Yard - Edisi 2, November 2017/Second Edition, November 2017

Page 1

Edisi 02, November 2017

Bom Benang 2017 merupakan salah satu rangkaian program dari proyek halaman rumah, Tanahindie. Bom Benang kali ini mengusung tema "Benang dan Sungai". Program ini hadir untuk merespon beberapa isu terkait sungai (Sungai Sinre'jala dan sekitarnya), pola perlakuan warga terhadap sungai, ruang sosial, ­kehidupan sekitar sungai, serta menginisiasi warga untuk membuat karya dengan memanfaatkan bahan ­sekitar yaitu bahan serat eceng gondok yang setiap hari disaksikan hilir mudik di Sungai Sinre'jala.


PENGANTAR Oleh: Fitriani A. Dalay

D

ari dapur tim kerja Bom Benang 2017 “Benang dan Sungai” kami mengabarkan suara-suara kecil dari sekitar Sungai Sinre’jala. Mari merasakan dan mengalami ekosistem Sungai Sinre’jala (dalam bahasa Makassar: jala robek) dan kehidupan yang turut bergerak di sekitarnya. Sinre’jala merupakan fragmen kecil Makassar. Sungai di kota lebih dekat dengan stigma kotor dan tercemar. Tak luput sering dianggap sebagai tempat pembuangan limbah dan menuntaskan beberapa perkara pelik. Mungkin itu pula yang menjadi alasan sebagian orang membangun rumah membelakangi sungai. Aliran Sungai Sinre’jala mengalir di timur Jalan Adhyaksa melintasi jembatan sepanjang Jalan Prof Abdurahman Basalamah menuju utara Jalan Sukaria 18 dan bermuara di Tallo. Bom Benang merupakan proyek berbasis warga yang dikerjakan secara gotong royong, hal yang ditinggalkan oleh orang Indonesia belakangan ini. Diorganisir oleh anak muda dari berbagai latar pendidikan di Kota Makassar yang tertarik terhadap kerajinan tangan, penelitian dan pengorganisiran. Kelompok anak muda ini kemudian bekerja bersama warga memfasilitasi mereka belajar menganyam hingga mampu berpameran sendiri di halaman rumah.

Memasuki tahun keenam Bom Benang, pada tahun 2017 meng­ angkat tema Benang dan Sungai. Benang dianggap sebagai perumpa­ maan yang mewakili serat dan sungai merupakan basis lokasi kerja kami. Bom Benang kali ini merupakan perjalanan dalam proyek kolaborasi antara Komunitas Quiqui, The Ribbing­Studio (laboratorium khusus di Tanahindie yang mengadakan ekshibisi, residensi, dan berbagai percobaan seni berbasis kota dan warga) yang bermuara pada sebuah proyek mikro “Halaman Rumah”, proyek seni dan penelitian kerjasama Tanahindie, Stitching Doen, dan Arts Collaboratory. Isu lingkungan kini begitu dekat dan mendapat perhatian secara global. Berangkat dari kegelisahan aktif menggunakan benang berbahan polyester, bahan yang biasa digunakan selama proses berkarya dalam Bom Benang. Bahan ini merupakan bahan yang tak dapat terurai sendiri oleh alam menjadi tugas besar yang baru mulai kami pecahkan perlahan tahun ini. G ay u ng b e rs ambut k am i berjodoh dengan eceng gondok yang selama ini hanya dianggap gulma yang hilir mudik di Sungai Sinre’jala. Berkat jaringan seorang teman dekat kami dibawakan dua orang instruktur (yang kini hanya

ada empat orang di Makassar) untuk mengajar cara menganyam kepada calon mentor dan fasilitator. Keterampilan menganyam ini kemudian menjadi alat kerja mereka untuk bertemu dan mengakrabkan diri dengan warga, sebagai pintu masuk menjalankan riset. Melalui praktik kerja ini tim kerja merespon isu yang diangkat lewat keterampilan masing-masing. Diantaranya menganyam sebagai metode pendekatan terhadap warga, melalui string art dan komik sebagai media dalam memaparkan hasil temuan riset, menggunakan video dalam merekam proses untuk tujuan pengarsipan yang lebih atraktif, dan meriset kandungan air di laboratorium yang terakreditasi. Berdasarkan hasil uji laboratorium air Sungai Sinre’jala mengandung Sulfat (SO2) 52,7369 mg/L dan klorida (Cl) sebanyak 47,1854 mg/L menandakan bahwa banyaknya pembuangan limbah rumah tangga berupa deterjen yang berasal dari pencucian pakaian, mandi, dan pencucian porselen. Tampak jelas kita melihat apa yang terkandung di sungai sebenarnya berasal dari manusia di sekitarnya. Kita menyadari apa yang kita beri akan kembali kepada kita. Anda mau memberi yang mana? Selamat membaca buletin Yard.

YARD diterbitkan oleh Tanahindie bekerja sama dengan Arts Collaboratory dan Stichting Doen. PENANGGUNG JAWAB Anwar Jimpe Rachman; REDAKTUR Ade Awaluddin Firman, Andi Ilmi Utami Irwan, Anshar Kenna, Fauzan Al Ayyuby, Muh Iqbal Burhan, Nurasiyah, Rafsanjani, Sulaeman M. Nur. ALAMAT REDAKSI Kampung Buku, Jalan Abdullah Daeng Sirua 192 E, Makassar, Indonesia 90231. Redaksi menerima sumbangan materi publikasi, seperti esai, karya sastra, karya foto, ilustrasi, dan komik melalui tanahindie@gmail.com - www.tanahindie.org


3/Yard


Sungai Hitam di Tengah Kota Oleh: A. Ilmi Utami Irwan

Membayangkan sebatang sungai mengalir di tengah kota dengan bening airnya, anak-anak ceria bermain di pinggirannya. Satu dua perahu melintas. Pemandangan seperti ini menjadi harapan untuk warga yang bermukim di bantaran Sungai Sinre’jala.

A

pril, gadis kecil berusia sembilan tahun yang kini duduk di kelas III Sekolah Dasar mengaku belum pernah sekalipun berenang di sungai yang mengalir di depan rumahnya. Sungai­ Sinre’jala yang ia sebut sebagai kanal besar menjadi tempat saban hari ia membuang sampah bekas ikan Ibunya. “Dilarang ki buang bekas ikan di pembuangan sampah di sini. Karena satu kali seminggu ji tukang sampahnya jemput sampah. Jadi kalau bekas ikan disuruh ka sama mama kubuang di sungai. Karena kalau disimpan di depan rumah dikerubungi ji lalat atau nabong-

kar kucing,” terang April yang bermukim di kawasan Sukamana. Selain sampah, Sungai Sinre’jala juga menjadi saluran drainase pembuangan warga. Air limbah di­ alirkan ke sungai melalui pipa-pipa yang telah ditanam di bibir sungai. Saat air pasang semestinya sungai melarutkan dan membawa aliran air buangan ini. Tapi sampah yang mengapung membuat aliran sungai menjadi tersendat. Tercemarnya Sungai Sinre’jala membuat beberapa daerah alirannya juga ditumbuhi tanaman eceng gondok. Penguapan yang disebabkan oleh daun eceng gondok membuat volume air di sungai ini menjadi semakin surut. Akibatnya, air sungai menjadi gelap, dan berbau. Di saat turun hujan, air meluap dan menyebabkan banjir di area bantaran sungai. Hingga merembes ke tempat permukiman warga. Mengenai air Sungai Sinre’jala yang semakin hari semakin gelap

warna airnya, menurut Walikota Makassar Danny Pomanto, merupakan tanggung jawab dari Balai Besar Sungai Jeneberang Pompengan Kementrian Pekerjaan Umum. “Tapi catat, kekuatan kami tidak penuh ke kanal. Toh kanal ini dibawah naungan Kementrian. Tapi kita siap bantu, jika mereka meminta,” katanya seperti yang diberitakan dalam portal online Tribun Timur edisi 30 April 2017. Ketua RW 3 Sukamaju Kelurahan Tamamaung, Mansur Latif mengaku telah berkali-kali menegur warganya yang membuang sampah ke Sungai Sinre’jala. “Perdanya sudah ada, tapi sanksinya belum tegas. Kalau mau tegur ya cuma dihimbau saja ke warga,” keluhnya. Di Sukamaju, terdapat drainase­ besar yang menjadi tempat pembuangan air cuci kakus warga. Mereka menyebut sebagai kanal kecil. Aliran dari kanal kecil ini kemudian bermuara ke Sungai Sinre’jala yang mereka sebut sebagai 4/Yard


