Gerakan Literasi Sekolah SLB di Tiga Kota Sulawesi

Page 1



Anwar Jimpe Rachman (Editor)

TaNaHiNDiE PRESS MAKASSAR INDONESIA, 2019


Gerakan Literasi Sekolah SLB di Tiga Kota Sulawesi ŠTanahindie Kontributor & Peneliti-Fasilitator Achmad Teguh Saputro, Aisyah Gaffar, Alfrits Eefer Bujung, Anni Rita Gahung, Anwar Jimpe Rachman, Aziziah Diah Aprilya, Fakhiha ­Anugrah Prastica, Fauzan Al Ayyuby, Femmy G Rumampuk, Haerun AT, Ibrahim, Masje Fin Takaredas, M. Idham Andra, Rafsanjan, Selvy Anggriani Syarif, Sendra Fransje Ampow, Wilda Yanti Salam Penyunting Anwar Jimpe Rachman Pemeriksa Aksara Aziziah Diah Aprilya Tataletak/ Desain Sampul TanahindieSign diterbitkan oleh Tanahindie Press Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E Makassar, Indonesia 90231 | 0411433775 http://tanahindie.org bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Jl. RS Fatmawati No.12, RT.6/RW.5, Cilandak, Jakarta Selatan, Jakarta 12410 Edisi Pertama, Januari 2019 ISBN 978-602-53747-1-5 viii,142 hlm 15 x 21 cm

ii


D A F TA R I S I

Daftar Isi

iii

Pengantar

v

Manado

1

SLB-A Bartemeus Manado

2

Gerakan Literasi SLB Negeri Amurang

10

Merajut Mimpi di SLB Negeri Amurang

14

SLB LPMD Tolombukan

18

Angelia dalam Suatu Keikhlasan, Ketulusan, dan Harapan

22

Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

32

Makassar

45

SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

46

SLB Laniang Makassar

77

SLB Negeri 1 Makassar

90

Menjadi Guru SLB di Wajo

104

Menata Kehidupan Yang Lebih Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dengan Literasi

109

Kendari

113

Gerakan Literasi Sekolah di Kota Kendari

114

SLB Negeri Konda

124

SLB Mandara

132

Biografi

140 iii



K ATA P E N G A N TA R

Selama Oktober dan Desember 2018, Tanahindie mendapat kepercayaan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi mitra dalam pendampingan yang memfasilitasi beberapa kegiatan berkaitan dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tenggara. GLS adalah upaya menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah (guru, peserta didik, orang tua atau wali murid) dan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem pendidikan untuk ikut mengembangkan literasi dalam pengertian luas. Keberadaan pusat dan kantong literasi yang bermutu dipandang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran PKLK. Pendampingan GLS ini dimaksudkan untuk: [1] memberdayakan GLS PKLK di level provinsi agar berkreativitas dan inovasi dalam memberdayakan kegiatan GLS PKLK; [2] melaksanakan kegiatan GLS PKLK melalui aneka kegiatan yang dapat mendukung budaya literasi PKLK di masyarakat; [3] menstimulasi pusat-pusat dan kantong literasi untuk meningkatkan layanan literasi berupa materi, media, strategi pembelajaran, dan evaluasi dalam meningkatkan mutu layanan; [4] memetakan kegiatan GLS di daerah; [5] mengevaluasi kegiatan GLS. Bentuk pendampingan itu adalah penelitian di tiga kota—Makassar (Sulawesi Selatan), Manado (Sulawesi Utara), dan Kendari (Sulawesi Tenggara). Hasil penelitian ini kemudian menjadi bahan penyusunan buku tentang GLS di tiga kota tersebut. Penelitian ini berupaya merekam dalam bentuk tulisan dan visual.

v


Kami merekam perkembangan GLS di setiap kota, dengan mendatangi langsung beberapa sekolah yang melaksanakan, baik secara formal ketika GLS sudah dicanangkan sebagai program maupun yang sudah melaksanakan agenda serupa ketika belum bernama GLS. Kami menurunkan tim peneliti yang berbeda di tiap kota yang merekam video, melakukan sejumlah wawancara mendalam (indepth interview), dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion, FGD). Kami mewawancarai para guru yang memiliki dedikasi tinggi menjalankan GLS di sekolah masing-masing dan para pihak yang terkait dengan program ini. Semua itu kami jadikan sebagai tulisan naratif dengan bahasa yang dapat ‘dijangkau’ semua kalangan. Kami berharap, hasil penelitian dalam buku ini bisa menambah informasi sekaligus menjadi masukan bagi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, pihak pemangku kepentingan, dan seluruh lapisan masyarakat yang ingin mengetahui tentang perkembangan seputar program GLS. Namun kami sadar bahwa setiap metode penelitian memiliki celah dan kelemahan. Hasil penelitian naratif dari tim peneliti tetaplah sebentuk pandangan “mata kedua� yang bisa luput mempertanyakan, memindai, dan menuliskan perkembangan-perkembangan di lapangan --ditambah pula berlangsung hanya dalam waktu tertentu. Sebab itu pula, selama masa peneltian, kami informasikan dan membuka kesempatan pada kalangan guru untuk menceritakan pengalaman mereka dalam bentuk tulisan—yang kemudian bisa Anda baca di dalam buku ini. Sebagai ujung tombak program ini, sekaligus pihak yang mengalami langsung bermacam pengalaman interaksi dengan siswa, orang tua, dan para pemangku kepentingan, perspektif mereka justru sangat mungkin memperkaya dengan bermacam masukan dan cerita suka-duka sebagai manusia biasa yang kami harapkan bisa memberi sumbangan besar untuk perkembangan program ini pada tahun-tahun mendatang.

vi


Begitu besar antusiasme para guru menyumbangkan tulisannya untuk buku ini. Namun lantaran mempertimbangkan kedalaman informasi, tulisan-tulisan yang dikirim ke alamat surat elektronik kami tidak semua bisa kami muat dalam buku ini. Semata-mata satu sebab: terlalu pendek. Namun kami maklumi semua itu karena kesempatan menulis kami yakini terlalu singkat. Dalam proses penelitian, ketiga kota menyambut dengan antusias semua keingintahuan anggota peneliti kami. Bahkan lebih jauh, dengan ringan tangan, beberapa individu membantu kelancaran prosesprosesnya. Untuk itu, kami ingin berterima kasih kepada Bang Wien Muldian dan Bang Yasep (Satgas GLS Nasional); Ibu Ria Mokoagow (Ketua Satgas GLS Sulawesi Utara) dan Faradila Bachmid (Perkumpulan Literasi Sulawesi Utara); Sri Mulyati (Ketua Satgas GLS Sulawesi Tenggara), Ibu Ninis (SLB Kusuma Bangsa, Kendari), dan Pak Yafsin Ibu Ninis (SLB Kusuma Bangsa, Kendari), dan Pak Yafsin Yaddi (SMALB Anugrah Hati, Raha); Muh. Hasyim, S. Pd., M. Pd. (Ketua GLS SLB Sulsel dan Kepala Sekolah SLBN 1 Makassar), Hj. B. Nurniyati, S. Pd., M. Pd., MM (ketua GLS SLBN 1 MKS), Drs. H. Ahmad, MM (Kepala SLB Negeri 2 Makassar), Alim S.Pd. MM (Kepala Sekolah SLB Laniang Makassar), dan Ibu Herlawati (guru SLB YP3LB) atas informasi dan bantuannya untuk kelancaran penelitian kami. Salam literasi! Anwar ‘Jimpe’ Rachman an. Tanahindie

vii



MANADO


SLB-A BARTEMEUS MANADO Dra Masje F Takaredas

SLB-A Bartemeus Manado dirintis pada 14 Juni 1980 oleh Ibu A.E Tompodung-Lapian bersama Ibu Harikedua-Makasunggal (alm.). Mereka menemui pimpinan Yayasan GMIM, Pdt Roeroe. Seperti pepatah “pucuk dicinta ulam pun tiba�, ternyata hal yang sama telah Yayasan pikirkan, karena merasa bahwa anak-anak cacat (istilah waktu itu) harus juga bersekolah. Dengan bersemangat, kedua perempuan pendidik itu mencari murid. Akhirnya mendapat enam orang. Tempat pelaksanaan proses pembelajaran pun menggunakan rumah Ibu Tompodung-Lapian. Bahkan Ibu Tompodung-Lapian bersedia menampung anak-anak tuna netra demi mempermudah pelayanan pendidikan dan pengajaran. Ratarata anak-anak itu berasal dari keluarga kurang mampu dan bertempat tinggal jauh dari lokasi sekolah. Seiring dengan berjalannya waktu, SLB-A Bartemeus resmi di bawah naungan Yayasan Pendidikan dan Persekolahan Kristen GMIM, dengan Surat Keputusan No. 321/K/H-V/6-80 tertanggal 17 Juli 1980. Ibu J Harikedua-Makasunggal ditugasi sebagai Kepala Sekolah dan Ibu Tompodung-Lapian sebagai tenaga pengajar yang mengikuti pelatihan khusus selama 3 bulan sebagai guru. Izin Operasionalnya dikukuhkan oleh Kanwil Depdikbud Propinsi Sulawesi Utara No. 268/116.6/Ic-90 tertanggal 25 September 1990. Jumlah siswa pun bertambah menjadi 9 orang. SLB-A Bartemeus terus berupaya meningkatkan pelayanan, 2


mengingat sekolah ini merupakan salah satu tempat pelaksanaan praktik lapangan mahasiswa IKIP/UNIMA jurusan Pendidikan Khusus. Sejak tahun 1990 hingga tahun 2014, tugas dan tanggung jawab Kepala Sekolah diserahkan kepada Ibu A.E Tompodung-Lapian (alm.). Pada 1992, sekolah membentuk Tim Kerja Penyelenggara SLB yang diketuai Dra. P.N Manginsela-Tindas (alm.). Atas inisiatif serta upaya Tim, pada tahun 1998, SLB mendapat sebidang tanah dari Gereja Masehi Injili Waleta yang berlokasi di Winangun Manado dan berdiri satu unit bangunan percetakan braille ukuran 7x7 m². Anggaran bangunan itu berasal dari bantuan Depdikbud, sedangkan mesin percetakan dan alatalat lainnya adalah bantuan dari Negara Norwegia melalui Direktorat Kementerian Pendidikan Nasional, Jakarta. Pada tahun 2001, atas bantuan kerja sama dengan Ibu J PangkeyTampi (alm.) sebagai narahubung, SLB-A Bartemeus mendapat bantuan dari Yayasan STINAFO, Belanda, berupa gedung permanen SLB dan asrama di Jalan Tanah Putih IV Malalayang I Timur, yang sekarang menjadi tempat pelaksanaan kegiatan operasional proses Kegiatan Belajar Mengajar. Keberadaan sekolah ini sangat membantu anak-anak 3


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

yang memiliki kebutuhan khusus oleh karena adanya keterbatasan dalam segi penglihatan. Status SLB-A adalah swasta dengan status tanah milik sendiri dan dengan luas tanah 1150 m² dan luas bangunan 565.5 m² + 136 m². Tidak sedikit waktu yang terlewatkan, siswa terus bertambah, dan hasil pun juga banyak dinikmati serta dirasakan oleh para siswa yang tunenetra karena mereka diberikan kesempatan mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak. Perkembangan SLB-A (Tunanetra) Bertemeus

Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar SLB-A Bartemeus berlangsung pada siang hari dengan meminjam rumah Ibu Tompodung-Lapian, dengan sistem antar-jemput dari rumah ke sekolah menggunakan kendaraan milik keluarga Ibu Tompodung-Lapian. Seiring waktu, jumlah siswa bertambah dan tenaga pengajar bertambah. Tahun 1993 tenaga pengajar bertambah dua orang, Dra Masje F Takaredas dan Dra Erna Talenggoran. Dari sinilah mulai diadakan penjaringan siswa ke desa-desa. Tahun 1995, berkembang jumlah siswa dan tenaga pengajar sehingga tempat belajar dialihkan, dengan meminjam dua ruang belajar SD GMIM 15 Manado, sekolah yang berada di samping gereja GMIM Immanuel Wanea Manado. Kepala Sekolah yang dijabat oleh Ny.A.E Tompodung Lapian mengingat ketidakaktifan lagi Ibu Harikedua-Makasunggal karena kondisi kesehatan yang tidak memungkinkan dan tugas lainnya. Tahun 1995 Ibu memohon bantuan Dra P.N Manginsela-Tindas untuk membantu dan ibu bersedia, sehingga dibuat Surat Penugasan dari Yayasan sebagai Ketua Tim Kerja Penyelenggara SLB-A Bartemeus Manado. Selain itu, terbentuk pula anggota-anggota Tim untuk membantu mengembangkan SLB ke depan yang lebih baik. Tahun 1996, hasil kerja sama SLB dan Tim Kerja mulai menunjukkan hasil yang baik. Terbukti dengan diaktifkan lagi program penjaringan 4


SLB-A Bartemeus Manado

siswa ke desa-desa di luar Kota Manado dengan kunjungan ke rumah langsung keluarga yang mempunyai anak tunanetra. Bahkan dengan cara menyosialisasi SLB di Jemaat/Gereja sambil membawa pujian. Ada keluarga yang mengantar langsung anak dan ada pula SLB yang langsung menjemput. Untuk anak yang berdomisili di luar Manado, Ibu Tompodung-Lapian, dengan tanpa pamrih, merelakan rumahnya lagi untuk menjadi asrama. Pelayanan siswa di asrama menjadi tanggungjawab bersama, sehingga guru pun mendapat tugas ekstra di asrama, selain tugas mengajar dan administrasi. Tahun 1996, SLB merintis program Pendidikan Terpadu, (siswa tunanetra mengikuti pendidikan bersama dengan siswa awas di sekolah reguler) yang disponsori oleh Christoffel Blindenmission (CBM) Jerman. Tahun 2000, seiring dengan program tersebut, CBM memberi bantuan berupa gaji guru, biaya administrasi, dan kebutuhan siswa. Tahun 2001, SLB mendapat kunjungan dari Yayasan STINAFO Belanda, tepatnya di rumah Ibu Tompodung-Lapian yang menjadi tempat tinggal siswa. Tahun ini pula SLB mendapat bantuan yang pemanfaatannya untuk pembangunan SLB dan asrama, dengan narahubung Ny. Tampi-Pangkey. Tahun 2004, SLB-A Bartemeus pindah ke tempat yang baru, yakni bantuan bangunan Sekolah bertingkat dua permanen, di Jalan Tanah Putih IV Lingkungan VI Malalayang I Timur, Manado. Tahun berikutnya, lima tenaga pengajar honor di SLB Bartemeus diangkat menjadi PNS dan ketambahan dua orang tenaga PNS. Seiring dengan perkembangan SLB-A, terus diperhatikan oleh pemerintah karena prestasi-prestasi yang dicapai oleh perserta didik, baik akademik maupun non-akademik juga guru di tingkat provinsi dan nasional. Pemerintah, khususnya bidang pendidikan, dalam hal ini Direktorat Pendidikan Luar Biasa, tak segan menyalurkan bantuan berupa bantuan RKB; infrastruktur; buku-buku; sampai alat keterampilan dan kesenian, kewirausahaan, dan alat pendidikan/belajar. Bahkan 5


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

ada kesempatan bagi guru dan siswa untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan tingkat nasional. Keberhasilan SLB di antaranya menjadi sekolah pendukung untuk SLB/SDLB se-Indonesia Timur; bantuan satu unit mesin percetakan braille dari Norwegia dan SLB bisa mencetak buku Braille untuk sekolah dan sekolah-sekolah imbas; satu alumni SLB sudah menjadi PNS guru SLB di Bualemo (sarjana PLB); tercatat 13 orang alumni SLB-A yang meraih gelar sarjana di Universitas Manado (UNIMA), Universitas Kristen di Tomohon (UKIT), dan Universitas Pembangunan Indonesia (UNPI); kurang lebih 100 piala dan penghargaan yang diterima SLB dengan prestasi siswa di bidang akademik, kesenian, dan olahraga tingkat regional maupun nasional; dukungan Yayasan Mitra Netra Jakarta dan ABIYOSO berupa penyediaan buku penunjang dalam bentuk braille dan buku bicara setiap bulan. Kini, sekolah ini mendidik 27 orang dengan jumlah guru 7 orang (SSN) dan 5 orang (GTY/GH) termasuk Kepala Sekolah. Tanggal 20 September 2014, terbit surat keputusan Yayasan bertanggal 30 Maret 2015 untuk mendelegasikan tugas kepala sekolah kepada Dra Masje Fin Takaredas, M.Pd. Suka Duka Menjadi Guru

Mula-mula saya datang ke SLB-A Bartemeus Manado karena menepati janji pada Kepala Sekolah. Janji yang saya sampaikan ketika saya melaksanakan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) bahwa nanti selesai kuliah datang membantu mengajar. Pada 13 April 1993, saya menemui Kepala Sekolah untuk menyatakan kesediaan menjadi guru di SLB-A Bartemeus Manado. Ada kalimat bijak bermakna dalam dari Ibu Tompodung-Lapian yang sungguh menyentuh hati saya. “Datang di SLB kalau bukan karena panggilan pelayanan maka bukan guru SLB,� ujarnya.

6


SLB-A Bartemeus Manado

Maksud Beliau bahwa sekolah tidak dapat memberikan honor yang tinggi, tapi bersama-sama kita berusaha untuk mendapatkan itu. Tidak disangka, pada bulan ketiga, saya mengajar di SLB-A Bartemeus, Kepala Sekolah memberi ucapan terima kasih sebesar Rp25.000. Merasa bahwa itu adalah usaha keringat sendiri, saya dan teman seperti mendapatkan hadiah besar. Kami berdua pergunakan untuk sebagian membayar tempat kos yang kebetulan satu kamar. Sungguh, kami sangat menikmati perjalanan kehidupan. Seiring dengan perjalanan pengabdian saya di SLB-A Bartemeus Manado, bersama Dra Erna Talenggoran, teman seangkatan yang saya panggil membantu mengajar, sangat menyenangkan dan penuh semangat. Begitu pula dengan pengalaman sebagai kepala sekolah yang sangat menginspirasi saya untuk lebih memajukan sekolah, mulai dengan terlibat bersama Tim Kerja dalam penjaringan siswa ke desadesa, melatih dan mendampingi siswa dalam mengembangkan minat dan bakat, sampai terlibat dalam keikutsertaan SLB pada lomba-lomba antar SLB baik tingkat provinsi dan nasional. Menjadi guru khusus untuk siswa tunanetra banyak mengajarkan saya bagaimana bersyukur tentang kehidupan yang Allah anugerahkan pada masing-masing kita. Saya yang tadinya tidak bermimpi untuk menjadi guru SLB dikarenakan pengalaman saya waktu masih duduk di sekolah menengah SPG pernah melaksanakan praktik mengajar pada sekolah regular membandingkan kondisi siswa regular dan SLB. Namun pembelajaran ini kemudian menggiring saya mampu bersyukur ketika bisa termasuk orang yang terpilih membimbing, melatih, mendidik saudara sesama kita yang memiliki kebutuhan khusus. Apalagi banyak bakat, talenta alami yang bisa dikembangkan untuk siswa-siswa tunanetra di balik keterbatasan mereka. Mereka punya kemampuan dalam bidang vokal dan musik. Sungguh bersama mereka, terkadang kerinduan untuk orang tua dan saudara-saudara di kampung seperti tertepis saat melihat mereka mulai memainkan alat musik sambil bernyanyi saat istirahat.

7


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Tapi ada hal lain lagi yang luar biasa bagi seorang guru, ketika saya untuk pertama kalinya diberikan tugas keluar daerah untuk mengikuti Diklat Konversi In-Service di Bogor selama 45 hari. Ini suatu kesempatan berharga, apalagi saya baru pertama kali juga akan menggunakan transportasi udara. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan. Saya mengumpulkan keberanian dan menunjukkan pada kepala sekolah bahwa saya akan berusaha untuk melakukan tugas dengan baik sesuai kemampuan yang saya miliki. Ternyata tidak semua orang, khususnya insan yang dinamakan “guru“ mendapat kesempatan emas sebagaimana “guru SLB”. Saya yang kurang lebih 12 tahun sebagai guru honor dan pada tahun 2005 diangkat sebagai PNS terbilang sebagai guru yang sudah banyak mendapat kesempatan untuk ikut diklat, workshop bahkan bimtek keluar daerah dengan anggaran pemerintah. Mungkin kalau saya bukan guru SLB, paling tidak dari sekian guru regular masih beruntung kalau punya kesempatan seperti menjadi guru SLB. Dari Anak Berkebutuhan Khusus-lah, saya sebagai guru SLB, bisa pergi ke Ibukota atau daerah lain yang ada di Indonesia. Untuk itu, hargai dan cintai pekerjaan yang sudah Anda pilih. Jalankan itu terus dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan dan patrikan bahwa Anda-lah yang “terpilih”. Tugas Sosial Selain Guru

Saya menikah pada 15 April 2006 dan dikaruniakan seorang putri 9 tahun bernama Greisye Putri Mandik. Sebagai seorang ibu, saya harus mengurus suami dan anak yang masih duduk di SD kelas IV. Sementara saya harus lakukan sendiri pekerjaan rumah. Tapi karena harus menikmati setiap pekerjaan, maka enjoy saja melakukan tugas-tugas tersebut. Ada tugas pelayanan yang saya harus lakukan bersama suami, dimana di lingkungan berjemaat kami suami dipilih sebagai Pelayan Khusus Penatua dan saya dipilih sebagai sekretaris Wanita Kaum Ibu Jemaat dan Koordinator Ibu di Lingkungan Kolom 1. Ini juga tugas dan tanggung 8


SLB-A Bartemeus Manado

jawab sebagai mitra kerja Allah. Dengan begitu sama pentingnya ketika saya harus melakukan tugas tanggung jawab dan pelayanan sebaga guru SLB. Kalau dapat saya katakan semua pekerjaan ini adalah pekerjaan Allah, baik guru atau sebagai sekertaris WKI/mitra kerja di lingkungan berjemaat. Kuncinya: jangan pernah menghitung hari, minggu, atau tahun yang cepat sekali berganti, tapi tanyakan kebaikan-kebaikan apa yang pernah saya lakukan untuk sesama!

9


GERAKAN LITERASI SLB NEGERI AMURANG Alfrits Eefer Bujung. S.Pd

Sejak tahun 2005 saya ditempatkan di SLB Bartemeus, Manado, yang khusus menangani anak berkebutuhan Tunanetra. Namun karena situasi SLB Bartemeus Manado menerima anak dengan ketunaan Tunagrahita, Penulis dipercayakan menangani dua siswa tuna grahita. SLB Bartemeus Manado menangani siswa tingkat SDLB, SMPLB, dan SMALB sebagai sekolah satu atap. Penulis bertugas sebagai penanggungjawab SMALB. Tahun 2008, Penulis dipercayakan menangani anak tunanetra kelas 6. Sejak mengajar di SLB Bartemeus Manado, Penulis dan sekolah sudah menerapkan kiat rajin membaca. Hal ini dipacu dengan kebutuhan Calistung (baca, tulis, dan hitung) bagi anak tunanetra kelas rendah, sehingga memperkenalkan huruf dan angka menjadi prioritas. Dengan terbatasnya buku pelajaran/penunjang dalam bentuk tulisan braille, maka guru harus membaca dan siswa mendengarkan dan dengan berbagai metode dan kretivitas guru, di antaranya dengan membuat bentuk huruf/angka dari karton ataupun tripleks. Sejak tahun 2005, Penulis sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh PK/ LK Kementerian Pendidikan, baik di tingkat Daerah maupun Nasional. Di tingkat nasional, Penulis dilatih untuk mengedit dan memuat cetakan braille dari buku awas. Dengan mengunakan mesin cetak braille A-400, kami dapat mencetak buku-buku braille. Ini sangat membantu anak tunanetra untuk belajar membaca. Setiap guru yang ada di SLB Bartemeus Manado wajib mem-braille-kan buku yang diajarkan kepada anak 10


tunanetra. Sejak 2014, SLB Bartemeus Manado mempelopori Gerakan Rajin Membaca sebelum dan sesudah jam belajar. Walaupun Gerakan Literasi Sekolah nanti diperkenalkan tahun 2017 secara menyeluruh di SLB-SLB yang ada di Sulawesi Utara. Literasi yang dikembangkan di SLB Bartemeus Manado adalah dengan membiasakan anak untuk membaca di perpustakaan, baik membaca buku atau mendengarkan melalui DVD bagi siswa yang belum dapat memaca. Selain diwajibkan ke perpustakaan, siswa juga diwajibkan membaca dalam kelas melalui pondok baca atau sudut baca yang sudah diatur di setiap kelas. Untuk siswa tunagrahita, mereka diberi kebebasan membaca dan diceritakan kembali melalui gambar dan tulisan. Selesai menggambar dan menulis, kreasi anak tersebut dipajang di ruangan kelas atau majalah dinding di depan kelas dan sekolah. Tahun 2016, Penulis dimutasi ke SLB Negeri Amurang, Jalan Trans Sulwesi, Kapitu, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara. Staf pengajar sekolah ini terdiri dari 8 guru PNS dan 5 guru honor mendampingi 84 siswa. Pengembangan Gerakan Literasi di SLB Negeri Amurang dimulai pada tahun 2017. Kegiatan Literasi dimulai dengan mewajibkan anak membaca buku 15 menit sebelum belajar mengajar dimulai, baik membaca buku di perpustakaan maupun pojok buku di dalam kelas. Buku-buku yang dibaca di antaranya buku pelajaran ataupun buku pengetahuan umum. Yang belum dapat membaca diberi gambar agar anak-anak tersebut, khususnya tunagrahita, bisa membaca pesan melalui gambar yang dilihatnya. Selain membaca, siswa juga dibiasakan untuk meminjam buku di perpustakaan dan guru meminta orang tua membantu anak membaca di rumah. Siswa yang sudah dapat membaca diberikan kesempatan untuk menceritakan kembali apa yang dibacanya kedalam bentukgambar dan atau tulisan. Gambar dan tulisan tersebut dibuat dalam bentuk majalah dinding. Selain itu siswa juga diberikan kesempatan untuk memberikan kesempatan kepada siswa membaca bebas dan mengamati 11


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

secara sederhana keadaan di lingkungan dengan harapan siswa dapat menceritakan secara sederhana apa yang siswa pahami tentang lingkungan sekitar. Gerakan Literasi di SLB Negeri Amurang juga dikembangkan dengan membuat poster atau gambar di pagar beton sekolah. Selain gambar, juga dibuat kata-kata yang dapat memotivasi anak untuk belajar. Dan di setiap kelas dibuatkan papan karya untuk hasil kreativitas siswa. Segala sesuatu yang dikaryakan siswa dipajang pada papan karya tersebut. Selain siswa, guru dan tenaga kependidikan yang mengembangkan kegiatan literasi sekolah dilibatkan juga orang tua dan masyarakat di sekitar sekolah. Orang tua yang membawa anaknya ke sekolah diberi kebebasan untuk membaca buku-buku yang ada di perpustakaan. Pada jam tertentu seperti istirahat, guru mengajak siswa ke perpustakaan bersama dengan orang tua. Dalam pengalaman Penulis, beberapa poin penting tentang tanggapan masyarakat tentang anak difabel, sebagai berikut: 1. Banyak masyarakat yang menanggap bahwa anak difabel merupakan beban dan tidak perlu bersekolah. Bahkan masih ada yang menganggap bahwa anak-anak tersebut merupakan pembawa sial atau difabel yang disandang anak merupakan kutukan. 2. B anyak orang tua merasa malu dan menyembunyikan anak agar tidak diketahui oleh masyarakat. 3. B anyak orang tua yang masih memaksa anak untuk bersekolah di sekolah reguler karena mereka malu membawa anak di Sekolah Luar Biasa. 4. A da juga orang tua yang tidak dapat menyekolahkan anak karena faktor ekonomi. Ini disebabkan karena SLB Negeri Amurang belum memiliki asrama untuk menapung siswa yang jauh dari sekolah. 12


Gerakan Literasi SLB Negeri Amurang

Menyadari deretan permasalahan itu, SLB Negeri Amurang membuat program, antara lain: 1. Menyosialisasikan kepada masyarakat, dengan melibatkan pemerintah yang ada, bahwa anak difabel merupakan anak yang memiliki kekurangan tetapi masih banyak potensi yang tersimpan pada anak bersangkutan yang bisa dikembangkan, dan mereka bukan anak yang dikutuk. 2. Memberikan pemahaman kepada orang tua bahwa anak difabel adalah anak yang memiliki hak dan kewajiban selayaknya anak normal. 3. Bekerja sama dengan sekolah reguler untuk memberikan pemahaman tugas dan fungsi SLB serta program-program yang ada. 4. SLB Negeri Amurang juga memuat program Home Visit bagi siswa yang mengalami hambatan ekonomi dan jauh dari sekolah (3-4 kunjungan/minggu).

13


MERAJUT MIMPI DI SLB NEGERI AMURANG Sendra Fransje Ampow, S.Pd

Sebelum Kegiatan di Yogyakarta

Pada tahun 2009, saya mengajukan permohonan pindah tugas ke daerah tempat kelahiran saya, karena saya punya kerinduan membantu mengembangkan pelayanan pendidikan, khususnya di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan ilmu yang saya geluti selama empat tahun. Pada tahun 2010, permohonan saya disetujui dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara di Kota Manado kemudian pindah di Desa Kapitu, Kabupaten Minahasa Selatan, walaupun jarak tempuh dari rumah saya ke sekolah agak jauh (dua kali pindah angkot). Di tempat tugas saya yang baru ada begitu banyak kekurangan yang saya temui. Mungkin karena sekolahnya masih baru atau karena pemimpinnya bukan dari jurusan PLB yang belum menyatukan hatinya untuk anak-anak yang luar biasa, sehingga perlu penanganan serius dari orang-orang yang peduli dan ingin melayani Anak Luar Biasa (disabillitas). Karena kerinduan saya dan beberapa teman guru (ada sembilan guru) ingin melihat perubahan di SLB Negeri Amurang menjadi lebih baik lagi, kami mencoba menyalurkan bakat, hobi, dan kemampuan keterampilan yang ada pada kami, seperti keterampilan kecantikan dan keterampilan membuat bunga dan merangkai bunga.

14


Ini mendapat respons dari orang tua siswa dan siswa itu sendiri. Kami pun mulai bekerja. Namun hanya berlangsung beberapa bulan karena minimnya dana dan kurangnya perhatian dan tanggapan dari Kepala Sekolah. Ketika sekolah kami vakum dan tidak ada aktivitas ketrampilan, tiba-tiba ada surat untuk kegiatan keterampilan aksesoris dan guru ketrampilan di sekolah, maka saya pun ditunjuk untuk ikut kegiatan ini. Sebenarnya keterampilan aksesoris ini merupakan hal yang baru bagi saya. Namun saya senang diberi kesempatan untuk ikut. Selama ini saya tidak pernah mengikuti pelatihan keterampilan apapun, melainkan ditunjuk sebagai guru keterampilan sebab kemampuan dan hobi saya. Menurut saya guru di SLB tidaklah mudah. Dia harus kreatif, inovatif, dan terampil. Bila tidak, guru hanya menjadi penonton; tidak ada yang dapat dibuatnya. Soalnya adalah di SLB yang diutamakan adalah kemandirian siswa dan ada pelajaran keterampilan yang bisa menjadi bekal mereka setelah lulus sekolah. Ditambah lagi, seperti yang kita ketahui, tidak banyak siswa lulusan SLB yang melanjutkan studi di perguruan tinggi. Sesudah Menerima Materi

Saat saya mengikuti kegiatan “Workshop Program Peningkatan Keterampilan Kecakapan Hidup bagi Guru Pendidikan Khusus dengan Lembaga Keterampilan� yang dilanjutkan dengan magang di Bella Aksesoris, sungguh saya sangat senang dan bersyukur karena diberi kesempatan untuk belajar lebih banyak lagi tentang keterampilan ini. Seperti yang saya kemukakan di atas, keterampilan aksesoris adalah hal yang baru bagi saya. Di kegiatan ini ada begitu banyak teman yang saling memberi dorongan, motivasi, apalagi setelah terjun lapangan di Bella Aksesoris dengan Instrukturnya yang benar-benar paham dan menuntun kami

15


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

dengan sangat baik. Ada 5 hari kegiatan Magang dilaksanakan dan membuat kami harus mandiri. Dari sinilah saya banyak belajar membuat Aksesoris seperti membuat bross, bunga monsai akrilik, gelang tali simpul, kalung timang, dompet manik dari akrilik, dan menghias keranjang Aqua. Pada hari pertama saya merasa agak sulit tapi saya mampu menyesuaikan diri dan mampu menyelesaikan semua tugasnya karena ada beberapa aksesoris yang perlu ketelitian. Mungkin karena saya senang dengan keterampilan ini sehingga semua bisa selesai dengan baik. Bahkan setelah selesai magang, saya sudah berencana membuat kreasi baru di rumah dengan membeli alat dan bahannya di Bella Aksesoris. Saya rindu sekali membagi ilmu ini untuk anak didik saya. Saya mencoba menghubungi Kepala Sekolah untuk membeli alat dan bahan-bahan yang akan digunakan dan dipraktikkan di sekolah dan mendapat tanggapan yang baik olah pimpinan kami. Saking senang dan bersemangat, saya dan teman-teman membeli alat dan bahan aksesoris itu sampai kelebihan bagasi. Rencana ke Depan

Dengan membawa semangat yang baru dan ilmu yang saya terima di Yogyakarta selama 9 hari, setibanya di SLB Negeri Amurang, saya melaporkan kegiatan ini kepada Kepala Sekolah dan guru-guru dengan mengadakan rapat hasil workshop dan magang selama di Yogyakarta. Ternyata guru-guru juga sangat senang. Buktinya, saat berpraktik, guruguru ikut membantu, membimbing siswa, dan membuat sesuai petunjuk dan materi yang saya terima. Adapun keterampilan aksesoris yang dibuat di sekolah, antara lain membuat bross, membuat kalung dan anting dengan kreasi yang baru; membuat bunga bonsai dari akrilik dua macam dengan kreasi yang baru; dan membuat coker.

