REGOL KABAR UTAMA
Pematung Ulung
Prumpung
dari
Teks: Agus Yuniarso; Foto: Albert
B
oleh jadi, bukan sekadar kebetulan jika komunitas seniman dan pengrajin pahat batu di Dusun Prumpung terletak tidak jauh dari Gunung Merapi dan Candi Borobudur. Batuan yang mereka gunakan sebagai materi pahatan berasal dari lereng Merapi. Dan kualitas karya seni mereka, tak terpaut jauh dari keelokan seni pahat batu yang menghiasi Candi Borobudur. Dusun Prumpung, yang kini bernama Prumpung Sidoharjo, terletak di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Lebih dari enam dasawarsa terakhir, di dusun kecil ini berkembang kesenian pahat baru andesit yang mungkin merupakan satu-satunya di Indonesia, khususnya dalam penciptaan replika barca, relief, gapura, serta miniatur candi bernuansa Hinduisme dan Buddhisme. Jika secara imajiner ditarik lintasan lurus dari kaki Gunung Merapi ke arah Candi Borobudur, maka Dusun Prumpung akan tepat berada pada titik tengahnya. Inilah lintasan sakral yang sangat dibanggakan, sekaligus menjadi salah satu kebetulan yang unik jika dipandang dari latar belakang sejarah pembangunan Candi Borobudur, serta kisah-kisah yang berkembang secara turuntemurun dalam komunitas ini. Adalah Candi Borobudur yang berdiri kokoh penuh pesona hingga hari ini. Kekaguman atas mahakarya peradaban Jawa kuno 10
September 2013
ini seolah tak pernah ada habisnya, mengiringi bilangan misteri yang menyelimuti keberadaannya, yang barangkali sebanding dengan bilangan tahun usianya. Sejarah hanya mencatat di mana bangunan raksasa ini dibangun pada masa kejayaan Dinasti Syailendra, sekitar abad ke-8 Masehi. Dalam disertasinya, sejarawan J.G. de Casparis berpendapat bahwa berdasarkan Prasasti Karangtengah dan Prasasti Tri Tepusan, Borobudur merupakan tempat pemujaan yang didirikan sekitar tahun 824 Masehi oleh Samaratungga, raja Mataram Kuno dari Wangsa Syailendra. Pembangunannya diperkirakan memakan waktu hingga setengah abad dan baru terselesaikan pada masa pemerintahan Ratu Pramudawardhani, putrinya. Prasasti Karangtengah juga menyebutkan tentang penganugerahan tanah bebas pajak oleh ÇrÄŤ Kahulunan atau Pramudawardhani, yang bertujuan untuk memelihara Kamulan atau tempat asal muasal, sebuah bangunan suci yang dipergunakan untuk memuliakan para leluhur, yang disebut Bhumisambhara. Menurut Casparis, istilah Bhumi Sambhara Bhudara, yang dalam bahasa Sanskerta berati “bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisattwaâ€?, adalah nama asli dari Candi Borobudur. Catatan de Casparis menjadi sumber dominan di antara serpihan-serpihan referensi tentang salah satu candi Buddha terbesar di Asia Tenggara ini, yang pada tahun 1991 tetah
ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia. Selebihnya, belum ditemukan catatan pasti yang pemperkuat sejarah keberadaannya. Yang kini tampak hanyalah keelokan sebuah candi dengan tinggi lebih dari 30 meter, yang memiliki diameter alas sepanjang 120 meter. Bagian-bagian tubuhnya dihiasi lebih dari 500 buah patung, serta sekitar 1.500 panel relief seluas 2.500 meter persegi. Misteri Candi Borobudur, bukan semata ada pada sosok bangunannya, namun juga dalam proses pembangunannya. Sulit membayangkan bagaimana bangunan ini tercipta, mengingat teknologi yang ada pada masa itu. Entah berapa banyak waktu dan tenaga yang dibutuhkan untuk memindahkan, memotong dan memberikan karakter pada sekitar 1.600.000 blok batu andesit yang menjadi elemen Candi Borobudur. Yang mungkin bisa dibayangkan adalah keramaian pada masa itu. Setidaknya, inilah imajinasi masyarakat Prumpung yang memiliki cara tersendiri untuk menceritakan sejarah keberadaan dusun yang mereka tempati. Masyarakat Prumpung sangat meyakini bahwa bebatuan yang menjadi bahan pembangunan Candi Borobudur berasal dari Gunung Merapi. Dan dusun yang kini mereka tempati, telah menjadi tempat persinggahan para pekerja, seniman dan arsitek pembangunan candi itu.
