www.bulaksumurugm.com
EDISI 185
Selasa, 22 Maret 2011
Rumah Sakit Untuk Berbagai Disiplin Ilmu Dibangun di lokasi yang cukup jauh dari UGM, diharapkan rumah sakit ini dapat melayani masyarakat luas secara optimal. Foto: Novan/Bul
Rumah Sakit Akademik (RSA) merupakan program dari Dinas Pendidikan Nasional melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti). Program ini merencanakan pendirian 19 rumah sakit mandiri bagi universitas yang memiliki fakultas kedokteran, termasuk UGM. Pelaksanaan program ini di lingkup UGM adalah dengan dibangunnya RSA yang berlokasi di Desa Kronggahan II, Trihanggo, Gamping, Sleman. Letaknya memang cukup jauh dari UGM, tujuannya untuk memperluas jangkauan kepada masyarakat. RSA ini dibangun tak hanya sebagai sarana pendidikan, tapi juga pelayanan publik. Berbagai ilmu RSA dibangun bukan hanya bagi mahasiswa kedokteran. Pembangunan rumah sakit ini berbasis pada program interprofessional education. Artinya, banyak disiplin ilmu yang bisa menggunakan RSA terutama untuk riset. “Mahasiswa ataupun dosen dari teknik pun dapat meneliti segi bangunan yang cocok untuk rumah sakit. Dari ekonomi bisa mempelajari sistem keuangan sebaiknya bagaimana. Jadi ada banyak profesi di sini,” ungkap Prof Dr H Arif Faisal Sp Rad (K) DHSM, Direktur RSA UGM. Pendirian RSA ini memiliki banyak
Fokus Cepat Lulus...
manfaat terutama untuk pengembangan riset. RSUP Dr Sardjito yang biasanya digunakan sebagai lokasi belajar untuk bidang kesehatan dirasa terlalu padat sehingga kurang efektif. “Ada gedung lima lantai yang didirikan khusus untuk penelitian. Gedung ini terpisah dari bagian lain di RSA,” terang Faisal. Gedung penelitian sengaja dibangun terpisah agar proses pembelajaran berlangsung lebih optimal. Hal senada diungkapkan oleh Ir Sunarjo, pemimpin proyek RSA. “Kita (UGM,-Red) kan punya fakultas kedokteran, butuh tempat untuk praktik secara nyata.” Proses pembangunan RSA dimulai pada 2009 dan direncakan selesai pada 2011. RSA ini dirancang sebagai rumah sakit kelas B pendidikan. Bagian depan RSA ditujukan untuk pelayanan umum medis dengan berbagai fasilitas seperti ruang rawat inap berkapasitas minimal 200 tempat tidur. Selain itu, ada pula layanan rawat jalan, gawat darurat, perawatan intensif, dan bagian administrasi. Pada 2013, diharapkan RSA sudah dapat melayani masyarakat. Pelayanan medis di RSA berbeda dengan rumah sakit umum yang berbasis departemen. Pelayanan di RSA nantinya akan berbasis kluster dari berbagai disiplin ilmu. Tujuannya agar penanganan pasien dapat lebih
Babuba Cracking Zone
komprehensif. Rekrutmen karyawan Untuk mendukung kinerja RSA nantinya, rumah sakit ini telah mengisi beberapa posisi karyawan maupun tenaga ahli. Rekrutmen karyawan dilakukan secara terbuka lewat internet dengan status sebagai PNS, CPNS, dan honorer. Hingga kini, belum ada wacana untuk mengadakan ikatan kerja dengan alumni UGM. “Tidak bisa diprediksi (adanya ikatan kerja,-Red). Itu kan banyak prosedurnya, tidak otomatis,” jelas Sunarjo. Saat ini sudah terdapat sekitar 69 karyawan meliputi dokter umum, dokter gigi, perawat, spesialis, psikolog, tenaga administratif dan satpam. Meski telah lama dibangun, masih banyak civitas akademika yang belum tahu mengenai RSA. “Saya belum pernah mendengar tentang RSA,” ungkap Rhama (Fakultas Kedokteran '10). Warga di sekitar RSA pun hanya sekadar mengetahui ada rumah sakit milik UGM yang sedang dibangun tanpa mengetahui manfaat khususnya. “Warga memang belum tahu banyak mengenai RSA, namun diharapkan kelak dapat membawa manfaat,” ujar Slamet Dirjo Wiyoto, Kepala Desa Kronggahan II. Novi, Putri
