Kretek, Asli Indonesia

Page 1

REGOL KABAR UTAMA

Kretek, Asli Indonesia Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast

K

retek adalah produk asli Indonesia dan satu-satunya di dunia. Sebagaimana jamu dan kosmetika tradisional, rokok kretek adalah wujud olah kreasi dan intuisi dalam meramu unsur budaya asing dengan kekayaan lokal, sehingga tercipta citarasa yang sangat kaya dan beragam. Sebagaimana disinggung oleh Denys Lombard dalam karyanya "Nusa Jawa: Silang Budaya”, karakteristik Nusantara adalah posisi geokulturalnya yang khas di lokus persimpangan budaya dunia, sehingga budaya asing dengan mudah singgah dan berbaur dengan kekayaan budaya dan kecerdasan lokal. Inilah yang terjadi dengan tembakau yang ketika bertemu dengan cengkeh telah melahirkan produk budaya baru, rokok kretek. Secara historis, tembakau memang bukan komoditas asli Indonesia. Menurut catatan orang Eropa, tembakau telah dijumpai oleh Christophorus Columbus dalam Ekspedisi Navidad yang mengantarkannya di Amerika pada tahun 1492. Di "dunia baru" itu, Columbus menjumpai Suku Lucayan, salah satu penduduk asli Indian di Amerika yang memiliki ritual mengunyah daun tembakau. Columbus membawa pulang tanaman ini sebagai salah satu bukti perjalanannya. Sejak itulah tembakau mulai dikenal di daratan Eropa. Dan sekitar seabad kemudian, orang Eropalah yang kemudian membawa dan menanamnya di Nusantara. Meski ada pendapat berbeda, orang Portugis bisa dianggap sebagai pembawa cikal bakal tanaman tembakau, sementara budidayanya dilakukan pertama kali oleh orang-orang Belanda. Sementara itu, meski belum ada kesepakatan tentang asal muasalnya, cengkeh telah tumbuh jauh sebelum tembakau ditanam di bumi Nusantara. Nicolo Conti, seorang saudagar Venesia berpendapat bahwa cengkeh berasal dari Banda. Pohon cengkeh tertua pun, konon ditemukan di Pulau Ternate. Hingga abad ke-18, Maluku menjadi penghasil cengkeh terbesar di dunia. Begitu strategisnya cengkeh (dan pala) sebagai komoditas rempah kelas dunia, bisa dipahami sebagai pemicu munculnya kolonialisme di bumi Nusantara yang berlangung hingga berabad-abad lamanya. Selain keragaman rasa serta aroma yang dihasilkan oleh puluhan jenis tembakau yang kemudian tumbuh subur di Indonesia, keunikan rokok kretek juga dihasilkan oleh tambahan saus yang, lagi-lagi, khas Indonesia. Jika “perkawinan” antara tembakau dan cengkeh dianggap sebagai konsekuensi bauran lintas budaya, maka saus sebagai unsur ketiganya merupakan cerminan orisinal dari kecerdasan lokal dalam meramu dan menciptakan keanekaragaman dan kekayaan citarasa. Setidaknya, ada lebih dari 100 rasa berbeda yang dihasilkan oleh saus sebagai unsur ketiga ini. Selain berfungsi menjaga konsistensi

10

November 2012

rasa tembakau, ramuan saus ini berperan penting sebagai bumbu penyedap sekaligus menyuguhkan keunikan dan citarasa khas dari setiap merek rokok kretek. Bahan racikannya sendiri diperoleh dari saripati buah dan tetumbuhan lokal yang banyak tersedia dan mudah didapat di sembarang tempat, meski belakangan, ketika produksi semakin massif, bahan perasa makanan dari luar negeri mulai banyak digunakan juga. Resep ramuan saus ini bagaikan “lembar suci” yang sangat dijaga kerahasiaannya di dapur setiap produsen. Acapkali, rahasia ini bahkan hanya diketahui oleh pemilik perusahaan serta orangorang terpilih yang bisa dipercaya. Dalam bukunya Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia's Clove Cigarettes, Mark Hanusz membandingkan ramuan istimewa dalam sebatang rokok kretek dengan formula rahasia yang dimiliki oleh Coca-Cola. “Often the sauce recipe for a popular brand of kretek is known to only two or three members of a company, which would make it a more closely guarded secret than the formula for Coca-Cola” demikian tulisnya. Kekayaan citarasa khas kretek juga dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya masyarakat Indonesia yang begitu beragam. Setiap wilayah memiliki selera yang cenderung berbeda. Inilah yang menjelaskan mengapa pelosok wilayah tertentu seringkali “dikuasai” oleh merek rokok kretek tertentu. Produk kretek dari Jawa Tengah misalnya, cenderung memiliki citarasa yang berbeda dibanding produk dari Jawa Timur, sesuai dengan karakteristik masyarakatnya masing-masing. Sensitif harga, tampaknya tidak menjadi faktor dominan, khususnya di pelosok pedesaan yang memandang kretek sebagai kebutuhan di sela kesenggangan, bukan sebagai gengsi atau gaya hidup. Di sisi lain, terpaan dan bujukan iklan rokok yang begitu gencar lebih terasa di wilayah perkotaan yang cenderung memandang gaya hidup dengan sisi yang berbeda. Ketika sejumlah perusahaan kretek besar menciptakan jenis kretek yang lebih “ringan” dan menampilkannya dalam kesan elegan sebagaimana rokok putih yang sempat dianggap lebih bergengsi, penetrasi rokok kretek pun meluas menembus batas kelas sosial, sekaligus menciptakan pangsa pasar dengan selera dan sisi kebutuhan yang berbeda. Ini menjadi tonggak sejarah penting yang memperkuat posisi kretek sebagai tuan rumah di negerinya sendiri. Menarik untuk dipahami bagaimana kretek, baik dari sisi produksi maupun konsumsi, bisa menjadi bagian dari keseharian sebagian masyarakat Indonesia, hingga kehadiran kretek sebagai salah satu bagian penting dari keragaman budaya lokal Nusantara. Sudah tentu, tidak harus menjadi perokok untuk sekadar memahaminya. +


November 2012

11


REGOL KABAR UTAMA

Mengemas Rasa, Menjual Selera Teks: Della Yuanita; Foto: Budi Prast

M

enyusuri jalanan Kota Santri, Kudus, sungguh nyata terlihat kebanggaan daerah produsen rokok terbesar Nusantara ini. Kudus yang dikenal juga sebagai pusat penghasil rokok semakin memperkokoh eksistensinya sebagai kota kretek. Kudus dan kretek ibarat lem yang tak bisa terpisahkan. Keberadaan ratusan pabrik rokok dengan berbagai merek di kota ini tak bisa dianggap remeh. Justru dari kreteklah, Kudus dapat berkembang pesat karena begitu besar peran kretek dalam mengangkat perekonomian, sosial, dan budaya masyarakatnya. Kisah perjalanan kretek sendiri memang belumlah akurat sumbernya. Namun, banyak leluhur yang menceritakan bahwa kisah kretek bermula dari Haji Djamhari, seorang pria asal Kudus yang pada medio tahun 1880 menderita asma dan sesak napas akut. Secara tak sengaja, Haji Djamhari menggosok-gosokkan minyak cengkeh ke dadanya. Setelah itu, sakitnya pun reda. Lalu ia 12

November 2012

mencoba meraciknya dengan bereksperimen merajang cengkeh dan mencampurnya dengan tembakau untuk dilinting menjadi rokok. Setelah dibakar hasilnya penyakitnya berangsur-angsur sembuh. Lantas ia mewartakan penemuan ini kepada kerabat dekatnya. Berita ini pun menyebar cepat. Permintaan "rokok obat" ini pun mengalir. Djamhari melayani banyak permintaan rokok cengkeh. Kemudian dia mulai memproduksi rokok yang dicampur cengkeh dengan jumlah besar dan diperdagangkan di toko-toko obat karena dipercaya sebagai produk kesehatan. Mula-mula dinamakan rokok cengkeh. Ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamhari ini dikenal dengan "rokok kretek". Awalnya, kretek ini dibungkus klobot atau daun jagung kering. Dijual per ikat, di mana setiap ikat terdiri dari 10, tanpa selubung


kemasan sama sekali. Rokok kretek pun kian dikenal. Konon Djamhari meninggal pada 1890. Identitas dan asal-usulnya hingga kini masih samar. Hanya temuannya itu yang terus berkembang. Sementara buntalan tembakau yang bernama roko atau rokok ternyata berasal dari bahasa Belanda yang artinya berasap. Industri kretek di Kudus akhirnya tumbuh sebagai industri yang unik. Dalam pemerintahan yang dikendalikan oleh bangsa asing, dan dalam perekonomian yang didominasi oleh modal asing, industri kretek di Kudus tumbuh dan berkembang sebagai basis usaha pribumi. “Rokok kretek juga tak bisa lepas dari nama besar Nitisemito. Haji Djamhari memang dikenal sebagai penemu kretek, tapi Nitisemitolah perintis industri rokok sekaligus rajanya kretek di Kudus. Bisnis rokok dimulai oleh Nitisemito pada 1906. Awalnya,

Mula-mula dinamakan rokok cengkeh. Ketika dihisap, cengkeh yang terbakar mengeluarkan bunyi "keretek", maka rokok temuan Djamhari ini dikenal dengan "rokok kretek�

Nitisemito memberi label rokoknya "Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo" (Rokok cap kodok makan ular). Nama ini tidak membawa hoki malah menjadi bahan tertawaan. Nitisemito lalu mengganti dengan Tjap Bulatan Tiga karena gambar bulatan dalam kemasan mirip bola, merek ini kerap disebut Bal Tiga. Pada tahun 1908, julukan ini akhirnya menjadi merek resmi dengan tambahan Nitisemito (Tjap Bal Tiga H.M. Nitisemito),� papar Suyanto, BA, Kepala Pengelola Museum Kretek Kudus kepada Kabare. Bal Tiga resmi berdiri pada 1914 di Desa Jati, Kudus. Setelah 10 tahun beroperasi, Nitisemito mampu membangun pabrik besar di atas lahan 6 hektar di Desa jati. Ketika itu, di Kudus telah November 2012

13


REGOL KABAR UTAMA

Pada masanya, Nitisemito cukup cerdas dalam memasarkan produknya. Salah satunya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan rokoknya ke Bandung dan Jakarta berdiri 12 perusahaan rokok besar, 16 perusahaan menengah, dan tujuh pabrik rokok kecil (gurem). Di antara pabrik besar itu adalah milik M. Atmowidjojo (merek Goenoeng Kedoe), H.M Muslich (merek Delima), H. Ali Asikin (merek Djangkar), Tjoa Khang Hay (merek Trio), dan M. Sirin (merek Garbis & Manggis). Sejarah mencatat, Nitisemito mampu mengomandani 10.000 pekerja dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari. Untuk mengembangkan usahanya, ia menyewa tenaga pembukuan asal Belanda. Pasaran produknya cukup luas, mencakup kota-kota di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan bahkan ke Negeri Belanda sendiri. “Pada masanya, Nitisemito cukup cerdas dalam memasarkan produknya. Salah satunya dengan menyewa pesawat terbang Fokker seharga 200 gulden saat itu untuk mempromosikan

