Benteng, Tak Semua Mampu Bertahan

Page 1

REGOL KABAR UTAMA

Benteng, Tak Semua

Mampu Bertahan Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast

B

enteng adalah konstruksi bangunan yang (umumnya) dirancang sebagai pertahanan dalam menghadapi situasi perang. Di masa lalu, sebagai sarana mempertahankan diri dari serangan musuh, benteng banyak didirikan di seluruh penjuru dunia. Bentuk dan bahannya pun sangat beragam, mengikuti 10

Desember 2012

kondisi geografis di mana benteng itu berdiri serta peradaban dan teknologi yang berkembang pada zamannya. Di Indonesia, berbagai bentuk benteng pertahanan pernah dibangun oleh kerajaan-kerajaan asli yang menjadi penguasa lokal, serta sejumlah bangsa asing yang pernah berkuasa, atau Fort Van der Wijck


Bangunan benteng juga banyak dijumpai di Kepulauan Maluku, setidaknya berdagang di wilayah Nusantara, seperti bangsa yang hingga pertengahan abad ke-19 pernah menjadi surga Spanyol, Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang. rempah-rempah dunia. Di Ambon misalnya, selain Fort Nieuw Sejak paruh awal abad ke-19, semakin banyak jumlah benteng Victoria yang sampai sekarang masih berdiri kokoh, juga pernah yang berdiri, khususnya di Pulau Jawa dan Sumatra, saat pemerintah kolonial Hindia Belanda menerapkan strategi Benteng berdiri Fort Amsterdam (Hila), Fort Haarlem (Lima), dan Fort Middelburg (Paso). Di Kepulauan Banda, setidaknya pernah Stelsel untuk menghadapi berbagai perlawanan. Inti strategi ini berdiri 6 benteng, yaitu: Fort Belgica, Fort Nassau, Fort adalah membangun benteng-benteng pertahanan berikut jalur Kuilenburg, Fort Hollandia, Fort Concordia, dan Fort Revengie. transportasi yang saling menghubungkannya, pada setiap wilayah Di wilayah Ternate, teridentifikasi 4 bangunan benteng: Fort yang berhasil dikuasai. Oranje, Fort Voorburg, Fort Tolluco dan Fort Kalamata. Masih Strategi yang dirancang oleh Frans David Cochius ini mulai terdapat belasan benteng lainnya yang tersebar di kepulauan ini. diterapkan pada tahun 1827 oleh Gubernur Jenderal Hendrik Benteng lainnya tersebar di sejumlah wilayah, seperti Fort Merkus baron de Kock, di tengah berkecamuknya Perang Rotterdam dan Fort Vredenburg (Makassar), Benteng Kesultanan Diponegoro (1825-1830). Untuk mempersempit gerak pasukan Buton (Bau-bau), Fort Nieuw Amsterdam (Manado), Fort Tatas Pangeran Diponegoro, Belanda membangun sejumlah benteng di (Banjarmasin), Fort Du Bus (Pontianak), Fort Concordia Semarang, Ambarawa, Muntilan, Kulonprogo dan Magelang, (Kupang), dan Fort Du Bus (Papua). hingga kemudian menghasilkan tak kurang dari 165 benteng baru Pusat Dokumentasi Arsitektur yang tersebar di Jawa Tengah dan (PDA), sebuah lembaga yang Jawa Timur. Strategi ini dianggap Sayang, sebagian bangunan menekuni penelitian dan berhasil ketika Perang Diponegoro dokumentasi arsitektur, khususnya berakhir pada tahun 1830 dan benteng itu telah lenyap bangunan dan kawasan cagar dipergunakan kembali saat tanpa bekas. Sebagian yang budaya di Indonesia, menyebut menghadapi Perang Padri di lebih dari 275 benteng peninggalan Sumatra (1803-1838). lain hancur terlapukkan masa lalu yang tersebar di seluruh Menarik untuk menelusuri dan penjuru Nusantara. Bangunan ini mengamati keberadaan bentengzaman, hanya menyisakan tak hanya tersebar di pulau atau benteng yang pernah berdiri kokoh bekas-bekas bangunan kota-kota besar, namun juga di dan menjadi saksi sejarah pada pelosok wilayah dan pulau-pulau zamannya itu. Sekilas studi visual beserta mitos dan legenda terpencil. yang dilakukan Tim Kabare pada yang menyertai Sayang, sebagian bangunan foto, ilustrasi serta peta lama dari benteng itu telah lenyap tanpa pertengahan abad ke-18 hingga keberadaannya bekas. Sebagian yang lain hancur akhir ke-19, menemukan sejumlah terlapukkan zaman, hanya benteng peninggalan masa lalu yang menyisakan bekas-bekas bangunan beserta mitos dan legenda yang meski tidak merata, tersebar di seluruh penjuru Nusantara. menyertai keberadaannya. Sebagian lagi masih menyisakan ujud Di Pulau Sumatra misalnya, berdiri sejumlah benteng, di aslinya, namun dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Tak antaranya Fort de Kock (Bukittinggi, Sumatra Barat), Fort der cuma kondisi fisik, catatan sejarahnya pun sulit tertemukan. Jika Capellen (Batusangkar, Sumatra Barat), Fort Poleoe Tjinkoe data dan sejarah benteng di kota-kota besar saja acapkali tak (Pesisir Selatan, Sumatra Barat), Fort Marlborough (Bengkulu), terungkap dengan akurat, apalagi benteng yang berdiri di pelosok Fort Palembang (Palembang), Fort Tandjoengpinang dan Fort wilayah atau pulau-pulau terpencil. Prins Hendrik atau Fort Kroonprins (Riau), Fort Toboalij Sementara bangunan benteng yang terjaga lestari sebagai cagar (Bangka), serta Fort Pakanbadak (Kutaraja, Aceh). budaya warisan masa lalu, relatif terbilang dengan hitungan jari. Di Pulau Jawa, hampir di setiap kota pernah berdiri benteng. Benteng-benteng beruntung yang panjang umur ini masih berdiri Yang masih bisa dicatat, antara lain Fort Speelwijk (Banten), Fort kokoh dengan beragam fungsi, meski kondisi bangunannya tak lagi Diamant (Serang), Castle of Batavia (Jakarta), Fort Prins van seutuh di masa jayanya. Benteng-benteng ini bahkan tampil Oranje (Semarang), Fort Vredeburg dan Benteng Baluwerti menjadi landmark kotanya, seperti Benteng Malborough di (Yogyakarta), Fort Vastenburg (Solo), Fort Willem II (Ungaran), Fort Willem I (Ambarawa), Fort Kedoeng Kebo (Purworejo), Fort Bengkulu, Benteng Rotterdam di Makassar, Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta, Benteng Van der Wijck di Van der Wijck (Gombong), Fort Engelenburg (Klaten), Fort de Gombong, Benteng de Kock di Bukittinggi serta Benteng Nieuw Hersteller (Salatiga), Fort Djapara (Jepara), Fort Prins Hendrik Victoria di Ambon. (Surabaya), Fort Van den Bosch (Ngawi), Fort Erfprins (Gresik) Ternyata, meski menjadi bangunan pertahanan, tak semua dan Fort Utrecht (Banyuwangi) serta sejumlah benteng di benteng mampu bertahan melawan arus perubahan zaman. + beberapa kota lainnya.