People Inside Artina Prastiwi
DARI KANDANG
B21
Berjuang Untuk Loyalitas Ketika kita memasuki sebuah organisasi, adalah hal yang wajar senior menanyakan kesungguhan kita. Ada yang menjawab ala kadarnya, ada yang menjawab tetap memprioritaskan kuliahnya. Ada juga yang menjawab rela melakukan apa saja demi kesetiaannya untuk organisasi. Namun itu baru di mulut saja. Bagaimana kenyataannya? Tak semuanya demikian. Ada yang benarbenar mewujudkan kalimat-kalimatnya, ada juga yang kemudian menghilang entah ke mana. Ada kalanya loyalitas itu diuji. Kita mulai mendapat teguran. Mulai dari nilai yang tak kunjung membaik hingga kita yang jadi jarang pulang. Juga ketika kita merasa tak lagi mendapat manfaat sebanding dengan apa yang kita korbankan untuk organisasi. SKM UGM Bulaksumur sebagai sebuah organisasi yang berbasis komunitas pun juga merasakan pentingnya loyalitas para awaknya. Ketika loyalitas itu mulai menurun, mungkin kita perlu berintrospeksi. Mungkinkah kita yang mulai jenuh atau kita mulai melupakan janji kita dulu. Di sinilah kesungguhan kita diuji. Apakah kita akan berjuang untuk membuang kejenuhan dengan membuat inovasi-inovasi baru atau berjuang untuk membagi waktu dan pikiran dengan baik. Bisa juga justru menyerah dengan alasan lebih mementingkan studi. Semua itu adalah serangkaian proses yang akan meningkatkan loyalitas kita atau justru membuat kita kehilangan loyalitas itu. Newsletter Bulaksumur Pos di tangan Anda ini merupakan produk dari perjuangan kami, para awak SKM Bulaksumur, dalam mempertahankan loyalitas kami. Akhir kata, selamat membaca produk kami dan semoga Anda pun semakin loyal membaca edisi-edisi kami selanjutnya. Penjaga Kandang
2
I 185
Foto: Aldi/Bul
TAJUK
Remedial Bagi Mahasiswa Inilah dua problematika yang kerap melanda mahasiswa, malas dan tak lihai membagi waktu. Bagi mahasiswa yang tergolong kaum malas, kuliah menjadi hal yang tak lagi diprioritaskan. Bagi mahasiswa dengan segudang aktivitas, problematika manajemen waktu menjadi hambatan untuk menyeimbangkan kuliah dan kegiatan di luar kampus. Kemudian, pertanyaan muncul, apa implikasi yang didapat bagi keduanya? Alhasil, mereka yang malas dan tidak bisa membagi waktu, indeks prestasi di bawah standar menjadi garis takdir. Bahkan beberapa dari mereka mendapat julukan mahasiswa “nasakom� alias nasib IP satu koma. Kesamaan keduanya, mereka tidak dapat menyeimbangkan kuliah dan kehidupan di luar kuliah. Lantas, bagaimana cara untuk mengatasinya dan mengangkat indeks prestasi? Beberapa fakultas di UGM, misalnya Fakultas Hukum, memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengikuti program semester pendek. Melalui program ini, mereka dapat memperbaiki nilai tanpa memakan waktu lama. Program semester pendek ini lantas menjadi batu loncatan bagi beberapa mahasiswa untuk mendapat nilai lebih baik dengan lama studi yang lumrah. Jeda antara semester genap dan semester ganjil pada bulan Juli dan Agustus, menjadi pilihan waktu yang tepat untuk memperbaiki nilai. Dengan memanfaatkan dua bulan itu, mahasiswa dapat melakukan remedial dan mendapatkan nilai lebih baik daripada sebelumnya. Namun program seperti ini hanyalah upaya fakultas untuk memberi kemudahan bagi mahasiswa. Keputusan tetap berada di tangan mahasiswa sendiri. Mau mencoba berbenah atau justru tambah malas dan bergantung pada program remedial?
