Mahasiswa & Lingkungan, Baru di Ambang Tren
Ivan Jonathan Pemimpin Redaksi
SEBAGAI insan-insan muda yang mengedepankan nalar dibandingkan jargon semata, mahasiswa didaulat sebagai individu yang kritis dan berperan dalam menginisiasi perubahan. Mau tidak mau, label semacam ini melekat pada diri mahasiswa, seolah sudah menjadi kodratnya sejak menyandang nama “mahasiswa”.
Hal tersebut belum terpancar dalam persoalan lingkungan yang memerlukan perhatian dari segenap masyarakat. Mahasiswa masih absen dalam penanggulangan keganjilan kondisi lingkungan. Lagi-lagi, seharusnya mahasiswa mengambil peran besar terkait predikat mereka secara umum.
Di sisi lain, terdapat perbedaan kecenderungan berperilaku oleh sebagian kelompok. Umumnya, kelompok ini kerap melakukan hal-hal yang realistis untuk mengubah status lingkungan saat ini, mulai dari penggunaan sedotan non plastik, membawa kemasan air dan makanan yang tidak sekali pakai, hingga mengumpulkan sampah plastik sebagai tanda cinta lingkungan.
Hal ini tidak salah, hanya saja terlalu kontekstual. Persoalan mengenai lingkungan bukan semata soal sedotan plastik, bukan pula hal yang praktis.
Sebaliknya, hal ini harus dilakukan bertahap dan meluas. Masih ada persoalan-persoalan lain yang juga patut mendapat perhatian. Lantas mengapa persoalan sedotan populer? Tren.
Tren ini kemudian membawa mahasiswa ikut merasakan pengalaman ala pecinta lingkungan. Melalui media sosial, tren menyebar menjadi sebuah gaya hidup yang baru, yang bila tidak dilakukan akan terasa asing di luar konteks. Hal ini melesapkan peran murni mahasiswa sebagai inisiator perubahan, bukan semata ikut-ikutan tren.
Ada ragam persoalan lingkungan yang perlu dijawab mahasiswa sembari mempertanggungjawabkan status kemahasiswaannya. Nilai kekritisan dan pembawa perubahan harus kembali ke permukaan, bukan semata diarahkan oleh apa yang mudah populer di tengah masyarakat.
Sebab, mahasiswa sejatinya punya daya untuk berdampak bagi lingkungan kampus hingga skala internasional.
BOARD
Pengawas
Ninok Leksono
Dewan Pembina
Fx. Lilik Dwi Mardjianto
Adi Wibowo Octavianto
Dewan Penasihat
Samiaji Bintang
Ignatius Haryanto
EDITORIAL
Pemimpin Umum
Geofanni Nerissa Arviana
Wakil Pemimpin Umum
Daniela Dinda Ayuningtyas
Pemimpin Redaksi
Ivan Jonathan
Redaktur Pelaksana
Nabila Ulfa
Hilel Hodawya
Redaktur Foto
Billy Dewanda
Sekretaris Redaksi
Shania Helena Soetjipto
Keuangan
Ergian Pinandita
Editor
Ivan Jonathan
Nabila Ulfa
Hilel Hodawya
Reporter
Abel Pramudya N.
Adrianus Dwi Octaviano
Agatha Lintang
Andi Annisa Ivana P.
Anindya Wahyu Paramita
Audrie Safira M.
Charlenne Kayla Roeslie
Elisabeth Diandra Sandi
Fabio Nainggolan
Galuh Putri Riyanto
Geiska Vatikan Isdy
Hanasya Shabrina
Ignatius Raditya N.
Maria Helen O.
Maria Soterini
Maytiska Omar
Rachel Rinesya
Stefanny
Stella Noviana Sugondo
Theresia Amadea
Xena Olivia
Fotografer & Videografer
Billy Dewanda (Pemimpin)
Anisa Arifah
Azhar Arinata
Bonaventura Ezra
Brian Nathaniel Valenska
Caroline Saskia Tanoto
Christ Yvonne Jonathan
Dionisius Adrian
Rafaela Chandra
Felisitasya Manukbua
Kevin Oei Jaya
Kyra Gracella Muhammad Frizki Alfian
Nadine K. Azura
Renate Pinasthika
Videografer Devonseta Aldi Nathaniel
Fany
Gabriela Vivien
Robin Colinkang
WEB DEVELOPER
Rano M. M.(Pemimpin)
Brilyan Aro
Darren Vernon Riota
Jericho Siahaya
Martin Wongso
DESAIN VISUAL
Graphic Designer
Pierre Ang (Pemimpin)
Anchilia Alexandra
Andreas Victor
Dimas Aditjondro
Felicia Setiawan
Gabrielle Torino
Grisella Etienne
Shania Helena Soetjipto
Tesalonika Geralda Thomas
Theresia Maria S. N.
Tricia Wibisana
Velyan Theresa Victoria De Greatha
Illustrator
Angelia Suling
Arthur Timoty
Celine Mehitabelle
Galang Aby Ludira
Nadia Astrella
Steven Kosasih
DISTRIBUTION & MARKETING
Pemimpin Perusahaan
Deborah Wijaya
Wakil Pemimpin Perusahaan
Chaterine Cristianti
Public Relations
Shaka Abiel
Josephine Claudia
Media Relations
Aleida Gracella P. Ohee
Angelica Revadias
Cindy Chesenita Deschow
Delwyn Marli
Keysha Felicia Utama M.
Lusia Auliana Purnama
Revenue & Branding
Angelin Putri Syah
Beauty Permatasari
Calista Millenia
Sabrina Sekar Kinasih
PENERBIT
DESAIN COVER Nadia Astrella
Alamat Redaksi dan Perusahaan
Gedung Universitas Multimedia Nusantara, B613
Jl. Scientia Boulevard Gading Serpong
Tangerang - Banten
redaksi@ultimagz.com
@ultimagz
-
Motion
CONTENTS — Edisi Mei-Juni 2019
EDITOR’S NOTE
CONTENTS
SURAT PEMBACA
CALENDAR
ALMANAC
COVER STORY
Mengatasi Isu Plastik
di Generasi Masa Kini
-
-
-
-
INFO INDONESIA
Timbunan Masalah
di Balik Penggunaan Plastik
INFO KAMPUS
Menanti Inovasi
Pengelolaan Sampah Plastik
SOSOK INTERNAL
SOSOK EKSTERNAL
OPINI INTERNAL
Predikat Kampus
Hijau dan Tanggung Jawabnya
OPINI EKSTERNAL
Kesadaran Anak Muda
Meningkat, Tapi Kurang Eksekusi
CHIT-CHAT
REVIEW
- 41
- 45
- 47
- 49
CERPEN
“Diajar Oleh Sampah”
EVENT
SNAPSHOT
WHAT’S NEXT
FOKUS: Orientasi
Mahasiswa Baru
SURAT PEMBACA
Majalah yang berani banget menyatakan fakta di bawah tekanan dari institusi yang terus mengekang untuk bicara jujur. Salut banget, Ultimagz selalu berani tampil dan ngomong apa adanya. Meskipun sering ditentang sama beberapa oknum yang membenci keterusterangan, tetap semangat dan terus bangun media jurnalis yang bisa jadi suara mahasiswa dan masyarakat. Suka banget sama cara bertuturnya, dan bagaimana menggali informasi dengan dalam dan mendapatkan detail-detail yang penting dalam tulisan.
Haiii Ultimagz... senang mendapat kawan baru dari kunjungan yang lalu. Semoga bisa semakin maju dan lebih keren lagi yaaa. Untuk majalah yg sudah aku baca, isinya keren banget. Oke, cakep dah. Cara penulisan satu artikel dengan yang lainnya punya khas penulisnya langsung, naisssss...Tapi mungkin beberapa hal bisa agak diseragamin dikit, karena ada beberapa yang aku bingung ketika merujuk kutipan wawancaranya, hehe... Tapi itu saja, terus berjuang untuk menyuarakan hal-hal yang memang harus diketahui! Salam Mahasiswa! Lawan, lawan, lawan!
Nisa H. A. — Universitas Parahyangan Teknik Industri 2016
Menurut saya Ultimagz kontennya, subtansinya sudah menjawab kebutuhan warga kampus, karena bisa menjadi wadah komunikasi antar mahasiswa, universitas, dan civitas academica secara umum. Majalah pasti memiliki laporan utama yang asumsinya harus dibaca orang, tentu topik yang dibahas adalah hal yang serius, persoalan yang publik kampus perlu tahu. Akan lebih menarik jika ada liputan kecil yang menceritakan sisi kemanusian para awak redaksi dalam membuat laporan utama tersebut.
Nasrullah — Editor Harian Kompas & Dosen Jurnalistik UMN
Menurut saya, Ultimagz secara keseluruhan merupakan majalah kampus yang cukup baik, dinilai dari bahasa, ilustrasi, dan sudah menggunakan PUEBI dengan baik dan benar. Namun, menurut saya masih bisa dikembangkan bagian layout dan ilustrasinya, supaya ada peningkatan dalam nilai estetika majalah Ultimagz. Tetapi secara keseluruhan sudah cukup baik.
Calendar
Mei-Juni 2019
01 /05
02 /05
03 /05
0 8 /05
Hari Palang Merah Dunia
13 /05
Kerusuhan 1998 Menuntut Turunnya Soeharto
13 /05
Hari Keluarga Internasional
20 /05
Hari Kebangkitan
Nasional
21 /05
Soeharto Mundur
Dari Jabatan Presiden
22 /05
Pengumuman
Pemilu 2019
29 /05
01 /06
21 /06
ALMANAC
AWAL MULA POPULARITAS MONSTER LOCH NESS DI ZAMAN MODERN
Popularitas Loch Ness pada zaman modern berawal dari
tulisan Alex Campbell pada 2 Mei 1933. Minat kepada monster itu makin tinggi seiring dengan penampakan pada 22 Juli 1933, ketika George Spicer dan istrinya melihat ‘bentuk binatang yang paling luar biasa’ yang dilihat mereka dari mobil saat melewati daerah pinggir danau. Eksistensi Loch Ness makin nyata dengan adanya foto Hugh Gray yang diambil pada 12 November 1933. Foto tersebut merupakan dokumentasi pertama yang diduga menunjukkan eksistensi monster itu.
Setelah penampakan 1933, beberapa surat kabar Inggris mengirim wartawan ke Skotlandia, termasuk London’s Daily Mail yang juga merekrut pemburu sirkus Marmaduke Wetherell untuk menangkap Loch Ness.
Kisah Loch Ness sebenarnya sudah terdokumentasi pada abad ke-6. Dokumentasi itu berupa biografi Santo Columba pada 565 Masehi berjudul Life of St Columbia karya Adamnan.
Columba merupakan sosok rohaniwan Irlandia yang menolong Suku Pict atau penduduk Skotlandia kuno yang diserang mendadak oleh makhluk air raksasa saat berlayar di Danau Loch Ness. Menurut buku Adamnan, dengan merapal doa dari daratan, Santo Columba berhasil mengusir monster tersebut.
NELSON MANDELA DILANTIK MENJADI PRESIDEN KULIT HITAM PERTAMA AFRIKA SELATAN
Pelantikan Mandela dilangsungkan di Pretoria pada tanggal
10 Mei 1994 dan disiarkan ke satu miliar penonton di seluruh dunia. Pelantikan Mandela dihadiri 4.000 tamu, termasuk pemimpin dunia dari latar belakang yang berbeda. Sesuai perjanjian sebelumnya, de Klerk menjadi wakil presiden pertama, sedangkan Thabo Mbeki sebagai wakil pada masa jabatan kedua.
Meski orang-orang sekitarnya hidup berkecukupan, Mandela hidup sederhana. Dia menyumbangkan sepertiga gaji tahunannya sebesar 552 ribu Rand ke Nelson Mandela Children’s Fund yang ia dirikan tahun 1995. Walaupun ikut mendukung kebebasan pers dan berteman dengan banyak jurnalis, Mandela kritis terhadap sebagian besar media di negaranya. Ia melihat dasar kepemilikan dan pengoperasian masih di tangan penduduk kulit putih kelas menengah dan pemberitaannya terlalu fokus menakut-nakuti publik dengan berita kejahatan.
