REGOL
10
KABAR UTAMA
Agustus 2012
F
Sangiran,
The Homeland of Java Man Teks: Agus Yuniarso, Foto: Budi Prast
osil gigi, tengkorak dan tulang paha manusia yang ditemukannya di Desa Trinil, Kabupaten Ngawi antara tahun 1891-1892 itu, begitu melegakan hati Eugene Dubois, seorang dokter berkebangsaan Belanda. Pengembaraannya di Hindia Belanda sejak tahun 1887 mulai membuahkan hasil. Obsesinya untuk menemukan the missing link yang selama ini menjadi perdebatan kalangan ilmuwan pun mulai tampak di depan mata. Pada paruh kedua abad ke-19, di Eropa memang sedang terjadi polemik berkepanjangan pasca terbitnya buku The Origin of Species (1859) serta The Descent of Man (1971) karya Charles R. Darwin, seorang naturalis Inggris. Teori evolusi yang dilansir Darwin dalam buku-bukunya itu, disalahtarfsirkan sebagai justifikasi bahwa manusia adalah keturunan langsung dari kera. The missing link, garis penghubung yang hilang antara kera dan manusia kemudian muncul sebagai pertanyaan yang tak tertemukan jawabannya. Dalam bukunya The History of Natural Creation (1874), Ernst Haeckel, seorang naturalis Jerman, menyatakan bahwa garis penghubung yang hilang itu harus dicari di daerah tropis yang tidak banyak mengalami perubahan iklim. Menurut Haeckel, di daerah seperti itu masih banyak hidup kera-kera besar yang secara evolusi dekat dengan manusia purba. Pendapat senada dilontarkan Alfred Russel Wallace, ahli biologi Inggris yang menyatakan jejak kera-kera besar pertama kemungkinan besar dapat ditemukan di hutan tropis di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Karenanya, wilayah Hindia Belanda layak diduga menjadi tempat di mana the missing link itu berada, karena terbukti telah menghasilkan fosil-fosil hewan purba. Rasa penasaran di kalangan ilmuwan untuk mengunjungi daerah tropis itu semakin diperkuat dengan bukti yang ditunjukkan Raden Saleh, seorang pelukis ternama asal Hindia Belanda. Kepada teman-teman Eropanya, pelukis legendaris yang memiliki pergaulan high society di Eropa itu sempat menunjukkan serpihan fosil dari Jawa yang oleh penduduk di tempat penemuannya disebut sebagai balung buto. Penemuan Dubois di Trinil itu sebetulnya
Agustus 2012
11
REGOL
KABAR UTAMA
bukan yang pertama. Penemuan pertama fosil manusia purba di tanah Jawa dicatat oleh ahli geologi Belanda BD von Rietschoten di tahun 1889, pada saat menggali marmer di wilayah Campur Darat, Kabupaten Tulungagung. Karena tempat penemuannya dulu berada di bawah Distrik Wajak, maka fosil yang saat itu diperkirakan berusia 40.000 tahun tersebut lalu dikenal sebagai Homo sapiens wajakensis. Kawasan pegunungan kapur di sisi selatan Pulau Jawa pun mulai dilirik para peneliti, termasuk oleh Dubois yang menerima kiriman fosil temuan von Rietschoten. Pencarian fosil manusia purba di Payakumbuh, Sumatra Barat pun ditinggalkannya untuk bergegas menyeberang Jawa, menuju tempat di mana von Rietschoten menemukan fosil manusia purba. Di sini, Dubois berhasil menemukan tengkorak Homo sapeins wajakensis yang kedua. Namun usia fosil yang dianggap terlalu muda, belum bisa memuaskan obsesi untuk menemukan the missing link yang dicarinya selama ini. Dubois baru yakin menemukan apa yang dicarinya saat berhasil mengumpulkan sejumlah fosil manusia purba di Desa Trinil, selama tahun 1891-1892. Temuan yang diberi nama Phitecanthropus erectus atau manusia kera berjalan tegak itu, segera diumumkannya sebagai the missing link yang dicari selama ini. Publikasi ini dengan antusias disambut kalangan ilmiah di Eropa. Perdebatan panjang selama lebih dari seperempat abad tentang rantai yang terputus, terjawab di Pulau Jawa, salah satu daerah tropis seperti yang pernah diisyaratkan oleh AR. Wallace dan Ernst Haeckel. Temuan Dubois ini dianggap sebagai spesimen awal Homo erectus yang menjadi bagian penting pembuktian awal dari teori Darwin. Homo erectus dari Pulau Jawa ini, kemudian diberi nama dengan istilah yang begitu dikenal di dunia paleoantropologi, The Java Man. Sejak itulah Pulau Jawa menjadi salah satu ladang perburuan fosil Homo erectus terpenting di dunia. Pada tahun 1930-an,
12
Agustus 2012
jumlah situs dan temuannya bertambah banyak, yang berasal dari 4 kelompok lokasi: Depresi Besar Solo (Sangiran), gugusan Pegunungan Kendeng (Trinil, Kedungbrubus dan Perning), sekitar aliran Sungai Bengawan Solo (Ngandong, Sambungmacan dan Ngawi), serta di kaki Gunung Muria (Patiayam). Dari semua situs purba di Pulau Jawa, kawasan Sangiran yang terletak sekitar 17 kilometer di sebelah utara Solo, Jawa Tengah, merupakan situs terlengkap, terkaya sekaligus paling dominan dalam penemuan fosil manusia purba di Indonesia, bahkan menjadi salah satu situs terpenting di dunia dalam memahami proses evolusi manusia. Di balik lembah dan perbukitannya yang gersang, tersembunyi misteri
kehidupan manusia yang begitu menakjubkan. Tak kurang dari 100 individu Homo erectus telah ditemukan di seputar Sangiran. Jumlah ini mewakili 65 persen dari seluruh fosil manusia purba yang ditemukan di Indonesia dan merupakan 50 persen dari jumlah fosil sejenis yang pernah ditemukan di seluruh penjuru dunia. Temuan fosil flora, fauna serta beragam artefak yang pernah digunakan oleh manusia purba pun begitu melimpah. Sehingga bisa diperoleh informasi lengkap tentang sejarah kehidupan manusia purba berikut pola kehidupannya, flora dan fauna yang hidup bersamanya serta habitat yang menjadi tempat tinggalnya. Singkapan tanah serta irisan tebingtebing di Sangiran memberi gambaran lengkap proses terjadinya bentang alam
serta makhluk hidup yang mendiaminya di masa lampau. Semua tersusun dalam lapisan tanah dan bebatuan yang begitu rapi dan berurutan tanpa terputus, menyajikan gambaran alam juga kehidupannya dalam rentang waktu tak kurang dari 2 juta tahun yang lalu. Sangiran, sebenarnya adalah nama kembar dari dua pedukuhan di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Keduanya dipisahkan oleh Kali Cemoro yang berhulu di Kaki Gunung Merapi menuju Sungai Bengawan Solo. Dukuh Sangiran di sisi utara masuk wilayah Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, sementara yang di selatan masuk wilayah Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Secara keseluruhan, Situs Manusia Purba Sangiran memiliki luas sekitar 56 kilometer persegi yang mencakup 3 kecamatan di Kabupaten Sragen, yaitu: Kalijambe, Gemolong dan Plupuh, serta Kecamatan Gondangrejo di Kabupaten Karanganyar. Sejak 15 Maret 1977, Pemerintah Indonesia telah menetapan kawasan Sangiran dan sekitarnya sebagai Daerah Cagar Budaya. Selang 19 tahun kemudian, masyarakat dunia pun menguatkan status ini. Pada sidang ke-20 World Heritage Committee (WHC) United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) di MĂŠrida, Meksiko pada tanggal 5 Desember 1996, kawasan Sangiran telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia dan dicatat dalam World Heritage List nomor 593 dengan nama Sangiran Early Man Site. Dalam bidang paleoantropologi, Sangiran dipandang sebagai salah satu pusat evolusi dan peradaban manusia terpenting sehingga menempatkannya surga ilmu pengetahuan dan rujukan penelitian berkelas dunia. Karenanya, meski bukan situs pertama yang menjadi tempat penemuan fosil manusia purba di Pulau Jawa, Sangiran begitu pantas menyandang nama sebagai The Homeland of Java Man. +
