Bom benang 2016 yarn bombing 2016

Page 1

BOM BENANG 2016 “BENANG KANDUNG”


BOM BENANG 2016 Benang Kandung Penulis Quiqui, et.al Sampul & Tataletak TanahindieSign Diterbitkan oleh Tanahindie Press Jl. Abdullah Daeng Sirua 192 E Makassar, Indonesia 90234 tanahindie@gmail.com www.tanahindie.org Cetakan I, Agustus 2016 vi + 41 hlm ISBN: 978-602-99866-5-5


DAFTAR ISI

PENGANTAR ...........................................................

1

Barukang ............................................................. 4 Jalan Sukaria ..................................................... 14 Mariso .................................................................. 22 Batua ................................................................... 30 Jalan Barukang IV ............................................. 38


4



peraih hibah cipta perdamaian kelola 2016 Didukung oleh

Inisiator

Kolaborator Kelompok Perempuan Nelayan Fatimah Az-zahra

MUARA


Pengantar

Kuratorial Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

Bom Benang 2016

‘Benang Kandung’ KEKERASAN DI kalangan anak, remaja, perempuan, dan antar komunitas merupakan pemicu meningkatnya aksi kejahatan dan tingginya angka korban kekerasan. Menurut data Komisi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,1 angka kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh pengadilan agama semakin meningkat dari tercatat 14.020 (2014) menjadi 293.220 (2015). Ini belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan lantaran banyak sebab, 1

(http://www.ippi.or.id/content/elibrary/report/ CATAHU-2015-Edisi-Launching.pdf), diakses pada 13/01/2016 jam 13.00 Wita.

seperti keengganan korban akibat tekanan stigma yang berpeluang mengerdilkan mental mereka. Berdasarkan penelusuran data dan wawancara langsung korban dan pelaku kekerasan, dapat ditarik kesimpulan bahwa cara berkomunikasi dalam keluarga menjadi salah satu pemicu. Model komunikasi ‘satu arah’ menjadi salah satu sebab persoalan ini. Ini mengakibatkan kekerasan yang berdampak munculnya anggapan anggota keluarga bahwa rumah atau keluarga tidak menjadi tempat yang aman dan nyaman. Sejatinya, lingkungan keluarga menjadi fondasi dan tempat para anggotanya untuk mengekplorasi diri dan berekspresi secara sehat. POSISI BERKOMUNIKASI itu juga menjadi titik yang disadari Komunitas Quiqui selama ini

1


dalam berkarya. Empat kali dalam ajang Bom Benang, mereka menjadi seniman, kalangan yang ‘dilayani’, meski dengan sengaja mengajak warga (dalam skala kecil) untuk berperanserta dalam ajang ini. Kini, dalam Bom Benang 2016, Quiqui mengubah peran. Mereka menjadi penghubung antara karya dan warga. Mereka melepaskan diri dari atribut ‘seniman’.

benang, sebagaimana layaknya hubungan antara ibu dan anak.

Ini kemudian menjadi landasan utama Quiqui untuk ajang tahunan “Bom Benang” yang kini memasuki tahun kelima. Mereka menantang diri mengubah posisi seniman dan orang sekitar—yang bisa hanya sebagai penonton atau warga yang berpartisipasi. Mereka mengajak sekelompok warga menjadi kreator karya.

Pemilihan lokasi-lokasi ini tidak dilakukan acak. Dengan pendampingan tim dokumentasi dan tim peneliti/ penulis, mereka mencari lokasi di perkampungan kota yang padat penghuni, yang dalam berdasarkan penelitian, lokasi yang dianggap rawan terhadap tindak kekerasan dalam keluarga.

Tahun ini, Quiqui mengangkat tema “Benang Kandung” (YarnWomb) yang berlangsung pada Mei - September 2016. “Benang Kandung” sejatinya judul yang memplesetkan istilah kekerabatan seperti “anak kandung”, sebagai cara menunjukkan bahwa orang-orang bisa saling terhubung dalam ikatan yang karib, menggunakan medium

DI TENGAH waktu yang pendek, mereka menemukan mitra kerja di lima komunitas, yakni (1) Jalan Sukaria 13 B, Kelurahan Tamamaung, Panakkukang; (2) Jalan Barukang III, Kelurahan Pattingaloang, Kecamatan Ujung Tanah; (3) Batua Raya, Lorong Mawar, Jalan Toa Daeng 3, Kecamatan

2

Quiqui memilih tema ini dari endapan pengalaman sekaligus konsentrasi mereka terkait isu kekerasan dan keluarga. Mereka mencari 5 (lima) lokasi dan memfasilitasi terbentuknya kelompok warga melalui rangkaian kelas, lokakarya, hingga kelompok tersebut siap berpameran.


Manggala; (4) Jalan Rajawali, Kawasan Mariso Baru; dan (5) Jalan Barukang, Kelurahan Pattingaloang, Ujung Tanah.

‘soft infrastructure’, tentang upaya membangun inisiatif, keberdayaan, dan kesadaran warga.

Kelima kawasan berpenghuni padat ini adalah bukti tentang narasi pengumbar kata ‘pembangunan’. Istilah ini menjadi rancu di Indonesia lantaran mengandung kata ‘bangun’ (to build, bukan to develop atau ‘tumbuh lebih matang’) atau ‘hardinfrastructure’, usaha dan upaya meng-ada-kan sesuatu dari tidak ada.

Tak ada cara lain: warga harus menolong diri mereka sendiri.[]

Tampaknya, inilah salah satu sebab mengapa warga masih menjadi penonton pembangunan. Beginilah jalan pikir ala Orde Baru melihat negara (desa dan kota) ini dalam logika “pemulihan dari kefakiran”, dengan tanpa henti menggelontorkan program bantuan dan meng-ada-kan yang belum ada, perihal yang terjadi pula di Kota Makassar. Jalan berpikir semacam ini bertahan, bahkan setelah Orde Baru tumbang. Memang, tak ada yang lebih berbahaya dari pada warisan cara berpikir. Hal ini kian menihilkan pembangunan

3


4


barukang III JALAN BARUKANG III adalah kawasan utara Makassar, sekisar 500 meter di selatan bandar tradisional, Pelabuhan Paotere. Kawasan padat hunian ini terletak di Kecamatan Ujung Tanah. Nama jalan dan kawasan ini mengambil nama jenis ikan yang, menurut beberapa sumber, biasanya ditangkap di dua pulau dekat Makassar, Pulau Baranglompo dan Sabutung.

5


PETA lokasi

BOM benang 2016 Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

Seperti nama jalannya, warga setempat menggantungkan nasib pada kawasan pesisir. Delapan puluh persen warga Barukang III adalah nelayan, sisanya buruh di Pelabuhan Soekarno-Hatta. Hingga semester pertama tahun 2012, produksi ikan Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Makassar mencapai 3.030 ton, dengan rincian ikan laut sekitar 2.515 ton sementara ikan darat 515 ton.1 Jalan Barukang III terletak tepat 1

http://www.antarasulsel.com/berita/40562/ produksi-ikan-ppi-paotere-makassar-3030-ton, diakses pada 6 Agustus 2016.

6

di pinggir Jalan Tol Reformasi, yang membentang dari arah Bandara Sultan Hassanuddin, Makassar hingga buntutnya menyentuh daerah Pelabuhan Soekarno Hatta, Makassar. Jalan tol ini menghubungkan Kota Makassar, Panakkukang, Jalan A.P. Pettarani, Pelabuhan Soekarno Hatta, Kawasan Industri Makassar, dan Bandar Udara Hasanuddin. Sebelumnya, beberapa rumah warga pernah berada di badan jalan yang kini telah disulap menjadi Jalan Tol. Di kawasan Barukang sendiri, tiap rumah warga digusur dengan


biaya ganti rugi sebesar Rp 1.000.000,- dari Pemerintah. “Rumah warga banyak diambil, itu jalanan ‘kan sanging rumah dulu itu. Sekitar tahun 19971998 dikasih ki timbunan itu bekas rumah warga,” ujar Pak Zainuddin, menjelaskan kronologi pemindahan rumah warga Barukang yang terkena gusur untuk pembangunan Jalan Tol Reformasi. Pak Kamaruddin, lelaki tujuhpuluhan tahun setempat, mengatakan, kawasan ini dulunya adalah empang yang ditimbun. Dasawarsa 1960an, rumah warga berdinding bambu dan beratap rumbia. Tahun 1969, kebakaran pernah melahap semua rumah warga. Pasca kebakaran, aktivitas di Barukang lumpuh total. Tapi warga juga berjaga karena ada isu pengambilalihan lahan. Setiap warga membawa parang untuk berjaga-jaga, kiranya akan ada 'serangan' dari Pemerintah. Kawasan Jalan Barukang dihuni oleh orang-orang dari Parepare, Pangkep, Barru, Takalar, dan Gowa. Pada

Era 1970-an, jejeran rumah kayu yang padat penduduk. Kebakaran terulang pada 1982. Dekade 1980-an, jalanan di kawasan ini masih berisi batu gunung dan kerikil. Baru pada tahun 2000, jalanan sudah ditutup paving block. DI JALAN ini terdapat kelompok perempuan bernama Fatimah Az-Zahra didirikan tahun 2007. Kelompok ini berupaya memberdayakan kalangan perempuan kawasan tersebut. Mereka juga membentuk koperasi yang juga mengolah hasil laut. Keuntungan hasil pengolahan sebesar 2% dibagi untuk pendampingan sosial: lansia, makanan balita, dan pendampingan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Pendampingan ini lantaran banyak pertimbangan. Kehidupan nelayan nyaris selalu identik dengan kata “miskin”. Justru sebaliknya, itu adalah pemahaman yang keliru. Menurut Nuraeni, pendiri Kelompok Perempuan Nelayan Fatimah Az-Zahra, sebenarnya mereka kaya.