Pejuang antiapartheid dan antikolonial ini mendapatkan Hadiah Perdamaian Nobel 1993 atas perjuangannya menghapus sistem rasial di Afrika Selatan. Mandela wafat pada 5 Desember 2013 pada usia ke-95 di Johannesburg, Afrika Selatan.
Note-worthy moments of a past month.
OPERASI PENERJUNAN PENERBANG INDONESIA PEMBEBASAN IRIAN BARAT
Dalam realisasi tuntutan rakyat yang disebut Trikora, dibentuk pasukan penerjun pembebasan Irian Barat (yang kini disebut Papua) dari Belanda. Operasi penerjunan ini merupakan perlawanan udara antara Indonesia dan Belanda dalam perjuangan pembebasan Irian Barat. Operasi Trikora ini dipimpin mantan Presiden Indonesia, Soeharto yang pada saat itu berpangkat Mayor Jenderal.
Pada tanggal 19 Mei 1962, sekitar 81 penerjun payung terbang dari Bandar Udara Pattimura, Ambon dengan menaiki pesawat Hercules menuju daerah sekitar Kota Teminabuan untuk melakukan penerjunan. Sekitar 532 personel Korps Pasukan Khas (Paskhas) dikirim menuju Irian Barat. Setelah sembilan kali melakukan penerjunan, terjadi saling serang antara regu penerjun dengan tentara Belanda.
Peristiwa yang terjadi itu merenggut hampir 53 orang anggota Paskhas. Namun berkat operasi tersebut bendera Merah Putih bisa dikibarkan untuk pertama kali di Irian Barat oleh pasukan Paskhas. Untuk mengenang kejadian tersebut, dibangunlah sebuah monumen di Teminabuan, Sorong dengan nama Tugu Merah Putih.
Mei-Juni 2019
GEJAYAN KELABU, TRAGEDI BERDARAH DALAM DEMONSTRASI MENUNTUT REFORMASI
Tragedi ini berawal dari unjuk rasa mahasiswa yang dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta pada tanggal 8 Mei 1998. Aksi unjuk rasa itu menuntut reformasi dan turunnya Presiden Soeharto.
Bentrokan terjadi saat mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan IKIP Negeri Yogyakarta ingin menuju Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menggabungkan diri melakukan unjuk rasa bersama-sama sore hari itu. Namun, pihak aparat keamanan tidak mengizinkan dan berhadapan dengan mahasiswa yang bergabung dengan masyarakat. Meletuslah bentrokan antara aparat dan mahasiswa bersama masyarakat di depan Hotel Radison yang terletak di pertigaan antara Jl. Gejayan dan Jl. Kolombo.
Aparat memukuli setiap orang yang ada di lokasi, termasuk pedagang kaki lima dan penduduk setempat. Selama bentrokan berlangsung, aparat melakukan pengejaran terhadap mahasiswa hingga memasuki kompleks Universitas Sanata Dharma dan IKIP Negeri Yogyakarta. Sejumlah fasilitas kampus rusak saat petugas memasuki kompleks kampus. Kejadian tragis ini memakan korban jiwa dan juga banyak korban luka.
Written by Theresia AmadeaMENGATASI ISU PLASTIK DI GENERASI MASA KINI
By Audrie Safira Maulana, Xena OliviaIllustration by Nadia Astrella
TANPA disadari, plastik mempunyai peran yang signifikan dalam kehidupan manusia. Fungsinya yang beragam dan melengkapi kebutuhan manusia menunjukkan dominasi plastik atas kehidupan manusia, sebut saja sebagai pembungkus produk, botol air kemasan, kantong belanja, dan lain sebagainya. Dari sifat plastik yang fleksibel dan serbaguna tersebut, plastik seakan-akan menjadi ‘jawaban’ bagi seluruh permasalahan yang
Data ini dibuktikan lebih lanjut dengan adanya beberapa kejadian yang menunjukkan banyaknya sampah di alam Bumi Pertiwi. Beberapa di antaranya seperti tumpukan sampah yang berdatangan di perairan Muara Angke, video mancanegara yang menunjukkan kondisi perairan di Nusa Penida, Bali yang tercemar, serta sampah plastik yang kerap membahayakan kehidupan pada November 2018. Menanggapi hal ini, Urban People Power Campaigner atau Juru Kampanye Urban dari Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi menyatakan bahwa kasus-kasus di atas bukan hanya menjadi tanggung jawab bagi masyarakat serta masyarakat yang berada di sekitar lokasi kejadian, melainkan menjadi tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Menurutnya, hal ini merupakan sebuah peringatan bagi negara untuk segera
atau enggak itu nanti ya, faktanya kalau kita sudah tercemar,” katanya. Persediaan plastik single-used atau plastik sekali pakai yang berlebihan pun diduga menjadi salah satu faktor utama penumpukan sampah plastik. Mengenai hal ini, bukan hanya pengguna yang turut disalahkan, melainkan produsen juga. Kemudahan mengakses dan memproduksi bahan ini membuat masyarakat semakin bergantung akan plastik sekali pakai. Tentu produksi didasarkan pada permintaan pasar, akan tetapi perusahaaan memiliki tanggung jawab moral untuk tetap melestarikan lingkungan usai produksi. Selanjutnya, masyarakat yang semakin tergantung kini kesulitan jika ada upaya pengurangan bahan plastik, upaya pelestarian kini terjegal rintangan baru.
“Ini sebenarnya jadi salah satu sinyal dan kita memang harus mulai berbenah, terlepas tadi misalnya kita benar negara kedua (dengan sampah plastik terbanyak di seluruh dunia)
“Ini memang tidak bisa hanya kita bebankan ke masyarakat,” tambahnya. “Karena kan, kalau misalnya kita bicara ‘bagaimana nanti selanjutnya?’, mungkin masyarakat harus berubah. Misalnya, mungkin harus mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, harus pelan-pelan mencoba. Mungkin tidak sampai zerowaste, tapi less-waste, atau memilah sampah dan sebagainya. Tapi, kalau di
sisi lain ternyata private sector ini tidak mengurangi produksi plastik sekali pakai maka akan sama juga bohong dan malah meningkat setiap tahunnya.”
MAHASISWA DAN PERANNYA
Mahasiswa didaulat sebagai insan kritis dan intelektual. Sejak dulu, mahasiswa telah banyak mengambil peran dalam proses terbentuknya negeri ini. Tak dapat ditampik, narasi yang dibawa mahasiswa seharusnya menampilkan corak berpikir yang progresif menilik kejadian di Tanah Air. Hal ini yang kemudian penting untuk kembali diangkat sebagai jati diri mahasiswa yakni pembawa perubahan, termasuk soal isu lingkungan.
Mengenai cara untuk meningkatkan kesadaran generasi muda (Gen Y dan Gen Z) terhadap sampah plastik, khususnya mahasiswa, Atha berpendapat bahwa hal yang dapat dilakukan adalah memanfaatkan sistem ‘tren’.“Kan kayaknya orang sekarang keren kalau ngeada sedotan stainless difoto dulu, atau minimal di IG story,” tutur Atha. “Ya kita melihat walau mungkin dia belum bisa konsisten tapi sebenernya salah
satu langkah udah mau coba mengurangi, ‘kan? Kita bisa memanfaatkan tren yang sedang berkembang ini.”
Namun, Atha berharap untuk ke depannya upaya yang dilakukan bisa lebih dari sekadar sedotan. Sebab, sebenarnya mengurangi sedotan belum menimbulkan dampak yang signifikan terhadap persoalan sampah plastik. Generasi muda perlu menyadari zero waste yang tak melulu tentang sedotan saja, tetapi di setiap lini kehidupan mereka. Terlebih karena kebiasaan mengonsumsi plastik yang sudah tertanam sejak lama. Atha pun menyarankan untuk less waste dengan hal-hal yang sederhana seperti sedotan, kantung plastik, styrofoam, dan tumbler. “Memang butuh effort, tapi lebih visible untuk bisa dilakukan di banyak kesempatan.”
Apalagi untuk tingkat universitas, memulai gerakan less waste lebih realistis lantaran aktivitas utama tepusat di sekitar kampus. Lain dengan mereka yang sudah bekerja dan sering berpergian, menggunakan plastik dikondisikan dengan situasi yang acap kali mengharuskan penggunaan plastik karena lebih mudah dibawa, praktis, dan
sebagainya.Greenpeace sendiri berharap bahwa pihak kampus dapat meningkatkan kesadaran mengenai sampah plastik terhadap civitas academicanya. Alasannya, pihak kampus mempunyai otoritas untuk membuat aturan tersendiri mengenai penggunaan plastik.
Pun demikian, model management atau infrastrukturnya harus turut diperhatikan. Misalnya, kampus membuat kebijakan bahwa peserta didik harus membawa botol minum isi ulang. Tapi di saat yang bersamaan, pihak kampus tidak menyediakan fasilitas untuk mahasiswa mengisi ulang minumnya (refill station). Itulah sebabnya regulator pun harus mendukung kebijakan yang telah dibuat.
Terkait permasalahan plastik ini, setiap orang harus berubah. Tidak bisa hanya mengandalkan masyarakat. Karena jika tingkat kesadaran masyarakat terhadap masalah plastik tinggi, tapi regulasi, pengelolaan sampah, produksi plastik yang terus-menerus malah meningkat, semuanya akan percuma.
Oleh karena itu, Greenpeace melihat bahwa semua pihak harus berubah. Pihak-pihak yang mempunyai pengaruh lebih besar seperti korporasi dan pemerintah harus bisa mengarahkan perubahan ini. Secara individu, mulailah dari hal sederhana.
EDITED BY IVAN JONATHANTIMBUNAN MASALAH DI BALIK PENGGUNAAN PLASTIK
Written by Anindya Wahyu Paramita & Maria Helen OktaviaInfographic by Theresia Maria
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), di tahun 2016 jumlah timbunan sampah di Indonesia mencapai 65,2 juta ton per tahun dengan jumlah penduduk sebanyak 261 juta jiwa. Angka tersebut diprediksikan akan terus bertambah hingga mencapai lebih dari 88,9 juta ton sampah. Dari sejumlah kota besar di Indonesia, Surabaya tercatat sebagai penyumbang sampah terbanyak, dan
diikuti oleh Jakarta, Semarang, Makasar, dan Manado.
Setahun sebelumnya, seorang peneliti dari Universitas Georgia Jenna Jambeck mengatakan bahwa Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbanyak di dunia setelah Tiongkok, diikuti oleh Filipina, Vietnam, dan Sri Lanka. Menurut Jambeck, masyarakat Indonesia menghasilkan total 3,2 juta ton sampah plastik per tahunnya.
Angka tersebut didukung pula oleh data Direktorat Pengelolaan Sampah Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), persentase sampah plastik di Indonesia mencapai 14%.
“Tahun 1995 komposisi sampah plastik di Indonesia masih 9%, sekarang sudah 15 sampai 16 persen,” tegas Novrizal selaku Direktur PSLB3 dalam acara peresmian Gerakan Indonesia
Bersih (GIB) di Car Free Day Bundaran HI, Jakarta.
Sayangnya, tidak semua sampah plastik dapat sampai ke tempat pembuangan akhir. Sampah plastik seringkali bertebaran di mana-mana yang merupakan hasil ketidakpedulian pengguna plastik itu sendiri. Ketika sudah banyak usaha penempatan tempat sampah, bukan hanya sampah plastik, sampah masih bisa kita temui di jalan yang tidak hanya mengganggu keindahan melainkan juga mencemari dan mengurangi kesuburan tanah akibat zat kimia hasil proses uraiannya.
ANCAMAN PLASTIK BAGI KEHIDUPAN
LAUT
Di daratan, sampah plastik menjadi ancaman bagi tanah serta ragam biota yang tinggal di sekitarnya, termasuk pula manusia. Namun, terdapat lebih banyak ancaman yang bisa ditimbulkan sampah plastik di laut. Menurut observasi yang dilakukan oleh komunitas Divers Clean Action, 63 persen sampah yang ditemukan di laut tergolong dalam sampah sekali pakai, seperti kemasan sachet, kantong plastik, atau sedotan.
“Bungkus sachet sering kita temukan dari 30 tahun lalu, 40 tahun yang lalu, dan masih ada isinya,” ucap pendiri Divers Clean Action Swietenia Puspa Lestari. “Intinya, sampah plastik itu memang didesain untuk tahan seumur hidup sebenarnya.”
