LAPORAN PENELITIAN
KAUM MUDA : ANTARA AGEN DAN SURVIVOR DALAM WACANA JOGJA KOTA INKLUSIF
YouSure
YOUTH STUDIES CENTRE FISIPOL UGM
LAPORAN PENELITIAN Kaum Muda : Antara Agen dan Survivor dalam Wacana Jogja Kota Inklusif1
Disusun oleh : Tim Riset Youth Studies Centre Fisipol UGM
Pengarah Akademik Dr. M. Najib Azca, MA Derajad S. Widhyharto, MA Peneliti Disi Riwanda Rabbani Dwi Ayu Silawati Gilang Puspoadi Gregorius Ragil Wibawanto Umar Abdul Aziz Vicky Anugerah Tri Hantari
YouSure 2016
1
Penelitian ini didanai melalui skema Hibah Riset Pusat Kajian Fisipol UGM 2016
1
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................... 4 RINGKASAN PENELITIAN............................................................ 6 KAUM MUDA DIFABEL YOGYAKARTA ...................................... 13 ABSTRAK ......................................................................................... 13 PENDAHULUAN .............................................................................. 13 METODE ......................................................................................... 19 TEMUAN RISET ............................................................................... 21 Ruang Inklusif untuk Difabel di Yogyakarta .................................... 21 Aktivisme Kaum Muda dalam Isu Disabilitas .................................. 26 Kaum Muda sebagai Agen dan Survivor ......................................... 34 Dinamika Aktivis Muda : Tantangan dan Peluang........................... 41 KESIMPULAN .................................................................................. 47 KAUM MUDA LGBT YOGYAKARTA ........................................... 48 ABSTRAK ......................................................................................... 48 PENDAHULUAN .............................................................................. 48 Kota Inklusif .................................................................................... 53 Grassroot Organizing Dan Citizen Participation .............................. 54 Integroup Dialogue Dan Sociopolitical Development ..................... 56 Momentum Transisi Dan Partisipasi Kewargaan ............................ 57 Kaum Muda : Agen Dan Survivor .................................................... 59 METODOLOGI ................................................................................. 61 Metode Pengumpulan Data ........................................................... 62 Analisa Data .................................................................................... 63 Tantangan Dan Limitasi .................................................................. 64 2
TEMUAN RISET ............................................................................... 65 Yogyakarta dan LGBT ...................................................................... 65 Penyintas Atas Stigma-Stigma Yang Beredar .................................. 68 Diam-Diam Melawan ...................................................................... 71 Agensi dan Gerakan Akar Rumput .................................................. 73 Mempertimbangkan LGBT dalam Wacana Kota Inklusi .................. 77 Kaum Muda : Keterbukaan dan Kewargaan Kota ........................... 79 KESIMPULAN .................................................................................. 82 DAFTAR PUSTAKA ................................................................... 83
3
KATA PENGANTAR Riset dengan topik “kaum muda: antara agen dan survivor dalam wacana Jogja Kota Inklusi� ini merupakan bagian dari skema riset pusat kajian Fakultas Ilmu Sosial dan Politik tahun 2016, adapun pemilihan topik tersebut merujuk pada perhatian dunia saat ini terhadap problematika kaum muda, multikulturalisme, dan inisiasi kota inklusi. Gagasan riset ini juga beririsan dengan agenda lokal, sampai dengan global. Misalnya, kiprah kota Jogja menyiapkan diri sebagai kota inklusi yang ditunjukkan dengan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012, yang mana pemerintah kota Yogyakarta memasukkan program kota inklusi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta tahun 2012 - 2016. Turunan dari Perda tersebut adalah penanggulangan kemiskinan, pengarusutamaan gender, kota ramah anak, pembentukan komite difabel dan pendidikan inklusi. Selanjutnya, pada tahun 2013, UNESCO bersama dengan Pemerintah kota Yogyakarta dan Gubernur DIY menandatangani nota kesepakatan untuk menyelenggarakan program Promoting Social Inclusion of Persons Living With Disabilities in Indonesia. Turunan dari program itu adalah penyelenggaraan sekolah inklusi dan perbaikan aksesibilitas infrastruktur. Dua tahun setelahnya, Bappeda kota Yogya menyampaikan gagasan untuk memunculkan Yogyakarta sebagai kota inklusi dengan semangat peningkatan fasilitas yang dapat terakses oleh seluruh warga kota. Merespon hal tersebut Pusat Kajian Kepemudaan-Youth Studies Centre (YouSure) Fisipol UGM, mengeksplorasi dengan melakukan riset lebih dalam tentang posisi, dan cara kaum muda berperan sebagai agen dan survivor dalam mewacanakan jogja sebagai kota inklusi dengan menempatkan pijakan kota inklusi ke dalam tiga aspek, yakni: Pertama, spatial inclusion yaitu kemudahan akses terhadap layanan dan infrastruktur publik yang penting, terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok yang kurang beruntung dalam hal ini kaum difabel dan LGBT. Kedua, social inclusion yaitu jaminan bahwa semua orang mendapatkan hak dan partisipasi yang sama (people). Ketiga, economic inclusion, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan serta kesempatan yang sama bagi setiap penduduk kota untuk merasakan dampak dari perkembangan ekonomi yang ada sehingga tercapai kesejahteraan. 4
Hasilnya wacana kota “Inklusi� jogja masih menyisakan kontestasi peran kaum muda agen dan survivor. Hal tersebut kemudian memunculkan dua kemungkinan yakni wacana Jogja kota inklusi sebagai sebuah bentuk dukungan dan apresiasi terhadap keterlibatan kaum muda marjinal (difabel dan LGBT) dan peningkatan partisipasi masyarakat Jogja di satu sisi. Namun, disisi lain wacana Jogja kota inklusi dibayang-bayangi ancaman baru, yakni kegagalan pemangku kepentingan inklusi untuk konsisten terhadap praktik inklusi dan bukan pencitraan inklusi. Hal ini menandakan masih panjang jalan Jogja menjadi kota inklusi. Berbagai terobosan untuk mempercepat proses Jogja Kota inklusi, salah satunya dengan menempatkan kaum muda bukan lagi sebagai obyek inklusi, melainkan menempatkan kaum muda sebagai subyek inklusi mulai dari kampanye sampai dengan terlibat dalam pengambilan keputusan. Ucapan terima kasih kami sampaikan, pertama Dr. Erwan Agus Purwanto, M.Si (Dekan Fisipol UGM), yang telah memberikan kesempatan melakukan riset dan diseminasi hasil riset kaum muda dan kota inklusi di Fisipol UGM. Kedua, Dr. M. Najib azca, MA, (Direktur YouSure) yang telah memberikan waktunya sebagai pengarah akademik, tak lupa the Rising Star para peneliti YouSure, Fisipol UGM. Ragil, Sila, Disi, Umar, Gilang, dan Vicky Mantaaap gaesss, terima kasih untuk kerja keras dan kerja cerdasnya. Salam pemuda,
Derajad S. Widhyharto
5
RINGKASAN PENELITIAN Pada tahun 2013, UNESCO bersama dengan Pemerintah kota Yogyakarta dan Sri Sultan Hamengkubuwono XI menandatangani nota kesepakatan untuk menyelenggarakan program Promoting Social Inclusion of Persons Living With Disabilities in Indonesia. Turunan dari program itu adalah penyelenggaraan sekolah inklusi dan perbaikan aksesibilitas infrastruktur. Dua tahun setelahnya, Bappeda kota Yogya menyampaikan gagasan untuk memunculkan Yogyakarta sebagai kota inklusi dengan semangat peningkatan fasilitas yang dapat terakses oleh seluruh warga kota. Bappeda bahkan menyusun kategori warga yang menjadi sasaran prioritas program kota inklusi, antara lain : 1) Penduduk miskin 2) Perempuan 3) Anak 4) Lanjut usia (Lansia) dan 5) Difabel. Program – program tersebut telah memiliki instrument hukum yang sangat mendukung pelaksanaannya di Yogyakarta. Sejak diratifikasinya CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) pada tahun 2011, melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012, pemerintah Yogyakarta mulai menggalakkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Tidak hanya cukup disitu, melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012, pemerintah kota Yogyakarta memasukkan program kota inklusi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta tahun 2012 - 2016. Turunan dari Perda tersebut adalah penanggulangan kemiskinan, pengarusutamaan gender, kota ramah anak, pembentukan komite difabel dan pendidikan inklusi. Hitam di atas putih menunjukkan keseriusan dalam mewujudkan mimpi Yogyakarta sebagai lokus inklusif. Namun, pada kenyataannya, inklusivitas yang dipraktikkan baik sejak di pikiran maupun kehidupan sehari – hari justru paradoks. Prioritas kelompok yang diberdayakan belum menyentuh seluruh lapisan masyarakat yang termarginalisasi. Daftar yang dibuat oleh Bappeda belum mampu mewakili semangat inklusivitas yang ingin diusung. Tampaknya, istilah inklusif memang masih problematis dan 6
kerap diasosiasikan dengan kelompok difabel semata. Padahal lebih dari itu, inklusif mengandung cita – cita besar yang bermuara pada keterbukaan akses bagi segala kalangan (UN Report, 2010). Kota inklusif seharusnya sebuah kota dapat memberikan kesempatan semua penduduknya terlibat dalam beragam aktivitas yang ada. Kota inklusif berusaha meminimalisasi marginalisasi atau eksklusi dengan berusaha meningkatkan interaksi antar penduduk. Untuk menjadi kota inklusif, sebuah kota harus memenuhi tiga aspek inklusivitas (World Bank, 2015). Pertama, spatial inclusion yaitu kemudahan akses terhadap layanan dan infrastruktur publik yang penting, terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Aspek pertama ini berpengaruh pada ketersediaan ruang yang aksesibel (place). Kedua, social inclusion yaitu jaminan bahwa semua orang mendapatkan hak dan partisipasi yang sama (people). Morrison (2011) menjelaskan dua hal penting dalam inklusi sosial, yaitu menyangkut hak-hak kelompok tersebut untuk diakui sebagai bagian dari masyarakat (inter-subjective recognition) dan warga negara (institutional recognition). World Bank menekankan pada hak politik mereka untuk menyuarakan pendapat dan kepentingannya, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketiga, economic inclusion, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan serta kesempatan yang sama bagi setiap penduduk kota untuk merasakan dampak dari perkembangan ekonomi yang ada sehingga tercapai kesejahteraan (wellbeing). Indikator tersebut merupakan alat bantu untuk memandang inklusivitas secara lebih luas dan perkakas strategis untuk melakukan investigasi inklusivitas sebuah kota. Yogyakarta, sebagai kota ternyaman menurut Ikatan Ahli Perencana Indonesia (2013) agaknya perlu mengalami revisi. Hal ini dikarenakan beberapa akses untuk kelompok yang termarginalkan belum terjamin secara penuh bagi dan oleh masyarakat maupun aktivitas negara. Kondisi ini dapat dilihat dari infrastruktur perkotaan. Meskipun di beberapa gedung layanan publik, akses telah terpenuhi, namun lanskap jalanan belum ramah bagi penyandang difabel. Di lain sisi, kesetaraan akses pada setiap kalangan juga belum tercipta. 7
Difabel dan kelompok marginal kerap dibedakan bukan disesuaikan. Inilah yang kemudian memunculkan keraguan mengenai kredo inklusivitas Yogyakarta. Belum lagi ketika menyentuh kaum marginal yang lain. Data penelitian yang diorganisasi oleh jaringan Arus Pelangi (2013) di Jakarta, Makassar, dan Yogyakarta memperlihatkan bahwa 89.3% LGBT pernah mengalami kekerasan fisik, 79,1% pernah mengalami kekerasan psikis, 45.1% pernah mengalami kekerasan seksual dan banyak dari kekerasan tersebut dialami dalam bentuk bullying saat masa sekolah. Data tersebut merupakan satu refleksi yang menunjukkan bahwa diskriminasi pada kelompok LGBT bukan perkara yang sederhana. Yogyakarta, sebagai kota yang direncanakan akan menjadi kota inklusif, justru memiliki jejak diskriminasi yang cukup tebal. Kondisi tersebut terus mengalami eskalasi di awal tahun 2016 yang didahului oleh aksi – aksi serupa di awal 2000an. Iqbal (2012) mencatat bahwa Yogyakarta mengalami peningkatan tindakan intoleransi sejak tahun 2000. Pandangan Iqbal sejalan dengan dokumentasi Global Terrorism Database yang mencatat kenaikan aktivitas intoleran di Yogyakarta sejak tahun 1998. Pada tahun 2014 tercatat tiga serangan dari kelompok Islam radikal terhadap umat Kristiani, baik di Gereja sebagai sektor publik maupun sektor domestik. Kasus tersebut belum termasuk berbagai tindakan represif untuk menolak paham-paham yang dianggap liberal dan berbau sekular oleh kelompok-kelompok radikal. Tahun 2012, diskusi Irshad Manji di LKiS berakhir kisruh dengan hadirnya Majelis Mujahin Indonesia. Tiga tahun berselang, film senyap yang menghebohkan Indonesia karena dianggap membangkitkan ideologi sosialisme, melanda juga di Yogyakarta. FUI melakukan sweeping keras di kampus-kampus untuk membubarkan film senyap. Februari 2016, pondok pesantren Al-Fatah yang memfasilitasi santri waria diserang oleh ormas. Berlanjut pada peristiwa di Jalan Jenderal Sudirman di mana kelompok Solidaritas Perjuangan Demokrasi yang merupakan gabungan antara berbagai organisasi yang termarginalisasi hampir berhadap – hadapan dengan FUI.
8
Diskriminasi, pertentangan, dan kesenjangan akses baik bagi kaum LGBT maupun Difabel di Yogyakarta semakin memperpanjang jarak antara harapan menjadi kota inklusif dengan kenyataan yang kontraproduktif. Jika ditilik kembali, dua kelompok tersebut yang paling kerap dibicarakan dan memiliki basis kaum muda sebagai aktor – aktor dominan di dalamnya yang berdiri di antara dua sisi. Pertama, sebagai agen yang mempromosikan kesetaraan akses di segala bidang menuju kota inklusif. Di posisi ini, kaum muda yang bergerak di kedua issue tersebut melakukan advokasi baik secara struktural maupun kultural. Kedua, sebagai survivor yang bertahan dari gempuran wacana eksklusi yang semakin memojokkan posisi sosial dan politik mereka. Pernyataan ini terlihat dari bagaimana entitas kota memperlakukan kaum muda dari LGBT dan Difabel untuk terus berada dalam bayang – bayang diskriminasi. Penelitian ini berusaha untuk menguak ambivalensi yang dihadapi kaum muda LGBT dan Difabel dalam wacana besar Yogyakarta kota inklusif. Pendekatan yang diterapkan dalam proses investigasi tersebut berpijak pada prinsip – prinsip etnografi dengan proses pelibatan aktif bersama dengan subjek penelitian. Pendekatan ini memungkinkan bagi peneliti untuk mengidentifikasi motif – motif kultural dalam usaha kaum muda mewujudkan Yogyakarta kota inklusif. Kerangka yang digunakan untuk melihat persoalan tersebut terdiri dari beberapa konsep mayor. Kota inklusif dilihat dari sudut pandang yang disusun oleh UN. Kota harus memenuhi tiga aspek inklusivitas (World Bank, 2015). Pertama, spatial inclusion yaitu kemudahan akses terhadap layanan dan infrastruktur publik yang penting, terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Aspek pertama ini berpengaruh pada ketersediaan ruang yang aksesibel (place). Kedua, social inclusion yaitu jaminan bahwa semua orang mendapatkan hak dan partisipasi yang sama (people). Morrison (2011) menjelaskan dua hal penting dalam inklusi sosial, yaitu menyangkut hak-hak kelompok tersebut untuk diakui sebagai bagian dari masyarakat (inter-subjective recognition) dan warga negara (institutional recognition). World Bank menekankan pada 9
hak politik mereka untuk menyuarakan pendapat dan kepentingannya, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketiga, economic inclusion, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan serta kesempatan yang sama bagi setiap penduduk kota untuk merasakan dampak dari perkembangan ekonomi yang ada sehingga tercapai kesejahteraan (wellbeing). Ketiga poin tersebut dikontestualisasikan di Yogyakarta untuk mengidentifikasi peluang dan tantangan kaum muda dalam membangun kota inklusif. Sedangkan untuk melihat proses yang dilakukan oleh kaum muda dalam mewujudkan kota inklusif dikerangkai oleh sudut pandang aktivisme kaum muda sebagaimana dijelaskan oleh Checkoway & Aldana (2013) melalui konsep youth civic engagement yang terdiri dari empat bentuk, yaitu; a) grassroot organizing; b) citizen participation; c) intergroup dialogue; d) sociopolitical development. Kota inklusif dan youth civic engagement dalam perdebatan dominan agensi dan struktur yang menaruh pemuda sebagai kategori sosial yang sedang mengalami masa transisi. Peneliti menjumpai sekitar dua puluh aktor muda dari kelompok LGBT dan Difabel sebagai subjek dalam penelitian ini dalam forum – forum kebudayaan yang relevan serta melalui focus group discussion dan wawancara mendalam yang secara intents dikelola untuk mendapatkan narasi perjuangan kaum muda membangun kota inklusif. Narasi yang muncul dari proses tersebut kemudian diintepretasi dengan konsep – konsep yang disebutkan di atas. Hasil pembacaan yang dilakukan memperlihatkan bahwa perjuangan membangun Yogyakarta kota inklusif mengalami hambatan baik dari segi struktural (kebijakan) maupun kultural (wacana kehidupan sehari – hari). Kaum muda difabel dan LGBT kemudian menyiasati tersebut dengan membangun jejaring kerjasama dengan kelompok dari wacana lain sehingga suara – suara dimunculkan atas nama entitas kolektif perkotaan. Namun, strategi tersebut menuai tantangan ketika menaruh proses yang dilakukan kaum muda berada dalam skema kewargaan. Skema tersebut menganggap kaum muda sebagai warga negara yang belum siap atau citizen-in-the-making (Kenelly, 2011). Konsekuensi dari 10
pandangan ini adalah label yang disematkan pada kaum muda sebagai warga negara yang tidak didengar karena secara kultural dianggap belum mampu bertindak sebagi warga negara yang baik. Sedangkan, secara struktural belum memiliki power untuk melakukan advokasi kebijakan. Oleh karena itu, membangun jejaring yang solid adalah salah satu strategi yang disusun untuk membangun Yogyakarta kota inklusif. Proses ini bermuara pada konstruksi masyarakat atas warga negara muda yang berada di antara god activism dan bad activism. Kedua posisi “di antara” tersebut tersusun bergantung dari arena yang dialami kaum muda dalam membangun kota inklusif. Kaum muda LGBT cenderung disemati dengan label bad activism karena asosiasi wacana yang dimunculkan kerap bersinggungan dengan nilai – nilai minor. Sedangkan, kaum muda difabel diasosiasikan dengan kegiatan berbudi baik sehingga kerap disemati dengan label good activism. Konsekuensi tersebut muncul juga karena kecenderungan dalam ranah. Strategi kultural diadakan dengan jejaring antar kelompok dengan bermacam bentuk kegiatan. Diseminasi wacana biasa dilakukan dengan forum tipikal kaum muda melalui pemutaran film, diskusi ringan, kampanye perdamaian, dan sosialisasi ke ranah – ranah pendidikan. Ranah ini merupakan ranah yang sebenarnya cukup beresiko karena kerap dikonstruksikan sebagai cara kaum muda memulai aktivitas represi. Namun, tidak bagi beberapa kelompok kaum muda, difabel misalnya. Kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan usaha membangun kota inklusif, dipandang sebagai satu kegiatan positif. Sedangkan, ketika LGBT mengorganisasi kegiatan serupa, maka rentan dipandang sebagia kegiatan yang melanggar norma dan nilai baik masyarakat. Pun hal ini terjadi di ranah advokasi kebijakan. Difabel telah mendapat dukungan dengan seperangkat undang – undang, misalnya saja UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan UU No.4 Tahun 2012. Sedangkan LGBT justru menuai Undang – undang diskriminatif dengan diterbitkannya Perda Gepeng di tahun 2014. Ketimpangan itulah yang dihadapi oleh Kaum Muda LGBT ketika bergerak membangun kota inklusif. Sedangkan, kaum muda difabel lebih 11
cenderung difasilitasi. Namun, tetap saja, keduanya belum terlindungi secara utuh dalam wacana Yogyakarta inklusif. Di beberapa aktivitas kehidupan sehari, mereka masih terus mengalami diskriminasi. Meskipun demikian, usaha untuk mewujudkan kota inklusif tetap dilakukan. Proses itulah yang kemudian diapresiasi melalui penelitian ini.
