Edisi 11, Mei 2019
[KIRI MENURUN] Pre-event Makassar Biennale 2019: SCC (Sanwan Cultural Collective) mengatur sebuah lokakarya wawancara bagi 11 orang anak dari Sekolah Dasar Sanwan, Taiwan pada 9 Maret 2019 tentang informasi (pulau-pulau, cuaca, dan video). [KANAN MENURUN] Pre-event Makassar Biennale 2019: sebuah ajang masak-memasak tentang konflik, budaya, dan perdamaian di Kota Davao, Filipina, yang berlangsung pada 6 Mei 2019. Ajang ini diinisiasi oleh RM 74; Sabokahan IP Women; Jong Monsod, cultural worker and Secretary-General of PASAKA; dan XL Ysulat of MASIPAG.
Yard merupakan terbitan dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, k olaboratorium dan ruang dan ranah b ersama berwujud perpustakaan, menyebarkan gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan. www.tanahindie.org
Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman
Layouter dan Grafika Fauzan Al Ayyuby
Redaktur: Ardykarca, F auzan Al Ayyuby, Jumadil Awal, Muh. Iqbal Burhan, Rafsanjani, Sulaeman M. Nur
Web & Publikasi: Rafsanjani
Penulis: Chen-wei Lin aka Laurent, R.U. Mallatong Ilustrasi Muhammad Iqbal Burhan
Dokumentasi: Tanahindie Redaksi menerima sumbangan materi publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ilustrasi, dan komik melalui email:
Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.
tanahindie@gmail.com
Kolaborator:
DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie
Dokumentasi SCC (Sanwan Cultural Collective)
MENJADI "ORANG SANWAN": GURU SHEN DAN PERJALANAN LEGENDARIS SEORANG LELAKI ASAL INDONESIA Chen-wei Lin aka Laurent
G
uru Shen Hao Hui (沈浩輝) bersama istrinya memiliki restoran mi sapi di Kota Sanwan yang bertempat tak jauh dari Kantor Pos Sanwan, 100 meter saja. Ketika pertama kali berjumpa dengan Guru Shen pada tahun 2018, saya mendapati beberapa kerajinan seni Indonesia di dinding restorannya. Saya sangat penasaran saat itu: Kenapa topengtopeng dan kerajinan kayu ini bisa berada di tempat ini? Istri Guru Shen yang ketika itu tengah sibuk memasak pesanan membalas pertanyaanku seadanya: “Ia asal Indonesia,” katanya.
“Saya punya banyak kenangan dengan mi sapi Shen.” Jili, rekan Sanwan Cultural Collective (SCC) saya, sering menyebut tentang sejarah lokal ketika dia masih di universitas, “Ibuku suka sekali membeli daging sapi dan menyimpannya di kulkas. Saya pun sangat menikmati cita rasanya yang unik.” Jimpe tiba di Sanwan pada penghujung tahun 2018. Ketika itu pula saya mengetahui kalau Guru Shen bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Jimpe dan Shen berdiskusi dalam bahasa ibu mereka selama 15-20 menit, meskipun faktanya Shen berusia 16 tahun ketika meninggalkan Lampung 3/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
menuju Taiwan setelah tamat SMP dan kini ia berusia 75 tahun. Pada Februari 2019, Ji dan saya membawakannya artikel “Dua Halaman yang Menghadap ke Sungai” yang ditulis Jimpe. Sore itu ia baru saja selesai tidur siang, kemudian mulai membaca dengan perlahan. “Saya bisa baca, kata demi kata. Saya butuh sedikit waktu. Sekalipun sudah lebih 50 tahun saya tak lagi membaca tulisan dalam bahasa Indonesia…” Setelah itu, Guru Shen membuka kenangannya dan berbagi perjalanan dirinya kepada kami.
Pra-event Makassar Biennale
Pada 9 Maret 2019, SCC mengatur sebuah lokakarya wawancara bagi 11 orang anak dari Sekolah Dasar Sanwan ( 三灣國小). Sebelum menuju restoran Shen, kami berbagi informasi (pulau-pulau, cuaca, dan video) dengan anak-anak
itu di kelas. “Ada berapa pulau di Taiwan? Bagaimana dengan Indonesia?” Anak-anak coba menjawab, namun tercengang ketika mengetahui keseluruhan pulau yang ada di Indonesia sejumlah 17.508, bila dibanding Taiwan yang sejumlah 351 pulau – hampir 50 kali lipatnya. S e l ai n itu, S C C ju g a mengajari mereka beberapa kosakata yang gampang – seperti “bihun”, “mi”, dan “sabun”, dan memberanikan mereka untuk mengucapkan kata-kata itu dengan bahasa ibu mereka (Bahasa Hakka atau Hokkian). Betapa miripnya kata-kata tersebut. Setelah menonton sebuah film pendek 4 menit melalui Youtube, seorang anak lelaki usia 10 tahun (何銍 恩) bertanya pada kami: “Ada kemiripan arsitektur Indonesia dengan arsitektur Thailand, kok bisa?” Ia dengan cermat mengamati candi Borobudur dalam video tersebut. Kami juga sangat senang bisa berbagi
pengetahuan dengan mereka tentang berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia. Masing-masing anak lalu memegang peta Indonesia. Mereka memb ent ang kan sebuah peta global yang lebih besar bersama Guru Shen. Ia mengenalkan pulau-pulau besar yang ada, seperti Sumatra, Kalimantan, Jawa, dan Bali pada anak-anak tersebut. Ia mengarahkan jemarinya di pulau Kalimantan, “Nah, ada 3 negara yang berada di pulau ini. Di sini (menunjuk wilayah Mindanao dan kepulauan Sulu) milik negara Filipina.”
Dokumentasi SCC (Sanwan Cultural Collective)
Dokumentasi SCC (Sanwan Cultural Collective)
Anak-anak makin ingin tahu mengenai gunung api, gempa bumi, pulau dan cuaca tropis di Indonesia. Namun, ada dua orang gadis kecil usia 8 tahun (林沁沂、吳崇 渼) yang bertanya padanya, “Bagaimanakah kampung halamanmu menurutmu? Apa pekerjaan keluargamu saat itu? Dari pertanyaan itu kami mulai mengetahui kisah sesungguhnya.
4/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Warisan Hidup: Guru Shen dan Koper Kulitnya
Dokumentasi SCC (Sanwan Cultural Collective)
Orang tua Shen menjalankan usaha kecil di Lampung. Ia satu-satunya anak lelaki dari 12 bersaudara yang memilih bermigrasi k e Ta i w a n . G u r u S h e n menjawab kedua gadis kecil itu: “Meskipun pemerintah s e d ang me nge mb ang k an industri petrolium di Sumatra dan mentransportasikan ke Palembang. Dibanding pulau Jawa, khususnya Jakarta jauh lebih berkembang (dibanding Sumatra).” Shen remaja tiba di Taiwan tahun 1960 saat berusia 16 tahun. Kami yakin kalau ia terlahir di penghujung masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda. Ingatannya benarbenar melekat dengan masa lalu Indonesia. Sekali ia menunjuk dekorasi tradisional Kalimantan yang ada di rumahnya sambil menyinggung tentang pertarungan politik yang terjadi di Kalimantan sebelum tahun 1950-an. Beberapa orang coba menuntut kemerdekaan namun digagalkan oleh tentara nasional.
“Sepanjang tahun 1960, banyak orang berdatangan dari Indonesia ke Taiwan dan China Daratan. Saya berangkat naik kapal Jepang Kouan Maru (興安 丸、 こうあんまる) dari Jakarta, bersama lebih 1000 orang pelajar dan keluarga mereka, keseluruhan mencapai lebih 10.000 orang. Namun, kapal perang Tiongkok mengganggu perjalanan kami. Sang kapten mengisi tangki-tangki air dan bahan bakar dengan terpaksa di Hong Kong, dan kami akhirnya tiba di pelabuhan Keelung (Taiwan bagian utara) dua hari kemudian. Saya masih ingat berangkat tanggal 1 September, lalu tiba pada pukul sembilan pagi di tanggal 9 September…” “Setelah berlabuh dan turun dari kapal kami diarahkan ke SD Daqiao (Taipei,大橋 國小), tempat yang dulu jadi penampungan sementara kami. Saya tidak punya uang dan cuma punya dua koper kulit, sepekan kemudian petugas meminta kami memutuskan untuk tetap belajar di sekolah atau mencari pekerjaan.” Guru Shen memperlihatkan apresiasinya pada Presiden
Chiang Kai Shek (蔣中正總統): “Presiden Chiang mengangkat panitia ad hoc untuk mengatasi situasi kami, begitu pula dengan kelompok yang tiba di Taiwan di tahun 1963. Secara bertahap, orang-orang ini menuju ke berbagai kota/wilayah di Taiwan, termasuk Taipei, Taichung, Chiayi, Tainan, dan sebagainya, melanjutkan pendidikan melalui anggaran publik. “Koper-koperku penuh dengan pakaian dan barangbarang kebutuhan dasar. Tidak ada uang, tak ada pula sanak famili serta kerabat di sini. Saya berkenalan dan dapat temanteman baru selama perjalanan. Mereka datang dari Surabaya, Jakarta, dan Semarang. Saya masih memelihara koper-koper itu. Kini koper-koper itu telah menjadi barang pusaka keluarga Shen di Sanwan.”
