah. Orang-orang hanya menikmatinya lewat pertunjukan. “Minimal mereka kenal ndikkar dulu,” sahut Simpei. Ia khawatir orang-orang tak akan mengenal ndikkar lagi. Padahal ndikkar merupakan kekayaan Karo yang seharusnya dilestarikan oleh warganya sendiri. Mendengar istilah ndikkar, Dosen Sastra Daerah Herlina Ginting mengernyitkan keningnya. Katanya ia tak begitu paham ndikkar. Pengetahuan Herlina tentang ndikkar sebatas ilmu bela diri berasal dari Karo. Selebihnya tak tahu banyak. Lagi pula, tak banyak ahli sastra daerah yang begitu paham ndikkar. “Bahkan belum ada yang meneliti di USU ini,” ujar Herlina. Herlina mengerti kekhawatiran Simpei. Tak hanya ndikkar, banyak sebenarnya kearifan lokal Sumatera Utara yang semakin tergerus zaman. Tradisi-tradisi yang bersifat mistis; seperti ndikkar salah satunya. “Wajar saja, sebab dulu kepercayaan warga Batak adalah animisme,” jelasnya. Kini hampir seratus persen warga Sumatera Utara memiliki keyakinan sendiri-sendiri—agama yang berbeda, yang dalam beberapa hal bertentangan dengan tradisi Karo. Misalnya dalam ritual ndikkar sang guru dan sang murid harus bersumpah atas ayam jago merah yang dimakan. “Takut disangka syirik,”

43


APRESIASI | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Satu Lagi Penyelamat Ndikkar Cressenda Tenori Prima Lingga Teks: Tantry Ika Adriati Foto: Dewi Annisa Putri Ia sengaja memilih Nggara Ndikkar. Film lokal pertama di Indonesia yang melejitkan seni bela diri ndikkar.

44

M

alam menyamarkan langit. Sepi. Kelam. Suara nyaring datang memanggil-manggil. “Oo Bapak Pati. Bapak Pati!” salah seorang dari rombongan yang berjumlah empat orang berteriak mendekati gubuk. Suaranya keras dan tegas. Membuat Pati langsung keluar dari gubuk bambu. “Mejuah-juah, ada apa?” katanya dengan nada ramah. Tak ada jawaban yang positif. Kedatangan empat orang itu untuk menantang Pati bertarung. Salah seorang berjaket merah lantas menyerang Pati. Pati mengenalnya, ternyata teman seperguruannya. Mereka meminta Pati mengalah untuk menjual tanah miliknya. Menolak, akhirnya Pati diserang. Ia menangkis serangan dengan tangannya. Hampir saja tumbang. Ia memainkan kakinya, bergerak mundur, lalu maju menyerang. Jatuh, lawannya terkapar oleh satu tendangan Pati. Sekali gerakan lagi ia akan menang. Namun tiba-tiba ia ditusuk dari belakang oleh lawan yang lain. Ia mati. Tak sanggup menahan perih tusukan pisau di jantungnya. Pati mati. Cuplikan pembuka film Nggara Ndikkar (Silat Karo) itu terus berjalan hingga satu jam setelahnya. Simpei Sinulingga baru saja selesai menonton film itu. Film pertama yang mengangkat tema tentang ndikkar. Ia baru tahu seorang kelahiran Karo yang memproduksi film tersebut. Buatan pegiat film lokal bernama Ori Semloko. Pria bernama lengkap Cressenda Tenori Prima Lingga ini merupakan salah satu pegiat film lokal di Sumatera Utara. Ori—kerap disapa—awalnya tak begitu mengenal selukbeluk ndikkar. Ia mengetahui ndikkar hanya sebatas ilmu bela diri yang berasal dari Karo. Ide memfilmkan ndikkar ini pun berawal

“Bukan sekadar media hiburan, juga salah satu media promosi kearifan lokal Karo.” - ori semloko

karena pengetahuannya mengenai ndikkar ketika tinggal di Desa Lingga sewaktu berusia lima tahun. Nggara asalnya dari kata Wari Merawa —bahasa Karo—yang artinya Hari Marah, sedangkan ndikkar merupakan salah satu seni bela diri Karo. Waktu itu tak banyak orang yang mengetahui bahwa ndikkar merupakan salah satu seni bela diri dari Karo. Maka berinsiatiflah Ori membuat film nggara ndikkar. Ori sendiri yang berperan sebagai sutradara sekaligus penulis naskah. Dalam film itu ia hanya menggaet empat puluh orang

warga Karo sebagai kru. Sepuluh pemain film merupakan pandikar asli Karo. “Bukan sekadar media hiburan, juga salah satu media promosi kearifan lokal Karo,” kata Ori. Ia sengaja memilih pemain-pemain asli Karo dengan latar tempat di Karo agar filmnya terlihat natural. Namun ia harus rela membuat film tanpa peralatan yang lengkap. Dengan modal otodidak dan kru seadanya. Akhirnya rampung dengan menghabiskan dana besar mencapai 45 juta. Perjuangan Ori tak sia-sia. Banyak pegiat ndikkar dan warga Karo yang mengapresiasinya lewat film ini. “Bangga, ternyata aku yang pertama bikin film tentang ndikkar ini,” ungkapnya. Berkat film ini juga ia bisa bertemu dengan Simpei saat festival kebudayaan setahun yang lalu. Tahun depan pun Ori berniat membuat sekuel kedua dari Nggara Ndikkar. Film yang lebih serius dan mengedukasi. Ia berencana menyertakan Simpei sebagai salah satu aktor dalam film tersebut. Ori tak menyangka bisa bertemu lagi dengan Simpei pada sebuah acara kebudayaan Karo. Pula mereka ternyata sama-sama memperjuangkan ndikkar meski lewat media yang berbeda. Simpei mengajarkan ndikkar lewat bela diri dan tari, sedangkan Ori mengenalkan ndikkar lewat film. Mereka pun menginginkan pelestarian ndikkar ini tak hanya berhenti di tangan mereka. “Kami juga berharap dukungan dari semua masyarakat, khususnya pemerintah,” kata Ori. Sebab menurutnya tak banyak campur tangan pemerintah daerah dalam melestarikan ilmu bela diri asal Karo bernama ndikkar. Minimal mendapatkan apresiasi atas usaha menolak lupa terhadap ilmu bela diri Karo tersebut.



ULAS | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

kala jurnalisme BERnarasi

Ada delapan belas hikayat yang bersumber dari liputan panjang dan mendalam dipersembahkan.Maestro lain dari minimnya produk jurnalistik gaya baru di Indonesia.

46

Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Tebal Harga

A

: #NARASI: Antologi Prosa Jurnalisme : Fahri Salam, dkk : Pindai : 2016 : 466 Halaman : Rp 90.000

da 466 halaman dengan delapan belas kisah berbeda dalam buku ini. Jika dibagi rata, kira-kira pokok pikiran tulisan ini memuat 25-26 halaman. Memikirkan bagaimana caranya menyelesaikan 25-26 halaman membaca sebuah “berita” mungkin terasa memberatkan. Namun tidak dengan buku ini. Karena bukan “berita” biasa yang disajikan. Melainkan berita rasa narasi. Sesungguhnya buku ini lahir mengingat masih minimnya prosa nonfiksi lewat kerjakerja jurnalisme. Dalam kata pengantarnya Fahri Salam, editor sekaligus penulis di buku ini menyoroti rutinitas wartawan di kota besar, seperti Jakarta, yang mau tak mau mesti fokus mengejar belasan artikel dalam sehari untuk diterbitkan. Lebih lanjut ia bilang kemunculan kapitalisme cetak yang mendorong menjamurnya pers pergerakan di Hindia Belanda awal abad ke-20, mandek sampai sekarang. Seiring

VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU

Teks: Ika Putri Agustini Saragih

teknologi yang semakin mutakhir, dunia pers lantas mulai diakuisisi oleh internet. Namun kebijakan redaksi di atas membikin wartawan kesulitan mengalokasikan waktu buat reportase mendalam. Padahal dari sisi logika bisnis, harusnya di era ini genre penulisan naratif bisa lebih berkembang sebab tak lagi memerlukan halaman. “Seiring ada media yang menyediakan ruang untuk itu, saya kira akan muncul generasi penulis yang mengisinya,” kata Fahri. Prosa nonfiksi jurnalisme ini lazim digolongkan ke dalam jurnalisme gaya baru. Dilansir dari beranda blog wartawan cuma aktivis HAM, AndreasHarsono, jurnalisme gaya baru ini diperkenalkan oleh Tom Wolfe tahun 60-an. Lantas apa hal baru dari jurnalisme baru ini? Ialah penuturannya menggunakan adegan demi adegan, reportase yang menyeluruh, menggunakan sudut pandang orang ketiga, serta penuh dengan detail. Jurnalisme gaya baru ini juga lebih dari sekadarin-depth reporting yang lebih dulu

dikenal publik. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Ada karakter, drama, babak, adegan, dan konflik. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan hal itu. Layaknya novel fiksi namun bernapaskan hal nyata. Di negeri ini jurnalisme gaya baru ini lazim disebut dengan Jurnalisme Narasi ataupun Jurnalisme Sastrawi. Dan seperti yang dikemukakakan oleh Fahri di atas, belum banyak sumber bacaan yang memuat narasi murni. Paling banter karya Bondan Winarno, Bre-X: Sebongkah Emas di kaki Pelangi dan segelintir lainnya. Selebihnya merupakan kumpulan reportase yang rutin dilakukan para wartawan maupun majalah seperti Tempo. Karya-karya seperti Zaman Edan yang ditulis oleh Richard Llyod Parry menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto bisa jadi rujukan sejarah. Belum lagi Hiroshima buah tangan John Hersey yang menjadi tonggak dimulainya era jurnalisme narasi. Kontribusi


menyoal perebutan tanah seluas 20.000 hektare antara Suku Anak Dalam di Jambi dengan PT Asiatic Persada. Selain tentang agraria ada tulisan tentang catatan personal laga sepak bola di Pulau Jawa, sosok minoritas Tionghoa dan Papua, riwayat pengidap skizofrenia, kisah seorang ibu yang rutin menggelar aksi kamisan, kekerasan terhadap kelompok agama, reportase tentang pertanian dan pangan lokal. Perbudakan seksual di zaman Jepang, era pendudukan Timor Leste, kekejaman perang di Aceh, kasus korupsi, analisis bisnis media, hikayat skema musik independen hingga gaya hidup baru masyrakat suku Indian di daratan Amerika Serikat. Buku ini boleh jadi merupakan kumpulan reportase II pasca Jurnalisme Sastrawi yang terbit tiga belas tahun lalu. Beberapa penulis

saya yakni Terekam, Tak Pernah Mati. Sebenarnya Raka Ibrahim, sang penulis, mendapat porsi menulis yang paling panjang diantara tujuh belas tulisan lain. Namun karena perpindahan alur topik cepat buat saya sebagai pembaca cukup bosan. Padahal ia mengangkat isu yang cukup keren, sejarah perkembangan musik ‘bawah tanah’ di ibu kota. Ada juga beberapa kisah apik namun sayang jumlah kata yang memuat tulisan terlampau minim sehingga kisahnya berasa kurang utuh. Misalnya Perempuan Berpayung Hitam-nya Abdina Dwifatma dan tulisan Bayu Maitra Hantu-hantu di Kepala. Tulisan Bayu contohnya berkisah mengenai seorang penderita skizofrenia yang mencari kesembuhan. Cukup emosional hanya saja kisahnya berasa kurang lengkap karena kurang mendetailnya cerita bagaimana si pasien akhirnya sembuh. Padahal saya punya harapan besar saat membaca awal paragrafnya sebab ulasan lengkap mengenai balada pasien skizofrenia yang jarang ditemui. Nama-nama penulis yang tercantum di sampul depan merupakan wartawan-wartawan yang telah malang melintang di dunia jurnalisme Indonesia. Mudah menemukan ulasan tentang diri mereka di dunia maya. Tim #narasi ini, terdiri atas penulis yang kontinu menulis dengan gaya narasi maupun yang menulis dengan format narasi dan berita lempang. Sebut saja diantaranya Andreas Harsono, Puthut EA, dan Anugerah Perkasa. Andreas lazim menggunakan teknik narasi dalam setiap tulisannya baik yang diterbitkan di media tempatnya bernaung maupun di laman blog pribadinya. Pun demikian dengan Anugerah Perkasa. Puthut EA sendiri lebih dulu saya kenal namanya lewat mojok.co, sebuah situs blog yang mewadahi para pemikir yang menyampaikan pikirannya dengan cara yang menghibur dan nyeleneh. Dengan beberapa bahasan pokok yang cukup berat dengan jumlah halaman yang cukup banyak, saya sarankan Anda mulai membaca dari topik yang menurut Anda paling menarik. Buku ini cocok dikonsumsi buat Anda yang ingin mengetahui topik hangat yang termarginalkan dengan penulisan yang ringan. Tepat juga untuk wartawan lain yang ingin mengetahui narasi karena kata pengantar penulis di tiap subbab bisa dijadikan bekal. Terakhir, alasan judul buku ini memakai tagar adalah, “Dalam angan-angan kami, kelak judul dengan tagar ini dapat mendorong terbitan serupa yang mengusung genre ini, baik dalam buku utuh maupun di ranah daring,” tutup Fahri.

“Dalam angan-angan kami, kelak judul dengan tagar ini dapat mendorong terbitan serupa yang mengusung genre ini, baik dalam buku utuh maupun di ranah daring.” Fahri Salam dalam Jurnalisme Sastrawi juga ada yang ikut andil lagi menuliskan hasil liputannya dalam buku terbitan Pindai ini. Sebut saja Andreas Harsono dan Chik Rini. Di buku ini Andreas memberi kejutan yang tak terdeteksi hingga kalimat terakhir karyanya. Kejutan yang membikin saya tak lantas merespon dan harus menyadarkan diri mengulang 2-3 kali paragraf terakhir Hoakiao dari Jember-nya. Lain lagi dengan Chik Rini, saya cenderung lebih menyukai tulisannya dalam Jurnalisme Sastrawi. Penulisan kisah Kegilaan di Simpang Craft lebih ‘hidup’ dan menyentuh ketimbang Surat dari Geudong: Panglima, Cuak dan RBT. Pengantar singkat dari penulis tiap memulai kisah baru menjadi pembeda lain dengan Jurnalisme Sastrawi. Di sini tiap penulis memaparkan secara singkat proses peliputannya. Hal ini memberikan gambaran bagi pembaca hal yang terjadi di balik layar sebuah sajian peliputan. Secara keseluruhan buku ini memuaskan dahaga mereka yang mencintai seni menulis panjang. Meski ada segelintir tulisan yang kurang enak untuk dibaca. Salah satunya menurut

ULAS | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

karya jurnalisme narasi yang dituturkan lewat gaya bercerita tidak bisa diabaikan begitu saja sebab keterkaitannya dalam memelihara ingatan yang cenderung lebih utuh atas suatu peristiwa. Maka buku ini menjadi pencatat bahwa di salah satu sudut dunia ini pernah terjadi suatu peristiwa. Dari delapan belas kisah, salah satu kisah yang menurut saya paling enak dibaca adalah Bara di Urutsewu. Saya menyukai gaya Prima Sulistya Wardhani yang menulis cerita dengan pembuka seperti berdongeng. “Pada tengah hari Sabtu, 16 April 2011, suara tembakan berdesing dari suatu tempat di dekat tangsi militer.” Dan diakhiri dengan, “Gemanya membuat pintu dan kaca jendela bergetar, mengingatkan pada film-film perang. Tak terbayangkan hidup dengan suara-suara itu seumur hidup.” Bara di Urutsewu sendiri mengisahkan konflik agraria di sebuah desa Jawa Tengah.TokohGoliath-nyadiperankan oleh TNI dan warga mau tak mau harus menjadi David. Warga Desa Setrojenar dibisingkan oleh desingan tembakan dan dentuman meriam. Suara-suara ini berasal dari tempat tentara-tentara dari Kodam IV/Diponegoro yang sedang melangsungkan latihan perang. Suara desing peluru dan dentum meriam bukanlah hal asing bagi warga Desa Setrojenar. Sejak tahun 1960-an, daerah yang terletak di kawasan pesisir selatan sepanjang Kebumen – Purworejo ini sudah disambangi TNI AD sebagai tempat latihan. Kehadiran mereka diistimewakan pada tahun itu sebab rezim Soeharto menganakemaskan TNI sebagai garda terdepan penjaga kekuasaannya. Tanah warga diklaim sebagai tempat latihan padahal jelas terletak di lahan pertanian milik warga. Klaim tanah selebar 500 meter itu lantas bertambah menjadi 7501.000 meter dan ditandai dengan patok dari cor semen bertuliskan ‘TNI AD’. Awalnya warga masih bisa membiarkan kesewenang-wenangan ini. Namun konflik lantas meletus pada 1997 saat lima anak tewas akibat mortir sisa latihan di ladang warga. Puncaknya bentrok antara warga dengan TNI dan yang paling banyak dirugikan tentu saja warga. Dan seperti selalu tidak ada sanksi yang jelas bagi para Goliath.Mungkin David di kisah ini sama gigih sama seperti yang ada di Kitab Ibrani. Hanya saja ia belum beruntung sebab hingga akhir September 2014 langit warga masih dihiasi dentuman meriam beruntun tiap lima belas menit sekali. Ada kisah hampir serupa ditulis oleh Jogi Sirait berjudul “Dalam Selimut Konflik” yang

47


REHAT | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Sadarkah anda, bahwa...