12
KAUM MUDA DIFABEL YOGYAKARTA ABSTRAK Kota Yogyakarta sering disandingkan dengan kota-kota seperti Bandung dan Jakarta yang memiliki penduduk muda yang antusias, ditandai dengan keberadaan komunitas, organisasi, dan LSM yang luar biasa ragamnya. Kota Yogyakarta pula banyak menyandang gelar-gelar yang cukup positif, salah satunya disematkan oleh UNESCO sebagai rintisan kota inklusif. Menarik kemudian membahas apakah gelar tersebut telah sesuai dengan kenyataan yang ada di Yogyakarta, terutama dari sudut pandang kelompok marginal yang sering tersisihkan. Penelitian ini menggunakan metode riset kualitatif dan fokus pada kelompok pemuda difabel dan non-difabel yang berkecimpung dalam isu disabilitas melalui komunitas, organisasi, maupun LSM. Penelitian ini kemudian berhasil memotret dinamika pergerakan kaum muda, baik difabel maupun non-difabel sebagai agen dan survivor dalam proses mewujudkan kota Yogyakarta yang inklusif. Kata kunci : kota inklusif, pemuda, disabilitas, difabel, non-difabel, agen, survivor
PENDAHULUAN Yogyakarta merupakan salah satu kota yang ditunjuk oleh UNESCO sebagai rintisan kota inklusif, kota yang dapat menyediakan akses bagi semua penduduknya, termasuk kelompok-kelompok yang sering termarginalisasi atau terekslusi di tengah masyarakat. Biasanya karena mereka memiliki karakter atau budaya tertentu yang berbeda dengan sebagian besar masyarakat di sekitarnya. Salah satu kelompok termarginalisasi yang cukup menarik adalah kelompok difabel atau masyarakat dengan disabilitas. Disabilitas atau difabel merupakan istilah yang telah disetujui secara internasional sebagai status untuk teman-teman kita yang memiliki kemampuan yang berbeda (different ability). Dalam istilah bahasa Inggris, teman-teman difabel juga disapa dengan istilah disabled persons. Beberapa 13
jenis difabel yang sering ditemui adalah difabel netra, tuli, daksa, dan grahita. Kelompok difabel sama dengan kelompok marginal lainnya, sering menjadi objek diskriminasi. Dengan karakter dan kondisi mereka yang berbeda, akses mereka terhadap fasilitas publik terbatas, begitu pula akses terhadap lingkungan sosial dan ekonomi. Sebagai kota inklusif seharusnya sebuah kota dapat memberikan kesempatan semua penduduknya terlibat dalam beragam aktivitas yang ada. Kota inklusif berusaha menimalisasi marginalisasi atau eksklusi dengan berusaha meningkatkan interaksi antar penduduk. Untuk menjadi kota inklusif, sebuah kota harus memenuhi tiga aspek inklusivitas (World Bank, 2015). Pertama, spatial inclusionyaitu kemudahan akses terhadap layanan dan infrastruktur publik yang penting, terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Aspek pertama ini berpengaruh pada ketersediaan ruang yang aksesibel (place). Kedua, social inclusion yaitu jaminan bahwa semua orang mendapatkan hak dan partisipasi yang sama (people). Morrison (2011) menjelaskan dua hal penting dalam inklusi sosial, yaitu menyangkut hak-hak kelompok tersebut untuk diakui sebagai bagian dari masyarakat (inter-subjective recognition) dan warga negara (institutional recognition). World Bank menekankan pada hak politik mereka untuk menyuarakan pendapat dan kepentingannya, serta terlibat dalam pengambilan keputusan. Ketiga, economic inclusion, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan serta kesempatan yang sama bagi setiap penduduk kota untuk merasakan dampak dari perkembangan ekonomi yang ada sehingga tercapai kesejahteraan (wellbeing). Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang telah memiliki fasilitas publik untuk kelompok difabel, seperti guiding block di banyak jalur pejalan kaki, ram (bidang miring) dan lift sebagai pengganti tangga. Kita juga dapat dengan mudah menemukan beberapa sekolah dari berbagai tingkatan yang diklaim sebagai sekolah inklusi. Di kota ini pula geliat kegiatan komunitas dan LSM sosial dapat dilihat dengan jelas melalui berbagai acara dan forum diskusi. Secara kultur, Yogyakarta diklaim sebagai kota yang ramah pada siapapun, Tak jarang banyak orang yang berasal dari 14
berbagai wilayah dengan latar belakang yang beragam pula kemudian memilih menetap di kota ini, termasuk teman-teman difabel. Karakter kota Yogyakarta yang dinamis tersebut tidak bisa lepas dari peran kaum muda. Kebanyakan kaum muda di kota ini merupakan pelajar yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia. Pemuda memiliki karakter yang unik seiring dengan posisi mereka yang berada pada masa transisi dari anak-anak menuju dewasa. Banyak perdebatan terjadi terkait status pemuda sebagai warga negara. Beberapa menganggap pemuda sebagai citizens-to-be, penduduk yang perlu diedukasi untuk memenuhi hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Beberapa juga meragukan kapabilitas pemuda sebagai warga negara yang terlibat dalam isu-isu publik secara penuh serta mampu bertanggungjawab atas apa yang mereka lakukan karena kecenderungan mereka yang masih tergantung secara ekonomi maupun sosial pada sosok orang dewasa, misal orang tua (LindstrĂśm, 2010: 49-50). Pemuda dianggap dewasa ketika mereka mengalami fase kehidupan tertentu seperti bekerja, menikah, menjadi orang tua, sehingga mereka dapat dikatakan telah mandiri secara finansial, psikologis, dan sosial (Azca, Widhyharto & Sutopo ed., 2014: 11). Terlepas dari perdebatan di atas, beberapa tahun belakangan riset di beberapa negara menunjukkan bahwa keterlibatan dan ketertarikan pemuda terhadap politik formal sebagai salah satu indikator kewarganegaraan, berkurang. Partisipasi mereka dalam bidang politik bergeser ke arah aktivitasaktivitas informal. Kaum muda merasa suara mereka tidak akan berpengaruh banyak pada kebijakan. Biasanya dipengaruhi oleh pengalaman mereka untuk berpartisipasi dalam politik, misalnya melalui pemilu. Ketika itu tidak memberikan pengalaman yang positif, ketertarikan mereka untuk berpartisipasi lebih lanjut akan berkurang pula. Kaum muda lebih kemudian memilih untuk berpartisipasi pada isu-isu mikro melalui organisasi atau klub yang mereka ikuti. Kecenderungan lainnya adalah kaum muda akan fokus pada single issues, isu-isu spesifik sesuai dengan minat mereka (Shephard & Patrikios, 2013: 753-754). Ini menunjukkan karakter kewarganegaraan pemuda yang cukup unik dan berbeda dengan kelompok dewasa. Pemuda 15
memiliki komunitas dan jaringan mereka sendiri yang biasanya terbentuk melalui lingkungan pertemanan atau sosial media (LindstrĂśm, 2010: 55). Keterlibatan seseorang sebagai warga negara biasanya digambarkan dalam pendidikan dan media sebagai bentuk sikap tanggung jawab yang diidentikan dengan keterlibatan dalam pemilu, melakukan kegiatan sukarela untuk masyarakat luas, serta partisipasi dalam politik formal, misal partai politik. Pemuda biasanya terlibat dalam kegiatan sukarela yang sering disebut sebagai aktivisme, seperti advokasi, diseminasi isu untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, Aktivisme semacam tersebut dikategorikan sebagai good activism, sementara aktivisme dalam bentuk protes dan demonstrasi disebut sebagai bad activism (Kennelly, 2011: 71). Pada dasarnya, aktivisme dalam bentuk apapun merupakan aksi yang bertujuan menentang atau mengubah status quo. Namun, aktivisme berbeda dengan kegiatan resistansi, mereka lebih cocok digolongkan sebagai kegiatan agensi, yang berusaha mewadahi dan menyuarakan kepentingan mereka atau orang banyak. Aktivisme ini lebih menarik bagi pemuda mengingat faktor usia mereka yang masih dalam masa transisi dan mudah dipengaruhi (Ginwright, Noguera, & Cammarota ed., 2006). Aktivisme kaum muda biasanya juga ditandai dengan aksi-aksi kreatif yang menarik kaum muda lain untuk terlibat. Hal ini akan ditemui pada pembahasan selanjutnya. Lebih spesifik lagi, aktivisme kaum muda dijelaskan oleh Checkoway & Aldana (2013) melalui konsep youth civic engagement yang terdiri darike dalam empat bentuk, yaitu; a) grassroot organizing; b) citizen participation; c) intergroup dialogue; d) sociopolitical development. a) Grassroot organizing.Pemuda melibatkan diri dalam isu publik dengan mengorganisasi kelompok-kelompok aksi secara independen untuk menghimpun kekuatan untuk melawan kondisi yang menurut mereka tidak sesuai dengan kepentingan serta mempengaruhi kebijakan. Dengan tergabung dalam suatu organisasi akan menimbulkan perasaan kuat atau mampu karena bersatu, memberi mereka pengetahuan dan keterampilan, serta berkontribusi dalam perkembangan masyarakat. Kelompok ini menganggap identitas sosial dan karakter-karakter lainnya sebagai faktor 16
yang dapat mendorong aksi kolektif. Kegiatan yang mereka lakukan antara lain mengadakan forum, public hearing, kegiatan sosial yang bersifat lokal dan spesifik, serta demonstrasi. Sifatnya yang independen menunjukan bahwa pemuda terlibat karena peduli terhadap isu-isu yang muncul di lingkungannya, sehingga pemuda memposisikan dirinya sebagai, organizer, advokat, dan agen perubahan. Di masa depan mereka melihat bahwa seharusnya orang dewasa berkontribusi dalam sektor yang lebih kecil, misal pemimpin dalam komunitas atau lingkungan sekitar mereka. b) Citizen participation. Dalam bentuk ini, pemuda memilih berpartisipasi melalui saluran-saluran politik formal karena mereka melihat institusi yang matang penting untuk mengorganisasi masyarakat dengan baik, dalam arti menjamin semua orang mematuhi peraturan dan nilai yang telah ditetapkan. Pemuda diposisikan sebagai warga negara muda yang akan menjadi generasi penerus, pemimpin di masa depan, sehingga perkembangan pemuda dilihat sebagai fase di mana orang mencari status dan peran sosial mereka kelak di masa dewasa. Pemuda yang memilih jalur ini melihat bahwa sudah seharusnya masyarakat berpartisipasi dalam aktivitas politik dan institusi pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan mereka pun tidak jauh dari kegiatan-kegiatan yang sangat formal dan birokratis, seperti membentuk dewan atau perwakilan pemuda, terlibat aktif dalam proses pemilu, serta mengadakan diskusi-diskusi politik. Keterlibatan mereka dipengaruhi prinsip bahwa mayoritas berperan sebagai pemegang kekuasaan dominan yang tetap harus berkoordinasi dengan perwakilan kelompok minoritas. c) Intergroup dialogue. Kertelibatan ini dibentuk oleh keinginan pemuda untuk berkomunikasi dengan kelompok pemuda lain yang menurut mereka berbeda. Hal ini dimotivasi oleh idealisme bahwa kondisi dapat berubah jika antar kelompok yang berbeda dapat bersinergi dengan yang lain dan membentuk koalisi yang lebih kuat, sebab mereka percaya bahwa setiap orang memiliki identitas sosial yang lebih dari satu yang pada suatu saat atau keadaan tertentu memiliki kepentingan yang saling bertautan. Mereka menempatkan diri sebagai agen perubahan sekaligus fasilitator. 17
Keberagaman merupakan komponen penting dari bentuk keterlibatan ini. Alih-alih melihat perbedaan sebagai penghalang, mereka melihat perbedaan sebagai suatu media untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang beragam tersebut. d) Sociopolitical development.Keterlibatan jenis ini ditandai dengan kesadaran kelompok pemuda minoritas berusaha memperkuat perkembangan sosial dan politik mereka agar dapat mengembangkan aksi kolektif mereka, sebab dalam pendekatan ini aktivisme pemuda dinilai belum setara antar satu kelompok dengan kelompok lain, sehingga ada kategorisasi kelompok superior dan inferior. Kelompok minoritas biasanya menghadapi tantangan struktural dan institusional, seperti kemiskinan, rasisme atau diskriminasi yang telah terinstitusi misalnya peraturan yang tidak sesuai dengan kepentingan atau kebutuhan suatu kelompok, Dengan kata lain, kelompok ini memandang bahwa institusi yang ada justru melestarikan opresi, diskriminasi, prasangka, dan ketidaksetaraan, sehingga perlu diintervensi. Bentuk aksi mereka antara lain, kampanye mengenai keadilan sosial, protes, advokasi kebijakan, dan participatory action research yang pada dasarnya bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran khalayak luas mengenai ketidaksetaran, ketidakadilan, dan masalah-masalah yang menjadi keprihatinan mereka. Dari banyaknya pemuda yang tinggal di Yogyakarta, sebagian dari mereka adalah teman-teman muda dengan disabilitas atau dikenal dengan difabel. Menariknya, teman-teman muda difabel di Yogyakarta ternyata tidak kalah aktif dengan pemuda non-difabel untuk berkontribusi dalam beragam kegiatan positif di kota ini. Kelompok masyarakat difabel di kota ini merupakan kelompok yang bisa dikategorikan aktif berorganisasi, terlihat dari banyaknya organisasi dalam bentuk yayasan, himpunan, LSM, maupun komunitas yang bergerak di isu disabilitas. Karakter proaktif teman-teman difabel inilah yang kemudian menginspirasi penelitian ini untuk memandang mereka sebagai subjek, sama dengan teman-teman non-difabel lainnya yang berjuang di isu inklusivitas ini.Bagaimana tanggapan mereka mengenai kondisi inklusivitas di kota 18
Yogyakarta saat ini? Bagaimana kontribusi/peranyang dilakukan pemuda, baik difabel dan non difabel dalam pembangunan kota Yogyakarta menuju inklusif ?Dan apa strategi yang mereka gunakan untuk mempromosikan inklusivitas tersebut?
METODE Penelitian kualitatif menurut Taylor dan Bogdan (1984) dalam Suyanto & Sutinah (2011) mampu menghasilkan data-data bersifat deskriptif yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan terhadap subyek atau orang-orang yang diteliti. Karakter utama penelitian kualitatif yang bersifat interpretatif, naturalistik dan induktif (Schreier, 2012) menjadikan metode ini tepat untuk menjawab pertanyaan penelitian berdasarkan konteks lingkungan tempat para agen dan survivor isu disabilitas berada secara apa adanya tanpa rekayasa atau diberikan perlakuan tertentu. Kompleksitas dibalik aktivisme kaum muda sebagai agen dan survivor wahana isu disabilitas dalam wacana kota inklusi disampaikan secara deskriptif tanpa adanya reduksi kondisi sosial yang terjadi ke dalam variabel-variabel tertentu (Suyanto & Sutinah, 2011). Subyek penelitian terdari dari perwakilan difabel dan non-difabel yang tergabung dalam berbagai lembaga swadaya masyarakat dan komunitas yang berkutat dalam isu disabilitas. Metode purposive-sampling digunakan untuk menentukan informan yang berasal dari berbagai lembaga, institusi dan komunitas diantaranya Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), LSM Saujana, PPDI (Persatuan Penyandang Difabel Indonesia) DIY, UKM Peduli Difabel, Deaf Art Community (DAC), Braille’iant, dan Pusat Layanan Difabel (PLD) UIN Sunan Kalijaga. Peneliti memperoleh data dengan menggunakan metode wawancara mendalam, observasi, dan Focus Group Discussion (FGD) dengan pendekatan humanistik tanpa membedakan antara difabel dan non-difabel atau jenis disabilitas tertentu. Wawancara 19
Elliot Mishler (1986) menjelaskan wawancara sebagai joint product (produk bersama) pembicaraan dan interaksi antara pewawancara dan informan, adapun analisis dan interpretasi merupakan representasi dari hasil wawancara tersebut (dalam Ahmadi, 2012 : 120). Proses wawancara mendalam digunakan untuk memperoleh data tentang aktivitas, peristiwa, motivasi, dan sudut pandang kaum muda secara personal maupun sebagai bagian organisasi. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti menghadapi tantangan untuk berkomunikasi dengan beberapa informan yang merupakan difabel tuli. Salah satu informan bernama A.Wicaksono merupakan difabel tuli sejak lahir yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi. Tuli. Terbatasnya kemampuan berbahasa isyarat peneliti menjadi salah satu hambatan sehingga dalam proses wawancara dengan A.Wicaksono memerlukan seorang interpreter yakni R.Rahmi. Adapun keduanya aktif dalam komunitas yang sama yakni DAC. Hal ini berbeda ketika berhadapan dengan Mukhanif Yasin yang mengalami ketulian sejak usia 11 tahun, sehingga masih dapat berbicara. Proses wawancara dengan Mukhanif Yasin dilakukan dengan menuliskan sejumlah pertanyaan yang telah direncanakan sebelumnya dan informan akan menjawab pertanyaan tersebut satu persatu. Apabila ada jawaban yang kurang jelas, peneliti dapat menanyakan kembali kepada informan dengan menuliskan pertanyaan di selembar kertas. Pendekatan humanistik dalam proses wawancara adalah memperlakukan informan dengan berbagai disabilitasnya sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Dalam proses wawancara dengan difabel netra pendekatan dilakukan misalnya dengan meminta izin terlebih dahulu sebelum merekam proses wawancara atau ketika ingin mengambil foto dari informan meskipun informan tidak dapat melihat apa yang peneliti lakukan. Participant Observation Penelitian ini menggunakan observasi partisipan untuk memperoleh pemahaman lebih tentang fenomena (perilaku atau peristiwa) yang terjadi di lapangan (Ahmadi, 2012 : 163). Observasi dilakukan peneliti dengan ikut 20
serta dalam kegiatan yang diadakan oleh LSM dan komunitas informan. Adapun bentuk observasi yang dilakukan dalam penelitian ini diantaranya dengan ikut serta dalam kelas bahasa isyarat yang diselenggarakan komunitas difabel tuli DAC, berpartisipasi sebagai relawan pembisik dalam kegiatan layar berbisik yang diselenggarakan komunitas difabel netra Braille’iant dan ikut dalam diskusi tematik terbuka yang diadakan oleh LSM SIGAB. Focus Group Discussion (FGD) FGD dilakukan dengan mengundang perwakilan dari DAC, Braille’iant, SIGAB, UKM Peduli Difabel UGM, dan PLD UIN Sunan Kalijaga. Tim peneliti berperan sebagai pemantik isu yang kemudian didiskusikan bersama-sama oleh seluruh peserta FGD. FGD berlangsung sekitar dua jam. Ketiga metode perolehan data tersebut, juga melibatkan teman-teman non-difabel yang tergabung dalam LSM atau komunitas terkait, sehingga sudah cukup berpengalaman mengenai isu-isu disabilitas dan inklusi, serta telah dianggap cukup memahami karakter teman-teman difabel. Dengan begitu, peneliti mendapatkan data dari dua perspektif yang nantinya akan membantu peneliti untuk menuliskan hasil penelitian seobjektif mungkin.
TEMUAN RISET Ruang Inklusif untuk Difabel di Yogyakarta Menjadi kota yang mewadahi berbagai macam etnis, kebudayaan dan nilai membawa ekspektasi tersendiri bagi kota Yogyakarta. Tanggal 17 Maret 2016 merupakan tonggak sejarah bagi penyandang disabilitas. Pada momen bersejarah tersebut Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyandang Disabilitas disahkan menjadi Undang-Undang (UU) Penyandang Disabilitas. UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ini merupakan penyempurnaan dari UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. UU Nomor 4 Tahun 1997 dinilai sudah tidak sesuai dengan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2011. Salah satu perbedaan yang 21
mencolok adalah pemilihan istilah “Penyandang Disabilitas” pada UU Nomor 8 Tahun 2016 menggantikan “Penyandang Cacat” pada UU Nomor 4 Tahun 1997. Istilah penyandang cacat mempunyai tendensi pemaknaan ke arah negatif. Seringkali pemaknaan tersebut berupa sekumpulan orang yang tidak berdaya atau tidak mempunyai kemampuan. Jika dirunut ke belakang, Yogyakarta sejatinya cekatan dalam menanggapi isu inklusivitas, terutama penyandang disabilitas. Sejak diratifikasinya CRPD pada tahun 2011, melalui Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012, pemerintah Yogyakarta mulai menggalakkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Tidak hanya cukup disitu, melalui Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2012, pemerintah kota Yogyakarta memasukkan program kota inklusi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Yogyakarta tahun 2012-2016. Turunan dari Perda tersebut adalah penanggulangan kemiskinan, pengarusutamaan gender, kota ramah anak, pembentukan komite difabel, pendidikan inklusi. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) merupakan pihak pemerintah yang fokus pada kelompok penyandang difabilitas dalam wacana “Jogja menuju kota inklusi” (E. Muhammad, Bappeda Kota Yogyakarta, wawancara persona, 19 Mei 2016). Pemerintah bukanlah aktor tunggal dalam upaya perwujudan “Jogja menuju kota inklusi”. Banyak organisasi, organisasi masyarakat dan lembaga sosial yang berjalan berdampingan dengan pemerintah untuk mewujudkan mimpi tersebut. Yogyakarta merupakan pionir dalam mencanangkan desa inklusi melalui Rintisan Desa Inklusi (RINDI). Program ini merupakan hasil kerjasama antara pemerintah Yogyakarta dengan Sasana Integrasi & Advokasi Difabel (SIGAB) dan di tingkat kota dengan LSM SAPDA. Pemerintah dan lembaga yang berkecimpung di ranah inklusivitas juga bukan hanya aktor yang mengadvokasi ataupun memperdulikan para kaum marginal. Terdapat aktor yang lebih membumi, yaitu masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Meskipun terjadi banyak tindak intoleransi beberapa tahun terakhir, terutama terhadap kelompok minoritas tertentu, tindakan tersebut 22
sejatinya tidak merepresentasikan karakteristik masyarakat Yogyakarta secara utuh. Kultur yang mengakar di Yogyakarta adalah kultur saling tolong menolong dan toleransi yang tinggi. Segala macam instrumen perundang-undangan dan peraturan serta kultur masyarakat yang memfasilitasi dan mengadvokasi penyandang disabilitas tidak serta merta menjamin aksesibilitas penyandang difabilitas pada beberapa sektor. Berikut beberapa temuan peneliti di lapangan terkait akses untuk teman-teman difabel di Yogyakarta dilihat dari ketiga indikator kota inklusif World Bank. Inklusi Spasial  Tempat tinggal yang layak. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan peneliti di beberapa lokasi selama penelitian, peneliti mendapati satu panti sekaligus sekolah khusus difabel netra yang menurut peneliti maupun informan tidak layak karena kondisinya yang kurang higienis dan terkesan tidak terawat. Peneliti tidak dapat mengeneralisasikan semua difabel mendapatkan tempat hunian yang layak maupun tidak karena keterbatasan waktu dan kemampuan tim peneliti. Namun, lokasi tersebut merupakan salah satu contoh yang menunjukan bahwa masih ada lokasi sekolah sekaligus tempat tinggal untuk teman-teman difabel netra yang berasal dari luar daerah Yogyakarta, yang bisa dikategorikan kurang layak huni, tidak dikelola dengan baik.  Ruang publik. Terdapat banyak guiding lines/guiding blocks yang pemasangannya terkesan sembarangan entah menabrak pohon atau tiang listrik. Selain pemasangan yang sembarangan, terkadang masyarakat umum secara sadar atau tidak sadar meletakkan berbagai macam benda diatas guiding lines/guiding blocks yang dapat mengganggu penggunanya. Selain itu banyak tempat tinggi yang tidak menyediakan ram/tanjakan bagi tuna daksa, terutama di pusat perbelanjaan, sekolah, dll. Beruntungnya, beberapa tahun terakhir, Yogyakarta mulai berbenah dengan menyediakan ram di bangunan-bangunan kantor pemerintah, kampus, dan beberapa tempat umum lain. Pemerintah pun sedang gencar melakukan pembenahan guiding block di beberapa titik krusial, seperti Malioboro. 23
 Manajemen tata kota dan pelayanan umum. Kedua hal ini sangat berkaitan, terutama menyangkut aksesibilitas tempat-tempat strategis bagi temanteman penyandang disabilitas. Dalam beberapa kesempatan, peneliti menemui bahwa kebanyakan teman-teman difabel mengandalkan transportasi umum untuk mendukung mobilitas mereka, seperti TransJogja dan ojek. Petugas TransJogja maupun ojek pun dinilai difabel cukup ramah dan kooperatif terhadap mereka. Namun, TransJogja tidak dapat memenuhi semua kebutuhan trayek atau jalur yang dibutuhkan difabel. Ojek motor pun memiliki keterbatasan ketika harus mengangkut teman-teman difabel daksa. Menariknya, ini kemudian memunculkan ojek khusus yang menyasar pelanggan dari kalangan difabel di Yogyakarta. Inklusi Sosial  Upaya pemenuhan hak dasar sebagai warga negara (institutional recognition), meliputiketerlibatan dalam pengambilan keputusan dan partisipasi politik formal, misal dalam pemilu, kepemilikan berkas identitas. Difabel di Yogyakarta cukup aktif dalam menyuarakan kepentingannya, didukung oleh pemerintah yang juga kooperatif. Melalui komite difabel atau PPDI (Persatuan Penyandang Difabel Indonesia) DIY mereka membentuk satu perkumpulan yang bertugas mengawal implementasi kebijakan UU tentang disabilitas. LSM dan komunitas, meskipun mereka tidak dalam ranah formal seperti PPDI, juga aktif melakukan advokasi untuk teman-teman difabel yang terjerat perkara hukum maupun masalahmasalah administratif lainnya, misal LSM SAPDA yang membantu menangani masalah difabel yang mengalami pelecehan seksual, atau komunitas Braille’iant yang membantu teman-teman difabel netra untuk dapat mengikuti tes TOEFL (2016, wawancara, 18 Juli dan 17 April).  Penerimaan masyarakat (intersubjective recognition) meliputi hal-hal seperti perlindungan dari tindakan kekerasan dan kriminalitas, diakui dalam pergaulan di masyarakat. Pada dasarnya, kultur masyarakat Yogyakarta yang ramah pada pendatang merupakan awal yang baik dalam mewujudkan inklusivitas ini, terlepas dari beberapa peristiwa yang sempat mencoreng citra positif Yogyakarta beberapa tahun terakhir. Kultur 24
masyarakat yang ramah ini ditujukan pula pada kelompok difabel berdasarkan pengakuan para informan. Secara umum, difabel tidak mendapatkan kesulitan berarti ketika harus terjun di masyarakat, apalagi ketika mereka mencoba membuka diri untuk menyapa orang lain terlebih dahulu, mereka selalu mendapat respon yang positif. Ketika mereka berada dalam komunitas, lembaga, atau organisasi, mereka mendapatkan dukungan dari teman-teman non-difabel. Meskipun, terkadang mereka merasa diperlakukan diskriminatif oleh non-difabel baik secara sadar maupun tidak karena perbedaan persepsi dan lain sebagainya. Inklusi Ekonomi  Akses terhadap pekerjaan (secara spasial maupun institusional). Dalam Undang-Undang telah diatur tentang kuota minimal 1% dari total pekerja untuk pekerja difabel. Kenyataanya belum banyak perusahaan yang mengimplementasikan sistem tersebut. Sanksi bagi perusahaan pun belum jelas dan terkesan tidak tegas. LSM Saujana selaku LSM yang fokus pada platform pencarian kerja untuk difabel pun mengaku kesulitan mendapatkan perusahaan besar yang bersedia menerima pegawai dengan disabilitas, dengan berbagai alasan semisal belum tersedianya akses spasial untuk penyandang difabel di bangunan gedung mereka. Hal ini akhirnya membuat mereka pun menyasar perusahaan-perusahaan kecil hingga menengah yang sudah bersedia memberikan kesempatan untuk difabel (Ndaru, 2016, wawancara, 18 Juli).  Akses terhadap pendidikan dan keterampilan. Selain akses di lapangan pekerjaan yang masih sulit, akses di fasilitas pendidikan pun masih banyak yang tidak ramah difabel. Begitu pula dengan fasilitas sekolah yang diklaim inklusif, nyatanya belum mampu memfasilitasi siswa difabel secara efektif, misal tidak adanya guru pendamping yang siaga membantu siswa difabel dan fasilitas belajar yang memadai untuk siswa difabel, terutama penerjemah untuk siswa tuli (Arief, wawancara personal, 12 Mei 2016). Selain itu, Fikri (2016, FGD, 31 Mei) pun mengatakan bahwa ada pola-pola pendidikan tertentu yang tertanam sejak dulu, misal difabel netra dilatih
25
untuk menjadi ahli pijat, difabel tuli menjahit, yang membuat difabel tidak bebas mengembangkan kemampuan mereka.  Akses keuangan. Akses terhadap perbankan dan sistem keuangan dan perpajakan lainnya. Dalam konteks ini, difabel tidak mengalami kesulitan untuk mengakses akun bank dan pajak, asalkan mereka memiliki kartu identitas yang sah dan kemampuan untuk mengerti sistem perbankan yang ada. Kebanyakan informan penelitian ini adalah teman-teman difabel yang tinggal di perkotaan dan telah memahami sistem tersebut. Aktivisme Kaum Muda dalam Isu Disabilitas Seperti yang sudah dijelaskan pada bahasa sebelumnya, kaum muda memiliki andil yang cukup besar dalam dinamika perkembangan kota Yogyakarta di berbagai aspek, ekonomi, sosial, politik, budaya, dan iptek. Hal ini dipengaruhi oleh karakter pemuda Yogyakarta yang kebanyakan merupakan kalangan terpelajar yang antusias, sehingga tak jarang kita menemukan banyak sekali kegiatan-kegiatan yang digagas pemuda melalui LSM dan komunitas tertentu, termasuk pula dalam isu disabilitas. Salah satu responden yang peneliti temui juga mengaku bahwa karakter teman-teman difabel Yogyakarta yang suka bergaul dan berkumpul membuat geliat LSM dan komunitas yang bergerak di isu ini semakin dinamis dan cukup signifikan hasilnya. Dalam riset ini, peneliti menemukan tiga jenis kelompok aktivis inklusif yang fokus pada isu difabel, yaitu a) kelompok pemuda yang menggunakan metode grassroot organizing sebagai bentuk keterlibatan mereka sebagai warga negara, yaitu pergerakan yang dimulai dari diri sendiri dan kelompok pertemanan; b) kelompok yang melakukan sociopolitical development, yaitu kelompok yang bergerak secara swadaya di segala level, baik grassroot maupun di level pemerintah, ; dan c) kelompok yang menggunakan metode citizen participation, kelompok yang berusaha menempatkan perwakilannya di wilayah-wilayah strategis di dalam lembaga atau institusi.