Desember 2012

11


REGOL KABAR UTAMA

Dari Benteng ke Benteng, Melacak Jejak

Sejarah

Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Albert

S

etiap ujud peninggalan masa lalu, selalu menarik untuk dikunjungi dan dipelajari. Di sanalah saksi peradaban manusia berada, yang menjadi salah satu sumber penting untuk mencatat perjalanan sejarah sebuah bangsa. Salah satu peninggalan itu adalah bangunan benteng pertahanan yang banyak berdiri di seluruh penjuru Nusantara sejak beberapa abad lalu. Bagaimana riwayatnya kini? Awal November 2012 lalu, Tim Kabare telah menjelajahi dan mendokumentasikan sejumlah benteng peninggalan masa lalu yang tersebar di Kota Cilacap, Gombong, Ambarawa, Ungaran, Ngawi, Surakarta dan Yogyakarta. Meski memfokuskan diri pada sejumlah benteng peninggalan Belanda, tim juga berupaya menengok kembali keberadaan benteng asli peninggalan Dinasti Mataram Islam, khususnya Benteng Baluwerti di Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih menampakkan wujud aslinya. Dalam perkembangannya saat ini, meski awalnya sebagian besar tetap menjadi aset dan fasilitas militer, kondisi dan fungsi setiap benteng itu berbeda-beda. Ada yang masih cenderung tertutup, ada pula yang sudah berubah menjadi ruang publik. Tulisan ini merangkum seluruh hasil kunjungan Tim Kabare, kecuali riwayat tentang Benteng Vredeburg dan Benteng Baluwerti di Yogyakarta yang disajikan dalam tulisan tersendiri. *** 12

Desember 2012

Dari Yogyakarta, Tim Kabare meluncur menuju Kota Cilacap di sudut barat daya Provinsi Jawa Tengah, mengunjungi sebuah obyek wisata yang sudah begitu dikenal: Benteng Pendem Cilacap, yang dalam literatur Belanda disebut sebagai Kustbatterij op de Landtong te Tjilatjap. Konon, benteng berbentuk segi lima yang dibangun antara tahun 1861 hingga 1879 ini merupakan tiruan dari Fort Rhijnauwen, benteng terbesar di Utrecht, Negeri Belanda, yang dibangun pada masa yang sama. Di masa kemerdekaan, sebagaimana benteng-benteng yang lain, Benteng Pendem Cilacap diambil alih oleh tentara Indonesia. Meski tidak dipergunakan secara intensif, tempat ini pernah menjadi ajang sejumlah aktifitas militer. Salah satunya di tahun 1960-an, saat Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang sekarang bernama Komando Pasukan Khusus (Kopassus), mempergunakannya sebagai markas latihan lintas hutan, gunung, rawa dan laut. Aktifitas ini ditandai dengan didirikannya Tugu Monumen


Peluru di salah satu sisi yang menjadi gerbang masuknya kala itu. Selama dua dasawarsa semenjak tidak dipergunakan lagi oleh RPKAD, Benteng Pendem ini sempat tak terurus, tertutup semak perdu dan tertimbun pasir. Baru di tahun 1986, Pemerintah Kabupaten Cilacap berupaya menggali kembali, bersamaan dengan dimulainya pembangunan dermaga kapal, perkantoran dan tangki-tangki minyak yang dikelola oleh Pertamina Unit Produksi IV Cilacap. Di tahun yang sama pula, Atas inisiatif seorang warga Cilacap bernama Adi Wardoyo, kawasan benteng mulai dibuka dan ditata, hingga mulai bisa dikunjungi umum pada tahun 1987. Benteng Pendem Cilacap diperkirakan memiliki luas asli sekitar 10 hektar. Denah dan struktur reruangannya

secara lengkap kemungkinan sulit disingkap, karena sekitar 4 hektar dari luas kawasannya terlanjur dipergunakan sebagai fasilitas operasional Pertamina. Saat ini, selain benteng perlindungan, ruang pengintaian dan parit di sisi luar, sebagian bangunan yang masih bisa diidentifikasi adalah barak prajurit, ruang rapat, klinik, gudang senjata dan mesiu, penjara, dapur serta terowongan bawah tanah. Konon, sebagian dari terowongan ini memanjang menembus laut, menuju Benteng Karangbolong, sebuah benteng di Pulau Nusakambangan yang juga dibangun oleh Belanda di tahun 1873. Di wilayah Gombong, Kabupaten Kebumen, berdiri bekas benteng yang sekarang berubah menjadi obyek wisata yang terkenal bernama Benteng Van der Wijck. Terakhir, sebelum akhirnya dikelola oleh swasta, benteng ini dipergunakan sebagai bagian dari Sekolah Calon Tamtama A dibawah Kodam IV / Diponegoro. Meski relatif utuh dan kokoh, tak banyak tersedia catatan yang berkaitan dengan sejarah pendirian benteng bersegi delapan ini. Ditilik dari bentuk bangunannya, Benteng Van der Wijck kemungkinan dibangun pada periode yang sama dengan pembangunan Benteng Willem I di Ambarawa dan

Benteng Prins Oranje di Semarang, buah dari kebijakan Benteng Stelsel di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hendrik Merkus Baron de Kock. Sebelumnya, benteng ini juga dikenal dengan nama Fort Frans David Cochius. Penamaan ini sebagai penghargaan Raja Belanda Willem I kepada Mayor Jenderal Frans David Cochius, atas jasanya memenangkan pertempuran di Pegunungan Bonjol, Sumatera Barat (1837). Penaklukan ini mengakhiri perlawanan Kaum Adat dan Kaum Padri yang berlangsung sejak tahun 1831. Selain pernah bertugas di wilayah Kedu, Jawa Tengah, Cochius juga dikenal sebagai perancang strategi Benteng Stelsel. Sementara Van der Wijck, nama yang tertera di gerbang masuk dan menjadi nama benteng saat ini, belum dijumpai keterangan yang akurat tentang biografinya. Di akhir abad ke-19, setidaknya ada 2 tokoh penting bernama Van der Wijck. Yang pertama adalah Johan Cornelis van der Wijck, seorang Letnan Jenderal Hindia Belanda yang pernah menjabat sebagai salah satu komandan militer wilayah Jawa (1900), Gubernur Militer di wilayah Aceh dan sekitarnya (1904) dan terakhir sebagai Panglima sekaligus Kepala Departemen Perang Pemerintah Kolonial Hindia Belanda (1905). Tokoh kedua adalah Carel Herman Aart