16


Merajut Mimpi di SLB Negeri Amurang

Namun karena waktunya tidak cukup dalam persiapan semester dan libur, Keterampilan Aksesoris yang lain akan dilanjutkan setelah selesai libur dan masuk tahun ajaran baru. Ternyata materi ini sangat tepat diterapkan di sekolah. Selain guruguru dan siswa yang mengikuti dan membuat aksesoris, para orang tua siswa (di sekolah kami belum ada asrama sehingga orang tua antar jemput anak mereka) juga ikut memberi semangat. Menurut orang tua siswa, yang mereka harapkan agar anak-anaknya bisa mandiri dengan keterampilan yang mereka pelajari dan akan menjadi modal usaha selesai pendidikan. Selain itu, ada hal yang lebih mengembirakan lagi saat kegiatan lomba kecantikan seperti coker, anting, kalung, dan Gelang hasil karya kami dipakai pada lomba kecantikan tingkat provinsi yang diadakan pada 20 Juni 2017 di Manado. Ada juga guru-guru yang membuat kreasi baru sesuai imnajinasi mereka. Ini tentu membuat saya sangat senang dan berharap kegiatan seperti ini akan terus dilaksanakan dengan keterampilan yang baru lagi. Ini juga menjadi harapan teman-teman guru bila di waktu yang lain mereka juga diberi kesempatan untuk ikut kegiatan seperti ini. Setelah melihat hasil yang kami buat, Kepala Sekolah mencoba mempromosikan hasil karya kami di sekolah yang ada dekat dengan SLB. Lantaran hasilnya baik, maka ada rencana dari guru-guru dan orang tua siswa untuk mempromosikan kepada teman-teman di sekitar, sehingga ke depannya ada hasil yang boleh diperoleh dan menguntungkan siswa.

17


SLB LPMD TOLOMBUKAN Anni Rita Gahung

Latar belakang dibentuknya SLB LPMD Tolombukan bermula dari sekolah inklusi yang dilaksanakan di SDN 2 Liwutung. Lantaran sudah lebih banyak anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) yang bersekolah, sehingga pengelola berinisiatif mendirikan sekolah luar biasa (SLB) bernama SLB LPMD Tolombukan pada tahun 2007 yang dibawahi oleh pihak pemerintah atau Yayasan LPMD Tolombukan. Sejak tahun 2007, sekolah ini sudah berjalan. Seiring waktu, sekolah ini berpindah lokasi pada tahun 2013 dan sampai sekarang ini berlokasi di Desa Tolombukan Satu Kecamata Pasan, Kabupaten Minahasa Tenggara. Sekolah ini dipimpin Nori. F. Kawengian, S.Pd dan guru-guru yang masih berstatus honor. Awalnya sekolah ini masih sangat kekurangan tenaga guru. Seiring berjalannya waktu, beberapa orang bergabung menjadi guru di sekolah ini sampai sekarang. Jumlah guru di sekolah ini 6 orang, yang mengasuh 44 siswa yang terdaftar di sekolah ini. Ke-44 siswa tersebut memiliki ketunaan yang berbeda, mulai tuna grahita, tuna daksa, tuna rungu, autis dan down syndrom. Setiap hari, para siswa selalu dijemput untuk berangkat dan pulang sekolah setiap hari oleh tenaga sopir menggunakan kendaraan yang disiapkan oleh pihak sekolah. Itu dikarenakan tempat tinggal dari masing-masing anak terletak jauh dari sekolah. Ada yang tinggal di Tombatu, Silian, Mundung, Molompar. Ada juga yang cukup berjalan

18


kaki karena tinggal berdekatan dengan sekolah. Awalnya bangunan atau ruang kelas di sekolah ini masih bersifat darurat. Hanya ada ruang perpustakaan. Jadi untuk belajar mengajar, siswa masih bergabung di satu tempat. Tapi dari tahun ke tahun, sekolah perlahan ketambahan dua ruang kelas. Aktvitas belajar bisa menjadi 2 kelas yang digunakan sampai sekarang. Tentu dengan demikian, SLB LPMD Tolombukan masih kekurangan bangunan. Dalam mengajar anak-anak berkebutuhan khusus ini, guru perlu kesabaran, ketekunan, dan terutama pemberian diri. Kesemua itu pun harus ditopang dari sisi kehidupan keluarga seorang guru, baik suami, anak-anak, dan orangtua yang ada. Mereka juga harus memberikan dukungan untuk pengajaran sekolah SLB. Walaupun seringkali ada hambatan dalam keluarga, tetapi sebagai tenaga pendidik di sekolah SLB, guru terus melaksanakan tanggung jawab mengajarnya. Sebagai guru SLB mereka mengajar dengan penuh ketulusan hati dan penuh kasih sayang. Mereka sadar, dalam mengajar anak berkebutuhan khusus tidak sama dengan mengajar pada anak-anak ‘normal’ yang mampu menerima pelajaran dengan cepat dan memiliki daya ingat yang baik. Untuk mengajar ABK, guru harus selalu menyampaikan atau mengulang kembali pelajaran yang telah disampaikan sampai mereka mengerti. Ada siswa yang bisa lekas mengerti seperti siswa tuna rungu dan tuna daksa, tetapi juga yang lambat. Selain mereka belajar tentang pelajaran, mereka juga harus ada dalam suasana bermain, seperti waktu istirahat dengan bermain olahraga, alat musik yang kesemuanya telah disiapkan oleh sekolah. Sebagai guru, mendidik anak berkebutuhan khusus agar menjadi anak yang lebih baik bukanlah hal yang mudah. Ada begitu banyak hal yang dialami atau dirasakan baik suka maupun duka. Perasaan menjadi senang ketika ada anak-anak yang mampu mengerti semua yang diberikan oleh guru, bahkan bisa menyelesaikan pertanyaan yang ada. Guru sangat senang jika ada anak-anak yang mampu atau mendapat 19


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

juara setiap mengikuti kegiatan yang dilaksanakan, baik lomba kesenian, keterampilan, maupun olahraga. Namun guru perasaan yang kurang senang bila ada anak-anak yang kurang memperhatikan penjelasan guru, atau banyak bermain saat belajar. Seringkali juga ada guru yang harus laksanakan tanggung jawab sama yang dilakukan oleh orang tua di rumah ketika ada anak yang mengompol di dalam kelas atau BAB (buang air besar). Mau tidak mau, seorang guru harus membersihkan semua kotoran dari anak yang bersangkutan lantaran anak bersangkutan belum bisa mengucapkan yang dia rasakan. Begitulah pemberian diri dari seorang guru SLB. Dalam mendidik atau mengajar ABK, sekolah dilengkapi dengan perpustakaan sebagai tempat guru maupun siswa membaca buku saat istirahat. Di perpustakaan ini banyak sekali buku-buku pelajaran, buku cerita, dan buku jenis lainnya. Semuanya telah disiapkan oleh pihak sekolah untuk menunjang proses belajar mengajar. Di kalangan masyarakat, masih ada yang menganggap ABK sebagai anak-anak yang tidak mampu melakukan hal-hal yang seperti anakanak kebanyakan. Anak-anak dari kalangan itu lebih banyak kekurangan daripada kelebihannya. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, ternyata ABK juga memiliki kemampuan dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh anakanak ‘normal’ pada umumnya. Seringkali kami sangat prihatin karena banyak orang yang menganggap ABK tidak dapat memahami apapun, sehingga ada orangtua yang mempunyai ABK yang mungkin malu menyekolahkan mereka juga selalu mengesampingkan mereka. Mereka tidak tahu sebenarnya bahwa kalau ABK tetap butuh mendapatkan pendidikan dan perhatian yang layak dari pemerintah. ABK juga adalah ciptaan Yang Kuasa, yang harus diperhatikan dan bukan dibiarkan begitu saja. Walau mempunyai kekurangan dan keterbatasan yang berbeda, tetapi mereka juga memiliki kelebihan.

20


SLB LPMD Tolombukan

Oleh karena itu, tujuan memberikan pengajaran atau pendidikan bagi ABK agar supaya dapat membentuk karakter mereka. Dan marilah kita juga sebagai manusia untuk saling menghormati,menyayangi, dan menghargai satu sama lain meski kita dalam kekurangan maupun kelebihan. Sebabnya adalah semua manusia memiliki hak yang sama di mata Tuhan.

21


ANGELIA DALAM SUATU KEIKHLASAN, KETULUSAN, DAN HARAPAN Femmy G Rumampuk, SPd

Angelia Leferinda Dalope, anak pertama kami di keluarga Dalope – Rumampuk, Leopold Dalope dan Femmy Geertje Rumampuk. Ia lahir di Rumah Sakit Gunung Wenang Manado, Sulawesi Utara, pada 22 Agustus 1990. Angelia adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Adiknya Yohanes Valentino Dalope lahir pada 14 Februari 1993 di Rumah Sakit Hermana Lembean Kabupaten Minahasa Utara, dan si bungsu bernama Junifer Maria Leonora Dalope lahir pada 19 Juni 1996 di Rumah Sakit Budi Mulia Kota Bitung. Ketika Angelia lahir, dokter mengabari saya bahwa ia lahir dengan berat 2,4 kg dan tinggi 49 cm. Kami selaku orang tua dipenuhi rasa bangga dan bahagia serta memberinya nama Angelia Leferinda. Angelia berasal dari bahasa Inggris angel yang berarti malaikat, dianalogikan sebagai makhluk yang suka menolong, sedangkan Leferinda adalah singkatan dari Leo dan Femmy, nama kami selaku orang tuanya, dengan harapan kami selalu menyatu dan tak terpisahkan dengan anak kami tersebut. Kelahiran Angelina tentunya membawa suka cita dan kebahagian bagi kami dan keluarga yang lain. Meski demikian, di tengah kebahagiaan itu kami harus menerima kenyataan bahwa Angelia terlahir dengan fisik yang lemah. Ia tidak mampu menetek susu ibunya, sehingga harus diinfus dan masuk inkubator selama beberapa hari. Bahkan setelah selesai diinfus dan perawatan melalui inkubator, Angelia masih juga lemah dan masih tidak mampu menetek. Padahal konsumsi yang paling baik bagi seorang 22


bayi adalah ASI. Oleh karenanya, saya bersama suami berusaha sebisa mungkin memberi ASI untuk Angelia. Di samping itu pula kesehatan Angelia agak menurun. Suhu badannya sering naik di atas normal, yang mengharuskan ia perlu peralatan intensif selama sepuluh hari di RS. Setelah itu barulah Angelia dan saya diizinkan pulang ke rumah. Dalam perkembangan selanjutnya, Angelia sering mengalami gangguan kesehatan hingga kami orang tua harus selalu membawa dia ke dokter spesialis anak, guna mendapatkan perawatan dan pengobatan secara intensif. Pada usia 3 bulan, Angelia didiagnosa mengalami gangguan/kelainan hormon pertumbuhan fisik oleh dokter spesialis anak yang secara tetap merawatnya, sehingga Angelia membutuhkan perawatan khusus dari dokter spesialis saraf anak. Bermacam-macam jenis obat yang diberikan oleh dokter spesialis saraf anak, bahkan ada satu jenis obat yang dianjurkan untuk diminum seumur hidup oleh Angelia. Namun karena kondisi fisik tubuhnya yang lemah, maka sangat sulit bagi Angelia untuk mengonsumsi obatobat tersebut. Meskipun begitu, kami orang tua tetap berupaya dengan harapan agar Angelia bisa mendapatkan kesembuhan dan mengalami pertumbuhan yang normal, sebagaimana anak-anak sebayanya. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata tidak membawa perubahan yang berarti, kondisi fisiknya sangat rentan penyakit. Menjelang usia setahun, Angelia menderita campak hingga harus dirawat selama dua minggu di RS Gunung Wenang, Manado. Pada usia satu tahun enam bulan, Angelia mengalami gangguan kesehatan lainnya, sehingga harus dirawat di RS Hermana Lembean, Minahasa Utara. Penyakit ini sangat mengkhawatirkan, suhu badannya mencapai 41 derajat celcius. Untuk menurunkan suhu badannya, sekujur tubuhnya dikompres es batu. Setelah suhunya turun, dia sakit perut atau masuk dingin yang juga sangat membuatnya menderita. Namun kami tetap bersyukur kepada Tuhan, karena Angelia bisa sembuh setelah satu bulan dirawat di RS tersebut. 23


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Kami sebagai orang tua semakin mengasihi Angelia. Kami dengan penuh semangat dan keyakinan termotivasi untuk senantiasa memperhatikan, menjaga, dan merawat kesehatannya. Kami sadar bahwa anak kami ini perkembangan fisiknya tidak normal, bahkan mengarah pada kecacatan, sehingga perlu penanganan khusus. Hal ini diperkuat dengan kondisi fisiknya yang ketika sudah memasuki usia dua tahun, ia belum mampu duduk, apalagi berjalan. Rutin setiap bulannya kami membawa Angelia ke dokter spesialis anak dan dokter spesialis saraf anak untuk pemeriksaan kesehatan dan konsultasi. Ketika Angelia berusia 3 tahun, anak kedua kami lahir, Yohanes. Kehadiran Yohanes ternyata membawa satu perubahan besar bagi perkembangan dan kesehatan Angelia. Tumbuh motivasi dan semangat pada diri Angelia, dia sudah bisa duduk, bahkan berdiri. Setahun setelah kelahiran Yohanes, Yohanes mulai belajar berjalan, sedang Angelia pun mulai ikut belajar berjalan. Hingga saat Angelis berusia lima tahun, ia sudah dapat berjalan dengan baik, fisiknya semakin kuat, dan kesehatannya pun kian baik. Ini tentunya membawa suka cita dan kebahagiaan bagi kami orang tua dan keluarga. Hal ini mendorong kami untuk menghentikan semua jenis obat yang diberikan oleh dokter kepada Angelia. Itu semua karena karena kami sangat kuatir, dalam usia yang masih muda Angelia sudah mengonsumsi obat dengan kandungan zat kimia dan efek samping yang begitu banyak. Kami hanya berdoa kepada Tuhan kiranya memberi kekuatan dan kesehatan serta pertumbuhan yang baik kepada Angelia. Selanjutnya, untuk lebih memberi perhatian ekstra, kami menyediakan inang pengasuh khusus kepada Angelia, yang semakin hari Angelia semakin menunjukkan perkembangan kesehatan yang baik, meskipun perkembangan fisiknya masih agak lambat. Ketika Angelia telah memasuki usia wajib sekolah, kurang lebih usia enam tahun, hasrat kami orang tua begitu bersemangat untuk menyekolahkannya. Namun karena fisik yang kecil dan dirasa belum 24


Angelia dalam Suatu Keikhlasan, Ketulusan, dan Harapan

menunjang, terpaksa kami menunda masuk sekolah untuk sementara waktu, dan nanti masuk sekolah bersama dengan adiknya yang pertama pada sekolah reguler. Dalam masa perkembangan lebih lanjut, ternyata Angelia tidak dapat dididik pada sekolah normal harus pada sekolah khusus, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), karena Angelia mengalami keterbelakangan jenis Grahita sedang. Untuk mendaftar masuk SLB pun masih ada kendala. Pada saat itu SLB hanya ada di Kota Manado, sedangkan kami tinggal di Kota Bitung, yang jaraknya 45 kilometer dari Manado. Kami berupaya dengan terlebih dahulu melakukan survei sekaligus mempelajari kondisi beberapa SLB di Manado. Kesimpulannya, kami akan mengalami kesulitan kalau Angelia masuk pada salah satu SLB di sana, apalagi orang tua kami agak keberatan kalau harus mengantar jemput cucunya (Angelia) dengan jarak cukup jauh. Untuk mewujudkan harapan kami agar Angelia dapat sekolah, maka satu-satu cara adalah mendirikan sendiri SLB di Bitung, yang merupakan SLB pertama di kota ini. Proses pendirian SLB kami awali dengan berkonsultasi dengan Dinas Pendidikan daerah setempat, mendirikan yayasan dengan Akta Notaris yang bernama Yayasan Mercusuar Kasih Angelia Bitung (nantinya mewadahi SLB yang akan didirikan), selanjutnya menyediakan alat-alat bermain seperti beberapa jenis ayunan besi, menyewa gedung tempat belajar mengajar, merekrut guru-guru yang siap mengajar dan melayani anak-anak berkebutuhan khusus, dan membuka pendaftaran murid baru. Setelahnya kami mengajukan permohonan rekomendasi kepada Pemerintah Kota Bitung melalui Dinas Pendidikan dan Olahraga Kota Bitung. Permohonan kami mendapat respons dan dukungan Pemkot Bitung. Tak lama setelahnya, surat izin dan rekomensi operasioanl SLB langsung diterbitkan oleh instansi terkait, sehingga pada Juni 2003 secara resmi proses belajar mengajar dimulai dengan nama SLB Kasih Angelia 25


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Bitung. Saat itu dimulai dengan tiga orang guru yang bergelar Sarjana Pendidikan SLB. Jumlah muridnya pun tiga siswa, dengan salah seorang siswanya adalah Angelia. Karena begitu besar kasih sayang kami kepada Angelia, maka baik yayasan maupun sekolahnya kami ikutsertakan nama Angelia. SLB Kasih Angelia Bitung semakin hari semakin dikenal oleh masyarakat Bitung, terutama di seputaran lingkungan kelurahan mapun kecamatan, sehingga murid semakin bertambah. Dalam kurun waktu kurang lebih tiga bulan, jumlah murid bertambah menjadi 12 siswa. Pada saat itu SLB Kasih Angelia Bitung mendapat kunjungan kerja dari pegawai Dinas Pendidikan Daerah Sulawesi Utara, sekaligus mendapatkan bantuan berupa tiga buah komputer. Menjelang satu tahun berjalan, proses belajar mengajar di SLB Kasih Angelai Bitung mengalami perkembangan. Jumlah murid bertambah, sehingga SLB Kasih Angelia Bitung harus pindah dan menyewa gedung yang lebih memadai. Hal ini ternyata mendapat perhatian dari pihak Dinas Pendidikan Daerah Sulut, yang pada tahun 2004 oleh Kementerian Pendidikan Nasional melalui Dinas Pendidikan Daerah Sulut memberi bantuan pembangunan gedung sekolah dengan jumlah bantuan sebesar Rp 1.000.000.000,-. Bantuan ini diberikan karena SLB Kasih Angelia Bitung telah memenuhi persyaratan yang ditentukan, antara lain memiliki lahan/tanah hak milik sendiri dengan luas minimal 1 hektare. Proyek pembangunan SLB Kasih Angelia Bitung berlangsung enam bulan, selesai pada akhir 2004. Lima gedung utama besar berdiri dengan megah di lahan SLB Kasih Angelia Bitung dan siap digunakan untuk proses belajar mengajar. Fasilitas tersebut tentu jadi kebanggaan Yayasan Mercusuar Kasih Angelia Bitung, kebanggan bagi SLB Kasih Angelia Bitung, bahkan menjadi kebanggaan bagi Pemkot Bitung, karena fasilitas tersebut sangat menunjang program wajib belajar yang sedang digaungkan oleh pemerintah setempat.

26


Angelia dalam Suatu Keikhlasan, Ketulusan, dan Harapan

Fasilitas gedung baru tersebut langsung digunakan pada awal tahun 2005, tahun ajaran 2004/2005, dengan diresmikan langsung Kadis Pendidikan Sulawesi Utara. Pada tahun ajaran itu, fasilitas pendidikan SLB Kasih Angelia Bitung terus dilengkapi, seperti kursi dan meja belajar siswa, kursi dan meja guru dan staf tata usaha, lemari arsip, serta peralatan lainnya. Juga pembuatan pagar keliling sekolah untuk keamanan dan kenyamanan proses belajar mengajar para siswa dan guru-guru. Pada momen peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke-59, 17 Agustus 2004, SLB Kasih Angelia Bitung untuk pertama kali mengikuti kegiatan lomba pawai pembangunan yang diselenggarakan Pemkot Bitung. Dengan gagah dan gembiranya para siswa yang berkebutuhan khusus menggunakan pakaian adat daerah, pakaian rohaniah, pakaian dinas pemerintah, dan pakaian kebesaran lainnya. Mereka berdiri di atas sebuah mobil pikap tanpa mengenal lelah. Mobil dihiasi dengan bungabunga indah sekaligus menampilkan para guru yang siap medidik anakanak berkebutuhan khusus tanpa pamrih. Dua buah spanduk, masingmasing terbentang pada mobil yang digunakan bertuliskan identitas sekolah dan kedua bertuliskan pernyataan bahwa kecacatan bukan merupakan penghalang dalam menempuh pendidikan. Keikutsertaan SLB Kasih Angelia Bitung pada lomba pawai pembangunan menjadi kejutan. Mengapa? Karena pada umumnya masyarakat Bitung baru mengetahui bahwa di kota mereka sudah ada SLB yang mendidik anak-anak berkebutuhan khusus. Keikutsertaan ini mendapat respons hangat dari penonton yang tampaknya mendukung keberadaan sekolah ini. Di pihak lain, para orang tua murid menjadi begitu terharu dan rasa bangga—bahkan ada yang menangis gembira—karena tidak menyangka anak mereka bisa menjadi peserta lomba pawai pembangunan dengan mengenakan busana khusus. Karena sebelumnya, untuk momen seperti ini anak mereka yang dianggap cacat hanya ditinggalkan di rumah saja.

27


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Para orang tua murid mulai merasakan dan menilai bahwa keberadaan SLB Kasih Angelia Bitung telah mengubah keberadaan anak-anak mereka dan dapat tampil dengan percaya diri. Keikutsertaan SLB Kasih Angelia Bitung dalam lomba pawai pembangunan ternyata juga menjadi satu sarana promosi untuk memperkenalkan keberadaan sekolah ke masyarakat Bitung. Yang menyaksikan kegiatan ini adalah masyarakat yang datang dari seluruh pelosok Kota Bitung. Mereka tumpah ruah di tempat pawai. Dengan kegiatan tersebut, pendaftar murid baru untuk tahun ajaran 2005/2006 mengalami peningkatan signifikan. Keseluruhan berjumlah 42 orang. Dengan demikian, jumlah guru sudah tidak memadai lagi, hingga Yayasan Mercusuar Kasih Angelia Bitung merekrut guru baru sebanyak tiga orang, dua guru dibiayai oleh Yayasan, sedangkan seorang lainnya adalah guru PNS yang diperbantukan oleh Dinas Pendidikan Kota Bitung. Kini guru SLB Kasih Angelia Bitung menjadi enam orang, termasuk kepala sekolah. Pada tahun ajaran inilah SLB Kasih Angelia benar-benar menunjukkan perubahan dan perkembangan yang luar biasa yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, yaitu tersedianya fasilitas pendidikan yang memadai berupa gedung sekolah, aula yang juga berfungsi sebagai tempat kegiatan olahraga bulu tangkis dan tenis meja, serta fasilitas pendidikan lainnya yang sangat menunjang kelancaran proses belajar mengajar di sekolah. Dengan melihat perubahan itu, kami selaku pendiri SLB Kasih Angelia Bitung merasa ada kepuasan batin serta rasa bangga dengan penuh ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kami yang awalnya hanya memikirkan bagaimana anak kami, Angelia, yang mengalami keterbelakangan harus mendapat perhatian khusus sekaligus pendidikan pada sekolah tertentu, ternyata dapat mengikutsertakan juga anak-anak berkebutuhan khusus lainnya yang berusia sekolah untuk mendapatkan pendidikan di SLB Kasih Angelia Bitung. Keberhasilan ini 28


Angelia dalam Suatu Keikhlasan, Ketulusan, dan Harapan

juga sangat didukung oleh para orang tua murid yang merespons positif bahwa kecacatan bukan menjadi halangan untuk menuntut pendidikan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Bahwa Pendidikan adalah merupakan hak setiap Warga Negara Indonesia. SLB Kasih Angelia Bitung, dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan dan peningkatan yang sangat berarti, baik secara kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat tergambarkan dari hal berikut: Tahun 2007 juara I tingkat Provinsi Sulawesi Utara untuk lomba mewarnai, selanjutnya mengikuti kejuaraan Tingkat nasional di Yogyakarta, masuk 6 besar. Peserta SD Putra Jenis ketunaan Grahita. Tahun 2009 Juara I Tingkat Provinsi Sulawesi Utara untuk lomba modeling wanita, selanjutnya mengikuti lomba tingkat nasional di Jakarta, Masuk 10 besar. Peserta SMP Putri jenis ketunaan Tuna Rungu Tahun 2010, Juara I Tingkat Provinsi Sulut untuk lomba modeling, selanjutnya mengikuti lomba modeling tingkat nasional. Peserta SMP Putri jenis ketunaan Tuna Rungu Tahun 2011 Juara I Tingkat Provinsi Sulut untuk lomba modeling, selanjutnya mengikuti lomba modeling tingkat nasional. Peserta SMA putri jenis ketunaan Tuna Rungu. Tahun 2012 Juara I Tingkat Provinsi Sulut untuk pertandingan Bulu Tangkis Putra, selanjutnya mengikuti pertandingan Bulu Tangkis tingkat nasional di Palembang. Peserta Putra SMA, jenis ketunaan Tuna Rungu. Pada Tahun yang sama juara I Tingkat Provinsi Sulut untuk lomba modeling, selanjut mengikuti lomba modeling tingkat nasional di Palembang. Peserta Putri SMA jenis ketunaan Tuna Rungu. Tahun 2013, Sukses melaksanakan perkemahan SLB se-Sulawesi Utara selama tiga hari melalui wadah Forum Komunikasi SLB SeProvinsi Sulut, berlokasi di SLB Kasih Angelia Bitung dengan jumlah peserta sebanyak 400 orang.

29


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Tahun 2014, Juara I Tingkat Provinsi Sulut untuk lomba IT, selanjutnya mengikuti lomba tingkat nasional di Jakarta mendapat juara harapan 1. Peserta Putra SMA jenis ketunaan Tuna Rungu. Tahun 2015, Juara I lomba IT Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti lomba tingkat nasional di Jakarta, masuk 10 besar. Putra SMA Tuna Rungu. Tahun 2015, Juara I lomba MIPA Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti lomba di Tingkat Nasional di Jakarta. Peserta Putri SDLB Tunarungu. Tahun 2016, Juara 1 Lomba Modeling Putra Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti lomba di tingkat Nasional di Jakarta, mendapat juara harapan 1. Putra SMALB TunaRungu. pada Tahun yang sama juga mendapat Juara 1 Lomba Tata Boga Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti lomba tingkat Nasional di Jakarta. Putri SMPLB TunaRungu. Tahun 2017, Juara 1 Lomba Desain Grafis Tingkat Provinsi, Selanjutnya mengikuti Lomba di Tingkat Nasional di Jakarta, masuk 10 besar. Putra SMALB TunaRungu. Di tahun yang sama, juga juara 1 Lomba Kecantikan Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti lomba di tingkat Nasional di Jakarta. Putri SMPLB TunaRungu. Tahun 2018, Juara 1 Lomba Desain Grafis Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti Lomba di Tingkat Nasional di BABEL, mendapatkan Harapan 1. Putra SMALB TunaRungu. Di tahun yang sama, juara 1 Lomba Kecantikan Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti Lomba di Tingkat Nasional di Jakarta. Juara 1 Lomba Cipta Puisi Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti Lomba di Tingkat Nasional di Jakarta. Juara 1 Lomba Mendongeng di Tingkat Provinsi Sulut, selanjutnya mengikuti Lomba di Tingkat Nasional di Jakarta masuk 12 besar. Putra SDLB Autis. ***

30


Angelia dalam Suatu Keikhlasan, Ketulusan, dan Harapan

Jumlah siswa di SLB Kasih Angelia Bitung sampai dengan tahun 2018 sebanyak 52 siswa tingkat SDLB, 33 siswa SMPLB, dan 18 siswa SMALB. Dengan demikian secara keseluruhan berjumlah 103 siswa. Sedangkan guru pengajar berjumlah 16 guru dengan rincian, 6 guru PNS yang di perbantukan, dan 10 guru yang di biayai oleh yayasan. SLB Kasih Angelia Bitung berkomitmen akan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas pelayanan bagi anak-anak berkebutuhan khusus agar mereka dapat mandiri bahkan memberikan kontribusi bagi kemajuan pembangunan demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Semoga.

31


CERITA DARI ORANG-ORANG SPESIAL DI TANAH MANADO Selvy Anggriani Syarif

Konsep “belas kasih� dan ajaran Kristen merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kedua hal inilah yang juga terlihat dalam kehidupan keseharian di beberapa sekolah luar bisa (SLB) yang kami kunjungi di Manado. Sekalipun tidak semua SLB yang ada di Manado berada dalam naungan yayasan gereja, tetapi spirit Kristus sebagai penyebar ajaran cinta kasih terhadap sesama menjadi pegangan dari beberapa guru dan pihak lainnya berani menghibahkan dirinya memberi kasih sayang kepada anak-anak berkebutuhan khusus. Dari tujuh SLB yang ada di Manado, enam di antaranya berhasil kami kunjungi, yaitu SLB YPAC Manado, SLB A Bartemeus Manado, SLB Nazareth Tuminting Manado, SLB Autis Permata Hati, SLB Autis AGCA Centre, dan SLB Hizkia. Beberapa guru dan tenaga pendidik yang mengabdi di sekolah-sekolah di atas memberi penjelasan bahwa kehadiran mereka mendidik, menjaga, dan mengajarkan banyak hal kepada anak-anak berkebutuhan khusus adalah karena panggilan hati atas dasar belas kekasih terhadap sesama. Bagi mereka, pengorbanan Kristus mengharuskan dirinya melakukan pengorbanan dalam bentuk yang berbeda. Seorang wali kelas di SLB A Bartemeus Manado berbagi cerita di saat melihat-lihat pojok baca di beberapa kelas, “Jadi, semua torang di sini adalah pelayan. Guru-guru di sini untuk kebaikan, betul-betul supaya anak-anak bisa lebih baik. Mungkin torang di sini yang terpanggil, jadi 32


Pojok Baca SLB Permata Hati Manado

harus sabar.� SLB A Bartemeus Manado, awalnya merupakan sekolah yang dikhususkan untuk anak tunanetra. Namun, karena makin banyak orang tua yang bersedia menyekolahkan anak mereka yang memiliki kebutuhan khusus, maka pihak sekolah juga sudah mulai menerima anak yang memiliki kebutuhan khusus dengan jenis lainnya. Banyaknya orang tua yang ingin menyekolahkan anaknya yang berkebutuhan khusus karena mereka mulai sadar atas hak anak mereka untuk mengenyam pendidikan, bagaimanapun kondisinya. Selain itu, SLB A Bartemeus Manado sama sekali tidak memungut biaya untuk setiap proses pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak, menjadi alasan utama banyak orang tua memasukkan anaknya bersekolah di sini, termasuk yang berasal dari Poso, Ternate, dan wilayah lain yang berada cukup jauh dari Manado. Gambaran Manado sebagai kota toleran berdasarkan Indeks Kota Toleran (IKT) Setara Institute tahun 2017 jelas terlihat di sejumlah sekolah yang kami kunjungi. Tidak sedikit guru beragama Islam yang turut mengabdikan diri mendidik anak berkebutuan khusus di sekolahsekolah yang menjadikan spirit cinta kasih Kristus sebagai landasan 33


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

awal berdirinya. Tidak sedikit pula anak-anak beragama Islam yang bersekolah di sana, dan diperlakukan sama dengan anak-anak lain yang beragama Kristen. Seperti di SLB YPAC Manado, semua anak diberikan kesempatan yang sama mempelajari agama yang dianut pada jam pelajaran Pendidikan Agama dengan menempati ruang belajar agama masingmasing. Bahkan masing-masing agama memiliki alat ajar berupa bentuk rumah peribadatan agama lain, agar anak-anak memahami sedari dini bahwa ada orang lain dengan agama berbeda yang tetap harus kita hormati dan hargai. Hal tersebut disampaikan oleh seorang ibu guru yang mengajarkan mata pelajaran agama di SLB YPAC Manado, ketika saya tanyai mengapa ada figur masjid, klenteng, dan kuil di ruang kelas agama Kristen. Alasan bahwa seluruh umat manusia adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Esa menjadi pegangan bagi seluruh pihak, sehingga semuanya tetap saling menghargai satu sama lain. Maka tidak heran, jika selama kami berada di Manado tidak pernah terdengar istilah mayoritas dan minoritas. Kekhususan yang dimiliki anak-anak berkebutuhan khusus, membuat guru-guru dan tenaga pendidik yang memilih berbagi kasih sayang di sekolah luar biasa harus memiliki kesabaran ekstra. Masingmasing anak memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan terkesan emosional. Seperti di SLB A Bartemeus, beberapa anak dengan kebutaan total masih sangat tertutup dan sulit berinteraksi dengan orang lain. Bahkan ada seorang anak yang awalnya memiliki penglihatan, tetapi sebuah penyakit datang mengambil seluruh penglihatannya. Butuh setahun lebih untuk mengembalikan kepercayaan dirinya dan kembali bersekolah, tetapi masih agak panjang proses yang harus dilalui untuk kembali membuka diri saat berinteraksi dengan banyak orang. Hal serupa ditemui di SLB Nazareth Tuminting Manado yang sebagian besar anak didiknya memiliki ketunaan pendengaran (tunarungu) dan ketunaan karena hambatan gerak (tunadaksa). Kekhususan yang dimiliki 34


Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

ini membuat anak-anak merasa minder dan kurang percaya diri, karena keterbatasan kemampuan berkomunikasi. Namun, berkat dorongan guru dan semakin meningkatnya kemampuan anak-anak menggunakan bahasa isyarat membuat kepercayaan diri anak terus meningkat dan mulai membuka komunikasi dengan anak-anak yang bersekolah di SD GMIM yang berada satu lokasi dengan SLB Nazareth Tuminting. Bu Ria selaku kepala sekolah SLB Nazareth menuturkan bahwa setelah jam sekolah selesai dan orang tua mereka belum datang menjemput, anak-anak kadang berbincang dengan orang-orang yang tinggal di sekitar sekolah dengan bahasa isyarat. Kondisi ini menunjukkan penerimaan masyarakat luas terhadap kondisi anak berkebutuhan khusus cukup baik. SLB Autis Hizkia, SLB Autis Permata Hati, dan SLB Autis AGCA Centre yang menangani khusus anak-anak autis memiliki kesulitan sendiri. Karakteristik dan perilaku anak autis yang kadang sulit ditebak, tentu membutuhkan penanganan tersendiri dari guru-guru. Apalagi anak autis memiliki kecenderungan dengan aktivitas sehari-hari yang teratur, sehingga jika salah satu saja aktivitas saja tidak dilakukan bisa membuat tidak senang dan melakukan hal yang tidak biasanya. Kesabaran guru di sini begitu dibutuhkan yang harus ditunjukkan dalam sikap dan bertutur, agar anak tetap nyaman kembali bersekolah keesokan harinya. Kondisi-kondisi di atas juga mudah ditemukan di SLB YPAC Manado. Sekolah ini berada di bawah yayasan milik Pemerintah Sulawesi Utara yang menerima anak-anak dengan beragam ketunaan. Sekolah ini menjadi sekolah yang paling luas dan memiliki banyak ruangan dibanding sekolah-sekolah lainnya yang kami kunjungi. Kondisi ini mengharuskan guru untuk lebih menjaga dan memperhatikan anak didik mereka. Emosi anak yang kadang meledak-ledak mengharuskan guru harus terus mengawasi anak didik mereka, sekalipun anak-anak sedang berada di luar kelas. Hadirnya Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di tingkatan Sekolah Luar Biasa menjadi cambuk bagi semua guru dan kepala sekolah untuk 35


