PROGRAM STUDI SARJANA ARSITEKTUR SEKOLAH ARSITEKTUR, PERENCANAAN, DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG KOREA ARCHITECTURAL ACCREDITING BOARD CANBERRA ACCORD
jurnal ekskursi
arsitektur itb 2014 Bali, Indonesia 5-13 Agustus 2016
jurnal ekskursi arsitektur itb 2014 Bali, Indonesia 5-13 Agustus 2016
Program Studi Arsitektur ITB Desain Sampul
: Gusti Reynaldi Cakramurti
Tim layout
: Gusti Reynaldi Cakramurti Muhammad Bahrul Ilmi Maulidinda Nabila Devinna Febrianni Andanti Pradisa
Tim narasi
: Dominicus Dennis Pratama Eko Bagus Prasetyo Deny Wahyu S. Yasmin Chairani U.
Foto : Arsitektur ITB 2014 Hak cipta milik Program Studi Arsitektur ITB
ii
KEPANITIAAN Pembimbing Aswin Indraprastha, Ph. D. Indah Widiastuti, S. T., M. T., Ph. D. Christina Gantini, Dr., Ir., M. T. Dibya Kusyala, ST, MT Ketua Panitia M. Ananda Rahmat Fatah Wakil Ketua Panitia William Sekretaris Jeremy Meldika Kamila Mardhiyyah Bendahara Fiona Amanda Lady Viona Yacup Koordinator Sponsorship Mohammad Thareq Defa Raynaldo Tantawi Swardi Koordinator Bidang Acara Santosa Halomoan Koordinator Lapangan Nadhira Khanza Koordinator Humas dan Perizinan Alisha Dwi Nefertity Koordinator Bidang Akomodasi Galen O'neil Aleorus Koordinator Transportasi Gusti Dyantama Pradipta Callista Irene Felicia Manik Koordinator Perhotelan Susy Prajna Sari Koordinator Konsumsi Devinna Febrianni Koordinator Medis Dini Kurnia Agustina Candra Dewi Koordinator Bidang Kreatif Gusti Reynaldi Cakramurti Koordinator Desain Muhammad Bahrul Ilmi Koordinator Publikasi dan Dokumentasi Indah Mega Ashari Koordinator Bidang Pameran Muhammad Bagoes Himawan
PENGANTAR Aswin Indraprastha, Ph.D., IAIA
Ketua Program Studi Sarjana Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung
Program Ekskursi Bali 2016 merupakan program kokurikuler yang diadakan reguler oleh Program Studi Sarjana Arsitektur ITB setiap tahunnya. Program ini ditujukan kepada para mahasiswa tahun kedua arsitektur, di akhir semester IV. Tujuannya untuk memberikan wawasan pengetahuan, budaya, lingkungan binaan dan nilai- nilai arsitektur sehingga diharapkan mahasiswa memiliki pengalaman melihat, mengamati dan mengalami sendiri arsitektur dan lingkungan binaan serta nilainilai budaya setempat secara umum. Di tahun 2016 ini, ekskursi diadakan di Pulau Bali dengan mengambil tema Evolusi Perancangan Massa dan Ruang Melalui Budaya, Seni dan Pengetahuan Lokal serta diikuti oleh sekitar 90 peserta. Bali sendiri dipilih sebagai destinasi program ini karena kekayaan budaya dan kearifan lokal Bali merupakan salah satu kebanggaan nusantara yang telah diakui secara internasional, ditambah dengan adanya proses transformasi arsitektur lokal ke arsitektur modern yang menarik untuk diamati.
Buku ini merupakan rangkuman catatan perjalanan sebagai bagian dari rangkaian publikasi hasil ekskursi 2016 setelah pameran ekskursi yang diadakan pada bulan September 2016 lalu. Sebagai sebuah publikasi ekskursi, nilainya terletak pada proses internalisasi pengalaman dan sejauh mana proses ekskursi dapat memaknai dan memperkaya pemahaman terhadap desain arsitektur dan lingkungan binaan secara umum. Diharapkan buku ini menjadi usaha dan energi baik yang dapat ditularkan pada angkatan- angkatan selanjutnya, serta isinya dapat menambah wawasan pengetahuan dan pemahaman baru.
Baskoroekskursi Tedjo, PhD Terima kasih kepada para pembimbing : Ibu Dr. Christina Gantini, Ibu Dr. Indah Widiastuti dan Bapak Dibya Kusyala serta semua mahasiswa yang berperan aktif dalam menyukseskan program ini. Bandung, 29 Nopember 2016.
Perjalanan ekskursi yang dipandu oleh tiga dosen pembimbing ini dimulai dari mengamati dan mengalami lingkungan binaan tradisional di Desa Tenganan dan Desa Penglipuran, hingga transformasi dan harmonisasi langgam Bali tradisional dengan langgam modern di daerah Ubud dan Denpasar serta gaya kontemporer fasilitas wisata yang mengadopsi ruh arsitektur Bali ke dalam desain arsitektur kontemporer di daerah Bali Selatan.
iv
PENGANTAR M. Ananda Rahmat Fatah
Ketua Panitia Ekskursi Bali 2016 Arsitektur ITB 2014
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillahi robbil 'alamin. Segala puji hanya milik Tuhan yang Maha Esa atas segala nikmat, rahmat, dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga kami dapat menyelesaikan JURNAL EKSKURSI BALI 2016 ini dengan baik. Buku ini merupakan kenangan, asa, dan karya kami ㅡ Arsitektur ITB 2014. Potret, sketsa, narasi, serta puisi yang disajikan merupakan serapan pengalaman kami dari Kuliah Lapangan “EKSKURSI BALI 2016." Dengan segala kerja keras, dukungan, serta bantuan temanteman Arsitektur ITB 2014, buku ini akhirnya berhasil kami selesaikan dengan baik. Baskoro PhD dukungan, arahan, dan Selain itu, Tedjo, atas segenap kesabaran yang diberikan oleh pembimbing untuk menyelesaikan Jurnal ini, tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada, 1. Bapak Aswin Indraprastha, Ph.D., selaku Ketua Program Studi Arsitektur Institut Teknologi Bandung, yang telah memberikan bimbingan, dukungan penuh, dan kesempatan bagi kami untuk melaksanakan Kuliah Lapangan “EKSKURSI BALI 2016." 2. Ibu Indah Widiastuti, S.T., M.T., Ph.D, selaku pembimbing kami yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan panduan untuk kami dalam melaksanakan Kuliah Lapangan “EKSKURSI BALI 2016." 3. Ibu Christina Gantini, Dr., Ir., M.T., selaku pembimbing kami yang telah memberikan masukan, dukungan, bimbingan, panduan, serta materi kuliah yang berguna dalam melaksanakan Kuliah Lapangan “EKSKURSI BALI 2016." 4. Bapak Dibya Kusyala, S.T., M.T., selaku pembimbing kami yang telah memberikan kesabaran, dukungan, bimbingan, dan panduan untuk kami dalam melaksanakan Kuliah Lapangan “EKSKURSI BALI 2016."