Kondisi perairan Indonesia dan segala komponen serta organisme yang
ada di dalamnya bisa dibilang sudah memasuki tahap memprihatinkan. Tenia mengungkapkan, dalam pengamatannya bersama anggota Divers Clean Action, selain sampah plastik, lingkungan laut Indonesia juga ‘dihiasi’ dengan perangkat elektronik, seperti kulkas, hingga televisi. Atas kondisi lingkungan bawah laut yang kian buruk, tak sedikit kasus matinya berbagai hewan laut terjadi di perairan Indonesia. Hal tersebut tak lain terjadi akibat hewan-hewan yang tidak sengaja mengonsumsi tanpa mampu mencerna plastik ataupun terjebak dalam tumpukan plastik. Sebut saja ditemukannya seekor bangkai paus sperma yang terdampar di sekitar Pulau Kapota, Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November 2018. Saat perutnya dibelah, ditemukan sampah plastik seberat kurang lebih enam kilogram yang terdiri dari sendal jepit, kantong, botol, gelas, dan tali berbahan plastik.
“Hasil studi yang dibuat, kalau plastik itu bisa jadi mikroplastik, dan kalau mikroplastik dimakan ikan, dan ikan dimakan manusia dapat berdampak pada kesehatan. Bisa membuat kuntet!” tegas Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan.
Jika terjadi hal seperti ini, yang bisa disalahkan adalah masyarakat sebagai pengguna plastik. Namun, kebiasaan masyarakat yang satu ini bukan saja menghabisi kehidupan bawah laut, melainkan membawa pula dampak yang tidak menguntungkan bagi masyarakat Indonesia sendiri. Selain menyebabkan
banjir akibat terhambatnya aliran sungai oleh sampah, kualitas air di lingkungan akan semakin memburuk karena sampah plastik mengandung bahan-bahan kimia seperti styrene trimer dan bisphenol A yang mampu meracuni air yang biasanya dijadikan air minum atau mandi dalam kehidupan sehari-hari.
Rencana Aksi Nasional (RAN) pengelolaan sampah laut yang didukung dengan dana pemerintah sebesar USD 1 miliar sudah digalangkan sejak tahun 2017. Diharapkan, pada 2025 produksi sampah bisa berkurang hingga 70 persen.
Bukan hanya itu, mulai dari 2016, pemerintah mengenakan biaya sebesar 200 rupiah untuk kantong plastik barang belanjaan. Selain itu, pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah yang di dalamnya juga mengatur tentang pengurangan dan penanganan sampah.
UPAYA PEMERINTAH MENGURAI MASALAH
SAMPAH PLASTIK
Plastik bisa dibilang merupakan bahan, wadah, kemasan, dan material yang cukup murah dan praktis. Tak heran, penggunaan plastik bisa ditemukan dalam keseharian masyarakat Indonesia. Sebut saja ketika berbelanja ke swalayan atau pasar tradisonal, umumnya pedagang akan menyuguhkan kantong plastik gratis untuk mengemas barang belanjaan pembeli.
Hal ini membuat masyarakat tidak berpikir dua kali untuk memanfaatkannya. Dilansir dari bbc.com
pada 21 Februari 2019, konsumsi kantong plastik di Jakarta mencapai 5,2 juta gram per harinya. Jumlah ini mewakili 1% dari total sampah plastik yang menyentuh angka 987 ton per harinya.
Menyadari tingginya produksi sampah plastik di Jakarta, KLHK melalui Dinas Lingkungan Hidup setempat menerapkan program jemput sampah rumah warga. Melalui program jemput sampah, warga dapat memberikan sampah yang telah dipilah untuk dapat diolah kembali.
Untuk mendapatkan layanan tersebut, warga DKI terlebih dahulu harus mendaftar melalui situs www. lingkunganhidupjakarta.go.id. Namun, berat minimal sampah yang dapat diangkut adalah 5 kilogram.
Luhut berpendapat, penggunaan plastik tidak dapat dihindari. Guna mengantisipasi dampak sampah plastik yang lebih besar, dirinya menyebutkan bahwa pemerintah telah berupaya untuk mendukung perkembangan teknologi alternatif untuk menggantikan bahan baku plastik saat ini.
“Perusahaan tidak dapat dihilangkan, karena cost-nya lebih murah. Tapi, kita carikan alternatif, misalnya diganti dengan cassava (singkong), rumput laut, kan sudah ada studinya,” ungkapnya di hadapan wartawan usai meresmikan GIB.
Gerakan Indonesia Bersih (GIB) sendiri merupakan wujud dari Peraturan Presiden (Pepres) no. 97 Tahun 2017. Dalam peraturan tersebut, presiden menargetkan adanya pengurangan sampah rumah
tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga sebesar 30%, serta penanganan sampah sebesar 70%.
“Kita praktis sudah satu tahun memulai gerakan ini. Tapi, skala nasional (melibatkan masyarakat secara luas) baru hari ini (28/04/19),” ungkap Luhut.
GIB menjadi kampanye nasional yang melibatkan sejumlah kementerian, seperti Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), KLHK, dan Perhubungan. Tak hanya menggaungkan kepedulian akan pengelolaan sampah kepada masyarakat, Kemenko Kemaritiman bersama KLHK juga mewajibkan setiap kementerian dan lembaga pemerintah untuk melakukan penerapan eco office. “Hal itu sudah menjadi arahan tentunya, nanti semua
kementerian kalau bikin rapat tidak menggunakan banyak sampah, harus menggunakan tumbler. Jadi, mungkin juga setiap kantor nantinya akan ada bank sampahnya juga, ” jelas Novrizal.
Dalam skala yang lebih besar, pemerintah tengah mengembangkan pemanfaatan gas dari tempat pembuangan akhir untuk dijadikan pembangkit listrik energi alternatif. “Sudah berlaku setidaknya di Jakarta, Tangerang, Semarang, Surabaya, Bandung, Solo, Bali, Makassar. Medan juga mau dimasukin juga,” jelas Luhut.
Sejalan dengan pernyataan Luhut, Novrizal juga menyebutkan bahwa teknologi pembangkit listrik tenaga
sampah perlu mendapat perhatian lebih, khususnya di Jakarta. Pasalnya, menurut perhitungan, kapasitas tempat pembuangan akhir wilayah Jakarta, yaitu Bantar Gebang akan mencapai batas maksimalnya pada tahun 2021.
“Jakarta kan sudah harus (menerapkan pembangkit listrik tenaga sampah), karena Bantargebang kan 2021 juga akan penuh, sehingga memang mereka (pemerintah DKI Jakarta) juga harus mencari semaksimal mungkin alternatifnya,” ujarnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa penerapan pembangkit listrik tenaga sampah di DKI Jakarta mulai dikembangkan di wilayah Sunter. Jika pada umumnya
pembangkit listrik tenaga sampah dapat menghasilkan 1000 watt per satu ton sampah, TPA Sunter diklaim mampu menghasilkan energi lebih besar.
“Kalau yang di Sunter 2200 (watt) per ton,” tutur Novrizal. Mengenai biaya, Novrizal menjelaskan bahwa pengadaan pembangkit listrik tenaga sampah melibatkan kerja sama antara pemerintah dan badan usaha. “Jadi, ada investasi tentu di dalamnya,” pungkas Novrizal.
EDITED BY HILEL HODAWYAMenanti Inovasi Pengelolaan Sampah Plastik
By Andi Annisa Ivana Putri, Adrianus DwiOctaviano Pramudita, Agatha Lintang Kinasih
Photo by Fany & Bonaventura Ezra
Seiring berjalannya waktu, permasalahan sampah menjadi semakin tampak di permukaan. Perlahan-lahan manusia semakin sadar bahwa aktivitas sehari-harinya memicu produksi sampah yang tidak sedikit jumlahnya bila dicermati. Sampah-sampah dapat dihasilkan dari mana saja, tidak terkecuali instansi pendidikan.
Berdasarkan data dari Mongabay , laman berita nonprofit yang berfokus pada berita konservasi dan sains lingkungan, Indonesia menempati posisi kedua negara dengan jumlah produksi sampah terbanyak di dunia setelah Cina. Pada tahun 2019, Indonesia diprediksi akan menghasilkan 67 ton sampah, tiga
ton lebih berat dibandingkan produksi sampah pertahunnya.
Jakarta memproduksi 7 ribu ton sampah perharinya dengan estimasi sampah plastik 1.900-2.400 ton. Sepanjang tahun 2017, Jakarta tercatat menyumbang 2,2 juta ton sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, Bekasi.
TAMPAK SAMPAH DI UMN
UMN memfasilitasi mahasiswanya dengan tempat sampah yang tersebar di berbagai tempat dengan klasifikasi yang berbeda untuk jenis sampahnya. Daerah taman dekat gedung A memiliki tempat sampah dengan tiga warna yakni merah, kuning, dan biru masing-masing
untuk sampah berbahaya, organik, dan nonorganik. Beda halnya dengan tempat sampah di kawasan kantin yang dibagi menjadi organik dan nonorganik serta tempat untuk menaruh sampah sisa makanan. Selain dua jenis tempat sampah ini, terdapat tempat sampah lainnya seperti yang tersedia di lorong, tetapi tidak membedakan jenis sampah yang dibuang.
Meski begitu, semua sampah pada akhirnya akan dibuang di tempat pembuangan sampah (TPS) yang berada di sebelah lapangan basket.
Sampah yang telah dibedakan pada saat pembuangan akan tergabung kembali di satu polybag ketika hendak dikumpulkan.
“Sampah kertas, botol minum, jadiin satu di polybag taruh di TPS belakang. Yang diangkut sama orang sampah cuma yang di dalam trashbag ,” ujar Koordinator Kebersihan UMN Parman.
Begitu pula dengan sampah yang berasal dari tempat sampah tiga warna. Sampah tersebut dijadikan satu karena sejauh ini semuanya merupakan sampah kering, tidak ada sampah yang mengandung zat berbahaya.
“Kotak sampah tiga warna: jadiin satu karena jadiin sampah kering semua walaupun tiga warna. Harusnya, kan, terpisah. Selama ini masih sampah kering. Kalau sesuai petunjuk yang di sana belum ada. Sampai saat ini belum ditemukan jenis sampah lain,” lanjutnya.
Berdasar observasi yang dilakukan tim Ultimagz , terdapat sekitar 70 kantong trashbag di TPS belakang area kampus UMN.
Masing-masing kantong memiliki berat kurang lebih 5 kilogram. Hal itu berarti, selama dua hari kampus UMN menghasilkan sekitar 350 kilogram sampah. “Pengangkutan sampah dilakukan dua hari sekali menggunakan mobil pick up berukuran 2 x 3 meter dan baknya penuh. Sampah paling banyak di kantin karena per shift bisa mengangkut 7 kantong trashbag, ” kata Parman.
Senada dengan pernyataan Parman, Supervisor Libro Canteen Wendy mengatakan penjualan air mineral dalam botol masih tinggi dibanding penjualan minuman kemasan lainnya. Menurutnya, permintaan terhadap air mineral kemasan masih tinggi karena banyak mahasiswa yang membutuhkan.
“Dalam sehari, kami bisa menjual 1000 botol air mineral. Jauh lebih signifikan dibanding minuman kemasan lainnya yang hanya
diakses mahasiswa. Namun, menurut Wendy kesadaran mahasiswa masih bisa dikatakan cukup rendah untuk memanfaatkan fasilitas ini.
“Program Tumblr Day dan Galon Kejujuran ini maksudnya kan untuk kesadaran diri. Dalam sehari, kami menyediakan satu galon dan habis,” ujarnya.
Pihak Libro Canteen pun belum memiliki rencana untuk mengurangi penjualan air mineral kemasan. Hal itu dikarenakan masih tingginya permintaan dari mahasiswa.
PLASTIK
“Selama ini, sampah yang ada di TPS belakang kebanyakan adalah botol plastik dan wadah makanan plastik yang biasanya dijual mahasiswa.”
Berangkat dari keprihatinan banyaknya sampah plastik yang dihasilkan, pihak kampus UMN melakukan kerja sama dengan Libro Canteen melalui program Galon Kejujuran. Berlokasi di kantin Gedung C, mestinya lokasi ini strategis untuk
“Kita kalau mau mengurangi, kan mahasiswa mau beli. Masa ditolak? Sebagai penjual substitusi harus melayani customer dengan baik. Kalau mahasiswa kesadarannya bawa tumbler sendiri kan mungkin berkurang (permintaannya),” papar Wendy.
Menanggapi hal tersebut,
Building Management UMN
Darman Santoso menjelaskan program Galon Kejujuran sebagai upaya kampus untuk mengurangi produksi sampah plastik.
Namun, menurutnya masih sulit memaksimalkan pemanfaatan Galon Kejujuran di kalangan mahasiswa.“Kita memasarkan mahasiswa untuk membawa tumbler susah. Menyediakan
galon kejujuran, tetapi yang diisi tetap botol plastik. Tujuannya enggak tercapai, buat apa?”
“Pernah kita membuka satu hari enam galon, tetapi itu yang kepakai cuma dua galon. Kita punya target kayak gitu, tetapi enggak tercapai, buat apa? Tetaplah, galon kejujuran disediakan juga walaupun seadanya karena memang itulah pasarnya sekarang. Mungkin mahasiswa berpikir itu air isi ulang, padahal kami memakai isi yang sama untuk galon itu,” jelas Darman.
Menurut Darman, sulitnya mengingatkan mahasiswa untuk membawa tumblr sendiri terbukti dengan lemari lost and found dipenuhi tumbler yang tertinggal. Bahkan banyak botol tertinggal yang tidak diambil oleh pemiliknya, sehingga sulit untuk tidak meninggalkan beban sampah plastik di kampus jika belum ada kesadaran
sendiri. Menanggapi perihal kurang efektifnya pembedaan kotak sampah tiga warna, Darman menjelaskan mestinya ada pemilahan jenis sampah. Namun, kesadaran civitas academica UMN masih minim dalam melihat logo yang terpampang di bagian luar kotak sampah.
“Sudah ada gambarnya di luar kotak sampah, tetapi percuma itu enggak dipandang dengan jelas, sampah apa saja dicemplungin. Akhirnya kami juga kalau memilah lagi akan memakan waktu, sehingga pemilahan sampah tidak optimal. Kesadaran dari orang kita yang kurang, menghimbaunya lagi juga susah kecuali memang sudah sadar,”
“Dulu ada tempat sampah khusus botol plastik, kami jalankan sampai awal semester. Lama-kelamaan isinya tisu dan sampah sisa makanan sehingga tempat sampah itu tidak optimal. Ya
sudah, kami akhirnya pakai kotak sampah yang ada saja,” jelas Darman.
Pihak kampus sendiri menyerahkan pengelolaan sampah plastik ke pihak ketiga. Darman mengungkapkan, diperlukan tenaga, sumber daya manusia, dan lahan yang memadai untuk pengolahan sampah. Namun, UMN belum menyanggupi untuk mengelola sampah plastik sendiri.
“Kalau disambi sekarang enggak bisa karena percuma, sama-sama enggak akan tercapai. Pengolahan sampah sehari-hari maupun pengolahan sampah plastik enggak akan optimal,”
“Kita bukan kampus hijau, tetapi gedung hemat energi. Belum sampai green building, jauh banget untuk sampai ke situ,” pungkas Darman.
Kami mencoba menghubungi pihak rektorat kampus, meminta kejelasan terhadap regulasi yang mengatur sampah plastik di UMN. Data yang didapat melalui pengamatan dan wawancara, kami bagikan melalui pesan singkat. Namun, tidak ada balasan untuk memberikan penjelasan.
EDITED BY NABILA ULFAMemilih Mengilhami Nilai-
Nilai Lingkungan Daripada Sekadar Berorganisasi
Written by Abel Pramudya Nugrahadi Video by Devonseta Aldi Nathaniel & Christ Yvonne JonathanKALAU misalnya enggak regen (kembali menjabat sebagai organisator) berarti gue cuma sekadar gini aja. Berarti gue enggak nerapin nilai yang udah gue tanemin di awal. Sampai akhirnya gue mulai untuk, ‘oke gue harus regen lagi,’ dan sekarang akhirnya di Bank Sampah Gen 4 ini gue yang mimpin,” ujar Ketua Bank Sampah Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Gen 4 Inneke Bunyamin.
Setiap individu berhak menolak untuk terlibat dalam organisasi selepas masa jabatannya. Begitu pula dengan Bank Sampah UMN, sebagai salah satu organisasi besutan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UMN, mahasiswa dapat keluar dari organisasi usai masa jabatan berakhir tiap tahunnya. Pun, Inneke memilih untuk mengabdi setahun lagi bersama dengan organisasi tersebut. Ia mengaku bahwa nilai-nilai yang didapatnya perlu dikembangkan lebih jauh lagi bersama dengan organisasi ini.
Sejatinya, organisasi kampus ada sebagai sarana untuk mahasiswa mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Meski kerap mengalami penyimpangan makna, Inneke memutuskan untuk tetap mengilhami nilai-nilai tersebut. Hal ini dilakukan dengan cara mengikuti organisasi hingga tuntas dan mempraktekkan nilai yang didapatnya di sana.
Perjalanan Inneke bersama dengan Bank Sampah UMN sudah berlangsung sejak tahun pertamanya di kampus ini.
Perjalanannya bersama dengan Bank Sampah dimulai dengan kegagalan menjadi nasabah Bank Sampah 2017. Kala itu, ia hanya ingin menjadi nasabah yang menjalankan program
pengumpulan sampah milik Bank Sampah, bukan sebagai organisator. Tahun berikutnya, mahasiswi program studi Strategic Communication angkatan 2017 ini langsung ditawari menjadi wakil ketua Bank Sampah UMN Gen 3. Sempat merasa kaget, ia akhirnya menerima tawaran tersebut. Dari keterlibatannya sebagai wakil ketua, Inneke menilai ada sejumlah hal yang dapat dipelajari seputar persoalan sampah dan pengelolaannya.
“Banyak hal yang gue pelajarin kayak hubungan lu dengan lingkungan itu enggak cuma sekadar mengelola aja, tapi lu bisa mengembangkan kreativitas lu dari sampah-sampah yang ada juga,” ujar mahasiswi yang akrab disapa Inne ini. Meski sudah mendapatkan segudang pengalaman, keraguan kembali dialaminya kala ditawari promosi menjadi ketua Bank Sampah generasi berikutnya. Di dalam batinnya, terdapat sejumlah perdebatan untuk mengakhiri sepak terjangnya bersama organisasi tersebut dan beraktivitas di bidang lain. Namun, Inne akhirnya memutuskan untuk mengambil tanggung jawab tersebut dan kembali mengabdi untuk mempraktekkan dan meneruskan ilmu yang sudah didapatnya selama di Bank Sampah. Kini, ia mengaku ibunya pun lebih peduli terhadap lingkungan di sekitarnya. Penejelasan demi penjelasan dari Inneke akhirnya membuahkan hasil untuk orang lain lebih peduli lingkungan. Pun, ibunya sempat mempertanyakan tekad Inne untuk ikut dalam Bank Sampah. “Ngapain sih kayak gitu (menjadi Ketua Bank Sampah)? Kayak gitu buat apa?” ucap Inne menirukan ibunya.
Menilik fenomena sampah plastik yang sudah ada hingga hari ini, Inne memulai gerakan mengurangi sampah plastick dari dirinya sendiri. Tak hanya dirinya, ia turut mengajak sesama organisator Bank Sampah untuk lebih cinta lingkungan dengan mengimbau penggunaan botol kemasan yang tidak sekali pakai. “Gue memulai cara baru untuk mengurangi penggunanan sampah plastiknya, di mana itu dimulai dari kami, BPH (Badan Pengurus Harian), untuk menggunakan botol minum sendiri,” terangnya.
Inne juga mengajak mahasiswa lain untuk lebih peduli dengan lingkungan dengan mengurangi produksi sampah plastik. Untuk menjaga lingkungan tidak bisa hanya sekadar, tetapi perlu totalitas. Menurutnya, hal itu bisa dimulai dengan persoalan sederhana seperti kantong belanja ketika pergi ke supermarket. Selain itu, mahasiswa bisa mulai merawat lingkungan dengan menggunakan sedotan dan botol kemasan yang tidak sekali pakai, agar produksi plastik tidak terus meningkat. Penggunaan gelas rumput laut yang bisa dimakan juga dapat menjadi langkah kecil merawat lingkungan.
“Kalau bukan kita yang jaga, siapa lagi? Kita enggak tahu 50 tahun ke depan, 100 tahun ke depan, masa depan anak-cucu kita, kita enggak tahu,” ujar Inne. Meski aktif dalam kegiatan berorganisasi, Inne tetap mengatur waktu dengan baik. Menurutnya, perkuliahan tetap harus jadi prioritas utama, bukan kegiatan berorganisasi.
“Jangan sampai terbalik. Organisasi yang diutamakan, kuliah yang dinomorduakan,” lanjutnya.
KELUAR DARI KENDALA
Sebagai organisator yang memiliki program untuk mahasiswa, Inne harus siap menerima komplain dari nasabahnya. Meski berupaya menggalang kampanye cinta lingkungan, program yang dibuatnya kerap kali disalahartikan sebagai program pencarian Sistem Kredit Kegiatan Mahasiswa (SKKM) semata.
Pun demikian, Inne berupaya selalu memberikan pelayanan terbaik pada nasabah-nasabahnya. Ia mengaku memahami persoalan SKKM di UMN yang terkadang lebih diutamakan dibandingkan nilai-nilai dari kampanye yang disampaikan.
“Banyak angkatan atas yang perlu SKKM untuk segera yudisium jadi harus segera untuk mencari kegiatannya juga, harus mempersiapkan waktunya juga supaya nggak telat saat pengumpulannya itu,” jelasnya.
Layaknya organisator pada umumnya, Inne dan timnya berupaya menjalankan kegiatan dengan maksimal sesuai dengan tujuan yang ditetapkan sejak awal. Itu sebabnya, Inne menjelaskan bahwa selalu ada diskusi satu dengan yang lain jika terdapat masalah tertentu. Hal ini dilakukan agar lebih banyak mahasiswa yang dapat merasakan dampak dari Bank Sampah. “Tim BPH kami sendiri selalu ngomongin bareng, setelah kita mecahin sama-sama, kita langsung kordinasi sama koor-koor kita.”
EDITED BY IVAN JONATHANLangkah Kecil yang Berdampak Besar Bersama Jakarta Osoji Club
Written by Stella Noviana Sugondo Video by Felisitasya Manukbua & Brian N. ValenskaJA K A R T A Osoji Club (JOC) merupakan sebuah komunitas yang peduli akan lingkungan dengan cara melakukan kegiatan bersih-bersih di Jakarta. Nama “Osoji” berasal dari bahasa Jepang yang memiliki arti membersihkan. Komunitas ini awalnya berdiri pada tanggal 29 April 2012 atas inisiasi ekspatriat Jepang yang sempat tinggal di Jakarta. Ketika mereka melihat kondisi lingkungan Jakarta yang kotor, mereka memutuskan untuk melakukan aktivitas petik sampah dan akhirnya dibentuklah komunitas JOC.
Heri Retno Indrijani, orang yang sudah lama bergabung dalam JOC, tetap mempertahankan dan terus melihat perkembangan komunitas ini agar terus berjalan serta berkembang walaupun pendiri JOC sudah kembali ke Jepang. JOC tetap melakukan kegiatan rutin selama dua minggu sekali pada saat Car Free Day (CFD) di daerah Thamrin.
Dalam kegiatan rutinnya selama CFD, JOC tidak hanya memungut sampah-sampah yang berserakan, tetapi mereka juga dengan berani menegur mereka yang membuang sampah sembarangan ataupun mengingatkan mereka yang sedang makan untuk membuang sampah pada tempatnya. Walaupun terdapat beberapa masyarakat yang kesal ketika ditegur, JOC tidak pernah merasa tersinggung.