Desember 2012

13


REGOL KABAR UTAMA

van der Wijck, Gubernur Jenderal Hindia yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1899. Bagi Kerajaan Belanda, tokoh ini dianggap berjasa atas keberhasilannya mengendalikan peperangan antara orang Sasak dan Bali di Lombok, yang berakhir dengan jatuhnya Istana Cakranegara di Ampenan serta penguasaan penuh Belanda atas pulau itu (peristiwa ini juga “menyelamatkan” Naskah Negarakertagama dari istana yang terbakar dan membawanya ke Negeri Belanda). Namanya diabadikan sebagai nama sebuah kapal mewah yang kemudian karam di dekat Lamongan dan diceritakan kembali oleh Hamka dalam karyanya

14

Desember 2012

”Tenggelamnya Kapal Van der Wijck”. Sumber lain juga menyebutkan pengabadian namanya pada saluran irigasi penting di Yogyakarta, yang dikenal dengan nama Selokan Van der Wijck (dibangun tahun 1909). *** Perjalanan Tim Kabare berlanjut menuju wilayah Ungaran, di Kabupaten Semarang. Di lintasan utama yang menghubungkan Semarang dengan Surakarta dan Yogyakarta ini berdiri salah satu benteng tua yang berdiri sejak abad ke18 yang dikenal dengan nama Benteng Willem II.

Keberadaannya bermula dari sebuah benteng sederhana yang diberi nama Fort Ontmoeting atau Benteng Pertemuan, sebagai peringatan pertemuan bersejarah antara Sri Susuhunan Paku Buwono II dengan Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff, 11 Mei 1746. Benteng ini kemudian disempurnakan bangunannya pada tahun 1786 dan dikenal dengan nama Fort Oenarang (sebutan lama Ungaran). Setelah berakhirnya Perang Jawa (18271830), seiring dibangunnya benteng yang lebih besar di Ambarawa, benteng ini kemudian berubah nama menjadi Fort Willem II, mengabadikan nama Raja Belanda kedua, Willem Frederik George Lodewijk van Oranje-Nassau atau Willem II yang memerintah dari tahun 1840-1849. Belakangan, benteng ini disebut dengan nama Benteng Diponegoro, karena disinilah Pangeran Diponegoro ditahan sementara sebelum akhirnya diasingkan ke Makassar. Lokasi Benteng Willem II mudah dijumpai karena berada di tepi jalan raya utama Solo-Semarang, sekitar 35 km dari Ambarawa, tepatnya di depan Gedung


Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang. Benteng yang terdiri dari 2 bangunan bertingkat dengan tembok keliling setebal 1 meter ini pernah dipergunakan sebagai asrama polisi, sebelum akhirnya dikosongkan hingga saat ini. Meski terkesan kurang terpelihara, kondisi fisik bangunannya relatif masih utuh. Lokasinya pun sangat strategis dan potensial untuk dikembang sebagai obyek wisata atau pusat aktifitas seni budaya. Sayang, upaya menuju kesana masih terhambat oleh sengketa kepemilikan lahan

sehingga belum sepenuhnya bisa terealisasikan. Namun upaya pelestariannya sebagai cagar budaya secara bertahap telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Semarang. Sebagian kawasan Benteng Willem II, sementara ini telah mulai difungsikan menjadi ruang publik, lengkap dengan fasilitas taman, tempat duduk, tempat parkir, hingga hotspot area. Halaman depan benteng yang disebut dengan “Taman Beteng� ini, menjadi salah satu tempat favorit warga masyarakat Ungaran dan sekitarnya. Masih di wilayah Kabupaten Semarang, tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, berdiri sebuah benteng

peninggalan Belanda yang dikenal dengan nama Benteng Willem I. Saat ini, sebagian kawasan bekas benteng dipergunakan sebagai lembaga pemasyarakatan oleh Departemen Hukum dan HAM RI, sementara sebagian lainnya dimanfaatkan sebagai hunian keluarga militer dibawah pengelolaan Kodam IV / Diponegoro. Benteng Ambarawa dibangun antara tahun 1834-1853 sebagai sebuah benteng modern, menempati bekas markas pasukan cadangan dan gudang logistik Belanda yang berperan penting selama berkecamuknya