7


Lokakarya Merajut | Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

“Mereka itu hanya terlilit utang riba. Ditambah mereka diancam kalau pindah punggawa,” ungkap Nuraeni. Para pelaku pengrusakan, menurut Bu Eni, panggilan akrab Nuraeni, sebenarnya tahu betul akibat yang ditimbulkan ulah mereka. Bahkan kerusakan ekosistem laut itu dikarenakan juga oleh suplai bom dari tengkulak tersebut. “Tapi karena dikejar utang, mereka terpaksa melakukannya,” tukas Bu Eni. Menurut Bu Eni, praktikpraktik di TPI memang tidak adil. Apa yang terjadi di sana adalah praktik monopoli. Di sana hanya dikuasai oleh segelintir orang. Karena itu, ia

8

meminta pemerintah (Dinas Kelautan) untuk turun tangan langsung mengelola aset seperti TPI. Bahkan tempat pelelangan tidak ramah pada kalangan perempuan. Di sana terjadi pungutan liar sampai kekerasan. Siklus kekerasan juga masuk dalam ranah lebih intim, yakni keluarga. Ini terjadi ketika laut sedang berangin dan ombak tinggi, terutama mulai OktoberFebruari. Para nelayan harus tinggal di rumah, tertekan utang, dan melampiaskannya ke lingkungan terdekat, seperti istri dan anak. “Kalau KDRT, kami cuma menerima dan mendampingi misalnya kita selesaikan


dengan cara mediasi atau mencari solusi di lingkungan itu sendiri, sebelum masuk ke ranah hukum sebagai jalan terakhir yang kami tempuh. Ada beberapa yang (akhirnya) sampai ke Pengadilan Agama,” jelas Syamsiah, salah seorang anggota koperasi. Namun melimpahnya ikan di kawasan ini juga sekaligus berkah. “Banyak ikan tapi tidak tahu mau diapakan. Masak semua mau dijual begitu. Padahal bisa sekali diolah jadi yang lain,” tambah Syamsiah. Selain Koperasi Fatimah AzZahra, dibentuk juga Sekolah Pelopor Keadilan pada Desember 2015. Ini berawal dari ‘gagap’ ibu nelayan mengakses hak dasar mereka, seperti pendidikan, administrasi seperti mengurus KTP, kartu keluarga, yang biasanya memakai jasa calo. Pangkalan Pendaratan Ikan itu memicu anak putus sekolah. Ini lantaran 'tersedianya' beberapa pekerjaan yang diisi oleh anakanak, antara lain: (1) pabissa, tukang cuci perahu dan peti ikan. Mereka biasanya pulang malam. Menurut beberapa warga, mereka bahkan makan

di luar—bahkan ada yang jarang tidak pulang ke rumah; (2) pallembara, orang yang membantu membawa ikan dari perahu ke darat; (3) tukang air untuk para penjual ikan; (4) buruh kapal ikan [bisa sampai 10 anak]. Mereka ikut kapal sampai 5 bulan; dan (5) tukang ‘tidur’ di atas peti ikan, sebagai penanda bahwa peti tersebut sudah ada yang punya. Mereka digaji Rp 10.000/peti. Profesi ini cukup berbahaya. Mereka disuruh mengejar kapal yang belum sandar dan tidur di atas peti. Kemungkinan yang bisa terjadi: terkena balingbaling dan tuli (karena harus menyelam). Syafruddin, salah satu ketua RT setempat, mengeluhkan tentang ini. “Maunya itu TPI melarang anak yang bisa sekolah dilarang bekerja di Lelang. Anak tidak terkontrol. Anak dapat uang. Logikanya tidak normal mi karena ada (juga) yang ambil ikannya orang.” Sebenarnya, pekerjaan ini tidak langsung menghasilkan uang. Jasa mereka dibayar memakai sistem barter antara jasa dan barang. Mereka digaji pakai ikan. Hasil itu kemudian mereka

9


jajakan di pinggir jalan atau tempat tertentu. “Biasa juga kakak kelasnya yang putus sekolah yang panggil ki kerja di Pelelangan. Anak-anak kalau diimingi uang, pasti cepat sekali ikut,� kata Sulkarnaing, guru Sekolah Dasar Negeri 1 dan 2 Ujung Tanah. Ia melihat faktor orang tua di sini sangat penting. Guru tidak bisa menjangkau seluruh tempat tinggal murid. Orang tua harus mampu menjadi pendidik jika anaknya tidak di sekolah. Sulkarnaing mengungkapkan, ada tiga muridnya pada 2015 tidak datang acara

10

penamatan. Ia mencari mereka sampai dapat. Bahkan sekolah tempatnya mengajar berusaha keras menyikapi soal ini. Jika ada yang tidak melanjutkan sekolah, nama siswa tidak akan dicoret hingga satu tahun kemudian, untuk melihat kembali bagaimana siswa/siswi dan bahkan orang tuanya mampu mengubah keputusannya atau tidak. Bahkan ada beberapa guru yang secara khusus mendatangi para siswa/siswi yang tidak pernah lagi datang ke sekolah.[]


Focus Group Discussion | Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

Proses Persiapan | Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

11


12


13


14


jalan sukaria KAWASAN Jalan Sukaria, dulunya daerah rawa-rawa lengkap dengan pohon nipah dan pohon bakau. Kini hanya tersisa beberapa pohon bakau saja di pinggiran Sungai Sinre’jala, di timur daerah ini.

15


PETA lokasi

BOM benang 2016 Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

Menurut Ibu Isa, awal tahun 90-an daerah ini mulai banyak didatangi orang-orang dari luar Makassar seperti Enrekang, Jeneponto, Gowa, dan Soppeng. Saat itu, tanah di Sukaria masih kisaran Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000 per petak. Karena rawa-rawa, warga mendirikan rumah panggung. Seiring perkembangan zaman dan pembangunan di Sukaria, warga mulai merenovasi rumah panggung mereka seperti membangun tembok di bagian bawah rumah panggungnya, meninggikan pondasinya, bahkan merombaknya jadi rumah batu.

16

Tahun 2016, jalan yang mengantarai rumah warga Sukaria berupa jalan setapak yang di samping kiri dan kanannya dibatasi oleh dindingdinding bangunan rumah warga kemudian membentuk sebuah lorong. Sebelum itu, karena membangun di atas rawa, warga membangun lorong dan gang yang terbuat dari bambu. Kala masih rawa-rawa, kebutuhan air bersih warga Sukaria menjadi sesuatu yang sulit. Menurut Zainal Siko, penghuni Sukaria sejak 1995, mendapat air bersih dengan menyambung selang ke rumahnya dari rumah Mama Imbang, seorang warga


yang mampu mengakses PDAM. Mama Imbang yang memiliki penampungan air bersih ketika itu mematok harga air Rp 3.000/jam. Orang-orang yang bermukim di Sukaria umumnya bekerja di dunia informal seperti kuli bangunan, konveksi, tukang parkir, pa’palimbang (jasa penyeberangan), tukang cuci rumah tangga, tukang becak, pemulung, penjual kue, supir, warung makan, sampai pappisi’lada (memisahkan cabai dari tangkainya). Kebakaran merupakan ancaman permukiman padat seperti Sukaria. Asmi menceritakan, suatu malam ia terjaga lantaran suara ribut di luar rumah. Ia menduga bahwa mungkin ada (lagi) kasus penggerebekan atau KDRT terjadi di lorong rumahnya. Ia telah terbiasa dengan kasus seperti itu di lingkungannya. Ia lantas melihat orang-orang berteriak histeris. Mereka yang mengepak barang memberitahu Asmi kalau ada kebakaran. Ketika menengok ke belakang rumah panggungnya, api sudah setinggi pagar kayu tetangga belakang rumahnya.

BERDASARKAN temuan tim peneliti, seorang warga mencemaskan nasib anak perempuannya yang menikah muda dan belum dikaruniai anak. Kecemasan itu menjalar ke dua anak perempuannya yang masih bersekolah. Ia tidak ingin itu terjadi pada dua anaknya lagi. Hal lain yang merebak di kalangan warga Sukaria bahwa pemerintah sangat berjarak dengan mereka. Beberapa program pemerintah dianggap tidak tepat sasaran. Pernah pemerintah menawarkan dana bantuan usaha, tapi cara mengaksesnya dianggap berbelit-belit. Ada pula warga yang mengaku pernah mendapat bantuan usaha dari pemerintah tapi tidak sampai ke yang bersangkutan. Dana itu disebutnya hanya sampai pada pihak tertentu. Mereka diminta bertandatangan, tapi bantuan tak kunjung datang. BERKAITAN dengan seni rajut, seorang warga mengaku membantunya menambah kepercayaan diri. Ia semakin berani dan penuh semangat

17


Lokakarya Merajut | Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

mengajak banyak orang. Merajut, menurutnya, menjadi alternatif untuk mengatasi pikiran dan tekanan yang berat. Ia pernah bekerja di Pasar Sentral Makassar. Tapi karena sakit-sakitan, ia berhenti dan tinggal di rumah berdagang eceran. Ibunya senang anaknya ikut Bom Benang agar ia tidak banyak melamun dan diam di rumah, cerita Asmi koordinator wilayah Sukaria 13. Dalam persiapan Bom Benang, warga ini sedang belajar cara menyambung rajutan. Tapi tiba-tiba ia merasa sakit kepala. Ia memegangi kepalanya dan

18

mengeluh. Nafasnya memburu. Tersengal-sengal, seperti menahan rasa sakit. Menurut ibunya, ia kerasukan. Itu dialami anaknya sejak sekolah dasar, sekisar tiga puluh tahun lalu. Itu sakit turunan dari bapaknya. Dahulu bapaknyalah yang memiliki penyakit ini. Namun setelah rajin salat dan baca Al-Quran, berpindah ke anaknya. Ibunya menambahkan, saat ditinggal sendiri di rumah, ia sering kerasukan sendiri. Hanya ayahnya yang kerap berhasil mengobatinya. “Berkali-kali dirukiyah tapi


jinnya kembali lagi. Kalau kita tahu mi begini, bacakan saja Ayat Kursi. Baik mi itu.� Pada lokakarya merajut pertama di Jalan Sukaria 13, perempuan ini pendiam dan pemalu. Ia duduk menyandar ke tembok dan nyaris tidak terlacak dalam pantauan kami. Baru setelah video lokakarya pertama diputar ulang, kami akhirnya ingat ternyata dia adalah peserta yang menyempil di antara peserta lain, nyaris tak bersuara.

menarik perhatian. Ia salah satu peserta yang tampak antusias belajar merajut dan kemampuan merajutnya terupgrade dengan baik. Ia pelanpelan berani berbicara dan tidak segan tertawa terkekeh saat ngobrol sambil merajut. Di media sosial ia percaya diri memamerkan karya rajutan tangannya. Ia dulunya tidak bersuara, kini terlihat lebih ceria dan percaya diri.[]

Pada bulan ketiga lokakarya merajut di kawasan ini, si warga satu ini tiba-tiba muncul

19


20


21



mariso

SEKISAR DUA dasawarsa terakhir, Mariso berubah total. Dulu, kawasan ini adalah daerah pesisir terletak di Jalan Rajawali. Ini ditandai dengan adanya mercusuar di sekitaran lingkungan tersebut.


PETA lokasi

BOM benang 2016 Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

Saat ini, mercusuar tersebut berada di Sekolah Dasar Rajawali No. 43, Jalan Rajawali. Orang-orang dulu menandai Mariso dengan hanya sekali mengatakan, “Mau ka ke lampu kidakidayya (lampu kerlap-kerlip).” Itu berarti mercusuar di Mariso. Bentuk bangunan rumah pada saat itu berupa rumah panggung yang yang terbuat dari bambu yang berada di atas laut. Menurut Daeng Lolo, lelaki kelahiran Pulau Tanakeke, Takalar, untuk kebutuhan air minum, warga ketika itu harus mengambil di Asrama Lompobattang, Jalan Cendrawasih II. Sementara untuk kebutuhan mencuci,

24

warga Mariso pakai air laut. Hingga setelah warga menemukan sumur di sekitar 100 meter dari rumah Daeng Lolo (saat ini berada di Masjid RW 5, Jalan Rajawali), warga pun berhenti mengambil air di Asrama Lompobattang. Air sumur ini air tawar. Tahun 1970an, PDAM dan PLN masuk ke sana. Penghuni awal kawasan ini adalah orang-orang Galesong, disusul orang dari Jeneponto. Hingga kini, latar orang Mariso sudah bermacam-macam. Tahun 1989, penimbunan terjadi di daerah barat Rajawali (saat ini Rajawali III). Beberapa usaha arang ada di


kawasan ini, termasuk Daeng Lolo yang merintis usahanya sejak 1976. Kayu yang ia gunakan adalah kayu bangko’ atau kayu bakau yang ia tanam sendiri di Pulau Tanakeke. “Kalau tanaman liar seperti kayu bangko’ itu akarnya lebih banyak dan juga jenis kayunya kurang bagus, dibanding kalau saya tanam sendiri. Ada teknik khusus. Ditanam seperti padi, yang membedakan hanya jarak. Jika jarak antara satu padi dengan yang lainnya sangat dekat, kalau pohon kayu bangko’, pohon satu dan lainnya sekitar setengah meter,” ungkapnya. DI KAWASAN Mariso Baru, sekitaran tempat tinggal Daeng Lolo, terdapat rumah susun sewa (rusunawa) yang berada dalam penanganan Dinas Perumahan dan Gedung Kota Makassar. Rusun ini dibangun tahun 2007 dan diperuntukkan bagi masyarakat penghuni permukiman Mariso. Badan Pusat Statistik mencatat hingga tahun 2010, kawasan Mariso adalah kawasan terpadat pertama di Makassar dengan presentase 49,79 persen dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 27.934 jiwa dan perempuan

