Pameran Seni Rupa "Sulawesi Parasanganta 2019"

Page 1

P

e am

r

ni R e S an

upa

2019

katalog PAMERAN SENI RUPA | 11 - 19 Januari 2019 BENTARA BUDAYA JAKARTA Palmerah Selatan No 17 Jakarta


P

e am

r

ni R e S an

upa

2019 11 - 19 Januari 2019 Bentara Budaya Jakarta Palmerah Selatan No. 17 Jakarta 10270 021 548 3008 ext 7910 - 7916 H p: www.bentarabudaya.com FB: bentarabudaya-jakarta Twi er: @bentarabudaya IG: @bentarabudaya.jakarta


P

TIM BENTARA BUDAYA e am

r an

Se n i R

upa

2019

*Direktur Program Bentara Budaya* Frans Sartono *Manajer Operasional Bentara Budaya* Paulina Dinar s *Ketua Pengelola Bentara Budaya Jakarta* Ika W. Burhan *Sekretaris Bentara Budaya Jakarta* Cicilia Natalinda *Administrasi Keuangan Bentara Budaya Jakarta* Rini Yulia Hastu *Program OďŹƒcer Bentara Budaya Jakarta:* Ni Made Purnama Sari Ham Wibowo Aldi Prasetyo Annissa Maulina CNR *Bentara Budaya Support:* Yoshinta Puspa Ningtyas *Bentara Budaya Rela on OďŹƒcer:* Putri Farah Fadillah *BBJ Event A endant:* Samani Agus Purnomo Aris anto

3


P

e am

r an

Se n i R

upa

2019

*Koordinator Perupa, MakassArt Gallery* Mike Turusy *Perlengkapan* Jenry Pasassan Faisal Ua *Kontributor Foto* Awaluddin Tahir *Kurator* Anwar Jimpe Rachman *Desain dan Tata Letak* Irfan AriďŹ n

4


P

PeNgantar Pameran e am

r an

Se n i R

upa

2019

Semangat Seniman Sulawesi D u a ta h u n ke m u d i a n s e m a n gat berkarya itu tersatukan dalam Pameran 45 Perupa Sulawesi Selatan di Bentara Budaya Jakarta pada Agustus 2003. Ke ka itu sekitar seratus karya dari 45 perupa mewakili wajah seniman Makassar seper antara lain Azis Bustaman, Mike Turusy, Zaenal Beta, Rusdi Trunajaya, Amir Hafid, Dicky Candra, Firman Djamil, Ja mayu, dan Ali Walangdi. Pada masa itu mereka berkarya di tengah tarik menarik kepen ngan, antara kebutuhan ekonomi, dan apa yang mereka sebut sebagai, "melukis apa yang kita kehendaki". Dalam bahasa mereka, rangsang krea f, nafsu kesenian sering terusik oleh kebutuhan dapur. Namun dalam pameran itu mereka bertekad untuk apa yang mereka sebut sebagai “melukis seni” yang memuaskan hari para seniman. Bukan memuaskan pasar.

S

ebuah “happening art” berlangsung di Makassar lebih 17 tahun lalu. Ke ka itu pelukis Ali Walangadi (saat itu berusia 73 tahun), membakar puluhan lukisannya. Pembakaran itu berlangsung usai Ali berpemaran di Kampus Universitas Hasanudin, Makassar. Sebenarnya itu merupakan bentuk kepriha nan sang seniman atas minimnya aprsesiasi terhadap seni rupa di Sulawesi Selatan pada umumnya, dan khususnya di Makassar. Namun, pembakaran itu juga dapat dimaknai sebagai pembakaran semangat untuk terus berkarya dalam situasi apapun.

Dan hampir 15 tahun kemudian, yaitu pada Januari 2019 ini, semangat yang yang sama mendasari pameran senirupa Sulawesi Parasangata di Bentara Budaya Jakarta pada 1019 Januari 2019. Kurator pameran ini Anwar 5


PeNgantar Pameran

Jimpe Rahman menangkap dinamika krea vitas perupa di Sulawesi Selatan. Sejumlah karya memilih tema kehidupan sehari-har di Sulawesi Selatan seper nalayan, perahu phinisi yang dikhawa rkan punah, sampai permainan tradisi sepak raga. Tapi, ada pula yang mencoba melihat ke dalam, atau bermain di wilayah ba n. “Mereka mereeksikan gagasan, pergulatan ba n,â€? kata Anwar Jimpe Rahman. Apapun wujud karya mereka, inilah bentuk semangat berkesenian seniman Sulawesi Selatan. Semangat yang menjadi pameran pertama Bentara Budaya Jakarta di tahun 2019. Dan semoga menjadi pelecut semangat seniman Sulawesi yang lebih 17 tahun lalu dibakar oleh Ali Walangadi.

