1 minute read

cerpen

Next Article
dari pemBaca

dari pemBaca

IstImewa

Menjelang Hardiknas, ruang sekretariat BeM ramai dengan diskusi mempersiapkan aksi pendidikan. Pendidikan katanya telah dijadikan produk jasa sehingga diperdagangkan. Tak karuan begitu banyak rakyat yang kesulitan untuk mengakses bangku pendidikan formal.

Advertisement

“Saat aksi nanti kita tampilkan teatrikal. Teater yang kita mainkan menceritakan siswa-siswa lulusan sekolah menengah yang bertemu monster asing. Mereka keluar dari bangku sekolah, berhadapan dengan mahalnya pendidikan tinggi. Keinginan dan cita-cita mereka dikebiri oleh tangan halus kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai barang dagangan,” azwar berbincang dengan teman-temannya di BeM memikirkan skenario adegan. aldi tak banyak cuap. Pikirannya melayang ke wajah Pak Tedjo, dosen Sosiologi Pendidikan. Sudah 5 kali aldi membolos kuliah dan harus membuat makalah agar dapat ikut ujian akhir semester. Tidak masalah buat aldi menyelesaikan tugastugas kuliah. Setiap komputer di sekretariat ormawa sejak 2 bulan lalu telah disambung jaringan internet, termasuk komputer BeM. Satu-dua sentuhan langsung terpampang berbagai pilihan topik sesuai selera. Dekanat yang bermaksud membuat mahasiswa tidak buta informasi justru memanjakan mahasiswa. aldi yang nomaden seolah mendapatkan rezeki nomplok. Sambil melahap 5 bungkus nasi kucing dan tempe goreng, aldi terus asyik mengakses yahoo atau google. aldi dengan mudahnya meng-copy paste tulisan-tulisan dari internet, bahkan karya orang lain. Untuk mengetik tak perlu ke rental. Habis berlembar-lembar kuarto, tinggal minta jatah aTK ke bagian kemahasiswaan. aldi tak mengerti ia telah melakukan kejahatan korupsi. Bukan pada tingkat negara. Tapi, menggunakan fasilitas organisasi untuk kepentingan pribadi. aldi seakan tak menyadari perilakunya. Terus-menerus memanfaatkan barang, bahkan uang organisasi. Meskipun demikian, aldi sempat berkoar-koar, “Keberhasilan reformasi, jika boleh dibilang, mungkin hanya terlihat dari penyelenggaraan Pemilu yang katanya berlangsung demokratis. Hak politik rakyat mendapatkan apresiasi dengan munculnya sistem multipartai. Namun, tak bisa dipungkiri, banyak kepentingan pragmatis menghinggapi calon-calon legislatif kita yang memanfaatkan suara rakyat untuk menumpuk pundipundi rupiah di kursi parlemen. Perjuangan atas nama rakyat cukup berhenti saat kampanye dan tidak lagi kentara ketika duduk di Senayan. Kita simak saja tingkat kesejahteraan rakyat yang tak kunjung membaik.”

Sepuluh tahun reformasi, aldi masih bisa kelihatan reformis. ah dasar!!!

hendra sugIantoro staf redaksi educinfo FIp uny

This article is from: