![](https://assets.isu.pub/document-structure/210614042419-0c720366be6a93bcc02508eb355b3c53/v1/69f0e41f3bda963beda6887462ffe0d9.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
9 minute read
opini
SKaNDal CItaCIta PeNDIDIKaN SaStRa
Oleh eKO tRIONO
Advertisement
/1/ tahun ajaran baru 2011/2012 telah dimulai di sekolah, citacita disemai, dan impian dilepaskan setinggi awan suci, tetapi siapa di antara mereka yang datang dan sengaja bercitacita menjadi seorang sastrawan? Bukan pegawai negeri (polisi, guru, tentara), artis, dokter, dan seterusnya. tidak, nyaris tidak ada, sebab tidak “wajar” yang demikian, kecuali pada beberapa sekolah di Madura yang anak didiknya telah berani bercitacita menjadi seorang penyair, pekerja puisi. Padahal citacita mereka adalah gambaran masa depan bangsa pada suatu hari nanti.
Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, topik ini memang terdengar tidak penting untuk dibicarakan. Mereka terbiasa—mungkin juga dibiasakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. Jadilah kemudian: simbol sebuah mata dari rantai lingkaran setan yang terus melilit dunia literasi Indonesia, sebuah ...mata sangkur [yang] menghujam mata batin... karena mereka terlalu serakah hanya... mengejar mata uang (dinukil dari sajak W.S. Rendra, Mata Kejora).
Para orang tua dengan sadar menjauhkan anak jadi pekerja sastra, sebagian besar karena alasan masa depan ekonominya kelak, dan akibatnya anak tak pernah sempat menulisnya menjadi citacita, bahkan yang paling rahasia di antara citacita rahasia sekalipun. Dan hancur—seperti kata para ahli—hancurlah kemudian, dengan perlahan yang menyakinkan, sebuah bangsa yang telah jauh dari bacasastra: dengan menjangkitnya ketidakhumanisan, penindasan, korup, ketidakadilan sosial, dan seterusnya.
Dengan begitu, manjurlah pula hubungan sebabakibat ini: jika ingin menghancurkan sebuah umat jauhkanlah mereka dari kitab sucinya (penulis sarikan dari perkataan seorang nabi), dan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa jauhkanlah mereka dari buku dan literasinya. apa, kenapa, dan bagaimana semua ini bisa disadari kembali?
/2/
Sengaja penulis menggunakan istilah “disadari kembali”, karena pada akhir abad XVIII cikal Indonesia sadar bahwa penjajahan (yang sama dengan penderitaan) yang menghantui selama berabad, salah satu sebabnya adalah kegagalan menguasai mantra dari ilmu dan pengetahuan. Mantra itu bernama: tulisan atau kompleksnya adalah literasi. awal 1900an munculah beragam surat kabar pribumi dan pergerakan dimulai dengan pena; koordinasi, propaganda, transfer pengetahuan, dan seterusnya. Sampai kemudian mereka berhasil meraih kemerdekaan. tentu kenyataan itu bukanlah ingatan jamak dari manusia Indonesia.
Sebagian besar, ketika mengingat perjuangan, hanyalah kenangan tentang darah, senjata, pertempuran, dan kematian. Ini salah satu biang kerok ganjil yang nyaris mewabah hingga kini, karena semua monumen berpatung (bahkan nama jalan) dan teks sejarah perjuangan kemerdekaan didominasi oleh dunia kekerasan militer. tidak ada nama jalan seorang sastrawan atau teks dari judul pledoi Indonesia Menggugatnya Bung Karno yang membawa bangsa ini dipeluk dukungan semesta, dan juga catatan atau karya lain dari para pahlawanpahlawan nonmiliter, lebih tepatnya pahlawanpahlawan literasi (tidak melulu pahwalan revolusi) seperti Chairil anwar dengan propaganda beberapa puisinya di jaman perjuangan.
Dan, bukankah juga Bung Karno, orang nomor satu yang berteman dengan Chairil itu, tidak bertempur di medan perang? Ia justru
opini
menghisap jutaan buku, merakit kata, menyetel strategi, dan menggempur dengan jitumenyakinkan dalam teks, termasuk proklamasi hingga orangorang bertepuk girang dan kita semua menjadi senang? Meski kemudian Bung Karno aneh juga ternyata. Ia yang memulai mode pelarangan buku dengan keluarnya UU Nomor: 14/PNPS/1963.
Kilas balik ini kecil, tetapi penting artinya untuk membuka beberapa pemikiran dasar dari sikap antiliterasi sebagian besar penduduk Indonesia. Pertama, sejumlah oknum telah menciderai sejarah. Sejarah adalah kiblat cerita dan citacita. Perhatikanlah efeknya: menjadi tentara lebih terkesan mulia, dan dianggap pahlawan, daripada menjadi seorang sastrawan. Ini kemudian melebar tradisi menjadi berebut kolom citacita dalam peluk dan naungan gaji abadi hingga mati, sebagai pegawai negeri (segala jenis pegawai negeri dari ‘seleksi’ sampai pemilu), dengan tak peduli cara apapun harus dilalui. Percayalah, dari sinilah korupsi, kolusi, dan nepotisme sesungguhnya dimulai; ketika uang bulanan resmi telah menjadi citacita yang paling benderang untuk dijunjung tinggi, untuk disampaikan ke anakanak dan dituliskan ke selasela putih awan suci di langit tuhan yang seluas bumi.
Kedua, bangsa kita masih dijajah dan akan menghancurkan dirinya sendiri. Hanya bangsa yang masih dijajahlah yang mual terhadap literasi. Bedakan dengan China, Jepang, eropa, amerika, dan negara lain yang benarbenar merdeka. tandanya gampang: sejauh mana daya baca dan daya karya warga negaranya, bukan daya citra dan daya konsummanjaisnya. Sekali lagi kita masih dijajah, dijajah oleh “negeri” lain dan pemikiran yang tidak tepat dari dalam diri kita sendiri. Itu terlihat dari citacita para kanak masuk sekolah setelah libur panjang berkemas pulang. Sungguh, citacita mereka yang ditulis pada balon dan dilambung tinggi itu adalah citacita sebuah bangsa pada kelak nanti.
/3/
Kita memerlukan revolusi. Dan, berhentilah memaknai revolusi secara fisik, secara ornamental. Itu penyakit.
Revolusi itu kita namai: revolusi citacita. Sementara ini, anakanak bercitacita dengan meniru keadaan sekelilingnya atau atas dorongan orang tua (yang cenderung mempertimbangkan aspek ekonomi). Padahal, jumlah penduduk Indonesia terus membesar. Jika pekerjaan yang diperebutkan ituitu saja, maka karakter buruk (KKN) dalam persaingan tidak dapat dihindarkan dan bangsa ini akan berjalan di tempat karena banyak sektor lain yang tidak tergarap: seni, budaya, sastra, hutan, sawah, gunung, lautan, dan seterusnya. anakanak bangsa harus memiliki citacita yang proporsional dan rasional. termasuk boleh bercitacita menjadi seorang sastrawan.
Dengan demikian, pendidikan sastra di sekolah pun jadinya bukan lagi sekedar formalitas kurikulum sewajarnya, yang berarti termasuk guru ajar di dalamnya, melainkan semacam anak tangga yang harus dikuasai untuk bisa mencapai citacita menjadi seorang sastrawan. Ini akan membuat sektor literasi bangsa kembali bangkit. Yang artinya, akan kembali merevolusi segala macam penjajahan baik atas nama politik maupun ideologi, yang selalu menutupi kejujuran. Percayalah, karena sastra senantiasa mengajarkan keindahan dan kebaikan terhadap sesama manusia, bukan sebaliknya.
istimewa
eko triono pekerja prosa, esai, dan puisi, mahasiswa PBsi unY
opini
PeNDIDIKaN MeNgHaRMONI BeRKeaRIFaN lOKal
Oleh Dr. PUtU SUDIRa, MP.
Pendidikan seharusnya dapat mengharmoniskan hidup manusia pada setiap zamannya secara seimbang dan berkelanjutan tanpa batas dan keterbatasan. Dalam ajaran tri Hita Karana digariskan keharmonisan hidup manusia ditentukan oleh tiga domain yaitu: (1) keharmonisan antara manusia dengan tuhan; (2) keharmonisan antarsesama manusia; (3) keharmonisan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Ketiga dimensi ini merupakan hukum yang semestinya harus dipatuhi dalam menata dan mengembangkan pendidikan.
Ketiga dimensi ini mengimplikasikan bahwa pendidikan harus berkembang sejalan dengan konteks perkembangan jaman dan tetap kuat tidak tercerabut oleh budaya global tanpa bentuk. Kerusakan sebagian atau keseluruhan dari ketiga dimensi ini sama dengan rusaknya lingkungan dan atmosfir pendidikan.
Menurut amir Sodikin (2005) Indonesia semakin kehilangan identitas di tengahtengah kebhinekaan dan kebesaran budaya nusantaranya. Budaya lokal terbengkalai bagaikan pakaian kusut di gantungan terus menerus mengalami intrusi budaya global. Pada saat kekuatan kebangsaan sedang tidak sehat, gempuran budaya global tidak terelakkan, semangat sukuisme dan provinsialisme semakin menguat, bahkan terkadang keluar dari konteks keIndonesiaan, maka integritas dan identitas nasional menjadi semakin terancam (Hamengku Buwono X, 2008).
Penanganan dampak intrusi budaya global terhadap budaya lokal salah satunya dapat dilakukan melalui inovasi pengembangan kualitas, perluasan akses, dan relevansi pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal. Universitas Negeri Yogyakarta perlu segera menempatkan diri sebagai lembaga pendidikan terdepan dalam meneliti dan mengembangkan pengetahuan kearifan lokal. Inovasi pengembangan kualitas, perluasan akses, dan relevansi pendidikan berbasis budaya dan kearifan lokal diharapkan dapat semakin mengenalkan dan meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap budaya bangsa sekaligus meningkatkan kualitas, penciri, dan daya saing tenaga kerja. Di samping memperhatikan konteks perkembangan globalisasi, inovasi dan pengembangan pendidikan juga sangat perlu memperhatikan konteks lokal. Sasarannya agar pendidikan dapat berkembang secara seimbang dan berkelanjutan, memberi kontribusi pada keharmonisan dan pelestarian lingkungan, pelestarian nilainilai budaya, pengukuhan identitas bangsa, bijak dalam menggunakan sumber daya alam, efektif efisien dalam melakukan perbaikan tenaga kerja terdidik dan terlatih.
Untuk menghadapi globalisasi, wahana terbaik pengembangan pendidikan adalah melalui wawasan kebudayaan dengan menguatkan kearifan lokal karena budaya memiliki asasasas hakiki. Sejalan dengan pendapat Cheng (2005) bahwa pengembangan diri manusia melalui pendidikan berkearifan lokal dapat didekati menggunakan teori pohon, teori kristal, dan teori sangkar burung. teori Pohon memiliki karakteristik dasar bahwa pendidikan harus mengakar pada nilainilai dan tradisi lokal tetapi menyerap sumber sumber dari luar yang relevan. Implikasinya bahwa kurikulum harus didasarkan pada asetaset nilainilai budaya lokal seperti ideologi tHK tetapi terbuka terhadap pengetahuan dan teknologi global. teori Kristal dengan ciri pokok adalah dimilikinya bibit atau benih yang dapat dikristalisasikan dan diakumulasikan pada pengetahuan global persis seperti bentuk lokalnya. Desain dari kurikulum dan pembelajarannya diawali dengan identifikasi kebutuhan dan nilainilai sebagai benih atau bibit. Dampak yang diharapkan dari hasil pendidikannya adalah pribadi
Pendidikan adalah aksi reaksi interaksi antara manusia dengan keseluruhan dimensi lingkungan yang terkondisi.
opini
lokal yang utuh dengan beberapa pengetahuan global, mampu bertindak dan berpikir lokal menggunakan caracara global (act locally and think locally with increasing global techniques). teori Sangkar Burung dengan ciri keterbukaan terhadap pengetahuan dan sumberdaya global tetapi dibatasi dengan framework lokal yang tetap. Pengembangan pengetahuan lokal dalam globalisasi pendidikan membutuhkan framework lokal sebagai proteksi dan penyaring. Dampak yang diharapkan dari pendidikan dengan teori ini adalah pribadi lokal dengan pandangan global yang dapat bertindak lokal dengan pengetahuan global terfilter/terpilih (act locally with filtered global knowledge).
Inovasi dan pengembangan kualitas pendidikan di era industri berbasis pengetahuan diharapkan mampu: (1) menggerakkan siswa untuk berpikir kritis, bertanggungjawab dalam mengelola informasi dan pengetahuan (goldberg & Caufal, 2009); (2) mematangkan emosi, mental, dan moral siswa untuk bekerjasama satu sama lain dalam mengelola dan memecahkan permasalahan hidup; (3) menggunakan teknologi baru (ICt) secara interaktif, efektif, efisien, dan bertanggungjawab; (4) menumbuhkan kualitas diri individu siswa secara utuh; (5) membangun budaya dan jiwa wirausaha dalam berkarya, belajar, dan melayani secara produktif; (6) bersifat kontekstual sesuai dengan desa, kala, dan patra (tempat, waktu, kondisi riil di lapangan) (Sudira, 2011; Djohar, 1999; Wagner, 2008; Billet, S.,2009; tessaring, M., 2009; Rychen, D.S., 2009; Overtom, 2000).
Pendidikan tidak lagi dipahami secara sederhana hanya sebagai pendidikan dalam kerangka transmisi pengetahuan dan keterampilan kerja sebagai wahana pemenuhan kebutuhan ekonomi dan ketenagakerjaan wilayah suatu negara, melainkan sebagai pendidikan dalam rangka memproduksi kebudayaan, proses inkulturasi akulturasi memperadabkan generasi dan mengembangkan potensi diri. Pendidikan dituntut proaktif dan tanggap terhadap perubahanperubahan ekonomi, politik, sosial, budaya, mengadopsi strategi jangka panjang, dan membumikan budaya masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan pribadinya (gleeson,1998:47; Rau, 1998:78; Bailey, Hughes, & More, 2004;100; Clarke & Winch, 2007:130; Raelin, 2008:46; Bruner, 2008).
Dalam era platinum memasuki tahun 2011 seluruh aspek pendidikan di seluruh dunia termasuk pendidikan semakin dihadapkan pada berbagai macam peluang dan tantangan seperti globalisasi politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan otonomi daerah. transformasi internasional menuju desa global, ekonomi berbasis pengetahuan, kuatnya tuntutan kebutuhan pembangunan masyarakat, persaingan regional dan internasional telah berpengaruh besar terhadap perubahan paradigma pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia.
Diperlukan adanya transformasi pendidikan dari paradigma lokal yang sempit atau paradigma global tanpa akar budaya yang kuat menuju paradigma baru yaitu triplisasi. triplisasi (triplelisasi) adalah konsep berpikir reflektif yaitu berpikir mondar mandir di antara individualisasi, lokalisasi, dan globalisasi pendidikan. Bagaimana secara arif dan seimbang mendudukkan posisi proses individualisasi di antara perkembangan lokal dan global sehingga terjadi transformasi bernilai tinggi bagi perkembangan suatu bangsa, masyarakat suatu daerah, dan individu di tengah perkembangan dunia global platinum (gloplat). ada keseimbangan di antara pandangan ke dalam diri dan ke luar diri, lahirbatin, keseimbangan di antara kebutuhan lokal (nasional) dan global. Sebagai harapan adalah terjadi proses act locally develop globally secara utuh dan benar sesuai tahapantahapan kehidupannya.
![](https://assets.isu.pub/document-structure/210614042419-0c720366be6a93bcc02508eb355b3c53/v1/49a6c3c101d7f5565cf9b448f1fcccbe.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
istimewa
dr. Putu sudira, mP. dosen jurusan Pendidikan teknik elektronika ft unY