Geoheritage Eksotika Warisan Bumi

Page 1

REGOL KABAR UTAMA

Eksotika

Warisan Bumi Teks: Della Yuanita, Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast

S

iapa sangka jika warisan kebumian atau geoheritage dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian traveler untuk berkunjung dan mengamati keindahannya. Inilah rahasia alam yang memberi bukti cerita dan proses alam yang utuh, serta menjadi sesuatu yang langka dijumpai; sebuah peristiwa terbentuknya peristiwa bencana kebumian masa lampau dan masa sekarang. Mengamati langsung warisan geologi, ada sebuah pesan tersirat yang dituliskan oleh alam bahwa sudah seharusnya kita sebagai manusia mampu bersikap bijaksana, berpikir dan memiliki sudut pandang luas dalam menyikapi dan mengapresiasi masa lalu untuk menatap masa depan. Di sekitar Daerah Istimewa Yogyakarta,

10

Juli 2013


terdapat sejumlah situs geologi menarik, seperti apa warisan geologi yang kini menjadi geoheritage. Sebut saja nama sejumlah situs berikut fenomena geologis yang menyertainya, seperti Lava Bantal Berbah, Formasi Semilir, Konglomerat Kuarsa Bayat, Situs Watu Prahu Bayat, Bentang Alam Tancep, Bentang Alam Wonosari, Formasi Sambipitu, terakhir Situs Gunung Api Purba Nglanggeran, yang saat ini menjadi salah satu primadona wisata di Kabupaten Gunungkidul. Belum lagi sejumlah potensi geoheritage, seperti Sesar Opak, Sungai Bengawan Solo Purba, gugusan Pegunungan Menoreh, Pegunungan Seribu, pantai-pantai berpasir putih serta goa-goa kapur di Gunung Kidul, Gumuk Pasir di Parangtritis, serta Gunung Merapi yang masih aktif hingga hari ini. Tak lupa tersebut, meski pada jarak yang sedikit jauh, adalah Situs Karangsambung dan Sungai Luk Ulo di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Keragaman geoheritage ini memunculkan sebuah potensi besar di bidang wisata yang harus digali. Seperti wilayah Gunungkidul yang terkenal akan keindahan pantai dan goa-goa yang eksotis, yang bahkan diusulkan menjadi taman dunia (geopark) untuk melestarikan kawasan batuan karst yang ada di kabupaten ini. Prof. Ir. Dwikorita Karnawati, MSc, PhD, pakar geologi dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan bahwa potensi geoheritage yang ada di sekitar Yogyakarta ini sudah selayaknya dikelola sebagai alternatif wisata edukasi. “Ini merupakan buku sejarah bagi generasi muda saat ini yang memang masih awam mengenai geoheritage, merupakan buku sejarah dalam bentuk nyata. Rekaman masa lalu dan bisa disebut sebagai museum alam yang berguna untuk edukasi,” kata staf pengajar dan mantan Ketua Jurusan Teknik Geologi UGM ini.

Semangat untuk menyebarluaskan potensi geoheritage dan berbagai fenomena geoligis berbasis pengamatan langsung di lapangan dimunculkan oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc, pakar geologi dari UPN 'Veteran' Yogyakarta. “Dengan mengajak belajar secara langsung di lapangan, diharapkan semakin banyak orang yang semakin arif dan waspada akan kenyataan bahwa kita ini hidup “berkalang” bencana di tanah busur gunung api Pulau Jawa yang kita cintai dan banggakan ini,” tuturnya. Kepedulian ini mulai diwujudkannya dengan memprakarsai terselengaranya Geoheritage in Jogja Biennale XI pada tahun 20112012 lalu. Dan sejak saat itu, puluhan kesempatan one day field trip telah dilakukannya dengan berbagai komunitas dan kelompok masyarakat, berbagi ilmu untuk memahami sebagian warisan kebumian di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Potensi keindahan geoheritage yang ada di seputar wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta ini akan semakin maju dan terjaga kelestariannya jika kawasan ini menjadi geopark internasional. Tentunya, salah satu syarat untuk menjadi taman bumi dunia adalah pengelolaan yang mengedepankan kearifan lokal. Jika nantinya kawasan geoheritage ini dikemas dengan baik maka akan menjadi wisata alternatif minat khusus yang sangat potensial. Wisata ini tak hanya memanjakan para traveler dengan keindahan alam semata, namun juga mengedukasi para traveler bahwa proses alam yang utuh termasuk bencana kebumian di masa lampau tentu saja merupakan suatu mata rantai yang tak terputus dari peristiwa geologi sekarang. Seperti, terjadinya gempa dan letusan gunung berapi. Di luar itu, geoheritage sebenarnya adalah upaya mitigasi bencana. +

Gunung Api Purba Nglanggeran

Juli 2013

11


REGOL KABAR UTAMA

Sepenggal Singkapan Sejarah

Geologi Pulau Jawa Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast

S

etiap sudut penjuru bumi menyimpan berbagai kisah menarik terkait riwayat kebumian berikut proses pembentukannya. Setiap tempat dengan ragam fenomena alam yang dimiliknya, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, tidak terbentuk dengan tiba-tiba dalam sekejap mata, muncul sebagaimana adanya terlihat di saat ini. Boleh jadi, di sana juga tersimpan beragam kisah dan peristiwa menakjubkan yang tak pernah disadari sebelumnya. Proses kejadian yang berkaitan dengan rupa bumi di masa kini, dapat berlangsung puluhan ribu, ratusan ribu, hingga puluhan juta, bahkan ratusan juta tahun lamanya. Sementara kisah keberadaan manusia yang menghuninya, baru terbaca sejak beberapa ribu tahun yang lalu. Kisah-kisah kebumian dari masa silam yang dapat tersingkap kembali, tentu dapat dipergunakan sebagai bahan pelajaran yang berharga untuk memahami berbagai fenomena alam dan tatacara beradaptasi dalam kehidupan manusia di masa kini. Kisah kebumian yang menarik dan menakjubkan, sebagian di antaranya bahkan berkelas dunia, juga tercatat rapi dalam singkapan sejarah geologi Nusantara, salah satunya di Pulau Jawa. Yang istimewa, bukti-bukti warisan kebumian banyak terkumpul di seputar

12

Juli 2013

Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sini, sejumlah situs geologi dan warisan rupa bumi dari berbagai periode waktu yang mencapai puluhan juta tahun lampau, terkumpul dalam bentang area yang tak terlampau berjauhan. Kelengkapannya bahkan bisa dianggap mewakili sejarah geologi Pulau Jawa secara keseluruhan. Masa-masa awal terbentuknya Pulau Jawa diperkirakan terjadi lebih dari 60 juta tahun yang lalu (Zaman Pre-Tersier), ketika pulau ini masih menjadi bagian dari sebuah benua besar yang dikenal sebagai superbenua Pangea. Susunan batuan dasar yang membentuk Pulau Jawa


Bukit Piroklastik dari Formasi Semilir. Berupa endapan abu vuklanik gunung api purba di Pulau Jawa

Juli 2013

13


REGOL KABAR UTAMA

Merapi, gunung api muda, berusia 2 juta tahun

memiliki asal-usul dan umur yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jawa bagian barat diperkirakan telah terbentuk pada akhir Zaman Kapur (145 - 65 juta tahun lalu) dan menjadi bagian dari Paparan Sunda (Sundaland Core). Sementara Jawa bagian timur diyakini berasal dari pecahan kecil benua Australia (sejumlah peneliti menyebutnya sebagai East Java Microcontinent). Bagian timur ini diperkirakan mulai menabrak dan bergabung dengan bagian barat sekitar 100 - 70 juta tahun yang lalu hingga menciptakan bentuk awal Pulau Jawa yang ada saat ini. Artinya, Pulau Jawa terbentuk dari gabungan dua lempeng benua dan bagian barat Pulau Jawa diyakini memiliki umur yang lebih tua dibanding bagian timurnya. Batas di antara kedua bagian ini tertandai dengan adanya sesar purba yang membentang di bawah Sungai Luk Ulo di Kebumen, Jawa Tengah, menyeberangi Laut Jawa dan berakhir di Pegunungan Meratus yang membelah Kalimantan Selatan. Saat ini, hanya ada tiga tempat yang memiliki rekam jejak sejarah kebumian dari masa awal terbentuknya Pulau Jawa, yaitu Teluk Ciletuh (Sukabumi, Jawa Barat), Karangsambung (Kebumen, Jawa Tengah) dan Bayat (Klaten, Jawa Tengah). Rekaman ini tersimpan dalam bentuk singkapan yang menampakkan batuan dasar tertua yang berumur hingga sekitar 96 juta tahun. Singkapan ini terjadi sebagai akibat dari proses tumbukan antarlempeng disertai dengan erosi yang berlangsung terus-menerus dalam rentang waktu yang sangat panjang, jutaan tahun lamanya.