“Jadi, kita harus ngomong. Semuanya kalau kita tidak menyampaikan, meskipun ada tong sampah, mereka nggak akan lakukan (membuang sampah pada tempatnya). Jadi, kita harus sampaikan,” tutur Retno kepada pihak Ultimagz. Selain melakukan bersih-bersih, JOC juga sudah mulai menerapkan
zero waste ketika membuat makanan dalam acara-acara pertemuan mereka. Zero waste merupakan kegiatan untuk meminimalisir penggunaan sampah. Komunitas JOC hanya menyediakan beberapa gelas dan wadah makan ketika acara berlangsung sehingga setiap anggota JOC yang datang biasanya membawa tempat makan dan botol sendiri.
JOC sudah tiga kali melakukan pembelajaran ke Jepang untuk mengetahui sistem pengelolaan sampah di Jepang seperti apa. JOC juga mengunjungi TK, SD, dan SMP di Jepang. Mereka melihat bahwa anak-anak kecil di sana bahkan sudah dididik sejak dini mengenai pengelolaan sampah agar hal tersebut dapat menjadi kebiasaan baik hingga dewasa nanti.
Penggunaan sampah plastik yang semakin meningkat di Indonesia hingga membuat Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia (McKinsey and Co. dan Ocean Conservancy), membuat sebagian besar masyarakat tergerak untuk melakukan perubahan mengenai pengelolaan sampah plastik.
Menurut Retno, mengurangi penggunaan sampah plastik haruslah dimulai dari diri sendiri. Bila satu orang sudah mulai peduli dengan sampah plastik, hal ini akan berpengaruh juga ke orang yang ada di sekitarnya sehingga akan memiliki dampak yang baik bagi kebersihan lingkungan.
Langkah-langkah kecil seperti menggunakan tas belanja dan sedotan stainless sudah sangat membantu mengurangi penggunaan sampah plastik. Retno juga berpendapat bahwa restoran juga memiliki dampak besar untuk mengurangi
penggunaan sampah plastik. Namun, baru beberapa restoran yang melakukan sosialisasi seperti tidak menyediakan sedotan untuk minuman. Maka dari itu ketika memesan minuman, kita bisa menolak untuk tidak menggunakan sedotan bila restoran tersebut masih menyediakan sedotan.
“Kalau pesan minuman kita harus menyampaikan di awal. ‘Tidak pakai sedotan, ya.’ Soalnya kalau dia sudah tetap masang (sedotannya) sampai di kita percuma juga, kan. Berarti itu (sedotan) sudah sampah juga (walaupun belum kita gunakan),” jelas Retno.
Menyadarkan masyarakat untuk melakukan suatu perubahan tidaklah mudah. Namun, dengan melakukan langkah-langkah kecil dapat memberikan dampak yang besar. Retno juga menyampaikan bahwa dengan membagikan informasi atau berita mengenai dampak buruk dari sampah plastik kepada orang lain dapat mempengaruhi mereka untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Bahkan penyampaian informasi atau imbauan tersebut bisa disampaikan dalam bentuk gambar dan tulisan yang kreatif agar lebih menarik perhatian orang yang membacanya. “Masang gambar tidak hanya masang gambar, tapi kalau bisa dikasih omongan juga atau tulisan seperti apa. Bisa juga disampaikan (dalam bentuk) imbauan,”
ucap Retno. Harapan Retno ke depannya adalah JOC dapat terus menyebarkan virus atau pengaruh baik ke masyarakat. Retno juga berharap sekolah memiliki pembelajaran mengenai cara pengelolaan sampah sejak TK karena menurutnya anak kecil lebih mudah diarahkan dan diajarkan daripada mereka yang sudah dewasa.
“Kami ingin sekolah itu bisa benar-benar dari TK mempunyai kurikulum bagaimana mereka untuk lebih peduli dengan sampahnya. Karena anak TK itu sebenernya lebih gampang kita arahkan atau kita bentuk daripada mereka yang sudah besar,” jelas Retno.
Jakarta Osoji Club sudah memberikan inspirasi bagi beberapa kota lainnya di Indonesia untuk membentuk sebuah komunitas yang sama dengan nama kota yang berbeda, seperti Banyuwangi Osoji Club, Medan Osoji Club, Palembang Osoji Club, Bulukumba Osoji Club, dan Solo Osoji Club.
Predikat Kampus Hijau dan Tanggung Jawabnya
By Adhiyasa Gatra Prada, Ketua Umum MAPALA UMN Written by Hanasya Shabrina, Fabio Togar Fandi Nainggolan Photo by Anisa Arifah, Saras Sania Zelikha PutriUNIVERSITAS Multimedia Nusantara (UMN) sebagai kampus hijau masih dilihat secara apatis oleh mahasiswanya. Predikat ini juga hanya tampak dari penampilan gedung saja, bukan dari program-program yang dibuat. Terlebih lagi, tak ada pengaruhnya jika UMN membanggakan predikat kampus hijau, namun masih banyak mahasiswa yang apatis.
Peran mahasiswa dalam mengurangi sampah plastik dimulai dari diri sendiri dan tidak usah terlalu muluk-muluk. Di media sosial terdapat banyak data mengenai sampah plastik, yang menunjukkan posisi Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia.
Salah satu contoh mendukung gerakan lingkungan bersih diterapkan oleh Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri di Kota Bogor. Sekolah ini menerapkan lingkungan sekolah tanpa tempat sampah agar para siswa tidak dapat memproduksi sampah plastik dari makanan dan minuman yang dibeli. Mau tidak mau para siswa harus menggunakan tempat makanan dan minuman tidak sekali pakai.
UMN sendiri sudah melakukan pemilahan sampah organik dan anorganik serta pembuatan pupuk dari hasil pemilahan sampah organik. Namun, sedikit mahasiswa yang mengetahui apakah pemilahan tersebut hanya di tempat sampah lingkungan UMN atau pada saat di pembuangan akhir karena kita tahu bahwa di pembuangan akhir ujung-ujungnya segala jenis sampah akan disatukan. Adanya pemilahan sampah sebenarnya cukup efektif, karena secara tidak langsung
masyarakat kampus sudah membantu memilah jenis sampah yang dibutuhkan dalam pembuatan pupuk.
USAHA MENJADI KAMPUS YANG RAMAH LINGKUNGAN
Menurut UI Green Metric, UMN berada di peringkat ke-13 sebagai kampus hijau se-Indonesia. Peringkat ini menunjukan bahwa sebenarnya UMN memiliki lingkungan yang bersih dan nyaman serta gedung yang hemat energi.
Ramah lingkungan memiliki arti yang sangat luas, baik dari produksi sampah, tanaman, penggunaan energi, maupun sumber daya manusianya. Intinya, kampus ramah lingkungan harus memberikan dampak yang baik bagi lingkungan sekitar. Bila dibandingkan dengan kampus lain, sebagian dari mereka memiliki hutan, namun lingkungan UMN tidak memungkinkan untuk menambahkan hutan. Tanah di UMN berjenis tanah merah yang sulit dijadikan media tanam oleh berbagai macam tumbuhan sehingga sulit untuk tumbuh subur. Secara pribadi saya menganggap bahwa UMN masih merupakan kampus yang belum tergolong kampus hijau.
Usaha mewujudkan kampus hijau terlihat dari pengelolaan sampah plastik. Dua sumber sampah plastik di UMN berasal dari Libro Café dan U-mart yang merupakan mitra penjual makanan dan minuman di kantin. Produksi sampah plastik sekali pakai dapat dikurangi dengan cara tidak menjual makanan dan minuman yang menggunakan bahan tersebut. Bila perlu, dibuatkan kebijakan jika ingin membeli seperti kopi ataupun air mineral harus menggunakan botol yang tidak
sekali pakai. Secara perlahan dan seiring waktu, mahasiswa akan terbiasa mengikuti aturan yang diberikan karena itu merupakan kebutuhan mahasiswa sendiri.
Mahasiswa Pecinta Alam (MAPALA) UMN sudah menerapkan hidup ramah lingkungan, seperti ketika pendakian gunung untuk calon anggotanya. Para pendaki menggunakan tempat makan dan minum yang tidak sekali pakai, seperti menggunakan botol tumbler dan plastik ziplock lipat untuk menyimpan makanan. Hal tersebut cukup efektif dalam mengurangi sampah di gunung. MAPALA mengakui bahwa sampah yang biasa dibawa ketika turun gunung sebanyak dua karung sampah, sedangkan dengan menerapkan hidup ramah lingkungan hanya membawa setengah karung saja. Dengan jumlah 40 pendaki, setengah karung sampah yang dibawa turun juga menjadi sebuah apresiasi bagi MAPALA sendiri.
MAPALA berencana membuat program mengenai green area dan eco brick. Eco brick merupakan botol besar kosong diisi dengan sampah plastik hingga botol terpenuhi. Botolbotol tersebut akan ditumpuk atau dibentuk menjadi berbagai
macam benda pakai seperti kursi dan tempat penyimpanan. Eco brick juga dapat digunakan sebagai bahan utama suatu bangunan.
Dalam memperingati hari bumi, MAPALA mengadakan program tujuh harian bumi. Program tersebut dilakukan dengan mengalihkan penggunaan sampah plastik atau bahan sekali pakai lainnya ke tempat yang tidak sekali pakai. Tindakan ini kemudian diunggah ke media sosial selama tujuh hari lamanya.
KEADAAN YANG BERKEBALIKAN
Miris dan ironis mengetahui bahwa UMN yang dikenal sebagai kampus hijau masih memiliki sisi lain kebersihannya. Meskipun hanya berjarak lima meter dari gerbang kampus, lingkungan depan UMN (damen) dan samping UMN (samen) dipenuhi pedagang dan pembeli yang kerap membuang sampah sembarangan. Hal tersebut membuat sekitarnya jadi tidak bersih dan mengisyaratkan UMN belum layak memegang predikat kamus hijau. Ketika tamu ataupun orangtua mahasiswa berkunjung ke UMN tentu melewati lingkungan tersebut dan melihat adanya sampah yang berserakan. Hal ini menjadi pertanyaan besar: di mana hal yang membuat UMN menjadi kampus hijau yang ramah lingkungan dan bersih?
Harapannya, kampus dapat mengeluarkan kebijakan atau sistem baru yang dapat memfasilitasi para pedagang dan pembeli yang berada di samen dan damen. Salah satu fasilitas yang mungkin dapat diberikan adalah area merokok demi mengurangi adanya sampah puntung rokok yang berserakan di sekitar gerbang kampus.
Jika memang kampus berani mengambil keputusan yang besar, seperti mengeluarkan kebijakan yang signifikan mengenai pengurangan sampah plastik, hal tersebut akan jadi sesuatu yang luar biasa. Kampus juga harus berani mengatakan tidak pada plastik dan harus berani menerima komentar sesuai keadaan lingkungan sekitarnya.
EDITED BY NABILA ULFA JAYANTIKesadaran Anak Muda Meningkat, Tapi Kurang Eksekusi
Written by Ignatius Raditya Nugraha, Rachel Rinesya Photo by Renate PinasthikaPADA dasarnya kesadaran masyarakat, terutama mahasiswa dan anak muda mengenai gerakan ramah lingkungan sudah meningkat secara signifikan sejak tiga hingga lima tahun yang lalu. Namun, mereka melakukan gerakan tersebut karena isu mengenai lingkungan menjadi viral di media sosial, bukan karena mengetahui manfaat dari gerakan itu sendiri.
Misalnya saja, viralnya foto sampah di pantai Bali dari drone Warga Negara Asing (WNA) Jordan Simons (Desember 2018) dan hasil penelitian para ilmuwan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah penghasil sampah plastik terbesar kedua di dunia. Hal seperti inilah yang mendorong resonansi isu lingkungan berulang muncul ke
permukaan. Alhasil, muncul pemikiranpemikiran, “Ayo kita ubah kebiasaan kita untuk menyelamatkan lingkungan” atau “kita kembalikan lagi keindahan Indonesia”.
Walaupun sebenarnya kesadaran untuk menjaga lingkungan sudah baik, aksi masyarakat masih setengahsetengah. Rasanya, percuma saja muncul pemikiran, “Aduh iya ya, banyak banget sampahnya,” tapi aksi nyatanya hanya tidak meminta plastik saat membawa tas di supermarket. Bahkan, ada yang masih tetap meminta plastik hanya karena tidak praktis atau malas. Jadi, kesadaran menjaga lingkungan memang menunjukkan peningkatan signifikan, tapi masih belum cukup banyak.
