5 minute read
cerpen
Segelas Susu Coklat hingga Sarjana
Oleh tRIYaNtO P. NUgROHO
Advertisement
Ibuku tidak membelikanku PS (playstation) atau nintendo untuk “menemaniku” di rumah (rumah teman SDku semuanya jauh dari rumah) tapi entah kenapa ia malah membelikan majalah anakanak dan berbagai buku cerita. alhasil, sebagian besar temanku saat itu telah canggih bermain game, sedangkan aku telah menamatkan bertumpuk majalah.
Pernah aku minta ke ibu untuk dibelikan juga playstation. Waktu itu baru saja terima rapor. Dan aku meraih rangking 1. Pikirku, wajar saja bila aku minta hadiah atas prestasi ini.
Waktu itu ibu duduk di kursi ruang tamu dan sedang menjahit baju. Bukan menjahit sebenarnya, ia hanya memasang kancing baju saja. Ruang tamu rumahku hanya diisi satu meja kecil dan kursi sofa butut yang sudah tak empuk lagi.
“Bu, aku pengen PS,” pintaku sambil duduk di sampingnya.
Ibu tak langsung menjawab. Ia tetap melanjutkan memasang kancing baju. tangan kirinya menekan kancing, sedangkan tangan kanannya menarik benang dan jarum.
“Bu!” panggilku dengan tak sabar.
Mendengar panggilanku, ia hanya menatapku sebentar. lantas menjawab singkat, “Belum ada uang ‘le.”
Mendengar jawaban seperti itu, aku langsung diam. tak berani membantah atau merajuk.
Ibu melanjutkan menjahit bajunya tanpa berkata lagi padaku. Semenit kemudian, setelah kami saling diam, aku beranjak berdiri dan langsung masuk kamar. Dalam hati aku merasa sangat kesal. Kenapa tidak mau dibelikan? Bukankah aku telah juara kelas? Dan kalau juara kan bisa dapat hadiah sesuai permintaan? Bukankah harusnya begitu?
Kejadian itu yang membuat aku bertekad untuk tak minta apaapa lagi kepada ibu, selain halhal pokok yang berhubungan dengan sekolah tentunya.
Kini baru aku sadar. Mungkin begitulah cara ibuku, yang tak lulus SD, mendidikku agar aku tidak terjebak dalam dunia game yang justru dapat menurunkan prestasi belajarku. Mafhum bahwa banyak anak tidak belajar karena asyik bermain PS.
***
Sedari SD, ibu selalu membuatkanku segelas susu coklat sebelum berangkat sekolah. aku, hingga sekarang, memang tak terbiasa sarapan pagi. Rasanya kok tidak ada nafsu makan di pagi hari. Perutku selalu menolak untuk dimasuki nasi pada jam pagi. Sampai sekarang pun dalam sehari cuma makan siang dan malam hari. Kadang kalau punya uang lebih bisa tambah makan sore.
Karena kebiasaan itu, ibu lalu menggantinya dengan segelas susu coklat. Selalu susu coklat. tak pernah diganti susu putih atau susu sapi. aku juga tak tahu alasannya, padahal aku juga doyan minum susu sapi.
aKHIRNYa aku bisa memakai toga. Duduk bersama ratusan wisudawan lainnya dalam ruang auditorium kampus. Bangga sekaligus haru, karena lebih dari enam tahun aku menempuh kuliah di kampus pendidikan ini. Jangan dikira bahwa lamanya aku lulus berarti aku bodoh. tidak! aku bukanlah orang bodoh dan pemalas, bila diukur dari raihan IPK. Buktinya IPKku mencapai 3,46: Sangat Memuaskan. Hanya saja sebagian besar waktu kuliah aku habiskan untuk mengurus berbagai organisasi kemahasiswaan. Walaupun bagi sebagian orang perbuatanku itu menjadi semacam apologi saja. tapi itu bukan persoalan penting bagiku. Hal terpenting dalam wisuda ini pun bukan mendengarkan sambutan Pak Rektor atau menerima ijazah dari Dekan. Yang teramat penting di hari ini adalah melihat senyum bahagia di wajah ibuku. Ya, hari ini adalah pelunasan janjiku pada ibu untuk meraih gelar sarjana.