Apaja gebeg aji bungkunge ento, makejang dadi mas, nanging yen gebegang di citakane, bungkunge ento lakar elung, yang artinya: segala sesuatu yang digosok dengan cincin itu, pasti akan menjadi emas, tetapi jika digosokkan pada bata merah, cincin itu akan patah. Merupakan salah satu peribahasa bali yang memiliki pesan bahwa segala hal pasti memiliki keterbatasan. Keterbatasan kami, tim penyusun JURNAL EKSKURSI, tentu saja tidak akan terlepas dari ketidaksempurnaan kami dalam menyusun JURNAL EKSKURSI ini. Untuk itu melalui kata pengantar ini kami ingin menyampaikan permintaan maaf atas segala kekurangan kami. Kami juga sangat terbuka menerima kritik serta saran yang membangun sehingga ke depannya, jurnal ini pun dapat secara bertahap kami sempurnakan. Sekiranya demikian, kami, Tim Penyusun JURNAL EKSKURSI berharap segala pengalaman kami dapat memberikan manfaat dan kontribusi besar dalam kegiatan pendokumentasian arsitektur nusantara, dan segala pengalaman ruang yang kami rasakan juga dapat dirasakan oleh pembaca. Dengan ini, kami juga berharap kegiatan Kuliah Lapangan Arsitektur ITB akan menjadi acara tahunan yang memberikan dampak dan manfaat besar bagi dunia arsitektur Nusantara. Amin. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Bandung, 21 Desember 2016 Tim Penyusun JURNAL EKSKURSI
v
vii
DAFTAR ISI Pengantar dari Kaprodi
iv
Pengantar dari Ketua Panitia
v
Daftar isi
vi
Puisi: Ruang-Ruang dalam Persinggahan Kita
vii
Pendahuluan dari Ir. I Wayan Gomudha, M.T.
viii
Pendahuluan dari Dr. Ir. Christina Gantini, M.T.
BALI AGA
BALI MAJAPAHIT
STIL BALI
BALI STYLE
BALI MODERN/KONTEMPORER
x
Desa Tenganan
3
Desa Penglipuran
5
Pura Batuan
9
Pura Maospahit
11
Bale Banjar Gerenceng
15
Ubud Palace Uluwatu Temple
17
Komaneka Resort
23
Maya Sanur
25
The Three Mountains
27
Bisma Eight Hotel
31
House of Kwartantaya
33
House Akana
35
Villa Wastraku
37
Sketsa
39
Sponsor dan media partner
19
Ruang-Ruang dalam Persinggahan Kita Eko Bagus Prasetyo
Jalanan masih ada di jengkal jari sebelum kita membuang jangkar di laut yang kita kira berair dangkal itu. Kita telah pergi ke seberang hari jauh sekali ke timur. Sampai lupa akan kota darimana kita tinggal. Pagi yang segera beranjak ramai sudah sabar kita tunggu dua jam (sembilan menit) yang lalu. Sebelum bergegas menghitung setiap jejak di belakang kita. Dengan roda-roda cahaya dan buku catatan di saku celana. Sementara itu, dalam potongan-potongan jalanan yang dekat kita masih bingung terhadap asal angin dan bau etilena yang terbakar. Setelah mendung tadi. Hingga akhirnya kita merambahkan bayang-bayang ke semua penjuru ruang, ke segala pandang mata— memang, katamu, kita adalah barisan sepasang mata sejak pertama kali bergegas. Di perjalanan yang tak lagi asing. Kita telah diberi tahu pada awalnya: kita adalah hulu dalam persinggahan yang berbekas di ingatan dan pulang ke hilir waktu. Lewat ruang-ruang yang sepi maupun berisik. Lewat ruang-ruang yang hijau maupun abu-abu. “Tapi temanku, apakah kita akan tersesat sehabis persemedian di ruang-ruang ini?�
Bali, 10 Agustus 2016
vii
Filosofi Kosmos dan Filosofi Arsitektur Tradisional Bali Ir. I Wayan Gomudha, M. T.
Dosen Program Studi Sarjana Arsitektur Universitas Udayana
Masyarakat Bali dalam hidup dan kehidupannya yakin dan percaya bahwa segala isi alam semesta ini ada melalui suatu proses Tapa dalam wujud Tri Kona : Utpeti (kelahiran), Sthiti (kehidupan) dan Pralina (kematian). Keberadaan makluk hidup manusia (tri pramana) dan alam semesta terdiri atas ‘unsur yang sama’ yakni Tri Hita Karana. Tri: tiga; Hita: baik, senang, gembira, dan Karana: sebab‐ musabab atau sumbernya, berarti ‘tiga jenis unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbul kebaikan atau kehidupan’. Unsur unsur tersebut dalam manusia selaku Bhuana Alit terdiri atas: Atma/jiwa manusia yang menyebabkan hidup; Prana atau tenaga, yakni kekuatan (bayu, sabda, idep) atau daya yang timbul akibat menunggalnya atma dengan angga/sarira; Sarira atau badan wadag manusia. Dalam alam semesta selaku buana agung terdiri atas: Paramaatma adalah sinar suci Hyang Widhi selaku jiwa alam semesta; Prana adalah segenap tenaga alam; dan Angga /Sarira/fisik alam semesta. Sejalan dengan Ganapati Tattwa diyakini bahwa unsur sarira manusia dan alam semesta terbentuk dari unsur‐unsur yang sama Panca mahabhuta yakni: zat cair (apah), zat padat (pertiwi), angin (bayu), panas (teja), dan ether (akasa). Pada alam‐semesta/tubuh besar (makro kosmos) membentuk susunan struktur ‘Tri Loka’ (bagian dari Sapta‐loka). Struktur alam dikuasai oleh zat padat dan zat cair disebut Bhur‐loka, alam yang dikuasai oleh zat padat dan teja disebut Bhuah‐loka, alam yang dikuasai oleh sinar dan bayu disebut Swah‐loka/Swarga‐loka/Dewa‐loka). Sedangkan pada tubuh manusia (jagat kecil/mikro kosmos) terbentuk susunan struktur ‘Tri Angga’ terdiri atas: kepala (utama angga), badan (madya angga) dan, kaki (nista angga). Moksartham Jagadhita ya ca iti Dharma, artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan bathin (moksa) adalah sebagai tujuan agama Hindu. Untuk mencapai tujuan ini manusis didalam kehidupannya harus menjalin hubungan yang “harmonis” dengan alam semesta. Implementasi harmonisasi ini diwujudkan dalam skala ruang yang lebih terbatas dan dapat dirasakan keberadaannya. Terwujud dalam ruang skala teritorial Bali, Desa Pekraman/Adat, Paumahan dan Bale sampai pada komponen arsitektural/Bale sebagai berikut: a. Nilai‐nilai substansi konsep (substance of content) tata‐ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : Nilai‐nilai/kerangka dasar agama Hindu (tattwa, susila/etika dan upacara), Tri Hita Karana sebagai unsur bhuana alit dan bhuana agung didalam kehidupannya hendaknya selalu harmonis. b. Nilai‐nilai konsep (form of content) tata‐ruang pada tingkat gama (regional Bali) adalah : nilai hulu ‐ (tengah) ‐ teben baik arah horizontal maupun vertikal yaitu, kesetaraan Tri Loka dan Tri Angga sebagai susunan unsur Angga dalam wujud yang selalu harmonis. c. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) tata‐ruang pada tingkat lokal/desa pekraman/Sima adalah: Tri Loka (tiga zona vertikal); Tri Mandala (tiga zona horizontal); Sanga Mandala (sembilan nilai zona horizontal) dan Natah sebagai ruang Inti/Pusat/centrality dan Sesa sebagai ruang tepi/marginality. d. Nilai‐nilai ekspresi (form of expression) pada sebuah Hunian ATB adalah : Penyengker, Paduraksa dan Angkul‐angkul adalah sebagai penanda Umah, sehingga Bale yang ada dalam penyengker adalah setara bilik/room. Dari ekspresi/tipologi Angkul‐angkul, Penyengker dan Paduraksa dapat pula diketahui “status warna” penghuni Jaba ataukah Tri Wangsa, lain kata sebagai penunjuk jati diri penghuni.