REGOL
KABAR UTAMA
Surga Ilmu Pengetahuan Itu
Bernama
Sangiran Teks: Agus Yuniarso, FA Herru; Foto: Budi Prast, BPSMP Sangiran
14
Agustus 2012
S
ukses dengan temuan The Java Man di Trinil, Eugene Dubois meneruskan penjelajahannya ke berbagai situs manusia purba di Pulau Jawa, terutama di sejumlah tempat sekitar aliran Sungai Bengawan Solo. Sangiran adalah satu tempat yang didatanginya di tahun 1893. Namun karena tidak ada data pendukung dan temuan yang berarti, situs ini segera ditinggalkannya karena dianggap tak terlalu menjanjikan. Keputusan Dubois ini belakangan terbukti meleset. Pada tahun 1931, JC van Es dari Jawatan Pertambangan Pemerintah Hindia Belanda melakukan penelitian geologi di kawasan Sangiran dan menghasilkan peta geologi Sangiran dengan skala 1:20.000. Berbekal peta geologi ini, GHR von Koenigswald yang telah melanglang buana ke sejumlah situs purba di Pulau Jawa, mulai melirik Sangiran sebagai lokasi baru penelitiannya di tahun 1934. Saat-saat awal penelitiannya belum banyak temuan yang lebih berarti dibanding temuan-temuannya di situs yang lain. Baru sejak tahun 1936, bukan hanya fosil binatang, fosil manusia pun mulai ditemukan. Pertama kali ditemukannya fragmen rahang berukuran besar dan dinamainya Meganthropus palaeojavanicus atau manusia purba raksasa dari Jawa. Beberapa tahun kemudian, ia menemukan pula bagian tengkorak manusia yang kemudian dinamai Pithecanthropus robustus. Sejak saat itulah, Sangiran tak hentihentinya menghasilkan fosil manusia purba, di samping ribuan fosil binatang serta artefak purba. Di Museum Manusia Purba Sangiran saja, saat ini setidaknya telah terkumpul lebih dari 13.800 buah fosil purba. Koleksi itu terus bertambah, karena setiap musim hujan, bumi Sangiran selalu mengalami erosi yang acapkali menyingkapkan tanah dan memunculkan fosil-fosil purba dengan sendirinya. Bagaimana semua ini bisa terjadi di Sangiran? Di kalangan ilmuwan, situs manusia purba ini dikenal dengan istilah Sangiran Dome atau Kubah Sangiran. Ini karena secara geomorfologis kawasan Sangiran merupakan daerah perbukitan dengan
Di Museum Manusia Purba Sangiran saja, saat ini setidaknya telah terkumpul lebih dari 13.800 buah fosil purba. struktur kubah atau dome di bagian tengahnya. Melalui proses yang panjang, struktur kubah tersebut telah mengalami proses perubahan bentuk, baik dikarenakan patahan, longsoran maupun erosi, sehingga berubah bentuk menjadi lembah. Proses deformasi ini telah membelah Kubah Sangiran, mulai dari kaki sampai pusat kubah di tengahnya, sehingga menyingkapkan lapisan tanah purba dengan sisa-sisa kehidupan purba yang pernah ada di dalamnya. Prof Dr Ir C Danisworo, MSc, pakar geologi dari Fakultas Teknologi Mineral, UPN “Veteran� Yogyakarta menjelaskan, secara geologi daerah ini telah dierosi secara intensif oleh Kali Cemoro dan Brangkal, sehingga singkapan batuan yang baik dijumpai di tengah Kubah Sangiran. "Kalau kita berjalan dari tengah kubah Sangiran menuju ke tepi, akan kita jumpai batuan-batuan yang semakin muda. Di sini singkapan berumur Plio-plistosen yang bagus dan berisi banyak fosil yang dapat diamati dengan baik. Dari segi struktur geologi pun, struktur kubahnya yang sangat
khusus memanjang menjadikan daerah ini sangat menarik untuk diteliti," paparnya. Plio-plistosen adalah lapisan tanah yang berumur sekitar 5 juta tahun yang lalu sampai dengan sekarang. Jika tanah di Kubah Sangiran ini disingkap, dari pusat hingga bibir kubah akan dijumpai empat susunan lapisan tanah, dengan urutan dari bawah atau yang tertua, yaitu: Formasi Kalibening (dahulu disebut Puren), Formasi Pucangan (dahulu Cemoro), Formasi Kabuh (dahulu Bapang) dan Formasi Notopuro (dahulu Pohjajar). Dari hasil studi terhadap susunan dan kandungan fosil dalam setiap lapisan tersebutlah kemudian dapat diketahui sejarah terbentuknya kawasan ini berikut kehidupan yang ada di dalamnya. "Banyaknya fosil hominid dan vertebrata di formasi Bapang diperkirakan karena manusia purba dan hewan vertebrata hanyut banjir pada kala itu," tutur Danisworo yang pernah melakukan penelitian di Sangiran untuk disertasi doktornya di Vrije Universiteit Brussel, Belgia. Agustus 2012
15
REGOL
KABAR UTAMA
Formasi Kalibeng adalah lapisan tanah yang paling tua di Sangiran, berumur antara 3.000.000 hingga 1.800.000 tahun yang lalu. Formasi tanah ini hanya tersingkap di
16
Agustus 2012
bagian tengah Kubah Sangiran, yaitu di Kali Puren, cabang Kali Cemoro. Jenis tanah dan batuan serta fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa dataran ini dahulunya adalah bagian dari sebuah laut dalam. Bukti kehidupan laut adalah ditemukannya fosil moluska laut. Formasi Pucangan yang berada di atasnya berumur antara 1.800.000 hingga 900.000 tahun lalu. Di sini dijumpai endapan lahar dingin yang terbawa aliran sungai, pengendapan rawa serta bukti terjadinya transgresi atau perluasan laut. Di sini banyak ditemukan fosil-fosil binatang vertebrata, seperti gajah (Stegodon trigonocphalus), banteng (Bibos palaeosondaicus), kerbau (Bubalus palaeokarabau), rusa (Cervus Sp.) dan kuda nil (Hippopotamus). Pada lapisan paling atasnya bahkan mulai banyak ditemukan fosil manusia purba. Di atasnya lagi terdapat
Formasi Kabuh yang berumur antara 900.000 hingga 250.000 tahun lalu. Fosil mamalia, manusia purba serta alat-alat batu paling banyak dijumpai di sini. Pada bagian paling bawah terdapat lapisan pembatas dengan formasi di bawahnya yang dikenal dengan istilah grenzbank. Lapisan yang berusia 900.000 hingga 730.000 tahun yang lalu ini banyak memberikan temuan fosil ikan hiu, kura-kura, buaya, mamalia darat serta fosil manusia purba. Lapisan ini juga mengandung temuan alat batu tertua ciptaan Homo erectus yang pernah hidup di Sangiran. Sementara Formasi Notopuro yang berumur 250.000 tahun yang lalu hingga sekarang, berada paling atas setelah Formasi Kabuh. Lapisan ini secara tidak selaras tersebar di bagian atas perbukitan di sekeliling Kubah Sangiran dan sangat jarang dijumpai fosil. Dari lapisan tanah dan bebatuan yang dimilikinya itu, bumi Sangiran sejauh ini telah menyumbangkan lebih dari 50 persen populasi Homo erectus di dunia, sehingga