Makanya sedari tadi aku malah sibuk melihat ke arah barisan kursi para orang tua. Berkalikali aku menengok ke belakang, kontras dengan para wisudawan lain yang fokus menatap podium. Cukup sulit melihat ibu, karena jarak tempat duduk kami memang berjauhan. terpaut sekitar 50an kursi. aku hanya bisa melihatnya sepintas. Wajahnya teduh. Nampak bingung dalam kerumunan ribuan orang ini. tapi seulas senyum tetap terlukis di wajahnya. Menambah indah krudung biru yang khusus dibelinya untuk hadir dalam wisuda ini.
***
Ibuku saat ini telah berusia 57 tahun. tubuhnya tergolong pendek. Kalau disandingkan denganku, tingginya hanya sebahuku saja. Kulitnya coklat tua, sama denganku. Rambutnya juga sama denganku, hitam lurus. tapi seiring dengan bertambahnya usia, di selasela rambutnya telah nampak ramai oleh uban.
Ibuku bukanlah seperti kebanyakan ibuibu saat ini. Ia tidak lulus SD. Nenek pernah bercerta bahwa ibu hanya pernah sekolah hingga kelas 1 SD saja. Padahal menurut nenekku, ibu tergolong murid pintar saat itu. Sayang, keterbatasan biaya membuat ibuku putus sekolah di tengah jalan. akibatnya ibu tak bisa membaca dan menulis dengan lancar. Kalau ibuibu yang lain akrab dengan Facebook, ibuku mengirim dan membaca SMS pun tak bisa.
Sejak kecil ibu tak pernah mengajariku belajar. Mungkin karena memang ia tak bisa “mengajarkan” materi pelajaranku. Ia hanya sering menyuruhku belajar.
“Wes garap PR durung ‘le?” begitu ucap ibu tiap malam.
Walaupun begitu, ibu sangat memperhatikan kebutuhanku dalam belajar. Misalnya, sewaktu kecil aku sering di rumah sendiri, sedang ayah dan ibu ke pasar untuk berdagang.
cerpen
Susu coklat buatan ibuku benarbenar terasa spesial. Ibu menyajikannya bukan di gelas biasa, dengan cangkir atau dalam gelas besar. Bukan! Ibu selalu menggunakan mug, yang ukurannya tidak terlalu besar tapi juga tidak terlampau kecil. Hanya ada tiga mug di rumah. Satu bergambar Mickey Mouse, dua bergambar Manchester United, warna hitam dan merah. Mugmug itulah yang menemaniku secara bergiliran tiap pagi.
Dari segi suhu, susu buatan ibu juga tak terlalu panas atau dingin. Ibu selalu membuatnya sangat pas untuk sekali teguk. Caranya, ibu selalu menambahkan air dingin, sehingga suhu panasnya menjadi berkurang.
Dari segi pemberian gula, ibu biasanya hanya memakai takaran 23 sendok makan. Ini menambah manis tapi tetap membuat rasa coklatnya masih kuat.
Itu semua dilakukan ibuku semenjak aku duduk di bangku SD hingga kini meraih gelar sarjana. Jadi, kalau dihitung ibu telah membuatkanku susu cokelat lebih dari 6570 gelas selama 18 tahun!
***
Begitulah. Hari ini aku ganti membahagiakan ibu dengan gelar sarjana ini. Walaupun aku sadar bahwa ini tak cukup untuk membalas seluruh kasih ibu. Seperti lirik dalam sebuah lagu, “Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi, tak harap kembali. Bagai sang surya menyinari dunia.” aku kembali menoleh ke belakang. Ibu terlihat sedang kipaskipas karena ruangan yang memang membuat gerah.
“Ibu,” kataku dalam hati. “Ribuan gelas susu coklatmu telah mengantarkan anakmu menjadi sarjana.” tak terasa sebutir air bening menetes dari pojok pelupuk mataku.
***
Selesai upacara wisuda, aku langsung mencari ibuku. Cukup sulit. aku harus menerobos ratusan orang. Berdesakdesakkan. Hatiku bergetar. gambaran ibu yang sedang membuat susu coklat tibatiba menyeruak. Membayangkan keriput di wajahnya semakin bertambah. Berpikir seperti itu membuat air mataku terus menetes. aku sayang ibuku!
istimewa
triYanto P. nuGroHo mahasiswa fise unY