Jika melihat orang berteriak-
teriak membagikan konten menjaga lingkungan di media sosial, seperti sampah-sampah plastik yang termakan penyu, maka apakah mereka sudah melakukan aksi sampai mengurangi sedotan plastik? Tidak juga. Orangorang yang sama juga mengetahui masalah penggunaan sedotan plastik, tapi mereka tetap menggunakannya hanya karena terbiasa. Padahal, akses terhadap sedotan stainless, bambu, atau kaca makin mudah ditemukan dan affordable pada saat yang sama.
“Kesadarannya udah kena banget, tapi aksinya belum semasif itu.”
RELEVANSI MAHASISWA
Jika membicarakan relevansi mahasiswa dan kewaspadaan menjaga lingkungan, maka lingkungan kampus juga mempunyai peran yang signifikan. Diketahui, beberapa kampus di Indonesia telah memulai kebijakan untuk melarang penggunaan kemasan plastik, bahkan styrofoam, contohnya di Universitas Indonesia (UI). Dulu, hampir semua penjual makanan di kantin memakai kemasan styrofoam sehingga kemasan tersebut dan botol plastik menumpuk usai jam kampus. Hal ini terus berulang sampai akhirnya mahasiswanya sendiri enek melihat sampah-sampah itu. Bermula dari keprihatinan, mahasiswa melakukan advokasi ke pihak kampus mengenai bahaya styrofoam. Selain itu,
mereka juga mencari solusi alternatif, seperti menggerakkan pemakaian kertas atau membawa tempat makan sendiri. Dengan demikian, mahasiswa sebenarnya berpotensi untuk menerapkan kebijakan-kebijakan ramah lingkungan di sekitar kampus. Dengan massa yang besar, kesadaran juga akan semakin meningkat. Kegiatan ramah lingkungan seperti membawa tempat minum dan makan juga semakin tak asing. Namun, lagi-lagi segi aksinya belum bisa diukur dari sekadar mengubah kebiasaan kemasan makanan.
Selain itu, mahasiwa harus berhatihati untuk melihat nilai dari usaha memperjuangkan lingkungan. Misalnya, jika membeli sedotan stainless, tapi tidak
menggunkannya dengan berkala, maka sama saja menjadi kontraproduktif. Hal ini dikarenakan sedotan tersebut terbuat dari logam yang produksinya terkadang juga mengabaikan kelestarian lingkungan. Jadi sebenarnya, penggunaan sedotan berbahan stainless baru bisa dikatakan ramah lingkungan jika sudah digunakan ratusan kali per orang. Hal ini seperti membawa kantong belanjaan sendiri dari rumah ketika ke supermarket, tetapi tetap menggunakan kantong plastik untuk mengemas belanjaan dan dimasukkan ke dalam tas bawaan.
Pun demikian, mahasiswa sebenarnya bisa menggunakan tren isu-isu kewaspadaan lingkungan sebagai sarana kampanye. Generasi sekarang cenderung
mengikuti tren dahulu baru mengetahui manfaat aksinya setelah itu. Mulai dari sini, mahasiswa bisa menggaet audiens yang tertarik akan viralnya isu-isu seputar lingkungan, lalu dilanjutkan dengan edukasi. “Eh kamu keren banget nih mulai pakai sedotan stainless, tapi akan lebih keren lagi kalau kamu tahu manfaatnya,” misalnya.
Ketika membicarakan sampah, kita membicarakan kebiasaan. Ketika membicarkan kebiasaan, kita membicarakan mindset.
Tantangan terbesar mahasiswa adalah menyakinkan bahwa kontribusi perorangan mereka berpengaruh besar pada kondisi lingkungan. Walaupun hanya satu pada awalnya, ketika mindset-nya dimiliki satu milyar orang, maka akan berdampak besar bagi bumi.
Oleh karena itu, viralnya isu lingkungan di masa sekarang menurut World Wide Fund for Nature (WWF) sudah menjadi trigger untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan.
Sayangnya, wujud nyatanya baru berhenti sampai kepedulian. Untuk melakukan kegiatan yang benar-benar membantu menjaga lingkungan belum terlalu terlihat.
MENGAJAK LINGKUNGAN TERDEKAT
Dengan kembalinya kepada diri kita sendiri, kontribusi yang dapat kita lakukan untuk mengurangi sampah, terutama plastik adalah mengubah sikap kita dan lingkungan terdekat, seperti keluarga dan teman.
Akan terasa sulit untuk langsung mengajak keluarga duduk bersama dan menjelaskan rusaknya lingkungan serta bagaimana menjaganya. Caranya, perlihatkan sikap dan gaya hidup yang ‘non-plastik’, misalnya dengan membawa kemasan makanan dan minuman non-plastik saat berangkat ke kampus. Mungkin akan terasa aneh pada awalnya, tetapi lambat laun mereka akan terbiasa dengan kebiasaan tersebut. Umumnya, mereka akan mudah menyesuaikan diri dan menilai efektivitasnya.
Selain itu, jangan takut untuk bicara, misalkan dengan menolak penggunaan kantong plastik ketika belanja. Ketika hadirnya pertanyaan-pertanyaan mengenai sikap tersebut, akan lebih baik kita jawab dan jelaskan.
Intinya, sikap individu harus berubah dan dilakukan dengan konsisten. Dengan demikian, hal ini baru akan memberikan dampak pada orang-orang di sekitar.
AKSI DARI WWF
Meski aksi kesadaran menjaga lingkungan belum mencapai titik ideal, anak muda merupakan insan yang memulai gerakan-gerakan ramah lingkungan seperti ini. Mulai dari gerakan zero waste (gaya hidup bebas sampah) hingga pengolahan sampah semua diinisiasi oleh anak-anak muda.
WWF pun berperan besar dalam menginisiasi gerakan komunitas peduli lingkungan seperti Earth Hour dan Marine Buddies. Namun, kedua komunitas tersebut tetap berjalan secara mandiri. Pun, gerakan-gerakan ini didominasi oleh anak-anak yang menggerakkan aktivitas untuk menjaga lingkungan.
Sebut saja Earth Hour. Meski dimulai di Sydney, Australia, komunitas ini juga ada di Indonesia dan dipegang oleh anak-anak muda. Gerakan ini dimulai pada tahun 2007 dengan mengajak masyarakat mematikan lampu selama satu jam. Kini, basis komunitas Earth Hour sudah tersebar di Indonesia.
Gerakan mematikan lampu ini tak hanya dilakukan sekadarnya, tetapi telah melibatkan sekolah-sekolah, kampus-kampus, lingkungan. Tidak hanya itu, Earth Hour mendesak pemerintah daerah untuk mengeluarkan
kebijakan publik yang mendukung keramahan lingkungan, contohnya, pelarangan kantong plastik di Bogor dan Bali. Kemudian, komunitas ini juga mengadvokasi dan memantau pelaksanaan hukum tersebut.
WWF secara tak langsung melakukan pembinaan terhadap komunitaskomunitas seperti ini. Hal ini dilakukan dengan cara mengadakan program nasional bertajuk KUMBANG (Kumpul dan Belajar Bareng). Pada kegiatan itu, perwakilan komunitas akan hadir untuk saling berdiskui dan bertukar pendapat bersama dengan perwakilan dari WWF. Dengan demikian, apa yang hendak dilakukan komunitas penjaga lingkungan dapat tersinkronisasi satu dengan yang lainnya.
EDITED BY IVAN JONATHANSudahkah Kamu Memakai Sedotan Stainless Steel ?
Written by Maytiska Omar Video by Ergian Pinandita & Fany Edited by Hilel HodawyaSAAT ini, marak usaha untuk menghentikan penggunaan plastik demi menyelamatkan bumi. Salah satu sampah yang susah diurai adalah sedotan plastik. Waktu yang diperlukan untuk mengurainya adalah 500 hingga 1.000 tahun.
Menurut data dari Divers Clean Action, Indonesia kira-kira menyumbang sampah sedotan plastik sebesar 93.244.847 buah setiap harinya. Tanpa disadari orang-orang menggunakan satu hingga dua sedotan tiap hari yang lama-lama mengotori laut.
Sekarang ini banyak perusahaan cepat saji yang tidak lagi memberikan sedotan plastik kepada pelanggannya. Mereka menjalankan #NoStrawMovement yang memunculkan tokotoko daring untuk menjual sedotan stainless steel, sehingga sedotan berbahan dasar stainless steel ini mudah ditemukan.
Engga sih, karena menurut saya itu agak kurang efektif. Biasanya kalau kita walaupun udah beli kalau lupa bawa itu percuma jadinya. Balik lagi ke sedotan plastik, kan harus dibersihin diapain. Tidak setiap saat kita taruh di tempat yang biasa kita bawa.
Aku pake, karena udah banyak ngeliat berita-berita biota laut itu rusak gara-gara sampah plastik. Contohnya yang kemarin ada kasus itu, penyu yang menyedot sedotan plastik. Itu sih salah satu concern-nya.
Enggak. Sebenernya aku ini mau aja, tapi belum punya.
Amor — Jurnalistik, 2018
Sebenernya sih belum punya. Tapi sekarang udah gak pernah pakai sedotan plastik lagi. Karena pengen beli, cuma harganya kayak gak sesuai ekspektasi gitu loh. Pada kemahalan semua, karena tren mungkin. Jadi mending minum langsung dari gelasnya aja.
Claresta Christabel — Film dan Televisi, 2017
Enggak pakai sedotan stainless. Karena emang saya itu orangnya jarang minum pakai sedotan gitu. Jadi emang biasa minum secara langsung dari gelas.
Kenny Alessandro — Akuntansi, 2016
Aku pake sedotan stainless. Waktu itu lagi pergi sama teman. Terus ada kayak pameran dan itu nunjukin ternyata penggunaan plastik di dunia ini sudah banyak banget dan bahkan ada beberapa hewan yang mati, dalam perutnya banyak terdapat plastik gitu. Jadi aku gak tega dan mulai ngebiasain untuk gak pakai plastik.
Rafifa Shabira — Jurnalistik, 2018
Aku salah satu pengguna stainless steel straw, karena terinspirasi dari video penyu di Instagram yang waktu itu sempat beredar gitu, yang dia itu makan sedotan plastik. Nah, dari itu, aku kayak merasa, “aduh, kasian juga ya, not only penyu, tapi kayak, just other marine life.” Makanya aku sekarang pake stainless.
Shalika Rahma — Jurnalistik, 2018
Iya, aku pakai sedotan stainless. Soalnya waktu itu saudara aku ada yang pakai, terus aku kayak, “Wah ternyata ada sedotan stainless di Indonesia.” Kirain aku itu hal yang tabu dan akhirnya aku beli itu. Dan emang plastik itu lagi marakmaraknya disuarakan untuk dikurang-kurangi.
Syifa Dwi Mutia — Jurnalistik, 2018
KETIKA BUMI SUDAH TAK LAGI LAYAK HUNI
Judul film Wall-E
Sutradara Andrew Stanton
Pemain Ben Burtt
Elissa Knight
Sigourney Weaver
Jeff Garlin
Durasi 98 menit
Tahun rilis 2008
Written By Abel Pramudya NugrahadiAPA JADINYA jika bumi sudah dipenuhi sampah? Bagaimana keadaan bumi ketika sudah tidak ada lagi tumbuhan? Pertanyaan tersebut terjawab dalam film Wall-E, film animasi besutan Pixar Animation Studios yang dirilis pada 2008 silam.
Mengambil latar pada tahun 2800-an, bumi sudah sangat penuh oleh sampah. Tidak ada lagi manusia di bumi. Manusia tinggal di sebuah pesawat luar angkasa super besar bernama Axiom. Di bumi hanya ada satu robot pemadat sampah bernama Wall-E (Waste Allocation Load Lifter- Earth-Class). Ia bertugas untuk memadatkan serta menumpuk sampah-sampah yang ada di bumi sambil ditemani oleh seekor kecoa yang setia mengikutinya.
Sebuah robot dari Axiom bernama EVE hadir untuk menemukan tanaman yang masih tumbuh di bumi sebagai tanda adanya kehidupan. Wall-E pun mulai menyukai EVE, hingga mengikuti EVE diam-diam saat kembali ke Axiom.