48

“Tak masalah memperhatikan Jakarta hari ini, tapi jangan lupa Indonesia bukan hanya Jakarta saja.”





COGITO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

PEMA USU Tujuh Belas Tahun BerlaruT larut

52

Teks:Tantry Ika Adriati Pema USU merupakan badan eksekutif tertinggi. Namun tak dijalankan sesuai fungsi.¬ Berlalut-larut hingga tujuh belas tahun berlalu.

A

dalah hal lumrah bagi saya—selama tiga tahun ini—hanya merasakan satu kali pemilihan umum raya (pemira) pada tahun 2014 lalu. Waktu itu Brilian Amial Rasyid terpilih menjadi presiden mahasiswa menggantikan Mitra Akbar Nasution. Meriah. Pergelaran pemira sejak vakum dua tahun sebelumnya diikuti lebih dari tiga belas ribu mahasiswa USU. Ada nada lega ketika akhirnya pema diisi oleh mahasiswa berdedikasi tinggi juga hasil dari pemilihan langsung mahasiswa. Harapannya hawa perpolitikan di USU dapat memberikan kemajuan dalam melaksanakan kegiatan yang bernapas kemahasiswaan. Sejak dulu, SUARA USU cukup intens mengawal perjalanan pema dan organisasi mahasiswa (ormawa) lainnya dari tahun ke tahun. Mulai dari terbentuknya pema pertama kali pascareformasi tahun 1999—saat itu Syafrizal Helmi terpilih menjadi presiden mahasiswa (presma) pertama. Dibentuknya pema sebagai wadah aspirasi mahasiswa kala itu bukan tanpa alasan.

Perlu usaha panjang agar organisasi mahasiswa ini lahir dan bernaung hingga hari ini. Berawal dari keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 1998 tentang pedoman umum organisasi kemahasiswaan. Berinisiatiflah beberapa elemen civitas akademik USU termasuk Wakil Rektor III kala itu Isman Nuriadi—dulu namanya Pembantu Rektor III. Hasil rembukan ini menghasilkan simposium yang melahirkan ormawa yang dinamakan pema universitas. Pema universitas yakni Pema USU dipimpin oleh seorang presiden dan pema faklutas dipimpin oleh seorang gubernur. Keduanya merupakan bentuk dari lembaga eksekutif tertinggi di universitas dan fakultas. Juga dibentuk kelompok aspirasi mahasiswa (KAM) yang fungsinya sebagai wadah aktualisasi aspirasi dan sikap politik mahasiswa. Laiknya partai politik di Indonesia pada umumnya. Lahir juga lembaga legsilatif yang bertugas mengawasi pergerakan badan eksekutif mahasiswa yaitu Majelis Mahasiswa Univeritas (MMU), kini berubah nama menjadi Majelis

Permusyawaratan Mahasiswa USU (MPMU). Jika menilik dari konsep John Locke dan Montesquieu tahun 1632-1755, wadah peme rintahan mahasiswa di USU sudah menerapkan konsep pemisahan kekuasaan. Konsep trias politika, ada tiga bagian utama pemerintahan yakni eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski hingga saat ini fungsi yudikatif masih dipegang secara horizon oleh mahasiswa USU. Sebab pema masih dibawahi oleh rektorat. Belum ada badan khusus yang menangani fungsi pengawasan dan pengadilan ini. Namun tetap saja, dua badan— legislatif dan eksekutif sebenarnya sudah cukup untuk menjalankan kehidupan politik di USU. Selama delapan belas tahun sejak masa reformasi perjalanan pema tak pernah terhindar dari liku dan konflik. Pemira yang selalu dilaksanakan tidak sesuai tenggat—yakni setahun sekali. Masa pemerintahan presma Anwar Sadat misalnya, presma tahun 2003. Juga terjadi pada masa pemeriintahan Aulia Rahman, presiden mahasiswa USU tahun 2006. Aulia harus rela menunggu waktu yang lama untuk melaksana-


pemerintahan mahasiswa sesuai kondisi yang seharusnya? Sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang atau TLO. Memang. Menyelesaikan permasalahan pemerintah mahasiswa saat ini ibarat mengurai benang yang telah kusut. Masalah tak hanya dari badan pelaksana pemira—KPU saja. Berlarut-larut dari tahun ke tahun. Padahal dalam TLO pasal 15 sudah diatur jelas tentang kepengurusan Pema USU yang mesti berakhir selama satu tahun. Hal ini juga karena tidak berjalannya fungsi MPMU dalam mengawasi pema—yang beberapa tahun belakang menjadi penyebab utama cacatnya pemerintahan. Ini yang menyebabkan pema jadi molor dalam menjalankan tugas. Terlambat LPJ-an, program kerja tak semua terlaksana, tak ada evaluasi. Bahkan KAM hanya terlihat saat pemira akan digelar. Padahal fungsi KAM tak hanya sebatas meramaikan pemira saja. Ada fungsi penting yakni menyalurkan aspirasi mahasiswa, termasuk mengawasi pema jika tak melaksanakan program kerja yang bermanfaat bagi mahasiswa USU. Lalu apa solusinya? Hampir semua narasumber saya menjawab; adakan kongres TLO. Barangkali itu bisa menjawab keresahan kita selama ini. Namun tetap saja, solusi ini tak juga dijalankan selama sewindu belakangan. Tak ada istilah take and give ataupun saling kerja sama antara badan pelaksana pemerintahan mahasiswa. Belum terjadi yang namanya muyawarah. Mahasiswa malah semakin pasif. Saya sebagai jurnalis dan anggota pers mahasiswa—juga sebagai mahasiswa—ingin pemerintahan berjalan semestinya. Saya rasa kini saatnya pema sekawasan dari pema-pema fakultas turun tangan menyelesaikan masalah ini. Atau mungkin pema fakultas merasa tak perlu ada Pema USU? Toh, kongres TLO tahun 2009 lalu tak juga memperbaiki jalannya pema sesudahnya, kan? Apakah Pema USU, MPMU, dan KAM telah menjalankan fungsinya sesuai yang dibutuhkan mahasiswa—yakni sebagai wadah? Satu hal penting yang seharusnya dibahas bersama saat kongres TLO nanti. Mari duduk sama-sama. Bahas lagi fungsi wadah aspirasi mahasiswa di USU ini. Sebelum itu. Lekas dulu adakan pemira. Bentuk lagi KPU. Kalau pun memang akhirnya tak ada sepemahaman, saya rasa kongres adalah jalan satu-satunya. Atau mungkin ada opsi baru selain itu? Meniadakan Pema USU, mungkin? Siapa yang tahu. Tapi saya kira semua orang pasti ingin yang terbaik untuk USU. Ayo audiensi lagi. Budayakan diskusi. Mari tutup tujuh belas tahun yang berlarut-larut ini dengan awal yang baru lagi.