sebanyak 28.379 jiwa. Totalnya 56.313 jiwa. Rusun ini terdiri dari 198 unit kamar yang dibagi menjadi 4 Blok. Ada Blok A, Blok B, Blok C, dan Blok D. Dalam satu blok terdiri dari 4 lantai. Ada lantai dasar (basement) dan lantai 1-4. Pihak pengelola memasang harga sewa berbeda tiap lantai. Untuk unit, basement dan Lantai 1, sewanya Rp 150 ribu/bulan, Lantai 2 Rp 125 ribu/bulan, Lantai 3 Rp100 ribu/bulan, dan Lantai 4 Rp 75 ribu/bulan. Kebutuhan air dan listrik di Rusun Mariso Baru menggunakan PDAM dan PLN. Pembayarannya dilakukan memasuki tanggal 1-15 per bulan. Lewat dari tanggal itu, akan kena denda 10 persen. Hal yang sama berlaku untuk pembayaran sewa rusun; lewat dari tanggal yang ditetapkan, akan didenda 20 persen. Pengelola yang ada di Rusunawa Mariso Baru terdiri dari beberapa bagian. Ada divisi kepala bidang, bendahara, divisi seksi, staf 7 orang, intel dari Kodam, 1 orang dari Koramil, 1 dari Polsek, 2 keamanan lokal, 2 teknisi, dan 2 cleaning service bagian

25


ruangan pengelola. Kantor pengelola sendiri berada di basement Blok C. Beberapa tahun lalu, Rusun Mariso sempat ‘menganggur’ tiga tahun. Penyebabnya belum ada penyerahan berkas dari pihak pemerintah di Jakarta kepada Dinas Perumahan dan Gedung Makassar. ”Lambat penyerahannya karena bukan (membangun pakai) APBN di sini,” ujar Pak Onni selaku teknisi pengelola rusun. Selama ‘menganggur’, banyak bagian bangunan hancur dan rusak, mulai dari kaca jendela pecah, sampai pengukur kilometer listrik dan air semua hilang dibabat maling. Dan sejak penyerahan berkas bangunan rusun, perbaikan dilakukan. Berbagai jenis Pekerjaan ada di rusun ini, namun kebanyakan yang bekerja sebagai nelayan, buruh, dan pemulung. Ada yang memanfaatkan ruang seperti Ibu Nur dengan membuka salon. Ada juga yang membuka kios-kios kecil. Cara warga itu, menurut pengelola, sah saja, selama belum ada yang menyewakan ruang koperasi di lantai bawah, selama itu pula

26

kios tersebut diizinkan buka. Pengelola juga membuat kriteria atau syarat kepada warga yang ingin menyewa rusun tersebut, antara lain janda, suami-istri yang baru menikah dan masih tinggal dengan orangtuanya, dan warga yang berpenghasilan di bawah Rp 500 ribu/bulan. TIM Bom Benang berhasil menemukan seorang perempuan berusia enam puluhan bernama Ibu Nur, seorang perajut senior. Ia belajar seni rajut sejak SMP. Perempuan berkacamata ini membeli jarum rajutnya seharga Rp 10, alat yang masih disimpannya hingga sekarang dan digunakan dalam lokakarya merajut di kawasan ini. Menurut Ibu Nur, merajut rasanya itu membuat tenang dan bahagia. Apalagi kalau sudah ada kelompok seperti ini, bisa banyak berkenalan dan bisa saling berbagi. Merajut bisa ia jadikan cara untuk mengelola emosinya. Lokarya merajut pertama berlangsung di rumah Ibu Dadi. Anak perempuan Ibu Dadi ikut. Ini kemudian berlanjut di halaman rumah (lorong)


Lokakarya Merajut | Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

rumahnya, yang juga memicu beberapa warga sekitarnya bergabung berlatih merajut dalam lokakarya. Kerumunan yang diisi mayoritas perempuan dan ibu itu juga memancing anak-anak bermain di sekitar kelas perajut. Anak-anak di kawasan ini sangat rentan mengalami kekerasan risak (bully) antar sesama, terpapar lem, dan obat daftar G (penyalahgunaan obat). Anak perempuan yang terlihat punya tugas tersendiri dibanding anak laki-laki. Anak laki-laki mencuci motor ataupun lebih banyak bermain, anak perempuan selepas sekolah dan mengaji menjaga adiknya. Bahkan ada yang menjaga dua adiknya, dengan menggendongnya berjalanjalan di lorong/gang yang sebenarnya juga sangat padat.

Sebagian besar tiap rumah di kawasan diisi minimal 2 kepala keluarga. Setiap keluarga bisa kita jumpai 4-5 anak dengan jarak lahir berdekatan. Dengan demikian ini sangat rentan pengabaian terhadap kebutuhan-kebutuhan anak, terutama kebutuhan psikologis, kebutuhan pengasuhan yang sehat. Ditemukan pula informasi dari peserta pernikahan di usia anak juga biasa terjadi, salah satu penyebab utamanya adalah kehamilan yang tidak dikehendaki.[]

27


28


29


batua Ibu Nuraeni merajut sejak gadis. Perempuan asli Malino, dataran tinggi di lereng Gunung Bawakaraeng, tenggara Makassar, kala itu membuat taplak meja sandaran kursi tamu. Tak jarang ia mendapat pesanan dari keluarga untuk dibuatkan taplak meja atau sekadar hiasan untuk sandaran di kursi tamu.

30


31


PETA lokasi

BOM benang 2016 Bom Benang 2016 “Benang Kandung”

Karyanya dijual Rp 25 ribu awal 1980-an itu. Baginya, merajut menjadi caranya mengisi waktu luang. Sebagai perajut di Bom Benang 2016, ia menyebutnya sebagai peluangnya mengasah kembali keterampilan rajutnya. Ibu Nuraeni menyelesaikan karya rajutannya di berbagai waktu senggangnya, hingga alat rajutnya dibawa ke mana-mana. “Saya bangga bisa merajut,” tegasnya. Ibu Nuraeni menikah tahun 1986 dengan seorang laki-laki asal Malino juga, bernama Pak Karim. Setelah ikat janji,

32

mereka memutuskan pindah ke Kota Makassar pada tahun yang sama. Suatu hari pada tahun 1987, pasangan Nuraeni-Abdul Karim membeli tanah kosong di Jalan Toa Daeng 3. Dahulu namanya Jalan Toa Daeng 3 saja, belum ada penggunaan nama lorong seperti sekarang. Hanya tiga rumah ketika itu. Ketiganya pun rumah panggung kayu, yakni milik Pak H. Edi, mendiang Pak Kato dan istrinya H. Mase, dan rumah Nurhaeni-Pak Karim. Ketiganya sangat berjarak. Tahun 2000-an, rumah Ibu Nuraeni mulai dikepung oleh Perumahan Swadaya Mas 2.


Lokakarya Merajut | Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

Akses dan fasilitas jalan mulai terbangun beriringan dengan terbangunnya perumahan tersebut. Sejak tahun 2000-an, penghuninya bertambah dan menjelma permukiman padat. Mayoritas penduduk ada yang berasal dari Toraja, Pangkep, Malino, Enrekang, Palopo, Polmas (Sulawesi Barat), dan Flores. Sekitar tahun 1996-an, sebelum membangun, warga harus menimbun tanah itu sedalam dua meter untuk hindari banjir. Tapi cara itu ternyata tidak ampuh. Pada banjir besar

melanda Makassar tahun 1999, rumah warga terendam dua meter. Nuraeni dan tetangganya mengungsi ke masjid terdekat. “Dulu itu ada mi Tim SAR kalau masuk mi musim penghujan. Kalau mau mengungsi tinggal lambaikan tangan, baru dijemput meki pakai perahu,� tutur ibu tiga anak ini. Dalam kehidupan warga setempat, pernah hidup tradisi menarik yang dilakukan setahun sekali tiap malam malam Jumat. Saat musim penghujan tiba, warga berbondong-bondong ke sebuah rumah kayu tanpa

33


kursi di daerah Toa Daeng 3. Menurutnya itu adalah Toa Daengnya wilayah itu. Warga ke sana membawa pisang dan lilin, dengan harapan rumah mereka mendapat perlindungan. Konon, dulunya jika musim penghujan datang, angin begitu kencang, yang merusak beberapa rumah karena terpaan angin. Tapi tradisi itu perlahan mulai ditinggalkan oleh warga sekitar, karena kondisi dulu dan sekarang sudah berbeda. IBU NANI, demikian Nuraeni dipanggil sehari-hari, berhenti merajut karena tidak ada kelompok. Dengan merajut berkelompok, proses awal pendekatan tim Bom Benang berlangsung di halaman rumah Ibu Nani, tetangga merasa senang dan bersemangat. Mereka mengaku, hubungan sesama warga makin menguat lantaran ada ruang tatap muka lagi. Mereka bertemu lagi karena kelas merajut. Pak Karim, suami Ibu Nani, sangat mendukung istrinya ikut kegiatan ini. Ia selalu mengantar dan menunggu sang istri dan anak perempuannya hingga kelas merajut/lokakarya

34

selesai. Ia juga setia menemani sang istri merajut di rumah. Salah seorang peserta, Ibu Mida, punya pengalaman nyaris serupa. Sebelum ikut kegiatan ini, suaminya tidak pernah mengantar Ibu Mida ke kegiatan seperti arisan majelis taklim atau kelompok sosial lainnya. Ibu Mida sejak awal bersemangat lantaran ingin membuat dan menghadiahi sang suami hasil rajutannya. Tak lupa, ia minta ke peserta lain agar kelas merajut juga diadakan di rumahnya. Tujuannya, ia ingin suaminya mengenal aktivitas-aktivitasnya lebih dalam. Ibu Mida mengaku, ia mendapat reward berupa perhatian suaminya yang kian intens. Setiap pagi ketika merajut, ia ditemani sang suami. Bahkan sesekali ia memberi masukan tentang pola dan bentuk. Ibu Mida kemudian menjadikan seni rajut sebagai alatnya membangun komunikasi dengan suami. Menurutnya, selama ini pola komunikasi mereka sering tidak sehat; banyak dipicu oleh persoalan dalam keluarga. Sebelum mengenal rajutan,


