cerpen
Miss Ceroboh O l e h YOS I PRA S T I W I AMEL meraih tasnya tergesa setelah memasukan sebotol air mineral, handuk kecil, sepatu kets dan kamus bahasa inggrisnya yang tebel. “Mi, Amel berangkat,” buru-buru ia raih tangan bundanya seraya mencium kedua pipi wanita paruh baya dengan sema ngat. Dalam mulutnya masih ada sisa-sisa roti yang belum terkunyah sempurna. Toh, masih sempet juga dia minum su su di detik-detik terakhir keberangkatannya. Hampir setiap pagi selalu begitu, terburu-buru dan tergesa-gesa, bagai pi nang dibelah kapak.. Padahal bangunnya pagi, sejak subuh malah tapi tetep aja membuat abangnya, Faisal mengklakson motornya beberapa kali dari depan rumah. “Iya Bang, bentar…” Amel berjalan cepat ke depan. Bunda nya dari belakang menggeleng-gelengkan kepalanya. Padahal sebenarnya tujuan Faisal menekan klakson bukan hanya agar Amel segera keluar tapi juga menyapa orang yang lalu lalang di depannya, sok akrab. “Selalu aja lama, ngapain aja, sih” Faisal menyodorkan helm ke Amel. “Namanya juga cewek, Bang, kayak gak pernah ngerasain aja” Amel merajuk sambil duduk di belakang abangnya. Faisal melotot, siapa juga yang pernah jadi cewek, batinnya keki. “Hati-hati, Sal, gak usah ngebut,” Bunda melambaikan tangan disambut kiss bye Amel yang lebay. Faisal cuma ngangguk-angguk aja, udah jelas di benaknya kalo dia mau ngebut demi ngeliat jam tangannya yang menunjukan pukul 6.50 am. Sampai di perempatan depan gang perumahan, Amel me rasa dadanya berdegup kencang. Ya Allah, hari ini ada jam olahraga, kok rasanya tas Amel ringan. Buru-buru dibukanya tas ranselnya, dilongoknya isi tasnya sampai kepalanya menyodok punggung Faisal. Hmm, kok ada boneka Tedy, ini pasti kerjaan Cima, batinnya mengingat adik bungsunya tadi nempel terus di dekat tasnya kayak perangko. “Apaan sih, Mel?” Faisal protes diseruduk kepala Amel tanpa aba-aba terlebih dahulu. “Aduh, Bang, kaos olahraga Amel ketinggalan…” Amel menggigit bibirnya, takut-takut. Ciiit… motor Faisal berhenti seketika. “Ameeeeel….” *** Bunda tergopoh-gopoh menuruni tangga rumah. Dilihatnya Amel tertidur pulas di sofa ruang tengah. Padahal hujan turun mulai rintik-rintik turun dari langit, sebagian mampir di genteng rumah. “Amel, hujan tuh.” Digoyang-goyangkannya tubuh Amel perlahan, Amel diem aja. Begitu Bunda menggoyang rada keras, kepala Amel malah ikut goyang mengikuti irama go yangan bundanya. 54
PEWA R A DIN A MIK A F E B R UA R I 2 0 1 1
“Mel…tanaman kacang ijo,” Bunda berbisik pelan. “Hmmm…biarin Nda, jangan diutak-utik” Amel menjawab malas. “Beneran nih? Di luar hujan sayang…” kali ini Bunda membesarkan volume suaranya. Seketika Amel bangkit dari tidurnya. Oh no, kacang ijoku, batin Amel gelagapan. Dilihatnya kacang ijo yang baru tum buh dihantam air hujan dengan butir-butirnya yang deras. Satu tanaman terkulai, yang dua sekarat. Amel meringis ke arah bundanya. Maklum selama ini Amel sangat menjaga tiga helai tanam an kacang ijonya yang baru tumbuh. Tak seorangpun boleh menyentuh dan memindahkan tanaman itu. Bahkan ia menuliskan pengumuman di dekat tiga tanaman itu, “Barang siapa menyentuh/memindahkan/merusak tanaman ini jika lelaki akan dijadikan budak, jika wanita maka setali tiga uang.“ Tak heran, keluarga Amel milih menghindari dari area kacang ijo yang ditaruh di halaman samping. “Makanya, jadi orang jangan lelet dong,” Faisal menyulut kekecewaan Amel. “Ih…, bukannya pada nolongin,” protes Amel. “Lho, katanya gak boleh disentuh,” “Minimal ikut belasungkawa kek,” Amel menyusut ingusnya. Mau tak mau Faisal trenyuh juga ngeliatnya. “Duh Mel, jangan segitunyalah, kan besok bisa bikin lagi. Gak usah nangis.” “Abang emang baik,” serta merta Amel mendekat, mena rik kaos belakang abangnya ke arah hidungnya sambil tersenyum penuh kemenangan. “Ameeeel….” Faisal tertipu dengan tipu daya adiknya. *** Sebetulnya bukan cuma sekali dua kali aja sih Amel cero boh menjalani masa remajanya yang harusnya cerah ceria tiada tara dan tiada duanya. Tepatnya, ceroboh seolah udah jadi solmetnya Amel. Di mana ada Amel, selalu ada kecerobohan. Perpaduan antara sifat terburu-buru sekaligus leletnya membuat cerobohnya nyaris selalu sempurna. Untungnya, biar Amel yang ceroboh, dampaknya seringkali justru menerpa orang-orang di sekitarnya. Pernah Amel lupa gak bawa buku PR Matematikanya. Padahal semalaman suntuk sudah ia kerjakan mati-matian dengan minta ajarin Faisal. Eh, yang dibawanya justru buku kerja ayahnya yang tadi pagi tergeletak di meja makan. Toh, Amel gak ambil pusing. Hukuman berdiri di luar kelas malah Amel pake buat mengganti jam tidurnya yang terampas semalam. Dengan posisi berdiri bersandar, Amel lelap sampai ngiler dan baru sadar ketika dibangunkan seorang guru piket yang memberitahu bahwa ayahnya datang untuk meng