kanal besar. Di pertemuan antara kanal kecil dan besar ini, bisa dilihat perubahan air yang disebabkan oleh aliran air yang dibawa oleh kanal kecil. Aliran Sungai Sinre’jala dari selatan yang masih terang, seketika berubah gelap setelah bertemu dengan aliran air dari kanal kecil. Hartiningsih, warga Sukaria mengaku maklum saja bila warga membuang sampah di pinggiran sungai. “Sudah jadi rahasia umum. Biasa tengah malam orang nabuang sampahnya ke sungai,” akunya. Kadir dan teman-temannya yang juga tinggal di daerah bantaran Sungai Sinre’jala. Dia mengaku sangat akrab dengan sungai. Meski belum pernah sekalipun berenang di sungai tersebut, tapi pinggiran sungai adalah tempatnya bermain sejak kanak-kanak. Kadir yang kini duduk dibangku

Komik oleh Muh Iqbal Burhan

Sekolah Menengah Pertama ini mengaku santai saja setiap melihat buaya. “Biasa ji itu ada di pinggir sungai di sana. Di atas rumput berjemur,” ceritanya yang juga diaminkan oleh kawan-kawannya. Salah satu warga bantaran sungai yang karib disapa Bunda juga menceritakan bahwa dulu, perahu masih sering hilir mudik di Sinre’jala. Sebelum eceng gondok dan sampah menghiasi aliran sungai. Melihat sungai yang semakin tercemar, Bunda dan tetangganya ingin menimbun saja sungai yang menjadi halaman rumah mereka, kemudian dijadikan sebagai permukiman. Supaya tidak banjir lagi katanya atau tidak ada sampah eceng gondok.

Baca juga buletin "YARN" edisi pertama, akses di tautan: http://issuu.com/TANAHINDIE

* Tulisan ini diterbitkan di Makassar Nol Kilometer­[Dot] Com (17 Oktober 2017)

5/Yard


Kehidupan Sekitar Sungai Sinre’jala Oleh: Rafsanjani

S

ungai Sinre'jala merupakan sungai selebar sepuluhan meter di sebelah timur Jalan Adhyaksa, mengalir melewati jembatan, menuju utara Jalan Sukaria 18 (Jalan M. Saleh Yusuf), Jalan Sukamaju 10, menu­ju muara di Tallo. Dalam bahasa Makassar sebutan itu bermakna “jala robek”. Konon dulunya kalau orang menangkap ikan di sana, jala mereka sering dirobek buaya.1 Bantaran Sungai Sinre'jala berbatasan dengan jalan utama perkotaan. Area ko­m ersial dan perumahan-perumahan menengah ke atas, memadati hampir sepanjang jalan ini seakan menutupi permukiman bantaran sungai yang berada di belakangnya. Kawasan bantaran sungai sering diidentikkan dengan lingkungan yang kumuh dan banyak pencema1

AJR, http://makassarnolkm.com/buayamuncul-di-panakkukang, diakses pada 3 oktober, 01.30 wita.

ran. Lingkungan bantaran Sungai Sinrej'ala berisi permukiman padat penduduk dengan akses jalan yang sempit, kondisi tepian sungai yang menghilangkan sempadan sungai, kumuh, dan kotor. Sinre’jala, sekitar Kantor Lurah Pandang Selasa, 19 September 2017, saya memulai pengamatan langsung di sekitaran Sungai Sinre'jala, belakang Kantor Kelurahan Pandang, Kompleks Panakukang Indah. Menyusuri arah selatan Kantor Lurah. Di sampingnya kita dapat saksikan tiga rumah pengepul saling berimpit, berada sekitaran lima meter dari sungai. Halaman depannya berserakan botol dan gelas-gelas plastik yang sudah dipisahkan untuk dijual. Sebuah lahan yang tidak jauh dari rumah pengepul merupakan kebun pandan beserta pohon pisang tumbuh di sana. Kebun seluas 15 x