14

November 2012

rokoknya ke Bandung dan Jakarta,� jelas Suyanto. Setelah Nitisemito bangkrut, dikarenakan perebutan ahli waris, maka jalan mulus untuk mendirikan pabrik rokok lain sangat terbuka bagi calon pengusaha kretek lainnya. Munculnya perusahaan rokok lain, seperti Nojorono (Class Mild) di tahun 1930, Djamboe Bol (1937), Djarum (1951), dan Sukun, semakin mempersempit pasar Bal Tiga. Pecahnya Perang Dunia II pada tahun 1942 hingga masuknya tentara Jepang, juga ikut memperburuk usaha Nitisemito. Banyak aset perusahaan yang disita. Pada tahun 1955, sisa kerajaan kretek Nitisemito akhirnya


Foto-foto: Dok. PR Sukun

dibagi rata pada ahli warisnya. Ambruknya pasaran Bal Tiga disebut-sebut juga karena berdirinya rokok Minak Djinggo pada tahun 1930. Pemilik rokok ini, Kho Djie Siong, adalah mantan agen Bal Tiga di Pati, Jawa Tengah. Sewaktu masih bekerja pada Nitisemito, Kho Djie Siong banyak menarik informasi rahasia racikan dan strategi dagang Bal Tiga dari M. Karmaen, kawan sekolahnya di HIS Semarang yang juga menantu Nitisemito. Pada tahun 1930, Minak Djinggo, yang penjualannya melesat cepat memindahkan markasnya ke Kudus. Untuk memperluas pasar, Kho Djie Siong meluncurkan produk baru, Nojorono. Setelah Minak Djinggo, muncul beberapa perusahaan rokok lain yang mampu bertahan hingga kini, seperti rokok Djamboe Bol milik H.A. Ma'roef, rokok Sukun milik M. Wartono, dan Djarum yang didirikan Oei Wie Gwan. “Mengenai sejarahnya, dulu Bapak Oei Wie Gwan tidak mendirikan Djarum dari nol, tapi dari perusahaan rokok NV. Murup milik Haji Muhammad Siradj. Karena hendak bangkrut, kemudian dibeli oleh Pak Oei. Dan tepat pada hari pertama Djarum resmi memiliki cukai sendiri pada 21 April 1951, saat itulah ditetapkan sebagai tanggal berdirinya Djarum. Kini, Djarum sudah dipegang oleh generasi ketiga dan semakin berkembang,� papar Marwan Ardiansyah, Corporate Affairs Staff PT. Djarum kepada Kabare.

Djarum yang merupakan salah satu pabrik rokok terbesar di Indonesia memiliki banyak brand. Beberapa di antaranya telah lama diekspor keluar negeri. Bahkan Djarum sudah memiliki pabrik di Brazil demi menunjang kemajuan perusahaan tersebut. Menurut Marwan, rokok kretek dibedakan berdasarkan proses pembuatannya. Rokok kretek yang bahan bakunya berasal dari daun tembakau dan cengkeh yang diberi saus untuk mendapatkan efek rasa dan aroma tertentu ini memiliki dua cara pembuatan, yakni dengan sistem SKT (Sigaret Kretek Tangan) dan SKM (Sigaret Kretek Mesin). Oey Riwayat Slamet, Manager SKT PT. Djarum menjelaskan bahwa SKT merupakan proses pembuatan kretek dengan cara digiling atau dilinting dengan menggunakan tangan dan atau alat bantu sederhana. Bentuk rokok SKT lebih menyerupai terompet karena diameter pangkal atas lebih lebar dari pangkal bawah. Biasanya dalam 5 jam kerja, setiap satu tim yang terdiri dari dua karyawan SKT mampu menghasilkan 4.000 rokok kretek. Khusus untuk merek Djarum Coklat, setiap harinya, Djarum mampu menghasilkan 3 juta rokok kretek dengan 2.000 lebih karyawan. Saat ini, Djarum memiliki 3 brand rokok SKT yakni Djarum 76, Djarum Coklat, dan Djarum Istimewa. Sedangkan Djarum Super, Djarum Special, dan Djarum Splash, serta Djarum Bali Hai (SKM) dalam proses pembuatannya menggunakan mesin. Sederhananya, material rokok dimasukkan ke


