YARD - Edisi 10, Maret 2019/Tenth Edition, March 2019

Page 1

Edisi 10, Maret 2019

Buku "Kota Diperam dalam Lontang/City Soaked in Drinking Stall" diluncurkan dan didiskusikan pada 23 Maret 2019 di Kampung Buku. Buku tersebut merupakan hasil penelitian sejumlah orang muda di Makassar yang terlibat dalam program Penelitian dan Penulisan "Anak Muda dan Kota/Youth and City" yang diinisiasi oleh Tanahindie. Selain peluncuran buku, juga berlangsung pameran fotografi "Spasi" oleh Aziziah Diah Aprilya.


Yard merupakan terbitan ­dwibulanan yang diterbitkan oleh Tanahindie. Tahun 2017 - 2018 penerbitannya bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. Tanahindie Merayakan Halaman Rumah di Kampung Buku, k­ olaboratorium dan ruang dan ranah b ­ ersama berwujud perpustakaan, ­menyebarkan ­gagasan lewat berbagai kanal dan cara sebagai jalan produksi, reproduksi, dan distribusi pe­ngetahuan. www.tanahindie.org

Penanggung Jawab: Anwar Jimpe Rachman

Layouter Fauzan Al Ayyuby

Redaktur: Aziziah Diah Aprilya, ­Fauzan Al Ayyuby, ­R afsanjani, Wilda Yanti Salam

Web & Publikasi: Rafsanjani

Penulis: Ady Anugrah Pratama, Fauzan Al Ayyuby, Rafsanjani, R.U. Malatong, Syahrani Said, Wilda Yanti Salam Ilustrasi Muhammad Iqbal Burhan

Grafika Ade Awaluddin Firman Dokumentasi: Tanahindie

Alamat Redaksi Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Fanpage Facebook: Tanahindie Twitter: @dewiboelan Instagram: @tanahindie Youtube: Tanahindie Inc.

Redaksi menerima sumbangan materi ­publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ­ilustrasi, dan komik melalui email: tanahindie@gmail.com

Kolaborator:

DIGITAL PUBLISHING: "YARD" https://issuu.com/tanahindie


Dokumentasi Aziziah Diah Aprilya

DEDAUNAN YANG GUGUR DALAM KARYA YUDI Wilda Yanti Salam

M

uhammad Suyudi akrab dipanggil Yudi adalah seorang perupa muda Makassar yang juga mahasiswa pasca sarjana Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Makassar (UNM). Sejak kecil, ia mulai gemar mencoret-coret dan menggambarkan kembali apa yang ditontonnya di televisi, salah satunya serial Dragon Ball. Ketertarikannya menggambar berlanjut ketika SMA di Sengkang, Kabupaten Wajo, dengan membuat tato motif tribal di tubuh teman-temannya dan berbekas di badan temantemannya sampai sekarang. Setelah lulus SMA tahun 2008, Yudi didaftarkan oleh keluarganya di sekolah keperawatan, lantaran dipengaruhi oleh latar pendidikan keluarganya di bidang kesehatan, seperti tantenya seorang dokter dan belakangan

adiknya juga menempuh sekolah kedokteran. Setelah pendaftaran, Yudi lulus tahap pertama. Namun, saat melakukan pendaftaran ulang hingga menjelang kuliah perdana, ia mulai merasa tidak nyaman dan memutuskan tidak melanjutkannya. Di tahun yang sama, Yudi mendapat informasi dari keponakannya yang juga dosen di Fakultas Seni dan Desain UNM, katanya UNM akan mengadakan Utul (Ujian Tulis). Pada masa itu, Yudi kemudian berfikir untuk mencoba mendaftar saja dengan mengambil jurusan seni rupa. Prinsipnya yang penting kuliah dan tidak menganggur. “Jika nanti merasa tidak nyaman, tahun selanjutnya bisa pindah jurusan. Ternyata, lama kelamaan, saya terbiasa dan justru senang dengan jurusan seni rupa,� ujarnya. Sementara 3/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


itu, awalnya, keluarganya tidak mendukungnya kuliah di jurusan seni rupa, tetapi karena Yudi mencintai dunia kesenian, ia lanjut dan bertahan. Semasa kuliah di Makassar, Yudi punya tiga tempat tinggal: rumah miliknya, rumah neneknya, dan rumah tantenya. Ketiga rumah itu berlokasi di daerah Daya, Kota Makassar. Saat ia tinggal di rumah neneknya, ia seringkali merasa tidak enak kepada neneknya ketika ingin melukis, karena bau cat membuat n e n e k ny a m e r a s a p u s i n g . Neneknya juga khawatir jika Yudi menggeluti dunia kesenian, yang dinilai tidak memiliki masa depan yang jelas. Namun, ia yakin dengan pilihannya, dengan mengibaratkan kucing jalanan yang tetap hidup tanpa ada yang ‘menjamin’ makanan mereka setiap harinya, rezeki itu sudah ditentukan oleh Tuhan, katanya. Lebih lanjut, Yudi menyatakan bahwa masih ada juga sebagian orang yang mengukur kebahagiaan dari segi kemapanan ekonomi. Padahal belajar berkesenian itu mengajarkan kita untuk terus melakukan sesuatu yang membuat kita merasa ‘lebih baik’. Ia percaya jika kita telah melakukan hal baik, lingkungan kita akan mendukung itu. Ia juga berpikir bahwa hampir semua orang yang berkecimpung di dunia seni rupa bukan untuk mencari uang, tetapi karena mereka cinta dengan dunia tersebut.

Berkenalan Aktivitas berkesenian Yudi dimulai sejak menjadi mahasiswa. Namun, pada masa itu ia mengaku 4/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

kerap menangguhkan karyakaryanya, seperti sketsa-sketsa yang ia buat di kertas tidak divisualisasikan ke medium kanvas. Pada September 2018, Yudi mengunjungi acara Celebes Art Link, sebuah proyek apresiasi kawasan sebagai upaya untuk membangun model destinasi dalam pengembangan pariwisata berbasis budaya di wilayah Indonesia Tengah-Timur melalui seni rupa dengan model mini festival.1 Di sana, ia berjumpa dengan perupa-perupa Makassar yang menginisiasi Makassar Art Initiative Movement (MAIM), sebuah gerakan kesadaran seni rupa di Makassar yang bercita-cita menyebarkan “virus” semangat berkesenian yang total, kreatif, maksimal, dan menampilkan ideide segar yang inovatif memiliki nilai kebaruan. Gerakan ini memiliki harapan besar Makassar dapat menjadi medan tumbuh kembangnya dunia seni rupa yang dinamis dan dialektik.2 Faisal Syarif, salah satu inisiator MAIM, memberikan informasi kepada Yudi tentang M A I M , k e m u d i a n Yu d i t e r t a r i k d a n m e mut u s k a n untuk bergabung, karena ia percaya, MAIM bisa menjadi momentum yang baik untuk menempa dirinya, khususnya menyangkut kedisiplinannya dalam berkarya. Lebih jauh, Yu d i i n g i n “m e mp e r b a i k i dirinya” lewat segala macam “tekanan” dan “target” yang harus ditaklukkan oleh semua perupa yang bergabung di MAIM. Yudi menganalogikan MAIM dengan menyatakan, “Misalnya di

masih ada juga sebagian orang yang mengukur kebahagiaan dari segi kemapanan ekonomi. Padahal belajar berkesenian itu mengajarkan kita untuk terus melakukan sesuatu yang membuat kita merasa ‘lebih baik’.


depan itu ada jurang, kita tidak terus melangkah maju, tetapi bagaimana kita bisa mengambil ancang-ancang lalu melompat, hal itu saya lihat di MAIM. Biasa saya melihat ada temanteman perupa yang bilang, ‘tidak apa-apa kita bergerak maju dulu’ tetapi mereka justru jatuh ke jurang.” Di sisi lain, menurutnya, profesi seni rupa di Makassar selalu diidentikkan dengan kata ‘kere’, padahal profesi seni tidak ada bedanya dengan profesi yang lain, pandangan itulah yang akan coba ‘diubah’ di MAIM.

Berkarya Setelah Yudi bergabung di MAIM pada Desember 2018, ia merasa lebih produktif. Terhitu ng s e j a k renc ana pelaksanaan pameran pertama MAIM pada Februari 2019 di Galeri Colliq Pakue, Fakultas Seni dan Desain UNM. Ia sudah menghasilkan tiga buah karya. Namun, karya yang ia pamerkan katanya belum selesai. Judul karyanya pun belum ada, karena masih dalam proses mengumpulkan datadata terkait. Karya Yudi pada pameran tersebut dilatarbelakangi oleh p eristiwa yang menimpa t a n t e n y a , S r i Wa h y u n i ( Un i ) . Pa d a t a hu n 2 0 1 6 Uni memutuskan kuliah di Universitas Tadulako, Palu. Dua tahun sejak Uni kuliah, Yudi menceritakan, “Ketika itu tantenya pulang dari kampus menuju rumahnya, yang ber jarak sekisar 30

menit p er jalanan, dalam perjalanannya, gempa bumi dan likuifaksi terjadi pada Jumat 28 Oktober 2018 di Palu. Dari peristiwa itu, tante Yudi menjadi salah satu korban yang hilang dan tidak ditemukan sampai hari ini. Hilangnya sang tante memberikan rasa duka yang mendalam pada keluarga besarnya, termasuk Yudi. B a g i Yu d i , p e r i s t i w a y ang m e n i mp a t ant e ny a membawa pengaruh terhadap p erkembangan dirinya, khususnya dalam bersikap ketika menghadapi sebuah masalah. Di sisi lain, semenjak peristiwa itu, ia mengaku sering salat di masjid yang dulunya hanya di rumah. Ia bercerita, “Di suatu siang selepas salat duhur, saya duduk di halaman masjid yang sedang direnovasi, lalu saya termenung dan melihat daun yang berguguran dari atas pohon di depan masjid. Daun yang gugur itu bukan hanya daun yang sudah berwarna coklat, tetapi juga yang masih berwarna hijau. Muncullah pertanyaan di benak saya, apa yang menyebabkan daun yang masih hijau bisa gugur padahal usianya masih muda?”. Yudi kemudian mencari tahu tentang hal-hal yang berkaitan dengan tanaman, seperti proses fotosintesis, penyebab daun gugur, lebih jauh tentang hubungan tanaman dan kehidupan. “Kadang kala kita harus berhenti berusaha dan mulai mengikhlaskan sesuatu, bisa jadi sesuatu hal pergi demi menyelamatkan kehidupan lain yang jauh lebih besar,” ujarnya.

