YARD - Edisi 9, Januari 2019/Ninth Edition, January 2019

Page 1

Edisi 09, Januari 2019

(Gambar kiri) Aziziah Diah Aprilya seniman residensi Tanahindie 2018 mengikuti Arisan Tenggara selama dua bulan. Program residensi ini dirancang sebagai forum perintis bagi wadah kerja bersama antar-kolektif seni di Asia-Tenggara. (Gambar kanan) Thezar Resandy seniman residensi Tanahindie 2018 yang terakhir mempresentasikan karya bunyi hasil risetnya melalui Soundsphere edisi ke-2 (29 Oktober 2018), sejak November 2018, selama setahun Tesar mengikuti program beasiswa dari GUDSKUL, Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer di Jakarta, mewakili Tanahindie.


Yard merupakan terbitan ­dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, k­ olaboratorium dan ruang dan ranah b ­ ersama berwujud perpustakaan, ­menyebarkan ­gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pe­ngetahuan. www.tanahindie.org

Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman

Layouter Fauzan Al Ayyuby

Redaktur: Aziziah Diah Aprilya, ­Fauzan Al Ayyuby, ­R afsanjani, Wilda Yanti Salam

Web & Publikasi: Ade Awaluddin Firman

Penulis: Aziziah Diah Aprilyah, Fauzan Al Ayyuby, Muhammad Ismail Makmur, Syahrani Said, Wilda Yanti Salam Ilustrasi Muhammad Iqbal Burhan

Dokumentasi: Tanahindie Redaksi menerima sumbangan materi ­publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ­ilustrasi, dan komik melalui email:

Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.

tanahindie@gmail.com

Kolaborator:

DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie


Dokumentasi Muh. Ismail Makmur

HIDUP DARI MENGATUR LALU LINTAS Muh. Ismail Makmur

S

iang itu pukul 12.32, hujan mengguyur Kota Parepare dengan kendaraan yang sibuk berlalu-lalang di jalanan. Seorang lelaki tua bernama Pak Asis saban hari menertibkan lalu lintas di sebuah jalur yang mempertemukan tiga jalan utama di Kota Parepare; Jalan Jendral Ahmad Yani, Jalan Jendral Sudirman, dan Jalan A. Mappanggara, serta jalur trans-sulawesi. Pak Asis menggunakan seragam polisi saat bekerja mengatur lalu lintas mulai jam sembilan pagi hingga jam dua siang. Seragam itu diberikan langsung oleh pihak Kepolisian Kota Parepare, kata Pak Asis. Salah satu polisi pernah berkata kepada beliau bahwa ia menyekolahi aktivitas yang dikerjakan

Pak Asis, “Pak Asis lebih mahir daripada kami dan tahan pula berdiri lama di jalan,” kata polisi tersebut. Pak Asis hanya meresponsnya dengan senyum dan tawa waktu itu. Pak Asis terlihat begitu lihai mengarahkan para pengendara di jalanan agar tertib, dengan gerakan tangannya yang menari-nari di udara, dan bunyi sempritannya yang melengking. Tidak hanya para pengendara, Pak Asis pun memberi perhatian kepada orang-orang yang ingin menyeberang jalan. Pak Asis lahir di Parepare tahun 1965 dan saat ini berusia 53 tahun. Ia menghidupi keluarganya selama 20 tahun dari pekerjaannya sebagai ‘petugas lalu lintas’, dengan penghasilan yang

3/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Dokumentasi Muh. Ismail Makmur

4/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

langsung bagi pengendara untuk lebih berhati-hati di jalanan. Melihat beliau secara langsung menertibkan lalu lintas, menyadarkan saya te nt ang s e bu a h me d iu m interaksi di jalanan. Interaksi berupa ujaran dan tindakan Pak Asis, seolah menghadapkan kita pada susunan simbol yang kompleks; menghantar kita pada suatu bentangan pengalaman hidup Pak Asis dalam mengabdikan diri di jalanan. Lewat Pak Asis, saya melihat sebuah partisipasi individu dalam ruang publik. Tindakan beliau seolah mengingatkan kita pada pernyataan Leo Tolstoy bahwa, “tidak baik untuk tidak melakukan apa yang sudah seharusnya dilakukan�. Meskipun Pak Asis bertindak juga atas dasar kebutu han ekonomi, ha l itu bu kan menjadi s atusatunya dasar kepentingan tindakan beliau, sebab, beliau menekankan suatu pernyataan yang berulang dia katakan

"

tidak menentu, lantaran hanya bergantung dari pemberian para pengendara. Di jalanan, Pak Asis tidak pernah meminta bayaran secara langsung kepada para pengendara, melainkan hanya menerima secara sukarela. Dalam sehari, Pak Asis biasanya mendapatkan uang sebanyak 70 ribu, dan uang itulah yang digunakan Pak Asis untuk menghidupi keluarganya; istri, dua orang anak, dan kedua cucunya. Kendaraan biasanya ramai saat hari Jumat di jalur yang mempertemukan tiga jalan utama di Kota Parepare ini (trans-sulawesi), dan hari itu menjadi hari tersibuk Pak Asis dibanding hari-hari lain. Hal tersulit yang beliau hadapi ketika ada pengendara menerobos lampu merah, ditambah pula membeludaknya truk-truk dari empat arah. Dengan gerak tangan yang sigap, memberi simbol untuk pelan-pelan, maju, atau sesekali memberi peringatan

Interaksi berupa ujaran dan tindakan Pak Asis, seolah menghadapkan kita pada susunan simbol yang kompleks.


"

Melalui tindakannya, Pak Asis memaknai keberpihakan yang ditunjukkan dengan ‘penerimaannya’ secara sukarela dari para pengendara.

bahwa, “kalau tidak ada ka di sini, siapa mi mau atur pengendara?” Pernyataan beliau memang bernada pengakuan diri dan menimpali kita suatu pengabaian, dan tentunya keberpihakan. Pengakuan diri, sesungguhnya bukan meng-agung-kan diri, tetapi lebih pada proses melihat secara jernih diri sendiri atas kemampuan dan kekurangan diri, dan juga menekankan akan perlunya memercayai diri sendiri. Di sini, Pak Asis mengajarkan saya tentang bagaimana mengisi kekosongan dalam ‘satu dimensi’, dengan cara memercayai diri sendiri sebagai individu yang mampu memberikan sumbangsi dalam merespons problem di ruang publik. Melalui tindakannya, Pak Asis memaknai keberpihakan y a n g d i t u nj u k k a n d e n g a n ‘penerimaannya’ secara sukarela dari para pengendara. Dengan tidak bersikap ngotot itu, beliau memberikan pemahaman tentang bekerja dengan sukarela, dan juga mengantarkan kita pada pemahaman transenden terhadap hidup, bahwa semesta tidak Dokumentasi Muh. Ismail Makmur

5/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Dokumentasi Muh. Ismail Makmur

bisu. Semesta berbicara pada manusia lewat pergulatan k e s e h a r i a n ny a . B a h k a n semesta bisa kita katakan sebagai ‘ibu Kandung kesadaran’. Bayangkan saja, selama 20 tahun lebih, beliau menghidupi istri, anak, dan cucunya lewat pekerjaan tersebut. Dari cerita singkat Pak Asis ini, saya menyadari tentang bagaimana kepedulian itu tidak berapi-api dalam tuturan tapi lebih ditegaskan pada tindakan nyata. Terakhir, beliau berkata kepada saya dengan dialek bugis, “mawatang memeng i’ lai podang ade’ makanja tau e’ nak!” Artinya, susah memang menyampaikan suatu kebaikan kepada seseorang, nak!

6/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


7/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Diaspora Bugis di Alam Melayu Nusantara Penulis: Andi Faisal Bakti (ed.) Cetakan Pertama, Juli 2010 Penerbit Ininnawa iv + 320 hlm ISBN 978-602-95231-5-7 IDR. 85.000

Pasar Terong Makassar: Dunia dalam Kota Penulis: Agung Prabowo, dkk Cetakan Pertama, Februari 2013 Penerbit Ininnawa xx + 240 hlm, 15 x 21 cm ISBN 978-602-19636-5-4 IDR. 70.000

Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives

LOKASI KAMPUNG BUKU

Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)

KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books

BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA 8/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Instagram: @kedaigeraderi


RADIO: MASIH SEPERTI SEORANG TEMAN

Ilustrasi: M. Iqbal Burhan

Syahrani Said

Kapan terakhir kali Anda mendengarkan radio? Mungkin hanya beberapa orang tertentu dari sekian banyak orang yang mampu mengingat kapan terakhir kali mereka dengan sengaja mendengarkan radio. Saat ini, radio bisa dikatakan sebagai media yang sudah tidak banyak orang perbincangkan. Alasannya, karena orang-orang kini hidup dalam era keterbukaan informasi. Kita dapat memperoleh informasi dengan mudah sesuai dengan kebutuhan, berbagai kanal media sudah tersedia, seperti televisi dan akses internet.

Namun, radio tetap saja hidup di dalam kepala beberapa orang dan hal ini menjadi alasan radio tetap ditongkrongi oleh para pendengarnya. Di antara media elektronik lainnya seperti televisi, gawai, ataupun media cetak, radio menjadi satusatunya media yang membuat kita mesti memberi sedikit perlakuan berbeda terhadapnya. Radio menyampaikan segala bentuk informasi dengan suara, dengan begitu seorang pendengar harus benar-benar fokus menyimak informasi yang sedang disampaikan di radio. Mendengarkan radio menjadi semacam aktivitas santai, pendengar dapat melakukan aktivitas

9/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


"

Radio kemudian mengubah dirinya menjadi ruang ekspresi. Ekspresi yang dimaksudkan dalam bentuk suara. Seseorang mampu mengetahui apa yang orang lain sedang rasakan melalui suara; kejujuran, k e g u g u p a n , k e m a l a s a n , kesedihan dan juga kemarahan.

