Pajimatan Imogiri, Pasareyan Dalem Para Nata

Page 1

REGOL KABAR UTAMA

D

alam berbagai peradaban di seluruh penjuru dunia, tempattempat yang tinggi lazim diidentikkan dengan kemuliaan, keluhuran dan keabadian, di samping kedekatan dengan Sang Pencipta. Demikian pula halnya dengan Pasareyan Pajimatan Imogiri, sebuah kompleks pemakaman megah yang begitu dimuliakan, tempat peristirahatan terakhir para penguasa Jawa dari sebuah dinasti yang didirikan oleh Panembahan Senopati pada akhir abad ke16 Masehi. Mataram Islam, demikian dinasti ini kemudian disebut untuk membedakannya dengan Dinasti Mataram Hindu yang pernah berkuasa di tanah Jawa sebelum abad ke-10 Masehi, adalah salah satu dinasti yang menjadi bagian penting dalam sejarah aristokrasi di tanah Jawa. Di seluruh penjuru Nusantara, meski belakangan terpecah belah menjadi sejumlah pusat kekuasaan, Mataram Islam adalah dinasti yang paling lama dan tetap bertahan sejak 5 abad yang lalu. Kraton Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman, adalah para pewaris Dinasti Mataram Islam yang keberadaannya masih terjaga lestari hingga hari ini, meski berada dalam tradisi kekuasaan modern yang berbeda dengan masa lampau. Dinasti ini juga melahirkan sejumlah tokoh yang tidak terpisahkan dari rangkaian sejarah bangsa Indonesia. Setidaknya, 8 tokoh penting di antaranya telah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional, yaitu: Sultan Agung Hanyokrokusumo (ditetapkan pada tanggal 3 November 1975), Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I (3 November 2002), Pangeran Sambernyowo atau KGPAA. Mangkunegoro I (17 Agustus 1988), Pangeran Diponegoro (Putra Sri Sultan Hamengku Buwono III, 6 November 1973), Sri Susuhunan Paku Buwana VI (17 November 1964), Sri Susuhunan Paku Buwana X (7 November 2011), Sri Sultan Hamengku Buwono IX (30 Juli 1990), dan Jenderal TNI Gusti Pangeran Harya Adipati Djatikoesoemo (Putra Sri Susuhunan Paku Buwana X, 10

Oktober 2012

ditetapkan pada tanggal 6 November 2002). Sebagian besar dari para tokoh ternama itu, kini bersemayam dengan damai di Pasareyan Pajimatan Imogiri yang terletak di Desa Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul (sekitar 17 kilometer arah tenggara Kota Yogyakarta). Pasareyan seluas sekitar 10 hektar ini terletak di atas Bukit Merak, anak gugusan Pegunungan Seribu, pada ketinggian antara 35-100 meter dari atas permukaan laut. Gerbang pasareyan bisa dicapai dengan menempuh jalan terjal mendaki dengan kemiringan mencapai 45 derajat sepanjang sekitar 200 meter, melintasi teras berbatu yang secara keseluruhan memiliki lebih dari 400 anak tangga. Pasareyan Pajimatan Imogiri dibangun pada tahun 1632 oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Dinasti Mataram Islam, sekaligus menjadi raja pertama yang dimakamkan di tempat ini. Dua raja pendahulunya, Panembahan Senopati dan Sri Susuhunan Prabu Hanyakrawati atau Panembahan Seda ing Krapyak, dimakamkan di Kotagede. Pajimatan Imogiri selanjutnya menjadi tempat peristirahatan terakhir para raja yang bertahta di Kraton Kasunanan Kartasura, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Keluarga Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman memiliki kompleks pasareyannya sendiri-sendiri. Keluarga Kadipaten Mangkunegaran dimakamkan di Hastana Mangadeg, Karanganyar (KGPAA. Mangkunegara I, II dan III), Hastana Girilayu, Karanganyar (KGPAA. Mangkunegara IV, V, VII dan VIII) dan Hastana Oetara atau Pasareyan Nayu, Surakarta (KGPAA. Mangkunegara VI). Sementara keluarga Kadipaten Pakualaman dimakamkan di Kotagede (KGPA. Paku Alam I, II, III dan IV) dan Hastana Girigondo, Kulonprogo (KGPAA. Paku Alam V, VI, VII dan VIII). Sejak pertama kali dibangun lebih dari 3,5 abad lalu, Pasareyan Pajimatan Imogiri telah mengalami beberapa kali pemugaran. Salah satu pemugaran besar dilakukan sejak tahun 1890 di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VII. Pemugaran ini

sengaja mendatangkan pekerja dari Pulau Bali, sehingga dapat dipahami munculnya elemen dekoratif bernuansa Bali di sejumlah sudut pasareyan. Pemugaran dan perbaikan kondisi makam juga dilakukan tahun 1920 di masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono VIII. Saat ini, perawatan dan pemugaran secara berkala dan berkesinambungan dilakukan oleh Pemerintah Republik


Pajimatan Imogiri

“Pasareyan Dalem Para Nata� Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast

Indonesia melalui Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Yogyakarta. Ketika sejumlah bagian bangunan rusak akibat gempa bumi besar 27 Mei 2006 lalu, pembangunan dan perbaikan kembali cagar budaya ini telah melibatkan berbagai pihak. Selain Pemerintah, renovasi fisik Pajimatan Imogiri juga melibatkan partisipasi dari sejumlah korporasi dan lembaga nirlaba yang peduli terhadap pelestarian budaya.

Satu di antaranya adalah Yayasan Arsari Djojohadikusumo yang dikelola oleh keluarga Hashim Djojohadikusumo. Pada hari-hari biasa, Pasareyan Pajimatan Imogiri hanya dibuka setiap hari Senin (pukul 10.00-13.00) dan Jumat (pukul 13.30-16.00). Selain itu, pasareyan hanya dibuka pada hari-hari tertentu, di antara tanggal 1 dan 8 bulan Syawal (pukul 10.3013.00), tanggal 10 bulan Besar (pukul

10.30-13.00, setiap hari Jumat Kliwon dan Selasa Kliwon, serta setiap hari Jumat Legi (hari pasaran yang bertepatan dengan peringatan wiyosan dan surut dalem Sultan Agung Hanyokrokusumo). Khusus selama bulan Ramadhan, Pasareyan Pajimatan Imogiri ditutup untuk umum. +

Oktober 2012

11


REGOL KABAR UTAMA

Nama-nama

Abadi

di Puncak Bukit Merak Teks: Agus Yuniarso, FA. Herru, Della Yuanita; Foto: Budi Prast, Dok. YKHD

“G

ajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama�. Namun saat manusia beranjak menuju alam keabadian, nama yang ditinggalkannya tak selalu abadi. Hanya nama-nama yang tercatat dalam sejarahlah yang mampu bertahan dalam arus perubahan zaman. Pada puncak Bukit Merak di kawasan Imogiri, Yogyakarta, sejumlah nama besar yang diluhurkan terkumpul dalam pahatan abadi yang terjaga lestari dari masa ke masa. Inilah Pajimatan Imogiri, kompleks pasareyan atau pemakaman megah yang begitu dimuliakan, tempat peristirahatan terakhir para penguasa dari Dinasti Mataram Islam, salah satu dinasti yang menjadi bagian penting dari sejarah aristokrasi di tanah Jawa. Tokoh-tokohnya bahkan menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari rangkaian sejarah bangsa Indonesia. Pasareyan yang lestari dan masih tetap dipergunakan sejak lebih dari 350 tahun lalu ini terdiri dari sejumlah bagian, yaitu: Kasultanagungan yang menjadi induk dari keseluruhan makam dan berada di tengah pada lokasi tertinggi, Pakubuwanan (di samping kanan bawah Kasultanagungan), pasareyan keluarga Kasunanan Surakarta, serta pasareyan keluarga Kasultanan Yogyakarta. Pasareyan keluarga Kasunanan Surakarta terletak di sebelah barat Kasultanagungan, terbagai menjadi 3 hastana, yaitu: Kasuwargan Surakarta yang bersanding langsung di sisi kiri bawah Kasultanagungan, disambung oleh Kapingsangan dan Girimulyo yang terletak paling kiri. Sementara pasareyan keluarga Kraton Kasultanan Yogyakarta berada di sebelah timur Kasultanagungan, terbatasi oleh Pakubuwanan, yang terdiri dari 3 hastana: Kasuwargan Yogyakarta di sisi kanan bawah Pakubuwanan, kemudian Besiyaran serta

12

Oktober 2012


Saptarengga di ujung paling kanan. Sebelum berkunjung ke Pajimatan Imogiri, ada baiknya mempersiapkan bekal untuk memahami kerangka dan kronologi sejarah para tokoh bangsawan yang dimakamkan di pasareyan ini. Berikut, catatan kecil tentang bagian-bagian dari pasareyan ini, para raja yang dimakamkan, serta sedikit catatan sejarahnya (angka tahun di belakang setiap nama raja menyebutkan masa bertahtanya). Kasultanagungan Tokoh terpenting dan paling diluhurkan yang bersemayam di Kasultanagungan adalah beliau sendiri, Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (1613-1645), raja yang membangun keseluruhan pasareyan Pajimatan Imogiri. Dalam masa pemerintahannya, penguasa ke-3 Dinasti Mataram Islam ini berhasil membawa Kesultanan Mataram menjadi kerajaan terbesar di tanah Jawa yang mampu memberikan pengaruh di seluruh penjuru Nusantara. Sultan Agung juga dikenal dengan perlawanannya terhadap kekuasaan

VOC di Batavia, serta perhatiannya yang tinggi terhadap pengembangan budaya Jawa. Atas perjuangan serta jasa-jasanya, Sultan Agung Hanyokrokusumo ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional sejak tanggal 3 November 1975. Selain Sultan Agung, ada 3 tokoh penting lainnya yang dimakamkan di Kasultanagungan, yaitu Kanjeng Ratu Batang (istri Sultan Agung), serta 2 orang raja yang berkuasa di Kraton Kasunanan Kartasura, yaitu Sunan Amangkurat II atau Amangkurat Amral (1680-1702) dan Sunan Amangkurat III atau Sunan Amangkurat Mas atau Sunan Mas (1702-1705). Adapun Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Sunan Amangkurat I (16451677), putra sekaligus penerus tahta Sultan