10 meter dipagari tembok kurang dua meter, di dalamnya terdapat drainase yang mengalir menuju Sungai Sinre'jala. Di selatan kebun pandan ada sepetak lahan sekira 80 are ditumbuhi tanaman liar juga pohon pisang. Bantaran Sungai Sinre'jala bagian utara Kantor Kelurahan Pandang dan Kampung Buku, merupakan permukiman warga luar kompleks. Sekitaran enam rumah berjejer menghadap ke sungai, berjarak tujuh meter dari sungai. Mayoritas warga setempat hanya mengontrak, menurut seorang warga yang akrab disapa Bunda. Di permukiman ini, terdapat satu sumur di samping rumah salah satu warga yang digunakan bersama. Warga mandi dan mencuci di situ dengan saluran pembuangannya menuju sungai. Di halaman depan rumah warga jadi tempat jemur pakaian, tiangnya kayu dengan tali yang memanjang horizontal. Selain itu tumbuh 6/Yard


Komik oleh Muh Iqbal Burhan

KOMIK IQBAL tanaman seper­ti mengkudu, kelapa, kayu Jawa “tammate” (berdaun rimbun dan berbatang besar dapat dijadikan obat luka) dan pohon waru/baru (pohon peneduh tepi jalan, tepi sungai, dan pematang serta pantai). Di tepi sungai yang merupakan halaman depan rumah warga, anakanak sekitar menjadikannya sebagai ruang bermain. Mereka memanjat pohon, berkejaran, bermain bulu tangkis, hingga bermain bola. Kadang-kadang bolanya sampai ke tengah sungai. Jika merasa bosan bermain di sekitaran sungai, mereka berpindah ke jalanan sekitaran kompleks, Kantor Lurah, hingga ke tong sampah kompleks. Sinre’jala di Sukaria dan sekitar­ nya Di daerah Sukaria, Jalan M. Saleh Yusuf merupakan ruas jalan di bantaran barat Sungai Sinre'jala. Saat memasuki jalan ini dari arah utara Jembatan Jalan Racing, kita akan menyaksikan deretan rumah warga berada di sebelah kiri jalan, sedang di kanan merupakan Sungai Sinre'jala. Di sepanjang pinggiran sungai, sebagian warga memanfaat-

kannya untuk mendirikan tempat untuk berjualan, pos kamling, tempat untuk ngobrol bersama keluarga dan tetangga, juga untuk ditanami, seperti; pohon pepaya, kelapa, pohon tammate, pohon pidada/padada (sejenis pohon penghuni rawa-rawa tepi sungai dan hutan bakau yang buahnya dapat dikonsumsi), dan aneka jenis bunga. Sebagian warga memagari tanamannya dengan bambu. Lain halnya lagi di seberang Sungai Sinre'jala, bagian belakang suatu perusahaan. Terdapat sepuluh rumah berhadapan langsung de­ ngan sungai. Ibu Maya, wanita dua anak ini, salah satu penghuni rumah yang berada di belakang suatu perusahaan, kesehariannya bekerja sebagai pembuat jalangkote dan pengupas bawang untuk keperluan bumbu di salah satu Restoran di Jalan Prof. Abdurahman Basalamah “Ulu Juku”. Ia beranggapan bahwa Sungai Sinre'jala merupakan kanal. Hal ini dipicu karena air sungainya dianggap kotor, seringnya disaksikan sampah lewat terbawa oleh arus, ditambah lagi suatu perusahaan yang limbahnya mengalir ke sungai lewat samping rumahnya.

“Kalau hujan deras biasanya itu, bekas limbahnya berupa oli naik sampai ke tanah kosong,” sambil menunjuk ke arah yang dialiri bekas limbah oli saat hujan deras tiba. Ibu Maya menyebut, sampah ‘warga Sinre’jala kanal’ atau kawasan yang berada di belakang suatu perusahaan, biasanya dibakar di halaman. “karena tukang pengangkut sampah tidak sampai ke kawasan ini.” Di beberapa halaman rumah warga, terlihat tempat bekas pembuangan sampah, dengan sisa-sisa pembakarannya. Pukul 07.00 pagi, tampak perahu sedang mangkal di pinggiran sungai, di pinggiran kawasan Sinre'jala kanal. Menurut Ibu Maya, perahu ini berasal dari Pampang, merupakan pencari tude. Setiap pagi, pria pencari tude ini menggunakan perahu bersama istrinya untuk menjual kerangnya ke pasar yang terletak di Jalan Pettarani.

* Tulisan ini diterbitkan di Makassar Nol Kilometer­[Dot] Com (18 Oktober 2017)

7/Yard


Larangan dan Pantangan di Sungai Sinre’jala Oleh: Fauzan Al Ayyuby

Ada beberapa larangan dan pantangan dari warga sekitar Sungai Sinre’jala, Panakkukang, Makassar.

D

i Jalan Racing II, beberapa foto keluarga dirobek dan dibuang di pinggir sungai dengan sebuah tembok memanjang, berwarna abu-abu dan bertuliskan ‘dilarang buang sampah di sini’. Di sepanjang bantaran sungai, ada beberapa titik sampah dibuangletakkan begitu saja, walaupun ada dua tembok dengan tulisan yang sama: ‘dilarang buang sampah di sini’. Sepanjang jalan itu pula, hanya ditemukan satu tempat sampah saja. Menurut informasi yang dikumpulkannya dari beberapa orang-orang tua, sungai selebar 10-15 meter itu bernama Sinre.1 Jalan raya yang membatasi rumah dan sungai, membuat bau yang muncul dari sampah-sampah di sungai itu tidak 1

Anwar Jimpe Rahman, https://saintjimpe. blogospot.co.id/2016/12/buaya-munculdi-panakukang.html, diakses pada 18 oktober, pukul 16.31 Wita.

terlalu tercium. Jarak antara sungai dengan pagar atau halaman rumah warga di Jalan Racing II berjarak 5 sampai 7 meter. Pisang, eceng gondok, mang­ ga, ketapang, kelapa, mengkudu, singkong, tebu, nanas, dan pepaya adalah beberapa tanaman yang ditemui di sepanjang bantaran Sungai Sinre’jala jika menyusuri Jalan Racing II. Selain tanaman, ada botol, bambu, kayu, kandang ayam, plastik, bahkan uang pun ada di bantaran sungai itu. Irigasi-irigasi besar ‘menelurkan’ plastik berwarna putih atau hitam yang dipenuhi dengan sampah rumahan langsung ke arah Sungai Sinre’jala. Gradasi warna yang jelas terlihat ketika bertemunya aliran air dari kanal dan aliran air Sungai Sinre’jala, adalah batas. “Saya anggap ji ini sebagai sungai, ka ada buayanya,” kata Pak Muktar, 43 tahun warga kawasan yang dikenal sebagai ‘Arsenal’, singkatan dari “Anak Racing Kanal”,

yang sempat kami temui di depan rumahnya yang berwarna orange dan berhadapan dengan sungai Sinre’jala. Ia adalah seorang teknisi AC yang sebelumnya berprofesi sebagai supir pete’-pete’. Awalnya ia mendatangi kami dan mengira bahwa kami datang untuk mela­ kukan pengamatan kemudian mengeruk Sungai Sinre’jala ini. Ia mengeluhkan dangkalnya sungai ini, sebab selama ini tinggal di sini dari tahun 1989, sungai ini baru satu tahun dikeruk, itu pun sekitar 20 tahunan yang lalu. “Dulu masih banyak ikan di sini, karena bersih. Sekarang kalaupun ada, orang jijik untuk makan, karena sungainya kotor,” jelas Pak Muktar, sambil menunjuk ke arah Sungai Sinre’jala. Ia adalah salah satu warga Arsenal yang memanfaatkan bantaran sungai sebagai tempat untuk menanam. Dengan bermodalkan bambu sebagai pagar, ia menanam pisang, singkong, bunga, mangga, jambu, pandan, kedondong, dan lombok, 8/Yard


yang hasilnya ia manfaatkan untuk konsumsi pribadi. Ia kadang merasa was-was, sebab jika banjir, tanamannya akan terancam karena air biasanya naik sampai hampir melewati paving blok yang dipasang pada tahun 2013, yang menjadi jalan raya. Walaupun tidak sampai naik ke rumahnya. Sungai menjadi tempat yang menakutkan bagi anak-anak. Di Racing II misalnya, anak-anak de­ ngan cepat mengingat buaya ketika kami mencoba mendekati sungai. “Awas, kak. Ada buaya putih,” kata beberapa anak kecil yang baru saja pulang sekolah. Namun tidak untuk beberapa orang. Misalnya, ketika saya berjalan sekitar jam 9 pagi, seorang remaja duduk di atas bale-bale yang berdiri di atas aliran sungai, menggunakan headset, mero­kok, dan mengayunkan kakinya sesekali. Ada juga beberapa orang yang mencuci motornya di dekat sungai. Ada beberapa hal yang kemudian membuat saya berpikir: mengapa beberapa rumah mem­ belakangi sungai? Dan mengapa juga sebaliknya? Walaupun yang terlihat adalah rumah yang mem­ belakangi sungai cenderung mempunyai WC dan kamar mandi tepat di belakang rumahnya, dan yang menghadap ke sungai, cenderung membuang sampah langsung ke sungai. Dari penjelasan Pak Muktar,

warga yang membuang sampah ke sungai adalah mereka yang tidak membayar uang sampah. Pak Jasa’, pernah melihat seorang lelaki yang kakinya digigit oleh buaya. Ketika itu, lelaki yang terkena gigitan, ingin menangkap ikan pada malam hari, namun ia malah digigit oleh buaya. Keberadaan buaya di Sungai Sinre’jala sudah biasa terdengar. “Biasa dimarahi itu anak-anak ka na ganggui, ka biasa na kejarki baru na lempari,” lanjut Pak Jasa, menjelaskan tentang bagaimana anak-anak pernah dimarahi oleh Pak Lurah yang kebetulan melihat mereka. Cerita mitos semacam itu ba­ nyak muncul di masyarakat dengan lingkup hidup berdampingan de­ ngan sungai. Anwar Jimpe Rachman­ menulis dalam blognya: “Jamak juga kita dengar tentang cerita kembar buaya di daerah lain di Sulawesi Selatan, sebab wilayah ini punya banyak sungai. Kita kenal baik nama-nama sungai itu, di antaranya yang besar-besar adalah Sungai Sa’dan, Sungai Walennae, atau Sungai Cerekang. Namun berdasarkan tulisan saya (2011), mitos manusia kembar buaya menyimbolkan bahwa alam dan manusia tidak dapat dipisahkan layaknya saudara kembar. Keduanya

merupakan unsur alam yang harus saling mendukung.”2 “Nah, kalau di bantaran sungai ini, biasanya lewat itu yang namanya pepe, itu karrasa’ (angker),” jelas Pak Jasa’. Ia mengatakan bahwa pepe biasa merasuki dan menyakiti anak-anak. Selain itu, beberapa warga pun pernah melihatnya di sebuah sumur umum yang dipakai bersama oleh warga di sebelah kiri rumah Ibu Yanti. Menurutnya, sosok pepe adalah sosok yang sangat cantik. Tapi Pak Jasa’ punya penangkalnya. Sebuah kayu ‘santigi hitam’ dan sudah ia jadikan batu cincin, menurutnya adalah benda yang ampuh untuk menjauhkan pepe. Kayu santigi adalah kayu yang berasal dari Bawakaraeng dan Selayar. Pohonnya, menurut Pak Jasa’, bisa menjatuhkan burung-burung yang melintas di atasnya. Pak Jasa’ mengaku tidak pernah memakan ikan dari Sungai Sinre’jala karena airnya kotor. Airnya yang hitam, bahkan naik ketika banjir datang, menjadi salah satu alasannya. Kemudian irigasi dari rumahrumah warga yang langsung menuju ke sungai adalah alasan lainnya.