Terjadi banyak konflik di Axiom. Mulai dari Wall-E yang dideteksi sebagai barang asing sehingga
dikejar-kejar oleh M-O, robot dekontaminasi, sampai sistem kendali otomatis pesawat, AUTO, yang menolak untuk kembali ke bumi.
Film yang disutradarai oleh Andrew Stanton ini mengangkat isu lingkungan dengan pengemasan yang menarik. Meskipun dialog dalam film ini cukup minim, tetapi penggambaran kondisi bumi dan kehidupan manusia di pesawat luar angkasa sanggup membawa imajinasi penonton pada apa yang terjadi dengan bumi yang penuh sampah dan kehidupan manusia di masa depan. Sentuhan romansa antara Wall-E dengan EVE juga menjadi daya tarik dalam film yang bergenre fiksi ilmiah ini.
Tak ayal jika Wall-E mendapat beberapa penghargaan. Di antaranya, Academy Awards 2009 kategori Best Animated Feature Film of the Year dan Saturn Award 2009 kategori Best Animated Film Wall-E juga mendapat penilaian bagus dari IMDb dengan rating 8.4/10 dan Rotten Tomatoes dengan rating 8.6/10.
SAAT BUMI MEMBEKU AKIBAT PEMANASAN GLOBAL
Written By Abel Pramudya NugrahadiJudul film
The Day After Tomorrow
Sutradara Roland Emmerich
Pemain Dennis Quaid
Jake Gyllenhaal
Emmy Rossum
Sela Ward
Durasi 124 menit
Tahun rilis 2004
THE DAY AFTER TOMORROW merupakan film bergenre fiksi ilmiah yang diadaptasi dari sebuah novel karya Art Bell dan Whitley Strieber yang berjudul The Coming Global Superstorm (1999).
The Day After Tomorrow berkisah tentang sebuah fenomena alam yang membuat bumi menjadi begitu dingin, seperti kembali ke zaman es.
Jack Hall, seorang paleoklimatologis (Denis Quaid), sedang menjalani sebuah penelitian di Antartika ditemani oleh dua orang rekannya, Frank (Jay O. Sanders) dan Jason (Dash Mihok). Dalam sebuah konferensi, Jack menyatakan bahwa ada kemungkinan bumi dapat kembali ke zaman es lagi.
Beberapa hari setelah konferensi tersebut, teori Jack seolah menjadi kenyataan. Perubahan iklim secara drastis terjadi. Suhu bumi menurun dengan cepat. Tokyo dan New Delhi diterjang badai salju. Los Angeles luluh lantak akibat serangan lima tornado dalam waktu yang bersamaan.
Kengerian dalam film bencana ini cukup tergambarkan dengan visualisasi badai, gelombang air bah, salju, dan tornado yang apik. Kerusakan dan kehancuran kota menambah kesan yang tragis, dibarengi dengan iringan musik latar yang semakin membangkitkan atmosfir kengerian film.
Meski menurut NASA bencana yang terjadi dalam film cukup konyol untuk terjadi sungguhan, serta beberapa setting yang tidak masuk akal, film ini mampu mengingatkan kita untuk menjaga lingkungan khususnya mengurangi pemanasan global. Film garapan 20th Century Fox ini berhasil menyabet gelar efek visual terbaik dalam ajang BAFTA Awards serta didapuk sebagai film terbaik menurut Environmental Media Awards.
Berdurasi 124 menit, film yang disutradarai oleh Roland Emmerich ini sukses meraup keuntungan hingga 186 juta dolar AS di Amerika dan 544 juta dolar AS di seluruh dunia.
PERJALANAN LINTAS GALAKSI UNTUK MENCARI RUMAH BARU
Written By Abel Pramudya NugrahadiJudul film Interstellar
Sutradara
Christopher Nolan
Pemain Matthew
McConaughey
Anne Hathaway
Jessica Chastain
Bill Irwin
Durasi 169 menit
Tahun rilis 2014
FILM bergenre fiksi ilmiah yang mengangkat tema apocalypse cukup diminati oleh penonton. Film jenis ini menggiring imajinasi penonton dengan memberikan gambaran apa yang terjadi dengan bumi di masa mendatang. Salah satu film tersebut ialah Interstellar yang dirilis Oktober 2014.
Dengan durasi yang cukup panjang, yakni 169 menit, film ini mengisahkan perjalanan astronot NASA yang mencari planet lain selain bumi yang layak dihuni oleh manusia.
Digambarkan pada masa itu, di tengah krisis pangan, pilot pesawat luar angkasa Cooper dengan kedua anaknya, Tom dan Murphy hidup bertani. Sampai suatu ketika, Profesor Brand memercayai Cooper untuk kembali bertugas sebagai pilot pesawat luar angkasa ditemani oleh Amelia Brand, Romily, dan Doyle untuk misi mencari
planet alternatif sebagai tempat tinggal manusia selain di bumi.
Mungkin bagi sebagian orang yang tidak begitu paham dengan fisika, alur cerita film ini tidak mudah dipahami. Tetapi setidaknya, Interstellar mampu menghadirkan gambaran luar angkasa yang riil atas kerjasama si pembuat film dengan astrofisika, Kip Thorne. Selain urusan luar angkasa dan ilmu fisikanya, film ini mampu menyentuh hati penonton dengan adanya adegan keterikatan dan kedekatan emosional Murphy dengan ayahnya, Cooper.
Film garapan sutradara Christopher Nolan ini menghabiskan 165 juta dolar AS untuk biaya produksinya. Film ini juga mendapatkan rating yang cukup bagus dari IMDb yakni 9/10, Metacritic 74%, dan Rotten Tomatoes 71%.
RAHASIA PELANGI: CINTA SEGELAP HUTAN DI TENGAH MALAM
Penulis Riawani
Elyta
Shabrina Ws
Penerbit Gagas Media
Tahun terbit 2015
Written By Abel Pramudya NugrahadiKONFLIK antara gajah liar dengan penduduk marak terjadi di kawasan perbatasan antara hutan lindung atau taman nasional dan area pemukiman warga. Kasus seperti ini sering ditemukan terjadi di daerah Sumatera. Konflik manusia dengan gajah ini menjadi inspirasi novel Rahasia Pelangi.
Dikisahkan Anjani mengabdikan diri menjadi penjaga gajah (mahout) untuk membuang traumanya dengan gajah. Ia bekerja bersama dengan seorang sais gajah keturunan Thailand, Chay, di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Keduanya pun diam-diam memendam rasa saling suka.
Mereka berdua akhirnya dipertemukan dengan Rachel dan Febri, aktivis lingkungan dari Change World Organization (CWO) yang ditugaskan untuk Forest Camp di TNTN. Namun, kedatangan Rachel membuat Anjani tidak senang.
Novel hasil duet Riawani Elyta dan Shabrina Ws ini menyampaikan pesan
untuk peduli lingkungan, terutama hutan dengan dibalut alur romansa dengan porsi yang pas. Bahasa yang digunakan pun ringan sehingga jalan ceritanya juga mudah dipahami. Selain itu, wawasan pembaca juga akan bertambah dengan adanya informasi seputar kelestarian lingkungan hidup. Menariknya, informasi-informasi tersebut mengalir bersama cerita sehingga tidak terkesan menasihati.
Salah satu sisi lain yang menarik dari novel ini adalah dua tokoh utama dalam novel, Rachel dan Anjani ditulis dengan sudut pandang orang pertama. Karakternya juga khas dan bertolak belakang. Jika Anjani cenderung lebih tertutup, lembut, tetapi berani, Rachel nampak ceroboh, supel, dan bicaranya blak-blakan. Novel ini pun ditulis oleh dua orang penulis, Elyta dan Shabrina yang tampak seperti berbaur menjadi satu penulis.
‘Diajar oleh Sampah’
Written by Fabio NainggolanIllustration by Celine Mehitabelle
PADA sebuah universitas swasta terdapat empat seorang sahabat yaitu Habel, Markus, Edo dan Paskah. Mereka telah bersahabat sejak lama dan terlihat sangat kompak. Salah satu dari mereka, Habel memiliki kebiasaan yang sangat cinta terhadap lingkungan. Sebaliknya, Paskah dan Markus tidak memiliki kepekaan yang sama seperti Habel.
Suatu hari ketika rehat jam kuliah, Habel hendak ke kantin untuk makan siang. Dalam perjalanannya, ia melihat sampah plastik berserakan di dekat saluran air (got). Lalu dengan kepeduliannya ia memungut sampah –sampah tersebut. Namun, ketika Habel sedang memungut sampah tersebut, tiba – tiba Paskah dan Markus melihat dan mengejek Habel.
“Woi Habel, ngapain lu mungut sampah di got? Kayak orang susah aja!” teriak Paskah.
“Yaelah lu jangan malu – maluin dong Bel, lu tuh mahasiswa yang bisa dibilang punya kredibilitas bagus di sini!” ucap Markus kepada Habel dengan tertawa mengejek.
Walaupun masih diejek sahabatnya sendiri, Habel masih bersabar dan tersenyum lebar. Setelah Habel meletakkan sampah – sampah tersebut ke dalam tong sampah, ia diajak Markus dan Paskah untuk makan siang bersama.
“Heh Bel, udah ayo makan siang bareng aja, tapi ingat cuci tangan lu, kan megang sampah gitu dari got, jorok hahahaha,” Paskah mengajak dengan diiukuti tertawa ejekan.
“Astaga, kalian nih segitunya sama gue. Kalau gue kayak gitu, coba bantuin kek, malah diejek,” ucap Habel dengan
nada yang sedikit kesal. Ketiganya kemudian bertolak ke kantin kampus. Selesai makan, Paskah tiba-tiba membuang plastik kemasan kerupuknya ke lantai tanpa rasa bersalah.
“Weh Paskah, lu kok buang sampah disitu sih? Di sana udah ada tong sampah loh, cepet angkat tuh plastik!” Habel menegur Paskah dengan nada yang tinggi.
Paskah menjawab dengan santainya “Yaelah Bel, kita kan punya OB (office boy) sendiri, kita kan udah bayar, nanti mereka enggak ada pekerjaannya dong, iya enggak Kus (sebutan untuk Markus)?”
“Iya Bel bener tuh, masa mereka makan gaji buta sih!” ucap Markus dan dengan tersenyum.
“Eh lu berdua kok jadi enggak tahu diri gini sih? Bukan masalah kita punya OB atau enggak, tapi di sini masalahnya lu berdua peduli enggak sama lingkungan ini! Orang – orang kayak lu inilah yang membuat bumi makin hancur!” tegur Habel kepada dua sahabatnya sambil ia berjalan memungut sampah plastik tersebut.
Ketika Habel sedang memungut sampah, tiba – tiba si Edo muncul dan membantunya dengan memungut juga sampah plastik yang berada di dekatnya.
“Heh Bel rajin banget lu, sini gue bantuin buang ke tong sampah. Siapa sih yang buang – buang plastik gini disini? Wong itu tempat sampah dekat kok!” tegur Edo kepada Habel dengan mimik yang membingungkan.
“Iya nih, sahabat lu noh berdua, enak – enak bae buang sampahnya!” balas Habel kepada Edo.
Di situ Markus dan Paskah tertawa kecil sambil menyembunyikan tertawa kecilnya.
“Heh inang dan benalu! Lu berdua jangan buang sampah sembarangan, itu tempat sampah dekat loh! Emang ya, dasar destroyer lingkungan!” tegas Edo sambil menyindir dua sahabatnya itu.
Setelah itu mereka berempat berjalan bersama ke kelas dan mengikuti kelas sore.
Setelah pulang dari kelas, seperti kebiasaan Habel, ia mengecek saluran air di dekat kampus. Ternyata Habel lagi-lagi mendapati banyak sampah dan memungutnya. Seperti biasa juga, Paskah dan Markus kembali mengolokoloknya.
“Heh pemulung ngapain lu? Udah pulang kuliah tuh nongkrong, bukan
malah ngangkut sampah, gimana sih! Mending ikut kita nongkrong di luar, gimana?” ajak Paskah diikuti dengan tawa.
Seperti biasanya, Habel kembali memberikan senyum terbaiknya sembari berusaha bersabar menanggapi kedua temannya. Habel malah menyuruh kedua temannya berangkat duluan.
