Pewara Dinamika Agustus 2011

Page 42

opini Skandal Cita-cita Pendidikan Sastra O l e h Eko Triono

T

/1/ ahun ajaran baru 2011/2012 telah dimulai­di sekolah, cita-cita disemai, dan impian dilepaskan setinggi­awan suci, tetapi siapa di antara mereka yang datang dan sengaja bercita-cita menjadi­ seo­ rang sastrawan? Bukan pegawai ne­ geri (polisi, guru, tentara), artis, dokter, dan se­te­ rusnya. Tidak, nyaris tidak ada, sebab tidak “wajar” yang demikian, kecuali pada beberapa­ sekolah di Madura yang anak didiknya­telah be­ra­ni bercita-cita menjadi seorang penyair, pe­ker­ja puisi. Padahal cita-cita mereka adalah­ gam­baran masa depan bangsa pada suatu hari­ nanti. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, to­ pik ini memang terdengar tidak penting untuk­ dibicarakan. Mereka terbiasa—mungkin juga di­ bia­ sakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik,­ hukum, dan sembako. Jadilah kemudian: simbol­ sebuah mata dari rantai lingkaran setan yang terus melilit dunia literasi Indonesia, sebuah ...mata sangkur [yang] menghujam mata batin... karena mereka terlalu serakah hanya... menge­ jar mata uang (dinukil dari sajak W.S. Rendra, Mata Kejora). Para orang tua dengan sadar menjauhkan anak jadi pekerja sastra, sebagian besar karena­ alasan masa depan ekonominya kelak, dan aki­ batnya anak tak pernah sempat menulisnya men­­jadi cita-cita, bahkan yang paling rahasia­ di antara cita-cita rahasia sekalipun. Dan han­ cur—seperti kata para ahli—hancurlah kemu­ dian, dengan perlahan yang menyakinkan, se­ buah bangsa yang telah jauh dari baca-sastra:

Mereka terbiasa—mungkin juga dibiasakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. 40

Pewa r a Din a mik a Agus t us 2 0 1 1

dengan menjangkitnya ketidakhumanisan, pe­ nindasan, korup, ketidakadilan sosial, dan se­ terusnya. Dengan begitu, manjurlah pula hubungan sebab-akibat ini: jika ingin menghancurkan se­ buah umat jauhkanlah mereka dari kitab sucin­ ya (penulis sarikan dari perkataan seorang na­ bi), dan jika ingin menghancurkan sebuah bang­sa jauhkanlah mereka dari buku dan litera­ sinya. Apa, kenapa, dan bagaimana semua ini bisa disadari kembali? /2/ Sengaja penulis menggunakan istilah “dis­ adari kembali”, karena pada akhir abad XVIII cikal Indonesia sadar bahwa penjajahan (yang sama dengan penderitaan) yang menghantui selama berabad, salah satu sebabnya adalah ke­­gagal­an menguasai mantra dari ilmu dan penge­ ta­ hu­ an. Mantra itu bernama: tulisan atau kompleksnya adalah literasi. Awal 1900an­munculah beragam surat kabar pribumi dan per­gerak­an dimulai dengan pena; koordi­ nasi, pro­paganda, transfer pengetahuan, dan seterus­nya. Sampai kemudian mereka berhasil­ meraih kemerdekaan. Tentu kenyataan itu bukanlah ingatan jamak­ dari manusia Indonesia. Sebagian besar, ketika mengingat perju­ang­ an, hanyalah kenangan tentang darah, senjata, pertempuran, dan kematian. Ini salah satu bi­ ang kerok ganjil yang nyaris mewabah hingga kini, karena semua monumen berpatung (bah­ kan nama jalan) dan teks sejarah perjuangan kemerdekaan didominasi oleh dunia kekerasan militer. Tidak ada nama jalan seorang sastrawan atau teks dari judul pledoi Indonesia Menggu­ gat-nya Bung Karno yang membawa bangsa ini dipeluk dukungan semesta, dan juga catatan atau karya lain dari para pahlawan-pahlawan non-militer, lebih tepatnya pahlawan-pahlawan literasi (tidak melulu pahwalan revolusi) seper­ ti Chairil Anwar dengan propaganda beberapa puisinya di jaman perjuangan. Dan, bukankah juga Bung Karno, orang no­ mor satu yang berteman dengan Chairil itu, ti­dak bertempur di medan perang? Ia justru


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.