dunia paleoantropologi menempatkannya sebagai pusat perhatian dalam studi evolusi dan peradaban manusia purba. Berdasarkan periode hidupnya, Homo erectus memiliki 3 tingkatan evolusi, yaitu Homo erectus arkaik yang hidup 1,5 juta hingga 1 juta tahun lalu, Homo erectus tipik hidup antara 900 ribu hingga 300 tahun lalu, serta Homo erectus progresif yang hidup antara 200 ribu hingga 100 ribu tahun lalu. Analisa bentuk tubuh terhadap fosil manusia purba Sangiran terkait dengan 2 yang pertama, yaitu Homo erectus arkaik serta keturunannya, Homo erectus tipik. Sementara Homo erectus progresif memang belum pernah ditemukan di Sangiran, namun tingkatan evolusi ini telah ditemukan di Ngandong (Kabupaten Blora), Sambungmacan (Kabupaten Sragen) dan Selopuro (Kabupaten Ngawi). Artinya, keseluruhan temuan purba itu telah merangkai bukti evolusi manusia purba dalam rentang waktu yang begitu panjang, tak kurang dari 1 juta tahun lamanya, lengkap dengan bukti pendukungnya seperti fosilfosil binatang serta artefak yang semasa. Sekumpulan bukti kehidupan beserta peradabannya dari zaman yang berbeda, namun ditemukan di sekitar lokasi yang sama. Inilah yang mengukuhkan keistimewaan Situs Manusia Purba Sangiran sebagai pusat informasi peradaban manusia bertaraf internasional. Penemuan-penemuan itu terus berlanjut hingga kini. Maret 2012 lalu misalnya, di Desa Manyarejo, Kecamatan Plupuh, Sragen telah ditemukan fosil gading gajah purba (Elephantidae) dan rahang bawah gajah (Elephas sp.) yang ditemukan pada lapisan tanah Kabuh yang berumur 250.000 hingga 730.000 tahun yang lalu. Kemudian pada Mei 2012, pada lapisan tanah yang sama, di Desa Dayu, Kecamatan Gondangrejo, Karanganyar ditemukan pula fosil kerbau purba (Bubalus paleokarabau). *** Sebagai sebuah situs yang sarat akan informasi tentang evolusi manusia purba, Sangiran sangat pantas untuk dikembangkan secara megah sesuai dengan potensinya yang mendunia. Menurut Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran Dr. Harry Widianto, sejak tahun 2004 pemerintah telah menyiapkan master plan serta detail engineering design demi pelestarian dan pengembangan Situs Manusia Purba Sangiran. "Empat lokasi telah dipilih sebagai klaster informasi dalam pengembangan kawasan situs, yaitu Krikilan sebagai visitor center, Ngebung, Bukuran dan Dayu sebagai satelit-satelitnya," paparnya.
Dari lapisan tanah dan bebatuan yang dimilikinya itu, bumi Sangiran sejauh ini telah menyumbangkan lebih dari 50 persen populasi Homo erectus di dunia. Agustus 2012
17
REGOL
KABAR UTAMA
Klaster Krikilan merupakan pusat informasi tentang kehidupan manusia purba di Indonesia, sebagai The Homeland of the Java Man. Saat ini sudah berdiri Museum Manusia Purba Sangiran yang terpadu dengan kantor BPSMP Sangiran beserta beragam fasilitas penunjangnya. Sebagai payung dari 3 klaster lainnya, klaster ini sekaligus menjadi muara informasi tentang situs manusia purba lainnya di Indonesia, seperti Trinil, Kedungbrubus, Ngandong, Sambungmacan, Mojokerto, Ngawi, Patiayam, Semedo, maupun Bringin. Informasi itu juga disajikan terkait dengan posisi Sangiran dalam kajian evolusi manusia di dunia. Klaster Ngebung secara khusus akan menyajikan informasi historis tentang Situs Manusia Purba Sangiran sejak penemuannya oleh von Koenigswald pada tahun 1934. Perjalanan Koenigswald bersama WF Tweedie di perbukitan Ngebung saat itu telah menemukan sejumlah alat serpih yang di kemudian hari sangat dikenal dan melahirkan istilah Sangiran Flake Industry. Temuan inilah yang 18
Agustus 2012
Di sini akan dibuka kotak ekskavasi khusus agar pengunjung dapat turun ke lokasi dan mengamati endapan sungai purba berusia 1.200.000 tahun beserta bentuk pelapisan tanah dan temuan artefaknya.
awalnya memberi keyakinan pada Koenigswald akan ditemukannya fosil manusia purba di Sangiran (dan akhirnya terbukti 2 tahun kemudian). Di sini akan dibangun berbagai sarana pondok informasi beserta fasilitas penunjangnya yang menyatu alam di sekitarnya. Klaster Bukuran didedikasikan secara khusus untuk informasi tentang penemuan fosil manusia purba selama ini beserta kisah evolusi manusia secara singkat, dengan penyajian serta sarana pondok informasi setara dengan Klaster Ngebung. Sementara di Klaster Dayu akan dikembangkan sebagai pondok informasi tentang berbagai hasil penelitian mutakhir, karena kawasan ini merupakan lokasi penemuan alat-alat serpih tertua di Sangiran, bahkan di Indonesia. Temuan itu berasal dari endapan sungai purba yang mengalir di antara lingkungan rawa sekitar 1.200.000 tahun yang lalu. Temuan di tahun 2002 itu masih berlanjut dengan penggalian kontinyu yang berlangsung hingga saat ini. Disini akan dibuka kotak ekskavasi khusus agar pengunjung dapat turun ke lokasi dan
mengamati endapan sungai purba berusia 1.200.000 tahun beserta bentuk pelapisan tanah dan temuan artefaknya. Jika keseluruhan rencana ini terwujud, bisa dipastikan Situs Manusia Purba Sangiran akan semakin lengkap dan representatif sebagai sebuah surga ilmu pengetahuan, khususnya dalam memahami
evolusi kehidupan dan peradaban manusia dari masa ke masa. Tanpa menunggunya pun, Museum Manusia Purba Sangiran yang berdiri megah di Desa Krikilan sudah mampu membuat decak kagum akan potensi dan keistimewaan situs ini. Nah, sudahkan Anda mengunjungi Sangiran? +
REGOL
KABAR UTAMA
Balung Buto,
Raksasa di
Balik Rumah Kaca Teks: Agus Yuniarso, Della Yuanita; Foto: Budi Prast.
M
eski boleh dianggap tidak rasional, legenda Raden Bandung dan mitos balung buto yang berkembang selama berabad-abad di tengah masyarakat Sangiran, telah melindungi keberadaan ribuan fosil yang bertebaran di seputar lembah dan perbukitan di kawasan Sangiran. Sebelum orang asing datang ke wilayahnya, masyarakat Sangiran memberikan penghormatan yang tinggi terhadap tulang belulang yang banyak berserakan di sekitar tempat tinggalnya. Ini berkaitan dengan legenda Raden Bandung, seorang ksatria gagah perkasa yang konon telah menyelamatkan mereka dari kebengisan Tegopati, raja para raksasa yang telah bersimaharajalela di desanya
Masyarakat Sangiran di abad yang lampau menyebut tulang belulang berukuran besar itu dengan istilah balung buto.