14

Juli 2013

Dari masa ke masa, proses geologis berlangsung tanpa henti, menyusun beragam ujud muka bumi yang berbeda-beda. Proses pengendapan pertama diperkirakan terjadi antara 54 - 36 juta tahun lalu (Kala Eosen). Berbagai material terendapkan di cekungan-cekungan yang terbentuk akibat peregangan lempeng. Tersingkapnya batuan konglomerat, batugamping, batupasir serta batubara, menunjukkan ciri pengendapan sungai, danau dan laut dangkal yang terjadi saat itu. Pada masa berikutnya, ketika Pulau Jawa sudah mulai terbentuk dengan poros membujur arah barat dan timur, muncul tekanan dahsyat dari arah selatan. Perlahan namun pasti, lempeng samudera Indo-Australia yang bergerak ke arah utara, menabrak lempeng benua Eurasia dari sisi selatan pada zona yang berposisi sejajar dengan Pulau Jawa. Lempeng samudera yang memiliki densitas atau massa jenis yang lebih tinggi mengalami subduksi atau penunjaman. Peristiwa inilah yang kemudian menjadi penyebab terbentuknya palung laut, pegunungan, serta aktivitas vulkanik yang memunculkan bentukan gunung berapi. Sebagian material lempeng samudera IndoAustralia mengalami pelelehan, mencair menjadi magma dan menciptakan jalur vulkanik dalam posisi sejajar dengan poros panjang Pulau Jawa. Inilah kelanjutan peristiwa yang menjadi bagian penting dari rangkaian sejarah terbentuknya Pulau Jawa, ditandai dengan mulai terbentuk gugusan gunung api purba sebagai jalur vulkanik yang


Wonosari Platform, bukti zaman keemasan kehidupan laut di Yogyakarta

berjajar di bagian selatan dan menjadi tulang punggung Pulau Jawa jutaan tahun yang lalu. Menarik untuk dicatat, dalam kurun waktu antara 36 - 10,2 juta tahun lalu ini (Kala Oligosen Akhir hingga Kala Miosen Awal), pada gugusan gunung api purba di Pulau Jawa ini, diperkirakan telah terjadi rangkaian peristiwa vulkanisme yang teramat dahsyat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya penemuan singkapan lapisan batuan piroklastik serta ditemukannya batupasir vulkanik yang sangat tebal sebagai hasil erupsi gunung berapi purba. Berdasarkan bukti-bukti geologis yang ditemukan di sekitarnya, setidaknya telah dikenali dua gunung api purba yang di kalangan ahli geologi dinamai berdasarkan lokasi penemuan bukti-bukti geologisnya, bukan berdasarkan letak titik pusat aktivitas vulkaniknya. Kedua gunung api itu adalah Gunung Api Purba Semilir dan Gunung Api Purba Nglanggeran. Konon, berdasarkan bukti endapan yang dihasilkannya, ditengarai pernah terjadi erupsi katastropik Gunung Api Purba Semilir yang kekuatannya nyaris setara dengan Supervolcano Toba di Sumatera (74.000 tahun yang lalu) dan Supervolcano Yellowstone di Wyoming, Amerika Serikat (2,1 juta tahun yang lalu). Kekuatan erupsi Gunung Api Purba Semilir saat itu diperkirakan tak kurang dari 10 kali lebih besar dari erupsi Gunung Tambora (1815), 100 kali lebih besar dari erupsi Gunung Krakatau (1883) dan 1.000 kali lebih besar erupsi Gunung St. Helena di Washington, Amerika Serikat (1980).

Inilah masa-masa di mana gunung api purba mengalami kejayaannya di Pulau Jawa. Namun pada kisaran 16 - 2 juta tahun yang lalu (Kala Miosen Tengah hingga Pliosen Akhir) kegiatan magmatisme di gugusan gunung api purba ini mulai jauh berkurang. Saat itu, situasi di sebagian besar Pulau Jawa masih berada dalam genangan laut dengan kehidupan biotanya yang berkembang dengan baik. Daerah pegunungan selatan merupakan daerah laut dangkal dengan airnya yang cenderung tenang, jernih, memiliki sumber makanan yang memadai, serta mendapatkan sinar matahari yang cukup. Kondisi ini memungkinkan terbentuknya koloni koral atau kompleks terumbu yang sangat luas serta berkembang biaknya biota laut, seperti plankton, moluska, algae dan masih banyak lagi. Fakta ini terekam dengan baik dan dapat diamati pada ragam singkapan batugamping yang sangat tebal dan meluas di sepanjang sisi selatan dan sisi utara Pulau Jawa saat ini. Pada kisaran 12 juta tahun yang lalu (Kala Miosen Tengah), mulailah terjadi pelandaian kemiringan penunjaman lempeng samudera Indo-Australia, sehingga proses pelelehan yang menghasilkan magma ikut bergeser ke arah utara. Proses ini terus berlanjut sampai sekitar 1,8 juta hingga 11.500 tahun yang lalu (Kala Pleistosen) dan masih tetap berlanjut hingga saat ini (Kala Holosen), meninggalkan gugusan gunung api purba yang telah terbentuk sebelumnya di sisi selatan Pulau Jawa. Pergeseran jalur vulkanik yang mencapai jarak sekitar 50 - 100

Juli 2013

15


REGOL KABAR UTAMA kilometer ke arah utara ini, secara otomatis telah menonaktifkan semua gunung berapi purba, karena suplai magma hasil pelelehan di bawah permukaan bumi telah bergeser ke utara. Aktivitas gunung api purba seperti Nglanggeran, Semilir dan kemungkinan pusat-pusat erupsi lainnya, berangsur-angsur mulai turun, bahkan bisa dikatakan nyaris tak bersisa lagi. Kondisi Pulau Jawa pun menjadi relatif stabil, meskipun kegiatan magmatisme tetap terpelihara oleh alam, bergeser ke sebelah utara. Pengendapan delta, sungai dan laut dangkal di atas Pulau Jawa menjadi proses alamiah yang telah berlangsung dalam kurun waktu antara 25,2 -

16

Juli 2013

5,2 juta tahun silam. Penurunan muka air laut terjadi secara berangsur-angsur, mengiringi pengendapan-pengendapan material di daratan dan tepi laut. Pada saat yang sama, lempeng samudera Indo-Australia pun terus bergerak menekan lempeng benua Eurasia. Sebagai akibatnya, perlahan namun pasti, pegunungan selatan Pulau Jawa mulai mengalami pengangkatan, sehingga daerahdaerah yang dahulunya berupa lingkungan laut dangkal, sedikit demi sedikit mulai berubah menjadi daratan, bahkan sebagian diantaranya berubah menjadi perbukitan. Proses pembentukan berikut pusat aktivitas gunung api pun terus bertumbuh, beriringan dengan pengangkatan, pemiringan, erosi serta pertumbuhan terumbu secara ekstensif yang mungkin bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Rangkaian peristiwa alam ini terus berlanjut dalam rentang jutaan tahun lamanya, hingga mencapai bentukan sempurna Pulau Jawa sebagaimana penampakannya di saat ini, dengan gugusan gunung berapi “muda� di bagian tengahnya.


Bukti-bukti sejarah geologi Pulau Jawa ini terkumpul dalam bentang area yang tak terlampau berjauhan di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari Karangsambung dan Sungai Luk Ulo, Kebumen di sebelah barat hingga Kawasan Karst Pegunungan Seribu di sebelah timur. Dari seputar Bayat di Klaten sebagai salah satu yang tertua, hingga Gunung Merapi yang mewakili usia muda. Semuanya menjadi sumber ilmu pengetahuan yang tak akan

pernah habis digali dan diolah menjadi bahan pelajaran berharga, untuk memahami berbagai fenomena alam dan tatacara beradaptasi yang harus dilakukan oleh manusia yang menghuninya. Terlebih dalam memahami dan menyikapi beragam fenomena kebencanaan yang dalam pemahaman sebagian kalangan awam, seolah baru muncul secara tiba-tiba dalam beberapa dekade terakhir di zaman ini. +