Dalam imajinasi mereka, proses panjang pembangunan Candi Borobudur telah melahirkan suasana semarak di dusunnya, lebih dari seribu tahun yang lalu. Perilaku simpatik para pendatang disambut oleh keramahtamahan masyarakat pribumi. Suasana kegotongroyongan tercipta sebagai perwujudan dari interaksi sosial yang sangat dinamis. Dan sejak saat itulah masyarakat pribumi mulai mengenal seni memahat batu. Jika masyarakat Prumpung telah mengenal kesenian pahat batu sejak lebih dari seribu tahun yang lalu, mengapa baru dalam lima dasawarsa terakhir kesenian ini menunjukkan gejala perkembangannya? Kasrin Indraprayana dan Dulkamid Jayaprana, dua orang sesepuh masyarakat Dusun Prumpung, menuturkan kembali bergam kisah yang telah berkembang secara turun temurun, di samping kisah-kisah yang mereka alami sendiri. Penuturan mereka, barangkali dapat memperjelas sebagian dari ribuan misteri yang menyelimuti Candi Borobudur, meski di sisi lain bukan mustahil justru akan menambah bilangan misteri itu sendiri. Beragam riwayat berkembang dalam setiap komunitas. Hanya mereka sendirilah yang memahami dan menghayati makna dan kebenarannya. Masyarakat Prumpung, atau setidaknya kedua tokoh masyarakatnya itu, memiliki cara tersendiri dalam menuturkan sejarah keberadaannya. + September 2013
11
REGOL KABAR UTAMA
Borobudur, Prumpung dan
Mustika Batu Teks: Agus Yuniarso; Foto: Albert, Budi Prast
12
September 2013
K
isah-kisah seputar Candi Borobudur tak hanya tercatat di buku-buku sejarah. Wawasan tentang peradaban di seputar situs purbakala berkelas dunia ini juga bisa digali dan menarik untuk disimak dari folklore setempat yang berkembang lestari secara turun-temurun. Salah satunya adalah folklore yang berkembang di komunitas pengrajin pahat batu di Dusun Prumpung Sidoharjo, Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Konon, menurut warga Dusun Prumpung, selesainya pembangunan Candi Borobudur tak lepas dari jasa para leluhurnya kala itu. Desa kecil yang terletak 29 kilometer dari Yogyakarta ke arah Magelang ini, menurut mereka, merupakan base camp para pekerja pembangunan Candi Borobudur. Letak dusun ini dipandang begitu strategis, karena berada tepat di tengah-tengah antara puncak Gunung Merapi dan lokasi pembangunan candi. Dari lereng Merapi, di mana batu andesit sebagai bahan utama pembangunan candi digali, ke Prumpung, dan dari Prumpung ke Candi Borobudur, sama-sama berjarak sekitar 11 kilometer. Suatu kebetulan unik jika dilihat dari lintasan sejarahnya. Di dusun inilah para pengusung batu beristirahat dan menyerahterimakan tugas pengangkutan batu yang dilakukan secara estafet kepada pengusung lain yang akan melanjutkan tugas pengangkutan ke lokasi pembangunan candi. Di sini pulalah
kala itu, para seniman pahat batu mengadu pahat dan palu besi untuk menciptakan patung dan relief historis-relijius yang menjiwai dan menjadi daya tarik penting sosok candi yang masih bisa disaksikan hingga hari ini. Kali Pabelan yang mengalir sepanjang Dusun Prumpung, boleh jadi menjadi saksi bisu betapa maraknya suasana kala itu. Di sisi lain, proses panjang pembangunan candi telah melahirkan interaksi sosial yang begitu dinamis antara para pekerja pembangunan candi dengan penduduk asli. “Banyak dari para pekerja itu yang kemudian menikah dengan penduduk sini dan bermukim di sini,� tutur Doelkamid Djayaprana (73 tahun), seniman pahat batu pemilik Sanggar Seni Pahat “Sanjaya� yang sekaligus sesepuh masyarakat di Dusun Prumpung. Sayang, seiring dengan selesainya pembangunan Candi Borobudur, kegiatan dan kecakapan
September 2013
13
REGOL KABAR UTAMA
memahat batu itu berangsur beran pudar, hingga kemudian kem d raib terbawa oleh berpindahnya peradaban yang membangun dan memanfaatkan keberadaannya. Sejarah mencatat, sejak pertama kali dibangun pada tahun 824 Masehi oleh Samaratungga, seorang raja dari Wangsa Syailendra yang berkuasa kala itu, candi peribadatan umat Buddha Mahayana ini hanya berfungsi hingga awal abad ke-11 Masehi. Konon, hal ini terjadi karena 14
September 2013
m munculnya be bencana besar yang melanda ya Pulau Jawa, Pu saat sebuah saa gempa bumi gem besar terjadi bes ham hampir bersamaan bers dengan deng meletusnya mele Gunung Gun Merapi. Me Peradaban di seputar Gunung Merapi yang terluluhlantakkan oleh bencana dahsyat itu pun kemudian berpindah ke bagian timur Pulau Jawa. Catatan lain menyebutkan bahwa Candi Borobudur mulai ditinggalkan pada abad ke-14, seiring melemahnya pengaruh kerajaan Hindu dan Buddha di Jawa serta mulai masuknya pengaruh Islam. Prumpung pun menjadi senyap dari keramaian para pemahat batu yang pernah mewarnai denyut kehidupannya dalam
beberapa abad yang lampau. Ini membuat dusun ini setali tiga uang dengan dusundusun di sekitarnya, karena hilangnya keramaian yang menjadi ciri khasnya selama pembangunan Candi Borobudur. Baru sekitar dua dasawarsa menjelang kemerdekaan, mulai terlihat geliat awal bangkitnya kembali seni pahat batu ini. Tentang kebangikitan seniman batu ini, Doelkamid Djayaprana pun menuturkan kisahnya. Dahulu, sekitar tahun 1930-an, tersebutlah tiga nama: Salim Djajapawira serta dua orang kerabatnya, Wiradikrama dan Mbah Mur. Mereka yang sehari-hari hidup bertani, ternyata memilki ketrampilan yang tak dimiliki oleh sesama warga desanya. Ketrampilan tersebut adalah memahat batu. Kebetulan, sebagai seorang pekerja pribumi, Djajapawira pernah terlibat dalam pekerjaan restorasi pertama Candi Borobudur yang dipimpin oleh Theodor van Erp, antara tahun 1907 hingga 1911. Dari pengalaman itulah, ia mulai mengenal dan memperoleh sedikit
bekal ketrampilan memahat batu. Di sela kesibukan mengolah sawah, mereka mengumpulkan bongkahanbongkahan batu dari Gunung Merapi yang bertebaran di Kali Pabelan dan mencoba memanfaatkannya. “Dulu di kala senggang, kami sering diajak turun ke kali mengambil batu dan dipahat menjadi barang kebutuhan sehari-hari,� tutur Doelkamid, anak terakhir dari enam bersaudara keturunan langsung Salim Djajapawira, mengenang masa kecilnya. Waktu itu, mereka masih terbilang sebagai pemahat batu tradisional, belum bisa disebut sebagai seniman pahat batu profesional dengan karya berkelas artisitk tinggi seperti saat ini. Karya-karya awal yang dihasilkan masih sangat sederhana, sebatas barang-barang keperluan rumah tangga seperti cowek (cobek) berikut munthu-nya, lumpang dan lesung (penumbuk padi), umpak (batu penyangga tiang rumah), kijing (nisan), dan sejumlah barang sejenisnya. Semula, di mata sebagian besar warga