20
Agustus 2012
sekian masa yang lampau. Tulang belulang yang berserakan di penjuru desa itu adalah sisa-sisa jasad bala tentara raksasa pengikut Tegopati yang mati terbunuh oleh kesaktian Raden Bandung. Masyarakat Sangiran di abad yang lampau menyebut tulang belulang berukuran besar itu dengan istilah balung buto. Sesuai wasiat Raden Bandung yang memerintahkan agar tidak mengganggu tulang belulang para raksasa itu, tak seorang pun warga desa yang dengan sembarangan berani menyentuh atau menyalahgunakan ribuan balung buto itu. Mereka memandang sakral dan sedikit berani mengambil tuah spiritualnya hanya ketika dirasa perlu. Menurut Dr. Daud Aris Tanudirdjo MA., pakar arkeologi dari Fakultas Ilmu Budaya UGM, hingga pengujung abad ke-19 belum banyak ahli yang datang ke Sangiran. Masyarakat Sangiran kala itu masih menganggap fosil hewan purba sebagai balung buto atau tulang para raksasa yang terbunuh secara massal sebagaimana dikisahkan dalam legenda Raden Bandung. “Masyarakat Sangiran masih menganggap balung buto memiliki daya magis yang dapat menyembuhkan penyakit dan juga menolak bala. Padahal yang mereka maksud itu adalah tulang belulang hewan purba yang
terkubur jutaan tahun yang lalu hingga akhirnya menjadi fosil.” paparnya. Sementara Dr. Bambang Sulistyanto, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, menjelaskan bahwa mitos balung buto merupakan upaya kognitif masyarakat Sangiran zaman dahulu dalam menyelesaikan konflik batin yang tidak mampu mereka pecahkan. “Konflik batin yang dimaksud adalah ketidakmampuan mereka menerangkan mengapa banyak sekali tersebar fosil hewan dan fosil manusia purba di sekitar tempat tinggal mereka,” jelasnya. Kepercayaan itu lambat laun berubah ketika GHR von Koenigswald dan sejumlah ahli lainnya datang mengunjungi Sangiran di awal tahun 1930-an. Mereka merekrut beberapa penduduk setempat untuk bekerjasama mengumpulkan fosil. Jika dijumpai temuan yang dianggap bagus, Koenigswald tak segan memberikan uang yang cukup besar kepada penduduk yang menemukannya. “Dari situlah perubahan sosial tahap awal di Sangiran mulai terjadi. Masyarakat menjadi sadar bahwa fosil yang mereka sebut sebagai balung buto itu memiliki nilai. Inilah yang kemudian memacu mereka untuk mencari lebih banyak fosil,” ungkap Daud. Ketika istilah balung buto mulai jarang disebut dan penduduk Sangiran mulai akrab dengan “fosil” sebagai penyebutan baru, makna yang menyertainya pun mulai bergeser. Dari sesuatu yang semula bernilai sakral dan menawarkan kekuatan supranatural, lambat laun berubah menjadi komoditi komersial
yang menjanjikan nilai ekonomis. Perubahan cara pemaknaan ini tentu saja mengandung risiko yang mengancam kelestarian kawasan Sangiran sebagai sebuah warisan budaya yang pada saat yang sama semakin diakui dunia. Kekhawatiran ini kemudian terbukti ketika karena himpitan ekonomi serta latar belakang pendidikan yang rendah, sebagian penduduk Sangiran mulai meninggalkan pekerjaannya semula dan memilih menjadi pencari fosil karena dianggap lebih menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Di sisi lain, sebagai barang langka, fosil-fosil yang ditemukan di Sangiran ini terus diincar oleh banyak pihak, khususnya para tengkulak dan kolektor benda antik. Mereka memanfaatkan kondisi masyarakat sekitar Sangiran yang miskin untuk mencari temuan langka dan membayarnya dengan harga tinggi. Berkembang semacam pendapat, jika menemukan fosil lalu diserahkan ke pemerintah, imbalannya kecil dan prosesnya pasti berbelitbelit. Tapi kalau dijual ke orang asing, mereka bisa
Agustus 2012
21
REGOL
KABAR UTAMA
Balung buto yang selama ratusan tahun berserakan di antara tanah dan bebatuan, kini terlindungi, tersimpan rapi dan terawat dengan sangat baik di balik sekat dan pintu kaca di Museum Manusia Purba Sangiran.
