3 minute read

Menuju Keluarga Juara Bebas Stunting

2,3 persen responden mengaku telah melakukan hubungan seksual. Sebanyak 97,7 persen sisanya belum pernah melakukan hubungan seksual meskipun lebih dari setengahnya berpacaran. Umumnya, perilaku pacaran yang mereka lakukan adalah berpegangan tangan dan berpelukan. Sebanyak 14 persen responden mengaku, ciuman bibir adalah cara menunjukkan kasih sayang kepada kekasih.

Yang sedikit mengejutkan adalah kesadaran tentang HIV. Ada sembilan persen yang sama sekali tidak mengetahui apa itu HIV/AIDS dan belum pernah mendengar sama sekali tentang infeksi menular seksual. Seperlima dari responden remaja ini sama sekali tidak tahu bagaimana menghindari penularan HIV/AIDS.

Advertisement

Meski memiliki pendapat hampir sama tentang usia ideal pernikahan, responden remaja pria dan perempuan memiliki memiliki pendapat yang cukup beragam tentang hubungan seksual sebelum menikah. Sebanyak 19 persen responden remaja pria dengan usia 15-19 tahun setuju melakukan hubungan seksual sebelum menikah, sementara remaja pria 20-24 hanya 4,3 persen yang setuju.

Dari pendapat responden remaja perempuan di semua fase umur, hanya di bawah satu persen saja membolehkan hubungan seksual sebelum menikah. Lebih dari 99 persen tidak menyetujui. Hal ini erat hubungannya dengan hasil survei yang menunjukkan bahwa tujuh di antara 10 orang responden tahu dan paham bahwa kehamilan bisa terjadi meski hubungan seksual hanya dilakukan sekali saja.

Yang sedikit mengejutkan, persentase persetujuan atas hubungan seksual di luar pernikahan justru lebih besar di responden yang hidup di perdesaan. Dua koma tujuh persen responden di perdesaan pernah melakukan hubungan seksual sebelum terjalin ikatan pernikahan. •IRH

Menuju Keluarga Juara Bebas Stunting BKKBN Jabar Inisiasi Akademi Keluarga Jabar Juara

Perang melawan stunting terus berlanjut. Kali ini dengan mengulirkan strategi baru yang lebih menyasar dua kelompok sasaran: ibu hamil dan keluarga yang memiliki dua tahun atau kurang (Baduta). Kelompok ini menjadi sasaran karena dianggap paling relevan dengan target pencegahan stunting. Akademi Keluarga Jabar Juara (AKJJ) demikian nama program yang dikibarkan awal 2020 ini.

Pada tahap awal, akademi dihelat di delapan kabupaten dan kota di Jawa Barat. Kedelapan daerah tersebut merupakan alumni training of trainer yang sudah terlebih dahulu dilaksanakan sebelum akademi dihelat. Salah satu peserta pelatihan tersebut adalah kepala desa. Kepesertaan kepala desa ini yang kemudian mendorong lahirnya skema pembiayaan mandiri akademi.

“Istimewanya, program ini didanai dengan dana desa. Bukan dari BKKBN atau pemerintah daerah. Jadi, program ini sangat istimewa larena peserta benar-benar bersumber pada prakarsa masyarakat. Dananya bersumber dari dana desa, pesertanya keluarga yang ingin meningkatkan kesadaran kesehatan keluarga,” terang Kepala Bidang Keluarga Sejahtera dan Pembangunan Keluarga (KSPK) Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Jawa Barat Elma Triyulianti.

Dalam pelaksanaannya, AKJJ menerapkan sistem pembelajaran modul. BKKBN menyiapkan 16 modul selama

pembelajaran berlangsung. Adapun waktu pelaksanaannya diserahkan kepada desa masing-masing. Juga bergantung pada daya dukung desa bersangkutan. Desa bisa memilih pertemuan setiap pekan, dua kali dalam sepekan, dan seterusnya.

“AKJJ ini merupakan kelas 1000 hari pertama kelahiran (HPK). Pada periode inilah bayi kita rawan menderita stunting. Termasuk saat bayi masih dalam kandungan. Untuk keperluan tersebut, BKKBN telah melatih materi 1000 HPK tersebut kepada calon guru atau fasilitator. Sebagian fasilitator ini juga datangnya dari masyarakat, baik pos KB, PKB, unsur pemerintahan desa, dan lain-lain,” terang Elma.

Lebih jauh Elma menjelaskan, AKJJ merupakan versi lokal dari program Akademi Keluarga Hebat Indonesia yang diinisiasi BKKBN

KELAS AKADEMI

Suasana pembelajaran Akademi Keluarga Juara Jawa Barat di Kabupaten Indramayu. Warga belajar tentang 1000 HPK dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya desa setempat.

Pusat bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor (IPB). Program ini didasari pemikiran bahwa pondasi utama kehidupan manusia di masa depan dapat dipengaruhi pengasuhan pada 1000 Hari Pertama Kehidupan, yang dimulai sejak awal konsepsi atau selama 270 hari masa kehamilan serta 730 hari setelah lahir (hingga anak berusia dua tahun).

“Pada periode tersebut, terjadi perkembangan otak, pertumbuhan badan, perkembangan sistem metabolisme tubuh dan pembentukan sistem kekebalan tubuh yang begitu cepat. Selain itu, 200 hari sebelum terjadinya konsepsi (pembuahan) harus dipersiapkan dengan baik seperti meminum vitamin yaitu asam folat, DHA, dan B3,” jelas Elma.

Bila periode 1000 HPK tidak dimanfaatkan dengan optimal,

sambung Elma, maka beberapa kemungkinan dapat terjadi seperti berisiko mudah terserang penyakit ketika usia bayi, balita serta usia lanjut, berisiko mengalami gizi buruk kronis atau stunting serta berdampak penurunan tingkat kecerdasan (IQ). Bahkan, jangka panjang bisa berpengaruh terhadap produktivitasnya. Menurut Elma, faktor yang mempengaruhi perkembangan otak dan pertumbuhan janin adalah toksin, gizi, infeksi, stress, radiasi, dan hormon.

“Keluarga adalah kekuatan negara. Pola asuh yang diberikan keluarga kepada anak-anak sangat berkaitan erat dengan karakter anak-anak dalam tumbuh kembangnya dan akan terbawa sampai dewasa, bahkan sampai mereka membentuk keluarga sendiri. Sukses seorang anak tidak lepas dari kehangatan dalam keluarga,” pungkas Elma. •IRH

This article is from: