Majalah mahasiswa suara usu #4

Page 1

Edisi IV/xviii/2013

Rp 10.000 SUARAUSU.CO



Sampul: Gio Ovanny Pratama

mejuah-juah

Pelindung: Rektor Universitas Sumatera Utara Penasehat: Pembantu Rektor III Universitas Sumatera Utara Pemimpin Umum: Debora Blandina Sinambela Sekretaris Umum: Sri Handayani Tampubolon Bendahara Umum: Pebri Hardiansyah Pohan Pemimpin Redaksi: Ipak Ayu H Nurcaya Sekretaris Redaksi: Audira Ainindya Redaktur Pelaksana: Hadisa Primanda Koordinator Online: Aulia Adam Redaktur: Apriani Novitasari, Mezbah Simanjuntak Redaktur Foto: Rida Helfrida Pasaribu, Sofiari Ananda Redaktur Artistik: Gio Ovanny Pratama Reporter: Elfiyanti Zega, Erista Marito O Siregar, Lazuardi Pratama, Rati Handayani, Ridho Nopriansyah, Sri Wahyuni Fatmawati P, Hasnatul Dina, Zikri Fadhilah Fotografer: Andika Syahputra, Wenty Tambunan Desainer Grafis: Audira Ainindya, Yanti Nuraya S Ilustrator: Yanti Nuraya S, Wenty Tambunan Pemimpin Perusahaan: Baina Dwi Bestari Manajer Iklan dan Promosi: Maya Anggraini S Manajer Produksi dan Sirkulasi: Ferdiansyah Desainer Grafis Perusahaan: Siti Alifa Sukmaradia Staf Perusahaan: Sonya Citra Brastica, Abdillah Menri Munthe, Yayu Yohana Kepala Litbang: Izzah Dienillah Saragih Sekretaris Litbang: Malinda Sari Sembiring Koordinator Riset: Fredick B E Ginting Koordinator Kepustakaan: Renti Rosmalis Koordinator Pengembang足an SDM: Guster CP Sihombing Staf Riset: Mutia Aisa Rahmi Staf Kepustakaan Shella Rafiqah Ully Staf Pengembangan SDM Riska Aulia Sibuea Staf Ahli: Yulhasni, Agus Supratman, Tikwan Raya Siregar, Rosul Fauzi Sihotang, Yayuk Masitoh, Febry Ichwan Butsi, Rafika Aulia Hasibuan, Vinsensius Sitepu, Eka Dalanta Rehulina, Muliati Tambuse, Risnawati Sinulingga, Liston Aqurat Damanik, Mona Asriati, Fanny Yulia Alamat Redaksi, Promosi dan Sirkulasi: Jl. Universitas No. 32B Kampus USU, Padang Bulan, Medan-Sumatera Utara 20155 Percetakan: Asco Jaya (Isi di luar tanggung jawab percetakan)

Salam Pers Mahasiswa!

T

ak terasa kita hampir berada di pengujung tahun 2013. Setelah menghadirkan empat tabloid, kami hadirkan terlebih dahulu majalah sebagai jeda, jelang tabloid terakhir yang akan terbit sebagai penutup keseluruhan produk tahun ini. Kali ini, kami mengangkat polemik pengabdian pada masyarakat (PPM) USU sebagai Laporan Utama. PPM sendiri merupakan salah satu dari Tri Darma Perguruan Tinggi (PT), yang sejatinya harus diwujudkan civitas akademika termasuk dosen dan mahasiswa. Bentuknya bermacam-macam tiap universitas bahkan fakultas. Tahun 1973 muncul istilah Kuliah Kerja Nyata sebagai bentuk PPM mahasiswa yang diterapkan secara merata di nusantara. Setiap mahasiswa didorong untuk bekerja di desa dalam jangka waktu tertentu, untuk tinggal dan bekerja membantu masyarakat pedesaan memecahkan persoalan pembangunannya sebagai bagian dari kurikulumnya. Dengan harapan, PT dapat menghasilkan sarjana sebagai penerus yang lebih menghayati permasalahan kompleks yang dihadapi oleh masyarakat. Namun, peraturannya dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) seolah kabur, sehingga tidak ada koridor yang jelas mengenai seperti apa sebenarnya PPM yang wajib dilakukan mahasiswa. Lelah dengan sajian berat, pembaca akan kami bawa mengunjungi ke kota Tarutung. Sebagai kota wisata rohani yang mempunyai banyak tempat wisata dengan sejarahnya, yang kami sajikan dalam rubrik Jelajah. Memberi makan sekitar 30 ekor kera setiap hari dengan biaya hidup pas-pasan dan tanpa perhatian pemerintah sudah menjadi hal biasa bagi Hamidah. Silakan baca kisah Hamidah dan kera-keranya di hutan Sibagan足 ding pada rubrik Lentera. Simak pula rubrik Apresiasi yang mengulas tentang Mangongkal Holi, sebuah tradisi membongkar tulang-belulang orang yang sudah meninggal dan menempatkannya kembali ke sebuah tugu. Belum berhenti sampai di situ, pada rubrik Figur pembaca akan disuguhkan cerita tentang Martin Aleida, mantan wartawan dan seorang sastrawan yang dikenal lewat cerpen-cerpen bertema kejadian-kejadian tahun 1965. Penghargaan kesetiaan berkarya sampai penghargaan Dokarim pernah ia terima. Masih banyak lagi rubrik lain yang tak boleh pembaca lewatkan. Semoga berbagai informasi yang kami sajikan dapat bermanfaat dan 足SUARA USU tetap mendapat tempat di hati pembaca. Selamat membaca!

MAJALAH SUARA USU I 3


KONTEN

LAporan Utama 8 Lentera 46 apresiasi 66 4 I MAJALAH SUARA USU


konten

KONTEN majalah

4 konten 3 mejuah-juah 6 lepas 38 kaleidoskop

40 esai foto

36 ULAS 64 cogito

82 rehat

56 jelajah

74 figur MAJALAH SUARA USU I 5


lepas

Pengabdian pada Masyarakat

Penting tapi Genting Sebagai darma ketiga dari dasar tanggung jawab untuk dilaksanakan para mahasiswa, pengabdian pada masayarakat (PPM) tak memiliki aturan jelas. Lantas, bagaimana jadinya kalau yang seharusnya menjadi abdi tera­sing untuk mengabdi?

M

engabdi selayaknya tentang melakukan sesuatu tanpa pamrih. Jika kepa­da masyarakat, bentuknya de­ngan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk orang banyak secara langsung. Tidak ada yang salah jika sistem pendidikan di Indonesia masih menjadikannya satu dari tri darma perguruan tinggi. Dalam artian, idealnya para pelaku akademik di lembaga pendidikan tertinggi dapat mengaplikasikanya. Persoalannya, PPM yang menjadi tujuan dan tanggung jawab dasar seorang mahasiswa malah semacam tak mampu lagi diimplementasikan secara kaidah. Usut cerita, cacat tri darma ketiga ini tercermin dari tidak adanya satu kebakuan atau pedoman bagaimana mahasiswa dan pelaku lainnya melakukannya pada jalur yang benar. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) melalui dana hibah yang diberikan bagi peserta lulus proposal PPM akan menentang ketidakje­lasan yang selama ini dianggapkan. Segala program diserahkan mutlak kepada si penerima dana hibah. Pun, banyak yang tak memanfaatkan fasilitas dana hibah Ditjen Dikti.

6 I MAJALAH SUARA USU

Atau lebih tepatnya banyak yang tidak akrab dengan hal ini. Terkadang hanya segelintir yang memiliki kepentingan saja yang bersungguh-sungguh. Mahasiswa tingkat S1 di Indonesia­ akan bersahabat dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dalam bentuk pengabdian yang dimaksudkan tri darma ketiga tersebut. Mahasiswa akan dikumpulkan dalam sebuah pedesaan dalam jangka waktu yang ditentukan untuk melaksanakan ragam kegiatan yang telah dirancang di kampusnya. Maka, KKN mengajarkan untuk para mahasiswa secara langsung bersentuhan dengan satu kelompok masyarakat. Entah salah atau celah, program KKN ini ternyata tidak diwajibkan dalam kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia. Faktanya, tidak semua perguruan tinggi yang mewajibkan mahasiswanya untuk turun langsung pada masyarakat dan melakukan se­ suatu yang bermanfaat. Selain KKN, ada tugas lain yang tetap menuntut mahasiswa untuk mengikuti mekanisme dunia kerja masyarakat. Yaitu Praktik Kerja Lapa­ ngan (PKL). Sayangnya, tidak seperti KKN yang mewajibkan sekelompok mahasiswa melakukan satu hal untuk sekelompok masyarakat, PKL hanya menuntut mahasiswa mempraktik­ an bidang kajian teoritis dari ilmu yang didapatnya di bangku kuliah. Program seperti apapun, esensinya yang diharapkan tidak membelokkan ranah pendidikan untuk pengabdian ini yang seharusnya lurus, bukan dikomersialisasikan atau dipolitisasikan. Semoga. Di luar sistem pendidikan, banyak lembaga atau personal yang benarbenar merancangkan konsep dari ke-

giatan PPM ini. Dari kancah nasional misalnya, rektor salah satu universitas swasta sekaligus tokoh pendidikan Indonesia, Anies Baswedan telah menggarap program Indonesia Mengajar. Satu program yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir ini menya­ ring lulusan sarjana Indonesia untuk ditempatkan ke daerah-daerah terpencil menjadi guru bagi anak-anak sekolah dasar dan sederajat. Tak jauh, salah satu dosen Fakultas Pertanian USU bahkan telah diangkat menjadi reviewer proposal PPM Dirjen Dikti. Biar menjadi prestasi atau sebuah amanah diri, persoalannya bagaimana menggerakkan para mahasiswa atau dosen lain untuk turut mewujudkan darma ini. Menanamkan kesadaran sosial sebagai modal awal seharusnya bukan perkara yang susah dilakukan di lingkungan perkuliahan. Tak usah mengatas namakan lembaga atau instansi, tak perlu juga mengandalkan sebuah program atau kucuran dana dari lembaga atau ins­ tasi yang besar. Sehingga ada atau tidaknya aturan tentang PPM sebaiknya tetap dijadikan prioritas dalam tingkah pola para civitas akademika atas status manusia berpendidikan yang disandangnya di tengah masyarakat. Untuk para pembuat kebijakan sistem pendidikan tinggi di Indonesia, baiknya segera melakukan evaluasi perihal tri darma ketiga ini. Jangan lagi sibuk dengan perumusan hal-hal baru yang terkadang terlalu terburu-buru untuk mencetuskannya. Persoal pendidikan bukanlah tentang eksistensi, tapi upaya pelaksanaan hal yang e­sensi agar mengabdi pada masyarakat tetap menjadi tonggak tri darma yang tidak sekadar ada. (Redaksi)


IKLAN MAJALAH SUARA USU I 7


laporan utama

8 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama

Anak Ketiga yang Dikesampingkan Teks dan Ilustrasi: Aulia Adam

Berangkatnya mereka ke desa terpencil untuk mengajar bukanlah sebuah pengorbanan, itu adalah sebuah kehormatan. Abah Iwan Abdurahman, Musisi.

MAJALAH SUARA USU I 9


laporan utama

Kantor lembaga pengabdian pada masyarakat USU di Jalan Universitas Nomor 46, USU.

T

ersebutlah Agus Tumulyadi. Seorang dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Brawijaya (Unibraw), Malang, Jawa Timur yang coba mengusul sebuah proposal pengabdian kepada masyarakat (PPM) ke Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti). Kala itu 2010. Proposal yang dikirim足kannya adalah PPM jenis Ipteks bagi Kewirausahaan (IbK), salah satu program baru Ditjen Dikti masa itu. Baru ditetaskan pada tahun sebelumnya, 2009. Program ini adalah salah satu teknik baru Ditjen Dikti untuk mengembangkan kemampuan wirausaha mahasiswa yang berbasis ekonomi. Agus pikir, kewirausahaan adalah salah satu cara membuat mahasiswa menjadi lebih mandiri. Dan program ini adalah jawabannya. Lantas ia lang-

10 I MAJALAH SUARA USU

sung membentuk sebuah tim. Dibantu enam rekan dosen lainnya, Agus percaya diri dengan proposalnya. Langkah awal mereka harus buka usulan program. Usulan ini harus dikirim sebelum tanggal 31 Mei, sesu足ai dengan aturan yang ada dalam Panduan Pengabdian Kepada Masyarakat yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti. Format tulisan juga harus sesuai dengan kehendak Ditjen Dikti. Mulai dari ukuran kertas, ukuran dan jenis huruf, warna sampul hingga tata letak isi turut diatur Ditjen Dikti. Setelah diproses, sekitar Juli 2010, ternyata konsep yang Agus ajukan diterima. Ia terlebih dahulu dipanggil ke Jakarta untuk mempresentasikan konsepnya. Resmilah Ditjen Dikti sebagai penyandang dana kegiatan mereka. Tentunya proposal tersebut disaring dari


laporan utama

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

sejumlah proposal yang juga dikirimkan universitas lain. Uang sejumlah Rp 100 juta ia kantongi sebagai modal awal. “Serta uang dari universitas sebesar 30 persen dari uang yang dikasih Dikti,” tambah Agus. “Yang susah itu mengumpulkan mahasiswa yang mau diajak bergabung,” kata Agus. “Apa keuntungan yang saya dapat? Kenapa saya harus bergabung?” Agus menirukan mahasiswa-mahasiswa yang ia ajak. “Bukan materi yang menjadi tujuan utama program ini. Melainkan kemandirian yang justru lebih mahal,” Agus mengingat-ingat jawabannya untuk pertanyaan di atas. Banyak yang tak mengerti jawab­ an Agus, tapi banyak pula yang bisa memaknainya. Alhasil, tahun pertama ia membuahkan mitra binaan sejumlah 21

mahasiswa. Pas dengan batas jumlah yang diberikan Ditjen Dikti, yakni 20 orang untuk program ini. Dalam tahun pertama ini, Agus fokus pada pembentukan badan usaha. Ia membentuk sebuah organisasi yang dinamai IbK-UB, singkatan dari Ipteks bagi Kewirausahaan-Unversitas Brawijaya. Selain untuk membentuk IbK-UB, dana dari Ditjen Dikti dipakai untuk promosi dan pameran kegiatan, memperluas jaringan, membentuk tiga unit bisnis; di antaranya Unit Bisnis Usaha Stroberi, Unit bisnis Laptop dan Unit Bisnis Mahasiswa Mandiri. Syukur, program IbK-UB diperpanjang kontraknya oleh Ditjen Dikti. Program ini terus berlanjut hingga 2012. Selama tiga tahun, Ditjen Dikti mengeluarkan biaya Rp 100 juta untuk IbK-UB dan program serupa yang lulus seleksi mereka. Meski sempat mengalami sejumlah kendala, seperti perkara jadwal mahasiswa yang lebih disibukkan jadwal akademis dan tuntutan cepat lulus, program ini tetap dianggap berhasil. Buahnya, IbK-UB telah menjadi sebuah kelembagaan sendiri di bawah Lembaga Penelitian dan Peng­ abdian Masyarakat (LPPM) Unibraw. Program ini juga berhasil mendidik 94 mahasiswa, tiga di antaranya menjadi pengusaha mandiri. Sesuai dengan buku panduan PPM terakhir yang dikeluarkan Ditjen Dikti 2012, pendanaan yang diberikan pada IbK-UB harus berhenti tahun lalu. Karenanya, Agus telah menyerahkan laporan akhir program ini pada Ditjen Dikti September 2012 dan disebarluaskan di internet sebagai laporan pertanggungjawaban pada publik. Dengan demikian, berakhir pula tanggung jawab Agus untuk program IbK-UB yang dikelolanya. Namun, IbKUB sendiri masih berjalan hingga kini, meski dengan pembiayaan pribadi. Sebenarnya, IbK-UB adalah PPM ke-49 kali yang pernah dilakukan Agus selama menjadi dosen perguruan tinggi. Bukan pula yang terakhir, karena hingga kini, total ada 67 PPM

Yang susah itu me­ ngumpulkan ma­ hasiswa yang mau diajak bergabung

Agus Tumulyadi

.