COGITO | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

kan pemira. Waktu itu keterlambatan pemira disebabkan belum terlaksananya salah satu program kerja pema untuk memperbaiki Tata Laksana Ormawa (TLO) Simposium ’99. Hingga akhirnya mahasiswa USU sepakat lebih memilih melaksanakan pemira ketimbang melanjutkan masa pemerintahan Aulia Rahman hingga kongres terlaksana. Untungnya kongres tetap terlaksana pada tahun 2009. Pada masa pemerintahan Diki Altrika, Presma USU 2008. Perubahan TLO hasil kongres inilah yang tetap dijadikan pedoman bagi seluruh elemen pemerintahan mahasiswa di USU. Perubahan mendasar waktu itu adalah perubahan nama dari senat mahasiswa menjdi pema, MMU dan MMF menjadi MPMU dan MPMF. Anggota MPMU juga berkurang dari seratus orang menjadi 49 orang. Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) universitas masih tetap berada di bawah koordinasi Pema USU. Ada juga terbesit lagi ini di benak mahasiswa USU untuk mereivisi TLO tahun 2009 karena dirasa belum menyeluruh. Janji yang sempat dicanangkan saat pemerintahan mahasiswa Brilian tahun 2014 lalu. Tetap saja, kongres tak kunjug terlaksana. Tahun-tahun setelah tahun 2009 masalah pemerintahan mahasiswa USU masih sama—terlambat mengadakan pemira. Dua tahun berlalu sejak saya berpartisipasi dalam Pemira 2014, pemira selanjutnya tak juga digelar. Pemira yang diharapkan menjadi akhir rezim pemerintahan Brilian pada Juni lalu malah tak menghasilkan pengganti Brilian. Kandas di tengah jalan. Masalah tetap sama; ada konflik antara badan pelaksana pemira—Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan peserta pemira—KAM, ormawa, dan mahasiswa. Bahkan di beberapa fakultas terjadi bentrok. Pemira masih diwarnai aksi choas di beberapa lini. Akibatnya pemira tak terlaksana di seluruh fakultas. Iniah yang menyebabkan akhirnya KPU memutuskan untuk membatalkan pemira. Hingga saat ini pun belum ada konfirmasi pertanggungjawaban KPU atas pelaksanaan pemira yang batal Juni lalu. Belum terdengar nyaring kabar pemira ulang. Pun, internal KPU tak nampak di depan publik. Semestinya September lalu masa jabatan KPU USU yang dibentuk tahun lalu sudah berakhir. Artinya, jika pun dilakukan pemira ulang harus membentuk KPU dengan anggota yang baru atau perpanjangan KPU. Rektorat pun tak begitu getol melakukan pengawasan. Mahasiswa bungkam karena tak tahu jelas duduk masalahnya. Pemira 2016 batal. Dana mahasiswa sebesar Rp 35 juta terbuang sia-sia. Sistem perpolitikan di USU jadi kacau. Pema kini sedang dilanda vacum of power sejak Brilian diwisuda Mei lalu. Saya sempat bertemu beberapa namanama mahasiswa petinggi USU di masa pemerintahan Brilian. Saksi-saksi yang masih merekam jelas sejarah pema tiga tahun belakangan. Pertanyaan yang timbul di setiap perjumpaan kami adalah; bagaimana cara mengembalikan jalan

53


WAWANCARA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

ANJI LOEDINATA Wujudkan Masyarakat Sumut Imundari Penyalahgunaan Narkotika

54

Tempat Tanggal Lahir : Surabaya, 20 September 1962 Karir : (+) (1986) PAMAPTA POLRES KAMPAR RIAU (+) (1987) KASAT SERSE RES KAMPAR RIAU (+) (1996) KABAG SERSE POLWIL BANTEN (+) (1997) WAKAPOLRES SERANG (+) (2002) KABAG INTELKAM DIT INTELPAM POLDA BALI (+) (2004) KAPOLRES BULELENG POLDA BALI (+) (2009) DIR RESERSE NARKOBA POLDA PAPUA (+) (2013) DIR RESERSE NARKOBA POLDA JATIM (+) (2015) KEPALA BNN PROVINSI SUMUT (+) BRIGADIR JENDERAL POLISI /Gol. IV d

Teks: Anggun Dwi Nursitha

P

eredaran narkotika secara sembarangan adalah momok terbesar yang dialami suatu negara terutama Indonesia sendiri. Sumatera Utara (Sumut) adalah salah satu provinsi di Indonesia dengan peredaran dan penyalahgunaan narkotika tertinggi di Indonesia. Sementara itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) provinsi Sumut memiliki empat program kerja andalan untuk menangani kasus penye-

baran dan penyalahgunan narkotika sesuai amanat Undang-Undang No.35 tahun 2009. Program kerja BNN Sumut ini disusun untuk jangka waktu lima tahun yang dicantumkan dalam dokumen rencana strategis BNN. Pun, dengan melaksanakan seluruh program kerja tersebut BNN ingin masyarakat yang imun dari penyalahgunaan narkotika. Saat ini BNN Provinsi Sumut telah membangun kesadaran masyarakat di beberapa tempat

yang sangat rawan dan menjadi tempat peredaran narkotika. Tempat tersebut berlokasi di Kampung Kubur, Kecamatan Medan Kota. Selain itu ada juga di Jalan Masjid TauďŹ q, Kecamatan Medan Perjuangan serta Desa Mekarsari, Kecamatan Deli Tua. SUARA USU menghubungi Andi Loedianto, Kepala Badan Narkotika Nasional provinsi Sumut untuk menjelaskan perkembangan peredaran dan penyalahgunaan narkotika di Provinsi Sumut.


rasal dari beragam latar belakang pendidikan serta profesi antara lain pelajar, mahasiswa, pegawai negeri sipil, TNI, polri, dokter, pengangguran, ibu rumah tangga, pedagang, dan sebagainya. Kini, penyalahgunaan narkotika tak memandang dari profesi. Siapa pun bisa terpengaruh atau terlibat jika tidak mawas diri.

2. Bagaimana perkembangan penyalahgunaan narkotika di Sumut? Berdasarkan Jurnal Data Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) Tahun 2015 Edisi 2016 menerangkan bahwa angka prevalensi penyalahguaan narkotika di Indonesia mencapai 2,2%. Kalau dilihat dari survey nasional penyalahgunaan narkotika , dari tahun 2008 hingga 2014 selalu mengalami peningkatan. Perhitungan terakhir adalah pada tahun 2014 sebesar 3,06% atau sekitar 299.661 orang pertahunnya.

Ada empat program yang dijalankan BNN dalam menangani penyalahgunaan narkotika. Diantaranya adalah pencegahan, pemberdayaan masyarakat, rehabilitasi dan pemberantaasan. Dalam mengurangi permintaan terhadap narkotika dilaksanakan pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Serta rehabilitasi bertujuan untuk menjaga orang untuk tidak kembali mengonsumsi narkotika. Lalu demi mengurangi jumlah narkotika yang beredar dilaksanakan upaya pemberantasan dengan menyita narkotika ilegal dan memutus jaringan peredaran gelap narkotika.

3. Berapa jumlah masyarakat Sumut yang telah menyalahgunakan narkotika? Sampai dengan Juni 2016 masyarakat Sumut yang telah dirujuk BNN Provinsi Sumut ataupun yang sedang mendapatkan layanan rehabilitasi telah mencapai 955 orang. Data ini bisa saja bertambah sebab masih ada masyarakat yang belum terdata karena telah mengakses layanan rehabilitasi secara mandiri.

9. Sejak kapan program tersebut berjalan? Program ini berjalan sejak tahun 2009. Persisnya demi melaksanakan amanat Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

4. Bagaimana jalur dan cara narkotika di Sumut beredar? Narkotika ilegal diselundupkan ke seluruh wilayah Sumut melalui pelabuhan udara maupun pelabuhan laut. Narkotika ilegal ini dikemas sedemikian rupa dengan tujuan untuk mengelabui petugas. Garis pantai Sumut yang panjang juga membuka peluang masuknya narkotika ilegal melalui pintu-pintu yang tak terjaga se panjang garis pantai kita. 5. Rentan umur berapa korban penggunaan penyalahgunaan narkotika? Rentan umurnya adalah 10-19 tahun. Ini mengacu pada data P4GN tahun anggaran 2014. 6. Apa saja latar belakang masyarakat yang menyalahgunakan narkotika? Penyalahgunaan narkotika di Sumut be-

7. Apa jenis narkotika yang banyak beredar? Jenis narkotika yang banyak ditemukan di Sumut adalah sabu dan ganja. Tahun 2015 BNN RI Sumut berhasil menemukan sejumlah tiga ratus kilogram sabu dan 602.000 butir ekstasi. 8. Apa cara BNN dalam menangani penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika?

10. Program apa yang menjadi unggulanguna memberantas peredaran narkotika? Semuanya berperan aktif dan besinergi. Namun yang paling unggul adalah pencegahan dan pemberdayaan masyarakat. Untuk pencegahan, BNN telah banyak menyosialisasikan bahaya narkotika ke seluruh masyarakat serta imbauan untuk melaporkan jika ada terjadi sikap pe nyalahgunaan narkotika. Bahkan hanya bermodalkan stiker yang disebar dengan mencantumkan nomor telepon BNN setidaknya menjadi pilihan terdekat yang bisa membantu masyarakat sekitar agar tak takut untuk melaporkan. 11. Apa hasil yang diharapkan BNN untuk menekan penyalahgunaan narkotika? Dengan melaksanakan empat program kerja yang telah disebutkan sebelumnya, BNN ingin menciptakan masyarakat yang imun dari penyalahgunaan narkotika. Tentunya harus melibatkan pihak yang berkepentingan seperti instansi pemerintah, swasta maupun masyarakat.

12. Sejauh ini, bagaimana reaksi masyarakat terhadap program yang sudah dijalankan? Sudahkah efektif? BNN Provinsi Sumut telah aktif dalam me nangani narkotika di Sumut. Hal ini terlihat dari telah meningkatnya kesadaran masyarakat Sumut untuk berperan aktif menolak narkotika. Banyak masyarakat Sumut yang cepat tanggap melaporkan jika ada hal yang mencurigakan terjadi. 13. Adakah hambatan yang ditemui? Tentu saja ada, selama ini dalam penanganan narkotika sering terjadi perbedaan pemahaman di antara pihak-pihak yang terlibat seperti masyarakat. Banyak yang menganggap bahwa penanganan narkotika adalah tanggung jawab penegak hukum saja. Itulah yang menyebabkan sinergi yang kurang maksimal. 14. Apa dampak bagi peredaran narkotika bagi Negara? Sumber daya manusia merupakan salah satu modal pembangunan yang sangat penting bagi sebuah negara agar berkualitas dan mempunyai daya saing tinggi terhadap negara lain. Bila sudah rusak akibat narkotika maka tidak ada lagi manusia yang bepotensi untuk melanjutkan pembangunan. Merusak manusia sebuah negara dengan menggunakan narkotika merupakan bentuk penjajahan di era modern, tak terlihat namun nyata dampaknya. 15. Apa dampak bagi orang yang menggunakan narkotika? Dampak bagi orang yang menggunakan narkotika ialah kehilangan hidupnya. Masa kininya bisa saja hilang. Bahkan bila tak ditangani dengan baik juga dapat merenggut masa depannya. Pun tak menutup kemungkinan beragam penyakit dapat menyerang pengguna seperti penyakit menular HIV/AIDS, hepatitis bahkan bisa saja mati karena overdosis. 16. Apa sanksi terhadap penyalahgunaan narkotika? Siapa saja yang terlibat dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tentunya akan ditindak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika. 17. Apa solusi terbaik bagi masyarakat agar dapat menekan penyebaran dan penyalahgunaan narkotika? Sudah saatnya masyarakat melakukan mawas diri serta lebih berperan aktif dengan mengedukasi diri mengenai bahaya narkotika. Berikan perhatian kepada anggota keluarga agar dapat terlepas dari jeratan narkotika. Pun bekerjasama diantara masyarakat tidak hanya untuk kebersihan lingkungan tetapi juga keamanan lingkungan dari jeratan narkotika.

WAWANCARA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

1. Apa dasar pelarangan penyalahgunaan narkotika? Penggunaan narkotika sudah diatur dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009. Pada pasal 7 telah disebutkan kalau narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di luar itu berarti tindakan penyalahgunaan pemakaian narkotika. Selain mengatur tentang penggunaan narkotika, UU tersebut juga mengatur tentang peredaran gelap narkotika yang diatur pada pasal 111 sampai dengan 126. Hukuman yang diterima bagi pelaku paling rendah adalah masa kurungan selama empat tahun dan setinggi-tingginya adalah hukuman mati. Sedangkan untuk penyalahgunaan narkotika telah diatur pada pasal 54, 55, 103, dan 127.

55


LENTERA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

Berdekade lalu sejak warga, Si Pengusaha, dan pemerintah tak duduk sepaham perkara tanah. Konflik tak terelakan. Di Desa Padang Halaban, pelanggaran HAM berat terjadi tanpa rambu segera usai.

56

TAN

UNT

R

amadan tahun 1970 bisa dibilang bulan yang mudah diingat Misno (55). Kala itu Misno masih SD, umurnya sembilan tahun, namun ingatannya cukup bagus untuk mengingat peristiwa itu. Senin pagi, tepatnya seminggu sebelum Idul Fitri 1390 Hijriah, ia ingat beberapa buldoser beserta tentara lengkap dengan senjata laras panjang memasuki kampungnya. Raut muka orang tuanya sudah kecut, pucat, khawatir dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. “Tolong Pak, jangan digusur rumah kami, kalau digusur mau lebaran dimana anak istri saya,� mohon orang tua Misno.

Buldoser tetap melaju tanpa menghiraukan perkataan orang tua Misno. Tak tanggung-tanggung, buldoser menyapu bersih rumah-rumah, pohon-pohon, bahkan ladang sayuran yang hanya perlu seminggu lagi untuk dipanen. Kalau tidak menyingkir, orang tua Misno pun bisa ikut disapu bersih oleh senjata laras panjang. Misno tak mencoba memahami lebih dalam peristiwa tersebut di usianya. Tapi dia tahu ini; Si penunggang buldoser dan orang tuanya sedang ribut soal tanah. Penunggang buldoser ternyata utusan dari perusahaan bernama PT Plantagen AG. Desa Kartosentono adalah desa d i -

RAKY


Di hari kejadian Rasim ingat anaknya sedang main diluar. Disaat yang sama gerombolan buldoser, tentara, dan perwakilan perusahaan masuk kampung. Anaknya yang baru berumur tujuh tahun itu girang saja melihat mesin berat masuk kampung tanpa tahu maksudnya. Bahkan si bungsu sampai ikut-ikutan menaiki buldoser yang ingin meratakan rumah bapaknya. “Namanya dia ndak tahu, senang saja waktu ngeliat rumah dan pohon ditumbangin,� cerita Rasim. Saat buldoser selesai bekerja, rumah Rasim rata dengan tanah sama seperti rumah

TUK

YAT Teks: Arman Maulana Manurung dan Tantry Ika Adriati

LENTERA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

NAH

mana Misno tinggal. Desa tersebut merupakan salah satu dari enam desa yang dikenal sebagai Desa Padang Halaban. Enam desa itu ialah Panigoran, Sidomulyo, Karanganyar,Purworejo, Aek Korsik, dan Kartosentono. Terletak di Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, Sumatera Utara. Dua tahun sebelum rumah Misno roboh, di desa lain masih sekawasan Desa Padang Halaban, peristiwa serupa terjadi. Di Desa Panigoran ada Rasim, seorang kakek berumur 83 tahun dengan sebelas orang anak. Berbeda dengan Misno, Rasim kala itu sudah menikah dan memiliki anak.

57


LENTERA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

58

Warga Kampung Baru Sidomukti sedang berkumpul di sekretariat Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS), Selasa (6/9). Dewi Annisa Putri | SUARA USU