viii
e.
Tata Bangunan : Sosok dan bentuk wujud fisik ruang dan bangunan tradisional muncul dari upaya penyeimbangan yang harmonis antara manusia selaku isi (bhuana alit) dengan ruang dan bangunan selaku wadah (bhuana agung). Sosok dan bentuk dianalogikan sebagai proporsi fisik/angga manusia yakni Tri Angga (kepala nilai utama, badan nilai madya dan kaki nilai nista). Pembagian ini diberlakukan secara konsisten dan konskuen hingga ke bagian yang sekecil‐kecilnya dari sosok dan bentuk.
Skala dan proporsi ruang dan bangunan tradisional Bali menggunakan sikut dewek/antropometri dengan modul dasar “r a i” dari penghuni utama (anangga ayah), sehingga skala dan proporsi ruang dan bangunan yang didapat tidak pernah “out of human scale” dan “out of human proportion”serta akan selalu harmonis. Kebutuhan ruang yang lebih luas didapat dengan menggandakan dimensi/modul ruang, bukan memperbesar dimensi ruang atau bangunan, misal Sakanem = 2 x Sakepat; Tiangsanga = 4 x Sakapat. Ornamen dan Dekorasi merupakan penghargaan atas keindahan yang telah diberikan oleh alam dan penciptaNya kepada tanah Bali. Ornamen diciptakan sebagai upaya memperkuat harmonisasi, sedang dekorasi lebih menekankan perubahan suasana yang diinginkan. Ornamen dan dekorasi bersifat kontekstual sesuai dengan tata‐nilai atau karakter tema/wujud obyek yang ingin diciptakan, misal : (karang Gajah ditaruh di bawah, karang Tapel di tengah dan karang Guak ditaruh di atas). Struktur dan bahan tradisional Bali bersifat ekologis dan natural, sangat menghormati alam dan lingkungan, sebagian besar bahan berasal dari kebun yang dibudi‐dayakan dan dapat didaur‐ ulang. Penggunaan batu Cadas sebenarnya hanya diperuntukan bagi bangunan Puri dan Pura, sedang bagi paumahan hanya menggunakan citakan atau polpolan. Bahan disusun dari bawah yang berkarakter berat makin keatas makin berkarakter ringan, hal ini sejalan dengan logika pembebanan yang meberikan tingkat keamanan bangunan yang tinggi. Penggunaan bahan organis yang memiliki umur terbatas menuntut penyelesaian kontruksi sistem knock down, sehingga gampang dibongkar‐pasang, serta penggunaan sukat sikut dewek penhuni utama (anangga ayah). Sebagai indikasi bahwa umah tradisional Bali hanya harmonis bila dihuni oleh ‘hanya satu keluarga yang beragama Hindu’ dan bukan sebagai obyek warisan. Setiap keluarga baru (mulai hidup ghrahasta) wajib ‘Ngarangin’ dan membuat bangunan yang sesuai dengan sikut antropometri dan kemampuan dirinya.
ix
Warna - Warni Arsitektur Bali Dr. Ir. Christina Gantini, MT
Dosen Program Studi Sarjana Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Arsitektur Bali Berdasarkan Perda Prov. BAli N0.5/ 2005 Berdasarkan Perda Provinsi Bali, maka arsitektur Bali itu, terdiri atas : 1. Arsitektur tradisional Bali adalah tata ruang dan tata bentuk yang pembangunannya didasarkan atas nilai dan norma-norma tradisi baik tertulis maupun tidak tertulis yang diwariskan secara turun-temurun. 2. Arsitektur non tradisional Bali adalah arsitektur yang tidak menerapkan norma-norma arsitektur tradisional Bali secara utuh tetapi menampilkan gaya arsitektur tradisional Bali. Melihat kepada lampiran Perda No.5/ 2005 hal. 22 lebih lanjut dijelaskan bangunan non tradisional Bali ini dapat dibedakan menjadi : - Bangunan tradisional Bali yang dikembangkan atau dimodefikasi dari eksisting dan yang rancangannya dikembangkan dari norma-norma arsitektur tradisional Bali, sehingga mencapai peningkatan kualitas baik fungsi, teknis, maupun estetikanya; dan - Bangunan masa kini yang bergaya/ berprinsip bentuk dan berkarakter arsitektur tradisional Bali/ setempat untuk mewujudkan bangunan gedung masa kini yang bercitra arsitektur tradisional Bali. Lebih lanjut yang termasuk dalam klasifikasi fungsi bangunan non tradisional Bali adalah bangunan perkantoran, perdagangan, fasilitas kesehatan dan pendidikan, perhotelan, terminal (darat, laut, udara) 3. Arsitektur warisan adalah arsitektur peninggalan masa lampau di Provinsi Bali, baik dalam keadaan terawat/ dimanfaatkan sesuai fungsinya atau tidak terawat/ tidak digunakan sesuai fungsi, bergerak atau tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok atau bagian-bagiannya atau sisanya, yang dianggap memiliki nilai-nilai penting bagi ilmu pengetahuan, sejarah, kebudayaan, dan nilai-nilai signifikan lainnya, seperti diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Arsitektur Bali Berdasarkan Fenomena Lapangan Secara umum arsitektur Bali dalam pengertian keseharian di Bali dapat dibedakan sebagai berikut: 1. Arsitektur Tradisional Bali Majapahit seperti yang dikenal selama ini biasanya berada di daerah dataran rendah; dan pada umumnya terdiri dari beberapa massa bangunan dalam satu area pekarangan. Masing-masing bangunan mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Bentuk massa adalah empat persegi panjang dengan atap seperti pelana. Bangunan-bangunan tersebut diantaranya adalah Sanggah atau Merajan yang fungsinya sebagai tempat pemujaan, Meten fungsinya sebagai ruang tidur, Bale Dangin untuk tempat mengadakan upacara, Jineng sebagai tempat menyimpan padi, Paon sebagai tempat memasak. Bangunan-bangunan ini diatur dalam suatu pola dalam satu area pekarangan dengan jarak dan besaran tertentu sesuai dengan fungsi dan status sosial pemiliknya. Satu area pekarangan dibatasi oleh tembok pembatas yang disebut tembok penyengker. 2. Arsitektur ”Stil Bali”, lebih merupakan unsur dekoratif yang ditempelkan di atas unsur-unsur struktural arsitektur fungsional, dengan cirinya adalah ukuran yang diperbesar dan penggunaan unsur dekoratif yang dibuat-buat serta biasanya tiang dan tembok depan ditempeli dengan batu merah gosok berikut ornamen-ornamen berukir atau setengah berukir/ lelengisan. 3. Arsitektur ”Bali Style”, contoh yang paling mudah barangkali adalah villa-villa yang tumbuh di Bali saat ini. Sebagian villa mengambil baik pola, tata letak, bentuk atap dan unsur rupa lainnya dari rumah tradisional Bali (Majapahit) dan kemudian diaplikasikan pada bangunan villa yang baru, inilah yang kemudian disebut dengan ’Bali-Style’. 4. Arsitektur ”Bali-Modern”, merupakan fenomena baru tampilnya bangunan tanpa ornamen maupun ragam hias seperti pada umumnya bangunan di Bali. Merupakan arsitektur yang dipertanyakan, apakah arsitektur jenis ini dapat dikategorikan sebagai arsitektur Bali? 5. Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Muslim seperti di desa Pegayaman di Buleleng Singaraja. 6. Arsitektur bagi masyarakat di desa-desa Kristen seperti di desa Palasari Jembrana, desa Dalung Denpasar.