MAJALAH SUARA USU I 11


laporan utama yang pernah dijalani Agus. PPM sendiri bukanlah istilah a­sing dalam dunia pendidikan. Ia termaktum sebagai tri darma perguruan tinggi yang ketiga. Mengutip Margono Slamet dalam bukunya Metodologi Pengabdian pada Masyarakat Oleh Perguruan Tinggi, PPM merupakan tanggung jawab luhur perguruan tinggi dalam usaha mengembangkan kemampuan masyarakat, sehingga dapat mempercepat tercapainya tujuan pembangun­ an nasional. Hal ini pula yang mendasari Ditjen Dikti mengeluarkan aturan tentang panduan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat di perguruan tinggi. Di buku panduan tersebut, Ditjen Dikti jelas mengatur tata cara permohonan proposal demi mendukungnya civitas akademika untuk mewujudkan tri darma perguruan tinggi ketiga ini. Namun, Direktur Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (Dit­ litabmas) Ditjen Dikti Agus Subek­ti mengaku dalam sambutannya di buku tersebut kalau PPM merupakan tri darma yang tidak beroleh apresiasi yang seimbang dengan kedua tri darma lainnya. Hanya sekitar lima persen dosen dan hanya satu persen guru besar se-Indonesia yang terdata melakukan PPM pada sensus terakhir di 2010. Alokasi dana juga dinilainya se­ bagai masalah pokok. Hanya 15 per­ sen dana dari alokasi dana riset dosen yang terpakai untuk tri darma ketiga ini. Alih-alih seharusnya angka 20-25 persenlah yang dinilai cukup membantu. Ia sendiri mengelompokan masalah lainnya ke dalam delapan masalah pokok. Di antaranya, tidak tersedianya data atau informasi di kampus tentang siapa, masalah apa dan masyarakat daerah mana yang bisa dijadikan target dosen. Kondisi ini memaksa dosen-dosen untuk mendatangi masyarakat, mengidentifikasi dan mem-

12 I MAJALAH SUARA USU

bahas permasalahan atau tantangan mereka, jika ingin menyelesaikan usulan PPM yang disusunnya. Kesulitan kedua, seringkali masyarakat tidak memahami solusi apa yang bisa diberikan. Baru masalah ketiga adalah perkara alokasi dana dan waktu pelaksaan PPM, sebab kebanyakan masyarakat apatis terhadap program ini. “Sebabnya, mereka sudah dininabobokan pemerintah melalui proyek kemasyarakatan yang cende­ rung memanjakan,” ungkapnya. Kendala keempat biasanya terjadi saat proses mengajak serta masyarakat untuk melaksanakan program bersama-sama. Kelima, belum tersedianya perangkat untuk menilai kinerja PPM dan keenam, PPM sering kali tidak dapat dilaksanakan sendirisendiri. Namun, harus bekerja sama dengan bidang keilmuan lain, sesuai dengan jenis permasalahan di masyarakat yang cenderung majemuk. Kesulitan ketujuh terjadi jika program PPM mewajibkan dosen bekerjasama dengan Pemerintahan Kabupaten atau Kota. Karena proses birokrasi yang berbelit-belit menjadi cermin khas pemerintahan kita. Dan yang terakhir adalah meyakinkan pihak Pemkab tentang komitmen kontribusi. Menanggapi kendala-kendala ini, pengamat pendidikan Mutsuhito Sholin menganggap Ditjen Dikti punya jalan keluarnya sendiri. Permasalahan dana yang diakui pula oleh Ditjen Dikti dapat ditanggulangi dengan dibuka selebar-lebarnya kerja sama perguruan tinggi dengan perusahaanperusahaan ataupun peme­rintahan daerah sendiri. “CSR (Corporate Social Responsibility -red) milik industri bila dimanfaatkan dengan baik sebenarnya adalah peluang yang baik untuk dosen melakukan PPM,” ujar Dosen Fakultas Sastra Universitas Medan ini. Mutsuhito mencontohkan prog­ ram Indonesia Mengajar yang digagas Anies Baswedan sebagai program PPM diluar yang dibiayai Ditjen Dikti


laporan utama yang dapat dicontoh, meski Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan turut tercantum sebagai sponsor. Dhimas Satriyo Utomo setuju. Alumnus Institut Fakultas Teknologi Pertanian Pertanian Bogor tahun 2011 ini merupakan alumnus angkat­ an IV Indonesia Mengajar. Meski dana yang disediakan untuk tri darma perguruan tinggi ketiga ini masih terbatas, ia masih berpikir kalau ruang untuk turun tangan meng­abdi cukup lapang. Paling tidak melalui PKM bidang Pengabdian pada Masyarakat (PKMP). Selain itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan himpunan mahasiswa seharusnya menjadi garda terdepan kegiatan PPM. “Kuliah Kerja Nyata (KKN) juga merupakan salah satu bentuk pengabdian pada masyarakat. Belum lagi berbagai komunitas di luar kampus yang sangat heterogen,” ungkapnya.

Agus Tumulyadi juga sepakat perkara lapangnya ruang untuk menerapkan PPM. Ia mencontohkan daerah Sumatera yang masih banyak memiliki daerah tertinggal, yang masyarakatnya perlu dibina. “Misalnya di daerah Musi Rawas, Palembang,” kata Agus. “Saya baru pertengahan tahun ini datang ke sana untuk membina masyarakatnya. Tapi oleh masyarakat kami malah disambut dengan parang,” kenangnya sambil tertawa. “Malah ada yang bilang, orang Jawa ini suka sekali menjajah!” Meskipun begitu, Agus justru menganggap asyik tantangan semacam itu. Menurutnya, semakin besar perlawanan yang dibuat oleh masyarakat pribumi, semakin menarik pula kegiatan PPM yang akan dilakukan. “Tapi mungkin karena hal ini juga, jadi banyak rekan dosen yang

Lobi kantor Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat yang terletak di gedung D lantai 4 Senayan, Jakarta Pusat. IPAK AYU H NURCAYA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 13


laporan utama

enggan terjun ke tri darma ini,” tambahnya. Ia bilang, mungkin karena dalam melakukan penelitian, tri darma kedua, seorang dosen hanya berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak dengan banyak orang, apalagi masyarakat yang apatis, sehingga lebih memilih-milih untuk berdarma.

Tapi oleh ma­ syarakat kami malah disambut dengan parang

Agus Tumulyadi

.

14 I MAJALAH SUARA USU

Terobosan baru Tertanggal 25 September lalu, Ditjen Dikti melalui Kepala Pusat KKN Suhartini mengeluarkan surat edaran tentang KKN Kebangsaan, sebuah program baru yang dianggarkan dari APBN. Isi suratnya, peng­umuman kepada seluruh mahasiswa di Indonesia untuk mengikuti KKN nasional yang akan diadakan pada 23 Oktober-30 November nanti. KKN Kebangsaan setidaknya telah merekrut sekitar 400 peserta dari 68 universitas yang sudah mendaftar. Para peserta akan menjalankan tri darma perguruan tinggi ketiga ini di Kabupaten Bantaeng, Makasar. Dan Universitas Hasanuddin­ telah terpilih sebagai panitia penyelenggara. Debut KKN Kebangsaan ini nantinya akan fokus membahas tiga hal yakni teknologi tepat guna, Wisata Kelautan dan Perikanan serta Agronomi. Kendati demikian, latar belakang mahasiswa yang ikut serta akan dihiasi oleh berbagai studi. Kabar ini sudah sampai ke teli­ nga Agus Tumulyadi sejak September lalu. Ditjen Dikti memintanya untuk mengirimkan lima sampai sepuluh mahasiswa dari univertasitasnya. Namun, Agus menilai tujuan acara ini belum jelas karena sosialisasi yang kurang. Oleh karenanya, ia tak mau ambil risiko mengirimkan mahasiswanya ke Makasar. “Biaya satu orang mahasiswa bisa

sampai sepuluh juta itu untuk hi­ dup sebulan di sana. Sa­yang uangnya bisa dipakai buat PPM di sini,” ungkapnya. Kendati demikian, Agus Tumulyadi­ beranggapan KKN Kebangsaan ini adalah salah satu prog­ ram Ditjen Dikti yang cukup baik. Tema kebangsaan yang diusung program ini ia nilai sebagai sebuah usaha menyatukan bangsa yang bisa dimaknai. Namun, meski banyak terobos­ an baru yang dikeluarkan Ditjen Dikti melalui aturannya, Dhimas tetap merasa pendekatan program saja masih kurang. “Mestinya mahasiswa mampu menggerakkan. Program saja tidak cukup. Sifatnya harus gerakan. Kita sering mendengar kalimat mahasiswa adalah agen pembaruan. Jika kita tengok kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), maka definisi agen pembaharuan adalah orang atau lembaga yg mendorong terciptanya perubahan sosial ekonomi secara berencana. Garis bawahi kata mendorong. Jadi mahasiswa bukan the lone ranger, atau superhero. Kita justru mendorong masyarakat untuk menyadari masalah mereka sendiri, menumbuhkan rasa memiliki, kemudian secara kolektif menyelesaikannya. Itu hal yang tidak mudah tapi bisa,” jelasnya. Dhimas yang 2010 lalu juga sempat menjadi mahasiswa pertukaran pelajar di Thailand, membandingkan sistem PPM di Indonesia dengan Thailand sendiri. “Mahasiswa di sana tidak sedinamis di sini. Tapi dalam konteks yang lebih luas, saya melihat hasil riset oleh perguruan tinggi di sana terpakai. Link antara perguruan tinggi, industri, dan pemerintah terjalin de­ ngan baik. Di sini kita masih lemah,” paparnya.



riset laporan utama

Potret Pengabdian Masyarakat Mahasiswa USU

1. Salah satu isi Tri Darma perguruan tinggi adalah pengabdian masyarakat. Apakah Anda mengetahui bentuk PPM sesuai dengan jurusan yang saat ini Anda tempuh?

80.68% Ya

18.91% tidak

M

ahasiswa yang menjalani pendidikan di sebuah perguruan tinggi mengemban tri darma, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat (PPM). Pengabdian masyarakat menunjukkan bahwa mahasiswa harus meng­ aplikasikan hasil pendidikan dan penelitiannya langsung kepada masyarakat. Bagaimanakah potret PPM sendiri di USU? Jajak pendapat ini dilakukan de­ngan melibatkan 497 mahasiswa USU, di mana sampel diambil secara accidental dengan mempertimbangkan proporsionalitas di setiap fakultas. Penyebaran kuesioner dilakukan mulai 2 hingga 11 September 2013. De­ngan tingkat kepercayaan 96 persen dan sampling error 4 persen, jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh mahasiswa USU. (Litbang)

0.41%

tak jawab

94.97% Ya

2. Setuju atau tidakkah Anda dengan pernyataan bahwa bentuk peran mahasiswa seba­ gai agen perubah­an dilakukan melalui peng­ abdian masyarakat?

4.83% tidak

0.2%

tak jawab 16 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama riset

32.39%

3. Menurut Anda, apa足 kah USU telah memberikan fasilitas dan pelayanan yang baik untuk menunjang mahasiswa melaksanakan PPM?

sudah

67.40%

0.21%

Belum

tak jawab

32.39% Fasilitas kurang memadai 6.87% Bantuan dana kurang

4. Jika belum, sebutkan alasannya!

14.33% pelayanan kurang 8.36% sosialisasi kurang 7.76% program belum jelas 16.72% tak jawab

5. Pernah atau tidakkah Anda bersama dengan teman-teman Anda me足 lakukan kegi足atan seba足 gai bentuk PPM?

48.69% 50.30% 1.07% pernah

tidak pernah

49.17% bakti sosial 6.61% penanaman pohon 2.48% donor darah 2.89% mengajar

tak jawab 6. Jika pernah, sebutkan bentuk kegiatan tersebut!

38.84% lainnya, penyuluhan, pkl, pmr, dll MAJALAH SUARA USU I 17


laporan utama

KKN, Oh‌ KKN Teks: Mezbah Simanjuntak dan Hadissa Primanda

18 I MAJALAH SUARA USU


ttt utama laporan utama

Namanya Kuliah Kerja Nyata (KKN).Wujud pengabdian pada masyarakat paling nyata bagi mahasiswa. Ia tak rata ada di semua universitas. Kalaupun ada, ia tak begitu fungsional.

L

iburan 3 SKS!â€? Begitulah Aulya Rahardi Yuda, mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Padjajaran (Unpad) 2009 mengatakan saat ditanya mengenai apa itu Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jargon itu ia dapat dari temannya yang juga KKN pada waktu yang sama de­ ngannya, namun beda desa. Ardi, akrab ia disapa, bilang jargon itu muncul karena memang tak banyak kegiatan yang dilakukan selama satu bulan KKN. Ia dan 21 orang teman kelompoknya yang berasal dari Fikom, Fakultas Hukum (FH), Fakultas Pertanian (FP), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Fakultas Psikologi, dan Fakultas Ilmu Budaya hanya punya satu prog­ ram kerja (progja) yang harus mereka lakukan.

Dua mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) melakukan penambalan gigi (konservasi) pada pasien mereka. Konservasi merupakan salah satu kegiatan co-ass dan bentuk pengabdian pada masyarakat di FKG. SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 19


laporan utama Progjanya berpusat pada kegi­ atan pertanian penduduk setempat. Mereka membuat pupuk alami dari sisa-sisa jerami, memantau proses pembentukan pupuknya, serta memberikannya langsung ke tanaman pertanian penduduk. Ardi kebagian jatah KKN di daerah Garut, Jawa Barat. Ia mengikuti KKN selama sebulan, mulai 2 Januari hingga 2 Februari 2012 lalu.Waktu itu ia baru semester lima kuliah. Di kampusnya, KKN dapat jatah 3 SKS, yang hanya bisa diambil jika mahasiswanya telah memenuhi syarat 80 SKS. Daerah KKN ditentukan pihak fakultas. Ia pun mulai mencari teman-teman yang kebagian desa yang sama dengannya. Berhubung mereka berasal dari fakultas yang beda-beda, otomatis ada di antara mereka yang sebelumnya tidak saling mengenal. “Biasanya search di facebook atau twitter, mulai kumpul-kumpul buat perkenalan, sekalian merencanakan aktivitas yang akan dikerjakan serta barang-barang yang dibutuhkan,” paparnya. Karenanya, setelah KKN ia merasa jadi pribadi yang lebih supel karena punya lebih banyak teman dan kenal dengan bermacam-macam karakter, dari berbagai fakultas. Pun dengan penduduk setempat, ia merasakan ada banyak perbedaan kultur dengan mereka. Biasanya di sekitar tempat ia tinggal, orangorang masih ramai berkeliaran hingga te­ngah malam. Namun di desa tempat ia KKN, setelah magrib para penduduk sudah berada di rumah ma­sing-ma­sing hingga desa tersebut jadi sepi. “Ini budaya yang masih bagus,” jelasnya. Menurutnya, apa yang ia dan teman kelompoknya lakukan bisa dikatakan sebagai wujud PPM. “Bisa jadi, kan memang misi KKN untuk itu. Kalau saya sendiri, bantuin ibu-ibu ke ladang dan nyiapin bumbu masakan itu juga wujud pengabdian kan ya?” Lastiar Brutu juga punya cerita KKN-nya sendiri. Sekitar Juli lalu, ma-

20 I MAJALAH SUARA USU

hasiswi FP Universitas Udayana (Unud) 2010 bersama sepuluh temannya melakukan KKN di desa Wanagiri. Di Unud, KKN juga berbobot 3 SKS, dengan syarat harus menempuh 100 SKS. Ia bilang, setiap mahasiswa wajib ikut. Bila tak diindahkan, bisa tak bisa lulus dari kampus. Pemilihan desanya juga ditentukan pihak universitas. Ada daftar desa mana saja yang bakal menjadi tujuan mahasiswa KKN. Setelah itu, mahasiswa bebas memilih desa mana yang akan mereka tuju. Namun, untuk berlangsungnya KKN ini tiap kelompok dikenakan uang sebesar Rp 1,2 juta. Ini dimaksudkan untuk biaya urusan dari pihak universitas ke desa dan transportasi. Mereka pun didampingi seorang kakak pendamping yaitu dosen ataupun kakak senior. Ada banyak kegiatan yang mere­ ka lakukan. Namun yang paling berkesan baginya adalah membuat web untuk desa yang ia kunjungi, untuk mengenalkan potensi desa tersebut ke khalayak luas. Kebanyakan masyarakat di sana adalah petani. Ia merasa beruntung karena ilmu yang dimiliki bisa membantu masyarakat desa tersebut. “Pengen lagi ke sana, benar-benar terasa sekali pengabdiannya,” ungkapnya. Di USU sendiri, KKN pernah ada, namun tidak berlaku lagi sejak tahun 2000. Habni Jani Siregar, pernah merasakan KKN saat kuliah di USU pada semester delapan. Ia seorang pembantu dekan I di sebuah universitas swasta di Madina. Ia tercatat sebagai mahasiswa FH tahun 1977. Ia bercerita, sebelum berangkat ke desa, ia bersama tujuh orang teman kelompoknya datang ke Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM). Ada semacam briefing yang diberikan sebagai tambahan pengetahuan. “Kami juga dikasih uang sekitar Rp 25 ribu,” katanya. Desa yang mereka tuju ialah salah satu desa di Padang Sidempuan. Me­ reka menjalankan “kerja” ini selama


laporan utama 40 hari, bersama teman barunya dari berbagai fakultas. Sampai di desa, mereka bertemu dengan kepala desa. Namun, program yang akan ia jalan­ kan ialah program yang diinginkan oleh si kepala desa, bukan masyarakat luas. Maka dari itu menurutnya tak ada program kelompoknya yang benar-benar membangun masyarakat. Kebetulan mereka laksanakan KKN di bulan Agustus. Mereka pun membantu menyukseskan acara panjat pinang dan tarik tambang. Pernah juga gotong-royong membersihkan tempat ibadah, serta mengajar ngaji. Pada malam hari mereka mengajari anak-anak setempat belajar. Mereka juga membangun semacam gerbang selamat datang untuk desa itu. “Ya begitu saja yang kami kerjakan di sana, ilmu yang kita miliki tak digunakan,” papar Habnar. Baginya KKN hanya berguna untuk membangun kekompakan dan kebersamaan baik antar satu kelom-

pok dan masyarakat setempat. Pembantu Rektor (PR) I USU, Prof Zulkifli Nasution mengatakan, tergerusnya makna KKN adalah alasan utama ketiadaannya salah satu contoh pengabdian pada masyarakat (PPM) yang dilaksanakan mahasiswa ini di USU. Banyak juga kasus di mana waktu yang sebulan untuk KKN di­ salah artikan. “Kenyataan di lapangan mahasiswa tak ada dan tak tahu ke mana,” ungkapnya. Alhasil, kini USU hanya punya Praktek Kerja Lapangan (PKL) seba­ gai bentuk PPM yang dimiliki USU. Ia mengatakan, PKL dirasa dapat mempraktikkan secara langsung ilmu yang dimiliki mahasiswa. Rizki Fajariyah misalnya, tengah menjalani masa Praktek Belajar Lapa­ ngan (PBL), sebutan PKL di kampusnya, di daerah Bukit Lawang. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat 2010 itu pindah tempat kuliah ke Bukit Lawang selama lebih kurang 2,5 bulan.