Perang Jawa (1825-1830). Benteng ini mengabadikan nama Raja Belanda pertama, Willem Frederik Prins van Oranje-Nassau atau Willem I Frederick yang memerintah dari tahun 1815-1840. Kawasan benteng sangat luas, bahkan disebut sebagai salah satu benteng terbesar di Pulau Jawa. Benteng Willem I juga dikenal sebagai maskas Oost-Indische Leger, pasukan khusus Belanda dalam Perang Jawa yang direorganisasi akhir tahun 1830, cikal bakal dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang baru resmi dibentuk pada tahun 1933. Tahun 1873, ketika jaringan kereta api marak dibangun di Pulau Jawa, benteng ini juga membangun stasiun dan jalur khusus yang menghubungkannya ke Semarang dan Yogyakarta. Sebagaimana benteng, stasiun itu awalnya bernama Stasiun Willem I. Sayang, sebagai sebuah cagar budaya,

kondisi benteng ini cukup memprihatinkan. Berbeda dengan nasib Stasiun Willem I lestari dan tersohor sebagai Museum Kereta Api Ambarawa, kondisi fisik kawasan Benteng willem I tampak terbengkalai. Memang, melihat luasnya kawasan dan kondisinya saat ini, mudah dipahami jika pemeliharaan dan perbaikannya membutuhkan biaya yang sangat besar. *** Dari Ambarawa, Tim Kabare langsung beranjak menuju Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Di kota ini berdiri sebuah benteng yang dahulu Fort Van den Bosch, dikenal juga dengan sebutan Benteng Pendem Ngawi. Benteng ini terletak tak jauh dari titik pertemuan (tempuran) Bengawan

Desember 2012

15


REGOL KABAR UTAMA

Solo dan Bengawan Madiun, di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Lokasinya mudah dijangkau, karena berada di pusat Kota Ngawi. Semula, keberadaan benteng ini tak banyak diketahui, bahkan nyaris terlupakan. Maklum, pasca kemerdekaan, kawasan ini menjadi fasilitas militer yang tertutup bagi publik. Baru di awal 2011, benteng mulai dibuka untuk umum. Meski sudah mulai bisa dikunjungi, kawasan benteng masih berada di bawah pengelolaan Yon Armed 12/Kostrad Angicipi Yudha, batalyon artileri medan di bawah Komando

16

Desember 2012

Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang pernah memanfaatkannya sebagai markas dalam kurun waktu yang cukup lama.. Sebagaimana ditulis dalam buku “De Java Oorlog� karya Pjf. Louw (Jilid I, 1894), benteng ini dibangun pada tahun 1839 hingga 1845 sebagai sarana pertahanan menghadapi sisa-sisa laskar Pangeran Diponegoro di wilayah Ngawi yang dipimpin oleh Wirotani. Lokasinya sangat strategis, karena berada simpang lajur transportasi sungai yang menghubungkan aktifitas perdagangan dari

Surakarta, Yogyakarta, Pacitan, Madiun dan Maospati, menuju bandar Surabaya. Benteng ini dinamai Fort Van den Bosch, mengabadikan nama Gubernur Jenderal Johannes graaf van den Bosch yang memerintah di tahun 1830-1834. Sebagai catatan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43 ini dikenal sebagai penguasa Hindia Belanda menggagas dan memberlakukan Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel). Di pihak Belanda, meski telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum pribumi, sistem ini berhasil menyumbangkan keuntungan besar dan berperan penting dalam peningkatan kemakmuran di Negeri Belanda. Belakangan, sistem ini juga telah melahirkan zaman keemasan kolonialisme liberal di Hindia Belanda (1835-1940). Karenanya, Raja Belanda William I menganugerahkan gelar Graaf kepada Van den Bosch pada tahun 1839. Pemberian nama benteng di Ngawi dengan namanya, kemungkinan adalah bagian dari pemberian penghargaan itu, bukan karena didirikan oleh Van den Bosch sebagaimana tertulis di sejumlah sumber. Meski termakan usia, Benteng Van den Bosch masih tampak kokoh. Bangunan yang masih bisa disaksikan adalah gerbang utama, ratusan kamar para tentara, halaman tengah, dan beberapa ruang yang diyakini sebagai bekas kandang kuda. Seperti umumnya, sisi luar benteng juga dikelilingi oleh parit selebar 5 meter yang saat ini telah tertimbun tanah. Benteng ini juga dikelilingi oleh gundukan tanah, sehingga memberi kesan terpendam, dan disebut dengan nama Benteng Pendem. Selain sebagai fungsi pertahanan, gundungan ini juga berguna untuk melindungi kawasan benteng jika sewaktuwaktu terjadi luapan air sungai Bengawan Solo atau Bengawan Madiun. Kota Surakarta adalah persinggahan terakhir, sebelum kemudian kembali ke Yogyakarta. Di tengah kota, tepatnya di kawasan Gladak, berdiri bangunan Benteng


Vastenburg yang berarti “benteng yang dikelilingi tembok kuat�. Benteng ini didirikan oleh pada 1775-1779 atau 32 tahun setelah berdirinya Kraton Kasunanan Surakarta, pada tempat yang sama dengan bangunan Fort De Grootmoedigheid yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem Baron van Imhoff di tahun 1745. Bentuknya menyerupai Benteng Vredeburg di Yogyakarta, yang dibangun pada kisaran waktu yang sama, yaitu bujur sangkar dengan tonjolan di empat sudutnya yang disebut seleka atau bastion. Benteng ini juga dikelilingi parit dengan jembatan gantung di depan setiap gerbangnya. Sementara bangunan dalam benteng terdiri dari beberapa barak terpisah, serta lapangan terbuka di tengahnya yang dipergunakan sebagai tempat latihan, persiapan pasukan serta apel bendera. Sebagaimana bangunan benteng lainnya, pasca kemerdekaan Benteng Vastenburg juga dipergunakan sebagai fasilitas militer TNI. Terakhir, benteng ini dipergunakan sebagai markas dan tempat latihan Brigif 6/Kostrad Trisakti Baladaya, brigade infanteri di bawah Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad). Sayang, meski berada di tengah kota, kondisi Benteng Vastenburg sungguh terbengkalai dan tidak terawat. Ini terkait dengan sengketa kepemilikan lahan yang tak kunjung usai. Benteng Vastenburg di Surakarta, kemungkinan adalah satusatunya benteng yang sepenuhnya dimiliki oleh pihak swasta. Sebuah bangunan cagar budaya penting yang tidak lagi dikuasai oleh negara. Harapannya, semoga bisa segera dicapai mufakat yang mampu menyalurkan kepentingan setiap pihak yang terkait dengan keberadaan Benteng Vastenburg, demi kelestariannya sebagai cagar budaya dan saksi perjalanan sejarah bangsa. Harapan ini tak hanya berhenti di Surakarta, tapi juga di setiap benteng yang masih bisa diselamatkan keberadaanya di seluruh penjuru Nusantara. +


REGOL KABAR UTAMA

Dua Benteng di Tengah Kota,

Bersandingan Sepenembakan Meriam Teks: Agus Yuniarso; Foto: Albert, Hesti Rika

D

alam hal pelestarian cagar budaya, Yogyakarta termasuk salah satu kota yang beruntung dibanding kota-kota lain. Tak sebatas di Indonesia, bahkan di tingkat dunia. Meski

18

Desember 2012

tak semua sempurna, begitu banyak cagar budaya yang terjaga kelestariannya. Rentang usianya pun cukup lebar. Mulai dari zaman kolonial satu dua abad yang lalu, hingga zaman peradaban Hindu-Buddha, lebih

dari 10 abad lalu. Termasuk di antaranya deretan cagar budaya itu adalah dua bangunan pertahanan yang berdiri megah di tengah kota, Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg. *** Kraton Kasultanan Yogyakarta dikelilingi oleh sebuah benteng besar yang didirikan sebagai sarana pertahanan serta untuk mengantisipasi serangan musuh dari luar wilayah Keraton. Benteng ini dinamai Benteng Baluwerti, yang berarti jatuhnya peluru laksana hujan. Benteng Baluwerti dibangun atas prakarsa Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Sultan Hamengku Buwono I, untuk mengimbangi berdirinya benteng VOC di sebelah utara Kraton, yang dikenal dengan nama Benteng Vredeburg. Pembangunan Benteng Baluwerti sendiri ditandai dengan ornamen simbolik berupa suryasengkala yang berbunyi Paningaling Kawicakranan Salingga Bathara yang bermakna tahun 1785 Masehi. Untuk mempersiapkan diri menghadapi serangan Daendels. Pada bulan November 1809,


Pangeran Adipati Anom yang telah naik tahta menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono II, semakin menyempurnakan bangunan ini. Benteng Baluwerti berbentuk segi empat, mengelilingi kompleks Keraton seluas lebih kurang satu kilometer persegi.

Tembok benteng setinggi 3,5 meter dengan lebar antara 3-4 meter yang membentuk anjungan. Tebalnya tembok benteng memungkinkan orang atau kereta kuda melintas diatasnya. Sisa anjungan pada tembok Benteng Baluwerti masih bisa

disaksikan pada sisi selatan sebelah timur. Benteng Baluwerti memiliki 5 buah gerbang yang disebut plengkung. Plengkung Tarunasura atau Plengkung Wijilan berada di sisi utara sebelah timur, sekaligus menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten. Plengkung ini bentuknya masih utuh. Plengkung Jagasura atau Plengkung Ngasem berada di sisi utara sebelah barat. Plengkung ini pada masa Sultan Hamengku Buwono VIII telah mengalami perubahan bentuk menjadi gerbang bentar. Di sebelah barat dahulu berdiri Plengkung Jagabaya atau Plengkung Tamansari yang saat ini juga sudah berubah bentuk menjadi gapura. Sementara di sisi sebelah timur, dahulu berdiri Plengkung Madyasura yang disebut pula Plengkung Tambakbaya. Plengkung ini sudah rata dengan tanah. Ada pula yang menyebutnya dengan nama Plengkung Buntet, karena pernah ditutup menjelang serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Desember 2012

19


REGOL KABAR UTAMA Satu lagi plengkung yang terdapat di sisi selatan masih berdiri utuh dan dikenal dengan nama Plengkung Nirboyo atau Plengkung Gadhing. Fungsi khusus gerbang ini adalah sebagai jalan untuk menghantar Sultan yang wafat menuju makam para raja di Pajimatan Imogiri. Pada sisi kiri dan kanan pintu terdapat ragam hias kepala raksasa yang disebut Kala atau Kemamang sebagai simbol pelepasan

timur laut telah lama runtuh, nyaris tidak lagi tersisa bekasnya. Sebuah prasasti yang ada di bekas bastion itu, menunjukkan sebab kerusakannya akibat serangan balatentara Inggris pada tahun 1812. Peristiwa yang terjadi pada masa Sultan Hamengku Buwono II tersebut dikenal sebagai Geger Sepoy atau Geger Spei. Hingga sekitar abad ke-18, Benteng Baluwerti dikelilingi oleh selokan yang lebar

jam 5 pagi diiringi genderang dan terompet para prajurit di halaman Kemagangan. *** Satu lagi benteng yang berdiri di tengah Kota Yogyakarta adalah Benteng Vredeburg, benteng megah yang saat ini berfungsi sebagai museum sejarah perjuangan Bangsa Indonesia. Awalnya, Meski dipergunakan untuk kepentingan VOC, benteng ini tidak dibangun oleh

mangkatnya sang raja. Pada setiap sudut Benteng Baluwerti terdapat bangunan bastion yang berfungsi sebagai titik pengintaian dengan sejumlah lubang dan relung yang berfungsi untuk menempatkan meriam atau senjata lainnya. 3 dari 4 bastion ini masih berdiri utuh, yaitu yang berada di sebelah tenggara, barat daya dan barat laut. Satu lagi bastion di sebelah

dan dalam yang disebut jagang dengan jembatan gantung di depan setiap plengkungnya. Sepanjang tepian jagang ditanam deretan Pohon Gayam. Jika datang ancaman bahaya, jembatan-jembatan ini dapat ditarik ke atas hingga menutup jalan masuk menuju bagian dalam benteng. Pada jamannya, plengkung-plengkung ditutup pada jam 8 malam dan dibuka kembali pada

orang-orang Belanda. Benteng Vredeburg mulai dibangun pada tahun 1760 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pembangunan ini dilakukan atas permintaan VOC yang diwakili oleh Gubernur Pantai Utara Jawa, Nicolaas Hartingh, sebagai bagian dari kesepakatan dan keniscayaan politik di masa-masa awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta, pasca