REGOL KABAR UTAMA dalam mesin pembuat rokok. Keluaran yang dihasilkan mesin pembuat rokok berupa rokok batangan. Saat ini mesin pembuat rokok telah mampu menghasilkan keluaran sekitar enam ribu sampai delapan ribu batang rokok per menit. Mesin pembuat rokok, biasanya, dihubungkan dengan mesin pembungkus rokok sehingga keluaran yang dihasilkan bukan lagi berupa rokok batangan namun telah dalam bentuk pak. Pada SKM, lingkar pangkal rokok dan lingkar ujung rokok sama besar. Dari sekian banyak rokok kretek, PR (Perusahaan Rokok) Sukun merupakan salah satu produsen rokok yang sejak berdiri hingga sekarang masih terus memproduksi rokok klobot. Rokok klobot adalah campuran tembakau dan cengkeh yang dilinting menggunakan daun jagung kering (klobot). Pertama kali diproduksi, rokok klobot buatan PR Sukun dikerjakan oleh 10 orang. Saat itu, rokok memang masih bersifat home industry dan jumlahnya sekitar 2.000-5.000 batang per hari. Menurut Deka Hendratmanto, Kepala Bagian Humas PR Sukun, merek rokok klobot pertama yang dikeluarkan PR Sukun adalah Siyem, sebelum akhirnya di tahun 1950 Mc. Wartono mengeluarkan merek Sukun yang laris manis di pasaran. “Hingga saat ini, memang hanya Sukun yang mempertahankan produksi rokok klobot. Kenapa? Karena pendiri PR Sukun Mc Wartono memang berpesan kepada kami, generasi penerusnya, untuk tetap memproduksi rokok klobot. Ini juga menjadi ciri khas Sukun yang konsisten

16

November 2012

mengangkat rokok klobot sehingga tetap dikenal masyarakat,� ujar Anton, sapaan akrab Deka Hendratmanto kepada Kabare. Di PR Sukun juga, kita dapat menyaksikan produksi rokok klobot bermerek Sukun Klobot dengan dua flavor yakni manis dan tawar. Rokok klobot ini masuk dalam proses jenis SKT dan uniknya, diproduksi oleh para karyawan yang sudah lama mengabdi di perusahaan ini. Semasa hidupnya, Mc. Wartono selalu berpesan bahwa jangan pernah penerusnya mem-PHK para karyawan rokok klobot, sampai karyawan itu sendiri yang meminta berhenti. Inilah sebuah bentuk upaya penghormatan dan penghargaan kepada para karyawan yang dinilai berjasa dalam membesarkan perusahaan yang kini memiliki 16 brand rokok SKT tersebut. Di tingkat nasional, PR Sukun hanyalah satu dari empat perusahaan rokok nasional yang masih

memproduksi rokok klobot. Tiga perusahaan lainnya adalah PT. Gudang Garam Kediri, PT. Bokormas Mojokerto, dan PT. Ongkowijoyo Malang. Saat ini, produksi rokok klobot PR Sukun dalam lima tahun terakhir rata-rata mencapai 20.000 batang per hari. Perkembangan rokok klobot secara nasional memang menurun setelah tahun 1950, di mana perkembangan industri rokok kretek beralih ke cigarette paper (orang biasa menyebutnya papir). Dikembangkannya SKM di tahun 1980-an juga membuat rokok klobot semakin tersisih. “Meski begitu, konsumen rokok klobot bukan berarti hilang sama sekali. Hingga kini, permintaan rokok klobot tetap ada meski terus berkurang secara alami. Biasanya para nelayan atau masyarakat yang hidup di wilayah pesisir Pantura dan para petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur tetap menjadi konsumen utama dalam pembelian rokok klobot. Kebanyakan mereka berpendapat sama, yakni rokok