x
7. Arsitektur Tradisional Bali Aga biasanya terdapat di daerah pedalaman. Daerah pedalaman tersebut ada yang di dataran tinggi atau pegunungan dan ada yang di dataran rendah. Dari segi fisik rumah tradisional yang ada di pegunungan pada umumnya sangat sederhana. 8. Arsitektur Bali Kuna. Salah satunya adalah seperti yang terlihat pada gambar 17, yaitu situs Gunung Kawi. 9. Arsitektur Kolonial. Arsitektur jenis ini banyak terdapat di Bali bagian Utara tepatnya di kota Singaraja; yang pada jaman Belanda merupakan ibukota Bali. Terdapat pula di Denpasar (Bali Hotel di Jln. Veteran), dan Kompleks Taman Ujung di Karangasem maupun di puri Karangasem terdapat juga peninggalan bangunan kolonial Belanda yang disebut dengan Maskerdam. Demokrasi menjadi kata kunci untuk menjawab arsitektur Bali. Demokrasi dalam berarsitektur itu menjadi mungkin justru ketika setiap pihak berusaha keras untuk menerima dan memahami kemajemukan. Tuntutan sikap demokratis yang dapat kita pelajari dari makalah ini, yaitu perlunya pengakuan terhadap realitas kemajemukan kelompok-kelompok minoritas, ketidakberaturan dan kelompok yang tersubordinasi. Homogenitas dalam berarsitektur memang tidak masalah, namun masalahnya adalah ketika “ia” tidak mampu menghargai perbedaan. Padahal arsitektur Majapahit dengan ‘merangkul’ budaya lain seperti contohnya arsitektur Bali Aga, akan berkesempatan menjadi lebih heterogen sehingga dapat menambah ’reference’ tentang apa atau yang mana saja yang disebut dengan arsitektur Bali itu
xi
Arsitektur Bali Aga adalah arsitektur tradisional Bali yang biasanya terdapat di daerah pedalaman. Daerah pedalaman tersebut ada yang di dataran tinggi atau pegunungan dan ada yang di dataran rendah. Dari segi fisik rumah tradisional yang ada di pegunungan pada umumnya sangat sederhana.
bali aga
TENGANAN, DESA ADAT BALI ASLI BALI AGA
Desa Tenganan merupakan salah satu desa Bali aga yang terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, sebelah timur Pulau Bali. Termasuk desa tradisional, Desa Tenganan memang masih mempertahankan tradisi dan aturan adat desa yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Dalam hal penamaan, Desa Tenganan—sebutan wilayah Tenganan sebagai desa dinas—juga sering disebut sebagai Tenganan Pegringsingan, merujuk pada istilah desa sebagai satu-kesatuan hukum adat. Diceritakan, istilah pegringsingan berasal dari kata gringsing yang merupakan nama kain khas Desa Tenganan. Kain yang ditenun dengan teknik dobel ikat ini dipercaya masyarakat Tenganan sebagai kain penolak bala.
1
Masyarakat Tenganan memeluk Hindu aliran Dewa Indra, dewa yang dipercaya sebagai dewa perang, sehingga mereka tidak mengenal upacara ngaben. Sebagai pemeluk Hindu, masyarakat Tenganan memegang teguh konsep Tri Hita Karana untuk pedoman hidup dan juga landasan operasional desa adat setempat. Objek-objek arsitektural di sana, seperti rumah, fasilitas desa, dan pura, dibangun dan diatur menurut awig-awig, sebuah aturan adat yang berlaku secara turun-temurun. Selain itu, di desa ini juga terdapat sebuah tradisi adat yang unik setiap setahun sekali, yakni Perang Pandan.
2
3 3
5
Gb. 1 - 7 Suasana Desa Adat Tenganan.
6
7
7
4
BALI AGA
DESA PENGLIPURAN
Desa Penglipuran merupakan Desa Adat Bali yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali. Desa ini memiliki luas keseluruhan 112 Ha dengan 9 Ha diperuntukan sebagai daerah pemukiman dan 3 Ha untuk fasilitas umum. Hingga saat ini terdapat 76 kapling rumah warga yang dipisahkan oleh sebuah jalan utama. Jalan ini membentang lurus dari selatan ke utara. Area pemukiman dan jalan utama merupakan kawasan bebas kendaraan bermotor. Jalan utama dibuat berundak meninggi ke utara, di sekitar jalan juga ditanami rumput dan tanaman. Kawasan pemukiman ini dikelilingi oleh hutan bambu (45 Ha) dan ladang/kebun (55 Ha). Meskipun merupakan Desa Adat, rumahrumah yang dibangun sudah menggunakan material seperti beton dan kaca. Rumah yang didirikan juga sudah banyak yang permanen. Tapi penggunaan material bambu juga masih digunakan untuk atap karena memang bambu di sekitar desa cukup banyak dan bisa dimanfaatkan oleh warga.
