bina rohani Bijak Ol e h K r e sn a “Manakah menurutmu agama yang benar?” Pertanyaan ini dilontarkan oleh Sul tan Saladin seorang muslim kepada Nathan seorang yahudi dalam drama berjudul Nathan der Weise karya G.E. Lessing seorang sastrawan kebangsa an Jerman. Drama Nathan der Weise ini sempat dilarang oleh Gereja semasa hidup Les sing. Pasalnya drama ini dianggap me nentang kebenaran agama Kristen dan menyamakan dengan agama lainnya. Memang pada masa itu, eksklusivisme agama yang ada masih begitu kental. Kristen dan Yahudi yang pada masa itu besar di Eropa tidak membuka tali sila turahmi yang baik. Drama ini mengambil setting waktu pada masa Perang Salib ketiga di Yeru salem. Inilah yang membuat drama ini menjadi menarik, karena dalam kondisi perang antar-agama ada individu-indi vidu yang berbeda agama saling berko munikasi dengan baik dan bersahabat. Nathan (seorang yahudi yang taat), Sul tan Saladin (seorang panglima perang muslim), dan seorang pendeta Kristen ke rap kali berbincang-bincang serta berdebat tentang agama mereka ma sing-masing. Mendengar pertanyaan Sultan Sala din itu Nathan lalu menjawab dengan sebuah perumpamaan. *** Syahdan, ada seorang ayah yang me miliki tiga orang anak. Sang Ayah me miliki sebuah cincin yang dipercaya me miliki kekuatan ajaib. Suatu saat sang ayah hendak mewariskan cincin terse but kepada anaknya. Namun karena ta kut akan terjadi kecemburuan di anta ra anaknya jika hanya satu orang yang mendapatkan cicin dari ayahnya, maka sang Ayah meminta salah satu pembuat cincin untuk membuat duplikat cincin tersebut yang sama persis sehingga tidak bisa dibedakan. Kemudian ia memberikan cincin-cin
istimewa (repro.)
cin tersebut kepada anak-anaknyayang dicintainya. Kemudian ketigaanaknya bertengar dan berdebat manakah di an tara cincin itu yang asli. Lalu seorang hakim menasehati mereka untuk tidak lagi bertengkar mencari manakah cin cin yang asli, namun bagaimana mere ka bisa menunjukan dan mendatangkan kebaikan dengan cincin-cincin yang ada di tangan mereka. Lewat cuplikan drama ini, Lessing in gin mengajukan suatu pandangan ba ru tentang cara memaknai agama keti ka itu. Cincin adalah metafora dari tiga agama yang bertikai dalam Perang Salib dan tiga anak yang bertengkar adalah umat dari agama itu. *** Sungguh perumpamaan dalam dra mayang ditulis Lessing pada masa Aufklarung ini sangat menarik untuk ditarik dalam kehidupan spiritual dan sosial masyarakat Indonesia sekarang ini. Bisa dilihat bagaimana perbedaan agama/kepercayaan kerap kali muncul sebagai pemicu konflik di masyarakat. Masih teringat jelas bagaimana perbe daan kepercayaan berujung pada hi langnya nyawa beberapa warga Ah madiyah. Tantangan terbesar dari bangsa In donesia yang plural dan multikultur adalah bagaimana menjaga hubungan yang baik di antara perbedaan yang ada. Fanatisme agama ataupun juga
chauvinisme suku justru akan berimbas pada perpecahan. Jika kita bersepakat bahwa semua agama bertujuan mendatangkan kebai kan di dunia ini, maka sudah seharus nya kita menjadi bijak menyikapi perbe daan agama. Seperti apa yang dilakukan oleh Nathan. Jawaban atas pertanya an Sultan Saladin merupakan jawaban yang sangat bijak untuk melihatsebuah perbedaan agama. Tak terbayang jika Nathan menjawab bahwa agama yang benar adalah agama Yahudi yang dia nutnya. Nathan tidak terjebak pada perbeda an pandangan mana yang paling benar, namun ia justru menekankan pada apa yang bisa diperbuat dengan masingmasing agama yang dianut. Sikap bijak ini tentunya sangat baik untuk diterap kan dalam kehidupan sehari-hari. Apa lah guna beragama Kristen, Islam, Hin du, Buddha, Konghucu, atau penganut aliran kepercayaan jika hanya perbua tan jahat saja dilakukan dan tidak men datangkan kebaikan bagi sesama ma nusia. Jadi, manakah agama yang paling be nar menurutmu? Saya tak tahu, yang jelas agama yang benar selalu membawa kebaikan.
Kresna koordinator Youth Writing Club YMCA, Yogyakarta
P e wa ra D i n a m i ka Agu s t u s 2011
45