Soundsphere 2018

Page 1

2018



TaNaHiNDiE PRESS MAKASSAR INDONESIA, 2019


Soundsphere 2018 ©Tanahindie Editor Anwar ‘Jimpe’ Rachman Penulis Rafsanjani Pindai Aksara / Tataletak Fauzan Al Ayyuby Fonttype Sampul Irwan Setiawan

Kurator Anwar ‘Jimpe’ Rachman Seniman Soundsphere #1 Fami Redwan, Juang Manyala, ­Suhud ­Madjid ­Seniman Soundsphere #2 A. Thezar Resandy, Irwan Setiawan Manajer Produksi Fitriani A. Dalay Administrasi & Kesekretariatan Mardiana Makmur Tim Produksi Soundsphere #2 Achmad Teguh Saputro, Fauzan Al Ayyuby, Fakhiha ­Anugrah ­Prastica, Ira Irfayanti, Rafsanjani, Suraya, Wilda Yanti Salam Dokumentasi Foto Aziziah Diah Aprilya, Ibe M Palogai Dokumentasi Video Soundsphere #1 Wildan Maulana Dokumentasi & Olah Video Soundsphere #2 M Idham Andra, Muhammad Sabri Grafika Ade Awaluddin Firman Publikasi Tanahindie Tanahindie Press Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E Makassar, Indonesia 90231 | 0411433775 http://tanahindie.org Cetakan Pertama, Januari 2019 ISBN 978-602-53747-2-2 68 hlm 15 x 21 cm


Daftar Isi

Daftar Isi Pengantar

iii vii

Soundsphere Edisi ke-1 Beda Halaman, Beda Taman Bermain Gunung Lekke’, Radio Analog, dan Bunga di Halaman Bermain dengan Bunyi Melankoli Percobaan Bunyi dalam Soundsphere

14 19 22 28

Soundsphere Edisi ke-2 Main Klakson 40 Melihat Bunyi 44 Efek Klakson dan Gelombang Bunyi dalam Soundsphere 54


4

Soundsphere 2018


EDISI I 5

Edisi I


PENGANTAR Soundsphere, Merambatkan KURATOR Bunyi di Halaman Rumah

Dalam pengertiannya sebagai ‘ruang’ (space) maupun ‘ranah’ (sphere), halaman rumah merupakan wilayah setiap individu (penghuni rumah) mendengar suara dari alam dan khalayak sekitar. Secara langsung atau tidak, interaksi penghuni dengan halaman rumahnya berlangsung setiap hari. Lantaran rutinitas ‘mengalami’ itu pula memungkinkan halaman rumah menjadi sesuatu yang rutin dan biasa. Usai merampungkan buku “Halaman Rumah / Yard” (Tanahindie Press, Oktober 2017), Tanahindie mencoba lebarkan jangkauan proyek seni dan penelitian ini dengan merambah ke kalangan pegiat kancah musik dengan menggelar “Soundphere”, yang berlangsung dwibulanan. Gelaran Soundsphere #1 berlangsung pada Kamis, 26 April 2018, 18:30 Wita, di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E Makassar. Edisi pertama ini menampilkan karya-karya Fame Redwan, Juang Manyala, dan Suhud Madjid.


Fami adalah nama lama kancah musik Makassar, personil band The Hotdogs. Nama berikutnya, Juang, eks penghuni Melismatis, band yang bubar pada pertengahan 2016, lalu melanjutkan kiprahnya dalam band bernama Loka. Sedang Suhud Madjid, mantan personil The Sao, band yang bubar awal 2010, kini mendalami seni bunyi. Soundsphere diproyeksikan sebagai perspektif dan model kerja yang lain dalam merespons halaman rumah melalui bunyi. Ia juga menjadi upaya melacak jejak unsur yang membangun, baik dari dalam maupun dari luar, halaman rumah. Ranah ini juga diperuntukkan sebagai ruang pertemuan dan ruang kerja bersama (kolaboratif) antara pegiat musik, seni bunyi, seni visual, dan kalangan lainnya, untuk membuka model kerja atau presentasi baru bagi bentuk-bentuk instalasi bunyi dalam pengertian luas.Â

7

Edisi I


8

Soundsphere 2018


9

Edisi I


10

Soundsphere 2018


11

Edisi I



Fame Redwan adalah nama lama kancah musik Makassar, personil band The Hotdogs. Nama berikutnya, Juang Manyala, eks penghuni Melismatis, band yang bubar pada pertengahan 2016, lalu melanjutkan kiprahnya ­dalam band bernama Loka. Sedang Suhud Madjid, mantan personil The Sao, band yang bubar awal 2010, kini mendalami seni bunyi.

13

Edisi I


FAMI Beda Halaman, REDWAN Beda Taman Bermain

Saya mulai tulisan ini dari sebuah kesadaran yang telat datang. Tentang berapa lama sudah saya kehilangan halaman rumah, baik secara literal maupun konseptual. Saya sudah coba mengingat sebisanya, semundur mungkin, dan sampai detik ini saya belum bisa memastikan yang mana lebih dulu tiba dalam hidup saya: hilangnya halaman rumah atau munculnya dispenser sebagai tanda kalau air PDAM sudah tidak lagi layak diminum. Entahlah. Suasana sekitar saya saat ini terlalu bising untuk menjadi latar berpikir. Saya benci kerja kantoran. Saya mau kerja di bawah pohon saja. Dan itulah fungsi musik yang paling indah. Bisa memindahkan manusia dari satu tempat ke tempat lain tanpa manusia itu perlu menggerakkan badannya sama sekali. Sudah sejak lama saya membuktikan itu. Ketika pertama kali bertengkar dengan orang tua (yang kini saya sudah lupa apa perihalnya), musiklah yang mendamaikan perasaan saya. Walaupun dengan cara mengajak saya untuk minggat, kabur, dan entah apa istilah lainnya. Musik bisa membuat saya menghilang. Bisa membuat saya secara tiba-tiba muncul di tempat-tempat yang tidak direncanakan. Â Berkenalan dengan orang-orang yang tidak pernah saya bayangkan. Dan seterusnya. Dan lain-lain.

14

Soundsphere 2018


Dan entah apa lagi. Apapun dan siapapun yang mengganggu atau mengusik hidup saya, musik selalu siap menghadapi. Begitu pula kebalikannya. Semua yang terasa menyenangkan, pasti ada musiknya. Contoh: bercinta adalah kegiatan tentang irama. Tojenga. Silakan pikir contoh lainnya. Karena sekarang saya akan menggunakan musik sebagaimana mestinya. Kembali pada khittah sebenarnya. Untuk berkisah. Kali ini, tentang halaman rumah. Saya pasang headset di telinga. Memilih lagu Ray Charles. Lompatan quantum pun terjadi. “Coto: Rp 10.000 Ketupat: Rp 1.000”

Di lokasi yang nyaris setiap hari saya lewati, tadi saya terkesiap melihat tulisan di atas tadi. Sepertinya ada yang berubah hari ini. Kemarin-kemarin tulisannya “Gratis Ketupat”. Hari ini sudah ada harganya. Keadaan yang memaksa atau keinginan untuk menjadi kaya? Saya tidak punya ketertarikan untuk bertanya. Saya simpulkan saja dengan seenaknya, kalau yang dulu gratis sekarang sudah ada harganya, adalah ulah dari keadaan. Bukan sekadar keinginan. Apa sih enaknya menjadi kaya di lingkungan yang merana? Satu hal yang membuat saya memutar kendaraan karena penasaran adalah: apakah benar ketupat yang dulunya gratis sekarang harganya seribu rupiah, karena sudah tidak ada lagi celah di area rumah pemiliknya yang bisa dijadikan tempat mencari nafkah? Setelah memutar kendaraan dan menyimak dengan mata, jawabannya adalah ya. Kenapa manusia merelakan halaman rumahnya demi faktor ekonomi? Semoga saya tidak akan pernah tahu jawabannya. Karena lagu berikutnya yang menyalak di headset saya, memberi jawabannya secara simbolis namun komprehensif. Social Distortion – Story Of My Life. Lagu rockabilly punk ini sama sekali bukan tentang


pemberontakan atau cara-cara meruntuhkan kekuasaan. Bukan. Lagu ini tentang kehidupan. Yang jika saya ceritakan maknanya di sini, maka tidak akan ada gunanya saya bernyanyi di Kampung Buku malam nanti. Namun satu hal yang wajib hukumnya saya bagi: Apapun boleh terjadi dengan halaman rumahmu. Namun tidak dengan taman bermainmu. Mereka boleh pasang pagar setinggi langit. Mereka boleh menutup semua rumput liar dengan beton-beton kualitas tinggi. Mereka boleh memasang CCTV bahkan perangkap beruang di setiap pohon dan taman-taman kota ini. Silakan. Semuanya akan kami kangkangi, kencingi, ludahi, sebagai tempat kami selonjoran dan berlari-larian semau kami. Mereka boleh mengklaim apa saja dengan ribuan lembar akta dan peraturan pemerintahnya, namun maaf nah, kota ini tetap milik kami.


FAMI REDWAN adalah nama lama kancah musik Makassar, personil musik The Hotdogs, sebuah grup musik punk rock Makassar. Pada kurun waktu 2000-an, Fami mendirikan proyek musik solo bernama Tragic Soundsystem dengan memainkan musik-musik dub/reggae/ska/rocksteady lintas zaman, ras, dan teritori dengan maksud mencoba bermusik di aliran lain. Dalam proyek solonya, Fami memutuskan untuk tidak menciptakan lagu sendiri dengan alasan peralatan musiknya yang sub-standard dan skillnya dirasa belum cukup. Pada pertengahan tahun 2014 lalu, Fami dan Elevation Records melakukan kolaborasi audio visual, merilis kaset dan CD berisikan lima lagu di EP International Bitter Day.

17

Edisi I


18

Soundsphere 2018


JUANG MANYALA

Gunung Lekke’, Radio Analog, dan Bunga di Halaman

Gunung Lekke’ & Radio Analog Masa SD yang panjang. Ingatan yang belum hilang tentang suasana teras rumah panggung di kediaman nenek. Kampung daerah gunung yang sunyi, listrik dari genset hanya mampu menemani sampai pukul 10 malam. Kedinginan dalam pelukan Ambo Aji, sambil mendengarkan radio analog yang menggunakan baterai. Dalam dingin dan gelap, frekuensi radio terus bergerak mencari suara yang jernih. Samar-samar, kadang terdengar musik, kadang juga pidato, kadang juga bahasa asing. Kemudian terlelap menunggu pagi yang terang dan sejuk lalu berkumpul kembali di teras yang sama. Bunga di Halaman Setiap sore di akhir 90-an, Mama Ena hanya mengurusi bunga di halaman rumah. Sambil menunggu suaminya yang sedang sibuk dengan halaman rumah yang lain. Ia terus menunggu dan menunggu, meski di suatu malam ia harus menerima kenyataan bahwa suaminya akan pulang dengan membawa kabar buruk. Kabar bahwa suaminya menderita diabetes dan Istrinya dari rumah yang lain tidak mampu mengurusi hidupnya seperti Mama Ena yang penuh kasih merawat setiap kali suaminya mengeluh kesakitan. Bunga di halaman adalah teman sejati Mama Ena, Setia hingga saat ini, hingga suaminya telah tiada.

19

Edisi I


JUANG MALLIBU MANYALA lahir di Bone, 22 Oktober 1990. Mendirikan kelompok ensembel Melismatis sejak 2006 di Makassar lalu pindah ke Bandung di tahun 2008 untuk melanjutkan pendidikan Musik S1 di Universitas Pasundan. Tahun 2010, ia mendirikan Vonis Media (vonismedia. org). Tahun 2012, mendirikan indie label, Vonis Records; pada 2003 ia dirikan Lembaga Seni untuk Masyarakat Desa di Bone, Yayasan Rintik, dan mendirikan organisasi kesenian dan ruang alternatif, Prolog Art Building tahun 2015. Tahun berikutnya 2016, mendirikan komunitas untuk pelajar kreatif sekota Makassar, Makassar Students Creative Networks. Tahun 2014-2016, Juang menjadi staf pengajar di Institut Kesenian Makassar (IKM) dan Sekolah Islam Athirah Makassar. Saat ini, aktif mengelola & mengajar program pendidikan Prolog Academy di Prolog Art Building. Setelah Melismatis bubar tahun 2016, ia kembali membentuk band bernama Loka’ tahun 2017.

20

Soundsphere 2018


21

Edisi I


SUHUD MADJID

Bermain dengan Bunyi Setiap hari kita melakukan interaksi dengan lingkungan kita. Dari aktivitas membuka pagi, membuat kopi, merasakan suasananya, ada warna pagi, hingga mendengar bunyi pagi yang kemudian menjadi kebiasaan dalam diri. Alangkah sunyinya suatu pagi, tanpa mendengar dan merasakan bunyi gelas-gelas dari dapur, suara langkah kaki atau bahkan dedaunan yang tertiup angin. Sadar ataupun tanpa sadar kita telah berinteraksi dengan lingkungan kita. Di sekitar rumah banyak sekali elemen-elemen pembentuk suasana lingkungan. Ada suara mesin bengkel di samping rumah sebagai suatu penanda telah dimulainya sebuah aktivitas. Bahkan pun jika di kota masih tersisa suara burung pagi. Saya senang mendengar dan merasakan itu semua, bahkan sejak lama saya selalu berpikir untuk merekam bunyi dari aktifitas aitifitas itu. Teknologi pun telah sangat mendukung ide tersebut. Perkembangan dunia digital yang tidak semakin esklusif akhirnya terjangkau juga. Bunyi adalah penanda bahwa sebuah peristiwa telah berlangsung. Dalam sebuah bacaan, bunyi dilekatkan kepada tiga: bunyi sebagai sesuatu yang berubah atau memiliki flux, bunyi sebagai peristiwa, dan bunyi sebagai efek. Bunyi yang dahulu dijadikan sebagai objek, kini dipandang sebagai suatu yang berubah-