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

terus berkreasi dan berinovasi. Bagi mereka, gerakan ini memudahkan kerja dan pengabdian yang dilakukan dan berdampak positif terhadap kemandirian anak. Awalnya GLS ini mulai bergaung ketika SATGAS GLS SLB di Sulawesi Utara terbentuk. Sekalipun tidak pernah ada pertemuan atau rapat langsung bersama seluruh sekolah luar biasa seprovinsi Sulawesi Utara, tetapi komunikasi para kepala sekolah tetap terjalin, bahkan info terbaru berkaitan dengan GLS terus dibagikan di grup Whatsapp kepala sekolah di jajaran PKLK (Pendidikan Khusus dan Pelayanan Khusus) Sulawesi Utara. Dari grup Whatsapp itulah kepalakepala sekolah mengetahui gerakan membaca 15 menit dan keharusan adanya pojok baca di sekolah dan di setiap kelas sebagai bagian peningkatan literasi di sekolah. Saat Ria Mokoagow terpilih sebagai Ketua SATGAS GLS SLB Sulawesi Utara, ia segera mengarahkan agar setiap sekolah membentuk SATGAS GLS dan menjalankan aktivitas literasi selama 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Sekalipun belum semua sekolah mengSK-kan pembentukan SATGAS GLSnya, akan tetapi di sekolah-sekolah tersebut telah ditunjuk beberapa penanggung jawab untuk kegiatan GLS. Biasanya masing-masing wali kelas menjadi penanggung jawab di kelas masing-masing. Secara umum, rangkaian kegiatan yang hadir di sekolah-sekolah luar biasa di Manado sebagai bagian dari gerakan literasi sekolah, yaitu adanya kegiatan membaca selama 5 hingga 15 menit ditambah didirikannya pojok baca dan pengoptimalan perpustakaan di beberapa sekolah. Lebih detailnya, kegiatan gerakan literasi sekolah di masingmasing SLB dideskripsikan di bawah. Di SLB YPAC Manado, setiap harinya dimulai dengan kegiatan apel pagi dan ibadah bersama seluruh siswa, guru, dan orang tua di lapangan sekolah. Kemudian anak-anak diarahkan oleh wali kelas masing-masing untuk memasuki kelas 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Anakanak masuk ke kelas lebih cepat 15 menit dimanfaatkan untuk membaca 36


Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

buku-buku yang tersedia di pojok baca kelas. Kegiatan membaca ini disesuaikan dengan ketunaan anak-anak, ada yang masih harus dibacakan nyaring oleh guru, ada juga yang mulai bisa membaca tulisan, ada pula yang menjadikan gambar sebagai alat bantu mengetahui jalan cerita pada buku. Buku yang paling sering dicari oleh anak-anak adalah buku cerita bergambar. Belum semua ruang kelas memiliki pojok baca dengan bacaan beragam, karena atas pertimbangan luas ruangan dan kondisi anak didik dalam kelas. Beberapa kelas yang memiliki pojok baca biasa hanya menggunakan meja sebagai tempat menyimpan buku, dan beberapa buku lainnya disimpan bersama buku pelajaran di dalam lemari kelas. Namun, cukup banyaknya ilustrasi berupa gambar yang ditempel di dinding, dan bervariasi alat ajar yang digunakan guru seperti figura atau poster yang dibuat sendiri oleh guru memperlihatkan guru-guru semakin giat mencari cara membiasakan anak didik mereka untuk berliterasi. Selain pojok baca kelas, ada dua pojok baca lainnya yang bisa diakses bersama oleh semua anak dan guru yang berada di ruang kepala sekolah dan di salah satu sudut koridor sekolah. Di SLB A Bartemeus juga tidak kalah meriahnya menggaungkan gerakan literasi. Saat pertama memasuki lingkungan sekolah, beberapa stiker yang berisi ajakan membaca mulai terlihat dari jauh. Tidak lupa logo gerakan literasi sekolah hampir terlihat di beberapa tempat strategis. Bu Maya Takaredas selaku kepala sekolah mengantarkan tim kami berkeliling melihat kondisi sekolah. Di setiap kelas telah memiliki pojok baca dengan koleksi buku awas dan buku Braille secara berimbang. Karena sebagian besar anak yang bersekolah di sini memiliki keterbatasan penglihatan, sehingga kehadiran buku Braille begitu penting. Selain itu, sekolah ini memiliki alat cetak buku khusus abjad Braille. Beberapa buku ajar menggunakan huruf Braille yang dipakai di sekolah-sekolah luar biasa se-Sulawesi Utara dan Gorontalo berasal dari percetakan yang beroperasi di sekolah ini.

37


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Setiap harinya, aktivitas warga sekolah dimulai dengan apel pagi dan ibadah bersama di lapangan sekolah. Setelah itu, khusus pada Senin dan Jumat diwajibkan membaca selama 5 menit sebelum jam pelajaran dimulai, sedangkan di hari-hari lainnya bersifat opsional. Satu pojok baca umum juga dibuat khusus di pintu masuk koridor kelas, sebagian besar bacaannya diperuntukkan untuk orang tua siswa yang mengantarkan dan menunggu anaknya di sekolah. Sekolah ini tidak lagi berada di titik pembiasaan berliterasi, tetapi telah mulai melakukan pengembangan. Terlihat bahwa ada beberapa anak yang pandai membaca buku Braille dan buku awas (bagi low vision) mulai aktif menulis cerita pendek atau puisi. Salah satu anak telah memiliki karya yang diterbitkan bersama karya anak berkebutuhan khusus lainnya di tingkat nasional. Selain itu, pengembangan literasi juga dilakukan lebih luas dengan melibatkan anak didik untuk berpartisipasi aktif di kegiatan sekolah, seperti ibadah. Beberapa anak akan ditunjuk sebagai pengisi acara dengan menyiapkan khutbah, yang memiliki kemampuan bernyanyi akan diminta menyanyikan kidung, dan yang pandai bermain musik akan mengiringi nyanyian bersama. Pelibatan ini dilakukan agar anak-anak terus memaksimalkan potensi dirinya. Apresiasi lain juga diberikan bagi anak-anak yang memiliki karya setiap minggunya dengan membacakan karya tersebut saat apel pagi berlangsung di depan seluruh warga sekolah. Tidak jauh berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, SLB Nazareth Tuminting yang berlokasi sama dengan sekolah umum juga mulai gencar melaksanakan gerakan literasi sekolah. Karena ruang kelas yang terbatas, pojok baca yang dimiliki sifatnya umum dan bisa diakses oleh semua pihak, termasuk anak didik dan orang tua siswa. Pojok baca inilah yang digunakan bagi anak-anak untuk membaca 15 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Anak tunarungu lebih banyak ada di sekolah ini, sehingga proses membaca lebih maksimal dilakukan dengan menggunakan alat bantu gambar atau dengan menggunakan bahasa

38


Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

isyarat. Proses refleksi dari hasil membaca pun disampaikan anak-anak melalui gambar kepada gurunya. Kegiatan rutin ini memberi pengaruh tersendiri bagi anak, apalagi ketika guru-guru terus memacu anak untuk berkarya sebagai proses refleksi dari membaca 15 menit. Beberapa anak mulai menunjukkan kesenangannya terhadap seni gambar. Pihak sekolah pun telah berencana mengikutkan seluruh karya anak didiknya pada kegiatan SLB Expo tahun depan. Apel pagi juga menjadi aktivitas pembuka setiap hari di SLB Autis AGCA Centre, dilanjutkan dengan membaca 15 menit di pojok baca bersama. Pojok baca di sekolah ini lebih mirip dengan perpustakaan tanpa banyak susunan kursi, tetapi terlihat lebih berwarna dengan hiasan dinding dan banyak prakarya anak yang dipajang. Bagi orang tua, pojok baca juga disediakan di dekat tempat yang biasa digunakan untuk menunggu anak-anak mereka selesai sekolah. Karena di sekolah AGCA ini 90% anak didik adalah autis, sehingga tidak hanya guru yang punya peran penting di sini, orang tua pun diberikan ruang untuk berpartisipasi di seluruh kegiatan anak selama di sekolah, termasuk dalam 15 menit membaca. Pembiasaan merupakan kunci hidup bagi anak-anak autis. Hadirnya gerakan literasi sekolah setiap hari tentu menjadi pembiasaan baik bagi anak-anak ini. Sekali pun anak-anak didik di sini belum semua memiliki kemampuan membaca dengan baik, tetapi buku mulai menjadi bagian dari hidup mereka. Tidak utuh keseharian mereka, jika tidak melakukan aktivitas membaca 15 menit. Terkadang jika waktu membaca seharusnya telah dimulai, tetapi guru-guru belum mengarahkan anak untuk membaca, anak-anaklah yang langsung masuk ke pojok baca dan mengambil salah satu buku untuk dibacakan oleh pendamping mereka. Bu Olga Manapo sebagai kepala sekolah menjelaskan bahwa aktivitas membaca ini memberi dampak positif, anak-anak menjadi terbiasa dengan buku dan membawa kebiasaan ini di rumah, sehingga orang 39


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

tua mereka pun mau tidak mau akan terbiasa dengan buku bacaan yang digemari anak-anaknya. Selain itu, kegiatan membaca 15 menit ternyata meningkatkan konsentrasi anak saat jam belajar mengajar berlangsung. Anak-anak lebih lama bertahan di kelas mengikuti pelajaran selama GLS dilaksanakan di sekolah. Di SLB Hizkia yang juga fokus terhadap pendidikan anak autis mulai menjalankan aktivitas gerakan literasi sekolah. Pojok baca disediakan di semua kelas, tetapi dengan media yang masih terbatas. Bagi anakanak autis membaca masih menjadi hal sulit untuk dilakukan sendiri, sehingga guru masih harus membantu membacakan buku. Jika ada kesempatan, guru biasanya memutarkan film atau video yang anak-anak senangi, karena anak-anak lebih senang memperhatikan sesuai yang menayangkan audio visual. Ruang kelas yang kecil membantu guru mudah untuk mengawasi anak-anak didiknya yang jumlahnya juga cukup sedikit. Proses pembelajaran yang terjadi pun tentu makin dekat, perkembangan anak pun mudah dipantau. Efek baik dari hadirnya GLS adalah kemampuan bahasa anak makin baik, seperti bertambahnya kosakata yang bisa disebutkan dan semakin mudah mengapresiasikan dirinya sedikit demi sedikit. SLB Autis Permata Hati juga berfokus terhadap penanganan dan pendidikan anak autis dan down syndrome di Manado. Sekolah ini terbilang memiliki fasilitas yang cukup lengkap dan melaksanakan dua sesi pembelajaran: sesi pagi khusus untuk sesi pembelajaran formal dan sesi sore dikhususkan untuk terapi dan memberikan pengajaran bagi anak berkebutuhan khusus yang mengikuti sekolah formal di tempat lain. Anak autis dan down syndrome memerlukan penanganan khusus, dan tidak hanya guru yang harus mengetahui hal tersebut, orang tua pun diharuskan mengetahuinya. Sekolah ini tidak hanya memberikan pendidikan pada anak, tetapi juga mengharuskan orang tua mengetahui cara menangani anaknya, 40


Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

termasuk dalam melaksanakan diet kesehatan bagi anaknya. Karena makanan menjadi faktor pemicu keaktifan anak, sehingga membuat anak melakukan banyak hal yang sulit dikontrol. Gerakan literasi sekolah di SLB seharusnya menjadi pintu agar orang tua lebih melek terhadap pengetahuan menangani anak-anak mereka. GLS di SLB Permata Hati belum lama dijalankan. Ini berkaitan dengan kemampuan anak yang kadang sulit fokus dan lebih sering secara tiba-tiba melakukan aktivitas yang sulit dikontrol. Perpustakaan dengan koleksi buku yang cukup banyak telah lama ada, tapi tidak begitu dimanfaatkan. Pojok baca disediakan di dekat pintu masuk sekolah agar mudah diakses oleh anak-anak. Untuk tingkat SMALB juga telah ada pojok baca tersendiri, karena kemampuan mereka sudah cukup baik untuk dimanfaatkan sendiri. Hambatan terbesar dari pelaksanaan GLS di SLB Permata Hati adalah keterbatasan anak didik dalam kemampuan bahasa, sehingga guru-guru biasanya masih fokus dalam penambahan kosa kata anak dulu, khususnya pada kelas terapi. Penanganan anak berkebutuhan khusus tentu membutuhkan pelibatan banyak pihak. Sekalipun anak telah mengenyam pendidikan di SLB, tetapi pelibatan orang tua menjadi hal yang sangat penting. Namun, kenyataannya masih ada orang tua yang belum menerima kespesialan anak mereka, sehingga anak-anak berkebutuhan khusus akhirnya banyak yang terkurung di rumah saja. Anak-anak yang butuh penanganan khusus lebih awal akhirnya semakin tertinggal karena tidak menikmati pendidikan di sekolah. Beberapa kepala sekolah akhirnya berinisiatif mengunjungi beberapa keluarga yang memiliki anak berkebutuhan khusus untuk memberikan pemahaman pentingnya anaknya bersekolah. Orang tua yang memilih untuk membawa anak-anak mereka ke sekolah adalah sebentuk keberanian tersendiri. Lingkungan yang masih sulit menerima kespesialan anak berkebutuhan khusus tentu menjadi halangan besar. Kepala sekolah SLB Autis Permata Hati, Carol Samola, mengatakan bahwa pemikiran orang tua di Manado belum sepenuhnya 41


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

terbuka dan siap menerima kondisi anak-anak. Masih banyak orang tua yang menganggap kondisi anaknya sebagai sebuah aib yang tidak perlu diketahui oleh orang banyak, sehingga mereka hanya dikurung di rumah. Keberanian orang tua mengeluarkan anaknya untuk mengenyam pendidikan mengharuskan orang tua untuk banyak belajar menangani kebutuhan anak-anaknya. Sekolah menjadi pintu bagi orang tua untuk belajar banyak dari guruguru yang telah memiliki pengalaman mumpuni menangani anak-anak berkebutuhan khusus. Hal itupun dipahami oleh pihak sekolah, sehingga sekolah menyediakan pojok baca yang diperuntukkan bagi orang tua untuk menambah pengetahuan dasar menangani anak berkebutuhan khusus. Walaupun tidak semua orang tua menunggui anaknya hingga pulang sekolah, tetapi tampilan pojok sekolah yang menarik dan letaknya yang strategis dapat menarik minat orang tua membaca buku yang dibutuhkan sesuai dengan tanggung jawabnya dalam mengasuh anak berkebutuhan khusus. Pihak sekolah pun melibatkan orang tua dalam beragam aktivitas anak di sekolah. Di SLB Autis AGCA Centre, 15 menit membaca juga diikuti oleh orang tua dengan mendampingi anak-anak mereka. Kemudian di SLB A Bartemeus, pelibatan orang tua tidak hanya melalui komunikasi dua arah antara orang tua dan guru mengenai perkembangan anak mereka, tetapi ada kegiatan khusus seperti darma wisata bersama ke tempat-tempat yang bisa mendukung pembelajaran anak. Di SLB Nazareth Tuminting, orang tua terlibat jauh lebih dalam lagi di sekolah. Orang tua memiliki inisiatif tinggi untuk mengatur ruang belajar anaknya, agar anak tidak cepat bosan belajar. Pada hari-hari tertentu, orang tua juga bersama-sama menyiapkan makanan untuk anak dan guru di sekolah. Kehadiran pihak lain untuk mendukung gerakan literasi sekolah khususnya kegiatan belajar mengajar di SLB sangat dibutuhkan. Kegiatan literasi dan belajar mengajar tidak hanya berkaitan dengan adanya 42


Cerita dari Orang-Orang Spesial di Tanah Manado

sumbangan buku berdus-dus dari pemerintah atau swasta. Bantuan dalam bentuk lain bisa jadi lebih berguna untuk melatih kemandirian anak. Karena SLB menjadikan keterampilan anak sebagai ujung tombak kemandirian anak, pihak lain dapat memberikan bantuan berupa jejaring atau dukungan untuk membuka ruang apresiasi bagi hasil karya anak-anak ini. Anak-anak berkebutuhan khusus ini sebenarnya memiliki kemampuan lain yang lebih terasa, kemampuan mereka kebanyakan dekat dengan seni, seperti menyanyi, bermain musik, menggambar, membuat desain grafis atau menulis cerita pendek dan puisi. Kegiatan vokasi untuk meningkatkan kemampuan anak inilah yang dibutuhkan oleh sekolah. Beberapa sekolah dengan inisiatif sendiri mulai membangun komunikasi dengan pihak swasta untuk membuka kerjasama mendukung kegiatan vokasi bagi siswa-siswa mereka. Keahlian-keahlian inilah yang nantinya bisa menjadi bekal anak-anak berkebutuhan khusus untuk hidup mandiri selepas lulus sekolah nanti. Rutinitas yang ada di sekolah luar biasa memang jauh berbeda dari sekolah umum lainnya. Kemandirian bagi anak merupakan kunci penting yang ingin dicapai oleh bapak ibu guru yang begitu sabar menghabiskan waktunya berjam-jam di sekolah. Kami takjub dengan tingginya inisiatif dan inovasi yang dimiliki oleh bapak ibu guru di SLB yang kami kunjungi. Mereka dengan sukarela dan penuh semangat mencari tahu gerakan literasi sekolah di SLB itu seharusnya seperti apa, mencari bahan sendiri lewat internet, berbagi ilmu dan semangat di ruang obrolan Whatsapp, dan penuh kebanggaan mencari jalan agar karya anak didik mereka dikenal oleh banyak orang. Spirit semacam ini yang mungkin sulit ditemui di tempat lain, dan semoga segera tertular di seluruh pelosok negeri, agar anak berkebutuhan khusus hidup lebih mandiri dan tidak lagi dipandang sebelah mata.

43



MAKASSAR


SLBN 2 MAKASSAR DAN SLB YP3LB MAKASSAR Fakhiha Anugrah Prastica

Pada tahun 2003, saat Unesco mengeluarkan dokumen tentang literasi, Indonesia meresponnya dengan program pemberantasan buta aksara. Sebab saat itu, jumlah penduduk Indonesia yang masih buta aksara sangat besar, sekitar 16 juta orang. Pada 2015, ketika penduduk Indonesia yang melek aksara (baca-tulis-hitung) sudah mencapai sekitar 98%, maka pemerintah menjalankan program literasi melalui Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.1 Gerakan literasi sebenarnya sudah diterapkan sejak kepemimpinan Soeharto. Berdasarkan tuturan Kepala Sekolah SLB Negeri 2 Makassar, Drs. H. Ahmad, MM, ketika ia duduk di bangku sekolah dasar pada tahun 1972, banyak orang tua yang tidak tahu membaca dan minat membaca para siswa pun kurang. Pemerintah lalu menerapkan gerakan membaca buku. Tiap sekolah mendapat pasokan buku dari pemerintah. Jika kini istilah literasi menjadi kata “seksi� untuk menggambarkan kegiatan bacatulis-hitung (calistung) dan segala hal yang terkait dengan buku dan akses informasi, masa itu kata yang sering digunakan adalah aksara. Pasca kemerdekaan 1945, angka buta aksara (tidak bisa calistung) rakyat Indonesia sangat tinggi. Program keaksaraan dari pemerintah berfokus pada pemberantasan buta aksara dan pembangunan fasilitas 1

Billy Antoro. 2017. Sarasehan Literasi Sekolah. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hl. 6.

46


Kegiatan membaca di perpustakaan umum sekolah oleh siswa SMP dan SMA SLBN 2 ­M akassar

pendidikan. Pengentasan buta aksara melalui jalur pendidikan formal dilakukan dengan memberi akses seluas-luasnya kepada anak usia sekolah untuk bersekolah. Tahun 1973, Pemerintah Orde Baru menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar. Pada tahun-tahun berikutnya, diterbitkan Inpres yang mendukung Program Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar melalui penganggaran APBN. Infrastruktur dan fasilitas pendidikan dibangun dalam skala besar. Program ini berhasil menarik banyak anak usia sekolah ke bangku sekolah. Anak yang masuk sekolah diasumsikan akan bisa calistung.2 Di Kota Makassar, Gerakan Literasi Sekolah (GLS) lahir tahun 2016, diluncurkan oleh Walikota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto di SMA Negeri 17 Makassar. Selain sekolah tersebut, ada tiga sekolah lainnya yang menjadi titik awal GLS, yakni SMA Islam Athirah, SMA Negeri 5 Makassar, dan SMA Tinggi Moncong Gowa. 2

illy Antoro. 2017. Gerakan Literasi Sekolah dari Pucuk hingga Akar sebuah refleksi. B Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, hl. 14.

47


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Pada tahun yang sama, Wali Kota memberi perhatian literasi terhadap penyandang disabilitas, khususnya tuna netra. Bentuknya melibatkan 50 ribu siswa di Makassar untuk mengetik ulang buku mata pelajaran ke dalam huruf braille yang kemudian dibagikan gratis. Kegiatan ini masuk dalam rangkaian Hari Ulang Tahun ke-409 Kota Makassar serta peringatan Hari Pahlawan 10 November. “Literasi sangat penting bagi peradaban bangsa. Tanggung jawab pemerintah untuk mencerdaskan warganya, termasuk penyandang disabilitas dengan menyediakan buku bacaan yang berkualitas,” kata Wali Kota dalam sambutannya.3 Setahun kemudian, bertepatan Hari Literasi Internasional, 8 September 2017, penggagas Gerakan Indonesia Membaca dan Menulis, Bachtiar Adnan Kusuma, menggugat bahwa pasca pencanangan GLS secara nasional, gaung gerakan menumbuhkan literasi sekolah seolaholah redup. Padahal APBN telah mengakomodinir meluncurkan anggaran di setiap sekolah percontohan literasi sebanyak Rp125 juta.4 Beda halnya dengan Sekolah Luar Biasa (SLB). GLS baru dicanangkan pada tahun 2018, berdampingan dengan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang menjadi bagian dari kurikulum 2013 atas kebijakan pendidikan yang tujuan utamanya adalah untuk mengimplementasikan Nawacita Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam sistem pendidikan nasional.5 Wakasek SLB Negeri 2 Makassar, Amir, utusan SLB Negeri 2 Makassar dalam mengikuti sarasehan program PPK di Bali pada akhir September 2018, yang merupakan anggota satuan tugas GLS Sulawesi Selatan, mengungkapkan, “Ada juga disebut literasi waktu sarasehan di Bali.”

3

4

5

h ttps://www.edunews.id/literasi/dukung-gerakan-literasi-wali-kota-makassarkerahkan-50-ribu-pelajar, diakses pada 12 Desember 2018, 03.13 Wita. https://matarakyatmu.com/2017/09/08/gerakan-literasi-sekolah-digugat-bak-inipenyebabnya/, diakses pada 12 Desember 2018, 03.25 Wita. http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/?p=597, diakses pada 12 Desember 2018, 03.45 Wita.

48


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Program PPK memfokuskan pada perubahan cara berpikir, bersikap, dan bertindak menjadi lebih baik. PPK lahir karena kesadaran akan tantangan ke depan yang semakin kompleks dan tidak pasti, sekaligus melihat ada banyak harapan bagi masa depan bangsa. Maka dari itu, kualitas karakter merupakan salah satu aspek untuk membangun Generasi Emas 2045, disertai kemampuan dalam aspek literasi dasar dan kompetensi abad ke-21. Literasi dasar berbicara bagaimana siswa dapat menerapkan keterampilan dasar sehari-hari terkait literasi bahasa, literasi numerisasi, literasi sains, literasi digital yang mencakup teknologi informasi dan komunikasi, literasi finansial, dan literasi budaya serta kewargaan.6 Dapat dikatakan, GLS tidak jauh-jauh dari program PPK, karena adanya unsur literasi di dalamnya. Kedua program tersebut saling terkait dan menjadi bagian dari upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam meningkatkan kualitas pendidikan serta kualitas para siswa di Indonesia. GLS SLB di Makassar hanya melibatkan beberapa sekolah yang ada: SLB Negeri 2, SLB Laniang, SLB Arnadya, dan SLB YP3LB. Keempat sekolah tersebut berlokasi di wilayah Kota Makassar. Namun, ada sederet nama anggota yang mengisi tiap bagian tugas yang tercantum dalam SK keanggotaan Satgas GLS Sulawesi Selatan. Nama-nama tersebut tidak disertai sekolah tempatnya mengajar. Sehingga, hanya ada lima sekolah yang dapat diidentifikasi dan ditelusuri seperti apa kegiatan GLS yang berlangsung di sekolah tersebut. Dari lima SLB di Makassar yang menyelenggarakan GLS, saya menelusuri bentuk-bentuk kegiatan literasi yang dilaksanakan di dua SLB swasta, yakni SLB Negeri 2 Makassar dan SLB YP3LB. Keduanya berlokasi di Kecamatan Biringkanaya.

6

http://cerdasberkarakter.kemdikbud.go.id/?page_id=132, diakses pada 12 Desember 04.02 Wita.

49


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Guru SLBN 2 Makassar mendampingi siswa SD dalam kegiatan literasi

SLB YP3LB beralamat di Jalan Soppeng Raya, Kelurahan Sudiang Raya, bangunan sekolah berada di sebelah kiri Âą30 meter dari gapura selamat datang. Pelang sekolah berada tepat di bagian atas pintu masuk, tertempel pada tembok berlapis tegel hijau muda. SLB Negeri 2 Makassar beralamat di Jalan Pahlawan, Kelurahan Bulurokeng, kawasan sekolah bersebelahan dengan RSUD Sayang Rakyat. Gapura sekolah bertulis Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan, Dinas Pendidikan, SLB Sentra PK-PLK SLBN Makassar. SLBN 2 Makassar

Minat membaca kini terbilang sangat kurang. Pada Zaman Reformasi, minat baca masyarakat memang sudah rendah. Alasannya, karena pada 50


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

masa itu masih banyak masyarakat yang buta aksara atau tidak tahu membaca. Untuk menangani kondisi tersebut, para orang tua ditampung dalam satu rumah untuk diajar membaca. Beda halnya fenomena yang terjadi sekarang, di zaman teknologi semakin berkembang dan sebagian besar menguasai kehidupan manusia. Kecenderungan pelajar dan mahasiswa mempergunakan gawai sebagai media membaca informasi dan mencari bahan materi belajar untuk mengerjakan tugas. Lewat berbagai aplikasi media sosial, masyarakat dimudahkan menggali informasi apa saja dalam waktu singkat. Ini menjadikan keberadaan buku lambat laun akan tersingkirkan. Bukubuku mulai tidak terjamah disebabkan waktu yang habis digunakan bercengkerama dengan dunia maya. Namun bagi Pak Ahmad, buku membuka peradaban, terdapat lebih banyak hal di dalam buku. Pak Ahmad memang yang mencintai buku. Semasa muda, ia habiskan menikmati waktu dengan membaca buku-buku yang dibaca oleh para pemimpin negara. “Kalau mau jadi pemimpin, harus banyak membaca,� pesannya. Pak Ahmad memimpin SLB Negeri 2 Makassar sejak tahun 2007. Sebelumnya, selama 33 tahun, ia menjadi kepala sekolah di SLB Tuna Netra Ujung Pandang Baru, sekarang SLB YAPTI. Perjalanan panjangnya menjadi kepala sekolah membuat Pak Ahmad mengetahui semua SLB yang ada di Sulawesi Selatan yang berjumlah 25 sekolah berstatus negeri. Tiap daerah memiliki satu SLB negeri, kecuali Makassar yang memiliki dua sekolah: SLBN 1 Pembina dan SLBN 2. Begitupun dengan orang-orang yang menjadi pengajar di SLB tersebut. “Orang baru datang di Makassar kalau tidak kenal sama saya,� kata Pak Ahmad, seraya menyebut tiga tahun lagi akan pensiun dan beralih profesi. Pelaksanaan GLS di SLBN 2 Makassar dikelola oleh Pak Amirullah sebagai koordinator. Kepala sekolah hanya sebagai pengawas dan tempat koordinasi jika ada kendala dalam pelaksanaan GLS di sekolah. 51


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Pak Ahmad menjelaskan fungsi kepala sekolah, yakni manajerial, kewirausahaan, dan evaluasi supervisi. Untuk pelaksanaan program seperti itu, Pak Ahmad menyerahkan kepada guru dengan harapan mereka dapat berkembang. Jika Pak Amir bertanggungjawab secara keseluruhan dalam pelaksanaan kegiatan literasi di sekolah yang dilaksanakan setiap Sabtu. Untuk kegiatan literasi di tiap kelas, wali kelas yang bertanggung jawab sebagai pelaksana, mengalokasikan 15 menit sebelum mulai kegiatan belajar mengajar, dengan membaca buku di sudut baca yang tersedia di dalam kelas. Menjelang masa pensiunnya, Pak Ahmad hanya ingin menggunakan waktunya sebagai guru dan kepala sekolah sesuai fungsinya. Waktu luangnya dipakai untuk kegiatan di luar sekolah yang bermanfaat bagi orang lain, seperti mengikuti perkumpulan nelayan di Pelabuhan Paotere, ikut kegiatan bertani, dan menjadi pengurus mesjid. Dengan ikut perkumpulan nelayan, Pak Ahmad mencoba memberi mesin tempel kapal kepada para nelayan. Karena itu, Pak Ahmad tidak perlu membeli ikan, para nelayan sering memberinya ikan secara cuma-cuma. Dalam proses belajar mengajar, sekolah membuat program utama yang mesti dicapai, di antaranya kemandirian. “Jika hanya akademik yang dikejar, siswa yang lulus dari sekolah mau jadi apa,� jelas Pak Ahmad. Selain itu, siswa diharapkan mampu beradaptasi karena akan hidup bermasyarakat. Mereka seharusnya mendapat penerimaan yang baik dari masyarakat, tanpa ada stigma ‘orang gila’ untuk mereka. Bukan hanya masyarakat yang diharapkan dapat menerima, sebaliknya mereka juga disiapkan agar mampu memahami masyarakat. Kemandirian menuntut siswa dapat melakukan sesuatu sendiri. Karena itu pula, porsi pelajaran keterampilan lebih banyak dibanding akademik untuk siswa SMP dan SMA. Siswa SD sudah diperbolehkan pulang pada jam 11.00. Siswa SMP dan SMA masih tetap tinggal di sekolah melanjutkan pembelajaran keterampilan bekal hidup sampai pukul 14.00. Tersedia ruangan tempat produksi di area sekolah, antara 52


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

lain bengkel boga, bengkel busana, bengkel otomotif, dan bengkel tata rias kecantikan. SLB juga menerapkan terapi, yakni terapi akademik untuk perkembangan kognitif siswa, terapi fisik sensori motorik untuk siswa tuna daksa, terapi wicara untuk menstimulasi organ mulut bagi siswa yang terlambat berbicara dan membantu siswa yang belum jelas artikulasinya, dan terapi makanan untuk siswa autis, terkait makanan apa saja yang cocok dikonsumsinya supaya tidak menyebabkan tantrum atau mengamuk tiba-tiba. Kantin sekolah dikelola secara mandiri oleh siswa SMP dan SMA yang dianggap mampu. Namun tidak semua siswa dapat membuat makanan dan menjualnya di kantin sekolah; akan dipilahpilah terlebih dulu sesuai standar kelayakan sekolah. Menurut Pak Ahmad, pemilihan program terapi disesuaikan kebutuhan anak. Jika tidak, hasilnya tidak akan optimal—malah merusak anak-anak. Hanya saja, di SLBN 2 belum memiliki terapis untuk memenuhi kebutuhan terapi siswa tuna daksa dan tuna wicara. Terapi makanan juga belum diterapkan. Terapi tersebut hanya diterapkan di sekolah yang dibangun oleh Pak Ahmad bernama Yayasan Autis Bunda, dibangun tahun 2013 dan dikelola oleh istri Pak Ahmad. Sekolah ini berada di dalam Perumahan Berdikari, tidak jauh dari SLBN 2 Makassar. Pak Ahmad mengatakan, sebenarnya SLB Negeri 2 Makassar bisa memfasilitasi adanya terapis di sekolah. Dulu ada akademi terapi yang meminta kerjasama dengan sekolah, tapi sayangnya tidak pernah muncul lagi. Orang tua yang peduli dengan perkembangan anaknya akan mengupayakan berbagai cara, seperti mengikutkan anaknya dalam program terapi demi pencapaian kemampuan. Pendirian Yayasan Autis Bunda merupakan bentuk kecintaan Pak Ahmad terhadap Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Pak Ahmad berprinsip bahwa apa yang menjadi profesinya harus dicintai. “Kalau profesi tidak dicintai, tidak jadi pekerjaan,� jelasnya.