Untuk tata ruang desa dan pemukiman di Desa Penglipuran menganut sistem Tri Mandala yang terdiri dari Utama, Madya, dan Nista Mandala. Untuk pemukiman, Utama Mandala merupakan tempat ibadah keluarga yang terletak di bagian timur. Lalu Madya Mandala merupakan rumah keluarga, dan Nista Mandala merupakan tempat yang dianggap buruk seperti tempat jemuran, gudang, dan garasi. Pada bagian utara desa terdapat tempat ibadah yang merupakan Utama Mandala. Pemukiman warga sebagai Madya Mandala dan di paling selatan terdapat kuburan sebagai Nista Mandala. Selain sistem tata ruang Tri Mandala, ada juga sistem adat atau aturan adat yang biasa disebut awig-awig oleh warga setempat yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana tersebut terdiri dari tiga hal, yang pertama adalah Parahyangan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya. Kedua adalah Pawongan yang mengatur hubungan manusia dengan manusia. Lalu yang terakhir adalah Palemahan yang mengatur urusan manusia dengan lingkungan.
1
5
2
Gb. 1 - 4 Suasana Desa Adat Penglipuran
3
4
6
Arsitektur Bali Majapahit adalah arsitektur tradisional Bali yang biasanya terletak di daerah dataran rendah. Pada umumnya terdiri dari beberapa massa bangunan dalam satu area pekarangan dimana masing-masing bangunan mempunyai fungsi sendirisendiri. Massa berbentuk empat persegi panjang dengan atap seperti pelana. Bangunan-bangunan tersebut terdiri dari Sanggah atau Merajan yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, Meten yang berfungsi sebagai ruang tidur, Bale Dangin untuk tempat mengadakan upacara, Jineng sebagai tempat menyimpan padi, dan Paon sebagai tempat memasak. Bangunan-bangunan ini diatur dalam suatu pola dalam satu area pekarangan dengan jarak dan besaran tertentu sesuai dengan fungsi dan status sosial pemiliknya. Satu area pekarangan dibatasi oleh tembok pembatas yang disebut tembok penyengker.
bali majapahit
PURA BATUAN BALI MAJAPAHIT
Pura Batuan merupakan bangunan cagar budaya yang berlokasi di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar, Bali. Pura ini merupakan salah satu pura tertua di Bali yang dibangun pada tahun 1022 masehi. Ketika kita memasuki wilayah pura ini, kita akan disambut dengan Kori Agung yang berbentuk seperti pintu masuk tinggi dan merupakan tempat keluar masuknya para dewa yang berupa pratima (patung kecil) dan diapit dengan beberapa patung penjaga berbentuk raksasa. Selain itu, di sebelah Kori Agung juga terdapat dua pintu kecil yang berfungsi sebagai pintu keluar masuknya umat menuju halaman utama pura, sehingga Kori Agung
juga merupakan batas antara halaman tengah dan halaman utama. Pada halaman tengah pura ini, terdapat sebuah bale agung yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan bale kulkul yang berfungsi untuk membunyikan kulkul (alat komunikasi tradisional Bali) sebagai tanda adanya pertemuan. Pada halaman utama pura, terdapat meru tumpang tiga dan Bale Pengiyasan. Selain itu terdapat juga bangunan Padmasana sebagai tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi.
1 9
2
3
Gb. 1-4 Detail Pura Batuan.
4
10
PURA MAOSPAHIT BALI MAJAPAHIT
Pura Maospahit merupakan salah satu objek wisata religi dan bersejarah di Bali. Pura yang dibangun sejak 2000 tahun Saka ini terletak di Jalan Dr. Sutomo, Kota Denpasar. Pembangunan pura digagas oleh Kebo Iwa, seorang patih Kerajaan Bali yang ahli dalam perundalgian. Pura ini menempati lahan seluas 77 are; pada awalnya Pura Maospahit hanya berukuran kecil, tetapi sejak Kerajaan Majapahit mulai mengekspansi wilayah Bali, pura ini akhirnya diperluas sehingga menjadi seperti sekarang. Oleh karena mendapatkan pengaruh Kerajaan Majapahit, pura peninggalan Kebo Iwa tersebut sedikit-banyak memiliki corak budaya Hindu Majapahit.
Saking sudah berumurnya, Pura Maospahit beberapa kali mengalami pemugaran dan perbaikan. Pemugaran yang telah dimulai pada 1958 tersebut dilakukan secara mendetail dengan tetap mengacu pada susunan asli bangunan. Pura Maospahit adalah pura yang bisa dibilang unik di Bali. Pura ini terdiri dari Panca Mandala, lima tingkatan kesakralan ruang; cukup berbeda dengan pura di Bali pada umumnya yang menerapkan Tri Mandala. Selain itu, keunikan juga terdapat pada detail relief ornamen dan patung Bima yang diukir langsung pada dinding gapura. Walaupun penuh dengan kesakralan dan area-area suci, Pura Maospahit tetap ramai dikunjungi oleh para wisatawan yang ingin menapak tilas sejarah leluhur mereka.
1
11
Gb. 1-2 Bagian depan Pura Maospahit Gb. 3 Detail Pura Maospahit
2
3 12
Stil Bali merupakan arsitektur Bali yang menonjolkan unsur dekoratif yang ditempelkan di atas unsur-unsur struktural arsitektur fungsional. Ciri-ciri arsitektur Stil Bali adalah penggunaan unsur dekoratif yang dibuat-buat dan berukuran besar, serta biasanya tiang dan tembok depan ditempeli dengan batu merah gosok berikut ornamen-ornamen berukir atau setengah berukir/lelengisan.