Frans Sartono Direktur Program Bentara Budaya

6


P

KURATORIAL e am

r an

Se n i R

upa

2019

Jelaga Empat Puluh Tahun (Anwar Jimpe Rachman)

L

sipainga/ naki massing massing ngu’rangi/ naammang sannang salewangang/ tamakulle amang bori a/ cini’ sai bori bellaya/ bella m a m o ke m a j u a n n a / te ’n e m a m o j u l u bangsana/ amang sannang pa’rasangana/ sambori sang pa’rasanganta/ baji maki ajjulu a / na amang sannang salewangang Sulawesi pa’rasanganta

AGU “Sulawesi Pa’rasanganta” ciptaan B Mandjia sudah menjadi ungkapan dan kata gan yang awam untuk merujuk wilayah di bagian selatan Pulau Sulawesi. Ia pun berubah sebagai iden tas daerah lantaran liriknya berbahasa Makassar, dilantunkan dengan tempo andante, lantas menjelma layaknya lambaian tangan ibu yang memanggil pulang [kampung]:

(Sulawesi kampung halaman kita/ S u l a w e s i p a ’ra s a n ga n t a / b u a tanah tumpah darah kita/ menjadi tanggung passolongan cera a/ anjjari tanggungang jawab besar/ bagi kita masyarakatnya/ Bila tak malompo/ ikkate tuma‘ bu aya/ punna tenaki saling mengingatkan/ dan masing-masing 7


KURATORIAL

sadar/ amannya tanah tumpah darah/ dak akan aman kampung halaman kita/ Lihat kampung nun di sana/ sudah jauh kemajuannya/ Persatuannya yang kuat/ aman tenteram daerahnya/ Wahai teman sedaerah/ baiknya kita satukan ha / Sehingga aman tenteram dan sejahtera Sulawesi kampung kita.

tangan para perupa Sulawesi Selatan, tapi juga ‘mengiris’ tangan khalayak umum. Bila tak ha ha memegangnya, keduanya bisa terluka. Luka yang bisa berawal dari perihal yang bernama tafsir. TAFSIR awal seniman yang mengemuka tentang tema ini bisa menggiring mereka mengumpulkan karya-karya yang menampakkan citra Sulawesi Selatan yang figura f. Bagaimana pun ikatan gagasan mereka tertambat kuat pada jangkar kesan yang muncul kala mereka menyebut “Sulawesi Pa’rasanganta”, lagu yang melantunkan ajakan untuk menciptakan “kampung halaman yang aman dan tenteram”.

Judul lagu ini pula menjadi tema pameran karya perupa Sulawesi Selatan yang berlangsung 10-20 Januari 2019 di Bentara Budaya, Jakarta. Ekshibisi bersama kali ini merupakan pameran kedua perupa dari wilayah sama di galeri serupa dengan jarak lima belas tahun (2003). Namun antara waktu lima belas tahun dan tema pameran tak dimungkiri meletupkan pula beberapa hal. Rentangan masa ini bisa menjadi semacam beban bagi para perupa di pameran ini. Unsur ini menjelma sebagai satu patokan bagaimana hendak menyajikan karyakarya apa saja yang menjadi wajah perkembangan seni rupa di Sulawesi Selatan. Rentang masa tersebut, sadar atau dak, berubah layaknya momok pertanyaan dalam benak perantau yang hendak pulang, ‘apakah mereka sudah layak pulang?’.

Warisan cara berpikir rezim pemerintahan mungkin bisa menjadi salah satu sebab yang berkaitan dengan ini. Lagu “Sulawesi Pa’rasanganta” acap kali muncul sebagai salah satu lagu daerah yang kerap dinyanyikan untuk sesi hiburan dalam berbagai acara formal (pemerintahan) sejak masa pemerintahan Soeharto. Bahkan menjadi bagian materi pengajaran kesenian di sekolahsekolah.