53


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Hanya segelintir orang mau melayani ABK. Profesi guru anak berkebutuhan khusus adalah pilihan yang mesti dipertanggungjawabkan. Kebanyakan orang menjadikan profesinya hanya untuk mencari hidup. Pak Ahmad tidak ingin seperti itu. Baginya, di samping hidup karena PNS, Pak Ahmad juga menghidupkan profesinya. Pilihannya menempuh bangku perkuliahan di IKIP, sekarang UNM, di Jurusan Pendidikan Luar Biasa tahun 1987 bukan sekadar paksaan. Penerimaan siswa baru dibuka sepanjang semester, tapi ditutup bila sekolah sudah melaksanakan ujian semester. Dalam penerimaan siswa baru, sekolah memerlukan data pribadi, data orang tua, dan data pendukung dari calon siswa, yakni data keseharian siswa dan data diagnosis dari dokter. Sebelum diterima, anak berkebutuhan khusus yang didaftarkan harus melalui tahap assesment atau observasi. Semua data yang diterima sekolah akan dipelajari, dikelola, dan dipertimbangkan. Pada tahap observasi, hal yang dilihat dari siswa adalah tingkat gangguan yang dimiliki siswa, baik kognitif, emosi, dan sosial. Tidak sama dengan sekolah reguler, tujuan diadakan assesment awal untuk mengetahui pelayanan pendidikan atau terapi seperti apa yang mesti diberikan kepada siswa agar, ada pembanding dan alat ukur seberapa besar perubahan siswa selama bersekolah di SLBN 2 Makassar. Alhasil, banyak di antara siswa yang bila dilihat sekilas kelihatan seperti layaknya anak ‘normal’. Gangguan yang dimiliki tidak tampak. Namun, ketika berinteraksi dengan mereka, dapat ditemukan bahwa mereka tidak seperti anak umumnya atau berkebutuhan khusus. Sejak tiga tahun terakhir, SLBN 2 Makassar sudah tidak menerima siswa umum non ABK. Rumitnya pengurusan ketika ujian nasional membuat sekolah angkat tangan. “Susah urusnya, rumit kalau ujian,” jelas Pak Ahmad. Bagi siswa umum yang diterima akan menjadikan siswa ABK sebagai teladan. Mereka menganggap bahwa ABK dengan segala keterbatasan yang dimiliki tidak berbuat nakal. Siswa umum yang mampu mengelola 54


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

pikiran dan emosinya dengan baik, akan malu bila berbuat nakal. Alasan banyaknya siswa umum yang ingin mendaftar karena biaya sekolah yang gratis. Orang tua hanya mengantar siswa mendaftar, diterima, dan bersekolah. Urusan seragam, buku, dan perlengkapan lainnya ditanggung pemerintah. Kebanyakan mereka yang mendaftar berasal dari keluarga tidak mampu, yang kebanyakan dari pegawai gudang dan industri yang ada di kawasan jalan tol yang rata-rata pendapatannya Rp50 ribu/hari. Pak Ahmad menghitung, pendapatan sebesar itu tidak cukup bila keluarga bersangkutan memiliki lima anak. Untuk biaya harian seperti makan saja tidak mencukupi, apalagi menyekolahkan kelimanya. Menurut perkiraan Pak Ahmad, orang tua minimal harus berpendapatan Rp350 ribu/hari untuk mencukupi kebutuhan hidupnya menghidupi lima orang anak. Siswa yang ada di SLB Negeri 2 Makassar diklasifikasikan ke beberapa jenis: tuna grahita, tuna rungu, tuna daksa, dan autis. Hanya tuna netra yang tidak ada karena kecenderungan tuna netra diasramakan. SLBN 2 sebenarnya mempunyai bangunan yang dipersiapkan untuk asrama, namun beberapa di antaranya tidak layak huni. Ditambah lagi, mengasramakan siswa tidak menjadi tanggung jawab pemerintah. Sehingga sekolah belum melakukannya karena dibutuhkan dana lebih untuk keperluan, seperti tenaga juru masak yang akan menyiapkan makanan bagi penghuni asrama. Untuk penempatan kelas, ada jenis gangguan yang tidak digabung sebab berbeda cara belajarnya, bagaimana yang dilakukan di SLB YP3LB. Hanya saja, satu ruang yang tersedia di SLB Negeri 2 Makassar digunakan untuk beberapa kelas dengan cara disekat-sekat. Hanya sedikit siswa dalam satu kelas; paling banyak 5 siswa. Pagi 21 November 2018, sehabis hujan deras mengguyur Makassar, dari tempat saya memarkir motor, tanah merah basah berbatu kecilkecil, di bawah sebuah pohon yang ranting berdaunnya menyentuh atas 55


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

kepala. Tiga ibu duduk di bangku kayu depan ruangan yang sebagian plafonnya terlepas, terjuntai ke bawah memperlihatkan kayu rangka atap bangunan. Ada yang sudah bersama anaknya dan bersiap meninggalkan tempat, ada juga yang tampaknya masih menunggu anaknya selesai belajar. Saya berdiri melihat ke dalam ruangan bekas aula mini SLBN 2 yang dibangun sejak tahun 1986. Menurut Kepala Sekolah, bangunan itu belum pernah direhab, hanya dipoles dengan mengecat bagian dinding yang kusam. Aula itu adalah ruangan kosong tanpa perabotan dengan debu tebal di lantainya. Melangkah ke kiri ruangan terlihat pagar besi hitam yang terbuka ke dalam. Sepanjang lorong koridor bertegel putih, terbaca ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, ruang guru pada selembar kertas persegi panjang tertempel di atas pintu tiap ruangan yang berjejer, ruangan yang dipisah dengan sekat tembok. Di depan ruangan, ada halaman dengan paving blok yang lebih rendah dari lantai koridor. Di situ berdiri sebuah gazebo kayu. Berjalan lebih jauh lurus ke belakang, dapat ditemui tiga kali persimpangan ke kanan. Yang ketiga mentok di depan ruangan Unit Kesehatan Siswa yang pintunya tertutup rapat. Berbelok ke kanan, ruangan paling ujung kiri tampak ramai. Rupanya, kata Pak Amirullah, baru selesai kegiatan Maulid Nabi. Pak Amirullah, anggota satgas GLS SLB Sulawesi Selatan, merupakan Wakil Kepala Sekolah SLBN 2 Makassar sekaligus koordinator GLS sekolah itu. Pak Amir bertugas mengoordinir kegiatan literasi yang dilaksanakan tiap Sabtu di dalam perpustakaan sekolah. Pada Sabtu pagi, mengawali kegiatan belajar di dalam kelas, semua siswa SD, SMP, dan SMA masuk ke perpustakaan untuk membaca. “Kalau Senin sampai Jumat, literasinya di dalam kelas; membaca dulu sebelum belajar. Di kelas ada pojok baca, buku-bukunya diambil dari perpustakaan sekolah,� tambah Pak Amir.

56


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Pak Amir yang menjadi utusan sekolah dalam pelatihan PPK di Bali akhir September 2018, menjelaskan bahwa GLS bagian dari PPK. “Itu GLS sama PPK. Mirip-mirip ji programnya. Hanya beda nama. Sebelum ada GLS, lebih dulu diterapkan PPK di sekolah ini. Malahan lebih sering dilaksanakan kegiatan PPK. Saya juga koordinator PPK, jadi sekalian mi juga dengan GLS atas perintah kepala sekolah,” jelas Pak Amir. Pengurus GLS SLBN 2 Makassar belum dilakukan pembentukan. Namun, kata Pak Amir, yang akan menjadi pengurus GLS adalah orangorang yang menjadi pengurus program PPK. Wali setiap kelas akan bertanggung jawab dengan literasi kelasnya. Sabtu pekan berikutnya, 24 November 2018, saya kembali datang ke SLB Negeri 2 Makassar. Sabtu itu bertepatan jadwal kegiatan literasi di sekolah. Tidak ada seorang pun siswa terlihat berkeliaran. Mereka semua berada di dalam perpustakaan sekolah. Perpustakaan sekolah memiliki tiga ruangan yang terpisah. Satu perpustakaan untuk jenjang SMP dan SMA. Dua perpustakaan untuk jenjang SD yang saling bersebelahan, berada di satu koridor sekolah yang sama. Jarak perpustakaan SD dan SMA berjauhan. Perpustakaan SMP dan SMA berada di dekat ruangan keterampilan, sedangkan perpustakaan SD berdekatan dengan ruangan kelas. Perpustakaan SMP dan SMA adalah perpustakaan umum di sekolah, atau bisa disebut pusat literasi sekolah. Buku-buku mata pelajaran lebih mendominasi isi rak-raknya. Tiap rak terdapat tempelan tulisan di selembar kertas kecil bertuliskan “tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, tuna netra”. Buku-buku itu disusun berdasarkan klasifikasi kebutuhan khusus siswa. Sebagian besar buku-buku itu dari pemerintah. Hanya beberapa dari sumbangan orang tua ataupun guru. Ada juga buku yang ditulis oleh guru dari sekolah yang disimpan. Pada hari-hari lain, terkadang mobil perpustakaan keliling milik Dinas Perpustakaan Kota datang ke sekolah

57


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

membuka lapak baca. Perpustakaan sekolah dikelola oleh Ibu Nurlina sebagai pustakawan sejak 2011, suaminya adalah guru sekolah. Mereka berdua tinggal di asrama yang dimiliki sekolah. Kata Ibu Nurlina, kegiatan membaca di perpustakaan tiap hari Sabtu belum lama diterapkan di sekolah, masih berjalan sebulan. Suasana perpustakaan SMP dan SMA sedang ramai. Selain siswa, ada juga beberapa guru yang duduk berdiskusi. Tiga sampai lima siswa duduk melantai membentuk kelompok-kelompok kecil yang didampingi masing-masing guru. Sang guru menuntun siswa membaca, ditunjuknya tiap kata. Bagi siswa tuna rungu, guru akan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa isyarat, membaca sambil memperagakan gerakan dengan tangannya, menunjukkan gerakan dari sebuah kata. Di perpustakaan SD, suasana ceria segera terasa. Berbagai hiasan gantungan yang berwarna-warni terpajang di dinding kuning lembut. Ada papan bicara tentang literasi berisikan ajakan untuk rajin membaca dan menggiatkan kegiatan literasi dalam kehidupan sehari-hari. Terpasang pula papan majalah dinding di satu sisi ruangan, berisi karya para siswa berupa gambar, kolase, dan anyaman kertas. Tiap sebulan sekali diperbaharui, diganti dengan yang baru agar para siswa rajin berkarya. Tertulis “hasil karyaku� pada bagian atas mading. Siswa dan guru duduk melantai di atas karpet hijau. Di tengah ruangan terdapat bangku dan kursi disusun membentuk huruf U. Tidak seorang pun di situ. Semua duduk melantai membentuk lingkaran. Setiap tiga siswa didampingi seorang guru. Ada yang mengajarkan angka-angka, ada yang belajar membaca dengan dua suku kata, ada pula yang sudah membaca buku cerita. Siswa yang belajar angka menggunakan puzzle dari kayu dan busa. Ada beragam buku bacaan yang penuh gambar dan warna di rak. Beberapa buku ada yang digantung pada seutas tali yang membentang di tembok, buku dijepit dengan penjepit kertas berwarna hitam berukuran sedang. Di samping buku yang tergantung, ada map kuning, merah jambu, dan hijau berisi karya seni para siswa. 58


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Kegiatan membaca hanya berlangsung 15 menit. Lebih dari itu siswa mulai tidak tenang duduk dan terjadi keributan, dengan siswa yang akan berteriak “sudah selesai saya baca� atau bahkan ada yang akan melempar buku yang dipegangnya ke sembarang tempat dan berlari keluar ruangan. Berbeda dengan siswa di sekolah reguler, siswa SLB hanya berkemampuan diam tidak lebih dari 15 menit, berdasarkan penjelasan Pak Ahmad. Ketika siswa mulai merasa bosan, dibawalah para siswa ke halaman sekolah. Siswa bebas bermain di situ. Namun, sebelum kegiatan membaca selesai, siswa diminta mengembalikan buku yang dibaca ke tempatnya mengambil. Ini salah satu upaya sekolah menanamkan disiplin kepada siswa. Kegiatan pada Sabtu itu tidak sebatas literasi di perpustakaan. Selesai membaca, para siswa melanjutkan kegiatan di luar kelas, yakni ekstra kulikuler pramuka. Semua siswa yang datang hari itu berkumpul di halaman sekolah depan ruang guru dan staf. Ada beberapa guru dan mahasiswa yang sedang PKL terlihat mengajari siswa tali temali. Kelompok laki-laki dan perempuan terpisah. “Hari Sabtu tidak banyak siswa yang datang ke sekolah. Hanya mereka dengan gangguannya tidak berat yang datang. Yang dikatakan berat adalah siswa tuna daksa, tuna grahita, dan autis yang biasanya merupakan siswa baru. Emosi belum terkontrol dengan baik,� terang Pak Ahmad. Selain itu ada beberapa siswa yang tinggal di daerah Maros, sehingga orang tua berpikir tidak mengantar anaknya karena tidak ada kegiatan akademik pada Sabtu. Walaupun tidak diadakan kegiatan akademik seperti hari lainnya, selesai berkegiatan pramuka, para siswa akan masuk ke dalam kelas dan guru akan meminta siswa menceritakan apa yang sudah dibacanya. Pak Ahmad menunjuk ke salah seorang siswa bertopi SMP yang sedang berdiri melihat siswa lain berkreasi dengan tali yang ada di tangannya. Katanya, siswa itu handal bercerita, berikan saja topiknya, dia akan mulai bercerita dengan bersemangat. 59


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Salat duha berjamaah oleh siswa SLB YP3LB

Pak Ahmad menegaskan untuk tidak melaksanakan kegiatan dari luar sekolah pada saat yang sama dengan permohonan izinnya. “Bila ada yang mau bikin kegiatan, jangan pada harinya baru bilang,� jelas Pak Ahmad. Pelaksanaan kegiatan sebuah program mesti disampaikan dari jauh-jauh hari agar sekolah bisa memfasilitasi bentuk sosialisasi kepada para siswa. Karena keterbatasan siswa dalam memahami sesuatu, diperlukan sosialisasi sedikit demi sedikit ke para siswa. Kalau mereka sudah paham, kegiatan tersebut mulai dijalankan. SLB YP3LB Makassar

Yayasan Penyelenggara Pembinaan Pendidikan Luar Biasa (YP3LB) merupakan salah satu SLB swasta di Kota Makassar. Meskipun berstatus 60


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

swasta, sekolah tersebut menerima dana BOS dari pemerintah. Sehingga, sekolah tidak memungut biaya sekolah untuk tiap siswanya. Tidak ada biaya tambahan, semisal iuran atau pungutan sumbangan kepada orang tua. Apabila ada kegiatan belajar keterampilan seperti memasak, pihak sekolah akan mempertimbangkan meminta biaya pengadaan bahan. Jika kegiatan itu dianggap penting dan perlu dilaksanakan, maka sekolah yang akan menyiapkan semua keperluannya. Sekolah melibatkan para siswa dalam program menabung. Disediakan celengan plastik beraneka bentuk oleh sekolah yang akan dibagikan kepada tiap siswa. Siswa memasukkan lembaran uang kertas atau kepingan uang koin ke dalam celengan yang dimilikinya. Apabila isi celengan sudah penuh, siswa berhak membuka dan membawa pulang isi celengan untuk diperlihatkan kepada orang tua masing-masing. Dengan dana BOS yang diterima SLB YP3LB, semua biaya digratiskan. Pengadaan baju seragam wajib yang berjumlah tiga pasang, yakni setelan putih merah, baju batik, dan setelan baju olahraga—diberikan langsung dan gratis untuk tiap siswa. Perlengkapan tambahan seperti, topi, kaos kaki, sepatu, tas, dan buku juga diberikan gratis. Pemberian tersebut disamaratakan, siswa dengan orang tua yang tergolong mampu juga menerima secara gratis. Selain dana dari pemerintah, beberapa orang tua dan masyarakat dengan sukarela memberikan pendanaan untuk merehab bangunan sekolah yang memerlukan. Sumbangan dalam bentuk peralatan untuk kelas keterampilan juga ada yang memberikan, seperti alat masak, perlengkapan tata rias salon, alat musik, dan alat kasidah. SLB YP3LB dibangun tahun 1994. Lokasi proses belajar mengajar sekolah tersebut pertama kali memakai satu ruangan yang ada di kampus IKIP, sekarang Universitas Negeri Makassar. Tidak lama menempati lokasi kampus, kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke Kantor Camat Biringkanaya. Selang dua tahun, berdirilah bangunan permanen di wilayah Sudiang yang sampai sekarang ditempati dalam kegiatan belajar mengajar. 61


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Bangunan SLB YP3LB seluas dua petak ruko dengan dua lantai. Sekolah ini didesain tertutup dan tanpa halaman sekolah. Begitu memasuki pagar besi sekolah, ada ruang terbuka beratap yang dikelilingi ruang kelas, ruang perpustakaan, toilet, kantin, ruang kepala sekolah, dan ruang guru. Ruang terbuka itu sebagai tempat berkegiatan bersama, termasuk kegiatan literasi. Di ruang ini juga terdapat bangku-bangku besi bersandaran yang dipakai jadi tempat menunggu jemputan. Di sisi kanan pintu masuk, berjejer rak sepatu. Para siswa dan guru yang datang, melepas sepatu di depan pintu sekolah, dan meletakkan sepatunya di sana. Ada lima kategori siswa berkebutuhan khusus yang bersekolah di SLB YP3LB, yakni tuna grahita, tuna daksa, tuna rungu, autis, dan tuna netra. Siswa tuna rungu dan tuna grahita ringan yang mendominasi jumlah siswa yang ada. Tuna grahita ringan dimaksudkan untuk siswa yang bisa berinteraksi dengan orang lain. Dalam proses belajar mengajar diberlakukan pengelompokan kelas berdasarkan kategori kebutuhan. Siswa tuna rungu memiliki kelas sendiri, sedang tuna grahita dan tuna daksa bisa disatukan. Siswa autis juga memiliki kelas sendiri. Kelas dipisah berdasarkan jenjang. SLB YP3LB menerima siswa SD, SMP, dan SMA. Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari 10 siswa demi keefektifan dalam proses belajar mengajar. Penerimaan siswa baru dilakukan tiap sekali setahun di awal tahun pelajaran, walaupun ada juga siswa pindahan yang baru masuk ketika proses belajar mengajar sementara berlangsung. “Beda halnya dengan SLB swasta lain di Makassar yang ‘menjemput bola’ dan ‘menjual obat’. Jika SMP yang dipromosikan, maka mereka datang ke SD,” terang Ibu Herlawati, wali kelas 6 dan guru kelas autis, berdasarkan pengalamannya ketika masih mengajar di SLB Laniang. Para orang tua calon siswa barulah yang datang secara langsung ke sekolah berdasarkan informasi dari orang tua siswa yang sudah bersekolah di SLB YP3LB.

62


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Pada tahun pelajaran 2017-2018, SLB YP3LB meluluskan seluruh siswa kelas enam SD yang berjumlah 13 orang. Mereka diterima dan melanjutkan pendidikan SMP di sekolah umum seperti SMPN 36, SMPN 14, SMPN 32, SMPN 16, dan ada yang melanjutkan sekolah di daerah lain. Di antara sekolah tersebut, tidak ada yang termasuk sekolah inklusi. Padahal, apabila melanjutkan pendidikan ke sekolah inklusi, secara otomatis siswa berkebutuhan khusus akan menerima beasiswa dari pemerintah yang diberikan oleh pihak sekolah yang bersangkutan. Hanya saja, sekolah inklusi yang ada di Makassar masih kekurangan tenaga pengajar berlatar belakang pendidikan luar biasa. Biasanya guru umum yang diikutkan dalam sebuah diklat untuk menerima pelatihan mendampingi anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini tidak cukup optimal untuk perkembangan siswa yang membutuhkan penanganan dan pendampingan khusus, disebabkan keterbatasan pengetahuan mengenai emosi dan pengalaman bersentuhan langsung dengan ABK. Terlebih lagi dengan sekolah umum yang sama sekali tidak difasilitasi untuk memenuhi kebutuhan siswa berkebutuhan khusus. Sehingga orang tua mesti menghadirkan shadow teacher (guru pendamping khusus) yang akan mendampingi anak secara khusus selama berada di sekolah. Pelaksanaan ujian nasional siswa SLB YP3LB diikutkan bersama sekolah reguler. Siswa SD diikutkan ujian di SD Tangkala dan siswa SMP ujian di SMPN 16. Belajar dari pengalaman tahun lalu, pendaftaran online sudah diberlakukan beberapa tahun terakhir oleh sekolah-sekolah negeri di Makassar. Para orang tua siswa SLB YP3LB mengeluh kepada pihak sekolah, karena anaknya tidak bisa mendaftar ke jenjang SMP. Akhirnya setelah Ibu Herlawati mengupayakan berbagai usaha, maka pada tahun 2018, para alumni SLB YP3LB dapat mendaftarkan diri secara online menjadi calon siswa baru di Sekolah Menengah Pertama dan Atas yang berstatus negeri.

63


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) mempunyai daya tangkap berbeda dengan anak pada umumnya. Namun, tidak semua ABK memiliki keterbatasan secara intelektual dan emosional. Ada pula ABK yang terbatas secara fisik, tapi intelektual dan emosional sama seperti anak pada umumnya seperti tuna rungu, tuna daksa, dan tuna netra. Namun, di beberapa kemungkinan siswa dengan keterbatasan tersebut memiliki gangguan ganda, misalnya keterbatasan mental. Metode belajar yang diterapkan untuk ABK harus tepat sasaran sesuai dengan kebutuhannya. Mereka tidak bisa dipaksakan untuk memahami apa yang diajarkan. Waktu belajar hanya berkisar 15-30 menit atau diselesaikan sesuai permintaan siswa, terlebih lagi jika siswa sudah mulai mengamuk. Guru tidak boleh menuntut banyak terkait akademik kepada siswa berkebutuhan khusus. Ada siswa yang lambat memahami materi mata pelajaran tertentu, tapi mudah menghafal setiap lagu yang didengar, seperti Syifa, siswa yang bersuara merdu dan pandai bernyanyi. Jika berpatokan pada kurikulum yang berlaku, keterampilan memiliki porsi lebih banyak untuk dibekali kepada para siswa. Semakin tinggi jenjang pendidikan siswa, semakin besar nilai porsi kelas keterampilan. Pada jenjang SD porsinya 50:50, jenjang SMP 40:60, dan jenjang SMA 30:70. Pembekalan keterampilan dimaksudkan agar siswa akan terbiasa mandiri dan memiliki kemampuan yang bisa menghasilkan bagi dirinya sendiri. Selain keterampilan, guru SLB YP3LB tidak muluk-muluk, mereka hanya mau melihat siswa mampu menyimpan sepatu dengan rapi tiap datang ke sekolah, mampu berbaris rapi, dan mengikuti aturan. Kelas keterampilan di SLB YP3LB mengajarkan para siswa, khususnya siswa SMP dan SMA, kerajinan tangan berupa pembuatan aksesoris penari dan songkok. Selain itu, ada keterampilan tata rias dan juga praktik tata boga. Berhubung kepala sekolah memiliki usaha indo’ botting, jika ada acara pengantin dan memerlukan orang-orang untuk memasang tenda dan dekorasi, siswa SMA dipanggil untuk bekerja dan akan menerima upah.

64


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Selain anak kepala sekolah yang mengajari siswa keterampilan, Ibu Herlawati Hakim juga kerap kali mengajar keterampilan. Dia adalah guru lulusan pendidikan bahasa dan seni konsentrasi sentra tari dan musik di Universitas Negeri Makassar. Sebelum menjadi pengajar di SLB YP3LB, Ibu Herlawati pernah mengajar di SMK Kartika, SMK Mega Rezki, SMK Laniang sebagai guru bidang studi seni budaya. Ketika mengajar di SMK Laniang, Ibu Herlawati memerlukan lebih banyak jam mengajar agar ia bisa ikut sertifikasi guru honorer yang mengharuskan ia mengajar pula di SLB Laniang. Tahun 2012, Ibu Herlawati memperoleh predikat guru honorer tersertifikasi. Dengan sertifikasi tersebut, guru honorer bukan lagi hanya menerima gaji pokok, ada pula tunjangan yang diterima tiap bulan sebesar gaji pokok. Namun, pencairan tunjangan bersamaan dengan waktu pencairan dana BOS. Jadi, 6-7 bulan barulah tunjangan diterima oleh guru. Demi kesejahteraan guru, Ibu Herlawati mengungkapkan keresahannya. “Jika pemerintah mau melihat kualitas, maka lihatlah segalanya. Walaupun dana BOS ada ataupun terlambat cair, setidaknya tunjangan cair di tiap bulannya,” keluhnya. Ibu Herlawati bukanlah seorang guru lulusan pendidikan luar biasa. Namun dia mau mengajar di sebuah SLB swasta. Ketika mengikuti sertifikasi guru honorer, asesor tampak bingung. Walau demikian, Ibu Herlawati mendapatkan skor lebih tinggi dibanding guru lulusan pendidikan luar biasa. “Memasuki sesuatu ‘kan harus banyak belajar, tekun belajar. Walau dari nol, kalau kita mau, ya belajar,” ungkap Ibu Herlawati. Meskipun terdapat beberapa istilah asing tentang ABK, sistem manajemen pembelajaran siswa tetap dipelajari di semua jurusan pendidikan. Persoalan istilah, masih bisa dipelajari sendiri bila ada kemauan untuk belajar. Pada tahun 2014, Ibu Herlawati berkeputusan berpindah sekolah. SLB YP3LB adalah tujuannya. Sekolah yang ditempuh tidak jauh dari rumahnya, kurang lebih 1,5 kilometer. Setelah pindah, Ibu Herlawati 65


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Siswa Berkarakter Indonesia Gerakan nasional revolusi mental Membangun karakter generasi gemilang Menuju kebangkitan generasi emas Bagi manusia Indonesia Melalui pendidikan nasional Tumbuh kembangkan moral etika bangsa Berbudi pekerti akhlak yang mulia Siswa berkarakter Indonesia Religius hidupnya Nasionalis jiwanya Integritas jadi tujuannya Mandiri hidupnya Gotong royong semangatnya Persatukan bangsa Indonesia Melalui pendidikan nasional Tumbuh kembangkan, moral etika bangsa Berbudi pekerti akhlak yang mulia Siswa berkarakter Indonesia Religius hidupnya Nasionalis jiwanya Integritas jadi tujuannya Mandiri hidupnya Gotong royong semangatnya Persatukan bangsa indonesia Siswa berkarakter Indonesia Siswa berkarakter Indonesia

66


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

mempunyai cukup waktu untuk mengurus keluarga di pagi hari. Bukan lagi seperti yang dilakukan pada sekolah sebelumnya, hadir di sekolah pada jam 7 pagi untuk menyambut kedatangan para siswa di gerbang sekolah. Tempat mengajar yang dekat dari rumah membuat Ibu Herlawati bisa menyempatkan diri mengantar anaknya ke sekolah. “Masa’ anaknya orang lain lebih diprioritaskan sedangkan anak sendiri terbengkalai,� ungkap Ibu Herlawati. Pada Jumat, 23 November 2018, saya ke SLB YP3LB di pagi hari seperti jadwal berangkat sekolah para siswa umumnya. Para siswa yang mulai berdatangan. Pintu pagar sekolah terbuka setengah untuk mencegah para siswa yang sudah ada di dalam tidak berlarian keluar. Kegiatan sekolah pagi itu adalah literasi agama. Para siswa memakai pakaian muslim, begitupun para guru, sesuai dengan peraturan sekolah yang tercantum pada papan tata tertib. Papan tersebut tergantung pada dinding sekolah dekat pintu masuk. Jam menunjukkan pukul 07.20. Seorang guru memerintahkan para siswa berdiri membentuk dua barisan. Guru yang lainnya bergerak merapikan barisan maupun mengajak anak yang tidak mau bergerak dari tempat duduknya supaya berdiri dan ikut berbaris. Ibu Herlawati ditemani dengan seorang siswa laki-laki berdiri di depan barisan menghadap ke para siswa. Guru lainnya berpencar, ada di samping kanan, kiri, dan belakang. Ibu Herlawati yang berdiri di depan akan memandu dan memberi aba-aba baris berbaris dan diucapkan ulang oleh siswa laki-laki yang menemaninya. Sebelum masuk ke agenda literasi agama, para siswa diajari baris berbaris, seperti hadap kanan, hadap kiri, dan balik kanan. Diulang beberapa kali, para siswa dibuat berputar 360 derajat. Dan kembali menghadap ke arah posisi semula. Kegiatan dilanjutkan dengan menyanyi Mars PPK bersama-sama. Ibu Herlawati memandu siswa bernyanyi. Semua siswa bernyanyi bersemangat. Mereka dengan lancar melafalkan lirik lagu tersebut. Selesai

67


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

bernyanyi, para siswa bersama-sama bertepuk PPK7 disertai dengan gerakan, dilanjutkan dengan salam PPK8 dan salam literasi.9 Sewaktu bertepuk, seorang siswa laki-laki autis tiba-tiba berteriak, menangis, dan menutup kedua telinga dengan tangannya. Ibu guru mengambilnya dari barisan lalu dibawa ke barisan paling belakang dan ditenangkan dengan dipeluk lalu mengusap-usap punggung si anak, sembari berkata, “Tidak apa-apa. Ayo sama-sama lakukan.� Posisi semua siswa masih berdiri. Untuk membuat mereka duduk, para siswa melafalkan huruf hijahiyah dari alif sampai kho disertai gerakan hingga berada pada posisi duduk bersila di lantai dengan alas karpet. Kegiatan masih dipandu Ibu Herlawati selaku guru yang memiliki jadwal piket literasi hari itu. Para siswa diminta melafalkan surah-surah pendek, mulai dari surah Al-Fatihah, dilanjut surah An-Nas, Al-Falaq, Al-Ikhlas, sampai surah At-Tiin. Tampaknya kelompok siswa perempuan lebih bersemangat melafalkan surah demi surah tersebut. Siswa laki-laki, di antaranya ada beberapa orang yang hanya diam, di luar dari keterbatasan yang dimiliki. Di akhir agenda melafalkan surah-surah pendek, para siswa kelas 6 diminta maju berdiri ke depan menghadap ke siswa lainnya yang masih dalam posisi duduk. Mereka yang berjumlah 5 siswa berkewajiban menyetor hafalan surah asy-syam yang telah dihafalkan selama 3 pekan. Siswa tersebut terdiri dari 3 laki-laki dan 2 perempuan yang berpakaian gamis putih dengan kudung yang berbeda warna. Pada tiga ayat terakhir, mereka terbata-bata dan mengulang ayat yang sama beberapa kali, sehingga Ibu Herlawati membantu menyebut tiga ayat tersebut dan diulang kembali oleh mereka yang sedang berusaha menyelesaikan hafalan wajibnya. Setelah selesai, ibu guru tetap meminta mereka untuk mengulang-ulang ayat yang tersendat tadi supaya mereka lancar melafalkannya kembali. 7 8 9

R eligius-Nasionalis-Mandiri-Gotong royong-Integritas C erdas-Berkarakter-Manyenangkan-Luar biasa-Hebat Ayo Membaca

68


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

Kegiatan pagi itu masih berlanjut. Agenda selanjutnya adalah membaca Iqro’ atau Al-Qur’an. Siswa duduk dalam bentuk berkelompok dan tiap kelompok didampingi oleh seorang guru. Tiap siswa memiliki kemampuan yang beragam, ada yang masih perlu dibantu dalam penyebutan huruf, lalu siswa tersebut mengulangi huruf yang disebut guru tadi. Siswa tuna rungu mengaji dengan bahasa isyarat. Ada siswa yang belum jelas artikulasinya menyebut huruf yang disebabkan karena adanya kelainan pada rongga mulut, dan ada pula yang mampu membaca dengan penyebutan huruf dengan jelas tanpa tersendat. Untuk kelompok siswa kelas 6, mereka bukan lagi sekadar mengaji tapi ada penambahan bentuk kegiatan, dimana guru yang mendampingi kelompok tersebut memandu siswa dalam melafalkan satu surah di juz 30, lalu dibaca secara berulang kali bersama-sama dengan tujuan agar siswa dengan cepat menghafalkan. Ada tujuh guru di sekolah pada hari itu yang bertugas mendampingi kelompok-kelompok kecil siswa pada kegiatan mengaji. Di antara mereka ada dua guru laki-laki (pemuda dan paruh baya), lima guru perempuan, seorang dari mereka tidak mendampingi kelompok kecil karena beragama Kristen. Saat mengaji berlangsung, guru tersebut duduk di depan ruang kelas bersama siswa Nasrani. Belum ada kegiatan literasi khusus untuk siswa Nasrani, sehingga siswanya bebas berkegiatan apa saja saat literasi agama berlangsung. Mereka hanya bermain dan bercanda bersama temannya. Malik, siswa tuna grahita kelas 5. Saat mengaji, Malik duduk tepat di kanan saya. Dia meminta diajari mengaji. Ia buka buku Iqro I halaman pertama. Tanpa saya bantu, hanya menunjuk dengan jari telunjuk pada tiap huruf, Malik mengucap huruf yang saya tunjuk dengan benar. Selesai sampai baris terakhir dari halaman pertama, Malik berkata sudah selesai. Saya tidak cukup puas hanya dengan satu halaman saja. Saya buka halaman selanjutnya dan meminta Malik untuk melanjutkan

69


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

mengaji. Hanya saja untuk halaman-halaman selanjutnya, hanya huruf baris pertama saja yang saya tunjuk. Jika sudah terjawab dengan benar, dengan cepat saya berpindah ke halaman selanjutnya. Untuk beberapa huruf, mata Malik tertutup sejenak, sepertinya dia sedang memikirkan huruf yang akan dia sebut. Dengan mata terbuka, bibirnya mengucap sebuah huruf. Semakin jauh halaman ke belakang, semakin sulit bagi Malik untuk menjawab. Saya cukupkan bacaan Iqro pada halaman yang membuat Malik terlalu lama menutup mata untuk berfikir. Setelah saya berpindah tempat mendatangi siswa yang lain, seorang ibu guru menghampiri Malik dan mengajaknya mengaji. Malik menolak, katanya sudah mengaji sama saya. Ibu guru menanggapi, kalau anak tuna grahita itu jika sudah belajar sekali, mereka sudah tidau mau lagi untuk kedua kalinya. Waktu belajarnya pun tidak boleh terlalu lama, mereka akan cepat bosan dan mengamuk sebagai tanda minta berhenti belajar. Di tengah-tengah berlangsungnya kegiatan mengaji, Ibu Herlawati meminta Yusuf, Ahmad, dan Thoriq mengumandangkan azan secara bergantian. Mereka dengan khidmat mengumandangkan azan sambil memejamkan mata dengan posisi tangan kanan memegang telinga. Walaupun penyebutan tiap kata terdengar seperti nada suara yang menyatu, mereka bisa menyelesaikan lafaz azan dengan segala kemampuan yang mereka miliki. Semua siswa sudah mendapat giliran mengaji. Kelompok-kelompok kecil terbongkar membentuk lingkaran besar, masih duduk melantai. Kegiatan masih berlanjut dengan para siswa dan guru melantunkan zikir secara bersama, dilanjut dengan menyanyikan lagu islami. Salah satunya lagu Nisha Sabyan “Ya Maulana�, yang diusulkan para siswa. Mereka bersemangat menyanyikan lagu tersebut bersama sambil melambai tangan di atas kepala. Rangkaian kegiatan literasi agama pada pagi Jumat ditutup dengan salat duha berjamaah. Para siswa berdiri dari tempat duduknya, bergantian memasuki dua WC untuk berwudu—satu WC untuk siswa 70


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

laki-laki dan satu WC untuk siswa perempuan. Seorang siswa mendatangi Ibu Guru yang sedang duduk bersebelahan dengan saya. Siswa berbaju merah itu menjulurkan tangannya. Ibu Guru mengerti. Dengan segera, tangan Ibu Guru membantu melipat naik lengan baju hingga di atas siku. Siswa tersebut segera menuju ke WC. Para siswa bergantian masuk dan keluar dari dalam WC. Para guru sudah bersiap mengarahkan siswa mengambil saf salat. Siswa SMP dan SMA sudah bisa mengatur diri mengambil barisan salat. Salat duha diimami oleh seorang siswa. Para guru tidak ikut salat karena mengawasi anak-anak dari pinggir kiri dan kanan, juga dari depan dan belakang. Jika ada siswa yang terlambat melakukan gerakan, seorang guru akan menuntun siswa tersebut atau hanya menegurnya dari jauh dengan arahan melalui suara. Salat duha berlangsung dengan tenang. Tidak seorang pun siswa yang menangis, merengek, ataupun mengamuk saat salat sementara berlangsung. Hanya saja, masih ada siswa yang menengok kiri dan kanan, atau membuat gerakan lain. Gerakan salam mengakhiri dua rakaat salat duha. Ibu guru berjilbab hitam duduk di samping imam salat menghadap ke arah para jamaah salat duha. Dia memimpin zikir dan doa setelah salat. Ibu guru tersebut merupakan teman piket Ibu Herlawati untuk memandu kegiatan literasi agama hari itu. Setiap satu hari, ada dua orang guru yang ditugaskan melaksanakan kegiatan literasi di sekolah, mulai mempersiapkan siswa, mengagendakan kegiatan, hingga memandu kegiatan dari awal hingga rampung kegiatan literasi hari itu. Dua orang guru itu akan berbagi tugas dan memandu bersamaan atau bergantian. Kegiatan literasi agama tidak diperuntukkan untuk siswa saja. Guruguru SLB YP3LB pun pernah mengadakan kegiatan khusus literasi agama. Melihat adanya pengalaman mengikuti lomba tadarrus yang dimiliki oleh para guru, sehingga mereka ingin bernostalgia dengan belajar mengaji kembali bersama para guru lainnya.

71


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Di hari lain selain Jumat, SLB YP3LB melaksanakan kegiatan literasi sastra di pagi hari sebelum para siswa memasuki kelas. Semua siswa berkumpul di teras di dalam ruangan yang difungsikan sebagai aula. Mereka mengikuti kegiatan literasi selama 15 menit, dengan membaca buku cerita anak, membaca dongeng, berpuisi, menyanyi lagu islami, dan lagu wajib nasional, serta drama. Saat membaca cerita atau mendongeng, terjadi interaksi antara guru yang membacakan cerita dengan para siswa yang mendengar cerita. Siswa akan diminta menuturkan ulang cerita yang dibacakan oleh guru. Guru pun aktif melempar pertanyaan kepada siswa terkait isi cerita dari bacaan. Bukan hanya guru yang tampil bercerita. Siswa juga diberi kesempatan menunjukkan kebolehannya membawakan cerita. Berlangsungnya kegiatan literasi sastra dipandu oleh dua orang guru. Dari beberapa bentuk kegiatan, hanya ada dua atau tiga yang dilaksanakan dalam sehari. Bentuk kegiatannya bisa sama atau berbeda pada hari berikutnya. Sebelum pemberlakuan GLS di SLB YP3LB, Jumat adalah hari olahraga, kegiatan yang kemudian dipindahkan ke Senin. Para siswa biasanya, dengan didampingi guru, diajak jalan santai berkeliling sekitar sekolah melihat alam dan menghirup udara segar pagi hari. Hanya siswa tuna daksa yang tidak ikut. Mereka tinggal di sekolah bersama satu guru yang menemani. Terkadang pula dilakukan senam di dalam sekolah apabila cuaca di luar sedang turun hujan. Usai literasi agama di hari Jumat, tiba waktu istirahat. Siswa mengeluarkan kotak bekal dari dalam tasnya. Di sekolah terdapat kantin yang dikelola oleh kakak dari kepala sekolah. Di dalam ruangan kecil berisikan perabotan masak memasak, ada kompor, wajan, dan semacamnya. Cahaya ruangan berasal dari jendela kecil di dekat pintu. Siswa menyerbu ibu kantin sambil membawa uang kertas lima ribuan. Menu hari itu nasi kuning dan gorengan tahu, juga mi siram. Porsi nasi kuning yang disediakan tidak sebanyak yang biasa dijual di penjual nasi kuning umumnya. Nasi kuning tetap dibungkus dengan kertas coklat

72


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

pembungkus yang ukurannya dipotong dua. Jika hari itu menunya nasi kuning, maka menu esoknya akan berbeda. Siswa dan guru bersantap pagi bersama. Ada juga guru yang membawa bekal dari rumah. Ibu guru yang duduk di samping saya membuka kotak bekalnya, seraya menawari. Aroma nasi merah dan daging toppa’ lada-nya menggoda. Dari arah kantin, seorang guru datang ke tempat kami duduk sambil memberi lumpia dan segelas kecil puding mangga. Sebelum semua makanan masuk ke perut, ada seiris tahu goreng bersambal menjadi makanan pembuka pagi itu. Irisan tahu goreng sekotak itu sumbangan dari masyarakat sekitar. Seorang gadis cilik yang ditemani oleh ayahnya membawa kotak tersebut. Mereka muncul di balik pintu sekolah menyerahkan kotak tersebut agar dibagi ke semua warga sekolah yang hadir hari itu. Ibu guru membaginya terlebih dahulu ke siswa-siswanya. Begitu semua siswa sudah mendapat jatah, giliran dibagikan ke para guru dan siapa saja yang datang hari itu, termasuk saya. Siswa tuna grahita SMP dan SMA mengenakan tas mereka dan berjalan keluar pintu sekolah. Mereka hendak pergi ke rumah kepala sekolah yang berjarak ¹ 50 meter dari sekolah. Mereka akan mengikuti kelas keterampilan yang didampingi oleh anak kepala sekolah yang juga merupakan guru di sekolah tersebut. Siswa lainnya tetap di sekolah menunggu jemputan. Setelah kegiatan literasi Jumat itu, tidak ada lagi proses belajar mengajar di dalam kelas. Jam pulang hari Jumat lebih cepat dari hari lainnya yang rata-rata pukul 12.30. Sebelum mengosongkan sekolah, para guru mulai bersih-bersih lingkungan. Beberapa siswa antusias membantu; mengambil sapu, melipat karpet, dan membawa sampah yang ada di dalam sekolah ke tempat sampah yang ada di luar. Tujuh siswa kelas 6 datang meminta izin pulang ke wali kelas yang saat itu sedang mengobrol dengan saya. Sebelum berpamitan dan berjabat tangan, Ibu Herlawati menanyakan kembali tugas yang 73


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

diberikan kemarin dan menanyakan apakah siswa paham dan sudah mulai mengerjakannya atau belum. Ibu Guru menjelaskannya kembali bahwa masing-masing siswa bertanggung jawab mendalami satu bab untuk satu siswa. Dari tiap bab, ada lembar pertanyaan pilihan ganda, esai satu, dan esai dua yang mesti diselesaikan. Pertemuan selanjutnya, tiap siswa akan diminta mempresentasikan isi dari masing-masing bab yang sudah dikuasai. Siswa yang ada di kelas 6 secara fisik mereka seperti awamnya, kata Ibu Guru, namun dalam memahami sesuatu, mereka cenderung lambat dalam belajar. Di sela obrolan bersama Ibu Herlawati, tiba-tiba terjadi kegaduhan. Malik dan Yusuf berkelahi. Entah siapa yang memulai. Yusuf terlihat lebih reaktif. Malik duduk pasrah menerima pukulan Yusuf. Ibu Herlawati memotong pembicaraan dan pergi menengahi. Malik dan Yusuf dipisah ke tempat yang berbeda. Dengan suasana hati yang masih emosi, Yusuf berusaha melepas diri dari pegangan Ibu Herlawati. Selang beberapa menit, suasana hati Yusuf berubah cepat. Dia ingin minta maaf pada Malik. Tahanan pegangan pun dilepas. Yusuf menghampiri Malik dan seketika melayangkan pelukan. Malik yang sedang menangis, diusap air matanya oleh Yusuf. Dalam posisi berhadapan, Yusuf memeluk kepala Malik sambil diusap-usap. Pemandangan itu bisa dinikmati dalam waktu yang lama. Mereka akhirnya berbaikan. Yusuf adalah anak down syndrom yang biasa dikenal dengan istilah wajah seribu. Ibu Herlawati berpendapat kalau Yusuf adalah siswa tampannya SLB YP3LB seperti Nabi Yusuf. Di SLB YP3LB, guru mengajar secara tematik dengan mengaitkan beberapa mata pelajaran, sehingga siswa mendapatkan pengalaman yang bermakna. Tema yang dimaksud adalah gagasan pokok atau pokok pikiran yang dijadikan pokok pembicaraan. Pada semester ganjil, sampai bulan Oktober, siswa kelas VI SD sudah menyelesaikan tiga tema. Maka dari itu, Ibu Herlawati memberikan tugas ke tiap siswa untuk menguasai per bab pada satu tema.

74


SLBN 2 Makassar dan SLB YP3LB Makassar

“Tiap siswa dipinjami buku yang tidak boleh dicorat-coret, maka tidak ada alasan untuk tidak belajar di rumah,� jelas Ibu Herlawati. Tugas yang diberikan bukan untuk membebani siswa dengan pekerjaan rumah, melainkan membuat siswa berani bertanggung jawab dan memberi kesempatan membaca bukunya kembali selama berada di rumah. Ibu Herlawati menjelaskan kalau buku yang dipakai dalam kegiatan belajar mengajar di dalam kelas adalah buku tematik. Setiap jenjang kelas memiliki tema yang berbeda. Satu buku untuk satu tema dan dalam satu tema terpecah menjadi 4 sub tema. Dengan demikian, total sub tema yang dipelajari siswa berjumlah 16 sub tema dari 4 tema dalam satu semester. Hal ini, menurut Ibu Herlawati, memberatkan dan kurang efektif bagi siswa SLB. Terlalu banyak hal yang mesti mereka pelajari, sedangkan inteligensi siswa SLB tidak sama seperti siswa yang ada di sekolah umum, meski buku yang dipakai siswa SLB indikatornya lebih disederhanakan dengan unit kompetensi yang sama seperti sekolah umum. Contoh buku pelajaran siswa tuna grahita kelas empat isi tampilannya seperti buku kelas satu siswa sekolah umum. Buku-buku yang digunakan oleh sekolah berasal dari bantuan pemerintah. Sewaktu saya berkunjung, terlihat ada tumpukan kardus berisi buku-buku baru yang belum dibuka. “Saya kurang tahu itu buku langsung dari pemerintah atau sekolah yang beli. Kepala sekolah yang tahu itu. Jika sekolah yang membeli, ada memang berapa persen di dana BOS yang diperuntukkan pendanaan pembelian buku baru oleh sekolah,� jelas Ibu Herlawati. Berkat pelaksanaan program GLS, terjadi pembaharuan peraturan penggunaan dana BOS. Jika hingga 2014 sekolah hanya boleh menggunakan BOS untuk membeli buku pelajaran, maka pada 2015 sekolah dapat membeli buku nonteks pelajaran, yaitu buku pengayaan dan referensi. Tak hanya itu, untuk pengembangan perpustakaan, sekolah dapat berlangganan majalah/publikasi berkala yang terkait dengan pendidikan, baik luring (offline) maupun daring (online). 75


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Pada Permendikbud Nomor 161 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2015, komponen pembiayaan untuk pengembangan perpustakaan hanya menyebut pembelian buku teks pelajaran. Permendikbud ini terbit pada 11 Desember 2014 sebelum hadirnya kebijakan tentang literasi sekolah (didasarkan pada Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang terbit pada 11 Juli 2015). Komponen pembiayaan untuk pengembangan perpustakaan dalam Permendikbud No. 161 Tahun 2014 yaitu: (1) Buku teks pelajaran untuk peserta didik dan pegangan guru, (2) Langganan publikasi berkala, (3) Akses informasi online, (4) Pemeliharaan buku/ koleksi perpustakaan, (5) Peningkatan kompetensi tenaga pustakawan, (6) Pengembangan database perpustakaan, (7) Pemeliharaan perabot perpustakaan, (8) Pemeliharaan dan pembelian AC. Sedangkan pada Permendikbud Nomor 80 Tahun 2015 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Dana Bantuan Operasional Sekolah (terbit 31 Desember 2015), yang berisi Juknis BOS Tahun Anggaran 2016, komponen pembiayaan untuk pengembangan perpustakaan bertambah dua jenis: (1) Buku pengayaan dan referensi untuk memenuhi SPM Pendidikan Dasar sesuai dengan Permendikbud No. 23 Tahun 2013 dan (2) Langganan koran, majalah/ publikasi berkala yang terkait dengan pendidikan, baik offline maupun online. Sesuai dengan UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, penggunaan dana BOS untuk pengembangan perpustakaan paling sedikit 5% dari anggaran belanja operasi satuan pendidikan. Dengan adanya kebijakan penggunaan dana BOS untuk keperluan literasi sekolah, sangat disayangkan bila perpustakaan tidak dimaksimalkan sebagaimana mestinya. Perpustakaan SLB YP3LB yang berukuran 1x2 meter tidak leluasa menampung siswa yang hendak membaca di dalamnya.

76


SLB LANIANG, MAKASSAR Wilda Yanti Salam

Yayasan Laniang berlokasi di Jalan Laniang Blok AA nomor 9, Bumi Tamalanrea Permai, Makassar diramaikan oleh para siswa-siswi SD hingga SMA setiap pagi. Di sekolah berwarna abu-abu merah ini terdapat sebuah Sekolah Luar Biasa, yang lebih sering disebut dengan SLB Laniang berdiri sejak tahun 2008. Seperti sekolah pada umumnya, ketika memasuki area sekolah, terlihat orang tua ramai bergegas mengantar anak-anak mereka. Para guru menyambut siswa-siswanya di depan gerbang sembari bersalaman satu per satu. Para pedagang di depan sekolah menjajakan berbagai jajanan seperti tela-tela, kue harga seribuan dan jajanan lainnya. Pukul tujuh pagi, para murid akan diarahkan berkumpul di lapangan yang berada di tengah gedung sekolah untuk melaksanakan senam pagi. Setelah itu dilanjutkan dengan membaca doa bersama, menyanyikan lagu wajib Indonesia Raya dan lagu nasional. Dilanjutkan lagi dengan menyanyikan Mars PPK (Pendidikan Penguatan Karakter), salam PPK, salam literasi, lalu penyampaian dan pengantar dari guru yang bergantian setiap hari. Setelah penyampaian oleh bapak ibu guru, para guru dan siswa kembali bersalam-salaman. Para siswa yang beragama muslim akan 77


Ruang kelas SLB Laniang, Makassar.

bergegas mengambil air wudhu, berjalan menuju masjid. Jam setengah delapan, mereka melaksanakan salat dhuha berjamaah. Bagi yang Nasrani, mereka melaksanakan ibadah bersama di ruang guru. Semua kegiatan ini tetap didampingi oleh para wali kelas. Rutinitas ini sudah berjalan setelah surat keputusan Kemedikbud Nomor 15 Tahun 2015 tentang program Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Luar Biasa (SLB). SLB Laniang menjadi satu dari tiga sekolah di Kota Makassar yang diberi kesempatan lebih dulu untuk menjalankan program ini sejak dua bulan terakhir pada tahun 2018. GLS di SLB Laniang terlebih dahulu mengarah pada proses pembentukan karakter siswa yang religius. Setiap pagi, selepas guru dan siswa menjalankan ibadah, masing-masing wali kelas akan mengajak para siswa untuk membaca buku bagi yang bisa dan hendak membaca sendiri, membacakannya sebuah cerita bagi yang hanya ingin mendengar, mengajak mereka mengamati sebuah gambar, hingga membaca puisi. Setiap ruangan di SLB Laniang sudah menyediakan Pojok Baca (yang menjadi salah satu program GLS).

78


SLB Laniang, Makassar

Ketika anak-anak sudah mulai bosan dan jenuh, guru mengajak siswa berkumpul di Ruang Tunas yang juga adalah ruang kelas untuk siswa SD SLB kelas I dan II. Mereka berkumpul untuk menonton film atau video bersama yang kontennya tetap mengandung nilai-nilai literasi. Saat cuaca cerah, kadang mereka akan diajak belajar di taman di belakang sekolah. Di taman tersebut terdapat gazebo yang menjadi tempat duduk, mendengarkan cerita, dan belajar bersama. Di sana juga terdapat sebuah kolam renang yang masih dalam proses perampungan. Saat ditemui di ruangannya Alim selaku kepala SLB Laniang mengatakan, “Literasi tidak hanya persoalan membaca, tapi juga mendengar dan dibacakan. Apalagi untuk program literasi di sebuah SLB, tentu berbeda dengan sekolah reguler.� Alim mencontohkan, di sekolah reguler ketika seorang guru meminta atau menyediakan buku di depan siswa untuk dibaca, mereka akan lebih cepat merespon. Beda dengan siswa SLB, mereka harus melalui proses pembiasaan. Para siswa juga lebih interaktif sehingga membutuhkan cukup waktu mengajak mereka untuk menggerakkan program literasi ini. Alim juga selalu ikut salat berjamaah bersama siswanya. Dia pun kadang mengganti guru sekolah yang berhalangan hadir untuk mengajar. Baginya yang pernah mengikuti pelatihan kepala sekolah untuk program ini, banyak manfaat yang diperoleh oleh sekolah, seperti penambahan fasilitas berupa meja, lemari, dan buku pelajaran yang bahkan masih berada di dalam tumpukan kardus, saat kami sedang berbincang di ruang guru yang juga dikelilingi oleh lemari kaca berukuran satu meter berisi buku, juga lukisan dan peta dunia. Alim, lelaki asli Buton ini menjadi kepala sekolah di SLB Laniang selama sembilan tahun. Dia bercerita bahwa menjadi seorang guru di SLB adalah panggilan hati. Sebab dulunya saat masih di kampung, dia bertemu banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan kesempatan yang sama untuk bersekolah. Alhasil Alim 79


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

memutuskan mengambil pendidikan di sebuah sekolah khusus untuk mendidik tenaga pengajar untuk SLB di Raha, Sulawesi Tenggara, lalu mengikuti program penyetaraan guru di Universitas Negeri Makassar. Selesai kuliah tahun 1993, Alim kembali ke kampungnya dan mengajar selama lima tahun. Pada tahun 2000, Alim memutuskan pindah ke Makassar, dengan alasan pada saat itu belum ada penempatan guru Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) yang menjadi profesi istrinya. Saat pertama pindah ke Makassar, Alim menjadi guru di SLB YPPKI Perumnas Sudiang selama 10 tahun. Tahun berikutnya, Alim akhirnya diangkat menjadi kepala sekolah di SLB Laniang hingga hari ini. Selain menjadi kepsek SLB Laniang, Alim juga membuat sebuah SLB di tanah kelahirannya. Dia menambahkan bahwa cukup banyak teman semasa kuliah dan sesama gurunya di kampung yang juga membangun SLB sendiri. Alim sudah pernah mengikuti pelatihan GLS bersama kepsek SLB lain yang juga tergabung dalam program ini. Menurutnya, dampak signifikan yang bisa dilihat dengan penerapan program ini sejak beberapa bulan lalu adalah jumlah siswa yang dulunya hampir 50% selalu datang terlambat sekarang semakin berkurang menjadi beberapa siswa saja. “Dulu itu biasa ada yang jam sembilan baru datang. Pernah ada orang tua yang saya tanya bilang, kalo jam begitu baru ki bawa anak ta lebih baik nda usah karena teman-temannya sudah mau pulang,” tegas Alim. Dulu saat banyak siswa datang terlambat, mereka akan berjalan dan bersikap biasa saja. Setelah ada program ini, mereka yang terlambat akan bergegas menuju lapangan upacara, sembari berteriak “Uu terlambat, terlambat mi kita salam PPK, salam literasi.” Bukan hanya salam PPK, ada juga yel-yel, “Selamat pagi salam PPK. Cerdas, Berkarakter, Menyenangkan, Luar biasa, Hebat!”. Ditambah salam literasi “Religius, Nasionalis, Mandiri, Gotong royong, Integritas, Hebat,” disertai dengan gerakan yang dicontohkan dengan penuh semangat oleh Alim.

80


SLB Laniang, Makassar

Setelah program ini berjalan dan dibiasakan, para siswa mulai cepat tanggap merespon ketika para guru memandu apel yang dilaksanakan tiap pagi. Mereka akan refleks berteriak, “Salam literasi ayo membaca! Hebat!� Bahkan salam dan yel-yel yang awalnya hanya dilakukan untuk anak SLB pada Senin saat upacara bersama berlangsung, siswa-siswa sekolah reguler akan ikut meramaikan. Untuk Yayasan Laniang, siswa SLB juga diberi kesempatan menjadi petugas upacara, semisal siswa tuna wicara akan memperagakannya dengan bahasa isyarat. Saat jam istirahat siang pada pukul sembilan, para siswa juga akan saling menyapa satu dengan yang lain dengan tidak membeda-bedakan siswa sekolah regular atau SLB. Mereka juga saling berbagi lapangan sepak bola. Mereka tidak bermain bersama dikarenakan perbedaan cara dan ritme bermain. Selain itu jarak kelas yang berdekatan membuat para siswa dekat dan saling mengenal satu sama lain. Seperti Juanito, siswa SD kelas VI yang ketika teman-temannya salat dhuha dan dia sudah selesai beribadah, dia akan berkunjung ke ruang kelas SMP ataupun SMA. Mereka juga terkadang saling usil dan bermain bersama, tidak ada sekat ataupun jarak karena perbedaan jenjang yang sedang ditempuh. Semuanya berjalan begitu ramai dan hangat. Alim, kepsek yang berusia 53 tahun, berpesan untuk meningkatkan program gerakan literasi sekolah, fasilitas penunjang proses belajar perlu untuk dioptimalkan, seperti pengadaan buku yang sesuai dengan kebutuhan para siswa, juga monitor agar mereka bisa lebih sering melihat gambar visual, komputer, juga ruang kelas yang perlu diperbanyak. Tapi Alim tidak ingin egois. “Di Indonesia ini banyak sekali sekolah. Pemerintah pasti tidak bisa penuhi kebutuhan kita semua secara bersamaan. Jadi harus sabar karena pasti akan kebagian pada waktunya.� Di sekolah ini, ruang 6x4 meter dibagi menjadi empat ruang kelas. Setiap kelas diisi maksimal lima siswa yang memiliki kebutuhan yang

81


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

sama. Terhitung pada tahun 2018 terdapat 110 siswa; dengan rincian 65 siswa SD, 25 SMP, dan 15 siswa SMA yang didampingi 18 pengajar. Alim menambahkan, yang tidak kalah penting adalah pengawasan dari pemerintah agar program ini bisa terus berjalan sesuai koridornya juga berkelanjutan. Saat ini anak-anak juga tidak bisa lagi diikutkan belajar jika tidak terdaftar di Dikti karena sudah ada regulasi yang jelas dari pemerintah. Para siswa juga harus memiliki Akta Kelahiran dan nomor NIK. Sebab terkadang ada juga orang tua yang kelihatannya ingin menitipkan anaknya di sekolah. “Pernah ada satu kejadian, seorang siswa SLB lain yang ternyata tidak memiliki rapor dan Nomor Induk Siswa (NIS) baru mau masuk di kelas VI di sini. Terpaksa sekolah tidak bisa terima karena sekarang semuanya harus ada datanya. Tidak bisa sembarang.” Ketika berkunjung ke kelas-kelas untuk melihat siswa dan guru berinteraksi, pertama saya masuk ke satu ruang bernama Ruang Buah. Seorang guru bernama Nurhayati yang sedang mengajar memanggil saya. Perempuan kelahiran Kaluppi ini menjadi guru di SLB Laniang selama sembilan tahun. Nurhayati pertama kali mengabdi sebagai guru SLB di Ternate. Nurhayati sudah menjadi pegawai negeri sipil selama dua puluh empat tahun. Walaupun saat sedang menempuh pendidikan banyak keluarga yang kontra dengan keputusannya. Menurut mereka, guru SLB tidak memiliki masa depan yang jelas karena peluang menjadi PNS dipandang kecil. Namun, Nurhayati muda kukuh mempertahankan tujuannya hingga akhirnya berbuah manis. Saat selesai kuliah tahun 1994, pada tahun itu juga Nurhayati terangkat menjadi PNS. Namun, bukan hanya ambisi untuk menjadi seorang pegawai negeri. Lebih jauh Nurhayati mengatakan, “Kalau mengajar di SLB harus ki sabar. Kita harus abdikan diri ta di sini. Lihat meki itu anak-anak harus ditegasi tapi bahagia ki juga karena lucu ki. Jadi dibawa santai saja.” 82


SLB Laniang, Makassar

Baginya, menjadi guru apalagi wali kelas untuk anak kelas empat sekolah dasar khusus untuk penyadang tuna grahita sudah menjadi jalan hidupnya. Ibu dua orang anak ini juga bercerita tentang banyaknya perjalanan dan hotel yang telah ia kunjungi untuk mengikuti pelatihan untuk menambah kemampuannya sebagai guru SLB. Baginya program GLS sudah dijalankan oleh SLB Laniang sejak dulu. Hanya saja penamaan dan program ini baru muncul dengan nama “Gerakan Literasi Sekolah� beberapa waktu belakangan ini. Menurutnya, GLS adalah sebuah program yang sangat baik diterapkan sebab siswa SLB adalah anak-anak yang membutuhkan pembiasaan. Jadi, datang di pagi hari, apel, memimpin doa dan lainnya itu akan membuat anak-anak terbiasa. Bahkan sejak program ini berjalan, kata Nurhayati, banyak orang tua yang tidak lagi terlambat membawa anaknya ke sekolah. Banyak pula orang tua mulai menunggu anaknya belajar, khususnya untuk kelas I dan II yang masih butuh pendampingan. Nurhayati bersama guru yang lain juga pernah mengikuti pelatihan terkait GLS. Nurhayati merasa sangat bangga ketika semua perwakilan guru yang hadir tidak menghafal mars PPK yang ada. Hanya dia seorang yang mengetahui karena setiap hari dinyanyikan di SLB Laniang. Dia juga beranggapan bahwa sekolahnyalah yang mampu melaksanakan program GLS ini dengan baik karena mereka mampu memberikan pengetahuan dan membangun pola keseharian para murid-muridnya. Perempuan berusia 47 tahun bertubuh cukup berisi dengan kulit sawo ini berharap semoga program yang sangat baik ini bisa dioptimalkan ke depannya, dengan lebih banyak fasilitas berupa lemari tempat menyimpan buku bacaan agar ketika selesai digunakan para siswa juga bisa menyimpannya kembali. Siswa-siswa juga membutuhkan permainan yang punya nilai literasi. “Mereka juga bosan kalau belajar terus ji, mereka juga harus mengasah keterampilan mereka,� tegas Nurhayati.

83


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Di SLB Laniang sendiri ada pembagian waktu khusus yang digunakan oleh siswa untuk belajar keterampilan berupa tata boga, tata busana, menjahit, dan juga memasak. Dengan durasi 12 jam per minggu untuk siswa SD kelas I - III, 14 jam untuk kelas IV –VI, 18 jam untuk siswa SMP; dan 24 jam untuk siswa SMA kelas I dan 26 jam untuk siswa SMA II-III. Khusus untuk kelas memasak, mereka tidak akan diminta memasak makanan hingga siap santap. Para siswa hanya membantu juru masak di dapur untuk mengiris sayuran dan pekerjaan sejenis lainnya. Pembicaraan kami berlangsung sembari sesekali Nurhayati menegur murid-muridnya yang berlarian dan berteriak-teriak. Tiga siswa yang hadir diminta untuk membaca, menulis, dan menghafalkan Pancasila. Nurhayati menambahkan bahwa perlu dilakukan pelatihan untuk para guru agar mereka bisa mengembangkan pengetahuan untuk diajarkan kepada murid-muridnya. Baginya yang membedakan SLB Laniang dengan SLB lainnya adalah karena di SLB Laniang terdiri dari sekolah reguler dan SLB. Hal ini dianggap baik bagi perkembangan para siswa, khususnya bagi siswa SLB karena bisa terbiasa bertemu dengan siswa sekolah reguler. Sehingga ketika sudah keluar dari lingkungan sekolah, mereka tidak akan kaget lagi ketika menemui teman sebayanya dari sekolah reguler. Untuk menghindari pertengkaran dan rundungan (bullying), para siswa sekolah reguler diberi sosialisasi terkait dengan kehadiran teman-temannya di SLB. Sesama siswa juga selalu diberitahu bahwa mereka bersaudara, harus saling mengasihi dan menyayangi, hal yang selalu ditunjukkan para guru ketika menyambut saya di dalam kelas. Bukan hanya itu, Arif siswa kelas II SMA penyandang tuna grahita juga biasa menjadi imam salat dhuha. Ia bergantian dengan Uga siswa kelas VI SD yang juga penyandang tunagrahita. Walaupun bacaan salatnya belum sempurna, tapi bisa dipahami oleh guru dan temantemannya. Ketika ditanyai wali kelasnya, Andi Suardana (55), surah apa yang biasa dibacanya, Arif menjawab, “Kul huallahu (Al-Ikhlas), alam 84


SLB Laniang, Makassar

Suasana belajar di ruang tunas kelas SLB Laniang.

nasra (Al-Insyirah), kul ausu bi rabbinass (An-Nas).� Arif saat SD dan SMP bersekolah di sekolah negeri Islam. Baru saat SMA, ibunya yang juga seorang guru di MAN 3 Makassar memasukkannya ke SLB. “Arif ini ketua kelas. Dia juga yang paling aktif dan cepat tanggap dibanding dengan teman kelasnya yang lain,� tambah Andi Suardana. Andi Suardana adalah wali kelas untuk kelas I dan II SMA khusus untuk anak-anak tunagrahita. Dari latar belakang pendidikan, Andi Suardana bukanlah lulusan pendidikan khusus SLB. Dia dulunya adalah lulusan guru Pendidikan Kewarganegaraan dan aktif di Lembaga Bantuan Hukum. Namun, saat aktif di sana, Suardana sering dilema ketika harus membela dan membantu orang-orang yang sebetulnya bersalah dalam beberapa kasus. Dari situlah dia merasa tidak betah dan memutuskan berhenti.

85


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Dia lalu membuka kios dan mengajar anak-anak kecil mengaji di rumahnya. Barulah tahun 2000-an Suardana diajak oleh temannya Nurhayati yang merupakan kepala SD Laniang kala itu untuk mengajar karena tenaga pengajar yang masih sedikit. Awalnya Suardana menolak dengan pertimbangan sejak awal memang tidak ingin mengajar. “Tapi Ibu Nurhayati minta tolong karena yang diajar juga anak sekolah dasar ji. Katanya ‘pasti bisa jeki itu’. Waktu mengajarnya juga tidak terlalu lama hanya beberapa jam dalam sehari,� akhirnya Suardana luluh dan menerima ajakan tersebut. Setelah beberapa tahun mengajar, Suardana diminta lagi untuk mengajar tata boga khusus untuk siswa SLB tingkat SMA. Walau belum menjadi PNS (tahun 2018, ketika tulisan ini disusun), Suardana ditunjuk menjadi wali kelas. Suardana juga pernah mengikuti pelatihan program GLS. Yang dia pahami adalah bagaimana seorang guru mampu memberikan pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan siswa-siswanya. Selain itu, menurutnya program ini sangatlah baik jika dikembangkan dengan optimal. Baginya, buku-buku di sekolah sudah cukup banyak, tetapi yang dibutuhkan ABK adalah proses pembiasaan bagaimana para siswa mampu mengurus kebutuhannya sendiri, seperti memakai baju, mencuci kaos kaki dan sepatu, dan kebutuhan lainnya. Menurutnya, yang perlu dilakukan agar program ini maksimal adalah pelatihan untuk guru-guru. Merekalah yang akan mendampingi para anak didiknya untuk belajar. Pihak sekolah juga membuat grup paguyuban orang tua dan guru. Semua kegiatan di sekolah bisa dipantau oleh orang tua melalui grup. Para orang tua juga mampu menyampaikan ketika anaknya tidak hadir atau akan izin. Namun, menurut Irma, orang tua murid (Fadlhan), dia tidak tahu menahu menyoal program GLS yang dilaksanakan sekolah anaknya. Seingatnya ia belum pernah dipanggil oleh pihak sekolah untuk membahas program GLS.

86


SLB Laniang, Makassar

Jadi, Irma hanya melihat perkembangan dan proses apel yang dilaksanakan sekolah di grup Whatsapp yang berisi orang tua siswa dan para guru. Selain itu, Irma rajin berkomunikasi dengan guru Fadhlan terkait perkembangan anaknya. Terbatasnya ruang kelas dan guru yang masih sedikit, Fadhlan dan tiga teman lainnya sesama tunarungu masuk pukul sembilan pagi setiap hari. Oleh sebab itu, Fadhlan dan temantemannya hanya bisa mengikuti apel bersama di hari Jumat karena pada hari itu semua siswa diwajibkan untuk ikut. Fadhlan mulai masuk siang sejak kelas IV SD tahun 2018. Irma sendiri tidak keberatan dengan hal ini. Malah sebaliknya, ia mengatakan, “Kalau masuk siang bagus. Ndak terlalu ribut kelas jadi Fadhlan bisa belajar dengan tenang.” Fadhlan berumur sebelas tahun dan seharusnya dia sudah kelas V. Irma baru memasukkan Fadhlan ke SLB setelah mengikuti terapi pendengaran. Awalnya banyak yang menawarkan agar Fadhlan disekolahkan saja di sekolah reguler. Tetapi, Irma menolak dengan mempertimbangkan proses belajar Fadhlan yang tentu berbeda dengan siswa di sekolah reguler. Bagi Irma, Fadhlan sama dengan anak-anak yang lain. Hanya saja, waktu kecil, Fadhlan pernah demam tinggi sehingga pendengarannya hilang. “Tetapi dokter bilang, kalau misalnya Fadlan ini bisa mendengar pasti dia bisa bicara. Dia juga bisa ji bilang ‘Mama Papa’ dan beberapa kata yang lain,” tambah Irma. Fadhlan juga mampu mendengar suara petir, pintu yang didobrak dan suara dentuman keras lainnya. Hanya untuk frekuensi pembicaraan sehari-hari yang rendah, Fadhlan tidak bisa. Juga ketika di rumah, Fadhlan bermain bersama teman-teman sebayanya yang tidak berkebutuhan khusus. Fadhlan juga kadang berkomunikasi dengan teman-temannya di sekolah menggunakan video call. Fadhlan dan teman-temannya juga saling berbalas chat menggunakan emotikon. Ketika Fadhlan ingin bertanya pukul berapa, emotikon yang dikirim adalah jam dan tanda

87


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

tanya. Irma tidak melarang Fadhlan untuk memegang gawai, karena baginya ketika ia sedang tidak di rumah, Fadhlan bisa menghubunginya sewaktu-waktu untuk bertanya Irma berada di mana dan akan pulang pukul berapa. Setiap hari setelah pulang sekolah, Irma akan memeriksa apa yang sudah dipelajari Fadhlan dan biasanya ketika ada tugas, para guru akan menulisnya di buku pelajaran siswa. Selain itu, Irma juga tetap mengajarkan Fadhlan banyak hal di rumah untuk menyeimbangkan pengetahuan yang didapatkan sang anak. Fadhlan dan teman-temannya juga sering diajak untuk ikut lomba seperti menari Gandrang Bulo dan semacamnya. Irma tidak mengeluarkan uang untuk membayar biaya sekolah Fadhlan. SLB Laniang memberlakukan sistem subsidi silang bagi siswanya. Siswa yang mampu membayar dan untuk siswa yang orang tuanya memiliki surat keterangan tidak mampu akan digratiskan. Pun begitu para siswa mendapatkan fasilitas yang sama, seperti seragam, sepatu, hingga tas sekolah. Di SLB Laniang sendiri ada bantuan untuk para siswa sebesar Rp2 juta/siswa untuk setahun bagi mampu dan tidak mampu. Menurut Alim, bantuan itu berasal dari dana BOS yang juga dipakai untuk membeli dan memenuhi kebutuhan siswa dalam proses belajar mengajar, seperti pengadaan buku, peralatan untuk belajar keterampilan, lemari, dan fasilitas penunjang lainnya. Sementara bagi siswa, seperti Qiyan dan Juanito, mereka tidak tahu menahu tentang program GLS. Mereka hanya menjawab, “Oh, yang salam PPK, salam literasi, kak?� “Kendala yang dialami untuk menjalankan program ini karena anakanak berkebutuhan khusus membutuhkan pendampingan dan kita perlu melakukan proses pembiasaan kepada mereka. Jadi kami membantu mereka untuk mencerna sesuai dengan yang mereka bisa seperti mengamati gambar lalu menceritakannya,� terang Alim.

88


SLB Laniang, Makassar

Di sekolah yang bertingkat tiga ini, siswa-siswa SLB diperbolehkan untuk jajan di kantin dengan syarat harus diketahui oleh guru dan jajanan yang tidak akan menambah parah syndrome mereka. Pun begitu, banyak juga siswa yang membawa bekal sendiri. Qiyan, siswa kelas IV penyandang tunagrahita, adalah salah satu siswa yang menurut wali kelasnnya sangat sering jajan coklat dan minuman berharga seribuan yang seharusnya tidak dikonsumsinya. Qiyan berumur sebelas tahun, bertubuh tinggi, kulit putih, dengan postur tubuh yang proporsional. Melihatnya pertama kali, bisa jadi akan banyak orang tidak menyangka bahwa dia adalah anak yang berkebutuhan khusus. Saat berbicara dengannya, ia merespon dengan baik walau harus mengulangnya sekali dua kali. Rumah Qiyan tidak jauh dari sekolah. Ia memiliki kakak dan adik yang dihidupi oleh seorang ayah yang bekerja di bengkel mobil. Saya bertemu dengan Qiyan saat ia kembali dari kantin membeli segelas minuman jelly dan coklat pasta yang berhadiah kartu yang dikoleksinya. Sedangkan Juanito penyandang tunagrahita berusia empat belas tahun. Tubuhnya tinggi besar dengan kulit yang coklat. Pertama kali berjumpa dengannya dia menyambut saya dengan hangat lalu selanjutnya terus bertanya dan menjelaskan perihal bencana alam yang terjadi di seluruh dunia. Pertanyaan seputar “mana gempa yang lebih besar Lombok atau Palu? Waktu tsunami Aceh meninggal semua orangkah? Kenapa Jakarta selalu banjir? Kenapa Gunung Agung meletus?,” hingga pertanyaan yang tidak disangka “siapa yang kita pilih: Prabowo atau Jokowi”. Menurut wali kelasnya, semua yang ditanyakan oleh Juanito adalah apa yang dilihat dan dibacanya di gawai. Sejak pertama bertemu Juanito, ia selalu menyalami tangan saya dan memaksa semua temantemannya melakukan hal yang sama. Walau saat meminta hal itu, dia selalu dilema hendak memanggil saya “kak” atau “ibu guru”.

89


SLB NEGERI 1 MAKASSAR Achmad Teguh Saputro

Literasi merupakan jawaban untuk bersaing di tingkat global. Word Economy Forum Tahun 2015 merumuskan 16 kompetensi abad 21 yang harus dikuasai siswa dan literasi menjadi kunci utama. Berbagai studi internasional seperti PIRLS, PISA, dan TIMSS menunjukkan pencapaian literasi menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan negaranegara maju dan berkembang. Kemendikbud kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Berdasarkan peraturan tersbut, lahirlah program Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Penerapan GLS secara konsisten dan berkesinambungan, didukung dengan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan, diyakini dapat membentuk ekosistem sekolah yang literat.1 GLS di Sulawesi Selatan pertama kali digerakkan pada 16 September 2016 lalu, diluncurkan langsung di SMA Negeri 17 Makassar oleh Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto. Namun, saat itu hanya

1

uku elektronik Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan B Dasar dan Menengah, Panduan Praktis Gerakan Literasi Sekolah, 2017 (https://psmk. kemdikbud.go.id/epub/reader/2957/panduan-praktis-gerakan-literasi-sekolah, diakses pada 19 November 2018, pukul 21:11 Wita).

90


Nurhayati sedang menceritakan isi buku anak dengan menggunakan bahasa isyarat.

menggandeng sekolah-sekolah umum di Kota Makassar.2 Sementara GLS untuk Sekolah Luar Biasa (SLB) baru terbentuk sekitar dua tahun setelahnya. Singkat cerita, Pada 12 September 2018, Dinas Pendidikan Sulawesi Selatan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) tentang Pembentukan Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah (Satgas GLS) Sekolah Luar Biasa, dan mengangkat Kepala Sekolah SLB Negeri 1 Makassar, Muh. Hasyim, S. Pd., M. Pd, sebagai ketua Satgas GLS SLB Sulsel.3 Hasyim dan beberapa guru-guru SLB Negeri 1 Makassar memang sudah mendengar dan mengikuti sarasehan mengenai GLS ini sejak tahun 2014 lalu. Hanya saja, baru tahun ini Hasyim mempunyai kesempatan untuk membentuk GLS SLB Sulsel saat mengikuti acara sarasehan yang 2

3

nnga Indrawan, “Wali Kota Makassar Luncurkan Gerakan Literasi Sekolah�, Republika. A co.id, 2016. (https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/09/16/odlsl4365-walikota-makassar-luncurkan-gerakan-literasi-sekolah, diakses pada 20 November 2018, pukul 00:46 Wita). Surat Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan, Nomor: 188.4/1511-P. PK/LK-BS/Disdik (lampiran terpisah)

91


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

dihadiri langsung oleh Kepala Dinas Pendidikan Sulsel, H. Irman Yasin Limpo, SH. “Tidak gampang kemarin itu keluar SK, saya memang langsung bikinkan draf SK-nya baru saya bawa ke Pak Kadis, jadi dia tinggal tanda tangan saja. Jadi bisa dibilang kami waktu itu ‘menjemput bola’ memang. Karena kalau mau ditunggui dari atas, lama pasti,” ujar Hasyim saat dijumpai di kantornya pagi kemarin.4 Setelah terbentuk, ada lima tahapan yang menjadi Rencana Strategi untuk GLS SLB di Sulsel. Pertama, Penguatan/Sosialisasi Awal, bentuknya lebih kepada mengajak dan membentuk Satgas GLS SLB di setiap SLB di Sulsel, jika guru atau perangkat Satgas dari sebuah SLB kurang, maka bisa digabungkan dengan SLB lain untuk pembentukan Satgas bersama. Kedua, Penguatan Pelaku Literasi, merupakan bentuk peningkatan pihak-pihak yang terlibat dalam program GLS SLB ini, seperti pelatihan lierasi atau lokakarya menulis untuk para pengajar maupun para siswa. Ketiga, Pelibatan Publik dan Pegiat Literasi, di mana bentuknya semacam kegiatan yang melibatkan para guru, siswa, orang tua, dan pegiat lierasi lainnya. Keempat, Penyediaan Bahan Baca, bentuknya adalah menyediakan bahan-bahan bacaan yang sesuai dan relevan dengan umur dan kondisi khusus siswa, misalanya saja buku yang banyak gambar ilustrasinya untuk anak-anak tunagrahita dan buku braille untuk penyandang tunanetra. Kelima, Sosialisasi dan Dokumentasi, merupakan bentuk sosialisasi dan pelaporan dari hasil program-program GLS untuk kalangan yang lebih luas. Semua rancangan strategis ini diharapkan dapat berjalan secara utuh di tahun 2020-2024. Karena masih terbilang baru, untuk saat ini GLS SLB Sulsel masih pada tahapan penguatan awal atau sosialisasi, dengan mengajak semua SLB se-Sulsel untuk membentuk Satgas GLS SLB. Kini baru ada lima SLB dari tiga kota/kabupaten yang mulai menjalankannya, yaitu satu SLB di

4

Senin, 19 November 2018.

92


SLB Negeri 1 Makassar

Pare-pare, satu SLB di Wajo, dan tiga SLB di Makassar (SLB Negeri 1 Makassar, SLB Negeri 2 Sulsel, dan SLB Laniang). Dari kelima SLB yang sudah menggerakkan GLS SLB ini, baru SLB Negeri 1 Makassar yang sudah memiliki SK Satgas dari GLS SLB Sulsel. Hasyim mengaku ia masih menunggu laporan kesiapan keempat sekolah lainnya. Masih terbilang sangat sedikit memang jika mengetahui bahwa ada 82 SLB yang menjadi targetnya di seluruh Sulsel, itu pun belum termasuk daerah pemekaran, yakni Luwu, Luwu Timur, dan Luwu Utara. *** Pagi itu di Jalan Daeng Tata Raya terpantau padat lancar, anak-anak berseragam sekolah dan beberapa pemuda berpakaian putih-hitam berbalut jaket terlihat lalu-lalang. Pagi yang sibuk seperti ini berlangsung setiap hari kerja. Tidak jauh dari Gapura Jalan BTN Hartaco Indah, terlihat pelang besi kuning terang bertuliskan “UPTD SATUAN PENDIDIKAN SLB NEGERI 1 MAKASSAR�. Dari plang tadi, saya berbelok masuk kurang lebih 200 meter, menyusuri sebuah lorong dengan deretan rumah di bahu kiri jalan, lorong ini dinamai Lorong SLB, karena di ujung lorong kita akan langsung berhadapan dengan Gerbang Utama SLB Negeri 1 Makassar. Saya memarkir motor di bawah teduhan pohon, yang berada sekitar 50 meter serong kanan dari gerbang masuk tadi. Memang luas area parkirnya, saya hitung-hitung, bisa muat sepuluh sampai lima belas mobil. Tepat di kiri pos keamanan, ada dua persimpangan jalan yang bisa kita temui. Kalau belok kanan melewati portal besi, berarti masuk ke area sekolah. Sedangkan jika berjalan terus melewati samping pos keamanan, akan didapati beberapa rumah dinas sekolah. Masuk dari pintu kaca kantor sekolah, saya langsung disuguhi pemandangan lemari piala kaca di kanan, isinya berbagai bentuk piala prestasi lomba siswa-siswinya. Di kiri ada sebuah meja kayu dan alat 93


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

finger print untuk absensi para guru dan pegawai sekolah. Sedangkan di depan saya ada tangga ke ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha sekolah. SLB Negeri 1 Makassar berdiri sejak 1984, dengan luas keseluruhan 26.436 meter persegi5, terdiri dari 27 ruang kelas dan 31 ruang non-kelas, seperti perpustakaan, aula, masjid, ruang tata usaha, ruang fisioterapi, ruang guru, pusat braille, laboratorium IPA, ruang tata rias, ruang tata busana, ruang tata boga, bengkel otomotif, ruang musik, dll. Itu pun belum termasuk taman, gudang, dan WC. Tamannya yang teduh dengan sebuah pohon besar di tengahnya, menjadi area bermain siswa dengan beragam jenis permainan anak, salah satunya seluncuran. Taman ini dilengkapi jalan setapak kecil dari batako yang meliuk memutari pohon dari bangunan kantor kebangunan fisioterapi. Sedangkan taman bermain yang berada di seberangnya, yang berada di depan ruang kelas dan ruang braille terlihat kurang terawat. Rumputnya lebat, setinggi betis bahkan lutut orang dewasa. Meskipun begitu, anak-anak masih sering menggunakan seluncuran yang ada di tengah taman itu. Selain sebagai sekolah luar biasa, SLB Negeri 1 Makassar ini juga memiliki pusat percetakan braille, yang telah mencetak buku pelajaran khusus tunanetra di wilayah Makassar dan sekitarnya sejak tiga tahun terkahir. Kepala sekolah bercerita bahwa sudah sekitar 10 tahun pusat braille di sekolah luar biasa itu berjalan. Alat cetaknya merupakan bantuan dari Norwegia. Kini dia sedang mengusulkan ke dinas terkait agar percetakan buku-buku dan soal-soal ujian dalam bentuk braille untuk Indonesia bagian timur, dicetak di Makassar saja. Bisa lebih hemat anggaran jika dibandingkan semua soal-soal ujian dicetak di Jakarta. Juga mengingat di Makassar sudah ada dua sekolah yang memiliki pusat

5

h ttp://dapo.dikdasmen.kemdikbud.go.id/sekolah/DBAD56103225A832DA10, diakses pada 27 November 2018, pukul 14:08 Wita.

94


SLB Negeri 1 Makassar

percetakan braille, yaitu SLB Negeri 1 Makassar dan SLB-A Yapti, di Jalan Kapten Pierre Tendean Blok M No.7, dekat Kantor Dinas Sosial Kota Makassar. Di SLB Negeri 1 Makassar, saat ini ada 64 orang guru PNS dan 27 guru honorer yang membina 271 siswa yang terdiri dari 5 jurusan, yaitu Tipe-A/tunanetra, Tipe-B/tunarungu, Tipe-C/tunagrahita, Tipe-D/ tunadaksa, dan Tipe-F/autis. Tingkatan

Jumlah Siswa Per Jurusan Tipe-A

Tipe-B

Tipe-C

Tipe-D

Tipe-F

SDLB

4

26

63

10

30

SMPLB

3

16

29

5

2

SMALB

21

26

31

2

3

Total

28

68

123

17

30

Pukul 07.00, Para siswa satu per satu berdatangan, banyak dari mereka datang dengan pengantar atau orang tua mereka. Beberapa orang tua bahkan terlihat mengantarkan anaknya sampai ke dalam sekolah. Pukul 07.30, para guru sibuk memanggil dan mengajak siswa mereka yang berkumpul dan bermain di taman untuk masuk belajar. Siswa kelas SMPLB dan SMALB terlihat sudah paham dan secara mandiri ke kelas masing-masing, kalau belum ada gurunya, mereka melanjutkan bermain atau mengobrol di dalam kelas. Sedangkan siswa SDLB masih harus dihampiri bahkan ditarik masuk ke kelas, khususnya yang masih kelas 1 dan 2. Pagi itu, saya mengunjungi kelas Hj. B. Nurniyati, S. Pd., M. Pd., MM, perempuan paruh baya kelahiran Sinjai yang merupakan Wali Kelas III SDLB-B, sekaligus sebagai Ketua GLS SLB Negeri 1 Makassar. Di dalam kelas, ia membuat pojok baca dengan meja buku dan sebuah karpet di sampingnya, dijadikan sebagai tempat membaca buku. Di sekeliling dinding kelas berukuran sekitar 5x5 metrer itu dihiasi degan 95


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

berbagai macam hasil kerajinan tangan siswa, juga alat-alat pendukung pembelajaran, seperti daftar penjumlahan, pengurangan, poster informasi, dll. Bahkan sampai jendelanya pun juga hampir penuh digantungi hal serupa. Setelah Nurniyati membuka kelas dengan berdoa dan menyanyikan lagu “Indonesia Pusaka� dengan menggunakan bahasa isyarat bersama muridnya, kegiatan belajar mengajar dilanjutkan dengan membaca buku cerita di pojok baca. Sambil melantai bersama empat muridnya, Nurniyati menjelaskan macam-macam jenis toko yang ada dalam buku dengan bahasa isyarat. Buku yang terpajang di pojok-pojok baca itu dikirim langsung dari Jakarta. Tidak banyak pilihan buku memang, karena harus dibagi juga ke kelas-kelas lain dan perpustakaan sekolah. Kata Nurniyati, hanya beberapa kelas saja yang seperti kelasnya, karena ada juga kelas Satgas GLS SLB yang sekadar menyediakan buku bacaan di atas meja di sudut ruang kelas. “Ya begitu mi, ka tidak bisa juga semua kelas dihias ramai, apalagi yang seperti anak C (tunagrahita) dengan autis, bisa-bisa dia cabuti semua ji,� tambahnya. Dalam proses belajar mengajar, setiap kelas memang hampir sama. Kelas dimulai dengan berdoa lalu masuk ke materi pelajaran, tidak terkecuali dengan anak tunagrahita, tunadaksa, dan autis. Yang menjadi pembeda kelas Satgas GLS SLB karena mereka menambahkan kegiatan membaca sebelum kelas dimulai, sebagai bagian dalam menjalankan program GLS di kelas mereka. Memang belum semua kelas menjalankannya, hanya kelas yang gurunya masuk menjadi Satgas GLS SLB yang sudah tersedia pojok baca di kelas mereka. Jadi sistemnya masih sukarelawan, yang mau silakan jalankan, jika belum mau pun tidak apa-apa. Nurniyati juga bilang, bahwa sebenarnya yang dicanangkan dalam program GLS ini sudah sejak lama mereka laksanakan, namun istilahnya

96


SLB Negeri 1 Makassar

Suasana belajar dan mengajar di kelas SMALB-D (tunagraha).

saja yang beda. “Mungkin karena lagi musimnya orang membahas literasi ini,� tutupnya. Satgas GLS SLB di SLB Negeri 1 Makassar resmi dibentuk sejak 1 Oktober 2018 dengan total 43 pengurus Satgas GLS SLB yang hampir semuanya merupakan tenaga pengajar/wali kelas di SLB Negeri 1 Makassar itu sendiri. Langkah itu diambil untuk melibatkan langsung para wali kelas dalam menjalankan program-program GLS SLB, ditambah juga karena wali kelaslah yang dianggap paling mengerti kondisi para siswanya. Untuk program kerja GLS SLB itu tidak jauh beda dengan program GLS pada sekolah reguler seperti yang tertera pada Panduan Praktis Gerakan Lietasi Sekolah yang dikeluarkan oleh Kemendikbud. Hanya saja

97


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

khusus untuk GLS SLB, pembuatan programnya itu dibuat lebih fleksibel, menyesuaikan kebutuhan khusus para siswanya. Karena bagi Hasyim, kebutuhan akan jenis literasi dan kegiatan literasi yang memadahi di setiap SLB pastinya berbeda-beda. Harus diberikan keleluasaan kepada mereka untuk membuat program-programnya sendiri. Di SLB Negeri 1 Makassar, Nurniyati bersama para Satgas yang lain merancang program berupa pojok baca di setiap kelas dan kegiatan tambahan di setiap Jumat pagi. Kegiatan tambahan itu terus diganti di setiap pekannya, contohnya saja pekan kemarin mereka melakukan olahraga, maka Jumat berikutnya mereka melakukan zikir dan salat duha, kemudian Jumat depannya mereka berencana melakukan gerak jalan keliling sekolah, dan sebagainya. Sehari sepekan dengan kegiatan yang variatif dirasa cocok dengan lingkungan anak-anak di sana, mengingat juga banyak anak-anak tunagrahita dan autis, yang memang banyak di antara mereka sulit untuk tenang dan mudah bosan. “Ya begitulah anak-anak di sini, kareana kalau memang dia sudah bosan atau tidak mau, pergi saja mi dari kelas. Jadi guru-gurunya mi saja yang mengerti,� ujar Nurniyati sambil tertawa kecil. Bagi Nurniyati, ada tiga jenis literasi yang butuh diterapkan di setiap sekolah, baik sekolah reguler maupun SLB, yakni literasi karakter, literasi baca, dan literasi keterampilan. Literasi karakter adalah yang paling utama baginya, karena karakter merupakan tolok ukur nilainya sebagai manusia. Literasi membaca merupakan proses mendapatkan informasi, semakin banyak siswa membaca, maka semakin banyak yang mereka ketahui, lalu dari pengetahuannya itulah mereka akan dapat melakukan sesuatu secara terampil. Sedangkan literasi keterampilan merupakan bekal para siswa untuk bekerja guna menghadapi tantangan abad ke21. Itu semua ia dapatkan dari kegiatan Sarasehan dan Pelatihan Literasi guru-guru di Tangerang pada 2014 lalu. Dalam menjalankan GLS selama lebih dari sebulan ini, Nurniyati bersama Satgas GLS lainnya menyisihkan sebagian kecil dari gajinya 98


SLB Negeri 1 Makassar

untuk kebutuhan dekorasi kelas dan hal semacamnya. Inisiatif itu juga muncul setelah mendengarkan himbauan dari kegiatan Sarasehan dan Pelatihan Literasi yang pernah diikutinya bersama beberapa rekan guru yang lain di Tangerang. “Memang pernah itu disampaikan bahwa untuk guru-guru yang sudah sertifikasi, bisalah menyumbangkan sedikit gaji sertifikasinya. Jadi kami itu guru-guru di sini yang keluar gaji sertifikasinya yang ta’ 10 juta, kan lumayan mi kalau dia sumbangkan 100-200 ribu untuk ini kegiatannya anak-anak,� ceritanya. Walaupun harus mengeluarkan gaji pribadi untuk program-program GLS di SLB Negeri 1 Makassar, para Satgas GLS di sana tetap semangat dan merasa penting untuk terus menjalankan GLS ini. Bagaimana tidak, baru sebulan lebih mereka menjalankan program GLS di sekolah, sudah beberapa kabar baik yang berdatangan. Hal pertama yang dicerita Nurniyati adalah pada saat selesai melaksanakan program salat duha berjamaah di lapangan sekolah pada hari Jumat beberapa minggu lalu. Saat kabar program salat duha mereka sampaikan ke orang tua siswa, banyak orang tua siswa yang antusias dan ikut melaksanakan salat duha berjamaah bersama anaknya pagi itu. Salat berlangsung lancar walupun banyak juga anak-anak yang berkeliaran, umunya dari kalangan tunagrahita. Tapi itu hal wajar kata guru-guru mereka. Tidak sampai di situ saja, setelah salat duha pun ada beberapa orang tua yang bercerita ke pada guru-guru bahwa dia sangat senang melihat anaknya dapat salat berjamaah seperti di pagi itu. Bahkan sampai ada anak yang membawa tasbih di setiap Jumat setelahnya, karena berfikir mereka akan zikir dan salat duha lagi. Jumat ini saya sempat menyaksikan rangkaian zikir dan salat duha berjamaah. Pagi itu cuaca sedang cerah. Guru-guru, siswa-siswi, dan beberapa orang tua siswa berkumpul di lapangan upacara depan gedung kantor sekolah. Di atas susunan batako mereka menghamparkan tenda biru untuk menjadi alas kegiatan GLS SLB pagi itu, yakni salat duha berjamaah. 99


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Salat duha berjamaah di lapangan upacara sekolah.

Di bagian terdepan, orang-orang berpakaian koko putih terang dan sajadah beraneka warna, sedangkan barisan mukena putih memenuhi bagian bekang, semuanya membentuk saf menutupi tenda biru tadi. Hanya sedikit di bagian belakang yang tersisa. Sekitar pukul delapan, bayangan pohon yang meneduhi mereka mulai bergeser perlahan ke bagian belakang saf. Para guru, siswa, dan orang tua yang telah bersaf di lapangan bergegas melaksanakan salat duha berjamaah, berzikir, membaca beberapa surah pendek, dan berdoa. Kemudian rangkaian kegiatan GLS itu ditutup dengan informasi rencana kegiatan Jumat depan, yakni gerak jalan bersama keliling sekolah. Di akhir acara semua siswa dan guru berhamburan masuk ke kelas, 100


SLB Negeri 1 Makassar

sementara Satgas GLS SLB dan beberapa siswa tinggal di lapangan untuk melipati tenda dan membereskan speaker beserta kabelnya. Hal selanjutnya yang diceritakan Nurniyati adalah cerita dari Abi, seorang anak SDLB tunagrahita yang sempat mengikuti program membaca GLS SLB. Saat itu Abi bersama teman kelasnya mengikuti kelas membaca di bawah sebuah pohon di taman sekolah, karena Abi belum bisa membaca, saat itu gurunya berinisiatif untuk membacakan buku cerita itu dan menggunakan nama Abi sebagai pengganti nama tokoh dalam buku terbut. Ceritanya tentang anak yang setiap dia pulang dari sekolah, dia selalu menyimpan rapi barang-barangnya. Sepatu diatur pada rak sepatu, tas disimpan dengan rapi, dan hal-hal lainnya. Di keesokan harinya, ibu Abi datang menghampiri guru kelas Abi seraya bertanya, “apa yang kita’ ajarkan ke Abi bu? Kemarin itu tiba-tiba na atur sendiri barang-barangnya pas sampai rumah.� Setelah itu, gurunya pun menjelaskan tentang buku cerita yang dibacakannya saat itu kepada Abi. Meskipun sudah ada Ibu Abi yang kini mendukung dan senang dengan program GLS SLB, masih banyak orang tua siswa lain yang menjadi PR para Satgas GLS SLB Negeri 1 Makassar. Sempat saya bertemu dan bercerita dengan beberapa ibu-ibu orang tua siswa dari kelas I dan II SDLB-F (autisme) di teras depan gedung kesenian yang sudah tak terpakai karena alat yang sudah tua dan rusak, tepat di samping bangunan kelas belajar untuk siswa autisme. Mereka duduk mengobrol selagi menunggu anak-anaknya pulang. Katanya, memang setiap hari mereka mengantar dan menunggu anaknya sampai pulang sekolah. Berkaitan dengan kegiatan salat duha bersama, mereka sangat mendukung dan merasa bahwa kegitan seperti salat duha dan zikir bersama itu sangat baik untuk membuat anak-anak mereka terbiasa dengan kegiatan agama. Meski begitu, orang tua menyarankan agar kegiatannya di ruang aula saja untuk salat, sebab cukup panas jika di luar ruangan.

101


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Namun secara keseluruhan tentang konsep GLS, mereka masih belum banyak tahu. Mereka tahunya setiap Jumat pagi ada kegiatan literasi yang sekolah adakan. Selain itu, mereka juga berharap kegiatan membaca/ dibacakan buku juga lebih sering buat anak-anak mereka, sebab mereka berpendapat bahwa anak-anak tipe autisme seperti anak-anak mereka itu, daya tangkapnya lebih cepat terhadap hal-hal yang berifat bacaan atau dongeng. “Itu anak-anak cepat sekali kalau ada yang mereka lilhat, terus mereka tiru,� tambah Ibunya Aisyah (siswi kelas I SDLB-F). Sedangkan Muhammad Farhan Ar, seorang siswa kelas X SMALB-B justru menyatakan bahwa teman-temannya butuh lebih banyak penggunaan bahasa isyarat untuk setiap kegiatan GLS. Dia juga memberitahukan bahwa teman-temannya juga masih butuh untuk belajar tentang bahasa isyarat. Saat saya dan Farhan berbincang, memang kami sedikit terkendala dengan cara komunikasi. Sebab saya masih sangat awam soal bahasa isyarat, sedangkan jika menggunakan teks, Farhan yang kebingungan. Bentuk susunan kalimat Farhan seringkali tidak beraturan, bahkan tidak jarang dia kurang mengerti dengan pertanyaan yang saya ketik di layar gawai. Dalam jalannya program GLS di SLB Negeri 1 Makassar, dukungan tak hanya datang dari dalam lingkup sekolah saja. Pernah saat saya sedang mengobrol santai di ruang kepala sekolah dengan Hasyim, tibatiba Nurniyati datang dengan begitu bersemangat dan membawa kabar gembira. Dia baru saja mendapat telepon dari dua orang teman lamanya (seorang dosen dan seorang dokter) yang bersedia menjadi donatur 50 pcs baju kaos untuk dibagikan ke Satgas GLS SLB Negeri 1 Makassar di kegitan Gerak Jalan GLS SLB mereka di Jumat pekan depan. Rencananya, mereka akan gerak jalan bersama seluruh siswa di lingkungan sekitaran SLB Negeri 1 Makassar. Di balik semangat dan program yang terus dijalankan oleh para Satgas GLS SLB Negeri 1 Makassar, mereka juga menyimpan banyak 102


SLB Negeri 1 Makassar

kekhawatiran besar. Seperti halnya soal dana yang sampai saat ini masih tergantung dari kedermawanan para Satgas GLS, yang membuat mereka tidak bisa berbuat banyak dengan dana yang sangat minim tersebut. Lebih jauh dari itu, Hasyim dan Nurniyati selaku penggerak GLS juga khawatir mengenai akan pensiunnya penanggung jawab Bidang Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK) Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan menengah Kemendikbud, Achmad Yusuf. Sebab mereka berpikir bahwa bisa saja program GLS ini akan berubah lagi menjadi program lain saat penanggung jawab di pusat telah berganti, contoh umumnya saja kurikulum pendidikan yang berganti seiring dengan bergantinya mentri pendidikan. Kini para Satgas GLS SLB Sulsel dan Satgas GLS SLB Negeri 1 Makassar hanya bisa bergerak sebisanya dan seadanya, sambil berharap penyusunan anggaran untuk GLS SLB dianggarkan pada awal tahun depan sebelum pensiunnya Achmad Yusuf.

103


MENJADI GURU SLB DI WAJO Haerun AT, S.Pd., M.Pd

Menyelesaikan pendidikan Strata 1 pada Jurusan Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar tahun 2008 adalah hal yang sangat membanggakan bagi saya. Setidaknya saya telah membahagiakan orang tua tercinta. Setelah gagal dengan cita-cita menjadi polisi, saya bertekad menjadi guru. Sekembalinya di kampung saya berusaha untuk menyampaikan ilmu yang saya dapatkan di bangku kuliah dan saya pun mengabdi pada sebuah pesantren yang cukup jauh dari tempat tinggal saya. Gaji yang saya terima pun tidak mampu menutupi pembelian bahan bakar. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 2009 terbukalah pendaftaran untuk CPNS. Atas ajakan teman-teman saya berangkat ke Kabupaten Wajo mendaftar sebagai guru dengan formasi guru Pendidikan Jasmani Sekolah Dasar. Setelah menjalani semua rangkaian pendaftaran sampai tes seleksi, sambil menunggu hasil tes, saya kembali melaksanakan tugas sebagai tenaga sukarela di pesantren. Akhirnya hari yang kami tunggu telah tiba, kami berusaha mencari informasi mengenai pengumuman hasil tes tersebut. Alhamdulillah, kabar gembira itu sampai kepada kami. Saya dinyatakan lulus menjadi PNS di Kabupaten Wajo. Sungguh nikmat yang luar biasa. Surat Keputusan dari Pemerintah Kabupaten Wajo tentang pengangkatan sekaligus penempatan sebagai guru saya terima pada Mei 2010. Kebahagian menyelimuti suasana pada saat itu, saya sendiri 104


Menjadi Guru SLB di Wajo

sangat merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Namun, kebahagiaan itu sedikit terusik setelah membaca nama sekolah dimana saya ditempatkan. Ternyata sekolah yang tertera dalam SK itu adalah Sekolah Luar Biasa. Hati saya bertanya ini sekolah apa karena baru kali ini saya mendengar nama sekolah seperti ini. Saya mulai mencari informasi dengan bertanya keteman-teman yang berdomisili satu kecamatan dengan sekolah ini, tapi mereka pun tidak mengetahui. Tidak butuh waktu lama saya meninggalkan tempat itu untuk mencari sendiri sekolah yang dimaksud dan akhirnya menemukan alamatnya. Begitu masuk disambut oleh seorang guru yang memang sudah mengetahui tentang adanya guru yang ditempatkan di sekolah ini. Saat berjalan masuk kembali saya bertanya dalam hati, kenapa sepi? Siswanya ke mana, padahal ini hari sekolah? Tidak lama kemudian teman guru yang lain datang dan menyalami saya. Betapa gembiranya mereka karena ternyata sejak didirikannya sekolah ini belum pernah ada guru Penjas dan pada saat itu juga tidak ada guru laki-laki di sekolah ini. Saya pun merasa beruntung dan tersanjung dengan kondisi ini. Tetapi rasa itu tidak bertahan lama setelah sampai di ruang admnistrasi saya bertemu seorang siswa, yang secara sepintas tidak ada kelainan; tampan dan bersih. Saya menyapanya sembari mengajukan beberapa pertanyaan tapi siswa ini tidak merespons. Seorang tenaga pengadministrasian mendekati saya dan mengatakan yang sebenarnya. Ternyata dia seorang tuna rungu. Semua berubah. Perasaan ini berkecamuk kenapa saya ditempatkan di sekolah ini. Mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB) bukan perkara mudah apalagi tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Tapi itulah kenyataan yang saya alami. Saya membayangkan bagaima cara saya mengajar karena sama sekali tidak ada pengalaman dalam menghadapi anak berkebutuhan khusus (ABK). Saya tidak nyaman dengan kondisi ini, bahkan berfikir untuk pindah sekolah. Dua bulan hal itu saya alami secara terus menerus. 105


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Saya bahkan menyampaikan keadaan saya ini pada keluarga. Meraka pun memberikan dukungan dan semangat kepada saya untuk tetap bertahan. Saya tidak berhenti. Sampai pada akhirnya saya memberanikan diri menghadap kepala sekolah untuk menyampaikan kegalauan yang saya rasakan. Saya menyampaikan keinginan kepada kepala sekolah untuk pindah ke sekolah lain. Dengan bijak kepala sekolah menanggapi keinginan saya saat itu dengan memberikan masukan dan petunjuk agar saya tetap bertahan di sekolah ini. Ada pernyataan yang membuat saya tersentuh ketika kepala sekolah memberi pandangan bahwa mereka itu adalah anak bangsa yang juga membutuhkan pendidikan, termasuk jasmani dan kesehatan, sama halnya dengan sekolah reguler. Mendengar hal itu saya merasa bersalah terhadap apa yang saya lakukan. Saya mencoba menjalani tugas ini. Hari demi hari saya lalui berusaha untuk beradaptasi. Pada sisa jam pelajaran saya kumpulkan siswa untuk belajar memahami mereka, belajar bahasa isyarat kepada tuna rungu, bertanya kepada mereka tuna daksa dan tuna netra mengenai kondisi dan kemampuan mereka terhadap gerakan-gerakan dalam pelajaran Penjas. Setelah melakukan observasi beberapa waktu, saya pun mulai mengetahui bahwa meraka sangat antusias ketika saat pelajaran Penjas tiba. Ternyata mereka lebih senang belajar di luar dari pada belajar di dalam ruangan. Semangat itu kembali hadir dalam diri ini. Dalam perjalanannya, saya mulai melihat di balik keterbatasan ternyata ada potensi luar biasa yang mereka miliki yang mesti kita dukung. Potensipotensi itu mulai bermunculan seakan membuat saya tidak percaya akan hal ini. Saya berani mengatakan bahwa mereka bahkan lebih hebat dari kita yang “normal�. Ketika ini dikaitkan dengan literasi sekolah, maka sejak dulu mereka telah melaksanakannya. Contoh mereka lebih menguasai IT dibanding gurunya. Mereka belajar bersama tentang bahasa isyarat dengan 106


Menjadi Guru SLB di Wajo

mengikuti gerakan yang ada pada buku. Mereka lebih senang belajar di ruang terbuka. Dan itu semua bagian dari literasi. Beberapa kegiatan yang pernah kami ikuti, baik kegiatan yang diikuti oleh siswa maupun oleh guru, kesemuanya mendapatkan hasil yang memuaskan. Ada yang berprestasi di bidang Pramuka, olahraga dan seni misalnya Lomba Tata Boga, Merias, Tata Busana, Kecantikan, Kriya kayu, desain grafis dll. Untuk guru, misalnya saya pada tahun 2017 mendapat kesempatan mewakili Sulawesi Selatan dalam Lomba Kreativitas dan Inovasi pembelajaran tingkat nasional dan berhasi menjadi juara II. Suatu kesyukuran yang luar biasa. Ada banyak hal yang saya dapatkan di sekolah ini bersama mereka. Secara tidak langsung mereka mengajarkan kesabaran, keikhlasan, semangat, kemudian tidak ada kata menyerah. Mereka luar biasa. Sekali lagi saya katakan di sinilah tempat saya mengabdi untuk bangsa ini, walaupun sempat berpikir mau pindah ke tempat yang lain. Namun hati kecil saya berkata mereka butuh saya. Mereka butuh teman. Mereka membutuhkan pendidikan yang baik. Keadaan inilah yang membuat saya tertantang untuk belajar kembali. Pada tahun 2013-2015 saya melanjutkan pendidikan S2 bidang studi Pendidikan Jasmani dan Olahraga dan mengadakan penelitian di SLB dengan maksud untuk mengembangkan pendidikan dan mencari solusi dari masalah-masalah yang ada di SLB, khususnya pada mata pelajaran Penjas. Selain itu, saya harus menjadi guru yang kreatif, sehingga saat ini saya tidak hanya sekadar mengajar Penjas, tapi juga mengembangkan berbagai macam keterampilan untuk diajarkan kepada mereka sebagai bekal hidup ketika mereka kembali kekeluarga dan masyarakat. Kami ingin mereka merasa dihargai dan juga kami ingin masyarakat menghargai dan menghormati mereka. Karena itu kami jalani semua dengan ikhlas. Terus terang, dulu saya enggan kumpul dengan teman yang memiliki kekurangan dan keterbatasan. Menghindar ketika mereka mendekat dan itulah kebodohan yang pernah saya lakukan. Sekarang saya marah ketika 107


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

mendengar orang-orang mencibir memandang enteng mereka. Saya akan tetap bertahan di sekolah ini. Sebenarnya bagi kami, khususnya guru mata pelajaran, punya kendala yaitu kami tidak bisa merasakan yang namanya tunjangan profesi guru. Saya berkesimpulan, betul mereka memiliki kekurangan; mereka buta, tuli, mereka memiliki keterbatasan fisik, tapi mereka tidak butuh dikasihani mereka hanya butuh diberi kesempatan untuk menggali potensi yang ada pada dirinya. Karena sesungguhnya mereka juga bisa.

108


MENATA KEHIDUPAN YANG LEBIH BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DENGAN LITERASI Aisyah Gaffar,M.Pd

Perjuangan dalam meningkatkan harkat hidup anak berkebutuhan khusus (ABK), utamanya agar ABK mendapatkan layanan pendidikan yang memadai sesuai kebutuhannya, adalah menjadi cita-cita dan tugas saya sebagai guru sekolah luar biasa (SLB) dan sebagai insan yang berkecimpung dalam dunia pendidikan luar biasa (PLB). Dengan dasar ini pula kami mendirikan SLB Jenetallasa, untuk menampung dan menjadi sarana bagi ABK yang belum mendapatkan pendidikan, karena sekolah regular belum mampu memberikan layanan pendidikan bagi mereka pada saat itu. Alhamdulillah, SLB Jenetallasa akhirnya dapat berdiri dan beroperasi perdana pada 1 Juli 2008 dengan swadaya Yayasan Pendidikan Ananda. Seiring berjalannya waktu, dan dengan adanya dukungan dana dan bantuan dari Kemdikbud Direktorat Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus (PKLK), SLB Jenetallasa semakin mengembangkan sayapnya. Hingga saat ini SLB Jenetallasa telah memiliki peserta didik sebanyak 82 orang, terdiri dari Taman Kanak Luar Biasa (TKLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Mengah Pertama (SMPLB), dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), mulai kekhususan tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, autis/Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), dan anak berkesulitan belajar. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, SLB Jenetallasa menggunakan kurikulum 2013 untuk meningkatkan kompetensi dan 109


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

meyalurkan bakat minat anak didik sesuai dengan aturan Kemendikbud. Selain kurikulum 2013 itu, program GLS pun wajib diterapkan, yang tujuannya adalah untuk mencapai hidup yang lebih baik bagi ABK. Proram GLS sebenarnya sudah lama kami terapkan di SLB Jenetallasa. Program tersebut dikenal sebagai program “Ayo Membaca�. Hal ini dibuktikan dengan adanya sudut-sudut baca di setiap kelas, dan sebelum pembelajaran dimulai, siswa diwajibkan membaca atau mengaji selama 10 menit. Program literasi juga dapat dilihat dengan adanya Jumat Ibadah di sekolah. Di kegiatan ini, siswa dan guru-guru salat duha berjamaah dan membaca, serta menghafal surah-surah Al-Quran, serta menceritakan kisah-kisah Nabi dan Rasul dalam Al-Qur’an. Selain Jumat Ibadah, sekolah juga melaksanakan Sabtu Bersih dan Sehat. Pada hari Sabtu, dua minggu sekali, siswa dibawa ke sawah atau ke tempat lain di luar sekolah dengan membawa buku serta gambar yang siap diwarnai. Mereka mewarna dan membuat lukisan sesuai apa yang mereka lihat hari itu. Program literasi juga terlihat pada orangtua siswa yang menunggui anaknya. Kami membebaskan mereka masuk ke ruang perpustakaan untuk membaca. Buku-buku yang mereka sukai sebagian besar adalah resep-resep masakan dan majalah mode. Seringkali apabila ada resepresep masakan baru, orangtua siswa mempraktikkannya di ruang tata boga sekolah bersama guru-guru dan siswa secara swadaya. Meskipun begitu, untuk saat ini para orang tua bahkan guru tidak diperbolehkan meminjam buku untuk dibawa pulang, sebab dari pengalaman yang lalu, sebagian besar orangtua atau pun guru tidak mengembalikan buku yang dipinjam, sehingga buku yang ada di perpustakaan menjadi berkurang. Pelibatan orangtua siswa terutama dalam hal penanganan terhadap anak sekolah sangatlah penting, terlebih ketika ada perayaan hari besar nasional dan keagamaan seperti perayaan 17 agustus, peringatan hari disabilitas, lomba-lomba, peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, pentas akhir tahun, dll. 110


Menata Kehidupan yang Lebih bagi Anak Berkebutuhan Khusus dengan Literasi

Dari gambaran di atas, tercermin bahwa program GLS di SLB Jenetallasa sebagian besar sudah terlaksana, meski perlu diperjelas dan lebih ditingkatkan lagi. Literasi yang sudah berjalan sampai saat ini di SLB Jenetallasa adalah: - Adanya pojok baca di setiap kelas dan halaman sekolah - P erpustakaan dibuka setiap hari dan dibuka untuk orangtua dan pengantar siswa - Memajang hasil karya siswa di setiap kelas. Adapun program yang akan kami terapkan ke depannya untuk lebih menggiatkan Gerakan Literasi Sekolah adalah: 1. M embuat Mading untuk SDLB, SMPLB, dan SMALB sehingga hasil-hasil karya mereka bisa dipajang disana. 2. M enata kembali pojok baca di setiap kelas agar lebih nyaman dan lebih indah, sehingga siswa betah membaca. Demikian pula dengan pojok baca di halaman sekolah akan ditata kembali. 3. M enata kembali ruang perpustakaan agar lebih gampang dijangkau dan lebih nyaman untuk warga sekolah. 4. Membuat lomba Mading. 5. M embuat lomba-lomba literasi dalam lingkup sekolah, dan lebih baik lagi dalam lingkup gugus. 6. M enata sekolah agar lebih indah, sehingga siswa-siswa, guruguru, warga sekolah, dan komite betah berlama-lama di sekolah. 7. Memasukkan program literasi ke dalam program ekstrakurikuler. 8. M elatih guru-guru dan menambah informasi/pengetahuan tentang program GLS yang akan diterapkan di sekolah. Inilah program Gerakan Literasi Sekolah yang insyaAllah akan diterapkan di SLB Jenetallasa mulai tahun ajaran 2018-2019. Semoga Allah meridoi dan memberi rahmat-Nya, sehingga segala rencana bisa berjalan dengan lancar. Amin. 111



KENDARI


GERAKAN LITERASI SEKOLAH DI KOTA KENDARI Rafsanjani

Sebagai langkah awal dalam mewujudkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) di Sekolah Luar Biasa (SLB) di Sulawesi Tenggara, lima SLB yang berpusat di Kota Kendari (SLB Negeri Baruga, SLB Kusuma Bangsa, SLB A-C Mandara, SLB B-F Mandara, dan SKhN 1 Kendari), memulai gerakan literasi sekolah melalui pembiasaan membaca, dengan memberi kesempatan peserta didik dalam memilih bahan bacaan sesuai dengan minat dan kegemaran masing-masing. Buku bergambar dan berwarna menjadi bahan bacaan yang paling diminati siswa. Menurut Ibu Sri Mulyati, Kepala Sekolah SKhN 1 Kendari sekaligus Ketua Satgas GLS Sulawesi Tenggara, mengatakan bahwa, pada dasarnya, gerakan literasi di SLB sejak dulu sudah diterapkan, hanya saja belum terstruktur dengan baik, dan hanya ‘berjalan begitu saja’. Yang dimaksud Ibu Sri Mulyati adalah aktivitas yang hanya berjalan sesuai dengan kurikulum, tidak ada variasi di dalamnya. Misalnya, rutinitas dari hari Senin hingga Kamis, siswa diarahkan berbaris sebelum masuk dalam kelas, kemudian masuk kelas berdoa, belajar, istirahat, kemudian lanjut belajar lagi. Gerakan literasi yang sejak dulu dilakukan di SLB adalah mengenalkan huruf dan gambar. Walaupun demikian, untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) literasinya lebih diprioritaskan ke hal-hal mendasar dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk jenjang sekolah dasar, seperti cara menggosok gigi, makan dan minum, mengancing baju, dan 114


Foto bersama peserta Focus Group Discussion Sekolah Luar Biasa di Kota Kendari.

memakai sepatu. Proses identifikasi dan asesmen awal di SLB dilakukan untuk siswa yang baru pertama kali masuk sekolah atau siswa pindahan dari sekolah lain dalam menentukan penempatan kelas serta layanan yang cocok untuk diberikan. Sedangkan, untuk jenjang berikutnya menggunakan asesmen pengembangan yang berkaitan dengan pilihan keterampilan berdasarkan minat dan bakat siswa. Kepala Sekolah SLB B-F Mandara, Sunanto Wibowo, menjelaskan bahwa untuk jenjang SDLB, yang diajarkan lebih ke aspek pelajaran yang sifatnya akademik. Sedangkan, untuk jenjang SMPLB mulai mengenalkan dan mengajarkan bidang keterampilan, begitupun untuk jenjang SMALB lebih ke proses pengembangan vokasi dan keterampilan. Setiap ABK memiliki cara tersendiri dalam pengajarannya. Untuk anak autis dan down syndrom misalnya, pengajarannya menggunakan pendekatan rill yang dilakukan secara bertahap. Ibu Sugirah, guru khusus yang menangani anak autis di Sekolah Khusus Negeri (SKhN) 1 Kendari ini, menjelaskan pendekatan rill yang ia lakukan setiap minggu dalam proses pengajaran dengan mengenalkan benda terlebih 115


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

dahulu, menyandingkan benda dengan benda, gambar dengan gambar, kemudian dipadukan atau disilang antara benda dengan gambar, atau sebaliknya. Ia contohkan dengan mendahulukan mengenalkan gelas nyata lalu gambarnya. Ketika pembiasaan pengenalan benda dan gambar terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengenalan huruf vokal (a, i, o, dan u) yang dieja secara terpadu dan berulang. Pendekatan riil yang dilakukan Ibu Sugirah ini juga diajarkan ke orang tua siswa untuk diterapkan di rumah secara pelan-pelan. Terutama bagi seorang ibu yang lebih dekat dan lebih banyak menghabiskan waktu bersama anaknya. “Mulai dari mengenalkan yang kecil-kecil saja, warna dan gambar, atau menghitung benda-benda yang ada di rumah, karena gerakan literasi mestinya dimulai dari lingkungan keluarga,� jelas Ibu Sugirah, yang pernah menjadi terapis autis selama 6 tahun. Selain itu, untuk pelajaran perhitungan, ada hal menarik yang dilakukan guru dan anak-anak di SLB Kusuma Bangsa, SLB yang izin operasionalnya baru berjalan selama setahun, Oktober 2017. Anak-anak di SLB ini menggunakan batu dan ranting pohon sebagai media belajar dalam berhitung. Ibu Ninis Sudarwati, Kepala Sekolah SLB Kusuma Bangsa, mengatakan bahwa anak-anak lebih senang dengan cara belajar menggunakan sesuatu yang ada di sekitar, yang setiap hari mereka lihat. Ia contohkan, untuk belajar menulis huruf, anak-anak menulis di tanah di halaman depan kelas menggunakan ranting pohon. “Melalui cara ini, anak-anak belajar sambil bermain,� lanjut Ibu Ninis. Selain pembiasaan membaca, rutinitas lainnya adalah penanaman karakter bagi peserta didik. Dalam penerapannya, setiap hari Jumat siswa melaksanakan praktik salat atau salat duha bersama, mengaji, dan baca tulis Al-Quran. Untuk hari Sabtu, aktivitas olahraga dan keterampilan. Sedangkan Senin-Kamis lebih ke aktivitas akademik yang berlangsung di dalam kelas.

116


Gerakan Literasi Sekolah di Kota Kendari

Dari enam SLB di Sulawesi Tenggara yang dikunjungi (kelimanya berpusat di Kendari, sedang yang satunya di Kabupaten Konawe Selatan, yaitu SLB Negeri Konda), hanya satu SLB yang masih menggunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yaitu SLB Kusuma Bangsa. Sedangkan, yang lainnya menggunakan Kurikulum 2013 (K13) Pendidikan Khusus. SLB Kusuma Bangsa berdiri tahun 2014. Sejak itu pula, SLB ini sudah tiga kali berpindah tempat, lantaran awalnya sekolah ini berada di dalam kompleks perumahan dengan status pendirian sementara di salah satu rumah teman Ibu Ninis Sudarwati. Dua tahun di dalam kompleks ini, pada tahun 2016, SLB Kusuma Bangsa pindah. Kepindahan ini penting bagi sekolah ini untuk memperoleh SK izin operasional karena aturan mengharuskan sekolah memiliki lahan tersendiri. Hal ini yang membuat Ibu Ninis dan suaminya, Pak Yafsin (Kepala Sekolah SLB di Raha) membeli tanah di Jalan Jambu, Kecamatan Poasia, Kota Kendari. Lokasi ini sekisar kurang lebih satu kilometer dari Kantor Gubernur, berada dalam kawasan hutan dengan jalan tanah sepanjang lima ratusan meter. SLB Kusuma Bangsa dibangun secara swadaya atas inisiatif Ibu Ninis dan Pak Yafsin. Lahannya dibeli seharga tujuh juta lima ratus ribu rupiah per/kapling. Bangunan sekolah yang didirikan di atas tanah lapang ini memiliki arsitektur yang unik. Sebagian besar bangunannya terbuat dari material alami seperti bambu sebagai tiangnya, yang diambil dari kebun secara cuma-cuma, hanya ongkos tebang dan pengangkutannya yang dibayar. SLB Kusuma Bangsa yang berkonsep sekolah alam dipilih Ibu Ninis dan Pak Yafsin atas pertimbangan modal yang tidak memerlukan biaya terlalu mahal. Kata Ibu Ninis, SLB Kusuma Bangsa didirikan untuk mengajak anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi untuk bersekolah, khususnya bagi anak berkebutuhan khusus.

117


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Sejak dibangunnya SLB di ujung Jalan Jambu ini, harga tanah di sekitar sekolah meningkat menjadi sepuluh juta rupiah/kapling. Pelanpelan masyarakat mulai membeli lahan di sekitar sekolah dan mendirikan rumah di sana. Siswa-siswa yang bersekolah di SLB Kusuma Bangsa, kebanyakan berasal dari kecamatan setempat, Kecamatan Poasia. Sejauh ini siswa di SLB Kusuma Bangsa berjumlah 21 siswa yang masuk dalam daftar Dapodik (Data Pokok Pendidikan Dasar dan Menengah). Sementara yang aktif, kadang hanya 12 hingga 15 siswa. Para siswa di SLB Kusuma Bangsa setiap hari sekolah, mereka diantar jemput oleh Ibu Ninis dan Pak Yafsin dari rumah ke rumah. Kebetulan mereka memiliki mobil yang berkapasitas 5 hingga 6 orang dewasa, sedangkan untuk anak-anak bisa muat hingga 7 orang. Kata Ibu Ninis, selain faktor seragam siswa ditanggung oleh sekolah, faktor seringnya anak-anak diantar jemput menjadikan orang tua siswa antusias menyekolahkan anaknya. Dampak Program GLS

Gerakan Literasi Sekolah di SLB menjadi salah satu program pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam memperkuat sistem pembelajaran di lingkungan satuan pendidikan dasar hingga menengah. “Upaya yang ditempuh dalam mewujudkannya adalah dengan langkah awal berupa pembiasaan membaca peserta didik. Pembisaan ini dilakukan selama 15 menit dengan membaca (nyaring, dalam hati, terpadu, dan sebagainya, yang disesuaikan dengan konteks atau target sekolah).� Menurut Ibu Sri Mulyati, sejak digalakkannya GLS di SLB, ada variasi aktivitas yang terlihat, seperti adanya pojok baca di masing-masing kelas menjadi penunjang dalam aktivitas pembiasaan membaca peserta didik.

118


Gerakan Literasi Sekolah di Kota Kendari

Sebelum pembelajaran dimulai, siswa membaca buku cerita, kemudian beberapa dari mereka menceritakan kembali buku yang telah dibaca. Meskipun yang dilakukan masih dalam gerakan pembiasaan membaca, belum menyentuh ke aspek GLS secara menyeluruh. Aktivitas membaca 15 menit sebelum pembelajaran dimulai, dalam penerapannya untuk siswa SLB tidak diberlakukan secara umum. Sebab, beberapa murid tertentu untuk pengenalan huruf dan memegang pensil saja belum tahu, seperti anak dengan gangguan down syndrom. Yang didahulukan justru ke hal-hal mendasar lainnya sebagai pembiasaan mereka. “Walaupun demikian, gerakan membaca 15 menit tidak harus dilakukan sebelum pembelajaran dimulai, setelah pembelajaran dan setelah istirahat juga tidak masalah, dan tidak mesti harus di sekolah,� terang Ibu Sri yang jadi sapaan akrabnya. Ibu Sri menegaskan bahwa, pada dasarnya, GLS lebih ke mengenali kondisi dan kebutuhan masing-masing sekolah, temasuk penyediaan alat peraga sebagai penunjang pembelajaran siswa. Lebih jauh, Ibu Sri, memandang GLS bukan hanya untuk lingkungan sekolah, tetapi untuk semua instansi-instansi perlu ada gerakan literasi sekolahnya. Menurut Pak Sunanto Wibowo, esensi dari GLS itu sendiri adalah perangkat dari penanaman karakter, baik guru maupun siswa. Program GLS inilah kemudian dipadukan dengan program-program sekolah. Pak Sunanto Wibowo kemudian menceritakan contoh sederhana dampak dari program GLS di SLB B-F Mandara, sekolah yang ia pimpin. Ia menceritakan bahwa dulu ketika anak-anak dari kantin membeli makanan atau minuman, sampahnya dibuang sembarangan. Kesadaran akan membuang sampah pada tempatnya kami tanamkan kepada siswa dengan cara berulang-ulang. Sekarang ini, pelan-pelan mereka sadar akan membuang sampah pada tempatnya.

119


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Selain itu, kesadaran akan sopan santun dan tegur sapa juga terlihat dalam perkembangan siswa SLB. “Misalnya, ketika ada tamu sekolah anak-anak langsung menghampiri dan mengajaknya bersalaman, atau sesekali beberapa dari mereka ketika melihat mobil sedang masuk sekolah, mereka langsung bergegas mengatur mobil di parkiran,” cetus Pak Sunanto. Dampak dari program GLS dengan hadirnya pojok baca di SLB juga dirasakan Ibu Sugirah. Ia mengatakan bahwa sejak adanya pojok baca di setiap kelas, siswa-siswa mulai mengambil buku sendiri dan mengembalikannya kembali di rak pojok baca setelah membaca. “Kesadaran semacam ini secara tidak langsung sudah menjadi kebiasaan dalam aktivitas membaca,” lanjutnya. Hal yang sama juga disampaikan Kepala Sekolah SLB Negeri Baruga, Pak Sitwan, mengatakan bahwa sejak program GLS diterapkan dan dengan adanya bantuan pojok baca, perkembangan minat baca siswa mulai terlihat. Mengingat sebelumnya, murid hanya kebanyakan duduk dan diam. Di satu sisi, Pak Sitwan menambahkan bahwa mata pelajaran Bahasa Indonesia menjadi mata pelajaran yang berperan penting dalam program GLS karena berhubungan dengan cipta baca puisi, mengarang, dan mendongeng. Mengingat SLB Negeri Baruga sudah dua kali berturutturut mengikuti lomba cipta baca puisi tingkat nasional di Jakarta dan Riau. Dalam hal penyediaan bahan bacaan di SLB, yang kebanyakan mencontohkan kisah-kisah sukses dari orang-orang normal. Pak Sunanto memberi masukan untuk penyediaan bahan bacaan kedepannya, yang sifatnya lebih kontekstual untuk SLB, semisal mengangkat cerita-cerita sukses dari orang-orang difabel. Menurut Pak Sunanto, mengangkat cerita dari orang-orang difabel dapat menjadi motivasi tersendiri bagi ABK, seperti halnya orang-orang

120


Gerakan Literasi Sekolah di Kota Kendari

yang memiliki keterbatasan khusus yang pernah diundang di acara Kick Andy, cerita dari orang-orang itu juga bisa dijadikan buku cerita dengan bahasa yang lebih sederhana. Di sisi lain, sejak program GLS dijalankan, ada perubahan pola pikir orang tua murid yang muncul. Beberapa dari mereka mulai meminjam buku sendiri di perpustakaan. Sebelumya tidak ada kesadaran semacam itu. Hal ini juga berawal dari komunikasi antara guru dan orang tua siswa yang sering dilakukan di sekolah, sehingga inisiatif orang tua muncul untuk meminjam buku. Misalnya, orang tua siswa biasa menanyakan tentang buku-buku bergambar jenis binatang, tanaman, dan pengelompokkan benda. Upaya pelayanan sekolah yang lebih baik untuk orang tua murid terlihat dalam fasilitas yang disediakan salah satu SLB di Kendari. Di SLB B-F Mandara menyediakan tempat khusus bagi orang tua siswa yang ingin menunggu anaknya sambil memotret aktivitas siswa. Tempatnya berada di depan kantin sekolah, dengan kursi tunggu stainless layaknya kursi di ruang tunggu bandara. Di tempat ini pula, guru dan orang tua siswa saling bertukar informasi tentang program sekolah atau sekadar memberi saran dalam pelayanan sekolah. Selain itu, di SLB B-F Mandara sendiri membuat Whatsapp Group untuk orang tua siswa dalam berbagi informasi tentang programprogram sekolah yang akan dilaksanakan, seperti jadwal pelaksanaan ujian, penerimaan rapor, aktivitas pengembangan sekolah, dan informasi ketika akan diadakan seleksi bagi siswa yang akan mengikuti lomba. Sedangkan, pelibatan orang tua dalam aktivitas sekolah yang pernah dilakukan adalah kegiatan pelatihan kebencanaan khusus warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, termasuk orang tua/wali murid peserta didik). SLB B-F Mandara merupakan SLB pengembangan dari SLB A-C Mandara, SLB pertama di Kendari yang berdiri tahun 1990. Kategori A-C

121


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

dan B-F berkaitan dengan masing-masing ranah ketunaan: Tunanetra (A), Tunarungu (B), Tunagrahita (C), Tunadaksa (D), dan Austis (F) yang akan dilayani. Namun, dalam perkembangannya, tidak ada pembatasan kategori siswa ketunaan dalam satu sekolah, baik di SLB kategori A-C dan B-F. Sebab, sekolah lebih memprioritaskan siswa yang jarak rumahnya berdekatan dengan sekolah, meski sekolah tersebut memiliki kategori tertentu untuk siswa ketunaan. Beragamnya ketunaan dalam setiap jenjang sekolah dengan model satu atap (SDLB, SMPLB, SMALB) membutuhkan tenaga pendidik yang sebanding dengan jumlah rombongan belajar dari setiap sekolah. Faktor minimnya tenaga pendidik di SLB, baik yang berstatus negeri maupun swasta di Sulawesi Tenggara menjadi kendala utama dalam mengimbangi rombongan belajar di setiap sekolah. Dalam hal ini, rasio antara guru dengan ketersedian rombongan belajar peserta didik belum ideal. Rombongan belajar di SLB dibagi berdasarkan kemampuan peserta didik yang memiliki keterbatasan. Karena itu, dibutuhkan tambahan guru di setiap SLB agar proses belajar mengajar bisa lebih maksimal lagi dilakukan. Di sisi lain, linearitas bidang keilmuan guru dengan sekolah tempat mengajar (SLB), kebanyakan berlatar non Pendidikan Luar Biasa (PLB), dengan dominan guru honorer di setiap sekolah. Peserta didik dengan tingkat kesulitan atau kebutuhan yang berbeda, memerlukan pelayanan pendidikan yang memiliki sumber daya tenaga pendidik berlatar PLB. Lantaran, mengajar anak berkebutuhan khusus tidak seperti mengajar anak yang kebanyakan. Pelayanan khusus menjadi hal utama dalam menangani siswa SLB. Pengembangan di bidang keterampilan menjadi salah satu program yang sedang diupayakan di setiap SLB di Kendari, dengan memanfaatkan ketersediaan fasilitas di setiap sekolah. Di antaranya adalah dalam

122


bidang tata busana, kecantikan, kriya kayu, sablon, menjahit, dan otomotif. Khusus untuk keterampilan otomotif dan kriya kayu, di SLB B-F Mandara menyediakan ruangan tersendiri, dilengkapi dengan alat penunjang lainnya.

123


SKHN 1 KENDARI DAN SLB NEGERI KONDA Fauzan Al Ayyuby

Pada tahun 2015, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Hamid Muhammad, mengatakan bahwa dari 1,6 juta ABK di Indonesia, baru 164 ribu yang mendapat layanan pendidikan. Angka partisipasinya berarti 10 -11 persen saja.1 Melihat angka anak difabel yang tidak bersekolah, Ibu Sri Mulyati, Kepala Sekolah Khusus Negeri 1 Kendari, mengatakan bahwa masih banyak orang tua yang menyembunyikan anak-anaknya di rumah karena malu. Ketidakmampuan mental orang tua menerima anaknya yang difabel memunculkan rasa ketidakpedulian. Menurut Ibu Sri, sejak tahun 1994, ia mengamati perkembangan difabel serta menjadi salah satu penggeraknya. Anak-anak difabel yang dulu disembunyikan orang tuanya karena malu, kini perlahan mulai memasukkan anaknya ke sekolah-sekolah khusus seperti SKhN dan SLB. Pengaruh panggung yang mulai terbuka untuk anak-anak difabel menjadi salah satu pendorongnya.

1

E rika Hutapea/DeslianaMaulipaksi, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/11/ kemendikbud-jamin-layanan-pendidikan-khusus-4798-4798-4798, diakses pada 21 Desember, pukul 11.56 Wita.

124


SKHN 1 Kendari dan SLB Negeri Konda

Perhatian lebih kepada difabel, terutama lewat kesenian dan olahraga, menjadi pintu untuk melihat integrasi pada ranah rumah dan publik. Ketika berada di rumah, menurut Ibu Sri, akan berbeda walaupun ia punya bakat. Ketika berada di sekolah, para difabel mempunyai saluran untuk keluar dan eksis. “Kan setiap tahun itu ada lomba. Terus tiap kegiatan-kegiatan itu kita tampilkan anak SLB. Sehingga para orang tua mulai berpikir, ‘oh ternyata anak difabel penglihatan juga bisa.’ Begitu juga dengan anak difabel komunikasi, ternyata mereka bisa melakukan apa yang tidak dikira orang tua dan masyarakatnya,” kata Ibu Sri. Murid Bu Sri rencananya akan tampil pada ulang tahun Sulawesi Tenggara pada April 2019. Mereka menampilkan tarian, pantonim, hapalan Al-Quran, baca puisi, dan lainnya yang bersifat seni. Penampilan anak-anak ini, dari pengakuan Ibu Sri, akan menjadi penampilan pertama dan utama pada perayaan ulang tahun Sulawesi Tenggara. Ini terjadi karena Ibu Gubernur Sulawesi Tenggara yang baru, acapkali terlibat dalam menangani difabel intelektual, sehingga kerjasama dengan SKhN dan SLB di Sulawesi Tenggara sangatlah dimungkinkan. Saat ini, Ibu Sri dan kawan-kawannya sedang dalam tahap mempersiapkan penampilan anak didik mereka. Kerjasama pada perayaan ulang tahun Sultra yang melibatkan anak murid SKhN itu diharapkan menjadi pintu untuk membuka wawasan masyarakat tentang anak difabel. Ibu Sri mengatakan, wawasan masyarakat yang dimaksud adalah wawasan tentang keberadaan sekolah yang menyekolahkan anak-anak difabel. Dengan demikian, orang tua yang masih menyembunyikan anaknya berpikiran terbuka. Namun harapan itu agaknya masih susah terwujud. Angka dari dua sekolah, di SKhN 6 guru menghadapi 93 murid, di SLBN Konda 17 guru menghadapi 101 murid, menunjukkan bahwa tampak ada benturan secara jumlah—antara tenaga pendidik dan murid. Apalagi, Gubernur Sulawesi Tenggara diwanti-wanti oleh pemerintah melalui Kemendikbud, untuk 125


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

tidak merekrut tenaga honorer. Ini terjadi karena skema honorer hanya berlaku bagi guru yang sudah berusia 35 tahun ke atas, lewat program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).2 Kekurangan guru itu mengharuskan Ibu Sri masih akan terus merangkap jabatan dalam waktu yang ia sendiri tidak tahu. Ia sempat bertanya pada saya, “Terus, ini salah siapa?� Saya hanya senyum. Saya kira pertanyaan ini ditanyakan pada saya tidak untuk dijawab. Ibu Sri memaparkan, keterbatasan tenaga pendidik itu ia alami sendiri, ketika pertama kali menjadi kepala sekolah SKhN. Ia satu-satunya yang PNS. Ia mengaku sempat stres kala itu: dengan gedung besar, tenaga pengajar sedikit, ia tidak tahu mau memulai dari mana. Tetapi ketika berkoordinasi dengan dinas pendidikan provinsi, ia kemudian diminta untuk berfokus mencari murid terlebih dahulu. Ia lalu bersosialisasi ke kelurahan, juga media dan media sosial (seperti Facebook,Whatsapp), radio, juga spanduk yang pasang tersebar. Ketika banyak yang masuk, ia memanggil beberapa teman-teman untuk mengajar sebagai guru honor. Lalu pada awal tahun 2017, setelah Ibu Sri memohon kepada Dinas Pendidikan Sultra karena ada murid yang difabel penglihatan dan difabel komunikasi, SKhN baru dibantu dengan dua guru PNS. Permohonan itu juga dilandasi bahwa guru yang dibutuhkan untuk dua difabel tadi, tidakbisa dari guru non PLB. Selain butuh guru khusus untuk dua difabel tadi, SKhN pun butuh guru spesial untuk difabel intelektual. Apalagi, SKhN adalah sekolah khusus yang paling banyak difabel intelektualnya se-Kendari. Sayangnya, kabar gubernur mewanti-wanti oleh pemerintah melalui Kemendikbud untuk tidak akan mengangkat tenaga pengajar honorer lagi, membuatnya gelisah.

2

Vincentius Jyestha Candraditya, http://www.tribunnews.com/nasional/2018/09/22/ pemerintah-berikan-solusi-persoalan-guru-honorer-mendikbud-imbau-guru-tetapfokus-mengajar, diakses pada 22 Desember, pukul 11.23 Wita.

126


SKHN 1 Kendari dan SLB Negeri Konda

SKhN adalah sekolah khusus yang paling banyak difabel intelektual. Ibu Sri mengaku, yang sangat sulit dihadapi adalah difabel intelektual karena hanya bisa diajar beberapa persen saja soal akademik. Ia mengatakan jika difabel intelektual, ada yang hanya bisa diubah perilakunya saja. Jadi mereka lebih banyak melakukan terapi perilaku kepada anak-anak difabel intelektual. Persoalan ini dilandasi dengan keluhan guru yang mengatakan bahwa untuk duduk lima menit saja, itu adalah hal yang sulit bagi anak difabel intelektual. Sehingga terapi perilaku digalakkan untuk membiasakan anak mental untuk tenang terlebih dahulu. Difabel intelektual di SKhN 1 Kendari, punya dua klasifikasi: mampu didik dan mampu latih. Untuk yang mampu didik, mereka masih bisa diberi pelajaran membaca, menulis, dan lainnya. Ketika sudah berada pada jenjang SMA, mereka biasanya akan belajar materi akademik. Sedangkan yang mampu latih, mereka hanya diajarkan bagaimana misalnya, membuka sepatu, pakai baju, dan lainnya. Biasanya, mereka ikut program khusus bernama 3M: merawat, menolong, dan mengurus diri sendiri. Materi akademik di SKhN hanya diberikan selama Senin-Kamis. Khusus hari Jumat, sekolah memberi praktik keagamaan. Bagi anak difabel yang beragama Islam, mereka belajar mengaji, sholat, wudhu, dll. Untuk yang Kristen, SKhN pun punya guru yang beragama Kristen yang mengajarkan praktik keagamaan. Untuk Sabtu, mereka berfokus belajar olahraga dan keterampilan. “Yang mau main bola silakan, yang Difabel penglihatan setelah olahraga mau masuk ke ruang musik, silakan. Difabel komunikasi yang dengan gurunya menjahit, yah, menjahit. Ini dilakukan agar anak-anak tidak jenuh dengan KBM-nya,� jelas Ibu Sri. Selain kegiatan belajar mengajar, ada sebuah program bernama Gerakan Literasi Sekolah yang dikembangkan berdasarkan Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dalam 127


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

situsnya, Mendikbud mengatakan, Permendikbud tersebut adalah sebuah upaya untuk menumbuhkan budi pekerti anak.3 Gerakan Literasi Sekolah ini juga berlangsung menyasar sekolah luar biasa dan sekolah khusus4 yang ada di seluruh Indonesia. Di Sulawesi Tenggara, Ibu Sri menjadi ketua Satuan Tugas Gerakan Literasi Sekolah. Ia jadi punya tambahan tanggung jawab selain kepala sekolah di SKhN 1 Kendari. Berdasarkan amatan Ibu Sri, dalam perjalanannya, Gerakan Literasi Sekolah lebih banyak menekankan pada wilayah ‘baca’. Padahal, menurutnya, literasi mencakup aspek kebermanfaatan yang dibahasakannya dengan ‘menolong diri sendiri’. Artinya, literasi adalah sarana yang tersedia dan kontekstual dengan murid. Misalnya, praktik anak difabel intelektual yang menekankan program 3M: merawat, menolong, dan mengurus diri sendiri. Bias dari Gerakan Literasi Sekolah ini, menurutnya karena ada indikator definisi yang ditawari lebih dulu oleh Kemendikbud. Pada Gerakan Literasi Sekolah (GLS), Ibu Sri melihat kekeliruan itu dengan terjebaknya GLS pada “kegiatan 15 menit membaca buku non pelajaran sebelum waktu belajar dimulai”. Ibu Sri sendiri lebih melihatnya ke ranah manajerial, yang ketika GLS datang sebagai sebuah program hanya mendisiplinkan program literasi yang sudah berjalan di sekolah, bahkan sebelum program itu ada. Ia mengatakan bahwa anak-anak di SKhN setiap hari melakukan apa yang disasar oleh GLS, hanya saja tidak termanajemeni dengan baik. Sebagai penegasan, ia juga mengatakan jika Kurikulum 2013 (biasa disingkat K13) sebagai pendidikan tematik-integral, yang mencakup program 3

4

D esliana Maulipaksi, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2015/08/mendikbudluncurkan-gerakan-literasi-sekolah-4514-4514-4514, diakses pada 22 Desember, pukul 00.01 Wita. Perbedaan keduanya: Sekolah Khusus menerima semua tipe difabel, sedang Sekolah Luar Biasa hanya menerima beberapa tipe difabel sesuai dengan surat keputusan operasionalnya.

128


SKHN 1 Kendari dan SLB Negeri Konda

literasi di sekolah, sudah lebih dulu dipraktikkan di SLB/SKhn sebelum disusun dan diberi nama. Saya juga bertemu Ibu Hidayah, Kepala Sekolah SLB Negeri Konda, Konawe Selatan, binaan SKhN 1 Kendari. Satu sekolah disebut ‘binaan’ berarti melaksanakan juga kegiatan yang dilakukan oleh sekolah rujukan, termasuk Gerakan Literasi Sekolah. Namun pengakuan Ibu Hidayah, GLS di sekolahnya belum maksimal karena belum pernah mengikuti pelatihan GLS. Meski demikian, di SLBN Konda terdapat pojok baca. Namun bagi Ibu Nurhidayah, GLS di sekolahnya tidak dipahami sebagai membaca saja. Praktik lain yang melatih pembelajaran mandiri siswanya dengan membuat catatan sehari-hari, meringkas sesuatu, dan lainnya. Dengan memakai dana BOS, mereka berkunjung ke pabrik rotan kemudian menuliskannya kembali apa yang mereka temui di sana. Siswa juga menuliskan praktik pertanian yang mereka lakukan, semisal menanam sayur-sayuran. Bagi siswa difabel intelektual yang mampu-latih, para guru mengajaknya menggambar, seperti mengenalkan gambar tangan, meski tidak bisa dilakukan sekali tapi bertahap. Meskipun berulang, kata Ibu Nurhidayah, difabel intelektual diajari bagaimana cara mengambil sikat gigidan menggosok gigi. Namun pada praktiknya guru terlebih dulu menunjukkan cara-caranya.“Literasi keseharian namanya. Bagaimana mereka pakai sepatu, bagaimana mereka pakai baju, bagaimana mengancing baju, dan lainnya,� jelas Ibu Hidayah. Pendidikan bagi siswa SLBN Konda didanai pemerintah menggunakan mekanisme beasiswa. Ibu Hidayah merinci, bagi SD setiap siswa Rp500 ribu per tahun,SMP Rp600 ribu/tahun, dan SMA mendapatkan 750 ribu/tahun. Beasiswa ini pula yang dicantumkan oleh Ibu Hidayah ketika menyebarkan spanduk untuk menarik minat orang tua agar menyekolahkan anaknya yang difabel, ditambah dengan item ketersediaan asrama bagi anak yang tinggal jauh dari sekolah. Banyak 129


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

di antara mereka berasal dari luar Konawe Selatan,seperti Unaha, Raha, Bombana, dan lainnya. Namun, jelas Ibu Hidayah, asrama yang tersedia tidak sepenuhnya dibiayai oleh sekolah. Ibu Hidayah menyiasati, kebutuhan harian seperti biaya makan di asrama diperoleh dengan memotong beasiswa tiap siswa yang tinggal di asrama. Untuk biaya lainnya, Ibu Hidayah menaktisinya dengan menanam sayur-sayuran dan berternak ayam. Hasil panen sayuran dikonsumsi siswa di asrama, sedang ternak ayam menjadi semacam tabungan bila lebaran tiba. Asrama ini, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, cara ini pula dipandang sebagai cara yang lebih cepat dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Seringkali apa yang diajarkan di sekolah, tidak sejalan dengan apa yang diajarkan di rumah; bahkan saling bertolak belakang. Ibu Nurhidayah saat ini tengah menghadapi persiapan akreditasi sekolahnya. Namun, fasilitas pendidikan sekolah luar biasa, menurut pengakuannya membutuhkan alat peraga berupa hearing head, dan alat untuk difabel yang lain. Fasilitas pendidikan, menurutnya, mampu menunjang keinginannya untuk akreditasi sekolah. Namun ada masalah lain soal akreditasi yang dikeluhkan oleh Ibu Hidayah. Seperti keluhan Ibu Sri, ia juga mempersoalkan kuantitas dan kualitas guru di sekolahnya. Sebagai gambaran, SKhN 1 Kendari memiliki 93 murid. Sedangkan SLB N Konda, memiliki 101 murid. Dalam aturannya, dari pengakuan dua kepala sekolah ini, mereka bisa kapan saja menerima anak berkebutuhan khusus yang ingin bersekolah. Padahal, sangatlah sulit bagi para guru untuk berinteraksi dengan banyak murid. Jika dikalkulasikan, setiap guru di SLB N Konda, yang memiliki 17 guru harus mengajar 5-6 murid. Begitu pula 6 guru di SKhN 1 Kendari yang harus menghadapi 14-15 siswa. Secara prosedural, Ibu Sri mengaku, itu sudah tidak sesuai karena setiap guru paling maksimal hanya bisa menangani 6 anak, seperti di SLB N Konda. 130


SKHN 1 Kendari dan SLB Negeri Konda

Masalah lainnya adalah kurangnya guru-guru PLB di tiap sekolah. Di SLBN Konda, hanya tujuh guru yang lulusan PLB. Sisanya adalah non PLB yang dididik lewat pelatihan internal sekolah. Bahkan kadang juga mereka belajar otodidak. Di SLBN Konda, ada satu guru PLB yang ahli menangani difabel intelektual, satu orang untuk difabel kinetik, dua guru untuk difabel penglihatan, dua orang untuk difabel komunikasi, dan Ibu Nurhidayah pun menjadi guru difabel komunikasi. Menurutnya, guru honor akan susah mengajar difabel komunikasi, sehingga mereka hanya diberi kesempatan untuk mengajar murid difabel selain yang tadi. Dua sekolah ini, SLBN Konda dan SKhN 1 Kendari, dalam melaksanakan GLS masih mengakui kurang maksimal. Sosialisasi jadi satu hal penting untuk menyamakan persepsi banyak pihak yang berkepentingan terkait program ini. Ibu Nurhidayah mengatakan, mereka bisa lebih proaktif untuk mengkuti pelatihan dan sosialisasi lainnya meskipun harus membiayai dirinya sendiri.

131


SLB MANDARA Fauzan Al Ayyuby

Memiliki anak difabel, tidak seharusnya membuat mereka kehilangan perhatian dari orang tua mereka. Seharusnya, perhatian justru lebih tumpah ruah kepada mereka, sebab mereka punya kebutuhan yang lain. Yang ketika dididik, potensi mereka bahkan bisa setara dengan anakanak normal. Ketika saya mengunjungi SLB Mandara ABC, saya bertemu dengan Endah Purbojati, sang kepala sekolah. Endah Purbojati mengatakan bahwa ia kebingungan menghadapi orang tua dari anak difabel, yang bertanya soal biaya. “Ini gratis, yah, Bu?� kata Ibu Endah menirukan pertanyaan orang tua. Menurutnya, walaupun tidak gratis, seharusnya orang tua menaruh perhatian lebih untuk pendidikan anaknya. Tetapi ia maklumi pertanyaan itu. Ia, selanjutnya, memberitahu bahwa sekolahnya gratis. Ia juga mengatakan orang tua murid agar tidak menyimpan anaknya di rumah saja. Tidak dimungkiri, banyak orang tua yang masih tidak menyekolahkan anak difabel mereka. Bahkan ada yang berprofesi dosen, kalangan yang dipandang sebagai kalangan yang mengerti pentingnya pendidikan. Menurut Ibu Endah, keadaan ini terjadi karena kurang peduli dan perhatian dari orang tua terhadap anaknya yang berkebutuhan khusus. 132


SLB Mandara

Selain itu, ada rasa malu di benak orang tua terhadap lingkungan sosialnya. Mereka juga masih berharap jika suatu saat anaknya akan normal kembali. Ekspektasi itu yang kemudian menahan orang tua untuk menyekolahkan anaknya lebih dahulu. Ia mencontohkan, orang tua seorang anak difabel intelektual adalah ketua dari salah satu kampus pendidikan tinggi setempat. Si bapak bertanya tentang kemungkinan suatu saat nanti anaknya bisa dipindahkan ke sekolah normal. Sebagai pendidik, Ibu Endah tidak ingin menjatuhkan harapan orang tua dan anak yang dididiknya. Ia hanya menjelaskan tentang anaknya yang hanya mampu latih, bukan mampu didik. Selanjutnya, ia menerangkan secara ilmiah tentang IQ anaknya yang di bawah rata-rata, sehingga ia pun mengatakan untuk menyerahkan semua kepada Allah saja. Padahal, menurut Ibu Endah, anak berkebutuhan khusus (ABK) juga berpotensi berkembang, seperti anak lainnya. SLB menjadi salah satu jalan untuk mengembangkan potensi dan perkembangan tersebut. Ibu Endah memberi contoh, difabel intelektual yang tadi disebutkan pada awalnya seperti ‘putri malu’, hanya tertunduk bila dipanggil. Namun setelah dilatih, dengan masuk Pramuka, ia selalu maju lebih dulu. Sampai-sampai, bapaknya pun menyampaikan pujianatas kemajuan anaknya pada Ibu Endah. Untuk orang tua difabel yang lain, mereka biasa berkonsultasi dengan para guru untuk melihat perkembangan anaknya. Konsultasi ini sebagai ruang untuk menyamakan pengajaran yang dilakukan di SLB dan di rumah. Ketika pertama kali anak dari orang tua difabel masuk di SLB Mandara ABC, Ibu Endah memberikan penjelasan kalau anakanak mereka berada di sekolah hanya selama tiga jam. Selebihnya anak itu akan berada di rumah. Konsultasi tersebut demi menyinkronkan pelajaran yang ada di sekolah dan di rumah.

133


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

Ibu Endah pun memberitahu agar guru-guru SLB Mandara ABC untuk membuat laporan lisan maupun tulisan pada orang tua anak. Komunikasi antara guru dan orang tua diharapkan menjadi program kerjasama untuk melanjutkan pendidikan di rumah setelah si anak pulang dari sekolah. Laporan yang ditekankan oleh Ibu Endah tentang tiga hal: pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Ini penting dilakukankarena tingkatan difabel berbeda-beda meski jenisnya sama. Ia mencontohkan, di dalam kelas, anak-anak difabel intelektual ada yang baru mampu menebalkan tulisan, ada pula yang sudah bisa membaca. Laporan guru untuk orang tua itu menjadi semacam pegangan untuk menghindari kebingungan peserta didik, karena bahan ajar yang tidak sama dengan yang ada di sekolah. SLB Mandara menerima siswa dengan klasifikasi A (difabel penglihatan), B (difabel komunikasi), dan C (difabel intelektual). Akan tetapi, pada praktiknya, karena jarak yang jauh antara Mandara ABC dan Mandara BF, anak-anak selain ABC tetap bisa bersekolah di Mandara ABC. Ini disebabkan karena waktu itu hanya dua SLB di Kota Kendari. Ketika berkonsultasi dengan dinas terkait, mereka akhirnya mengiyakan. Ketika berbincang dengan Ibu Endah, tiba-tiba seorang guru datang. Namanya Pak Samsul, seorang guru yang juga seorang difabel penglihatan. Pak Samsul bercerita tentang kepedulian orang tua pada anakanaknya yang masih kurang. Ia mengambil contoh soal penampilan anak difabel yang kurang diperhatikan. Ia menyayangkan pemikiran orang tua yang tidak acuh pada anak difabelnya. Padahal, menurut Pak Samsul, memerhatikan anak difabel merupakan sebuah cara mengubah pandangan masyarakat terhadap mereka. Ibu Endah sebagai kepala sekolah sering berbincang dengan gurugurunya menyangkut kondisi dan perkembangan muridnya,termasuk membicarakan bagaimana strategi untuk menghadapi dua orang: anak difabel dan orang tuanya. Ini dilakukan karena para guru di SLB 134


SLB Mandara

bisa mengatur energi mereka untuk pekerjaan ekstra ini. Pak Samsul sendiri, sebagai guru dengan difabel penglihatan, punya misi mengubah pandangan masyarakat yang acapkali mendeskriminasi dan mengucilkan anak-anak difabel. Ibu Endah membandingkan bahwa sekolah luar biasa begitu jauh dalam daya jangkau Pemerintah Daerah. Sekolahnya hanya mendapat bantuan dari Pemerintah Pusat. Menurut Ibu Endah, pengangkatan guru-guru untuk ABK masih sangat kurang di Kota Kendari. Bisa dibilang, SLB lebih banyak diisi oleh guru-guru honorer dan kebanyakan guru PNS hanya kepala sekolahnya saja, sebagaimana 14 guru di SLB Mandara ABC hanya satu yang PNS. Pelatihan khusus untuk honorer di SLB itu pun tidak ada. Mereka beradaptasi langsung sambil didampingi oleh yang senior. Hanya satu orang saja yang pernah ikut pelatihan, yakni pelatihan penilaian rapor. Guru honorer pun mengajar sambil belajar. Otodidak. Selain itu, guru honorer di SLB pun kebanyakan non Pendidikan Luar Biasa (PLB). Meski demikian, menurut Ibu Endah, mereka tidak kalah dengan guru yang PLB. Guru non PLB punya rasa ingin tahu yang lebih besar. SLB Mandara ABC terletak di Jalan Mayjen S. Parman, Kompleks Kampus Lama Kendari, Lahundape, Kecamatan Kendari Barat, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara. Di depan sekolah ini, terletak Pascasarjana Universitas Halu Oleo. Di kampus itulah Ibu Endah kadang melihat anak didiknya seolah-olah menjadi tukang parkir kendaraan. “Maju, mundur, stop,� kata Ibu Endah menirukan gara dan kata anak didiknya ketika memarkir mobil. Setelah itu, mereka kadang dipanggil untuk memakan kue atau diberi sesuatu. Pada jam istirahat, Ibu Endah juga sering berdiri di sekitaran kampus untuk memantau anak didiknya atau ketika ia merasa ada muridnya yang tidak berada di lokasi sekolah. Ia mengawasi anak-anak didiknya karena biasanya mereka tiba-tiba berada di penjual makanan atau di 135


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

kantin mahasiswa yang berada tepat di depan sekolah. Ketika berada di penjual makanan, anak didiknya kadang mengambil makanan tanpa izin. Ibu Endah menceritakan, mahasiswa pascasarjana yang sedang makan kadang terkejut ketika makanannya diambil oleh anak didiknya. Karena itu pula ia selalu berkeliling dan menanyakan hutang anak didiknya pada tiap penjual yang ia temui. Warga sekitar juga kadang bekerjasama dengan sekolah dalam kegiatan tertentu. Salah satunya, ketika ada kegiatan kebencanaan. Dengan warga bersama anak didik mempelajari simulasi bencana. Menurutnya, warga sekitar sudah paham dengan anak-anak berkebutuhan khusus ini. Selain itu, terjalin pula kerjasama SLB Mandara ABC dengan institusi pendidikan. Sekolah ini sering dipanggil oleh Universitas Halu Oleo bila ada calon mahasiswa difabel mengikuti tes UMPTN. Mereka berfungsi sebagai pengawas dan pengarah bagi mereka. Pendidikan difabel di SLB Mandara ABC berbasis pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Wilayah pengetahuan dan bahan ajar di SLB Mandara bervariatif. Menurut Pak Samsul, pendidikan di SLB dan sekolah biasa sebenarnya dalam beberapa hal sama saja. Bedanya adalah tuntutan modifikasi di SLB lebih ditekankan, misalnya modifikasi itu dilakukan dengan bukubuku braille (sistem tulisan sentuh yang biasa dipakai difabel penglihatan untuk membaca dan menulis) untuk difabel penglihatan. Untuk itu, Pak Samsul mengatakan bahwa diperlukan tenaga ahli untuk mengajarkan tulisan difabel penglihatan pada tingkatan kelas satu sampai kelas empat. Jika sudah kelas lima, biasanya difabel penglihatan sudah paham dengan huruf braille itu dan bisa ditangani oleh yang bukan ahli. Pak Samsul kadang tak sanggup menghadapi difabel penglihatan yang sudah kelas lima, misalnya dalam pelajaran matematika tingkat lanjut atau Bahasa Inggris. Ini terjadi karena pada tingkatan itu, difabel

136


SLB Mandara

penglihatan sudah memahami huruf braille, dan lebih berfokus pada pelajarannya. Menurut Ibu Endah, dari segi intelektualitas, difabel penglihatan sangatlah bagus. Tetapi, Ibu Endah menggaris bawahi pelajaran Bahasa Inggris karena pengucapan dan penulisan yang berbeda. Ia mencontohkan kata car (mobil). Di pikiran difabel penglihatan, car akan menjadi kar. Untuk itu, Ibu Endah juga mengajar tentang cara mengucap. Untuk difabel komunikasi, Ibu Endah mengatakan bahwa diperlukan tenaga pengajar yang menguasai dua bahasa isyarat: Bisindo dan SIBI. Ia mengatakan, mungkin mudah mengajarkan huruf per huruf atau kata per kata. Tapi untuk merangkainya menjadi kalimat, guru-guru masih kewalahan. Di SLB Mandara ABC, praktik keagamaan dilakukan pada hari Jumat. Anak-anak diajarkan salat, azan, membaca surat pendek, juga wudhu. Untuk yang beragama Kristen, mereka biasanya diajak menggambar atau apa saja, sesuai kebutuhan anak didik, untuk menggantikan praktik keagamaan. Dalam berpraktik wudhu, anak-anak terlebih dahulu dilatih berwudhu kering, untuk menghindari anak-anak bermain air. Jika situasi sudah memungkinkan, mereka lalu dilatih dengan air yang mengalir pelan. Pada praktik ini, semua guru harus berada di dekat mereka. Lantaran jenis difabel yang berbeda, dan setiap difabel ditangani oleh guru tertentu, keberadaan guru dimaksudkan menangani jika ada anak didik yang kacau. Keterampilan azan anak-anak SLB Mandara pun terpakai untuk azan di musallah Kampus Pascasarjana sebelum salat. Mereka juga kadang menjadi imam,selain berkesempatan mengikuti MTQ dan Festival Siswa Lomba Seni Siswa Nasional. Perubahan juga terjadi pada anak didik pada sikap mereka. Dari pengakuan Ibu Endah, mereka lebih aktif untuk menyalimi tangan

137


GERAKAN LITERASI SEKOLAH SLB DI TIGA KOTA SULAWESI

guru-gurunya. Ibu Endah begitu antusias bercerita bagian ini. Sambil tersenyum dan memperagakan tingkah anaknya, Ibu Endah menjelaskan pengalamannya ketika baru tiba di sekolah, masih di atas motor, beberapa muridnya sudah berebut untuk menyalimi tangannya. Ketika ada tamu pun begitu. Mereka tidak peduli dan langsung masuk ke dalam ruangan untuk menyalimi Ibu Endah sebelum pulang. Walaupun di luar, kadang orang tua atau ojek dari anak-anak didiknya sudah menunggu. “Mereka jadi lebih sopan dan menghormati guru,� kata Ibu Endah. Tidak hanya di sekolah, di rumah pun anak didiknya biasa berkata, “Salat, Bapak, sekolah�. Menurut Ibu Endah, itu karena mereka pernah diajari di sekolah. Tak jarang orang tua yang penasaran dan bertanya kepada guru soal ini. Lalu Ibu Endah memberitahukan pada bapaknya jika tiap Jumat ada praktik-praktik keagamaan. Ibu Endah kemudian menceritakan pengalaman dengan murid beragama Kristen yang tidak ikut praktik keagamaan. Anak itu sering ikut bergabung dan tidak mau untuk dipindahkan ke ruangan lain. Ia hanya duduk di dalam ruangan dan melihat-lihat praktik keagamaan yang dilakukan teman-temannya. Ini membuat Ibu Endah tidak enak kepada orang tua murid itu. Ketika Ibu Endah menanyakan hal ini kepada orang tua murid itu, orang tua murid itu justru mengatakan pada Ibu Endah untuk membiarkan saja anaknya di dalam untuk belajar tentang toleransi. Bagian-bagian dari GLS di SLB Mandara ABC sudah jalan sejak tahun lalu. Mereka diberi bantuan berupa pojok baca. Penerapannya sama dengan yang ada di sekolah lainnya. Lima belas menit sebelum masuk kelas, mereka membaca terlebih dahulu. Di dalam kelas kemudian mereka akan ditanyai guru perihal buku non pelajaran yang mereka baca sebelum masuk. Setelah itu, tugas guru adalah mencari benang merah antara buku yang mereka baca dengan pelajaran yang mereka dapati di dalam kelas.

138


SLB Mandara

Buku-buku yang ada di pojok baca pun disesuaikan dengan kebutuhan anak didiknya, misalnya, yang difabel penglihatan membaca buku-buku berhuruf braille. Kebetulan juga, SLB Mandara ABC punya mesin pencetak braille sendiri. Untuk wilayah daratan, Kendari dan sekitarnya, mereka menjadi sentral percetakan buku-buku dengan sistem braille. Kadang-kadang, orang tua murid yang menunggu anaknya belajar, ikut mengambil buku dan membaca buku-buku di pojok baca itu. Setelah dibaca, buku-buku itu dirapikan kembali oleh mereka yang sudah ada di tingkatan lanjut. Ibu Endah mengatakan bahwa buku-buku yang ada di pojok baca kadang robek atau stikernya terlepas. Namun itu tidak masalah bagi kepala sekolah SLB Mandara ABC ini, karena menurutnya itu lebih bagus daripada tidak disentuh sama sekali. Semua fasilitas di SLB Mandara ABC adalah bantuan pemerintah pusat. Namun sekolah ini masih membutuhkan fasilitas tambahan, terutama alat peraga. Ibu Endah mengatakan, orang tua harusnya mulai antusias menyekolahkan anaknya. Apalagi mereka juga diberi beasiswa, tas, seragam, dan banyak hal yang ditanggung oleh sekolah. Ia juga berharap, orang tua mulai melihat hal yang dianggap sebagai kekurangan anaknya yang difabel sebagai sesuatu yang berbanding lurus dengan adanya potensi kelebihan. Harapan Ibu Endah ini lebih kepada bagaimana melihat anak-anak difabel memperoleh kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang menjadi hak mereka.

139


B I O D ATA

Achmad Teguh Saputro, kerap dipanggil Teguh. Lahir dalam keluarga pendidik di Tanah Anging Mammiri, pada 29 Desember 1996. Tertarik dan mendalami dunia pendidikan sejak 2016, baik itu pendidikan reguler maupun pendidikan khusus. Kini telah ikut bergerak di beberapa komunitas pendidikan di Makassar, Maros, Pangkep, dan Barru. Aisyah Gaffar lahir di Ujung Pandang, 09 Oktober 1967. Ia kepala sekolah SLB Jenetallasa yang juga bertugas sehari-hari sebagai sekretaris KKKS Gugus VII akalat dan anggota Bhayangkari Polda Sulsel. Alfrits Eefer Bujung. Sejak 2005 ditempatkan menjadi pengajar di SLB Bartemeus, Manado dan tahun 2016 dimutasi ke SLB Negeri Amurang, Sulawesi Utara. Anni Rita Gahung, guru di SLB LPMD Tolobukan. Anwar Jimpe Rachman menekuni kedaulatan informasi dan penelitian vernakular. Mengasuh Penerbit Ininnawa sejak 2005 dan mendirikan Tanahindie (www.­tanahindie.org) pada 1999. Sambil menjadi pustakawan di Kampung Buku, Makassar, ia bersibuk sebagai fasilitator dan kurator untuk proyek tahunan Bom Benang (2012-2017) dan Jakarta Biennale (2015). Direktur Makassar Biennale 2017 (www.makassarbiennale.org). Menulis Hidup di Atas Patahan (Insist Press, 2012) dan Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Chambers Celebes, 2013), dan sejumlah buku bersama, selain untuk media cetak dan media elektronik. Aziziah Diah Aprilya, lahir di Raha, Sulawesi Tenggara, 25 April 1997. Zizi– panggilannya—adalah mahasiswi Komunikasi Universitas Hasanuddin. Hobinya adalah memotret, menulis, menonton, dan mendengarkan apapun itu. Tapi dia sebenarnya selalu tertarik kepada literatur mengenai pop culture dan hal-hal di perkotaan. Dia senang mencatat berbagai kutipan yang kalau sedang niat

140


akan dia unggah di sosial media. Sosial media andalannya adalah instagram (@aziziahprilya) juga twitter dengan username yang sama. Kadang dia akan menulis diam-diam di aziziahprilya.wordpress.com. Zizi aktif di Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi Unhas dan Kampung Buku. Saat ini dia juga sedang menjadi freelance photographer dan mengerjakan personal project fotografi. Dia pernah mendokumentasikan Makassar Biennale 2017, Makassar International Writers Festival 2016, dan tentu saja kegiatan kampusnya. Zizi juga boleh dihubungi via email di zyriusva@gmail.com. Fakhiha Anugrah Prastica. Fakhiha Anugrah Prastica. Akrab dipanggil Khiha, lahir di Ujung Pandang 6 Agustus 1998. Sementara menempuh pendidikan DIV. Fisioterapi di Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar. Antusias berkegiatan sosial di beberapa komunitas, diantaranya menjadi relawan terapis anak berkebutuhan khusus di klub belajar sipatokkong, mengabdi 5 hari menjadi relawan pengajar di lokasi binaan Sokola Kaki Langit yang ada di Bontomanai dan masih banyak lagi. Juga senang mengikuti kegiatan meneliti, beberapa tulisan dimuat dalam sebuah buku, Anak Muda dan Kota adalah salah satu program penelitian dan penulisan yang diikuti. Disela kesibukan, menyempatkan diri sekadar mengelilingi kota atau menepi ke desa untuk mengagumi penciptaan Allah subhana wa ta’ala. Fauzan Al Ayyuby, lahir 4 maret 1994 di Nabire, Papua. Menjadi alumni STMIK AKBA, Makassar, jurusan Sistem Informasi pada tahun 2017. Ia pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Sistem Informasi (HIMASISFOR) STMIK AKBA periode 2015-2016. Ikut juga membantu mengelola Taman Baca Anak Bangsa dan Taman Baca Vrede dari tahun 2016 sampai sekarang. Ia juga terlibat sebagai Tim Penulis/Peneliti di Bom Benang 2016, dan Tim Fasilitator Bom Benang 2017. Saat ini sedang bekerja, dan belajar meneliti kota di Tanahindie, serta ikut urunan daya di Makassarnolkam(dot)com. Biasa nongkrong di Yayasan Sabtu Malam (Yassalam). Pernah menerbitkan buku antologi puisi berjudul Luka. Femmy G Rumampuk, kepala sekolah SLB Kasih Angelia Bitung. Dapat dihubungi via e-mail femmy28rumampuk@gmail.com atau HP/WA 081340470431 085256578353. Haerun AT adalah guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan yang juga bertugas antara lain sebagai Wakasek Sarpras, bendahara BOS, pembina Olahraga dan Pramuka, serta pembina Keterampilan Kriya Kayu dan Otomotif. Kegiatan Haerun di luar sekolah adalah aktif dalam organisasi pencinta alam dan tengah belajar mengembangkan usaha kriya kayu.

141


Ibrahim lahir di Bone 4 Mei 1981. Menghabiskan masa kanak-kanak sampai usia SMA di Pangkajene Sidrap. Sejak lulus kuliah, ia banyak meluangkan waktu sebagai pengacara publik di LBH-P2i, LBH APIK, dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Juga mendirikan kantor hukum AN ­LAWboratories & Associates. Aktif di Teater Tangan UKM SENI UMI sejak 2001, bergiat di ­Tanahindie sejak 2012. Alamat sekarang di BTP Blok F No. 453. Sejak 2004-2010, gabung di Komunitas Rumah Panggung (Korupa) yang bekerja mempromosikan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, perlawanan korupsi, melalui seni (teater, film dan musik). Masje Fin Takaredas, lahir di Tahuna, 1 Maret 1969. Istri Reickineyen Mandik, S.Pi ini menempuh pendidikan di SDYPK II Tahuna (1981), SMP Negeri Tahuna (1984), SPG Negeri Tahuna (1987), IKIP Negeri Manado (1992), dan PPs S2 Prodi Manajemen Pendidikan Universitas Manado (UNIMA, 2014). Alamat: Jalan Tanah Putih IV Lingkungan VI Malalayang I Timur, Manado. M. Idham Andra lahir di Pare-pare 29 Maret 1996. Mahasiswa Institut Seni Budaya Indonesia Sul-Sel. Jurusan TV dan Film. Dalam bidang film fokus pada penyutradaraan dan naskah. Email: dhaammuandra@gmail.com. Rafsanjani lahir di Tajuncu, Soppeng 16 September 1995. Menempuh pendidikan S1 Antropologi di Universitas Negeri Makassar. Saat ini belajar dan bekerja di Tanahindie. Sesekali menulis di situs MakassarNolKilometer[dot]com. Email: rafsanjanibinmann@gmail.com Selvy Anggriani Syarif, seorang ibu anak satu yang bekerja sambilan sebagai peneliti. Ia menyelesaikan kuliah di Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin (2012) dan program Pascasarjana IPB Bogor (Magister) di jurusan Sosiologi Pedesaan (2018). Sekarang sedang berusaha menggeliatkan aktivitas literasi di Kota Makassar bersama teman-teman di Rumah Baca Philosophia, Kampung Buku, dan Tanahindie. Dan hingga detik ini masih banyak belajar di Komunitas Inninawa. Dapat dihubungi di selvyasyarif@gmail.com. Sendra Fransje Ampow, guru di SLB Amurang. Wilda Yanti Salam, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin. Sedang belajar meneliti di TanahIndie, sering duduk belajar di Kampung Buku. Menyenangi berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dan segala realitas hidupnya.

142




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.