Juli 2013

17


REGOL KABAR UTAMA

Geoheritage Trail,

Jelajah Fenomena

Jawa Purba

Teks: Agus Yuniarso, FA Herru, Veronica Sekar; Foto: Budi Prast

K

isah-kisah kebumian selalu menarik untuk dinikmati, terlebih jika menyangkut tempat-tempat di mana kita hidup dan berpijak. Awal Juni 2013 lalu, Kabare mencoba melakukan one day field trip untuk memahami sebagian warisan kebumian di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Perjalanan ini dipandu oleh Dr. Ir. C. Prasetyadi, MSc, pakar geologi dari UPN

Veteran Yogyakarta sekaligus pemrakarsa Geoheritage in Jogja Biennale XI yang terselenggara tahun 2011-2012 lalu. Rute perjalanannya pun tak jauh berbeda, dari Jogja menuju Berbah, Prambanan, Bayat, Ngawen, Nglipar, Nglanggeran, Pathuk dan kembali ke Jogja, yang semua dari awal hingga akhir dapat ditempuh hanya dalam satu hari perjalanan. Seolah menjelajahi lorong waktu

Kali Opak di Berbah, Sleman, membelah fenomena Lava Bantal dan endapan abu vulkanik dari Formasi Semilir

18

Juli 2013

menuju suasana 100 juta tahun yang lampau, Geoheritage Trail ini mengantar kami menjelajahi alur kisah pembentukan Pulau Jawa yang penggalannya tersingkap lengkap, terkumpul di satu lintasan yang tidak saling berjauhan, di seputar Daerah Istimewa Yogyakarta. Situs batuan beku yang berdampingan dengan endapan debu vulkanik pada tepian Kali Opak adalah tujuan pertama. Di


Detail batuan beku Lava Bantal. Cikal bakal gunung api di Pulau Jawa, lebih dari 30 juta tahun

kalangan ilmuwan, fenomena geologi yang berada di Desa Jogotirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Slemen ini dikenal dengan sebutan Lava Bantal Berbah. Menurut Prasetyadi, batuan ini disebut lava bantal (pillow lava) karena bentukan geometrinya yang menyerupai bantal. “Lava bantal terbentuk dari lava hasil erupsi lelehan yang berkontak langsung dengan massa air, bisa di laut atau danau. Pembekuan yang berlangsung cepat menyebabkan mineral-mineralnya tak terbentuk dengan baik dan membentuk geometri serupa bantal,� paparnya. Lava Bantal Berbah diperkirakan sebagai gejala erupsi lelehan yang telah berumur lebih dari 30 juta tahun dan ditengarai sebagai cikal bakal gunungapi di Pulau Jawa yang belakangan berkembang

menjadi himpunan gunung api strato dengan erupsi eksplosif. Di sepanjang pegunungan selatan Pulau Jawa, singkapan ini tergolong langka dan terbaik, sekaligus dapat dianggap sebagai representasi masa-masa awal pembentukan gunung api di Pulau Jawa. Hanya dalam satu pandangan mata dari lokasi di mana lava bantal berada, tepat di seberang Kali Opak, dapat disaksikan fenomena lain berupa endapan debu vulkanik sangat tebal sebagai bukti adanya erupsi gunung api strato di masa silam. Fenomena ini menandai masa-masa kejayaan gunung api purba di Pulau Jawa, dalam kisaran waktu 36 juta tahun yang lalu. Meski berdampingan, jeda peristiwa pembentukan kedua fenomena tersebut bisa mencapai ribuan bahkan jutaan tahun lamanya. Keberadaan Kali Opak yang membelahnya pun melengkapi tambahan wawasan di awal perjalanan ini, karena di mana tim ini berdiri tepat berada di atas Sesar Opak, salah satu patahan populer yang telah banyak dikenal masyarakat awam, terutama kaitannya dengan peristiwa gempa bumi di Jogja tahun 2006. Bergeser ke arah timur, perjalanan berlanjut menuju Perbukitan Ijo yang termasuk wilayah Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, sekitar 20 menit perjalanan dari situs Lava Bantal Berbah. Tak jauh dari bangunan Candi Ijo, pada sebuah lahan terbuka penambangan batu putih, tergelar fenomena geologis berupa singkapan batuan endapan abu vulkanik dari gunung api purba yang berumur antara 20 - 30 juta tahun, dengan ketebalan lebih dari 50 meter. Ditemukannya batuapung yang berbutir kasar pada bagian bawah membuktikan dengan kuat adanya letusan

Batuan Konglomerat Kuarsa di Desa Jiwo Kulon. Berasal dari masa sebelum kejayaan gunung api purba, sekitar 40-50 juta tahun yang lalu

Juli 2013

19


REGOL KABAR UTAMA gunung

api yang sangat eksplosif di masa lalu. Singkapan serupa awalnya dikenali di Desa Semilir, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul. Di Semilir, singkapannya jauh lebih tebal dan dianggap terbaik, sehingga kalangan geologi mengidentifikasikannya dengan sebutan Formasi Semilir. Berdasarkan urutan pelapisannya, formasi ini berada di atas Lava Bantal Berbah. Persebarannya dapat dijumpai pada perbukitan di seputar Parangtritis hingga Wonogiri dengan ketebalan antara 300 hingga 600 meter. “Dari luasnya distribusi dan ketebalannya, terindikasi bahwa formasi ini dihasilkan oleh rangkaian peristiwa erupsi sangat besar sekitar 20 juta tahun lalu, yang kemungkinan tidak kalah dahsyat dengan letusan Toba Volcano,� ungkap Prasetyadi. Karenanya, formasi ini disebut sebagai

Bukit Piroklastik di Candi Ijo, Kalasan. Sisa kaldera (abu vulkanik) dari Formasi Semilir

20

Juli 2013


hasil super-eruption dari Semilir Volcano, sekaligus menjadi bukti otentik puncak kejayaan gunung api purba di pulau Jawa. Dari kawasan Bukit Ijo, perjalanan berlanjut menyeberang ke wilayah Provinsi Jawa Tengah, tepatnya di sisi barat Perbukitan Jiwo di Desa Jiwo Kulon, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, yang ditempuh dalam waktu sekitar 30 menit. Di sini, di halaman belakang salah satu rumah penduduk, dijumpai fenomena berupa singkapan batuan tua yang diyakini berasal dari masa sebelum kejayaan gunung api purba sekitar 40-50 juta tahun yang lalu. Dikenal dengan istilah konglomerat kuarsa, batuan ini tersusun dari sekumpulan batu membundar yang didominasi oleh kuarsa berwarna putih dan diselingi oleh sekumpulan malihan batuan endapan berjenis sekis, sabak, batulempung, serta sedikit rijang. “Komposisi bebatuan ini mengindikasikan sumber asalnya bukanlah material vulkanik, melainkan dari batuan asal yang lebih tua yang tererosi menjadi butiran-butiran dan diendapkan oleh sungai purba dalam bentuk konglomerat yang

Situs batuan tertua di Pulau Jawa, batuan metamorf yang disebut Filit, tumpukan lembaran-lembaran tipis Lebih dari 90 juta tahun, inilah bukti masa-masa awal pembentukan Pulau Jawa


REGOL KABAR UTAMA

Tekstur detai Filit, batuan dasar

n. Sekitar 40 juta tahun lalu Nummulites, penunjuk Kala Eose

membundar,� demikian Pasetyadi menjelaskan. Karena secara umum material pembentuknya terdiri dari batuan metamorf atau malihan yang merupakan batuan tertua, maka konglomerat ini dianggap sebagai batuan endapan tertua yang menunjukkan bahwa pada saat pembentukannya belum ada

