EDISI
104
XX/SEPTEMBER 2015
Rp 3000 ISSN 1410-7384
SUARAUSU.CO
KAMPUNG BALI
BERJUANG AGAR TAK HILANG PODJOK SUMUT
sAKSANG, MASAKAN KHAS BATAK YANG BUKAN ASLI BATAK PODJOK BUDAYA
2 suara kita lepas Redaksi
T
erlihat jelas USU sedang dalam masa gusar mengenai akreditasi universitas. Tahun lalu puluhan program studi (prodi) yang dianggap memiliki potensi nilai akreditasinya naik dibimbing langsung oleh Unit Manajemen Mutu (UMM). Mulai dari cara pengisian borang, perbaikan, hingga visitasi. Dimanamana digaungkan betapa setiap elemen memiliki peran dalam kenaikan nilai akreditasi. Mulai ketua prodi hingga pidato PJ Rektor Prof Subhilhar saat perayaan dies natalies USU Agustus silam. Bahkan dalam Rencana Jangka Panjang (RJP) USU tercantum USU menargetkan akreditasi A pada 2019. Tahun ini, lebih gencar lagi.
suara redaksi Salam Jurnalistik!
Setelah rehat panjang pascatabloid edisi 103 dikarenakan liburan, kini kami kembali haturkan tabloid edisi 104 ke hadapan pembaca sekalian. Sesuai komitmen kami, edisi ini kami selesaikan dengan penyempurnaan di segala lini demi kepuasan para pembaca. USU harus ‘berlari’, mengejar pendapatan nilai akreditasi menjadi A—sekarang akreditasi USU B—pada 2017 nanti, karena USU harus memenuhi permintaan Kemenristek-Dikti untuk mendapat akreditasi A mengingat USU sudah berstatus PTN-BH. Lalu, bisakah USU menepatinya mengingat hanya kurang lebih sepuluh persen program studi di USU yang A? Apa-apa saja yang hal khusus yang harus dilakukan USU mengingat waktu yang tak banyak? Kalau tidak bisa,
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
USU Kejar A pada 2017
suara pembaca
Beberapa tim percepatan dibentuk langsung oleh PJ Rektor untuk menuntaskan permasalahan. Salah satunya Tim Percepatan Akreditasi yang diharapkan bisa membimbing langsung prodi-prodi yang akan melakukan reakreditasi. Jelas USU sedang diburu-buru waktu. Alhasil usaha yang dilakukan pun hanya untuk ‘A di 2017’ bukan ‘A untuk selamanya’. Maklum, mungkin untuk menyelamatkan status Perguruan Tinggi Negeri-Badan Hukum (PTN-BH). Padahal harusnya USU melaksanakan solusi jangka panjang. Penambahan staf pengajar yang mumpuni, membangun fasilitas yang layak dan mencukupi untuk prodi, memfasilitasi kegiatankegiatan mahasiswa, pemahaman akan pentingnya nilai akreditasi dan sadar akreditasi ke seluruh lapisan warga USU hingga pembenahan manajemen kampus—masalah MWA dan rektor yang berlarut-larut tahun lalu jelas
poin minus untuk menunjukkan ‘kemandirian’. Kelak semua itu akan menjadi investasi. Investasi lain adalah membagi dana Rp 40 juta per prodi yang digunakan selama proses reakreditasi untuk pendanaan pengadaan fasilitas yang lain. Toh, dana yang dibutuhkan bisa ditekan oleh prodi. Lalu apa masalahnya? Masalahnya USU masih berakreditasi B, dan menjadi satu-satunya universitas yang berstatus PTN-BH. USU diberi waktu oleh Kemenristek-Dikti untuk mendapat nilai A saat reakreditasi 2017 nanti. Kalau tidak, status PTNBH dalam ancaman. Siapa tahu? Ada dua kemungkinan, PTN-BH dicabut atau Kemenristek-Dikti berbaik hati memberikan perpanjangan waktu. Meskipun rasanya mustahil, PTN-BH dicabut jelas bukan opsi. USU Kejar A di 2017? Siapa tahu.
apakah status PTN-BH yang dimiliki akan terancam? Mari, pelajari penyebab dan solusi terkait hal ini yang dirangkum dalam Laporan Utama. Dikupas secara mendalam komunitas waria yang ada di Kota Medan dalam Laporan Khusus. Bagaimana dan karena apa mereka berdiri, kapan berdirinya, bagaimana kegiatannya dan apa tujuannya. Serta sejauh mana komunitas ini memiliki dampak terhadap waria-waria yang dinaunginya. Cukup efekti�kan komunitas ini dalam perwujudan niat memberikan pendidikan terhadap para waria muda? Ada Bali Kecil di Serdang Bedagai di rubrik Podjok Sumut. Siapa sangka pada tahun 1960-an ada transmigrasi masyarakat Bali ke banyak daerah di Indonesia, salah satunya Desa Pegajahan, Perbaungan, Serdang Bedagai. Saat itu jumlahnya tak banyak, kurang lebih 100-an orang, kini jumlahnya masih tak banyak, kurang
dari 10 orang. Di dalamnya ada pura yang dijadikan tempat ibadah yang dibangun sejak 1990an dan kini dijadikan tempat wisata Kabupaten Serdang Bedagai. Benarkah demikian? Cukupkah perhatian pemerintah atas keberlangsungannya? Penikmat Saksang? Kami sajikan sejarah dan makna-makna di dalam pembuatan serta penyajiannya dalam Potret Budaya. Salah satu kuliner ekstrem khas Batak ini tentu saja dinikmati oleh banyak kalangan sekarang, meski tak semua yang tahu pasti sejarahnya. Sekian kata pengantar dari Redaksi SUARA USU, salam hangat dari awak SUARA USU. Semoga informasi yang kami berikan dapat bermanfaat dan membawa perubahan bagi diri sendiri dan kampus kita. Sampai ketemu di tabloid edisi selanjutnya. Selamat membaca!
Taman di USU Tak Terawat
Selain di depan Biro Rektor, taman di USU enggak terawat. Lihat saja yang di depan Fakultas Teknik, pohon-pohonnya enggak dirapikan. Di Fakultas Kedokteran juga. Maunya taman-taman di USU ini kayak di Jawa. Nengok-nya pun indah. Zuhdina Kamallah Fakultas Kedokteran 2013
Percepat Sepeda Kampus
Sepeda kampus tampaknya belum beroperasi juga. Meskipun ada haltenya, tapi itupun digembok, padahal harusnya sudah bisa dipakai mahasiswa. Bus kampus enggak cukup efektif, nunggunya lama, jadi sepeda kampus bisa jadi solusi. Semoga pengoperasiannya dipercepat dan jumlahnya cukup untuk seluruh mahasiswa USU. Syahril Hamdi Fakultas Kesehatan Masyarakat 2013
suara sumbang KTM 2014 sudah selesai Punya mahasiswa 2015 kapan nyusul?
YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU
KPU USU 2015 resmi terbentuk Asal jangan pelaksanaan pemira baru di tahun 2016 aja.
konten
WAWANCARA | Suasana wawancara calon anggota magang Pers Mahasiswa SUARA USU 2015, Minggu (20/9). Pers Mahasiswa SUARA USU melakukan rekrutmen terbuka dua kali dalam setahun tiap awal semester baru. VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
suara kita laporan utama opini dialog ragam galeri foto podjok sumut laporan khusus mozaik potret budaya riset resensi iklan momentum profil
2-3 4-7 8 9 10-11 12 13 14-15 16-17 18 19 20 21-22 23 24
SUARA USU, EDISI 103, SEPTEMBER 2015
kata kita
suara kita 3
Ritual Penyambutan Mahasiswa Baru di USU
B
TEKS DAN FOTO: DEWI ANNISA PUTRI
udaya penyambutan mahasiswa baru (PMB) di USU sudah berlangsung sejak tahun-tahun sebelumnya. Penyambutan ini beragam jenis dan jumlah hari berlangsungnya. Wakil Rektor III bahkan sejak dua-tiga tahun terakhir mengeluarkan surat edaran yang melarang berlangsungnya inaugurasi—penyambutan mahasiswa di program studi masing-masing. Meskipun masih tetap mengizinkan pelaksanaan PMB di fakultas masing-masing dengan penekanan tak ada perpeloncoan. Selalu ada pro dan kontra tentang pelaksanaan PMB tahun ini. Lalu apa kata mahasiswa USU tentang hal ini? DESAIN SAMPUL DAN ILUSTRASI: ALFAT PUTRA IBRAHIM
Diterbitkan Oleh: Pers Mahasiswa SUARA USU Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Wakil Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Lazuardi Pratama Sekretaris Umum: Shella Ra�iqah Ully Bendahara Umum: Rati Handayani Pemimpin Redaksi: Sri Wahyuni Fatmawati P Sekretaris Redaksi: Yanti Nuraya Situmorang Koordinator Online: Tantry Ika Adriati Redaktur Cetak: Arman Maulana Manurung Redaktur Foto: Wenty Tambunan Redaktur Artistik: Anggun Dwi Nursitha Redaktur Online: Yulien Lovenny Ester Gultom Reporter: Dewi Annisa Putri, Nurhanifah, Lita Adelia Matondang, Siska Armiati Fotografer: Vanisof Kristin Manalu Desainer Gra�is: Yanti Nuraya Situmorang, Alfat Putra Ibrahim Ilustrator: Yulien Lovenny Ester Gultom, Arman Maulana Manurung, Alfat Putra Ibrahim Pemimpin Perusahaan: Ika Putri Agustini Saragih Manajer Iklan dan Promosi: Amelia Ramadhani Desainer Gra�is Perusahaan: Andreas Hutagalung Staf Perusahaan: Deli Listiani Kepala Litbang: Fredick Broven Ekayanta Ginting Sekretaris Litbang: Mutia Aisa Rahmi Koordinator Pengembang an SDM: Amanda Hidayat Koordinator Riset: Santi Herlina Staf Pengembangan SDM: Amanda Hidayat Staf Kepustakaan: Eka Wahyu Sundari Staf Ahli: Tikwan Raya Siregar, Liston Aqurat Damanik, Eka Dalanta, Firdha Yuni Gustia, Richka Hapriyani, Bania Cahya Dewi
ISSN: No. 1410-7384 Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 E-mail: suarausu_persma@yahoo.com Situs: www.suarausu.co Percetakan: Kevin’s Percetakan (Isi di luar tanggung jawab percetakan) Tarif Iklan: Rubrik Ragam (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Opini (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Potret Budaya (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Dialog (BW) Rp 800/mm kolom, Rubrik Riset (FC) Rp 1200/mm kolom, Rubrik Momentum (BW) Rp 800/mm kolom, Halaman Iklan (BW) Rp 500/mm kolom, Rubrik Pro�il (FC) Rp 1500/mm kolom Informasi Pemasangan Iklan dan Berlanggan an, Hubungi: 085762303896, 085763407464 Redaksi menerima tulisan berupa opini, puisi, dan cerpen. Untuk opini dan cerpen, tulisan maksimal 5000-7000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan. Tulisan dapat dikirim ke email suarausutabloid@ymail.com
Adinda Namira Fakultas Hukum 2015 PMB perlu untuk mengenal universitas lebih jauh. Kalau perpeloncoan, semoga ke depannya di USU, kegiatan PMB-nya lebih mendidik, enggak ada kekerasan dan enggak ada menimbulkan trauma karena bagaimana pun kita mahasiswa terpelajar.
Amelia Liliska Damanik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2014
Ajang perpeloncoan itu enggak boleh. Jangan sampai mahasiswa baru jadi punya rasa trauma untuk kuliah, jangan sampai menanamkan hal itu. Tapi yang ditanamkan adalah agar mereka disiplin dan sopan terhadap senior, itu sudah cukup. Jadi sistem PMB yang baik itu yang mendidik. Jangan dikerjain mahasiswa barunya, cukup dikasih tahu untuk menjaga kesopanan pada senior. Cara melatih mental kan enggak perlu dibentak, karena malah bisa merusak mental dan psikologi mereka.
Muhammad Shiddiq Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2012
Perpeloncoan saat PMB, itu kan disorientasi jadinya, udah berbeda dari fungsi yang sebenarnya. PMB, pengenalan kampus. Sebenarnya kalau memang sudah budaya kampusnya menurut saya enggak masalah, tapi kalau sampai ada kekerasan ya enggak cocok. Menurutku sih, PMB itu jangan terlalu lembek kali seperti di FEB yang mahasiswa barunya cuma duduk-duduk saja dengarin senior ngomong, tapi jangan sampai disuruh masuk parit seperti Fakultas Pertanian. Yang wajar-wajar sajalah seperti pemakaian atribut.
Ika Nurhasla Nasution Fakultas Ilmu Budaya 2012
Saya setuju ada PMB karena berguna untuk saling memperkenalkan mahasiswa baru, dan kalau enggak ada PMB pun kayaknya sepi. Menurut saya ngerjain dan nyuruh-nyuruh mahasiswa baru itu boleh, tapi jangan pakai kekerasan seperti enggak mendidik dan mahasiswa baru jangan sampai dibikin seperti hewan. Ke depannya semoga PMB tetap ada tapi jangan ada kekerasan dan lebih tertib.
Andhika Fakultas Psikologi 2011
Soal perpeloncoan, saya lihat ada bagusnya keras saat PMB. Di Psikologi enggak keras, tapi disiplin. Tapi seperti Fakultas Teknik dan fakultas lain yang melaksanakan PMB sesuai budaya dari tahun ke tahun, enggak bisa dibilang salah juga. Dan mahaasiswa baru memang butuh dididik untuk jadi orang yang keras, asalkan jangan sampai ada korbanlah. Jadi menurut saya itu wajar. Ke depannya, disamaratakan saja sistemnya dan sebelumnya harus dilakukan survei di tiap fakultas untuk melihat bagaimana baiknya.
Jason Fakultas Kedokteran 2013 Pertama, kalau enggak ada PMB mahasiswa baru tidak akan tahu kampusnya seperti apa dan tak mengenal senior. Untuk perpeloncoan, sebenarnya maksud senior itu baik, tapi caranya yang salah. Wajar-wajar saja sih, karena si senior dulu seperti itu juga. Tapi memang ada baiknya kalau niatnya mau ngajarin jangan pakai kekerasan.
4 laporan utama
Catatan Kerja Akreditasi USU SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
Catatan Kerja Akreditasi USU LENGANG| Seorang mahasiswa sedang melihar rak berisi jurnal penelitian yang ada di Perpustakaan USU, Senin (21/9). Jurnal penelitian merupakan salah satu standar yang menjadi penilaian dalam akreditasi.
SRI WAHYUNI FATMAWATI P | SUARA USU
Koordinator Liputan: Santi Herlina Reporter: Sri Wahyuni Fatmawati P, Amelia Ramadhani, Vanisof Kristin Manalu, dan Santi Herlina Santi Herlina
Dapatkan B saat reakreditasi 2012 lalu. Segala upaya dilakukan untuk kejar B di reakreditasi selanjutnya. Sebenarnya, USU kurang dimana?
M
uhammad A n g g i a M u c h t a r merasa puas d e n g a n pencapaian dirinya beserta rekan-rekan. Pada 2013 lalu, ia dan civitas akademik Program Studi (Prodi) Ilmu Komputer menerima kabar dari Badan Akreditasi NasionalPendidikan Tinggi (BAN-PT) kalau mereka mendapat nilai B untuk reakreditasi yang mereka lakukan beberapa bulan sebelumnya. Setidaknya, nilai ini sudah cukup dan memang pantas didapatkan Ilmu Komputer. Nilai B itu tak serta merta sedari awal didapatkan Ilmu Komputer. Hasil pertama yang diberikan BAN-PT adalah C dengan jumlah skor sebanyak 300 poin. Merasa tak puas dengan nilai yang diberikan, Anggi—biasa ia disapa—mengajukan banding ke BAN-PT. Pasalnya, Ilmu Komputer butuh satu poin lagi untuk mendapat
nilai akreditasi B. Jadilah pengajuan disegerakan dengan perbaikan dari hasil visitasi assessor sebelumnya. Ada kurang enam pertanyaan waktu yang dipertanyakan oleh assessor yang tidak dijawab dan diberikan data dengan rinci dan baik oleh Ilmu Komputer. Salah satunya adalah proses perwalian oleh dosen kepada mahasiswa di prodi. Apakah ada bukti bahwa terjadi proses perwalian oleh dosen kepada mahasiswa di prodi? Anggi heran. Tentu saja ada proses perwalian itu, tapi bagaimana cara membuktikannya? Cara melampirkan dokumentasinya? Ini terlalu abstrak. Tidak mungkin ratusan perwalian mahasiswa didokumentasikan dalam bentuk video, tentu sangat tidak efektif. Jadilah Prodi Ilmu Komputer mengeluarkan borang pernyataan yang menyatakan telah terjadi perwalian oleh dosen kepada mahasiswa dan wajib diisi oleh tiap mahasiswa yang kemudian diarsipkan dan diberikan kepada BAN-PT. Hingga kini borang tersebut masih digunakan. Hasil akhir keluar. Prodi Ilmu Komputer mendapat
nilai akreditasi B. Sama dengan nilai akreditasi sebelumnya. Anggi bisa bernapas lega setelahnya. Dengan nilai akreditasi B, Prodi Ilmu Komputer tentu tak perlu cemas-cemas memikirkan nasib jebolan almamaternya kelak saat mencari pekerjaan. Wakil Rektor I Prof Zulkifli menuturkan, seperti prodi Ilmu Komputer, Fakultas Kedokteran juga sempat melakukan proses visitasi assessor setelah melakukan reakreditasi dan mendapat akreditasi B, namun setelah mengajukan banding Fakultas Kedokteran tetap mendapat akreditasi B. Hal lain di alami Prof Ikhwanuddin Nasution, Kepala Prodi Sastra Indonesia sebutkan penelitian di Sastra Indonesia sudah membaik dibanding lima tahun yang lalu. Untuk jumlah ia tak ingat pasti, tapi sejak dua-tiga tahun terakhir penelitian juga turut dilakukan oleh mahasiswa. Prof Ikhwanuddin katakan, pada dasarnya prodi menargetkan masing-masing dosen setidaknya melakukan penelitian minimal sekali dalam setahun. Andai semua dosen melakukannya, tentu jumlah penelitian akan baik adanya. Sistem yang sama diterapkan di Psikologi dan Keperawatan. Meskipun
hingga kini penelitian masih banyak dilakukan dengan menggunakan dana penelitian yang disediakan universitas, tidak semua melalui dana bersaing Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti). Sedikit demi sedikit jumlah penelitian meningkat meski memang tak sesuai yang diharapkan. Satu orang per dosen tiap tahunnya, papar Wakil Dekan (WD) I Fakultas Psikologi Sri Supriyantini. Perihal sedikitnya jurnal ilmiah ini, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) lakukan upaya dengan cara mengumpulkan penelitian mahasiswa yang kemudian akan diteliti ulang oleh dosen hingga layak menjadi jurnal ilmiah berbasis nasional maupun internasional. Salah satunya dalam hal inilah civitas akademika mesti turut ambil peran untuk pencapaian bersama, disampaikan oleh Husnan Lubis, WD I FIB. Pejabat Rektor Prof Subhilhar mengatakan kecilnya minat meneliti mahasiswa juga dosen menjadi masalah dari tahun ke tahun. Jikalau pun ada yang berniat meneliti namun tak dilaporkan ke fakultas untuk didokumentasi. Tak hanya itu, kerja sama dan tidak setaranya rasio jumlah
dosen pun jadi kendala USU dapatkan akreditasi A. Psikologi contohnya, fakultas ini juga belum bisa dikatakan cukup untuk jumlah dosen yang ideal. Ada 49 orang jumlah dosen di Psikologi, Doktor sebanyak empat orang sedang melanjutkan pendidikan doktor dan tiga orang lagi akan menyusul. Sebenarnya jumlah ini cukup baik dibandingkan lima tahun lalu saat Psikologi belum memiliki banyak Doktor. Pun begitu Psikologi tetap masih belum ada di rentang ideal antara jumlah dosen dan mahasiswa. Keperawatan juga alami hal yang sama. Puncaknya, D-III Keperawatan tidak menerima penerimaan mahasiswa baru tahun ajaran ini dengan pertimbangan dan harapan jika jumlah mahasiswa ditekan (tidak bertambah) rasio akan semakin kecil antara mahasiswa dan dosen. Apalagi, S-2 Keperawatan masih sangat langka di Indonesia, mengingat program studi ini masih terbilang ‘muda’. Butuh banyak tenaga, kuota selalu ada setiap tahun, tapi selalu tidak ada SDM-nya. Kini Keperawatan ada di rasio 1:30 antar dosen dan mahasiswa. WD I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Zakaria mengatakan untuk saat ini akreditasi prodi di FISIP rata-rata baik, meskipun juga terkedala hal yang sama, rasio dosen dan mahasiswa yang berakibat dengan mengurangi penerimaan mahasiswa baru, Ilmu Komunikasi contohnya. Selain itu Zakaria menuturkan rendahnya rata-rata indeks prestasi kumulatif (IPK) mahasiswa yang menjadi kendala. “Mahasiswa lama tamat,” tambahnya. Masalah dosen ini yang sebenarnya belum memiliki solusi dari tahun ke tahun selain menjadikan beberapa dosen menjalani bidang ilmu lebih dari satu. Karena penerimaan dan pemberian dosen ada di dalam wewenang KemenristekDikti dan jumlah SDM yang ada. Berbeda dengan masalah di Departemen Sastra Daerah, Prodi Sastra Melayu dan Sastra Batak hingga kini tak miliki Tata Pamong atau struktur pimpinan
Catatan Kerja Akreditasi USU SUARA USU, EDISI 104, september 2015
departemen atau program studi, padahal tata pamong masuk ke dalam satu dari tujuh instrumen standar akreditasi yang harus di nilai. “Jadi kalau tata pamongnya tidak ada, semua poin akan nol,” jelas Husnan. Pun dengan Departemen Sastra Cina, departemen ini sempat keluar wacana akan ditutup jika tak juga ada dosen tetap. Departemen Sastra Cina ini tak punya dosen tetap sejak berdiri. Tahun lalu, departemen ini lakukan reakreditasi, namun karena persyaratan borang reakreditasi tak terpenuhi jadilah proses reakrediatasi ini tak ditindaklanjuti. Untuk mengakali masalah tersebut, Prof Subhilhar coba berikan solusi, ia bilang tata pamong itu bisa dijabat oleh satu orang untuk beda tata pamong, “Tidak masalah rangkap jabatan jadi Ketua Departemen sekaligus Ketua Prodi,” ujarnya. Sedang untuk Departemen Sastra Cina, Prof Subilhar mengatakan tahun ini sudah ada enam dosen tetap non-PNS dengan surat keputusan (SK) universitas. Selain masalah yang melibatkan tujuh standar yang ada, masalah reakreditasi juga mencakup cara pengisian dan pemahaman borang reakreditasi. Poltak Sihombing, Kepala Prodi Ilmu Komputer sampaikan, USU harusnya melakukan upgrading kepada para pegawai atau pihak-pihak yang terlibat dalam pengerjaan borang reakreditasi, agar pemahaman yang terbentuk di USU menjadi satu, agar tidak mengalami kesalahan pengisian borang yang tentu akan berakibat buruk pada hasil akreditasi. Sering kali, prodi salah mengisi jawaban karena tidak memahami dengan benar bentuk pertanyaannya, dan salah memberikan jawaban yang seharusnya. Bisa berupa jawaban atau pendokumentasian. Anggi juga setuju kalau salah satu kendala adalah tidak adanya standar operasional (SOP) yang satu dan diikuti oleh USU dalam pengisian borang yang melibatkan pengarsipan dan pendokumentasian. Karena ini tentu saja akan menjadikan prodi tidak memiliki panduan. “Istilahnya, salah dulu baru tahu apa yang mau dikerjain. Kenapa tidak diberi tahu dari awal saja. Agar tidak dua kali kerja,” paparnya. Husnan membenarkan hal tersebut, kendala yang paling terasa di fakultasnya itu sebenarnya adalah
kesalahan pengisian borang oleh prodi, “banyak yang salah memahami maksud pertanyaan, alhasil jawabannya salah,” paparnya. Dari pihak dekanat sendiri sudah membuat solusi sebagai upaya mengatasi masalah yang kini menjadi kendala yakni dengan melakukan simulasi pengisian borang kepada program studi yang akan melakukan akreditasi. Pengarsipan dan pendokumentasian kegiatan prodi yang berhubungan dengan ketujuh standar harus dilakukan sedari awal. Sejak awal masa reakreditasi dimulai, tidak baru dilakukan saat setahun sebelum masa reakreditasi akan berakhir. Biasanya panitia penyusunan borang akreditasi dibentuk setahun sebelum akreditasi berakhir. USU juga memberikan bantuan terkait pengerjaan borang ini, yaitu pemberian dana sebesar Rp 40 juta per prodi yang diberikan sejak 2014 silam. Dana ini digunakan selama proses pengisian borang reakreditasi. Diberikan secara bertahap sesuai dana yang diajukan oleh prodi. Sastra Indonesia sudah menggunakan kurang lebih Rp 13 juta dan Psikologi belum mengambil dana tersebut, karena akan diberikan nanti saat pengerjaan borang sudah selesai dilakukan. “Kerja dulu, baru diberikan honornya,” sahut WD I Psikologi tersebut. Untuk dana Rp 40 juta yang diberikan kepada fakultas yang akan melakukan reakreditasi nantinya akan digunakan untuk kelancaran proses reakreditasi seperti fotokopi, gaji tim pembuat borang dan lain-lain. Prof Subhilhar menuturkan kalau sistem ini sudah ada sejak lama, perihal sistem pembagiannya dana tersebut akan diberikan kepada dekanat fakultas, nantinya prodi yang meminta dana tersebut secara bertahap sesuai kebutuhan fakultas. *** Akreditasi adalah kegiatan penilaian program dan atau institusi pendidikan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Masa akreditasi berlaku selama lima tahun, dan sebelum mendekati tenggat, harus sudah dilakukan pengajuan akreditasi kembali. Borang adalah formulir berisi poinpoin dan pernyataan instansi yang kemudian menjadi bahan acuan assessor saat meninjau. Assessor biasanya berasal dari perguruan tinggi di Indonesia yang sudah
laporan utama 5
KUSAM| Plang nama Fakultas Keperawatan, Minggu (27/9). Fakultas Keperawatan memutuskan tidak membuka penerimaan mahasiswa baru untuk Program Studi D-III Keperawatan dengan pertimbangan ini merupakan solusi untuk menekan rasio dosen dan mahasiswa. VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
diseleksi BAN-PT. Ada tujuh standar; kurikulum, proses pembelajaran, kompetensi kelulusan, pendidikan dan tenaga pendidik, sarana dan prasarana, pengelolaan satuan pendidikan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan. Data terakhir yang didapat dari Bagian Pendidikan Biro Rektor USU, hingga kini tercatat ada 155 prodi dengan hanya 9,03% berakreditasi A, 52,25% b0erakreditasi B, 19,36% berakreditasi C, 9,68% sedang proses reakreditasi dan sisanya sedang pengajuan akreditasi untuk pertama kalinya. Prof Zulkifli mengatakan, jika dirumuskan ada
beberapa kendala yang jadi permasalahan mengapa USU belum capai akreditasi A. Pertama akreditasi prodi yang masih banyak di bawah A, jumlah dosen yang tidak seimbang, kurangnya pengelolaan keuangan dan pengelolaan manejemen seperti laboratorium dan fasilitas. Dengan upaya-upaya yang dilakukan dan yang akan direncanakan sebenarnya tak lepas dari peran penting dari semua elemen civitas akademika USU secara keseluruhan, Prof Zulkifli bilang akreditasi itu adalah usaha jurusan, fakultas juga universitas yang ditunjukkan detik per detik yang dilakukan dan dituliskan dalam satu borang.
Prof Zulkifli mengaku sejauh ini upaya yang dilakukan mulai berprogres, namun masalahnya progres tersebut terkesan sangat lambat, “Dari tahun ke tahun sebenarnya kita selalu ada peningkatan, cuma geraknya lambat,” tutup Prof Zulkifli. Ditambahkan Prof Zulkifli, menurutnya jangan hanya universitas yang semangat untuk menaikkan akreditasi ini, namun semua elemen civitas akademika USU juga harus berkomitmen bersama-sama terkhusus untuk departemen sendiri, karena akreditasi adalah tugas bersama. “Mahasiswa yang tamat tepat waktu akan sangat membantu,” sahutnya.
6 laporan utama
USU: Persiapkan Langkah Nyata untuk A pada 2017 SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
USU:
Persiapkan Langkah Nyata untuk A pada 2017 Koordinator Liputan: Anggun Dwi Nursitha Reporter: Lazuardi Pratama, Mutia Aisa Rahmi, Alfat Putra Ibrahim dan Anggun Dwi Nursitha
USU
| Tampak depan Gedung Biro Rektor, Minggu (27/9). USU diberikan tenggat untuk mendapat nilai akreditasi A pada 2017 nanti. VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
Anggun Dwi Nursitha
USU harus tingkatkan akreditasi menjadi A pada 2017 nanti. Banyak yang harus dipersiapkan dan ini bukan perjuangan satu pihak saja. Lalu, sudah cukupkah usaha itu? USU mendapat status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN-BH) pada 2014 lalu. Bersama enam universitas lainnya saat itu, USU memiliki keleluasaan ‘manajemen diri sendiri’. Diberikan kewenangan mengurus keuangan universitas sendiri dan bebas mencari dana bukan pajak. Setelah menjadi PTNBH, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti)
mengeluarkan persyaratan bahwa tiap universitas dengan status PTN-BH harus berakreditasi A. Pun yang akan terpilih selanjutnya. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) menyurati USU, tepat saat Prof Subhilhar naik menjadi Pejabat (Pj) Rektor untuk meningkatkan akreditasi di tiap program studi (prodi) menjadi A, diberi waktu hingga 2017. Tak tanggungtanggung, Prof Subhilhar langsung membentuk lima tim percepatan USU. Tim ini dibentuk untuk meningkatkan dan memperbaiki kualitas dan mutu USU. Tentunya perbaikan mutu ini juga berpengaruh dalam meningkatkan akreditasi. Satu di antaranya adalah Tim Percepatan Akreditasi,
diadakan karena diyakini harus ada lembaga khusus yang fokus pada akreditasi. “Makanya dibentuk tim ini untuk memikirkan dan memfasilitasi apa yang diperlukan mengenai akreditasi,” tuturnya. Tim percepatan akreditasi yang ditanggung jawabi oleh Prof Subhilhar dibentuk pada 19 Agustus 2015. Tim ini bekerja untuk memfasilitasi program studi yang ingin mempercepat proses akreditasi dan meningkatkan nilai akreditasi. Ada beberapa bagian di dalamnya. Seksi Pendampingan Prodi, Seksi Penilaian dan Asesmen— memberikan usulan kepada assessor internal dan eksternal, Seksi Informasi Data Akreditasi, dan Seksi Fasilitasi. Setiawan, Kepala Tim Percepatan Akreditasi
sudah memetakan apa saja yang dibutuhkan untuk meningkatkan akreditasi pada tiap program studi. “Kami sudah menyusun timeline hingga akhir tahun ini,”, ungkapnya. Sepakat dengan hal itu, Prof Subhilhar juga mengatakan pada akhir tahun ini akreditasi program studi USU harus meningkat sebanyak lima belas hingga dua puluh lima persen. Mengingat target yang diberikan oleh KemenristekDikti di tahun 2017. Hal yang pertama yang dilakukan Tim Percepatan Akreditasi adalah melihat status akreditasi prodi. Tercatatlah USU memiliki 155 prodi dengan 17 Program studi dengan Akreditasi A, 81 prodi berakreditasi B, 30 prodi berakreditasi C, 12 masih
dalam proses reakreditasi serta lima belas prodi dalam proses akreditasi. Kemudian dibuat pemetaan hingga akhir tahun. Disusun daftar prodi yang berpotensi naik akreditasinya. Selanjutnya mengadakan pertemuan dengan dekanat, ketua prodi, serta Pj Rektor. Saat pertemuan itu, tim ini dikenalkan dan dijabarkan aoa sebenarnya kerja dan fungsi mereka. Terpilihlah empat puluh prodi yang harus dibimbing Tim Percepatan Akreditasi untuk tahun ini. Ternyata banyak di anaranya yang pengerjaan borangnya belum selesai. Tindakan selanjutnya adalah mendatangi seluruh prodi untuk mencari tahu kendalanya dalam proses peningkatan akreditasi ini. Setelah disaring dan
USU: Persiapkan Langkah Nyata untuk A pada 2017 SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
dikerucutkan lagi, akhirnya didapatlah 27 prodi yang bisa dibantu dengan cepat dalam proses peningkatan akreditasi. Enam yang berpotensi A adalah Teknik Arsitektur, Pascasarjana Teknik Arsitektur, Ekonomi Pembangunan, Ilmu Komunikasi, Spesialisasi Anastesi, Pascasarjana Ilmu Hukum. Yang berpotensi B adalah Sastra Batak, Sastra Melayu, Sastra Jepang, Sastra Indonesia dan Magister Teknik Pertanian. Sisanya adalah prodi yang akan akreditasi dan reakreditasi. Fakultas Keperawatan (FKep) menemukan solusi untuk dirinya sendiri. Fakultas yang kerap kekurangan dosen yang menyebabkan rasio dosen dan mahasiswa tidak ideal memutuskan untuk menutup pandaftaran mahasiswa baru untuk Prodi Diploma III (DIII) Ilmu Keperawatan. Tindakan ini diharapkan bisa menormalkan rasio dosen dan mahasiswa, 1:20 setelah sekarang masih 1:30. Evi Karota Bukit, Wakil Dekan II FKep belum menghitung data pasti rasio dosen pascawisuda dan tahun ajaran baru. Pun begitu, keputusan ini membawa prediksi baru: Evi optimis S1 Keperawatan akan terima akreditasi A setelah sekarang terakreditasi B. Kemudian DIII dan S-2 yang sekarang C akan dapat akreditasi B. Begitulah perhitungan kasar Evi. Bila FKep optimis akreditasinya naik, sebaliknya dengan Fakultas Psikologi (FPsi). Sri Supriyantini, Wakil Dekan I FPsi pesimis dengan pergerakan akreditasi S-1 Psikologi. Bila dibandingkan dengan S-1 FKep yang istilahnya menurut Evi adalah “B gendut”, S-1 Psikologi adalah “B Kurus”. “B Gendut”
adalah akreditasi B yang hanya terpaut beberapa poin untuk dapat akreditasi A. FPsi kekurangan dosen atau tenaga pengajar. Saat ini FPsi masih punya empat dosen dengan gelar doktor dan sisanya masih ada yang disekolahkan. FPsi lewat Sri tidak yakin dapat A, tapi setidaknya dalam reakreditasi mendatang, bisa mendulang banyak poin. Lain dengan Ekonomi Pembangunan (EP) di Fakultas Ekonomi dan Bisnis telah miliki akreditasi A. Wahyu Aryo Pratomo, Ketua Program Studi EP mengatakan, pencapaian ini melalui tahapan yang tak mudah. Komiten dari seluruh unsur prodi sangat dibutuhkan, mulai dari jajaran atas prodi hingga mahasiswa yang bernaung di bawah prodi itu sendiri. Caranya mudah untuk tingkatkan akreditasi. Yakni, seluruh kegiatan di prodi tersebut, mulai dari pelayanan administrasi hingga penyediaan sistem informasi harus dijalankan sesuai dengan standar yang menjadi patokan. Wahyu bilang, prodinya memfokuskan pengembangan bidangbidang yang menjadi penilaian utama dalam standar akreditasi, meskipun tak tinggalkan komponenkomponen lainnya. Untuk EP sendiri, keunggulan yang dimiliki adalah dalam kualitas pengajarnya. Ia bilang, pengajar-pengajar EP terus meningkatkan hubungan baik dengan pihak-pihak luar, baik yang bertujuan untuk pengadaan acara penunjang akademik maupun untuk akademik itu sendiri. “Biasanya kita adakan seminar atau diskusi ekonomi yang bekerja sama dengan pihak luar,” paparnya.
laporan utama 7
| Formulir evaluasi proses belajar mengajar (PBM) Departemen Ekonomi Pembangunan FEB, Minggu (27/9). Evaluasi seperti ini perlu didokumentasikan untuk dilampirkan saat pengajuan borang akreditasi ke Badan Akreditasi NasionalPendidikan Tinggi (BAN-PT). SURVEI
VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
Wahyu juga mengatakan, keterbukaan informasi prodi juga menjadi salah satu penilaian penting untuk memperoleh akreditasi tertinggi. Keterbukaan informasi tersebut berupa penyediaan informasi yang mudah diakses oleh mahasiswa atau masyarakat yang ingin mengetahui hal-hal yang bersangkutan dengan prodi. Biasanya disediakan dalam bentuk website. Selain fasilitas pendukung akademik yang merupakan unsur mutlak
RISET LAPORAN UTAMA
yang harus dipenuhi, keaktifan mahasiswa juga dibutuhkan. Setelah menampung kendala dari berbagai prodi, rencananya dalam waktu dekat ini Tim Percepatan Akreditasi akan melaporkan dan mencari solusi bersama mengenai permasalahan yang dialami prodi. Hingga saat ini sudah ada sepuluh prodi yang menyelesaikan borang akreditasi dan sedang menjalani pemeriksaan oleh tim asesor. Bicara mengenai usaha USU menargetkan mendapat akreditasi A pada 2017, Sri menilai USU kurang greget. “Karena di USU ini maunya dikejar-kejar begitu,” katanya. Ia mengatakan seperti itu sebab setiap fakultas— termasuk FPsi—perlu untuk diawasi secara ketat perihal akreditasi. Bukan hanya pada saat pengisian borang atau pengajuan akreditasi saja, melainkan pada kegiatan praktis sehari-hari. Itu yang menyebabkan USU selama ini tertinggal dibanding univesitas negeri lain. USU, cuma satu-satunya universitas dengan status tersebut yang bukan terakreditasi A diberi toleransi agar mengejar ketertinggalannya hingga
2017. Menanggapi hal itu, Zulki�li mengatakan bahwa USU bukan tertinggal. Ada kemajuan dalam akreditasi hanya tak secepat univeritas lain. Sri khawatir kalau urusan universitas harus dikelola oleh negara. Karena menurutnnya akan lebih sulit dalam mendapat dukungan, seperti dana dari Ditjen Dikti. Selain itu, USU akan terjebak dalam sistem yang dibuat oleh pemerintah, bukan sistem yang dibuat oleh USU sendiri. Inijuga yang disampaika Evi, USU akan kehilangan “keleluasaan manajemen” bila status PTN BH dicabut. Prof Subhilhar, juga mengantisipasi agar USU yang menjadi PTN-BH tak dicabut dan beralih ke BLU (Badan Layanan Umum). Salah satunya dengan cara mengevaluasi diri dan memperbaikinya. Contohnya, pada jangka panjang USU harus memiliki fasilitas yang memadai, meningkatkan kerja sama dengan pihak luar, menyeimbangkan rasio dosen dan mahasiswa, membuat jurnal dan penelitiaan agar tercatat dengan baik.. Jangka pendeknya ialah membuat sistem informasi berbasis teknologi yang dapat merekam seluruh aktivitas USU. Pun dengan cara membuat database dengan pengelolaan sistem IT. “Jadi dibutuhkan peran dari semua orang yang terlibat untuk memajukan mutu USU,” tuturnya. Peranan mahasiswa pun dibutuhkan. Sari Sidabutar, Mahasiswa FKep 2012, salah satunya adalah melibatkan diri dalam kegiatan mahasiswa. Kegiatan mahasiswa merupakan salah satu poin penting dari poin-poin akreditasi. Menurut mereka, hal-hal kecil seperti turut andil menyerahkan serti�ikat prestasinya pada fakultas juga sangat membantu. “Kalau kita mau dapat yang baik ya harus berjuang,” tandas mereka. Selain pembenahan dari tiap program studi dan dekanat, menurutnya akreditasi USU akan membaik bila pejabat rektor diganti dengan rektor de�initif segera. Sebab dengan masih adanya pejabat rektor, USU akan kehilangan poin dalam indikator tata pamong. “Dengan rektor baru, niscaya akan terbantu akreditasinya,” ujar Evi. Zulki�li juga menyampaikan “Apapun yang terjadi pada 2017 nanti ialah usahanya bukanlah hasilnya,” tutupnya.
8 opini
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
Kotak Ajaib, Remot, dan Akal Aulia Adam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2011 Televisi di Indonesia belakangan benar-benar menjemukan, diskriminatif, dan kebanyakan tak sesuai salah satu tujuan negara, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
S
alah satu tayangan televisi yang menyita perhatian saya belakangan adalah The New Eat Bulaga Indonesia. Sebuah variety show yang dipandu oleh Uya Kuya dan istrinya, Astrid, serta didampingi oleh asisten pemandu acara Reza Bukan dan Farid Aja. Di acara yang sebenarnya adalah jenis game show itu, ada juga Vicky Prasetyo, seorang pria lebih setengah abad yang belakangan jadi selebritas pasca dirinya ditahan polisi karena kasus penipuan. Kalau belum ingat, Vicky ini pria yang gagal nikah dengan Zaskia Gotik, si biduan dangdut. Kalau masih belum ingat, dia ini yang kalau omong selalu membubuhkan istilahistilah salah alamat yang kemudian dikenal sebagai Vickynisasi. Sebetulnya, saya sendiri juga tak ma�hum apa peran Vicky di acara tersebut. Tapi yang membuat geram adalah, Vicky benar-benar diekspos di acara tersebut. Citra penipu yang melekat padanya dijadikan salah satu batang utama game show ini. Tak jarang, sejumlah gadis yang
mengaku dekat dan atau didekati Vicky dihadirkan di studio. Kemudian mereka ditanyai segala masalah pribadinya dengan Vicky, lalu diekploitasi sebagai asupan bagi para penonton. Uya, yang dipanggil sebagai Bos di acara itu, ialah orang yang paling mendominasi dalam memborbardir narasumbernya (dan tentu saja Vicky) dengan pertanyaan. Berkali-kali tayang dengan alur serupa. Hanya saja, narasumbernya berbeda-beda. Hampir setiap hari begini: alur cerita Vicky selalu berujung dengan kesimpulan bahwa dia adalah penipu. Terkadang, heran juga. Benarkah Vicky rela dibingkai sedemikian rupa hanya demi gajinya sebagai pemandu acara tambahan, yang selalu jadi bulanbulanan? Tapi pertanyaan lebih pentingnya adalah, relakah kita menonton acara tersebut? Acara yang terlampau kebablasan dalam mencari rating. Vicky dan cerita tentang hidupnya terlalu diekspos besar-besaran di acara tersebut. Bagaimanapun The New Eat Bulaga Indonesia adalah game show, tak semestinya disediakan segmen khusus untuk para pemandu acara bercerita masalah pribadinya, konon berlebihan pula. Ingat, televisi dibangun di atas frekuensi milik publik. Setidaknya, kasus Vicky ini telah melanggar dua poin penyalahgunaan frekuensi publik yang dimuat oleh frekuensimilikpublik. org, sebuah program kampanye
SURAT DAN PENDAPAT
yang dikelola oleh Remotivi. Pertama, segmen Vicky berisi tayangan yang isinya kepentingan pribadi dengan durasi tak adil. Kedua, segmen tersebut memuat cerita-cerita bohong (meski tak semuanya), membahas masalah pribadi, dan melecehkan perempuan. Melecehkan perempuan? Ya! Seperti acara televisi lainnya, The New Eat Bulaga Indonesia juga ikut berperan dalam kontruksi memarginalkan perempuan. Khususnya di segmen Vicky. Sebab, dicitrakan seolah-olah perempuan adalah kaum lemah dan gampang ditipu daya. Para asisten pemandu acara yang perempuan juga dicitrakan sebagai “pemanis”, sementara Uya, Sang Bos, yang adalah pria dicitrakan dominan dan adidaya. The New Eat Bulaga Indonesia adalah satu dari sekian acara televisi diskriminatif, sekaligus yang mencuri frekuensi milik publik di Indonesia. Sungguh, masih banyak lagi acara televisi kita yang membentuk stereotipe diskriminatif, alih-alih tak mencerdaskan kehidupan bangsa. Kalangan feminis pasca-modern meyakini bahwa stereotipe terhadap perempuan dibesarkan oleh industri media. Misalnya, gambaran tentang perempuan pemarah, pencemburu, pendendam ada dalam tayangan sinetron. Tayangan infotainment memprogandakan pasangan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan perempuan. Status lajang menjadi status buruk bagi perempuan yang dilekatkan oleh infotainment di televisi kita. Belum ada media kita yang berani mendidik bangsa ini untuk tidak diskriminatif terhadap kaum marjinal. Jarang sekali persoalan masyarakat marjinal seperti perempuan, anak, korban HAM, buruh, nelayan, miskin kota, petani, difabel, dan LGBT, bisa masuk menjadi isu penting di media. Semuanya dikalahkan oleh ceritacerita panas dan penuh sensasi dari kaum selebritas, misal pernikahan dan rumah tangga Raf�i Ahmad-Nagita Slavina, kehidupan glamor Syahrini, prostitusi online “artis” (?), atau bahkan pidato-pidato kampanye terselubung pemilik media. Matikan TV? Atau bagaimana? Cerita dari The New Eat Bulaga Indonesia masih sangat ringkas jika melihat daftar tayangan acara televisi kita hari ini. Masih sangat banyak acaraacara lain yang membodoh-bodohi kita sebagai penontonnya. Yang paling kelihatan adalah kepungan sinetron dan infotainment. Sinetron yang ada sama sekali belum bisa menggambarkan kualitas yang baik. Baik dari segi cerita
yang monoton itu-itu saja, sampai dari segi sinematogra�inya. Bagaimana mau bisa baik? Pernahkah terbayang Anda betapa tersiksanya para penulis naskah sinetron yang harus menyediakan naskah berisi dialog melulu untuk tayangan sejam bahkan lebih, setiap hari? Ini semua dikarenakan sistem stripping yang diterapkan semua sinetron di Indonesia. Sistem ini bukan cuma menghasilkan kualitas jelek, tapi juga menghambat kreativitas sineas televisi kita. Dan gosip. Dicatat Remotivi, sebuah lembaga studi dan pemantauan media khususnya televisi di Indonesia, jumlah acara infotainment naik pesat hari ini daripada saat kemunculan perdananya dulu pada 2003. Sampaisampai istilah “makan infotainment sehari tiga kali” terasa tak berlebihan sama sekali. Ini masih yang kasat mata terlihat. Belum lagi penyalahgunaan frekuensi publik lainnya yang dilakukan mulus. Seperti advertorial yang terselip di acara-acara berita yang Anda tonton. Advertorial sendiri adalah gabungan dari dua kata: advertisement dan editorial. Kurang lebih isinya adalah iklan yang dikemas berlagak bak berita. Jadi, yang Anda kira sebenarnya berita (semisal pidato ketua partai, info mudik arus lalu lintas udara, kesehatan gigi dan pasta gigi yang cocok) bisa jadi adalah pesanan pemilik media atau perusahaan media itu. Lantas bagaimana caranya menghentikan pembodohan yang dilakukan televisi Anda? Apakah angkat remot dan tekan tombol off? Tentu tidak. Sangat ceroboh rasanya jika kita punya pikiran untuk membunuh salah satu penemuan terbaik di dunia ini, dengan cara tidak menggunakannya lagi. Bagaimanapun televisi adalah salah satu media yang baik bila digunakan dengan baik pula. Satu-satunya cara untuk memberhentikan pembodohan yang dilakukan pelaku industri televisi adalah dengan jadi penonton yang pintar dan bijak. Gunakan akal dan remot Anda. Jangan berhenti terlalu lama pada sebuah acara televisi yang mulai terasa mebodoh-bodohi. Kenali gejala-gejalanya. Pilih saluran televisi berkualitas. Jadikan pemilik media bersaing sehat untuk menghasilkan produk nomor wahid secara kualitas, dan tentu saja mendidik. Ingat, pemilik media menumpang di frekuensi milik publik. Anda yang pegang remot, bukan orang-orang dalam kotak ajaib Anda.
Jalan Universitas No 32B, Kampus USU, Padang Bulan, Medan, Sumatera Utara suarausutabloid@ymail.com suarausuonline@ymail.com Pers Mahasiswa SUARA USU
@suarausu
087867237360 @SUARAUSU
Redaksi menerima tulisan berupa Opini, Puisi, dan Cerpen. Untuk Opini dan Cerpen, tulisan maksimal 3500-7000 karakter. Tulisan harus disertai foto dan identitas penulis berupa fotokopi KTM atau KTP. Tulisan yang telah masuk menjadi milik redaksi dan apabila dimuat akan mendapat imbalan.
YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU
dialog 9 Bitcoin: Alat Baru Transaksi dan Investasi SUARA USU, EDISI 104, sEPTEMBER 2015
T
eknologi informasi ternyata menghasilkan satu komoditas yang saat ini tengah gandrung dijadikan alat alternatif untuk transaksi dan investasi secara daring alias online. Komoditas ini berupa mata uang digital bernama Bitcoin. Sejak diperkenalkan pada 2009, penggunaan Bitcoin kian Apa itu mata uang digital Bitcoin? DOKUMENTASI PRIBADI
Biodata: Nama: Oscar Darmawan
Bagaimana sejarah ditemukannya Bitcoin ini?
Tempat Tanggal Lahir: 5 Desember 1985
Beda Bitcoin dengan koin game online?
- Information Technology and Information System, Monash University 2006
Bagaimana cara mendapatkan Bitcoin di internet?
Riwayat Pendidikan: - SMA Kolese Layola Semarang
Jabatan: - Co-founded Bitcoin Indonesia - Marketing dan Communications Advisor - Penulis buku Bitcoin, Mata Uang Digital Dunia
Mengapa harga Bitcoin bisa berubah?
Siapa pengguna Bitcoin saat ini dan transaksi apa saja yang dapat menggunakan Bitcoin? Apa kelebihan dan kelemahan menggunakan Bitcoin dibanding uang?
Apa dampak pemakaian Bitcoin bagi perekonomian suatu negara? Bank Indonesia telah menyatakan alat tukar yang sah hanya rupiah, sedangkan Bitcoin tidak. Bagaimana tanggapan Anda?
diminati. Penggunanya tersebar di seluruh dunia. Di Indonesia, Bitcoin masuk pada 2013 akibat krisis Cyprus pada Januari hingga April 2013. Walau penggunaannya tersebar di seluruh dunia, tak semua negara mengizinkan Bitcoin jadi alat transaksi dan investasi resmi. Pun Indonesia, Bank Indonesia menyatakan Bitcoin bukan
mata uang yang sah. Di tengah perbincangan hangat seputar legalitas, ada baiknya Anda kenali dulu apa itu mata uang digital Bitcoin. Berikut hasil wawancara reporter SUARA USU Rati Handayani dengan Chief Executive Officer bitcoin.co.id Oscar Darmawan.
Bitcoin adalah sejenis ‘emas’ digital yang datanya disimpan di dalam rekening ponsel yang berlaku di seluruh dunia. Rekening ponsel, artinya datanya disimpan di ponsel. Itu penjelasan paling mudah tentang apa itu Bitcoin. Tapi kalau secara teknikal, Bitcoin adalah sistem pencatatan buku besar transaksi yang terdesentralisasi. Artinya, tidak ada server pusat yang mengatur sistem pencatatan, setiap pengguna yang terhubung secara otomatislah yang mengatur sistem. Setiap pengguna adalah bagian dari pencatatan buku besar tersebut.
Sebelum ada Bitcoin, privasi dan keamanan adalah dua hal yg bertolak belakang dalam transaksi dan investasi. Sebab pada saat orang fokus pada privasi maka keamanan harus dikorbankan sedangkan pada saat orang fokus pada keamanan, maka privasi harus dikorbankan. Sehingga pada 2008, Satoshi Nakamoto merancang protokol yang memungkinkan privasi dan keamanan berjalan beriringan. Hingga pada 2009 protokol itu dibuat dan diperkenalkan secara open source yang kode pembuatannya dibagi gratis serta bisa ditiru. Saat ini protokol itu dibuat oleh ratusan developer yang berkerja secara freelance untuk pengembangannya. Apabila yang dimaksud adalah koin game di dalam game RPOG maka jelas berbeda. Koin game RPOG dibuat oleh perusahaan yang bebas menambah, mengurangi bahkan memanipulasi persedian koin hingga jumlah koin di setiap akun. Sedangkan Bitcoin, semua digerakkan oleh jaringan desentralisasi sehingga tidak ada yang bisa mengatur atau dapat mengubah koin dalam akun Anda. Persediaan Bitcoin sudah dirancang secara terbuka untuk membatasi persediaan Bitcoin sebanyak 21 juta. Jadi, jumlahnya tak lebih dari 21 juta. Kenapa 21 juta? Memang begitu sedari awal.
Ada tiga cara. Pertama, membelinya di exchange (tempat pertukaran) seperti bitcoin.co.id, dimana merupakan pusat pertemuan pembeli dan penjual Bitcoin. Sebelumnya harus membuat akun, kemudian tukarkan uang tunai dengan Bitcoin. Kedua, menambang (mining). Bitcoin mining Bitcoin adalah dengan menjalankan server Bitcoin untuk mendukung operasional jaringan semisal bitcoin.org. Ketiga, melakukan pekerjaan yang dibayar dengan bitcoin, di antaranya melalui Bitcoin faucet. Pun harga Bitcoin bisa berubah-ubah. Banyak faktor, salah satunya adalah pengembangan dan penerimaan teknologi ini sendiri yang menggerakkan jumlah antusias pengguna Bitcoin. Semakin banyak Bitcoin diterima oleh orang maka semakin besar permintaan dibandingkan penawaran. Permintaan dan penawaran inilah yang akhirnya menentukan harga. Saya pernah beli satu Bitcoin seharga satu dollar dan pernah juga Rp 15 juta.
Di Indonesia, pengguna Bitcoin lebih banyak masyarakat online. Pengguna ini mayoritas pedagang yang memanfaatkan pergerakan harga Bitcoin. Dan, Bitcoin sudah bisa ditransaksikan untuk berbagai jenis barang, bahkan Microsoft.com dan dell.com juga telah menerima pembayaran dengan Bitcoin. Kelebihannya adalah instan dan cross border. Sehingga cocok untuk transaksi melalui internet dan sistem desentralisasi membuat transaksi lebih aman dari hacker. Pun untuk investasi, harga ditentukan pasar. Hal ini menyebabkan setiap pengguna berperan serta membentuk harga yang ada di pasar. Kekurangannya masih sedikit dibandingkan emas sehingga harganya tidak stabil. Karena itu terkadang dapat membuat kerugiaan kalau dijual terburu-buru pada saat harga lebih murah. Sebagai sebuah teknologi, dampak bagi suatu negara tergantung penggunaannya. Misalnya Tiongkok, menjadi negara dengan exchange Bitcoin terbesar dunia, telah membantu perputaran ekonomi Tiongkok dan memberi devisa untuk Tiongkok.
Saya sangat mendukung hal itu untuk mendukung perekonomian Indonesia. Sebenarnya pernyataan lengkap dari BI seputar Bitcoin itu berisi 3 hal; Bitcoin di Indonesia digolongkan bukan mata uang, transaksi di Indonesia harus dengan rupiah dan segala risiko penggunaan Bitcoin jadi tanggung jawab masing-masing pengguna, sehingga Bitcoin sendiri lebih digolongkan sebagai komoditas digital/teknologi dan bukan mata uang. Dalam transaksi Bitcoin sendiri sebenarnya menggunakan mata uang negara masing-masing, sehingga pernyataan tersebut tidak ada masalah dengan Bitcoin. Justru itu baik untuk perkembangan Bitcoin di Indonesia karena dianggap bukan sebagai mata uang.
IKLAN
10 ragam
SUARA USU, EDISI 104, NOVEMBER 2015
Cari Fakta tentang Rumah Dosen di USU
TERIMA ANAK KOS | Spanduk berisi penerimaan anak kos terpasang di depan salah satu rumah dosen di Jalan Universitas, Pintu 1, USU, Jumat (18/9). Sesuai peraturan pemerintah harusnya rumah dosen tidak boleh digunakan sebagai tempat usaha. VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
Vanisof Kristin Manalu
Setiap akan dilakukan pemeriksaan, fakta di lapangan tak sesuai dengan yang diharapkan.
S
ore itu, minggu ketiga September, seorang wanita keluar dari rumah yang terletak di depan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Setelah diperhatikan dia berjalan masuk ke areal pelataran FISIP, ternyata ia salah satu mahasiswa FISIP. Tak hanya dia seorang yang berlalu lalang dari rumah itu, ada juga beberapa orang lainnya. Di antaranya Tari—bukan nama sebenarnya— Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis 2012 yang tinggal di rumah tersebut dengan menyewa kamar kepada empunya rumah. Sudah sejak awal kuliah ia tinggal di sana bersama lebih dari delapan penghuni kamar lainnya, mereka sama-sama berstatus penyewa. Jumlah jelas kamarnya, Tari tak ingat. Tari tak terlalu mengenal si pemilik rumah, setahunya si pemilik adalah dosen di Fakultas Teknik. Sehari-hari si pemilik tidak tinggal di sana, melainkan ada seseorang yang ditugaskan mengurus dan menjaga rumah tersebut. “Tapi terkadang
datang juga, melihat keadaan rumah,” tambahnya. Tari dan teman-teman satu rumahnya harus membayar sewa kamar seluas kurang lebih 3x3 meter tersebut sebesar Rp 4,1 juta per tahun, di luar biaya listrik, air dan kebutuhan lainnya. Tari tak tahu kalau ternyata rumah dosen dilarang digunakan sebagai tempat usaha. Pun, seandainya nanti ia harus meninggalkan kamar sewaannya, ia akan meminta pertanggungjawaban kepada si pemilik rumah. Tapi, Tari dan kawankawan satu rumahnya percaya pada si pemilik rumah, karena itu ia tinggal sebegitu lama di sana. “Selama ini enggak ada masalah kok, toh enggak pernah diperiksa,” sahutnya. Penyewa kamar di rumah dosen lainnya, Rita—bukan nama sebenarnya—tahu kalau penggunaan rumah dosen sebagai tempat usaha dilarang. Ia pada dasarnya juga tidak setuju. Pun begitu, Rita tetap memilih menyewa kamar di rumah milik seorang dosen Fakultas Farmasi yang disebutnya Ibu Situmorang. “Ditulis terima kos khusus wanitas muslim dan dekat dengan fakultas saya,” sahutnya. Rita sudah dengar jauh-jauh hari, kalau akan dilaksanakan pemeriksaan rumah dosen, tapi tak kunjung ia
dengar realisasinya. Pernah terbersit untuk melaporkan penyalahgunaan rumah dosen ini kepada pihak rektorat, tapi karena enggan akademiknya terganggu kalau ia melaporkannya, Rita memilih diam. Yedi Suhaedi, Kepala Biro Aset dan Perlengkapan USU membenarkan jikalau rumah dosen seharusnya tidak disalahgunakan. Karena pada dasarnya, rumah dosen diberikan untuk kemudahan bagi si empu, bukan untuk mencari pemasukan pribadi. Sejalan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 22/PRT/ M/2008, salah satunya menjelaskan pelarangan penghunian rumah dosen. Seperti menggunakan rumah tidak sesuai dengan fungsi yang ditetapkan dan menyerahkan sebagian atau seluruh rumah kepada pihak lain. Meski banyak yang menyalahgunakannya, bukan berarti tak ada yang tahu mengenai peraturan ini. Selain pelarangan penyalahgunaan fungsi rumah, rumah dosen juga hanya diperuntukkan kepada mereka yang masih terikat pekerjaan dengan USU, tidak lagi jika si dosen atau pegawai sudah pensiun. Tapi, kebanyakan kasus seperti ini terjadi karena keluarga si dosen merasa rumah dosen sudah menjadi milik pribadi karena sudah tinggal di sana bertahun-tahun. Waktu yang
diberikan kepada pegawai yang telah pensiun untuk keluar dari rumah dosen dan menyerahkan surat pengembalian adalah tiga bulan setelah dinyatakan tidak bekerja lagi. Yedi sampaikan, rektorat rutin melakukan pemeriksaan tiap dua tahun sekali, dan akan dilaksanakan sebentar lagi, rentang September hingga Oktober tahun ini. Pemeriksaan ini berupa pengecekan kembali kepemilikan rumah dan status si pemilik rumah. Juga dilakukan pengecekan, apakah benar rumah tersebut disalahgunakan atau diubah arsitekturnya. Biasanya tak ditemukan hal yang seperti itu. “Nanti saat diperiksa, sudah enggak ada saja kos-kosan,” sahutnya. Ini yang disesalkan Yedi, susah membuat para pemilik rumah dosen sadar dan mengikuti peringatan yang diberikan rektorat. Yedi berharap dalam pemeriksaan rumah dosen kali ini dapat berjalan dengan baik dan ditemukan fakta tentang penggunaan rumah dosen dan barang siapa yang kedapatan akan di tindaklanjuti sesuai peraturan yang telah ada. Bisa jadi hak miliknya akan dipertimbangkan kembali.
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
Alfat Putra Ibrahim
ragam 11
Jelang Pemira USU 2015
Setelah menunggu hampir lima bulan lamanya, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) baru saja terpilih, didampingi oleh sekertaris dan bendahara KPU. Tampaknya, Pemilihan Umum Raya (Pemira) USU 2015 akan menjelang. Masa kepemimpinan Presiden Mahasiswa (Presma) Brilian Amial Rasyid berakhir Juli lalu, namun tanda-tanda presma baru belum terlihat. Tampuk kepemimpinan Pema USU masih di tangan Brilian dan kawan-kawan. Untuk memilih presma baru, harusnya pemira telah berlangsung. Akibat belum terlaksananya pemira, pengurus Pema USU diperpanjang hingga nanti telah terbentuk kepengurusan Pema USU yang baru. Rencana penyelenggaraan Pemira 2015 pada pertengahan Juni lalu tak kunjung terlaksana. Alasannya, KPU tak kunjung terbentuk untuk mempersiapkan pemira. KPU harusnya sudah terbentuk April lalu, dengan perencanaan Juni sudah pelaksanaan Pemira 2015 dan pelantikan presma akan dilaksanakan pada semester baru. Agenda strukturisasi yang terjadwal di April lalu karena terkendala kehadiran Presma Brilian yang sedang memenuhi undangan di Jakarta. Rencana berikutnya, jadwal
strukturisasi akan diadakan di Juni harus ditunda lagi karena ketiadaan seluruh nama-nama komisioner KPU dari tiap-tiap fakultas. Setelah menunggu lama, akhirnya Ketua KPU 2015 terpilih pada 12 September lalu. Menteri Dalam Negeri Achmad Fadhlan Yazid katakan strukturisasi dihadiri oleh 21 komisioner KPU dari berbagai fakultas. Terpilihlah Anhar Ismail dari Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (FasilkomTI) sebagai Ketua KPU 2015, Basri Syaputra dari Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) sebagai sekretaris dan Khirzu Nufus dari Fakultas Psikologi (FPsi) sebagai bendahara. Pada 18 September lalu Pema USU melalui Wakil Presiden Abdul Rahim dan Kementerian Dalam Negeri telah menyerahkan surat keputusan (SK) kepada Ketua KPU terpilih sebagai bukti penyerahan tanggung jawab dan bukti jabatan sebagai pengurus KPU USU 2015. Dengan demikian segala urusan perihal Pemira USU 2015 telah sepenuhnya diserahkan kepada KPU USU 2015. Disampaikan Fadhlan, apapun kebijakan KPU terhadap penyelenggaraan pemira akan terus di dukung oleh Pema USU. Pun, terkait tanggal pelaksanaan. Sebelum KPU terstrukturisasi, lebih dahulu Pema USU telah menetapkan
pemira akan dilaksanakan pada 19 November nanti. Namun keputusan kembali kepada KPU, tergantung kesiapan KPU dalam pelaksanaannya. Terkait tanggal pemira, Anhar Ismail katakan ia sendiri menyambut baik waktu yang ditetapkan pema tersebut karena Anhar menilai waktu yang disarankan dinilai cukup tepat dan sesuai untuk kesiapan pelaksanaan pemira. Meskipun sejauh ini KPU sendiri belum memiliki rencana pasti perihal jadwal pemira, KPU USU 2015 melalui Anhar mengatakan setuju dengan tanggal yang disarankan, sekali pun tidak menutup kemungkinan jadwal tersebut akan berubah. Terkait persiapan pembentukan KPU Fakultas dan dana yang tersedia, katanya. Dua faktor utama tersebut yang menurut Anhar akan memakan waktu yang cukup lama, karena itu tidak bisa dipastikan apakah November nanti KPU Fakultas sudah rampung dan dana pelaksanaan sudah tersedia. Selain tanggal, Pema USU juga menyarankan agar pemira kali ini menggunakan sistem electronic vote (e-vote), yaitu sistem pemungutan suara tanpa surat suara melainkan menggunakan mesin pemungut suara secara off line. Fadhlan sampaikan sistem ini sudah berhasil dilaksanakan di beberapa universitas, Universitas Negeri
Padang, misalnya. Fadhlan juga menilai sistem ini bisa menekan pengeluaran dan mengefisienkan pelaksanaan pemira karena bisa menghilangkan kecurangan karena dilengkapi dengan akun dan kata kunci. Untuk usulan ini Anhar ragu menerapkannya pada pemira tahun ini. E-vote tidak dapat dilaksanakan dalam waktu dekat karena butuh waktu yang lama untuk menyediakan peralatan evote serta memasukkan seluruh data mahasiswa USU. Belum lagi kemungkinan dimanipulasi dengan menggunakan perangkat lunak tertentu. “Tapi, nanti lagi,” sahutnya. Hal yang dikhawatirkan Anhar adalah antusiasme mahasiswa terkait pelaksanaan pemira. Ia sampaikan, berdasarkan Pemira USU tahun lalu, jumlah mahasiswa USU dengan jumlah pengguna suara saat pemira sangat jauh, tidak sampai setengahnya. Ini jelas menjadi perhatian khusus KPU untuk membangun rasa keterlibatan politik pada tiap mahasiswa. Meskipun belum ada langkah nyata akan melakukan apa, Anhar yakin KPU akan mampu menyelenggarakan pemira tahun ini dengan baik. Hingga tulisan ini diturunkan, struktur kepengurusan KPU USU 2015 masih belum terbentuk
Menunggu Wajah Baru MWA USU Amelia Ramadhani
Kesepahaman sudah tercapai. Suara sudah bulat dan calon sudah terjaring. Doanya hanya satu, semoga Majelis Wali Amanat (MWA) USU segera ganti wajah baru. SETELAH mengangkat kembali wakil rektor, tugas MWA yang kemudian menyusul adalah fokus pada mekanisme pemilihan anggota MWA periode baru. Ada dua tata cara yang ditawarkan oleh MWA; setiap anggota Senat Akademik (SA) yang datang memilih satu nama atau setiap satu anggota SA yang hadir memilih sembilan nama. Akhirnya keputusan diambil. Pada rapat MWA yang digelar 20 Agustus silam, MWA memutuskan tata cara pemungutan suara anggota MWA dilakukan dengan cara setiap anggota SA memilih satu nama saja. Keputusan ini diambil setelah MWA menerima surat perintah dari
Kementerian Riset , Teknologi dan Pendidikan Tinggi (KemenristekDikti) untuk segera mengesahkan tata cara pemilihan anggota MWA. Keputusan pemungutan suara one man one vote juga dikarenakan pertimbangan hasil jajak pendapat yang dilakukan sebelumnya di Fakultas Kedokteran dan diikuti oleh masyarakat umum. Pejabat Rektor Prof Subhilhar dan sekaligus menjadi anggota MWA berharap hasil putusan one man one vote merupakan pilihan yang bijaksana. Sebab MWA hanya diperpanjang selama satu tahun lamanya dan di akhir Desember tahun ini MWA sudah harus ganti kepengurusan. Ia juga berharap MWA USU Periode 2015-2020 dapat terbentuk sesuai yang telah dijadwalkan, “Biar kita fokus untuk pemilihan rektor definitif,” jelasnya. Setelah putusan cara memilih anggota MWA diterima semua pihak, dilakukanlah pembentukan panitia pemilihan anggota MWA oleh SA pada rapat SA 14 September lalu.