Laporan Pengabdian Kepada Masyarakat yang ada di Lembaga Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat. SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 21


laporan utama Mereka dibagi berkelompok, satu kelompok terdiri dari 6 orang, berasal dari berbagai disiplin ilmu yang ada di FKM. Mereka pun tinggal bersama di rumah dinas puskesmas, di desa tersebut. Ririz dan kawan-kawan bertugas mensurvei dan melakukan pemberdayaan terhadap masalah kesehatan di sana. Untuk kasus kelompoknya, mereka menemukan masalah ASI eksklusif, kebiasaan merokok, dan sampah. Dari ketiga masalah tersebut, hanya satu yang akan diselesaikan mahasiswa. Pemilihannya melibatkan kepala desa, masyarakat, dan perwakilan puskesmas. Sebenarnya, Ririz dan kawankawan ingin memfokuskan pemberdayaan di bidang ASI ekslusif. Namun, masyarakat setempat lebih memilih masalah sampah untuk dibahas mahasiswa. Karena mereka bilang, ilmu tentang ASI sudah sering didapat dari posyandu. Meskipun terjadi beda pendapat, namun kelompoknya tetap mengikuti keinginan masyarakat. “Semua dikembalikan lagi pada apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat,” katanya. Setelah itu, maka pemberdayaan mulai dilakukan. Aturan dari fakultas, kata Ririz, mahasiswa tidak hanya sekadar memberikan penyuluhan kepada masyarakat, namun juga memberikan skill dan lebih kepada menumbuhkan kesadaran dari masyarakat itu sendiri. Misalnya, setelah dilakukan pemberdayaan masyarakat jadi sadar ternyata mereka perlu punya saluran air limbah, ternyata rumah mereka kotor, dan sebagainya. Masyarakat itu sendiri yang nantinya tergerak untuk membersihkan rumah mereka. Menurutnya, apa yang sudah ia lakukan saat ini, tak ubahnya bentuk PPM, karena langsung terjun ke desa. Ia juga merasa melakukan KKN dan PKL sekaligus. Ia mengaplikasikan ilmu yang ia dapatkan di bangku kuliah. Secara

22 I MAJALAH SUARA USU

teori, ia hanya mempelajari contoh kasus, kemudian mendapat penjelas­ an penyelesaian yang baik seperti apa. Ketika masuk desa, ia menemukan kondisi riil dari apa yang dipelajarinya, sehingga dapat memberi tahu ilmu yang ia punya langsung ke masyarakat. Ririz menambahkan, kehadiran mahasiswa ke desa cukup membantu penduduk. Dari pengalamannya, meskipun ada pro dan kontra akan kedatangan mereka, namun lebih banyak masyarakat yang pro. Mahasiswa bisa jadi penghubung antara penduduk dengan instansi kesehatan setempat. Dari pengalamannya juga, pihak puskesmas pernah meminta me­ reka melakukan survei di luar survei kampus. Pasalnya, data yang dimi­liki puskesmas tidak lagi update dan seperti hanya kamuflase. “Mungkin hal-hal seperti itulah yang hanya bisa dilakukan mahasiswa, setidaknya bisa membantu,” paparnya. Pun demikian, tidak semua fakultas di USU mengadakan PKL, seperti di FE. Aturan ini diserahkan kembali ke pihak fakultas. Ketiadaan tersebut dinilai Zulkifli sudah dipikirkan dan ada alasan kuat di baliknya. “Fakultas lah yang lebih tahu apa yang mereka butuhkan terkait PKL ini,” ujarnya. Agus Mulyadi, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di Universitas Brawijaya (Unibraw) tidak sepakat bahwa PKL adalah bentuk PPM. Menurut Agus, PKL itu dibuat untuk mahasiswa lebih paham pada profesinya. Bukan sesuatu yang dilakukan untuk mengabdi pada masyarakat. “Begini yang bisa jadi masalah,” ka­ tanya. Ia menilai, umumnya, saat PKL mahasiswa mengabdi pada sebuah perusahaan untuk meningkatkan pemahamannya tentang disiplin ilmu yang dipelajarinya. Sementara KKN diciptakan agar mahasiswa lebih memahami masyarakat sekitarnya. “Le­bih mengenal bangsa ini,” tambahnya.


laporan utama

Agar mahasiswa yang akan menjadi calon pemimpin bisa peduli dengan ma­ syarakat, tidak han­ ya diri sendiri

Prof Edyson Purba

.

Suasana kegiatan belajar mengajar oleh mahasiswa Departemen Sosiologi 2010 ketika melakukan PKL di Percut Sei Tuan. RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 23


laporan utama Ardi sepakat dengan hal ini. Ke­ betulan, kampusnya juga menerapkan PKL meskipun sudah diwajibkan KKN. Saat semester delapan, setelah tuntas 80 persen mata kuliah, ia pun ‘bekerja’ di PT Kereta Api Indonesia (KAI) Pusat Bandung selama sebulan lebih. Bersama lima orang temannya dari fakultas yang sama, ia dapat jatah media monitoring, seperti membuat kliping berita dan meliput acara-acara PT KAI. Ia mengambil konsentrasi Hubungan Masyarakat (humas) di kampusnya, hingga saat PKL ia pun ditempatkan di bagian Humas PT KAI. PKL sendiri dapat jatah 2 SKS mata kuliahnya dengan syarat tuntas 80 persen mata kuliah. Menurut Ardi, baik KKN maupun PKL sama-sama pengalaman baru baginya dan sebaiknya harus dijalani mahasiswa. Dengan PKL ia bisa mempraktikkan langsung ilmu yang ia pelajari di kampus, sementara KKN membuatnya belajar banyak tentang kehidupan bermasyarakat. “Bisa membuka point of view kita untuk melakukan segala sesuatunya lebih baik lagi,” katanya. *** April lalu, sebuah pertemuan digelar beberapa universitas dari bagian barat Indonesia. USU menjadi tuan rumahnya. Ada universitas yang berasal dari Aceh, Riau, Padang, dan Palembang. Pertemuan itu membicarakan konsep KKN yang ideal untuk dilaksanakan kampus masing-masing, meskipun selain USU, kampus-kampus itu telah melaksanakan KKN. Seorang pemateri didatangkan dari UGM. Prof Edyson Purba, Ketua LPPM mengatakan UGM dipilih karena dinilai punya program KKN terbaik se-Indonesia. Hal ini terlihat dari konsistensi mereka yang sudah 60 tahun menjalankan KKN. Ia mencontohkan salah satu kelompok KKN di UGM yang punya program memasukkan saluran air bersih ke desa terpencil. “Jadi kan benarbenar kebutuhan masyarakat yang

24 I MAJALAH SUARA USU

Seorang karyawan bagian keuangan sedang bekerja di ruang Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat di Fakultas Psikologi. SOFIARI ANANDA | SUARA USU

dilaksanakan,” jelasnya. Edyson sebenarnya sudah lama ingin merencanakan pertemuan ini. Ia merasa KKN penting untuk dilaksanakan agar ilmu yang dimiliki bisa berguna bagi masyarakat, serta jadi pembelajaran bagi mahasiswa itu sendiri. Bisa turun langsung ke lapang­ an merasakan yang sebenarnya. Ia berharap KKN diadakan kembali di USU agar mahasiswa yang akan menjadi calon pemimpin bisa peduli dengan masyarakat, tidak hanya untuk diri sendiri.

Hasil pertemuan ini pun sudah dipresentasikan oleh pihak LPPM kepada rektorat. Zulkifli mengamini hal tersebut. Ia pun mengatakan USU memang berencana untuk mengadakan KKN kembali. Berhubung tahun ajaran 2013 sedang berlangsung, KKN tak bisa dimasukkan lagi dalam SKS. Ha­ nya saja, ia belum menyebutkan kapan rencana ini akan direalisasikan. “Tahun ajaran 2013 telah berlangsung, maka dari itu tak bisa dimasukkan SKS lagi,” paparnya.



laporan utama

Suasana belajar-mengajar oleh mahasiswa Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik kepada anak-anak di kelurahan Kampung Baru.

26 I MAJALAH SUARA USU


laporan utama

PPM dulu dan kini Teks: Apriani Novitasari dan Debora Blandina Sinambela

Ia bermula dari gagasan yang dianggap cerkas. Bertransformasi dan dipadankan ke dalam tridarma perguruan tinggi. Beriring waktu, menggelinding dan terkikis.

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 27


laporan utama

T

ahun 1870. Belanda berlakukan kebijakan luar negeri yang disebut Etische Politiek di Hindia Belanda. Artinya, mere足 ka memberikan sedikit penghargaan pada pribumi yang negerinya mere足ka jajah dengan mendirikan sekolahsekolah. Tujuan awalnya untuk meningkatkan partisipasi pribumi untuk lebih produktif. Niatan awalnya hanya untuk belajar baca, tulis dan hitung. Namun, akibat perkembangan zaman, untuk menangani pabrik dan perkebunan modernnya, Belada merasa perlu membuka sekolah tinggi yang kemudian menjadi cikal-bakal berkembangnya fakultas-fakultas di Jakarta. Mulanya STOVIA, School Tot 足Opleiding van Inlandsche Arsten. Sekitar 1902. Kemudian, NIAS, 足Nederlandsch Indische Arsten School pada 1913. Dan sejumlah lainnya di kisaran tahun 1922-1940. Seperti Faculteit de Letterenen Wijsbegeste, yang kemudian bertransformasi menjadi Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Atau Landsbouwkundige Facultiet yang kini menjelma menjadi Institut Pertanian Bogor. Fakultas-fakultas ini terus berjalan menghasilkan pribumi-pribumi yang semakin terdidik. Hingga proklamasi dibacakan Soekarno, Jumat 17 Agustus 1945. Dua hari setelah itu, pemerintah Indonesia mendirikan Balai Perguruan Tinggi Republik Indonesia. Semacam cikal bakal Universitas Indonesia yang pada dasarnya merupakan gabungan dari fakultas-fakultas yang telah ada sebelumnya. Setiap perguruan tinggi di Indonesia pada dasarnya mengacu pada tujuan pendidikan nasional. Tujuan pendidikan nasional kita ialah untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional,

28 I MAJALAH SUARA USU

bertanggung jawab, dan produktif serta sehat jasmani dan rohani serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Singkatnya, sesuai dengan tujuan yang tercantum dalam pembukan Undang-Undang Dasar 1945, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk itu, disusunlah sebuah pola pengajaran yang menjadi pedoman bagi para pelaku di dunia pendidikan tinggi. Ia terdiri dari pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat (PPM), atau kini dikenal sebagai tri darma perguruan tinggi. *** Elisa Julianti mengingat kembali masa ia kuliah dulu.Ia adalah seorang

Kata pengantar dari Presiden RI dalam buku Panduan Pengabdian Kepada Masyarakat yang dikeluarkan oleh Ditjen Dikti.


laporan utama dosen Fakultas Pertanian, yang juga reviewer di Lembaga Penelitian dan Pengembangan (LPPM) USU. Elisa kuliah di Fakultas Pertanian (FP), Jurusan Teknologi Pangan USU. Kegi­atan mahasiswa yang ia tahu hanya berorganisasi. Tahun 1985, saat Elisa memasuki semester delapan, aturan fakultas mewajibkannya mengambil Kerja Kuliah Nyata (KKN) karena memiliki bobot SKS. KKN sudah menjadi kebijakan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) pada masa itu. KKN menjadi bentuk pengabdian yang dilakukan mahasiswa terhadap masyarakat. Elisa bilang, biasanya mahasiswa KKN akan dikirim ke desa-desa tertentu selama tiga bulan. Waktu itu, ia dikirim ke Desa Su-

karamai, Kisaran. Elisa juga memiliki rekan lain yang menjadi satu tim dari beberapa fakultas seperti Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Hukum (FH), dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Rata-rata tiap desa diberi lima orang mahasiswa yang berbeda jurusan. “Harapannya setiap mahasiswa bisa membantu masyarakat sesuai bidangnya ma­singmasing,” ujar Elisa. Sebelum mereka terjun ke desa, mereka dibekali sesuai jurusan masing-masing. Namun Elisa menilai bekal yang diberikan tak cukup banyak sehingga terkadang mereka kesusahan menghadapi pertanyaan masyarakat. Ini juga berpengaruh terhadap peran mereka dalam masyarakat. ia

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 29


laporan utama

Keba­nyakan dosen hanya pengabdian pas mau naik pang­ kat, itupun mereka lakukan hanya ce­ ramah satu kali dan sudah terhitung pengabdian. Padahal sebenarnya pengab­ dian bukan sekadar ceramah

Elisa Julianti

30 I MAJALAH SUARA USU

menilai tak banyak yang bisa dibantu sebagaimana harusnya. Mereka ­hanya ditugaskan membantu admi­nistrasi desa, membuat nama jalan dan menghadiri perwiritan ibu-ibu. “Selain itu, paling-paling memotivasi anak-anak desa supaya kuliah,” ujarnya. Menurut Elisa, sebenarnya ba­ nyak hal yang masyarakat tidak tahu seperti dalam hal pertanian maupun pangan. Sewaktu ia KKN, banyak masyarakat yang tak tahu soal teknologi pangan, jajanan apa yang kurang sehat jika dikonsumsi dan hal-hal sepele lainnya. Banyak juga yang mengeluhkan soal kondisi tanamannya yang tidak berbuah atau tidak mau tumbuh. “Mereka sangat senang dan banyak bertanya. Kadang pertanyaan-pertanyaannya kita tahu jawabnya,” ujar Elisa. Namun sejak tahun 1990-an, Elisa ­menga­takan kalau KKN ini bu­­kan menjadi kewajiban mahasiwa di USU. KKN tak masuk lagi dalam SKS sehingga tak ada mahasiswa yang mengambil. Kalaupun ada mahasiswa yang mau turun ke desa itu atas inisiatifnya sendiri. Padahal Menurut Elisa PPM inilah yang paling penting dilakukan oleh perguruan tinggi (PT). Seharusnya PT melakukan riset dan menghasilkan penemuan-pene­ muan yang diterapkan dalam masyarakat. Sehingga hasil penemuan itu tidak sia-sia. “Harusnya apa yg kita teliti itu kita terapkan pada masyarakat. Ini penting,” ujarnya. Saat ini mahasiswa memang ­hanya dituntut PKL, namun itu berbeda dengan PPM. Bahkan di kalangan dosen pun, tak banyak yang serius dengan pengabdian ini. PPM hanya dijadikan syarat untuk naik pangkat dan bobot nilai yang sangat kecil menjadi terkesan asal ada. “Keba­ nyakan dosen hanya pengabdian pas mau naik pangkat, itupun mereka lakukan hanya ceramah satu kali dan sudah terhitung pengabdian. Padahal sebenarnya pengabdian bukan sekadar ceramah,” jelas Elisa. Sementara untuk mahasiswa kini,

tak ada dituntut untuk melakukan PPM. Namun kini Dikti kembali menggalakkan pengabdian dengan membuat program pengabdian dalam masyarakat serta membiayainya. Elisa juga pernah mengasuh tim mahasiswa yang melakukan PPM di Langkat. Mereka mengajarkan petani memanfaatkan fasilitas internet untuk mencari harga hasil panen. Tak hanya mahasiswa, dosen pun ada program PPM yang didanai Dikti. Ia juga pernah melakukan pengabdian disalah satu industri kecil keripik singkong untuk mendaur ulang limbahnya. “Puas ketika sudah memberikan apalagi yang kita berikan dirasa bermanfaat oleh masyarakat,” jelasnya. *** Ketua Lembaga Pengembangan dan Pengabdian Masyarakat USU tahun 1990 Sayed Umar mengatakan, KKN sangat penting untuk mahasiswa, sebab KKN merupakan jembatan masyarakat untuk membangun desanya. “Perguruan tinggi enggak boleh jadi menara gading,” tambahnya. KKN merupakan laboratorium sosial mahasiswa dan dosen. Sayed Umar mengatakan walaupun terkadang bentuk PPM tidak berkaitan dengan bidangnya. Namun, mahasiswa menjadi motivator. Selain itu, adanya kesadaran mahasiswa untuk ikut berpastisipasi dalam pembangun­an. Sayed Umar menjelaskan KKN mulai diterapkan di USU tahun 1980. Pada awalnya KKN tidak diwajibkan bagi mahasiswa, hanya menjadi mata kuliah pilihan dan program ekstra­ kurikuler. Selain itu, hanya beberapa fakultas saja yang menerapkan sistem KKN ini seperti FE, FH, dan FP. Seiring berjalannya waktu Fakul­ tas Teknik mulai menerapkan KKN pada 1985. Kemudian diikuti oleh fakultas lain dan yang terakhir kali menerapkan KKN adalah Fakultas Kedokteran pada 1987. Sejak 1987 dan 1988 KKN mulai diwajibkan untuk mahasiswa dan masuk dalam mata


laporanutama utama laporan

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Laporan Praktek Kerja Lapangan mahasiswa Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip).

kuliah wajib dengan bobot 2 SKS. KKN dilakukan selama dua bulan. Bukan hanya dengan mahasiswa antar fakultas. Namun, ada juga program KKN yang melibatkan mahasiswa USU dengan mahasiswa universitas lain. Seperti Universitas Syah Kuala, Universitas Sriwijaya, dan Institut Agama Islam Negeri Medan. “Ini merupakan kebijakan USU,” ujarnya. KKN yang dilakukan membangun daerah perbatasan kemudian dilanjutkan dengan daerah-daerah lainnya. Hal itu tentu mendapat sambutan yang baik dari masyarakat. Apalagi dalam KKN, mahasiswa sudah banyak membantu pembangunan desa. “Mi­ salnya membuat saluran air dan bak di Nias yang kala itu mengalami krisis air dan membangun jalan di Sipirok,” katanya. Namun, lama-kelamaan KKN mulai kendur dalam penerapannya dan tak dimasukkan lagi dalam mata kuliah. Pada 1999 dan 2000 KKN mulai dihapuskan. Mengenai penghapusan KKN ini, Sayed Umar mengaku tak tau alasannya karena hal tersebut sudah menjadi kebijakan universitas. Untuk melakukan pengabdian tentu kendala dan tantangannya juga banyak. Biasanya masyarakat akan selalu menganggap masalah utama adalah modal. Selain itu jikalau ditawarkan teknologi baru kurang menerima karena tidak paham dan belum terbiasa. Untuk itu dibutuhkan pendekatan awal untuk merubah pola pikir masyarakat. Ia berharap kedepan kegiatan pengabdian bisa dilakukan semua mahasiswa. Mahasiswa bisa melakukan melalui himpunan mahasiswa, atau paling tidak pihak universitas memanggil masyarakat open house, untuk memperkenalkan hasil penelitian dan riset sehingga bisa digunakan masyarakat. “Pengabdian masyarakat itu sangat penting. Saya saja yang mengabdi tiga bulan di desa merasa belum seberapa apalagi sekarang dengan tidak diwajibkannya pengabdian ini,” ujar Elisa. Sebagai lembaga akademik, PT

MAJALAH SUARA USU I 31


laporan utama menghasilkan analisis serta riset yang bersifat ilmiah. Dengan analisis serta riset ini yang diharapkan mampu membantu masyarakat dalam bidang tertentu. Hasil riset dan penelitian ini pula yang menjadi salah satu bentuk pengabdian yang dilakukan PT terhadap masyarakat untuk mengembangkan kehidupan masyarakat. Namun sejauh ini Mutsuhito ­Sholin, seorang pengamat pendidikan mengatakan dalam PT, PPM masih kurang dilaksanakan. Kondisi ini memang diakibatkan oleh beragam hal, mulai dari kurangnya minat untuk melakukan pengabdian juga masyarakat yang kurang pemahaman dalam pemanfaatan hasil riset dan inovasi dari perguruan tinggi. Ia mencontohkan dalam pemanfaatan energi matahari dan angin misalnya. Indonesia disinari matahari 12 jam dan angin yang kuat. Namun kedua ini belum termanfaatkan dan belum dikembangkan PT menghadapi krisis energi. “Sementara di China, mereka membuat jalan tol dengan memasang penangkap cahaya matahari sepanjang jalan. Pada malam hari, mereka menggunakan energi matahari itu sebagai energi penerangan. Harusnya yang melakukan seperti inikan PT kita,” ujarnya. Selain itu, Mutsuhito menilai ada beberapa bidang yang menjadi lahan untuk melakukan pengabdian. Pertama adalah bidang ketahanan pa­ ngan. Salah satu yang paling bermasalah adalah penyediaan air bersih. Di Medan saja belum semua masyarakat yang bisa menikmati air bersih. Mi­ salnya air yang kandungan logamnya rendah masih bisa diolah sehingga layak konsumsi. “Maka dibutuhkan orang-orang kampus bagaimana mengelola air bersih,” paparnya. Kedua adalah manajemen transportasi. Indonesia juga memiliki modal darat, laut dan udara. Namun kon-

32 I MAJALAH SUARA USU

disinya saat ini masih belum terkelola dengan baik. Tranportasi massa belum semua memadai bahkan sarana dan prasarananya seperti angkutan umum dan jalan. Ketiga adalah bidang kesehatan dan obat-obatan. Indonesia kaya sumber obat-obatan yang belum terolah. Bagian Farmasi masih perlu mengembangkan daun-daunan serta akar-akaran sebagai bahan untuk pengobatan. Ketahanan dan pertahanan juga ia nilai perlu. Ketahanan ekonomi, politik serta kondisi sosial dalam masyarakat yang sedikit banyak ditentukan para pemimpin. Sekarang b­anyak pemimpin yang mudah tergoda dengan harta dan jabatan sehingga mampu melakukan apapun meski melanggar aturan hukum. Untuk itu diperlukan didikan bagi orang-orang muda supaya tidak gampang tergoda, dijebak atau terjebak oleh sistem. “Lima hal ini memerlukan penelitian, pengembangan. USU bahkan pernah buat mobil matahari, tapi itu baru prototipe, tidak dikembangkan secara massal. Indonesia juga pernah punya mobil Timor yang kuatnya bukan main. Tapi semua itu tak bisa jalan karena bisnis juga,” katanya. Dengan lima bidang ini, menurutnya akan banyak pengabdian yang diberikan PT kepada mayarakat. PT ju­ga sekarang harus fokusnya mengajak masyarakat menerapkan knowledge based sosiety, Supaya masyarakat memanfaatkan hasil riset dan pengetahuan untuk memperbaiki kehidup­ an mereka. Selain PT, masyarakat juga harus dididik untuk pemanfaatan hasil riset dan penemuan. Karena tak jarang justru masyarakat yang kurang menerima konsep yang diberikan PT. “Selain orang-orang gila yang berani melakukan sesuatu, kedua belah pihak harus sama persepsi dulu. Kalau sudah sama persepsi, aku pikir kita bisa maju,” ujarnya.


MAJALAH SUARA USU I 33


OPINI

DOKUMENTASI PRIBADI

Ironi Negeri Teks: Khairil Hanan Lubis

34 I MAJALAH SUARA USU

P

etang itu beberapa tetangga saling mengobrol di teras rumah Mama Ohi. Aku tak begitu paham apa yang dibicarakan karena menggunakan bahasa Fordata. Tapi terlihat seru sekali. “Orang-orang yang kerja bangun asrama di Ambon baru sampai. Tadi naik kapal Sabuk,” kata salah seorang warga padaku. “Bangun asrama untuk apa?” “Untuk anak-anak mahasiswa dari Lamdesar Barat yang ada di sana.” Lamdesar Barat merupakan salah satu desa di Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Letaknya di ujung timur Pulau Larat, Kepulauan Tanimbar. Dari Ambon, dibutuhkan waktu empat hari perjalanan laut untuk sampai di Larat. Dilanjutkan tiga sampai empat jam via darat atau laut untuk sampai di desa itu. Tak ada sinyal. Listrik pun terbatas. Tapi keterbatasan tak pernah menghalangi keinginan kuat mereka untuk menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Sebagian wilayah laut Lamdesar Barat, tempat mereka biasa mencari ‘makan’, akhir­nya direlakan pada seorang peng­usaha selama lima tahun. Masyarakat tetap boleh memanfaatkan, tapi hasilnya harus dijual pada pengusaha tersebut dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Nilai kontraknya dibayarkan di awal. Uangnya pun langsung didapat. Maka, dipilihlah 20 orang warga yang dianggap senior dalam bidang ba­ ngun-membangun. Sebagian besar berumur paruh baya. Mereka berangkat dengan kapal Sabuk Nusantara

dari Larat, menempuh perjalanan tiga hari untuk membangun asrama bagi anak-anak mereka di Ambon. Selama ini anak-anak Lamdesar yang berkuliah di Ambon kerap putus kuliah karena persoalan biaya. Ada yang akhirnya memilih bekerja, ada pula yang akhirnya pulang kembali. Orang tua mereka tak bisa banyak mengirim uang. Rata-rata penghasil­ an warga Lamdesar Barat, hanya Rp 300 ribu per bulan. Karena itu buat mereka, tempat tinggal adalah modal awal yang paling penting. Mereka tak perlu lagi bayar ongkos karena asrama ini dibangun masih dalam lingkungan Universitas Pattimura. Selain itu para mahasiswa ini juga bisa tenang mencari pendapatan lain tanpa perlu lagi memikirkan tempat tinggal. Setidak­ nya, mereka tak perlu mengemis-ngemis mencari tempat tinggal atau tidur di emperan toko. Penasaran, aku mendatangi rumah salah satu warga yang baru pulang membangun asrama tersebut. Ia sakit demam. Kelelahan. Mereka kerja siang malam demi mengejar jadwal kapal selanjutnya. Dana tak banyak, tak mungkin bisa lama-lama di sana. Ia cerita, di malam terakhir sebelum pulang, mereka semua tak tidur. Semalaman mereka berkumpul memberi macam petuah dan nasehat untuk anak-anak, penentu masa depan Lamdesar Barat. “Dong (anak-anak itu) semua menangis.” Anak mana yang tak terharu dibangunkan tempat tinggal langsung oleh orang-orang tua mereka


opini

yang datang jauh-jauh dari desa? Kini berdirilah sebuah asrama sederhana di sana. Temboknya belum lagi sempat dicat. Kamarnya ada 8 untuk total 16 orang mahasiswa. “Sekarang katong (kita orang) tidak susah lai kalau mau kirim-kirim. Su ada alamatnya,” tambah pria bermarga Fun ini. *** Cerita di atas terjadi Juli 2012 lalu. Begitulah tingginya keinginan mereka untuk berubah melalui pendidikan. Bersatu untuk kemajuan para penerus, meski tanpa bantuan dari pemerintah. Padahal, kualitas pendidikan di Lamdesar Barat amat menyedihkan. Saat pertama kali masuk di kelas VI saya sempat bertanya, kita ini berada di negara apa? “Maluku,” jawab beberapa orang anak. Ibukotanya? “Ambon,” kata satu anak. Bukan tak tahu Indonesia, tapi mereka belum paham konsep negara, propinsi, hingga kabupaten. Saat berhitung matematika, sebagian masih menggunakan lidi. Saat diminta berbicara di depan, tak percaya diri. Terbiasa belajar dengan bayang-bayang kekerasan. Dan citacitanya mayoritas ingin menjadi peta­ ni. Mereka bodoh? Sama sekali tidak. April lalu, dua orang siswa melangkah hingga babak semifinal Olimpiade Sains Kuark dengan level nasional. Hebat. Hanya kesempatan yang tak pernah mereka dapatkan. Fasilitas, kualitas, dan akses pendidikan masih menjadi momok negeri ini. Guru masih kekurangan padahal

jumlahnya cukup banyak. Distribu­ sinya yang tak merata. Survei Bank Dunia menyebutkan 34 persen sekolah di Indonesia masih kekurangan guru dan 66 persen sekolah di daerah terpencil kekurangan guru. Apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda? Semoga tak hanya berakhir di atas kertas makalah. Generasi muda Indonesia hari ini harus memiliki kompetensi global dan akar rakyat Indonesia yang kuat. Kita harus belajar untuk mengenal Indonesia. Sehingga menjadi warga global tapi tetap orang Indonesia. Sayangnya, banyak kampus kini menghapuskan program Kerja Kuliah Nyata dan mengutamakan praktik kerja di perusahaan. USU salah satunya. Membiarkan mahasiswanya lulus tanpa pengalaman pengabdian pada masyarakat. Generasi muda yang kreatif seharusnya mencari wadah-wadah penyaluran diri seperti mengikuti organisasi atau bahkan menginisiasi gerakan bersama. Tahun 1952 pernah ada program Pengerahan Tenaga Mahasiswa (PTM). Para mahasiswa dikirim ke daerahdaerah untuk mengisi kekurangan guru SMA. Hasilnya? Banyak yang terangkat potensinya. Salah satu siswanya adalah Adrianus Mooy yang kemudian menjadi Gubernur Bank Indonesia. Cerita PTM ini kemudian menjadi inspirasi munculnya Gerakan Indonesia Mengajar. Mengirimkan para pemuda selama satu tahun berada di tengah-tengah rakyat di pelosok negeri, di tengah anak-anak bangsa yang kelak akan meneruskan sejarah

negeri ini. Pengalaman berada di pelosok Indonesia, tinggal dan berinteraksi dengan masyarakat, akan membuat kita banyak belajar. Menghadapi tantangan dengan fasilitas yang minim, tanpa sinyal, listrik, kemiskinan yang merata, masyarakat yang jauh dari informasi, tentu akan menjadi pengembangan diri yang luar biasa. Kita dibenturkan langsung dengan kenyataan negara ini. Cerita Lamdesar Barat ini hanya contoh kecil dari sekian banyak realita di berbagai penjuru negeri. Me­reka tidak berpendidikan tinggi. Tidak mendapat banyak referensi. Tapi begitu tahu cara menyelesaikan masalah, semua bergerak melakukannya. Apa yang mereka lakukan jauh lebih cerdas daripada orang yang berpendidik­ an tinggi tapi tak mampu melakukan apa-apa. Jangan kalah dengan energi para orang tua tadi yang rela berhari-hari di atas kapal demi kemajuan ge­nerasi penerusnya. Jangan kalah dengan semangat anak-anak tadi, yang meski belajar dengan cahaya pelita tapi tetap meraih prestasi. Lakukanlah sesuatu sesuai bidang dan minat masing-masing. Sesungguhnya, iuran terbesar dan termahal dalam pendidikan itu adalah kehadiran. Dan kita, anak-anak muda yang masih energik dan bebas ini yang seharusnya melakukannya. *Penulis adalah alumni Ilmu Komunikasi FISIP USU. Pemimpin Redaksi Pers Mahasiswa ­SUARA USU 2010 dan menjadi Pengajar Muda di Lamdesar Barat, Maluku. Saat ini bekerja di program Lentera Indonesia NET TV.

MAJALAH SUARA USU I 35


ulas

Sebuah Kritik Sastra terhadap Adat

B

arangkali kisah cinta dengan perbedaan latar belakang adat istiadat bukanlah se足suatu yang terlalu istimewa, jika terjadi saat ini. Perbedaan adat istiadat sudah menjadi biasa di masa kini. Namun, apa jadinya jika perbedaan adat istiadat itu terjadi pada tahun 1920-an? Dua orang yang berbeda adatnya dipersatukan dalam ikatan pernikahan. Konflik antara keluarga dan adat, pastilah ada. Marah Rusli menuliskannya dengan lugas namun santun dalam karya ter足akhirnya, Memang Jodoh. Cerita dibuka dengan Hamli, yang baru saja dilarang ibunya untuk melanjutkan sekolah ke Belanda. Ia tak boleh ke Belanda sebab sang Ibu khawatir jika nantinya ia berjodoh dengan gadis di sana. Dengan statusnya sebagai seorang Marah, bangsawan Minang, ia harus menikah dengan orang Minang juga. Sebagai ganti agar sang anak tak kecewa, Siti Anjani, ibunya mengirim Hamli ke sekolah kedokteran hewan di Bogor. Hamli dilukiskan sebagai pemuda yang diliputi rasa resah dan gelisah. Banyak kerisauan yang ia rasa. Mau jadi apakah hidupnya nanti? Bergunakah ia nantinya di masyarakat? Pun

36 I MAJALAH SUARA USU

Teks: Izzah Dienillah saragih Foto: Sofiari Ananda

Muncul setelah 50 tahun dipendam, Marah Rusli memaparkan penolakannya terhadap budaya Minangkabau. Sebuah tulisan yang berani dari pengalaman pribadinya.

tentang keluarga dan adat, yang ia rasa banyak membelenggunya. Di tengah kerisauan, ia bertemu Din Wati, putri residen yang juga anak angkat bibi Hamli. Singkat kata, Hamli dan Din Wati saling jatuh cinta. Meski keduanya sama-sama bangsawan, Sunda dan Minang adalah dua budaya dengan adat yang begitu berbeda. Hamli harus siap dengan konsekuensi, dikeluarkan dari adat jika menikahi Din Wati. Ia juga diharuskan membayar uang kepada mamaknya, paman yang telah membiayai seluruh kuliahnya, sebagai ganti karena tak jadi menikahi anak gadis mamaknya. Di pihak keluarga Din Wati pun tak jauh beda. Meski keluarga intinya setuju, tapi dari keluarga besar Din Wati meragukan Hamli, yang dianggap masih anak sekolahan. Belum lagi citra pemuda Sumatera yang jelek di keluarganya. Tapi dengan keyakinan keduanya bahwa mereka memang jodoh, serta pertanda-pertanda yang menyertai pertemuan mereka, maka menikahlah mereka. Tapi pernikahan mereka tak mudah. Keluarga Hamli di Padang terus berupaya agar Hamli tak berjodoh dengan Din Wati. Ada saja yang me足reka

lakukan agar Hamli dan Din Wati terpisah. Mulai dari mengirimkan tukang tenung untuk mengguna-guna Din Wati, hingga menyuruh Hamli untuk kawin lagi, sebab Din Wati tak mau jika ia harus dipoligami. Novel ini, meskipun berkisah tentang perjalanan Hamli-Din Wati dalam berumah tangga, sesungguhnya berisi banyak sekali kritik terhadap adat. Sebagaimana dalam kisah Siti Nurbaya, di mana Marah Rusli mengkritisi budaya kawin paksa yang terjadi pada masyarakat Minang, buku ini pun mengkritik adat perkawinan. Misalnya, tentang cara masyarakat Minang membentuk keluarga. Perkawinan dipandang sebagai perkara ibu, bapak, dan mamak, bukan perkara anak yang akan dikawinkan; sehingga anak yang akan menjalani dan merasakan baik-buruk perkawinan itu seumur hidupnya, tanpa tahu apa-apa, harus menurut saja kehendak orang tua atau mamaknya. Herankah kita kalau perkawinan yang demikian jarang Oleh: Viki Aprilita selamat dan lekas berputus? RusliAnnisa juga beberapa kali Foto:Marah Ridha Sebayang


ulas

menyinggung tentang kedudukan suami dalam keluarga Minang yang menurutnya tak pas. Suami sebagai semenda, yaitu pertalian keluarga karena perkawinan dengan anggota satu kaum, sehingga dianggap sebagai orang datang yang tak punya hak dan tanggung jawab apa-apa kepada anak-istrinya. Di mana-mana, suami itu dipandang sebagai kepala keluarga sehingga dia bertanggung jawab penuh atas anak dan istrinya. Tetapi mengapa di Padang ini, dia dijadikan orang yang harus dipelihara dan dibela, sehingga tiada pula ia menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami dan bapak? Kritik terhadap bentuk keluarga, bagaimana hubungan suami-istri yang harusnya equal as human, juga Judul Pengarang Penerbit Tahun terbit Jumlah halaman Harga

beberapa kali disinggung. Suami dipandang sebagai orang asing, yang harus memberi keturunan kepada istrinya; istri dipandang sebagai kepala keluarga, yang harus menguasai semuanya. Anak dipandang sebagai anak mamaknya. Adakah hubungan yang demikian membawa kenikmatan rumah tangga? gugat Hamli. Kritik terhadap budaya poligami yang biasa dilakukan pria Minang juga berulang kali disampaikan. Pada masa itu, lelaki Minang, apalagi jika bangsawan dianggap hebat jika beristri lebih dari satu. Orang tua Hamli bercerai karena ibunya menolak dipoligami oleh sang ayah. Dan ayah Hamli pun, sejatinya terpaksa menikah lagi karena adat,

: Memang Jodoh : Marah Rusli : Penerbit Qanita (PT Mizan Pusaka) : 2013 : 538 halaman : Rp69.000

sang mamak memintanya untuk menikahi anak gadisnya. Ibu Hamli yang dicerai menjadi trauma dan tak mau menikah lagi, dan Hamli pun menjadi terpisah dengan sang ayah. Tak ingin keturunannya mengalami kesedihan yang ia rasa, serta cerita sahabat-sahabatnya yang menderita akibat poligami, ia pun bersumpah tak mau berpoligami. Dibandingkan dengan Siti Nurbaya, gaya bahasa yang dipakai dalam novel ini cukup berbeda. Jika Siti Nurbaya dituturkan dengan mendayudayu dan percakapan yang singkatsingkat, gaya bahasa dalam Memang Jodoh lebih lugas dan apa adanya. Dari segi penyelesaian cerita pun begitu. Jika Siti Nurbaya diakhiri dengan penuh haru-biru, Memang Jodoh berakhir bahagia. Mungkin karena ini merupakan semi-autobiografi, jadi ending-nya diselesaikan begitu saja. Hanya saja, konflik yang terdapat dalam buku ini cenderung datar. Dengan mengesampingkan fakta bahwa buku ini adalah semi-autobiografi Marah Rusli, ia adalah sebuah sastra yang sarat akan kritik terhadap adat. Meski kita yang membacanya pada masa sekarang ini merasa sah-sah saja dengan kritik yang ia sampaikan, sesungguhnya Marah tergolong berani pada masanya. Niatku semata-mata ingin mengingatkan pada kepincangan-kepincangan pelaksanaan adat istiadat, yang tak baik lagi dipertahankan, diperbaiki dan diganti dengan zaman yang terus beralih dan masa yang telah berubah. Mengapa novel ini baru terbit 50 tahun setelahnya juga salah satu alasan agar tak melukai perasaan keluarga Marah di Padang, yang beberapa tokoh di dalamnya bukanlah fiksi. Adat, jika tak membawa kebaikan seperti itu, tak pantas lagi diteruskan. Satu lagi, pesan yang ingin disampaikan dari novel ini adalah perbedaan adat, ternyata bukan melemahkan ikatan antara Hamli-Din Wati, tetapi justru menguatkan mereka dalam membangun keluarga.