ubah atau temporer. Oleh karena itu dikatakan sebagai suatu peristiwa. Di sebuah halaman rumah, jika kita mengamati lebih jauh, banyak peristiwa bunyi yang terjadi dan bisa untuk dinikmati, bahkan sebenarnya kita bisa bermain dengan bebunyian itu. Menikmatinya sebagai sesuatu peristiwa atau bahkan mengelola dan merekayasa beberapa bunyian hingga terbitlah makna baru dari penggabungan itu. Dalam dunia pendidikan anak dan lingkungan, bunyi diperkenalkan dalam sebuah permainan untuk melatih kemampuan otak dan kemampuan anak beriteraksi dengan lingkungan. Mereka bermain, membunyikan ember, batu, mengenali suara daun yang ditiup angin, untuk melatih kepekaan. Bahkan ada yang menarik dari berpikir secara bunyi, bunyi mempunyai jarak jangkau yang panjang, Anda bisa mendengar suara knalpot dari jauh, bahkan bisa membedakan suara knalpot beberapa tetangga dari kebiasaaan mengamati bunyi setiap pagi.

23

Edisi I


SUHUD MADJID lahir di Pinrang, 2 Februari 1983. Pada 2006 membentuk duo bernama Isu Akustik. Setahun berikutnya membentuk The Sao, kelompok musik yang sempat membuat album bertema lingkungan. Ia juga terlibat dalam proses produksi beberapa karya musik di UPKSBS, Universitas Muslim Indonesia.Â

24

Soundsphere 2018


25

Edisi I


26

Soundsphere 2018


27

Edisi I


RAFSANJANI

Melankoli Percobaan Bunyi dalam Soundsphere Bebunyian dapat mengantar kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain, melacak jejak masa lalu dengan merekamnya lewat bunyi dan menjumpai banyak kenangan di sana. Namun lewat bunyi pula memungkinkan terjadi banyak hal bagi banyak orang. Malam itu, Fami Redwan membuka gelaran seri pertama itu dengan menceritakan pengalaman halaman rumahnya bermula dari masa kecilnya. Fami adalah nama lama kancah musik Makassar, personil musik The Hotdogs, sebuah grup musik punk rock Makassar. Pada kurun waktu 2000-an, Fami mendirikan proyek musik solo bernama Tragic Soundsystem dengan memainkan musik-musik dub/reggae/ska/rocksteady lintas zaman, ras, dan teritori dengan maksud mencoba bermusik di aliran lain. Dalam proyek solonya, Fami memutuskan untuk tidak menciptakan


lagu sendiri dengan alasan peralatan musiknya yang sub-standard dan skill-nya dirasa belum cukup. Pada pertengahan tahun 2014 lalu, Fami dan Elevation Records melakukan kolaborasi audio visual, merilis kaset dan CD berisikan lima lagu di EP International Bitter Day. Malam itu pukul 19.45, Fami memulai kisah masa kecilnya di Jakarta saat berumur 5 tahun. “Pertama kali saya berinteraksi dengan halaman rumah saat tinggal di Jakarta dan berpindah rumah dari permukiman perkotaan yang padat ke kawasan ‘pinggiran’ yang letaknya tidak jauh dari pusat kota. Halaman rumahku yang cukup luas waktu itu, di sekitarnya tumbuh rumput alang-alang menjadi awal interaksi saya dengan halaman rumah,” kenangnya. Ia lantas mengandaikan halaman rumah sebagai tempat sembunyi paling nyaman. Di sela-sela Fami bercerita, petikan gitar intro lagu Cikal (Iwan Fals) tiba-tiba dimainkannya. Lirik lagu Cikal yang berulang-ulang seketika mengetuk

29

Edisi I


batinku, entah karena apa, saya merasa terlalu sensitif atau merasa aneh saja. Fami kemudian membangun mood dengan isian petikan gitarnya dilengkapi dengan vokalnya yang pelan, rendah, dan basah. Cerita Fami berlanjut saat pindah ke Makassar dan tinggal dalam lingkungan kompleks perumahan. Fami mengatakan, ketika ingin hidup di kota dan berencana untuk berkeluarga, “Usahakan tinggal di dalam kompleks karena di kompleks kendaraan cenderung lebih pelan dan anak-anak lebih mudah dipantau saat bermain.â€? Ujaran itu disambut senyum dikulum beberapa penyimak. Fami kemudian berkisah saat usia remajanya tahun 1991, ketika bapaknya pulang dari sekolah dan diberi hadiah dua buah walkman, satunya merek

30

Soundsphere 2018


Sony dan satunya lagi Aiwa. “Kalau saya dengarkan lagu menggunakan walkman Sony, saking bagusnya suaranya, sampai-sampai cewek yang saya taksir lewat di depan halaman rumahku tidak saya perhatikan lagi,” akunya sambil tersenyum. Setiap lagu punya cerita bagi Fami, demikian halnya dengan lagu Waiting in Vain (Bob Marley). Ia nyanyikan untuk mewakili cerita masa remajanya yang disambung dengan Terbunuh Sepi (Slank) sebagai pengantar untuk menceritakan masa SMAnya. Tidak lama setelah lagu Slank itu selesai, ia melanjutkan kisah masa SMA-nya di bilangan Jalan Cendrawasih, Kota Makassar saat masih duduk di kelas satu. “Suatu ketika sepulang dari sekolah menuju rumah, saya langsung mengambil gitar dan memainkannya di halaman rumah dalam keadaan telanjang,” jelas lelaki berkacamata ini. Lagu Bob Marley menjadi salah satu lagu yang kerap kali dinyanyikan Fami yang membuatnya teringat dengan Malino, kawasan wisata berupa bukit dan lembah. Fami mengakui dirinya menyukai tempat ketinggian, berada di tempat yang tinggi memberinya kebebasan tersendiri. Seperti halnya saat Fami tinggal di Bandung dengan menyewa kos-kosan bertingkat di lantai paling atas—selalu menjadi tempat pilihannya. “Begitu jendela dibuka terlihat semua pemandangan yang ada di bawah, baik pohonpohon, atap-atap perumahan, dan kendaraan seperti suatu kesatuan halaman rumah milik saya meskipun bukan kepunyaan saya,” cetus Fami. Lagu Redemption Song kemudian dinyanyikan Fami sebagai representasi kebebasan berpikirnya, kebebasannya dalam berkarya. Bagi Fami musiklah yang menyadarkan sekaligus mendamaikan perasaannya dan hidupnya tidak pernah jauh-jauh dari musik.


Beberapa seri lagu dari dalam maupun luar negeri yang dicover Fami dengan gaya musik story tellingnya yang polos dan sederhana, ibarat kaleidoskop pengalaman masa kecilnya hingga menginjak umur empat puluh tahun. Pendengar seakan diajak tur menikmati cerita pengalaman fase hidupnya. Tiba giliran Suhud Madjid mempresentasikan karyanya. Berbeda dengan model presentasi Fami, Suhud mengawalinya dengan memperkenalkan alat temuannya yang dirangkai sederhana. Alatnya berupa kabel jenis standar yang disambungkan dengan skun (sepatu kabel) berfungsi sebagai penyambungan kabel yang diberi selotip bening kemudian ditempelkan ke tempat atau benda (yang menjadi sumber bunyi). Selain skun kabel tadi, komponen speaker juga digunakan—disambungkan dengan kabel yang dilekatkan ke suatu benda yang akan direkam bunyinya. Nama alatnya adalah sound contact/med-contact, dan “Bisa dipakai di bidang penelitian bunyi,” kata Suhud. Alat eksperimen bunyi (sound contact) yang dibuat Suhud sangat sederhana dan terbilang praktis. Bahan untuk membuat alat perekam bunyi ini hanya membutuhkan modal sepuluh ribu rupiah sampai lima belas ribu rupiah, bahannya bisa didapatkan di toko listrik, “Khusus untuk speaker, bisa kita ambil dari radio atau sound yang rusak,” jelas Suhud. Alat perekam bunyi ini dapat digunakan untuk mengelola bunyi-bunyi yang sering kita dengar dalam aktivitas sehari-hari atau bunyi khalayak sekitar. Malam itu, Suhud mencoba mempraktikkan alat eksperimen bunyinya yang ditempelkan ke sisir yang kemudian digosok secara perlahan menghasilkan bunyi gesekan yang direkam dalam mixer audio. Dalam percobaan lainnya menggunakan mangkuk, di mana mangkuk ini diisi air yang dituangkan dengan pelan menghasilkan


bunyi efek air yang mengalir. Percobaan terakhir menggunakan komponen speaker yang dilekatkan pada kursi drum bekas yang diketuk-ketuk dengan tempo pelan menimbulkan tiruan ketukan bunyi drum.

Dalam percobaan-percobaan yang dipraktikkan Kak Suhud, penonton tampak dibuat takjub mendengarkan bunyi-bunyi yang dihasilkan lewat alat perekam bunyi yang sederhana dan praktis itu. Mungkin karena sebagian besar pengunjung dibuat penasaran dan keheranan akan bunyi yang dihasilkan dari sound contact rakitan Kak Suhud membuat penonton tiba-tiba mengubah posisinya, yang awalnya duduk kemudian berdiri, yang jauh kemudian mendekat, merapat. Suasana malam itu seperti pertunjukan penjual obat keliling di pinggirpinggir jalan atau di pasar-pasar tradisional. 33

Edisi I


Dalam petikan catatan konsep karya Kak Suhud, Bermain dengan Bunyi, ditulisnya, “Sadar ataupun tanpa sadar kita telah berinteraksi dengan lingkungan kita. Di sekitar rumah banyak sekali elemen-elemen pembentuk suasana lingkungan. Ada suara mesin bengkel di samping rumah sebagai suatu penanda telah dimulainya sebuah aktivitas. Bahkan jika di kota masih tersisa suara burung di pagi hari. Saya senang mendengar dan merasakan itu semua, bahkan sejak lama saya selalu berpikir untuk merekam bunyi dari aktivitasaktivitas itu. Teknologi pun sangat mendukung ide tersebut. Perkembangan dunia digital yang tidak

semakin ekslusif akhirnya terjangkau juga. Di sebuah halaman rumah, jika kita mengamati lebih jauh, banyak peristiwa bunyi yang terjadi dan bisa untuk dinikmati, bahkan sebenarnya kita bisa bermain dengan bunyian itu.�

34

Soundsphere 2018


Menurut Kak Suhud, kita dapat berinteraksi atau bermain lewat bunyi dengan merekam lingkungan sekitar. Secara pribadi, Suhud berharap ada kolaborasi meskipun background seseorang adalah pemusik, “Kita bisa ke luar mengeksplor bunyi di kota, halaman rumah di kota bisa di mana saja, di jalanan, jembatan, atau di area lain di kota,” cetusnya. Setelah presentasi Suhud, giliran Juang Manyala menceritakan pengalaman masa kecilnya hingga sekarang berkeluarga. Juang merupakan eks penghuni Melismatis, band yang bubar pada pertengahan 2016, lalu melanjutkan kiprahnya dalam band bernama Loka. Sejak kecil Juang sudah belajar les musik di sekolah musik sampai masa kuliah. Masa kecilnya tinggal bersama neneknya di Bone, 174 km dari arah timur Kota Makassar dan menyelesaikan sekolah dasarnya di sana. Aliran musiknya yang harmoni dan melankoli tertuang dalam konsep karyanya, yakni “Bunga di Halaman”. Suasana halaman rumah semasa di Bone bersama neneknya menjadi hal yang tak terlupakan bagi Juang. Neneknya yang sering kali menyiram bunga di halaman rumah sambil menunggu suaminya yang sedang sibuk dengan halaman rumah yang lain berbekas dalam ingatannya. “Nenek orangnya setia, dialah yang mengajari saya menjadi lelaki yang setia,” kenangnya. Memori tentang halaman rumahnya di Bone merupakan wujud dalam proses berkeseniannya hingga saat ini. “Setiap kali saya mengerjakan musik atau berbicara tentang musik, saya selalu teringat dengan nenek dan suasana halaman rumah di Bone,” akunya. Empat tahun belakangan, Kak Juang kerja musik di komputer, lebih banyak di komputer. Ia membuat studio di Jalan Metro Tanjung bernama Prolog


dijadikan sebagai tempat berkantor dan berkarya, mengerjakan iklan dan film, misalnya film Atirah berperan sebagai penata musik. Juang mengatakan film garapan Riri Riza itu film yang menggambarkan kisah hidupnya. Ia kemudian memainkan gitarnya dengan menerjemahkan pesan dalam petikannya ke dalam lirik “Omale.. Omale… Omale… Usalai.. Utaro Uddani… Emma’.. Emma’… Emma’… Emma’……” Selanjutnya, Kak Juang menyuguhkan kolaborasinya dengan DJ Tesar dari Makassar Noise Teror. Dalam kolaborasinya menciptakan sebuah lanskap bunyi penuh komposisi dengan petikan gitar yang diotak-atik—diimprovisasikan dengan ramuan bising. Semakin lama frekuensinya semakin cepat berkejaran dan perlahan berubah menjadi noise riuh berfrekuensi rendah. Komposisinya lebih repetitif, satu atau dua jenis nada yang ditekan terus menerus selama lima menit menghasilkan resonansi berulang-ulang dan berlapis-lapis. Uniknya, trek yang dikolaborasikan meskipun terdengar berbeda, tetapi terasa ada benang merah yang saling menghubungkan. Pendengar lalu diantarkan pada nuansa musik padat berisikan irama menggebu. “Sesi Soundsphere pertama sebagai permulaan yang sangat baik, sangat menarik, menjanjikan, ada benih-benih yang lebih eksploratif yang ditunjukkan Suhud, soal melankoli dimunculkan Juang dan Fami. Percobaan-percobaan seni bunyi yang dimunculkan tadi menjadi sangat penting dalam skena seni bunyi di Makassar,” jelas Kurator Soundsphere, Anwar Jimpe Rachman. “Soundsphere juga menjadi pra event Makassar Biennale 2019 untuk memancing para pemusik mengerjakan karya-karya dalam lintas seni dengan bekerja sama berbagai kalangan dengan orientasi


bunyi dipakai sebagai alat bekerja bersama menceritakan tentang halaman rumah,� lanjutnya. Untuk edisi berikutnya, Soundsphere akan mengundang secara bergilir para pemusik lain dengan berkolaborasi bersama orang yang bukan pemusik yang rencananya akan digelar Juli 2018 di Taman Belajar Ininnawa, Bantimurung, Maros. Soundsphere merupakan pelebaran jangkauan proyek seni dan penelitian “Halaman Rumah�, dengan melibatkan banyak pihak. Kali ini pemusik Makassar diharapkan berkontribusi dan berkolaborasi dengan menceritakan hal-hal paling sederhana, semisal pengalaman mereka tentang halaman rumah. Halaman rumah bukan hanya dalam artian fisik, tetapi sebagai sebuah gagasan tentang ruang yang lebih luas.

37

Edisi I


38

Soundsphere 2018


39

EDISI II Edisi II


A. THEZAR RESANDY

Main Klakson Saya mempelajari cara merangkai dan membunyikan klakson di luar kendaraan bermotor, dan berupaya membuat bunyi klakson tidak menyebalkan lagi. Merangkai instalasi klakson saya menggunakan tripleks sebagai media untuk tempat merangkai klakson tersebut lalu saya menambahkan beberapa media lain yaitu pipa paralon, kaleng plastik, dan kaleng besi masing-masing media tersebut memliki ruang dan ukuran yang berbeda. Ketiga media tersebut berfungsi untuk memperangkap bunyi dari klakson, lalu saya memasangnya di tiap media tersebut, untuk menangkap suara dari klakson, suara yang telah tertangkap oleh piezzo kemudian disambungkan ke beberapa stompbox yang berfungsi untuk memperkaya bunyi dari klakson tersebut sehingga menghasilkan bunyi klakson yang tidak seperti pada umumnya, karena tiap stompbox yang saya gunakan memiliki efek suara yang berbeda-beda sehingga akan terdengar tidak terlalu menyebalkan lagi.

40

Soundsphere 2018


Bagaimana membuat bunyi klakson tidak menyebalkan lagi? Menurut saya, ketika kita sedikit mengubah fungsinya dan menjadikannya sebuah mainan, itu bisa membuatnya tidak menyebalkan, karena ketika kita memulai bermain dengan bunyi secara otomatis kita akan memikirkan pola-pola tertentu sesuai apa yang terlintas di kepala secara spontan. Saya mempresentasikan bermain dengan instalasi klakson yang sudah saya rangkai. Saya mengajak Achmadi Fani untuk berkolaborasi. Dia adalah seorang video artist. Kami mencoba saling respon antara audio dan visual. Proses ini akan berlangsung dengan spontan dan saling merespon antara bunyi dan video yang akan kami tampilkan secara langsung dan bersamaan. Kami akan menampilkan hubungan antara video dan bunyi yang dikerjakan secara spontan dan saling merespon antara bunyi dan gambar tersebut, kami mencoba menampilkan wujud perkotaan dalam bunyi dan video.

41

Edisi II


A. THEZAR RESANDY lahir di Ujung Pandang 1 Mei 1994, alumnus Universitas Pasundan Bandung. Kini menetap di Makassar dan berkarya dalam seni bunyi, noise di “Makassar Noise Terror” Tesaran lahir di Ujung Pandang 1 Mei 1994, alumnus Universitas Pasundan Bandung. Kini menetap di Makassar, akhir tahun 2017 mulai aktif dalam pergerakan noise ekperimental di makassar dan terlibat di beberapa projek seni di makassar. karya animasi kampung paropo yang di kerjakan oleh kolektif Tanahindie, karya kolaborasi caglar kimyoncu X abdi karya “what makes you who you are”.

42

Soundsphere 2018



IRWAN SETIAWAN

Melihat Bunyi Pernahkah terbayang Anda melihat suara? Pada faktanya, sekitar 4 persen populasi manusia memiliki kelainan syaraf unik, yakni mengidap synesthesia. Suatu kondisi ketika saraf sensorik saling silang secara fungsi. Salah satu simpton-nya adalah rangsangan suara diterima sebagai stimulus visual. Lalu, bagaimana dengan 96% populasi manusia lainnya? Sebelum menjawab pertanyaan di atas, mari kita bahas lebih dalam tentang suara. Jika seseorang berada di suatu ruangan yang dirancang tanpa setitik sumber cahaya dan terisolasi dengan baik sehingga menjadi tempat paling gelap dan sunyi. Maka satu-satunya stimulus yang diterima adalah suara dari detak jantung dan aliran darah yang terpompa ke seluruh tubuhnya. Ini menunjukkan, suara adalah hal yang tidak akan pernah alpa sampai akhir hayat seorang manusia.


Dalam keilmuan fisika, suara diwujudkan sebagai gelombang yang merambat melalui zat padat, cair atau gas. Panjang gelombang diwakilkan satuan unit hz (1 hz = 1 gelombang per detik). Ambang batas suara yang bisa diterima manusia mulai dari 20 20.000 gelombang per detik. Dengan mengetahui frekuensi suara yang Anda dengar, Anda sudah dapat mendengar sekaligus “melihat� suara. Satu cara menyenangkan melihat suara adalah menggunakan oscilloscope dengan lissojous mode, sebuah instrumen laboratorium yang bisa menampilkan gelombang dalam grafik lissojous. Pada dasarnya anda dapat mengubah sinyal kiri dan kanan suara dari audio interface menjadi sinyal visual x dan y pada oscilloscope. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan agar bisa menghasilkan suara dan visual yang indah dengan media oscilloscope. Pertama, desain suara

45

Edisi II


menggunakan synthesizer dengan 2 atau lebih vco (voltage controlled oscillator). Kedua, menggunakan software desain suara seperti pure data, max studio atau osci studio dengan integrasi blender. Atau, anda bisa menggunakan rumus ini untuk menggambar kupu-kupu:

x=sin(t)(ecos(t)-2cos(4t)-sin5(t/12)) y=cos(t)(ecos(t)-2cos(4t)-sin5(t/12)) Pada tahun 2016, Jerobeam Fenderson merilis album Oscilloscope Music. Album penuh pertama yang dapat dinikmati suara dan visualnya melalui oscilloscope. Yang menarik

46

Soundsphere 2018


dalam dokumentasi videonya, Fenderson menyatakan bahwa ia menggunakan metode yang sama dengan cara bermain gamelan untuk mengomposisi oscilloscope music-nya. Saya jatuh cinta pada pandangan (dan pendengaran) pertama setelah mengenal oscilloscope music. Ada kepuasan yang sama diterima secara adil oleh mata dan telinga saya. Sebagai seorang penikmat musik, musisi, dan produser. Saya ingin Anda merasakan sensasi sama yang saya dapatkan dari oscilloscope music. Sebuah bentuk seni yang membuat Anda melihat, mengenal lebih jauh, dan mengapresiasi wujud suara. Gelombang yang akan selalu menemani Anda sepanjang hayat. Tanpa Anda sadari.



Discography: 1. Galarasta Man In Love (Album, 2014), Bassist. Published By DeMajors. 2. Galarasta feat Lesa - Let it flow Remix (Single, 2015), Producer. Self Published.

IRWAN SETIAWAN a.k.a dralls adalah seorang karyawan purna waktu yang menghabiskan waktu luangnya untuk bermusik. Lahir dan besar di Makassar, dralls bercita-cita agar bisa membawa skena musik Makassar ke arah yang lebih baik. Di sela-sela hingar bingar kehidupan sebagai seorang pekerja, dralls aktif di beberapa project musik pada skena indie kota Makassar, seperti Galarasta di mana ia masih aktif sebagai bassist sejak tahun 2009. Kemudian unit synth pop Clementine yang baru saja merilis album di tahun 2018. Sempat juga merilis dua single unit EDM dengan Minimus di tahun 2016.

49

3. Minimus Harapan (Single, 2016), Producer. Self Published. 4. Minimus - Im Crazy but I Know What Im Doing (Single, 2016), Producer. Self Published 5. Clementine - Mahamaya (Album, 2018), Producer. Published by Vonis Records.

Edisi II


50

Soundsphere 2018


51

Edisi II


Saya jatuh cinta pada pandangan (dan pendengaran) pertama setelah mengenal oscilloscope music. Ada kepuasan yang sama diterima secara adil oleh mata dan telinga saya. Sebagai seorang penikmat musik, musisi, dan produser.

“

- Irwan Setiawan

Menurut saya, ketika kita sedikit mengubah fungsinya dan menjadikannya menjadi sebuah mainan itu bisa membuatnya tidak menyebalkan, karena ketika kita memulai bermain dengan bunyi secara otomatis kita akan memikirkan pola-pola tertentu sesuai apa yang terlintas di kepala secara spontan

52

“

A.Thezar Resandy

Soundsphere 2018


53

Edisi II


RAFSANJANI

Efek Klakson dan Gelombang Bunyi dalam Soundsphere Di jalanan, bunyi klakson kendaraan sudah tak asing lagi bagi telinga kita. Apalagi di jalan-jalan perkotaan, seperti Makassar. Di beberapa titik rawan kemacetan, kelakuan membunyikan klakson secara terus-menerus masih sering saya temui dan rasakan. Iklim semacam ini, saking menyebalkannya menimbulkan kejengkelan, dan bahkan berujung kegaduhan. Tak sedikit beberapa pengendara berbalas umpatan kata-kata kasar. Di saat lampu lalu lintas perempatan masih merah, beberapa pengendara motor maupun mobil mulai bersahut-sahutan membunyikan klaksonnya, dipencet bertubi-tubi, saat jelas-jelas jalanan lagi macet. Pengendara yang berada di belakang seakan memaksa pengendara yang di depan untuk bergerak maju, tanpa berpikir kalau lampu lalu lintas masih dalam transisi dari merah, kuning ke hijau, dan kadang kembali ke merah


lagi sebelum kendaraan melewati perempatan. Hasilnya deadlock di tengah. Di momen-momen seperti ini, klakson mulai ‘menjerit’ kiri kanan, depan belakang. ‘Jeritan’ bunyi klakson kendaraan yang memekakkan, berulang-ulang, menyiratkan bunyibunyi tak sabar diikuti lampu rem kelap-kelip menyala merah, memancing luapan perasaan jengkel dan menyebalkan. Lantas, bagaimana membuat bunyi klakson tidak menyebalkan? Salah satu teman mencoba menjawab pertanyaan ini melalui sebuah karya audio visualnya yang dikerjakan saat melakukan residensi di Tanahindie selama tiga bulan. Namanya A.Thezar Resandy, biasa dipanggil Thezar, salah satu seniman bunyi dari Makassar Noise Teror. Ia mencoba membuat karya instalasi klakson ‘di luar kendaraan’ yang dituangkan dalam karyanya berjudul “Main Klakson”. Menurut Thezar, jika klakson dimainkan dengan pola-pola bunyi tertentu, kemungkinan bunyi yang dihasilkan tidak menyebalkan. Dari pengalamannya, ia pernah mencoba membunyi—mainkan klakson saat berkendara di jalanan kemudian direspons oleh pengendara lain dengan pola bunyi seirama. Menurutnya, ternyata hal itu lucu dan menyenangkan. Dari pengalamannya dan obrolan-obrolan yang dilakukan selama beresidensi di Tanahindie di Kampung Buku, pelan-pelan Thezar mencoba membuat ‘mainannya’ sendiri. Ia berinisiatif untuk mempelajari mekanisme atau cara kerja sebuah klakson, dengan berkeliling mencari sebuah tempat perajin klakson di Makassar, namun tak satupun tempat pembuat klakson yang ditemuinya.

55

Edisi II


Ia lantas memilih alternatif lain dengan mendatangi bengkel motor bernama ZRT (Zul Racing Team), berlokasi di Jalan Hertasning Baru. Di sana, ia bertemu dengan M. Zul Andi, mekanik sekaligus pemilik bengkel yang membantunya dalam proses perangkaian klakson di luar kendaraan. Thezar diberi semacam rekomendasi komponen-komponen yang diperlukan, di antaranya: aki motor, klakson motor jenis standar, kabel sebagai konektor antara aki dengan klakson, saklar on/off, pipa PVC, kaleng biskuit, kaleng cat, tripleks, dan balok berukuran  50x55cm. Dalam prosesnya, Thezar tidak hanya diajarkan cara merangkai sebuah klakson di luar kendaraan oleh Zul, tetapi ia juga belajar soal mekanisme dan fungsi dari setiap komponen-komponen tersebut hingga dapat menghasilkan bunyi. Thezar membuka gelaran Soundsphere edisi kedua dengan secara tiba-tiba memainkan karya audio visualnya, bunyi klakson ‘di luar kendaraan’ yang dipadukan dengan sorotan gerak-gerik visual ikon-ikon pop berupa petak warna sebagai latar pertunjukannya di halaman depan Kampung Buku.


