2
Islam dan Pesantren Di Patani
Patani kekinian merupakan beberapa provinsi sebagian dari Thailand bagian Selatan, Thailand salah satu negara di Asia Tenggara yang apabila ditinjau dari sudut agama yang dianut oleh penduduknya, mayoritas beragama Budha. Umat Islam penduduk minoritas dari jumlah keseluruhan penduduk Thailand, mayoritas umat Islam di Thailand tinggal di wilayah Thailand Selatan, yaitu daerah yang disebut dengan ulama dan cendekiawan Islam. Bahkan para ulama merupakan golongan yang paling berperan dalam pengembangan Islam di Patani. Mereka mempunyai kedudukan penting dalam pemerintahan, juga di kalangan masyarakat. (Ahmad Fathy al-Fatani, “Ulama Besar dari Patani”) Diungkapkan juga oleh Dr. Ahmad Omar Chapakia dari Fatoni University, melalui peran-paran Ulama, Patani menjadi sebuah negeri Islam Pemerintah Thailand mengambil Kebijakan pada tahun 1966, yang mewajibkan seluruh institusi pondok untuk mendaftarkan diri ke pemerintah dibawah Akta Rongrian Rat
“Patani”, daerah ini meliputi provinsi Patani, Yala, Narathiwat, Setul dan sebahagian Senggora, dihuni oleh sekitar 5 juta jiwa yakni 8 % dari jumlah seluruh penduduk Thailand yang berjumlah 65 juta jiwa. Diwilayah ini dihuni sekitar 85% masyarakat Muslim yang bersuku etnis Melayu. Patani diantara pusat kebudayaan Islam yang ada di Asia, dan dikenal sebagai bekas negeri Melayu yang terbayak melahirkan para yang dikenal dengan sebutan Patani Darusalam. Bahkan ia menilai, bahwa ulama Patani telah memainkan peran besar dalam menumbuhkan dan membangun di Dunia Melayu atau Nusantara. Apalagi banyak diantara mereka hijrah meninggalkan Patani untuk mengembangkan Islam di negeri-negeri Melayu di Nusantara. Diantara sumbangan besar yang paling kentara adalah mendirikan institusi pendidikan pondok. Son Sasna Islam (Sekolah Swasta Agama Islam atau Sekolah Agama Rakyat). Sejak itu mulai perubahan pendidikan pondok di Patani.
3
Pondok yang selama ini menjadi pusat pendidikan Islam tradisional untuk masyarakat Islam di Thailand tiba-tiba menjadi tumpuan pihak kerajaan Thai pada tiga dekad yang lalu. Semasa proses pembaharuan dalam bidang pendidikan itu, institusi Pondok akhirnya ditukarkan menjadi “Sekolah Agama Rakyat� setelah ia dijadikan madrasah itu. Pada ketika itu juga pihak pemerintah telah berusaha bersungguh-sungguh untuk menerapkan bahasa dan budaya Thai ke dalam sekolah tersebut. Hasilnya, para pelajar sekolah Agama Rakyat kini menguasai tiga buah bahasa sekaligus, iaitu bahasa Melayu, bahasa Arab dan bahasa Thai. Setelah kerusuhan kembali merebak di kawasan Patani. Pondok Patani, umumnya masih sangat tradisional, bagi kaum Melayu Muslim Patani lebih daripada sekadar lembaga pendidikan Islam, tapi juga merupakan salah satu identitas keagamaan dan kultural. Karena itu, ancaman penutupan pondok, langsung ataupun tidak, bagi kaum Muslimin Patani merupakan 'pembunuhan', genocide, religius-kultural. Pembicaraan tentang pondok juga mengemuka dalam international workshop bertajuk "Voices of Islam in Europe and Southeast Asia", yang diselenggarakan The Regional Studies Program, Walailak University dan Department of Cross-Cultural and Regional Studies, University of Copenhagen. Dalam lokakarya di Kota Nakhon Si Thammarat itu, kawasan selatan Thailand, terlihat kontras perkembangan pondok Patani, dengan pesantren, madrasah, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Tradisionalisme pondok Patani mempunyai sejarah panjang. Kaum Muslimin Melayu Patani mengklaim, pondok merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara, meski sumber-sumber sejarah umumnya menyebutkan, Islam datang dan berkembang di wilayah ini baru pada abad ke-16. Kementerian Pendidikan Thailand secara serentak menggap Pondok Pesantren di Patani secara keseluruhan dapat dikatakan sama dengan pesantren di Jawa atau tempat-tempat lain di Indonesia pada tahun 1950/60-an sebelum mengalami modernisasi. Kini, setelah kerusuhan merebak di Patani atau kawasan Muslim Melayu di Thailand Selatan dalam beberapa tahun terakhir, pondok menjadi tertuduh sebagai tempat pusat perlawanan atas pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah Thailand. Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak akan memberikan toleransi kepada pondok yang seperti itu. Pondok Patani umumnya masih sangat tradisional, bagi kaum Melayu Muslim ia adalah lebih dari sekadar lembaga pendidikan Islam. Walaupun bagaimanapun Pondok Pesantren menjadi institusi pendidikan yang sangat vital di Patani. Tapi warga Muslim Patani hanya menyebutnya pondok saja. Institusi ini telah melahirkan tokoh dan ulama-ulama besar yang terkenal, tak
4
hanya di tanah melayu, tapi juga di dunia Islam. Nama Syeh Daud al-Fatani (17691847), Syehk Ahmad Bin Muhammad Zain al-Fatani (1817-1908) dan banyak lagi nama ulama yang dibelakang namanya membubuhkan nama Fathoni. Puncak kegemilangan pondok di Patani terjadi sekitar abad 19 sampai awal abad 20. Selain penyebaran Islam, peranan pondok di Patani sangat besar dalam struktur masyarakat Islam. Pondok juga menjadi kawah candradimuka, tempat menggodok jatidiri masyarakat Melayu Muslim di Patani. Setelah Patani dijajah oleh Siam, atau yang lebih kita kenal dengan nama Thailand pada tahun 1785, sampai dengan berakhirnya Kesultanan Patani tahun 1902, maka berakhir pula pengaruh politik bangsa Melayu di Patani. Pondok menjadi satu-satunya benteng terakhir dalam mempertahankan akidah ummat Islam, jatidiri bahkan budaya Melayu di Patani. Tetapi kini, pertahanan dan benteng terakhir itupun sudah mulai mendapat serangan dahsyat yang nyaris tak bisa dibendung lagi. Pemerintah Thailand melakukan kekerasan dan mengganggu pertumbuhan pondok-pondok di Patani. Gangguan tersebut sudah terjadi sejak tahun 1961, ketika Thailand dipimpin oleh PM. Sarith Thanarath. Pemerintah Thailand mengeluarkan undang-undang yang mewajibkan semua institusi pendidikan melakukan registrasi secara resmi. Tak hanya registrasi pondok juga diharuskan menerapkan kurikulum pemerintah, mengganti nama menjadi sekolah rakyat dan mewajibkan penngunaan bahasa Siam. Bahasa Melayu dilarang digunakan dan tulisan dalam huruf Jawi (Arab-Melayu) pun tak dibenarkan. Bagi pondok-pondok yang mau menuruti perintah-pemerintah, mereka dikucuri dana subsidi dan bantuan pendidikan. Pemerintah juga akan mengirim guru- guru beragama Budha untuk mengajarkan bahasa Siam (Thai) dan ilmu-ilmu lainnya di pondok tersebut. Maka terjadikan asimilasi besar-besaran pada bangsa dan Budaya Melayu menjadi bangsa Thai. Tercatat sampai pada tahun 1971 sebanyak 426 pondok di Patani telah melakukan registrasi dan menukar nama pondok dengan nama sekolah rakyat. Meski demikian ada beberapa pondok yang mempertahankan jatidirinya dan mempertahankan identitas Islam dan Melayu. Bagi pondok-pondok seperti ini mereka menerima ancaman, paksaan dan penindasan pemerintah Thailand meminta mereka agar menutup pondok. Tekanan demi tekanan untuk menghapuskan sistem pondok ini tak pernah surut sampai hari ini. Pondok sering dijadikan sebagai sasaran militer Thailand. Mereka menggeledah dengan paksa pondok-pondok yang dituduh menyembunyikan para pejuang Patani atau melindungi mereka. Masyarakat Patani
5