Konsumen rokok klobot bukan berarti hilang sama sekali. Hingga kini, permintaan rokok klobot tetap ada meski terus berkurang secara alami


klobot tidak mudah rusak jika kena air dan jika mati, rokok klobot tetap enak disulut kembali,� papar Anton. Rasa menjadi hal utama dalam pembuatan rokok kretek. Sebenarnya, elemen rokok kretek terdiri dari tembakau, cengkeh, dan saus. Banyak daerah di Nusantara ini yang menjadi pemasok tembakau perusahaan rokok di tanah air. Beberapa di antaranya adalah Temanggung yang terkenal sebagai daerah penghasil tembakau srintil, Lombok, Garut, Mranggen, Muntilan, Madura, Bojonegoro, Jember, dan Krasakan (nama desa daerah Paiton). Tembakau yang telah disimpan akan diproses untuk memberikan rasa sebelum dicampur dengan cengkeh rajangan yang telah kering, kemudian dijadikan bahan campuran yang akan diolah menjadi rokok. Campuran akhir, atau biasa disebut "cut filler," akan disimpan di dalam lumbung berukuran besar sebelum memasuki proses produksi. Setelah dipanen dan dikeringkan, tembakau dan cengkeh dikirim ke tempat produksi. Tembakau disimpan selama tiga tahun dalam

lingkungan yang terkontrol untuk meningkatkan cita rasanya. Cengkeh juga harus melalui proses penyimpanan sebelum dapat diproses dan dirajang. Dua material utama tersebut kemudian diberi saus. Untuk tembakau ada grade tertentu yang nantinya akan dipakai sebagai bahan baku rokok kretek. “Ada dua kelompok besar saus, yang membuat efek pada rasa disebut casing, kemudian untuk bau atau aroma disebut flavor. Beberapa contoh flavor yang dipakai untuk rokok kretek di antaranya kayu manis, vanilla, ekstrak kopi, cappuccino dan black tea,� jelas Teguh, Corporate Affairs Staff PT. Djarum. Mengenai rasa, tentu lain orang lain pula seleranya. Banyaknya brand dalam satu perusahaan rokok memperjelas bahwa selera setiap orang berbeda. Setiap brand dibuat berdasarkan perbedaan karakteristik masing-masing penikmatnya. Tentunya, keberadaan industri rokok kretek di Kudus tak hanya mampu mengangkat budaya kretek itu sendiri, namun juga perekonomian serta kehidupan sosial budaya masyarakatnya. + Foto: Dok. PR Sukun


REGOL KABAR UTAMA

Mengintip

Sejarah

Lintas

Kretek

Industri

Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Agus Yuniarso

S

ebagai Kota Kretek, Kudus memiliki sebuah museum yang layak dikunjungi untuk mengenal dan memahami bagaimana sejarah dan perkembangan industri kretek di kota yang menjadi bagian penting dari lintas sejarah industri rokok kretek di Indonesia ini. Museum Kretek Kudus terletak di Desa Getas Pejaten No. 155, Kecamatan Jati Kudus, Kabupaten Kudus. Didirikan pada pertengahan 1980-an atas prakarsa 18

November 2012

Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu, H. Soepardjo Roestam yang kemudian juga meresmikannya pada tanggal 3 Oktober 1986 saat menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri RI. Tujuan pembangunan Museum Kretek adalah menyelamatkan dan menyajikan benda-benda koleksi yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan rokok kretek di Kota Kudus. Pada awalnya, museum ini dibiayai oleh Perkumpulan

Pengusaha Rokok Kretek (PPRK) di Kabupaten Kudus, hingga akhirnya dialihkelolakan ke Pemerintah Kabupaten Kudus pada bulan Desember 2007, dalam bentuk Unit Pelaksana Teknis (UPT) di bawah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Selain mengamati dokumentasi lintas sejarah industri kretek di Kudus, pengunjung dapat menyaksikan diorama yang menggambarkan proses produksi rokok kretek, baik secara tradisional