26
Grassroot Organization Berdasarkan hasil temuan di lapangan kelompok grassroot memiliki karakteristik yakni diorganisir secara dominan oleh kaum muda dalam bentuk komunitas dan adanya kecenderungansektor-sekot strategi untuk mempenabilitas tertentu. Kedua karakteristik ini ditemui baik di komunitas Braille’iant dan Deaf Art Community (DAC). Braille’iant awalnya merupakan ide yang dicetuskan oleh Vero seorang mahasiswa di dalam kompetisi PKM (Pekan Kreativitas Mahasiswa) yang memperoleh pembiayaan dari DIKTI pada tahun 2010. Kegiatannya berawal dari mengadakan kursus bahasa Inggris bagi difabel netra bekerja sama dengan Mardi Wuto (RS Dr.Yap) dan pada tahun 2011 merambah kegiatan reading service untuk membantu difabel netra dalam mengerjakan tugas dan memahami materi pelajaran bekerja sama dengan Yaketunis (Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam). Untuk mengakomodasi kebutuhan dan antusiasme teman-teman difabel netra dibentuklah komunitas Braille’iant Jogja dan hingga Januari 2016 sudah memiliki 20 anggota sebagai pengurus tetap yang 5 diantaranya merupakan difabel netra. Selain fokus pada kegiatan penunjang pendidikan, Braille’iant juga mengadakan kegiatan untuk mengkampanyekan inklusifitas salah satunya melalui Lasik (Layar Berbisik). Layar Berbisik (Lasik) merupakan salah satu program rutin Braille’iant sejak Agustus 2015 dan diadakan setiap bulan untuk memfasilitasi difabel netra menonton film dengan mengundang relawan pembisik secara terbuka. Terinspirasi dari Bioskop Berbisik di Jakarta, Braille’iant melalui kegiatan ini berusaha memperluas interaksi dan jaring pertemanan antara difabel netra dan non-difabel . Ketika menonton film, relawan pembisik dan difabel netra tidak hanya membicarakan film tetapi juga saling tanya dan bertukar jawaban tentang kuliah, daerah asal, tempat tinggal serta tema-tema percakapan lainnya. Dengan demikian relawan pembisik akan mendapatkan pengalaman berinteraksi dengan difabel netra sehingga mampu memperluas perspektifnya dalam memandang difabel. Menariknya, suasana lasik mampu terbangun dengan akrab dipenuhi senda gurau dan canda tawa hal ini didukung pula dengan sifat ramah dari 27
difabel netra terhadap relawan pembisik yang bahkan belum pernah ditemui sebelumnya. Sebagai komunitas di tingkat grassroot, Braille’iant memainkan peran sebagai kaum muda untuk mengadvokasi dan menjadi agen perubahan (Checkoway & Aldana, 2013). Selain kegiatan rutin seperti Layar Bisik (LASIK) dan kelas bahasa inggris, Braille’iant juga memiliki pengalaman dalam hal advokasi. Salah satunya adalah mengadvokasi agar tes TOEFL dapat diakses oleh difabel netra. Dari pengalaman tersebut Ima selaku staff divisi kampanye Braille’iant mengakui bahwa difabel memang memerlukan akses yang berbeda namun, bukan berarti menandakan ketidakmampuan difabel. Advokasi ini kemudian menjadikan Pusat Pelatihan Bahasa (P2B) UNY menjadi lembaga bahasa pertama di Yogyakarta yang bisa mengakomodasi kebutuhan tes TOEFL ITP bagi difabel netra meskipun dalam pelaksanaannya dikenakan biaya tambahan. Ninda Arum selaku manager divisi pendidikan menjelaskan, bahwa pemegang lisensi pusat tidak membedakan biaya tes bagi difabel dan non difabel akan tetapi memberikan kebebasan menentukan biaya tambahan kepada lembaga penyelenggara untuk membiayai keperluan tenaga tambahan. Ia menambahkan bahwa perbedaan biayanya tidak terlalu besar namun ia optimis kedepannya tidak ada lagi perbedaan biaya pelaksanaan tes TOEFL baik bagi difabel maupun non-difabel. Braille’iant sangat berharap nantinya bukan hanya P2B UNY namun semua pemegang lisensi TOEFL lainnya di Yogyakarta seperti UGM, Sanata Dharma dan IONs juga dapat mengakomodasi kebutuhan difabel (Hayu, 2016, wawancara personal, 17 April). Selain Braille’iant adapula Deaf Art Community (DAC) sebuah komunitas difabel tuli yang didirikan tahun 2004. Komunitas yang dibina oleh Broto Wijayanto ini mulai dikenal seiring penampilan DAC dalam berbagai pentas teatrikal. DAC memiliki kelas bahasa isyarat atau dikenal dengan nama Sekolah Semangat Tuli (SST) yang dilaksanakan secara rutin tiap Senin dan Kamis. Adapun kelas bahasa isyarat ini terbuka bagi umum dan tanpa dikenakan biaya. Dengan adanya komunitas ini, masyarakat diharapkan dapat lebih mengetahui tentang keberadaan difabel tuli. Kelas bahasa isyarat 28
sendiri merupakan upaya DAC untuk meningkatkan akses bagi difabel tuli dan menjadi wadah untuk melahirkan juru bahasa dari berbagai kalangan masyarakat terutama kaum muda. Bagi Arief Wicaksono selaku pilot dari DAC, akses merupakan hal penting bukan hanya bagi difabel tuli namun juga teman-teman dengan kondisi disabilitas lainnya. Keberadaan bahasa isyarat adalah bagian dari upaya peningkatan akses karena dengan adanya bahasa isyarat dan juru bahasa, difabel tuli dapat berbagi informasi, saling belajar, dan bertukar bercerita dengan teman-teman lain baik difabel maupun nondifabel (wawancara personal, 12 Mei 2016). Selain adanya juru bahasa, akses bagi difabel tuli juga dapat berupa running text Bahasa Indonesia atau informasi visual lainnya seperti papan tulis. Filosofi dari penggunaan istilah pilot sendiri adalah untuk menunjukkan bahwa DAC memiliki impian untuk terbang bersama setinggi-tingginya agar bisa dilihat oleh banyak orang, karena selama ini tuli dianggap rendah dan dipandang sebelah mata. Komunitas ini dibangun dengan semangat kekeluargaan, pertemanan, keterbukaan dan kemandirian. Suasana keakraban akan terasa ketika bertandang ke markas DAC yang terletak di Jalan Langenranjan Lor No. 16A, Panembahan, Kraton, Daerah Istimewa Yogyakarta. Baik difabel maupun non-difabel dalam komunitas ini menggunakan bahasa isyarat dalam kesehariannya sehingga, bagi yang belum mahir berbahasa isyarat akan merasakan pengalaman yang begitu baru. DAC merupakan ruang yang inklusif bagi difabel tuli dan sebaliknya bagi orang awam akan merasakan pengalaman layaknya seorang dengan disabilitas karena ketidakmampuan berkomunikasi di tengah-tengah komunitas yang menggunakan bahasa isyarat. Dalam kerangka dualisme mayoritas dan minoritas maka ruang yang inklusif bagi difabel tuli tersebut merupakan produk dari nilai-nilai minoritas yang disepakati yang kemudian berkembang menjadi kultur komunitas minor (Andrianto, 2006 dalam Nastiti, 2012). Ini merupakan implikasi dari pertentangan terhadap kultur mayoritas yang dianggap tidak inklusif bagi difabel tuli. Kemandirian dan kepercayaan diri dibangun dengan memberikan kepercayaan kepada difabel tuli untuk berinteraksi langsung dengan orang29
orang baru melalui berbagai cara diantaranya dengan menjadikan difabel tuli sebagai instruktur dalam kelas SST dan memberikan kesempatan bagi difabel tuli untuk menjadi pembicara dalam berbagai undangan acara di depan umum. Broto Wijayanto juga menekankan bahwa beberapa tahun belakangan ini beliau memang enggan diwawancara. Hal ini bertujuan untuk mendorong teman-teman difabel tuli untuk tampil dengan percaya diri dalam berkomunikasi dengan non difabel. Peneliti, mahasiswa, dan tamu diberikan kesempatan untuk langsung berinteraksi dengan pengurus DAC yang semuanya merupakan difabel tuli dengan bantuan teman-teman relawan yang sudah mampu berbahasa isyarat. Sociopolitical development Sedikit berbeda dengan kelompok yang bergerak dengan metode grassroot organizing, kelompok kedua biasanya mengkategorikan diri mereka sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memiliki legalitas lebih kuat, seperti surat izin, struktur kepengurusan yang sudah mapan, serta status kepegawaian yang lebih jelas sehingga para pengurus atau aktivisnya memiliki pendapatan tetap. Meskipun begitu, di awal pergerakannya, mereka memulai dengan basis voluntarisme. Sama halnya dengan komunitas, terdiri dari beberapa inisiator, tetapi kemudian mereka berkembang dan mulai merekrut tenaga kerja yang lebih banyak. Ada tiga LSM yang sempat ditemui peneliti, yaitu Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB), Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA), serta Saujana. Ketiga LSM yang peneliti temui umumnya terdiri dari 10-15 pengurus tetap. Mereka memiliki sistem pendanaan yang lebih jelas dan jaringan yang lebih luas dibanding komunitas. SIGAB dan SAPDA merupakan LSM yang sudah cukup mapan karena sudah beroperasi aktif sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu dan memiliki jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga formal seperti pemerintah, baik lokal, nasional, dan internasional, maupun lembaga donor dari berbagai negara. Meskipun begitu, mereka masih memiliki jaringan grassroot yang cukup kuat.
30
SIGAB dan SAPDA yang sudah sering diundang oleh instansi terkait untuk hadir dalam diskusi-diskusi yang menyangkut isu difabel (E. Muhammad, 2016, Bappeda Kota Yogyakarta, wawancara, 19 Mei). Keterlibatan SAPDA dalam isu inklusivitas di tingkat kota Yogyakarta dimulai dari adanya proyek kerjasama pemerintah kota Yogyakarta dengan UNESCO untuk mewacanakan Yogyakarta sebagai salah satu kota inklusif di Indonesia pada 2012 lalu. Sejak saat itu, SAPDA dan Bappeda Kota Yogyakarta sering mengadakan public hearing dan pertemuan terkait isu inklusivitas untuk kelompok masyarakat difabel, bahkan keduanya sedang bekerjasama untuk menyusun indikator-indikator kota inklusif yang cocok untuk kota Yogyakarta (Umi, 2016, wawancara personal, 18 Juli). Melalui SAPDA pula, pemerintah kota Yogyakarta dapat mengakses komunitas atau organisasi masyarakat difabel yang ada di Yogyakarta untuk turut aktif dalam proses perumusan kebijakan kota Yogyakarta menuju kota inklusif. SIGAB memiliki fokus isu yang sedikit berbeda SAPDA. Jika SAPDA fokus pada isu-isu difabel di wilayah perkotaan, terutama advokasi untuk hak-hak difabel perempuan. SIGAB memilih untuk fokus pada isu-isu di wilayah pedesaan. Di tahun 2016 bertepatan dengan adanya UU Desa No 6 Tahun 2014yang memungkinkan desa untuk mengelola keuangannya secara independen, bekerjasama dengan beberapa desa di wilayah Sleman, SIGAB berhasil merintis Desa Inklusi. Desa yang ramah pada difabel baik dari segi fisik (fasilitas publik), maupun kultur atau penerimaan masyarakat. Selain program Desa Inklusi dan rintisannya, SIGAB juga aktif melakukan advokasi hukum bagi teman-teman difabel yang menemui masalah. Hanya saja fokus kajian dan aktivitas mereka memang terlihat lebih banyak dilakukan di wilayah-wilayah Kabupaten, seperti Sleman dan Bantul (Brita, 2016, wawancara, 24 Mei). Sementara, Saujana sedikit berbeda karena baru beroperasi dua tahun yaitu sejak 2014. LSM Saujana menggambarkan bagaimana awal mula perjuangan LSM baru sebelum bisa menjadi mapan seperti SIGAB dan SAPDA. Sebagai LSM yang memilih fokus pada isu inklusif ekonomi, mereka memiliki produk platform pencarian kerja yang diperuntukan teman-teman difabel. 31
Website tersebut dinamai Kerjabilitas.com. Hingga kini, pegiat LSM Saujana masih memulai pendekatan melalui grassroot untuk bisa mendapatkan kesempatan kerja bagi teman-teman difabel, bahkan teman-teman difabel grahita, bipolar, dan autis. Mereka mencoba merangkul perusahaan-perusahaan kecil (mikro) yang bersedia dulu, tidak terlalu ambil pusing untuk mendekati perusahaan besar sekelas BUMN atau instansi pemerintah yang menurut mereka masih sulit untuk didekati. Saujana baru mendapat apresiasi dari pemerintah beberapa bulan yang lalu, buah dari kerja keras mereka untuk aktif mengikuti jobfair di beberapa tempat. Sebelum itu, mereka belum pernah mendapat pengakuan atau bantuan dari pihak pemerintah (Ndaru, 2016, wawancara personal, 18 Juli). Menariknya, dengan pemanfaatan teknologi, lingkup aktivisme Saujana menjadi lebih luas hingga ke seluruh Indonesia, meskipun basis mereka berada di Yogyakarta. Citizen Participation Selain komunitas dan LSM di atas, terdapat beberapa organisasi yang menurut peneliti merupakan salah satu jalur engagement yang tidak kalah strategis. Pertama, PPDI (Persatuan Penyandang Difabel Indonesia) atau dikenal juga dengan istilah Komite Difabel DIY yang merupakan produk dari Perda No 14 Tahun 2012 tentang Difabel. PPDI DIY sering melakukan advokasi dan pertemuan dengan SKPD terkait. Meskipun, kebanyakan dari anggota aktif PPDI DIY merupakan teman-teman difabel yang sudah lebih dewasa, PPDI DIY bisa menjadi ruang yang memberi kesempatan pemuda untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dengan terlibat dalam penyusunan kebijakan. PPDI DIY merupakan bentuk keterlibatan pemuda sebagai warga negara yang menurut istilah Checkoway dan Aldana (2013) disebut sebagai citizen participation. Ditandai dengan kesadaran bahwa sebagai kelompok minoritas mereka menghadapi tantangan struktural, seperti kebijakan yang diskriminatif, sehingga menjadi perlu bagi mereka melakukan aktivisme di level struktural. Tidak hanya berhenti pada proses
32
penyusunan kebijakan, tetapi juga pengawasan setelah kebijakan tersebut diterapkan. Meskipun begitu, Mukhanif Yasin, Koordinator Biro Aksesibilitas dalam wawancara personal (2016, 24 Juli) mengaku bahwa melakukan advokasi di tingkat birokrasi provinsi cukup sulit. Itulah yang membuatnya memilih lebih aktif di tingkat kampus untuk melakukan advokasi dalam peningkatan kualitas dan kuantitas akses untuk mahasiswa difabel di universitasnya melalui Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel UGM. Menariknya, Khanif tetap konsisten melakukan advokasi di level struktur universitas, sehingga lebih banyak melakukan advokasi langsung ke tingkat fakultas dan rektorat. Ini berbeda dengan beberapa kawan mahasiswa yang lebih banyak melakukan aktivismenya di level grassroot atau lingkaran teman sebaya. Keterlibatan pemuda di level universitas juga terlihat di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kampus tersebut memfasilitasi mahasiswa difabelnya dengan mendirikan Pusat Layanan Difabel (PLD). Awalnya PLD merekrut relawan mahasiswa non-difabel sebagai pendamping untuk mahasiswa difabel, lama kelamaan mereka berinisiatif untuk meningkatkan keterlibatan mahasiswa dalam organisasi semacam UKM yang dinamai Forum Inklusi (Forsi). Selain, melakukan pendampingan, PLD dan Forsi juga mengusahakan sejumlah advokasi kebijakan-kebijakan kampus yang terkait dengan mahasiswa difabel (Fikri, 2016, wawancara, 19 April). Mengadvokasi kebijakan di level universitas pun tidak pula mudah. Sebagai mahasiswa, anggota UKM pun menemui banyak tantangan. Baik di level personal anggota yang beberapa masih kurang berkomitmen untuk menekuni isu ini, juga di level bikrokasi kampus yang tak kalah pelik dengan birokrasi pemerintahan. Irul yang kini berposisi sebagai Ketua UKM Peduli Difabel mengaku saat ini berusaha memulai aktivisme di level grassroot. Dalam wawancara personal (2016, 12 April),ia mengaku merasa banyak orang di sekitarnya yang belum mengerti dengan isu ini dan menurutnya penting bagi yang sudah mengetahui untuk menyebarluaskan isu ini. Ini sejalan dengan pendapat Fikri dari PLD UIN yang menganggap bahwa peran yang bisa diambil pemuda dalam isu ini adalah mengarusutamakan isu 33
disabilitas dan inklusi ke khalayak luas, melalui hal-hal yang sekiranya sederhana (Fikri, 2016, FGD, 31 Mei). Kaum Muda sebagai Agen dan Survivor Terlepas dari perbedaan pendekatan dan strategi yang mereka gunakan. Kaum muda di Yogyakarta sudah memiliki kesadaran bahwa mereka sebagai aktivis isu disabilitas memiliki tujuan yang sama yaitu mendobrak diskriminasi di tingkat struktural yang dilakukan oleh sejumlah institusi melalui kebijakan-kebijakan mereka yang dirasa belum mampu mengakomodasi kepentingan teman-teman dengan disabilitas. Kasus Yogyakarta menjadi semakin menarik dengan adanya sinergi antara nondifabel dan difabel sebagai agen perubahan. Keterlibatan keduanya menggeser stigma yang terbentuk di masyarakat bahwa difabel adalah objek yang perlu dibantu oleh non-difabel. Keberadaan difabel yang tidak hanya menempatkan diri mereka sebagai survivor (penyintas), tetapi juga agen sama dengan teman-teman non difabel merupakan bukti bahwa mereka juga memiliki kapasitas sebagai subjek yang aktif menyuarakan kepentingan, tidak hanya di level masyarakat, tetapi bahkan hingga menjangkau pemerintah. Agen : Kerelawanan yang Penuh Tantangan Aktivisme kaum muda dalam isu difabel didorong oleh berbagai hal. Adanya anggota keluarga dengan disabilitas tertentu menjadi salah satu sumber interaksi pertama bagi kaum muda terhadap isu disabilitas. Aktivitas dalam organisasi merupakan implikasi dari rasa empati dan perlakuan anggota keluarga lain terhadap difabel. Dengan bergabung dalam komunitas atau organisasi kaum muda dapat memberikan manfaat yang lebih luas agar mampu membantu orang lain yang memiliki kondisi yang sama. Hal ini seperti yang terjadi pada Ima dan Ragil. Ima bergabung dengan Braille’iant dikarenakan ajakan dari kakaknya Ajiwan yang merupakan difabel netra. Berinteraksi dengan difabel bukan lagi hal baru bagi Ima. Ima dan Ajiwan memiliki orang tua yang sangat suportif hal ini terungkap ketika Ajiwan menceritakan perjuangan ibunya ketika mencari sekolah yang mau menerima 34
keberadaan Ajiwan (2016, wawancara, 19 April). Ragil (2016, wawancara, 12 April) pun demikian, ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang justru menganakemaskan salah satu anggota keluarga lainnya yang menyandang disabilitas (down syndrome). Hal ini memunculkan kepekaan dan rasa ingin membantu, namun terbentur oleh pengetahuan yang terbatas mengenai difabel. Itulah yang kemudian membuatnya merasa perlu bergabung dalam sebuah organisasi. Kennelly (2011) mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua hal yang menarik kaum muda ke dalam lingkaran aktivisme yakni habitus dan experience of being “invited in”. “...those who have not developed an activist habitus through family, class, race, and political histories, often find their way into activist circles through the experience of being ‘invited in’ by a friend or romantic partner, noting that many young people experience activist subcultures as clearly having an in and an out.” (Kennelly, 2011 : 129)
Kemungkinan yang pertama dapat dikatakan sebagai pendorong internal dan yang kedua berasal dari dorongan eksternal. Habitus aktivis dibangun dari modal bawaan yang mereka miliki baik bersumber dari keluarga, kelas, ras, dan sejarah politis sepanjang kehidupan mereka. Perlakuan suportif keluarga Ragil dan Ima terhadap anggota keluarga lainnya yang merupakan difabel menjadi sumber habitus yang mendukung aktivisme bagi keduanya yang kemudian diwujudkan dalam kegiatan komunitas. Di sisi lain, dalam rangka mengaktualisasikan dirinya kaum muda terjun ke dalam lingkungan yang mereka anggap mendukung bagi tujuannya tersebut. Contohnya Ninda Arum, ia merupakan manager divisi pendidikan Braille’iant. Ninda Arum (2016, wawancara, 19 April) mengaku memiliki rasa empati yang tinggi yang terbangun dengan melihat kedua orang tuanya yang welas asih sebagai role model. Bergabung dalam komunitas Braille’iant merupakan pemenuhan paggilan hidupnya. Di sisi lain ada Irul yang merupakan ketua UKM Peduli Difabel UGM. Ia mengaku memiliki keluarga yang mendukungnya 35
untuk berkecimpung dalam isu difabel. Secara pribadi ia tertarik pada aktivitas sosial namun tidak terfasilitasi dalam bidang pendidikan yang ia tempuh saat ini. Sehingga, bergabung dalam UKM Peduli difabel merupakan jawaban untuk memenuhi rasa ingin tahunya tentang difabel sekaligus untuk membantu orang lain. Adapun faktor kedua adalah dorongan eksternal yang oleh Kennelly (2011) disebut sebagai “invited in�. Tidak semua kaum muda memiliki habitus yang mendukung mereka terjun dalam aktivisme isu difabel. Dorongan untuk terjun dalam aktivisme seringkali berasal dari hubungan pertemanan yang berlandaskan rasa saling percaya dengan teman yang sebelumnya sudah bergabung dalam lingkup aktivisme isu difabel terlebih dahulu. Hal ini yang dialami oleh Brita, Umi dan Hayu. Brita (2016, wawancara, 24 Mei) mengaku aktif menjadi relawan sejak di bangku kuliah, kemudian ia diajak oleh relasinya untuk bergabung dalam LSM SIGAB. Hal serupa juga dialami Umi sebelum akhirnya ia aktif sebagai koordinator Divisi Inklusi Sosial LSM SAPDA. Adapun peran dari lingkaran pertemanan dalam aktivisme kaum muda adalah untuk menyediakan sumber informasi sekaligus dukungan emosional agar kaum muda bertahan dalam aktivitasnya dan terus merasa terlibat (Kennelly, 2011). Contohnya adalah Hayu yang pada awalnya diajak oleh salah satu rekannya untuk menginisiasi program kursus Bahasa Inggris bagi difabel netra di tahun 2010. Sebagai co-founder dari Braille’iant ia masih aktif dalam berbagai kegiatan komunitasnya, berdasarkan pengakuannya salah satu hal yang membuatnya masih bertahan adalah ketertarikan dengan rekan-rekan difabel netra yang memiliki karakter ramah, terbuka dan selera humor tinggi. Aktivisme yang berawal dari hubungan pertemanan akan semakin luas ketika komunitas sebagai sebuah subkultur mampu bersifat terbuka. Salah satu komunitas grassroot yang menerapkan keterbukaan ini adalah Deaf Art Community. DAC seringkali mengadakan pentas pertunjukan baik teater maupun dance sebagai wahana agar masyarakat mengetahui tentang keberadaan difabel tuli. DAC juga menyediakan sekolah bahasa isyarat sebagai sarana bagi difabel maupun non-difabel agar mereka dapat 36
berinteraksi. Mada misalnya, merupakan salah satu relawan yang aktif membantu teman-teman difabel tuli sebagai interpreter. Bergabungnya Mada dalam DAC diawali kekagumannya atas penampilan dance DAC yang kemudian membawanya ikut belajar bahasa isyarat. Tabel 1 Nama Hayu (Braille’iant)
Faktor Pendorong/ Pendukung Jaringan pertemanan
Ima (Braill-e’iant)
Keluarga
Ninda (Braill-e’iant)
Aktualisasi diri
Mada (Deaf Art Community)
Jaringan pertemanan
Umi (SAPDA)
Jaringan pertemanan
Brita (SIGAB)
Jaringan pertemanan
Ragil
Keluarga
Penjelasan Ajakan teman menginisiasi program kursus Bahasa Inggris bagi difabel netra; Ketertarikan dengan karakter difabel netra yang ramah, terbuka dan selera humor tinggi. Memiliki kakak kandung difabel netra (low vision) ; Bergabung dengan komunitas Memiliki rasa empati yang tinggi ; bergabung dengan komunitas sebagai pemenuhan panggilan hidup (passion) Kekaguman atas penampilan danceDAC ; Ikut dalam Kelas Bahasa Isyarat dan menjadi relawan dalam komunitas Aktif menjadi relawan di SOS Children Village sejak mahasiswa ; diperkenalkan oleh jaringannya dan bergabung dengan SAPDA Aktif menjadi relawan di Rifka Annisa sejak mahasiswa ; diperkenalkan oleh jaringannya dan bergabung dengan SIGAB Memiliki anggota keluarga
37
(UKM Peduli Difabel UGM)
Irul (UKM Peduli Difabel UGM)
Aktualisasi diri
penyandang disabilitas (down syndrome) ; memiliki kepekaan namun bersamaan dengan kebingungan untuk membantu dan khawatir menyinggung difabel Ketertarikan terhadap aktivitas sosial; bergabung dengan komunitas untuk memenuhi rasa ingin tahunya mengenai difabel serta menyalurkan keinginannya untuk membantu orang lain.
Survivor : perjuangan yang tidak mudah Sementara itu, kaum muda difabel Yogyakarta mampu menunjukan kapasitas mereka sebagai warga negara. Ada beberapa hal yang bisa menjadi faktor internal yang mendorong kelompok difabel berpartisipasi aktif sebagai warga negara (Putnam, 2005). Pertama, self-worth, yaitu keyakinan bahwa mereka berharga, produktif, tetapi sering diremehkan. Kedua, kebanggaan, yaitu penerimaan atas status disabilitas yang mereka sandang; bahwa mereka sama dengan orang biasa, tetapi mereka tidak menampik bahwa keadaan mereka yang berbeda itu unik. Ketiga, adanya diskriminasi, ketika mereka diperlakukan berbeda dengan non-difabel, dicap negatif, dan adanya ketidaksetaraan akses. Keempat, adanya rasa senasib sepenanggungan di antara teman-teman difabel, bahwa mereka berbagi pengalaman yang sama. Kelima, adanya agenda politik tertentu yang mereka buat sebagai satu kelompok, menyebarluaskan ide bahwa disabilitas bukan karakter atau sifat yang melekat pada seseorang, serta keinginan untuk mengubah kebijakan publik. Keenam, keterlibatan dalam proses politik, ketika mereka menempatkan diri sebagai kelompok minoritas yang terwakili sehingga mampu mempengaruhi kebijakan. Faktor pertama dan kedua ditunjukan difabel di Yogyakarta melalui karakter mereka yang senang berkumpul dan tidak ragu berinteraksi dengan 38
dunia luar (Ajiwan, 2016, wawancara personal, 19 April). Tak jarang mereka yang berusaha memulai interaksi dengan teman-teman non-difabel, terutama ketika non-difabel ragu-ragu karena merasa takut akan menyinggung perasaan teman-teman difabel. Beberapa kali pula temanteman difabel menjelaskan bahwa mereka tidak suka diskriminasi yang berupa rasa iba atau kasihan sehingga terkesan meremehkan kemampuan difabel. Ada kecenderungan difabel di Yogyakarta yang cukup bangga dengan identitas mereka sebagai difabel, ini misalnya terlihat jelas di komunitas DAC. Mereka terlihat bangga dengan kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan bahasa isyarat. Salah satu teman difabel pun menegaskan bahwa mereka ingin diperlakukan biasa saja seperti halnya non-difabel (Tegar, 2016, Braille'iant, FGD, 31 Mei). Adanya diskriminasi yang mereka alami kemudian memunculkan perasaan senasib sepenanggungan yang kemudian mendorong mereka untuk berkumpul dalam satu yayasan atau organisasi, seperti Yaketunis, Yakum, PDB (Persatuan Difabel Bantul) dan lain sebagainya. Diskriminasi itu pula yang kemudian mendorong mereka untuk memulai interaksi, untuk membuktikan bahwa mereka mampu, bentuk aktualisasi diri, ingin membuktikan bahwa mereka setara dengan orangorang non-difabel lainnya. Untuk itu perlu mengikutsertakan teman-teman non-difabel dalam agenda mereka. Kemudian, terbentuklah komunitas dan LSM yang memiliki visi menciptakan lingkungan inklusif, tidak hanya dalam aspek sosial, tetapi juga ekonomi dan spasial. Maka dari itu, melalui LSM dan komunitas yang ada mereka berusaha berperan dalam pembuatan kebijakan, atau setidaknya suara mereka bisa didengar dan menjadi pertimbangan pemerintah untuk membuat regulasi. Dalam kasus Yogyakarta, difabel menyatukan diri mereka dalam PPDI, dibantu oleh LSM dan komunitaskomunitas difabel lainnya. Tabel 2 Nama Ajiwan
Faktor Pendorong/ Pendukung Aktualisasi diri
Penjelasan Telah aktif di beberapa LSM yang
39
(Braille'iant)
Nandar (Braille'iant/ Forsi UIN) Fikri (PLD UIN Sunan Kalijaga)
Jaringan pertemanan
Aktualisasi diri
Arief (Deaf Art Community)
Jaringan perteman-an dan aktualisasi diri
Khanif (UKM Peduli Difabel UGM/ PPDI DIY)
Aktualisasi diri
Ndaru (LSM Saujana)
Aktualisasi diri
bergerak di isu difabel, kemudian tertarik untuk bergabung dengan komunitas yang bergerak dengan pendekatan informal. Ajakan teman-teman di kampus dan asrama untuk aktif di komunitas dan organisasi difabel di sekitarnya Keinginan untuk membuktikan bahwa difabel netra tidak hanya bisa bekerja di sektor yang monoton, misal menjadi tukang pijat. Fikri membuktikan ia dapat aktif di isu inklusib melalui lembaga yang ada di kampusnya. Ajakan kakak-kakak seniornya di kampus untuk bergabung dengan komunitas yang dapat menjadi sarananya bergaul dengan banyak orang. Keinginan untuk aktif di luar rumah dan kampus. Memiliki dorongan yang besar untuk memperjuangkan hak-hak teman-teman mahasiswa difabel di kampusnya, hingga setelah lulus masih termotivasi untuk memperjuangkan hak-hak kawankawan difabel di level yang lebih luas. Kegigihan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai seorang difabel, pekerjaan yang tidak hanya berguna untuk dirinya
40
tetapi banyak sesama difabel lainnya. Keterlibatannya di LSM, sekaligus memberikan kesempatan baginya untuk berkembang.
Dinamika Aktivis Muda : Tantangan dan Peluang Selain faktor internal dari kelompok difabel sendiri, ada beberapa faktor eksternal yang juga turut mendorong aktivisme teman-teman difabel. Beberapa faktor tersebut antara lain; 1) faktor kultural, yaitu tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap isu disabilitas, karakter masyarakat yang terbuka karena komposisi pemuda yang relatif banyak; 2) faktor struktural, pemerintah kota yang sudah mulai terbuka dengan isu disabilitas sejak beberapa tahun lalu, melalui Perda. Secara kultur, masyarakat Yogyakarta yang ramah pada pendatang membuat banyak orang merasa nyaman tinggal di kota ini, termasuk temanteman difabel. "Seperti misalkan ketika difabel netra secara bergerombol belanja ke Pasar Beringharjo maka penjual dengan ramah menanyakan “Badhe tumbas napa (mau beli apa)?� dan tidak segan membantu merabakan dan menjelaskan model pakaian yang hendak dibeli teman-teman difabel." (Ajiwan, Braille'iant, 2016, wawancara personal, 19 April) "..Menurut teman-teman saya ya, Jogja itu nyaman, dan mereka sampai pindah KTP Jogja, makanya di Jogja banyak difabel.." (Ndaru, Saujana, 2016 wawancara personal, 18 Juli)
Banyak LSM dan organisasi masyarakat yang mendukung upaya membangun inklusivitas untuk teman-teman difabel di Yogyakarta (FGD kelompok netral, 2016, 2 Juni). Jumlah pemuda di Yogyakarta yang cukup banyak pun menjadi salah satu keuntungan tersendiri bagi pergerakan isu ini. Komunitas dan LSM diuntungkan dengan banyaknya mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota ini. Mereka mampu menjadi penggerak 41
sekaligus massa yang potensial untuk menyebarkan ide-ide mengenai inklusivitas. Terbukti komunitas dan LSM yang fokus pada isu ini sering mendapat respon positif dan antusias dari kaum muda, terutama dari kalangan mahasiswa di Yogyakarta, Banyak pula dari mereka yang memulai sebagai relawan, kemudian memilih menekuni isu ini hingga sekarang, melalui komunitas dan LSM. Dari sisi gerakan, semua komunitas dan LSM yang peneliti berhasil temui selalu terdiri dari anggota difabel dan non-difabel. Mereka bekerjasama dengan baik dan memiliki visi dan misi yang jelas. Kolaborasi mereka dijadikan semacam perintis atau contoh menuju lingkungan sosial yang inklusif, di mana non-difabel dan difabel dapat bekerjasama dan bergaul dengan baik, tanpa ada batasan-batasan. Hal yang biasa terjadi adalah difabel cenderung menutup diri dari dunia luar dan hanya bergaul secara internal dengan teman-teman sesama difabel. Namun, Yogyakarta memberikan gambaran hubungan harmonis yang menarik. Melalui pergerakan oleh komunitas dan LSM ini, perlahan stereotip negatif mengenai disabilitas berkurang. Non-difabel tidak lagi canggung berinteraksi dengan teman-teman difabel, begitu pun sebaliknya. Setidaknya di level grassroot, upaya-upaya yang dilakukan komunitas turut berperan banyak dalam membangun lingkungan inklusif (sphere of inclusion), meskipun masih terbatas dalam lingkup kecil. Misalnya, di basecamp komunitas atau di lingkup pertemanan komunitas tersebut. Di level struktural, banyak kebijakan berhasil memberikan akses untuk teman-teman difabel. Misal dengan adanya sekolah dan kampus inklusif di Yogyakarta, sehingga memungkinkan teman-teman difabel untuk menempuh pendidikan tanpa harus dikotakkan dalam sekolah khusus difabel. Begitu pula dengan adanya fasilitas-fasilitas publik pro difabel yang tersebar di berbagai tempat di kota ini. Selain itu, terbentuknya Perda dan kemudian PPDI DIY merupakan suatu prestasi, jika dibandingkan kota dan wilayah lain di Indonesia. Tugas warga Yogyakarta sekarang adalah turut mengawasi implementasinya, sebab semua akses tersebut pun belum bisa dikatakan maksimal implementasinya. Masalah yang kemudian sering menjadi beban 42
teman-teman difabel adalah ketika mereka mulai memasuki tahap mencari pekerjaan. Tahap tersebut merupakan bagian dari proses transisi pemuda dari dependen menuju independen. Meskipun sudah ada peraturan tertulis tentang pelarangan diskriminasi terhadap difabel, dalam praktiknya banyak instansi dan perusahaan yang masih sulit menerima difabel sebagai karyawan. Namun, sesuai dengan konsep citizens-to-be Lindstrom (2010), kaum muda menemui beberapa tantangan seperti kesibukan-kesibukan lain yang harus mereka jalani selain menjadi relawan atau aktivis dalam isu ini. Hal ini yang kemudian menjadi tantangan tersendiri terutama berkaitan dengan konsistensi gerakan, terutama bagi kelompok yang bergerak dengan pendekatan grassroot dan berbasis voluntarisme. Beberapa yang kelompok yang bergerak dengan pendekatan formal struktural cenderung akan lebih konsisten, karena mereka dapat menggeluti aktivisme tersebut sekaligus sebagai mata pencaharian. Dalam lingkup personal pembagian waktu antara aktivitas perkuliahan dan organisasi menjadi tantangan bagi kaum muda. Hayu sebagai salah satu inisiator Braille’iant mengaku menghadapi tantangan untuk membagi waktu antara aktivitas komunitas dengan kewajiban mengerjakan tugas akhirnya. Hal ini menuai kekhawatiran dari keluarga yang menginginkan Hayu untuk fokus pada pada kegiatan kuliahnya (wawancara personal, 17 April 2016). Tantangan lain yang dihadapi adalah untuk meningkatkan kohesi antar anggota dalam komunitas. Braille’iant dan DAC merupakan komunitas grassroot yang dijalankan dengan dasar kerelawanan. Kedua komunitas ini bersifat terbuka bagi relawan yang ingin bergabung namun tidak terikat dalam bentuk perjanjian tertentu. Di level komunitas, tantangan yang dihadapi berasal dari tubuh komunitas itu sendiri maupun dari luar. Secara internal komunitas di tingkat grassroot mengalami kendala yang serupa diantaranya adalah tantangan untuk meningkatkan kapasitas ilmu pengetahuan anggota terkait isu difabel. Hal ini dialami oleh baik UKM Peduli Difabel maupun Braille’iant. Ketua UKM Peduli Difabel, Irul, berpendapat bahwa pihak universitas masih kurang dalam memberikan pendampingan dalam rangka memperkaya pengetahuan 43
terkait isu difabel. Hal ini perlu disiasati dengan mencari materi yang bersumber dari institusi akademik lainnya seperti PLD (Pusat Layanan Difabel) UIN Sunan Kalijaga. Beberapa dari responden yang peneliti temui mengaku bahwa sebagai agen maupun survivor mereka masih dalam proses belajar. Mereka sadar sebagai kaum muda apa yang mereka ketahui masih sangat terbatas dan mereka tidak menutup kemungkinan untuk terus belajar mengenai isu yang mereka perjuangkan, terutama aktivis non-difabel yang memposisikan diri mereka sebagai agen. "Ketika kita audiensi dengan pak Setyo di Komite, beliau berkata pada kita, kalian tuh mau ke mana, mau melakukan apa, kalian tuh harus tau kalian memang tidak punya background yang mendukung, yang harus kalian lakukan itu belajar. Setiap kita ketemu beliau selalu memberi wejangan baca buku ini ini ini agar kalian tau kalian itu mau ke mana. Tantangan kita emang selalu belajar sih karena kalau kita mau memberikan sesuatu ke masyarakat kita harus tau dulu apa yang perlu dilakukan." - (Happy, Braille'iant, 2016, FGD, 31 Mei)
Itu pula yang menjelaskan mengapa sebagian besar aktivis muda di isu ini yang memilih untuk memulainya di level yang lebih sempit, lingkungan pertemanan, keluarga, sebelum berani menjangkau pemerintah dan mempengaruhi kebijakan. Argumen bahwa kaum muda belum sepenuhnya independen juga dapat dilihat dalam kasus ini. Beberapa agen dan survivor yang peneliti temui mengaku bahwa dalam prosesnya mereka harus memberi pengertian pada orang tua mengenai keputusan mereka untuk bergabung dalam gerakan ini, mereka harus pandai-pandai mengatur waktu agar aktivisme mereka tidak mengganggu kegiatan akademik yang menjadi prioritas orang tua pada umumnya. Di sisi lain tantangan yang dihadapi oleh difabel secara personal adalah bagaimana merespon diskriminasi dan perlakuan yang berbeda dari orang lain. Hal ini dialami oleh Fikri. Sebagai seorang difabel netra, ia seringkali menerima perlakuan yang berbeda dari masyarakat karena rasa kasihan. Perlakuan yang berbeda ini menyebabkan Fikri kesulitan untuk mencari 44
sekolah yang mau menerimanya, sehingga ia harus jauh merantau dari Lampung ke Yogyakarta demi menempuh pendidikan.Hal ini terjadi pula pada Ajiwan dan Arief. Meskipun pada akhirnya mereka bisa bersekolah di sekolah dan kampus inklusi di Yogyakarta. Mereka mengaku mengalami tantangan yang lebih berat ketika harus mencari pekerjaan yang layak, sesuai dengan minat dan bakat mereka. Diskriminasi pun tidak hanya dilakukan oleh non-difabel terhadap difabel, tetapi bahkan dalam internal kelompok difabel sendiri. Ndaru mengaku bahwa beberapa kali ia mendengar kawan-kawannya berpendapat bahwa difabel daksa adalah difabel yang paling berdaya. Beberapa lowongan pekerjaan di Kerjabilitas.com yang ia kelola pun banyak yang berusaha mendiskriminasi difabel tertentu, seperti difabel netra (wawancara personal, 18 Juli 2016). Ini dapat dilihat pula dari pola interaksi antar difabel. Dalam kasus pemuda di Yogyakarta ini, pemuda belum memiliki intergroup dialogue rutin yang dapat mewadahi semua komunitas pemuda difabel untuk saling bertukar pikiran. Adanya kecenderungan dalam kelompok difabel untuk berkumpul dengan teman difabel yang sejenis. Belum ada komunitas yang dapat menyatukan semua jenis difabel dalam satu organisasi. Bahkan SIGAB dan SAPDA pun misalnya, masih didominasi oleh salah satu jenis difabel tertentu yaitu difabel daksa. Sementara, difabel tuli dan difabel netra lebih banyak berinteraksi dalam komunitas atau yayasan mereka yang spesifik untuk jenis difabel tertentu. Pandangan yang masih memposisikan difabel sebagai obyek juga menjadi tantangan tertentu. Dalam bidang ketenagakerjaan misalnya, masih ditemui penolakan terhadap difabel. Bukan karena kemampuannya melainkan karena statusnya sebagai penyandang disabilitas. Masih banyak masyarakat yang berpandangan bahwa difabel merupakan obyek yang perlu dikasihani dan ditolong. Paradigma ini yang kemudian juga digunakan pemerintah yang akhirnya menghasilkan kebijakan terkait difabel yang berorientasi kosmetik. Dalam lingkup wilayah Kota Yogyakarta, tantangan ini coba untuk dilalui oleh LSM SAPDA dengan cara melibatkan pemerintah dan difabel dalam merumuskan indikator kota inklusi. Hal ini demi memastikan 45
agar indikator yang disusun realistis dan dapat diwujudkan sesuai kapasitas lembaga pemerintah. LSM SAPDA juga menggunakan metode role playing dengan tujuan agar aparat pemerintah sebagai pembuat kebijakan merasakan posisi sebagai seorang difabel. Pengarusutamaan isu difabel di tengah-tengah masyarakat menjadi tantangan bagi organisasi di level grassroot organizing yang diwakili oleh komunitas seperti DAC dan Braille’iant, maupun sociopoliticaal development yang diwakili oleh SAPDA, SIGAB, dan Saujana. Berikutnya, keragaman komunitas dan LSM yang luar biasa di Yogyakarta. Dalam sesi FGD (31 Mei 2016) Eny selaku perwakilan dari SIGAB mengaku hal itu bukan tantangan melainkan kesempatan untuk mengembangkan gerakan ini. Inklusi berarti menerima perbedaan dan keberagaman, sehingga dalam gerakannya, keberagaman merupakan hal yang perlu dihargai, tidak mungkin menyeragamkan gerakan. Namun, di sisi lain, keberagaman gerakan menuju inklusivitas di Yogyakarta menjadi tantangan tersendiri karena memperkecil kemungkinan semua komunitas, LSM, dan kelompok perwakilan lainnya untuk berkumpul mengadakan intergroup dialogue. Ini terlihat pula dari adanya keraguan yang terlihat dari teman-teman difabel ketika peneliti mulai menanyakan untuk siapa saja inklusif ini berlaku. Dalam FGD (31 Mei 2016), hampir semua peserta menyatakan setuju bahwa inklusif berarti keterbukaan akses, persamaan akses untuk semua orang, terutama kelompok yang termarginalkan. Namun, ada kecenderungan peserta untuk tidak menyinggung kelompok marginal seperti apa yang berhak mendapatkan akses seperti yang dimiliki difabel saat ini di Yogyakarta. Kelompok difabel terkesan telah merasa nyaman dengan pergerakan mereka yang telah berada di jalur yang tepat. Hal ini pula yang menjadi alasan belum adanya intergroup dialogue yang dapat mewadahi semua kelompok marginal di Yogyakarta untuk mewujudkan inklusivitas yang utuh, membuka akses untuk semua kelompok.
46
KESIMPULAN Isu disabilitas pada dasarnya sudah mendapatkan perhatian di Yogyakarta, baik di level struktural maupun grassroots. Komunitas maupun LSM yang mewadahi aktivisme pemuda sudah mewakili perjuangan menuju kota Yogyakarta yang inklusif dalam tiga aspekesensial yaitu, sosial, spasial, dan ekonomi. Pergerakan mereka sekaligus menjadi pengingat bagi pemerintah untuk merespon keberadaan difabel sebagai kelompok marginal yang berdaya. Aktivisme pemuda yang berkaitan dengan isu disabilitas dianggap sebagai hal yang positif (good activism). Kelompok non-difabel yang berperan sebagai agen, maupun difabel yang berperan sebagai keduanya (agen dan survivor) secara umum dinilai sebagaiwarga negara muda yang berpartisipasi positif dalam membantu program pemerintah. Hasil dari pergerakan ini belum bisa disebut maksimal, tetapi telah menuju ke arah positif. Masalah yang muncul kemudian adalah keberhasilan gerakan ini memunculkan adanya kecenderungan untuk mengaitkan erat-erat istilah inklusif hanya dengan isu disabilitas, sehingga mengesampingkan isu-isu yang menyangkut kelompok marginal lainnya. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada perwakilan beserta keseluruhan pengurus komunitas, LSM, organisasi, dan lembaga yang sudah membantu proses penelitian ini. Tulisan ini kami persembahkan terutama untuk Komunitas Braille’iant Indonesia, Komunitas Deaf Art Community (DAC) Jogja, LSM SAPDA, LSM SIGAB, LSM Saujana, PLD dan Forsi UIN Sunan Kalijaga, dan UKM Peduli Difabel UGM.
47
KAUM MUDA LGBT YOGYAKARTA ABSTRAK Penelitian ini mengupas perjuangan kaum muda LGBT untuk mengakses aktivitas perkotaan di kota Yogyakarta yang belakangan dilekati sebagai kota inklusif. Mereka berdiri di antara ironisme perkotaan yang seakan – akan terbuka, namun masih diskriminatif. Di beberapa peristiwa, kaum muda LGBT dihambat untuk mengungkapkan ekspresi – ekspresi identitas dan mengakses fasilitas perkotaan. Kondisi tersebut terjadi dalam masa transisi kaum muda LGBT, sebuah masa di mana orang muda “berpindah” dari pendidikan ke dunia kerja; dari ranah domestik ke ranah publik; dari warga negara pasif menjadi warga partisipatif. Proses inilah yang kemudian menjadi kerentanan tersendiri bagi kaum muda LGBT untuk melalui masa transisi di tengah gempuran diskriminasi. Inklusif, kemudian menjadi wacana belaka yang diaktualisasikan oleh dan untuk golongan tertentu. Di tahap inilah, Kaum Muda LGBT berjuang mewujudkan kota inklusif melalui pengorganisasian gerakan dengan konsekuensi berdiri di antara ambivalensi: sebagai agen dan survivor. Penyelidikan perjuangan tersebut dilakukan melalui metode kualitatif dengan teknik wawancara dan observasi partisipatoris. Narasi narasi yang dalam muncul dan memperlihatkan bahwa kaum muda LGBT di Yogyakarta berjuang di ranah struktural dan kultural; melalui advokasi kebijakan dan kampanye kebudayaan. Kanal perjuangan tersebut erat kaitannya dengan diskriminasi yang dialami oleh LGBT : di ranah struktural dan kultural; baik dari kebijakan maupun stigma budaya. Kata kunci : Kaum Muda LGBT, Kota Inklusif, Agen, Survivor, Gerakan, Partisipasi
PENDAHULUAN Selasa, 23 Februari 2016, ratusan pasang mata memadati Bilangan Sudirman, Yogyakarta. Di sisi timur kelompok Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD) hampir berhadap-hadapan dengan Forum Ukkhuwah Islam (FUI) yang seakan-akan telah menunggu di Tugu Yogyakarta(BBC, Februari 48
2016). Pihak kepolisian memilih untuk menghadang Solidaritas Perjuangan Demokrasi agar tidak bergerak ke Tugu alih-alih menghalau kelompok yang disinyalir kerap mengorganisasi tindakan intoleransi. Peristiwa tersebut seolah-olah menjadi momentum atasrentetan tindakan intoleransi yang dilayangkan oleh kelompok radikal kepada komunitas LGBT di Yogyakarta di awal tahun 2016. Kaum muda menjadi satu kategori sosial yang terlibat dalam ketegangan tersebut entah sebagai kelompok radikal atau dari pejuang demokrasi; entah juga sebagai agen keberagaman atau penyintas intoleransi. Posisi sosial dalam ranah bersifat ambivalen, lalu-lalang di antara diskursus LGBT yang mengalami banyak pertentangan di dalam konteks Yogyakarta sebagai lokasi kebudayaan (Arianto, 2010; Oetomo, 2011).Dinamika tersebut bukan sekadar entitas lokal yang tidak memiliki sejarah dan kaitannya dengan konteks nasional dan internasional (Boelstorff, 2004). Di level lokal, sejarah LGBT bermula di tahun 1980-an, ketika teman-teman Waria berkumpul untuk sekadar membentuk ruang pertemuan, hingga di tahun 1982 Ikatan Waria Yogyakarta berdiri sebagai sebuah organisasi diikuti oleh Persaudaraan Gay Yogyakarta di tahun 1985 (Oetomo et al., 2014). Awal mula tersebut berlanjut melintasi dekade 90an hingga 2000 yang merupakan tahun-tahun penyerangan kelompok radikal juga bermula, termasuk penyerangan acara KKWK (Kerlap-Kerlip Warna Kedaton) yang diadakan oleh Arus Pelangi (Arianto dan Triawan, 2008). Lintasan sejarah tersebut mempengaruhi kondisi kontemporer anak muda dalam diskursus LGBT, bahkan sampai menyentuh akar eksistensi, yakni visibilitas kaum muda LGBT dalam konteks Yogyakarta sebagai lokasi kebudayaan.Dinamika keterlihatan (visibilitas) tersebut ikut membawa gema dalam peristiwa 23 Februari 2016 di Jantung kota Yogyakarta. Sekian lama, kaum muda dalam lingkaran ranah LGBT membangun kota melalui pesanpesan perdamaian sekaligus bertahan dengan gempuran kelompok radikal (Boelstroff, 2005). Satu hal yang kerap luput dari ketegangan tersebut adalah bahwa kaum muda di dalam perbincangan soal LGBT merupakan warga
49
negara sah dari sebuah bangsa yang memiliki hak untuk berekspresi, berkumpul, dan berpendapat. Di sisi lain, Sikap Indonesia di kancah internasional cukup jelas dalam melawan kelompok LGBT, salah satunya dalam sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa pada 30 Juni 2016. Di sidang tersebut 48 negara membahas resolusi Pengadopsian Pakar Orientasi Seksual dan Identitias Seksual (SOGI) yang menekankan bahwa semua manusia adalah sama dan memiliki haknya tanpa adanya pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, gender, atau status-status lainnya, sehingga dengan adanya resolusi ini negara-negara akan melindungi kelompok LGBT. Dicky Komar representasi Kementrian Luar Negeri Indonesia menyatakan keberatannya atas pembahasan resolusi karena tindakan tersebut sama dengan tidak menghargai negara-negara yang memiliki perbedaan dalam aspek sosiokultural, norma agama dan moralitas. Meskipun resolusi ini disetujui, Indonesia tidak akan mendukung, bekerjasama, atau terlibat dengan pemegang mandat resolusi tersebut (http://www.rappler.com, 2016). Hal senada juga terjadi di Konferensi Wanita +20 di Beijing. Indonesia menolak adanya pengunaan istilah seks dan gender, serta orientasi seksual dan identitas gender; sebagaimana yang telah diakui oleh PBB. Selain itu, pemerintah Indonesia bersama Rusia, Iran, Bangladesh dan Pakistan tidak meyetujui adanya keberagaman bentuk keluarga. Adanya keberagamaan bentuk keluarga ini menjadi akan berbeda dengan konsepsi yang selama ini dianut oleh masyarakat Indonesia yakni peran ayah berasal dari pria dan peran ibu dari wanita. Inilah yang nantinya akan menjadi bibit diskriminasi dalam keluarga (Beijing Declaration, 2014). Kontroversi yang berhubungan dengan LGBT ternyata masih terjadi di Amerika Serikat sebagai negara pluralistik. Peristiwa penembakan di klab gay di Orlando, Florida pada Juni 2016 menewaskan 50 orang menjadi tragedi memilukan yang menyerang kelompok minoritas. Perlu diketahui bahwa Florida merupakan negara ketigapuluhenam yang melegalkan pernikahan sejenis di tahun 2015. Sebelum pelegalan terjadi, kontroversi pernikahan sejenis mulai muncul pada 2013 dimana Mahkamah Agung setempat mulai 50
meninjau ulang kembali bahwa pernikahan tidak hanya melibatkan lawan jenis. Hal tersebut sempat menjadi pembicaraan di kalangan pemerintahan setempat karena beda partai yang berkuasa, maka beda pula kebijakannya. Pada saat itu Partai Republik menyatakan bahwa partai mereka berpijak pada ‘anti-gay’, akan tetapi 2 tahun berselang pemerintah memberikan izin pada lembaga yudikatif untuk memberikan izin. (Frizell, 2015) Pelegalan LGBT tentunya masih menjadi isu yang diperdebatkan di sejumlah negara. Office of the United Nations High Commisioner for Human Rights (OHCHR) telah memiliki beberapa resolusi terkait LGBT. Hadirnya organisasi internasional tidak lantas dapat mengintervensi keputusan sebuah negara untuk menetapkan kebijakan tertentu, mengingat negara masih merupakan entitas tertinggi dalam menentukan kebijakan di dalam teritori. Maka, kemungkinan tarik ulur penyelesaian kasus LGBT akan masih terjadi. Sejak tahun 1960an, para aktivis LGBT Indonesia telah memperjuangkan ekspresi identitas mereka di ruang publik, tetapi hal ini memicu perdebatan dengan beberapa golongan hingga saat ini. Pada tahun 2016, Menteri Pertahanan Indonesia, Ryamizard Ryacudu, menyebutkan bahwa LGBT merupakan ancaman negara karena dapat menimbulkan perang proxy . Ia mengklaim terdapat aktor-aktor, termasuk negara lain, yang telah mencuci otak masyarakat Indonesia dengan doktrin LGBT. Ia menambahkan jika doktrin LGBT menguasai Indonesia, maka ini akan melanggar ideologi negara (www.tempo.co, 2016) Tanggapan lain disuarakan oleh Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenrisdikti) di kala banyak opini bermunculan atas kehadiran Support Group dan Resources Center on Sexuality Studies (SGRC) di Kampus Universitas Indonesia. Natsir mengatakan LGBT dilarang masuk kampus. Pernyataan ini cukup menuai kontroversi karena menyuratkan dukungan diskriminasi terhadap kaum LGBT, selain itu posisi UI sebagai pendiri gerakan ini adalah untuk memberikan konseling yang seharusnya tidak perlu dicegah keberadaannya. Ketika diwawancarai, Natsir mengklarifikasi ulang bahwa aktivitas LGBT yang tidak diperbolehkan adalah tindakan asusila di dalam kampus, sedangkan kegiatan konseling 51
sebagaimana yang dilakukan UI sah, karena pada dasarnya Natsir tidak mempermasalah keberadaan komunitas atau gerakan LGBT di dalam kampus. Perkembangan isu LGBT bukanlah hal baru di Indonesia. Menurut laporan UNDP, lesbian dan gay bukanlah sesuatu yang baru di masa lampau, namun saat itu tekanan untuk membentuk keluarga heteroseksual cukup tinggi sehingga biseksualitas dapat terjadi walau identitas gender biseksual mereka dapat diekspresikan secara luas. Di balik keberagaman budaya Indonesia, praktek homoseksualitas sudah terjadi. Di Sumatera, terutama di Aceh, praktek tersebut bisa dilihat dari ritual budaya sadati (penari), dimana penari yang merupakan budak laki-laki remaja harus melayani nafsu tak alami orang-orang Aceh dan ritual ini mengarah pada hubungan kelamin sesama jenis. Menurut Hurgronje, lelaki di sana lebih menghargai persetubuhan sesama jenis daripada lawan jenis karena berhubungan dengan wanita akan lebih beresiko ke perbuatan zina, apalagi wanita yang belum menikah (Oetomo, 2001). Di pulau Jawa, beberapa pesantren menghidupi tradisimairil, tradisi dimana seorang santri pemuda bisa mendapatkan perhatian dari kyai. Sedangkan di Jawa Timur, tradisi ludruk di sana juga memposisikan pria sebagai pekerja seni. Biasanya yang dipilih adalah pria yang kewanitawanitaan (banci) (Oetomo, 2010). Berbeda dengan di Sulawesi, terutama dalam tradisi bugis, Dalam wawancara dengan salah satu responden yang berasal dari Bugis mengungkapkan sebenarnya LGBT telah hadir di riwayat leluhur mereka dimana lima gender diakui dalam masyarakat, yakni :perempuan, laki-laki, calalai (perempuan yang berpenampilan seperti lakilaki), calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan), dan bissu (kombinasi dari dua jenis kelamin). Namun, saat ada pemberontakan DI/TII di sana ada upaya penghapusan identitas seksual pria dan wanita karena dalam ajaran Islam hanya mengenal dua identitas saja. Fakta-fakta tersebut terus mengalami kontestasi dari waktu ke waktu. Di level global, Indonesia mengambil posisi yang cukup konservatif dalam perbincangan soal LGBT (Rodriguez, 2015).Hal ini tergambarkan dalam 52
kehidupan sehari-hari di level nasional, di mana LGBT kerap mendapat kecaman dari beberapa kelompok masyarakat (Boelstroff, 2005; Arianto, 2008; Oetomo, 2011).Guncangan tersebut merambat sampai ke Yogyakarta dengan beberapa kasus diskriminasi LGBT di ruang publik. Ekspresi – ekspresi identitas terpaksa bungkam, karena persoalan inklusivitas dan alasan keamanan. Itu terjadi di level nasional dan lokal, terlihat jelas pada praktik kehidupan sehari – hari. Anak muda yang berada di arena tersebut menduduki dua peran sosial yang dilematis. Satu sisi menjadi agen perdamaian sekaligus korban atas wacana tandingan yang beredar. Aksi – aksi perjuangan untuk menjamin ekspresi identitas dan akses ke fasilitas publik dipandang sebagai ancaman atas nilai – nilai mapan. Ketegangan yang kemudian terjadi tidak hanya antar dua kelompok yang jelas bersebrangan. Lebih dari itu, friksi kekuasaan juga menjadi domain yang tak lepas menyusun kota menjadi arena pertarungan wacana. Pemerintah dan aparat keamanan, kerap dipersoalkan oleh karena dianggap gagal melihat diskriminasi secara hukum dan kebijakan. Pada kondisi ini kaum muda menjalankan strategi dan taktik dalam kerangka inklusivitas.
Kota Inklusif Salah satu tantangan keterbukaan (inklusivitas) yang dihadapi masyarakat kota adalah keberagaman (World Bank, 2015). Mobilitas dan dinamika yang tinggi karena percepatan pembangunan mengandung konsekuensi logis akan kompleksitas formasi masyarakat. Peluang ketegangan semakin tinggi oleh karena kompleksitas tersebut ditambah lagi oleh keberadaan variabel – variabel nilai yang memiliki intervensi kuat dalam masyarakat hingga menjadi wacana dominan. Kondisi ini memerlukan intensitas pengelolaan yang strategis agar peluang – peluang gesekan dapat diantisipasi. Salah satu taktik kebudayaan yang dapat menyentuh sampai pada domain struktural adalah skema kota inklusif, yang melihat aktivitas urban sebagai rantai pengelolaan kebijakan (UN Habitat Paper, 2010). Kota inklusif dapat diartikan sebagai kota yang melibatkan beragam jenis penduduk atau warga negara dengan beragam aktivitas. Kota inklusif 53
berusaha menimalisasi marginalisasi dengan berusaha meningkatkan interaksi antar penduduk. Untuk menjadi kota inklusif, sebuah kota harus memenuhi tiga indikator (World Bank, 2015). Pertama, spatial inclusion yaitu kemudahan akses terhadap layanan dan infrastruktur publik yang penting, terutama untuk menjangkau kelompok-kelompok yang kurang beruntung. Kedua, social inclusion yaitu jaminan bahwa semua orang mendapatkan hak dan partisipasi yang sama, termasuk kelompok-kelompok yang paling termarginalisasi. Hal ini terutama menyangkut hak-hak kelompok tersebut untuk menyuarakan pendapat dan kepentingannya. Ketiga, economic inclusion, yaitu ketersediaan lapangan pekerjaan serta kesempatan yang sama bagi setiap penduduk kota untuk merasakan dampak dari perkembangan ekonomi yang ada. Untuk merespon wacana mengenai kota inklusif Yogyakarta, kaum muda mengaplikasikan beberapa cara seperti yang diungkapkan oleh Checkoway & Aldana (2013) melalui konsep youthcivic engagement. Mereka merangkum keterlibatan kaum muda dalam isu-isu publik (youth civicengagement) melalui 1) grassroot organizing; dan 2) citizen participation; 3) Intergroup dialogue dan 4) Sociopolitical DevelopmentKeempat saluran tersebut jamak dilalui kaum muda Yogyakarta untuk mewujudkan kota inklusif. Pengorganisasian akar rumput merupakan satu representasi subkultur yang memiliki kapasitas untuk mengantarkan artikulasi pada otoritas. Sementara, partisipasi kewargaan mengambil jalan yang cenderung negosiatif di antara nilai bad citizen dan good sebagai konsekuensi atas partisipasi mereka. Kaum muda Yogyakarta yang bergerak di ranah LGBT menerapkan strategi tersebut sebagai respon atas diskriminasi yang terus menghantam identitas mereka. Di dalamnya terdapat berbagai proses yang dinamis bergerak di antara nilai – nilai mapan; dan wacana dominan.
Grassroot Organizing Dan Citizen Participation Pemuda melibatkan diri dalam isu publik dengan mengorganisasi kelompok-kelompok aksi secara independen untuk menghimpun kekuatan, 54
melawan kondisi yang menurut mereka tidak sesuai dengan kepentingan serta mempengaruhi kebijakan. Dengan tergabung dalam suatu organisasi, kaum muda menjalani proses eksplorasi partisipasi baik dalam usaha untuk mengartikulasikan identitas maupun perjuangan kesetaraan akses sosial politik. Tipikal aktivitas yang dilalui oleh bentuk organisasi ini beragam dan cenderung menyentuh ranah publik seperti dengar pendapat; kampanye kebudayaan dengan medium; atau bahkan demonstrasi turun ke jalan. Sifatnya yang independen menunjukan bahwa pemuda terlibat karena peduli terhadap isu-isu yang muncul di lingkungannya, sehingga pemuda memposisikan dirinya sebagai, organizer, advokat dan agen perubahan. Bentuk seperti ini merupakan perwujudan kewargaan dalam skala menengah yang memberikan kontribusi kepada penyelenggaraan negara. Hava Gordon (2010) mengungkapkan bahwa kaum muda masih berada di tataran citizen-in-the-making atau on-going-citizen. Konsep ini erat kaitannya dengan konseptualisasi orang dewasa perkotaan yang melihat kaum muda belum memiliki kehendak politis yang belum mampu dipertanggungjawabkan ketika terlibat dalam aktivitas kolektif (Kennely, 2011; Gordon, 2010). Hal ini merupakan salah satu konsekuensi logis atas label yang melekat dalam diri kaum muda : sebagai harapan sekaligus begundal (Azca, et. all, 2011). Akibatnya, ketika kaum muda melakukan suatu protes atas pelanggaran hak sebagai warga negara, maka yang ada hanya hukuman dan “penertiban� (Weller, 2007 dalam Kennelly, 2011). Ditambah lagi ketika issue yang diangkat ke tataran publik mengandung banyak pertentangan dengan nilai yang diyakini oleh kelompok mayoritas(Barker, 2000). Wendy Brown (2006) dalam kajian tentang warga muda(youth citizenship) mengidentifikasi adanya proses depolitisasi kaum muda di kehidupan perkotaan. Hal ini erat kaitannya dengan proses pelucutan akses dan hak dalam skema inklusivitas. Lebih lanjut, Kennelly (2011) mengungkapkan bahwa persoalan depolitisasi erat kaitannya dengan peran negara, yang dalam pandangan Foucaldian memiliki kuasa untuk mengawasi, merepresi, dan membentuk tatanan secara individual, seolah-olah individu 55
bergerak sendiri tanpa adanya intervensi. Kondisi tersebut yang menyebabkan adanya ketegangan horizontal di mana masing-masing kelompok beradu menuntut akses yang tidak seimbang.Kaum muda berada di antara ketegangan tersebut, menjadi warga muda yang belum diakui sepenuhnya. Sebaliknya McRobbie (1994) menyebutkan bahwa perjuangan kaum muda sebagai warga bangsa akan dibaca sebagai aktivitas di luar kontrol, kekerasan, dan irrasional. Sehingga muncul kantong-kantong akar rumput tempat semua yang dianggap “beda� berkumpul untuk membicarakan satu dua hal tentang keterbukaan akses dan penghargaan atas keberagaman yang kerap menimbulkan kepanikan moral (Cohen, 2002). Pengorganisasian Akar Rumput dan Partisipasi Kewargaan kemudian menjadi konsep yang saling melengkapi satu sama lain untuk melihat gejala perlawanan yang dilancarkan oleh Kaum Muda LGBT di Yogyakarta. Satu sisi, mereka dianggap sebagai warga negara yang belum siap hingga apapun yang diartikulasikan memiliki konsekuensi stigma buruk. Di lain sisi, pengorganisasian yang dilakukan secara kultural dan struktural justru memberikan kontribusi yang signifikan bagi penyelenggaraan negara, dalam hal ini pengelolaan inklusivitas.