suaminya mengganggap Ibu Mida tidak kreatif, berbeda dengan istri sebelumnya. Sejak bisa merajut, respons suami Ibu Mida berubah—bahkan minta dibuatkan rajutan. Lebih jauh, perhatian anaknya pun berubah; dengan permintaan seperti suaminya. Ibu Mida merasa dibutuhkan oleh keluarganya. Ini situasi yang berbeda sebelumnya karena tak terampil memasak. PERSOALAN KEKERASAN juga muncul di kawasan ini, terutama terkait dengan kekerasan pada anak-anak. Berawal dari diskusi kecil dari rumah ke rumah, warga kemudian setuju ikut ambil bagian dalam menyikapi isu kekerasan pada anak-anak

setempat yang terjadi di sekolah. Ruang belajarnya di belakang tembok yang saya sandari, persegi panjang dan rak-rak besi bertingkat tiga sejumlah dua buah, lalu ditutupi kain berwarna, diatur rapi agar 2030 anak-anak bisa duduk tanpa berdesakan. Di kiri pintu masuk, terdapat tembok yang dinamai Tembok Imajinasi. “Ini untuk pencegahan pada status yang tidak-tidak di Sosial Media, mereka menulis dari pengalaman-penglamannya,� jelas Nurlinda, ketua RT 4 di Jalan Toa Daeng 3 Lorong Mawar, sambil memperbaiki kertas-kertas stickynote yang agak miring.[]

35


36


37


barukang IV Jalan Barukang IV wilayah di pinggiran Tol Reformasi Makassar, tepatnya di Kelurahan Pattingaloang, Kecamatan Ujung Tanah, Makassar. Barukang IV adalah sebuah lorong yang terhubung dengan Jalan Insinyur Sutami dan Jalan Barukang Raya.



PETA lokasi

BOM benang 2016 Bom Benang 2016 “Benang Kandung�

Beberapa warga yang tinggal di tempat ini adalah warga yang rumahnya pernah menjadi korban penggusuran saat pembangunan Jalan Tol Reformasi beberapa waktu lalu. Menurut warga sekitar, banyak perubahan yang terjadi pasca pembangunan Jalan Tol tersebut seperti, jalan menuju ke Pelabuhan Paotere dan Lelong yang dulunya bisa diakses dengan berjalan kaki melewati lorong-lorong Jalan Barukang sekarang menjadi jauh karena terhalang oleh jalan tol. “Sekarang kalau kita mau pergi ke Paotere, harus ki dulu memutar lewat terowongan,�

40

ujar salah seorang warga. Aktivitas yang rutin dilakukan warga Barukang IV adalah kerja bakti membersihkan lorong. Setiap pekannya mereka bergotong royong melakukan pembersihan mulai dari saluran air sampai penataan lorong seperti jalanannya yang berupa paving block dicat berwarnawarni. Ada juga beberapa keranjang tempat sampah yang tampak sengaja disediakan di pinggir jalan depan rumah warga. Jalan Barukang IV yang lebarnya sekitar 5 meter ini sangat bersih dari sampah, bahkan sampai sampah yang kecil.


DI KAWASAN ini, perempuan berperan sebagai kemasyarakatan, mulai sebagai penggerak kegiatan-kegiatan sosial, kader posyandu, pengelola bank sampah, majelis taklim, pengurusan layanan dasar kesehatan, sampai penyalur bantuanbantuan sosial.

LPM), Bu Eni, dan Syamsiah. Tempat yang berfungsi sebagai lembaga mediasi ini diperuntukkan bagi warga di kelurahan ini yang ingin mengadukan persoalanpersoalan sebelum berlanjut ke Kantor Polisi.[]

Dalam lokakarya rajut pertama di lokasi ini, para peserta terdiri perempuan muda dan ibu rumah tangga. Khusus untuk para ibu, banyak di antara mereka pernah merajut di masa gadis mereka. Salah seorang pesertanya adalah korban kekerasan fisik. Ia mengaku sudah mengadu ke Ketua Rukun Tetangga. Yang menarik dari kawasan ini adalah praktik inklusi warganya. Salah satunya adalah kelompok waria yang hidup berdampingan dengan warga setempat. Kelompok ini sering terlibat dalan kegiatan-kegiatan warga, meski banyak yang belum menerima karena dianggap bertentangan dengan agama. Hal menarik lainnya adalah di kelurahan ini terdapat Rumah Bicara yang didirikan oleh Ustad Samsi (ketua

41


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.