Tim Redaksi
Penerbit: SKM Bulaksumur. Pelindung: Prof Dr Soedjarwadi M Eng, Drs Haryanto M Si. Pembina: Drs Ana Nadhya Abrar MES. Pemimpin Umum: Beryl Girsang Sekretaris Umum:Syefi Nuraeni F. Pemimpin Redaksi: Rifki Amelia Fadlina. Sekretaris Redaksi:Febriani.Editor: Lutfia K. Redaktur Pelaksana: Anindita I, Arsyadani S, Annisa IT, Amanatia J, Aghnia RS, Candraditya, Dwi AP, Galih M, Kusriniarti D, M Izuddin, Nuraini S, Noor RW, Novrita H, Ontin F, , Primastuti MW, Rara A, Risa L, Salsabila S, Sarah K, Shinta DJ, Siti Alifah FD, Tifani WS, Tanti K, Yogi A, Yurianti D Manajer Iklan dan Promosi:Diah Sri Utari. Sekretaris Iklan dan Promosi: Gina DP. Staf Iklan dan Promosi: Ajeng P, Aprilianto S, Berta MS, Budi L, Galih R, M. Alfi, Yanuar M, Cicilia LG, F Yogi, Febrianti R, Helmi A, Indy F, Mumpuni GL, Rizka K, Rio HP, S Ardhi R, Tina TH, Yuli NS, Kepala Litbang: Sidiq Hari Madya. Sekretaris Litbang: Rizkiya AM. Staf Litbang: Aziz S, Dwi A, Junaedi G , M Shidiq, Rizal Y, Evie P, Erik BS, Satria Aji I, Safitri AP . Kepala Produksi: Remo Adhy Pradhana. Sekretaris Produksi: Arrina M. Korsubdiv Fotografer: Rizky A. Anggota: Aditya EF, Azizah LA, Hale AW, Imam S, Qholib GHS. Korsubdiv LayOuter: Dian K. Anggota: Addina F, Ahmad W, Pandu Wira MS, Yoana WK. Korsubdiv Ilustrator: Bayu A. Anggota: Arsoluhur. Korsubdiv Webdesain: Ali Iqbal. Anggota: Dio FA Magang: Adinda RK, Ahmad SPU, Dewi AN, Emma AM, Franciscus ASM, Indah P, Kalikautsar, Khairunnisa, Laila N, Mestika EA, Muhammad FA, Nadhila A, Pipit N, Pipit S, Putri EJ, Resti P, Rheza RU, Sekar L, Tjioe LN, Tri P, Vinalia EW, Winny WM, Yusuf AW, A. Bekti, Agung A, Anggrata A, Bunga A, Daimas, Dewinta P, Dyta WEP, Faiz IP, Firsty, Galety S, Hanum SN, Hardita L, Irsa NP, Lukluk S, M. Taufiq R, Nendisi A, Oki PS, Pardika D, Rendi R, Ridha A, Rizky Y, Ulya A, Winda A, Yong WA, Erwinto S, M.Kevin J, Isnaini R, Rahmi SF, Robertus SP, Shabrina HP, Tyas NA, Wandi DS, Ardian ABS, Ahmad FR, Novandar DPA, Zakiah I, Ardista K, C. Bamby, Fikri RK, Irma S, Ivandhara W, Malika M, Chilmi N, Danastri RN, Geni S, Damar PW, Ferdi A, Fitri CSH, M. Rohmani, Nisa TL. Alamat Redaksi, Iklan dan Promosi: Bulaksumur B-21 Yogyakarta 55281. Telp: 085743365952. E-mail: bulaksumur_mail@yahoo.com. Homepage: http://www.bulaksumurugm.com. Rekening Bank: Bank Danamon Cabang Kusumanegara Yogyakarta 3518201938 a.n. Diah Sri Utari.
ACABUKUBARU
Memetakan Perubahan di Abad ke-21 Inilah saatnya keluar dari zona kenyamanan dan melakukan perubahan.
Foto: Aldi/Bul
Judul Penulis Penerbit Cetakan Tebal
: : : : :
Cracking Zone Prof Rhenald Kasali PhD Gramedia Pustaka Utama I, Januari 2011 356 halaman + sampul
Pernahkah terpikir di benak, Anda ingin menjadi sosok yang melakukan perubahan dalam suatu industri? Jika memang Anda punya keinginan, buku yang ditulis oleh guru besar manajemen perubahan, Rhenald Khasali ini, wajib untuk dibaca. Buku ini akan menceritakan bagaimana memetakan perubahan di abad ke-21 dan keluar dari suatu perangkap yang bernama comfort zone. Judul Cracking Zone dimaksudkan sebagai istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan masa transisi dari era ekonomi industri memasuki era ekonomi baru. Ekonomi baru adalah ekonomi yang didominasi oleh perkembangan teknologi informasi dan keterbukaan informasi. Seperti namanya, cracking atau crack berarti celah, patahan, letusan, atau retakan. Ketika suatu perubahan besar terjadi, sekelompok orang yang mampu melihat celah ini akan memanfaatkan dan menerobos celah itu. Sekelompok orang itulah yang dinamakan crackers. Buku ini mengajak pembaca untuk menjadi bagian dari crackers dan tidak terjebak dalam comfort zone. Generasi saat ini merupakan generasi yang selalu terhubung dengan telekomunikasi. Pertukaran informasi terjadi begitu cepat. Hal ini ditandai dengan munculnya media jejaring sosial seperti Facebook, Twitter, blog, dan sebagainya yang telah membawa angin perubahan baru. Oleh karena itu sekarang yang diperlukan bukan hanya sosok pemimpin namun juga seorang cracker. Crackers bekerja lebih berat dari rata-rata leaders karena dia membongkar tradisi industri dan persaingan. Crackers selalu memecahkan kode-kode perubahan dan tidak menganut asas “wait and see� yang biasa dianut oleh profesional-konvensional. Crackers leluasa bertindak dan mengidolai konsep freemium dalam pemasaran. Freemium artinya menjual produk dengan sangat murah atau bahkan free terlebih dahulu sebelum mendulang profit. Jadi, wajar bila crackers disegani oleh
kompetitornya. Dalam perusahaan, crackers juga diserang oleh kelompok lain yang ingin mempertahankan comfort zone. Kiprah lengkap crackers dapat disimak di seluruh halaman buku yang penelitiannya dilakukan selama setahun ini. Berbagai fakta detail dijelaskan untuk memberi kekuatan bagi pembaca yang ingin bangkit, beradaptasi, dan melakukan cracking. Buku Cracking Zone sangat direkomendasikan untuk siapa saja yang ingin mengetahui perubahan pola bisnis khususnya di Indonesia. Analisis yang konkret disertai contohcontoh riil dinamika perusahaan di Indonesia mempermudah pembaca dalam memetakan perubahan. Lembar tiap halaman berwarna disertai gambargambar pilihan yang mendukung kejelasan ulasan sehingga pembaca tidak akan bosan selama membacanya. Tidak hanya kalangan pebisnis yang dituju buku ini. Kalangan mahasiswa yang ingin mengamati perubahan Indonesia di abad ke-21 juga sangat dianjurkan untuk membaca buku ini. Sekilas, jika hanya melihat sampul dan judul bukunya, pembaca memang akan dibuat sedikit bingung. Namun ulasan menarik tentang isi buku ini menggugurkan semua anggapan sebelumnya. Erwinton
3
FOKUS
Cepat Lulus dengan Program Percepatan Dalam rangka menunjang pembelajaran, beberapa fakultas di UGM menyelenggarakan program kelas percepatan.