* Tulisan ini diterbitkan di Makassar Nol Kilometer­[Dot] Com (19 Oktober 2017) 2

Anwar Jimpe Rahman, Ibid.

Nonton video Bom Benang 2017 Benang dan Sungai" di kanal yutube Tanahinide Inc atau di tautan ini: https://goo.gl/Qye95e

9/Yard


Eceng gondok di Sungai Sinre’jala

E

ceng gondok adalah pemandangan biasa di sungaisungai kota. Kota dengan segala polusinya, termasuk di sungai yang dihuni banyak sampah, mendukung pertumbuhan tanaman ini. Sungai berlumpur dengan aliran yang tenang karena terhambat sampah-sampah menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan eceng gondok. Eceng gondok secara umum dianggap sebagai gulma. Meski anak-anak kecil bisa saja melihat tumbuhan ini sebagai penghias sungai, serupa teratai. Eceng gondok dengan nama Latin Eichhornia Crassipes juga memiliki penyebutan yang berbeda di berbagai daerah, seperti dalam bahasa Makassar disebut capo-capo. Eceng gondok adalah tanaman hidrogami, atau penyerbukannya dibantu oleh air. Selain itu, proses pertumbuhannya sangat cepat dan mudah menyebar menutupi permukaan air, oleh karena itu tanaman ini termasuk gulma yang

Oleh: Ekha Nurul Hudaya dapat menghambat oksigen dalam air sehingga mengganggu kehidupan ikan. Tanaman air ini juga menjadi penyebab pendangkalan sungai. Eceng gondok yang mati akan layu dan tenggelam, menumpuk di dasar sungai. Selain itu, permukaan daun eceng gondok yang lebar akan mempercepat penguapan dan mengurangi volume air. Pertumbuhannya yang cepat juga mengganggu lalu lintas air. Seperti yang diutarakan Ibu Milani yang saya temui di depan rumahnya yang langsung menghadap ke sungai. Kadang ada perahu kecil yang menjala ikan di sungai dan langsung dijual di rumah-rumah pinggir sungai, tapi itu kondisional, karena jika sungai tertutupi eceng gondok, nelayan sungai tidak bisa lewat. “Biasanya ada orang menjala di sini baru na jual mi dekat-dekat sini. Kalau tertutup ki eceng gondok kayak begini, lewat saja tidak bisa,� terang Ibu Milani. Jenis ikan yang biasanya terjala adalah ikan nila,

ikan gabus, dan ikan air tawar lainnya. Di antara Jalan Sukamana dan Jalan Saleh Yusuf, bermuara kanal yang dialiri air comberan rumah tangga yang berwarna hitam pekat, sehingga jika dilihat, ada batas warna antara sungai dan kanal. Tidak banyak yang tahu, ternya­ ta tumbuhan gulma berdaun tunggal dengan bentuk oval dan berwarna hijau ini bisa diolah dan dimanfaatkan menjadi produk terapan ataupun hiasan, hingga pupuk organik dan biogas. Warga di bantaran sungai, tepatnya di belakang Kelurahan Pandang dan Kampung Buku, antusias menyambut lokakarya pengolahan eceng gondok, itu karena warga dekat dengan sumber bahan bakunya. Eceng gondok setiap saat melintas di depan rumah warga. Bahkan sungai di saatsaat buruknya tetap memberikan manfaatnya. S ebuah kesempatan yang 10/Yard