stil bali
BALE BANJAR GERENCENG Stil Bali Sebuah Harmoni Arsitektur Tradisional dan Modern Bale Banjar Gerenceng adalah sebuah balai pertemuan warga Dusun Gerenceng. Bale banjar ini terletak di Jalan Sutomo, Desa Pemecutan Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, berdekatan dengan Pura Maospahit. Menjadi salah satu landmark pintu masuk ke Kota Denpasar, Bale Banjar Gerenceng telah direvitalisasi fungsi dan bentuknya untuk meremajakan usia bangunan yang sudah tidak muda lagi dan juga menanggapi isu urban pada area dusun oleh perkembangan zaman. Adalah A. A. Yoka Sara, seorang arsitek senior Bali, sekaligus warga asli Banjar Gerenceng, yang dipercaya memegang peranan untuk menggagas konsep desain baru pada bale banjar tersebut. Pada proses pembangunan kembali Bale Banjar Gerenceng pada 2011 lalu, Yokasara menuangkan konsep tempekan yang secara filosofis membagi ruang menjadi dua bagian, yaitu poros yang menjadi pusat serta kangin-kauh dan kelod-kaja yang menjadi satelit di sekelilingnya. Konsep ini dirasa sangat cocok untuk keberadaan Bale Banjar Gerenceng sebagai ruang pertemuan dan akomodasi aktivitas urban dusun. Kini, Bale Banjar Gerenceng tidak sebatas digunakan untuk tempat pertemuanpertemuan adat; bale banjar yang telah selesai direvitalisasi dijadikan ruang serba guna: sanggar seni, tempat pertunjukan, ruang belajar, dan wadah kegiatan-kegiatan warga Banjar Gerenceng lainnya. Walaupun telah direvitalisasi, elemen-elemen bangunan asli tidak dihilangkan, seperti jineng1 yang masih tetap dipertahankan fungsinya di area sekitar bale banjar. Malah, posisi jineng yang awalnya terletak di bawah permukaan jalan sekarang dinaikkan lebih tinggi menghadap jalan, tujuannya untuk memperjelas keberadaan instrumen agraris dusun pada kawasan urban
15
di sekitarnya. Dengan demikian, masyarakart Banjar Gerenceng tidak kehilangan identitas dan unsur penting sebagai sebuah bangunan khas dusunnya. Berbicara tentang arsitektural bangunan, Bale Banjar Gerenceng memadukan konsep lokalitas-tradisional budaya Bali dan nuansa modern. Perpaduan ini dirasa sangat matching sehingga menciptakan impresi keharmonian pada estetika bangunan. Struktur dan bentuk atap pada Bale Banjar Gerenceng (seharusnya) akan menjadi daya tarik artistik yang luar biasa bagi para wisatawan yang berkunjung di sini. Atap tumpang sari2 yang ditopang oleh empat tiang besar pada ruang utama bale banjar ini mempunyai formasi tiga tingkatan yang menyimbolkan Tri Mandala. Atap bersusun ini juga membentuk delapan sisi pada rangkanya, menyerupai bunga padma. Di puncak atasnya terdapat menur dari tembaga yang mengisyaratkan harapan baik bagi warga Bale Banjar. Sekilas, bangunan bale ini memadukan secara rapi material lokal, terutama kayu dan tambahan meterial fabrikasi, seperti kaca pada bagian atap tumpang sari tersebut. _______________________________________ 1 lumbung padi; tempat untuk menyimpan hasil panen 2 atap susun atau bertingkat; atap khas pada bangunan bercorak Hindu
Gb. 1 - 5 Detail Bale Banjar Gerenceng
1
2
3
4
5 16
UBUD PALACE Stil Bali Ubud Palace merupakan salah satu tempat ibadah yang dapat digunakan sebagai meeting point dan tempat pelaksanaan acara tertentu, contohnya perayaan. Terletak di sudut jalan yang menghubungkan Jalan Raya Ubud dengan Jalan Suweta, Ubud Palace pun memiliki dua akses masuk atau keluar yang tentu dapat diakses melalui kedua jalan yang mengelilinginya. Seperti biasa—ketika memasuki wilayah Ubud Palace, pengunjung akan disambut dengan lahan kosong yang memiliki 4 bale di sudut-sudutnya. Lahan kosong tersebut umumnya digunakan sebagai tempat untuk menampilkan tarian. Bale pertama dinamakan bale gong, bale kedua digunakan sebagai kantor sebagai tempat konfirmasi untuk tamu-tamu resmi, bale ketiga adalah bale penyimpanan, dan bale keempat adalah bale sakasia yang berfungsi untuk menyimpan alat musik tradisional. Di antara bale gong dan kantor terdapat akses secara langsung menuju pemukiman warga, sedangkan diantara kantor dan bale penyimpanan terdapat gapura untuk akses ke tempat suci. Atap setiap bale
tersebut menggunakan ilalang, sedangkan gapura menggunakan batu merah, batu paras berwarna abu, dan batu lahar berwarna hitam yang dapat digunakan juga untuk membuat ornamen. Sedangkan kolom bale umumnya menggunakan kayu pohon nangka.
Gb. 1 - 4 Tampak dan detail Ubud Palace
1
17
2
3
4 18
ULUWATU TEMPLE Stil Bali
Pura Uluwatu merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali yang terletak di Desa Pecatu, Kecamatan Kuta Selatan. Salah satu keunikan dari pura ini adalah lokasi pendiriannya yang berada di ujung tebing yang menjorok ke laut dengan ketinggian hingga 97 meter dari permukaan air laut. Tempat paling suci dari kawasan pura ini dapat dicapai dengan menelusuri tangga yang diapit oleh pemandangan menakjubkan dari hutan di salah satu sisi dan lautan lepas di sisi lainnya. Dari segi tata letak, kawasan pura ini memiliki susunan hierarki yang semakin meningkat dengan semakin tingginya lokasi suatu pura—dengan bagian paling suci berada di ujung tertinggi dari tebing yang mengelilingi pura dan hanya dapat dicapai setelah menaiki 67 anak tangga utama. Tidak semua orang dapat mengunjungi tempat suci di ujung tebing ini. Hanya mereka yang dalam keadaan suci saja yang boleh memasuki tempat ini. Berbagai macam ornamen dan ukiran khas Bali dapat terlihat dengan jelas diaplikasikan pada bentuk gapura, tembok, dan altar suci atau meru pada pura ini dan berdasarkan
pengamatan terhadap bentuk-bentuk dan material bangunan yang digunakan di Pura Uluwatu, dapat disimpulkan bahwa pura ini termasuk dalam kategori arsitektur tradisional Bali Majapahit.
Gb. 1, 3-5 Detail Uluwatu Temple Gb. 2 Penjual souvenir di Uluwatu Temple
1 19
2
3
4
5 20
Contoh yang paling mudah untuk Arsitektur Bali Style barangkali adalah villa-villa yang tumbuh di Bali saat ini. Sebagian villa mengambil pola, tata letak, bentuk atap, dan unsur rupa lainnya dari rumah tradisional Bali (Majapahit) kemudian diaplikasikan pada bangunan villa yang baru, inilah yang kemudian disebut dengan Bali Style.
bali style
KOMANEKA RESORTS, MENIKMATI NUANSA TROPIS KHAS UBUD Bali Style
Komaneka Resorts merupakan kawasan perhotelan dan villa yang menawarkan upscale luxury lifestyle bagi para wisatawan dengan daya tarik keindahan alam Ubud, budaya Bali, serta profesionalitas dan keramahan pelayanan hotel bintang lima. Komaneka Resorts berlokasi di Jalan Bisma, Ubud, Kecamatan Gianyar, Kabupaten Gianyar, Bali; bisa ditempuh hanya sekitar 10 menit dari pusat Ubud. Resort ini berada di daerah lembah Sungai Campuhan yang masih asri sehingga tak heran nuansa alam khas tropis akan sangat terasa saat berkunjung ke sini, seperti lerenglereng persawahan dipadu dengan rerimbunan hutan kelapa. Selain itu, pihak resort juga sangat menonjolkan unsur khas pedesaan dan kekayaan budaya tradisional Ubud baik dalam hal desain arsitektural bangunan, maupun pensuasanaan dan teknis pelayanan. Oleh karenanya, Komaneka Resorts pernah tercatat sebagai CondÊ Nast Travel’s hot list pada 2009 and TripAdvisor's Travelers' Choice Best 25 Hotels di Indonesia dan Asia pada 2016.