merasa, aksi kekerasan dan tuduhan yang dilakukan oleh pemerintah Thailand ini sebagai usaha menindas hak pendidikan yang harus didapatkan oleh rakyat Patani. Selain instutusi yang menjadi serangan, para pengajar di pondok, ustadz dan para guru juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh pemerintah Thailand. Mereka dituduh sebagai pejuang pembebasan Patani. Banyak guru, ustadz dan pengajar yang dikejar-kejar dengan alasan ini. Sejak 2004, banyak pula pondok yang ditutup oleh pemerintah. Kisah pemberangusan pondok di Patani ini bisa ditelusuri dari penutupan paksa pondok Tuan Guru Haji Sulong al-Fatani yang bernama Madrasah Al-Ma’arif al-Wataniyah tahun 1950, kemudian secara massal, militer Thailand memburu para guru dan ustadz paska Demontrasi di Masjid Jamik Patani 1975, unjukrasa besarbesaran pada tahun 1975. Banyak guru pada wilayah ini menyelamatkan diri lari ke perbatasan dengan wilayah Malaysia. Mereka meninggalkan pondok-pondok terbengkalai dan hancur. Kasus yang terbaru terjadi pada Januari 2004. Dari tahun 2004 sampai hari ini, sekurang kurangnya ada tiga pondok besar yang ditutup oleh pemerintah Thailand. Pondok Jihad Witaya di daerah Jering wilayah Patani, ditutup pada tahun 2006. Pondok Jalalaudin di Sebaya di wilayah Songkhla ditutup pada bulan Maret 2007. terakhir Pondok ad-Dirasat al-Islamiyah, Sepong di wilayah Narathiwat pada bulan Juni 2007. Konflik yang tak kunjung reda di wilayah Patani, akan membawa dampak yang sangat besar pada kehancuran pondok dan sistem pendidikan Islam di Patani, pondok-pondok di Patani akan terkubur dan dikubur oleh tangan tangan militer Thailand yang memegang senapan. Pondok-pondok selalu disebut sebagai sarang teroris dan tempat bersembunyi para kelompok perlawanan. Dan akhirnya bila benteng terakhir ummat Islam di Patani in terkubur, maka akan terkubur pula identitas ummat islam Melayu di Patani.
6
Sejarah Derita Pondok Jihad Witaya Pondak Jihad didirikan pada tahun 1938 oleh Tuan Guru Haji Ibrahim atau akrap di pangil babo Heng, atas dasar permintaan masyarakat setempat, setelah Tuan Guru Haji Ibrahim selesai menuntut ilmu beliau mendirikan lembaga pondok tersebut dengan bantuan gotongroyong serta sumbangan dari warga membagun bagunan sebagai tempat ngajar menganjar. Dengan ini lembaga pendidikan pondok jihad sangat berperan dalam menggatasi masalah-masalah sosial yang terjadi didalam masyarakat pada waktu itu dengan melalui pengajaran agama. Pondok jihad yang maksud "Mujahadah atau bersuguh-suguh dalam memperbaiki diri sehingga terjadi perubahan kehidupan yang lebih maju" dan tidak ada kaitan sama sekali dengan yang dimaksud Jihad Perlawanan seperti kacamata pemerintah yang selalu mengcurigai. Malangnya nasib Babo Heng merupakan meninggal dunia pada tahun 1948 dari tembakan perulu yang misteri sehingga pondok jihad mengalami kiris kehilangan penerus dan para warga setempat berpendapat dan sepakat untuk menujuk saudar Abdullah Waemano yang merupakan murid tersayang dan terpercayai oleh Babo heng, Suadara Abdullah adalah anak dari tok imam (Imam Masjid) di kampung tersebut. kepercayaan Abduulah dari warga sehingga sangat dipercayai sebagai penerus dari Alm. Babo Heng sehingga tahun 1949 secara rasmi menerima jabatan sebagai kepala Sekolah Jihad Witaya. Pada tahun 1950 Saudara Abdullah Waemano menikah dengan anak perempuan dari Alm. Tuan Guru Haji Ibrahim dan juga sebagai penerus Pimpinan Pondok Jihad Wittya sehingga membawa kepada perubahan renovasi sistem pendidikan di Pondok Jihad dengan menerapkan kurikulum pendidik akademik seiring dengan sistem pendidikan agama sesuai dengan aturan yang terap oleh pemerintah Thailand. sehingga akhirnya pada 21 May 2005. Sekolah Jihad Witaya Melahalami Musibah dengan dikepung ditutup paksa oleh pihak keamanan nasional Thailand.
7
Pondok Jihad di Tutup dan Dirampas Dari lembaga pendidikan, Pondok Pesantren sehingga terjadi penutupan sekolah dan perampasan lahan tempat berdirinya pondok pesantren menjadi hak kerajaan. Pondok Jihad (Sekolah Jihad Witaya) yang berada di M.4 Kampung Thadan Mukim Taluk Kapo Daerah Yaring Wilayah Patani salah satunya sekolah pondok yang baru di tutup paksa dan dirampas lahan yang merupakan tanah wakaf oleh tuan guru pendiri pondok sehingga saat ini proses ngajar mengajar terhenti. Mulai pada akhir tahun 2004 sekolah Pondok Jihad Witaya mulai di kepung oleh pihak tentera keamanan nasional Thailand dan tidak ada tuduhan kes apa-apa terhadap Sekolah Pondok Jihad Witaya oleh karena tiada penemuan bukti apa-apa yang mencurigai. Selanjut pada 21 May 2005 pihak tentera keamanan nasional Thailand kembali mengepung lagi pondok jihad, pada kali ini jugak tiada penemuan bukti kesalahan akan tetapi pihak keamanan nasional Thailand membawa waran tangkap atas nama Saudara Abdullah Waemano yang merupakan kepala Sekolah Pondok Jihad Witaya dan kebetulan Saudara Abdullah pergi berkunjung saudaranya yang sedang sakit di daerah Sri Sakhong Wilayah Naratiwat 2 hari sebelum dikepungan. Pihak keaman nasional Thailand menguna waktu untuk mengepung sekolah pondok jihad selama 4 hari dengan tiada penemuan sebarang bukti salah. Akan tetapi di waktu yang sama pemberita melaporkan menemu 7 Tahapan Revolusi, serta VCD latihan ketenteraan Usman Billaden yang mana VCD tersebut ada terjual di pasaran dan jugak menemu 2 laras senjata lengkap dengan pelurunya. Setelah usai pengepungan pihak keamanan nasional Thailand kembali dengan membawa Saudara Abdullah Waemano berserta dengan 3 orang murid dan 2 kereta (mobil) milik saudara Abdullah Waemano dan milik adiknya ke Kem Tentera untuk menyelidiki, serta memberi tuduhan sekolah pondok jihad merupakan tempat latihan angkatan senjata RKK atau tempat berlatih para pejuang Patani Merdeka. Dua minggu selanjutnya siaran radio dalam rancangan "Perdana Menteri Thaksin bicara dengan rakyat" yang menyiarkan keseluruh Nagara Thailand adanya pengistiharan cabut surat izin mengajar terhadap sekolah Jihad Witaya. Dan setelah 2 minggu kemudian pengistiharan, Departemen Pendidikan Thailand kembali memberi izin kepada sekolah jihad Witaya akan tetapi pihak sekolah jihad witaya tidak lagi buka sekolah untuk belajar mengajar oleh karena tidak cukup ahli tenaga mengajar dan merasa sangat berat di terima atas tuduhan dari pihak keamanan nasional Thailand.
8
Cerita Duka Pondok Jihad
Tutup adegan “Pondok Jihad Wittya” setelah pengadilan hukum berkeputusan merebut properti tanah wakaf bekas pondok, keluarga si pemilik memutuskan tidak banding kasusnya dengan berpindah ke masjid tempat tinggal sementara “Kami sering disentuhi berbagai macam ganguan dan ingin hidup seperti orang normal”. Ahad 14 Febuari 2016, Keluarga siap berkemas semua harta miliki dirumah asal bekas Pondok Jihad Wittiya di sebuah Kampung Taqdam, Kecematan Telok Kapur, Kabupaten Yaring, Provinsi Patani, Thailand Selatan. Berserta warga desa disekitar kampung dan alumni saling membantu untuk berangkat keluar dari rumah yang merupakan lokasi dari bekas sekolah pondok. Mereka harus meninggalkan tempat diaman asal ini setelah kalah kasus di pengadilan. Karena diperintahkan mahkamah untuk ditarik miliki tanah dengan menjadi harta negara mengikut Undang-undang Pertahanan dan Anti-Pencucian Uang
1999, dengan kes tuduhan kasus lokasi pondok tersebut sebagai markaz pelatihan dan mendukung pejuang dengan senjata kekerasan. “Saya menghormati keputusan pengadilan” ujar Balyan selaku anak Abdullah Weamanor. Sebagian besar cerita kasus ini bahwa orang tua saya yang dikeluarkan surat perintah untuk penangkapan dan penahanan adalah sumber dalam merampas dan tarik harta tanah dengan tersebut bukan pemilik sertifikat tanah dan kepala sekolah pondok ini, saya yakin bahwa peradilan sudah diketahui “keluarga pun tidak dapat ketahui bahwa apa yang telah melakukan oleh ayahnya tapi masalah tanah saya juga sudah menjelaskan bahwa tanah ini pemiliknya orang lain, akan tetapi peradilan mempunyai datafakta sebagai buktinya lalu memutuskan ditarik milik ke tanah negara, saya juga telah melawan secara proses hukum walau kes tersebut kita akan kalah maupun menang akan hormati keputusannya”.