menyenangkan saya bisa terlibat dalam Bom Benang tahun ini, yang mendapuk tema “Benang dan Sungai”. Selama lebih dari satu bulan bertemu sungai, interaksi dengan warga yang bermukim di bantaran sungai, dan cerita yang terlontar dari anak-anak tentang sungai, ada banyak hal yang tim dan saya bisa temukan di lapangan. Sabtu, 30 September menjadi hari pertama pelaksanaan lokakarya pengolahan eceng gondok bersama warga kelurahan Pandang yang bermukim di emperan Sungai Sinre’jala. Kesan pertama warga adalah takjub, tanaman gulma yang selama ini terbawa arus sungai melewati permukiman warga ternyata bisa diolah menjadi berbagai produk bernilai jual. “Eceng gondok bagus tidak?” tanya saya pada Kadir yang memilin eceng gondok. “Bagus, Kak. Ka lewat-lewat ji situ baru diambil, baru dijemur,” katanya. Melalui eceng gondok, warga dan tim menjalin interaksi. Se­perti benang yang menghubungkan orang dari berbagai latar belakang. * Tulisan ini diterbitkan di Makassar Nol Kilometer­[Dot] Com (19 Oktober 2017)

'Melukis dalam Anyam' - Fadriah Syuaib

Bincang-bincang seniman residensi Makassar Biennale 2017 yang ikut serta berkarya di Bom Benang 2017 'Benang dan Sungai. (Kiri: Anwar Jimpe Rachman (Tanahindie), Fadriah Syuaib (Ternate), Cut Putri Ayasofia (Aceh), dan Andy Seno Aji (Bekasi)

Nurasyiah, Koordinator Bom Benang 2017 (kiri) menemani Fadriah Syuaib mengerjakan karyanya "Menggambar dalam Anyam" untuk pamaren bersama warga bantaran Sungai Sinre'jala .

Video animasi oleh Andy Seno Aji yang ditayangkan di permukaan Sungai Sinre'jala di lokasi Bom Benang 2017.

11/Yard


Infografis oleh Ekha Nurul Hudaya 12/Yard


Lokasi

TIM KERJA BOM BENANG 2017 "BENANG DAN SUNGAI" Penanggung Jawab Anwar Jimpe Rachman Konsultan Anwar Jimpe Rachman Fitriani A. Dalay Ibrahim Massidenreng

Keuangan Mardiana Makmur Nur Wahidah Administrasi Aprilia Riska

Koordinator Program Nurasiyah

Artistik & Pameran Arfan Rahman Ahmad Musafir

Instruktur Lokakarya Berthairing Masjeng

Soundman & Panggung Fandy Rauf Muhammad Fahmi

Mentor Lokakarya Askariputri Hirlia Primasari Fitriani A. Dalay Irma Suryani Jusmiati Nur Syamsina Tenri Pakkua Bungawalia Uun F Hanis

Ilustratrasi/Komik Muhammad Iqbal Burhan

Fasilitator Lokakarya & Penelitian Andi Ilmi Utami Irwan Anshar Kenna Damar Almanakku Ekha Nurul Hudaya Fauzan Al Ayyuby Nurul Kausar Dahlan Rafsanjani Peserta Pameran Adinda Kuraini Putri Andini Andriani Fetron Nella Hendrayanti Kadir M. Rafsanjani Putra Albaini Saharuddin Syifa Ramadani Yuliana Yusuf

Rancang Grafis Ade Awaluddin Firman Muhammad Iqbal Burhan Nurul Ciilo

Seniman Residensi Andy Seno Aji (Bekasi) Fadriah Syuaib (Ternate) Ucapan Terima Kasih Lurah Kelurahan Pandang, Kecamatan Panakkukang, Makassar; warga sepanjang Sungai Sinre’jala di Kelurahan Pandang dan Kelurahan Tamamaung, Panakkukang; rekan-rekan jurnalis yang memberitakan kegiatan ini; dan pihak-pihak yang membantu kelancarannya.

Inisiator:

Dokumentasi & Kearsipan Ade Awaluddin Firman Nurul Ciilo Sulaeman M. Nur Drone Operator Syamsul Alam Bakri

Kerja sama:

Editor Video Sulaeman M. Nur Ade Awaluddin Firman Media & Publikasi Muhammad Fahmi Nur Syahira Binti Tahir Tata Musik Video Waktu Luang

13/Yard


14/Yard


Dokumentasi Proses hingga Pameran Bom Benang 2017

15/Yard


16/Yard


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.