(dengan tangan tanpa alat bantu dan produksi rokok giling tangan yang menghasilkan rokok kretek dan rokok klobot), maupun proses produksi rokok filter dengan mesin modern. Ada pula sejumlah diorama yang menggambarkan proses penanaman dan pengolahan bahan baku rokok kretek, seperti tembakau, cengkeh, dan klobot jagung. Di museum ini, juga tersimpan foto-foto para pendiri perusahaan kretek di masa lampau, berbagai peralatan dan mesin-mesin

Djambu Bol, Bal Tiga, Djangkar, Delima, Sogo dan lain sebagainya,� ujar Kepala Pengelola Museum Kretek, Suyanto. Benda-benda koleksi ditata menjadi dua bagian, di mana peralatan tradisional ditata di sisi kiri ruangan, sedangkan yang modern di sisi kanan ruangan. Secara umum, koleksi alat produksi rokok terbagi menjadi lima kelompok: koleksi gilingan cengkeh, koleksi gilingan tembakau, koleksi krondo (alat untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dan yang halus), dan

pabrik rokoknya, di sini terpajang dokumentasi kunjungan sejumlah tokoh pergerakan nasional ke Pabrik Rokok Bal Tiga (1929), mobil angkutan rokok Bal Tiga (1918), stand Bal Tiga dalam sebuah pasar malam di Semarang berikut hadiah mobil keluaran terbaru (1930), serta pedagang es keliling yang menjadi media promosi Bal Tiga. Ada pula sebuah jam dinding kuno serta lembar-lembar nota bekas dari zaman keemasan Nitisemito. Selain di Museum Kretek Kudus, lintas

tradisional pembuatan rokok, sarana promosi rokok dari masa ke masa, logologo perusahaan rokok di Kudus, hingga kemasan rokok-rokok produksi Kudus dari segala zaman juga tersimpan secara lengkap. “Di sini tersimpan koleksi lawas para pengusaha rokok yang sudah ada di masyarakat, baik yang masih ada di pasaran maupun yang sudah tidak ada lagi di pasaran, seperti Djarum, Sukun, Nojorono,

koleksi alat perajang tembakau. Dari keseluruhan koleksi, benda-benda dan dokumentasi peninggalan perusahaan Nitisemito, "Raja Kretek" Kudus yang legendaris itu, tentu menjadi koleksi yang sangat berharga dan menarik untuk diamati. Selain foto diri Nitisemito dan

sejarah industri rokok kretek juga bisa disaksikan di Museum House of Sampoerna (HoS) yang terletak di Jl. Taman Sampoerna 6, Surabaya. Museum yang mengabadikan sejarah dan perkembangan pabrik rokok Sampoerna ini berada di kompleks November 2012

19


REGOL KABAR UTAMA bangunan megah bergaya kolonial yang dibangun pada tahun 1862 di kawasan Surabaya Lama. Awalnya, bangunan ini didirikan sebagai panti asuhan putra yang dikelola oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Belakangan, Liem Seeng Tee, pendiri Sampoerna, membelinya pada tahun 1913 sebagai rumah tinggal keluarga sekaligus menjadi lokasi pabrik rokoknya yang pertama. Di museum ini, pengunjung dapat

20

November 2012

melihat dan mengamati berbagai dokumentasi tentang keluarga pendiri Sampoerna, aneka bahan dan peralatan produksi, serta display produk dan sarana promosi dari zaman ke zaman. Yang menarik, pengunjung dapat bergabung dengan 3.500 perempuan pekerja pabrik ini yang melinting rokok dengan peralatan tradisional yang masing-masing dapat menghasilkan lebih dari 325 batang rokok per jam. Bahkan, pengunjung yang berminat dapat mencoba bagaimana melinting sebatang rokok Dji Sam Soe dengan tangannya sendiri. Museum House of Sampoerna yang dapat dikunjungi setiap hari dari pukul 09.00 hingga 22.00 ini, adalah sebuah museum yang dikelola secara rapi dan profesional. Wajar karenanya, jika majalah National Geographic Traveler Indonesia pada tahun 2011 menempatkan di urutan pertama katagori Museum Seni dan Budaya terfavorit pilihan para pembacanya. +



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.