MAJALAH SUARA USU I 37


kaleidoskop

KA LEI DOSKOP 2013

˜

˜

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

Sisi kiri - kanan: Perwakilan Pemerintahan Mahasiswa (Pema) Sekawasan melakukan audiensi dengan staf ahli Pembantu Rektor (PR) III di ruang tunggu ruangan PR III, Senin (23/9). Dalam audiensi ini, Pema Sekawasan meminta PR III mengeluarkan surat pernyataan ketidakabsahan Pema USU dan permohonan ijin pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Mahasiswa Gelar Sejumlah Aksi Sejumlah aksi mahasiswa terjadi selama setahun ini. Dimulai dari aksi Front Mahasiswa Sumatera Utara (FROM-SU) di Simpang Sumber, Kamis (11/4). Me­ reka menuntut pemerintah mencabut Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang dinilai berdampak pada komersialisasi pendidikan dan memberatkan mahasiswa. Kemudian Front Mahasiswa Nasional (FMN) Ranting USU yang disponsori Front Perjuangan Rakyat Tertindas (FPR-T) adakan aksi guna memperingati Hari Buruh dan tuntut uang kuliah tunggal (UKT) dicabut, pada Rabu-Kamis, 1-2 Mei lalu. Demonstran melakukan longmarch dari USU, Bundaran SIB, Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut), dan berakhir di Kantor Dinas Pendidikan dan Pengajaran Sumut. Ratusan mahasiswa USU dan Front Peduli USU (FPU) juga mengadakan aksi demonstrasi spontan tolak bahan bakar minyak (BBM) di Jalan Jamin Ginting, Simpang Kampus USU, Senin (17/6). Lalu diakhiri Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menggelar aksi damai guna menolak penyelenggaraan kontes Miss World di Bali. Aksi ini di mulai dari Lapangan Merdeka dan berakhir di Kantor DPRD Sumut, Kamis (5/9).

Timnas Kunjungi USU Tim Nasional (Timnas) Indonesia jadikan Stadion Mini USU sebagai tempat Pemusatan Pelatihan Nasional (Pelatnas) selama satu bulan, dimulai sejak Senin (7/1). Pelatnas dilaksanakan guna mempersiapkan pemain menghadapi Pra Piala Asia 2015 mendatang. Dalam hal ini Gubernur Sumatera Utara Gatot ­Pujonugroho turut menyambangi ke lapangan guna memberikan apre­siasi karena menurutnya hal ini menjadi sebuah kehormatan USU untuk menjadi tuan rumah.

38 I MAJALAH SUARA USU


kaleidoskop

Pelantikan Dekan FE

Peniadaan Inaugurasi

Prof Azhar Maksum resmi dilantik menjadi Dekan Fakultas Ekonomi (FE) oleh Rektor Prof Syahril 足Pasaribu, Kamis (11/4) lalu di Ruang Senat Akademik Pusat Administrasi Biro Akademik (Birek). Azhar menggantikan Dekan FE sebelumnya, John Tafbu Ritonga yang tutup usia di tengah masa jabatan. Masa jabatan Azhar ini bersifat periode antarwaktu. Bersamaan dengan itu pelantikan juga dilakukan kepada Prof Erman Munir sebagai Direktur Sekolah Pasca Sarjana dan Prof Dwi Suryanto sebagai Wakil Direktur Sekolah Pasca Sarjana.

Pembantu Rektor III Raja Bongsu Hutagalung mengeluarkan surat edaran kepada Pembantu Dekan (PD) III se-USU, Jumat (30/8). Surat bernomor 6730/UN5.1.R3/KMS/2013 tersebut berisi pelara足 ngan diadakannya inaugurasi di tiap fakultas yang mereka naungi. Keputusan tersebut diambil setelah melihat pengalaman-pengalaman yang terjadi pada inaugurasi sebelumnya. Dengan adanya surat edaran ini, Bongsu menjelaskan pihak universitas tidak akan bertanggung jawab jika masih ada yang melakukan inaugurasi.

FP Menangi Piala PR III Fakultas Pertanian (FP) keluar sebagai pemenang pada Piala Pembantu Rektor (PR) III setelah mengalahkan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) 足dengan skor 2-1. Pertandingan final sendiri diadakan di Stadion Mini USU, Selasa (19/3).

Laboratorium FMIPA Terbakar Laboratorium Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) USU terbakar pada Kamis (26/9) sekitar pukul 01.15 WIB. Tidak ada korban jiwa namun si jago merah menghanguskan lima laboratorium yang ada di lantai tiga gedung FMIPA, seperti lab genetika, ekologi, tumbuhan, dan dua lab kecil lainnya.

Bus kampus berhenti di halte depan gelanggang mahasiswa, Kamis (14/3). Bus ini merupakan salah satu bentuk program USU ASRI dan mulai beroperasi pada 9 Maret lalu.

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 39


esai foto

Sebuah puisi oleh:

Sapardi Djoko Damono

aKU iNGIN Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

40I MAJALAH SUARA USU


esai foto

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 41


esai foto

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

RIDA HELFRIDA PASARIBU | SUARA USU

42 I MAJALAH SUARA USU


esai foto

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

vv

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

MAJALAH SUARA USU I 43


esai foto

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

SOFIARI ANANDA | SUARA USU

44I MAJALAH SUARA USU


MAJALAH SUARA USU I 45


lentera

TENTANG kera, PENANGKARAN DAN PEJUANGNYA Teks: Baina Dwi Bestari dan Gio Ovanny Pratama Foto: Rida Helfrida Pasaribu

Atas dasar hati nurani, bermodalkan keikhlasan. Hamidah dan keluarga mau berbagi hidup dengan kera-kera ini, bahkan memperlakukannya selayaknya keluarga. 46 I MAJALAH SUARA USU


lentera

Umar Manik, menceritakan keadaan kera-kera yang ada di hutan Sibaganding, Parapat.

MAJALAH SUARA USU I 47


lentera

Gapura Pintu Masuk Taman Wisata Kera di Sibaganding, Parapat

H

utan Sibaganding, Parapat bukan tempat menarik di tahun 1980-an. Tidak ada apa-apa. Tapi ada Umar Manik yang hidup di situ. Bersama istrinya Hamidah, ia hidup dengan keadaan ekonomi yang jauh dari kata layak. Umar dan Hamidah memutar otak mencari cara untuk menyambung hidup. Akhirnya, mereka memutuskan untuk berkebun di tengah hutan tersebut. Mereka memilih menanam timun, pisang, labu dan daun sup yang dirasa berumur muda dan tidak butuh waktu lama untuk panen. Karena nantinya hasil panen itu akan mereka jual untuk dapat uang. Setelah merawat dan menunggu dengan sabar, tibalah waktu panen. Panen pertama mereka bisa dikatakan berhasil. Semua tanaman tumbuh dengan subur. Akhirnya, mereka memutuskan untuk melanjutkan ke­ giatan berkebun itu. Mereka lagi-lagi menanam tanaman yang sama di kebun mereka. Dan tibalah waktu panen kedua.

48 I MAJALAH SUARA USU

Tapi, ternyata mereka tidak semujur sebelumnya. Tanaman mereka kali ini banyak yang rusak. Selidik punya selidik, ternyata kebun mereka ‘dikunjungi’ oleh penghuni asli hutan tersebut yaitu kera-kera hutan Sibagan­ ding. Tidak kehilangan akal, Umar dan Hamidah punya cara sendiri untuk mengatasi kera-kera tersebut. Me­ reka mencoba meracuni gerombol­ an kera tersebut agar jera dan tidak lagi mengganggu tanaman me­reka. Namun rupanya kera-kera tersebut seakan-akan tahu bahwa itu adalah racun. Racun yang disediakan se­perti makanan di ladang perkebun­an me­ reka tak disentuh sedikit pun oleh kera malah tanaman di kebun mereka tetap berkurang. Namun Umar dan Hamidah belum menyerah. Mereka berniat melakukan hal yang sama keesokan harinya. Malam harinya ketika Umar sedang di rumah, Ompung Sinaga, leluhur yang dulunya menghuni hutan Sibaganding datang menemuinya. Ompung Sinaga marah padanya. “Ja­

ngan kau racuni kera-kera itu, rawatlah mereka, kasih makan, nanti kau bisa dapat nama,” katanya. Umar tidak mengerti maksudnya. Tapi, sebelum ia sempat bertanya, Ompung Sinaga sudah pergi. Umar mencoba tetap bertanya sampai akhir­ nya ia tersentak dan terbangun dari tidurnya. Ternyata, Ompung Sinaga mene­ muinya dalam mimpi. Umar yang kebingungan langsung menceritakan perihal dalam mimpinya ke Hamidah. Bukan membantu, Hamidah malah ikut bingung. “Apalah artinya dapat nama?” tanya­ nya. Ternyata, mimpi itu tidak datang sekali. Keesokan harinya, Umar bermimpi hal yang sama. Bermodalkan rasa penasaran, akhirnya mereka bertanya kepada tetua di kampung perihal mimpi itu. Si tetua menjelaskan kalau mereka seperti diberi amanah untuk menjaga dan merawat kera-kera di hutan Sibaganding. Sejak saat itu, Umar dan Hamidah berhenti meracuni kera-kera


lentera tersebut dan malah menjaganya. Mereka memberi makan dan merawat kera-kera tersebut seperti keluarga sendiri. Tak lama dari itu, Umar dan Hamidah­ memutuskan untuk berhenti berkebun dan memilih untuk menjual kayu bakar. Hasil penjualan kayu bakar tersebut mereka pakai untuk membeli pisang, kacang dan makanan lain untuk diberikan pada kera-kera itu. Gerombolan kera yang datang ketika mereka mulai memberi makan bisa mencapai 30 sampai 50 ekor tiap waktunya. Tapi, sejak adanya mimpi tersebut memang Umar dan Hamidah merasa bertanggung jawab atas kera-kera itu. *** Abdurrahman mulai menapaki anak tangga yang semennya sudah hancur, tidak sama di setiap lantainya. Anak tangga itu basah, berlumut. Di kiri kanan jalan terdapat batubatu besar dan bekas aliran sungai. ­Rahman sedang menuju tempat memanggil dan memberi makan kera yang berada di dalam hutan. Nama tempat itu Wisata Penangkaran Kera, tertulis di gapura setinggi tiga meter sebelum anak tangga pertama bisa dipijak. Setelah berhasil menapaki anak

tangga yang kesekianpuluh, Rahman sampai di tempat yang dituju. Tanah sepetak yang disemen tidak rata, tempat ia berniat mengumpulkan kera-kera. Rahman kemudian mengambil terompet miliknya dari dalam kandang yang di dalamnya ada tumpuk­ an pisang, ubi dan kacang. Terompet yang dibuat dari tanduk kerbau itu kemudian ia tiup kencang. “Tteettt, tettt…… Na e… Na e…” Begitu bunyi terompet yang kemudian disusul oleh suara Rahman memanggil gerombolan kera dalam bahasa Batak yang artinya ‘ayo… ayo…’ Begitulah cara Rahman memanggil kera-kera dari tempat persembunyiannya. “Saya pelajari dari Bapak,” terangnya. Menit pertama tidak ada tandatanda kedatangan satu pun kera. Rahman pun terus meniup lagi. Kali ini sambil memanggil nama-nama dari beberapa kera. Berhasil, kera pun mulai berdatangan di menit selanjutnya. Satu, dua, dan kemudian ramai hampir 30 ekor kera datang memenuhi pelataran tadi, tepat di bawah kaki ­Rahman. Ada kera kecil, besar, siamang dan jenis kera lainnya di sana. Rahman pun mengambil kotak yang berisi pisang dan mengeluarkan

Lebih baik aku ber­ pisah dari istri dan anakku dari pada sama keraku,”

Umar Manik

.

Halaman tempat tinggal yang dihuni oleh Abdurrahman dan keluarga yang digunakan untuk mengumpulkan kera.

MAJALAH SUARA USU I 49


lentera beberapa sisirnya. Kemudian, ia membagi-bagi pisang tersebut ke kerakera. Tidak ada rasa takut dari diri ­Rahman. Ia sudah terbiasa. Kera-kera itu pun menurut saja. Ketika pisang sudah habis, Rahman menyu­ruh me­ reka pulang. Maka puluhan kera itu pun pulang dengan teratur. Rahman adalah penjaga Wisata Penangkaran Kera yang ada di Parapat, Sumatera Utara ini sekaligus anak dari Hamidah. Untuk alasan tertentu Umar tak lagi bersama mereka. Jadilah se­karang mereka berdua yang mengurus tempat ini. Mereka bukan orang kaya sekarang. Masih seperti dulu, hidup serba pas-pasan. Tapi, Hamidah akui ia sudah merasa bertanggung jawab atas kera-kera di hutan Sibaganding ini. Ia khawatir tentang makanan kera kalau mereka berhenti memberi makanan. “Ketika kita memberi makan sedikit saja me­ reka turun ke jalan raya berharap dari pengunjung Danau Toba. Dan kalau udah ke jalan, enggak sedikit yang mati tertabrak,” ungkapnya. Atas dasar nurani itulah Hamidah tetap melanjutkan usahanya sebisa mungkin menjaga kera-kera itu hingga dilanjutkan oleh anaknya. Tapi, ada yang berbeda dari cara mereka mendapatkan makanan untuk kera. Ketika zaman Soeharto, banyak turis dan wisatawan yang datang berkunjung ke tempat ini. Dari situlah sumber dana banyak mengalir untuk membiayai makan kera dan kehidupan mereka sehari-hari. “Kalau dihitung waktu itu lima juta enggak kemana lah,” ujarnya. Tapi sekarang wisatawan sudah mulai sedikit, kata Hamidah. Perhatian dari pemerintah hampir tak ada. Untuk makan kera murni bergantung dari wisatawan yang datang, dari situlah mereka meminta sumbangan seikhlasnya. Mereka juga tak mempunyai pekerjaan lain karena sibuk mengurusi kera-kera tersebut. Un-

50 I MAJALAH SUARA USU

tuk kebutuhan sehari-hari mereka membuka kedai kecil yang menjual makanan dan minuman ringan di depan gapura tadi. “Kalau kami kerja tak ada yang bisa mengurusi kera ini,” ucap Hamidah sembari memperlihatkan daftar sumbangan pengunjung. Kata Rahman, sempat ada monumen yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Simalungun bertulisan Lokasi Penangkaran Satwa Langka di jalan setapak menuju lokasi berkumpulnya gerombolan kera tadi. Namun, sudah tidak terlihat lagi karena ditutupi lumut. Sebenarnya, tak hanya kalimat itu saja yang tertuliskan di situ. Ada beberapa kalimat lagi yang sudah tak bisa dibaca karena tulisannya sudah ditutupi lumut dan nyaris hancur. “Ya beginilah keadaannya sekarang, jalanannya pun sudah

tak diperhatikan lagi, kami tak punya dana untuk perbaiki jalan dan batu ini,” kisahnya. Rahman berharap penangkaran monyet ini ada yang bantu. Baginya, dibantu dengan biaya makan kera saja sudah cukup. “Kalau pun nanti ada yang menyumbang uang biar kami yang beli makannya. Tapi kalau tidak ada ya awak pun juga susah untuk makan,” katanya sambil tertawa kecil. Rahman dan Hamidah sering mengajukan permohonan dana ke Pemkab Simalungun. Namun permohonan tersebut tinggal permohonan saja. Tak ada tanggapan dari peme­ rintah. Padahal menurut Rahman, tempat ini bisa jadi kebanggaan bagi putra daerah jika merantau ke luar daerah. “Tapi, tidak lagi setelah ke-


lentera adaanya seperti ini. Enggak ada lagi yang bisa dibanggakan,” ujarnya. Tapi, di tengah kesulitan tersebut mereka tak mau melepas begitu saja kera-kera yang sudah sangat akrab dengan mereka. “Kami melestarikannya karena tak sengaja. Kami ke sini untuk berladang bukan untuk mencari ketenaran dan uang dengan melestarikan kera ini,” kata Hamidah. Pun begitu dengan Rahman. Sejak lahir ia sudah dibesarkan bersama kera. Baginya kera-kera ini sudah dia anggap seperti keluarga, bahkan lebih dari keluarga sendiri. Ia akan merasa sedih jika melihat keranya mati ditab­ rak mobil di tengah jalan.

(Kiri) - Beberapa ekor kera menunggu diberi makan (Kanan) - Abdurrahman memberi beberapa biji kacang kepada kera

Ia belajar dari bapaknya, Umar Manik cara berkomunikasi dan berteman dengan kera. Ia tahu, Umar sangat menyayangi kera-kera ini. “Lebih baik aku berpisah dari istri dan anakku dari pada sama keraku,” ucap Rahman menirukan kalimat bapaknya. Butuh Kerjasama dan Perhatian dari Pemerintah Keberadaan tempat penangkaran kera di Parapat ini membawa dampak positif bagi masyarakat sekitar. Hal ini dirasakan oleh salah seorang peda-

gang di daerah Penatapan, Parapat, Hotmian Manurung. Menurutnya dengan adanya tempat penangkaran kera ini jualannya jadi laku dibeli pe­ ngunjung untuk kemudian diberikan pada kera. Pun begitu dengan Juli Wiyanto, ia memiliki usaha rumah makan di Parapat. Menurutnya tempat pe­ nangkaran kera tersebut bisa menjadi penunjang pariwisata di daerah parapat. Walaupun sekarang kera-kera itu berserakan, namun itu sebenarnya terkoordinir. Pe­ran tempat penangkaran kera itu sen­diri ju­ga sangat bermanfaat, bisa me­ngundang turisturis lokal untuk datang selain Danau Toba yang jadi daya tarik utama. “ M e r e­ k a enggak ngambil keun­­tu­ ngan, me­reka ­pelihara dan ngasih ma­ kan kera, masyarakat sini juga senang ­dengan ada­ nya ini. Baguslah me­ reka,” tutur Juli. Menurutnya lagi mereka tidak memungut retribusi. Akan tetapi mereka menjual makanan kera, seperti pisang kepada pe­ ngunjung, pengunjung beli dan uang itu mereka putar lagi untuk membeli makanan lagi. “Masyarakat sini juga sebenarnya tak sering membantu mereka tapi biasanya ada juga kok masyarakat yang mau membantu, mudah-mudahan ada,” katanya. Menurut Hotmian untuk urusan pengelolaan seharusnya ada turut campur dari pemerintah, kalau ha­ nya dari masyarakat saja tak cukup, karena pertumbuhan kera sangat­lah cepat jadi nanti kalau mereka turun

MAJALAH SUARA USU I 51


lentera bisa mengganggu masyarakat. Hotmian bilang, Hamidah dan keluarga­ nya sebenarnya membantu di satu tempat saja, sedangkan kera-kera itu masih banyak di daerah lain seputaran Sibaganding dan daerah Penatapan. Kata Hotmian, pemkab turut campur hanya setelah tempat penangkaran itu maju, namun setelah itu tak ada ditindaklanjuti. “Pemerintah mau enaknya aja, mau uangnya tanpa ada bantu,” katanya. Apa yang kurang dari tempat penangkaran ini menurut Hotmian adalah hanya dicara pengelolaannya saja. Ia berharap, hendaknya ada kerjasama antara keluarga Hamidah dengan pemerintah. “Keluarga si Umar dikasih gaji dari pemerintah lalu keluarga si Umar kasih makanlah (kera -red),” ucap Hotmian dengan logat Bataknya. Dampak yang dirasakan Hormian sekarang adalah banyak kera yang sudah mulai liar karena kelaparan. “Kalau dulu sewaktu Pak Umar masih mampu enggak seliar ini,” tambah­ nya. Namun begitu Juli mengapresia­si usaha keluarga Hamidah untuk menjaga dan merawat kera-kera ini. “Me­ reka tak mengeluh, mampu mandiri. Dengan tak adanya biaya yang turun dari pemerintah mereka berusaha sendiri dengan upaya mereka untuk hidup, dan menghidupi kera-kera itu,” tutupnya.