Sebagai lagu yang disajikan dalam Pada sisi lain, tema ini juga sangat suasana resmi Orde Baru, terbuka pula mungkin kita ibaratkan sebagai pedang kemungkinan terjadinya pembentukan makna bermata dua. Ia bukan hanya bisa ‘melukai’ yang mengarahkan persepsi pada pemahaman 8


KURATORIAL

seni dan budaya yang dianut oleh pemerintah zaman itu sebagai sesuatu yang menampak di permukaan. ¹Definisi seni dan kebudayaan bagi rezim pengusung kestabilan ini tak pernah jauh dari upaya memunculkan potongan-potongan yang disebut sebagai representasi kenyataan “kampung halaman” pada lapis pertama, persoalan yang didorong oleh wacana sentralis k. Bahkan Acciaioli, dengan c e n d e r u n g ket u s , m e nyata ka n b a hwa keragaman daerah dihargai, dihorma , dan disanjung namun hanya sebagai tontonan, bukan keyakinan; [sebagai] pertunjukan, bukan pelaksanaan [ritual]. ²Seni dan kebudayaan pun menjadi sesuatu yang menampak di brosur pariwisata—sebagaimana pula yang masih awam di situs daring (online) pemerintah provinsi dan kabupaten hingga sekarang.

DEMIKIANLAH jelaga warisan cara b e r p i k i r O r d e B a r u ya n g h i n g ga k i n i menggelayut dalam jagat seni rupa Sulawesi Selatan. Semua ini berawal empat puluhan tahun silam, tepatnya awal dasawarsa 1970, ke ka pemerintah Indonesia secara ak f mempromosikan tujuan wisata di Indonesia, termasuk Tana Toraja, dan berhasil menarik kunjungan lebih banyak ke dataran nggi di bagian utara Sulawesi Selatan. Nama Tana Toraja pun semerbak dalam kesadaran pariwisata ngkat nasional (dan internasional) pada 1984 tatkala Joop Ave, Dirjen Pariwisata Indonesia, mendeklarasikan Tana Toraja sebagai “tujuan wisata primadona Sulawesi Selatan” dan Makassar menjadi “Pintu gerbang ke Tana Toraja”. Kunjungan turis setelah momentum itu cenderung menanjak dibanding sebelum 1984 yang lebih fluktua f. ³

Berdasarkan beberapa kali wawancara mendalam dengan sejumlah seniman, mereka pun mengakui bahwa respons awal mereka terhadap tema ini sebagaimana yang sudah diduga tadi. Beberapa karya yang sempat terkumpul pun menampakkan hal-hal yang berkaitan dengan representasi citra yang kemudian oleh James Clifford (1986) sebagai “kebenaran sepihak (par al truth)”.

Keadaan itu jelas sebentuk harapan bagi perupa Sulawesi Selatan kala itu. Dunia seni rupa wilayah ini, yang tak memiliki kolektor par kelir, hanya mengandalkan pesanan dari kolektor kalangan pejabat pemerintahan, militer, dan kantor-kantor BUMN/swasta, ikut mendulang kesempatan dalam pertumbuhan pariwisata lewat peluang pengoleksian dari

¹R. Anderson Su on, Pakkurru Sumange': Musik, Tari, dan Poli k Kebudayaan Sulawesi Selatan (penj. Anwar Jimpe Rachman), Makassar: Ininnawa, 2013, hl. 35. ²Acciaioli dalam Ibid, hl. 92 dan 102. ³Kathleen Adams, Art as Poli cs: Re-cra ing Iden es, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia, University of Hawai'i Press, Honolulu, 2006, hl. 14. Untuk data kunjungan wisatawan, lihat tabel halaman 17.