Perpisahan yang Sepi “A p a o r a n g t u a m u mendukung (kepergianmu)? Apa kata mereka ketika kau meninggalkan mereka?” Guru Shen tersenyum dan berkata, “Ibuku hanya bilang padaku, ‘Jagalah dirimu baik-baik. Bertanggung jawablah atas keputusanmu. Bila kau gagal, pindah-pindahlah. Semua ini hidupmu sendiri.’ Itu saja.” Hanya ayahnya yang berang yang mengantarnya ke Tanjung Priok di Jakarta, karena ibu dan keluarganya yang lain mengurus usaha mereka. Ayah Shen masih marah dan terus menyalahkannya sebelum ia 5/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
menaiki kapal, “Kami sudah membesarkanmu selama 16 tahun. Sekarang kau memilih meninggalkan kami. Saya mau lihat apa kau bisa bertahan hidup atau tidak!” Tiket kapal diurus oleh ibunya, kerabat dan tetangganya. “Keluargaku tidak menyetujui keputusanku kecuali Ibuku.” Guru Shen tidak hanya belajar, tetapi bekerja keras juga. Ia menyelesaikan stratanya d i Un i v e r s it a s Na s i on a l C he ngch i ( 政 治 大 學 ) d i pinggiran Taipei. Ia bekerja di perusahaan konstruksi jalan untuk memperoleh uang pada saat libur musim panas. Setelah lulus dari universitas, beberapa orang menawarinya pekerjaan di berbagai kota di Taiwan. Atas pertimbangan cuaca dan alasanalasan lain, Guru Shen akhirnya memilih untuk menjadi seorang guru di Kota Sanwan, karena di sini memiliki “Pemandangan dan sungai yang bagus”. “Saya besar di Indonesia. Saya sudah membulatkan tekad untuk berangkat menuntut ilmu ke luar negeri ketika saya masih kecil. Ayahku menginginkanku belajar di Australia, yang jauh lebih dekat dari Indonesia. Akan tetapi, aku bilang tidak. Aku ingin belajar bahasa dan budaya Tionghoa. Itulah mengapa ibuku mendukung.” Ibu Shen meninggal lebih dulu dari ayahnya. Setiap tahun ia pulang ke Indonesia. Ia bertemu dengan ayahnya empat kali setelah menetap di Sanwan. Pada kali kedua ia bertemu ayahnya di tahun 1970, ayahnya 6/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
memberinya ‘Silsilah Keluarga Shen’, sebuah buku silsilah keluarga tradisional Tionghoa, sebagai simbol pula dari ritual ‘garis turunan-lelaki’. Yang berarti pula bahwa Guru Shen dianggap sebagai generasi pertama yang tinggal di Taiwan. Ia tidak hanya harus mencatat nama anak lelakinya di buku itu, tapi juga harus menjadi ‘lelaki sejati’ yang bertanggung jawab penuh untuk melanjutkan dan mewariskan garis darah keluarga ‘Hakka-Indonesia’ mereka di Taiwan. Ia kembali ke Jakarta untuk bertemu dengan anggotaanggota keluarga yang lain. “Saudaraku, saudariku, dan kerabat-kerabatku berkumpul di Jakarta untuk berjumpa denganku bila mereka mengetahui aku sedang pulang kampung. Sekarang saya jarang pulang kampung. Saya sudah tua, dan keluarga intiku sudah menetap di sini.” Itu l a h a l a s an ke n ap a a d a b e b e r ap a k e r aj i n a n seni Indonesia di restorannya. Benda-benda itu mengingatkannya akan kenangan keluarga.
“Tja be”: Warisan Historis dalam Minya
Gu r u S h e n m e n g aj ar di SMP S anwan (三 灣 國 中) sejak tahun 1968-2004. Ia dulu menjabat sebagai direktur kesiswaan mencakup juga bidang akademis. Bahkan sebelum pensiun, Shen mendiskusikan dengan istrinya untuk membuka sebuah toko. “Dia mau mengelola toko
mainan. Tetapi, saya kira itu bukan ide yang bagus. Menurutku, memasak mi jauh lebih mudah dijadikan penghidupan. Mi. Ya, mi sapi!” Mereka membuka “Mi Sapi Shen” di depan sekolah di tahun 1978-1979; meskipun, sesuai kepercayaan tradisional Tionghoa, tidak baik tinggal dekat pekuburan (pekuburan masih ada di depan gerbang sekolah hingga saat ini) Shen membeli sepetak tanah dan membangun “Mi Sapi Shen” tahun 1981. Karena Guru Shen telah mengajar di sekolah setempat selama lebih dari 30 tahun, hingga kini banyak penduduk/ pelajar usia paruh baya yang sudah ketagihan dengan rasa minya yang unik, termasuk Mr.Wun (溫志強), Wali Kota Sanwan. Guru Shen membuat “cabe” sendiri. Mereka memasak kuah sapi dengan menambahkannya. Satu kali ia menulis “Tja be” di notebook-ku. Saya sontak membalas: “Wah, kata ini sudah jarang ditemukan sekarang.” “P r e s i d e n S o e k a r n o ? Atau Presiden S oeharto? Saya tidak tau pasti siapa yang telah mengubah ejaan aslinya. Kata ‘cabe’, seperti yang kau tahu, diubah. Itu baru. Berdasar sebuah kebijakan, beberapa orang mengkritik dan menyalahkan kekonyolan ini. Saya sangat sepakat dengan itu. Mengapa kita – orang Indonesia – ikut-ikutan dan beradaptasi dengan ejaan Malaysia? Kita adalah sebuah negara yang
hebat dengan populasi dan daratan yang lebih besar dari yang mereka miliki! Kita tidak boleh ikut mereka.” Guru Shen kukuh dengan pendiriannya, supaya kita bisa mengikuti jejaknya kembali ke “ejaan bahasa Indonesia
yang disempurnakan” pada kurun 1970-an. Lebih jauh, ini tidak sekadar cerita “Orang Sanwan Hakka”, tetapi juga sung guh s ebuah war is an berharga digabung dengan sejarah modern Indonesia dalam semangkuk mi sapi.
— CATATAN: Chen-wei Lin aka Laurent menyusun catatan ini usai pra-event Makassar Biennale 2019 pada 20 Maret 2019 di Kota Sanwan, Taiwan, yang terlaksana atas kerja sama Sanwan Cultural Center –
PENGUMUMAN PESERTA MAGANG A R T E FA C TTANAHINDIE 2019
Sehubungan dengan dibukanya pendaftaran Program Magang Artefact –Tanahindie 2019 pada 12 April – 11 Mei 2019, para peserta pendaftar yang telah mengikuti pertemuan pertama bersama tim kerja Art.e.fact pada 16 Mei 2019 di Kampung Buku dinyatakan diterima sebagai peserta magang. Para peserta terpilih akan bekerja bersama tim kerja Art.e.fact dan akan menjadi bagian kerja tim Makassar Biennale 2019 selama periode berlangsung. Berikut adalah nama-nama peserta terpilih Program Magang Artefact-Tanahindie 2019: 1. Andi Nur Ilman Tenritatta [Penulisan Seni Rupa] 2. Ahmad Muhajir [Kerja Grafika/Desain Grafis] 3. Jumadil Awal [Fotografi] 4. Khoemeiny Imamuddin Nahumarury [Penulisan Seni Rupa] Selamat kepada peserta terpilih, selamat magang. Salam.
7/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
GEROBAK BIOSKOP DEWI BULAN Pemutaran dan Diskusi Film "Battu ri Tanayya" dan "Mata Air Sumur" karya Muhajir Aside di Kampung Buku pada tanggal 27 Mei 2019. Dimoderatori oleh Rafsanjani dengan menghadirkan pembicara Muhajir Aside (Sutradara Film) dan Darmadi Tariah (Tanahindie).
SINOPSIS FILM "Mata Air Sumur": Tentang air di sumur. Setiap hari ada seseorang pergi ke sumur membawa setumpuk harapan lebih dari tumpukan pakaian kotornya. Harapan yang mengantarnya pada fatamorgana dan menjebaknya dalam halusinasi tentang air di sumur.
8/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
SINOPSIS FILM "Battu ri Tanayya": Film yang mengisahkan seorang sarjana muda dari keluarga petani yang merasa gengsi untuk turun ke sawah membantu orang tuanya. Pemuda tersebut kemudian diperhadapkan pada pilihan-pilihan.
9/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
PRODUK KAMPUNG BUKU
IDR110.000
Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives
LOKASI KAMPUNG BUKU
Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)
KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books
BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA 10/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Instagram: @kedaigeraderi
IDR42.000
Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives
LOKASI KAMPUNG BUKU
Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)
KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books
BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA
Instagram: @kedaigeraderi 11/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
[CERPEN]
LA KUTTU R.U. Mallatong
A
lkisah, hiduplah seorang Ibu yang mempunyai empat anak laki-laki. Anak pertama bernama La Toa, anak yang paling rajin dan kaya raya di antara saudaranya yang lain, rajin berkebun untuk membantu ibunya. Sedangkan anak keduanya bernama La Tangnga', anak ketiga bernama La Lolo. Keduanya bekerja serabutan dan hanya menghabiskan harta orang tuanya. Sementara itu, anak keempatnya bernama La Kuttu, anak yang paling malas dari empat bersaudara. Jika ia diajak oleh kakaknya untuk pergi bekerja atau diperintahkan untuk mengambil sesuatu, ia hanya meneteskan air mata. *** Suatu hari, La Kuttu merenung di kamarnya karena merasa bersalah. Sehari semalam ia tak pernah keluar dari kamar, ia merasa takut 12/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
bertatapan muka dengan ibu dan kakaknya. Ia sadar bahwa dirinya anak yang malas. Entah apa yang ia lakukan di dalam kamar sehingga tidak pernah keluar, mungkin ia tertidur lelap. Pernah sekali waktu, La Toa merasa penasaran dengan adiknya yang tidak pernah keluar dari kamarnya. Apakah ia sedang sakit atau ada sesuatu yang terjadi pada adiknya? La Toa khawatir. Tanpa pikir panjang La Toa mendatangi adiknya yang sehari semalam tak dilihatnya. Padahal biasanya ia selalu berlalu-lalang di ruang tamu rumahnya. La Toa mencoba mengetuk pintu kamar adiknya yang sedang tertutup rapat. Namun La Kuttu pura-pura tidak mendengar kakaknya. Berkali-kali La Toa memanggil adiknya, La Kuttu selalu menghiraukannya. Akhirnya La Toa terpaksa mendombrak pintu kamar adiknya.
Barulah La Kuttu berpurapura menguap terbangun dari tidurnya. La Toa kemudian memberi nasehat kepada adiknya bahwa kita harus bekerja keras untuk mencari nafkah, mumpung kita masih muda, masih punya banyak kesempatan. Apalagi ayah telah lama meninggal dunia, siapa lagi kalau bukan kita yang membantu ibu, nasehat La Toa. La Toa mengajak adiknya untuk pergi berkebun dan menyampaikan falsafah dari ayahnya sewaktu masih hidup. Ayahnya berpesan bahwa falsafah itu harus diwariskan ke adik-adiknya kelak, ketika adik-adiknya mulai menginjak usia remaja. Sehingga La Toa mendidik adik-adiknya dengan baik, agar ayahnya bahagia di alamnya ketika pesannya disampaikan. Namun, L a Kuttu tak mempunyai hasrat sedikit pun dalam dirinya untuk bekerja sama dengan kakak-kakaknya, apalagi jika bersama kedua kakaknya, yakni La Tangnga' dan La Lolo yang hanya mencuri barang milik orang lain, itulah pekerjaan yang paling tidak disukai oleh La Kuttu. Ia hanya menangis terseduh-seduh di depan kakaknya, setiap ia diajak bekerja oleh kakaknya. Tanpa La Toa sadari ia menggertak adiknya. “Kakak tidak menyuruhmu mencuri, kakak hanya mengajak kamu berkebun. Bila tidak, kamu mau jadi anak apa nantinya,” gertak La Toa sambil menasehati adiknya. “Aku belum sanggup untuk
melakukannya, Kak. Lagi pula aku masih ingin tidur, aku masih mengantuk,” seru La Kuttu dengan keras. Seketika itu, La Kuttu hanya menangis di depan kakaknya. Tak henti-henti air matanya menetes membasahi pipinya, kakaknya ikut bersedih melihat adiknya menangis terseduhseduh di depannya. La Kuttu kemudian terdiam, tak tahu apa yang ia lakukan selain tangisnya yang menderu. Lalu ia memperlihatkan uang kepingnya yang disimpan di dalam bungkusan kain kusam. “Aku tidak suka berkebun, Kak. Aku hanya suka berlaut, andai kata kebun ada di laut maka aku akan berkebun. Sayangnya kebun itu tak berair ketika musim kemarau tiba, itulah alasan kenapa aku tidak suka berkebun. Aku h a ny a m e mp u ny a i u a n g keping ini, Kak. Ketika kakak menginginkan aku untuk bekerja, maka pergilah, dan belikan aku sesuatu yang bisa digunakan di laut yang sebanding dengan harga uang ini,” pinta La Kuttu. Akhirnya La Toa baru menyadari penyebab adiknya selama ini malas bekerja. B a h kan s el a lu menang is ke t i k a i a d ip a k s a u ntu k bekerja. Apalagi diminta untuk melakukan sesuatu yang ia tidak sukai. La Toa menyampaikan kepada ibunya, apa yang diinginkan adiknya. La Toa memperlihatkan uang keping adiknya kepada ibunya dan berkata, “hanya keping ini yang dimilki La Kuttu diberikan
kepada saya.” *** Selepas hujan, bulan mulai tertunduk malu. Suara ayam mulai berkokok di kandangnya. Mentari mulai menampakkan dirinya di kaki bukit, menghapus bayang-bayang hitam kelabu. Sang ibu pun mulai terbangun dari tidurnnya. Seusai menikamati sejuknya angin menerpa tubuhnya yang kepanasan seharian di kebun. Ia hanya membasahi rambut panjangnya dan menghapus kotoran yang berbinar di bola matanya. Tanpa mengingatkan anak-anakanya, ia terburu-buru mengambil bakul dan bergegas menuju pasar tak jauh dari rumahnya. Setiba di pasar, ia membeli perlengkapan rumah serta perlengkapan lainnya yang ia butuhkan, lalu hendak kembali ke rumah. Namun setelah ia beranjak meninggalkan pasar, uang keping anak bungsunya jatuh dari keranjangnya, seketika sang ibu mengingat pesan anaknya La Kuttu. Ia kemudian kembali ke pasar untuk membeli sesuatu yang seharga dengan nilai uang keping anaknya. Ha ny a p a n c i n g y a n g senilai dengan uang anaknya. Tanpa pikir panjang, sang ibu membelinya dan menganggap bahwa anaknya suka dengan l aut. Mung k in i a bis a memancing ketika anaknya b os an ting gal di r umah. Akhirnya sang ibu kembali ke rumah seusai membeli pancing. Setiba di rumah, ia memberikan pancing kepada anaknya, La 13/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
Kuttu. *** Di suatu hari La Kuttu pergi memancing di sungai, yang cukup jauh dari rumahnya sehingga ia harus berjalan k a k i m e l e w at i b e b e r ap a perkampungan untuk sampai ke sungai yang ia tuju. La Kuttu mengira hanya di sungai itulah banyak ikannya, sebab di sungai itu ia sering melihat sekolompok ikan berenang. Setiba di sungai tersebut, La Kuttu memulai memasang umpan ke mata kailnya, lalu melempar ke muara sungai secara perlahan-lahan. La Kuttu terdiam melihat mata kailnya sambil memegangi pangkal batang pancingnya, ia kemudian tiba-tiba mengingat kakak dan ibunya di rumah. Ia memikirkan dirinya—kenapa sepertinya ia dibenci oleh ibu dan kakaknya. Apakah karena kemalasannya? Entalah, pikirnya. Tiba-tiba ia melihat benang pancingnya bergerak-gerak seperti ada yang menariknya. Mulanya, pelan-pelan tapi kemudian lebih keras dan cepat, La Kuttu lekas menarik pancingnya. Tapi ia kecewa melihat mata kailnya habis, umpannya pun lenyap. Dan hanya seekor nyamuk yang ada di mata kailnya. Dengan rasa kecewa, La Kuttu kembali memasang umpan ke mata kailnya lalu melemparkannya kembali ke muara sungai dengan arah yang berbeda. Namun, lagilagi kejadian yang sama, mata kailnya hanya disambar oleh ikan-ikan dan ditarik seolah ada 14/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
ikan yang memakan umpannya, memberi harapan. Setelah pancing di tarik, ternyata hanyalah seekor nyamuk yang menghabiskan umpannya. Kejadian itu berulang sampai berkali-kali, membuat hati La Kuttu terbakar, yang selama ini dikenal dengan anak yang sabar dan pendiam. Kejadian itu membuat dirinya marah besar, namun entah siapa yang ia marahi karena di tempat itu hanya ada dirinya seorang. Ia melampiaskan kemarahnnya dengan pohon-pohon yang ada di sekitarnya. La Kuttu hampir putus asa, ia merasa kesal dengan nyamuk yang selalu menghabiskan umpannya. Hari itu ia benarbenar sial, tidak ada ikan yang ia dapat, umpannya pun mulai habis di batok kelapa. Sudah berjam-jam lamanya ia memancing, kemudian ia masih mendapati ada umpan yang tersisa di bawah telapak kakinya yang tidak sengaja ia jatuhkan tadi. Namun, lagilagi umpannya habis dan tak seekor ikan pun diperolehnya. La Kuttu kemudian kembali ke rumahnya tanpa membawa seekor ikan pun. La Kuttu membayangkan betapa kecewanya kakak dan ibunya bila dirinya kembali tanpa membawa seekor ikan. Padahal ia jauh-jauh dari rumah ke sungai untuk memancing dengan harapan membawa ikan pulang. Seharian berpanaspanasan tak mendapatkan apa yang ia harapkan. “Apakah mungkin sekarang aku akan kembali begitu saja