Kurikulum sama Kelas trimester program diploma FEB awalnya diadakan dan dibiayai oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Saat itu, sebagian besar pegawai Depdagri adalah lulusan SMA. Demi meningkatkan mutu para pegawai, Depdagri memberikan beasiswa untuk mengikuti perkuliahan trimester ini. Respon masyarakat ternyata positif. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, program ini dibuka untuk umum. Kelas trimester sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelas reguler. “Kurikulum kelas trimester dengan reguler itu tidak berbeda, yang beda hanya polanya,” jelas Dra Ike Yuli Andjani MSi, Wakil Koordinator Bidang Akademik Diploma FEB. Jika pada kelas reguler mahasiswa bertemu dosen hanya sekali, pada kelas trimester bisa sampai dua kali dalam seminggu. Kuliah diselenggarakan dari pagi hingga sore selama lima hari, Senin sampai Jumat. Inti program trimester adalah memadatkan waktu perkuliahan, sehingga jenjang D3 bisa diselesaikan dalam jangka waktu 18 bulan atau enam trimester. Program trimester ditawarkan ketika penerimaan mahasiswa baru. Trimester berbeda dengan semester pendek bagi mahasiswa S1 yang merupakan program remedial bagi mahasiswa dengan nilai rendah. Semester pendek diselenggarakan pada saat libur antara semester genap dan
4
I 185
ganjil. Beberapa fakultas di UGM hingga kini masih menyelenggarakan program ini, salah satunya adalah Fakultas Hukum. Di Fakultas Hukum, program ini lebih dikenal dengan sebutan kelas antarsemester. Program ini ditujukan untuk mahasiswa yang ingin mengulang mata kuliah yang telah ditempuh pada
boleh mengikuti kuliah antarsemester ini pun dibatasi, yaitu satu dosen paling banyak mengampu 60 mahasiswa. Biaya seimbang Jika dilihat sekilas, biaya program kelas percepatan per semesternya memang lebih mahal daripada program reguler. Namun apabila dihitung secara keseluruhan, sebenarnya tak banyak perbedaan. Kemungkinan untuk lulus lebih cepat membuat biaya yang dikeluarkan menjadi seimbang antara kelas percepatan dan reguler. Begitu pula dengan semester pendek atau kuliah antarsemester. “Kalau dihitung justru biayanya kan lebih murah, dia (mahasiswa,-Red) itu cepat menyelesaikan daripada berlama-lama di sini,” tegas Damari. Program percepatan merupakan kebijakan masing-masing fakultas, bukan kebijakan dari universitas. Maka, tak semua fakultas menyelenggarakan program ini. Namun banyak mahasiswa menginginkan program tersebut diberlakukan, salah satunya Monica (Teknik Elektro '09). “Coba aja ada semester pendek, kan aku bisa lebih cepat lulus,” harapnya.
ilustrasi: Icha/bul
Program percepatan menjadi pilihan bagi mahasiswa yang ingin lulus lebih cepat. Untuk jenjang diploma, ada program trimester yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB). Sementara untuk jenjang sarjana, program semester pendek bisa menjadi pilihan.
semester sebelumnya. Dengan begitu, mahasiswa tidak perlu menunggu tahun berikutnya untuk mengulang, sehingga secara tidak langsung memungkinkan untuk lulus lebih cepat. Pada dasarnya, semester pendek adalah kesepakatan bersama antara mahasiswa dan dosen. Pembukaan kelas antarsemester akan diproses apabila ada permohonan dari mahasiswa dan kesediaan dari dosen yang bersangkutan. “Ada tiga komponen penting, yaitu mahasiswa mengajukan permohonan, lalu dekanat mengajukan kepada dosen. Jika disetujui oleh dosen, barulah mahasiswa dapat mengambil kelas tersebut,” terang Damari Pranomo SH, Kepala Seksi Administrasi Akademik Fakultas Hukum. Jumlah mahasiswa yang
Ita, Nisa
FOKUS
Meninjau Efektivitas Program Percepatan Kebijakan percepatan masa studi kini tak lagi menjadi pilihan bagi beberapa fakultas.
Kebijakan berbeda “Pemberlakuan semester pendek di setiap fakultas merupakan kebijakan dekan,” terang Darmono, bagian akademik Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Oleh karenanya, tak semua fakultas menerapkan program kelas percepatan bagi mahasiswa. Misalnya di fakultas kluster sains, sudah jarang ditemui adanya semester pendek di masa liburan. Sebagai gantinya, mereka menerapkan adanya sistem remedial untuk memperbaiki nilai ujian maupun praktik. Hal serupa juga diterapkan di FIB. Pemberlakuan semester pendek di fakultas tersebut sudah lama dihapus karena dianggap tak efektif. Di Fakultas Hukum, program kelas percepatan masih dilaksanakan dengan nama kelas antarsemester. “Apabila mahasiswa tidak mengajukan maka tidak akan ada kuliah antarsemester, tapi masih harus mendapat persetujuan dari dosen yang mengampu mata kuliah,” papar Damari Pranomo SH, Kepala Seksi Administrasi Akademik Fakultas Hukum. Tak hanya semester pendek yang dihapuskan dari berbagai fakultas program sarjana. Di Sekolah Vokasi terjadi pula hal serupa. Perbedaannya, pada Sekolah Vokasi program yang dihapus adalah trimester. Banyak persoalan dialami program ini, sehingga mulai tahun ajaran 2011 kelas trimester ini sudah ditutup. Tak ada pemberitahuan yang jelas mengenai alasan penutupan kelas trimester. Namun, wacana tersebut sudah mulai disosialisasikan ke warga Sekolah Vokasi. “Penutupan kelas trimester secara lisan dari DAA (Direktorat Administrasi Akademik,-Red) dan sudah tidak akan muncul di brosur sekolah vokasi,” ujar Dra Ike Yuli Andjani
MSi, Wakil Bidang Akademik Program Diploma Ekonomi Sekolah Vokasi. Berbagai konsekuensi Penghapusan program semester pendek ataupun trimester mendapat banyak tanggapan dari mahasiswa. Sebagian mahasiswa masih
ilustrasi: Reza/bul
Program kelas percepatan yang ada di beberapa fakultas menjadi kabar gembira bagi sebagian mahasiswa. Namun, mulai tahun ini, beberapa fakultas penyelenggara telah mengkaji ulang pelaksanaan program ini. Berbagai pendapat berkembang mengenai pelaksanaan program kelas percepatan. Sebagian menyetujui, menolak, bahkan ada fakultas yang akan menghapus program ini. Akibatnya, bermunculan program yang sama dengan nama berbeda.
kurang lengkap. Hal yang sama juga terjadi pada kelas trimester. Mahasiswa yang kurang serius akan mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan perkuliahan. Hal ini dikarenakan dalam satu minggu ada dua kali tatap muka untuk mata kuliah yang sama. Dalam tiap pertemuan, dosen akan memberikan tugas untuk mahasiswa. Pengulangan mata kuliah pun menjadi berbeda karena kelas trimester tak memiliki adik angkatan. Sebagai solusinya, diadakan remedial tiap tiga trimester. Di satu sisi, program kelas percepatan memang menguntungkan mahasiswa. Namun, banyak pula konsekuensi yang mengiringinya. Penghapusan beberapa kelas percepatan akhirnya menjadi pilihan agar UGM tak sekadar meluluskan banyak mahasiswa, tapi juga mencetak lulusan yang benar-benar berkompeten. Indah, Resha
mengharapkan program ini tetap dilaksanakan. Di samping untuk meningkatkan dan memperbaiki nilai, beberapa mahasiswa tertarik memperdalam mata kuliah tertentu. “Kalau bisa sih semester pendek diadakan lagi, kan bisa untuk meningkatkan nilai. Jadi tidak harus mengikuti kelas reguler untuk mengulang mata kuliah,” tutur Tika (Sastra Perancis '09). Terlepas dari keinginan mahasiswa akan kelas percepatan, program tersebut memunculkan banyak masalah. Semester pendek misalnya, program ini terkadang hanya menjadi ajang mahasiswa untuk mengejar nilai tanpa paham substansi kuliah. Pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar yang dipadatkan menjadi satu bulan menyebabkan materi yang diberikan
5
PEOPLE INSIDE
Semangat Berkarya Untuk Masyarakat UGM patut berbangga atas penemuan vaksin flu burung (H5N1) oleh Artina Prastiwi, mahasiswi Fakultas Kedokteran '07. Sesuai dengan mottonya, “berkarya untuk masyarakat dan Indonesia”, ia tak segan berbagi ilmu dengan orang-orang yang membutuhkan.
Foto: Eka/ Bul
Vaksin organik Tak banyak yang menyangka bahwa penemuan vaksin ini berkat berbagai eksperimen di laboratorium pribadi dalam kamar kos. Eksperimen tersebut akhirnya mengantarkan Tiwi, panggilan akrabnya, menjuarai kompetisi Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi (Miti), yang bekerja sama dengan Riset dan Teknologi Indonesia pada 29 Januari lalu di Bogor. Sebelumnya, penemuan vaksin tersebut telah diajukan untuk Program Kreativitas Mahasiswa (PKM). Tiwi lebih suka menyebut penemuannya sebagai Vaksin Organik, yang juga merupakan nama dagang hasil eksperimennya tersebut. Sebenarnya vaksin virus H5N1 telah banyak diproduksi oleh pabrik dan beredar di masyarakat. “Harga vaksin buatan pabrik cukup mahal, melakukan vaksinasi menjadi pengeluaran yang besar apalagi dengan ternak unggas yang sebegitu banyaknya,” jelas Tiwi. Oleh karenanya ia mencoba mencari terobosan melalui vaksin buatannya. Vaksin tersebut mengunakan bahan pelarut dari ekstraksi buah mahkota dewa yang mengandung senyawa saponin. Senyawa saponin ini bermanfaat untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dan vitalitas. Dalam kadar 10%, senyawa saponin juga bisa digunakan sebagai anti bakteri dan anti virus. Penemuan Tiwi ini menjadi salah satu solusi yang lebih terjangkau daripada vaksin sebelumnya. Mahasiswi aktif Dalam kesehariannya, Tiwi adalah sosok mahasiswa yang penuh dengan kegiatan. Pagi hari ia bekerja sebagai sekretaris dosen di laboratorium Patologi
6
I 185
Umum, dilanjutkan dengan jadwal kuliah dan praktikum. Kemudian Tiwi menyempatkan diri mengisi kegiatankegiatan sosial seperti mengajar, mengaji, dan sebagainya. Malamnya, ia melakukan praktikum sendiri di laboratorium pribadi miliknya. Gadis asal Gunung Kidul ini juga mengelola sebuah butik di kawasan Condong Catur. Butik Mulimah miliknya bermula dari PKM yang pernah diikuti Tiwi. “Karena saya suka menggambar, saya mencoba menggambar desain baju. Butik juga sebagai langkah sosialisasi dengan orang atau mahasiswa lain sehingga meningkatkan public speaking,” tutur mahasiswi kelahiran 26 Januari 1989 ini. Ia juga pernah menjajal sebagai penyiar di Radio MQ. Tiwi juga disibukkan dengan berbagai penelitian dan presentasi di dalam maupun luar universitas. Salah satunya adalah menghadiri Annual Meeting of Science and Technology Studies (AMSTECS) di tiga negara yaitu Jepang, Hongkong dan Taiwan pada Rabu (16/3). Namun, sebelumnya Tiwi harus mencari sponsor untuk membiayai keberangkatannya karena pihak UGM tak dapat mengakomodasi semua biaya. “Kalau biaya perjalanannya sebesar sekitar US$ 700, belum lagi biaya di sana. Oleh sebab itu kemarin saya mencari sponsor dengan
mengajukan proposal di pihak negara maupun swasta,” terang Tiwi. Meski kesehariannya selalu padat dengan kegiatan, hal tersebut tak menjadi alasan untuk mengeluh. “Bagi saya semua yang sudah saya raih ini merupakan bonus dari Allah SWT. Hidup di dunia ini untuk berkarya, istirahatnya di surga,” ungkapnya. Tiwi pun masih menyimpan harapan terbesarnya, yaitu berkontribusi untuk masyarakat di belahan Indonesia timur. Menurutnya, SDM di sana haus akan pengetahuan dan pengajaran keterampilan. Terakhir, Tiwi menyampaikan harapan jangka panjang yang ingin diraihnya. “Semoga saya berguna bagi masyarakat luas dan orangorang yang membutuhkan saya. Dan yang terpenting tetap berpikiran positif dan optimis, pokoknya all is well,” tutupnya.
AAH! MURAA ABIS
Adinda, Adit
100 24 Jam
Fotokopi cuma
sendowo barat SD Percobaan
Full AC
Murah
SEGERA HUBUNGI!!!