Soundsphere edisi kedua menjadi salah satu rangkaian Satu Dekade Kampung Buku. Dalam Presentasi karya bunyi, visual, dan dialog ini menampilkan A.Thezar Resandy dan Iwan Setiawan. Karya instalasi klakson ‘di luar kendaraan’ yang dibuat Thezar berbentuk segi empat, berbahan dasar tripleks dengan balok kayu berukuran kecil sebagai rangkanya, dilengkapi dengan komponen-komponen sederhana, seperti pipa PVC, kaleng cat, dan kaleng biskuit yang berfungsi sebagai ruang untuk memerangkap bunyi klakson agar frekuensi suaranya tidak terdengar terlalu menyalak. Dalam penyajiannya, instalasi ini kemudian disambungkan dengan perangkat elektronik lainnya, seperti sound card dan stompbox yang merupakan perangkat terpenting dalam menghasilkan musik noise. Perangkat inilah yang memunculkan beberapa efek-efek tertentu, di antaranya: delay yang menghasilkan penundaan yang berulang-ulang dari suara atau bunyi aslinya, flanger digunakan untuk mencampur bunyi asli dengan bunyi hasil delay, dan reverb digunakan untuk menambah gema pada sebuah sumber bunyi.

57

Edisi II


Thezar mengawali presentasinya dengan memadukan bunyi klakson dengan elemen noise yang pelan dan tampak halus, seakan menghasilkan ‘rantai efek’ gelombang bunyi dengan komposisi beraturan. Sebagai pembuka, bunyi yang dihadirkan Thezar membangkitkan rasa penasaran akan ritme-ritme selanjutnya. Transisi tiap ritmenya menghadirkan suasana yang berbeda meski bunyi yang dihasilkan bising repetitif, namun ia membuat eksplorasi yang kontemplatif. Di ritme-ritme tertentu, Thezar menampilkan sebuah sample modifikasi bunyi klakson yang mengalir, efek dari bunyinya seakan menempatkan imajinasi ruang tentang penjelajahan waktu. Sebuah lorong waktu. Transisi bunyi klakson minim di tengah treknya mulai membaur dengan bunyibunyi efek klakson yang berulang-ulang, seakan mengajak saya mengalami bebunyian dengan nuansa avant-garde, dan secara bersamaan membawa saya bepergian menggunakan mesin waktu menuju “pintu-pintu dunia lain”. Rekaman ‘Main Klakson’ berdurasi 13 menit 41 detik ini, di detik-detik akhir, Thezar menghadirkan ritme-ritme chaotic diikuti dengan visual gemerlap kota metropolitan di latar pertunjukannya. Gambaran gedung-gedung tinggi dengan lampu berkelapan dari bangunan toko-toko dan kendaraan seakan melukiskan sebuah ‘kota modern’ dengan kesibukan kendaraan yang lalulalang. Thezar menutupnya dengan membentuk harmonisasi antara audio dan visual yang membaur dengan apik. Perjalanan eksperimentasi Thezar dalam memainkan klakson ‘di luar kendaraan’, mungkin

58

Soundsphere 2018


tidak berlebihan jika dari segi improvisasi dan kombinasi, ia berhasil memvisualisasikan sebuah kompleksitas bunyi hingga menjadi musik yang tidak hanya rapat, namun lembut. Bagi saya, trek “Main Klakson� menjadi perkenalan yang baik, rasanya pas untuk dinikmati jika ingin menjelajahi dunia bebunyian baru. Thezar dalam percobaannya memperlihatkan bahwa suara-suara atau bebunyian yang kerap hadir dalam keseharian kita sebenarnya bisa diaplikasikan dalam bentuk lain. Dari eksplorasinya

dengan klakson, Thezar membuktikan bahwa bunyi klakson kendaraan di jalanan yang bersahutsahutan, menyalak riuh di tengah deru kemacetan menimbulkan kejengkelan dan terasa menyebalkan, ia berhasil mengubah bunyi klakson dan mengimprovisasikannya dengan mengombinasikan beragaman elemen noise dengan efek-efek


tertentu, sehingga terdengar lebih tenang, santai, dan terasa lebih tenteram. Tiba giliran Iwan Setiawan berbagi pengalamannya tentang bagaimana melihat bunyi, lebih spesifik mengenai osiloskop musik. Osiloskop (oscilloscope) adalah sebuah alat ukur elektronik untuk mengukur gelombang suara. Dengan menggunakan osiloskop, kita bisa mendegar suara sekaligus melihat bentuk suaranya (gelombang sinyal audio) dan secara bersamaan pula kita bisa mengalami rangsangan antara visual dan audio. Dalam presentasinya, Iwan Setiawan mengombinasikan osiloskop dengan sebuah alat elektronik lainnya bernama synthesizer, bentuknya mirip dengan piano. Synthesizer atau biasa disebut juga dengan synth merupakan sebuah perangkat elektronik yang memproduksi suara dalam bentuk gelombang suara atau sinyal suara yang dikirim ke pembangkit suara. Dalam pengertian lain, cara kerja dari synth ini yaitu memproduksi gelombang suara elektrik, lalu dikonversi menjadi suara melalui pengeras suara atau media output lainnya. Sumber suara dari alat ini, kata Iwan, biasa dikenal dengan istilah Voltage Control Oscillator (VCO) yang mengeluarkan suara ketika disambungkan dengan osiloskop. Menurut Iwan, cara membuat nada dalam osiloskop musik, ada tiga. Pertama, yaitu kita bikin suaranya, kemudian lihat gambarnya. Kedua, kita bikin gambarnya sedang suaranya kita manipulasi. Ketiga, berkaitan dengan rumus matematika. Dalam kesempatannya, Iwan hanya mendemonstrasikan cara pertama dan kedua. Ia memulai dengan menampilkan gelombang synth dalam sebuah perangkat elektroniknya dan memperkenalkan sebuah tools yang disebut dengan osilator. Osilator tersebut tampak menyerupai speedometer regu


lator kompor gas versi mini. Dari perangkatnya, ia mulai mengoprasikan osilator tersebut dengan menggeser jarumnya ke kiri, kemudian menekan salah satu tuts pada synth, secara bersamaan memunculkan bentuk garis horizontal. Kemudian, ia lantas menambah satu osilator baru menjadi dua osilator. Dengan cara yang sama dilakukan sebelumnya, osilator baru yang ia tambahkan dengan menggeser jarumnya ke kanan, memunculkan garis vertikal. Dalam percobaan lainnya, Iwan Setiawan memperlihatkan bentuk dari gelombang synth dengan menekan tuts pada sebuah perangkat yang menyerupai piano mini itu, yang sebelumnya sudah dihubungkan dengan laptop dan proyektor untuk menampilkan bentuk dari sebuah gelombang suara. Suatu proses audio visual ia tampilkan. Sambil menekan satu per satu tuts dari synthesizer, Iwan menjelaskan bahwa semakin rendah sebuah nada, maka gelombangnya semakin sedikit, dan sebaliknya.