tanpa membawa seekor ikan, meskipun kecil,� pikirnya dalam hati sambil berjalan perlahanlahan melangkahkan kakinya menyusuri pinggir sungai tersebut. Dengan penuh harap La Kuttu mencoba sekali lagi membuang pancingnya ke muara sungai. “Bila hanya nyamuk yang menghabisi umpanku, berarti hari ini aku memang benar-benar sial tidak perlu aku melanjutkannya, lebih baik aku pulang menerima kekecewaan kakak dan ibuku di rumah. Lagi pula mereka menginginkan aku untuk berkebun,� pikirnya dalam hati sambil membuang pancingnya. Namun, La Kuttu masih tidak mendapatkan ikan seekor pun. “Sepertinya tidak ada tandatanda ikan yang aku dapatkan hari ini,� pikirnya lagi dengan putus asa. L a Ku t t u k e m u d i a n berpindah tempat, tak jauh dari tempat yang ia tempati tadi. Ia melemparkan mata kailnya lagi ke muara sungai yang sekian kalinya dengan harapan mendapatkan ikan. Tak lama kemudian, pangkal pancing yang ia pegang bergerakgerak makin lama makin cepat dan kuat. Kelihatannya ikan yang mencaplok kailnya benar-benar besar. La Kuttu menggulung senar pancingnya secara perlahan-lahan tapi kadang-kadang ia juga harus menggulurnya kembali mengikuti gerak ikan yang telah memakan umpannya. Hal itulah yang dilakukan La Kuttu. Sebab, kalau sampai ditarik
paksa, maka ikan besar seperti yang ada dalam pikirannya akan memutuskan tali senarnya atau mungkin bahkan mematahkan batang pancingnya, pikirnya. La Kuttu menunggu situasi saat-saat lelahnya ikan besar tangkapannya untuk kemudian d ap at d it ar i k , har apny a . Kejadian itu merupakan saatsaat menegangkan yang paling dinikmati seorang pemancing. La Kuttu sangat menikmati situasi seperti itu dan adanya kenikmatan pada saat-saat seperti itulah yang membuat La Kuttu suka memancing dibandingkan berkebun. La Kuttu merasakan mata kailnya disambar ikan besar yang berlalu-lalang bergerak ke sana kemari sampai ikan itu lelah dengan sendirinya. “Inilah buah dari kesabaranku, usahaku seharian—sendirian berpanas-panasan, akhirnya akan membuahkan hasil juga seekor ikan yang besar,” katanya dalam hati penuh harap. Ki r a - k i r a i kan sud a h mu l a i t e n a n g . Mu n g k i n sudah kelelahan, La Kuttu menggulung senarnya lebih cepat ketika pancing sudah sampai ke tepi sungai, lalu ia menyiapkan jaring untuk menangkap ikannya lebih mudah, namun L a Kuttu terkejut dan kecewa untuk beberapa kalinya. Ternyata bukan ikan besar, melainkan nyamuk besar ia tangkap. Ukuran nyamuk itu kira-kira sebesar burung elang, La Kuttu merinding melihat nyamuk sebesar itu. Di lain sisi, La Kuttu juga sangat kesal dengan
kejadian itu, ia tak menyangka kejadian itu berulang kembali. “Hei nyamuk! Jangan ganggu aku. Aku di sini hanya memancing ikan semata. Aku tidak akan menggangu kamu sama sekali. Aku minta kamu juga jangan menggangu aku dan terus menghabiskan umpanku. Dasar nyamuk tidak punya Karaeng,” kesal La Kuttu pada nyamuk yang menghabiskan umpannya. Seketika itu, tiba-tiba nyamuk tersebut berbicara, “Apa yang kau katakan La Kuttu, aku memang seekor nyamuk. Tapi aku juga punya Karaeng sama sepertimu, bila kau ingin melihatnya siapa Karaengku ikutilah aku,” ajak nyamuk menunjukkan rajanya sebab ia tidak menerima pernyataan La Kuttu bahwa ia tidak mempunyai Karaeng. La Kuttu tambah merinding menyaksikan nyamuk besar itu tiba-tiba berbicara kepadanya. L a Kuttu m e n c u r i g ai bahwa mungkin nyamuk itu adalah penjaga sungai tersebut. Sehingga dia merasa terganggu d e n g a n k e ny a m a n a n ny a m e n g a k i b at k a n i a t i d a k berhasil mendapatkan ikan. Barulah La Kuttu menyadari kegegabahannya mengejek nyamuk tersebut. “Mengapa aku tak sadar mengatakan bahwa nyamuk tak punya Karaeng. Padahal sepertinya bukan nyamuk biasa yang bisa berbicara,” sesal La Kuttu dalam hati. “Aku tahu apa yang kau katakan dalam hatimu,”
kata nyamuk itu. “Kok, kamu bisa tahu apa yang saya pikirkan wahai nyamuk?” heran La Kuttu. “Aku tidak seperti apa yang kau pikirkan La Kuttu. Aku sengaja mengganggu aktivitasmu, agar kau tahu bagaimana rasanya diganggu. Tapi bukan itu yang aku minta, aku ditugaskan oleh Karaengku untuk menjaga sungai ini. Tapi ketika kau ingin melihat Karaengku maka ikutilah aku,” ajaknya kembali. He r a n l a h L a Kut t u mendengar pernyataan seekor nyamuk raksasa itu. Bulu La Kuttu mulai berdiri ketakutan, badannya mulai gemetaran. Menyaksikan seekor nyamuk yang bisa mengetahui pikirannya. Tanpa pikir panjang L a Kuttu pun mener i ma kenyat aan itu, karena ia merasa anak yang tak berguna kepada keluarganya dengan kemalasannya. Sehingga ia lebih memilih mengikuti seekor nyamuk raksasa itu, yang terus menghabisi umpannya. Lagi pula ia penasaran dengan Karaeng yang dimaksud seekor nyamuk tersebut, walau dirinya sebenarnya takut. Jangankan Karaengnya, nyamuk yang dilihatnya sendiri pun luar biasa besarnya, sungguh mena kut kan . B agai mana dengan Karaengnya nantinya. L a Ku t t u m e n a h a n r a s a takutnya dan memaksakan diri untuk menyelam ke dasar sungai mengikuti nyamuk raksasa tersebut. Di tengah p er jalanan 15/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
mereka menuju tempat Karaeng, barulah La Kuttu tiba-tiba tersadar. “Mengapa aku bisa berenang sejauh ini, padahal aku tidak bisa berenang sama sekali, apakah aku hanya bermimpi,” heran La Kuttu menyaksikan dirinya bisa berenang sedalam itu ke sungai. Ta k l a m a k e m u d i a n mereka tiba di dasar sungai, terdapat sebuah tiang yang bercahaya dan tembok raksasa yang dikelilingi oleh sungai, pepohonan yang rimbun, juga kupu-kupu yang beterbangan saling memadu cinta dengan capung-capung di gerbang istana semakin memperindah tempat itu. Tiang-tiang itu adalah istana Karaeng nyamuk. La Kuttu seolah-olah bermimpi melihat keindahan tempat itu. Pesona keindahan tempat itu membawa La Kuttu ke dunia lain, pikirnya. “La Kuttu! jangan takut pada kami, kamilah nyamuk yang akan menolong kamu. Kami tahu bahwa kau anak yang malas, apalagi bekerja di kebun. Untuk itulah kami datang mengganggumu sampai menghabiskan umpanmu, agar kau jengkel denganku dan bernafsu mengikutiku sampai ke tempat ini. Inilah istana Karaeng kami,” pinta nyamuk raksasa. “Sungguh indah tempat ini, tapi aku masih tidak percaya bahwa tempat ini nyata,” kata La Kuttu. “Wajar kau tidak percaya, tapi lihatlah tempat itu,” seru sang nyamuk raksasa sambil menunjuk kursi Karaengnya. 16/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
L a Ku t t u h a n y a terdiam dan takut melihat sebuah pancaran cahaya yang menyinari seluruh istana, bahkan La Kuttu tidak bisa melihat lagi dengan jelas akibat kesilauan cahaya itu. Ia hanya berdoa memohon perlindungan dan belas kasih kepada Tuhan yang maha pelindung dan penyayang. Sekejab mata setelah ia meminta perlindungan, tiba-tiba ia melihat kakek tua berambut putih panjang, jenggotnya sudah memutih pula yang panjangnya sampai ke tanah. Kakek itu duduk di kursi emas, yang bercahaya tadi membuat La Kuttu semakin takut dibuatnya. “Hai anakku La Kuttu duduklah, jangan takut padaku. Akulah Karaeng nyamuk. Lalu tertawa terbahak-bahak menatap La Kuttu yang penuh ketakutan. Ayo kemarilah jangan menjauh.” “I i ya a, Kek!” “Jangan takut nak! Mendekatlah.” La Kuttu terkejut melihat kakek itu tiba-tiba ada duduk di kursi emas itu, yang tak tahu dari mana arah datangnya. Sampai berjingkat pun tak terdengarkan suara langkah kakinya sebelumnya. Tetapi tegur sapa kakek itu yang mengaku dirinya Karaeng nyamuk, sepertinya kakek yang baik. La Kuttu mulai tenang, rasa takutnya pun mulai menghilang. Sehingga ia memberanikan diri untuk mendekati kakek itu, walau masih menyisahkan sedikit rasa takut padanya.
“Kakek siapa? Aku datang ke sini cuman bersama seekor nyamuk tapi kenapa kakek tibatiba ada di tempat ini?,” tanya La Kuttu yang masih ketakutan kepada kakek tua itu. “Iya, dia memang seekor nyamuk. Dia adalah jelmaan dar i s es e orang yang a ku perintahkan menemanimu kemarin di sungai, bumi. Akulah Karaeng yang dimaksud Nyamuk itu. Jangan takut, kalau kakek boleh tahu kenapa La Kuttu senekat itu datang kemari,” tanya seorang kakek. “Aku datang kemari karena aku ingin membuktikan apa yang dikatakan oleh nyamuk itu. Lagi pula aku jengkel pada nyamuk itu karena seharian kemarin menghabiskan umpanku. Padahal aku ingin memancing ikan, tidak bermaksud sama sekali mengganggu nyamuk itu.” “Kenapa kau ada di sungai itu?” La Kuttu menceritakan kisah hidupnya yang malang. Bahwa ia anak yang malas dan cengeng. Ia mempunyai seorang ibu dan keempat kakaknya. Ayahnya sudah lama meninggal dunia, ketika ia masih bayi. Ia hanya suka bermain air salah satunya di sungai. Ia menceritakan keberangkatannya dari rumah sampai ke sungai hingga ia nekat datang ke tempat itu, di istana Karaeng Nyamuk. *** Senja mulai bersembunyi di kaki bukit membayangi bulan
yang mulai bersinar, di kala itu seolah-olah menghantui mentari yang resah. Sehingga kakek memerintahkan La Kuttu untuk bermalam di istananya. Tanpa ragu, rasa takut La Kuttu pun perlahan-lahan menghilang hingga ia menerima tawaran kakek itu tanpa ada basa-basi lagi di antara mereka. Kakek itu memberikan sepucuk pelepah pisang dengan isyarat. Dan mengarahkannya ke kamar tidur yang terdapat di bagian sebelah kanan istana. Lalu, dengan senang hati La Kuttu menerimanya dan berjalan menuju kamar tidur yang kakek tunjukkan. Mentari kembali menampakkan dirinya, menghapus bayang-bayang hitam yang berkelahi dengan cahaya samar-samar. Ayam pun mulai berkokok panjang pertanda bahwa waktunya salat subuh bagi yang melaksanakannya. La Kuttu terbangun dari tempat tidurnya. Ia keheranan melihat pucuk pelepah pisang yang ia tempati tidur masih utuh. Tanpa ada sedikit pun yang sobek apalagi terlihat layu. Lalu tiba-tiba sang Kakek menyapanya. “Kau terbangun, Nak. Ayo kita keluar!” Ajak kakek itu lalu menceritakan hal-hal apa saja yang akan dilakukan La Kuttu ketika hendak kembali ke rumahnya, di bumi. Dengan rasa penasaran La Kuttu juga tampak senang mendengarkan petunjuk kakek itu. “Karena kau b erhasi l melewati ujianku semalam, kau tak merobekkan pucuk pelepah
pisang yang kau pakai tidur semalam. Maka kaulah anak yang beruntung mendapatkan apa yang aku harapkan.” “Apa yang aku dapatkan, Kek? Memangnya tadi malam aku diuji, ya? “Ketika kau hendak keluar dari istana ini. Kau melewati jalan yang aku perintahkan. Jalannya lurus, lalu belok kanan setelah kamar yang kau tempati tidur semalam,” sambil menunjukkannya. Lu Kuttu pamit kepeda sang kakek itu, lalu keluar dari istana mengikuti arah petunjuknya. Setiba di tempat yang dimaksud sang Kakek, maka tiba-tiba muncullah seekor nyamuk menyambar kep a l anya s eb anya k t iga kali. Nyamuk itu tak lain dari nyamuk yang kemarin meng gangunya. S eket i ka itu pun juga nyamuk yang tadinya menyambar-nyambar kepalanya pun terbang keluar istana melalui pintu kanan istana. La Kuttu mengikuti jejak s eekor nyamuk ters ebut. Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah lembah yang dikelilingi oleh sungai dan beberapa pepohanan yang rindang. Seketika itu La Kuttu m e m b a l i k k a n b a d a n ny a kemudian melihat istana yang ia tempati semalam. Namun hanyalah gunung yang ia lihat yang dikelilingi hutan lebat, yang tadinya terlihat tembok-tembok tinggi tibatiba menjadi hutan, heran La Kuttu. Ia terdiam diri, ingin bertanya tak seorang pun
yang ada di sekitarnya selain seekor nyamuk. Lagi pula ia mengingat pesan kakek bahwa jangan tanyakan mengenai tempat itu oleh siapa pun. La Kuttu melanjutkan perjalannya hendak menuju rumah. Di tengah perjalanan ia kelelahan, lalu duduk di bawah pohon besar yang tak jauh dari gunung itu. Ia menikmati suasana alam sambil memandangi perkampungannya yang masih sangat jauh. Ketika tenaganya mulai pulih kembali, ia hendak melanjutkan perjalanannya. Namun, tiba-tiba kakinya tersandung di akar kayu dan segera mencabut akar kayu tersebut hingga terangkat dari tanah. Tiba-tiba ia melihat emas batangan yang tertimbun tanah. La Kuttu gembira melihat emas batangan tersebut di depan matanya. Lalu dengan semangat yang membara di hatinya ia tergesah-gesah menggalinya, dan membawanya pulang ke rumah. Di tengah perjalanan menuju rumah, yang tak jauh dari tempat ia menemukan emas batangan itu, ia pun kembali tersandung di batu. La Kuttu terjatuh, i a menga l ami lu ka lutut bagian kirinya, ia tergesahgesah terbangun mengabaikan lukanya walau terasa masih sakit. Ia kembali melihat emas berbentuk uang keping (ohang) kira-kira sebanyak tiga liter. La Kuttu kaget dan senang melihat uang keping itu dan mengambilnya—dibawa pulang ke rumah. Setiba di rumah. ia pun 17/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
d i l i h at o l e h s au d a r a ny a menjinjing bungkusan s ehel ai k ai n h it am y ang kusam . Saudara-saudaranya m e n e r t aw a i ny a , m e r e k a mengira palingan bangkai busuk yang La Kuttu bawah ke rumah, karena sepertinya ia tidak mendapatkan ikan. Semenjak itu La Kuttu mulai membangun usaha. Ia mengembangkan kekayaan yang ia dapat dari kepergiannya. Yang tadinya malas bangun kini ialah yang paling cepat terb angun dib anding kan kakaknya yang lain. Yang dulunya dikenal cengeng dan terlihat lemah kini mulai terlihat tegar. Yang dulunya selalu mengurung dirinya di kamar kini ia mulai ke mana-mana, yang selalu ia lakukan adalah berkunjung ke tetangnganya. Bahkan setiap harinya ia memberikan makanan kepada orang-orang yang ada di sekitar kampungnya. Beberapa tahun kemudian L a Kuttu mu l ai terkena l kekayaannya. Dan bahkan tak seorang pun yang dapat menyaingi kekayaannya di kampung itu. Selain dia kaya raya orangnya pun baik hati, sopan tutur sapanya juga sering membantu orang-orang yang kurang mampu. La Toa mulai curiga kepada adiknya sendiri karena ia merasa tersaingi kekayaannya. Karena La Toa mengetahui persis bahwa adi k ny a or ang ny a ma l as mengapa dia tiba-tiba jadi kaya raya seperti itu. Sejak itulah mulai tumbuh rasa iri di hati La Toa terhadap adiknya. La 18/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Kuttu yang ia kenal pemalas kini menjadi saingannya. Bahkan La Toa mulai membenci adik kandungnya sendiri sejak kekayaannya tersaingi. “La Kuttu kamu dari mana saja? Sepertinya kau mulai hidup mewah, dari mana kau mendapatkan harta sebanyak itu dengan waktu yang sesingkat ini,’’ curiga La Toa. “Kakak sendiri yang menyuruh aku bekerja kan! Ya inilah hasil kerja keras aku, bukankah itu yang kakak harapkan dari aku?" “Ia aku mengharapkan itu! Tapi dari mana kau memperoleh semua ini?" La Kuttu hanya tersenyum menatap kakaknya yang tampak curiga. La Kuttu menceritakan apa yang terjadi padanya beberapa waktu yang lalu. Ia menceritakan perjalannya sejak ia melangkahkan kakinya dari rumah dengan modal satu mata kail yang dibelikan oleh ibunya, hingga ia dipertemukan dengan seorang kakek. *** Sejak La Toa mendengar cerita adiknya, La Kuttu. Ia pun merasa penasaran. La Toa pergi menelusuri sungai yang dimaksud La Kuttu dan menemukan sungai tersebut, persis apa yang diceritakan La Kuttu. Lalu ia melakukan apa yang pernah dilakukan oleh La Kuttu dalam ceritanya, tak lain adalah memancing di pinggiran sungai. La Toa mulai memasang umpannya ke mata kail. Lalu melempar ke muara sungai