Integroup Dialogue Dan Sociopolitical Development Kertelibatan ini dibentuk oleh keinginan pemuda untuk berkomunikasi dengan kelompokpemuda lain yang menurut mereka berbeda. Hal ini dimotivasi oleh idealisme bahwa kondisidapat berubah jika antar kelompok yang berbeda dapat bersinergi dengan yang lain danmembentuk koalisi yang lebih kuat, sebab mereka percaya bahwa setiap orang memiliki identitassosial yang lebih dari satu yang pada suatu saat atau keadaan tertentu memiliki kepentingan yangsaling bertautan. Mereka menempatkan diri sebagai agen perubahan sekaligus fasilitator.Keberagaman merupakan komponen penting dari bentuk keterlibatan ini. Alih-alih melihatperbedaan sebagai penghalang, mereka melihat perbedaan sebagai suatu media untukmempersatukan kelompok-kelompok yang beragam tersebut. 56
Keterlibatan jenis ini ditandai dengan kesadaran kelompok pemuda minoritas berusaha memperkuat perkembangan sosial dan politik mereka agar dapat mengembangkan aksi kolektif mereka, sebab dalam pendekatan ini aktivisme pemuda dinilai belum setara antar satu kelompok dengan kelompok lain, sehingga ada kategorisasi kelompok superior dan inferior. Kelompok minoritas biasanya menghadapi tantangan struktural dan institusional, seperti kemiskinan, rasisme atau diskriminasi yang telah terinstitusi misalnya peraturan yang tidak sesuai dengan kepentingan atau kebutuhan suatu kelompok, Dengan kata lain, kelompok ini memandang bahwa institusi yang ada justru melestarikan opresi, diskriminasi, prasangka, dan ketidaksetaraan, sehingga perlu diintervensi, Bentuk aksi mereka antara lain, kampanye mengenai keadilan sosial, protes, advokasi kebijakan, dan participatory action research yang pada dasarnya bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran khalayak luas mengenai ketidaksetaran, ketidakadilan, dan masalah-masalah yang menjadi keprihatinan mereka.
Momentum Transisi Dan Partisipasi Kewargaan Perspektif transisi dalam studi pemuda pada mulanya diadaptasi dari kajian – kajian psikologi (Minza, 2014). Stanley Hall (1904), psikolog remaja menulis bahwa masa remaja adalah masa badai dan tekanan atau storm and stress. Pada tahap ini kaum muda seringkali melakukan konfrontasi dengan figure otorita, memiliki suasana hati yang tidak stabil, dan mengambil resiko tinggi dalam berperilaku (risky behaviour) (Minza, 2014). Namun, argumen tersebut segera dibantah Mead (1934) yang mengungkapkan bahwa tahap tersebut tidak berlaku universal. Masa badai dan tekanan dipengaruhi oleh konteks budaya di mana pemuda tinggal dan berinteraksi. Oleh karena itu, masa transisi sangatlah kontekstual, bergantung pada lokasi kejadian budaya. Dalam pendekatan transisi pemuda, domain kehidupan seperti pendidikan, kerja, dan pernikahan dianggap sebagai institusi sosial yang menegaskan posisi sosial seseorang dalam tahapan kehidupannya (Minza, 2014). Keberhasilan mengalami transisi menuju dewasa, menurut perspektif ini dilihat dari lalu lintas pemuda perpindahan pemuda dari satu domain ke 57
kehidupan domain lain. Sebagai akibatnya, kaum muda yang meninggalkan sekolah, bekerja, menikah pada usia yang lebih muda dari standar normatif seringkali dianggap sebagai problem sosial. Stigma tersebut juga berlaku bagi pemuda yang gagal untuk berkembang ke domain berikutnya pada usia yang tepat (Tyyska, 2005 : 5 dalam Minza, 2014).Satu hal yang menjadi persoalan adalah ketika kaum muda yang terdikriminatif harus melalui masa transisi di mana institusi sosial tidak memiliki platform yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Alhasil, kaum muda LGBT harus berjuang sendiri menjalani masa transisi yang tidak mudah dengan sekian penyesuaian yang harus dilalui. Proses itulah yang kemudian mengandung keterkaitan dengan konsep partisipasi kewargaan. Kaum muda LGBT yang tidak mendapatkan akses setara dalam kerangka inklusivitas, menjalani proses partisipasi kewargaan untuk memperjuangkan haknya sebagai warga negara. Persoalan kembali muncul ketika partisipasi kewargaan yang dilalui bersinggungan dengan pandangan transisi di mana orang dewasa menganggap kaum muda belum memiliki kematangan untuk menjadi warga negara yang mapan. Kennelly (2011) mengungkapkan hal ini sebagai citizenin-the-making di mana kaum muda dianggap sebagai kategori sosial yang masih memerlukan bimbingan dengan perspektif orang dewasa untuk menjadi warga negara yang baik. Sampai tahap ini, kaum muda kembali mengalami bentrokan kebudayaan di mana akses pada perjuangan “akses� dibatasi oleh struktur mental masyarakat (Kennelly, 2011). Konsekuensi logis yang terjadi adalah pelekatan stigma dari masyarakat pada kaum muda yang mencoba melakukan advokasi partisipatif pada otoritas. Kennelly (2011) berpendapat bahwa partisipasi kewargaan yang dialami kaum muda memiliki dua kemungkinan hasil. Pertama, partisipasi positif yang dilakukan dengan cara yang pantas dan tidak menganggu struktur mapan akan diberi label kultural sebagai good activism, atau dalam bahasa kewargaan disebut sebagai good citizen. Praktik ini menurut Collin (2015) merupakan turunan dari duty-based citizen di mana warga negara menjalani praktik kewargaan dengan koridor yang dibuat oleh otoritas hingga hasil yang dicapai akan “terkesan� baik dan berada di jalurnya. Di lain pihak, 58
kaum muda yang menjalani praktik aktivisme dengan cara yang tidak sesuai dengan maksud negara akan dicap sebagai bad activism di mana nilai – nilai mapan digugat oleh sekelompok anak muda. Dua kutub inilah yang membuat anak muda berada di dua posisi ambivalen agen perjuangan yang disanjung – sanjung sekaligus survivor yang bertahan dari tekanan masyarakat.
Kaum Muda : Agen Dan Survivor Agensi dalam wilayah studi pemuda menjadi terma problematis yang kerap bersinggungan dengan konsep-konsep lain di ranah ilmu sosial (Evans, 2002). Salah satu dialektis panjang dengan konsep agensi adalah struktur (Bourdieu, 1993; Wacquant 1992). Dialektika kedua konsep tersebut berlangsung dalam dikotomis struktur sebagai penjelasan proses reproduksi sosial di mana agensi sebagai proses kreatif dan pemicu perubahan sosial (Beck, 1992). Keduanya berinteraksi secara dialektis membentuk tatanan (Farrugia, 2010). Namun, yang menjadi persoalan adalah pembacaan agensi yang secara naif kerap diterjemahkan sebagai ‘sesuatu’ yang dilakukan, dalam hal ini, oleh kaum muda. Argumen tersebut seakan-akan menegaskan bahwa proses individualisasi dalam agensi hanyalah faktor intrinsik yang tergeletak dalam tubuh. Lebih jauh, Sercombe (2010) mengungkapkan bahwa agensi lebih dari sekedar sesuatu yang dilakukan oleh individu sebagai bagian dari proses subjektivikasi, melainkan sebuah lintasan etis atas kreasi individu, dalam hal ini kaum muda untuk melawan kuasa struktur dominan. Raby (2005) menambahkan bahwa agensi adalah tindakan, identitas, dan pernyataan budaya yang bertujuan pada sikap counter-hegemonic. Konsep tersebut merupakan dasar pikir yang diletakkan untuk melakukan kritik atas pandangan yang selalu memposisikan kaum muda sebagai korban. White (2016, h.10) berpendapat bahwa kaum muda adalah kelompok sosial yang kerap dipandang sebagai penerima proses sosialisasi menuju proses pendewasaan. Asumsi ini secara konstan melekat dalam 59
keseharian, sehingga kaum muda dipandang sebagai subjek pasif, korban dari struktur besar masyarakat. Orang dewasa sebagai pengambil keputusan di berbagai level, menurut pandangan tersebut, memposisikan kaum muda sebagai subjek yang belum siap untuk mengambil keputusan – keputusan strategis, oleh karena mereka berada dalam tahapan transisi. Intervensi sosial yang demikian membuat kaum muda selalu dibentuk dan disikapi sebagai “pembelajar� bukan inisiator. Padahal, kenyataannya, di Indonesia sendiri, kaum muda justru menjadi garda depan atas momentum perubahan politik, sosial, dan budaya, bahkan di beberapa kondisi merekalah yang mengorganisasi pergerakan (White, 2016 h. 11) seperti terlihat pada angkatan 45; 66; dan 98. Kenyataan tersebut yang kemudian perlahan menggeser cara dan gaya melihat kaum muda dalam studi – studi sosial. Seperti yang diungkapkan oleh White (2016, h.16) bahwa kajian pemuda telah bergerak menuju pandangan yang menitikberatkan pada sudut pandang kaum muda, tak hanya sebagai penerima sosialisasi, namun juga sebagai pencipta dan/atau pendobrak tatanan. Kaum muda menciptakan kebudayaan sendiri dan gaya yang tipikal untuk mencapai tujuan tertentu. Inilah yang kemudian menjadi kajian subkultur di mana pemuda sebagai kelompok sosial memiliki cara yang tidak melekat dalam kelompok lain. Dalam kasus LGBT, kaum muda yang terlibat di dalamnya menerapkan berbagai macam strategi kebudayaan untuk meliuk – liuk di antara struktur sosial yang begitu kuat membatasi akses mereka pada domain – domain publik. Proses ini kemudian dilihat sebagai momentum dialektis di mana kaum muda berada di dua lajur sekaligus; sebagai agen perubahan dan survivor dalam himpitan struktur besar. Dalam rangka memahami proses tersebut, maka penting untuk mempertimbangkan aras pemikiran sosial reproduksi yang mampu membedah relasi agensi dan struktur. Praktik diskursif dan material mengalami perubahan arah dan tekstur seiring dengan transformasi radikal yang dialami masyarakat (Wells 2009, h. 78). Perubahan tersebut juga terkait dengan relasi antar kelompok yang berada dalam generasi tertentu bergerak 60
melintasi era dan wacana. Dalam kaitannya dengan kaum muda, maka sosial reproduksi berisikan relasi kompleks antar generasi yang ikut mendefinisikan kaum muda kontemporer; lengkap dengan kecenderungan praktik sehari – harinya. Skema ini berlangsung kontekstual dan tidak selalu sama untuk setiap lokasi kebudayaan. Hal ini tergantung pada unit generasi yang ditinggali oleh suatu kelompok sosial (Mannheim, 1958). Unit itulah yang kemudian memiliki kecenderungan historis yang sama hingga praktik diskursif dan material yang bergerak pun hampir seragam oleh karena mereka berbagai pengetahuan dan pengalaman yang sama. Di sinilah kemudian proses ambivalen berlangsung di antara agen dan survivor, kaum muda mencari strategi untuk menjadi diri sendiri.
METODOLOGI Partisipan atau subjek dalam penelitian ini adalah kelompokk LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender). Basis gerakan yang kuat secara historis dan jejaring menjadikan mereka vokal menyuarakan kepentingan, baik secara online (melalui media sosial) maupun offline (dengan mengadakan forum, diskusi, perkumpulan). Ruang – ruang pertemuan seperti universitas, komunitas sipil, dan ranah kesenian menjadi persinggungan di antara aktivis pejuang hak – hak teman – teman LGBT. Kebanyakan dari mereka adalah kaum muda yang aktif mengawal issue LGBT. Kondisi tersebut yang menjadi salah satu alasan pemilihan metodologi dalam penelitian ini. Kebutuhan untuk mendapatkan cerita yang dalam dan personal menuntut peneliti untuk bertatap muka dalam waktu yang cukup lama. Selain itu, keterlibatan peneliti dalam aktivitas subjek juga penting. Ini dibutuhkan untuk melihat produksi kebudayaan yang dihasilkan hingga mampu diintepretasi sebagai strategi agensi untuk membangun inklusivitas sebuah kota serta mengidentifikasi pola pertahanan (survivor) kaum muda LGBT untuk mengantisipasi tekanan struktur. Penelitian kualitatif diaplikasikan dalam tujuan untuk menggapai motif di balik strategi yang diaplikasikan oleh kaum muda LGBT dalam mengusahakan kota inklusif. Berg (2001 : h.3) mengungkapkan bahwa 61
kualitatif memiliki kapasitas untuk memanggil memori yang merupakan dasar dari keputusan tindakan individu dalam level personal maupun komunal. Ini bersandar pada ide simbolik interaksionisme yang percaya bahwa tindakan dan perkataan manusia bermula dari intrepretasi atas formasi sosial (Ibid, h. 4). Determinasi yang menjadi pertimbangan penting adalah interaksi yang intens antara object, peristiwa, individu, dan situasi. Dalam konteks penelitian ini, determinasi tersebut menjadi faktor penting mengingat kota Yogyakarta diposisikan sebagai arena utama tempat aktualisasi kaum muda dalam memperjuangkan tersusunnya kota inklusif. Setting Yogyakarta merupakan tempat kejadian budaya yang tersusun secara dialektis bersama warganya. Pengalaman dan peristiwa dalam rentang historis mengandung rangkaian interaksi yang membentuk keputusan negosiatif untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam proses tersebut, Kaum Muda ikut berkontribusi sebagai warga dengan berbagai cara baik yang khas maupun normatif. Inilah yang akan diinvestigasi sebagai interaksi-yang-terus-berlanjut di mana narasi – narasi kaum muda beredar, bertabrakan dan berasosiasi dengan berbagai elemen – elemen kota seperti pemerintah, kelompok – kelompok sosial, dan aktivitas politik nasional serta internasional.
Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tiga cara pengumpulan data, yaitu wawancara mendalam, forum group discussion (FGD), dan participant observation. Untuk mendapatkan data kualitatif, panduan pertanyaan wawancara dan FGD akan berbentuk pertanyaan terbuka, sehingga memungkinkan subjek penelitian untuk mengelaborasi dan mengekspresikan pendapat serta pengetahuannya. Sementara, participant observation dilakukan untuk memperkaya serta mencocokan data yang didapat dari dua metode sebelumnya dengan perilaku subjek di lapangan. Wawancara Mendalam (In Depth-Interview) Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan data kualitatif dari informan atau subjek penelitian. Wawancara dilakukan secara personal 62
atau berkelompok sesuai dengan kondisi atau kesepakatan antara peneliti dengan subjek penelitian. Setiap peneliti akan mengajukan pertanyaan sesuai dengan panduan wawancara yang telah disepakati untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam menjawab rumusan masalah, tetapi dalam praktiknya format atau kalimat pertanyaan dapat diubah oleh peneliti sesuai dengan situasi di lapangan. Forum Group Discussion Forum Group Discussion dilakukan untuk memastikan kelompok kelompok yang merasa termarjinalisasi menyuarakan pendapatnya mengenai isu-isu yang menjadi perhatian mereka.. FGD dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan umum hingga spesifik ke dalam forum, kemudian melihat bagaimana anggota forum diskusi merespon pertanyaan tersebut. Peserta FGD tidak dituliskan dalam artikel ini untuk keamanan dan kenyamanan komunitas LGBT di Yogyakarta. Participant Observation Metode ini dilakukan oleh peneliti dengan menempatkan diri sebagai pengamat dalam keseharian atau aktivitas subjek penelitian, misalnya ketika kelompok melakukan pertemuan dan kegiatan rutin lainnya. Participant observation dilakukan sekaligus dalam proses wawancara dan FGD. Peneliti mengikuti beberapa kegiatan komunitas LGBT yang memperlihatkan relasi jejaring dan strategi agensi yang dilakukan.
Analisa Data Analisa atau pengolahan data dilakukan beberapa kali sesuai dengan kebutuhan. Pada dasarnya diskusi untuk mengolah data tidak harus dilakukan sekali ketika semua data telah terkumpul. Diskusi untuk menganalisa data dapat dilakukan tim di tengah penelitian ketika menemui kendala, atau ketika menemukan suatu fakta atau informasi yang menarik. Diskusi dilakukan untuk dapat menyatukan pandangan tim peneliti terkait suatu temuan atau masalah yang dihadapi selama proses penelitian. Data yang terkumpul akan diolah sesuai dengan kesepatakan dengan informan atau subjek penelitian, termasuk asas anonimousity. 63
Teknik triangulasi diaplikasikan dalam proses analisis data. Denzin (1978, h.28) menulis bahwa metode tunggal tidak akan pernah sanggup mencapai keutuhan narasi, oleh karena itu diperlukan multiperspektif untuk memandang satu fenomena secara substansial. Triangluasi melihat fenomena dari berbagai sudut pandang. Dalam penelitian ini observasi partisipasi, wawancara mendalam, dan focus group discussion akan dielaborasi guna menemukan interseksi yang prima sebagai essence dari data dan mengantisipasi kemungkinan – kemungkinan analisis.
Tantangan Dan Limitasi Tantangan yang dihadapi dalam proses pengambilan data adalah insekuritas yang melekat dalam diri informan. Beberapa informan merasa tidak aman dengan kondisi yang sedang terjadi di Yogyakarta. Keadaan ini membuat peneliti harus melewati tahap yang cukup lama untuk mendapatkan trust dari informan. Dampak dari tantangan tersebut adalah limitasi dari metode kualitatif dalam penelitian ini. Wawancara mendalam dan observasi partisipasi belum mampu untuk menjangkau trust yang dalam untuk beberapa kondisi tegang di lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan beberapa kelompok LGBT membatasi akses terhadap “orang-baru.� Limitasi tersebut muncul dengan dugaan bahwa metodologi kualitatif memiliki operasional metode yang mendalam (Berg, 2001 : h.4) sehingga pendekatan ke sumber – sumber cerita dilakukan secara kultural sesuai dengan situasi yang dimaknai oleh informan. Permasalahan timbul ketika situasi yang dipahami oleh peneliti dan informan tidak dalam perspektif yang sama. Hal ini muncul dikarenakan beberapa hal, salah satu determinasi yang paling kuat adalah kondisi sosial – politik yang sensitif dari arena lokasi penelitian. Inilah yang justru menjadi batas. Peneliti kemudian perlu membuktikkan kepada informan bahwa dirinya sedang berada di dalam perspektif yang sama melalui legitimasi-kuat dari relasi sosial yang berada di dalam arena yang sama.
64
TEMUAN RISET Yogyakarta dan LGBT Tahun 2011, Herry Zudianto yang kala itu menjadi walikota kota Yogyakarta mendeklarasikan kota Yogyakarta sebagai the city of tolerance. Bersama Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai (Aji Damai), Herry Zudianto menyatakan bahwa hidup rukun, damai, dan sejahtera adalah kebutuhan dasar setiap umat manusia dan diperlukan peran semua pihak untuk mengormati dan menghargai perbedaan (news.okezone.com, 2011). Deklarasi dilakukan setelah adanya konflik dan kekerasan di Jawa Tengah sehingga dapat dikatakan ini adalah upaya pemerintah untuk melabeli kota Yogyakarta sebagai tempat yang ramah pada pendatang karena dapat menerima keberagaman. Akan tetapi, label kota toleransi ini mulai diuji. Menurut catatan Wahid Institute, peningkat konflik di Yogyakarta telah meningkat sejak tahun 2011-2015. Salah satu pelaku kekerasan adalah organisasi masyarakat di Yogyakarta. Pada tahun 2013, terjadi penyerangan di Yayasan Rausyan Fikr di daerah Jalan Kaliurang oleh oknum bergamis yang tidak dikenal. Motif ditenggerai karena yayasan ini menganut paham syiah. Polisi sempat memprediksi akan ada serangan kembali dari Forum Umat Islam (FUI). Setahun berselang Front Jihad Islam (FJI) menyerang aktivis Forum Lintas Iman di Gunung Kidul dengan merusak mobil akibat dari ketidaksukaan FJI terhadap pernyataan aktivis di media Sosial. Di bulan yang sama, penyerangan terhadap jemaah Katolik yang tengah menggelar doa Rosario terjadi dimana pelakunya adalah orang-orang bergamis. Dalam kejadian tersebut, terdapat seorang anak yang disetrum oleh pelaku. Di tahun yang sama ormas-ormas tersebut juga berperan dalam penggusuran tempat ibadah di Sleman karena tidak memiliki IMB. Penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat juga terhadap kelomppok minoritas sebenarnya juga terjadi pada kelompok LGBT dan tak jarang pelaku penyerangan juga berasal dari pihak negara. Pada tahun 2014, aktivis pro transgender yang merayakan hari Transgender 65
Internasional di Tugu Yogyakarta dengan memberikan bunga gratis, diserang oleh kelompok yang tidak dikenal dan penyerang sempat menyerukan para aktivis yang mengenakan jilbab untuk melepasnya (www.tempo.co, 2014). Pada tahun 2015, terjadi penangkapan 21 waria dan ditahan di camp assessment tanpa peradilan. Lima di antaranya ditangkap hanya berbasis ekspresi dan identitas gendernya, sebab mereka sama sekali tidak sedang melakukan aktivitas mengamen. Penangkapan ini ternyata tidak melalui upaya peradilan (www.plush.or.id, 2016). Menurut catatan PLUSH, tahun 2016 kelompok LGBT mengalami jumlah serangam lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, beberapanya adalah intimidasi pada kegiatan One Billion Rising Jogja, penyerangan dan usaha penutupan Pondok Pesantren Waria Al Fatah, penyebaran puluhan spanduk anti LGBT oleh FUI di beberapa titik Yogyakarta, aksi massa dan deklarasi anti LGBT oleh AM FUI, penyebaran selebaran berisi ancaman pembunuhan pada LGBT oleh AM FUI, represi pada aksi massa Solidaritas Perjuangan Demokrasi oleh polisi di daerah Malioboro. Yogyakarta sebagai kota poros pendidikan pun terguncang oleh karena represi dan intoleransi masuk ke arena yang seharusnya steril dari tidan pengecaman berbasis fanatisme pada ideologi tertentu. Akan tetapi akhir-akhir ini dari pihak institusi pendidikan, kepolisian dan organisasi masyarakat ramai – ramai menentang perdebatan ilmiah atas nama pengetahuan terkait LGBT. Pada tahun 2014, seminar LGBT yang diadakan oleh fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma mendapatkan kecaman dari FUI sehingga pelaksanaan seminar dibatalkan. Dalam wawancara dengan beberapa informan, diskriminasi masih ditemui di lingkungan kampus UGM terhadap mahasiswa gay di fakultasnya dengan mendapat label negatif dari dosen. PLUSH sebagai kajian kelompok LGBT di Yogyakarta mencatat bahwa sepanjang 2014-2016 terdapat tujuh diskusi kampus yang dibubarkan oleh pihak kampus. Perjuangan kawan – kawan LGBT untuk mendapatkan akses dan perhatian yang adil di Yogyakarta telah diinisiasi sejak tahun 80an (Oetomo, 2010). Diawali dengan dibentuknya Ikatan Waria Yogyakarta (IWAYO) dimana 66
gerakan ini memiliki tiga titik lokasi berkumpul yaitu di Siti Hinggil, Purna Budaya dan Kridosono (Data FGD, 2016). Pada saat itu gerakan masih belum memperjuangkan identitas di masyarakat dan mereka kerap berjejaring dengan seniman dan preman dan pada tahun 1985, IWAYO mulai bekerjasama denan Perserikatan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) untuk mengikuti IMS (Infeksi Menular Seksual). Sebagian besar anggota IWAYO bekerja sebagai pengamen. Ada ciri khas sendiri saat mereka mengamen yaitu mengenakan atribut Jawa untuk mendapatkan perhatian. Namun, dandanan demikian terlalu rumit, oleh karena itu kawan – kawan waria lebih suka nyebong2 daripada mengamen. Meskipun gerakan fundamentalis belum eksis pada masa itu, kelompok waria masih menemui tantangan yang lain, yaitu garukan3. Sebenarnya dari awal dilahirkan gerakan ini, kelompok waria hanya ingin diakui identitas saja, lalu keinginan IWAYO dapat tercapai dengan adanya kerjasama dengan PKBI. Sementara itu, pada tahun yang sama, lahir juga Persaudaraan Gay Yogyakarta (PGY). Dari 1990 - 2010, setidaknya sudah ada beberapa komunitas yang fokus pada tema LGBT di Indonesia seperti Arus Pelangi, Suara Kita, Insitut Pelangi Perempuan, Keluarga Besar Waria Yogyakarta, Yogyakarta Principles PLUSH (2010) , Pondok Pesantren Waria Al Fatah, dan lain-lain. Jika dilihat dari sejarahnya, pergerakan LGBT di Indonesia sebenarnya sudah cukup lama akan tetapi mereka masih berada dalam perjuangan untuk mendapatkan pengakuan identitas di masyarakat, bahkan hingga sekarang pun mereka masih harus menghadapi penolakan, baik dari masyarakat dan negara (Oetomo, 2010). Banyaknya komunitas yang berfokus pada perjuangan identitas seksual dan gender di Indonesia, termasuk di Yogyakarta, dewasa ini menunjukkan peningkatan momentum coming out di kalangan teman – teman LGBT. Hal ini terlihat dari banyak aksi yang dilakukan oleh kelompok 2
Nyebong adalah istilah bagi para waria untuk bekerja melayani pencari jasa oral seks. 3 Garukan adalah istilah untuk menyebut peristiwa di mana apparat keamanan menggelandang waria untuk di bawa ke pusat pembinaan.