Yudi merepresentasikan peristiwa yang ia alami da lam kar yanya, dengan menggunakan material berupa kayu yang berbentuk persegi panjang yang dilapisi dengan tripleks sebagai hiasan dinding (payet). Ada lima payet yang dianalogikan sebagai lima fase dalam hidup manusia: pertama adalah fase terpuruk, kedua adalah fase tentang usaha maksimal, ketiga fase tentang proses mendapatkan petunjuk dari tuhan, fase keempat adalah refleksi, wujud refleksi itu coba diwujudkan dengan penambahan cermin, dan fase kelima adalah wujud keikhlasan manusia setelah menjalani serangkaian proses. “Lima fase tersebut bisa jadi bertambah atau berkurang, disesuaikan dengan ide dan gagasan yang akan dikelola nantinya,” kata Yudi. Dalam karya Yudi, selain ada lima payet, juga terdapat kuas, cat air, dan gesso untuk melapisi kanvas. Selain itu, terdapat sebuah meja kayu dan kursi yang mewakili meja dan kursi yang sering ia pakai saat membuat sketsa dan pola di buku atau laptop di rumahnya. Setelah menyelesaikan sketsa dan sebuah pola, ia kemudian mengumpulkan data, membuat kerangka pikir, menuliskan rumusan masalah, hingga membuat hipotesa. Ia juga gemar mengumpulkan referensi buku dan kalimat yang ia sukai. Semua benda yang ia tampilkan dalam kar yanya mewakili prosesnya dalam berkesenian. Hal ini juga bertautan dengan 5/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


tema MAIM ‘Art of Process’. Dalam buku catatannya, Yudi menyalin salah satu kalimat kesukaannya yang dikutip dari Miyamoto Musashi, seorang samurai dan ronin yang sangat terkenal di Jepang pada abad pertengahan. Kalimat itu didapatkan ketika membaca sebuah buku di rumah Budi Haryawan, perupa Makassar yang juga terlibat dalam pameran MAIM. Kalimat itu berbunyi: “Dia pandang alat kertas putih itu sebagai semesta hampa, sebuah guratan akan diberikan di atasnya. Sebetulnya ia mampu memberikan awan badai sekehendaknya, namun apapun yang ia berikan, hatinya akan tertinggal. Tubuh manusia melayu, tapi tinta gambaran hatinya akan terus bernafas sampai ia tiada”. Menuliskan konsep dan segala hal yang ia sukai adalah cara Yudi agar karya yang ia hasilkan tidak terlihat seperti ‘asal jadi’. Menurutnya, d i butu h k an pro s e s r i s e t sebelum mengelola gagasan menjadi sebuah karya. Cara ini dilakukannya saat mulai kuliah, hal ini dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya yang gemar membaca dan meneliti, hingga belakangan juga menjadi kebiasaannya. Dulunya, Yudi s ering mencoret-coret tanpa gagasan yang jelas, pelan-pelan ia menyad ar i b a hwa d a l am berkesenian dibutuhkan visi, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk membuat 6/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

dunia kesenian menjadi ‘lebih baik’. Menurutnya, sebuah kar ya seharusnya mampu menyampaikan gagasan si perupa tanpa perlu bertatap muka langsung dengan orang yang melihatnya. Dalam berkesenian, ada tiga falsafah yang dipegang Yudi, diistilahkan dengan Ti g a D ay a . Fa l s a f a h i t u digunakan untuk bisa menilai ideal dan tidaknya sebuah karya seni. Pertama, Daya Tarik, daya yang berhubungan dengan penggunaan material yang dipakai. Kedua, Daya Ungkap, setelah orang melihat material (bentuk) karya dan tertarik, respons apa yang k e mu d i a n d iu n g k ap k a n . Dalam pameran misalnya, jika sebuah karya hanya selesai pada fase ketertarikan, maka pengunjung hanya singgah, melihat sebentar, berfoto, dan beranjak. Tidak menghasilkan kesan apa-apa. Jika sebuah karya memiliki daya ungkap, pengunjung berkesempatan untuk melakukan interpretasi, lebih jauh bisa jadi mereka mampu memaknai hidupnya. Daya ungkap juga terlihat saat si perupa sudah ‘tiada’, orangorang akan tetap mengenangnya lewat karya yang mereka buat. Ketiga, Daya Jangkau, daya yang bertalian dengan intrepretasi sebuah karya. Dalam artian apresiasi dan i nt r e p r e t a s i k a r y a y a n g dibuat, Yudi mencontohkan, “Misalnya ada kalimat ‘No smoking area’ jika kita melihat tulisan itu di permukiman yang penduduknya minim

pendidikan belum tentu pesan dalam kalimat tersebut bisa sampai, walaupun mungkin kalimat itu sudah dibarengi dengan gambar rokok dan tanda larang, kalimat itu bisa jadi ditangkap dan tidak, tergantung daya jangkaunya.” Bagi Yudi, baik seni rupa maupun cabang seni lain yang berperan bukan cuma fisik dan pikiran, tetapi juga perasaan. “Seni rupa tidak berbicara benar salahnya sesuatu, tetapi baik atau tidak baik, meskipun penilaian baik dan tidak baik bersifat subjektif, setiap orang memiliki hati nurani, dan setiap hari manusia belajar. Bagus atau tidaknya sebuah karya dipengaruhi oleh latar belakang proses yang kuat serta art of soul dari si pembuatnya,” tegasnya. “Salah satu cara agar kita bisa hidup abadi adalah dengan berkarya, karena yang akan dikenang itu bukan fisik atau diri kita, tapi karya yang kita hasilkan. Saat kita berkarya, kita memberikan pesan-pesan kehidupan yang baik untuk diri kita dan mungkin juga untuk orang lain, gambaran hidup kita juga akan terus hidup meskipun kita telah tiada”. Yu d i m e l a n j u t k a n , kar ya merupakan sebuah pertanggungjawaban kepada si pembuatnya dan mungkin juga bagi orang lain. Sebuah karya seharusnya tidak hanya menjadi tontonan, tetapi juga tuntunan.[] [1]http://artefact.id/2018/12/10/optimisme-seni-rupa-di-makassar/ [2]http://artefact.id/2019/02/17/makassarart-initiative-movement-art-of-process/


BUKU TERBARU KOTA DIPERAM DALAM LONTANG CITY SOAKED DI DRINKING STALL

80.000 Plus Notebook

Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives

LOKASI KAMPUNG BUKU

Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)

KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books

BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA

Instagram: @kedaigeraderi 7/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Dokumentasi Tim Makassar Biennale

DISKUSI HALAMAN RUMAH DI HALAMAN Syahrani Said

S

ore itu kami membicarakan tentang "Halaman Rumah" meskipun bukan di halaman rumah. Diskusi buku berjudul “Halaman Rumah/ Yard” yang diterbitkan oleh Tanahindie Press ini merupakan kumpulan tulisan mengenai halaman rumah, yang didiskusikan di kafe Pales Teduh, berlokasi di Jalan Kelapa Gading, Kelurahan Bumi Harapan, Kecamatan Bacukiki Barat, Kota Pare-Pare. Diskusi yang dihadiri langsung oleh penulisnya yaitu, Anwar ‘Jimpe’ Rachman dan juga Siswandi turut bercerita mengenai pengalamannya dalam memaknai lebih jauh tentang halaman rumah. Sementara itu, peserta diskusi yang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari mahasiswa, anggota komunitas literasi dan

8/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

seni, juga beberapa masyarakat yang sengaja datang. Setelah diskusi dibuka oleh moderator Alfian Diro Damis, narasumber pertama kemudian bercerita secara umum mengenai halaman rumah, makna, dan fungsinya. Sedikit mengulas kembali apa yang disampaikan oleh Anwar ‘Jimpe’ Rachman bahwa halaman rumah adalah ruang hidup, di mana kita dapat menjadikan halaman rumah sebagai ruang ekspresi. Misalnya di kota, halaman rumah adalah sebuah ‘panggung’, orang-orang berekspresi melalui banyak 'jalan' sesuai dengan kesenangan mereka. Salah satunya, halaman rumah dijadikan sebagai perpustakaan, ruang berdiskusi, atau ruang edukatif lainnya.


Sementara itu, Siswandi bercerita tentang pengalamannya saat berkunjung ke Kampung Paropo, Kampung Rama dan perkampungan di Jalan Sukaria, Kecamatan Panakukang. Di kampung Paropo, Siswandi menemukan sesuatu yang masih terawat hingga kini, diceritakan bahwa di Kampung Paropo terdapat sebuah lapangan kosong, yang secara tidak langsung merupakan halaman rumah orang-orang yang bermukim di sekitar lapangan tersebut. Siswandi juga menemukan sebuah kearifan lokal yang masih terus terjaga di tengah modernisasi yang kian merajai masyarakat. Siswandi menyaksikan bahwa masyarakat Ka mp u n g Pa ro p o m a s i h melaksanakan teater rakyat di tengah lapangan (halaman rumah) setiap tahunnya, dengan sederhana, hanya beralaskan terpal. Tradisi teater rakyat ini sudah berlangsung sejak lama dan tetap bertahan hingga hari ini. Siswandi merefleksikan halaman rumah bukan hanya sekadar bagian yang terhubung langsung dengan r umah, melainkan juga merupakan sebuah ruang yang mempunyai keterikatan emosional dengan pemilik rumah. Diskusi berlanjut setelah petang, dengan memberikan

kes emp at an b ag i temanteman yang turut hadir untuk mengutarakan hal-hal atau pengalaman mereka tentang halaman rumah. Ada yang bercerita tentang halaman rumah yang dijadikan sebuah k afe, d an b a g i b e b e r ap a komunitas hal itu membantu mereka dalam berkegiatan dan berpikir kreatif dengan suasana yang lebih santai seperti di rumah sendiri. Sedangkan, saya bercerita tentang lambatnya waktu berjalan ketika duduk di teras atau di kolong rumah (halaman rumah) saat berkunjung ke desa. Halaman rumah kemudian dijadikan sebagai ruang bertukar pikiran orang-orang di desa pada waktu senggang. Di sesi akhir bincang buku Halaman Rumah/ Yard, teman-teman dari Tanahindie turut mengajak komunitas di Pare-Pare untuk bergabung bekerja bersama dalam event Makassar Biennale 2019, yang rencananya akan dilaksanakan pada bulan September-Oktober mendatang. Bincang buku ini juga merupakan rangkaian dari pra event Makassar Biennale 2 0 1 9 . D i s ku s i ke mu d i an diakhiri dengan foto bersama, juga testimoni dari perwakilan beberapa komunitas di ParePare.

Siswandi menyaksikan bahwa masyarakat Kampung Paropo masih melaksanakan teater rakyat di tengah lapangan (halaman rumah) setiap tahunnya, dengan sederhana, hanya beralaskan terpal.

9/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Ilustrasi: M. Iqbal Burhan

KISAH LA GALIGO YANG TERSIRAT R. U Malatong

T

emaram senja perlahan pergi mengantarkan mentari kembali ke peraduannya. Perlahan malam datang menyibakkan tabir yang memisahkan waktu senja, mengundang rembulan merajai angkasa yang kehilangan kekasih. Sepoi angin malam menggetarkan tulang-tulang tangkai pepohonan yang tinggi menjulang nan hijau. Namun tersamarkan oleh legamnya malam dan terabaikan oleh usik-berisik tiupan basing1 dan palingoro2 pengiring musik tari pabbitte passapu3. Hamparan pesta adat dengan dekorasi tradisional khas Kajang, daun areng yang diikat di setiap tiang rumah yang dililiti oleh kain hitam di sepanjang barung-barung tempat para galla4. Lampu yang terbuat dari bambu dengan bahan bakar minyak tanah dipasang di

10/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

setiap sudut rumah untuk menerangi legamnya malam. Penduduk desa datang memeriahkan semarak pesta adat, kemudian berkumpul menyaksikan tarian pabbitte passapu untuk menyambut galla. Lukisan malam nan rupawan tergambar dalam polesan tata rias para penari yang berupa daster yang dililit di kepalanya. Konon katanya sebagai simbol ayam La Galigo sewaktu melakukan persabungan ayam dengan ayahnya, Sawerigading. Waktu menunjukkan pukul 10:35 saat galla memberi tanda bahwa acara telah usai. Lalu aku pamit kepada nenek hendak kembali ke rumah. Nenek memberiku tepa5 ditujukan untuk ayah kemudian memberiku pula sarung hitam milik ayah yang tertinggal beberapa hari yang lalu


sewaktu ayah berkunjung ke rumah nenek. Ketika itu, aku sedang berjalan menyusuri hutan lebat nan rindang di penghujung m u s i m h u j a n . Ta t k a l a gerimis datang menghantui perkampungan. Baju yang kukenakan mulai terkena rintikan hujan, untungnya ada selembar payung dohong bulo6 yang melindungi tepa yang aku bawa, entah apa isi tepa itu. Tepa barang titipan almahrum kakek untuk ayah. Aku tidak berani sama sekali membukanya, sebab nenek berpesan agar tepa titipan itu tidak dibuka sebelum sampai ke tangan ayah. Huj an mu l ai d e r a s , angin mulai kencang, pepohonan terlihat tumbang diakibatkan hujan deras yang berkepanjangan. Tubuhku mulai kedinginan, pakaian yang kukenakan basah begitu pula tepa yang ku bawa. Namun aku tetap berusaha melindungi tepa tersebut dari air hujan hingga tiba di rumah. Selepas hujan, aku langsung m a s u k k e k a m a r. Ta np a memberi tahu ayah bahwa nenek memberiku tepa titipan almarhum kakek untuknya. Aku takut memberikan tepa itu dalam keadaan basah kepada ayah, sebab nenek berpesan agar aku menjaganya dengan baik, jangan sampai rusak. Aku menaruhnya di sudut kamar, kemudian membungkusnya dengan sarung hitam milik ayah. Malam itu sangat sepi, ayah sedang tertidur nyenyak. Tak ada suara, tak ada cahaya selain nyamuk yang menggigit

kulitku, semuanya terpadamkan oleh suasana malam. Mataku berkedip memandang foto almarhum kakek di dalam bingkai tua berwarna hitam yang terpasang di dinding kamarku, seolah-olah aku melihat bintang bertaburan di foto itu. Sepertinya aku ingin tidur, namun cahaya bintang itu selalu menghantui tidurku, hatiku gelisah. Aku terbolakbalik kiri-kanan, padahal perasaanku sangat mengantuk. Pandanganku tertuju pada tepa itu, tidak jauh dari bingaki foto yang terpasang di dinding kamarku. “Anda siapa?” tanyaku penuh takut. “Aku menitipkan daun tokka itu di dalam tepa untuk ayahmu,” jawabnya tanpa memperlihatkan wajahnya dengan jelas. “Anda siapa?” tanyaku kembali. “Aku bernama Janggo Mat o a , ay a h d ar i n e n e k ayahmu. Aku kembali ke asalku ketika ayahmu masih menyusui. Tolong jaga baik-baik isi tepa ini, sebab kisah La Galigo ada dalam tepa ini.” Aku sangat penasaran dengan La Galigo. Siapakah La Galigo itu? Tanyaku dalam hati. Namun aku masih ragu mempertanyakan kepada kakek tua itu. Kakek itu berambut putih, rambutnya terurai sampai ke tanah. Pakaiannya serba putih, tapi wajahnya tidak terlihat jelas. Ia menyuruhku menjaga tepa pemberian nenek yang ditujukan untuk ayah.

Sebab bila ingin mengetahui siapa La Galigo cukup mempelajari isi di dalam tepa misterius itu, katanya. Kakek itu meninggal sebelum aku lahir, kira-kira ia meninggal 250 tahun yang lalu sewaktu B elanda masih menjajah Indonesia. Kata nenek, kakek dulu seorang pejuang yang mengusir tentara Belanda, sehingga tentara Belanda pada saat itu tidak pernah berhasil menjajah tanah Kajang. Berkat perjuangan kakek mengusir Belanda, sehingga kisah La Galigo tidak berhasil pula dituliskan dalam bentuk lontara' seperti di kerajaan tetangga; Gowa, Luwu, dan Bone. Kakek hanya memberikan kisah La Galigo dalam bentuk pasang, 7 lisan secara turuntemurun. Yang biasa dikenal dengan pasang ri Kajang. Seperti yang dititipkan di dalam tepa tidak berbentuk lontara' (tulisan) melainkan secara lisan. Kisah La Galigo di dalam tepa yang dititipkan kakek Janggo Matoa menceritakan tentang silsilah La Galigo, bahwa La Galigo anak dari Sawerigading, sedangkan S aw e r i g a d i n g a n a k d a r i Batara Guru kemudian Batara Guru anak dari Ba’ do’ Guru, kemudian Ba’ do’ Guru anak dari Padosa, kemudian Padosa anak dari Karaeng Tanggatangga. Karaeng Tanggatangga ini mempunyai dua saudara, yakni Karaeng Paratihi (Pertiwi-bawah tanah) dan Karaeng Boting Langi’ (Boting Langit-di langit).

11/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Kisah La Galigo dalam pasang ri Kajang biasa dikenal dengan “tri raja”. Tri raja ini merupakan asal-usul manusia yang melahirkan tiga manusia dari bangsa bumi, langit, dan bawah tanah. S elain menceritakan tentang silsilah La Galigo juga menceritakan tentang kelahiran La Galigo. La Galigo dilahirkan tanpa didampingi oleh seorang ayah, hanya didampingi oleh seorang kakek bernama Batara Lattu dan ibunya semata, We Cudai. Karena La Galigo tidak didampingi oleh ayahnya, sehingga orang-orang pada saat itu mengklaim bahwa La Galigo lahir tanpa ayah yang jelas. Lalu ibunya membuangnya ke sungai Tode. Ia menaruhnya di atas pelepah kelapa rumbia, kemudian memberinya satu buah telur, tiga lembar daun siri, dan kalung umbe-umbe8. Lima belas tahun kemudian La Galigo tumbuh menjadi anak yang gagah berani bersama ayam jagonya. Ia menjadi penyabung ayam yang hebat. La Galigo mulai menyabung ayamnya dari jazirah pantai selatan Karebosi hingga ke B u l o - B u l o B u l u k u m p a 9, Bulukumba. Konon katanya Bulo-Bulo Bulukumpa mengisahkan tentang awal mula pertumpahan darah La Galigo bersama penyabung ayam lainnya. Selain di Bulo-

12/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

Bulo Bulukumpa, La Cina juga menjadi sasaran tempat persabungan ayam La Galigo. Ayam La Galigo tidak pernah kalah sehingga namanya ters ohor d i mana - mana . Bahkan orang-orang istana kerajaan yang dipimpin oleh Sawerigading menyaksikan kehebatan La Galigo. Kemudian ada salah satu prajurit kerajaan menyampaikan kepada baginda raja bahwa ada seorang pemuda penyabung ayam yang hebat, tidak pernah dikalahkan oleh siapa pun. Pemuda itu menggetarkan istana. Baginda raja ingin menyaksikan kehebatannya. Lalu pemuda itu diundang untuk datang ke istana membawa ayam jagonya. Pemuda itu datang menghadiri undangan baginda raja. Namun, ia tidak ingin masuk ke dalam istana, sebab pakainnya compangcamping, tidak selayaknya seorang pemuda penyabung ay a m m e n g i nj a k i s t a n a , melainkan ia menunggu agar baginda raja keluar dari istana megahnya untuk menemuinya. “S elamat datang anak muda, namamu tersohor di mana-mana. Katanya kamu penyabung ayam yang hebat. Di mana ayam jagomu, bolehkah aku melawannya?” tantang baginda raja Sawerigading. “Kalau baginda raja tidak keberatan, hamba bersedia bila

itu kemauan baginda raja.” “Bila kau mengalahkan aku anak muda, maka ambillah sepetak tanah sejauh mata memandang beserta isinya. Tapi ketika aku mengalahkanmu, maka akan kupenggal kepalamu.” Bunyi tak bersua, tangan tak melambai, pepohonan tak bergerak menandakan persabungan ayam antara b a g i n d a r aj a d e n g a n L a Galigo segera dimulai. Hamparan alun-alun istana dengan ditandainya dekorasi p emas angan gelang gang. Penduduk istana berkumpul memeriahkan persabungan ayam tersebut. Ribuan sorot mata tertuju kepada ayam La Galigo, terpancar pula raut wajah ketampanannya berbalut busana compang-camping yang dikenakan. Sekali serangan, ayam baginda raja berhasil dikalahkan. Raut wajah baginda raja memerah melihat ayamnya terbunuh. Maka bernyanyilah ayam jago La Galigo: “ayah tidak tahu anaknya. Anaknya tidak tahu ayahnya.” “Aku tidak butuh tanah yang engkau berikan, tetapi aku butuh baginda raja.” “Kenapa kau berkata seperti itu anak muda? Bukankah persetujuan awal kita bila kau mengalahkan aku, maka aku hanya menyerahkan sepetak tanah sejauh mata memandang


beserta isinya.” “Tidak! aku tidak menginginkan pemberian itu.” “Kalau begitu, apa yang kau inginkan anak muda?” “Aku bernama La Galigo, ibuku bernama We Cudai. Aku dari negeri seberang. Bertahuntahun lamanya aku mencari ayahku bernama Sawerigading. Ibuku berpesan, agar aku mencari ayahku sampai dapat, sebab ayahku meninggalkanku sebelum aku lahir.” Baginda Raja Sawerigading terpukul dengan perkataan anak muda itu. Ternyata lima belas tahun lalu pertemuannya dengan sepupunya We Cudai telah membuahkan seorang anak. L alu B aginda R aja Sawerigading memeluk anaknya, La Galigo. Sejak itu Ammatoa10 sebagai pemimpin adat Kajang menaungi kerajaan Sawerigading, melarang lagi masyarakat menyabung ayam, kemudian diganti menjadi sebuah gerakan silat atau tarian pabbitte passapu. Sejak itu La Galigo dan Baginda Raja Sawerigading meninggalkan tanah Kajang. Mereka berangkat dari Tode tamparang labbaya11 menuju negeri La Cina untuk menemui ibunya dengan mengendarai perahu Bilanreng12. Jarak antara Tode tamparang labbaya, Kajang dengan La Cina cukup jauh, sehingga La Galigo bersama

Baginda Raja Sawerigading harus menempuh perjalanan selama tujuh hari tujuh malam lamanya. Malam senyap tak ada suara selain suara mulut ayah yang ngorok dan suara angin malam berhembus menampar-nampar atap rumbia, menyelisik masuk ke sela-sela lantai rumah yang terbuat dari bambu. Ternyata aku hanya bermimpi bertemu dengan kakek Janggo Matoa, tanyaku dalam hati. Aku baru tahu bahwa La Galigo mempunyai darah keturunan Kajang ketika kakek Janggo Mat o a m e n c e r it a k a n ny a padaku dengan tersirat dalam tidurku semalam. Aku bergegas menghampiri ayah kemudian memberikan tepa titipan kakek Janggo Matoa untuknya, yang nenek b er ikan kepadaku semalam di pesta. Ternyata tepa itu kosong setelah ayah membukanya. Per ist iw a mas a l a lu mengisahkan tabir dalam mimpi yang meny is a kan kenangan. Seperti peristiwa persabungan ayam La Galigo bersama ayahnya Sawerigading yang masih membekas pada tubuh Janggo Matoa, yang menceritakannya melalui bungkusan sarung hitam ke dalam tepa kosong.[*]

Catatan: 1. Basing: seruling. 2. Palingoro: gendang. 3. Pabbitte passapu: nama tarian khas Kajang yang diadopsi dari cerita rakyat La Galigo dan Sawerigading. 4. Galla: dewan adat. 5.Tepa: tempat penyimpanan dupadupa. 6. Dohong bulo: payung bambu. 7. Pasang: pesan (tradisi lisan orang Kajang). 8. Umbe-umbe: kalung yang isinya dipercaya melindungi diri. 9. Bulukumpa: nama kecamatan di Kabupaten Bulukumba yang menjadi saksi sejarah peninggalan La Galigo yang dipercayai oleh masyarakat bahwa di situlah tempat pertumpahan darah penyabung ayam. 10. Ammatoa: pemimpin adat komunitas Kajang. 11. Tode tamparang labbaya: nama kampung di Kajang yang dipercai sebagai tempat berangkatnya La Galigo bersama Sawerigading sewaktu ke La Cina negeri ibunya, We Cudai. 12. Bilanreng: nama pohon di Kajang yang dipercayai sebagai perahu Sawerigading.

13/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


PRODUK KAMPUNG BUKU

BAKING SODA

1 KG: 25.000 350 G: 20.000 FOODGRADE: 15.000

Books, Merchandise, Art Stuffs, Archives

LOKASI KAMPUNG BUKU

Jalan Abdullah Daeng Sirua, No. 192 E (Kompleks CV Dewi, Samping Kantor Lurah Pandang, Panakkukang, Makassar)

KONTAK PEMESANAN BUKU WA/ Telepon: 081248004896/ 0411 433775 Email: distribusiininnawa@gmail.com Twitter: @kampung_buku Instagram: @kampungbuku Website: www.ininnawa.com Bukalapak: bukalapak.com/u/jualind Tokopedia: tokopedia.com/kampungbuku Shopee: shopee.co.id/kampung_buku KOLEKSI BUKU PENERBIT ININNAWA Selengkapnya di: www.ininnawa.com/terbitan KEDAI GERADERI KAMPUNG BUKU Take Your Coffee,☕ Find Your Books

BUKA SETIAP HARI Jam 11:00 s/d 22:00 WITA, Minggu, jam 12:00 s/d 23:00 WITA 14/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

Instagram: @kedaigeraderi


Dokumentasi Aziziah Diah Aprilya

KOPI BUATAN ISTRI TUMPAH KE KANVAS BUDI Rafsanjani

K

ekaguman Budi Haryawan terhadap istrinya bernama Asma disalurkan lewat karya lukisannya dengan objek arsiran cangkir kopi—disandingkan dengan foto cangkir berisi kopi berlatar ruang studio rumahannya, yang dicetak menggunakan kertas jenis A5, dan ditempel di atas kanvas berukuran sekira 120 x 80 x 6 cm. Karya yang dihadirkan Budi Haryawan mengusung “Rumah (home)” sebagai judul utama karyanya dalam pameran Makassar Art Initiative Movement (MAIM) “Art of Process”. Pameran yang diadakan di Galeri Seni Rupa “Colliq Pakue”, Fakultas Seni Desain Universitas Negeri Makassar, berlangsung selama tiga hari (18-20 Februari 2019), dengan menghadirkan 9 perupa Makassar yang dikuratori oleh I Wayan Seriyoga Parta.

MAIM adalah sebuah gerakan kesadaran seni rupa di Makassar dalam menyebarkan semangat berkesenian yang dilandasi kekuatan spirit art of the soul sebagai upaya menjadikan Makassar medan tumbuh kembangnya dunia seni rupa yang dinamis dan kontinu, dengan menitikberatkan pada dialog intens. Dalam karya objek arsiran cangkir kopi dan sebuah foto cetakan cangkir berisi kopi yang ditampilan Budi Haryawan, representasi seorang istri, lantaran kopi buatan istrinya menjadi kesukaannya, yang dinilai memiliki kenikmatan tersendiri yang tak dapat diingkari. Untuk membuktikan konsep “kopi buatan istri”, Budi berdiskusi dan mengonfirmasinya terlebih dahulu ke teman-teman terdekatnya. Ia kemudian mendapati jawaban serupa, yang 15/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


membuatnya tambah yakin dengan konsep tersebut: suami lebih menyukai kopi buatan istri dibanding dengan kopi buatan orang lain, atas dasar adanya jalinan hubungan psikologi, di luar dari faktor rasa. Di sisi lain, kopi buatan istri juga dapat diatur takarannya tanpa merasa segan. Bahkan, salah seorang temannya berkata, “Kopi buatan istri menjadi kenikmatan kedua setelah urusan paling privat (di atas ranjang).” Di atas kanvasnya, di pinggiran arsiran cangkir k opi , ju g a d i g a mb a r k a n sebuah arsiran kembang pete sebagai simbol tanda cinta sang perupa dengan istrinya, yang terinspirasi dari lagu Iwan Fals berjudul Kembang Pete. Dalam sub judul karya utamanya, “Sebuah Tangga D i B aw a h S i n a r B u l a n”, Bagian Keempat: Till Death Do Us Apart, Budi Harywan membuatnya dengan menulis sajak untuk istrinya yang disimbolkan sebagai kembang pete, dituliskan seperti ini: “Sebatang pohon petai kupersembahkan padamu Segelas kopi yang kau buat adalah hikmat Yang tak akan teringkari.” Budi Haryawan lahir di Makassar, 15 Februari 1970. Ia seorang perupa asli BugisMakassar, bapaknya berasal dari Kabupaten Bone, sedang ibunya berasal dari Selayar. Sejak umur 2 tahun, Budi sudah mulai gemar menggambar 16/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

menggunakan kapur di lantai papan rumah orang tuanya dulu, kenang tantenya yang diceritakan ulang Budi Haryawan kepada saya. Saat mulai duduk di bangku SMP, ia mulai terbiasa menirukan gambar Pancasila, tokoh Jenderal Sudirman, dan tokoh fiksi pahlawan super seperti Superman, Megaloman, Star Wars, hingga berlanjut dengan mengarang sendiri setiap karakter imajinasinya dalam bentuk komik. Ketika beranjak SMA, Budi mulai belajar musik pada bapaknya, seorang guru kesenian dan punya orkes daerah. Setelah kelulusannya, p a d a t a hu n 1 9 8 9 , Bu d i melanjutkan studi di IKIP Ujung Pandang (sekarang Universitas Negeri Makassar), dengan mengambil Jurusan Seni Rupa. “Anak seni rupa yang setiap hari pegang gitar, bukan cat karena bergaulnya sama anak seni musik,” kenangnya. Sementara masih berstatus sebagai mahasiswa, Budi bersama temannya membentuk sebuah grup band bernama “Reckless” berisikan empat orang, dan ia sendiri sebagai gitaris. Saat itu adalah zaman rock dan metal. Di masa kuliahnya, sekisar semester enam ke atas, Budi mengaku sudah malas masuk kuliah, m e s k i i nt e n s d at a n g k e kampus hanya untuk bergaul bersama teman-temannya. Sementara itu, semester terus berjalan dari tahun ke tahun, dan tiba di penghujung masa studinya, Budi tidak mampu

lagi menyelesaikan kuliahnya hingga sarjana. Di masa yang bersamaan, ia bersama temannya yang l ai n m e n d i r i k an s e bu a h sanggar bernama “Sanggar Cenderawasih”, yang saat itu ikut beberapa pameran seni di Makassar, dan mendapat penghasilan dari penjualan karyanya. Salah satu pameran yang diikuti saat itu adalah p a m e r a n “ 2 1 Wa r n a” d i Hot e l S a d on a ( s e k ar ang Hotel Aryaduta) Mei 1998, “Jakarta rusuh, kita pameran di Makassar, tidak ada urusan,” kenang Budi sambil tertawa. Hampir 80 persen karya terjual di pameran tersebut, lantaran pamerannya dibuat seperti model bursa: ada jual beli di dalamnya. Di masa itu pula, hotel-hotel di Makassar cepat merespons jika ada pameran karena hotel mendapat fee sebesar 10 persen dari hasil penjualan karya. Salah satu lukisan Budi saat itu terjual seharga Rp1,5 juta yang awalnya diestimasikan seharga Rp400 ribu. Harga karya Rp200 ribu saat itu, sekarang nilainya dikisaran Rp1 juta. Bahkan lukisannya yang lain dengan objek siluet pengembala kerbau bernuansa subuh yang dipajang di Hotel Sadona terjual seharga Rp5 juta, sementara ketika itu harga rokok Gudang Garam Mini seharga Rp800, sedangkan ongkos pete-pete Rp100. Menurut Budi, seni rupa di Makassar mengalami degradasi, setidaknya dari tahun 1980-an, karena tidak ada ekosistem yang terbangun, tidak pernah


terbentuk iklim. Di Makassar, hampir tidak ada penulis dan kritikus seni yang konsisten dan objektif dalam melihat karya atau seni rupa Makassar secara umum. Di sisi lain, kritik karya antarseniman secara langsung (face to face), dinilai sejak dulu jarang terjadi. Oleh sebab itu, gambaran seni rupa Makassar jika dibikinkan semacam statistik atau kurva, maka statistiknya hanya mendatar dan menurun, serupa TTS (Teka Teki Silang). Budi memberi gambaran lain, misalnya dari tahun 1998, dari karyanya yang terjual seharga Rp1,5 juta, sedangkan sekarang lukisan seharga itu masih banyak yang protes. Meski dari aspek ekonomi produsen (kreator) dan konsumen di Makassar itu ada, namun broker yang profesional belum ada, sehingga konsumen tidak bertemu dengan produsen yang secara geografis dekat. Akhirnya yang terjadi konsumen di Makassar membeli lukisan di luar Sulawesi seperti Jawa. Bahkan pada 1980-an di Makassar di kalangan elite tertentu, seperti pengusaha, dan pejabat ada sebuah idiom, “Percuma ada Mercy di garasi kalau tidak ada lukisan di dalam rumah”. Belakangan ditelusuri, didapati seorang kolektor (orang kaya dulu) di daerah sekitaran Barombong punya lukisan Basuki Abdullah dan Sugiyono, sedangkan Wali Kota Makassar periode (1962-1978), Muhammad Daeng Patompo pernah mengoleksi lukisan dari Affandi, kata Budi.

Keterlibatan per upa kelahiran Makassar ini dalam pameran MAIM seakan mencoba menghadirkan nuansa studio rumahannya. Ia turut membawa perabot r uang studionya, s ep er t i cangkir kopi kesukaannya, lengkap dengan termos stainless berisi kopi buatan istrinya—disandingkan dengan toples kaca berisi kue Se’rose’ro (dalam istilah Makassar) atau biasa juga disebut kue kering, yang diletakkan di atas meja mini yang unik nan minimalis. Menariknya, kopi dan kue keringnya bebas untuk dinikmati siapa saja, sembari duduk dan mengobrol bersama sang perupa. Perabot studio seperti alas duduk yang tampak usang, yang sering ia gunakan saat melukis, juga turut dihadirkan di stan karyanya. Selain itu, tepat di sebelah kiri karya lukisannya yang berdiri tegak, terdapat sebuah kaleng biskuit “Hong G u a n”, y a n g d i a t a s n y a diletakkan sebuah kanvas yang penuh dengan cat berwarnawarni dengan beragam jenis kuas disusun di atasnya. Kanvas yang penuh dengan cat berwarna-warni ini dulunya dijadikan sebagai wadah hasil campuran sisa cat lukisannya, baik lukisan pesanan orang lain, maupun lukisan ‘pesanan’ pribadi. Tiga karya lainnya, karya berserinya berjudul “Sebuah Tangga Di Bawah Sinar Bulan”, yang terbagi dalam beberapa bagian, dituangkan dalam bentuk lukisan seukuran bingkai

seni rupa di Makassar mengalami degradasi, setidaknya dari tahun 1980-an, karena tidak ada ekosistem yang terbangun, tidak pernah terbentuk iklim.

17/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


10R yang dicetak dari lukisan aslinya (repro), dan dipajang dengan model menurun di sebelah kanan lukisan cangkir kopinya. Ketiga karya seri ini masing-masing lahir dari tahun yang berbeda. Seperti dalam kar ya, B ag ian Per tama: Lingkar Dalam (2009), direpresentasikan sebagai hubungan antara suami dan istri (inner circle). Bagian Kedua: Kitab-Kitab Kehidupan (2012), digambarkan dengan karakter Joker dengan kombinasi warna hijau kuning, yang sedang memangku kucing dengan cangkir kopi di tangan kanannya, sedang tangan kirinya memegang tatakan cangkir. Joker disimbolkan sebagai seorang suami, yang suka melucu bak seorang pelawak, di lain sisi sebagai seorang penasihat. Sementara penggunaan warna kuning dalam penggambaran Joker bisa jadi sebagai tanda kehatihatian atau penuh semangat, dan hijau tentang ketenangan serta kekuatan di baliknya.

18/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

Sedangkan, kucing disimbolkan sebagai seorang anak, dan cangkir kopi disimbolkan sebagai istri. Bagian Kelima: Kucing Dalam Buaian (2014), digambarkan seorang anak dengan pose membentuk huruf “V” terbalik, sedang membuai seekor kucing dengan bajunya seolah ayunan. Kucing Dalam Buaian, terinspirasi lewat lagu Ugly Kid Joe berjudul Cats In The Cradle, dengan konsep like father like son, bagaimana seorang bapak memperlakukan anaknya, seorang anak akan meniru perilaku orangtuanya, “Itulah juga sebuah Kitab Kehidupan bagi keluarga,” kata Budi. Secara keseluruhan, karya yang dihadirkan Budi bercerita tentang kehidupan keluarga dalam rumah tangga dari sudut pandang seorang bapak atau suami, dengan menggambarkan seorang istri dan anak sebagai pelakon utama, karya yang sifatnya personal, karya yang lahir dari proses pengalaman rumah tangga si perupa.

Selain itu, karyanya bisa jadi sebagai upaya meditatif dalam memulihkan kenangan dan menjembatani masa lalu dan masa kini dalam kehidupan rumah tangganya. Namun, pada dasarnya, karya ini bersifat umum, sebab membicarakan tentang rumah sebagai topik utamanya, rumah dalam artian luas. Seperti dalam pengantar karyanya, dituliskan: “S e mu a b e raw al d ar i rumah (home), Kita semua berasal dan berawal dari rumah. Tak ada tempat yang dapat menggantikan rumah. Struktur organisasi sosial terkecil adalah rumah tangga. (Bila ingin memperbaiki dunia, maka perbaikilah dahulu rumahmu).” Secara pribadi, dari segi konsep dan strategi yang dihadirkan dalam karyanya tercermin dalam tajuk pameran ini, “Art of Process”. Dengan kata lain, konsep dan strategi si perupa dalam menghadirkan nuansa studio rumahannya serta tampilan proses dari lukisan arsiran gelas cangkir kopinya yang tampak orisinil. []


ClayGround Theater Project

Dokumentasi Anwar 'Jimpe' Rachman

19/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


20/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Performance and ceramic making workshops (Lokakarya pertunjukan dan pembuatan keramik) “Theater on the clay ground, recalling my hometown” (“Teater di hamparan lempung, pengingat kampung halaman”)

by Fellow and Friends Sebagai bagian dari SEAD Create Process, Thanupon Yinde (Thailand), Anwar Jimpe Rachman (Indonesia), dan Khouanfa Siriphone (Laos) berkolaborasi dalam Fellow and Friends mengerjakan satu proyek di Chiangmai, Thailand. Kerja sama ini dimungkinkan oleh kerja dan ketertarikan masing-masing seperti tari, hubungan manusia dengan tanah, dan kekriyaan. Proyek itu menggabungkan tiga unsur itu dalam proyek ekspresi seni bernama ClayGround Theater. ClayGround Theater merupakan satu seri lokakarya bermedium tari dan kriya untuk membantu khalayak mengeksplorasi memori tentang tempat favorit masa kecil, yang kemudian meminta mereka berbagi kenangan dengan orang-orang berlatar sosial yang berbeda demi menciptakan dan menjadi bahan dialog. Harapannya, dialog tersebut membangun pemahaman, membangun empati bagi orang-orang yang menetap di lokasi tertentu, juga dipakai oleh mereka yang berpindah-pindah lantaran alasan tertentu. Inti konsep ini adalah membangun empati kita terhadap orang lain di masyarakat kita. ClayGround Theater memanfaatkan dua kesamaan utama mereka: kenangan dan empati untuk digabungkan dengan yang mereka praktikkan, yakni memakai tarian sebagai komunikasi demi menumbuhkan empati di berbagai kelompok masyarakat, upaya memahami bagaimana perubahan penggunaan lahan di berbagai tempat seiring waktu, dan bagaimana kriya digunakan sebagai sebentuk ekspresi seni. Kelompok ini berharap pendekatan interdisipliner proyek ini tidak semata-mata menjadi satu pengalaman saja. Ini juga bisa memberi kemungkinan lain dalam berbagi pengalaman. Akhirnya peserta akan meninggalkan lokakarya dengan ingatan baru yang mereka temukan dan terbangun saling pengertian satu dengan lainnya. Ketika Asia bertumbuh, ada perihal yang akan terus mendampinginya, yakni kemanusiaan. As part of SEAD Create Process, Thanupon Yindee (Thailand), Anwar ‘Jimpe’ Rachman (Indonesia), and Khouanfa Siriphone (Laos) teamed up to co-create a project in Chiangmai, Thailand in March 2019. The collaboration is inspired by each other’s work and passion such as dance, relationship with land, and handicraft. Therefore, the three SEAD fellows challenge ourselves to come up with the humble, interdisciplinary approach to an art expression call ClayGround Theater project. ClayGround Theater project a series of workshop that use dance and craft as medium to help audience explore their memories of their favourite place in their childhood, then prompt them to exchange their memories with others from different fields and social backgrounds to create dialogue. And we hope that the exchange will also build understanding among each other, thus creating empathy for people who stay in one location, but used to migrate from many locations with myriad of reasons to do so. In the heart of this concept is to build our empathy towards others in our society. Clay ground theater project comes from harnesses the three fellows’ two key commonalities: memories and empathy to combine with what we are practicing/passion: using dance as communication that can build empathy among different groups in society, the quests to understand how land use are changed through time and from different places, and how crafts can be used as another form of art expression. The team hope that this interdisciplinary approach to our project would bring out not just an experience. It will also provide different ways to share experience as well. Lastly, participants will walk away from the workshops with new-found memories and understanding among each other as well. When Asia keeps raising, we also hope that Asia can also raise its humanity as well.

21/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Perkebunan Karet PT Lonsum | Dokumentasi Anwar 'Jimpe' Rachman

MEWARISKAN PERLAWANAN Ady Anugrah Pratama

K

amis 8 November 2018, pertama kali memasuki area pendudukan mayarakat Kajang. Saat awal kedatangan kami di lokasi, seorang pria tiba-tiba datang memukul petungan berulang-ulang sambil berteriak memanggil orang-orang yang ada di sekitar lokasi pendudukan untuk berkumpul. Tak cukup sepuluh menit, para lelaki dari kalangan orang tua, dewasa, maupun remaja kemudian berkumpul di tenda. Terpal sengaja dibentang luas untuk menutup permukaan tanah sebagai alas duduk di bawah tenda: ada yang duduk bersila, jongkok, sedang yang lainnya berdiri di luar tenda. Kedatangan orang-orang baru di lokasi pendudukan selalu menimbulkan kecurigaan bagi masyarakat, untungnya kedatangan kami ke lokasi pendudukan hari itu didampingi oleh

22/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

Pak Amir, salah satu warga yang juga melakukan pendudukan. Setelah semua orang berkumpul di tenda, Pak Amir lalu memperkenalkan kami kepada masyarakat yang melakukan pendudukan. Dengan Bahasa Konjo (bahasa yang dituturkan oleh Suku Kajang, yang termasuk dalam rumpun Bahasa Makassar), dan sesekali menggunakan Bahasa Indonesia, Pak Amir menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan kami. Sebelum kami ke lokasi pendudukan warga, kami singgah terlebih dahulu di rumah Pak Amir sembari berkenalan dan mengobrol perihal pendudukan yang dilakukan masyarakat Kajang. Dari informasi Pak Amir, saya mendapatkan gambaran awal tentang konflik masyarakat adat dengan PT London Sumatra (Lonsum).


Awal mula Pak Amir ikut dalam perjuangan masyarakat Kajang ketika ia ikut organisasi yang mendampingi masyarakat dalam perjuangan mengembalikan tanah mereka yang diambil paksa oleh Lonsum. “Pertama kali saya ikut dalam perjuangan ini tahun 2011, tahun sebelumnya saya tidak ikut karena saya berada di Malaysia,� kata Pak Amir kepada kami di rumahnya. Pak Amir juga mengaku sebagai orang yang pernah bekerja di Lonsum, yang kemudian di-PHK pada tahun 2003 dan memutuskan untuk merantau ke Malaysia, hingga tahun 2006 kembali ke Bulukumba. Te r d a p a t t i g a l o k a s i pendudukan masyarakat adat Kajang, tiga lokasi tersebut berada di Bonto Mangiring (Kecamatan Bulukumpa), Bontoa (Kecamatan Bulukumpa), dan Tamatto (Ujung Loe). Lokasi-lokasi tersebut telah ditanami jagung oleh masyarakat adat sebagai bentuk perlawanan terhadap Lonsum yang dianggap telah merampas tanah mereka. Sementara itu, luas lahan yang telah ditanami jagung oleh masyarakat di Tamatto sekisar 50 hektare. Pendudu kan b er mu la s etelah masyarakat yang menjadi korban perampasan lahan dan masyarakat adat Kajang melakukan aksi di Kantor Bupati Bulukumba. Pendudukan yang dilakukan masyarakat dimulai sejak tanggal 24 September 2018

atau bertepatan perayaan hari Tani Nasional. “S e t e l a h a k s i p r o t e s masyarakat di kantor bupati, kami kembali ke Tamatto dan melakukan aksi pendudukan areal HGU Lonsum yang kosong. Awalnya, kami tak merencanakan pendudukan, tapi karena Lonsum tidak menaati kesepakatan di kantor bupati, maka kami melakukan tindakan,� jelas Pak Amir. Berdasarkan hasil pertemuan dengan bupati yang berlangsung di Kantor Bupati Bulukumba, masyarakat dan pihak Lonsum untuk sementara waktu tak boleh melakukan aktifitas penanaman sebelum ada kesepakatan HGU baru. Kedua belah pihak diminta menugggu tim verifikasi yang akan dibentuk oleh Kemendagri turun melaksanakan tugas yang telah disepakati. Dalam perjalanannya, pihak Lonsum tak menaati himbauan dari bupati tersebut. Buruh-buruh perusahaan justru melakukan penanaman kembali karet di areal kosong yang berada di Tamatto. Aw a l ny a m a s y a r a k a t melakukan penghadangan terhadap upaya penanaman yang dilakukan Lonsum, sempat terjadi perdebatan antara perwakilan masyarakat dan pihak Humas Lonsum. Setelah peristiwa penghadangan itu, warga kemudian berinisiatif membuat tenda dan menduduki lahan yang rencananya akan ditanami oleh pihak Lonsum.

Berdasarkan hasil pertemuan dengan bupati yang berlangsung di Kantor Bupati Bulukumba, masyarakat dan pihak Lonsum untuk sementara waktu tak boleh melakukan aktifitas penanaman sebelum ada kesepakatan HGU baru.

23/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Perlawanan-Perlawanan Masyarakat Kajang Tahun 1967 adalah tonggak awal perlawanan masyarakat adat Kajang dan masyarakat petani yang dirampas tanahnya oleh Lonsum. Kurang lebih seribu orang menentang pengembangan usaha Lonsum. Bentuk perlawanan yang saat itu dilakukan oleh masyarakat dengan mencabut bibit karet pada malam hari yang sebelumnya ditanam pada siang hari. Namun, bentuk perlawanan itu dihentikan oleh serangkaian tindakan represif dan tindakan intimidasi oleh aparat keamanan. Untuk menghentikan perlawanan masyarakat, Lonsum juga menutup saluran-saluran air warga yang digunakan untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian. Pada tahun 1982, tiga warga dari Bonto Biraeng: Hamarong, Salassa, dan Bundu kemudian mengambil inisiatif perlawanan terhadap Lonsum. Perlawanan mereka berhasil mengumpulkan 253 petani yang kemudian mengajukan gugatan perdata atas tanah seluas 200 hektare. Gugatan perdata yang dilayangkan ke mu d i an d i me nang k an sampai ke tingkatan Mahkamah Agung pada tahun 1987. Setelah menempuh upaya gugatan perdata, tanah kemudian dieksekusi pada tahun 1898 sampai tahun 2001, karena tanah yang dimenangkan tak diserahkan penuh oleh Lonsum. Pada 24/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

tahun 2003 warga kemudian kembali melakukan perlawanan dengan melakukan pendudukan. Aksi pendudukan yang di la ku kan b er ujung dua orang petani harus meregang nyawa setelah peluru aparat kepolisian menyasar tubuhnya. Peristiwa penembakan itu terjadi pada 21 Juli tahun 2003. Kedua orang petani yang tewas tertembak bernama Barra bin Badulla dan Amsu bin Musa, yang meninggal empat hari kemudian setelah betisnya tertembak dan luka yang dialaminya membusuk lantaran bersembunyi di hutan. Mantahiyya, lelaki berambut putih, yang juga ikut dalam aksi tersebut masih mengingat jelas peristiwa penembakan pada 21 Juli tahun 2003. “Jam sepuluh pagi kita ke Ompoa, Kecamatan Gantarang, Bulukumba untuk melakukan penebangan karet, tidak lama setelah menebang, datang mi polisi menembaki kami,” kenang Mantahiyya. Menurut Mantahiyya polisi awalnya hanya dari Polres Bulukumba, setelah itu polisi kehabisan peluru, maka mereka kemudian meminta bantuan ‘dari luar’, sehingga jumlah polisi yang menembaki warga bertambah banyak. “Saya punya anak ditembak dan istri dipenjara selama 16 bulan. Selesai dikasih keluar peluru di kakinya anakku, langsung dibawa ke penjara,” cetus H. Rumalla, warga yang istrinya ikut terlibat dalam aksi penebangan pohon karet.

Pada tahun 1982, tiga warga dari Bonto Biraeng: Hamarong, Salassa, dan Bundu kemudian mengambil inisiatif perlawanan terhadap Lonsum. Perlawanan mereka berhasil mengumpulkan 253 petani yang kemudian mengajukan gugatan perdata atas tanah seluas 200 hektare.


Di lokasi pendudukan, ia menceritakan istrinya yang harus mendekam di dalam penjara setelah ikut dalam upaya pendudukan bersama masyarakat lainnya. Dalam pendudukan kali ini, ia masih bergabung bersama masyarakat petani dan masyarakat adat untuk mengembalikan tanah mereka yang dirampas secara paksa. Tidak hanya itu, peristiwa penembakan pada 21 Juli 2003 silam, juga ada beberapa petani lain yang merasakan luka tembak dari aparat dan pihak Lonsum saat melakukan aksi protes atas perampasan lahan. Peristiwa tersebut bermula dari proses pendudukan lahan (reclaiming) HGU PT Lonsum oleh ribuan petani yang tanahnya dirampas oleh perusahaan perkebunan karet tersebut. Di bawah tenda, saya mewawancarai Pak Baco Bara, salah satu masyarakat yang lahannya ikut dirampas. Ia juga salah seorang yang pertama kali mendirikan tenda untuk pendudukan. Saat saya mewawancarainya, ia memperlihatkan dokumendokumen miliknya, termasuk data-data yang didapatkannya s el ama d itu g ask an ol eh or g an i s a s i . D i t e n d a i a tinggal bersama istri, anak dan cucunya. Dulunya ia tinggal di Tamatto, lokasi yang diduduki masyarakat saat ini. Di areal s ekis ar 50 hekt are yang diduduki masyarakat, dulunya adalah lokasi rumahnya berdiri

yang juga ditanami padi dan jagung di sekitarnya. Namun, ia diusir oleh pemerintah desa dan aparat polisi serta hansip. Ia dimint a merob oh kan r u m a h ny a d an m e n c ar i lokasi lain untuk membangun rumah. Saat ini ia tinggal di Desa Tambangan, Kecamatan Kajang. Keesokan harinya setelah saya mewawancarainya, Pak Baco mengajak saya melihat langsung lokasi rumahnya dulu berdiri, kebun jagung, sawah, hingga kuburan keluarganya. Lokasinya hanya berjarak seratusan meter dari tendatenda pendudukan masyarakat. “Ini kuburan kakek saya dan paman saya,� Pak Baco menunjukkan. Ukuran kuburan itu tak terlalu besar, untuk menandai kuburan itu, batu disusun rapi berbentuk persegi panjang namun tak ada nisan yang menunjukkan nama kuburan. S e j a r a h b e r d i r i ny a P T Lonsum Sebelum berubah nama menjadi PT. London Sumatera (Lonsum), perusahaan ini awalnya bernama NV Celebes Landblouw Maatschappij. Per usahaan ini p er tama kali datang ke Bulukumba pada tahun 1919. Legalitas perusahaan ditopang oleh surat keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda No.43 dan 44 tanggal 10 Juli 1919 dan 18 Mei 1921. Selain itu, perusahaan N V C el eb es L andbl ouw Maatschappij mendatangi

Tidak hanya itu, peristiwa penembakan pada 21 Juli 2003 silam, juga ada beberapa petani lain yang merasakan luka tembak dari aparat dan pihak Lonsum saat melakukan aksi protes atas perampasan lahan. Peristiwa tersebut bermula dari proses pendudukan lahan (reclaiming) HGU PT Lonsum oleh ribuan petani yang tanahnya dirampas oleh perusahaan perkebunan karet tersebut.

25/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Ammatoa sebagai pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang untuk mengelola tanah seluas 200 hektare dengan status hak erfacht. Ammatoa memberikan izin kepada perusahaan dengan syarat: tanaman yang ditanam adalah tanaman lokal yang dikenali masyarakat agar masyarakat juga bisa mengambil manfaat dari perusahaan perkebunan. Awal beroperasi perusahaan perkebunan tersebut dimulai dengan menanam kopi dan kapuk. Namun, dalam perjalananya perusahaan ini menanam karet. Setelah memasuki masa kemerdekaan, perusahaan NV Celebes Landbouw Maatschappij mengajukan perubahan status dari hak erfacht menjadi Hak Guna Usaha (Sesuai dengan Undang Undang Pokok Agraria Nomor tahun 1960). Pengajuan itu kemudian diterima tahun 1968 yang berlaku hinga 31 Desember 1998. Sebelum berakhir tahun 1998, HGU perusahaan yang kini bernama PT Lonsum (London Sumatra) kemudian diperpanjang 25 tahun, hingga tahun 2023. Pada 8 Agustus 2018, perwakilan masyarakat adat dan masyarakat lain yang menjadi korban perampasan lahan, bertandang ke Jakarta

26/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

untuk menempuh jenjang lain perjuangan. Pertemuan tersebut dihadiri oleh Direktur Kaw a s a n Pe r k ot a a n d a n Batas Negara Kemendagri, Kementerian ATR/BPN, Bupati Bulukumba, Ketua DPRD Bulukumba, Pemda Sulsel, Kantor Pertahanan Kabupaten Bulukumba, PT PP Lonsum, Tokoh Masyarakat Bulukumba dan Kasubdit Fasilitas Masalah Pertanahan Ditjen Bina Adwil, Kemendagri. Dari pertemuan tersebut, Kemendagri akan dibentuk tim kecil yang akan diberi tugas mengukur ulang HGU milik Lonsum dan tanah milik masyarakat adat serta penetapan batas-batas lahan. Jika dalam proses pengukuran ulang terdapat tanah adat di dalam HGU Lonsum, maka tanah tersebut harus dikeluarkan dari HGU, termasuk akan diperjelas batas-batas antara tanah adat dan HGU. Dalam perjalanannya, tim tersebut belum ‘turun’ hingga menjelang tiga bulan lebih masyarakat adat dan masyarakat lainnya melakukan pendudukan. Selain menunggu tim verifikasi batas tanah adat dan HGU, masyarakat adat dan masyarakat lainnya berharap HGU Lonsum tidak diperpanjang lagi.

Tana h y ang s ek ar ang diduduki oleh masyarakat adat dan masyarakat petani adalah tanah adat milik masyarakat yang diklaim oleh Lonsum. Menurut versi masyarakat adat, luas HGU yang dimiliki Lonsum sebesar 5.789 hektare, terdapat 2953 hektare tanah adat masyarakat Kajang yang dibuktikan dengan beberapa bukti alam seperti Bukit Jaya, Bukit Madu, situs budaya dan pemakaman tua, dan sumur warga. Di samping itu, Peraturan D aera h Nomor 9 t a hun 2015 tentang Pengukuhan, Pengakuan Hak, dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang, s e c ara hu kum menga kui keberadaan masyarakat termasuk wilayah teritorial masyarakat adat Kajang. Pendudukan masyarakat adat dan petani masih berlangsung seiring jagung yang ditanam terus tumbuh. Masyarakat terus siaga dan menghalau aktivitas penanaman di lahan yang mereka telah tanami.


KEES BUIJS PENERBIT ININNAWA 275 HALAMAN 268 HALAMAN ISBN 9786026176943 ISBN 9786026176936 Traditional adat houses in Tana Toraja (tongkonan) and in Mamasa (banua) have similarities and differences. Buijs investigates indications in the shape and ornaments of the banua in Mamasa that point to ancient traditions, which could be related to groups that migrated from Tana Toraja long ago. The banua represent an older tradition than the tongkonan. This can be shown in the layout of the houses and especially in some ornaments and woodcarvings.