sama seperti yang dilakukan oleh La Kuttu. Tak lama kemudian, batang pancingnya mulai bergerak hendaknya ada ikan yang memakan umpannya. Pelanpelan ia menarik senarnya yang sembari mengikuti arah geraknya yang memakan u mp an ny a . L a lu d e ng an cepat ia menarik senarnya, namun La Toa tidak kecewa melihatnya, walau hanya seekor nyamuk yang ia dapatkan. Karena ia mengira bahwa seekor nyamuklah yang menolong La Kuttu ketika itu, sehingga ia bisa mendapatkan emas yang tak terhitung banyaknya. La Toa mengingat apa yang diceritakan oleh La Kuttu, adi knya. S e wa ktu memancing dulu, berkali-kali ia melemparkan pancingnya ke muara sungai namun hanya seekor nyamuk yang terus menghabiskan umpannya. Membuat hati La Kuttu terbakar atas perilaku seekor nyamuk kepadanya, ketika itu. L a To a m e n g a b a i k a n nyamuk yang didapatkan dari pancingannya dan ia kembali memasang umpan ke mata kailnya ke muara sungai hingga berkali-kali. Akhirnya La Toa menemukan seekor nyamuk yang sangat besar persis apa yang diceritakan oleh La Kuttu, adiknya. “Hai nyamuk jelek, sepertinya kau tidak mempunyai Karaeng, dasar nyamuk menjengkelkan,” ejek La Toa dengan gembira. “Apa yang kau katakan
La Toa! Aku memang hanya seekor nyamuk. Tapi aku juga mempunyai Karaeng sama sepertimu. Kalau kau tidak percaya ikutlah denganku.” “Wahai nyamuk, bila benar kau punya Karaeng! Apakah Karaengmu dapat memberikan aku emas?” “Apa yang tidak ada di dalam kerajaan kami wahai La Toa, semua ada apa yang kau butuhkan,” pinta seekor nyamuk. Tanpa pikir panjang lagi La Toa pun tergesah-gesah menyelam ke dasar sungai mengikuti jejak seekor nyamuk tersebut. Tak lama kemudian mereka tiba di istana Karaeng nyamuk. La Toa semakin gembira melihatnya, karena apa yang dilihatnya persisis apa yang diceritakan La Kuttu. Kakek itu tiba-tiba menghampirinya tak tahu dari mana arah datangnya. “Kalau boleh kakek bertanya ada apa gerangan kemari,” tanya kakek dengan lugunya. “Aku datang kemari untuk mencari emas agar aku kaya,” jawab La Toa dengan lantangnya yang penuh keangkuhan. *** Cahaya matahari perlahanlahan bersembunyi di kaki bukit. Malam gelap menyisihkan rembulan yang datang telat. Huj an d e r a s m e mb a s a h i malam yang dingin. Ketika itu kakek memerintahkan La Toa untuk bermalam. La Toa sangat senang mendengarnya, hatinya mulai mengguncang mendengar tawaran kakek
itu. Tanpa ada basa-basi lagi di antara mereka, kakek itu memberikan sepucuk pelepah pisang dengan bahasa isyarat kemudian mengarahkannya ke kemar tidur tepat di bagian sebelah kanan istana. La Toa terdiam diri dan hanya mengikuti petunjuk kakek itu. Ia melangkahkan kakinya ke kamar tidur yang kakek tunjukkkan. Tak sabar menanti emas yang sebentar lagi ia akan dapatkan, pikirnya. Bahkan ia tak pernah tidur di pembaringannya, gelisah memikirkan emas yang d i n ant i k an ny a m e mbu at pelepah pisang sobek-sobek dibuatnya. Bahkan tempat tidurnya kelihatan berantakan, benda-benda yang ada di dalam kamarnya berhamburan. Cahaya matahari perlahanlahan kembali menampakkan dirinya. Embun pagi membasahi tempat tidurnya. Gelap menghapus bayangbayang hitam yang berkelahi dengan cahaya samar-samar. Ayam pun mulai berkokok panjang p er tanda bahwa waktunya telah subuh. La Toa terbangun dari tempat tidurnya. Pucuk pelepah pisang yang ia tempati tidur yang tadinya utuh malah sobek-sobek dibuatnya. Lalu tiba-tiba kakek itu datang menghampirinya. “Kau sudah terbangun nak, ayo kita keluar!" ajak kakek itu. “Iya kek! Aku tidak bisa tidur semalam.” “Kenapa kau tidak tidur, Nak? Apa kamar ini kurang bagus untukmu,” pura-pura
kakek bertanya. “Tidak kek, kamar ini sangat bagus kok! Cuman perasaanku saja yang gelisah sehingga mataku tidak mau tertutup.” Kakek itu menceritakan hal-hal apa saja yang dilakukan La Toa ketika hendak kembali ke rumahnya. “Karena kau b erhasi l m e ro b e k pu c u k p e l e p a h pisang yang kau tempati tidur semalam. Maka kau akan mendapatkan apa yang kau inginkan. Ketika kau hendak keluar dari istana, lurus di sepanjang jalan kemudian belok kanan setelah kamar yang kau tempati tidur semalam.” “Iya, Kek! Kalau boleh aku bertanya, apakah aku mendapatkan emas sama seperti La Kuttu, adikku?" Tak sabar La Toa menanti emas. Kakek itu hanya tersenyum memandang La Toa, sambil me nu nju k k an ar a h y ang ia maksud. La Toa pamit kepada kakek itu dengan tersesah-gesah. Kemudian melangkahkan kakinya mengikuti arah petunjuk kakek itu. sebelum La Toa keluar dari istana tiba-tiba kakek memangilnya. “Nak! Ketika kau tersandung di batu besar atau patok kayu maka cabutlah dan ingat pesan kekek jangan sekali-kali menanyakan tempat ini oleh siapa pun, dan satu lagi lakukan apa yang aku pesankan kepadamu jangan terpengaruh dengan benda-benda yang kau lihat.” 19/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
L a To a t e r s e n y u m memandang kakek tersebut kemudian kembali melanjutkan perjalannya. Setiba di tempat yang di maksud oleh kakek tibatiba muncullah seekor nyamuk menyambar kepalanya sebanyak tiga kali dengan bekasnya. Seketika itu juga nyamuk yang menyambar kepalanya tadi terbang keluar istana melalui pintu kanan istana. La Toa mengikuti jejak nyamuk tersebut. Namun ketika La Toa hendak melangkahkan kakinya keluar di pintu kanan istana mengikuti seekor nyamuk tersebut. Ia tiba-tiba melihat emas batangan berhamburan di kamar pintu sebelah kiri sehingga ia tak lagi mengikuti s eekor nyamuk ters ebut. Melainkan ia memasuki pintu kiri itu karena ia melihat emas batangan. Ia lupa dengan apa yang di pesankan oleh kakek tadi. Sepertinya kakek itu telah menipuku ia memerintahkan aku keluar melalui kamar pintu kanan, padahal di pintu kiri yang tersimpan emasnya, dasar kakek tua bangka, pikirnya. Ia tergesah-gesah mengambil emas batangan tersebut kemudian membawanya pulang ke rumah. Tak lama kemudian La Toa tiba di luar istana, kemudian membalikkan badannya melihat istana yang ia tempati semalam. Namun hanyalah gunung yang dikelilingi hutan belantara yang ia lihat. Yang tadinya istana megah dengan tembok emas yang tinggi menjulang tiba-tiba menjadi hutan belantara, heran La Toa. Ia terdiam diri ingin bertanya namun tak seorang 20/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
pun yang ada disekitarnya lagi pula ia telah mendapatkan apa yang ia harapkan. Ia lupa apa yang di pesankan oleh kakek ketika hendak kembali ke rumah. Di tengah perjalanan ketika La Toa hendak kembali ke rumah ia kelelahan, sehingga ia duduk di bawah pohon, menikmati sejuknya angin yang datang menyapa badannya. Sambil memandangi perkampungannya yang masih sangat jauh. Ketika tenaganya mu l ai ke mb a l i pu l i h , i a pun hendak melanjutkan perjalannya. Namun tibatiba kakinya tersandung di batu, membuatnya terjatuh. Ia mengalami luka di bagian lutut sebelah kiri, lalu emas batangannya tiba-tiba menghilang dari genggamannya kemudian berubah wujud m e nj a d i b atu . Ta k l am a kemudian setelah emas batangangnya berubah wujud menjadi batu perlahan-lahan tubuhnya pun mulai berubah menjadi anjing hitam. Barulah ia meminta pertolongan kepada kakek itu agar menghentikan kutukannya. Ia bersumpah tidak lagi melanggar apa yang di perintahkan olehnya namun semuanya telah terlambat. Yang tadinya tubuhnya bersinar rembulan membuat wajahnya semakin bercahaya di mata orang malah menjadi gelap menghitam. Yang tadinya wajahnya terlihat gagah, kulitnya yang putih, kini telah sirna akibat perbuatannya sendiri. La Toa kembali melanjutkan
perjalannya menuju rumah dengan tubuhnya yang berubah wujud menjadi seekor anjing hitam. Namun tak sampai di kampungnya karena ia diusir oleh masyara kat, karena dilihatnya anjing hitam yang menyeramkan. ***
Sejarah Sekolah Makassar Sarkawi B. Husein Penerbit Ininnawa dan Tanahindie ISBN: 9786027165220
IDR 61.000 Studi ini mengurai signifikansi kehadiran pendidikan pertama di Kota Makassar yang diupayakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada akhir abad ke-19, serta perkembangannya hingga era Penjajahan Jepang pada awal dasawarsa 1940-an. Pengkajian Sarkawi B. Husain terhadap kehadiran dan aktivitas di gedunggedung sekolah pertama itu menunjukkan pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Makassar dan sekitarnya. Pengaruh kemunculan sekolah-sekolah pertama itu, setidaknya, tampak dalam tiga hal: sosial keagamaan, perkembangan pertama dunia pers di Sulawesi Selatan dan sekitarnya, dan terjadinya mobilitas sosial yang ditandai dengan munculnya elite baru.
21/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
MASAK APA 'TUK MAKAN MALAM? WHATS FOR DINNER?
22/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Sebuah ajang masak-memasak tentang konflik, budaya, dan perdamaian A cookout forum about conflict, culture, and peace Pangan mengandung jejak-jejak migrasi, perjuangan lahan, struktur-struktur sosial dan budaya, serta konflik. Dari mendapatkan bahan-bahannya hingga metode pengolahan dan pembuatannya, pangan mengungkap berbagai informasi tentang seseorang atau orang-orang yang membuatnya, begitu pula lingkungan sosial-politik di mana mereka memproduksi pangan tersebut. Food bears the traces of migration, of land struggles, and of societal and cultural structures and conflicts. From the sourcing of its ingredients to its methods of preparation and production, food reveals information about the person or people who make it, and the socio-political environment in which they produce their food. Untuk Makassar Biennale 2019, kami gunakan pangan dan memasak untuk mengurai dan memahami isu-isu orang Ata-Manobo dari pegunungan Talaingod Pantaron. Mereka diusir dan dipaksa bermigrasi ke Kota Davao, akibat militerisasi besar-besaran di tanah leluhur mereka. Ajang masak-memasak ini akan jadi semacam meja bersama untuk bercerita dan berbincang. For Makassar Biennale 2019, we will use food and cooking to unravel and understand the issues of Ata-Manobos from the Talaingod Pantaron Mountain Range. Driven to flee and migrate to Davao City, due to heavy militarization in their ancestral domains, this cookout forum will serve as the common table for storytelling and discourse
23/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
Akan ada tiga ajang masak-memasak di dua lokasi. Masak-memasak yang pertama akan digelar pada tanggal 6 Mei 2019 di United Church of Christ Philippines (UCCP) Haran, Kota Davao, Filipina. UCCP menjadi suaka di Kota Davao yang berfungsi layaknya kamp pengungsian dan rumah sementara bagi komunitas mereka. There will be three cookout forums in two locations. The first cookout will be May 6, 2019 in UCCP Haran, Davao City, Philippines. UCCP has become a sanctuary in Davao City which serves as the community’s evacuation camp and temporary home. UCCP Haran beralamat di Jalan 341 Fr. Selga, Madapo, Kota Davao, Davao del Sur. Gereja tersebut berfungsi layaknya kamp pengungsi bagi masyarakat adat yang meninggalkan kampung halaman mereka akibat militerisasi yang intens selama lima tahun hingga kini. Pada saat ini ada 600 keluarga, mencapai total sekitar 1.500 individu yang mengungsi di lingkungan itu. Butuh sekitar empat karung beras sehari untuk memberi makan komunitas tersebut. United Church of Christ Philippines (UCCP) Haran is located at 341 Fr. Selga Street, Madapo, Davao City, Davao del Sur. It has served as a refugee camp to different indigenous communities who fled their homes due to intense militarization for five (5) years now. Currently there are 600 families, amounting to around 1,500 individuals seeking refuge at the compound. It takes about 4 sacks of rice a day to feed the community. Masak-memasak yang kedua akan digelar di Makassar, Indonesia, di mana cerita-cerita yang terkumpul dari peserta-peserta (para pengungsi) dari ajang yang pertama akan dihadirkan bersama eksibisi foto-foto dan video agar mampu bertransformasi secara dinamis dan menciptakan dimensi baru ketika makanan dan cerita disajikan dan disebar ke peserta dan khalayak internasional yang lebih luas. The second cookout will be at Makassar, Indonesia where the stories gathered from the refugee participants of the first cookout forum will be presented in another cookout forum with an accompanying exhibition of photographs and video allowing it to dynamically transform and create a new dimension as food and stories are shared and served to a wider, international audience and participants. Ajang masak-memasak bakal tuntas ketika rekan-rekan tim Filipina, membawa kembali cerita-cerita dan diskusi dari Makassar ke kamp pengungsi Ata-Manobo di UCCP Haran di Kota Davao pada 16 Oktober, 2019 sebagai bagian dari kegiatan mereka selama World Foodless Day, di mana mereka ambil bagian dalam aksi menanam pangan organik sebagai bentuk protes. The cookout forums will come full circle as the Philippine team of collaborators, brings back the stories and discussions from Makassar to the Ata-Manobo refugee camp in UCCP Haran in Davao City on October 16, 2019 as part of their activities during World Foodless Day where they partake food grown organically by farmers as a form of protest
24/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Ajang masak-memasak ini merupakan kolaborasi dengan: Sabokahan IP Women; Jong Monsod, cultural worker and Secretary-General of PASAKA; and XL Ysulat of MASIPAG. This cookout forum is in collaboration with: Sabokahan IP Women; Jong Monsod, cultural worker and Secretary-General of PASAKA; and XL Ysulat of MASIPAG. • Sabokahan IP Women merupakan organisasi perempuan akar-rumput yang bergerak dalam bidang pemberdayaan dan pemajuan hak-hak perempuan Lumad dan masyarakat adat. Sabokahan IP Women, grassroots women organization that empowers and advances the rights of lumad women and IPs. • PASAKA-Southern Mindanao Region (SMR), Konfederasi Organisasi Lumad di Mindanao Selatan. Merupakan singkatan dari tiga istilah lumad yang berarti Persatuan dan Solidaritas. Terdiri dari 9 suku. PASAKA-Southern Mindanao Region (SMR), a Confederation of Lumad Organizations in Southern Mindanao. It’s an acronym of 3 lumad terms means UNITY and SOLIDARITY. Consist of 9 tribes. • MASIPAG, Magsasaka at Siyentipiko para sa Pag-unlad ng Agrikultura (Kemitraaan Petani-Ilmuwan untuk Kemajuan) merupakan jejaring ormas yang dipimpin petani, ornop-ornop dan ilmuwan yang bekerja sama mencapai pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam berkelanjutan. MASIPAG, Magsasaka at Siyentipiko para sa Pag-unlad ng Agrikultura (Famers-Scientist Partnership for Development), a farmer-led network of people’s organizations, NGOs and scientists working towards the sustainable use and management of natural resources. Catatan Kurator Curator’s Notes Apa peran pangan di tengah konflik? Ini menjadi pertanyaan umum kami, begitu pula pada ajang masak-memasak ini. Kami ingin menyimak bagaimana komunitas, hidupnya terikat dengan tanah mereka, lantas kehilangan tempat tinggal sebab gencarnya militerisasi dan terpaksa tinggal di kamp pengungsi di kota, menanggapi pertanyaan ini. What is the role of food amidst conflict? This is our general question and in this cookout forum, we would like to see how the community, whose lives are tied to their lands but have been displaced through intense militarization and forced to live in a refugee camp in the city, answers. Apa yang kita makan menjadi ukuran kualitas pangan dan hidup kita, bahkan ketaktersediaannya telah dijadikan senjata dalam peperangan. Sayuran segar yang dulu berlimpah bagi perempuan-perempuan masyarakat adat untuk dipanen, dan daging hewan liar yang dulu diburu para lelaki masyarakat adat di tanah leluhur mereka bukan sekadar pemenuhan kebutuhan pokok tetapi juga perwujudan kedamaian bagi komunitas tersebut. Kebutuhan pokok mereka saat ini yang terdiri dari makanan kaleng dan makanan olahan lain yang disumbangkan oleh berbagai organisasi keagamaan dan akademis melalui berbagai program bantuan bukan sekadar penyediaan keperluan dasar tetapi juga pertanda ketakmampuan mereka dalam menyediakannya bagi diri mereka sendiri. What we eat measures our quality of life and food, or deprivation of it, has been used as a weapon in wars. Fresh vegetables that once were abundant for IP women to harvest and game meat that IP men used to hunt in their ancestral lands does not only mean sustenance but represents peace for the community. Their present sustenance consisting of canned goods and other processed food donated by different religious and academic organizations through different assistance programs are not just provisions but symbols of their inability to provide for themselves. Sembari kami mendalami isu-isu komunitas masyarakat adat di Haran—migrasi terpaksa mereka, kelaparan mereka, keterbatasan akses pangan mereka, kami bermaksud mempelajari hubungan yang terbina dan budaya yang tersirat dari mengkaji peran-peran nyata yang diemban ketahanan pangan dalam kehilangan tempat tinggal dan bertahan hidup. 25/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
As we explore issues of the IP communities in Haran—their forced migration, their hunger, their limited access to food, we aim to learn the the relationships maintained and the culture transmitted by exploring the profound roles that food security plays in displacement and survival.
Namun bila pangan bisa digunakan dalam konflik, bisakah pangan digunakan juga untuk menjalin perdamaian? Semoga ajang masak-memasak ini meningkatkan kesadaran akan betapa pangan, tanpa kita sadari, mendikte peran kita dalam keluarga, bahkan aturan-aturan dalam komunitas. Lagipula, tidakkah kita bekerja sepanjang hidup agar tidak kelaparan? But if food can be used in conflict, can food can be also used to build peace? Let this cookout forum raise an awareness of how food, without us noticing, dictates our roles in our families and the rules of the community. After all, don’t we work all our lives not to get hungry?
26/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara Andi Faisal Bakti (edl) Penerbit Ininnawa ISBN: 9796029523157
Perpindahan besar-besaran orang “Bugisâ€? ke luar kampungÂŹnya di Sulawesi Selatan dimulai pada paruh kedua abad ke-17, utamanya karena perang yang berujung pada labilnya keadaan politik. Awalnya eksodus ini diwarnai para pengungsi yang meninggalkan kampungnya yang kalah perang demi menyelamatkan diri dari tindak balas dendam. Cerita tentang pengungsi ini memang lebih sering tragis, namun di balik itu ada juga cerita sukses yang spektakuler. Buku yang ada di tangan pembaca ini merupakan kompilasi esai peneliti seperti Ahmad Sahur, Andi Faisal Bakti, Arief Subhan, Badrus Soleh, Barbara W. Andaya, Christian Pelras, Fauzan Saleh, Greg Acciaioli, Hendro Prabowo, Leonard Y. Andaya, Mashadi Said, Muhammad Fahri Yasin, dan Tonang Mallongi. Lembaran-lembaran buku ini hadir untuk menjelaskan perihal diaspora Bugis di alam Melayu Nusantara. Atas keinginan sendiri mereka pindah dan hidup damai dengan membentuk komunitas yang memiliki ikatan kuat ke mana pun mereka pergi. Pendidikan dan pengajaran Islam formal dan non-formal mereka bentuk dan dirikan
27/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
SOSIALISASI KEMAH BUDAYA KAUM MUDA DI MAKASSAR Tim ganara.art
Pada 1 Mei 2019, ganara.art, sekolah seni yang berpusat di Kemang, Jakarta Selatan menggelar Lokakarya Sosialisasi Kemah Budaya Kaum Muda 2019 di Rumata’ Art Space, Jalan Bontonompo, Makassar. Sementara itu, Pra Kemah berlangsung dari Mei hingga 20 Juni 2019. Lokakarya Sosialisasi ini dilakukan untuk mengajak kaum muda berpartisipasi dan mendaftarkan kelompoknya dalam program Kemah Budaya Kaum Muda. Sosialisasi ini dilaksanakan di 5 kota besar di Indonesia, yakni Makassar, Palembang, Ambom, Jogja, dan Bali. Kemah Budaya Kaum Muda (KBKM) merupakan sebuah perlombaan terbuka bagi inisiatif-inisiatif di kalangan anak muda Indonesia saat ini. Sebuah rancangan wadah kolaboratif yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Ide dasar dari KBKM ini adalah untuk mengangkat kekayaan budaya Indonesia melalui berbagai platform kekinian yang dimungkinkan oleh Revolusi Industri 4.0. Hal ini dapat dijalankan dengan menempatkan kaum muda sebagai garda depan (avant-garde) dari pemajuan kebudayaan. Dalam perlombaan yang diselenggarakan terbuka untuk 650 peserta (terbagi dalam 130 kelompok) berusia 18-25 tahun untuk turut aktif berkontribusi memberikan pemecahan masalah atau solusi dari Permasalahan Objek Kebudayaan di seluruh Indonesia, dengan memanfaatkan kekayaan wawasan di bidang STEAM (Science, Technology, Engineering, Arts, dan Mathematics) dan Revolusi Industri 4.0..
28/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
ide program, menyusun langkah-langkah program, sampai mendesain model presentasi dan pastinya mempresentasikannya. Dari kegiatan workshop hari itu, ada enam ide program yang dimunculkan masing-masing kelompok. Ide-idenya beragam, mulai dari yang berbentuk aplikasi mobile, event, purwarupa, hingga penelitian. Tentu nya, semuanya tetap dalam konteks kebudayaan daerah asal mereka masing-masing. “Kegiatan yang buat bahagia ka’, karena ada gambar-gambarnya. Setelah sekian lama tidak menggambar, akhirnya bisa ka’ bebas berekspresi,” ungkap Fakhiha, salah satu peserta yang menceritakan kesannya dalam kegiatan ini. Kegiatan yang berlangsung hingga pukul tujuh malam itu ditutup dengan sosialisasi dan simulasi pengisian form pendaftaran KBKM 2019 oleh setiap kelompok, dan tak lupa pula foto bersama. Informasi lebih lanjut, kunjungi website KBKM: https:// kbkm.kebudayaan.id/ atau cek Instagram @budayasaya.
Dokumentasi ganara.art
Dalam Lokakarya Sosialisasi KBKM di Makassar, dihadiri oleh 16 peserta kaum muda dari latar belakang yang berbeda; seni rupa, pendidikan, kesehatan, komunikasi, dan juga teknik sipil. Mereka semua datang dengan gagasangagasan kebudayaanya masing-masing. Lokakarya dimulai pagi hari dengan kegiatan Still Life, peserta dibagi menjadi dua kelompok dan setiap kelompok duduk melingkari sebuah meja dengan beberapa objek di atasnya. Setiap perserta diminta untuk menggambar apa yang mereka lihat dari tempat mereka duduk. “Ini merupakan sedikit pemanasan untuk kita belajar melihat dan menanggapi setiap sudut pandang yang ada di sekeliling kita,” jelas Teguh, salah satu fasilitator kegiatan. Para peserta kemudian diberi pemaparan dan praktik ‘Berpikir Kritis’. Di beberapa kesempatan, peserta disuguhkan beragam gambar kondisi nyata yang terjadi di masyarakat untuk ditanggapi dan didiskusikan bersama. Dari diskusi-diskusi tersebut, founder sekaligus fasilitator ganara.art, Tita, kemudian mengajak para peserta untuk memahami pentingnya kebiasaan berpikir kritis dan mendalami suatu hal sebelum mengambil tindakan. Pada sesi selanjutnya, perserta kemudian diberi pembekalan Design Thinking, cara mendesain sebuah program kegiatan. Mulai dari cara mendapatkan ide yang konteks dengan isu-isu di masyarakat, mendalami 29/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
AKTIVITAS APRIL - MEI 2019
10 APRIL 2019 - ORBOLAN MAKASSAR BIENNALE DAN CERTA TENTANG MUSIK DI MAKASSAR BERSAMA PAK DIAS 10 APRIL 2019 - MENGOBROLKAN MAKASSAR BIENNALE 2019 BERSAMA DANIEL (SENIMAN).
9 MEI 2019 - WAWANCARA FIRDAUS, MAHASISWA HI UNHAS TENTANG KAMPUNG BUKU DAN AKTIVITASNYA.
16 MEI 2019 - PERTEMUAN PERTAMA PESERTA MAGANG ARTEFACT DI KAMPUNG BUKU. 14 MEI 2019 - RAPAT TIM MAKASSAR BIENNALE DAN ARTEFACT SEKALIGUS BUKA PUASA BERSAMA.
30/ Yard - Edisi 11, Mei 2019
28 APRIL - RAPAT TIM MAKASSAR BIENNALE 2019 MEMBAHAS PROPOSAL KEGIATAN 23 APRIL - TIM MAKASSAR BIENNALE 2019 MENGOBROLKAN PERSIAPAN WORKSHOP STORYTELLING IN MUSEUMS
26 MEI 2019 - MUSYAWARAH FORUM TAMAN BACA SULAWESI SELATAN DI RUMAH HIJAU DENASSA, GOWA, SULAWESI SELATAN.
1 MEI 2019 - RAPAT TIM MAKASSAR BIENNALE BERSAMA TIM KERJA PARE-PARE DI KAMPUNG BUKU
27 MEI 2019 - [GEOBAK BIOSKOP DEWI BULAN] PEMUTARAN DAN DISKUSSI FILM "BATTU RI TANAYYA" DAN "MATA AIR SUMUR" PEMBICARA MUHAJIR ASIDE (SUTRADARA), DARMADI TARIAH (TANAHINDIE), DAN MODERATOR (RAFSANJANI)
31/ Yard - Edisi 11 Mei 2019
Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives
LOKASI KAMPUNG BUKU
Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)
KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books
BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA
Instagram: @kedaigeraderi