61

Edisi II


Untuk mengukur sebuah gelombang, ada istilah yang dikenal dengan Hertz (Hz), yaitu panjang gelombang per detik. Kata Iwan, “manusia cuma bisa mendengar 20 gelombang per detik hingga 20.000 gelombang per detik, di atas itu manusia tidak dapat lagi mendengarnya.” Dalam pengertian lain, ambang frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh telinga manusia berkisar getaran frekuensi 20 Hz sampai 20.000 Hz. Suara di atas 20.000 Hz disebut dengan ultrasonik , sedangkan di bawah 20 Hz disebut infrasonik. Pada prinsipnya, percobaan yang dilakukan Iwan adalah menampilkan sebuah musik osiloskop dengan menghubungkan antara audio dan visual. Di mana, bunyi (audio) yang bermacammacam yang dihasilkan oleh sebuah perangkat synthesizer, secara bersamaan memunculkan sebuah visual dalam bentuk gelombang. Atau dengan kata lain, melihat bentuk bunyi itu sendiri. Di penghujung acara, sebelum sesi dialog dibuka, Iwan Setiawan mempersembahkan karya audio visualnya yang diberi judul “Soundsphere an Oscilloscope Music”. Sebuah musik instrumental ia mainkan. Musik yang dihasilkan dari sebuah proses modulasi, peralihan dari satu dasar nada ke nada yang lain, diikuti dengan pengubahan

62

Soundsphere 2018


gelombang pendukung untuk menyampaikan bunyi dalam visualnya. Musiknya mempunyai esensi bersifat hibrid yang mencoba menafsirkan makna dari sebuah hasil persilangan beberapa elemen musik yang saling berbaur. Tiap transisinya tampak pelan dengan sedikit entakan di ujung penggalannya, diikuti dengan tampilan visual gelombang suara manipulasi. Alunan gebukan drum minim di tengah treknya, seakan mengantarkan saya ke satu pertunjukan Tari Hip Hop Kontemporer: Paralleles karya Abderzak, seorang koreografer kelompok tari asal Prancis, saat melakukan tur di Makassar beberapa bulan yang lalu. Baik Iwan Setiawan maupun Thezar telah berhasil memperlihatkan bahwa kemungkinan-kemungkinan lain bisa dimunculkan dalam berbagai ranah, di mana bunyi adalah sebuah medium untuk membuka segala kemungkinan-kemungkinan untuk dieksplorasi. Setelah sesi dialog dibuka, beberapa pengunjung membuka obrolan dengan mulai berbagi cerita pengalamannya tentang jalanan yang dianggap sebagai “ruang yang pas untuk melatih kesabaran, apalagi di perempatan


lampu merah. Soal modifikasi klakson mobil truk yang menyerupai terompet juga dianggap penting untuk dieksplorasi. Di lain sisi, sopir truk yang memodifikasi klakson mobilnya menunjukkan bahwa mereka punya cita rasa estetika yang cukup tinggi dan hal ini menarik untuk dilacak, atau minimal kita pertanyakan sebagai seniman.” Adapun respons pengunjung lainnya muncul, dengan melihat klakson bukan lagi dari bendanya, tetapi dari perspektif manusianya (pemilik atau penekannya). Salah satu pengunjung malam itu mengatakan bahwa, di jalanan seperti di Kota Makassar kebiasaan membunyikan klakson bisa ditandai bagaimana kekuasaan bisa dilihat dari bunyinya, makin besar bunyi komponen suatu kendaraan makin punya kuasa di jalanan. Misalnya kendaraan yang punya klakson dengan bunyi yang menyalak atau kendaraan yang menggunakan sirene yang bunyinya mendengung keras. “Dari obrolan tentang klakson banyak sekali yang tiba-tiba bisa muncul. Prototipe yang dibikin Thezar yang terbilang sangat sederhana bisa memicu obrolan-obrolan, ada fenomena yang memicu obrolan, dengan banyak pengembangan yang ditawarkan sebagai referensi. Mulai dari filosofi politik di jalanan soal kekuasaan sampai ke pengembangan metode penelitian lapangan. Hal ini menunjukkan dari hal sederhana, kemudian bercabang ke mana-mana,” tutup Kurator Soundsphere, Anwar ‘Jimpe’ Rachman.


Soundsphere edisi berikutnya akan membuka pintu seluas-luasnya bagi para pemusik atau pengrajin bunyi-bunyian untuk berkontribusi, berbagi pengalaman, menampilkan sesuatu, dan tentunya berkolaborasi dengan berbagai kalangan.

65

Edisi II


Tanahindie berdiri tahun 1999, berawakkan peneliti, penulis, advokat, crafter, dosen, mahasiswa, pekerja sosial, dan ibu rumah tangga—mengutamakan programnya pada kajian & diskusi/seminar/lokakarya, penelitian, pameran, perisalahan, dan penerbitan bertopik ragam ekspresi dan perkembangan masyarakat kota mutakhir dengan menggunakan perspektif seni dan arsip dalam pengertian luas sebagai bentuk penyajian. Penelitian dan penerbitan meliputi Makassar Nol Kilometer (Ininnawa, 2005), Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota (Ininnawa, 2012), dan Chambers: Makassar Urban Culture Identity (Chambers Celebes, 2013), Makassar Nol Kilometer DotCom: Jurnalisme Plat Kuning (Tanahindie Press, 2014), Ekonomi Kreatif Makassar 2015 (Tanahindie - British Council -- belum dipublikasi), Halaman Rumah / Yard (Tanahindie Press, 2017), dan Kota Diperam dalam Lontang (Oktober, 2018).


Menggelar pameran dan kerja kolaborasi berkaitan seni dan wacana kebudayaan antara lain True Color (pameran lukisan perca & drawing, 2007), Bom Benang (2012-2017), Panggung dalam Bingkai (pameran fotografi, 2014), dan Lembaran Halaman yang Hilang (pameran fotografi, 2014), Jakarta Biennale (2015), Makassar Biennale (2015, 2017), Halaman Rumah (Januari 2017-sekarang), dan Soundsphere (April 2018-sekarang). Pada 2018, Tanahindie memamerkan karya di Pekan Seni Media 2018 (Kemendikbud RI – Forum Lenteng) di Palu, Sulawesi Tengah. Urunan daya untuk situs jurnalisme warga http:// makassarnolkm.com (2012-sekarang) dan menjadikan perpustakaan Kampung Buku sebagai kolaboratorium dan ruang lokakarya penulisan dan penelitian.


Inisiator

Kolaborator




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.