10/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

lain secara bersamaan, serta dapat didengar di mana saja, selama pendengarnya berada dalam jangkauan transmisi radio. Jelas berbeda ketika sedang menonton televisi, kita mesti terpaku melihat ke layar kaca dengan membaca sebuah informasi yang sedang ditayangkan. Meskipun begitu, mendengarkan radio membutuhkan konsentrasi, entah itu sedang menyimak berita atau kejadian penting di sekitar kita, atau sekadar mendengarkan musik yang sedang diputarkan radio. Bisa dibayangkan bagaimana perkembangan penyebaran informasi yang pada awalnya hanya dilakukan melalui radio, melalui pesan suara. Bagaimana teks proklamasi bisa terdengar hingga hampir ke seluruh penjuru negara kita, hingga orang-orang di kampung menjadikan radio sebagai pelipur lara. Pernahkah kita membayangkan menyimak sebuah pertandingan sepak bola melalui suara, misalnya di saat momen tendangan salah satu pemain mengarah ke gawang, entah bolanya meleset ataukah berhasil bersarang di gawang lawan—penyimak p e r t a n d i n g a n k e mu d i a n

berhamburan dan bersorak, s es aat kemudian mereka terdiam lagi dan kembali menyimak. Ketika penyiaran radio mulai b erkembang, yang pada awalnya hanya menjadi penyedia informasi yang sedang hangat diperbincangkan, musik kemudian hadir, hingga acara talkshow, komedi, dan juga drama disiarkan melalui radio. Radio kemudian mengubah dirinya menjadi ruang ekspresi. Ekspresi yang dimaksudkan dalam bentuk suara. Seseorang mampu mengetahui apa yang orang lain sedang rasakan melalui suara; kejujuran, kegugupan, kemalasan, kesedihan, dan juga kemarahan. Suara yang dikeluarkan melalui radio mengekspresikan banyak hal, tanpa terkecuali penyiar dan atau pendengar yang sedang berinteraksi melalui radio. Sama halnya ketika kita meminta sebuah lagu untuk diputarkan di radio, dari situ, sebuah lagu mampu menyamp ai kan p eras aan kita kepada para pendengar lainnya. Seseorang juga dapat mengirimkan salam, ucapan selamat, berita duka atau berita kehilangan kepada pendengar lainnya. Sebelum sosial media hari ini memberi kita ruang yang lebih lapang untuk


mengekspresikan perasaan kita, jauh-jauh hari, radio telah menjadi telinga sekaligus mulut bagi banyak orang yang ingin menuangkan isi hatinya, radio seakan-akan menjadi teman yang nyaman bagi siapapun. R adio telah mampu menyentuh s endi-s endi kehidupan orang banyak, membuat sebagian orang mampu berbagi banyak hal, terutama perasaan-perasaan yang tak mampu mereka gambarkan secara langsung. Dengan kata lain, radio mampu menjadi jembatan dalam mengekspresikan banyak hal. Di perkotaan misalnya, pendengar radio masih lebih banyak dibandingkan dengan kota-kota kecil atau kabupaten lainnya. Kemacetan di jalanan membuat waktu terasa berjalan sangat lambat. Salah satu hal yang dilakukan untuk tidak merasakan kemacetan begitu menyiksa adalah mendengarkan radio sambil berharap salah satu lagu favorit kita diputar. Di beberapa belahan kota lainnya, mendengar radio masih menjadi salah satu opsi dalam mengisi kekosongan saat rehat sejenak dari aktifitas. Dengan kata lain radio belum mati, radio masih punya tempat di kepala para pendengarnya, radio memliki kesan tersendiri bagi pendengarnya.

Di tengah orang-orang yang telah meninggalkan radio, di waktu yang sama—beberapa orang kembali berinisiatif menjadikan radio sebagai ruang kolaborasi, menjadikan radio sebagai panggung untuk mengekspresikan beragam kegiatan. Di Kota Parepare misalnya, kota tempat saya tinggal, memiliki setidaknya 5 stasiun radio. Beberapa di antaranya berani mengambil langkah untuk membuat program yang terkesan baru, yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, seperti membuat program talkshow secara live mengenai dunia kewirausahaan. Program talkshow ini kemudian menjangkau seluruh lapisan masyarakat, setidaknya masyarakat Kota Parepare, dan hal ini menjadi sebuah bentuk edukasi serta motivasi bagi para pendengarnya, yang kebetulan ingin membangun sebuah usaha. Di stasiun radio lainnya, juga muncul sebuah program bincang komunitas yang bertujuan untuk memperkenalan gerakangerakan sosial yang dilakukan oleh komunitas tertentu, sekaligus sosialisasi tentang program apa saja yang telah dan akan mereka lakukan untuk ke depannya.

Selain dua program di atas, program literasi dan juga sastra telah mengudara. Seperti misalnya, program mendengarkan buku dan berpuisi di udara, yang keduanya merupakan program s alah s atu radio di Kot a Parepare. Dari sini, radio telah bergeser dan mulai menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat, terutama menjadi ruang— panggung bagi karya-karya yang telah lahir dari sekelompok masyarakat. Radio akhirnya menjadi sebuah media yang mampu menyalurkan informasi, hiburan, edukasi, dan beragam ekspresi, serta karya bagi para pendengarnya. Boleh dikatakan radio telah mendewasakan diri untuk lebih terbuka serta menjadi jembatan membuat sebuah hubungan emosional antara pendengar yang satu dan lainnya. Posisi radio yang saat ini sangat minim dengan adanya ‘keberpihakan,’ kemudian mampu membawa d i r i ny a b e r t u m b u h d a n perlahan menjadi commons bagi masyarakat, meskipun hanya sebatas suara, namun percayalah mendengarkan selalu jauh lebih baik daripada bicara banyak.

11/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Gerakan peduli pendidikan untuk anak-anak daerah terpencil pegunungan di Sulawesi Selatan #EducationNatureandFun

Pemotongan Tumpeng

Talkshow pendidikan "Bahagia dari Hulu"

- DOKUMENTASI SOKOLA KAKI LANGIT

"Senandung Cerita Kaki Langit untuk Negeri" - DOKUMENTASI SOKOLA KAKI LANGIT

12/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Milad ke-4

Sokola Kaki Langit Jumat, 28 Desember 2018 Etika Studio Coffee - DOKUMENTASI SOKOLA KAKI LANGIT

Makan bersama warga Dusun Bontomanai, Desa Laiya, Kecamatan Cenrana, Kabupaten Maros 13/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Gelombang Perlawanan di Tepian Matano: Resistensi Masyarakat Sorowako terhadap PT. Inco Penulis: Sawedi Muhammad Cetakan Pertama, Januari 2017 Penerbit Ininnawa x + 186 halaman, 15 x 21 cm ISBN 978-602-71651-7-5

IDR. 65.000

“Gelombang Perlawanan di Tepian Matano” adalah kajian sosiologis yang disusun oleh Sawedi Muhammad melalui pemaparan detail perihal konflik yang terjadi di lingkar tambang PT International Nickel Indonesia, yang telah bertransformasi menjadi PT Vale Indonesia. Dengan menggunakan teori gerakan sosial baru dan konsep Accumulation by Dispossession, Sawedi memaparkan genealogi dan dinamika perlawanan masyarakat Sorowako terhadap perusahaan; perlawanan yang diklaimnya berdampak rendah terhadap perubahan sosial, tetapi berhasil mempertahankan relasi kuasa yang relatif berimbang antara masyarakat dan perusahaan.

14/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Lebih jauh, bila hendak membandingkan perlawanan ala James Scott (Weapons of the Weak, Everyday Forms of Peasant Resistance, 1985) yang bersifat tertutup dan laten, perlawanan masyarakat Sorowako menunjukkan identitas kulturalnya secara terbuka dan masif. Buku ini juga berbeda dari kajian etnografis Kathryn Robinson (Stepchildren of Progress: The Political Economy of Development In an Indonesian Mining Town, 1986) yang menempatkan penduduk asli sebagai elemen yang “pasif”. Buku ini mengungkap bagaimana masyarakat di lingkar tambang berperan sebagai “subjek” secara sosial, politik, dan kultural yang berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka cita-citakan.


Dokumentasi: Ruang Gulma

ARISAN YANG MENGUMPULKAN KESEMPATAN, KEKUATAN, DAN PENGALAMAN Aziziah Diah Aprilya

M

emulai sebuah catatan reflektif tentang pengalaman residensi dua bulan ternyata tidak mudah. Saya harus memikirkan kembali pengalaman-pengalaman lalu yang sebenarnya terlalu sulit dijelaskan melalui kata-kata. Kini saya menyesal tidak menulis serinci-rincinya pengalaman-pengalaman itu, saya malah memilih menuangkannya pada satu dua paragraf atau sebuah foto yang saya harap bisa merepresentasikan kejadian saat itu. Mungkin sebenarnya tidak terlalu keliru karena itu juga adalah cara untuk mengungkapkan sesuatu hal, tapi setelah dipikir-pikir menulisnya dengan rinci adalah salah satu bentuk pengarsipan yang akan membantu saya mengingat dan membagi cerita

itu kepada orang lain secara lebih jelas. Walaupun sebenarnya residensi di Kota Yogyakarta ini terlalu terbatas kalau hanya dengan kata-kata, tapi saya akan coba. Sebenarnya saya tidak punya ekspektasi apaapa sebelum berangkat. Saya hanya tahu bahwa Tanahindie, kolektif saya ini akan ditemani oleh Krack! Studio, sebuah kolektif yang bergerak dengan printmaking. Juga mengenai ARISAN: South East Asian Forum yang saya tahu adalah sebuah pertemuan kolektif-kolektif seni se-Asia Tenggara. Saat dikirimkan kerangka acuan dari ARISAN, saya hanya membaca sepintas dan mulai mencari di sosial media berbagai kolektif 15/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


yang akan saya temani itu, dan ternyata tidak ada yang saya kenal sebelumnya. Saat itu, saya juga baru menyadari kalau ternyata pergerakan kolektif seni di Yogyakarta sangatlah besar. B eberapa kegiatan kesenian yang dari dulu ingin saya datangi ternyata salah satu penggeraknya adalah kolektifkolektif Yogyakarta itu. Oke, cukup begitu saja yang perlu saya tahu karena mungkin lebih baik melihatnya sendiri nanti.

Berkenalan Saya tiba di Yogyakarta pada tanggal 13 Oktober 2018. Saat itu sedang berlangsung dua festival besar yaitu Nusasonic “Crossing Aural Geographies� dan International Biennale Puppet Festival. Saya langsung menuju ke malam penutupan Nusasonic walaupun awalnya saya tidak terlalu tertarik kepada musik-musik yang ditawarkan Nusasonic, namun setelah dari festival itu saya mu l a i m e n g e n a l i mu s i k eksperimental dan noise, juga hype-nya di Yogyakarta. Jenis musik yang menyadarkan saya bahwa musik itu ada di mana saja atau kalau kata John Cage, “Everything we do is music�. Asyik. Besoknya saya berangkat ke International Biennale Puppet Festival di Desa Kepek. Saya masih mengingat jelas bagaimana indahnya melihat pertunjukan boneka di tengah sawah pada sore hari. Para seniman, pengunjung, dan warga desa menikmati tanpa 16/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

harus diberi sekat-sekat yang tidak perlu. Semuanya berbaur dan itu adalah sebuah festival yang bagi saya memperlihatkan Yogyakarta yang selalu berusaha untuk meniadakan batas antara kota dan desanya. Saya hanya menginap satu malam di Krack! Studio karena besoknya saya akan pindah ke kosan di daerah Danunegaran. Sebenarnya saya merasa kamar di Krack! itu layak untuk dua bulan residensi tapi teman-teman di Krack! merasa saya perlu kamar yang lebih layak. Kebetulan di kosan itu semuanya adalah perempuan yang kebanyakan juga aktif dalam kegiatan kesenian. Jadi saya senangsenang saja ditempatkan di sana. Setelah membereskan semua barang, saya kembali ke Krack! untuk membicarakan hal-hal apa yang akan terjadi di ARISAN. Dengan baiknya, Krack! juga meminjamkan sebuah sepeda ungu, walaupun beberapa hari setelahnya saya memilih memakai motor yang dipinjamkan oleh teman kosan saya (hahahaha). Bercerita soal Krack! Studio, sebenarnya adalah sebuah printmaking studio dan galeri yang didirikan sejak tahun 2013 oleh Malcolm Smith, Rudi Hermawan, Prihatmoko Moki, dan Sukma Smita. Belakangan anggotanya bertambah dengan Mas Kepet, Mas Rejo, Mas Eki, dan Mas Pengki (maafkan saya terlalu malas mencari nama panjang kalian :p). Oh ya, saya melupakan Anin, anak dari Mbak Sukma dan Mas Rudi.

Juga anjing-anjing kesayangan kita semua yaitu Kucing, Jojo, dan Regi. Mereka semua adalah anggota Krack! Studio dan teman-teman terbaik yang menemani saya selama di Yogyakarta ini. Pengetahuan saya mengenai sablon yang hanya sebatas pada baju itu menjadi berubah ketika di Krack!. Printmaking yang dilakukan Krack! bukan hanya sebatas sablon, tetapi juga sebuah medium untuk bercerita dan merespons berbagai peristiwa di masyarakat. Dengan melalui printmaking semua orang bisa mendapatkan satu cerita untuk dibawa pulang dalam bentuk sebuah benda. Saya melihat kekuatan printmaking ada di situ, saat satu karya seni bisa dinikmati dan dibawa oleh siapapun itu. Setidaknya itu yang saya pahami dari Krack! dan printmaking-nya. Selebihnya yang saya paling suka adalah proses dari menyablon mereka yang mengingatkan saya pada proses develop kamera analog. Ribet, lama, butuh kesabaran, ketelitian, tapi hasilnya bikin senyumsenyum sendiri. Walaupun selama belajar soal ini saya tidak berkontribusi secara penuh karena Mas Kepet yang lebih banyak melakukannya, tapi itu cukup membuat saya menghargai sebuah proses dan melihat foto-foto saya dengan cara yang berbeda. Ya, saya menyablon foto-foto karya saya saat pameran di ARISAN. Apakah saya menceritakan semuanya terlalu cepat? Baik,


makan-makan. Namun malam itu saya menyadari bahwa kolektif seni di Asia Tenggara sangat banyak dan beragam (terutama di Kota Yogyakarta). Kalau dipikir kami bertujuh secara personal juga punya latar belakang yang cukup berbeda. Saya seorang mahasiswa dan fotografer, Bow seorang art manager, Aly seorang musisi folk dan eksperimental, Amir seorang ilustrator, Ano seorang musisi, Cio seorang wartawan, dan Silvestre seorang pemain s e p a k b ol a y ang s e d ang belajar fotografi. Belum lagi latar belakang semua orang di berbagai kolektif lainnya. Rasanya seni memang adalah sebuah ruang temu bagi siapa saja. Dan percaya bahwa perbedaan itu memberikan pengaruh pada segala hal yang kita lakukan adalah salah satu yang membentuk kolektifkolektif ini juga. Dalam lima hari di minggu pertama forum ARISAN ini, kami semua diajak berkeliling mengunjungi berbagai kolektif seni. Selain 12 kolektif seni yang memang bergabung di ARISAN, kami juga berkunjung ke ruang dan kolektif seni lain di luar ARISAN. Saya tidak tahu berapa jumlah yang tepat untuk ruang dan kolektif seni di seluruh Kota Yogyakarta karena jumlahnya memang banyak sekali. Di minggu pertama itu kami hanya mengunjungi beberapa kolektif dan ruang y ang s u d a h c u kup l am a terbentuk, juga yang dirasa memiliki kesamaan terhadap program ARISAN.

"

mari bercerita pelan soal ARISAN kita. Saat makan malam pertama bersama dalam rangka penyambutan peserta residensi, saya akhirnya berkenalan dengan para peserta residensi lainnya. Ada Aly yang berasal dari WSK (Manila), kolektif yang berawal dari sebuah festival musik di Filipina, Fete Dela, WSK. Amir dari Rumah Api (Kuala Lumpur), ruang alternatif untuk pertunjukan punk/hardcore juga berbagai kegiatan aktivis lainnya. Silvestre dan Cio dari Rekreatif (Dili), sebuah kolektif fotografi dari Timur Leste. Ano dari Gembel Art Collective (Dili), kolektif seni yang mengerjakan proyek-proyeknya dalam visual art, music, dan performance art. Dan Bow dari Tentacles (Bangkok), art space yang menjadi wadah belajar alternatif untuk para seniman muda di Thailand. Kami bersama enam kolektif Yogyakarta lainnya yang menjadi host masingmasing berkumpul malam itu di Ruang MES 56. Kalau Tanahindie bersama Krack!, WSK bersama Lifepatch, Rumah Api bersama Ruang Gulma, Rekreatif bersama Ru ang M E S 5 6 , G e mb e l bersama Survive! Garage, dan Tentacles bersama Ace House Collective. Peserta residensi masing-masing tinggal di ruang kolektif yang menjadi hostnya (kecuali saya). Malam itu tidak banyak hal serius yang kami bicarakan, hanya perkenalan santai dan

Rasanya seni memang adalah sebuah ruang temu bagi siapa saja. Dan percaya bahwa perbedaan itu memberikan pengaruh pada segala hal yang kita lakukan adalah salah satu yang membentuk kolektif-kolektif ini juga.

17/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


"

Bagi saya, ini seperti simulasi kolektif kecil. Halhal inilah yang kita lakukan dalam hidup berkolektif secara umum, menjadi speaker, listener, dan observer bagi satu sama lain untuk kemudian dirangkai menjadi sebuah karya apapun itu.

18/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Ada IVAA (Indonesian Visual Art Archive), ruang penelitian dan pengarsipan berbagai kesenian di Indonesia. Cemeti Instute for Art and Society, galeri dan ruang seni bagi para seniman yang ingin mengembangkan, m e mpre s e nt a s i k an , at au menger jakan kar yanya. Lir Space, ruang seni dan perpustakaan yang juga sering mengadakan pameran dan residensi seniman. Kunci Cu ltura l Studies C enter, kolektif yang melakukan berbagai produksi pengetahuan tentang apa saja (fasilitator ARISAN banyak yang berasal dari Kunci). Terakhir yaitu Grafis Minggiran, kolektif printmaking dan desain grafis. Saat mengunjungi berbagai kolektif itu, kami diajak untuk mendengarkan cerita latar belakang berdirinya mereka dan bagaimana pada akhirnya mereka menempati ruang yang sekarang. Di hari keenam, kami semua kemudian mendiskusikan soal tujuan dari forum ARISAN ini. Tapi sebelumnya kami menyepakati persoalan mengenai bahasa yang akan digunakan selama di forum. Kami membagi diri ke beberapa kelompok yang kami rasa memiliki bahasa yang sama untuk digunakan, dan ternyata kelompok yang terbentuk menjadi terlalu banyak. Kalau dibagi secara umum, ada bahasa Indonesia, bahasa Tetun Timor Leste, dan bahasa Inggris. Uniknya, saya juga belajar sedikit sejarah

di sini, seperti akhirnya saya tahu bahwa orang-orang di Timor Leste terbagi dari dua generasi: generasi lama yang bisa berbahasa Indonesia dan generasi baru yang tidak terlalu bisa berbahasa Indonesia. Dengan membagi diri dan melihat posisi kesanggupan bahasa masing-masing, kami juga belajar untuk saling memahami keterbatasan ini. Jadi di keseluruhan forum ARISAN selalu tersedia dua penerjemah yaitu penerjemah bahasa Inggris dan bahasa Indonesi a. Juga ters e di a “translation break� untuk jeda penjelasan pada bahasa atau istilah yang tidak dimengerti. Setelah itu, kami membagi kelompok lagi yang terdiri dari tiga orang untuk membicarakan intensi personal masing-masing di d a l am A RISA N. Jadi, secara bergiliran kami akan menjadi speaker (orang yang membicarakan intensinya), listener (pendengar yang akan menanyakan mengenai intensi si speaker), dan observer (pencatat poin-poin inti dari intensi si-speaker). Bagi saya ini seperti simulasi kolektif kecil. Hal-hal inilah yang kita lakukan dalam hidup berkolektif secara umum, menjadi speaker, listener, dan observer bagi satu sama lain untuk kemudian dirangkai menjadi sebuah karya apapun itu. Lalu kami kembali dalam forum besar dan berbagi poinpoin yang telah didapatkan. Poin-poin itu secara umum bisa dipetakan ke dalam empat bagian besar yang juga menjadi


di kolektif masing-masing yang juga baru kami sadari bahwa kita sudah banyak melakukan sesuatu hal, dan itu bukan hal yang kecil. Setiap hari di mingguminggu itu sepertinya selalu saja ada cerita yang baru. Entah itu tentang menyadari bahwa hampir semua kolektif bukan diawali dari sesuatu yang formal, tentang kolektif yang seharusnya tidak terpisah dari masyarakat karena kita adalah masyarakat itu sendiri, tentang ruang aman untuk membicarakan apa saja, tentang politik dan pemerintahan di negara lain yang selalu menyulitkan tapi tidak pernah b i s a m e m b u at s i ap ap u n menyerah, atau tentang halhal apa yang harus kita kerjakan ke depannya. Hari-hari yang penuh dengan sticky notes, karton-karton, es teh, kue, dan kepala yang kelelahan di malam hari.

Sirkuit Kekacauan Waktu itu Yog yakarta sedang panas-panasnya, metode dari fasilitator yang bagi saya menyenangkan tidak cukup untuk membuat semua orang betah duduk dan berdiskusi. Akhirnya setelah mayoritas orang mengusulkan untuk mengganti metode forum, kami sudah tidak melanjutkan untuk duduk dan berdiskusi lagi. Fasilitator membagi semua orang keenam kelomp ok besar untuk membicarakan proyek yang ingin dilakukan untuk presentasi publik di

"

empat isu yang akan dibahas di ARISAN, yaitu Collective Notion/Ideology, Program/ Cultural Capital Mapping, Networking/Social Capital, danFunding/Economic Capital. Keempat bagian ini sebenarnya berasal dari konsep modal Pierre Bourdieu, bahwa setiap orang memiliki empat modal dalam dirinya yaitu modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Konsep modal itu juga yang kemudian dilihat pada setiap kolektif. Ini semua untuk memetakan apa yang selama ini kita miliki dan apa sebenarnya yang telah dan bisa kita lakukan terhadapnya. Lalu masingmasing akan ikut melihat, belajar, dan mungkin berbagi modal-modal itu. Minggu berikutnya kami mulai mempresentasikan mengenai ideologi kolektif masing-masing. Kata “ideologi” terasa terlalu berat di harihari itu. Orang-orang lebih memilih menceritakan alasan kolektif mereka terbentuk agar mungkin “ideologi” itu bisa tersirat di sana. Begitupula alasan personal kenapa kita mau bergabung dalam kolektif. Memangnya kenapa kita harus bersama? Atau apa yang bisa d i c ap ai ke t i k a b e rs ama ? Pertanyaan-pertanyaan yang mungkin kadang lupa terjawab atau bahkan terabaikan. Agar kita mengingat bahwa kita adalah seorang individu yang punya pemikirannya sendiri. Begitu pula pada minggu kedua, kami mendiskusikan hal-hal yang telah dikerjakan

Kata “ideologi” terasa terlalu berat di hari-hari itu. Orangorang lebih memilih menceritakan alasan kolektif mereka terbentuk agar mungkin “ideologi” itu bisa tersirat di sana. Begitupula alasan personal kenapa kita mau bergabung dalam kolektif.

19/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


"

Kami lalu berpikir bagaimana kalau tuyul itu bukan mencuri “harta” tapi malah “mencuri” pengetahuan, ilmu, atau pengalaman? Bukannya selama ini yang kita lakukan adalah “mencuri” hal-hal itu saat ingin melakukan sesuatu karena sesungguhnya sudah tidak ada hal baru di dunia ini?

20/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

akhir residensi. Sebenarnya saya dan Krack! sendiri sudah merencanakan untuk membuat semacam performance art, saya yang akan menulis skenarionya. Waktu itu kami bersepakat untuk mengambil cerita hantu yang ada di Indonesia. Tapi sepertinya rencana itu harus ditahan dulu. Saya akhirnya menceritakan soal rencana bersama Krack! dan performance hantu itu walaupun kita belum memilih cerita hantu yang mana. Cio, salah satu peserta residensi dari Timor Leste yang waktu itu sekelompok dengan saya, juga bercerita tentang keinginannya membuat photo series mengenai kemiskinan di Yogyakarta. Lalu kami tiba-tiba berusaha menghubungkan hantu dan kemiskinan itu. Entah kenapa nama “Tuyul” muncul dalam p i k i r a n k a m i . Mu n g k i n karena tuyul adalah salah satu sumber ekonomi alternatif yang kebanyakan dipercayai oleh kelas menengah ke bawah. Seseorang di kelompok kami kemudian mengatakan “eh, cerita tentang tuyul itu baru ada ketika sistem moneter itu ada. Jadi sebelum ada sistem uang, ya cerita tuyul belum ada”. Setelah itu pembicaraan tentang tuyul dan hantu mengalir begitu saja. Kami juga baru menyadari bahwa ada beberapa cerita hantu yang sepertinya sengaja dikonstruksi untuk membuat orang-orang menjauh terhadap sesuatu hal. Pembicaraan tentang tuyul dan hantu itu kita lanjutkan besoknya. Cio juga berbagi

cerita bahwa tuyul di Timor Leste itu sedikit berbeda dari tuyul di Indonesia. Tuyul di sana tugasnya bukan mencuri harta, tapi justru menyampaikan hal-hal rahasia seperti nomor togel, dsb. Kami bersepakat menyebut ny a “d ist r ibusi p enget a huan”. Kami la lu berpikir bagaimana kalau tuyul itu bukan mencuri “harta” tapi malah “mencuri” pengetahuan, i l mu , at au p e n g a l am an ? bukannya selama ini yang kita lakukan adalah “mencuri” halhal itu saat ingin melakukan sesuatu karena sesungguhnya sudah tidak ada hal baru di dunia ini? Seperti misalnya saya yang menyukai foto-foto karya Alec Soth, seorang fotografer yang pernah memotret kamar tidur berbagai pasangan di kota New York. Dan ide tentang ruang personal itu saya “curi” dan modifikasi untuk proyek fotografi saya tentang ruang dan benda personal para peserta residensi di ARISAN. Mungkin sederhananya kita akan selalu terpengaruhi oleh sesuatu yang lain. Lalu bagaimana kalau sistem “mencuri” dan “distribusi” pengetahuan itu kita sistematiskan menjadi sesuatu hal seperti koperasi? Jika kebanyakan koperasi adalah menginvestasikan uang, bagaimana kalau koperasi ini menginvestasikan pengetahuan dan waktu? Karena menurut kami, waktu adalah satuan yang sesuai untuk mengukur penggunaan pengetahuan itu, bukan hanya uang.


Setelah berbagi ide ini kepada orang-orang lain di ARISAN dan banyak juga yang berniat untuk membentuk koperasi. Maka kami membentuk sebuah koperasi bernama CCC (Commons Credit Cooperativa), koperasi untuk mendukung produksi kreatif anggotanya. Dari kelompok lain, kami akhirnya juga memiliki lima proyek lain untuk presentasi publik nanti. Proyek itu adalah Arisan. Lib, usaha untuk mendirikan jaringan perpustakaan, Spirit Tenggara yang fokus pada pengolahan minuman hasil tani dan menciptakan lagu bersama, Trashsure; sebuah usaha pengolahan limba dari aktivitas kesenian menjadi instrumen musik, PusingPusing Soundsystem yang berupa panggung pertunjukkan keli ling di r u ang publi k Yog yakarta, dan Ke Sana Kemari; proyek fotografi dengan tema mobilitas. Karena sifatnya bebas untuk memilih proyek mana saja yang ingin diikuti, maka saya hanya memilih tiga proyek yaitu Koperasi CCC, Arisan. Lib, dan Ke Sana Kemari. Belakangan saya hanya aktif membantu Arisan.Lib dan proyek fotografi Ke Sana Kemari. Latar belakang Arisan. Lib sebenarnya adalah sebuah perpustakaan di Dili, Timor Leste karena Cio bercerita bahwa perpustakaan di Dili hanya ada di universitasuniversitas, jadi tidak semua orang bisa mengaksesnya. Cio ingin ada perpustakaan

alternatif juga di sana. Oleh k are n a itu c ap ai an aw a l untuk Arisan. Lib adalah mengumpu l kan b erb agai bacaan secara fisik dan digital untuk perpustakaan di Dili nanti. Bagi saya proses paling menyenangkan adalah ketika mengerjakan proyek fotografi. Selain saya senang memotret, tapi berkat proyek foto itu saya bisa menjadi lebih mengenal peserta residensi lain dan juga negara asal mereka. Saat tema mobilitas itu diberikan, saya sebenarnya berpikir untuk membicarakan soal “waktu”. Mungkin karena selama di kelompok dulu kami juga sering membicarakan waktu. Bagaimana waktu menjadi sesuatu yang “pasti” tapi juga relatif bagi setiap orang. Contohnya seperti satu jam menunggu sesuatu akan terasa berbeda dengan satu jam berbicara dengan orang yang disukai. Bagaimana orangorang senang membicarakan waktu yang lalu (masa lalu) dan bagaimana sekelompok orang memanfaatkan “masa lalu” menjadi produk industri seperti film, lagu, dsb. Waktu tiba-tiba menjadi sebuah diskursus yang menarik untuk dibicarakan dan bagi saya merupakan mobilitas yang pasti dimiliki semua orang. Hanya saja karena ini adalah proyek fotografi a r t i ny a s ay a h a r u s b i s a menampilkannya secara visual. Dan menampilkan “waktu” dalam bentuk visual sebenarnya adalah sebuah pekerjaan yang

ambisius karena itu terlalu abstrak. Dan entah kenapa saya lalu mengingat bagaimana hari-hari yang berlalu selalu saya catat di dalam sebuah buku diary. Dan buku itu saya bawa kemanapun saya pergi karena ternyata mencatat sesuatu hal bisa meringankan penyakit pelupa akut yang saya derita. Ketika saya membawa buku ke mana saja, kira-kira apa yang orang lain akan bawa ketika dia juga sedang berpergian? Dan ternyata pertanyaan itulah yang membuat saya berpikir untuk memotret personal belongings para peserta residensi ARISAN lain. Apalagi residensi sendiri adalah sebuah mobilisasi seseorang dari satu tempat (fisik/pikiran) ke tempat yang lain. Lalu saya memilih memotret kamar mereka karena saya ingin melihat bagaimana benda personal itu mereka tempatkan di dalam ruang personal mereka yaitu kamar tidur. Sebenarnya pengerjaan foto-foto saya sangat mudah. Saya hanya pergi ke ruang-ruang kolektif yang lain dan memotret kamar peserta residensi yang lain di sana, peserta residensi yang sudah sangat akrab dengan saya sehingga saya tidak perlu melakukan penyesuaian diri dengan mereka. Ketika saya berkunjung untuk memotret, saat itu juga saya mendengarkan alasan mereka tentang benda-benda yang mereka bawa itu. Dan seperti biasa pembicaraan mengalir kemanamana. Kami berbagi tentang perasaan homesick, ada yang 21/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


bercerita tentang pacar, tentang pemerintah yang membatasi, tentang kesulitan bahasa selama di Yogya, tentang rencana saat pulang nanti, dan tentang forum ARISAN itu sendiri. Bagi saya, bukan hanya hasil foto untuk dipamerkan yang menjadi penting, tapi proses seperti ini, proses berbagi cerita yang juga adalah makna fotografi sendiri bagi saya.

Pre s e nt a si P u b l i k , Evaluasi, dan Undian Terakhir. Presentasi publik berjalan dengan sangat menyenangkan. Waktu itu kami mengadakannya di Ace House Collective, Galeri Lorong, dan Ruang MES 56 (untuk pameran fotografi). Orang-orang yang berdatangan tidak hanya dari Indonesia saja, tapi juga berbagai orang dari luar negeri yang entah hanya sekadar berlibur di Yogya, residensi, ataupun sedang bersekolah. Berbicara dengan mereka juga menjadi sangat menarik karena perbedaan latar belakang budaya bisa menghasilkan pandanganpandangan yang baru dalam melihat karya. Setelah seminggu lebih memperkenalkan ARISAN pada orang-orang, kami akhirnya melakukan evaluasi untuk keseluruhan forum ARISAN. Untuk terakhir kalinya kami semua duduk dan membagi

22/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

kelompok lagi (host, fasilitator, tamu, dan p endamping). Masing-masing kelompok memb erikan e valuasinya terhadap ARISAN. Tentu saja ada banyak kekurangan karena selain dana program ARISAN ini yang mendadak cair dari Dinas Kebudayaan Yogyakarta sehingga semuanya merupakan sebuah “short notice”, pembentukan platform setingkat Asia Tenggara seperti ini juga adalah sesuatu yang pertama kali terjadi. Dan menurut saya ARISAN sudah mencapai tujuan utamanya yaitu membuka ruang pertemanan kolektif-kolektif seni di Asia Tenggara, walaupun belum semuanya. Tapi saya rasa itu hanya menyoal waktu untuk ruang pertemanan itu lebih meluas. Saya lebih suka menyebutnya “pertemanan” karena “networking” terasa terlalu formal untuk hubungan menyenangkan yang kami semua hasilkan di ARISAN. Lagipula hampir semua kolektif terbentuk karena atas dasar pertemanan. Arisan kalau dalam konteks budaya di Indonesia adalah sebuah ruang sosial yang dibentuk oleh sekelompok orang untuk melakukan semacam tabungan bersama (kebanyakan dalam bentuk uang). Sistemnya sangat sederhana, semua orang mengumpulkan uang dan seluruh uang itu nantinya akan diberikan kepada satu orang yang namanya keluar dalam

undian. Pertemuan diadakan dalam setiap rentan waktu tertentu sesuai kesepakatan, bi as any a s ebu l an s ek a l i. Namun yang membuat orangorang datang justru biasanya bukanlah karena uangnya, tapi karena ketika arisan kita bisa membahas tentang resep makanan terbaru, tentang gosip selebriti yang sedang cerai, tentang persoalan rumah tangga, atau kita hanya ingin sekadar bertemu dan berbicara dengan tetangga sekitar yang jarang kita lihat karena sibuk bekerja seharian. Setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari alasan mama saya sendiri masih mengikuti arisan. Lalu di ARISAN Tenggara kali ini kita mengganti posisi uang itu dengan kesempatan, kekuatan, ide, pengetahuan, pengalaman, dan pada akhirnya sebuah pertemanan. Kita mengundi kesempatan setiap orang untuk berbagi pengetahuan, pengalaman, dan ide mereka kepada satu sama lain. Kalau arisan yang seperti biasa juga sebenarnya adalah ruang sosial untuk bisa membahas berbagai hal, maka di ARISAN Tenggara kita juga membahas dan mendiskusikan tentang banyak hal untuk kemudian menggunakannya kembali menjadi berbagai bentuk karya. Tapi lebih dari pada itu, kami juga membentuk sebuah ruang baru bernama pertemanan.


NOTEBOOK IDR 10.000

PAKET T-SHIRT & TOTEBAG IDR 50.000

23/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Dokumentasi: Tanahindie

PERJALANAN KEES BUIJS DALAM AGAMA PRIBADI DAN MAGI DI MAMASA Wilda Yanti Salam Orang selalu mencari jalan untuk keluar dari kesulitan-kesulitan yang tak dapat dipecahkan dalam dunia mereka. Oleh karena itu, kita kemudian dapat masuk ke ranah agama, tempat orang mengarahkan perhatiannya ke dunia yang lain, di luar lingkungan kehidupannya sendiri. Sebagai sebuah agama pribadi, yang pada praktiknya mengarah pada pencarian berkat di dunia yang lain, di luar lingkungan kehidupan manusia itu sendiri, mengantarkan Kees Buijs pada pertemuannya dengan agama tradisional orang Toraja, yaitu alukta yang artinya ‘agama kami’. Hingga pertengahan abad kedua puluh, kebanyakan orang Toraja biasa menyebut agama 24/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

ini dengan aluk to yolo yang berarti ‘agama orang dulu’. Dalam perjalanannya, Kees Buijs, seorang antropolog sekaligus teolog asal Belanda mendefinisikan inti dari agama aluk to yolo sebagai suatu usaha untuk mencapai dunia lain, dunia Allah, dunia dewa-dewa, dewata, roh-roh, spirit-spirit, dan lain sebagainya, agar mendapat berkat dari sana. Berkat berupa kekuatan, pertolongan, hingga penghiburan. Perjalanan Kees di Mamasa, Sulawesi Barat dimulai sejak tahun 1978. Ia menyaksikan orangorang memakai batu yang di dalamnya dianggap memiliki kekuatan magis. Seperti kekuatan untuk


kekebalan hingga kekuatan untuk menghilang tak kasat mata. Kees Buijs heran karena s emua orang di Mamas a percaya akan hal itu, termasuk orang Kristen. Sedangkan, di Belanda hal semacam itu meruan sesuatu yang dianggap aneh. Hal tersebut membuat Kees mulai tertarik untuk mencari tahu lebih jauh. Awalnya, saat Kees Buijs mulai mencari tahu lebih jauh tentang Agama Pribadi dan Magi, masyarakat Mamasa belum terlalu “membuka dir i” untu k memb er i kan Kees informasi. Meskipun demikian, ia tetap berupaya mengumpulkan data dari ucapan-ucapan, hingga lakon keseharian masyarakat di Mamasa. Secara bersamaan, Kees sibuk belajar bahasa Indonesia dan berjalan ratusan kilometer untuk berkenalan dengan para jemaat gereja di seluruh daerah Mamasa. Kees meyaksikan banyak kebudayaan yang membuatnya semakin tertarik, salah satunya tentang orangorang yang memakai batu yang di dalamnya memiliki kekuatan magis. Pernah sekali waktu, ketika Kees sedang khutbah di mimbar gereja, ia bertanya kepada jemaatnya, “aah masih ada di antara mereka yang memakai jimat dan batu?”, namun tidak ada yang mengaku. Para jemaat mengatakan bahwa hal ini sudah lama ditinggalkan, lantaran sudah menganut agama Kristen.

Rencana Kees membuat buku Agama Pribadi & Magi berawal dari perjumpaannya dengan Bapak Bongga Barana’, salah satu warga Mamasa yang masih menganut aluk to yolo. Bapak Bongga Barana’ memperlihatkan Kees perapian dengan tiga buah batu untuk memasak dan dua batu khusus untuk persembahan yang setiap saat ia “bawakan” untuk anakanaknya, keluarganya hingga masyarakat umum. Sejak itu, Kees berpikir b a hw a i n i a d a l a h s u at u keistimewaan. Sebelumnya, ia tidak tahu, ternyata di luar upacara-upacara resmi yang diikuti oleh masyarakat dulu, ada juga agama yang dihayati dan dilakukan secara pribadi. Lima tahun tinggal di Mamasa, istri Kees melahirkan dua orang anak. Setelah itu ia pulang ke kampung halamannya di Belanda dan kembali menjadi pendeta di sana. Waktu b erlalu dan ia diminta untuk kembali ke Mamasa. Kees menerima permintaan tersebut, k at any a s ek a l i g us u ntu k m e mp e r k e n a l k a n k e d u a anaknya dengan tanah airnya. Setelah kembali ke Mamasa, ia heran, masyarakat sudah mulai terbuka dan bersedia memberikannya informasi. Semua informasi itu kembali d i ku mpu l k an ny a . Te t api kesibukannya menjadi pendeta yang harus mengurusi jemaat yang sangat banyak, membuat penelitiannya terbengkalai. “Sampai datang seorang dosen dengan dua orang

mahasiswanya melakukan praktek dan penelitian skripsi di Mamasa. Semua informasi yang pernah saya kumpulkan seperti datang lagi dan dalam diri saya, saya kembali bersemangat,” jelas Kees. Di waktu lain, Kees juga berjumpa dengan salah satu orang dari keluarga bangsawan di Mamasa, yaitu Nicodemus, yang juga tertarik dengan penelitian yang dilakukan oleh Kees. Nicodemus berkenalan baik dengan banyak orangtua di Mamasa, dan hal ini memberi sedikit kemudahan bagi Kees dalam mencari informasi. Pada waktu itu, selain meneliti perihal magi, berupa kekuatan magis dari batu-batu hingga ucapan-ucapan, Kees juga menyaksikan laku Bapak Bongga Barana’ dan penganut aluk to yolo’ lainnya dalam mempraktikkan agama pribadi. Bagi Kees, pemakaian jimat berupa batu-batuan yang diai oleh manusia, dan dianggap memiliki kekuatan magis untuk meminta semacam berkat dari dunia ‘di seberang’, juga meruan inti dari Agama Pribadi. Lebih lanjut, berkat itu diperoleh dari dewa-dewa untuk memberi kekuatan pada jimat yang diai, yang disimpan di bawah kulit, atau kadang yang ditelan. Dalam diskusi buku Agama Pribadi & Magi yang berlangsung di Kampung Buku, November 2018 lalu, yang dihadiri oleh puluhan peserta dari mahasiswa, aktivis, hingga dosen ini. Salah satu pembicara, Aslan Abidin, sastrawan sekaligus dosen di 25/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Universitas Negeri Makassar ini, mengurai pengalaman dan pengetahuannya terkait berbagai bentuk kebudayaan di masyarakat Sulawesi Selatan, kemudian mencoba menghubungkan bentuk serupa yang disajikan Kees Buijs dalam buku keduanya ini. Bagi Aslan Abidin, buku ini menambah khasanah pemikiran terkait kebudayaan yang pernah terjadi di masyarakat Mamasa sekaligus di masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya. Aslan mengatakan bahwa, buku ini menjadi penting, terutama bagi kalangan masyarakat yang tidak hidup dalam situasi tersebut, situasi yang tidak kita alami karena kita ‘direbut’ oleh sekolah. “Sehingga, kita justru mendapatkan pengetahuan tentang masyarakat bugis pada khususnya dari buku-buku yang ditulis oleh para peneliti dari luar negeri,” lanjut Aslan Abidin. Aslan Abidin yang meruan orang Bugis, menemukan b any a k ke s am a an ant ar a ritual-ritual yang terjadi di masyarakat Mamasa dengan ritual pada masyarakat Bugis. Misalnya, ritual kurban darah atau maccera, yang dengan tegas dijelaskan bahwa itu bukan hanya darah atau formula magis, namun juga jiwa hewan yang dikurbankan adalah kendaraan bagi jiwa si mati dalam upacara penguburan. Aslan melanjutkan bahwa, bukan hanya di masyarakat Bugis, pola beragama di berbagai daerah di Sulawesi Selatan juga tidak jauh berbeda. Seperti di 26/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Bantaeng dan Selayar, model penguburan yang dilakukan mirip dengan yang dilakukan di Toraja, yakni disimpan di dungi atau di letakkan di celahcelah gua. Hal yang juga menarik bagi Aslan adalah banyak mantra dalam buku ini yang terpengaruh oleh bahasa Arab. Dalam buku ini juga dituliskan bahwa ini terjadi karena persentuhan orangorang Mamasa dengan Mandar yang lebih dulu terpengaruh Islam. Bagi Aslan, dalam suku Bugis, ilmu yang dituntut oleh para cendekiawan dulu bukan ilmu sekolah seperti sekarang, melainkan , ritual dan mantra-mantra atau dikenal dengan istilah ilmu baca-baca atau Paddisengeng. Dalam

pengertian lain, anak muda berguru ke tabib atau ‘orang pintar’. Kemudian, ilmunya akan diwariskan lagi ke generasi berikutnya. Aslan kemudian menambahkan bahwa yang menarik adalah agama pribadi ataupun agama lain yang hadir di masyarakat terdahulu, diseati secara lisan. Tidak ada panduan umum yang dipedomani secara jelas, lalu selanjutnya ditafsir. Kemudian melanjutkan dengan pertanyaan, “bagaimana para penganut agama pribadi dan magi, aah pernah terjadi konfik berupa perbedaan paham antar mereka?”. Kees meresponsnya dengan mengatakan bahwa, hal itu mungkin saja terjadi. Ia sendiri belum pernah mendapatinya langsung hingga hari ini. Kees


Dokumentasi: Tanahindie

"

juga tidak pernah mendengar di antara penganut aluk to yolo melakukan perselisihan atau berkelahi. Kemungkinan lain, karena ia melakukan penelitian di daerah Balla dan Rantai Buda, yang menurut Kees masyarakatnya kom. Kees juga bercerita bahwa sebelum ia dan rombongannya tiba di Mamasa, lebih dulu telah datang orang Belanda yang bekerja sama dengan pemimpin-pemimpin gereja, yang hendak 'memberantas' semua unsur agama terdahulu. Hal ini juga menyebabkan banyak pemimpin gereja takut berbicara soal itu karena dianggap mengerdilkan agama terdahulu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk dan sering disematkan kata kafir. Lain halnya dengan Kees,

yang menganggap Agama Pribadi dan Magi ini sebagai sesuatu hal yang baik dan m e r u an s e bu a h w ar i s an yang dapat dijadikan bahan pelajaran. “Tidak apa-apa jika kita menganut agama lain, tapi jangan sekali-kali kita memperkecil, menghilangkan, atau mengotori apa yang ada, padahal ini sangat kaya.� Dalam perjalanan Kees s elama di Mamas a, para pemimpin gereja mengetahui bahwa Kees berminat memperlajari Agama Pribadi dan Magi, dan ternyata tidak ada pemimpin gereja yang keberatan dengan hal tersebut. Justru ia mendengar mereka seat bahwa sebagian latar belakang kebudayaan memang perlu ditulis dan menjadi buku. Kees juga tidak memungkiri

...yang menarik adalah agama pribadi ataupun a g a m a l a i n ya n g hadir di masyarakat terdahulu, disepakati secara lisan. Tidak ada panduan umum yang dipedomani secara jelas, lalu selanjutnya di tafsir." - Aslan Abidin

