4 minute read

MAGNIFICENT TECHNIQUES

Louis Vuitton mewujudkan perkawinan antara seni dan keunggulan para artisan lewat tiga kreasi

Horologi Kelas Atas

Arinta Wirasto

Mungkin sebagian dari Anda bertanyatanya, apa yang diketahui Louis Vuitton tentang pembuatan jam tangan? Faktanya kiprah brand basis Paris ini di dunia horologi telah melampaui ekspektasi berkat sejumlah penawaran mutakhir nan autentik. Louis Vuitton mulai merambah dunia horologi pada tahun

1988 dengan dilansirnya jam tangan LV I dan II yang dirancang oleh arsitek kenamaan Italia, Gae Aulenti, dan dimanufaktur oleh IWC. Kehadiran jam tangan world-time dengan fase bulan bermesin kuarsa tersebut dinilai berhasil mendobrak standar tradisional pada saat itu. Awal era milenium membuka babak baru Louis Vuitton dalam ranah jam tangan kelas atas melalui diluncurkannya koleksi Tambour. Sesuai dengan terjemahan dalam bahasa Prancis yang berarti drum, Tambour mengusung case bersiluet cembung tanpa bezel yang menjadi cikal bakal penawaran Louis Vuitton hingga kini.

Seiring berjalannya waktu, Louis Vuitton senantiasa mengilustrasikan komitmen serius mereka lewat sejumlah penawaran canggih dalam lini Tambour. Sejatinya, lini yang terinspirasi oleh perkusi asal Jepang tersebut memang memiliki keistimewaan sendiri, yaitu konstruksi yang cenderung tebal untuk mengakomodasi movement berkomplikasi tinggi di dalamnya. Hal ini pula yang menggugah Michel Navas dan Enrico Barbasini—ahli komplikasi watchmaking—untuk menjadikan Tambour wadah bagi prototipe mereka, Spin Time. Pada tahun 2011 Louis Vuitton memutuskan untuk mengakuisisi manufaktur movement milik sang duo, La Fabrique du Temps, dan menggaet spesialis dial Léman

Cadran untuk bergabung lima bulan kemudian sehingga memantik topik pembicaraan di kalangan pemerhati horologi.

Dengan sumber daya dan kapabilitas ini, Louis

Vuitton pun enggan berhenti berinovasi lewat ragam interpretasi, seperti Tambour Carpe Diem dan Tambour Street Diver Skyline Blue keduanya memperoleh penghargaan Grand Prix d’Horlogerie de Genève dalam kategori Audacity Prize dan Diver’s Watch Prize secara berurutan). Sebenarnya, Louis Vuitton bisa saja menelurkan kreasi aman yang dikhususkan untuk pasar mainstream semata, namun sang brand memilih untuk selalu menentang persepsi.

Artistic Motion

Louis Vuitton kembali menyajikan intrikasi menakjubkan pada dial lewat rilisan baru dengan fungsi automaton: Tambour Opera Automata. Mekanisme tersebut memungkinkan terjadinya pergerakan pada dial jam sesuai permintaan sang pemakai. Jika Tambour Carpe Diem terinspirasi oleh tema vanitas—aliran seni yang sarat akan simbol kematian—Tambour Opera Automata mengacu pada Opera Sichuan asal Tiongkok, yaitu Bian Lian (perubahan wajah). Teknik tradisional ini memanipulasi pertukaran topeng beragam warna, bentuk, dan ekspresi dalam hitungan detik. Sebagaimana dekorasi dial bak topeng pada Tambour Opera Automata yang akan berubah ekspresi—untuk menunjukkan waktu—via tombol pengatur berwujud naga di sisi kanan jam. Ornamen naga yang mengular pada dahi sang ‘topeng’ akan bergerak berkat mekanisme jumping hour, sedangkan ujung ekor naga pada dial menjadi indikator menit retrograde. Indikator power reserve digarap dengan wujud labu air yang dipercayai dapat mengusir spirit jahat. Inspirasi oriental lainnya dapat ditemukan pada tampilan angka empat— diketahui sebagai angka kurang beruntung di kultur

Tiongkok—yang digantikan oleh simbol bunga berkelopak ikonis milik Louis Vuitton.