Beruntung wilayah hunian masyarakat Toraja Mamasa masih mempunyai rumah-rumah adat tradisional, banua, yang tertua dan masih tegak sampai sekarang. Ini memungkinkan Kees Buijs, seorang pendidik dari Belanda, untuk menyelidiki petunjuk-petunjuk yang merujuk pada tradisi purba yang berhubungan dengan kelompok masyarakat yang pindah dari wilayah Toraja Sa'dan di utara ke bagian barat yang kini disebut Mamasa.

The rituals during the building, inauguration, and demarcation of a new banua are described and explained. The show clearly its religious background and purpose. One ritual, ditobangngi barang, receives special attention because it shows that the banua must be directed again towards life and blessing for life, ater a mortuary ritual has been held in the house

Kajian antropologis "Tradisi Purba Rumah Toraja Mamasa, Sulawesi Barat" ini merinci perbedaan Toraja Mamasa dan Toraja Sa'dan dengan meneliti lewat ukiran, bagian-bagian tertentu, dan cara membangun banua, rumah tradisional Toraja Mamasa. Dengan begitu pula, Buijs menunjukkan pada kita penjelasan-penjelasan terkait perbedaan kebudayaan suku Toraja Mamasa yang hidup di bagian barat jantung pegunungan Sulawesi dengan masyarakat Tana Toraja yang hidup di bagian utara. 27/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


SEKILAS TENTANG GOWA MENYALA -Muhammad Fikri Rais

28/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

G

owa Menyala adalah sebuah gerakan literasi yang dibangun melalui pembiasaan membaca, khususnya bagi anak-anak. Gerakan ini terbentuk pada tahun 2015, diinisiasi oleh beberapa relawan dari Kelas Inspirasi Gowa II, yang kerap aktif dalam program-program pendidikan yang sifatnya kerelawanan. Tahun 2016, Gowa Menyala baru mulai aktif menjalankan kegiatan literasi di sekolah-sekolah dasar di Kabupaten Gowa. Gerakan yang sifatnya kerelawanan ini artinya orang-orang yang bergabung sebagai relawan telah bersedia secara sukarela mengabdikan diri untuk berbagi ilmu dan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya bagi anak-anak. Relawan yang tergabung dalam gerakan literasi ini berasal dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar/mahasiswa hingga tenaga pendidik turut serta dalam kegiatan ini.


Pada kegiatan literasi sekolah yang dilakukan, anak-anak diajak untuk membaca sebuah buku cerita dan didampingi oleh relawan, satu anak biasanya didampingi satu relawan. Setelah anakanak membaca buku ceritanya masing-masing, beberapa dari mereka kemudian menceritakan kembali isi buku yang telah dibaca, tentu sesuai dengan gaya mereka bercerita dihadapan relawan dan teman-temannya. Selain itu, gerakan ini juga mengadakan program reading challenge bagi anak-anak sekolah dasar kelas tiga ke atas yang belum bisa membaca, relawan akan datang ke sekolah dan mendampingi mereka belajar membaca secara intensif. Sementara itu, dalam penyediaan bahan bacaan bagi anak-anak, Gowa Menyala mengadakan program “Baling� (Baca keliling), bekerja sama dengan Perpustakaan Abdurrasyid Daeng Lurang yang berada di Sungguminasa, Kabupaten Gowa.

Dokumentasi Gowa Menyala

Dalam beberapa tahun terakhir, Gowa Menyala setiap bulannya menjalankan beberapa kegiatan, dengan berfokus pada anak-anak sekolah dasar di Kabupaten Gowa. Salah satu sekolah dampingannya saat ini, yaitu SD Inpres Mawang, Kabupaten Gowa. Alasan dipilihnya sekolah tersebut menjadi sekolah dampingan karena perpustakaannya tidak memiliki koleksi buku yang menarik untuk dibaca anak-anak. Ditambah, lokasi perpustakaan sekolah ini terbilang jauh dari ruang-ruang kelas sehingga jarang siswa-siswi ingin berkunjung ke perpustakaan.

D alam program B aca Keliling ini, perpustakaan Abdurrasyid Daeng Lurang sebagai penyuplai buku-buku anak. Kemudian, para relawan yang akan membawa buku-buku tersebut ke sekolah-sekolah dasar yang ada di Kabupaten Gowa. Kegiatan ini dilakukan dua kali dalam sebulan, artinya setiap bulannya ada dua sekolah yang dikunjungi oleh para relawan dan pihak perpustakaan. Tujuan dari program ini, selain untuk meningkatkan minat baca anak juga untuk menumbuhkan sikap cinta perpustakaan. Kegiatan-kegiatan literasi yang sering dilakukan biasanya juga dirangkaikan dengan peringatan hari-hari nasional, seperti hari pendidikan nasional, hari pahlawan, hari aksara, dan lain-lain. Selain kegiatan literasi sekolah, Gowa Menyala juga biasanya mengadakan kegiatan untuk para relawan dan bagi siapa saja yang ingin datang dan berpartisipasi. Kegiatan tersebut bernama “Ceritakan Bukumu�. Pada kegiatan ini, beberapa relawan atau siapa saja yang ingin menceritakan buku yang telah dibaca dengan tujuan berbagi bahan bacaan dan menambah referensi bacaan untuk relawan dan kalangan lain yang datang.

29/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Dokumentasi Aziziah Diah Aprilya

NALURI CORET-CORET FAISAL Fauzan Al Ayyuby

“Refusal to hope is nothing more than a decision to die.” - Pearl S. Buck

P

roses kontemplasi Faisal Syarif membawanya membuat karya berjudul “Artist Value”, sebuah karya berdimensi dua kali dua meter persegi berlatar putih yang penuh dengan ‘coret-coret’ berwarna merah, cokelat, biru, kuning, oranye, dan hitam. Coret-coret Faisal Syarif pada karyanya seperti peta dari hasil tur perjalanan pikirannya yang acak dan beragam: mulai dari persoalan pribadi, hingga persoalan seni rupa di Makassar. Puncaknya, ketika ia mengalami hal-hal luar biasa dalam hidupnya. Tahun 2018 menjadi tahun yang luar biasa bagi Faisal Syarif, seniman kelahiran Makassar 15

30/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

Oktober 1978, karena istrinya, Anggreani Muktar Ali yang secara medis divonis tidak bisa hamil, ternyata hamil. Selama lima tahun, penantian pasangan suami-istri ini membuahkan hasil, setelah sebelumnya memutuskan menikah pada tahun 2014 silam. Di tahun yang sama, Faisal juga diajak sebagai “emerging artist” oleh Galeri Marco Antonio Patrizio, sebuah galeri yang berbasis di Padua, Italia. Galeri yang didirikan pada tahun 2017 oleh Dr. Marco Antonio Patrizio ini berfokus pada seni kontemporer. Harapan-harapan Faisal akhirnya terjawab oleh upaya dan waktu. Itu dibawanya pada


proses berkesenian. Ia bersama sembilan seniman di Makassar menginisiasi pameran Ma k a s s a r A r t In it i at i v e Movement (MAIM), sebuah pameran yang bercita-cita menyebarkan “virus” semangat berkesenian yang total, kreatif, maksimal, dan menampilkan ide-ide segar yang inovatif memiliki nilai kebaruan. Gerakan ini memiliki harapan besar Makassar dapat menjadi medan tumbuh kembangnya dunia seni rupa yang dinamis dan dialektik.1 “Art of Process” menjadi te m a p am e r an te rs e but , dengan menghadirkan presentasi yang tidak biasa dengan membuat display, menghadirkan studio seniman di dalam ruang pameran sebagai presentasi pameran itu sendiri. 2 Konsekuensi dari pameran proses adalah menampilkan ‘rahasia dapur’ dari para seniman yang terlibat pada pameran itu. Kita bisa mengimajinasikan bagaimana sebuah karya diproses dari gagasan hingga visual. Kar ya Faisal yang dibawanya pada pameran MAIM adalah representasi visual dari pola pikir seniman yang acak, lalu divisualkan Faisal menjadi karya. “Seniman itu pola pikirnya acak, tapi ketika dia dilihat sebagai satu kesatuan, akan terlihat indah,” Faisal menjelaskan tampilan karyanya. Menurut Faisal, pola pikir seniman yang acak dipengaruhi oleh cara respons seniman yang lebih banyak menggunakan

intuisi dan na lur i. Pada karyanya, ditandai dengan empat tulisan membentuk persegi panjang berwarna merah. Empat tulisan itu: ego (emosi); IQ, logika (berpikir); EQ, naluri; dan SQ, nurani. Ia meletakkan kata inisiatif tepat di bawah tulisan EQ, naluri. Di tengah empat tulisan berbentuk persegi panjang itu, ia juga meletakkan gambar serupa otak dengan tulisan ‘life’ di tengahnya. Semakin mene gaskan , b agai mana seniman menjalani hariharinya dengan menggunakan naluri, kata Faisal. K a r y a Fa i s a l b a ny a k menjelaskan tentang naluri karena menjadi basis pola pikir seniman. Berhubungan dengan hal tersebut, di bagian tengah sebelah kanan karyanya, Faisal menuliskan hadis riwayat Tirmidzi (No. 2344):

bakat menurut Faisal bukanlah menjadi landasan utama dari proses kekaryaan. Ada juga orang yang melatih keterampilan yang kemudian menjadi bakatnya, pada alam bawah sadar terendap karena terus dilatih dan menjadi kebiasaan.

“Seandainya kalian benar-benar bertawakkal pada Allah, tentu kalian akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi rezeki. Ia pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali di sore hari dalam keadaan kenyang.” S ementara itu, kata rezeki pada hadis tersebut diberi tiga tanda seru, Faisal mengatakan, naluri seniman yang membawanya pada rezeki, tetapi naluri tanpa inisiatif tidak bisa mendatangkan apa-apa. Selain itu, di bagian bawah tulisan hadis tersebut, ditegaskan oleh Faisal, tertulis dengan warna hitam, “Tugas manusia untuk memiliki

Foto: Fauzan Al Ayyuby

31/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


Untuk dapat memahami keseimbangan persentase bakat, inisiatif, tim, dan keberuntungan sebagai kolaborasi, Faisal menekankan perlunya titik kritis yang dilewati oleh seniman.

32/ Yard - Edisi 10, Maret 2019

‘ i n i s i at i f b e rge r a k’ u ntu k mengambil tanggung jawab dan menumbuhkan keyakinan dalam prosesnya mengalami perjalanan spiritual dimulai dari diri sendiri.” Masih berhubungan dengan cara pikir seniman, yang oleh Faisal disebut banyak menggunakan naluri, tulisan ini seperti menjawab pertanyaan ‘apa’ setelah naluri. Dalam proses berkarya, s eniman le wat na lur i dan inisiatifnya juga membutuhkan dukungan yang lain. Faisal membuat peta pikiran pada karyanya. Ia membaginya dalam empat bagian, yang ia tandai pada kotak persegi panjang berwarna merah. Masing-masing diberikan persentase sebanyak dua puluh lima persen: bakat, inisiatif, tim, dan keberuntungan. Pertama, bakat menurut Faisal bukanlah menjadi landasan utama dari proses kekaryaan. Ada juga orang yang melatih keterampilan yang kemudian menjadi bakatnya, pada alam bawah sadar terendap karena ter us dilatih dan menjadi kebiasaan. Kemudian, yang kedua, inisiatif pada praktiknya memerlukan kebulatan tekad, ke m au an , ke s a d ar an , d an kemandirian untuk mencapai sesuatu. Bakat dan inisiatif menurut Faisal barulah 50% dalam proses berkesenian. Ketiga, keberuntungan yang diporsikan Faisal sebanyak 25%, bukanlah keberuntungan seperti menunggu durian jatuh, tetapi upaya menciptakan keberuntungan oleh seniman sendiri. Untuk yang terakhir, tim, menurut Faisal tidak merujuk pada tim pada

kepanitiaan satu kegiatan, tetapi tim yang lebih dipahami sebagai orang-orang di luar seniman yang melakukan publikasi, promosi, dan lainnya. Maka dari itu, kolaborasi menjadi hal yang tak bisa dihindari dalam proses berkesenian, seperti yang dijelaskan oleh Faisal. Untuk dapat memahami keseimbangan persentase bakat, inisiatif, tim, dan keberuntungan s eb agai kol ab orasi, Fais a l menekankan perlunya titik kritis yang dilewati oleh seniman. Daya juang seniman diasah dengan tantangan yang tidak atau sengaja diciptakan. Titik kritis ini nantinya berfungsi sebagai daya pacu seniman untuk melampaui dirinya yang lama. Ia menganalogikan seperti seseorang yang dikejar anjing secara spontan bisa mengeluarkan tenaga dalamnya. Hal ini menurut Faisal, beda dengan ketika seseorang berlari tanpa dikejar anjing. Hanya saja, anjing dalam analogi ini dipahami sebagai sesuatu yang hadir karena dibuat dan dijemput sebagai tantangan. Dalam karya Faisal, titik kritis ditandai dengan lingkaran berwarna biru dan merah, yang mana lingkaran biru lebih dominan daripada merah. Di atas lingkaran itu, tulisan “critis” diletakkan dengan huruf ‘K’ di awal kata yang dicoret. C ore t an b e r w ar n a m e r a h dan biru yang melingkar itu, agaknya menandakan titik kritis yang dimaksud Faisal. Bentuk lingkaran yang tidak simetris, bahkan dengan sengaja dibuat abstrak, menunjukkan adanya kegelisahan yang oleh Faisal


disebut tantangan yang sedang dihadapi oleh seniman. Kata “MAIM” tertulis tepat di sebelah lingkaran biru dan merah dengan kata “critis” di atasnya. Tulisan berwarna biru bertuliskan “MAIM” dan “critis” diletakkan berdampingan bukan tanpa sebab. MAIM hadir sebagai pameran proses dari proses panjang yang disebut ‘titik kritis’. Ada dua hal yang bisa saya catat dari karya dan penjelasan Faisal: pertama, bisa dilihat pada karyanya, ada trafik seni rupa di Makassar yang digambarkan. Dari tahun 1999 hingga 2019, ada rongga ‘kosong’ dari peristiwa seni rupa yang terjadi di Makassar. Dalam pencatatan Ivaa,[3] sepanjang tahun itu, hanya ada dua peristiwa seni rupa kontemporer di Makassar: (1) Pameran Fotografi “Common Ground” yang digelar di Monumen Mandala pada 20 – 30 September 2003. (2) Makassar Art Forum 1999 yang digelar di Gedung Societet de Harmoni, 1 – 12 September 1999. Melihat pencatatan Ivaa, ini tentu jumlah yang sedikit selama 20 tahun. Tetapi, Ivaa hanya salah satu pengarsip digital seni kontemporer. Sependek ingatan saya pada peristiwa seni rupa di Makassar, di Makassar digelar Makassar Biennale pada tahun 2015 dan

tahun 2017. Juga di kampuskampus yang punya jurusan seni rupa di Makassar, semisal UNM dan UNISMUH. Kemudian ada Stasiun (2013), sebuah pameran dengan konsep arisan, door to door, yang oleh Faisal disebut pada wicara seniman di ruang pamer MAIM. Tetapi, titik kritis pada bagian ini oleh Faisal dikatakan ‘kosong’ karena tidak adanya kebaruan pada proses berkesenian. “M i s a l ny a , r e l e v a n s i gagasan pada karya dengan kontek s z aman terle p as . Sehingga yang kita, para seniman lakukan hanyalah mengulang-ulang gagasan dan karya lama,” jelas Faisal. Ini terjadi karena kebudayaan dibaca sebagai hal yang statis. Konsekuensinya, kebudayaan kemudian hanya dalam frame pelestarian. Tidak ada transformasi dalam seni rupa sehingga yang oleh Faisal, disebut sebagai kekosongan, yang pada akhirnya menjadi titik kritis seniman di Makassar. Kedua, titik kritis yang hadir dalam proses kurasi k a r y a s e b e lu m p am e ran pertama MAIM digelar. Mereka melakukan self curated, yang oleh Faisal disebut sebagai ‘p e m b a nt a i a n’, d a n b i s a mematikan seniman jika direspons secara emosional. Proses self curated, kata Faisal

adalah cara baru di Makassar. Pada proses itu, seniman belajar menerima dan mengubah karya bahkan gagasan jika tidak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi proses ini penting, seperti pisau bermata dua, ia juga berfungsi menguatkan gagasan dan karya seniman, terlebih menguatkan ikatan emosional ant ar s e n i m an , m i n i m a l seniman yang terlibat di MAIM. Tranformasi pada akhirnya tidak berlaku pada karya dan gagasan yang sesuai zaman saja. Pada pameran MAIM, t r ans for m a s i d it e mu k an pada proses kurasi, seperti yang dijelaskan oleh Faisal. MAIM kemudian, seperti h ar ap an Fais a l, me nj a d i pameran yang memprovokasi seniman di Makassar untuk ikut bertransformasi dalam gagasan, karya, bahkan proses. Ada kebaruan yang dihadirkan sebagai upaya menemukan nilai seni rupa di Makassar.[] [1] Artefact, http://artefact.id/2019/02/17/makassarart-initiative-movement-art-of-process/, diakses pada 21 Februari, pukul 00.01 WITA. [2] Ibid [3] Ivaa, http://archive.ivaa-online.org/events/index/ Event.dari_tahun:1999/Event.ke_tahun:2019/Event. City:124, diakses pada 27 Februari 2019, pukul 22.11 WITA.

33/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


[PRESS RELEASE] Anak Muda Menelusuri Relung Kota Sebagai bagian pra event Makassar Biennale 2019, Tanahindie menggelar peluncuran dan diskusi buku Kota Diperam dalam Lontang/City Soaked in Drinking Stall pada 16.00 Wita, 23 Maret 2019 di Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar. Bincang dan kupas buku dwibahasa ini akan menghadirkan tiga pembicara: Anwar ‘Jimpe’ Rachman (penyunting Kota Diperam dalam Lontang), Tasrifin Tahara (doktor Antropologi Universitas Hasanuddin), dan Muhammad Ridha (dosen Sosiologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar). Merangkai dan membuka bincang buku ini, berlangsung pula pameran fotografi “Spasi”, karya-karya fotografi Aziziah Diah Aprilya pada hari yang sama. Buku Kota Diperam dalam Lontang/City Soaked in Drinking Stall merupakan karya sekelompok anak muda di Makassar yang mengikuti pelatihan menulis dan meneliti tentang perkotaan “Anak Muda dan Kota” selama Januari-Juli 2018. Pelatihan meneliti itu menggunakan sejumlah alat dan metode, termasuk audio dan visual, dengan didampingi Tanahindie, komunitas seni yang menitikberatkan perhatian pada kajian urban. Program ini dalam bentuk kelas lokakarya, dengan mendayagunakan “halaman rumah” sebagai lokus, tempat pertemuan lokakarya intens; sekaligus cara berpikir, memaknainya sebagai cara pandang vernakular. Enam orang muda lolos dari seleksi. Mereka kebetulan dari kampus dan perguruan tinggi berbeda di Makassar. Mereka adalah [1] Wilda Yanti Salam, menulis kehidupan lontang, semacam bar tradisional, [2] Fakhiha Anugrah Prastica menulis kisah seorang anak berkebutuhan khusus, [3] Rahmawati mencari tahu pola bermain dan tumbuh kembangnya anak-anak di kota, [4] Hajra Yansa menceritakan urbanisasi kelompok masyarakat tertentu (Massenrempulu) ke Makassar, [5] Rusli menarasikan keluarga pemulung, [6] Achmad Teguh Saputro menulis beberapa keluarga yang bertani di wilayah perkotaan. Dalam waktu yang bersamaan, proyek penelitian dan penulisan ini melebarkan dimensi dan kemungkinan pandangan anak muda dari segi lain, yakni audio dan visual yang dikerjakan oleh Andi Thezar Resandy (audio) dan Aziziah Diah Aprilya (fotografi). Kisah-kisah yang mereka temui di lapangan dan masukan pada tiap tulisan kala bergiliran mempresentasikan subjek penelitian digodok selama berminggu-minggu dalam kelas partisipatif. Hadirnya buku tersebut juga dimungkinkan berkat dukungan banyak pihak, antara lain Stichting Doen, Arts Collaboratory, Penerbit Ininnawa, dan Makassar Nol Kilometer DotCom, The Ribbing Studio, Yayasan Makassar Biennale, Kedai Geraderi, Perdik (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan) yang membantu membaca dan mencermati naskah kisah seorang anak difabel. Narahubung: Rafsanjani (+62 853-9704-1494) 34/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


35/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


AKTIVITAS FEBRUARI - MARET 2019

4-7 Raker dan liburan Tanahindie di FEBRUARI Malino 2019

16 Rapat perdana Tim Kerja Makassar FEBRUARI Biennale (MB) 2019 di Kampung 2019 Buku. 12 Rapat perdana persiapan peluncuranFEBRUARI buku "Kota Diperam dalam Lontang/ 2019 City Soaked in Drinking Stall".

1 Bincang santai bersama wakil buMARET pati Bulukumba, Tomy Satria dalam 2019 rangka persiapan menuju MB 2019

15 Bincang soal "Anak Muda dan Kota" di MARET Economic festival UNHAS bersama 2019 Wilda Yanti Salam.

di Bulukumba.

2 Waktu Luang di Art and Activism MARET KBJAMMING VOL.23, di Kedai Buku 2019 Jenny.

36/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


22 Pra event MB 2019: Diskusi buku FEBRUARI Halaman Rumah/Yard di kafe Pales 2019 Teduh, Kota Pare-pare. 21 Pra event MB 2019: Diskusi buku FEBRUARI Halaman Rumah/Yard di Nusa Pus2019 taka Pambusuang, Poliwali Mandar.

27 Rapat pembahasan konsep kegiatan FEBRUARI peluncuran buku 2019 "Kota Diperam dalam Lontang/City Soaked in Drinking Stall", dan pameran fotografi Aziziah Diah Aprilya.

23 Peserta peluncuran dan diskusi MARET buku "Kota Diperam dalam Lontang/ 2019 City Soaked in Drinking Stall" dan pameran "Spasi" oleh Aziziah Diah Aprilyah" di Kampung Buku.

19 Rapat ke-3 Tim Kerja Makassar BienMARET nale 2019 di Kampung Buku. 2019

FEBRUARI Kelas Institut Sastra Makassar di 2019 Kampung Buku.

37/ Yard - Edisi 10, Maret 2019


[spasi] karya fotografi oleh Aziziah Diah Aprilya

DOWNLOAD KATALOG "SPASI" DI artefact.id http://tiny.cc/g98i4y


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.