Dusun Prumpung kala itu, ketekunan Djajapawira bersama dua kerabatnya ini dianggap sebagai kegiatan sia-sia dan tidak menguntungkan. Hampir tidak ada yang menyadari bahwa apa yang mereka lakukan menjadi denyut paling awal dari lahirnya kembali seni memahat batu yang telah lama dianggap sirna dan secara naluriah telah dibangkitkan kembali oleh Djajapawira bersaudara. Simpang siur suara sumbang tak menyurut mereka untuk terus dan tetap berkarya, karena mereka sangat yakin bahwa ketekunan tidak akan pernah kehilangan manfaat di kemudian hari. Bahkan sebaliknya, bakal membuahkan hasil yang bernilai tinggi hingga membawa manfaat, tak hanya bagi diri dan keluarganya, namun juga orang banyak yang ada di sekitarnya. Keyakinan itu pun ditularkan kepada anak-anaknya. Kasrin Indraprayana, sesepuh lain Dusun Prumpung pun menuturkan kisahnya. “Dulu semasa kecil, saya pernah mendapat wejangan dari bapak yang terasa
September 2013
15
REGOL KABAR UTAMA
16
September 2013
aneh untuk dimengerti kala itu,” kata anak tunggal Wiradikrama ini. “Golekono mustikaning watu. Yen wis ketemu, kowe bakal bisa mabur, bisa nyabrang laut,” demikian Wiradikrama pernah berwasiat. “Cari dan temukan nilai lebih batu, dan engkau akan bisa terbang dan menyeberangi lautan,” demikain lebih kurang maknanya. Kala itu, wasiat ini menjadi teka-teki berkepanjangan yang memusingkan di kepala Kasrin kecil. Berpuluh tahun kemudian, Kasrin Indraprayana bersama Doelkamid Djayaprana menemukan sendiri makna wasiat tersebut, tanpa mereka sendiri menyadarinya. Ketika hasil karya seni mereka semakin berkembang dan mulai mendatangkan keuntungan ekonomis, Kasrin dan Doelkamid sebagai penerus bakat orangtuanya sekaligus pelopor perkembangan seni pahat batu di Dusun Prumpung pun mulai mendulang hasilnya. Semua bermula di awal tahun 1950-an, ketika Doelkamid mengajak dua kerabatnya, Ali Rahmad dan Kasrin Indraprayana untuk mencoba menciptakan pahatan batu berbentuk kepala Buddha dengan mencontoh bentuk aslinya yang ada di Candi Borobudur. Saat itu, sempat terbersit keraguan dan rasa takut dianggap berdosa karena bisa jadi melanggar kesucian ajaran agama Buddha. “Dulu, bapak memang pernah menyarankan
September 2013
17
REGOL KABAR UTAMA
untuk datang dan melihat-lihat bentuk arca dan relief yang ada di Candi Borobudur, tapi hanya untuk melihat dan mempelajari, belum boleh meniru atau membuatnya,” kenang Doelkamid. Namun dengan bermodal nekat, mereka berhasil menyelesaikan sebuah duplikat arca kepala Buddha, persis seperti yang ada di Candi Borobudur. Karya pertama itu kebetulan berhasil memikat perhatian seorang pedagang barang antik asal Sumatera yang memiliki sebuah toko di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Dan sejak saat itulah mereka mulai serius mengembangkan bentuk-bentuk pahatan “baru” dengan mereproduksi bentukbentuk “lama”, yakni arca dan relief bercorak Buddha dan Hindu yang peninggalannya banyak dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bersama kedua kerabatnya, Doelkamid pun mendirikan Sanggar Pahat Batu “Sanjaya” tahun 1960. Kabar kepiawaian mereka pun tersebar luas. Pesanan datang dari penjuru, termasuk dari sejumlah pembesar di negeri
18
September 2013
ini. Doelkamid Djayaprana bahkan sempat diundang khusus oleh Presiden Soeharto untuk berkarya melengkapi koleksi taman Mini Indonesia Indah yang sedang dalam proses pembangunannya di tahun 1970-an. Melihat kesuksesan Doelkamid bersaudara, warga Prumpung pun sedikit demi sedikit kembali berpaling, melirik dan tertarik pada ketrampilan memahat batu yang mereka miliki dan mulai mencoba ngangsu kawruh, menimba ilmu langsung dari “Sang Maestro”. Sejak saat itulah ketrampilan memahat batu mulai marak di hampir seluruh sudut Dusun Prumpung.