20

Desember 2012


peristiwa Palihan Nagari di tahun 1755. Dalihnya demi membantu menjaga keamanan Kraton Kasultanan Yogyakarta, meski dengan mudah dapat dibaca sebagai upaya VOC untuk memantau pergerakan Kasultanan Yogyakarta sendiri. Karenanya, Sultan pun tak banyak menunjukkan semangat untuk mewujudkannya. Namun, meski dibangun dengan setengah hati, akhirnya berdiri jugalah

sebuah benteng sederhana yang terletak sekitar 200 meter di sebelah utara Kraton. Benteng berbentuk bujursangkar ini di keempat sudutnya dibuat tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Keempat sudut itu masing-masing diberi nama Jayawisesa di barat laut, Jayapurusa di timur laut, Jayaprakosaningprang di barat daya dan Jayaprayitna di tenggara.

Di tahun 1765, Gubernur W.H. Ossenberch yang menggantikan Nicolaas Hartingh mengusulkan agar benteng dibuat lebih permanen demi menjamin keamanan. Setelah tercapai kesepakatan dengan Sultan Yogyakarta, penyempurnaan bangunan benteng pun dimulai pada tahun 1767 dibawah pengawasan Frans Haak, seorang insinyur Belanda, dan baru berakhir di tahun 1787. Penyempurnaan bangunan benteng ini memakan waktu cukup lama, karena Sultan bagaimanapun lebih memprioritaskan perhatiannya pada Kraton Kasultanan yang masa itu juga sedang dibangun. Setelah selesai disempurnakan, benteng ini kemudian diberi nama Fort Rustenburg, yang berarti Benteng Peristirahatan. Hampir seabad kemudian, benteng yang cukup megah ini sempat mengalami kerusakan berat saat terjadinya gempa bumi besar yang melanda Kota Yogyakarta di tahun 1867. Setelah dilakukan pembenahan, Fort Rustenburg berganti nama menjadi Fort Vredeburg, yang berarti Benteng Perdamaian. Benteng Vredeburg memiliki 3 buah pintu, yang terdapat di sisi sebelah barat, selatan dan timur, dengan pintu utama berada di sebelah barat. Awalny, sebagaimana lazimnya bangunan

pertahanan di masa lalu, benteng ini juga dikelilingi parit sebagai konstruksi pertahanan di sisi terluar. Sisa parit ini masih bisa dilihat di bawah jembatan depan gerbang utama. Dahulu juga terdapat jembatan gantung di atas parit di depan setiap pintunya. Tembok benteng adalah lapisan pertahanan kedua setelah parit, yang setiap sisi dalamnya dibuat anjungan. Di sepanjang anjungan ini terdapat sejumlah relung untuk menempatkan meriam kecil atau senjata tangan. Sebagian anjungan dan relung-relung di sebelah timur, selatan dan barat saat ini masih bisa disaksikan. Sementara bangunan di dalam benteng terdiri dari perumahan perwira, sejumlah bangsal prajurit, gudang senjata, garasi, ruang tahanan serta kandang kuda. Sementara lapangan yang berada di tengah benteng menjadi tempat persiapan, latihan maupun upacara-upacara militer. *** Benteng Baluwerti dan Benteng Vredeburg, dua benteng yang hanya berjarak sepenembakan meriam itu, kini menjadi landmark penting di tengah Kota Yogyakarta. Benteng Vredeburg, selain fungsi utamanya sebagai sebuah museum, juga menjadi salah satu pusat kegiatan seni budaya penting di kota ini. Sementara Benteng Baluwerti, menjadi salah satu ciri khas keberadaan Kraton Kasultanan Yogyakarta yang masih terjaga lestari. Terbersit kabar, Pemerintah Kota Yogyakarta berencana menata kembali lingkungan dan pemukiman di seputar Benteng Baluwerti untuk memunculkan kembali wajah asli dinding-dinding di setiap sisinya. Jika rencana ini berjalan mulus tanpa gejolak, tentu akan menjadi prestasi tersendiri dalam bidang tata kota dan pelestarian cagar budaya. Perhatian dan kepedulian masyarakat Yogyakarta demi lestarinya kedua benteng bersejarah ini, semoga dapat membangkitkan inspirasi bagi pengelolaan benteng-benteng lain di seluruh penjuru Nusantara. +

Desember 2012

21


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.