bangunan villa, fasilitas-fasilitas lain yang tersedia di Komaneka Resorts antara lain restauran, infinity pool, gym, dan balkon yang luas di setiap kamar hotel untuk tempat berjemur. Interior bangunan ditata dengan gaya arsitektur tropis yang modern dengan penambahan dekorasi-dekorasi khas Bali. Setiap ruang yang ada terasa nyaman: sejuk dari luar-hangat di dalam oleh penggunaan material utama berupa kayu hitam. Restauran di sini menghadap langsung pada infinity pool di bawahnya. Main course yang tersedia adalah makanan-makanan tradisional Indonesia, seperti ayam betutu khas Bali, bebek goreng krispi dengan sambal-lalapan, dan gadogado, serta juga terdapat jenis makanan internasional, seperti pasta, pizza, dan salad. Selain pelayanan yang bersifat umum, Komaneka Resorts juga menyediakan tempat spesial untuk candlelight dinner jika wisatawan menginginkan tempat pertemuan yang lebih romantis.
Bangunan utama di sini menghadap panorama perbukitan dan menyediakan rooftop lobby dengan desain yang sangat menarik. Selain kamar-kamar hotel dan bangunan-
1 23
2 Gb. 1 - 3 Suasana Komaneka Resort
3 24
MAYA SANUR Bali Style
Maya Sanur Resort merupakan salah satu penginapan di Sanur, Bali, yang memiliki keunikan massa dan fasade bangunannya. Bagian depan hotel didominasi material batu alam dan tanaman gantung. Sedangkan bagian samping bangunan yang merupakan balkon dari kamar-kamar hotel, berbentuk seperti sangkar burung besar dari kayu. Bagian belakang merupakan kafe yang langsung berhadapan dengan Pantai Sanur. Selain itu, disana terdapat akses menuju roof garden yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan yang bersifat outdoor. Hotel ini memberikan pengalaman ruang yang kaya bagi pengunjungnya. Di bagian entrance, pengunjung akan menaiki tangga dengan kafe di kanan kirinya. Kemudian bertemu dengan area drop off yang berbentuk seperti terowongan karena atapnya menghubungkan gedung utama hotel dan kafe di depan.
Terdapat jalur pejalan kaki di samping bangunan utama untuk dapat langsung menuju kafe yang berada di dekat pantai. Jalur ini dinaungi oleh pepohonan dengan area dek kayu di sebelah kirinya. Pada dek kayu tersebut terdapat area duduk dan kolam renang. Perpaduan warna-warna alam seperti coklat kayu, biru air, hijau tanaman rambat pada balkon dan krem dinding batu tempel memberikan kesan menenangkan dan menyenangkan bagi pengunjung. Di bagian belakang bangunan utama, terdapat akses jalan untuk menyusuri roof garden hotel. Dari roof garden, pengunjung dapat melihat Pantai Sanur dari ketinggian. Di ujung roofgarden ini terdapat bale kentongan khas Bali serta area dek kayu dengan bunga-bunga bougenville.
1
Gb. 1 - 5 Detail dan suasana Maya Sanur
25
2
3
4
5 26
THE THREE MOUNTAINS (TIGA GUNUNG) Bali Style The Three Mountains merupakan sebuah aula pertemuan yang berada di daerah Serangan. Bangunan dengan konstruksi dasar berupa bambu ini mendapatkan nama sesuai bentuknya yang menyerupai tiga buah puncak gunung. Secara historis, konon bangunan bergaya Bali Modern tersebut pernah didirikan di dekat Green School, untuk galeri perhiasan John Hardy di Ubud. Kemudian pihak Bali Turtle Island membeli desain bangunan tersebut, dan merekonstruksi ulang desain bangunan dengan bantuan Bapak Andry Widyowijatnoko. Jenis bambu yang digunakan sebagai bahan konstruksinya adalah bambu petung, yang menjamin usia Three Mountains sampai 10-15 tahun sejak didirikan. Proses konstruksi dilakukan selama 6-7 bulan dari tahun 2013, dengan biaya sekitar 4,5 milyar rupiah. Kini bangunan tersebut dimiliki oleh Bapak J. K. Budiman.
yang diameternya lebih besar diletakkan di bagian bawah, dan yang kecil untuk bagian atas. Kolom tersusun dari beberapa buah bambu yang disusun secara bersilangan. Pada sekeliling bangunan, terdapat repetisi kolom-kolom pendukung yang menyerupai bentuk huruf “V�. Terdapat tiga buah bukaan berupa skylight untuk tempat cahaya masuk dan jalan keluar udara panas. Skylight ini diperkuat dengan bantuan rangka besi pada strukturnya. Aula ini menggunakan alang-alang dari Pulau Lombok sebagai penutup atapnya. Bangunan ini menerapkan konsep Bali, dimana kekuatan struktur terletak di jurai dan balok, sehingga tidak memakai kudakuda pada struktur atapnya.. Perawatan bangunan sendiri dilakukan tiap 6 bulan melalui pengecekan tiap bambu, pemberian suntikan, atau pemberian semprotan cairan anti rayap secara berkala.
Saat dibangun ulang, bagian bambu
1 27
2
3 Gb. 1 - 4 Detail dan suasana The Three Mountains
4 28
Arsitektur Bali Modern merupakan fenomena baru tampilnya bangunan tanpa ornamen maupun ragam hias seperti pada bangunan umumnya di Bali. Hingga saat ini arsitektur Bali Modern masih dipertanyakan apakah dapat dikategorikan sebagai arsitektur Bali.
bali modern
BISMA EIGHT HOTEL bali modern
Hotel Bisma Eight terletak di Ubud dan tidak jauh dari Ubud Monkey Forest dan Museum Puri Lukisan. Hotel yang merupakan hasil karya Biro Arsitek “Arte� ini dipimpin oleh Ketut Artana dan dimiliki seorang pengusaha dari Singapura. Dengan mengusung konsep menyatu dengan alam, taman yang menyerupai hutan pun diterapkan di area Hotel Bisma Eight ini untuk mendukung konsep tersebut. Hotel ini menyediakan 38 kamar dengan tiga jenis suite: 10 Garden Suite; 10 Canopy Suite; dan 18 Forest Suite. Sejak pertama kali menjejakkan kaki ke dalam lobby Hotel Bisma Eight, kesan minimalis yang diusung pada bangunan utama hotel ini dapat langsung dirasakan oleh para pengunjung. Kesan itu muncul
dari penggunaan material baja dan beton ekspos yang memperkuat kesan minimalis pada bangunan hotel. Di sisi lain, interior kamar Hotel Bisma Eight banyak menggunakan material yang memiliki warna dove—selain untuk mengurangi efek mengilap pada material, penggunaan warna ini juga bertujuan untuk memudahkan proses maintenance atau perawatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara umum Hotel Bisma Eight dapat dikatakan sebagai arsitektur Bali Modern yang menerapkan konsep Tri Hita Karana dalam hal hubungan alam dan manusia pada bangunan hotel yang dirancang sangat modern.