Seniman enamel Anita Porchet didaulat untuk menggarap warna putih, merah, dan hitam pada topeng dengan teknik cloisonné, sementara imaji kipas dikreasikan menggunakan champlevé enamel. Setelah memakan waktu tujuh hari untuk menyelesaikannya, ahli glyptic asal Belanda, Dick Steenman, mengambil alih kendali. Ia mengkreasikan ukiran pada kedua naga—bermaterialkan emas merah muda 18 karat dengan rubi berpotongan cabochon di bagian mata serta ekor—tepian labu air yang dinaungi oleh kristal safir, dan crown bermaterialkan emas merah muda. Tak hanya puitis, jam berdiameter 46,88 mm ini turut menyuguhkan kinerja optimal berkat Calibre LV 525 yang menenagainya dengan cadangan daya hingga 100 jam lamanya.

Anda juga dapat menemukan komplikasi automata pada interpretasi Tambour Fiery Heart. Sejumlah ornamen yang dilatari oleh dial hijau zamrud dengan monogram khas Louis Vuitton tersebut dapat beranimasi ketika tombol pengatur emas merah muda berhiaskan berlian di posisi angka 8 diaktifkan. Kedua mawar di posisi angka 12 dan 4 beserta logo monogram akan berputar searah jarum jam, sementara simbol hati dengan label berukiran “Sweet” akan menyingkap frasa “Sweet But Fierce”, kemudian wujud api di balik sang hati pun akan muncul bersamaan dengan duri di tepi subdial dengan jarum penanda bersiluet bak duri mawar.

Seakan tidak cukup mengagumkan, jam ini juga dilengkapi dengan flying tourbillon yang berotasi penuh setiap 60 detik di posisi angka enam.

Tambour Fiery Heart turut memperkenalkan teknik grand feu enamel yang digarap sepenuhnya oleh manufaktur Louis Vuitton, dilengkapi oleh ukiran besutan Dick Steenman. Selain teknik dekorasi, mesin Calibre LFT 325 yang berjasa menyuguhkan komplikasi automata dan flying tourbillon turut digarap secara in-house dan tersingkap indah berkat konsep openwork yang ditawarkan.

SHEER COMPLEXITY

Sorotan selanjutnya dari jajaran mutakhir Louis

Vuitton adalah Tambour Moon Flying Tourbillon

Volant Poinçon de Genève. Dari namanya saja, kami yakin Anda sudah dapat menebak keistimewaan utama dari jam ini, yaitu sertifikat Geneva Seal— nama lain dari sertifikasi bergengsi tersebut— yang diembannya. Badan ini menganugerahi cap keabsahan bagi tingkat finishing menakjubkan yang dimiliki sebuah jam tangan, termasuk di antaranya adalah Louis Vuitton Voyager Flying Tourbillon (2021). Dengan masuk ke lingkaran eksklusif tersebut, Louis Vuitton berhasil mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam kreasi artistik yang membawa sang brand pada mahakarya berikutnya.

Perkenalkan, dua iterasi baru dalam koleksi Tambour Moon Flying Tourbillon Volant Poinçon de Genève yang hadir melengkapi tiga versi sebelumnya yang dirilis tahun lalu dengan nuansa biru, bening, dan merah muda. Mungkin dua jam ini terlihat ‘biasa saja’ jika disandingkan dengan iterasi berkomplikasi automata yang telah kami bahas. Izinkan kami untuk mengingatkan Anda mengapa jam ini patut menyematkan Poinçon de Genève pada namanya. Kedua iterasi berwarna hijau redup dan kuning elektrik ini mengedepankan material safir sintetis berimpresi tembus pandang.

Bicara teknis, jam ini dikreasikan dari bongkahan safir seberat 200 kg menggunakan instrumen pemotong berlian yang dioperasikan secara digital dan memakan waktu lebih dari 420 jam lamanya hanya untuk mengkonstruksikan bagian case, 110 jam untuk proses pembuatan caseback, serta 60 jam untuk menggarap bridge berlogo LV di posisi angka 9. Sesungguhnya safir sintetis memang memiliki ketahanan lebih baik terhadap goresan sehingga menjadi wadah sempurna untuk melindungi Calibre LV 90 dengan cadangan daya 80 jam yang menenagai kedua iterasi. Pada akhirnya, pertanyaan sebagian dari Anda mengenai pengetahuan Louis Vuitton di ranah watchmaking telah terjawab dan kami tak akan heran bila penjabaran barusan membuat Anda berdecak kagum.

This article is from: