![](https://assets.isu.pub/document-structure/210614042419-0c720366be6a93bcc02508eb355b3c53/v1/654d12bb225deabe1005a4f5e1a5be30.jpeg?width=720&quality=85%2C50)
2 minute read
Bina rohani
“MaNaKaH menurutmu agama yang benar?”
Pertanyaan ini dilontarkan oleh Sultan Saladin seorang muslim kepada Nathan seorang yahudi dalam drama berjudul Nathan der Weise karya g.e. lessing seorang sastrawan kebangsaan Jerman.
Advertisement
Drama Nathan der Weise ini sempat dilarang oleh gereja semasa hidup lessing. Pasalnya drama ini dianggap menentang kebenaran agama Kristen dan menyamakan dengan agama lainnya. Memang pada masa itu, eksklusivisme agama yang ada masih begitu kental. Kristen dan Yahudi yang pada masa itu besar di eropa tidak membuka tali silaturahmi yang baik.
Drama ini mengambil setting waktu pada masa Perang Salib ketiga di Yerusalem. Inilah yang membuat drama ini menjadi menarik, karena dalam kondisi perang antaragama ada individuindividu yang berbeda agama saling berkomunikasi dengan baik dan bersahabat. Nathan (seorang yahudi yang taat), Sultan Saladin (seorang panglima perang muslim), dan seorang pendeta Kristen kerap kali berbincangbincang serta berdebat tentang agama mereka masing masing.
Mendengar pertanyaan Sultan Saladin itu Nathan lalu menjawab dengan sebuah perumpamaan. ***
Syahdan, ada seorang ayah yang memiliki tiga orang anak. Sang ayah memiliki sebuah cincin yang dipercaya memiliki kekuatan ajaib. Suatu saat sang ayah hendak mewariskan cincin tersebut kepada anaknya. Namun karena takut akan terjadi kecemburuan di antara anaknya jika hanya satu orang yang mendapatkan cicin dari ayahnya, maka sang ayah meminta salah satu pembuat cincin untuk membuat duplikat cincin tersebut yang sama persis sehingga tidak bisa dibedakan.
Kemudian ia memberikan cincincin
Bijak
Oleh KReSNa
istimewa (rePro.)
cin tersebut kepada anakanaknya yang dicintainya. Kemudian ketiga anaknya bertengar dan berdebat manakah di antara cincin itu yang asli. lalu seorang hakim menasehati mereka untuk tidak lagi bertengkar mencari manakah cincin yang asli, namun bagaimana mereka bisa menunjukan dan mendatangkan kebaikan dengan cincincincin yang ada di tangan mereka. lewat cuplikan drama ini, lessing ingin mengajukan suatu pandangan baru tentang cara memaknai agama ketika itu. Cincin adalah metafora dari tiga agama yang bertikai dalam Perang Salib dan tiga anak yang bertengkar adalah umat dari agama itu. ***
Sungguh perumpamaan dalam drama yang ditulis lessing pada masa Aufklarung ini sangat menarik untuk ditarik dalam kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini. Bisa dilihat bagaimana perbedaan agama/kepercayaan kerap kali muncul sebagai pemicu konflik di masyarakat. Masih teringat jelas bagaimana perbedaan kepercayaan berujung pada hilangnya nyawa beberapa warga ahmadiyah. tantangan terbesar dari bangsa Indonesia yang plural dan multikultur adalah bagaimana menjaga hubungan yang baik di antara perbedaan yang ada. Fanatisme agama ataupun juga chauvinisme suku justru akan berimbas pada perpecahan.
Jika kita bersepakat bahwa semua agama bertujuan mendatangkan kebaikan di dunia ini, maka sudah seharusnya kita menjadi bijak menyikapi perbedaan agama. Seperti apa yang dilakukan oleh Nathan. Jawaban atas pertanyaan Sultan Saladin merupakan jawaban yang sangat bijak untuk melihat sebuah perbedaan agama. tak terbayang jika Nathan menjawab bahwa agama yang benar adalah agama Yahudi yang dianutnya.
Nathan tidak terjebak pada perbedaan pandangan mana yang paling benar, namun ia justru menekankan pada apa yang bisa diperbuat dengan masingmasing agama yang dianut. Sikap bijak ini tentunya sangat baik untuk diterapkan dalam kehidupan sehari hari. apalah guna beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, Konghucu, atau penganut aliran kepercayaan jika hanya perbuatan jahat saja dilakukan dan tidak mendatangkan kebaikan bagi sesama manusia.
Jadi, manakah agama yang paling benar menurutmu?
Saya tak tahu, yang jelas agama yang benar selalu membawa kebaikan.
kresna koordinator Youth writing Club YmCa, Yogyakarta