“Enggak ada guna juga lu bersihin gitu, kan gak ada dampak apa – apa juga boy! Paling cuman mampet doang air terus banjir tapi enggak seberapa,” ucap Markus sembali bertolak ke parkiran motor bersama Paskah.
Setelah Habel selesai membersihkan sampah, ia membersihkan tangannya dan menyusul kedua sahabatnya tadi.
Keesokan harinya ketika Habel ingin ke kampus, awan tebal menyelimuti. Tak lama, hujan deras disertai angin kencang turun menyelimuti. Habel kemudian memutuskan untuk berkendara menggunakan taksi daring.
Sesampainya di kampus, Habel mendapati beberapa temannya tengah berkumpul di lobi. Tak perlu waktu lama bagi Habel untuk mengetahui ternyata basement kampus tergenang banjir. Selain itu, bagian depan lobi juga sudah mulai tergenang, padahal hujan baru mengguyur selama setengah jam.
“Bel, motor gue tenggelam, gimana nih? Haduh gue takut motor gue rusak Bel,” ngomong Paskah dengan kondisi yang panik dan tiba-tiba memegang bahu Habel. Habel pun kaget kala keramaian di lobi saat itu.
Muka paskah merah dengan raut yang serba pannik. Senyum ringan yang biasa menghiasi wajahnya tak tampak kala itu. Beberapa kali keringat
pun menetes dari pelipisnya. Habel tak tahu harus berbuat apa, karena banjir di basement sudah nyaris merendam basement itu sendiri.
“Pasti ini karena sampah yang menumpuk di saluran air. Gara – gara itu air jadi tidak lancar ke pembuangan. Masih banyak manusia yang enggak peduli akibatnya gini deh,” Habel berbicara kepada Paskah dan Markus dengan nada rendah.
Keduanya menunduk dan tampak menyesal atas ketidakpeduliannya selama ini. Namun, nasi sudah menjadi bubur, tak ada lagi yang dapat dilakukan. Edo pun menasihati Paskah dan Markus untuk belajar lebih peduli dengan lingkungan, sebab kepedulian mulai dari diri sendiri.
Hujan belum berhenti setelah ssatu setengah jam, basement kini tertutup sepenuhnya oleh air. Paskah terpaksa menerima nasib motornya yang tenggelam oleh air hujan. Motor Paskah baru bisa diselamatkan mendekati pukul delapan malam ketika hujan berhenti dan air mulai surut. Keempat sahabat berusaha membawa motor tersebut naik ke lobi dan kemudian didorong sampai ke tempat tinggal Paskah yang tak jauh dari kampus.
plastiknya ya! Belum ada yang bersihin lagi,” ucap Edo kepada ketiga temannya.
“Iya nih Do, kita bersihin deh,” tutur Abel membalas.
Ketika keduanya menoleh, mereka mendapati Paskah sudah membawa alat-alat pembersih untuk mulai membersihkan. Habel dan Edo hanya tersenyum geli melihat kelakuannya. Markus juga ikut geli melihat kelakuan temannya.
“Lah kok kalian malah tertawa, yuk kita bersihkan ini, jangan sampai motor gue kerendem lagi sama banjir,” ucap Paskah semangat.
EDITED BY IVAN JONATHANDua hari setelahnya, cuaca sudah kembali cerah, tetapi bekas banjir masih terlihat di basement serta di sekitaran kampus. Tanah merah serta sampah plastik terlihat di setiap sudut, gambaran situasi pascabanjir pada umumnya. “Wah banyak banget sampah
Edukasi Soal Kondisi Laut Terkini di “Laut Kita”
Written by Maytiska Omar Photo by Anisa Arifah & Elisabeth Rafaela ChandraGANTUNGAN-gantungan dari sampah botol plastik yang berselingan dengan kain perca berbentuk bunga menghiasi bagian depan sebuah pameran di lantai dua pojok pusat perbelanjaan Plaza Indonesia. Di balik hiasan tersebut adalah suatu toko pakaian dengan penanda nama Sejauh Mata Memandang (SMM).
Memperingati hari bumi, SMM mendirikan sebuah pameran dan instalasi sejak tanggal 22 April hingga 16 Juni 2019. Laut Kita merupakan tema yang diambil sebagai koleksi musim kemarau 2019. Bukan hanya sebagai koleksi terbaru, tetapi juga sebagai lambang doa dan aksi langkah nyata untuk berterima kasih kepada bumi. Selain menghadirkan pameran dengan enam area, SMM juga membuka pop up store yang menjual pakaian, aksesoris, hingga produk home and living koleksi musim kemarau.
Founder & Creative Director SMM Chitra Subyakto menjelaskan, “Koleksi dan kampanye Laut Kita berangkat dari kegelisahan saya akan permasalahan lingkungan di negeri ini. Melalui kampanye Laut Kita, SMM mencoba untuk memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya mengurangi penggunaan sampah plastik sekali pakai dan menjaga lingkungan.”
AREA INSTALASI BERNUANSA LAUTAN
Dari awal masuk, SMM telah membuat instalasi ini terlihat estetik. Para pengunjung yang baru saja sampai langsung dapat berpose ataupun hanya mengambil gambar dari pameran yang diadakan. Pengunjung disambut oleh gantungan-gantungan ramah lingkungan yang cantik, lalu
dinding di sebelah kanan terdapat penjelasan mengenai Laut
Kita. Di bagian kiri menjelaskan tentang SMM disertai fotofoto koleksi kemarau 2019, dan di depan terdapat pemutaran sebuah video bertemakan laut. Area ini diberi nama Keindahan Alam Indonesia. Kumpulan foto-foto, video dokumentasi, dan narasi keindahan Indonesia yang diperlihatkan merupakan hasil dari kolaborasi artis serta seniman Indonesia, yaitu Dian Sastrowardoyo, Nicholas Saputra, Jay Subiyakto, dan Jez O’ Hare.
Masuk lebih dalam, pengunjung akan tiba di ruangan remang-remang yang dipenuhi tulisan mengenai laut beserta sampah-sampah plastik yang ada sekarang ini. Seperti namanya, Polusi Plastik, ruangan ini menampilkan fakta dan data dalam bentuk infografik mengenai jumlah penggunaan plastik sekali pakai. Area kedua dibuat lebih besar dengan lampu yang menyoroti beberapa titik, sehingga menonjolkan video mengenai laut beserta sampahnya yang diputar dengan proyektor pada salah satu dinding. Pemutaran video dilengkapi dengan suara Tulus yang membicarakan faktafakta mengenai sampah plastik di laut Indonesia.
Berseberangan dengan dinding yang menampilkan video, tumpukan sampah-sampah plastik yang dibentuk kotak menyambut para pengunjung. Ratusan mungkin hingga jutaan sampah dikumpulkan dan dijadikan dekorasi sepanjang jalan hingga sampai pada ruangan yang dipenuhi botol plastik. SMM menandai ruangan dengan nama Instalasi Bawah Laut, menampilkan instalasi yang menggambarkan dampak dan kondisi bawah laut kita jika penggunaan plastik sekali pakai terus bertambah. Botol plastik yang digantung menjulang ke bawah dengan dekorasi ikan-ikan kecil dari kain memberikan kita sebuah gambaran bagaimana rasanya menjadi ikan yang berenang di tengah sampah. Bukan lagi dipenuhi oleh anemon maupun rumput laut, melainkan sampah botol dan kantong plastik sekali pakai yang berterbangan dalam laut.
Selanjutnya ada Ruang Ajakan, yakni sebuah ruangan dengan video-video dari para artis maupun aktivis yang mencintai lingkungan Indoesia, khusunya laut. Davy Linggar yang membuat karya ini beserta para pekerja seni dan aktivis mengajak pengunjung yang datang untuk mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. Desain dari ruangan ini
adalah kantong plastik yang disusun membingkai tiap-tiap televisi yang ada.
Menuju akhir area, terdapat sebuah ruangan dengan papan-papan bertuliskan memberikan solusi untuk mencegah dan meminimalisir limbah plastik sekali pakai. Warna merah, putih, dan hitam dari papan memenuhi Ruang Solusi. Tempat ini juga dapat menjadi titik yang menarik untuk difoto. Susunan tinggi-rendah papan yang didirikan membuatnya seperti sebuah ruang demokrasi dengan tulisan-tulisan yang mengajak mengurangi sampah.
Dua buku bewarna biru laut terletak di atas meja bundar. Terdapat beberapa janji yang ditulis maupun digambar. Benda itu berada di sebuah ruang interaksi bagi para pengunjung yang dapat menuliskan janji mereka untuk
menyelamatkan bumi. Tidak hanya buku, dinding pun ikut serta menjadi alas para pengujung yang ingin berjanji untuk lingkungan dan laut Indonesia.
Para pengunjung yang masuk ke dalam pameran serta instalasi Laut Kita menjadi lebih sadar bagaimana kondisi laut sekarang ini. Data-data yang dikumpulkan membuat mereka menjadi lebih tahu seberapa banyak sampah plastik sekali pakai yang ada di laut.
Seorang karyawan dan juga pengunjung Diana Petra mengungkapkan, “Setelah melihat pameran Laut Kita sendiri, ya, jujur to say untuk masyarakat sekarang kurang tanggap untuk pengurangan pemakain plastik. Seperti saya sendiri sekarang masih beli botol minum. Ya, sebenarnya lebih bagus kita beli
atau bawa Tupperware sendiri. Setelah lihat pameran ini, sih, saya berharap anak-anak muda jauh lebih suka ikut ambil bagian untuk melihat dan menyempatkan waktu buat pameran seperi ini. Supaya untuk ke depannya, mereka jadi dapat ilmu dan gambaran.”
Laut Kita tidak hanya menyadarkan anak muda atau masyarakat yang masih belum mengetahui betapa bahayanya sampah plastik di laut dan pesisiran pantai. Namun, menjadi pengetahuan tambahan untuk mereka yang juga sudah sadar bagaimana terancamnya kondisi di bawah laut.
KEGIATAN AMAL DAN KERJA SAMA KOMUNITAS
Sebuah aroma yang menenangkan seakan membawa pengunjung kembali ke laut, menguar dari produk sabun yang SMM keluarkan. Produk ekologi itu memberikan aroma bumi dan laut serta sampo bebas plastik. Sebagai gantinya adalah wadah kaleng berbentuk bulat yang menjadi tempat penyimpanan alat mandi tersebut. Ada pula sikat gigi dari bambu hingga set makan, yaitu sendok, garpu, sumpit, dan sedotan sekali pakai serta botol minum yang mereka jual.
“Sebagian dari penjualan produk ekologi kami akan alokasikan untuk program kerja sama antara Sejauh Mata Memandang dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP) dalam program edukasi bebas plastik pada sekolah di kawasan pesisir,” jelas Staf Marketing dan Sales Sejauh Mata Memandang
Talita. Motif berbentuk bunga-bunga dasar laut dan riak ombak di tepian samudera dalam warna-warna indigo, pink pastel, merah, dan putih berjejeran di sebuah batang kayu berbentuk silinder. Beberapa orang sibuk memilih pakaian serta syal bermotif lautan tersebut di sebuah gantungan kayu. SMM tidak hanya menjual produk ekologi, tetapi juga koleksi musim kemarau 2019 mereka.
SMM bekerja sama dengan berbagai macam komunitas, salah satu yang ikut berperan penting dalam kampanye Laut Kita adalah Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik (GIDKP). Pameran laut juga memberikan informasi mengenai komunitas yang menjaga laut, seperti Beach Clean Up Jakarta, Divers Clean Action, Indonesia Ocean Pride, Pandu Laut, dan Sea Soldier.
Sedangkan untuk daur ulang atau riset data-data mengenai sampah plastik sekali pakai, ada Kreasi Daur Ulang, Indonesian Center For Enviromental Law (ICEL), Aliansi Zero Waste Indonesia, Greenpeace Indonesia, dan masih banyak lagi. Semuanya disusun dan dipajang pada sebuah tembok dengan latar belakang warna-warni sepanjang area Ruang Ajakan. Pengunjung pun dapat melihat informasi singkat seputar komunitas-komunitas tersebut serta media sosial atau tautan dari situs mereka.
EDITED BY NABILA ULFA JAYANTISNAPSHOT
Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) ikut menyuarakan dukungannya terhadap perempuan agar melek teknologi dengan menghadirkan aplikasi bisnis perempuan HerVenture.