9


KURATORIAL

kalangan turis. ⁴Namun tentu kenyataan tentang ‘lukisan pesanan’ menjadi sebuah kenyataan hidup yang dak boleh dilupakan manakala orang ingin mengetahui lebih mendalam tentang segi-segi yang mempengaruhi perkembangan seni di suatu daerah. ⁵Dengan demikian, lapisan konsumenkonsumen inilah yang menjadi salah satu penentu proses dan citra yang muncul di permukaan kanvas para seniman kawasan ini. Jejak-jejak masa empat puluhan tahun itu masih bisa kita pindai, kenda dalam 29 karya dari 22 perupa di pameran ini tak mendominasi lagi. Dalam karya-karya dwimatra dan trimatra yang melipu jenis karikatur, drawing, lukis, hingga instalasi menampakkan keadaankeadaan yang hendak mereka tampik atau dalam perubahan-perubahan yang kini sedang berlangsung di dunia seni rupa Sulawesi Selatan. Di berbagai medium itulah deretan karya ini menunjukkan penegasan-penegasan dari sikap mereka bahwa seni rupa jalan hidup yang harus ditelusuri dengan keras kepala. Ada yang membawa refleksi pergulatan dalam-diri sang seniman, juga respons mereka terhadap situasi mutakhir yang mereka hadapi di luar-diri, tempat mereka t u m b u h d a n b e r ka r ya . A c h m a d Fa u z i

membawa karya berjudul Angaru' di Sudut Benteng (2018), pemaknaan atas keteguhan dan keyakinan ha yang kokoh, spirit yang s en an as a h ad ir d alam j iwa man u s ia menghadapi se ap persoalan hidup. Demikian pula Ahmad Anzul membawa karya garapannya The Way (2018), yang merupakan seri Kampung Garam #149. Anzul menceritakan tentang jalan yang dipilihnya ke ka sianre bale (Bugis: saling memangsa) terjadi. “Pada situasi tertentu, saya merasa dipaksa untuk menjadi kupu-kupu berbadan pisau silet, perahu kertas, atau memilih jalan yang sunyi.” AH Rimba mengantar karya potretnya Toraja Smiling (2017) yang melukiskan seorang pria Toraja tersenyum, simbolisme dari pernyataannya bagaimana kini Rimba menghadapi hidupnya setelah bergulat dengan banyak hal. Budi Haryawan dengan Hallelujah (My Name is Me. And I live on Roof Top Floor) [2018] menuturkan bagaimana pergulatan hidupnya sebagai anugerah yang patut disyukuri. Jenry Pasassan dengan karya instalasi Angel Sing (2018) menceritakan bagaimana manusia seharusnya bersikap lentur dan pada saat yang sama harus kokoh menghadapi perubahan dalam-diri dan perubahan luar-diri. Faisal Syarif menyajikan

⁴Wawancara Ahmad Anzul (29 Desember 2018) dan Mike Turusy (31 Desember 2018). ⁵Sofyan Salam, “Menelusuri Perjalanan Seni Rupa Sulawesi Selatan”, Katalog Pameran Bentara 2003, t.h.

10


KURATORIAL

dan kebersihan kanal. Firman Djamil membawa karya seri kepi ngnya berjudul Penunggang Celeng (2011). Lukisan ini adalah p e n g g a m b a ra n F i r m a n t e n t a n g h a s i l pengamatannya terhadap keadaan dunia poli k Indonesia pada tahun-tahun awal dasawarsa 2010, terutama berkaitan dengan kasus penggelapan pajak dengan tokoh Gayus Tambunan. Sementara pula, Thamrin M, karya berjudul Yang Tersisa (2018) melukiskan kegelisahannya perihal huruf lontarak, aksara suku Bugis dan Makassar yang dipandangnya Ka l a n ga n p e r u p a m u d a s e p e r mulai di ng galkan dan mungkin akan Muhammad Suyudi membawa lukisan My terlupakan. Greatest Indonesian of All (2017) Sys Paindow dengan karya Pa’manuk penghormatan untuk ayahnya. Aryo Bayu m e n g h a d i r k a n k a r y a s i m b o l i k y a n g Londong Come Out from Tongkonan (2018), menggambarkan memudarnya perahu pinisi terinspirasi Pabbite Jangang karya Marthen dalam Sekarat (2018). Ini seper mengajak kita Pa lima, pelukis legendaris Makassar, dengan membincangkan tentang keadaan yang perlu mengangkatnya lagi dalam versi Toraja dengan direnungkan bersama tentang pinisi, simbol fantasi ayam dalam ukiran Toraja di atas morif dari kekayaan intelektual masyarakat pa’barre allo (matahari terbit) keluar dari Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang kian bisa tongkonan lalu beradu. tergerus. Daniel dengan karya Mayat Berjalan Inno Angga dengan karya Labeled (2017) membawa kabar tentang kampung halamannya di Kabupaten Mamasa, Sulawesi ( 2 0 1 8 ) , m e l u k i s ka n d i a l e k ka a n ta ra kepercayaan dan tradisi telah menghasilkan Barat. beberapa konvensi yang kerap menimbulkan Awaluddin Tahir membawa Kehidupan pergesekan di antara keduanya. Hal ini ditandai Kanal (2018), lukisan yang memotret adanya pro dan kontra pada masing-masing kehidupan permukiman di Kota Makassar yang cara pandang yang ingin menunjukkan hendak membicarakan soal sanitasi, sampah, eksistensi dengan berbagai argumen yang instalasi Glory of Love Series (2018), sekaligus seni terapi (art therapy) bagi Faisal dalam menyelami alam bawah sadarnya, yang dalam prosesnya kemudian masa lalu bermunculan dan beberapa kali menghasilkan gambargambar yang menurutnya seram. Namun kemunculan hal-hal yang mengendap itu kemudian tergan kan dengan perasaan yang sebaliknya. “Akar permasalahan diri, orang lain, dan sosial dimulai dari sesuatu yang harus kita temukan dalam diri kita,� katanya.

11


KURATORIAL

prinsipil. Dialog yang masih berjalan ini kerap kali harus bersintesis dalam sebuah kemasan yang disebut modernisasi. Produk yang dihasilkan pun ternyata belum sepenuhnya mewadahi iden tas yang telah lama melekat pada masyarakat tradisi. Akhirnya kebenaran pun harus dicari melalui pembenaranpembenaran ambigu yang tanpa harus mengorbankan salah satunya.

Legend] (2014), Made in Tanaberu (2017), dan Pemahat [Mengukir Diri] (2017). Demikian pula Faisal UA, perupa Makassar yang mengkhususkan karyanya ke karikatur. Faisal membawa The Glimmer Twins from Makassar (2018) menggabung khasanah alat-alat musik tradisional dengan sosok komikal Mick Jagger dan Keith Richards (The Rolling Stones). Zainal Beta dengan karya Nelayan dan Paraga (2018), dua karya lukisan tanah liatnya.

Dua perupa perempuan ikut berpameran membawa masing-masing satu karya. Lenny Ratnasari Weichert mempresentasikan karya instalasi berjudul Anaerobik (2017), membincangkan gagasan tentang pernapasan tanpa udara dalam ruangan fermentasi yang berhubungan dengan proses produksi energi dalam sel anaerobik (tanpa oksigen). Sedang Marledy Kadang membawa The Story of Halter Neck White (2018). Ia memilih spanram sebagai bahan eksplorasi. Konsep ini bermula ke ka Ledy melihat tumpukan spanram yang menan untuk tertutup kanvas. Seke ka ia bersemangat mencoba mengeksplor bentuk yang bisa dihasilkan spanram tersebut.

Sementara itu, kalangan seniman senior banyak memunculkan petuah-petuah seper Abdul Aziz Ahmad, perupa drawing yang membawa karya Resofa Temangngingi (2018) mengingatkan pepatah Bugis “resopa temmangingi na malopo naletei pammase dewata (hanya dengan bekerja keras kita diberkahi rahmat Yang Maha Kuasa)â€?; Abdul Kahar Wahid, pelukis berusia 81 tahun, membawa ga karyanya: Pencerahan (2018), Waspada Tsunami (2018), dan Jodoh Tak Perlu Dicari (2018); Benny Subiantoro, Bagan Tiga (2016) menceritakan kehidupan nelayan; dan Bach ar HaďŹ d karya Maccello (2016), melukiskan adegan mewarnai baju bodo, pakaian tradisional perempuan Sulawesi Mike Turusy membawa karya-karya Selatan. khasnya yang terinspirasi tau-tau (patung p e k u b u ra n To ra j a ) d a n p e n u h d e t a i l BERKUTAT (lagi) di pekatnya jelaga menuturkan ulang satu hikayat masyarakat yang berdiam empat puluh tahunan itulah yang Sulawesi Selatan dalam Kerbau Bulan [The hendak dihindari oleh pameran ini. Sebagai 12


KURATORIAL

ruang pengabaran sepenggal perkembangan kancah seni rupa, karya-karya dalam “Sulawesi Pa’rasanganta” berusaha dengan sangat keras melompa apa yang berulang kali menampak pula di pameran-pameran (yang ini pun jarang) baik di Makassar maupun di wilayah Indonesia Timur lainnya.