mendapatkan harga yang jauh lebih tinggi dan dibayar saat itu juga. Menurut Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba (BPSMP) Sangiran Dr Harry Widianto, sejumlah temuan yang dimiliki para kolektor kondisinya jauh lebih bagus daripada yang dimiliki oleh BPSMP Sangiran. "Kolektor biasanya mendapatkan benda temuan yang relatif utuh dari penduduk karena mereka berani membayarnya dengan harga mahal. Di tangan kolektor, temuan Sangiran bisa dihargai jutaan rupiah," jelasnya. Situasi seperti ini telah menjadikan hubungan antara masyarakat Sangiran dan pemerintah menjadi kurang harmonis karena mereka berada dalam posisi berseberangan. Di satu sisi, pemerintah memiliki tugas dan kewajiban untuk melindungi dan
22
Agustus 2012
melestarikan cagar budaya. Sementara di sisi lain, sebagian masyarakat Sangiran telanjur menempatkan diri sebagai pencari fosil untuk menopang kebutuhan hidupnya. Karenanya, pemerintah secara bertahap mulai berupaya untuk mencari jalan keluar terbaik demi kepentingan kedua belah pihak. Salah satunya dengan mulai melibatkan masyarakat setempat secara langsung dalam upaya pelestarian situs, sebagaimana yang dilakukan oleh BPSMP Sangiran sejak tiga tahun yang lalu. Harry menambahkan, selain menggugah kesadaran masyarakat tentang arti pentingnya situs ini, lembaga yang dipimpinnya juga siap membayar setiap temuan fosil dengan harga tinggi, sesuai dengan kualitas dan kondisinya. “Temuan tengkorak gajah yang relatif utuh misalnya, bisa dihargai hingga 10 juta rupiah,� kata Harry. Melalui sosialisasi berkala disertai berbagai upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan secara komprehensif, kesadaran untuk melestarikan cagar budaya ini diharapkan akan muncul dengan sendirinya, sebagai bentuk tanggung jawab dan rasa cinta masyarakat Sangiran akan tanah leluhur yang menjadi tempat kelahirannya. Penanaman kesadaran sejak dini akan nilai penting Situs Manusia Purba Sangiran terutama ditujukan bagi generasi muda setempat, agar mampu mengidentifikasikan dirinya terhadap warisan budaya yang ada di lingkungan sekitarnya. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkannya dalam kurikulum pendidikan formal, sebagaimana dijelaskan oleh Anjarwati Sri Sayekti, MSc, staf Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan
Olahraga, Pemerintah Kabupaten Sragen yang juga menjadi Penanggung Jawab Objek Museum Manusia Purba Sangiran. “Pengetahuan tentang Situs Manusia Purba Sangiran bahkan telah dimasukkan sebagai muatan lokal wajib dalam kurikulum sekolah di seluruh Kabupaten Sragen,� tutur lulusan Institut de Paleontologie Humaine, Paris, Prancis ini. Keberadaan Museum Manusia Purba Sangiran yang berdiri megah di Desa Krikilan merupakan salah satu upaya mewujudkan Situs Manusia Purba Sangiran sebagai destinasi wisata edukatif berkelas dunia. Selain menjadi pusat informasi peradaban manusia purba bertaraf internasional, keberadaan museum ini diharapkan mampu mendorong pengembangan wilayah serta pertumbuhan kegiatan pariwisata di Kabupaten Sragen dan sekitarnya. Dan yang terpenting, mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat Sangiran dan sekitarnya. Balung buto yang selama ratusan tahun berserakan di antara tanah dan bebatuan, kini terlindungi, tersimpan rapi dan terawat sangat baik di balik sekat dan pintu kaca di Museum Manusia Purba Sangiran. Sisa tubuh para “raksasa� itu tetap dimuliakan dan dihormati dengan perlakukan yang tak jauh beda dengan yang mereka terima lebih dari seabad yang lampau. Bedanya, jika dahulu karena kesakralan dan aura supranaturalnya, kini mereka dimuliakan dan dihormati sebagai cinderamata dari masa lampau, yang menjadi bukti peradaban dan sumber ilmu pengetahuan yang bernilai tinggi bagi peradaban umat manusia di zaman ini. +