9
“Pondok Jihad” nama sebuah pondok yang pernah dilaporkan oleh beberapa media bahwa sebagai sumber masalah sejak awal mulai konflik di Patani, sebab warga masyarakat termasuk juga pegawai pemerintah tidak meyakin atas kepercayaan, walaupun kalangan Muslim secara keseruruhan apabila menyebut kalimat “Jihad” adalah perjuangan dan merupa hasil usha melakukan kebaikan, selama 11 tahun status pondok ini telah ditutup panjang dan larang belajar mengajar dengan kasus terlibat sampai kepala sekolah dan guru besar salah satu termasuk Saudara Abdullah Weamanor, sehingga keluarganya menjadi sasaran pemerintah dan tidak senang dan beberapa anggota keluarga ditembak dan dibunuh dengan jalur luar system hukum lalu tempo 11 tahun ini penuh dengan problem yang lebih rapuh. Kasus tersebut dimulai pada tahun 2005, terkait dengan informasi pekikan dari dua orang dituduh pelaku teror ke pegawai pemerintah bahwa mereka telah melatih bersenjata pada lokasi pondok tersebut, kasus ini terlibat sebayak 36 orang yang dikeluarkan surat penangkapan untuk penahanan mengikut kes pelaku teror sehingga terlibat sebagai pemberontak dan mafia, karena mereka telah berjuang untuk pembebaskan, dalam jumlah tersebut sebagian melari berpindah tidak menyerah diri dan seramai 18 orang menyerah diri terus melawan secara proses hukum peradilan sehingga dibebasakan dengan alasan tidak cukup dalam mempunyai bukti sebarangan kasus tersebut. Di antara mereka yang melarikan diri adalah Abdullah Weamanor selaku kepala Sekolah “Pondok Jihad Wittiya” ini karena termasuk juga kasus pidana, di sisi lain “Badan Anti-Pencucian Uang” (Anti-Monney Laundering Office-AMLO), Jaksa diwakili telah membawa kasus ini ke Pengadilan Sipil meminta penahanannya karena penggunaan lahan untuk mendukung perjuangan kemerdekaan. Bukti dalam kasus ini adalah kesaksian dua orang terdakwa dalam kasus pidana, yang menyatakan bahwa mereka memiliki pelatihan senjata di sekolah pondok ini tersubut. Lalu keputusan peradilan pada Desember 2015 akan merampas tanah ditarik ke harta negara dengan mengikut atas permohonan AMLO. “Luasan tanah sebanyak 14 hektar terkandung dalam keturunan keluarga sebanyak lima orang” kata Balyan “Pemiliknya berada di berbeda-beda tempat, karena sudah berkeluarga hanya saya harus tinggal di sini dan meneruskan cita-cita pondok ini ”. Ibunya adalah salah satu dari lima bersaudara, manakala ayah sebagai menantu yang menikah dengan ibu saya dan dapat mandate untuk bertangjawab dalam manajemen pendidikan selaku kepala sekolah oleh karena keturunan dalam keluaganya tidak mempunyai anak laki-laki, walaupun hak dasar milik ayah saya
10
Abdullah tidak berhak atas pemilik tanah Cuma bertanggungjawab menjabat sebagai kepala sekolah saja. Pesanan ini juga meragukan keluarga dan orang sekitarnya pada hukum pelanggaran terhadap orang yang tidak bersangkutan dan mengapa ditarik bukan miliknya. Tanah ini bukan milik ayahnya, properti segala harta kekayaan atas tanah ini adalah sekolah, bangunan, asrama termasuk tempat ibadah dianggap milik kolektif keluarga namun bisa diangkap juga milik masyarakat umum, oleh karena waktu awal berdiri warga desa dan masyarakat sekitarnya telah memberi sumbangan segala bantuan secara fisik dan material dalam usha membangunkan sebuah pusat ilmu untuk kemasyarakatan. “Sewaktu awal keluarganya mulai berdiri pondok orang disini amat disukai bahwa akan tumbuhnya pusat ilmu yang menyediakan sebagai misi dakwah menyebarkan pengetahuan untuk kemasyarakatan lalu di wakaf menjadi milik public” Balyan mengatakan lagi “Sekarang keluarga kalah dalam melawan kasus, kita harus pindah dari sini jika masih tetap tinggal mungkin adanya tuntutan kesalahan, Walaupun salah satu alternatif adalah untuk mengajukan banding, tetapi kita memilih untuk tidak melakukannya. Telah banyak pegawai pemerintah datang berbicara mengajurkan banding, bagi keluarga pun merasa aneh bahwa kenapa pegawai disuruhi untuk banding kasus lagi pada hal mereka sendirilah yang telah menggugat kita deputi setuju untuk mengambil dengan kami pula”. Pertemuan keluarga dengan warga untuk membahas mencari solusinya. Balyan mengatakan “Bahwa keduanya termasuk warga desa serta alumni menemukan solusi akan usha membantu
dalam pemcarian tempat tinggal baru, untuk sementara ini harus meninggal di masjid sebagai tempat perlindung untuk sementara. Namun hari juga ada kedatangan oleh pihak tentara apabila dapat ketahui bahwa kami akan berangkat keluar dari lalu ditanya kenapa tidak diberitahu kepada pihak tentara terlebih dahulu, saya juga menjawab sudah cukup dengan tenaga warga desa yang siap membantu dan harus juga hormat keputusan saya” Selain itu, Ayah telah melarikan diri, abang saya telah ditembak mati sewaktu perkuliahan di Indonesia yang mana pulang ke rumah sementara dan salah satu kasus dari tiga provinsi ini yang belum dapat ditangkap pelaku kesalahan. Seorang pegawai tinggi pernah menawarkan dukungan bantuan dana untuk pemulihan jiwa tapi keluarga Weamanor menolak dengan menjelaskan terutama dibutuhkan adalah usha menangkap pelaku kasus kematian abang secepat mungkin
11
Selain itu, sebelum rampas properti sekolah, pihak pegawai polisi telah rampas juga sebuah mobil pig-up miliki Balyan yang telah beli selama tiga bulan dengan dituduh bahwa kenderaan tersebut pernah diguna dalam melakukan teror, sehingga kini belum dapat kembali “dan saya juga tidak tahu bahwa akan mengutgat sama siapa, malah tahu bahwa sedang melawan dengan siapa� Karena dengan beberapa alasan ini keluarga telah memutuskan untuk tidak mengajukan banding. “Saya ingin mengakhiri gugatan kasus iaitu tidak dapat mempertahan lagi dengan 11 tahun yang telah menepuhi dengan berbagai macam dikerahkan oleh tentara, ada ditangkap saya, Abang ditembak, jika kasus banding lagi akan tidak pernah berakhir dan akan didatangi lagi mencari saya dan keluarga, kami tidak ingin hidup seperti ini, kita ingin hidup yang normal seperti orang lain�.
12
Hangusnya Al Qur’an Kami, Tangis Air Mata Muslim Patani Dilapor Islampos 25 November 2013
BERKALI-kali Baliyan hanya bisa menundukkan kepalanya ketika Islampos bersama relawan Tim Road for Peace berkunjung ke Pondok Jihad di Patani. Gurat kesedihan tampak memancar dari wajah pria berumur 30 tahunan itu. Sedangkan di sekelilingnya bangunan tempat para santri belajar hanya tinggal kenangan usai berhenti beraktivitas sejak tahun 2005. “Tentara menutup Pondok ini. Sedangkan ayah saya (Tuan Abdullah) sudah 8 tahun hijrah karena dicari tentara Siam,” ujarnya Luka Baliyan semakin kuat ketika kakaknya ikut tewas satu bulan setelah Pondok ditutup. “Dia ditembak saat melaksanakan Shalat di Masjid,” ujarnya. Pembunuhan ini sangat membekas di hati Baliyan dan keluarga. Dia mendesak pihak tentara untuk mengungkap siapa pelaku pembunuh kakaknya. Tentu, ditembaknya seorang muslim ketika sedang shalat adalah pelecehan terhadap agama Islam. Namun, hingga kini tentara tetap enggan memenuhi keinginan Baliyan dan keluarga. Tudingan teroris memang telah menjadi “makanan” sehari-hari bagi Pondok Pesantren di Patani. Meski tidak ada bukti aktivitas persenjataan, pihak Pemerintah bersikeras menuding Pondok telah menjadi sarang terorisme. “Kita disini hanya belajar kitab dari Jawi, belajar Al Qur’an dan ilmu-ilmu agama lainnya,” kata Jawahir, Ibu Baliyan. Sebenarnya, sematan Pondok Al Jihad sebagai sarang terorisme menjadi bumerang bagi tentara itu sendiri. Ditutupnya Pondok tanpa adanya bukti persenjataan membuat pihak pemerintah memutar otak untuk menutupi kesalahannya. Termasuk memberi iming-iming uang dua juta baht sebagai ganti rugi. “Mereka datang untuk menyuap kami, tapi kami tolak,” kata Baliyan.
13
“Kami tidak butuh uang itu. Kami hanya ingin tahu siapa pelaku pembunuh kakak kami!” tegasnya. Jawahir mencium pembredelan Pondok tidak lebih sebagai cara pemerintah menahan laju Islam di Patani. Pemerintah Thailand dinilai cemburu karena Pondok-pondok Islam mampu memberikan dampak positif bagi pemuda Patani. Padahal, di sekolah-sekolah milik pemerintah, para pemuda ini justru dibuang. Dengan menjauhkan para pemuda dari Islam, maka pemerintah Thailand ingin memutus satu generasi Islam di bumi Thailand. Dan, target dari pemerintah tampaknya benar-benar tercapai jika melihat sebagian para pemuda Patani saat ini. “Mereka kini tidak lagi mengenali halal dan haram,” kata Qosim, Imam Masjid Pondok Al Jihad. Qosim mencontohkan banyaknya para pemuda Patani memilih menjadi tentara pemerintah. Saat menjadi tentara, mereka justru terlibat aktif untuk mengawasi umat Islam. “Bahkan mereka ikut memerangi saudaranya di Patani,” jelas Qosim. Derita muslim di Patani ditambah dengan adanya seribu muslimah menikah dengan para tentara yang beragama Budha. Padahal, hal itu jauh dari tuntutan agama. Ironisnya, banyak dari pernikahan tersebut hanya berujung dengan air mata. “Mereka ditinggal para tentara bersama janin yang dikandungnya,” ujar Qosim sedih. Luka bagi Qosim belumlah usai. Dia merasa sangat iba mengetahui banyak para pemuda Patani menjadi pecandu narkoba. “Inilah ulah kerajaan Budha untuk menjauhkan pemuda dari Islam,” terangnya. Kini Baliyan, Qosim, Zawahid dan aktivis Hak Asasi Manusia di Patani mencoba meraih keadilan di Pengadilan. Mereka melakukan gugatan hukum atas tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah menutup Pondok Al Jihad dan membakar kitab-kitab di dalamnya. “Gugatan ke pengadilan sudah berlangsung setahun. Meski kami tahu peluangnya tipis,” imbuh Baliyan.
14
Demi Kelangsungan Pondok, Rela Dinikah Paksa “Bapak saya bernama Tuan Guru Haji Ibrahim. Beliau yang bangun pondok ini. Saya ini anak kedua. Ayah saya diri sekolah ini tahun 2511,“ Jawahir mengawali ceritanya. Yah, Patani memang telah dijajah secara agama, budaya dan bahasa. Mereka lebih mengerti penanggalan yang dipakai pemerintah Thailand dibandingkan penanggalan kalender Masehi. Saat kami tanya, Tahun 2511 itu tahun berapa Masehi? Mereka tak bisa menjawab. Rupanya penanggalan Thailand (bangsa Siam) mengikuti penanggalan Budha. Ada selisih 543 tahun lebih dahulu dengan penanggalan Masehi. Berarti Pondok Jihad didirikan pada tahun 1968. “Tahun 2521 (1978 M) ayah saya meninggal ditembak oleh Siam. Saat itu usia saya 17 tahun,” lanjut Jawahir. Rupanya, pendiri Pondok Jihad hanya 10 tahun mengajbdi dan mengajar di sekolah tersebut. Ajalnya berakhir di tangan penjajah. Setelah ayahnya, Tuan Guru Haji Ibrahim meninggal, yang menjaga pondok ini adalah orang kampung. Jawahir menceritakan saat ditinggal pergi ayahnya, anaknya masih kecil-kecil. Semua orang kampung sini zaman dahulu adalah pelajar pondok ini, termasuk calon suaminya. Para tokoh kampung, kemudian, “memaksa” Jawahir menikah dengan salah seorang lulusan Pondok Jihad bernama Abdullah. Pernikahan itu tidak lain untuk menjaga pusaka kampung setempat, berupa pondok tersebut. Pada tahun 1979 M, mereka menikah dan Abdullah diangkat menjadi pimpinan pondok. Tujuan didirikannya pondok ini sepenuhnya didedikasikan untuk penduduk kampung tempatan. Pondok Jihad tidak memungut biaya sesen pun bagi masyarakat yang ingin belajar di pondok tersebut. Namun, bagi yang ingin belajar di sini, pihak pondok memberikan syarat. Syaratnya cukup mudah. Mereka hanya diminta menyisihkan waktu minimal seminggu sekali berbakti kepada pondok, untuk berkhidmat, mengajari adik-adik kelasnya yang masih lugu. “Kalau kata orang sini punya anak lima, kelimanya mengaji disini. Karena tak ada kena bayar pun. Orang mengajar pun macam itu juga. Sudah ngaji kena
15
tamat, awak wajib kena tugas, buat syarat lah. Dalam seminggu kena sehari lah. Tak apa hari lainnya untuk pergi bekerja. Semuanya untuk khidmat, ayah saya bimbing anak-anak untuk khidmat,� tukas Jawahir mengenang masa-masa kejayaan pondok ini. Pihak pondok memang menekankan pentingnya berkhidmat. Sehingga, Pondok ini tak membebani masyarakat sekitar yang memang tak mampu untuk mendapatkan hak pendidikan. Tak ada sumbangan dari pihak pemerintah sama sekali. Syarat belajar di pondok ini, meski gratis, adalah jika lulus wajib berkhidmat, minimal setahun mesti mengajar anak didik. Pada saat itu, ada sekitar 150 murid yang menimba ilmu di sekolah ini. Mereka sehari-hari hanya belajar ilmu-ilmu agama, mengaji dan membaca Al-Quran serta mengkaji kitab-kitab turats. Saat kami bersilaturahmi ke pondok itu pada 18 November lalu, kami masih bisa melihat jejak-jejak peninggalannya. Di depan ada sekitar 10 pondokan (rumah kayu) yang berdinding seng dan beratapkan genteng. Satu pondokan tersebut berisi dua kamar yang disekat dengan papan. Satu kamarnya diisi oleh dua orang. Kini, pondokan itu sudah lapuk dimakan cuaca. Di dalamnya masih ada kitab-kitab dan Al-Quran yang sudah tak bertuan. Ada beberapa coretan tulisan dengan menggunakan aksara Arab Melayu (Arab Jawi/ Arab Pegon) di dinding pondokan itu. Kini, di masing-masing pondokan tersebut di beri tanda silang (X) oleh tentara Thailand, pertanda tak boleh ditempati. Di seberang pondokan ada bangunan kelas yang sudah tak terpakai. Di belakangnya, ada sederet kamar asrama putri yang tiap pintunya juga diberi tanda silang. Saat reporter Kiblatnet memasuki kamar asrama tersebut, kami menemukan sisa-sisa tempelan kertas jadwal pelajaran, buku-buku agama dan tempelan tulisan khat arab melayu sebagai penyemangat, khas anak-anak pondok putri seperti di Indonesia. Di tengah bangunan pondok itu semua, berdiri sebuah masjid yang masih setengah jadi. Disitulah kami masih menyimak cerita Jawahir, putri sang pendiri pondok. Bersambung,,
16
Sejarah Lagu "Di Pondok Kecil" Mungkin sudah banyak yang tahu lagu "di pondok kecil", tapi tahukah kalian bahwa lagu "di pondok kecil" diciptakan oleh seorang ulama dari Patani Darus Salam (Patani) ratusan tahun yang lalu ? Patani Darussalam adalah sebuah kerajaan Islam yang kaya. Mereka memiliki ikan laut yang banyak, pohon karet dan juga minyak yang berada di laut. Karena kekayaan itulah Patani dijajah oleh Siam dari Thailand Utara. Setelah Patani diserang, Sultan Patani dan rakyat dibawa ke Bangkok. Masyarakat di Patani yang seharusnya makmur dan kaya berubah menjadi miskin dan dizalimi. Semakin hari semakin tertindas. Sebab itu ulama pondok di Patani membuat ikrar. Jika ikrar jihad dibuat di tempat umum, dikhawatirkan akan terjadi penindasan lagi. Akhirnya ulama pondok di Patani membuat ikrar di Pantai Selatan yaitu sekarang Narathiwat. Ketika ikrar untuk jihad telah dibuat, ikrar tersebut tak dapat diumumkan begitu saja. Akhirnya ulama tersebut menciptakan sebuah lagu dan lagu tersebut adalah Di Pondok Kecil. Inilah lirik lagu Di Pondok Kecil: “Dipondok kecil di pantai ombak Berbuih putih beralun-alun Disuatu hari ayah berkata Jaga adik mu ayahkan pergi jauh Ku pandang wajah ayah dahinya ku cium Air mata mengalir hatiku pilu Diam-diamlah sayang jangan menangis Doakan ayah semoga diterima Diam adik ku sayang jangan menangis Andai ayah gugur doakan dia syahid Selamat berjuangan ayah tercinta Kau pergi dulu ayah ke medan juang Ku iringi doa moga berjaya Beroleh kemenangan demi agama Islam Wahai abang ku kemana Ayah ku sayang ayah ku cinta ayah Duhai adik ku sayang jangan bersedih Ayah mu pergi menyambut seruan Ilahi Tapi ingatlah adik ku pesanan ayah Berjuangan dan berkorban walau dimana jua Pada Mu Tuhan aku bermohon Dosa ayah ku minta diampunkan Berilah rahmat bantulah dia Untuk menegakkan agama Islam"
Itulah sejarah lagu Di Pondok Kecil, lagu yang syahdu, lagu yang berlandaskan jihad fisabilillah. Seperti lirik lagu di atas kita harus berjuang dan berkorban walau dimana jua.