Misno. Kejadian yang dialami Misno dan Mbah Rasim juga dirasakan oleh masyarakat keenam desa dalam kawasan Padang Halaban. Total ada sekitar 2040 kepala keluarga yang rumahnya digusur dan dipaksa pidah tanpa ganti rugi selama rentang waktu 1968-1970. Bahkan menurut penuturan warga juga terjadi kasus penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan terhadap keluarga mereka. *** Agar memahami kronologi kon�lik, Saya diarahkan keluarga korban untuk pergi melihat makam keluarga mereka. Untuk menemukan bukti atas apa yang mereka ceritakan. Tepat di tangah kebun sawit milik PT Smart—pemilik baru kebun eks PT Plantagen AG—terdapat belasan kuburan tua, ditumbuhi semak dan rumput liar. Beberapa sudah tak diketahui pemilik liang kubur karena batu nisannya sudah rusak. Di kawasan Padang Halaban memang banyak terdapat makam tua. Bukti, kalau memang pernah terdapat perkampungan. Bukti juga atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah terjadi. “Itulah, kebun orang ini berdiri diatas tulang dan darah keluarga kami,” suara Misno cempreng karena emosi. Kon�lik antara warga desa dengan perusahaan ini merupakan rentetan dari sekian banyak kejadian dalam kurun waktu puluhan

tahun. Jika diurutkan, kronologinya bermula saat masih zaman penjajahan Jepang dan Belanda. Penduduk Desa Padang Halaban kebanyakan merupakan bekas ‘kuli kontrak’. Mereka dipindahkan dari Jawa untuk menggarap kebun milik Jepang. Saat Jepang kalah perang tahun 1945, kebun-kebun tersebut dibiarkan terlantar oleh pemiliknya. Terdesak akan kebutuhan pangan dan tempat tinggal, para buruh inisiatif untuk menguasai perkebunan. Kebun dengan luas lebih dari tiga ribu hektare itu dibagi untuk tujuh devisi. Setiap tiga kepala keluarga mendapat sekitar empat hektare tanah. Barak-barak yang biasa digunakan buruh tinggal dibongkar untuk membangun rumah baru untuk warga. Inisiatif warga diperkuat oleh seruan Soekarno, Presiden Republik Indonesia pertama. Perintah Soekarno untuk seluruh rakyat Indonesia agar menduduki dan membagi perkebunan bekas asing. Perkebunan boleh ditanami tanaman pangan guna memenuhi kebutuhan logistik. Pendudukan tanah asing ini terjadi di seluruh penjuru negeri. Rumah-rumah mulai banyak dibangun di desa setelah itu. Penduduk semakin ramai. Masyarakat mulai beralih profesi sebagai petani. Menggarap ladang miliknya sendiri. Setelah terjadinya agresi militer II, dikeluarkan Undang-undang Darurat Nomor 8 Tahun 1954. Masyarakat desa yang telah menduduki tanah rampasan perang diberikan

Kartu Tanda Pendaftaran Pendudukan Tanah (KTPPT) yang dikeluarkan oleh Kantor Reorganisasi Pemakaian Tanah wilayah Sumatera Timur. Tujuannya sebagai dasar untuk mendapatkan atau memperoleh hak yang diakui hukum seperti diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria Tahun 1960. Masa-masa itu pula paham komunis mulai memasuki tanah air. Partai Komunis Indonesia (PKI) konon mampu mengambil hati para petani dan buruh. Hingga akhirnya peristiwa Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu) mencuat. Terjadilah genosida yang entah benar atau salah didalangi oleh tuan rezim orde baru. Salah satu pembunuhan massal terburuk yang pernah terjadi di dunia. Akhir tahun 1965 kelompok-kelompok komunis dan simpatisannya—bahkan masih dugaan—ditahan, diinterogasi, dianiaya dan dibunuh baik tua atau muda. Tahun-tahun selanjutnya semua yang berbau komunis dilarang, dibakar, dan dianggap melenceng. Warga Desa Padang Halaban juga kena imbasnya. Dua tahun setelah peristiwa Gestapu, Soeharto menduduki otoritas tertinggi di tanah air. Masa orde baru setidaknya memberikan dua kerugian terhadap masyarakat Padang Halaban saat itu. Pertama, orde baru menanamkan stigma komunis pada petani dan buruh, dalam hal ini komunis dianggap sama dengan kejahatan. Kedua, militer men-


Halaban. Meski pemerintah tidak mengakui tanah itu milik mereka. Sore menjelang magrib, kelompok kecil masyarakat KTPHS—salah satunya Misno— memasuki perkebunan secara diam-diam. Mereka datang sambil membawa bahan-bahan bangunan. “Sekitar lima belasan orang kami datang, kami berencana mau buat tenda-tenda sementara untuk tinggal,” terang Misno. Tanpa sepengetahuan perusahaan, lama-kelamaan semakin banyak warga yang membuat tenda-tenda atau bangunan semi permanen lain guna ditempati seadanya. Tak hanya itu, warga juga membuka lahan pertanian dibawah sawit-sawit milik perusahaan. Bahkan ada beberapa sawit yang sengaja di suntik mati agar ladang sayur mereka lebih produktif. Sebanyak 83 hektare tanah berhasil diklaim masyarakat dari total tiga ribu hektare tanah yang masih sengketa. Kawasan itu ini yang kini diberi nama Kampung Baru Sidomukti.

Dewi Annisa Putri | SUARA USU

“Itulah, kebun orang ini berdiri di atas tulang dan darah keluarga kami.” - MISNO

LENTERA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

dapat keistimewaan guna mempertahankan rezim Soeharto , menjadikan Soeharto kebal dari ancaman, termasuk protes rakyat. Jika melawan atau menolak harus siap berhadapan dengan senjata. Mulai saat itu, pengusaha perkebunan dibantu aparat TNI/Polri dan dukungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu melancarkan intimidasi dan menuduh masyarakat desa sebagai anggota Barisan Tani Indonesia (BTI)—bagian dari PKI. Selanjutnya mengambil bukti-bukti kepemilikan tanah dari tangan masyarakat desa atau KTTPT. Pengutipan KTTPT dilakukan oleh kepala desa dari perusahaan, yaitu Yahman dengan alasan akan diperbarui. Tapi nyatanya tak pernah kembali. Setelah pengumpulan KTTPT, pada tahun 1968 terjadilah penggusuran. Saat itulah Misno, Rasim, dan masyarakat dari keenam desa kehilangan tempat tinggalnya. Harapan baru muncul saat Soeharto berhasil dimakzulkan pada Reformasi September 1998. Kesempatan ini langsung dimanfaatkan warga untuk mengklaim tanah mereka kembali. Tersebutlah nama Sumardi Syam, Ia adalah petani sekaligus korban peng-

gusuran yang berinisiatif membentuk Kelompok Tani Padang Halaban dan Sekitarnya (KTPHS). Misno dan Mbah Rasim juga serta di dalamnya. KTPHS bertujuan untuk menyatukan seluruh keluarga korban penggusuran dari keenam desa. Tuntutan mereka salah satunya adalah masyarakat boleh mengerjakan lahan kosong yang masih dalam keadaan silang sengketa dengan pihak perusahaan dan belum dapat terselesaikan urusannya. Selain itu, masyarakat menuntut agar dibolehkan mengerjakan kembali lahan yang telah dikuasai oleh pihak lain dengan ketentuan tidak melakukan perusakan dan penjarahan terhadap tanaman yang telah ada, menunggu penyelesaian administratif yang bersifat �inal. Sumardi berhasil mengumpulkan 2040 kepala keluarga (kk) atau sekitar 8160 jiwa yang menjadi korban penggusuran, penganiayaan, dan pembunuhan tahun 19681970. Berbekal kebebasan era reformasi, Sumardi lewat KTPHS intens melakukan upaya-upaya advokasi ke pemerintahan baik kota maupun pusat. Selama bertahun-tahun usaha, hasilnya tetap nihil. Hingga akhirnya masyarakat memilih mengambil inisiatif yang lebih beresiko. Tanggal 15 Maret 2009 sekitar tujuh ratus massa KTPHS melakukan aksi reclaiming di areal HGU PT Smart yang bermasalah. Akibat dari aksi tersebut pimpinan KTPHS, ketua umum dan sekretaris umum dilaporkan secara pidana ke Polres Labuhan Batu. Sumardi dikenakan pasal Pidana dan pelanggaran Undang-undang Perkebunan Nomor 18 pasal 21 dan 47. “Kami dikira menyerobot lahan perkebunan tanpa izin,” cerita Misno. Tanggal 18 Mei 2009 melalui kuasa hukum, sebanyak 2040 kk, KTPHS mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Rantau Prapat dengan register perkara 08/Pdt-G/2009/PN-Rap. Dengan tujuan agar pimpinan KTPHS dapat ditangguhkan proses pidananya dan masyarakat dapat diizinkan tinggal di areal perkebunan. Gugatan warga tak diterima. Hasil sidang hanya menjelaskan bahwa tanah tersebut milik HGU PT Simart—anak perusahaan PT Sinar Mas. Dari situ para pimpinan KTPHS termasuk Sumardi, Rasim, Misno, dan yang lainya melakukan musyawarah bersama. Mereka sepakat akan kembali lagi ke Padang