Keseluruhan panitia ini berjumlah lima orang; diketuai oleh Prof Bustami Syam, Prof Muhammad Zarlis dan dilengkapi dengan Prof Budiman Ginting, Prof Sutarman dan Heru Santosa sebagai anggota. Karena sudah terpilih sebagai panitia, kelimanya otomatis tidak dapat mencalonkan diri sebagai anggota MWA. Keesokan harinya panitia pemilihan MWA langsung membuka pendaftaran. Panitia akan memilih sembilan orang angota MWA wakil masyarakat. Sembilan nama ini haruslah nama-nama yang diusulkan oleh SA. Setiap angota SA yang berminat mencalonkan anggota MWA wakil masyarakat dapat mendaftarkan dirinya di sekretariat panitia. Hasil verifikasi dan calon anggota MWA wakil masyarakat diumumkan pada 22 September. Seminggu dibuka ada sebelas wakil dari SA yang mendaftarkan diri untuk menjadi anggota MWA. Sebelas nama ini dinyatakan lulus verifikasi setelah melengkapi semua
dokumen yang diminta oleh panitia. Sedangkan dari wakil masyarakat ada 29 orang yang mendaftar dan dinyatakan lulus verifikasi. Namun ada satu nama wakil masyarakat yang tidak diluluskan oleh panitia— Tumpal HS Siregar—sebab yang bersangkutan tidak diusulkan oleh SA. Pemilihan anggota MWA akan dilaksanakan pada tanggal 30 September 2015 mendatang oleh SA bersama dengan panitia pemilihan anggota MWA. Nama-nama anggota yang terpilih akan diajukan oleh SA kepada Kemenristek-Dikti paling lama empat belas hari setelah terpilihnya anggota MWA pada tanggal 31 September 2015. Kurang lebih dua minggu ke depan, hasil persetujuan KemenristekDikti akan diketahui. Prof Budiman Ginting berharap pemilihan anggota MWA berjalan sesuai dengan waktu yang sudah ditetapkan. Sehingga MWA yang baru bisa membentuk panitia pelaksana penjaringan dan penyaringan rektor di tahun ini.
12 galeri foto
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
LIHAT, Bandar Udara Kualanamu! FOTO : VANISOF KRISTIN MANALU
S
etelah mulai beroperasi silam, Bandar Udara Internasional Kualanamu bandara terbesar kedua di setelah Bandara International
Juli 2013 (Bandara) menjadi Indonesia SoekarnoHatta. ualanamu berdiri untuk menggantikan Bandara Polonia yang sudah berdiri selama 85 tahun. Bandara ini terletak di Kabupaten Deli Serdang, kurang lebih 39 km dari pusat Kota Medan. (Vanisof Kristin Manalu)
K
Kek Ginilah Bandara Kami
Penuh dengan Koper di Atas Kepala
Istana Mini
Mau Kemana, Pak?
Dah!
Lintasan Burung Besar
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
podjok sumut 13
oleh Bupati Tengku Erry Nuradi, pura cukup ramai, hanya saja kondisinya tak semakin baik sebab perawatan Mereka tak banyak, hanya segilintir yang hanya sekadarnya. Pun tak ada yang tersisa. Mereka ini yang masih dana memadai. Terakhir Giyo pernah berjuang pertahankan budaya agar dijanjikan oleh pemerintah bahwa pura akan dicat untuk perawatan tak hilang begitu saja. 2014 silam, nyatanya sampai saat ini belum terealisasi. utuh setidaknya dua jam Hal lain yang dikhawatirkan Giyo perjalanan menggunakan adalah jumlah mereka yang semakin sepeda motor dari sedikit. Tahun 1975, dari enam puluh Medan untuk tiba di kepala keluarga, empat puluh lainnya Desa Pegajahan. Secara ingin kembali ke Bali setelah pihak administrasi, Desa Pegajahan perkebunan memberi pilihan untuk masuk ke dalam wilayah Kecamatan memperpanjang kontrak bekerja atau Perbaungan, Serdang Bedagai. pulang ke Bali. Sepanjang perjalanan, tak hanya Jumuh dan Benyah adalah salah sekali perkebunan sawit dan jalanan satu keluarga yang memilih menetap. berbatu yang harus dilewati. Alasannya, mereka tak punya jaminan Desa ini sama dengan desa-desa kehidupan saat akan kembali ke Bali, lain di daerah Serdang Bedagai. sedangkan saat itu kehidupan mereka Mayoritas Muslim bersuku Melayu. sudah membaik di Desa Pegajahan. Tapi siapa sangka, kurang lebih 3 “Di sini asal kerja makan, di sana mau km di depan, berdiri kokoh pura kerja apa,” keluhnya khawatir. berukuran dua puluh kali empat Giyo mengkwatirkan tergerusnya puluh meter persegi, dikelilingi nilai-nilai kebudayaan Bali, sebab tembok bercat merah pudar dan hanya ia dan beberapa orang lagi kusam. Tembok ini yang menjadi yang paham tentang adat Bali VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU pembatas antara pura dan walau pemahamannya tak sedalam PADMASANA | Suasana di dalam Pura Panataran Dharmaraksa di Desa Pegajahan, masyarakat di Pulau Bali, walau pemukiman warga. Ada gapura di Perbaungan, Serdang Bedagai, Jumat (11/9). Pura ini digunakan sebagai tempat begitu ia takut jika beberapa tahun depan pura. Inilah Pura Panataran Dharmaraksa. mendatang tak ada lagi yang mampu ibadah umat Hindu yang tinggal di Desa Pegajahan. Di pojok kanan gapura, tertulis meneruskannya dan merawat pura “Bagi yang alangan (menstruasi— yang ada. Kelak, anak-anak mereka red) dilarang memasuki Pura”. Selain membuat sesajen dan melaksanakan deretan belakang. Tapi hal ini jarang akan merantau dan mereka beranjak itu setiap yang mau memasuki pura— ibadah di pura ini. Dulu, sebelum pura terjadi, karena umat Hindu di sana tua. yang tidak mengenakan bawahan ini berdiri, mereka memilih beribadah kini tak lebih dari sepuluh kepala Syafruddin, Staf Bagian Umum berupa rok—harus menggunakan ke Medan atau Aek Kanopan yang keluarga. Kecamatan Pegajahan bilang dari kain yang dililit di pinggang. memiliki kegiatan keagamaan hindu Mangku I Wayan Giyo, Pemuka 7366 jiwa masyarakat di Desa Lepas melewati gapura, semerbak dalam skala besar. Adat Umat Hindu di Desa Pegajahan Pegajahan jumlah, masyarakat bunga jelas tercium. Bunga Kamboja, Ada sedikit yang berbeda, letak begitu antusias bercerita tentang pura beragama Hindu hanya sekitar enam Jarum-jaruman dan Kembang Sepatu patung Dewi Saraswati—Dewi ini dan kehidupan umat Hindu di sana. hingga delapan kepala keluarga atau sedang mekar-mekarnya. Penuh satu Pengetahuan—sebenarnya tak pas. Putra dari pasangan I Nyoman Jumuh sekitar lima persen. pura oleh harumnya. Harusnya patung itu diletakkan di dan Ni Nyoman Benyah ini bercerita, Sedangkan untuk perawatan, Pertama memasuki kawasan dekat sumber air suci di sebelah ia, kedua orang tuanya serta 59 kepala Syafruddin bilang karena pura adalah pura, ada joglo berukuran empat Padmasana. Dulu, saat pembangunan keluarga lain memilih bertransmigrasi tempat ibadah maka perawatannya kali lima meter terletak di tengahbaru dimulai masyarakat umat Hindu ke Serdang Bedagai dari Pulau Bali dikembalikan kepada masyarakat tengah. Di depannya—dimulai di sana tak terlalu paham mengenai pada 1963. beragama Hindu, untuk perawatan dari kiri ke kanan—berdiri patung ini. Saat itu, Gunung Agung di Pulau rutin memang tidak ada. “Kalau Dewi Saraswati, cat putihnya sudah Berdiri tepat di tengah dan Bali baru saja meletus, perekonomian mereka butuh bantuan kita bantu,” pudar dan dikelilingi lumut hijau. berukuran paling besar, Padmasana masyarakat Bali ada di titik terendah. ujarnya. Lalu ada tempat peletakan sesajen langsung mencuri perhatian saat Hidup kesusahan dan kekurangan Mahmud Efendi, Kepala Bidang di sebelahnya. Tepat di tengah ada pertama kali melihatnya. Padmasana dirasakan hampir oleh seluruh Pariwisata Serdang Bedagai juga Padmasana. Di sebelah Padmasana, inilah yang kemudian dipuja dan diberi masyarakat Bali. Tak punya pilihan mengatakan hal serupa. Sejak ada tempat air suci. sesajen saat ibadah dilaksanakan. hidup yang lebih menjanjikan, diresmikan menjadi lokasi wisata, Saat upacara kecil dan besar Luas joglo memang tak besar, namun Presiden Soeharto berinisiatif biaya untuk perawatan pura memang seperti ibadah mingguan, Hari Raya jika ada acara yang lebih besar, ada memindahkan mereka ke daerahtidak ada. Mahmud mengakui bahwa Galungan, Kuningan dan Nyepi, Balai Panjang berukuran 5x14 meter daerah lain di Indonesia. Serdang pemerintah kurang memperhatikan umat Hindu di sana bersama-sama beratap seng yang bisa digunakan di Bedagai di antaranya. hal ini, tapi Mahmud bilang rancangan Banyak kesulitan dihadapi mereka, anggaran untuk perawatan pariwisata salah satunya untuk tempat dan diajukan tiap tahun, tapi yang cara beribadah yang jauh berbeda diberikan oleh pemerintah daerah dengan masyarakat setempat. tidaklah banyak. “Tahun ini anggaran Kebetulan, mereka yang berpindah pariwisata hanya dua ratus juta, keseluruhannya beragama Hindu. sedangkan untuk pengecatan dan Maklum, para transmigran masih sebagainya setidaknya butuh lima berusia dua puluhan saat itu. “Kami puluh juta,” ujarnya. seolah tak punya pegangan hidup.” Mahmud menawarkan agar Giyo sendiri masih berumur empat masyarakat juga berperan aktif dalam tahun. merawat objek wisata dan tidak Tahun 1989, atas kerja sama hanya berharap dari pemerintah. masyarakat dalam pengumpulan Mahmud sarankan untuk membentuk iuran sebesar lima ribu rupiah suatu koperasi. perbulan—jumlah yang cukup besar Giyo bilang jumlah masyarakat saat itu, bantuan dari perkebunan dan yang semakin sedikit adalah masyarakat Hindu di Medan, pura kendala. Pun, ia berpendapat di berhasil dibangun. Pembangunan Desa Pegajahan, pura ini termasuk pura dilakukan bertahap dan dulu kebanggaan dan ia merasa tak benar kondisinya tak seperti sekarang, LENGGANG| Suasana altar yang digunakan sebagai tempat berlangsungnya jika masuk ke rumah ibadah harus masih ala kadarnya. ibadah di Pura Panataran Dharmaraksaka, Desa Pegajahan, Perbaungan, Serdang membayar, sebab pura digunakan Sekarang, Giyo mengkhawatirkan Bedagai, Jumat (11/9). Pura ini dibangun pada tahun 1989 sebagai tempat ibadah untuk beribadah. Giyo hanya keadaan pura. Sejak diresmikan umat Hindu yang tinggal di daerah tersebut. berharap tempat ibadah diperbaiki menjadi tempat wisata 2005 silam VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU sebab ini juga milik pemerintah. Yulien Lovenny Ester Gultom
B
Kampung Bali Berjuang Agar Tak Hilang
14 laporan khusus
Panggil Saja Transgender SUARA USU, EDISI 104, september 2015
Panggil Saja Transgender Koordinator Liputan: Amanda Hidayat Reporter: Shella Rafiqah Ully, Ika Putri Agustini Saragih dan Amanda Hidayat
FOTO BERSAMA| Komunitas Medan Sehati Medan melakukan Pelatihan Pemanfaatan Internet dan Media Sosial yang dilakukan sejak 20 hingga 22 Januari 2015. DOKUMENTASI PRIBADI
Amanda Hidayat
Wa.ria n akr wanita pria; pria yang bersifat dan bertingkah laku seperti wanita; pria yg mempunyai perasaan sebagai wanita; wadam.
I
tu kata Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) tentang transgender. Ada kata wadam yang berarti orang banci. Sedangkan banci dalam KBBI berarti tidak berjenis lakilaki dan juga tidak berjenis perempuan. Menurut Eduard Siahaan, Ketua Komunitas Medan Sehati (Kemas) pengertian yang tepat adalah, “Waria itu adalah waria, ya, waria. Atau manusia yang dianalogikan kayak ubi, ditanam di mana aja tumbuh,” ujarnya. “Jenisnya jelas, itu,” tambahnya.
Kemas yang diketuai Edo—biasa ia disapa— adalah sebuah dan satusatunya komunitas yang beranggotakan transgender go public di Kota Medan. Berdiri sejak Januari lalu, tiga ratus transgender tercatat sebagai anggota, bertujuan untuk advokasi hak asasi manusia (HAM) para transgender, pendidikan tentang HIV/AIDS dan pelatihan keterampilan untuk para anggota. Selain itu, Kemas ada karena para pendirinya merasa transgender sering sekali mendapat perilaku tidak wajar dari siapa saja. Kata Edo, sebelum adanya komunitas ini para transgender sewaktu terkena razia dari
pihak berwajib selalu diperlakukan kasar. Tapi sejak Kemas berdiri dan dibantu komunitraskomunitas pembela keberagaman melakukan advokasi atas HAM para transgender, perlahan perlakuan tersebut jadi lebih manusiawi. Pun begitu dengan perlakuan masyarakat, dulu kehadiran transgender yang kata Edo sebenarnya tidak meresahkan, seolaholah begitu meresahkan. “Padahal kan cuma berdiri di pinggir jalan, bukan di tengah,” canda Edo. Masyarakat yang dimaksud Edo adalah orang-orang yang mengatasnamakan dirinya dari organisasi-organisasi
tertentu. “Organisasi kepemudaan sih, kalau agama itu tidak pernah sebenarnya.” Ini dikatakan Edo juga dampak dari pendekatan yang mereka lakukan edukasi tentang HAM kepada masyarakat awam. “Susahnya karena kita belum begitu diterima masyarakat, bergerak masih dalam senyap,” ungkapnya. Kemas melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan pertama kali pada Januari lalu setelah beberapa hari dibentuk. Sasarannya adalah para transgender muda. Transgender muda seperti dikatakan Edo lebih gampang diarahkan untuk kegiatan-kegiatan positif. Seperti belajar menjahit,
tata rias dan lain sebagainya. Transgender muda ini juga masih sedikit sekali yang mengerti tentang seks dan dampak yang bisa saja timbul. “Seperti HIV/AID,” ungkap Edo.
Pelerai Stigma Edo tidak muluk-muluk, Kemas bukan organisasi yang akan menghilangkan kebiasaan transgender ‘mangkal’ di jalan-jalan. Karena menurut Edo itu hak masing-masing orang, baik transgender atau pun hetero. Kebanyakan transgender juga mendapat penghidupan dari situ. Mereka merasa, itulah jalan satu-satunya bagi mereka. “Sebagian waria juga menganggap rendah dirinya sendiri, semacam
menstigma dirinya sendiri. Ini yang susah, dari warianya sendiri sudah kayak gitu, tapi untuk itulah kita hadir, untuk melerai stigma itu,” katanya. Walau begitu, Edo tetap berharap perlahan pandangan transgender terhadap dirinya sendiri juga berubah. ‘Budaya mangkal’ tak lagi jalan satusatunya, banyak keahlian yang bisa mereka pelajari dan kuasai. Ketika ditanya tentang ketertarikan transgender bergabung dengan Kemas, Edo menjawab, “Namanya waria . . . masih dengan perasaan cantiknya . . . ,” keluh Edo. Sudah, begitu saja. Menurut Latifah Hanim Lubis, Sekretaris Mitra lembaga Kemas (PHD PKBI SUMUT), keberadaan Kemas menjadi komunitas Transgender yang berdaya, bukan hanya untuk anggota komunitas mereka namun juga untuk masyarakat. Berdaya dalam artian untuk memberantas virus HIV/AIDS. Ia bilang dengan kegiatan tersebut Kemas bisa melerai stigma negatif di masyarakat dengan kegiatan yang mengedukasi anggota kelompok mereka. *** Edison F Swandika Butar-Butar atau biasa disapa Dika, Ketua Cangkang Queer sambut baik hadirnya Kemas. Sebagai organisasi serupa, Cangkang Queer yang juga fokus pada advokasi HAM para Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT), akan lebih kuat perjuangannya dengan adanya Kemas untuk advokasi hak-hak para transgender. Meski tak fokus pada transgender seperti Kemas, namun Dika sampaikan permasalahan transgender
PELATIHAN Januari.
memang cukup memiliki polemik sehingga tetap harus diberi perhatian khusus. Transgender punya masalah yang berbeda tentang tubuh hingga ekspresi mereka, beda dengan lesbian, gay dan biseksual. Sebab itu transgender harus lebih dikuatkan. “Aku sedang tidak mengeneralisir sebenarnya,” cerita Dika. Namun ia misalkan kasus pada beberapa transgender yang sedari kecil suka dandan dan akhirnya mendapatkan kekerasan dari rumah, diusir, keluar dari rumah tanpa tujuan. Ketika hal demikian terjadi pilihan mereka lazimnya hanya dua hal, menjadi pekerja seks atau pekerja salon jika memang yang bersangkutan memiliki keahlian. Padahal, saat berada di jalanan potensi kekerasan makin besar terjadi pada mereka, baik itu dari masyarakat maupun aparat keamanan. Tak sebatas itu, penyebutan waria—wanita pria—kepada mereka yang seharusnya lebih layak disebut dengan transgender. Cara memanggil mereka dengan nama lahir pun yang kemudian mengingatkan mereka memiliki nama yang maskulin adalah bentuk hal-hal kecil yang termasuk kekerasan kepada para transgender. Baik itu transwomen (male to female) ataupun transmen (female to male). Sebab itu, mengedukasi terminologi juga merupakan upaya advokasi bagi para transgender. Meski masyarakat awam taunya transgender adalah waria. Saat ini Cangkang Queer sedang mencari alat advokasi yang lebih efektif, kekerasan yang didapati
,
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015 oleh para LGBT terutama transgender terus menerus berkembang dalam banyak hal kompleks. Terkait kegiatannya membantu advokasi transgender, Cangkang Queer rutin menggelar perayaan Transgender Day of Remembrance (TDoR) yang jatuh setiap 21 November. Tahun lalu misalnya, diskusi publik yang dilaksanakan bertajuk memutus rantai kekerasan terhadap transgender dengan mengundang Polresta Medan sebagai pembicaranya. “Selama ini laporan pengaduan transgender kan susah diterima nah ini kita diskusikan jadinya,” ujar Dika. Kembali ke Hanim. Hanim yang juga seorang pemerhati psikologis LGBT bilang selama ini tak bisa dipungkiri, bagaimana masyarakat memandang transgender yang lebih terlihat secara fisik. Hal ini menjadikan ruang transgender menjadi sempit dalam hal pekerjaan. “Jarang kan ada perusahaan yang mau menerima mereka,” katanya. Achmad Fadhlan Yazid, Mahasiswa Fakultas Teknik 2010 USU sepakat masyarakat harus mengakui para transgender memang ada dan mencegah masyarakat melakukan tindak diskriminasi. M e n u r u t n y a transgender berhak mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara dan tak boleh mendapatkan kekerasan, baik kekerasan verbal maupun fisik. Namun selanjutnya menurut Fadhlan, masyarakat tetap harus
|Pelatihan Pembuatan Rencana Strategis yang dilaksanakan di Batam, 17-20 DOKUMENTASI PRIBADI
,
15 laporan khusus
Panggil Saja Transgender
Waria itu adalah waria, ya, waria. Atau manusia yang dianalogikan kayak ubi, ditanam di mana saja tumbuh.
AMANDA HIDAYAT- | SUARA USU
Eduard Siahaan Ketua Komunitas Medan Sehati
berperan untuk mengubah perilaku para transgender. Fadhlan sepakat adanya lembaga swadaya masyarakat ataupun komunitas yang memberi perhatian khusus pada transgender asalkan tujuan mereka jelas untuk memberikan edukasi ataupun agenda mereka memang untuk menambah wawasan dan kemampuan. Bukan malah mengarahkan mereka kepada pekerjaan yang lazimnya dianggap masayarakat melanggar norma dan kesusilaan. Pada akhirnya Fadhlan mengatakan transgender atau waria memanglah semacam penyakit, sebab termasuk ke dalam penyimpangan sosial dalam masyarakat, namun itu masih bisa diubah. “Ada yang bisa berubah juga kok, sudah banyak,” jelasnya. Di sinilah masyarakat harus berperan. Kalau Fadhlan bilang transgender adalah semacam penyakit, berbeda pula dengan Hanim. Hanim bilang, dalam disiplin ilmu psikologi transgender bukanlah termasuk suatu gangguan jiwa. Karena dalam beberapa kasus biologis, kecenderungan naluri dan perasaan yang muncul dalam diri transgender merupakan faktor bawaan lahir. “Beberapa versi mengatakan bukan dari gen juga, bisa jadi dibawa melalui kromosom,” jelasnya. Walau ada kasus situasional yang biasanya berkaitan dengan finansial terjadi. Hanim menyimpulkan, transgender bukanlah sesuatu yang harus dipaksakan berubah, tapi yang terpenting adalah pemberdayaannya. Kalau Edo, dia yang menganalogikan transgender semacam ubi
yang enggak bisa diubah jadi melon atau jeruk. Baiknya ubi itu diberdayakan, dalam pengalogiannya dipotong kecil-kecil laludigoreng dengan tambahan cabe atau saos, sebagai pengganti kentang goreng, ubi kadang lebih nikmat. “Atau tape mungkin,” candanya.
Tentang Gender dan Jenis Kelamin Berbicara tentang gender, sampai sejauh ini baik Edo maupun komunitas pejuang HAM untuk kesataraan gender lainnya di kota Medan belum pernah ada advokasi khusus untuk itu. Baik Cangkang Queer atau pun Kemas sendiri belum pernah blak-blakan akan melakukan advokasi khusus. Mereka dalam pertemuan-pertemuannya biasanya fokus pada kasuskasus yang sedang terjadi pada anggota komunitas mereka. “Semacam ada anggota yang terkena razia atau terkena suatu penyakit, biasanya kita fokus pada penyelesaian masalah,” kata Edo. Seperti dikatakan Edo, pembahasan mereka memang tak jauh-jauh dari kasuskasus yang menimpa anggota komunitas. Meski sesekali diselipkan pembicaraan ihwal indahnya kesetaraan gender juga berlaku untuk transgender. Tapi biasanya kata Edo, pembicaraan ini tak bakal jadi pembicaraan serius, apa lagi sampai ke keluar komunitas. Jauh sebenarnya dalam hati Edo, ia juga mendambakan transgender dijadikan sebagai jenis kelamin ketiga yang mendapat persamaan atau setara dalam urusan gender. Tapi Edo juga begitu pesimis untuk hal ini. Edo mencontohkan Amerika Serikat (AS) yang baru-baru ini mengesahkan secara hukum hubungan sesama jenis. Menurut pendapat Edo, AS saja yang begitu sekuler sejak puluhan tahun lalu baru tahun ini mengesahkan pernikahan sesama jenis kelamin. “Itu hasil dari perjuangan puluhan tahun, bahkan lebih,” ujar Edo. Di Indonesia sendiri, Edo memperkirakan hal ini akan sangat sulit terjadi. Bukan kenapa tetapi masalah apapun ujungujungnya selalu berkaitan dengan agama. Jadi masih sangat jauh dari kata sekuler, apa lagi yang berkaitan dengan transgender. “Bisa jadi perdebatan setengah mati, tapi mungkin iya, puluhan atau ratusan tahun lagi,” katanya.
16 mozaik
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
cerpen
Di Ujung Penantian Shapira Axelia Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2014
D
ebur ombak pecah terbentur karang di pinggir pelabuhan. Hari itu langit sudah sore, nelangsa dengan semburat oranye mulai terbekap tirai malam. Angin laut pun mulai berhembus kencang dan mengibarkan helai-helai rambutku. Namun, aku masih saja duduk termangu di ujung pelabuhan, menanti seseorang untuk kembali. Seketika, butiran air menetes di lipatan betisku. Awalnya aku pikir, mungkin ini adalah air hujan yang merembes dari poripori awan. Ternyata, butiran air itu tak lain adalah butiran air mataku sendiri. Spontan, aku langsung mengusap kelopak mataku. Aku hanya ingin kelihatan sedikit tegar untuk saat ini saja. Sialnya, kapal layar yang membawa pergi orang yang kurindukan tak kunjung merapat di sini. Aku mencoba menutup kedua mataku dengan telapak tangan, berharap kapal layar itu sudah memacangkan tali dan menjatuhkan jangkar di perairan dangkal lautan. Satu…. Dua…. Tiga…. Namun, tetap tidak ada keajaiban. Tak ada tandatanda kehadiran kapal layar itu. Tak juga wujudnya. Hanya sayup-sayup kepakan sayap burung camar yang menjawab hitungan itu. Malam pun kiat pekat dan lampu mercusuar sudah dinyalakan. Di sini, entitasku tak lain hanya sesosok gadis lugu yang terawetkan oleh aroma asin laut yang gurih. Derap langkah pelanpelan merambat di atas kayukayu yang berjejer di pinggir pelabuhan. Jangan… jangan. Aku hanya ingin sedikit berlama-lama di sini, meneri akkan surau sepi, rontaku dalam batin. “Nak, pulang yuk. Hari sudah malam.” Wanita paruh baya yang kupanggil Ibu itu membujukku dengan nada manja, walau hal itu tidak sebanding dengan raut letih yang bersemai di wajahnya. Yah, lampu petromaks yang memantulkan semua bahasa tubuh itu. Aku hanya sedikit enggan untuk bangkit dari tempat peraduanku sedari sore tadi. Sisasisa waktuku menunggu orang itu hingga sang surya terlelap. Tak ada obat mana pun untuk mengobati rasa rindu ini. Aku berdiri merangkul tas sekolah dan menggotong sepasang sepatu butut di sudut
bahuku. Aku menghela nafas panjang dan berjalan pergi dari pinggir pelabuhan, mengikuti Ibu menuju arah pulang ke rumah gubuk. Sekali lagi aku palingkan wajahku ke belakang, berharap ada keajaiban, sekali lagi, sekali lagi saja. Namun, tetap tidak ada keajaiban. Huh! Mungkin aku terlalu banyak membaca buku dongeng, tuturku sambil memonyongkan bibir ke depan.
berdinding anyaman bambu, beratapkan ijuk, dan beralaskan pasir putih. Lampu petromaks hanyalah satu-satunya teman setia belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Ngomongngomong sampai detik ini, Kampung Nelayan ini belum juga terjamah oleh listrik. Jadi karena sangkin dongkolnya tidak ada listrik, aku hanya bisa bergurau jika saja ada Faraday di sini. Kuserakkan semua buku-buku belajar di atas meja sederhana, kuadukaduk isi otakku untuk menghasilkan formula jenius, dan sekejap semua soal sudah terisi penuh. Akh! Capeknya. Aku menjatuhkan diri di atas pasir putih sambil melentangkan tanganku dengan lepas. Mata ini mulai meraba-raba objek di sekeliling ruangan, hingga terhenti pada satu benda usang yang tergantung satu setengah meter dari permukaan bumi. Figura foto keluarga. Lagi-lagi, pasir ini bermandikan air mata seperti malam-malam sebelumnya. Ya! Iya! Aku memang tak kuasa membendung semua kerinduan ini, kerinduan yang telah meradang selama bertahun-tahun karena menunggu seseorang yang telah pergi berlayar jauh tanpa meninggalkan sepatah kata pun padaku saat pagi-pagi subuh. Dan kini, aku tetap berusaha meyakinkan diriku bahwa orang masih hidup dan pasti akan kembali. Walau aku tidak tahu, mungkin saja orang itu sudah beristri lagi di pulau antah berantah, atau mati ditelan gelombang ganas di tengah laut. Aku hanya ingin orang itu kembali. Uhukk!!! Uhuukkk!!! Darah bermuncratan keluar di manamana. Penyakit paru-paruku kambuh lagi. Ibuku kontan saja membopongku keluar dari kamar dan melarikanku ke ahli pengobatan yang berada enam kilometer jauhnya dari gubuk ILUSTRASI : ALFAT PUTRA IBRAHIM | SUARA USU kami. Sepanjang perjalanan batukku semakin Pintu gubuk terbuka, dan seperti biasa hebat dan baju rombeng ibu berlumuran dengan terdengar engsel pintu yang berderet muntahan darah. Ibuku tetap menguatkan diriku ringkih karena sudah lama berkarat. Ibu, untuk bersabar sedikit lagi, namun aku tidak bisa menyuruh aku untuk salat dulu sebelum lagi bertahan lebih lama. Dengan tanganku yang makan malam. Tentu saja, mana mungkin lemah aku menepuk pundak ibu dan memintanya aku mengabaikan pinta malaikat yang untuk mendudukkanku di pinggir laut. Tanpa dititipkan Tuhan untuk menjagaku. buang-buang waktu, aku bersimbah sujud Dan seperti biasanya, aku tidak selera menghadap ke bibir pantai sambil berbisik pada makan. Aku kembali ke kamar tidur yang air laut untuk mengantarkan pesan terakhirku tidak seberapa megah jika dibandingkan pada orang itu. kamar puteri kerajaan. Hanya kamar “Ayah, cepatlah kembali.” Dan aku pun binas.