22

Juli 2013

Formasi Sambipitu di Kali Ngalang. Berasal dari masa 16,2 - 5,2 juta tahun lalu

kegiatan vulkanisme. Melangkah ke sisi timur Perbukitan Jiwo, tepatnya di Desa Watu Prahu, dapat dijumpai salah satu situs batuan tertua di Pulau jawa, yaitu batuan metamorf yang disebut filit yang diperkirakan berumur lebih dari 90 juta tahun dan dianggap sebagai bukti masa-masa awal pembentukan Pulau JJawa. Di dalam filit ini juga banyak dijumpai “urat� kuarsa berwarna putih yang mendominasi batuan konglomerat kuarsa yang dijumpai di Desa Jiwo Kulon. Menurut penanggalannya, batuan metamorf ini diperkirakan telah berumur sekitar 100 juta tahun. Biasanya, batuan semacam ini terletak jauh hingga mencapai 3.000 meter di kedalaman bumi yang umumnya mengalasi bebatuan endapan yang berada di atasnya, sehingga juga disebut sebagai batuan dasar (basement rock). Di situs Watu Prahu ini juga dijumpai batugamping nummulites yang tersusun dari kumpulan fosil binatang laut jenis foraminifera berbentuk koin, yang menjadi penunjuk Kala Eosen, sekitar 40 juta tahun yang lalu. Bersama-sama dengan konglomerat, batupasir


Gunung api purba Nglanggeran

Juli 2013

23


R E G O L KABAR UTAMA

Gunung api purba Nglanggeran

kuarsa, dan batulempung, batugamping ini menumpang secara tidak selaras di atas batuan dasar yang terdiri dari batuan metamorf filit seperti yang diamati di lokasi sebelumnya. Dari kawasan Bayat, setelah diselingi istirahat sekitar satu jam, perjalanan berlanjut menuju Gunungkidul, kembali ke wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Bentang alam di Perbukitan Tancep di Kecamatan Ngawen, menjadi stop-site berikutnya. Sapuan pandangan ke arah utara dari atas perbukitan ini menampakkan bentang alam dari keseluruhan daerah yang dilalui dalam Geoheritage Trail ini, mulai dari bentang alam berlatar Gunung Merapi, Perbukitan Baturagung yang menjadi tempat ditemukannya Formasi Semilir dan Formasi Nglanggeran, serta bentang alam Perbukitan Jiwo yang menyimpan bukti batuan tertua di Pulau Jawa. Titik ini juga menjadi batas perjalanan ke arah selatan yang memiliki riwayat kebumian yang lebih muda yang dikenal dengan periode Post-OAF (Post-Old Andesite Formation) dan ke arah utara yang memilki riwayat kebumian relatif lebih tua, sedari periode pra gunung api hingga periode gunung api purba (Post-Old Andesite Formation). Sendainya di titik ini didirikan semacam gardu pandang, maka setiap layangan pandang ke segala arah akan menampilkan bentang alam yang menunjukkan rentang dimensi waktu dari 100 juta tahun yang lalu hingga hari ini. Sungguh sebuah fenomena langka dan istimewa. Dari kawasan Tancep, perjalanan berlanjut menuju Gunung

24

Juli 2013

Api Purba Nglanggeran, sembari menyempatkan singgah sebentar di dua tempat, Nglipar dan Kali Ngalang. Tak jauh dari tepi Jalan Raya Nglipar, dapat disaksikan tampakan dari morfologi karst Formasi Wonosari yang menjadi bukti dari zaman keemasan kehidupan biota laut pada kisaran 16,2 tahun yang lampau. “Jika kita ingin beranalogi, daerah Yogyakarta di masa dahulu bisa diibaratkan sama seperti The Great Barrier Reef di lautan Australia di masa sekarang ini. Kemunculan besar-besaran kehidupan biota laut di sini menunjukkan bahwa pada masa itu kegiatan gunungapi mengalami penurunan dan bahkan tidak aktif,� demikian Prasetyadi memaparkan. Sementara di seputar aliran Kali Ngalang, dijumpai kelompok batuan yang dikenal dengan istilah Formasi Sambipitu. Dalam formasi ini ditemukan hasil endapan rombakan batuan gamping terumbu atau material lainnya yang berasal dari masa 16,2 hingga 5,2 juta tahun lampau yang masih masuk dalam sistem laut terbuka. Di sini juga dapat dijumpai sisa-sisa aktivitas kehidupan dasar perairan laut dangkal, dalam bentuk jejak rumah-rumahnya di dalam batu yang dikenal dengan istilah Bioturbasi. Selain itu dijumpai pula fragmen-fragmen batuan andesit dari formasi yang lebih tua seperti Formasi Nglanggran yang identik dengan gunung api strato purba. “Jadi bisa disimpulkan bahwa pada saat terjadinya pengendapan batugamping pasiran Formasi Sambipitu ini, kegiatan Gunung Api Purba Nglanggeran sudah tidak aktif lagi,� tutur Prasetyahadi. +



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.