Meniup Terompet untuk memanggil kera

52 | MAJALAH SUARA USU


MAJALAH SUARA USU I 53


IKLAN 54 | MAJALAH SUARA USU


MAJALAH SUARA USU I 55


jelajah

Jejak Historis Sang Misionaris Teks: Hadissa Primanda Foto: Rida Helfrida Pasaribu

n uah catata isata b e s h la a d w Ini a ata. Bukan hani. is w n a n la ro perja amun wisata biasa, n ini menelusuri jejak Perjalanank lampau, mengum-n demi jeja gmen demi fragme pulkan fra sejarah.

56 | MAJALAH SUARA USU


jelajah

Salib Kasih yang terletak diatas bukit Tarutung.

MAJALAH SUARA USU I 57


jelajah

J

arum jam menunjukkan pukul setengah tujuh lewat beberapa menit tepat saat kami memasuki Kota Tarutung, ibukota Kabupaten Tapanuli Utara. Tujuh jam perjalanan dengan lintasan 200 kilometer dari Medan. Mobil yang kami naiki baru saja melintasi gerbang pembatas masuk kota. Anda berada di kota wisata rohani Tarutung. Begitulah sambutan yang tertulis di gerbang. Matahari belum sepenuhnya muncul. Jalanan lengang, hanya beberapa kendaraan yang turut melintas. Kedai-kedai di sepanjang jalan kebanyakan masih tutup. Pun dengan rumah-rumah penduduk setempat, belum terlihat adanya tanda-tanda kehidupan. Perjalanan wisata rohani hari ini kami mulai satu kilometer dari pusat Kota Tarutung, tepatnya di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Berbeda dengan kondisi jalanan yang sepi, aktivitas Minggu pagi sudah dimulai di situ. Dari dalam kelas di samping gereja, terdengar suara nyanyian anak-anak yang bersekolah Minggu. Lagunya tidak begitu jelas terdengar. Beberapa anak yang terlambat berlari dari arah depan dan belakang gereja, segera bergabung. Sementara gereja sepi. Kebaktian hari itu baru dimulai pukul sembilan. Pintunya masih ditutup rapat, celahcelah dari jendela di sisi samping gereja adalah satu-satunya akses untuk dapat melongok ke dalam. Gelap. Seorang penjaga masih asyik menyapu pelataran gereja. Gereja itu berdiri dari susunan kayu-kayu warna cokelat muda dengan dua menara. Di menara yang sebelah kanan terdapat jam. Di bagian tengah, ada satu pintu utama dengan lambang HKBP di atasnya, diikuti tulisan sai burju ma ho rasirasa male. Ada dua pintu masuk di kiri-kanan pintu utama, hingga kalau tampak depan, gereja itu seolah dibatasi cermin, karena terbagi pada dua bagian yang sama. Catatan sejarah menyebutkan,

58 | MAJALAH SUARA USU

HKBP adalah gereja protestan terbesar di kalangan masyarakat Batak, juga di antara gereja-gereja Protestan yang ada di Indonesia. Sejak pertama kali berdiri, gereja itu sudah berpusat di Pearaja, desa penghubung antara Tarutung dengan Sibolga. Di area seluas 20 hektar, tidak hanya terdapat gereja dan kelas-kelas. Ia juga merupakan kompleks perkantoran HKBP dan pusat administrasi organisasi HKBP. Karena hari Minggu, maka kantor yang terletak di belakang gereja ini tutup. *** Makam Munson-Lyman. Destinasi kedua. Terletak 17 kilometer dari Tarutung. Makam itu hanya terdiri dari sebuah batu berlapis dua yang ditopang oleh semen berkeramik berbentuk balok di bawahnya. Lapisan pertama batu itu tidak punya bentuk yang jelas. Warnanya cokelat, hanya memanjang ke atas dengan pinggiran yang tidak rapi. Lapisan kedua berwarna lebih gelap, berbentuk salib. Mereka sebentuk nisan, yang ditulis dalam bahasa Jerman. Dalam salib tertulis Zur errinnerungan die Amerikaniichen Martyrer des Evangeliums im Batakland, Henry Lyman und Samuel Munson, 1834 (Peringatan untuk orang Amerika yang mati martir evangelium di Batak, Henry Lyman dan Samuel Munson, 1834). Di bagian tengah area, terdapat dinding besar yang merupakan monumen Munson-Lyman ke tanah Batak. Dinding besar itu diapit dua buah kamar doa. Salib besar berdiri di tengahnya, di atas tulisan Memorial Martir Henry Lyman dan Samuel Munson. Semua berawal dan berakhir tahun 1834. Munson-Lyman adalah misiona足 ris yang datang dari Boston, Amerika Serikat untuk menyebarkan injil ke tanah Batak, tepatnya daerah Sisangkak. Ia berada di belakang gereja HKBP Pearaja, kini sudah menjadi hutan.


jelajah Saat itu, masyarakat Batak masih menganut ajaran animisme. Raja Panggalamei Lumbantobing yang menjabat masa itu telah meng­ ingatkan penduduk setempat bahwa orang yang berhidung mancung, berkulit putih, dan berbahasa yang beda dengan mereka adalah penjajah. Alhasil kedatangan Munson­Lyman yang membawa alkitab pun dirasa ganjil. Keduanya dibunuh secara tragis setelah digiring sepanjang dua kilometer dan berakhir di Desa Lobo Pining. Monumen ini, dibuat untuk menghormati terbunuhnya MunsonLyman. Boru Lumbantobing, si penjaga makam mengaku masih keturunan dari Raja Panggalamei. Wanita 40-an itu kini mengabdikan dirinya untuk menebus kesalahan leluhurnya. Bahkan, ia tak mematok harga kunjungan. Meski sering diadakan kebaktian, acara-acara peringatan seperti paskah dan natal dengan pengunjung rombongan, ia hanya menerima bayaran seikhlasnya. “Enggak mau nama nenek moyang kami rusak, sebisa mungkin tetap turunan kami yang jaga,â€? ujarnya.

Gereja HKBP Kantor Pusat

*** Lewat tengah hari, kami berada di atas Bukit Siatas Barita. Tepatnya di depan Salib Kasih, sebuah salib raksasa dari beton berlapis keramik. Tingginya mencapai 31 meter, ditopang tiga tiang raksasa sebagai lambang trinitatis. Jeffry A M Lubis, Pelaksana Kepala UPT Salib Kasih menjelaskan di area seluas 16,8 hektar ini, terhampar tempat duduk dari beton berkapasitas 600 orang di sekitar Salib Kasih. Lengkap dengan sebuah mimbar di hadapannya. Sebanyak dua puluh kamar doa tersebar di kompleks ini. Di belakang Salib Kasih terdapat sebuah panggung tempat persembahan lagu-lagu rohani. Siang itu, ada tiga orang penyanyi dengan satu pemain keyboard bernyanyi lagu

berbahasa Batak. Mereka bernyanyi bergantian, sambung menyambung. Sesekali mereka berhenti dan bercengkerama. Kemudian lanjut bernyanyi lagi. Nyanyian mereka adalah hiburan tersendiri bagi pengunjung. Mereka yang berdoa, yang sedang antri untuk masuk kamar, atau mereka yang mengabadikan momen demi momen di tempat itu. Salib Kasih ini, dikenal sebagai primadona Kota Tarutung. Ialah salah satu saksi sejarah penyebaran Injil di tanah Batak, juga menjadi pemikat Tarutung sebagai kota wisata rohani. Adalah Ingwer Ludwig Nommansen, seorang misionaris asal Jerman yang terkait erat dengan pembangunan Salib Kasih. Hal ini terlihat dari beberapa monumen yang dibangun khusus di area Salib Kasih. Terutama batu besar berupa jejak kaki Nommansen, dengan sebuah salib kecil tempat pertama kali dia berdoa sebelum masuk ke daerah Silindung. Pada nisannya, tertulis Hidup atau mati biarlah aku tinggal di tengah-tengah bangsa ini untuk menyebarkan firman dan kerajaan-mu. Butuh perjalanan panjang untuk sampai ke Salib Kasih. Mendaki puncak Siatas Barita dengan ketinggian 1600 meter di atas permukaan laut, memasuki area penjual cendera mata, membayar uang masuk Rp 2 ribu per orang, melewati patung besar Nommansen yang memegang Alkitab, kemudian mendaki jalan setapak ke puncak bukit. Jalan setapak penuh pohon pinus. Berbelok-belok, disusun atas batu-batu yang membentuk tangga. Jaraknya 500 meter untuk sampai ke puncak, dengan total sekitar 986 anak tangga. Setiap 100 meter, disediakan bangku panjang untuk beristirahat. Jelang sampai di puncak ada ratusan batu nisan berisi nama pengunjung dan asal daerah mereka. Sebentuk kenang-kenangan karena telah berkunjung. Semua tersusun

MAJALAH SUARA USU I 59


jelajah rapi dalam taman bernama Taman Kenangan itu. Dijelaskan Jeffry, sebagian ada yang membawa sendiri nisan mere­ ka, ada juga yang tempah di tempat. Budaya ini dimulai oleh satu orang kemudian menular pada pengunjung lainnya. Hanya saja, melihat kondisi tempat yang sudah padat dipenuhi nisan, ia berharap pengunjung selanjutnya bisa memberikan kenang-kenangan dalam bentuk yang lebih fungsional. “Enggak lagi kayak nisan, tapi kayak bunga-bunga, atau barang-barang yang berhubungan dengan Tuhan,” jelasnya. Pengunjungnya pun tidak hanya mereka yang beragama Kristen, namun datang dari berbagai latar belakang agama. “Yang berkerudung juga banyak,” tambahnya. Salib Kasih sendiri dibangun secara bertahap, sejak 1993 masa kepemimpinan Bupati Lundu Panjaitan,­ dan disempurnakan pada masa RE Nainggolan.

*** Turun dari Siatas Barita, kami bertemu dengan saksi sejarah Tarutung yang lain. Sebuah gereja renta, disusun kayu putih lusuh yang catnya mengelupas sana sini. Tonggaktonggak penyangganya juga rapuh, dimakan rayap. Tertulis Geredja Dame, 18641933 di bawah menara gereja. Menurut catatan sejarah, ialah gereja pertama yang dibangun di Tarutung sebagai pos penginjilan Nommansen. Sementara gereja kosong. Tidak ada orang. Dari jendela yang terbuka, hanya terlihat siluet mimbar pendeta. Pun dari celah pintu yang terbuka sedikit. Kebaktian hari itu sudah selesai beberapa saat sebelum kami datang. Ada sebuah bangunan tepat di seberang Gereja Huta Dame, seba­ gaimana gereja ini disebut, dengan komposisi bangunan persis seperti gereja. Hanya terdapat sebuah ruang lapang, dengan atap seperti rumah. Ia semacam tempat pertemuan. Sore

itu, kebetulan sedang ada rapat oleh para pendeta. *** JR Hutauruk mantan Ephorus HKBP Pearaja, asli Tarutung. Ia tahu betul sejarah kota ini. Saat ditanya tentang Kota Tarutung, beberapa waktu setelah kunjungan kami waktu itu, ia langsung angguk-angguk. Kemudian mulai bercerita. Satu hal yang paling berkesan untuk Tarutung adalah kedatangan Nommansen yang membuka perka­ baran Injil ke daerah Silindung, pada 1864. Pada masa itu, Tarutung adalah satu-satunya daerah yang bebas, baik dari segi ajaran agama yang belum menganut agama samawi, juga merdeka dari pemerintahan kolonial. Sementara daerah lain seperti Sipirok, Sibolga, atau Sidempuan sudah ada kekuatan agama Islam serta sudah dilindungi pemerintah Belanda. Maka Nommansen berpikir, alangkah lebih baik jika ia langsung

Patung Nomensen yang terletak dibawah Salib Kasih

60 | MAJALAH SUARA USU


jelajah datang ke daerah kafir. Itulah visinya, meski resikonya tinggi. Ia tahu, 30 tahun sebelumnya, di tahun yang sama dengan kelahirannya, Munson-Lyman dibunuh secara tragis di tempat itu. Dia sudah tahu bahaya-bahaya itu. Karenanya, ia datang tidak melalui bukit timur seperti yang sebelumnya dilakukan pendahulunya, melainkan bukit barat, lewat Sidempuan, Pahaek, Sarula, masuk ke Silindung hingga tiba di Siatas Barita. Di puncak itulah ia berdoa, mengikrarkan dirinya untuk mengabdi di tempat itu. Ia memulai misinya. Mendiskusikan kedatangannya dengan penduduk setempat, meyakinkan bahwa ia bukan musuh, bukan juga mata-mata Belanda tapi murni membawa kasih Yesus. Awalnya ada pertentangan dan pengusiran. Tapi ia tak mau. Hutauruk menjelaskan, ada peristiwa ketika raja-raja menggelar rapat adat untuk mengusir Nommansen. Saat semua pihak sudah siap membunuhnya, datang hujan lebat dan halilintar. Pesta itu batal. Niatnya, yang jadi persembahan hari itu adalah manusia, bukan kerbau. “Itulah titik awal kekristenan di seluruh Batak Toba. Ini pertarungan hidup mati,” kata Hutauruk. Alhasil, Gereja HKBP bersama pemerintah daerah membuat Salib Kasih menjadi satu tempat berdoa sekaligus penghormatan terhadap kegigihan Nommansen. Awalnya hanya salib kecil di jejak kaki Nommansen,­ dibangun tahun 1980. Baru kemudian dibangun Salib Kasih. Posisinya pun, dikatakan Hutauruk membentuk garis lurus dengan HKBP Pearaja. “Jika berdiri di depan Sallib Kasih, maka menghadap langsung ke HKBP”. Di Tarutung, Nommansen menetap di daerah Huta Dame. Ia pun membentuk gereja pertama, Gereja Huta Dame. Namun karena sering banjir, maka Raja Pontas

Lumbantobing,­ tokoh Kristen di sana mengajaknya pindah ke Pearaja. Itulah gereja kedua yang didirikan Nommansen, kemudian jadi pusat HKBP. Menurut Hutauruk pemerintahan Belanda sendiri baru masuk sepuluh tahun sesudah kekristenan ada. Nommansen adalah satu-satunya orang kulit putih sebelum itu. Hanya saja, di beberapa literasi ada yang mengatakan Nommansen adalah utusan Belanda. “Injil dulu yang datang, baru pemerintah Belanda. Kalau yang seperti itu ya analisis saja lah,” katanya. Sepengetahuan Erond Damanik, kedatangan Nommansen ke Tarutung tak lain adalah menjalankan salah satu misi imperialisme yaitu gospel, penyebaran agama. Masuknya ­Nommansen untuk penginjilan menjadi perintis jalan untuk Belanda masuk ke Tarutung. Sekretaris Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan ini mengatakan, mereka punya perhitungan-perhitungan sendiri memilih Tarutung, selain karena merdeka dari agama, yaitu untuk eksploitasi sumber daya alam yang dimiliki Tarutung, juga alasan keamanan mematahkan pertahanan Sisingamangaraja di daerah Balige. Adalah hal yang wajar penolakan yang dialami Nommansen. Hanya saja, dikatakan Erond, ia menawarkan sesuatu dalam pengajarannya, tak seperti misionaris terdahulu yang malah diusir dan dibunuh. Ia tak hanya mengenalkan Kristen, namun juga gaya hidup seperti pendidikan dan kesehatan. “Hal inilah yang membuat ada yang sadar, kemudian tertarik untuk menganut Kristen,” terang Erond. Erond pernah baca sebuah buku tentang Nommansen. Di dalamnya ada pengakuan Nommansen. Kirakira bunyinya begini: Saya memang orang yang sabar untuk melayani. Saya hanya berdoa pada Yesus. Cita-cita saya adalah bagaimana

Gereja HKBP pertama Tarutung

MAJALAH SUARA USU I 61


jelajah

Tugu Henry Lyman dan Samuel Munson yang melukiskan kisah perjalanan mereka

orang Batak jadi penganut Kristen, sehingga hidup mereka sejahtera, terdidik, dan sehat. Hutauruk menambahkan, selama dua puluh tahun menjalankan misinya, Nommansen aktif menggelar kegiatan sosial, bukan hanya sekadar ajaran. Pembangunan rumah sakit; pembukaan pusat rehabilitasi lepra, tuna rungu, hingga sekolah-sekolah. Di mana ada jemaat, di situ ada sekolah juga rumah sakit. Gereja, rumah sakit, dan sekolah adalah bentuk jejak misonaris Nommansen di Tarutung. Itulah yang tidak bisa dilupakan masyarakat Batak. “Mereka maju karena Kristen,” kata Hutauruk. Akhir­

nya, semua penduduk Tarutung pun menganut agama Kristen. “Total seratus persen jadi Kristen,” tambahnya. *** Matahari kembali ke peraduan, seiring berakhirnya perjalanan kami berwisata rohani. “Percayalah, hari ini adalah salib paling banyak yang aku lihat seumur hidup,” ujar seorang rekan dalam rombongan kami. Setiap tempat punya cerita. Cerita dari Tarutung semoga bisa jadi oleh-oleh untuk lebih memahami sejarah, meningkatkan kedekatan dengan sang Pencipta, sebagai tujuan akhir wisata rohani ini. Tugu Makam Henry Lyman dan Samuel Munson

62 | MAJALAH SUARA USU



cogito

Panggung Politik Para ‘Konglomerasi Media 2014’ Ipak Ayu H Nurcaya Pemimpin Redaksi SUARA USU

T DOKUMENTASI PRIBADI

Perhelatan akbar rakyat Indonesia segera dimulai usai kepemimpinan kabinet Indonesia Bersatu Jilid II tahun depan. Gaungnya semakin terasa. Citra di media menjadi senjata utama.

64 | MAJALAH SUARA USU

anggal 9 April adalah waktu yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) pemilihan presiden (pilpres) 2014 nanti. Masyarakat tengah diramaikan dengan gencatan media massa yang deras mengucurkan sosok-sosok calon presiden yang siap berlaga menggantikan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono periode ini. Meski KPU belum resmi mengumumkan nama-nama calon yang sah, beberapa telah mengikrarkan diri sebagai calon presiden dan wakilnya. Kepemilikan media massa oleh sejumlah politisi serta pemanfaatan sebagai senjata untuk mengangkat citra yang membedakan konstelasi politik dengan pesta demokrasi lima tahun sebelumnya. Siapa yang bisa kira kelak para konglomerasi media ini akan sukses dalam kancah politik hingga meraih kekuasaan di dunia. Hal ini terjadi pada Silvio Berlusconi dari Itali dan Thaksin Shinawarta dari Thailand. Bukan tidak mungkin para konglomerasi media di Indonesia akan seperti mereka. Politik pencitraan mencatat pemilik MNC Group, Bakrie Group maupun Media Group tengah gencar membentuk paradigma masyarakat atas sajian iklan politik dari para stakeholder. Meski secara formal mereka tak pernah menyatakan sebagai media afiliasi atau partisipasi terhadap kekuatan politik. Namun kejanggalan-kejanggalan akan tetap kita temukan pada isi konten yang mereka tayangkan jika merujuk pada kaidah jurnalistik yang benar.

Lengsernya Soeharto pada tahun 1998 melahirkan era reformasi yang berdampak kuat pada sistem pers di Indonesia. Demokrasi yang digalakkan menghantarkan pers menjadi pilar ke empatnya. Kebebasan dari corong penguasa pemerintahan tengah dinikmatinya. Kenyataannya, pengandaian keluar dari mulut buaya masuk ke mulut singa tak bisa dielakkan. Pers mulai dilirik sebagai lahan bisnis. Artinya media mulai menjadi alat yang seksi bagi para pemilik modal melancarkan kepentingan-kepentingan politiknya. Dengan modal Undang Undang Penyiaran nomor 32 tahun 2002 yang telah diberlakukan. Ada tiga kategori bisnis media massa yang diakui oleh pemerintah, yakni media swasta nasional; media publik; media lokal dan media komunitas. Hal ini menjadikan industri televisi di Indonesia berkembang pesat. Merujuk pada konglomerasi media di atas, ia menerangkan tentang kemampuan seseorang untuk memiliki lebih dari satu media juga bisnis diberbagai bidang lainnya. Media tak lagi bersih dengan elemen jurnalistik yang telah dirumuskan. Padahal dari media ini, masyarakat memiliki satu hak untuk mendapatkan diversity information atau keaneka­ ragaman informasi. De­ngan kondisi kepentingan perbisnisan media di Indonesia mengisyaratkan kecacatan iklim sistem demokrasi bangsa ini. Jika mengacu lagi pada ­ Jurgen Habermas, seorang pakar komunikasi yang menyatakan media massa sesungguhnya adalah sebuah public sphere yang se-


cogito

SUMBER: ISTIMEWA

mestinya dijaga dari berbagai pengaruh dan kepenti­ngan. Cukup mengembalikan pada esensi media yaitu sebagai sumber informasi, sumber pendidikan, sarana hiburan dan kontrol sosial maka tak dipermasalahkan lagi kepemilikan media yang menjauhkan diri dari keindependensian tanpa mengikrarkannya. Sesungguhnya, selain dari pertarungan politik dengan media se­bagai senjata utamanya tidak akan ada yang berbeda dengan momentum pilpres 2014 nanti. Indonesia masih membutuhkan sosok kepemimpinan yang revolusioner. Indonesia sedang merindukan pemimpin yang bisa diajak berdemokrasi. Pemimpin yang turun di jalanan dan gemar berbicara langsung dengan masyarakat kini menjadi idola mereka. Baragkali yang harus masyarakat selalu ingatkan adalah ‘pekerjaan rumah’ menumpuk untuk para politikus yang tengah mengejar kursi pertama republik ini. Apapapun yang melatarbelakangi mereka, semoga tujuan me­reka tetap sama. Menyelesaikan tugas bersama di segala bidang guna tercapainya cita-cita kemakmuran bangsa. Pendidikan politik sarat netralisasi yang tak lagi menjadi ciri khas berbagai media juga penting untuk dipersoalkan. Berharap melek media dari seluruh elemen masyarakat Indonesia yang begitu plural se­ pertinya mustahil. Masyarakat sang

penentu calon pemimpin kelak harus menge­nal secara dalam sosok yang dipilihnya. Track record di panggung perpolitikan sang calon presiden Indonesia yang harus masyarakat kawal dari awal. Namun kenyataannya masih demikian. Media yang menjadi tunggangan politik tadi mulai membatasi ruang informasi publik yang seharusnya masyarakat mendapatinya tanpa batas. Mereka yang menjadi pemilik modal akan lebih leluasa menayangkan hiruk-pikuk kegiatan-kegiatan sosial masyarakat yang diharapkan dapat menyentuh masyarakat. Hegemoni kembali menjadi soal yang susah untuk dihentikan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mungkin harus menyiapkan draf khusus legimitasi media menyangkut kepemilikannya. Untuk jangka pendek jelang pilpres ini baiknya KPI dan KPU segera bekerja sama membuat aturan dan pengawasan pada kampanye-kampanye yang dilakukan para calon presiden terkait kepemilikannya pada media. Terompet pesta rakyat telah ditiup. Pemilu ke depan bukan ajang mengulang kesalahan atas pilihan yang masyarakat tentukan. Tidak ada yang salah dengan tayangan di media. Ia hanyalah lapangan luas yang bisa dipijak semua orang. Yang salah adalah panggung perpolitikan si pemegang kekuasaan di dalamnya.

MAJALAH SUARA USU I 65


apresiasi

Menghormati keluarga yang telah meninggal dipercaya sebagai salah satu cara peroleh berkat. Seiring berjalannya waktu, ritual itu disesuaikan supaya tak ber足 ujung pada animisme

66 | MAJALAH SUARA USU


apresiasi

MANGONGKAL HOLI Ritual Menghormati Orang Mati Teks: Debora Blandina Sinambela Foto: Rida Helfrida Pasaribu

Ibadah kebaktian sebelum memasukkan peti ke dalam tugu

MAJALAH SUARA USU I 67


Apresiasi

J

unter Siahaan berdiri tegap di bibir liang kubur ompung-nya (kakek dalam bahasa Batak -red). Rambutnya yang memutih ditutup peci, mengenakan ulos dan jas hitam sembari memegang sebuah cangkul. Kelak cangkul ini akan digunakan menggali kuburan berusia sekitar 100 tahun. Setelah dibuka kebaktian kecil yang dipimpin oleh pendeta, lalu raja adat, maka gilirannya melakukan penggalian simbolis. Di sekelilingnya sekitar 40 orang kerabat dengan hikmat mengikuti ritual itu. Junter tak kuasa menahan tangis saat mewakili keluarga menyampaikan sepatah dua patah kata. Seketika suasana berubah haru. “Dison naung rodo hami pinomparmu oppung lao panag­kokkon Ho tu Batu na pir, batu namarlapis, tambak natimbo. Las ma roham oppung jala sai tubu ma dihami pasu-pasu sian Tuhanta Debata. Sai mangaramoti ma Tondim di hami Pinomparmon, (Di sini kami keturunanmu akan menaikkan tulang belulangmu ke bangunan tinggi. Senanglah kiranya ompung dan berkat Tuhan semakin melimpah kepada kami. Semoga kau berkenan kepada kami keturunanmu),”

ujarnya memandang liang lahad sambil terisak. “Tag...tag...tag...”. Suara cangkulan tiga kali memecah hening bercampur haru, sekaligus menutup ritual singkat dalam upacara ini. Dua orang penggali kubur dengan sigap mengambil alih. Mereka turun ke liang lahad yang sudah tergali setengah. Tak lama kemudian, sebuah tengkorak kepala terlihat. Penggali dengan hati-hati mengais tanah di sekitar tengkorak. Keluarga menyiapkan kain putih pembungkus tulang-belulang, sebuah keranjang besar yang disebut ampang serta asam cuka membersihkan tengkorak. “Horas... horas... horas,” seru kerabat serempak saat penggali mengangkat tengkorak dan menye­rahkannya kepada boru atau pihak menantu untuk dibersihkan. Sembari disiram asam cuka, tanah yang me­nempel disapu menggunakan kuas. Tujuannya supaya tengkorak ketika disimpan lebih awet. Setelah itu tengkorak kembali ditaruh ke dalam ampang. Penggalian berlanjut ke kuburan terakhir, kuburan tertua dari semua yang digali.Tanggal lahir dan kematian yang biasanya berada di nisan lapuk

dimakan usia. Tak ada penanda autentik penghitung berapa usia makam. Lantas penghitungan dilakukan berdasarkan ingatan Junter. Junter adalah cucu tertua yang masih hidup dan usianya kini sudah 78 tahun. Ayahnya pernah cerita bahwa ompung-nya yang digali sekarang, meninggal saat sang ayah berusia lima tahun. “Kalau dihitung-hitung usia kuburan ini sudah di atas seratus tahun,” ujarnya. Di atas liang kubur, Kepala Adat Tunggul Siahaan tampak resah karena tulang-belulang tak juga muncul. Berkali-kali ia meremas gundukan tanah yang digali, berharap mene­mukan sesuatu menyerupai tulang. Namun tetap tak ditemukan. Para tokoh adat yang hadir dan keluarga mulai berspekulasi. Ada yang bilang tulang-belulang menjadi tanah atau bisa saja posisi tulang belulang bergeser karena gempa bumi. Junter mewakili keluarga meminta penggalian terus dilakukan. Kedalaman sudah mencapai dua meter namun tulang-belulang tak ditemukan. Di arah kepala, penggali hanya menemukan sebuah pinggan keramik. Menurut Tunggul, dahulu kala ketika orang tua meninggal, pinggan keramik dijadikan bantal­nya. Tujuannya sebagai penan­da ketika tulang-belulang sudah menjadi tanah. Maka tanah di atas

Kita tidak mela­ rang budaya ini dilakukan, namun kepercayaan di dalamnya yang ingin kita ubah JR Hutauruk

Mencuci tengkorak dengan air raksa

68 | MAJALAH SUARA USU


apresiasi

Ibadah kebaktian penggalian tanah

pinggan dikumpul dan inilah yang dibawa untuk dimasukkan ke sebuah tugu nantinya. Setelah dipastikan tak ada tulang belulang yang tertinggal, maka penggalian dihentikan. Pendeta kembali memimpin kidung pujian dan menutup dengan doa. Para menantu perempuan menjunjung ampang diiringi kerabat keluarga menuju tugu yang telah disiapkan. Ada tujuh kuburan yang mere­ka gali dari sembilan yang akan dimasukkan ke tugu. Dua makam lain digali di Jakarta dan tengkorak­nya sudah terlebih dahulu tiba di kampung. Junter mengatakan sudah lama ia merencanakan mangongkal holi atau pa­ nangkok saring-saring. Rencana ini ia usulkan saat ada pertemuan keluarga besanyar di Jakarta, Maret lalu. Gayung bersambut, adik dan anak-anaknya setuju dengan rencana ini. “Saya sudah tua dan tinggal di Bona Pasogit. Mumpung saya masih hidup, saya ingin membuat acara ini

Membawa pohon uang untuk tuppak

untuk menghormati leluhur. Ini juga merupakan amanat dari mendiang ayah,” ujarnya. Bagi suku Batak khususnya Batak Toba, mangongkal holi merupakan upacara penggalian tulang-belulang leluhur. Tulang-belulang ini kemudian dimasukkan ke sebuah bangunan penyimpan atau tugu. Tak ada yang tahu tepat sejak kapan upacara ini diadakan. Masyarakat meyakini tradisi ini sudah ada sejak dahulu kala bahkan sebelum agama masuk ke tanah Batak. Tunggul mengatakan tradisi ini lahir karena kepercayaan nenek moyang dengan arwah leluhur. Mereka percaya bahwa ketika orang meninggal maka dia punya sahala atau kekuatan yang memengaruhi kehidupan keluarganya. Maka dilakukanlah sebuah upacara mangongkal holi sebagai wujud penghormatan. Manguji Nababan, Direktur Pusat Kajian dan Dokumentasi Batak menga­ takan demikian. Sebagai wujud peng-

MAJALAH SUARA USU I 69


Apresiasi

hormatan, tujuannya untuk mendapat berkat. Para leluhur diposisikan di tempat tinggi. “Ada doa dan keinginan yang dilambangkan dalam medium itu,” ujarnya. Jauh sebelum masuknya agama, tradisi ini sudah ada. Manguji juga meyakini bahwa ini merupakan bentuk transformasi dari sarkofagus atau batu kubur. Dengan dorongan sosial dan spiritual, tradisi ini berlanjut hingga sekarang. Namun, setelah masuknya agama ke tanah Batak, khususnya agama Kristen, niat melaksanakan ritual ini bukan lagi atas kepercayaan pada roh. Penghormatan terhadap orang tua yang tertuang dalam hukum taurat kelima menjadi alasan utama tradisi ini

70 | MAJALAH SUARA USU

dijalankan. “Kita percaya bahwa menghormati orang tua bukan hanya ketika mereka masih hidup, sudah mati pun mereka harus dihormati,” ujarnya. Ritual dulu dan sekarang berbeda. Kalau dulu, penentuan hari baik untuk penggalian ditentukan oleh dukun. Pada saat penggalian, makananmakanan kesukaan yang meninggal ditaruh dalam kuburan. Hal ini dilakukan sebagai upaya membujuk roh supaya tulang-belulangnya mudah ditemukan. “Kalau yang mati minta kepala kerbau, ya pada saat itu juga harus ada kepala kerbau,” jelasnya. Sekarang segala ritual yang terkait dengan animisme sudah ditiadakan. Penentuan hari penggalian dilakukan berdasarkan kesepakatan semua

anggota keluarga. Sebelum dilakukan penggalian, dilakukan ibadah singkat yang dipimpin pihak gereja. Namun terkadang ada juga yang masih percaya ritual-ritual yang terlalu memuja tulang-belulang. Di saat itulah kepala adat dan pihak gereja tidak segan memberi teguran. Pendeta JR Hutauruk, mantan Ephorus Huria Batak Kristen Protestan (HKBP) mengatakan ada aturan yang dibuat HKBP secara khusus. Segala bentuk pemujaan berhala yang terkandung dari tata cara bahkan musik dilarang. Sebelum dimulainya dan diakhirinya penggalian terlebih dahulu dilakukan ibadah singkat. “Tulang-belulang hanya benda mati tanpa kekuatan apapun. Sekarang kita percaya kalau


apresiasi meninggal tubuh jadi tanah dan roh kembali kepada Tuhan,” ujarnya. Seiring waktu berjalan, cara berpikir masyarakat pun banyak berubah. Pengawasan tak seketat dulu lagi. Kalau dulu meski sudah diatur gereja, penyembahan terhadap tulang-belulang masih dilakukakan sembunyi-sembu­ nyi bahkan terang-terangan. Bagi jemaat yang ketahuan, mereka akan ditegur gereja dan diberi bim­bingan. “Kita tidak melarang budaya ini dilakukan, namun kepercayaan di dalamnya yang ingin kita ubah,” ujarnya.

manortor (menari tor-tor)

*** Janur melengkung di pintu masuk Huta Sianipar Tangga, Balige, Toba Samosir. Untaian janur menjadi ucapan selamat datang dan pertanda adanya sebuah acara. Para ibu berdandan rapi, sambil membawa padi di dalam tandok. Bapak-bapak yang datang memakai ulos juga menggantung mandar hela di leher atau pundaknya.Tak lama setelah itu, menantu perempuan yang membawa tulang-belulang tiba bersama dengan rombongan keluarga kemudian bergegas menuju Tugu. Bangunan itu berukuran kurang lebih 4x5 meter berpintu kecil. Memiliki satu ruangan dan tiga kamar kecil di atas tugu. Di bagian puncak sebuah salib menjulang. Dalam bangunan, dindingnya dibuat seperti rak untuk menyusun peti-peti kecil tempat tulang-belulang. Tidak ada jendela, hanya ventilasi udara yang memungkinkan terjadi sirkulasi udara. Tunggul mengatakan bahwa tugu adalah hal pertama yang dibangun ketika kesepakatan antar keluarga tercapai. Ukurannya sesuai kesepakatan sampai batas keturunan mana yang akan dimasukkan. Sebelum tulang- belulang dimasukkan, masing-masing perwakilan keluarga membawa ulos panampin. Ulos ini digunakan membungkus tulang-belulang dan dimasukkan ke dalam peti kecil. Setelah itu barulah satu persatu

dimasukkan ke dalam tugu. Peletakan peti berdasarkan urutan keturunan dari yang tertua hingga termuda.Yang tertua mendapat tempat tertinggi dan tersendiri. Yang paling dasar adalah keturunan termuda yang telah meninggal. Setelah itu pintu dikunci dan akan dibuka kembali pada waktu tertentu berdasarkan kesepakatan keluarga. “Horas...horas...horas,” seru pihak keluarga sambil mengayunkan ujung ulos mereka tiga kali. Perasaan haru dan sedikit mistis seketika berubah menjadi rasa syukur dan suka cita. Namun acara belum selesai, para undangan sudah menunggu di halaman rumah untuk menerima dan membayar adat sesuai status mereka dalam acara tersebut. Musik menggema pertanda acara dimulai. Ratusan undangan berkumpul, bersiap menunggu giliran. Semua undangan ini akan disambut oleh pihak keluarga dengan tarian tor-tor. Undangan juga terdiri atas unsur dalihan na tolu yaitu hulahula, dongan tubu dan boru.

Memindahkan kerangka kedalam peti

MAJALAH SUARA USU I 71


Apresiasi Di halaman rumah, keluarga segera membentuk barisan. Barisan terdepan merupakan keturunan teratas dalam keluarga, semakin ke belakang barisan keturunan terakhir. Dengan gerakan tor-tor menyembah, keluarga menyambut undangan yang membawa boras si pir ni tondi atau dalam hal ini padi dalam tandok. Undangan yang datang juga manortor mengikuti alunan gondang, melewati keluarga dengan tangan menyembah, ada juga dengan posisi tangan memberkati masuk ke dalam rumah dan memberikan bawaanya. Hal ini dilakukan ber­ ulang-ulang sampai semua undangan mendapat giliran. Tunggul menjelaskan bahwa acara mangongkal holi merupakan acara terbesar dalam adat batak. Acara ini paling banyak melibatkan anggota keluarga karena setiap menggali, keturunan mereka harus diundang semua. Bahkan keluarga yang lama tidak bertemu bisa dipersatukan dalam acara ini. “Selain menghormati orang tua, makna dari mangongkal holi

ini adalah kesatuan. Keluarga yang terpisah dan tersebar di perantauan kembali berkumpul mengangkat tulang-belulang orang tua mereka,” ujarnya. Ia menjelaskan kesatuan keluarga memiliki arti penting dalam kesuksesan acara. “Kalau keluarga sudah tak satu dari awal bisa terjadi hal yang tidak diinginkan dalam acara,” tambahnya. Secara umum, acara mangongkal holi berlangsung tiga hari, dari proses penggalian hingga acara adat. Ia juga menambahkan lamanya acara bergantung kemampuan keluarga. Selama tiga hari, keluarga harus menyediakan makanan dan memotong babi serta kerbau. Namun bisa juga dilakukan dengan tidak mengundang orang banyak, hanya kerabat dekat saja jika keadaan tidak memungkinkan. Tak ada syarat khusus supaya bisa melakukan mangongkal holi. Semua tergantung kemampuan dan kesatuan keluarga. Tidak juga menjadi sebuah kewajiban. Pun begitu bagi keluarga yang sudah

melaksanankan upacara ini akan mendapat prestise sendiri di mata masyarakat. “Biaya untuk upacara ini bisa sampai ratusan juta. Keluarga yang melakukan biasanya sudah mapan. Kalaupun masih ada yang kekurangan, biasanya yang mampu yang memberikan sumbangan paling banyak,” ujarnya. Semua biaya akan ditanggung bersama oleh keluarga. Sumbangan diberikan berupa tumpak pada saat acara. Sumbangan dikumpul kepada cucu tertua. Satu persatu pihak keluarga datang membawa piring berisi duit dan beras sambil manortor. Sumbangan juga diserahkan dengan menggunakan bambu yang setiap cabang dijepit duit. Prof Robert Sibarani, Guru Besar Antropolinguistik USU menilai bahwa dalam upacara ini makna gotong royong begitu terasa. Kesatuan dan kerjasama dalam keluarga bisa diarahkan dalam hal lain. ”Tak hanya dalam adat, rasa gotong royong bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Peti-peti yang dimasukan kedalam tugu

72 | MAJALAH SUARA USU


MAJALAH SUARA USU I 73


figur

74 | MAJALAH SUARA USU


figur

Martin Aleida,

Perjuangan Tapol, Wartawan dan Sastra Kiri Teks dan Foto: Ipak Ayu H Nurcaya

Dari raga yang pernah terbungkam di penjara, melalui sastra ia bersuara. Karyanya terurai rapi dalam barisan beribu cerita. Hingga, sastra dipilih menjadi jalan hidupnya.

Martin Aleida (kanan) bersama istrinya, Sri Sulasmi di kediamannya Jalan Mujair II, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

MAJALAH SUARA USU I 75


76 | MAJALAH SUARA USU



figur

S

udah tiga tahun Sulaiman Sambas tak pernah lagi mendengar kabar sahabat kecilnya. Sejak kepindahannya dari Tanjung Balai ke Jakarta. Sampai pada suatu hari itu di tahun 1968, sebuah surat yang dikirim atas nama Martin Aleida menjawab kerinduannya. Sulaiman nampak kesusahan mengingat tentang isi surat Martin tersebut. Intinya melalui surat tersebut Martin menceritakan keadaannya saat itu di Jakarta. Ia juga menanyakan kabar orang tuanya di rumah. Sulaiman dan Martin adalah secuil kisah persahabatan dari para pekerja seni tulisan yang dimiliki negeri ini. Sama-sama lahir dan menjalani kehidupan masa kecil di Tanjung Balai membuat keduanya memiliki kedekat­ an layaknya keluarga sampai hari ini. Meski sudah terpisah pulau Martin dan Sulaiman masih sering bertukar kabar. Martin mulai menulis sejak bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menulis cerpen, menulis puisi hingga mengikuti lomba deklamasi menjadi kegiatannya sehari-hari. Sampai ketika Sekolah Menengah Atas (SMA) di Medan, Martin mulai mengirimkan karyanya ke redaksi Indonesia Baru. Meski tanpa imbalan ketika tulisannya dimuat, Martin tetap rajin mengirimkan tulisannya. Setiap pulang sekolah malam, Martin sering menjemput Sulaiman di sekolahnya. Sulaiman bilang begitu kesetiaan seorang Martin, meski Sulaiman tak pernah meminta untuk dijemput. Melewati kantor media Indonesia Baru, Martin kerap berteriak di depannya. “Pak redaktur, makasih ya sudah muat cerpen saya,” ujar Sulaiman menirukan tutur Martin waktu itu. Sulaiman hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya. Martin bukan hanya sosok yang setia di mata Sulaiman, namun seorang yang gigih dalam berkarya. Mereka berdua tinggal di daerah Sungai Denai dekat Pasar Sukaramai. Rumah itu milik keluarga Sulaiman.

78 | MAJALAH SUARA USU

Mereka tinggal bersama beberapa orang dari Tanjung Balai. Rumah itu tak jauh dari perkebunan orang. Banyak pohon buah papaya tumbuh di sana. Satu hari ketika Martin kelaparan pulang dari sekolah, ia tak mendapati nasi di rumahnya. Yang mendapat jatah untuk memasak hari itu tidak melaksanakan tugasnya. Martin kesal. Ia menuju kebun milik tetangganya dan mengambil buah papaya yang masak untuk dimakan siang itu. “Macem burung beo awak,” ujar Martin. Namun tak lama menjalani kehidup­an sebagai anak rantau di Medan, Martin harus kembali ke kampungnya di pinggir Sungai Asahan, Tanjung Balai. Usaha kedua orang tuanya, sebagai pedagang kelapa buah di sana tengah melejit. Martin harus membantu usaha tersebut sebagai anak terkecil yang masih dibiayai orang tua. Melanjutkan SMA di Tanjung Balai tak mengehentikan semangat Martin untuk tetap menulis dan berkarya. Sampai suatu hari Armal Simanjuntak, sekawanan dari kecil Martin di Tanjung Balai, mengajaknya mengikuti organi­ sasi seni, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Sulaiman tak menepis bakat yang dimiliki sahabatnya tersebut. Ia pernah mengikuti lomba deklamasi bersama. Kala itu Martin mendapat juara satu dan Sulaiman juara dua. “Soal olah vokal dan gaya panggung Martin memang hebat,” katanya. Keinginannya untuk lebih memahami sastra kian menggilai diri Martin. Lulus SMA ia mulai mendaftarkan diri di perguruan tinggi. Seingat Martin, ia lulus di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU). Namun, berlayar ke Jakarta dan mendalami ilmu kesusastraan di Akademi Multatuli, Jakarta yang didirikan Pramoedya Ananta Toer telah menjadi tujuannya. Akhirnya, tanpa mengantongi restu kedua orang tuanya kala itu ia tetap melajukan langkahnya untuk memeluk mimpimimpinya di Ibu kota.


figur

Potret masa kecil Martin Aleida (tengah) bersama Daniel Conk (kiri) dan Sulaiman Sambas (kanan).

*** Tahun 1964, awal kehidupannya di Jakarta ia bekerja sebagai anggota redaksi Majalah Kebudayaaan Zaman Baru. Namun tidak sampai setahun. Kemudian Martin menjadi wartawan Harian Rakyat. Tugasnya kala itu adalah menjadi wartawan di Istana Presiden, mengikuti segala kegiatan Soekarno selama hampir enam bulan. “Ba­yangkan saja, baru tamat SMA belum matang menjadi wartawan sudah harus menggantikan tugas senioran di sana,” kata Martin. Setelah melaksanakan tugasnya sebagai wartawan presiden, Martin berangkat menuju semarang untuk mengikuti pelatihan jurnalistik. Selesai di Semarang, Oktober 1965 Martin kembali ke Jakarta. Namun Koran tempatnya bekerja sudah diberedel, pendidikannya pun tidak tamat. Suasana semakin tegang, semua orang mulai menyelamatkan dirinya masingmasing, termasuk Martin. 1966. Hari di mana penangkapan terjadi di asrama Lekra yang ditempati Martin kala itu ia bersama tujuh orang lainnya berhasil diseret ke penjara oleh tentara. Adalah Armal Simanjuntak yang juga tinggal di sana berhasil lolos karena tak ditempat ketika kejadian tersebut. Pedagang disekitar asrama tersebut yang mengingatkan Armal agar tak masuk ke asrama. “Jangan masuk, tadi habis ada penangkapan,” kata Armal menirukan peringatan padanya kala itu. Seketika Armal pun melarikan diri dan menjadi gelandangan di Ibu kota selama tiga tahun. Tidur sedapatnya makan seadanya, begitu sedikit gambarannya. Sampai pertemuan dengan Martin di pinggiran Lapangan Benteng, Senen Jakarta Pusat. Akhirnya Armal memutuskan untuk membuka usaha dagang bensin kecengan. Bersama Armal kembali Martin harus mendongkrak kerasnya tembok kehidupan guna memperjuangkan keberlanjutan hidupnya. Armal ingat waktu itu ketika hendak melamar pacarnya ke Solo, Martin

MAJALAH SUARA USU I 79


figur sempat mencuci bajunya. Hanya ada dua pasang ditangannya. “Mau melamar cuman dua pasang?” canda Martin pada Armal ketika itu. *** Tahun 1965. Masa Indonesia berdarah kala pembantaian massal oleh pihak tentara pendukungnya terhadap mereka yang dituding terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) meraja lela. PKI dituduh sebagi pelaku hilang­ nya lima jenderal dan dua perwira. Hingga siapapun yang dianggap se­ bagai anggota PKI akan ditahan tanpa pengadilan. Penyiksaan tanpa ampun hingga pembunuhan sadis menelan lebih dari 200 ribu jiwa manusia di negeri ini. Ribuan lainnnya menghuni kamp pembuangan di Pulau Buru. Ada juga yang melarikan dirinya sebagai eksil ke luar negeri lalu hanya meninggal nama. Pun, organisasi yang dianggap berafiliasi dengan PKI akan dibubarkan, termasuk Lekra.

Martin Alaida adalah satu dari ratusan ribu tahanan politik (tapol) yang cukup beruntung kala itu. Ia ditangkap dan dicebloskan ke dalam penjara Kamp Kosentrasi Operasi Kalong di KODIM 0501 Jalan Budi Kemuliaan Jakarta Pusat. Dalam satu tulisannya yang berjudul Antara Romo dan Sulastomo, ia menuliskan kepedihannya. Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, seba­gai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang harus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sampai setahun saya dikerangkeng. Hati saya selalu berbisik bahwa saya bisa bebas sebelum ditendang ke Salemba atau Cipinang atau Tangerang atau Buru, karena saat diciduk bersama beberapa teman, ada “tangan Tuhan” yang tersembunyi di

Sulaiman Sambas memegang buku terbaru (2013) karya Martin Aleida.

80 | MAJALAH SUARA USU

dalam surat wasiat dari kedua orang tua saya yang “sudah teken mati” mau berlayar dengan­ kapal laut selama tiga bulan untuk menunaikan ibadah haji. “Tangan Tuhan,” saya sangka, juga menyuruk di lembar surat-surat cinta saya dengan gadis yang kemudian menjadi istri saya. Sel tahanan memperteguh kasih dan harapan yang pernah saya bisikkan di kupingnya. Tulisan itu meneriakkan hati dan mulut Martin yang sebenarnya selalu terbungkam. Ia tak pernah menyangka akan menjalani kehidupan sebagai eks-tapol. Sungguh perjuangan hidup yang tak pernah ia sesalkan. Hengkang dari haribaan kedua orang tua demi cita-cita hidupnya menjadi seorang seniman yang besar. Martin mengaku setahun di penjara membuatnya banyak berkawan dengan orang baru di sana. Ia juga sering terhindar dari sikap bengis para tentara kala itu. “Seperti itulah waktu itu, kami harus masak nasi tanpa kuah,” kenangnya. Kemudian ia menikahi Sri Sulasmi yang telah dipacarinya selama dua tahun tersebut. Ketika pulang ke rumah mertuanya keduanya akan menyeret langkah dengan hati seberat batu menuruni tebing Sungai Bengawan Solo. Lalu tangan-tangan mereka melarung kembang sesajen untuk membuat semerbak perjalan­ an air yang diarungi mertuanya. Ayahnya sebelumnya disuruh jongkok dan ditembak. Jasadnya ditendang, dilarikan arus entah kemana. Ibunya morat-marit dengan delapan anaknya dikejar-kejar tentara kala itu. Saat-saat hati tersayat seperti ini pikiran Martin akan melayang pada sosok Ayah dan Emaknya di tepian Sungai Asahan nan jauh dari tepi Sungai Bengawan ini. Pulang di rumahnya sendiri Martin pun tetap meratap, menge­ nang seseorang yang turut berjasa dengan pelariannya kala itu ke Jakarta. Namanya Noor Tambi, seorang tokoh buruh angkutan. Pilunya, ia telah dikabarkan bersama istrinya yang


figur sedang hamil tua, disembelih. Mayat mereka dicampakkan ke arus sungai. Penduduk tak kuasa memakan ikan, sekalipun itu dipanen dari Selat Malaka. Bangkai manusia mengapung-apung berhari-hari mencari Tuhan mereka ke mana-mana. Lanjutnya dalam tulisan yang masih berjudul Antara Romo dan Sulastomo untuk para kisah kejahatan di bumi tempat manusia-manusia yang banyak ia kenal. Air mata saya untuk mereka. Luka hati saya tak terbasuh dengan mengenang mereka. Tetapi, saya tidak memohon siapapun untuk meminta maaf. Menjadi korban adalah sebuah keagungan. Keagungan! Bukankah Tuhan senantiasa memihak kepada yang tertindas, dan melahirkan agama melalui jalan darah manusia yang dia kasihi. Dan sastra semata-mata ditakdirkan untuk memihak korban. Bukankah prosa terbesar yang dilahirkan Perang Dunia II adalah catatan harian gadis manis Anne Frank, yang menuliskan rintihan batinnya sebagai korban? *** Pertemuan dengan Goenawan Moehammad sedikit merubah keadaan hidup yang sedang Martin jalani. Sebelum mendirikan Tempo, Goen mengelola Majalah Ekspress yang akhirnya ditutup. Goen telah mengenal Martin melalui karya-karya cerita pendek (cerpen) yang sering Martin kirimkan di majalah Horizon. “Aku mau jadi wartawan lagi,” “ Terserahmu, kami merencanakan mendirikan majalah Tempo” “Iya aku mau masuk,” “Baiklah, masuk saja,” Akhirnya Martin resmi menjadi bagian dari Tempo. Maret 1971 merupakan edisi pertama kali majalah Tempo. Martin sebagai wartawan yang sering meliput seputar kesehatan dan olahraga di sana. Menjadi pekerja tinta di majalah Tempo sepuluh tahun ia mulai mendapatkan fasilitas sebuah rumah di Jalan Mujair II Jakarta Selatan yang

ditempatinya sampai hari ini. Selain itu Martin juga sempat mendapatkan hadiah berupa beasiswa sekolah bahasa Inggris di George Town University, Amerika Serikat. Sejak resmi bekerja di Majalah Tempo tersebut, Martin seakan resmi menanggalkan nama dari orang tuanya. Ayahnya bermarga Daulay. Namun sejak kecil memang tak pernah ia pakai. 2013. Martin Aleida kembali menerbitkan bukunya yang keempat dengan judul Langit Pertama dan Langit Kedua yang memuat cerita pendek, catatan perjalanan, esei, kritik dan perdebatan. Ia juga resmi selesai menjadi penasihat Dewan Kesenian Jakarta tahun lalu, setelah empat tahun terlibat di dalamnya. Kini martin meghabiskan sisa hidupnya dengan menulis. Sebelum kejadian kecelakaan kendaraan yang dialaminya beberapa bulan lalu hampir setiap hari ia menghabiskan waktu di Taman Ismail Marzuki untuk menulis. “Saya enggak pernah bisa nulis di rumah, kalau di rumah lagi nulis cari inspirasi di halaman terus lihat daun jatuh jadinya nyapu,” katanya. Karya Martin lainnya pada tahun 2004 novel pertama yang berjudul Jamangilak Tak Pernah Menangis terbit. Di tahun yang sama kumpulan cerpen dengan judul leontin Dewangga mendapat penghargaan dari Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Buku ini juga terbit di Boston dengan judul Another Kind of Paradise. Tahun 2009, buku yang memuat sepuluh cerita pendek dengan latar belakang tragedi 1965 dengan judul Mati Baik-Baik, Kawan kini sedang direncanakan untuk dicetak kembali. Baginya sastra adalah molekul utama kehidupannya. Pemaknaan terhadap pengalaman hidupnya sendiri menjadi tema khas dalam berbagai karyanya. Martin kira sekarang Indonesia tengah merindukan sosok sastrawan yang benar-benar memahai esensi akan kesusastraan sendiri.

Apalah saya, kata orang Medan. Saya tidak punya hak untuk menampilkan diri, dalam tulisan singkat ini, sebagai personifikasi dari jutaan korban. Saya hanya setitik dari sekian banyak yang pernah mengalami penistaan, yang ha­ rus bersyukur bisa selamat tanpa lecet sedikit pun. Tak sam­ pai setahun saya di­kerangkeng.

Martin Aleida

MAJALAH SUARA USU I 81 .


rehat

pilih awak, genk!

1

3

2

4 YANTI NURAYA S | SUARA USU

82 | MAJALAH SUARA USU




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.