0817 6308588 (tyo PD 05)
KAMPUSIANA
Bedah Novel Juara Sayembara Novel DKJ 2010
Foto: Zaki/ Bul
Jurusan Sastra Indonesia bekerja sama dengan Institute for Civil Empowerment (ICE) menyelenggarakan bedah novel pada Senin, (14/3). Bertempat di auditorium Fakultas Ilmu Budaya (FIB), acara tersebut membedah satu novel berjudul Jatisaba karya Ramayda Akmal. Novel ini mendapat predikat novel unggulan dan memenangkan sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2010. Penulis novel Jatisaba adalah seorang sarjana sastra lulusan UGM. Melalui karyanya, ia
membuktikan bahwa UGM tak hanya mencetak ilmuwan sastra, tapi juga seorang sastrawan. Acara yang dihadiri lebih dari 100 pengunjung ini dimulai pukul 13.00 WIB dan berakhir pukul 15.00 WIB. Acara bedah buku diawali dengan pembacaan monolog berjudul Pulang oleh Wahyudi. Kemudian disusul dengan sambutan oleh penulis novel Jatisaba. Dalam sambutannya, Aida, sapaan Ramayda Akmal, mengungkapkan terima kasih kepada pihak yang telah membantu dan mendukung hingga novel Jatisaba terbit. “Novel itu saya tulis di akhir 2009 sampai Agustus 2010, kemudian saya ikut sertakan dalam sayembara tersebut. Alhamdulillah menjadi salah satu dari empat novel unggulan yang jadi pemenang,” tutur wanita kelahiran Cilacap ini. Di puncak acara, novel Jatisaba dibedah dua orang ahli di bidang sastra. Keduanya yaitu Prof Dr Heddy Shri
Ahimsa-Putra MA Mphil, Guru Besar Antropogi UGM dan Dr Aprinus Salam, dosen Sastra Indonesia. Novel Jatisaba menceritakan polemik tenaga kerja Indonesia yang dianggap sebagai wujud perdagangan manusia. Jatisaba sendiri merupakan nama sebuah daerah di Cilacap. Dalam novel ini tertuang unsur politik sekaligus unsur seksual, tapi sarat akan nilai kemanusiaan. “Menarik, klasik, cerdas!” kesan Heddy mengenai novel Jatisaba seperti yang tertuang dalam sampul belakang buku tersebut. Tak ketinggalan, para pengunjung pun menanggapi acara ini dengan respon positif. “Acara kayak gini bagus banget. Apalagi buat yang suka novel-novel serius seperti novelnya Ahmad Tohari. Jatisaba bisa buat nambah referensi,” ujar Dita (Sastra Jepang '07). Fahmi
Gedung Baru Gantikan Kantin FMIPA
Foto: Rizki/ Bul
Sejak awal Maret lalu, FMIPA melakukan pembongkaran kantin yang terletak di bagian utara kampus. Nantinya, di atas tanah seluas 650 m2 ini direncanakan akan dibangun gedung baru setinggi enam lantai sebagai pengganti kantin. Gedung ini digunakan untuk kegiatan akademik program S2 dan
S3. Hingga kini pembangunan mencapai tahap proses Ijin Pemanfaatan Tanah (IPT) untuk mendapatkan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB). Pembangunan ini diperkirakan memakan waktu kurang lebih satu tahun. “Selama pembangunan gedung S2 dan S3, ada kantin semi permanen di belakang gedung jurusan fisika,” ujar Wakil Dekan II Urusan Administrasi dan Pengembangan Sumber Daya, Dr Agus Kuncaka DEA. Untuk membangun gedung tersebut dianggarkan dana sebesar Rp 20 miliar yang berasal dari biaya administrasi mahasiswa. Pendirian gedung ini diharapkan dapat mendukung kegiatan internasionalisasi program S2 dan S3 terutama untuk memperbesar jumlah jurnal ilmiah tingkat internasional. Selain itu fasilitas bagi mahasiswa,
dosen, profesor dan peneliti pun akan ditingkatkan. Namun, laiknya pembangunan gedung pada umumnya, mahasiswa mengeluhkan polusi udara dan kotornya lingkungan kampus. Mahasiswa juga merasa terganggu kenyamanan belajarnya karena pembangunan proyek ini. “Agak kurang nyaman, soalnya tempatnya yang sekarang (kantin semi permanen,-Red) kotor,” ungkap Nanda (Kimia '07). Meski begitu, kegiatan belajar mengajar tak terganggu dan tetap berjalan seperti biasa. FMIPA sendiri memiliki dua kampus yaitu MIPA utara dan MIPA selatan. Sejak awal masuk, mahasiswa FMIPA harus berpindah-pindah ruangan kuliah di dua kluster tersebut. Resti
7