BIODATA KURATOR Anwar Jimpe Rachman menulis, menyun ng, dan menyelia naskah berbagai tema. Bukunya: Hidup di Atas Patahan (Insist Press, 2012) dan "Chambers: Makassar Urban Culture Iden ty" (Chambers Celebes, 2013) dan beberapa buku bersama lainnya. Beberapa tulisannya terbit di Kompas, Tempo, Esquire Indonesia, Warisan Indonesia, Fajar, Tribun Timur, dan media cetak/elektronik lainnya.

Karya 22 perupa ini sedang bersiasat melepaskan diri dari citra-citra yang ingin ditampakkan pada perkembangan masa-masa sebelumnya; rentang waktu ke ka tancapan tafsir kekayaaan budaya hanya hadir pada lapisan pertama. Sebagai wahana proses yang membangun dunia seni rupa Sulawesi Selatan selanjutnya, mereka membawa gagasan, nilai, dan pernyataan dalam “Sulawesi Pa’rasanganta” tentang kenyataan baru, singkapan yang lain, lapis potongan-potongan kedua dan seterusnya, atau situasi mutakhir fisik dan lingkungan “kampung halaman“ (pa’rasangan) yang kini mereka hadapi—secara personal maupun komunal.

Pada 1999, ia mendirikan Tanahindie di Kota Makassar, ruang mandiri yang meni kberatkan kajian perkotaan. Mengasuh Penerbit Ininnawa sejak 2005, selain sehari-hari sebagai pustakawan dan pengarsip di Kampung Buku, Makassar. Kecintaannya pada seni rupa membawanya menjadi kurator seni rupa, seper Jakarta Biennale (2015), Bom Benang (2012-2017), dan beberapa pameran seni rupa di kotanya. Pada 2017, menjadi direktur Makassar Biennale II, sebuah ajang seni rupa internasional dua tahunan di Sulawesi Selatan.

Di dalam pameran ini, tampaknya kita bisa berpegang kuat bahwa gagasan dan sikap yang tersaji sekarang perihal bagaimana sebaiknya kehidupan seni rupa Sulawesi Selatan berikutnya, bahkan setelah mereka. Ini upaya membersihkan jelaga yang bermula empat puluh tahun lalu itu dan terus menggayu alam berpikir manusia Indonesia.

Pada 2018, bersama kawan-kawannya di Tanahindie, ia diundang sebagai seniman dalam Pekan Seni Media 2018 di Palu. Selama 2018-2019, ia menjadi Fellow Cultural Leadership dalam SEAΔ, program kerja sama Mekong Cultural Hub & Bri sh Council.

13


P

PESERTA PAMERAN e am

r an

Se n i R

upa

2019

A.H. Rimba

Benny Subiantoro

Lenny Ratnasari Weichert

Abd. Aziz Ahmad

Budi Haryawan

Marledy Kadang

Abd. Kahar Wahid

Daniel

Mike turusy

Ahmad Anzul

Faisal Syarif

Moh. Thamrin Mappalahere

Achmad Fauzi

Faisal Ua

Muhammad Suyudi

Ario Bayu

Firman Djamil

Sys Paindow

Awaluddin Tahir

Inno Angga

Zaenal Beta

Bach ar HaďŹ ed

Jenry Pasassan

14


P

KARYA-karya am

nS era

e n i Ru p a

2019


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Toraja Smiling Tahun: 2017 Media: Cat Minyak Uk: 125x95 cm Pelukis: A.H. Rimba

Judul: Resofa Natemangingi Tahun: 2018 Media: Drawing Uk: 59,5x84,5 cm Pelukis: Abd. Aziz Ahmad

16


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Pesan Leluhur Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 75x70 cm Pelukis: Abd. Kahar Wahid