67
LGBT dalam mengekspresikan identitas mereka, seperti turun ke jalan, melakukan pawai keberagaman, melakukan diskusi ilmiah, dan mengadakan perkumpulan. Puncaknya pada tahun 2015, kelompok LGBT mulai menunjukkan diirnya sendiri pada Hari Internasional Melawan Homofobia dan Transfobia (IDAHOT). Lintasan sejarah tersebut mengalir dinamis mempengaruhi lanskap ekspresi LGBT sekaligus dipengaruhi oleh kontestasi nasional yang sedang bergejolak. Yogyakarta sebagai lokasi kebudayaan yang memiliki intensitas mobilisasi yang cukup tinggi cenderung dihidupi oleh ragam identitas (Kusumawijaya, 2010). Dinamika sejarah memperlihatkan kompleksitas formasi sosial Yogyakarta meningkat seiring lalu lintas mobilisasi makin padat; hingga identitas antar kelompok bersinggungan beresiko. Pendiskriminasian juga terjadi di Yogyakarta dengan UU gelandang dan pengemis yang dirilis pada tahun 2014. Berdasar pada wawancara dengan Tata, narasumber dari PLUSH, ia menyatakan bahwa UU tersebut telah mendiskreditasikan eksistensi waria yang bekerja sebagai pengamen di jalanan. Menurutnya UU ini tidak lepas dari itikad pemerintah untuk membuat Yogyakarta sebagai kota wisata, sehingga adanya penggusuran gelandangan dan pengemis menjadi langkah yang tercepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ia menambahkan bahwa pendekatan pemerintah ini telah gagal dalam menyelesaikan permasalahan masyarakat.
Penyintas Atas Stigma-Stigma Yang Beredar Berbicara LGBT tak lepas dari stigma-stigma negatif yang dilekatkan. Hal ini dikarenakan sensivitas tinggi yang tipikal bagi terminologi LGBT (Rodriguez, 2015). Pun di Yogyakarta, stigma-stigma masih muncul dalam aktivitas sehari-hari. Ini pula yang menjadi salah satu tembok besar di mana teman-teman LGBT harus bertahan dan berusaha memunculkan strategi agar dapat mengakses kehidupan sehari-hari secara damai. Salah satu dampak dari stigma tersebut adalah tahap paling awal dari LGBT untuk memperlihatkan diri atau kerap disebut dengan Coming out, di mana teman-teman LGBT sanggup mengekspresikan identitasnya dengan 68
teguh (Oetomo, 2011; Arianto, 2008). Proses tersebut cukup pelik bagi teman-teman LGBT bahkan di kota Jogja. Banyak dari mereka yang secara pribadi bahkan masih belum menerima identitas mereka. Diantara mereka, banyaknya yang masih terjebak dalam paradigma masyarakat yang sangat negatif mengenai LGBT. Hal ini kemudian membuat para LGBT yang telah menerima kondisi mereka, masih sangat khawatir untuk coming out membuka diri kepada lingkungan yang lebih luas sebagai LGBT. Stigma negatif terhadap LGBT pada titiknya bukan hanya pada level persepsi masyarakat namun juga pada level kelembagaan. Misalkan di DIY, LGBT ditetapkan sebagak Penyakit Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Pada beberapa kesempatan LGBT bahkan dijustifikasi sebagai cacat sosial. Hal ini tidak lepas dari stigma negatif masyarakat terhadap LGBT yang selalu identik dengan seks bebas dan pengidap HIV. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi di DIY yang merupakan salah satu provinsi dengan pengidap HIV/AIDS terbesar di Indonesia yaitu sebanyak 2.288 orang (pengidap HIV sebanyak 1.323 orang dan AIDS sebanyak 965 orang) (Tempo, 2016). Data ini kiranya menunjukkan bahwa LGBT semakin menjadi-jadi untuk dikaitkan dengan penyakit. Di samping itu, Stigma negative terhadap LGBT tidak lepas dari maraknya propaganda negatif dari ormas-ormas ekstrimis dan media. Beberapa ormas-ormas ekstrimis ini seperti Front Pembela Islam (FPI), Forum Umat Islam (FUI), dan Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Ormas-ormas tersebut melakukan radikalisasi melalui aksi “bernuansa kekerasan” di jalan, pemasangan spanduk, hingga doktrinasi di sekolah-sekolah. Beberapa spanduk yang dipasang oleh GPK bertuliskan. “Kalian Perusak Moral Bangsa; Menolak Tegas LGBT; Ingatlah Sejarah Kaum Sodom yang Diadzab Allah” “LGBT adalah Gangguan Jiwa Menular; Segera Berobat dan Bertobat” Jajaran diskriminasi dan represi tersebut membuat teman-teman LGBT dalam kondisi tertentu mengalami hambatan akses dan pelanggaran Hak Asasi, kalaupun akses terpenuhi, ada beberapa kualitas-akses yang direduksi. Dengan kata lain, terdapat diskriminasi laten di dalam kehidupan sehari-hari 69
yang berkaitan dengan akses pada domain publik. Di ranah pendidikan, misalnya saja, di UGM terdapat beberapa oknum dosen yang mengintimidasi mahasiswa LGBT bahwa mereka tidak akan diluluskan. Hal ini tentu menjadi ancaman yang sangat serius. Mereka yang menjadi korban intimidasi inipun sangat kebingungan ketika terjebak dalam kondisi seperti ini. Akses untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi, masih terjangkau. Namun, ada kalanya stigma negatif secara kultural merupakan batu sandungan yang mengandung ideologi keberbedaan. Di lain sisi, bullying juga masih terjadi di lingkungan pendidikan baik dari sesama pelajar maupun antara pengajar. Sulitnya akses yang barangkali paling terasa adalah terhadap akses ekonomi. Para LGBT sangat sulit menerima pekerjaan (Ketika mereka membuka diri sebagai LGBT). Di berbagai lingkungan kerja, baik di lingkungan pemerintah ataupun swasta, masih terjadi homophobia. Hal ini kembali berkorelasi dengan stigma negatif gay yang dikaitkan dengan seks bebas dan penyebar HIV/AIDS. Sedangkan para lesbian harus selalu menyesuaikan penampilan dan gaya bekerja perempuan yang sangat feminim. Akses atas ekonomi paling sulit diakses oleh kelompok transgender. Umumnya perusahaan dan tentu saja instansi pemerintah menolak menerima pegawai yang merupakan transgender. Para transgender ini hingga harus dihadapkan pada dua pilihan yang sulit, yaitu antara menjadi pengamen jalanan, pekerja seks komrsil, atau membuat wirausaha sendiri. Tidak sedikit kemudian transgender yang harus terjebak pada pilihan pertama dan kedua. Hal ini membuat posisi mereka di lingkungan keluarga dan masyarakat semakin termarginalkan. Para LGBT masih kerap menerima diskriminasi pelayanan kesehatan. Umumnya para LGBT dapat tetap mengakses pelayanan kesehatan. Namun pelayanannya kerap diikuti dengan stigma yang negatif. Salah satu narasumber menuturkan pengalaman rekannnya ketika sedang berkonsultasi medis mengenai penyakit hepatitisnya. Alih-alih memberikan nasihat medis yang memadai, dokter malah menceramahi bahwa penyakitnya adalah azab. Hal ini sangat disayangkan, mengingat sebelumnya pelayanan kesehatan terhadap LGBT cukup memadai ketika sedang maraknya penderita 70
HIV/AIDS di DIY. Dinas Kesehatan awalnya cukup terbuka dengan LGBT karena banyaknya dana yang mengalir dari program penanganan HIV/AIDS tersebut. Namun belakangan ini, kondisinya justru semakin mundur kebelakang. Hal ini tidak lepas dari kontroversi mengenai LGBT yang kembali berkembang pada tahun 2014-2016. Masalah keyakinan kelompok LGBT juga tidak luput dari intimidasi dan diskriminasi kelompok terentu. Pada satu sisi, dapat dipahami keyakinan sebagian kelompok agama yang meyakini bahwa LGBT adalah hal yang dilarang oleh agama. Meskipun begitu, kiranya setiap orang tetap memiliki hak untuk beribadah dan berkeyakinan. Namun sayangnya hal ini justru bertolak belakang dengan terjadinya serangan pesantren waria Al-Fatah pada Bulan Februari 2016 lalu oleh Front Jihad Islam (FJI). Penyerangan ini sangat disayangkan, karenapun sebetulnya pesantren inipun tidak melakukan provokasi apapun di masyarakat. Namun tetap saja menjadi target penyerangan ormas ekstrimis. Sangat disayangkannya pula aparat hanya diam dan membiarkan aksi penyerangan pesantren yang membuat pesantren waria tersebut terancam ditutup (BBC, Februari 2016).
Diam-Diam Melawan Deskripsi diatas menjelaskan bagaimana kondisi para LGBT yang hidup sebagai survivor di kota Jogja yang di klaim sebagai kota inklusi. Masih begitu banyak hambatan dan tantangan yang harus mereka hadapi. Meski begitu sebagian LGBT di DIY berusaha untuk terus berkonsolidasi dan diamdiam melawan jeratan ruang atas mereka. Sebagai kelompok minoritas, para LGBT menyadari perlunya pergerakan yang dilakukan secara terkonsolidasi dengan massa dan cakupan isu yang seluas-luasnya. Gerilya yang dilakukan oleh para kelompok LGBT diawali dengan kegiatan kultural kumpul-kumpul bersama. Secara umum, setiap LGBT yang telah coming out akan sangat intens untuk ikut serta dalam acara kumpul bersama. Hal ini lantaran banyak diantara mereka yang tidak memiliki ruang ditempat lain, sehingga menjadikan kelompok LGBT sebagai peer group mereka. Pada perkembangannya, beberapa kali kelompok71
kelompok LGBT juga mengadakan acara yang lebih besar seperti Kelap Kelip Warna Kedaton (KKWK). Bagi mereka, KKWK ini sudah seperti lebaran tahunan sehingga acaranya begitu meriah (Arianto, 2008). Berbagai gerakan yang hendak dibangun oleh kelompok LGBT masih terhambat dengan anonimitas kelompok atau individu-individu LGBT itu sendiri. Hal ini tidak lepas kembali dari masih banyaknya LGBT yang belum berani membuka diri. Pada beberapa kesempatanpun, misalkan dalam wawancara dengan wartawan, penelitian, maupun publisitas lainnya, umumnya mereka masih memilih menjadi anonim. Hasrat mereka untuk menjadi dikenal publik masih kalah jauh dari ketakukan mereka akan intimidasi dan diskriminasi. Para aktivis LGBT juga sangat berhati-hati dalam menerima berbagai undangan kegiatan baik itu dari yayasan, LSM, lembaga pemerintahan, apalagi aparat. Karena mereka sangat merasakan bahwa berbagai undangan tersebut kerap menjadi media profiling gerakan LGBT. Anonimitas ini bahkan dilakukan secara kelembagaan dengan menyamarkan alamat secretariat ataupun struktur lembaga. Strategi ini beberapa kali berhasil mengecoh beberapa pihak yang hendak bertindak agresif kepada para kelompok LGBT. Salah satu media alternatif kelompok LGBT untuk menyuarakan kegelisahan mereka adalah dengan menggunakan media sosial. Meskipun saat ini media sosial cukup sangat membantu dalam gerakan sosial. Kelompok LGBT harus sangat berhati-hati dalam menggunakannya. Penggunaan media sosial dilakuka dengan semangat inklusifitas. Ketimbang konten yang benar-benar berhubungan langsung dengan penerimaan mengenai LGBT. Hal ini berhubungan dengan masih cukup konservatif bahkan radikalnya netizen di Indonesia menghadapi isu-isu seputar LGBT. Hadirnya twibbon pelangi dari Facebook dapat dikatakan begitu membantu kampanye inklusivitas LGBT di dunia digital Indonesia. Para LGBT terbilang agak jarang untuk membuat konten sendiri di media sosial. Mereka lebih sering menggunaan landmark ataupun konten dari luar negeri untuk dibagikan. Hal ini sekali lagi untuk mengurangi resiko intimidasi yang juga sering muncul di media sosial. Beberapa kali, penggunaan media sosial ini 72
juga diperuntukkan untuk mengimbangi pemberitaan negatif dari media dan berjejaring dengan antar peer group atau komunitas. Sebagai survivor, tidak selamanya tantangan gerakan LGBT datang dari luar. Terkadang tantangan itu sendiri datang dari kelompok LGBT sendiri. Hal ini terjadi karena sektoralitas yang masih kental. Isu yang dibawa diantara LGBT masih belum begitu solid. Begitu juga upaya untuk memperluas basis isu gerakan masih sering terhambat. Beberapa tahun yang lalu gerakan LGBT di DIY sempat ingin dioptimalkan gerakan bersama GNP (Gerakan Nasional Pendidikan), buruh, petani, dll. Namun pada keberlangsungannya menjaga hubungan dan kerjasama antar isu dan gerakan lebih sering mengalami kemandekan. Permasalahan lain dari gerakan LGBT adalah belum terkonsolidasinya antar komunitas L-G-B-T. Masing-masing kelompok terkadang memiliki konsern isunya masing-masing. Hal ini belum lagi dengan para LGBT yang memiliki cara pandang perjuangan masing-masing. Ada yang berpikir bahwa hak mereka sebagai LGBT harus diperjuangkan melalui konfrontasi, relasi kepada pemerintah, aksi massa, kampanye, dan lainnya. Sebagiannya lagi ada yang berpendapat bahwa LGBT dapat diterima di masyarakat dengan cara menjadi pribadi yang baik ditengah masyarakat.
Agensi dan Gerakan Akar Rumput Proses keluar masuk agensi dan struktural juga dialami oleh kaum muda Yogyakarta dalam membangun kota inklusif. Skema kewargaan menjadi satu konsep penting yang patut dipertimbangkan untuk mengkaji inklusivitas. Dengan ini, konsep akses dan kesetaraan hak yang seharusnya melekat dalam diri anak muda dapat dijadikan instrument untuk menilik jatuh bangun kaum muda Yogyakarta dalam membangun kota inklusi. Salah satu kanal diskursus yang kerap menjadi muara isu LGBT dan Kewargaan adalah kesehatan (Boelstroff, 2004; Rodriguez, 2015) Diskriminasi kerap terjadi di ranah ini, di mana kelompok LGBT kerap sekali dilekati citra buruk dan penyakit (Oetomo, 2011; Boelstroff, 2005; Arianto, 2008; Oetomo, 2011) Lisa (21) menceritakan kepada kami pengalamannya. 73
“Kalau ngomongin LGBT, di Puskesmas, pasti dapat Stigma. Misal : layanan puskesmas, mbaknya mau minta periksa IMS, lalu petugasnya langsung bilang aah pasti homo. Nah apalagi waria. Ada kasus di sebuah puskesmas, di kota, ada Lesbi periksa ternyata dia IMS, langsung dicibir. Otomatis teman-teman yang termarginalkan, enggak dapat Akses, kecuali mereka ke PKBI.�
Tampaknya, posisi marginal telah merasuk begitu rupa secara personal hingga mempengaruhi kualitas fasilitas. Dampaknya, pelayanan publik berlangsung dengan pemahaman akan keragaman yang cukup ugal-ugalan. Usaha yang dilakukan oleh kaum muda di Yogyakarta untuk persoalan ini adalah pemantauan secara reguler ke beberapa pelayanan kesehatan ramah remaja. Selain itu, beberapa komunitas binaan PKBI seperti Youth Action, Youth Forum, dan PiKr juga secara rajin dan berkala memberikan pelayanan kesehatan-alternatif kepada kelompok LGBT. Usaha tersebut merupakan bentuk-bentuk strategi kebudayaan (kultural) di mana dimensi kolektivitas hadir cukup intens sebagai bagian dari agensi kaum muda. Namun di lain sisi, usaha-usaha advokasi struktural juga dilakukan, mengingat diskriminasi kelompok marginal justru terjadi sejak di kebijakan (Arianto, 2008). Dalam wacana kesehatan, advokasi dilakukan dengan membawa subwacana yang mewujud dalam Rancangan Peraturan Gubernur, yang mulai disusun sejak tahun 2015 (Lisa, 2016). Itupun dilakukan melalui jalan panjang yang tidak mudah. “Dari tahun 2008 membuat petisi untuk meminta ada pelayanan seks di pendidikan. Kami advokasi tapi ditolak. Tahun 2012, kepala dinas pendidikan DIY menolak. Kami advokasi ke dikpora, ke DPR, ke semuanya, sampai akhirnya orang DPR ada yang setuju. Bisa dimasukkan. Itu waktu itu ada komisi C, waktu itu tahun 2013. Pergub dimulai dirancang baru 2015.�
Di lain sisi, Yogyakarta justru mengesahkan Perda Gepeng Nomor 1 Tahun 2014. Kehadiran kebijakan ini dianggap jauh dari kata bijak, sebaliknya, justru memberikan dasar diskriminasi bagi kelompok LGBT. 74
Pendekatan visual dan penampilan semata-mata dilakukan untuk mengangkut kawan-kawan waria yang sedang berada di jalanan. Pun beberapa orang-orang yang disinyalir gelandangan, hanya karena sedang berdandan tidak karuan. Alhasil banyak korban salah tangkap disebabkan oleh konotasi “jalanan� dipersempit sebagai tempat gelandangan dan waria. Di lain sisi, waria selalu identik dengan ruang sosio-kultural yang terpinggirkan dan jauh dari jangkauan sumber-sumber ekonomi. “Dulu gerakan LGBT ini dekat dengan kebudayaan. Tahun 80an, waria sangat dekat dengan seniman. Ada proses selain peminggiran juga kriminalisasi, entah masuk ke Tibun atau Perda Gepeng, secara tidak langsung menyerang waria, bukan hanya pekerjaannya, tapi hanya karena ekspresinya yang terlihat waria juga ditangkap. Dulu gakpapa, karena sekarang ada apanya, berarti ada proses peminggiran atau kriminalisasi. Kalau ruang yang dimaksud tidak hanya ruang fisik, nah itu sekarang semakin sempit.�
Kaukus perda gepeng yang diorganisasi untuk melakukan intervensi politis melalui pendekatan kultural merupakan satu respon tipikal yang dilancarkan oleh kaum muda. Di dalamnya, juga termaktub pergeseran yang cukup mendadak dalam kurun waktu yang cukup pendek. Periode 2010 – 2015 adalah rentang dimana dinamika sensitivitas LGBT naik turun (Oetomo, 2015). Hal ini terlihat dari di tahun-tahun tertentu, gerakan LGBT menjadi sebuah kewajaran dan menerima banyak pemakluman. Aksi Arus Pelangi di tahun 2013 yang bertempat di jantung kota Jogja tidak mendapat penolakan sama sekali (Rodriguez, 2015) Padahal di tahun 2012, diskusi Irshad Manji membuahkan bentrok antara penyelenggara diskusi dan kelompok fundamentalist. Dinamika yang sedemikian tak menentu justru terus menerus mereproduksi nilai-nilai intoleran. Kondisi ini pula yang ikut mempengaruhi ruang gerak dan strategi serta posisi kaum muda Yogyakarta yang terlibat dalam sensitivitas LGBT (Oetomo, 2010). Usaha-usaha dari kelompok LGBT sendiri juga mengalami dinamika yang cukup kompleks; bergerak dari satu ranah ke ranah lain; merangkul satu 75
perjuangan ke perjuangan yang lain (Boelstroff, 2007). Memasuki tahun 2000, aktivitas kelompok LGBT lebih dekat kepada penanggulangan HIV/Aids oleh karena program-oriented dari donor mendorong kepada aktivitas yang demikian (Oetomo, 2014). Hal ini disebutkan dalam beberapa sesi FGD dan wawancara, bahwa perjalanan LGBT di Yogyakarta mengalami bongkarpasang yang cukup menegangkan. Di tahun-tahun 80’ – 90’ misalnya, LGBT lebih mengacu pada Queer Collective Action, dimana jangkauan wacana merangsak sampai ke gerakan buruh, tani, perempuan dan kanal-kanal terpinggirkan yang lain (Binnie & Bell, 2004). Ada kebangkitan baru yang kemudian terbentuk dari pergerakan kaum muda ketika rangkaian kekerasan dan pengkhianatan hak melalui kebijakan perlahan menggerus LGBT dan wacana lain yang terpinggirkan. Kondisi ini yang membuat tipikal agensi kultural dan perjuangan struktural kembali bersatu. Hal ini terlihat dari beberapa koalisi yang terbentuk baik secara fisik maupun infrastruktur keorganisasian, misalnya saja Solidaritas Perjuangan Demokrasi yang membawa beberapa organisasi untuk mengajak masyarakat Yogyakarta menghormati keberagaman. Dari sisi perjuangan struktural, Kaukus Perda Gepeng berisikan beberapa komunitas LGBT dan Anak Jalanan yang bekerja untuk mengkritisi penerapan Perda Gepeng dan melakukan intervensi pelaksanaan secara kebudayaan. Dalam beberapa observasi yang dilakukan oleh peneliti ketika menghadiri aktivitas yang dilakukan oleh LGBT, ada beberapa fenomena kerjasama antar organisasi untuk saling menjaga satu sama lain. Beberapa melihat ini sebagai fenomena keterdesakan (Bern, 2000). Namun, Laclau dan Mouffe (2001) menegaskan bahwa sebuah gerakan perjuangan dapat membawa wacana-terbagi yang di dalamnya terselip sub-wacana, tantangan, kontestasi, dan relasi-kuasa. Ini pula yang terjadi di Yogyakarta melihat dinamika sejarah dan kontestasi wacana yang berlangsung dalam lintasan perubahan sosial. Dalam skema inklusivitas, kondisi ini berusaha untuk membuka ruang sosial yang inklusif. Ini dilakukan melalui gerakan terbuka dan beberapa aksi nyata, meski belakangan sempat teredam. Ruang ekonomi yang inklusif juga diusahakan melalui jejaring internal untuk memberikan 76
sumber-sumber penghidupan. Dan yang paling krusial adalah partisipasi sebagai warga kota. Keputusan untuk membentuk satu wadah besar untuk menggerakkan sekian wacana adalah satu kekuatan untuk menyatakan diri sebagai warga kota yang berhak berpartisipasi. Namun, resiko yang terselip di dalamnya adalah kontestasi-internal. Butler (2011) menyebutkan bahwa wacanaterbagi (Shared-Discourse) akan berpeluang untuk meredam sub-wacana kecil yang sulit terdengar. Cerita dan narasi kecil akan tersesat dalam wacana besar yang sedang diperjuangkan. Ini pula yang terjadi di Yogyakarta, segregasi internal terjadi seiring keragaman yang sangat kompleks di masingmasing sub-wacana. LGBT menempati tingkat keberagaman yang sangat berwarna. Misalnya, Transmen kerap mengalami kesulitan untuk membaur dan ikut mempengaruhi arah perjuangan. Hal ini yang juga menjadi tantangan agensi bagi kaum muda untuk mengelola inklusivitas mulai dari level yang serendah mungkin. Bahkan, ambivalensi agensi dan survivor juga terjadi di dalam perjuangan itu sendiri, terlebih perjuangan kaum muda.
Mempertimbangkan LGBT dalam Wacana Kota Inklusi Legalisasi status LGBT tentu saja menjadi impian bagi setiap simpatisan LGBT. Namun saat ini sebaliknya kampanye dan serangan anti LGBT justru semakin masif. Apalagi perdebatan pro kontra LGBT di Indonesia hanya berputar antara perdebatan agama dan Hak Asasi Manusia (HAM). Tentu saja dua gagasan ini berpijak pada landasan yang berbeda dan akan sulit menemui titik temu. Ekslusivitias LGBT bahkan bukan hanya terjadi di ranah masyarakat, melainkan di kalangan kelompok LGBT itu sendiri. Masingmasing diantara LGBT kerap hanya berkelompok yang sesuai dengan basis kelas yang sama. Misalkan pada kelompok gay, diantara mereka harus tampil glamor untuk dapat diterima di kelompok. Para gay yang memiliki keterbatasan ekonomi, umumnya akan “ditinggal di jalan�. Sebagaimana pemaparan salah satu peserta FGD, “Awal-awal saya menjadi CO, eksklusivitas gay itu lebih tinggi, fabolous. Serangannya adalah ngurusi LGBT ya ngurusi kelas menengah ke atas karena 77
ada pandangan bahwa to be gay should be faboulous yang kemudian ada gay di jalanan itu dianggap tidak ada. Kala itu kemudian membangkitkan mereka untuk berorganisasi� Begitupun para gay yang sangat kaya, mereka umumnya akan “menyelamatkan diri masing-masing�. Mereka umumnya akan pergi ke Thailand dan menyambung hidup disana. Sedangkan yang berkebatasan harus terus berjibaku di Yogya-Indonesia.Masih beratnya gerakan LGBT di Yogya dipengaruhi peta politik yang asih belum mendukung. Sejauh ini, kelompok-kelompok LGBT lebih banyak bergerak pada tataran grassroots. Hal ini membuat sebagian warga, pimpinan warga seperti RT/RW cukup menerima kehadiran LGBT di wilayah mereka.Ormas radikal, aparat kepolisian dan TNI bisa jadi adalah pihak yang secara nyata vis a vis dengan kelompok LGBT. Misalkan ketika aksi Pro Demokrasi di Tugu, aparat justru melindungi ormas radikal yang jelas-jelas membawa senjata tajam dan agresif. Begitupun ketika kelompok LGBT hendak melakukan acara di wilayah pemukiman, ormas radikal dan aparat kerap memprovokasi warga untuk ikut melarang kegiatan kelompok LGBT. Tidak adanya dukungan elit. Hal ini tidak lepas dari tidak populisnya bagi para politisi untuk mendukung LGBT. Sebaliknya, terkadang elit politik justru sering membuat posisi kelompk LGBT semakin sulit. Misalkan hadirnya para elit di board yayasan terkait LGBT- PKBI yang salah satu boardnya adalah anggota DPR. Hal ini justru menjadi kontraproduktif, sebab elit tersebut justru membuat progresivitas PKBI terhambat. “Jadi pas aksi 23 Februari di tugu tapi gak sampai tugu. Nah aksi di 23 itu, pasca itu justru pihak pemerintah mencoba mencari tersangka dengan mempertemukan beberapa gerakan perempuan oleh GKR Hemas, katanya diskusi pluralitas tapi ada kapolres dan menanyakan siapa yang ikut dan menginisiasi demo. Bahkan punya tersangka. Jadi 23 itu kan banyak aliansi, Jaringan Perempuan Yogyakarta misalnya, malah dapat undangan di Pagi harinya, 1 satu setelah 23. Kami sebenarnya sangat aware dengan yang begitu. Kami yang ikut itu ndak datang. Isunya jadi 1 di tanggal 23 itu, dari
78
isu papua sampai apapun. Nah, makanya tebakan kami benar, acara GKR Hemas itu mencari tersangka bukan solusi bersama� Lemahnya peta politik dukungan LGBT berimplikasi lemahnya kebijakan yang pro LGBT. Alih-alih, LGBT justru memperoleh kebijakan yang semakin memojokkan posisi mereka. Misalkan di Yogya yang baru saja mengesahkan Perda Gepeng. Perda ini tentu sangat mengancam keberlangsungan para waria yang bekerja sebagai pengamen jalanan.Pada kebijakan pelayanan kesehatan, saat ini posisi LGBT juga semakin terpinggirkan dengan macetnya bantuan donor. Hal ini tidak lepas dari dintrogasi lembaga-lembaga donor (yang sering memberikan bantuan program penanggulangan HIV/AIDS) oleh BIN (Badan Intelejen Negara). Pembiayaan program ini dijustifikasi negara sebagai proxy war pihak asing ke Indonesia.
Kaum Muda : Keterbukaan dan Kewargaan Kota Posisi kaum muda dalam wacana kota inklusi memperlihatkan tarikulur agensi dan survivor. Kondisi ini bukan hanya terlihat dari sudut pandang perdebatan individu dan struktur. Lebih dari itu, kaum muda Yogyakarta yang bergerak di isu LGBT berada di berbagai pengkondisian sosial baik yang konstruktif maupun dekonstruktif (Nilan, 2015; 2010) Sensivitas LGBT tidak dapat dipungkiri sangat rentan akan diskriminasi dengan dasar ideologi keberbedaan yang radikal (Boelstroff, 2005; Rodriguez, 2015). Di lain sisi, kelompok fundamentalist yang kerap bersitegang dengan mereka memiliki relasi-kuasa yang cukup tebal. Pun ketika berbicara soal kewargaan. Partisipasi dan keterlibatan yang jauh untuk membicarakan hak-hak dan akses yang memadahi belum banyak dilakukan (Kusumawijaya, 2010). Usaha-usaha untuk mengkampanyekan inklusivitas yang tinggi selalu bertabrakan dengan kondisi-kondisi tersebut. Kaum muda yang bergerak di lingkungan LGBT harus mengelola beban diskriminasi bertumpuk (Arianto, 2008). Dari segi struktural, Perda diskriminatif memperlebar jenjang partisipasi kaum muda LGBT dalam mewujudkan kota yang inklusif. Hal ini menyebabkan terhimpitnya posisi mereka ke tepian kota yang sama hanya 79
bisa diintip sedikit. Ruang-ruang inklusi tetap bisa terakses, namun tanpa keterbukaan ekspresi yang utuh. Jika memang tidak demikian adanya, maka teman-teman muda LGBT tak perlu sembunyi-sembunyi dan melakukan konsolidasi keamanan ketika akan menyatakan ekspresi identitasnya. Diskriminasi serupa terjadi juga ketika mereka hendak mengakses fasilitas umum, seperti kesehatan. Kesulitan semakin berarti ketika teman-teman waria tidak memiliki kartu penanda identitas yang sah, sehingga akses terhadap kolom-kolom publik terbatasi. Ruang dan peluang ekonomi yang tersisa bagi LGBT pun dihalau oleh Perda gepeng. Hal ini juga konsekuensi logis dari diskriminasi kultural (Arianto, 2008). Kelompok LGBT di Yogyakarta mengalami kesulitan untuk mengakses sektor formal dengan keterbukaan penuh atas ekspresi identitas. Peneliti berjumpa dengan informan yang bekerja di sebuah cafe dan sempat mendapatkan perlakuan keras dari management dan pengunjung. Kondisi ini akan lebih parah terasa bagi teman-teman waria, yang tidak mungkin bisa mencapai sektor formal dengan jalur yang solid. Oleh karena itu, kebanyakan dari mereka memenuhi jalanan sebagai ruang dan peluang ekonomi, bahkan sebagian tanpa pengakuan dari negara sebab tak menggenggam KTP. Apa yang terjadi di jalan adalah kontestasi panjang dan pertaruhan kehidupan. Tidak sedikit dari teman-teman waria terseret aparat dan dibawa ke camp assessment yang kumuh dan tak pantas. Pesimisme yang demikian, tidak lalu mendominasi gambaran dari teman-teman LGBT di Yogyakarta. Mental agensi masih terselip di tengah ketegangan sosial yang berlangsung ugal-ugalan. Satu sudut pandang menarik soal kewargaan muda adalah terminologi citizen-in-the-making (Weller, 2007 dalam Kennelly, 2011). Kaum muda perkotaan dianggap berada di antara; belum pantas berpartisipasi sebagai warga, namun telah beranjak dari masa kanak-kanak (Brown, 2006). Pengkondisian ini yang mempengaruhi partisipasi kaum muda LGBT dalam menyusun inklusivitas di Yogyakarta. Cerita advokasi peraturan daerah atau audiensi dengan pemerintah selalu menemui hambatan struktural yang menantang. Perjuangan pendidikan reproduksi, misalnya saja, mengalami berbagai perdebatan yang 80
melelahkan. Argumen-argumen keterbukaan akses kerap dianulir ketika gabungan komunitas LGBT berusaha untuk melakukan mainstreaming melalui jalur formal. Solusi yang kemudian muncul adalah menyusun strategi tersendiri dengan memberikan pendidikan melalui media-media alternatif. Meskipun di akhir tahun 2015, peraturan gubernur soal pendidikan reproduksi yang setara bagi kaum LGBT mulai disusun. Di lain sisi, kaum muda LGBT melakukan begitu banyak pendekatan kultural dan berjejaring untuk melakukan intervensi atas wacana dominan yang begitu kuat menekan mereka di Yogyakarta. Mereka banyak bekerja dengan musik; dan membentuk festival film untuk berbagi pengetahuan. Cara ini telah dilakukan semenjak tahun 2000 dengan menggandeng beberapa organisasi marginal, yang juga mengalami diskriminasi (Arianto, 2008) Ini merupakan tipikal perkotaan di mana keterlibatan untuk menciptakan ruang terbuka dan akses yang luas atas pengetahuan serta ekspresi dikontestasikan dengan wacana dominan (Jayaram, 2000; Perry & May, 2005). Terlebih, Yogyakarta adalah lokasi strategis di mana produkproduk kultural hasil ketegangan sosial bermunculan di berbagai ruang (Luvass, 2011). Tarik-ulur yang cukup tegang antara kontribusi terhadap inklusivitas dan perjuangan melawan diskriminasi menjadikan kaum muda LGBT di Yogyakarta berada di lintasan partisipasi kewargaan. Peran yang diartikulasikan tidak lalu melakukan intervensi langsung pada pihak-pihak yang berseberangan, melainkan terlibat dalam jalur-jalur struktural dan kultural yang dilakukan secara simultan. Semua itu dilakukan untuk membuka akses yang terhadang oleh sensitivitas dan reproduksi sosial dari kelompok dominan demi Yogyakarta yang inklusif. Meskipun tantangan adalah sebuah keniscayaan. Di satu sisi, mereka dikondisikan sebagai kelompok marginal dan di lain pihak belum mendapatkan kepercayaan untuk menjadi warga kota yang solid dan utuh.
81
KESIMPULAN Sensivitas LGBT untuk merasuk ke dalam wacana Jogja Kota Inklusi menemui banyak tantangan yang cukup tegang. Kaum muda yang bergerak dalam isu LGBT, tidak hanya berdiri dalam ambivalensi wacana besar, melainkan juga mengalami kontestasti sub-wacana. Sisi internal pengorganisasian dan pengelolaan gerakan memiliki banyak pekerjaan rumah. Di lain sisi, diskriminasi struktural berlangsung keras ketika himpitan kultural semakin meminggirkan kaum muda LGBT. Usaha-usaha intervensi dilakukan dengan jalan tengah; di antara hak sebagai warga kota yang perlu mendapat akses dan posisi kaum muda sebagai makers dalam arena kebudayaan kota. Perjalanan menuju inklusivitas menyimpan banyak friksi di mana singgungan antar wacana menyusun struktur kehidupan kota, hingga mempengaruhi mental agensi dari kaum muda untuk melakukan intervensi ekspresi. Keduanya simultan; saling berkontribusi dalam menyusun kaum muda LGBT hari ini, di tengah pertentangan kesetaraan hak dan akses sebagai warga kota Yogyakarta.
82
DAFTAR PUSTAKA Dokumen resmi 2008 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 4 tahun 2012 tentangPerlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas World Bank, World Inclusive Cities Approach Paper, World Bank Report No: AUS8539, May 2015 Sumber Literatur Ahmadi, Rulam. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Ar-Ruzz Media. Ariyanto, & Rido Triawan. Jadi, Kau Tak Merasa Bersalah? Studi Kasus Diskriminasi dan Kekerasan Terhadap LGBTI. 2008. Jakarta : Arus Pelangi. Azca, M. Najib, Derajad S. Widhyharto, dan Oki R. Sutopo (ed.). 2014. Buku Panduan Studi Kepemudaan: Teori, Metodologi, dan Isu-Isu Kontemporer. Yogyakarta : P2MPS Azca, Najib, Subando Agus Margono and Lalu Wildan (ed). 2011. Pemuda Pasca Orba : Potret Kontemporer Pemuda Indonesia. Yogyakarta : Youth Studies Centre. Bell, David & Jon Binnie. 2004. Authenticating Queer Space : Citizenship, Urbanism, and Governance. Urban Studies Vol. 1 No. 9 p : 1809 – 1820. Boellstroff, Tom. 2005. The Gay Archipelago.New Jersey : Princeton Univeristy Press. Boellstroff, Tom. Gay dan Lesbian Indonesia serta Gagasan Nasionalisme. Social Anallysis (50) 1, Spring 2006, pp. 158-163. Bourdieu, Pierre. 1998. On the Theory of Action. California : Stanford University Press. 83
Brown, David. 2010. Making Room for Sexual Orientation and Gender Identity in International Human Rights law: An Introduction to The Yogyakarta Principles. Student note. Checkoway, Barry & Adirana Aldana. 2013. Four Forms of Youth Civic Engagement for Diverse Democracy. Children and Youth Services Review Vol 35 Issues 11 Pages 1894 – 1899. Checkoway, Barry dan Adriana Aldana. 2013. 'Four forms of youth civic engagement for diverse democracy', Children and Youth Services Review No. 35 (2013), pp.1894–1899. Diakses dari http://elsevier.com Ginwright, Shawn, Pedro Noguera, and Julio Cammarota. 2006. Beyond Resistance! Youth Activism and Community Change: New Democratic Possibilities for Practice and Policy for America’s Youth. New York : Routledge Kennelly, Jacqueline. 2011. Citizen Youth : Culture, Activism, and Agency in a Neoliberal Era. New York: Palgrave Macmillan Kennely, J. 2011. Citizen Youth : Culture, Activism, and Agency in a Neoliberal Era. New York : Palgrave MacMillan. Kubiak, Robert Rhodes. 2015. Activist citizenship And the LGBT Movement in serbia Belonging, critical engagement, and transformation. New York : Palgrave MacMillan. Lindström, Lisbeth. 2010. 'Youth Citizenship and the Millennium Generation'. Citizenship, Social and Economics Education, Volume 9 Number 1, 2010, pp. 48-59. Diakses dari http://cse.sagepub.com/ May, tim & Betty Perry. 2005. The Future of Urban Sociology. Bsa Publication Vol 39 No 2 P ; 343 – 370. London : Sage Publications. Nastiti, Aulia Dwi. 2012. (Skripsi) Identitas Kelompok Disabilitas dalam Media Komunitas Online.Depok : FISIP UI Nusser, Sarah. 2010. What Would a Non-Heterosexist City Look Like? A Theory on Queer Spaces and the Role of Planners in Creating the Inclusive City. Thesis from Urban Studies Swarthmore College. Oetomo, Dede. 2001. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Yogyakarta : Galangpress. 84
Parker, Lyn and Nilan, Pam 2013. Adolescents in Contemporary Indonesia, London & New York: Routledge. Putnam, Michelle. 'Conceptualizing Disability: Developing a Framework for Political Disability' Identity. Journal of Disability Policy Studies,Vol. 16, No. 3, 2005, pp. 188–198. Diakses dari http://dps.sagepub.com Ray, N. (2006). Lesbian, gay, bisexual and transgender youth: An epidemic of homelessness. New York: National Gay and Lesbian Task Force PolicyInstitute and the National Coalition for the Homeless. Robinson, Kathryn (edt). 2016. Youth Identities and Social Transformations in Modern Indonesia. Amsterdam : KITLV. Schreier, Margrit. 2012. Qualitative Content Analysis in Practice. London : SAGE Publication. Shephard, Mark dan Stratos Patrikios. 2013. 'Making Democracy Work by Early Formal Engagement? A Comparative Exploration of Youth Parliaments in the EU'. Parliementary Affairs (2013) 66, pp.752-771. Diakses dari http://pa.oxfordjournals.org/ Suyanto, B & Sutinah (Ed.). 2011. Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan. Jakarta : Kencana. Suzanne Naafs & Ben White. 2012. “Intermediate Generations: Reflections on Indonesian Youth Studies.”The Asia Pacific Journal of Anthropology Vol. 13, No. 1, February 2012, pp. 3_20. UNDP, USAID (2014). Being LGBT in Asia: Indonesia Country Report. Bangkok. World Bank, 'Inclusive Cities: Overview', World Bank (daring), 29 Oktober 2015. Diakses dari http://www.worldbank.org/en/topic/urbandevelopment/brief/inclusiv e-cities, pada 7 Maret 2016 Sumber daring A.S, Asep. 'Intoleransi di kota Toleran Yogyakarta', Center for Religious and Cross-cultural Studies UGM (daring), 23 May 2016. Diakses dari http://crcs.ugm.ac.id/news/7963/intoleransi-di-kota-toleranyogyakarta.html, pada 7 Agustus 2016
85
Anonim, ‘Ini Komentar Walikota Tangerang menanggapi LGBT’ dalam Okezone (daring) 24 Februari 2016 <http://news.okezone.com/read/2016/02/24/338/1319892/inikomentar-wali-kota-tangerang-tanggapi-lgbt> D. Prabowo, ‘Yogyakarta Dikukuhkansebagai Kota Toleran’ dalamOkezone(daring) 3 Maret 2011 <http://news.okezone.com/read/2011/03/03/340/431098/yogyakarta -dikukuhkan-sebagai-kota-toleran> E.P. Putra, ‘Menhan: LGBT itu Program Cuci Otak Bagian Proxy War’ Tempo Online (daring) 23 Februari 2016 <http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/02/23/o2zj n2334-menhan-lgbt-itu-program-cuci-otak-bagian-proxy-war Kresna, ‘Seminar LGBT di Sanata Dharma dibubarkan oleh FUI Yogyakarta’ dalam Merdeka (daring) 17 September 2016 http://www.merdeka.com/peristiwa/seminar-lgbt-di-sanata-dharmadiancam-dibubarkan-fui-diy.html Morrison, Zoe.‘Social inclusion, diversity, and the politics of recognition’. Insights Melbourne (daring), November 2011. Diakses dari http://insights.unimelb.edu.au/vol10/02_Morrison.html, pada 3 Oktober 2016 PLUSH, ‘PernyataanSikapIdahot 2016’ dalamPLUSH (daring) 31 Maret 2016 http://www.plush.or.id/2016/06/pernyataan-sikap-idahot-2016.html S. Maharani, ‘Peringati Hari Transgender, Aktivis Yogyakarta Diserang.’ Dalam Tempo (daring) 21 November 2014 https://m.tempo.co/read/news/2014/11/21/058623548/peringatihari-transgender-aktivis-yogyakarta-diserang UNESCO, 'Political Inclusion', UNESCO (daring). Diakses dari http://www.unesco.org/new/en/social-and-humansciences/themes/urban-development/migrants-inclusion-incities/good-practices/political-inclusion/, pada 2 Oktober 2016
86
Studi tentang isu perkotaan akhir-akhir ini menjadi tren dimulai dengan inisiasi mewujudkan smart city. Jika smart city fokus pada pengembangan infrastruktur dan ekonomi, istilah kota inklusif lebih luas mencakup isu-isu sosial yang sering terabaikan karena sifatnya yang tidak kasat mata pun tidak mudah dihitung dengan angka. ,, Melalui riset ini, YouSure mengambil inisiatif untuk menilik lebih lanjut mengenai peran pemuda dalam mewujudkan kota inklusif di Yogyakarta. Kota ini dipilih atas dasar dinamika kaum mudanya yang sangat luar biasa, selain fakta bahwa Yogyakarta ditunjuk sebagai rintisan kota inklusif oleh UNESCO. Dengan metode kualitatif ditemukan bahwa pemuda sebagai warga negara baru ternyata turut aktif berkontribusi dalam proses mewujudkan Yogyakarta yang inklusif. Mengambil dua kelompok marginal sebagai fokusnya yaitu difabel dan LGBT, riset ini diharapkan mampu memberikan wawasan baru bagi pembacanya mengenai dinamika pergerakan pemuda di Yogyakarta dalam isu inklusivitas.