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
mozaik 17
sorot
puisi
Walau Berbeda-beda, Medan ya Medan Kita Jua Rati Handayani
Sumatera Utara dianggap hanya Medan saja. Sukunya dikira Batak semua. Padahal itu hal yang beda.
L
ibur semester genap lalu, Erdianta Sitepu, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU angkatan 2012 ikut Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan sebulan penuh di Siak, Provinsi Riau. Malam pertama KKN, mereka berkumpul di posko, berkenalan dan membuat program. Hingga tiba giliran Erdianta untuk berkenalan. “Saya Erdianta Sitepu dari USU, Medan,” katanya. Sontak, perkenalan Erdianta disambut seorang mahasiswa dari Universitas Negeri Riau. “Hai Lae!” Erdianta senyum-senyum saja. Ia yang bermarga Sitepu tak seharusnya dipanggil lae, sebab lae adalah sapaan untuk laki-laki Batak Toba. Harusnya disapa impal—sapaan laki-laki Karo—namun ia enggan menjelaskan. “Sudah biasa, kalau dari Medan dan bermarga dikira Batak. Kalau dijelaskan saya bukan Batak, panjang ceritanya,” jelas Erdianta. Ini bukan kali pertama ia mengalaminya. Jadilah selama sebulan mengikuti KKN, ia dipanggil lae. Fikarwin Zuska, antropolog dan dosen Departemen Antropologi FISIP USU katakan orang luar cenderung mengidentifikasi orang Medan sama dengan orang Batak. Hal ini terjadi karena adanya konstruksi budaya lewat beragam cara. Misalnya jika berpergian ke luar daerah, orang Batak cenderung mengenalkan diri dari Medan walau sebenarnya ia bukan dari Medan melainkan dari kota atau kabupaten lain di Sumatera Utara (Sumut). Fikarwin juga punya cerita tentang ini, saat menunggu kereta api di Depok, ia bercakapcakap dengan seseorang di sebelahnya. “Dari
mana?” tanya Fikarwin. “Dari Medan, Pak, ” jawab orang itu. Mendengar orang tersebut dari Medan, Fikarwin merasa punya kedekatan, maka ia tanya lagi, “Medan, dimana?” Laki-laki itu agak lama berpikir, beberapa detik ia terdiam dan setelahnya baru ia jawab, “Tarutung.” Selain itu, Fikarwin mengatakan orang Batak cenderung tersebar dimana-mana. Mereka terkenal lebih berani dan menonjol. Banyak dari mereka yang jadi penyanyi, pengacara, preman, birokrat, prajurit TNI, guru, polisi dan terkenal. Mereka pun cenderung memperkenalkan diri dari Medan dan disapa horas. Fenemona memperkenalkan diri dari Medan ini dipandang Fikarwin sebagai suatu hal wajar. Sebagai ibu kota propinsi Sumut, Medan lebih terkenal ketimbang kota dan kabupaten lainnya. Jika seseorang memperkenalkan dirinya dari kota atau kabupaten lain di Sumut, cenderung lawan bicaranya akan bertanya lagi dimana daerah yang dimaksud. Percakapan akan jadi kian panjang karena pertanyaan demi pertanyaan akan timbul. Tak apalah jika ingin perkenalkan diri dari Medan jika memang tak mau panjang menjelaskan. Dikira Batak karena bermarga padahal Anda Karo, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak atau Melayu sekali pun ya tak apa. Namanya konstruksi budaya telah menjadikan Medan identik dengan Batak, walau Istana Maimun kokoh berdiri di Medan pertanda jayanya Melayu Deli di zaman dahulu. Walau sensus penduduk terakhir mengatakan Jawa dominan di Sumut. Walau Tamil, Aceh, Minangkabau, Tiongkok juga menghuni kota ini. Jadi jika dikira Batak karena perkenalkan diri dari Medan, ya gampang saja, jelaskan kalau Anda bukan Batak. Edukasi lawan bicara dan jelaskan Medan bukan Batak saja. Ada banyak etnis mendiami Medan, salah satunya etnis Anda. Medan ya milik kita, walau kita berbeda-beda.
Teka Teki Orang Hilang Gito Marnakkok Pardede Fakultas Pertanian 2011 Berangkat dari kotamu Menuju kota tempat persinggahan terakhirmu Dengan berani suarakan ucapan hati Dengan sajak sedikit menyakiti Tak gentar tak berhenti Bantuan sekelompok orang ikut melindungi Kau diburu dicari dan dihakimi Tubuhmu yang kurus mulai dicari Rusak gores dan ternodai Berawal propaganda dari lirik puisi Matamu nyaris buta akibat pukulan senjata api Dia berani angkat suara bukan angkat senjata Karena tak adilnya kata menampar muka Aku kenal dia Wiji . . . sang aktor propaganda Laki laki muda itu dicari dan ingin diberi mati Tak takut lebih sering berani Laki-laki muda itu hilang hingga kini Tak ada yang tahu pasti Masih jadi teka teki
si poken
Perih kali mataku, bah. Knalpot angkot mana bikin asap sebanyak ini?
Bukan knalpot angkot ini, Ken, ada yang lagi “ngerokoki” hutan Indonesia, alias kebakaran hutan.
Parah! Terbakar lagi. Ironis, bah. Indonesia dijuluki sebagai paru-paru dunia tapi hobinya membakar hutan sendiri. Kalo gini dampaknya banyak. Ruang publik tak lagi memberikan udara segar, sekolah banyak diliburkan, penerbangan dibatalkan. Harus diberi sanksi ini! Terus yang penting buat langkah pencegahan. Karena ini bukan kali pertama. Masa penduduk paru-paru dunia kena ISPA.
Besok ku pakeklah helm Kamen Riderku di rumah. Biar enggak kena asap.
Macam betul aja kau.
ARMAN MAULANA | SUARA USU
18 potret budaya
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015 ADUK |
Saksang yang dijual di warung yang menjual masakan khas Batak, Minggu (27/9). Secara antropologi, Saksang sebenarnya bukan merupakan masakan khas Batak.
g n a s ak
S
Masakan Khas Batak yang Bukan Asli Batak
VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
Fredrick Broven Ekayanta Ginting
Makanan ini disebut khasnya Batak dan ada di setiap acara adatnya. Namun siapa yang mengira, masakan ini bukan masakan asli suku Batak.
M
artin Hutabarat (21) mengikuti acara pernikahan adat Batak beberapa waktu lalu. Sudah menjadi tradisi jika acara adat—perkawinan, kelahiran, kematian, sampai martutu aek (semacam pembaptisan bayi, namun dilakukan secara adat)—akan disajikan masakanmasakan khas Batak. Satu di antaranya ialah saksang. Berkuah gelap dengan potongan-potongan kecil daging, bisa daging kerbau, sapi, ataupun babi. Ketika jam makan tiba, masakan ini menjadi lauk utama yang dibagi-bagikan kepada tamu undangan. Sebelum di-saksang, biasanya daging yang digunakan direbus setengah matang. Lalu dicincang (manjal-jali) untuk direbus bersama bumbu yang telah disiapkan. Salah satu bumbu andalan yang digunakan adalah andaliman.
Uniknya, kuah yang digunakan untuk merebus daging dan bumbu adalah darah daging hewan yang dimakan. Saksang ini disebut saksang margota, sedangkan saksang yang tidak menggunakan darah sebagai kuah disebut saksang naso margota. Martin tahu jika sejarah saksang berkaitan dengan kanibalisme. “Kalau ada orang luar, yang beda warna kulit dengan Batak, kalau macam-macam dipotong nadinya,” ujarnya sambil menunjukkan pergelangan tangan kiri. Setelah nadi tersebut dipotong, darahnya diberi asam. Pun dengan pencuri, “disembelih (dengan cara potong nadi –red) juga,” sahutnya. Salah satu tujuannya agar yang bersangkutan merasa kesakitan sehingga menghilangkan ilmu yang mungkin dimiliki orang tersebut. Namun dapat pula tujuannya untuk mendapatkan ilmu tertentu. Bukan Asli Batak Antropolog Prof Robert Sibarani menjelaskan jika saat ini saksang dikenal sebagai masakan khas Batak, meskipun sebenarnya bukan masakan asli Batak. Masakan asli Batak sendiri adalah na ni ura, na ni tobur, na ni arsik, na ni kotaan, ataupun na ni padar. “Dari segi antropolinguistik, itu nama asli (dari Bahasa Batak –red),” cerita Prof Robert. Dari segi antropolinguistik inilah kemudian saksang dapat diduga bukan merupakan masakan asli Batak. Secara bahasa, ‘saksang’ memang bahasa Batak Toba. Namun kata terse-
| Suasana warung penjual saksang, Minggu (27/9). Kini, saksang tidak hanya disajikan saat acara adat Batak saja, tapi sudah banyak dijual. RAMAI
YULIEN LOVENNY ESTER GULTOM | SUARA USU
but berasal dari bahasa Melayu yaitu ‘cincang’, yang maknanya berarti ‘dipotong kecil-kecil’. Dalam bahasa Toba, huruf ‘c’ berubah menjadi ‘s’. “Kalau dulu ada, pasti ada namanya” lanjut Prof Robert. Ditelusuri melalui sejarah, disebut bahwa saksang pertama kali dikenal suku Batak bersamaan dengan masuknya agama Kristen saat dikenalkan oleh misionaris Eropa. Para misionaris juga yang mengenalkan daging babi kepada suku Batak, karena itu tidak ada bahasa Batak untuk menyebut ‘babi’. Sekaligus para misionaris tersebut yang mengenalkan penggunaan darah sebagai bahan masakan. Prof Robert meluruskan jika suku Batak dahulu tak pernah punya tradisi menggunakan darah sebagai bagian dari masakan. Seperti yang dikatakan Martin, yang makan darah dulu berkaitan dengan kegiatan perdukunan. “Jadi bukan karena taste (selera –red).” Martin juga menyampaikan pada dasarnya ajaran Batak melarang penggunaan darah karena dianggap sebagai lambang kehidupan/nyawa. Pun dalam adat ada juga istilah disebut parsubang gota yang berarti berpantang darah. Oleh karena itulah, di setiap hidangan saksang disajikan dengan dan tanpa darah. Lebih jauh, agama-agama lama Batak seperti Malim, Parhudamdam, dan Galunga si Raja Batak tak menggunakan babi sebagai hidangan utama, tak menggunakan darah, dan dalam acara adat tak mengenal saksang. Namun, karena sudah lama dikenal dalam setiap acara adat Batak, banyak yang mengganggap saksang masakan khas dan berasal dari suku Batak asli. Adapun saksang saat ini menjadi hidangan utama di acara-acara adat Batak lebih dikarenakan kepraktisan. Daging yang di-saksang biasanya karena untuk penghematan, lebih irit, dan lebih mudah mengaturnya. “Berapapun orang dalam acara kalau di-saksang bakal cukup, mudah dikondisikan,” cerita Prof Robert. Dalam acara adat Batak, penggunaan daging yang di-saksang juga diperhatikan. Biasanya akan ada rapat dari pihak keluarga akan menyajikan daging apa. “Daging babi biasa digunakan di pesta kecil dan miskin,” ujar Prof Robert. Sementara untuk acara yang lebih besar akan menggunakan daging sapi, kemudian kerbau. Saat ini masakan saksang dapat ditemui tak hanya di acara-acara adat saja. Di rumah-rumah makan masakan Batak pasti menyiapkan menu saksang. Namun, menurut Martin sudah jarang saksang dihidangkan bersamaan dengan darah.
riset 19
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
Halte Bus Kampus Cukup Efektifkah?
B
1.
UU
us kampus merupakan transportasi alternatif bagi mahasiswa-mahasiswa USU yang tidak memiliki kendaraan pribadi. Hampir dua tahun bus kampus beroperasi, berkeliling dan berhenti sesuai letak halte yang sudah ditentukan. Tak dipasang di semua fakultas namun hanya sebagian saja dengan pertimbangan bisa dijangkau oleh fakultas yang berdekatan dengan halte. Namun, sudah maksimalkah ketersebaran serta penggunaan halte bus kampus selama ini? Apakah mahasiswa USU merasa letak halte efektif? Jajak pendapat ini dilakukan dengan melibatkan 384 mahasiswa USU. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara accidental sampling dan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Kuesioner disebar dalam rentang waktu 8 hingga 16 September 2015. Dengan tingkat kepercayaan 95 persen dengan sampling error lima persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa USU. (Litbang)
2.
Pernah atau tidak pernahkah Anda menggunakan bus kampus? Tidak Pernah
26.85%
Menurut Anda, cukup atau tidak cukupkah jumlah halte bus kampus saat ini?
73.15%
Pernah
Cukup
67.87%
UU U U 4.
Biasa Saja 25.00%
5.
56.02%
Berpengaruh atau tidak berpengaruhkah pembongkaran hatle bus kampus untuk keefektifan pemberhentian bus kampus? Berpengaruh Tidak Berpengaruh 21.69% 53.31%
3.
32.13%
Menurut Anda, sudah atau belum efektifkah ketersebaran letak halte bus kampus? Sudah
Belum
58.80%
41.20%
Menurut Anda, dimana halte paling banyak mahasiswa naik? (Boleh pilih lebih dari satu)
Pintu 1
Ramai
Tidak Cukup
Fasilkom-Ti
Tidak Ramai
Ramai
43.98%
3.70%
PINTU 4
Sumber
Tidak Ramai
Ramai
96.30%
Tidak Ramai
58.80%
41.20%
FF
A Sofyan (Tembok) Ramai
Tidak Ramai
17.59%
82.41%
FMIPA
FISIP
Ramai
Tidak Ramai
Ramai
Tidak Ramai
Ramai
Tidak Ramai
Ramai
Tidak Ramai
18.98%
81.02%
4.63%
95.37%
19.91%
80.09%
7.41%
92.59%
Gelanggang Mahasiswa
FKG
PINTU 3
Ramai
Tidak Ramai
Ramai
Tidak Ramai
Ramai
Tidak Ramai
5.09%
94.91%
3.24%
96.76%
4.17%
95.83%
20 resensi Judul Penulis Penerbit Tahun Terbit Jumlah Halaman Harga
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
: Satu Semester Lagi : Rimawarna : Dicetak secara indie : 2015 : 140 + iv halaman : Rp 40 ribu
Lazuardi Pratama
Kumpulan cerpen tentang balada hidup mahasiswa dan kampusnya. Masih miskin perspektif walaupun sukses mengulas sisi realistis mahasiswa. i suatu tempat, di universitas antah-berantah, tersebutlah Fajar, seorang mahasiswa baru (maba). Ia merasakan cinta pandang pertama pada seorang mahasiswi demonstran. Cinta pada pandang pertama itu bergejolak di antara demonstrasi mahasiswa yang tergabung dalam kelompok Aksi 98. Aksi 98 adalah semacam unit kegiatan mahasiswa tidak resmi yang gemar diskusi dan demonstrasi. Oleh sebab ingin dekat dengan pujaan hati, Fajar coba mendaftar masuk. Sebuah motivasi yang polos. Setelah wawancara masuk organisasi, pengertian Pancasila, teori dekonstruksi Jacques Derrida, posmodernisme, fundamental moralisme ekonomi, bla-bla-bla, tibalah demonstrasi di depan Istana Negara. Fajar diserahi tugas sebagai orator. Tugas keren bin luar biasa itu kemudian hancur berkepingkeping gara-gara pertanyaan-pertanyaan realistis reporter televisi. “Turunkan harga BBM atau berantas korupsi!” “Kenapa di Istana Negara? Kenapa enggak Gedung MPR/DPR?” “Tapi presiden yang bertanggung jawab!” “Bertanggung jawab gimana?” “Ya, pokoknya begitu!” “Katanya ada nasi bungkus?” “Eh... anu.” Itulah potongan cerpen berjudul Sangkut karya Dan TD. Sindiran perih atas budaya laten sebagian aktivis mahasiswa: canggih bicara, miskin isi kepala. Ada lima cerpen tentang mahasiswa lagi dalam buku ini. Ksatria Merahku karya Meka Medina yang bercerita tentang mahasiswa dan tukang ojek daring, My-Jek; Pelangi di Balik Guntur oleh Fariz Rusli tentang seorang mahasiswa genius juga antisosial bernama Guntur dan cewek supel bernama Pelangi yang meruntuhkannya; Agen Perubahan oleh Lee Han tentang aktivis mahasiswa yang berjuang menolak kebijakan kantong parkir di kampusnya; dan Lulus oleh Shengar tentang mahasiswa semester akhir yang malas tamat karena nyaman menjadi mahasiswa. Ada pula cerita ekstra yang berjudul Ketika Data Hilang oleh Barhan tentang penderitaan seorang mahasiswa ketika data penelitiannya hilang bersama flashdisk yang rusak. Bagai jatuh tertimpa tangga,
VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
Saga Mahasiswa Sehari-hari jatah kuliahnya tinggal sebulan sebelum putus studi. Kumpulan cerpen berjudul Satu Semester Lagi ini adalah sekuel dari kumpulan cerpen berjudul Semester yang terbit tahun 2014 lalu. Keduanya setipe: sama-sama bercerita tentang seluk-beluk kehidupan menarik mahasiswa. Satu Semester Lagi ini dirilis pertama kali untuk Comic Frontier 6, pameran karya kreatif Indonesia di Jakarta, 22 hingga 23 Agustus lalu. Sekarang Rimawarna menjual kedua buku tersebut secara daring lewat halaman Facebook-nya. Keenam penulis tadi, editor, dan ilustrator—iya, buku ini dilengkapi ilustrasi satu halaman per cerpen—yang mengerjakan buku ini tergabung dalam satu lingkar pertemanan bernama Rimawarna. Mereka ini awalnya berasal dari Anime & Manga Haven, salah satu subforum di Kaskus. Karena samasama memiliki latar belakang sebagai mahasiswa, akhirnya mereka membuat Semester dan dilanjutkan dengan Satu Semester Lagi ini. “Lagian juga bisa dijadikan media curhat,” kata Winsen Tandra, pemimpin proyek sambil terkekeh. Di buku Semester sebelumnya,
ada cerita tentang mahasiswa semester tua yang memilih minum tiga puluh pil tidur karena lelah dengan skripsi. Ada pula cerita tentang mahasiswa apatis dan skeptis terhadap kampanye pesta demokrasi tahun lalu. Kemudian ada lagi cerita mahasiswa yang dihantui bayangan nyata mantan pacarnya. Dalam kedua buku, ada total masing-masing tiga cerpen tentang skripsi dan aktivis mahasiswa. Winsen berkata lewat pesan Facebook bahwa itulah daya tarik cerita tentang mahasiswa. Ya, jelas, sejak zaman skripsi dijadikan kunci kelulusan dan seiring berkembangnya dunia sosial, ia begitu banyak dieksploitasi. Begitu juga dengan aktivis mahasiswa dalam kedua buku ini. Namun, itu jua yang melemahkan buku ini. Ada lebih banyak problematika mahasiswa yang sering dialami namun luput dari perhatian khalayak. Ya, bisa saja seperti balada goyahnya iman mahasiswa religius yang memilih tinggal di musala, atau mahasiswa berprestasi yang manja, atau mahasiswa baru yang kena tindas seniornya, atau masih banyak lagi. Banyak segi dari kehidupan
mahasiswa yang layak untuk digali. Oleh sebab itu, buku ini sebetulnya potensial. Kendatipun begitu, Rimawarna menawarkan segi unik lain. Lewat kedua bukunya tersebut, mereka menyuguhkan pesan sederhana: mahasiswa adalah manusia. Manusia dalam tahap peralihan, antara dua belas tahun terkekang sistem sekolah dengan kebebasan individu sebagai pribadi dewasa. Cerpen-cerpen di dalamnya adalah gambaran realistis atas hal itu. Dan tentu saja tergantung perspektif si penulis. Seperti bagaimana depresi dan absurdnya pikiran seorang mahasiswa karena data penelitiannya hilang dalam kesia-siaan. Walaupun juga terkesan berlebihan dalam sudut-sudut tertentu. Seperti me ngapa mahasiswa sosiopat dan antisosial garis keras bisa jadi ketua panitia acara terbesar kampus, atau pengemudi My-Jek yang masih bisa ngobrol santai dengan penumpangnya ketika motor sedang ngebut di jalanan. Terlepas dari itu, beginilah beberapa gambar hidup mahasiswa masa kini yang berhasil dipotret Rimawarna. Secara tersirat terasa seperti menyindir, namun menimbulkan nostalgia dan rasa kedekatan.
SUARA USU, EDISI 104, september 2015
iklan 21
22 iklan
SUARA USU, EDISI 104, september 2015
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
2 Juli 2015
Teknik Bersatu Galang Dana untuk Anak-Anak Sinabung MAHASISWA yang tergabung dalam Gerakan Teknik Bersatu menggalang dana membantu anak-anak korban bencana erupsi Gunung Sinabung dengan pertimbangan saat ini kondisi psikologis anakanak korban bencana erupsi Gunung Sinabung sedang tertekan pasca-erupsi, disampaikan oleh Gunarto Situmorang, Koordinator Gerakan Teknik Bersatu, Rabu (1/7). Gunarto mengatakan ada banyak anak butuh biaya sekolah karena orang tua mereka sudah tidak bekerja lagi, bahkan ada yang putus sekolah. Aksi galang dana ini dilakukan sejak 22 Juni lalu dengan mengajak serta mahasiswa dari berbagai fakultas. Mahasiswa FT 2014 Gading Hidayat mendukung aksi ini dan menyarankan sebaiknya tidak difokuskan untuk anak-anak saja. Sebab semua membutuhkan bantuan. Hingga saat ini, Gerakan Teknik Bersatu berhasil mengumpulkan sumbangan sebesar enam juta rupiah, serta alat tulis dan pakaian bekas. Sumbangan ini akan diserahkan Sabtu, 4 Juli ke posko-posko korban erupsi Gunung Sinabung di Kabanjahe. (Dewi Annisa Putri) 12 September 2015
Bina Karakter Generasi Muda, Kodam I/BB Pamerkan Alutsista
VANISOF KRISTIN MANALU | SUARA USU
SUASANA pameran Alat Utama Sistem Pertahanan Nehara (Alutsista) yang diadakan oleh Komando Daerah Militer (Kodam) I/Bukit Barisan di pelataran Auditorium USU, Kamis (10/9). Kegiatan ini memamerkan senjata khas milik berbagai kesatuan dalam TNI Angkatan Darat dan diikuti pelaksanaan kuliah umum. 23 September 2015
KPU USU 2015 Resmi Terbentuk KOMISI Pemilihan Umum (KPU) USU 2015 terbentuk setelah dilakukan pemilihan ketua, sekertaris, dan bendahara pada 11 September lalu oleh 21 komisioner KPU dari seluruh fakultas, disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Achmad Fadhlan Yazid, Jumat (18/9). Anhar Ismail dari Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi (Fasilkom-TI) terpilih sebagai Ketua KPU 2015. Sementara Basri Syaputra dan Khirzun Nufus terpilih sebagai sekretaris dan bendahara. Anhar Ismail, Ketua KPU USU 2015 katakan akan berkoordinasi dengan pema untuk mempersiapkan pemilihan umum raya (pemira). Fadhlan juga katakan pema telah menyerahkan tugas pelaksanaan Pemira USU 2015 kepada KPU. Kini pema bertugas sebagai peninjau dan berkoordinasi dengan KPU untuk melancarkan pemira. Surat Keputusan (SK) oleh pema telah diserahkan oleh Wakil Presiden Abdul Rahim dan Fadhlan kepada Anhar pada 18 September. (Alfat Putra Ibrahim)
momentum 23
9 September 2015
Mahasiswa FIB Adakan Aksi Bakti Kampus
SRI WAHYUNI FATMAWATI P | SUARA USU
BEBERAPA mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB) yang tergabung dalam komunitas Badan Koordinasi FIB sedang mengecat pagar FIB, Selasa (8/9). Kegiatan ini dilakukan dalam rangka Aksi Bakti Kampus yang diadakan oleh Badan Koordinasi FIB dengan mengusung subtema ‘Pray For FIB’. 13 September 2015
Desember, Rektorat Targetkan Jaket Almamater 2014 Rampung
JAKET almamater mahasiswa angkatan 2014 dijadwalkan akan selesai pada Desember nanti sebab masih membutuhkan waktu pengerjaan selama tiga bulan setelah terpilih pemenang tender dua pekan sila, papar Pejabat Pelaksana Program Kerja dan Anggaran Joko Wibowo, Kamis (10/9). Ia katakan pengerjaan jaket almamater 2014 dimulai setelah tanda tangan kontrak dengan pemenang lelang yakni PT Inkabiz Indonesia dengan tawaran Rp 1.384.317.000,00. Mahasiswa Fakultas Kehutanan 2014 Siti Nadira katakan ini terlalu lama mengingat universitas lain mendapatkan jaket almamater saat pendaftaran ulang. Joko sampaikan salah satu penyebab lamanya adalah lambatnya pihak kemahasiswaan memberikan data ukuran mahasiswa 2014 dan menyarankan mempercepat proses pengukuran mahasiswa 2015. (Amelia Ramadhani) 17 September 2015
Kemenhan Sosialisasikan RUU PSDN-P KEMENTERIAN Pertahanan melalui Direktorat Komponen Cadangan, Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan menyosialisasikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (PSDN-P) kepada lingkungan akademisi Sumatera Utara di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) USU, Selasa (15/9) dalam rangka apabila RUU gol (disahkan menjadi UU) di Dewan Perwakilan Rakyat supaya lebih sempurna, ujar Kepala Subdirektorat Matra Darat Arif Wahyu. Arif mengatakan saat ini RUU PSDN-P masih dalam bentuk draf awal dan merupakan simpli�ikasi dari tiga RUU, yakni RUU Bela Negara, RUU Komponen Cadangan, dan RUU Komponen Pendukung untuk Pertahanan Negara serta terdiri atas 7 bab dan 47 pasal. Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Zakaria mengapresiasi langkah Kemenhan. Namun RUU ini lebih tepat diberi judul RUU Pasukan Cadangan karena dalam draf RUU ini aturan soal bela negara mencakup 6 pasal, komponen cadangan 24 pasal, dan komponen pendukung 11 pasal. Mahasiswa Fakultas Hukum 2012 Dora Virgolin menyatakan kegiatan ini cukup mengisi dan menambah wawasan bagi serta menjadi langkah konkret sebagai wahana mahasiswa mengimplementasikan pengetahuan yang diperoleh dari kampus. (Fredick Broven Ekayanta Ginting)
24 profil
SUARA USU, EDISI 104, SEPTEMBER 2015
Syaiful Burhan,
dipasarkan keluar kampus. “Alhamdulillah, sekarang kalau ada yang datang dari luar kota Medan, sudah banyak yang nanya di mana tempat penjualan Molen Arab,” jelasnya. Menurut Burhan, lingkungan Mutia Aisa Rahmi Ia ingin usaha kuliner. Beberapa pertemanan yang ia jalani selama ini bentuk camilan terlintas hingga ia memberi pengaruh besar bagi jalan memilih molen. Menurutnya ini adalah yang ia lalui saat ini. Ia yang sejak Dari kecil tinggal jauh dari orang tua makanan yang proses pembuatannya tahun pertama kuliahnya telah tingmembentuknya menjadi pribadi yang cukup mudah dan banyak digemari gal bersama senior yang juga memiliki mandiri. Kini, ia sudah jadi pengusaha orang. “Selain karna saya juga suka usaha sendiri, membuatnya juga terpacu molen,” ujarnya. muda. untuk berusaha untuk membuka usaha. Mulailah ia mencari resep untuk “Selain sering bertukar pendapat, kita sahanya tengah menanjak. molennya. Mulai dari internet hingga juga saling dukung untuk usaha masingbertanya pada salah satu penjual Padahal ini baru minggu masing,” jelas Burhan. gorengan langgananannya. “Pertama kedua ia memproduksi Adalah Syahid Ismail senior kali saya produksi lima puluh buah, 49 sekaligus teman satu kamarnya. Ia molen buatannya senyang dijual, satu saya makan sendiri,” diri. Proses produksi ingat, saat itu dirinya tengah di masa kenangnya. yang ia tangani sendiri membuatnya keraguan antara tetap melanjutkan Penjualan di awal ia lakukan kewalahan, apalagi jumlah molen yang usahanya atau berhenti. Ia kemudian sendiri, pasarnya tentu saja kawandiinginkan pasar semakin tinggi. bertukar pendapat dengan Syahid, dan Ia mulai berpikir untuk menyerah, kawannya sendiri di FP. Semakin akhirnya memutuskan untuk tetap lama permintaan semakin meningkat, melanjutkan usahanya. waktu istirahatnya cukup terkuras kawan-kawannya mulai menawarkan belakangan. Tapi ia pikir, ia tak bisa Syahid, yang merupakan alumni diri untuk menjajakan jualannya di langsung menyerah, energi yang ia USU ini mengatakan, adik juniornya fakultas lain. Hingga semakin lama, habiskan belakangan cukup mengadalah orang yang cukup bersemanMolen Arab mulai menyentuh seluruh gat. Ia adalah sosok yang memiliki hasilkan banyak hal. “Akhirnya saya fakultas. putuskan untuk mempekerjakan perencanaan matang mengenai usaha Setelah akhirnya menambah kartiga orang karyawan,” ungkap Syaiful apa yang akan ia jalankan. Burhan, mahasiswa Fakultas Pertanian yawan, yang saat ini telah mempekerGigih juga tak lepas dari sosok jakan sepuluh orang, jumlah produk(FP) 2010. Ialah sosok di balik nama Burhan, “Dulu dia jual sendiri molenMolen Arab. Saat itu masih awal 2013, sinya semakin meningkat dan mulai nya, jalan kaki sambil tenteng kesaat ia mulai merintisnya. Produksi molen yang awalnya hanya lima puluh, telah menembus BIODATA angka ribuan setiap harinya. Nama: Syaiful Burhan Niat awalnya hanya ingin meriTempat, tanggal lahir: ngankan beban biaya hidup, yang Pemalang, 30 Maret 1993 ditanggung oleh orang tuanya. Niat itu yang membuatnya memutuskan untuk Pendidikan: mencari usaha yang bisa ia kembang• SD Muhammadiyah, Abipura, Jayapura kan. (2005) Setelah berbagai usaha yang ia • SMP SMART Ekselensia, Bogor (2005-2008) coba geluti, mulai dari penyedia jasa • SMA SMART Ekselensia, Bogor (2008-2010) reparasi printer, les private untuk • Jurusan Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian USU (2010-sekarang) siswa, hingga usaha sablon baju, ia putuskan untuk fokus mengelola usaha Prestasi: camilan yang ia beri nama Molen Arab. • Juara III Blogger Kemanusiaan 2011 Ceritanya, ia baru saja menerima • Juara II VOA Indonesia kiriman dari orang tuanya. Uang itu Blog Competition 2012 harus dibayarkan untuk biaya sewa • Juara I Artikel Kepahlawanan 2012 rumah kontrakan yang ia tempati • Penerima Dana Hibah Big Idea bersama kawan-kawannya. Ia berpikir, Competition SEC-USU 2013 dengan kondisi adiknya sakit, keua• Juara I Wirausaha Muda Mandiri ngan keuarganya semakin sulit. Ia Wilayah I 2013 • Finalis Nasional Wirausaha Muda harus mengambil tindakan. Mandiri 2013 Bermodal nekat dengan niat dan • Juara I Business Plan Menko harapan uang itu bisa diputar kem Perekonomian 2014 bali, tidak langsung habis untuk uang kontrakan sehingga ia tidak memiliki uang sama sekali.
Pengusaha Butuh Modal Mental
U
ranjang, setelah itu dia mulai beli sepeda motor hingga sekarang sudah cicil mobil,” ungkap Syahid. Ketika Burhan tengah berada di masa keraguannya tentang usaha Molen Arab, ia akhirnya tak menyerah dan mengambil keputusan yang tepat untuk usahanya. “Waktu itu saya sarankan dia untuk tak berhenti, karena usaha yang ia jalankan masih cukup baru,” kenang Syahid. Burhan sepakat dengan Syahid, ia terus lanjutkan usahanya, meskipun tantangan yang ia lalui cukup sulit, “Mental adalah modal utama pengusaha, bukan modal uang ataupun pekerja. Tapi mental, karena pengusaha akan melewati fase jatuh bangun,” jelasnya. Kini, Molen Arab telah menginjak usia tiga tahun. Setelah menyewa ruko di kawasan Amaliun, Medan, Burhan telah memimpin lebih dari lima belas karyawan. Omzet penjualan juga telah mencapai angka ratusan juta setiap bulannya. Tak banyak yang diharapkan Burhan dekat-dekat ini, tapi Burhan menargetkan usahanya dapat kuasai pasar di Medan dan menjadi salah satu oleh-oleh khas Medan.
SHELLA RAFIQAH ULLY | SUARA USU IKLAN