Judul: Waspada Tsunami Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 75x70 cm Pelukis: Abd. Kahar Wahid

17


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Jodoh Sudah ditentukan Tuhan Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 70x100 cm Pelukis: Abd. Kahar Wahid

Judul: Kampung Garam #149 "the Way" Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 120x120 cm Pelukis: Ahmad Anzul

18


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Angngaru disudut Benteng

Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 120x120 cm Pelukis: Achmad Fauzi

Judul: Sekarat Media: Cat Minyak Uk: 60x80 cm Pelukis: Ario Bayu

19


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Kehidupan Kanal Tahun: 2018 Media: Cat Minyak Uk: 70x98 cm Pelukis: Awaluddin Tahir

Judul: Macello Tahun: 2016 Media: Cat Minyak Uk: 135x185 cm Pelukis: Bach ar HaďŹ ed

20


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Bagan Tiga Tahun: 2016 Mix Media Uk: 60x80 cm Pelukis: Benny Subiantoro

Judul: Hallelujah. (My Name is Me and I live on The Roof Top Floor) Tahun: 2018 Media: Cat Minyak Uk: 70x100 cm Pelukis: Budi Haryawan

21


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Mayat Berjalan Tahun: 2017 Media: Cat Minyak Uk: 90x150 cm Pelukis: Daniel

Judul: Glory of Love #1 Tahun:2018 Media: Cat Acrylic Uk: 85x85 cm Perupa: Faisal Syarif

22


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Glory of Love #2 Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 85x85 cm Perupa: Faisal Syarif

Judul: Force A rac on Tahun: 2018 Instalasi Perupa: Faisal Syarif

23


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: The Glimmer Twins From Makassar Tahun; 2017 Media: Cat Acrylic Uk: 130x130 cm Pelukis: Faisal Ua

Judul: Menunggang Celeng Tahun: 2011 Media: Cat Minyak Uk: 145x185 cm Pelukis: Firman Djamil

24


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Eksistensi (labeled) Tahun: 2018 Media: Cat Acrylic Uk: 95x70 cm Pelukis: Inno Angga

Judul: Angel Sing Instalasi Tahun: 2018 Perupa: Jenry Pasassan

25


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Anaerobic Tahun: 2017 Instalasi Perupa: Lenny Ratnasari Weichert

Judul: The Story of Halter Neck White Tahun: 2018 Uk: 145x190 cm Pelukis: Marledy Kadang

26


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Made in Tanaberu Tahun: 2017 Media: Cat Minyak Uk: 110x150 cm Pelukis: Mike Turusy

Judul: Kerbau Bulan (The Legend) Tahun: 2014 Media: Cat Minyak Uk: 120x120 cm Pelukis: Mike Turusy

27


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Mengukir Diri Tahun: 2017 Media: Cat Minyak Uk: 110x120 cm Pelukis: Mike Turusy

Judul: Yang Tersisa Tahun: 2018 Media: Cat Minyak Uk: 100x100 cm Pelukis: Moh. Thamrin Mappalahere

28


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: My Greatest Indonesian of All Tahun: 2017 Media: Cat Minyak Uk: 140x140 cm Pelukis: Muhammad Suyudi

Judul: Pa'manuk Londong come out from Tongkonan | a pain ng based on the last ritual of an Alok Todolo [tribute to Marthen Pa lima] Tahun: 2018 Media: Cat Minyak Uk: 148x148.5x3.5cm Pelukis: Sys Paindow

29


P

am

era

n Se

n i Ru p a

2019

Judul: Nelayan Tahun: 2018 Media: Tanah Liat Uk: 80x100 cm Pelukis: Zaenal Beta

Judul: Pa'Raga Tahun: 2018 Media: Tanah Liat Uk: 80x90 cm Pelukis: Zaenal Beta

30


P

TERIMA KASIH KEPADA: e am

r an

Se n i R

upa

2019

Pemerintah DKI Jakarta Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Pemerintah Daerah Kota Makassar Dinas Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan Bentara Budaya Jakarta Tim MakassArt Gallery Perupa Sulawesi Selatan Mammiri Art Design Peserta Pameran Sulawesi Parasanganta

31


P

a

ra me

n Se

n i Ru p a

2019


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.