59


LENTERA | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 60

Dua anak berlarian di Kampung Baru Sidomukti, Selasa (6/9). | Dewi Annisa Putri

Hidup di Tanah Kon�lik Suwardi tak tahu lagi hendak bagaimana. Gemas. Benci. Marah. “Padahal mereka kaya (PT Smart—red). Tapi masih kukuh mau ngambil tanah warga. Warga Padang Halaban itu hanya ingin tinggal di sana, ingin hidup normal,” kata pria berusia 34 tahun tersebut. Ia adalah Ketua Ikatan Orang Hilang (IKOHI) Sumatera Utara. Suwardi masih ingat ketika IKOHI Sumatera Utara dibentuk tahun 2010 silam. Tujuan utama organisasi ini dibentuk satu; memperjuangkan hak-hak masyarakat yang mengalami pelanggaran HAM. Salah satunya memperjuangkan hakhak masyarakat Padang Halaban yang tanahnya dirampas oleh pengusaha perkebunan. Setelah IKOHI deresmikan, KTPHS yang lebih dulu dibentuk tahun 1998 lalu resmi menjadi anggota IKOHI Sumut. Sebagai organisasi baru, IKOHI lebih fokus memperjuangkan hak-hak korban pelanggaran HAM

masyarakat Padang Halaban. “Kalau mau tahu kejahatan kemanusiaan yang sempurna. Di Padang Halaban bisa kita lihat potretnya,” ungkap Adi. Menurut Adi perjuangan-perjuangan yang dilakukan warga tak pernah berbuah keadilan. Tapi ia tetap tak akan menyerah. Ia teringat salah satu ungkapan staf kepresidenan Nurfauzi Rahmat di sela-sela pertemuan mereka dulu. “Hukum yang tidak adil tidak harus dipatuhi.” “Yang paling penting, hari ini tanah mereka dikembalikan dulu,” keluh Adi. Tinggal di tanah sengketa tak membuat masyarakat Padang Halaban tak memiliki kehidupan normal. Dibantu pihak Adi, masyarakat di sana kerap mengadakan kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan produkti�itas warga. Misalnya Pasar Rebo, pasar yang buka setiap hari Rabu ini selalu menjual hasil panen masyarakat dan juga kebutuhan hidup lain.

Tahun 1962, saat kon�lik belum terjadi sebenarnya masyarakat Padang Halaban dikenal sebagai daerah penyuplai pangan dari Rantau Prapat. Tanaman bengkoang, jagung, tebu, dan ubi jadi komoditas unggulan mereka. Desa Sidomulyo juga mendapat penghargaan menjadi desa terbaik kedua di Sumut sebagai penghasil pangan terbaik. Selain itu kegiatan-kegiatan kesenian juga rajin dilakukan oleh pemudapemuda Padang Halaban. Kuda Lumping, sebuah kesenian asli Jawa itu sering digelar saat hari-hari besar. Tak jarang juga grup kesenian ini diundang ke acara kawinan atau sunatan warga sekitar. “Mereka ada, pernah ada di sini. Pernah punya prestasi. Tak semudah itu dihilangkan dari sejarah,” tutup Adi.



FIGUR | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 62

EMPAT BELAS TAHUN MENUJU MASA KEJAYAAN

Wushu identik dengan kesabaran dan ketenangan. Butuh waktu lama untuk memahami satu jurus saja. Lindswell Kwok harus rela menunggu selama empat belas tahun demi kestabilan emosi dan prestasi.


FIGUR | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 63

Dokumentasi Pribadi


FIGUR | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 64

J

ari kaki itu kembali menyentuh matras warna biru setelah berhasil berputar tiga ratus enam puluh derajat. Proses mendarat yang kurang sempurna membuatnya sedikit tergelincir. Namun ia berhasil membalas sorakan kecewa penonton dengan menyuguhkan lompatan kedua. Lompatan ini jugalah yang akhirnya mematahkan harapan kontingen asal provinsi lain untuk mendapatkan medali emas di perhelatan besar tahun ini, Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX yang diadakan di Jawa Barat sejak 16 September sampai 29 September 2016. Lindswell Kwok, atlet wushu juara dunia asal Sumatera Utara berhasil meraih dua medali emas sekaligus di perhelatan PON XIX yang dilaksanakan di aula Padjajaran, Jawa Barat pada tanggal 17-18 September lalu. Taolo taiji quan (jurus tangan kosong) dan taolo taiji jian (jurus pedang) menjadi jurus andalan Lindswell setiap mengikuti turnamen. “Walau dapat emas, aku masih belum puas karena penampilanku kurang maksimal,” ujarnya. Kestabilan emosi wajib dijaga setiap atlet wushu. Emosi yang tidak stabil bisa saja mempengaruhi kualitas atlet saat bermain di arena. Hal ini merupakan tantangan berat yang harus dikalahkan oleh Lindswell saat turun ke arena di berbagai pertandingan. Rasa gugup dan groginya saat bertanding di PON XIX beberapa waktu lalu, membuat penampilannya kurang maksimal. Ketidakstabilan emosi ini juga yang ia rasakan pada tahun 2010 silam. Setelah digadang-gadang menjadi salah satu kontingen terkuat untuk memperoleh emas di Asian Games. Indonesia dinobatkan sebagai negara pendulang emas terbanyak kala itu. Hanya menunggu satu sesi lagi untuk mewujudkan Indonesia menjadi juara umum di bidang olah raga wushu. Sayang, harapan semua orang tidak bisa diwujudkan oleh Lindswell. Ia hanya mampu menduduki posisi keenam. Tekanan dari berbagai pihak dan pengharapan dari semua lini membuat Lindswell tidak bisa menguasai perasaan dan pikirannya. Ia semakin tertekan ketika menyadiri hanya ialah satu-satunya atlet yang ditunggu untuk menyempurnakan perolehan Indonesia di Asian Games. Selain tidak bisa menstabilkan mental, kegagalan Lindswell saat itu juga dipengaruhi oleh cidera lutut yang ia alami. “Aku lebih fokus ke tujuan juaranya, bukan untuk tampil maksimal.,” ujarnya. Lindswell terpukul telak dengan kekalahannya. Ia sempat uring-uringan selama satu bulan. Rasa malu karena tidak bisa membawa Lindswell Kwok memperoleh medali emas pada World Wushu Championship 2015 di Singapura. Dokumentasi Pribadi

pulang emas membuatnya tidak berani untuk berjumpa dengan orang-orang di sekelilingnya. “Saking malunya, sempat enggak mau ikut latihan wushu lagi,” tambahnya. Pribadinya yang tertutup membuatnya susah untuk berbagi kesedihan dengan beberapa sahabat atau orang-orang terdekatnya. Perasaan malu dan malas berlatih dipendamnya sendiri. Namun ia tetap memaksakan diri untuk berlatih di padepokan. Selama sebulan, ia berlatih sesuka hati. Ha-nya saja ada beberapa senior dan juga pelatih mulai menceritakan pengalaman-pengalaman gagal mereka. “Ko Iwan—Iwan Kwok, saudara laki-laki tertua Lindswell—juga cerita gimana rasanya waktu ia gagal dulu,” sambungnya. Satu bulan bersama cerita kegagalan dari orang lain berhasil membuka mata dan membuat nya

berusaha untuk bangkit lagi. Lindswell yang awalnya hanya berlatih karena terpaksa memulai untuk mengenali dirinya kembali dengan cara mengevaluasi kesalahannya di arena pertandingan. Ia berjanji untuk memboyong emas di ajang Sea Games 2011. Semangat yang selalu ia pupuk akhirnya membuahkan hasil yang setara. Ia berhasil membawa pulang medali emas pada kategori taolo taiji jian dan taolo taiji quan. Dari awal ia telah optimis dan memprediksi akan


melihat beberapa seniornya muncul di televisi karena memenangkan berbagai macam perlombaan. Ia menunjukkan keseriusannya dengan meminta Iwan mengajarinya secara langsung. “Aku private sama Ko Iwan,� sambungnya. Iwan adalah sosok pertama yang memperkenalkan olahraga ini kepada Lindswell ketika ia masih berusia enam tahun. Iwan melihat adanya potensi luar biasa yang nanti bisa diraih Lindswell karena ia memilki postur tubuh yang cocok dengan wushu. Iwan meyakini wushu sangat baik untuk kesehatan sehingga ia memaksa Lindswell untuk berlatih sejak dini. Lindswell kecil yang sangat pintar dan memiliki tubuh yang lentur dipaksa Iwan untuk berlatih supaya ia bisa mengimbangi kepintarannya dengan emosi yang stabil. Setelah berlatih secara privat dengan Iwan, Lindswell terpilih menjadi tim inti. Hal ini tentu membawa semangat baru sekaligus masalah baru bagi Lindswell. Semangat baru karena diiming-imingi akan diajak mengikuti turnamen nasional atau akan dikirim untuk latihan ke Tiongkok. Sedangkan kabar buruknya adalah Lindswell sama sekali tidak bisa meninggalkan padepokan karena harus berlatih secara intensif. Ia hanya diizinkan pulang ke rumah orang tuanya sekali dalam seminggu. Lindswell jarang datang ke sekolah karena harus mengikuti berbagai kejuaraan dan rajin meninggalkan Indonesia untuk berlatih ke Tiongkok. Ia masuk sekolah selama tiga bulan dalam satu semester. Ia berlatih dengan tekun hingga akhirnya dinobatkan menjadi juara World Wushu Junior Championship yang diadakan di Singapura pada tahun 2008. “Aku di sini biasanya ya sama Dessy,� ujarnya memperkenalkan sahabat satu pade

FIGUR | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU |

memperoleh emas. Tahun 2011 merupakan perolehan emas kedua Lindswell setelah sukses pada pertandingan World Wushu Championship yang diadakan di Ontario, Kanada. Tahun 2011 bisa dijadikan sebagai awal dari kestabilan prestasi Lindswell. Selama empat tahun berturut-turut ia berhasil mendulang emas dari kedua jurus yang ia jagokan. Pertan-dingan berikutnya di tahun 2013, ia kembali dinobatkan sebagai World Wushu Championship yang diselenggarakan di Malaysia untuk taolo taiji jian dan taolo taiji quan. Tak berhenti di situ, ia kembali muncul di SEA Games dengan dua emas. Dalam waktu dekat ia juga akan mengikuti Taiji II yang akan diadakan di Polandia pada tanggal 13-21 Oktober mendatang. *** Wushu bukanlah seni bela diri yang diperlombakan di tingkat nasional maupun internasional. Wushu adalah seni berperang yang dipelopori oleh Negeri Tirai Bambu. Ada beberapa taktik, teknik, tipu muslihat, dan spionase yang digunakan untuk melumpuhkan lawan. Tak bisa dipungkiri, terkadang jumlah lawan lebih banyak dibandingkan jumlah tentara yang diturunkan. Jika tidak menguasai teknik berperang dengan baik, dalam sekejap tentara akan habis terbunuh. Wushu memiliki banyak aliran dan jurus. Lindswell yang memiliki karakter lembut dan bergerak lambat difokuskan untuk mendalami taolo taiji jian dan taolo taiji quan. Bruce Lee dengan karakter tegas dan pergerakan yang cepat akhirnya mendalami jurus yongchunquan atau lebih dikenal dengan wing chun, dan Jet Li berhasil menyabet juara dunia selama lima kali berturut-turut karena jurus tinju dan daoshu. Jika dikatakan belajar wushu adalah melatih kesabaran, Lindswell tersenyum mengiyakan. Dibutuhkan waktu yang luar biasa lama untuk bisa mahir di satu jurus saja. Bagi mereka yang beranggapan dua tahun adalah waktu yang lama, agak susah untuk belajar wushu. Sebab belajar satu jurus wushu bisa menghabiskan waktu hingga lima tahun lebih. Walaupun sudah bersentuhan dengan wushu sejak kecil, namun ia baru tertarik untuk menekuninya pada usia sebelas atau dua belas tahun. Awalnya Lindswell dipaksa oleh kakak tertuanya Iwan Kwok untuk ikut berlatih. Namun ia sama sekali belum tertarik. Ia selalu malas untuk datang latihan apalagi kalau berlatih dengan pelatih yang galak. Semasa kecil, Lindswell tidak menyukai azas kedisiplinan yang diterapkan di padepokannya, Yayasan Kusuma Wushu Indonesia (YKWI) Medan. Setiap anak yang datang terlambat akan diberi hukuman. Ia termotivasi setelah

65

Dokumentasi Pribadi


FIGUR | MAJALAH MAHASISWA SUARA USU | 66

TANTRY IKA ADRIATI | SUARA USU

“kalau berhadapan dengan indonesia, mereka bakal bikin stratefi khusus.” - Lindswell Kwok

Lindswell Kwok memperoleh medali emas pada World Wushu Championship 2015 di Singapura. TANTRY IKA ADRIATI | SUARA USU

pokannya Dessy Indri Astuti. Mereka pertama kali berjumpa saat masih menjadi murid anak-anak di YKWI. Dessy dan Lindswell juga termasuk ke dalam tim inti dan sering dikirim untuk berlatih ke Tiongkok. Namun Dessy tidak aktif lagi untuk bertanding karena ia harus fokus menyelesaikan studi ilmu kedokterannya di USU. Dessy menyebut Lindswell adalah sosok yang perfeksionis dalam segala bidang. Ia selalu memperhitungkan penampilannya supaya tetap maksimal. Lindswell dan Dessy terkekeh mengenang masa-masa mereka baru tamat SMA dan mendapatkan kebebasan untuk bepergian. Biasanya mereka berburu kuliner hingga pukul 22.00 WIB kemudian kembali ke padepokan untuk ber-istirahat. Hal yang rutin mereka lakukan adalah saling memijit untuk merilekskan kembali otot-otot setelah berlatih dari pagi sampai sore. Dessy dan Lindswell pernah mengalami masa-masa sulit dan bosan ketika harus di- karantina. Mereka sama sekali tidak diizinkan pergi, “Paling kita cuma pergi makan saja selesai latihan, kan Des?” ujar Lindswell memastikan. Bagi Dessy Lindswell adalah sosok yang tegas, berprinsip dan disiplin dalam berlatih. Ia juga tidak bisa meragukan kualitas Lindswell saat ini karena perkembangan Lindswell terbilang pesat jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya. “Wajar sih dia muncul dengan sosok-nya yang sekarang,” tutup Dessy. Hasil jerih payah Lindswell untuk berlatih akhirnya mampu membawa nama Indonesia diperhitungkan di kancah internasional. Kemampuan Lindswell saat ini dianggap Iwan sebagai hal yang menggembirakan. Video Lindswell saat berlatih atau sedang mengikuti turnamen banyak dipakai oleh padepokan wushu di negara lain sebagai acuan dalam berlatih. *** “Aku mau pensiun,” ujarnya kemudian diikuti senyum. Menggeluti wushu dari usia enam tahun hingga ia berumur dua puluh lima tahun saat ini telah membuatnya puas untuk berbagai pencapainnya. Ia

akan mecoba hal baru dengan dunia yang baru juga. Namun ia belum bisa memastikan tahun berapa ia akan benar-benar berhenti dari dunia wushu. Untuk PON berikutnya, ia telah memastikan untuk tidak ikut berpartisipasi lagi. bukan takut akan usianya yang nanti sudah menginjak dua puluh delapan tahun. Hanya saja ia ingin mencoba hal baru, seperti mendirikan bisnis atau mungkin saja menikah. “Karena perempuan enggak harus sampai yang gimana kali pencapainnya, ya!” ujarnya sambil tertawa. Lindswell merasa cukup puas setelah berhasil mendapatkan medali emas di Sea Games yang diadakan di Singapura tahun lalu. Namun saat ini ia masih belum bisa berhenti dari dunia wushu. Sebab ada beberapa pertandingan yang harus ia ikuti seperti Taiji Jian II di Polandia di tanggal 13-21 Oktober mendatang. Setelah pensiun nanti ia berharap wushu tetap terkenal tidak hanya di Medan tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Karena wushu termasuk cabang olah raga baru yang dikembangkan di Indonesia, tidak jarang ia menjumpai orangorang yang tidak mengetahui apa itu sebenarnya wushu. Ia mengaku kewalahan untuk menjelaskan kepada masyarakat jika mereka mempertanyakan oleh raga wushu. Prestasi Indonesia yang cukup baik di mata Internasional harus ditingkatkan lagi oleh para penerusnya nanti. Saat ini di mata dunia Indonesia termasuk negara yang diperhitungkan, “Kalau berhadapan dengan Indonesia, mereka bakal bikin strategi khusus,” ungkapnya. Selain eksistensi yang harus dipertahankan, ada hal-hal yang harusnya diperhatikan oleh pelatih dan juga pengurus yayasan. Ego masing-masing dan keinginan untuk muncul sebagai yang terbaik harus dikesampingkan sebab ada generasi baru yang harus diperhatikan.




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.