cerpen Segelas Susu Coklat hingga Sarjana O l e h Triya n t o P. Nu g roho Akhirnya aku bisa memakai toga. Duduk bersama ratusan wisudawan lainnya dalam ruang auditorium kampus. Bang ga sekaligus haru, karena lebih dari enam tahun aku menem puh kuliah di kampus pendidikan ini. Jangan dikira bahwa lamanya aku lulus berarti aku bodoh. Tidak! Aku bukanlah orang bodoh dan pemalas, bila diukur dari raihan IPK. Bukti nya IPK-ku mencapai 3,46: Sangat Memuaskan. Hanya saja sebagian besar waktu kuliah aku habiskan untuk mengurus berbagai organisasi kemahasiswaan. Walaupun bagi sebagi an orang perbuatanku itu menjadi semacam apologi saja. Tapi itu bukan persoalan penting bagiku. Hal terpenting dalam wisuda ini pun bukan mendengarkan sambutan Pak Re ktor atau menerima ijazah dari Dekan. Yang teramat penting di hari ini adalah melihat senyum bahagia di wajah ibuku. Ya, hari ini adalah pelunasan janjiku pada ibu untuk me raih gelar sarjana. Makanya sedari tadi aku malah sibuk melihat ke arah baris an kursi para orang tua. Berkali-kali aku menengok ke bela kang, kontras dengan para wisudawan lain yang fokus mena tap podium. Cukup sulit melihat ibu, karena jarak tempat duduk kami memang berjauhan. Terpaut sekitar 50-an kursi. Aku hanya bisa melihatnya sepintas. Wajahnya teduh. Nampak bingung dalam kerumunan ribuan orang ini. Tapi seulas senyum tetap terlukis di wajahnya. Menambah indah krudung biru yang khusus dibelinya untuk hadir dalam wisu da ini. *** Ibuku saat ini telah berusia 57 tahun. Tubuhnya tergolong pendek. Kalau disandingkan denganku, tingginya hanya seba huku saja. Kulitnya coklat tua, sama denganku. Rambutnya juga sama denganku, hitam lurus. Tapi seiring dengan ber tambahnya usia, di sela-sela rambutnya telah nampak ramai oleh uban. Ibuku bukanlah seperti kebanyakan ibu-ibu saat ini. Ia tidak lulus SD. Nenek pernah bercerta bahwa ibu hanya per nah sekolah hingga kelas 1 SD saja. Padahal menurut nenek ku, ibu tergolong murid pintar saat itu. Sayang, keterbatasan biaya membuat ibuku putus sekolah di tengah jalan. Aki batnya ibu tak bisa membaca dan menulis dengan lancar. Kalau ibu-ibu yang lain akrab dengan Facebook, ibuku men girim dan membaca SMS pun tak bisa. Sejak kecil ibu tak pernah mengajariku belajar. Mungkin karena memang ia tak bisa “mengajarkan” materi pelajar anku. Ia hanya sering menyuruhku belajar. “Wes garap PR durung ‘le?” begitu ucap ibu tiap malam. Walaupun begitu, ibu sangat memperhatikan kebutuhan ku dalam belajar. Misalnya, sewaktu kecil aku sering di ru mah sendiri, sedang ayah dan ibu ke pasar untuk berdagang. 46
Pewa r a Din a mik a Agus t us 2 0 1 1
Ibuku tidak membelikanku PS (playstation) atau nintendo un tuk “menemaniku” di rumah (rumah teman SD-ku semuanya jauh dari rumah) tapi entah kenapa ia malah membelikan ma jalah anak-anak dan berbagai buku cerita. Alhasil, sebagian besar temanku saat itu telah canggih bermain game, sedang kan aku telah menamatkan bertumpuk majalah. Pernah aku minta ke ibu untuk dibelikan juga playstation. Waktu itu baru saja terima rapor. Dan aku meraih rangking 1. Pikirku, wajar saja bila aku minta hadiah atas prestasi ini. Waktu itu ibu duduk di kursi ruang tamu dan sedang men jahit baju. Bukan menjahit sebenarnya, ia hanya memasang kancing baju saja. Ruang tamu rumahku hanya diisi satu meja kecil dan kursi sofa butut yang sudah tak empuk lagi. “Bu, aku pengen PS,” pintaku sambil duduk di sampingnya. Ibu tak langsung menjawab. Ia tetap melanjutkan mema sang kancing baju. Tangan kirinya menekan kancing, sedang kan tangan kanannya menarik benang dan jarum. “Bu!” panggilku dengan tak sabar. Mendengar panggilanku, ia hanya menatapku sebentar. Lantas menjawab singkat, “Belum ada uang ‘le.” Mendengar jawaban seperti itu, aku langsung diam. Tak berani membantah atau merajuk. Ibu melanjutkan menjahit bajunya tanpa berkata lagi pa daku. Semenit kemudian, setelah kami saling diam, aku be ranjak berdiri dan langsung masuk kamar. Dalam hati aku merasa sangat kesal. Kenapa tidak mau dibelikan? Bukankah aku telah juara kelas? Dan kalau juara kan bisa dapat hadiah sesuai permintaan? Bukankah harusnya begitu? Kejadian itu yang membuat aku bertekad untuk tak minta apa-apa lagi kepada ibu, selain hal-hal pokok yang berhu bungan dengan sekolah tentunya. Kini baru aku sadar. Mungkin begitulah cara ibuku, yang tak lulus SD, mendidikku agar aku tidak terjebak dalam du nia game yang justru dapat menurunkan prestasi belajarku. Mafhum bahwa banyak anak tidak belajar karena asyik ber main PS. *** Sedari SD, ibu selalu membuatkanku segelas susu coklat sebelum berangkat sekolah. Aku, hingga sekarang, memang tak terbiasa sarapan pagi. Rasanya kok tidak ada nafsu ma kan di pagi hari. Perutku selalu menolak untuk dimasuki nasi pada jam pagi. Sampai sekarang pun dalam sehari cuma ma kan siang dan malam hari. Kadang kalau punya uang lebih bisa tambah makan sore. Karena kebiasaan itu, ibu lalu menggantinya dengan sege las susu coklat. Selalu susu coklat. Tak pernah diganti susu putih atau susu sapi. Aku juga tak tahu alasannya, padahal aku juga doyan minum susu sapi.