1
31
2 Gb. 1-4 Suasana di Bisma Eight Hotel
3
4 32
HOUSE OF KWARTANTAYA bali modern
House of Kwartantaya merupakan salah satu proyek yang digarap oleh arsitek Yoka Sara yang berlokasi di Denpasar, Bali. Sama seperti proyekproyek Yoka Sara yang lainnya, karya ini dibuat dengan menerapkan sistem nawa sanga di mana bagian rumah dibagi menjadi sembilan area yang menjadi dasar peletakan ruang di rumah tersebut. Dengan meletakkan pura sebagai tempat tersuci di ujung barat laut, ruang lainnya pun disusun berdasarkan tingkat privasi masing-masing ruangan di dalam sistem nawa sanga tadi. Ruang dengan privasi yang lebih tinggi—seperti kamar tidur utama, kamar tidur anak, dan ruang kerja—diletakkan di lantai dua, sedangkan ruang yang berfungsi sebagai penerima tamu, ruang
keluarga, dapur dan, ruang makan terletak di lantai dasar. Pada bagian basement rumah diisi oleh garasi, gym, dan pekarangan. Dengan menggunakan kaca sebagai selubung utama dari rumah ini, suasana alam pun dapat dihadirkan dengan begitu apik. Pemandangan kolam dan pekarangan di sekeliling bagian utama bangunan pun dapat dinikmati pengguna dari berbagai sudut dan ruang. Selain itu, penggunaan material kayu di setiap sudut rumah pun menambah kesan hangat dan homey yang kental di dalamnya. Didukung dengan pencahayaan dan penghawaan yang baik, kenyamanan pun dapat tercipta dengan baik di dalam rumah ini.
1
2
33
3 Gb. 1-5 Suasana di House of Kwartantaya
4
5 34
HOUSE AKANA (OG ARCHITECT) bali modern
Dirancang di daerah Sanur namun sedikit jauh dari pantai, hotel ini direncanakan akan diperuntukkan bagi tourist kelas menengah, namun dapat mencicipi fasilitas yang mengagumkan. Hotel karya OG Architect ini mulai dibangun pada tahun 2012. Bangunan ini memiliki 32 kamar dengan 3 lantai diatas tanah, dan 1 lantai bawah tanah. Denah bangunannya berbentuk U, dengan lobi di depan dan kamar tamu ada di samping kanan-kiri serta di lantai atas. Tiap-tiap kamar di sayap kanan-kiri memiliki balkon yg menghadap ke void bagian tengah dengan pemandangan kolam renang. Sedangkan kamar bagian depan memiliki balkon menghadap jalan yang memiliki kisi-kisi kayu sebagai secondary skin dari fasade utama hotel ini.
kayu yang cukup dominan pada fasadnya. Suasana Bali yang ada timbul oleh material batu alam tempel yang ada pada sebagian kolom dan dindingnya, serta pada interior kamar. Selebihnya bangunan ini terasa sangat modern. Terdapat delapan kamar VIP pada lantai 1 yang memiliki desain kamar mandi semi terbuka. Target penyewa kamar ini adalah wisatawan yang telah berusia lanjut, sehingga mereka tidak perlu menaiki tangga. Sedangkan lantai 2 dan 3 ditargetkan untuk wisatawan yang berusia lebih muda.
Bangunan ini memiliki langgam Modern karena kesan Bali, baik dari material maupun fasade dan massa bangunannya, tidak terlalu kental terasa. Konstruksinya menggunakan beton, dengan unsur
1
35
2 Fig. 1 - 2 Suasana House Akana
36
VILLA WASTRAKU bali modern
Keindahan bangunan bergaya Bali Modern tercermin pada salah satu rumah di Canggu, Bali. Bangunan ini menerapkan konsep ‘less floor, less roof, and less wall’, dan dirancang oleh seorang arsitek yang terampil dalam mengolah pengalaman meruang, bernama Yoka Sara. Rumah tinggal ini bernama Vila Wastraku. Dibandingkan rumah-rumah di Bali pada umumnya, Vila Wastraku ini tidak memiliki unsur arsitektural Bali yang terlalu dalam. Hal ini ditemukan melalui penggunaan secondary skin untuk fasade atas rumah. Lapisan kedua ini memiliki repetisi garis-garis, membuat bentuk geometris dinamis dari kayu dan baja. Terdapat pula penggunaan dinding beton berbentuk persegi pada bagian bawah. Pengunjung mulai dapat menangkap konsep bangunan setelah memasuki bagian dalamnya. Konsep “less floor” yang digunakan pada bangunan, membuatnya memiliki sedikit ruangan yang beralaskan lantai. Konsep “less wall” sangat terasa pada bangunan ini melalui dominasi material kaca. Transparansi kaca dikombinasikan dengan hobi klien dalam mengoleksi kain, sehingga interior bangunan tidak sepenuhnya tembus pandang.
Konsep terakhir yang disajikan adalah “less roof”. Hunian tidak terlalu banyak memiliki atap yang menutupi bangunan. Overstack dipanjangkan sedikit dan dihubungkan satu dengan yang lain dengan tali, memungkinkan pertumbuhan tanaman rambat ke atas bangunan. Selain tanaman rambat, penggunaan material organik lainnya berupa papan-papan kayu, dan air yang mengalir pada inner court yang besar. Perpaduan unsurunsur ini memberikan kesan natural di dalam bangunan. Melalui konsep bangunan tersebut, tercipta sistem penghawaan ruang yang sangat unik. Pengaturan bukaan melalui unsur lantai, dinding, dan atap, membuat penghawaan udara di dalam bangunan menjadi lebih maksimal. Meskipun bangunan ini tidak mengadopsi arsitektur Bali tradisional, namun hasil desain bangunan ini tidak kalah dibandingkan dengan hunian lain di luar Indonesia. Konsep-konsep unik yang ditawarkan oleh Yoka Sara membuat villa ini terasa spesial melalui penghawaan alaminya di tengah kondisi tropis Indonesia.
1 37
3
2 Fig. 1 - 5 Detail dan suasana Villa Wastraku
4
5 38
Rumah Desa Tenganan Jessica
Desa Penglipuran Thea Oribel
39
Banjar Gerenceng Stepahnie Nadya
Kamandalu Ubud Clara Christy Tavis
sketsa
Tenganan Pegringsingan Ulama Andika
Villa Wastraku
Bisma Eight Hotel
Three Mountains Ulama Andika
40
SPONSOR DAN MEDIA PARTNER
sponsors :
media partners :
School of Architecture, Planning and Policy Development Institut Teknologi Bandung (ITB) Labtek IX B Ganesha 10, Bandung 40132 Indonesia
www.sappk.itb.ac.id www.ar.itb.ac.id