opini Skandal Cita-cita Pendidikan Sastra O l e h Eko Triono
T
/1/ ahun ajaran baru 2011/2012 telah dimulaidi sekolah, cita-cita disemai, dan impian dilepaskan setinggiawan suci, tetapi siapa di antara mereka yang datang dan sengaja bercita-cita menjadi seo rang sastrawan? Bukan pegawai ne geri (polisi, guru, tentara), artis, dokter, dan sete rusnya. Tidak, nyaris tidak ada, sebab tidak “wajar” yang demikian, kecuali pada beberapa sekolah di Madura yang anak didiknyatelah berani bercita-cita menjadi seorang penyair, pekerja puisi. Padahal cita-cita mereka adalah gambaran masa depan bangsa pada suatu hari nanti. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, to pik ini memang terdengar tidak penting untuk dibicarakan. Mereka terbiasa—mungkin juga di bia sakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. Jadilah kemudian: simbol sebuah mata dari rantai lingkaran setan yang terus melilit dunia literasi Indonesia, sebuah ...mata sangkur [yang] menghujam mata batin... karena mereka terlalu serakah hanya... menge jar mata uang (dinukil dari sajak W.S. Rendra, Mata Kejora). Para orang tua dengan sadar menjauhkan anak jadi pekerja sastra, sebagian besar karena alasan masa depan ekonominya kelak, dan aki batnya anak tak pernah sempat menulisnya menjadi cita-cita, bahkan yang paling rahasia di antara cita-cita rahasia sekalipun. Dan han cur—seperti kata para ahli—hancurlah kemu dian, dengan perlahan yang menyakinkan, se buah bangsa yang telah jauh dari baca-sastra:
Mereka terbiasa—mungkin juga dibiasakan—menganggap sastra adalah hal yang tidak lebih penting dari ekonomi, politik, hukum, dan sembako. 40
Pewa r a Din a mik a Agus t us 2 0 1 1
dengan menjangkitnya ketidakhumanisan, pe nindasan, korup, ketidakadilan sosial, dan se terusnya. Dengan begitu, manjurlah pula hubungan sebab-akibat ini: jika ingin menghancurkan se buah umat jauhkanlah mereka dari kitab sucin ya (penulis sarikan dari perkataan seorang na bi), dan jika ingin menghancurkan sebuah bangsa jauhkanlah mereka dari buku dan litera sinya. Apa, kenapa, dan bagaimana semua ini bisa disadari kembali? /2/ Sengaja penulis menggunakan istilah “dis adari kembali”, karena pada akhir abad XVIII cikal Indonesia sadar bahwa penjajahan (yang sama dengan penderitaan) yang menghantui selama berabad, salah satu sebabnya adalah kegagalan menguasai mantra dari ilmu dan penge ta hu an. Mantra itu bernama: tulisan atau kompleksnya adalah literasi. Awal 1900anmunculah beragam surat kabar pribumi dan pergerakan dimulai dengan pena; koordi nasi, propaganda, transfer pengetahuan, dan seterusnya. Sampai kemudian mereka berhasil meraih kemerdekaan. Tentu kenyataan itu bukanlah ingatan jamak dari manusia Indonesia. Sebagian besar, ketika mengingat perjuang an, hanyalah kenangan tentang darah, senjata, pertempuran, dan kematian. Ini salah satu bi ang kerok ganjil yang nyaris mewabah hingga kini, karena semua monumen berpatung (bah kan nama jalan) dan teks sejarah perjuangan kemerdekaan didominasi oleh dunia kekerasan militer. Tidak ada nama jalan seorang sastrawan atau teks dari judul pledoi Indonesia Menggu gat-nya Bung Karno yang membawa bangsa ini dipeluk dukungan semesta, dan juga catatan atau karya lain dari para pahlawan-pahlawan non-militer, lebih tepatnya pahlawan-pahlawan literasi (tidak melulu pahwalan revolusi) seper ti Chairil Anwar dengan propaganda beberapa puisinya di jaman perjuangan. Dan, bukankah juga Bung Karno, orang no mor satu yang berteman dengan Chairil itu, tidak bertempur di medan perang? Ia justru