27/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


28/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

melalui “darah” kepada dewata untuk dapat berkat. “Saya pikir hari berikutnya dia duduk di muka majelis dengan khutbah dari Al-Kitab dan minggu itu dapat berkat dari dewata. Tapi saya tidak akan menghakimi hal tersebut karena saya hanya melihat apa yang terjadi dalam kacamata antropolog, dan di waktu lainnya sebagai teolog,” ujar Kees. Saat sesi pertanyaan diskusi dibuka, salah satu peserta bernama Agung, pemuda asal Mamasa mengucapkan terima kasih terlebih dahulu kepada Kees, yang telah berupaya menuliskan literatur tentang budaya dan tradisi masyarakat Mamasa, yang merupakan kampung halamannya. Agung melanjutkan dengan bercerita, saat ia masih bersekolah dulu di Mamasa, ia sering meminta neneknya untuk mengajarkan mantra untuknya. Jangankan Agung, ayahnya pun tidak diajarkan m a n t r a o l e h n e n e k ny a . Neneknya pun berkata bahwa mantra atau jimat tidak diberi ke sembarang orang. Pun jika ada yang diberi, itu di waktu tertentu. Salah satu persyaratannya jika mantra itu ingin “diturunkan” ke seseorang mesti menyembelih ayam merah, kata Agung. Pemuda berambut g on d ron g i n i k e mu d i a n penasaran, “bagaimana Kees mengumpulkan informasi dengan begitu detail terkait mantra dan jimat-jimat, yang baginya hal tersebut sangat sulit diberikan termasuk dari nenek

"

adanya ketegangan antara penganut agama Kristen dan penganut aluk to yolo. Banyak orangtua penganut aluk to yolo yang masih hidup, mengeluh bahwa mereka takut karena agama baru masuk, kualitas sifat orang-orang menurun. Ditandai dengan korupsi yang terjadi di mana-mana, acuh kepada orang lain, hingga orangtua yang tidak lagi mendidik anaknya dengan baik. Namun, Kees tidak tahu apakah semua itu benar terjadi. Tetapi, ketakutan itu masih ada hingga hari ini, terangnya. Namun, selama melakukan penelitian, Kees mendapat ke s an b a hw a p e r b e d a an agama Kristen dan aluk to yolo tidak terlalu mendalam. Kesan ini didapatkan dari Bapak Depparinding, paman Nicodemus, yang awalnya menganut aluk to yolo, lalu belakangan menganut Agama Kristen. Perbedaan antara agama Kristen dan aluk to yolo yang tidak terlalu mendalam, yang dimaksud Kees, dibuktikan ketika Ia menghadiri sebuah upacara, Ia mendapati seorang bapak yang merupakan seorang majelis gereja duduk di dapur, lalu seorang to burake menaruh darah dari babi di tangannya. Praktik ini sebagai wujud untuk mendapatkan berkat dari dunia lain yang merupakan bagian dari kepercayaan aluk to yolo. Menurutnya, jika memang hal tersebut bertentangan dengan agamanya, tentu tidak dilakukan. Namun, rupanya tidak, karena ini semacam doa

Kees juga tidak memungkiri adanya ketegangan antara penganut agama Kristen dan penganut aluk to yolo. Banyak orangtua penganut aluk to yolo yang masih hidup, mengeluh bahwa mereka takut karena agama baru masuk, kualitas sifat orangorang menurun.


ke anak atau cucunya?� Aslan lalu menyela dengan s ebu a h p e r t any a an y ang berhubungan. Menurutnya, untuk mendapatkan mantra tersebut kita harus berkurban. Namun, dalam buku yang ditulis Kees, tidak ada cerita menyoal kurban tersebut. Ternyata, Kees pernah sekali melakukan kurban. Ia dibantu oleh seorang bapak di Mamasa

yang istrinya seorang to burake. Kees tidak tau pasti bagaimana rincian kurban tersebut, tetapi ia mendengar bahwa memang harus mengurbankan ayam merah seperti yang Agung sebelumnya katakan. Ayam merah melambangkan keberanian dan kekebalan. Dalam buku Kees menyebutkan bahwa, p enyer a han j ampi -j ampi

tidak boleh dilakukan begitu saja, sebab menjadi semacam penghinaan kepada dewa-dewa yang pernah memberikannya. Jampi-jampi sangat berharga; karena itu harus dimengerti sebagai pemberian dari dunia dewa-dewa. 1

1 Kees Buijs, “Batu dan Jampi�, Agama Pribadi dan Magi, (2017:149)

Dokumentasi: Tanahindie

29/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


“Maaf kepada semua orang Toraja dan Mamasa yang tidak bersepakat, tetapi apa boleh buat buku ini sudah dicetak,” tegas Kees yang membuat semua peserta diskusi tertawa. Saat hendak menyusun buku ini, ia dilema dan menimbang cukup lama tentang semua mantra, yang sifatnya rahasia itu sebaiknya dimasukkan ke dalam buku atau tidak. Ke es k hawat ir p ara “orangtua” akan marah, karena ada kemungkinan mantra tersebut akan disalahgunakan oleh orang yang tak bertanggungjawab. Namun, meli hat kondisi p emud a sekarang yang rata-rata telah mengenyam pendidikan, tentu hal ini sudah tidak mungkin lagi mereka percaya dan lakukan. Jika mantra-mantra sakral tersebut tidak dimasukkan dalam buku Agama Pribadi & Magi, ia menganggap hal itu sebagai sebuah kekosongan. Kekhawatiran lain adalah, mantra-mantra tersebut bisa saja tenggelam, hilang dan tidak ada lagi yang mengetahuinya. Keputusan menuliskanya tentu lebih baik, sekaligus untuk menyimpan sejarah, jelas Kees. Agung kembali menimpali dengan sebuah kisah tentang neneknya yang diajak untuk menganut agama Kristen. Awalnya neneknya menolak. Ia berdalih akan masuk Kristen kelak, saat ia akan meninggal dunia. Benar saja, enam bulan setelah menganut Kristen, Nenek Agung meninggal dalam keadaan sehat dan

30/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

sedang duduk di dapurnya. Menurut Agung, memang ada kepercayaan tersendiri yang dibawa oleh para orangtua yang menganut kepercayaan tersebut dan mereka punya cara tersendiri. Sesuatu itu seperti menyatu dengan mereka. Namu n , Ag u ng ju g a membenarkan asumsi Kees bahwa, ternyata memang sudah jarang yang mengetahui dan mempelajari hal ini, bahkan bapaknya sendiri. “Ini juga karena nenek memang tidak mau memberikan mantra ke sembarang orang. Orangtua dulu juga bilang kalau mantra dan baca-baca ini tidak akan mempan jika dipakai sama orang yang tidak percaya dan tidak menjadi bagian dari masyarakat tersebut.” Perbincangan semakin mengalir dan mendalam. Pertanyaan menarik kembali datang dari Aslan Abidin. Ia bertanya bagaimana seorang penganut aluk to yolo, yang tidak memiliki konsep neraka, menerima sebuah agama yang memiliki konsep tersebut. Bagi Aslan itu adalah sesuatu yang berisiko. Namun, bagi Kees, konsep surga dan neraka di dalam b anya k agama, hanya la h simbol. “Sampai hari ini, tidak pernah ada orang di dunia yang mengetahui seperti apa surga dan neraka itu. Simbol ini juga sebetulnya ada di aluk to yolo, namanya kalondong, dunia orang mati. Di dunia orang mati mereka melanjutkan hidup seperti di dunia. Mereka

tinggal di rumah, di kebun, di sawah, dan di manapun mereka inginkan.” Aslan kemudian menambahkan bahwa, di masyarakat Bugis juga seperti itu. Untuk keluarga yang telah meninggal, ia dianggap masih bisa makan dan berbahagia seperti manusia yang hidup. S e p e r t i m i s a l ny a k e t i k a diadakan pesta, mereka yang telah mati ini juga diberi makan, karena seolah-olah mereka mampu dan bisa memakannya. Berbeda dengan Aslan, bagi Ian, salah satu peserta diskusi yang juga berasal dari Mamasa. Mengatakan bahwa terdapat beberapa konflik di dalam buku ini perihal bahasa, letak geografis, juga pemerintahan. Berdasarkan pengalaman dan referensi yang ia kumpulkan dari nenek-neneknya, saat ini, Mamasa sudah dibagi menjadi tiga wilayah. Wilayah satu, dua, dan tiga. Hal ini menyebabkan adanya perbedaan dalam hal bahasa. Ada juga beberapa hal terkait ritus agama pribadi di Mamasa yang tidak Ian dapati dalam buku ini. Ia bertanya,“apa landasan Kees membuat sebuah buku dengan judul Agama Pribadi & Magi, sedangkan ia hanya mengangkat satu agama saja yakni aluk to yolo?”. Kees menjawabnya, dengan menyadari bahwa wilayah dan kebudayaan di Mamasa sangat luas. Ia hanya mengisahkan sedikit dari apa yang ada. Banyak sekali perbedaan dan


versi dari berbagai daerah. Ia tidak mampu menuliskan semuanya. Tetapi, ia mencoba mengklarifikasi sebagian dari perbedaan-perbedaan tersebut. “Di buku ini, saya memberikan latar belakang kebudayaan yang berhubungan dengan agama. Selain yang saya tulis, masih sangat banyak upacara dan kebudayaan, jika saya diberi kesempatan untuk hidup tiga kali, mungkin saya akan menuangkan semua hal tersebut ke dalam buku,” lanjut Kees. Salah satu peserta diskusi lainnya, Hasyim, kemudian bertanya, “jika agama selalu dikaitkan dengan kolektifitas, mana yang sebenarnya lebih dulu hadir dan memengaruhi, kolektifitas yang masuk ke ranah personal atau sebaliknya?” Menurut Kees, pertanyaan tersebut sangat menarik. Ia segera menjawab agar tidak lupa dengan menjelaskan beberapa pendapat antropolog yang pernah mengajarnya. Menurutnya, hampir semua orang tidak pernah benar-benar berdiri sendiri di dunia ini. Pun tidak ada orang yang tidak hidup dan bergabung dalam

sebuah kolektifitas, karena kolektifitas sangatlah penting. “Setiap orang juga akan ikut dengan apa yang dilakukan di dalam kolektifitasnya. Termasuk agama pribadi dan magi, ia hanya akan tumbuh di masyarakat yang memercayai itu. Walaupun individu dalam kolektifitas lain tidak percaya dan menganggap ini sesuatu yang aneh dan mustahil. Saya sendiri lahir di Kristen, sehingga menjadi Kristen, dan seterusnya. Jadi, itu membuktikan kolektifitas itu lebih dulu dari individu,” jelas Kees. “Namun, ada kalanya individu mampu berfikir terus menerus dan berupaya hing ga meng ga li s ega l agalanya. Sehingga, terdapat kemungkinan individu keluar dari kolektifitasnya lalu masuk ke kolektifitas yang lain. Anak muda sangat penting untuk melakukan ini, untuk melihat kolektifitas tempatnya berada, sudah benar dan cocok dengannya,” tambah Kees. Hasyim kembali melanjutkan pertanyaannya perihal, “bagaimana mengonstruksi bahasa magi

menj adi b a has a re a lit as. Bahasa akan menjadi laku. Ada ruang keseharian yang dikonstruk menjadi bahasa mantra yang punya hubungan vertikal dengan kedewaan dan keilahian. Kata yang disebut dalam mantra itu sederhana, bagaimana mungkin itu bisa punya kekuatan?” Kees memberi jawaban dari pengalamannya tentang keheranan yang ia alami sebelumnya yaitu, mantra dari urutan kata dan bunyi yang terlihat sederhana, dianggap mampu memberi kekuatan untuk mengungkap sesuatu. Keheranan yang dimaksud karena bahasa Mamasa bukanlah bahasanya. Maka dari itu, kekuatan tersebut tidak bisa ia rasakan. Perjalanan Kees Buijs dalam menelusuri Agama Pribadi & Magi di Mamasa, b a g i ny a b ar u l a h s e bu a h permulaan. Ia mengingatkan kepada kita semua untuk terus belajar dan melanjutkan dan mengembangkan penelitian yang telah dilakukannya, khususnya, bagi anak-anak muda yang tinggal di Mamasa.

31/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Love is an Open Door Aziziah Diah Aprilya

Proyek fotografi "Ke sana Ke mari"; ARISAN: South East Asia Forum 2018

Bagiku residensi adalah mengalami ruang yang berbeda dari ruang yang dulu menjadi rutinitas kita. Entah itu ruang secara fisik ataupun secara pikiran. Residensi menawarkan pengalaman baru yang mungkin bisa membawamu melihat sesuatu lebih berbeda dari sebelumnya. Tapi membawa diri kepada sesuatu yang baru tentu tidak bisa membuat hal-hal yang sudah ada di dalam diri kita sebelumnya terlepas. Mungkin karena manusia terdiri dari bagian-bagian masa. Ada hal-hal dari berbagai masa yang ikut terbawa ketika mengalami ruang yang baru itu. Hal itu mungkin begitu besar tapi dia bisa saja hadir di sesuatu yang lebih sederhana dan kecil. Sesuatu yang bagi orang lain mungkin tidak penting bahkan sama sekali tidak berarti apa-apa, tapi untuk kita, dia telah menjadi bagian dari diri yang kadang hanya dimengerti oleh kita. Dan mungkin cukup oleh kita. Walaupun kadang hal-hal kecil itu bisa bercerita banyak soal pemiliknya juga.

32/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


“Aku membawa selimut biru ini jika harus berpergian jauh. Selimut ini sudah bersamaku sejak sembilan tahun yang lalu. Aku mendapatkannya ketika bersekolah di asrama dulu. Tinggal di asrama begitu menyenangkan karena kamu bisa hidup bersama teman-temanmu” - Pakchira Chartpanyawut, Bangkok.

“Batu-batu krystal ini selalu kubawa kemana-mana setiap hari. Aku percaya batu-batu ini bisa memberikan sebuah kekuatan kepada orang yang membawanya. Ada batu yang kubawa ketika aku akan tampil, batu yang kubawa ketika aku menstruasi, batu yang kubawa ketika aku perlu berbicara, ya aku membawa batu tergantung kondisi yang kuinginkan di hari itu” - Alyana Cabral, Manila.

2. Alyana Cabral

33/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


“ S e b e l u m ke s i n i , a k u mengecek beberapa drawing pen yang tintanya sudah mau habis dan membeli yang baru. Aku selalu membawa berbagai macam drawing pen karena aku merasa harus menggambar tiap hari. Bagiku menggambar adalah terapi” - Amir Syafiq Bin Ahamad Kamal, Kuala Lumpur.

“Jam tangan itu saya bawa karena diberi dari ibu saya. Ketika saya ke luar jam tangan itu menemani di tempat manapun s a y a b e r a d a” – A r m i n d o Fernandes de Carvalho, Dili.

34/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


“Saya membawa kamera agar kamera ini bisa menghasilkan karya ketika di Jogja sini. Nanti ketika pulang saya bisa memperlihatkan kepada Rekreatif apa yang sudah saya buat dan mencoba membuat karya bersama mereka” - Acacio Pinto, Dili. “Laptop ini adalah laptop pertama saya sejak kelas tiga SMP. Kalau kemana-mana saya pasti membawa laptop ini. Di dalamnya ada berbagai file dokumentasi ritual-ritual di Dili. Bagi saya mendokumentasi ritual itu sangat penting agar ritual itu tidak dilupakan oleh orang-orang” –Silvestre Pires Castro, Dili.

“Menulis diary bagi saya adalah hadiah kecil di tiap malam sebelum tidur. Di sana saya boleh menjadi betul-betul apa adanya, di sana saya bertemu dengan diri saya yang lebih jujur. Tapi saya mulai berhenti menulis di tiap malam saja. Kini kapanpun saya mau menulis diary, saya akan tulis. Agar mungkin saya tahu bahwa saya tidak boleh hanya menjadi apa adanya pada malam hari saja. Makanya saya bawa buku diary itu kemana-mana” –Aziziah Diah Aprilya, Makassar.

35/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


MEMBIASAKAN KOPI

Foto: Fauzan Al Ayyuby

Fauzan Al Ayyuby

“Tidak ada kopi yang tidak enak. Semua kopi pasti ketemu pasangan lidahnya masing-masing.” – Sulkifli Karnawi, penyeduh kopi di Kedai Geraderi Kampung Buku

Sejarah kopi di Indonesia, kebanyakan dimulai dari masuknya Belanda ke Indonesia. Tentunya, tetap saja kopi pada masa awal tidak begitu akrab dengan lidah orang Indonesia. Tetapi ketidakakraban itu memengaruhi budaya ngopi di Indonesia. Sulkifli, penyeduh kopi di Kedai Geraderi Kampung Buku bercerita, budaya meminum kopi secara garis besar terbagi menjadi dua: pesisir dan pegunungan. Di wilayah pesisir, daerah pelabuhan, budaya ngopi dipengaruhi besar oleh kehadiran Cina di Indonesia. Budaya Cina yang lebih kepada budaya ngeteh, diapatasi 36/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

ke kopi dengan cara disaring menggunakan kain belacu. Ini dilakukan, agar kopi yang diseduh tidak memiliki ampas, seperti cara orang Cina menyeduhkan teh. Kopi tanpa ampas awalnya banyak didapati pada daerah sekitar pelabuhan. Kemudian merangsek masuk ke dalam kota dengan konsep warung kopi (warkop). Seperti kopi pada banyak warkop di Kota Makassar, salah satu kota pelabuhan yang disebut-sebut sebagai gerbang Indonesia bagian timur. Beda dengan budaya ngopi di pesisir, kota pelabuhan, daerah pegunungan tidak dipengaruhi


oleh budaya ngeteh orang Cina. Lebih sederhana, budaya ngopi di daerah pegunungan cenderung langsung mencampur kopi dengan air panas. Istilah yang kita kenal dengan kopi tubruk. Kopi tubruk dengan kopi saring ala Cina, berbeda pada intensitas rasa pahit kopi yang diseduhkan. Perbedaan ini disebabkan oleh metode ‘disaring’ dan ‘dilarutkan’. Disaring tidak lebih pahit karena tidak terendam s empurna b ersama kopi. Sedangkan dilarutkan, kopi melebur bersama air panas tanpa proses pemisahan ampas dan cairan.

Pengalaman Ngopi Ngopi Pengalaman

Kopi d i w ar u ng kopi y ang bi a s a s ay a te mp at i seperti yang diceritakan oleh Ippi, disaring menggunakan kain belacu hingga tak menyisakan ampas. Rasanya pun asam, tidak pahit.

Ke m u n c u l a n k a f e d i Makassar, menawarkan cara seduh yang lain. Tidak lagi dengan kain belacu, kopi diseduh dengan berbagai macam metode: drip, french press, pour over, aero press, espresso, syphon, dan lainnya. Merasakan kopi yang diseduh ala kafe pertama kali justru saya alami tidak di kafe. Di Kampung Buku tepatnya. Seorang kawan, Rumi, ketika itu membawa alat seduh vietnam drip. Ketika itu saya keranjingan menggiling kopi sebelum diletakkan pada alat berwarna abu-abu itu. Dengan susu yang ditakar seenaknya di gelas, saya menikmati tetesan kopi yang jatuh ke susu seperti hujan dengan tempo yang lambat. Ada rasa pahit di lidah yang lama. Sebelum mengaduk kopi yang di bawahnya sudah diletakkan susu, saya selalu mengambil sendok untuk mencicipi kopinya terlebih d a hu lu . Ke bi a s a a n y a n g

masih saya lakukan sampai sekarang. Tidak tahu kenapa, saya menikmati kebiasaan ini. Bukan untuk merasakan aroma dan tingkat kepahatian/ keasamannya, yah. Saya tidak punya alasan seperti itu. Akhirnya, tiap kali ke kafe, pilihan saya jatuh pada vietnam drip. Ketika bulan Desember 2017, saya pulang ke Nabire, Papua. Di sana bisnis kopi sedang naik daun. Saya sempat menuliskannya dalam blog saya (www.brochank. wordpress.com) dengan judul “Dari Jalan Menuju Kafe”. Saya mulai akrab dengan kafe sejak di Nabire, Papua. Saya pun sempat belajar pada seorang barista di sana. Tapi sekadar ingin mengetahui bagaimana kopi disajikan dari biji hingga larut bersama air dalam gelas. Atau juga, sekadar bisa berfoto dan mengunggahnya ke sosial media. Seperti alasan beberapa anak muda di Nabire menurut seorang pemilik kafe, yang

Foto: Fauzan Al Ayyuby

37/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


mengunjungi kafe untuk mencari ‘gambar bagus’, lalu diunggah ke sosial media. D ar i k afe d i Na bi re , pengalaman saya menikmati kopi berlanjut di Makassar tepatnya di Kampung Buku lagi. Tanggal 26 April 2018, Kedai Geraderi, milik Ippi, sudah beroperasi di Kampung Buku. Sejak itu saya mulai menikmati vietnam drip seduhan Ippi, si peracik yang selalu mempertanyakan dan mencari takaran yang cocok dengan lidah kita. Hal itu diakui Ippi sebagai ‘cara belajar’ mencari takaran kopi yang pas, walaupun tidak semua orang punya rasa yang sama. Menariknya, Ippi meracik takaran berbeda untuk setiap awak Kampung Buku yang sehari-hari menikmati kopinya. Persoalan rasa, menurutnya, barista hanya punya kendali 10 persen saja. Lima puluh p ers en ditentukan oleh petani yang menanam, merawat, hingga mengolah bijinya. Sedangkan 40 persen, juga ditentukan oleh roasters (penyangrai), dari cara mengolah ulang, mencari potensi kopi yang tidak dilihat oleh petani, sampai mencari rasa kopi baru. Dari roasters juga, kata Ippi, kopi dipahitkan untuk kebutuhan kafein. Selain kebutuhan kafein, kopi ini kemudian bisa diolah menjadi milk based (campuran susu). 38/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


“Karena kata orang, apa-apa yang kena susu pasti enak,” kata Ippi. Susu kemudian juga bisa menjelma menjadi penyamar di balik rasa kopi yang tidak 'diolah dengan baik'. Hampir setiap hari saya b erbinc ang dengan Ippi. Lebih sering tentang hal-hal keseharian yang kami dapati. Tapi b eb erap a ka li kami berbincang soal kopi. Ia banyak bercerita soal sejarah kopi. Dari penuturannya, saya mengetahui b a hwa amer icano adalah kopi espresso yang diberi nama karena tentara Amerika yang tidak terbiasa dengan pahit, sehingga menambahkan air. Sedangkan di Australia, americano diberi nama long black. Espresso dari cerita Ippi kemudian saya ketahui bahwa ditemukan karena bos pabrik bernama Luigi Bezzera yang jengkel melihat lamanya anak buahnya menghabiskan waktu untuk ngopi. Sehingga bos pabrik itu mencari cara untuk menghasilkan kopi dengan takaran kafein yang sama, tapi bisa diminum dengan cepat. Akhirnya, setelah berbincang dengan seorang insinyur, mesin espresso dibuat. Ia juga pernah bercerita soal pengalamannya menjadi barista rumahan. Pengalaman i n i i a c e r it a k a n s e b a g a i kesukaannya pada kopi dan ingin menyebarluaskannya. Menjadi barista rumahan, menurutnya semacam menjadi

‘pengiklan’ dengan cara-cara pergaulan seperti biasa. Hanya saja, ketika nongkrong, ia segera menyeduhkan kopi dari alat-alat yang biasa dipakai di kafe untuk menyeduhkan kopi. ‘Home brewing’ istilahnya, kata Ippi. Dari ‘home brewing’ Ippi ingin melebarkan sayapnya dengan membuat Kopling (kopi keliling) yang ia barengi dengan perpustakaan. Tetapi pertemuannya dengan Kampung Buku kemudian memantapkan niatnya untuk menyeduh-kenalkan kopi pada khalayak lewat rumah, mengingat Kampung Buku adalah perpustakaan publik yang berlokasi di halaman rumah. Menyeduh kopi di halaman rumah, dikatakan oleh Ippi sebagai cara untuk ‘membiasakan kopi’ kembali. Ia ingin kopi bisa dinikmati oleh semua orang. Menurutnya, kehadiran kafe acapkali terkesan eksklusif dan menghadirkan jarak. Untuk sekadar ngopi saja, menurutnya, tidak harus dekoratif. “Padahal, untuk ngopi ji ini,” tuturnya.

Bertemu Kopling (kopi keliling) Pemandangan sore hari (4 Januari 2019) di depan Kampus STMIK Akba tidak seperti biasanya. Tidak dengan pandangan kosong, orang lalulalang begitu saja. Di depan

Foto: Fauzan Al Ayyuby

39/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


kampus yang didominasi warna merah itu, terparkir sebuah vespa tahun 80-an berwarna hitam dengan alat membuat kopi di atas boks berwarna cokelat, di jok belakang. Di belakang vespa itu, sebuah karpet merah berukuran dua kali dua meter digelar. Di atasnya, bukubuku diletakkan. Beberapa orang sedang membaca buku. Lainnya, sedang menikmati minuman yang dijual-jajakan menggunakan vespa berwarna hitam itu. Saya singgah untuk mencicipi segelas vietnam drip yang dijual dengan harga sepuluh ribu rupiah. Atta Azis dan Muhammad Ibrahim adalah dua orang yang menginiasi hadirnya Muskoff. Atta dan Baim, sapaan akrab keduanya, punya perawakan yang sama: gondrong. Ketika duduk di kerumunan itu, seorang pria paruh baya selesai dengan kopinya. Ketika

ia menanyakan harga pada Atta, dengan dua tangan seperti hendak mendorong mengatakan, “jangan mi, pak.” Te t a p i s e g e r a d i b a l a s oleh orang tua itu sembari memisahkan lembaran uang dan menyodorkannya, “awwah. sepuluh ribu nah.” Atta tak kalah lincah. Ia segera merogoh sakunya lalu mengambil uang lima ribu, “lima ribu mo pale’, om.” Lelaki itu tak bisa menghindari uang lima ribu yang diletakkan di tangannya. Lelaki paruh baya itu kemudian melaju dengan vespa miliknya. Sepertinya saya berada pada satu kawanan yang punya solidaritas tinggi. Kopi keliling ini, hari itu sedang bekerja sama dengan Taman Baca Vrede. Sebuah taman baca yang namanya diambil dari bahasa Belanda yang berarti damai. Seperti Taman Baca Vrede, Muskoff mengadopsi bahasa Belanda “koffiee” yang berarti kopi.

Foto: Fauzan Al Ayyuby

40/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Menurut Atta, pemilihan nama ini sebagai bentuk terima kasih karena sudah memperkenalkan kopi sampai ke Indonesia. Untuk menambah cita rasa lokal, Atta dan Baim meletakkan bahasa Makassar, Mu’mus yang artinya seruput, dipadankan dengan bahasa Belanda “koffiee” yang artinya kopi, menjelma singkatan Muskoff yang menjadi nama dari kopi keliling itu. Di lokasi kopi keliling itu, saya melihat orang-orang yang lewat pun merasakan ketidakbiasaan itu. Hadirnya Muskoff menjadi perhatian para pengendara yang lamat-lamat membaca tulisan di papan tulis dari tripleks yang dicat hitam. Belum lagi tumpukan buku di atas karpet merah yang

Foto: Fauzan Al Ayyuby


bertemu pembacanya. Kopi dan buku memang seringkali dikaitkan. Seperti piring dan sendok makan. Bau khas yang menyeruak dari selokan tidak begitu m e n g g a n g g u . Pa s a l ny a , hari itu kami larut dengan obrolan-obrolan ringan seputar keseharian, atau fenomena yang ada di sekitar. Setelah Atta dengan cekatan mengolah bi a n g k o pi d a l a m h an d press lalu menyeduhkannya pada seorang pelanggan yang singgah, kami bercerita tentang kopi keliling ini. C e r it a k am i d i mu l ai dengan harga modal kopi keliling itu. Baim mengatakan bahwa modal awal Muskoff sekisar tiga jutaan. Ia dan Atta memodalinya dengan harapan, usahanya menjadi bentuk dari kemandirian mereka secara ekonomi. Selain bekerja tanpa tekanan yang banyak orang harapkan. “Yang paling mahal tuh, itu (hand press),” aku Baim. Harga yang harus dibayar untuk memboyong alat itu hingga berada di atas vespa milik Atta itu, sebesar satu juta dua ratus. Selebihnya memodali alat-alat penyeduh lainnya. Dengan modal tiga juta, Atta dan Baim tidak mematok harga yang mahal untuk minuman yang mereka jual.

Untuk kopi, mereka mengaku hanya mengambil untung seribu delapan ratus rupiah, dari harga yang ditetapkan. Kopi di Muskoff relatif murah. Menurut Baim, ini karena mereka tidak dikenakan pajak. Bukan berarti lebih bebas menentukan harga, menjual kopi dengan cara berkeliling punya perhitungan dan tantangan tersendiri. Tantangan paling beratnya adalah ketika harus berhadapan dengan preman. Kata Atta, kadang mereka segera berpindah jika merasa sudah berhadapan dengan preman. Demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. B ai m pu ny a c it a - c it a mendirikan kafe jika sudah punya modal yang cukup. Kopi keliling punya banyak tantangan. Selain itu, kopi keliling juga punya beberapa tempat yang tersebar. Ini membuat kedua pria gondrong ini enggan melapak pada lokasi yang sudah atau pernah dipakai kopi keliling lainnya. Saya yakin, tidak ada larangan untuk itu. Tetapi ada ikatan solidaritas antarsesama pegiat kopi keliling yang membuat ini terjadi. Atta juga mengaku kenal dengan beberapa orang di antaranya. Hari semakin gelap. Rokok yang diletakkan Atta dan Baim di atas karpet merah sudah lenyap. Tetapi setiap pengunjung

datang dan membeli rokok serta menaruhnya begitu saja. Atta juga membuat segelas minuman untuk diminum bersama. Seperti kopi keliling ini memang tidak ditujukan untuk menjual apapun. Tetapi lebih sebagai tempat berkumpul dan bercerita tentang banyak hal. Soal untung rugi, Atta d an B aim p a ling b anya k mendapatkan dua ratus ribu lebih sehari. Paling banyak ketika mereka berjualan di Gedung Olahraga Sudiang. Sebenarnya bisa lebih dari itu. Tetapi alat yang manual, serta pasokan kopi yang terbatas, membuat mereka kadang hanya mampu segitu. Apalagi jarak dari GOR dan Anoa di Abdesir, tempat mereka mengambil kopi, lumayan jauh. Kopi pada akhirnya menjadi bagian dari kebiasaan. Ia juga menjadi budaya basabasi ala Indonesia, “ngopi, yuk.” Padahal, ketika berkumpul, kadang bukan kopi yang dipesan. Tetapi yang inti dari itu adalah pertemuannya. Seperti pertemuan saya dan Muskoff hari itu.[] Sebelumnya terbit di https://brochank. wordpress.com/2019/01/07/membiasakankopi/, 7 Januari 2019.

41/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


Aktivitas Desember 2018 - Januari 2019

Thezar Resandy seniman residensi Ta n a h i n d i e 2 0 1 8 y a n g t e r a k h i r mempresentasikan karya bunyi hasil risetnya melalui Soundsphere edisi ke-2 yang merupakan upaya memperlebar penelitian Proyek Halaman Rumah. Sejak November 2018, selama setahun Tesar mengikuti program beasiswa dari Gudskul, Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer di Jakarta, mewakili Tanahindie. Foto: Tesaran (18 Januari 2019)

Pameran Perupa Sulawesi Selatan 10 - 19 Januari 2019, Bentara Budaya Jakarta Mengambil tajuk “Sulawesi Pa’rasanganta” yang bermakna kampung halaman, pameran ini menampilkan karya lukisan dalam berbagai aliran gaya lukis yang berbeda tetapi tetap berakar pada kearifan lokal Sulawesi Selatan. Perupaperupa lintas generasi turut serta dalam pameran yang dikuratori oleh Anwar ‘Jimpe’ Rachman.

Merayakan Tahun Baru di Kampung Buku dengan sajian pertunjukan dari Isobel, film, dan santapan mie.

42/ Yard - Edisi 09, Januari 2019

Foto bersama para perupa, k u r a t o r, Wa k i l Wa l i Ko t a Makassar, dan perwakilan Kompas usai pembukaan pameran "Sulawesi Pa'rasanganta" (11 Januari 2019).


SosialisASI & babywearing bersama Yuni Natsir membagi pengalamannya serta pemahaman tentang bagaimana mempersiapkan diri untuk masa menyusui dan menggendong yang kadang dilewatkan para ibu.

Peluncuran ar tefact (ar tefact.id): sirkuit pengarsipan yang digagas oleh Tanahindie Press, divisi usaha manajemen pengetahuan di bawah lembaga Tanahindie (www.tanahindie. org) yang dikhususkan bagi kerja-kerja pengarsipan dan penyebaran gagasan seni rupa di wilayah Sulawesi Selatan, dalam berbagai bentuk (buku, situs, bulletin, katalog, video dan lain-lain).

Ruang pameran lukisan pa’rasanganta. Daniel ElGibor mengulas cerita di balik karyanya yang fenomenal terhadap seniornya dan pengunjung. Perbedaan Ma’nene dan mayat berjalan Mamasa Toraja

Memindahkan buku-buku di perpustakaan Kampung Buku yang hampir terendam banjir.

Memeriksa Buletin Yard Edisi Januari 2019 sebelum diterbitkan

43/ Yard - Edisi 09, Januari 2019


"Gerakan Literasi Sekolah SLB di Tiga Kota Sulawesi" merupakan hasil penelitian tentang #GerakanLiterasiSekolah SLB di Manado, Makassar, dan Kendari. Selengkapnya cekcek di laman artikel terbaru website Tanahindie (www.tanahindie.org) atau unggah e-book ini melalui tautan: bit.ly/TigaKotaSulawesi


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.