Suasana “keramaian” para pemahat batu yang belakangan muncul seolah mengingatkan kembali pada keramaian dan suasana kemrumpyung yang pernah ada sekian abad lalu, di saat Candi Borobudur sedang dibangun. Nama dusun itu pun kemudian dilengkapi menjadi Prumpung Sidoharjo yang lebih kurang berarti keramaian yang membawa kesejahteraan. Kini, Dusun Prumpung Sidoharjo tak
lagi sepi. Bongkahan batu tak hanya dicari di pinggir kali, namun juga digali di hamparan lereng Merapi. Dencing pahat yang beradu dengan palu besi kembali nyaring menggetar bunyi. Bongkahan batu dalam berbagai bentuk dan ukuran, oleh para seniman pahat batu Prumpung tak hanya diujudkan menjadi barang-barang keperluan rumah tangga, namun juga disulap menjadi berbagai barang seni bernilai tinggi. Bentuk-bentuk seperti arca Buddha, Gupala, duplikat arca dan relief bercorak Hindu sebagaimana banyak dijumpai di berbagai candi peninggalannya di Pulau Jawa, Candi Bentar (pintu gerbang), hingga miniatur Candi Borobudur dan Prambanan, menjadi ciri khas hasil karya para seniman dan pengrajin pahat batu di Dusun Prumpung. Karya mereka menjadi semakin menarik dengan diciptakannya berbagai bentuk kreatif, seperti patung-patung akulturasi yang memadukan gaya Jawa dan Bali, lampion-lampion batu khas Jepang, serta patung kepala raja-raja Mesir Kuno. Seniman dan pemahat batu dari Dusun
Prumpung juga sempat melahirkan miniatur sejumlah bangunan bersejarah dari berbagai negara, seperti bangunan Angkor Wat di Kamboja, Pagoda Dagong Shwe di Myanmar serta Istana Potala di Tibet. Jika kita melintasi jalan raya dari Yogyakarta menuju Candi Borobudur, setelah melintasi kota kecamatan Muntilan,
ribuan patung batu berjajar di sekitar jembatan Sungai Pabelan. Jajaran karya seni dan kerajinan sepanjang lebih dari satu kilometer ini seolah bertutur,“inilah salah satu galeri seni terpanjang di dunia, galeri para seniman dan pengrajin pahat batu di Dusun Prumpung Sidoharjo, warisan asli para pemahat Candi Borobudur�. +
REGOL KABAR UTAMA
Memahat Kesabaran di
Tamanagung Teks: Della Yuanita; Foto: Albert
L
ereng merapi rupanya tak hanya menyimpan keindahan namun juga kekayaan alam yang bisa diolah dengan ketrampulan tangan-tangan manusia. Seperti halnya bebatuan alam yang melimpah ruah di lereng Merapi. Bebatuan ini rupanya mampu menghasilkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit harganya. Melimpahnya batu andesit pada akhirnya memunculkan suatu kreativitas baru bagi para penduduk setempat. Desa Tamanagung pun menjadi salah satu sentra kerajinan pahat batu yang cukup terkenal di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Dari 16 dusun yang ada di desa ini, empat di antaranya para 20
September 2013
penduduknya bekerja sebagai pemahat batu. Keempat dusun tersebut adalah Dusun Ngawisan, Ngadiretno, Tejowarno, dan Prumpung. Dusun Prumpung adalah cikal bakal sentra kerajinan pahat batu di Desa Tamanagung. Batu andesit menjadi primadona sebagai bahan material. Selain jumlahnya yang cukup melimpah, batu jenis ini mudah diperoleh karena letak dusun ini berdekatan dengan lereng Gunung Merapi. Batuan andesit berasal dari cairan lava panas yang tersembur dari dalam gunung lalu mengalir ke bawah dan akhirnya membeku menjadi bebatuan. Kisah yang beredar di masyarakat pun
1953. Di tangan ketiganya, seni pahat batu mulai tampak berkembang di Dusun Prumpung. Doelkamid yang akrab disapa Djajaprana pun mendirikan “Sanggar Sanjaya�, sebuah sanggar ketrampilan seni pahat batu sekaligus mengajari para generasi muda untuk belajar memahat. “Semua ini saya lakukan untuk melestarikan warisan leluhur.
mengisahkan bahwa bahan baku pemugaran Candi Borobudur diambil dari lereng Merapi tersebut. Adalah tiga bersaudara putra dari Salim Djajapawiro yang kemudian meneruskan bakat sang ayah dalam ketrampilan seni pahat. Salim sendiri merupakan pemahat batu yang dipekerjakan oleh Theodoor Van Erp untuk memugar Candi Borobudur bersama dua temannya yang lain. Doelkamid Djajaprana, Kasirin dan Ali Rahmad merupakan perintis kerajinan pahat batu di Dusun Prumpung. Mereka memulai merintis usaha ini sejak tahun September 2013
21
REGOL KABAR UTAMA
Keinginan saya cuma satu, agar seni pahat batu yang sudah menjadi ciri khas Desa Tamanagung ini tidak punah,� jelas Sang Maestro pahat batu ini kepada Kabare. Berkat upaya dan kebesaran hati Djajaprana dalam mengajarkan seni pahat batu kepada para pemuda di Desa Tamanagung, kini desa tersebut ditetapkan sebagai salah satu sentra desa wisata di Muntilan. Bermunculannya sanggarsanggar baru juga tak membuat Djajaprana merasa tersaingi. Bahkan menurut Ketua Paguyuban Kesenian Pahat Batu Desa Tamanagung ini, munculnya sanggarsanggar yang dikelola para muridnya membuat dirinya merasa bangga. Bahwa ilmu yang ditularkan sangat bermanfaat
22
September 2013
Semakin banyak sanggar yang berdiri pada akhirnya memacu kreativitas kami sebagai pemahat untuk menciptakan berbagai karya seni dari pahat batu
bagi para generasi muda di Desa Tamanagung tersebut. “Semakin banyak sanggar yang berdiri pada akhirnya memacu kreativitas kami sebagai pemahat untuk menciptakan berbagai karya seni dari pahat batu. Selain itu, para pembeli juga bebas memilih ingin membuat patung batu dari sanggarsanggar yang ada. Tentunya dalam setiap membuat karya, dibutuhkan kesabaran karena memahat batu memerlukan kreativitas yang tinggi dan waktu yang lama. Dalam membuat sebuah replika candi atau patung yang rumit, dibutuhkan waktu bertahun-tahun dalam mengerjakan sebuah karya. Sehingga sebagai pengrajin, kita harus sabar dan teliti dalam membuat
setiap detailnya,� ujar Djajaprana. Sanggar-sanggar yang ada di sepanjang desa tersebut rupanya tidak semuanya merupakan ahli pahat. Namun ada juga yang memang melihat bahwa seni pahat batu memiliki prospek bisnis yang cukup cerah. Seperti yang dikemukakan Zaman, pemilik “Sanggar Panen�. Dirinya mengatakan bahwa usaha ini dirintisnya sejak tahun 1999 dengan membuka showroom di Bali. Dirinya mengaku tertarik dengan usaha pahat batu karena melihat kebiasaan sang ayah yang juga merupakan seniman pahat batu. “Saya sendiri memang tidak bisa memahat, tapi ketika melihat ayah saya memahat batu dan mengetahui bahwa September 2013
23
REGOL KABAR UTAMA
Para pembeli dari luar negeri memang lebih menyukai efek kuno yang ditimbulkan secara alami.
24
September 2013
bisnis ini memiliki prospek yang sangat cerah, maka saya pun mencoba merintisnya dengan mengambil market dari pasar internasional. Oleh karena itu, saya memilih Bali sebagai tempat usaha. Namun sejak adanya peristiwa bom Bali tahun 2002, bisnis kerajinan pahat batu mulai lesu. Maka saya berinisiatif untuk pindah dan memulai bisnis ini di sini,� jelas alumnus Fakultas DKV ISI Yogyakarta ini kepada Kabare. Namun Zaman mengatakan, meski dulu memasarkan produknya di Bali, semua pembuatan kerajinan tersebut dilakukan di Muntilan. Dirinya memiliki sekitar 25 pengrajin pahat batu yang kebanyakan masih berusia cukup muda. Zaman menjelaskan bahwa sebelum adanya tragedi bom Bali, dia sudah mempersiapkan lahan di Desa Tamanagung untuk nantinya digunakan sebagai workshop sekaligus showroom usahanya. “Untuk pertimbangan bisnis saya memang lebih memilih di sini, karena di Bali lahannya masih sewa. Sedangkan sekarang, lahannya milik sendiri. Untuk produk sendiri kami membuat patung, pot, relief dan custom tergantung orderan dari pembeli saja, seperti kami pernah membuat patung Gadjah Mada, Hayam Wuruk dan lainnya,� jelasnya. Zaman menjelaskan karena lokasi showroom dan workshop-nya berada dekat dengan Candi Borobudur, maka permintaan pembeli kebanyakan merupakan patung Buddha dan dewi-dewi. Sedangkan untuk kebutuhan interior rumah modern, kebanyakan pembeli memilih tema abstrak. Zaman mengatakan bahwa usahanya lebih tepat disebut menjual seni untuk konsumsi karena pihaknya selalu berusaha menyediakan permintaan pembeli dan sangat memperhatikan kualitas produknya.
Hal berbeda dilakukan oleh Arif, pemilik “Sanggar Alit�. Dahulu, dirinya merupakan pemahat batu, hingga mendirikan sanggar sendiri. Namun karena faktor usia, akhirnya Arif pun mulai pensiun menjadi pemahat batu. Usaha sanggarnya tersebut kemudian diserahkan kepada anaknya yang tertua. Karena bukan pemahat, usaha ini pun mengambil barang orderan dari para pengrajin, istilahnya pemborong. Sehingga Arif memesan orderan dari pelanggannya ke para pengrajin lainnya. Meski usianya sudah senja namun Arif tetap bersemangat dalam membesarkan usahanya. Arif bahkan memiliki pelanggan setia dari berbagai daerah di Nusantara dan juga pelanggan dari Eropa. Menurut Arif, pelanggan dari Eropa terutama Belanda lebih suka patung batu yang sudah ditumbuhi lumut karena efek tuanya lebih mengena. Hal senada diungkapkan oleh Djajaprana, para pembeli dari luar negeri memang lebih menyukai efek kuno yang ditimbulkan secara alami. Djajaprana bahkan memiliki pengrajin yang ahli dalam membuat efek kuno sebuah patung buatannya. Meski sudah banyak yang memiliki sanggar serupa, masing-masing pengrajin mengaku usaha ini masih cukup diminati sebagai mata pencarian. Ketiganya baik Djajaprana, Zaman dan Arif mengatakan bahwa saat ini antusiasme para pembeli masih cukup tinggi. Bahkan ketiganya masih mengekspor hasil karyanya ke beberapa negara, seperti Belanda, India, Amerika, Malaysia dan negara lainnya. Masing-masing karya dijual dengan harga yang sangat bervariasi, mulai dari harga Rp. 100.000,- hingga miliaran rupiah. Yang jelas, prospek kerajinan pahat batu masih sangat diminati hingga kini. +