Agung, tidak dimakamkan di Pajimatan Imogiri. Beliau wafat pada tahun 1677 dalam pelarian ketika Kedhaton Plered diserang oleh pasukan Trunojoyo dan dimakamkan di wilayah Tegal, sehingga kemudian dikenal dengan nama Sunan Tegalwangi atau Sunan Tegalarum. Pemberontakan Trunojoyo tersebut telah mengakibatkan runtuhnya Kraton Mataram di Plered, sehingga Sunan Amangkurat Amral yang menggantikannya memindahkan pusat

Denah Pasareyan Pajimatan Imogiri

Oktober 2012

13


REGOL KABAR UTAMA kekuasaan ke Kartasura dan mendirikan Kraton Kasunanan Kartasura sebagai sebuah kerajaan baru. Pakubuwanan Pasareyan di sisi kanan bawah Kasultanagungan adalah Hastana Pakubuwanan, tempat bersemayamnya 3 raja penerus Sunan Amangkurat Mas, yang semuanya masih bertahta di Kraton Kasunanan Kartasura. Ketiganya tidak berada dalam posisi sejajar, namun berurutan dari atas ke bawah. Paling atas adalah makam Pangeran Puger, putra Sunan Amangkurat I (saudara tiri dari Sunan Amangkurat Amral), yang setelah mengambil alih kekuasan dari Sunan Amangkurat Mas bergelar Sri Susuhunan Paku Buwana I (1705-1719). Di bawahnya adalah makam Sunan Amangkurat IV atau Sri Susuhunan Prabu Amangkurat Jawa (1719-1726). Petak ketiga di sisi paling bawah adalah makam Sri Susuhunan Paku Buwana II (1726-1749), raja terakhir yang bertahta di Kraton Kasunanan Kartasura. Masa pemerintahannya diwarnai dengan rangkaian peristiwa Geger Pecinan (1740-1743) yang berakhir dengan jatuhnya Kartasura. Pusat pemerintahan pun kemudian dipindahkan ke Desa Sala dan mendirikan sebuah kraton baru dengan nama Surakarta. Sunan Paku Buwana II bertahta sebagai raja pertama di Kraton Kasunanan Surakarta pada tahun 1745. Meski menempati kraton baru, pemerintahan Sunan Paku Buwana II masih diwarnai berbagai kekacauan, terutama oleh pemberontakan RM. Said, putra dari Pangeran Harya Mangkunegara dan pemberontakan Pangeran Mangkubumi. Suasana tidak aman berlanjut hingga masa pemerintahan Sunan Paku Buwana III, dan baru berakhir saat VOC terlibat langsung dengan ditandatanganinya Perjanjian Giyanti tahun 1755. Peristiwa yang dikenal dengan sebutan Palihan Nagari ini memecah kerajaan menjadi 2 bagian: Kasunanan Surakarta di bawah Sunan Paku Buwana III dan Kasultanan Yogyakarta di bawah Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bertahta sebagai Sri Sultan Hamengku Buwono I. Tak hanya soal wilayah, pemisahan juga terjadi dalam kepemilikan pusaka-pusaka kraton sebagai simbol kekuasaan, serta berpengaruh pada pengelolaan pasareyan para leluhurnya. Peristirahatan terakhir para pendiri Dinasti Mataram Islam di Kotagede dikelola bersama oleh kedua kraton. Pajimatan Imogiri pun tetap dilestarikan bersama, namun dipergunakan dengan penempatan berbeda. Keluarga Kasunanan Surakarta berada di sebelah barat Kasultanagungan, sementara keluarga Kasultanan Yogyakarta di sebelah timur Kasultanagungan, terselingi oleh Hastana Pakubuwanan. Kasunanan Surakarta Pasareyan tertua Kraton Kasunanan Surakarta adalah Hastana Kasuwargan Surakarta di sisi kiri bawah Kasultanagungan, tempat persemayaman 3 orang raja Kraton Kasunanan Surakarta yang bertahta turun-temurun. Berada di tengah dan sedikit lebih tinggi dari yang lain adalah makam Sri Susuhunan Paku Buwana III (1749-1788), raja pertama 14

Oktober 2012


dari Kraton Kasunanan Surakarta yang disemayamkan di Pajimatan Imogiri, pascaperistiwa Palihan Nagari. Makam ini diapit oleh makam Sri Susuhunan Paku Buwana IV (1788-1820) di sebelah kanan bawah dan makam Sri Susuhunan Paku Buwana V (1820-1823) di kiri bawahnya. Hastana Kapingsangan yang berada di sebelah barat Hastana Kasuwargan Surakarta adalah satu-satunya hastana yang berisi 4 makam raja yang kebetulan tidak bertahta secara turun-temurun. Di sini disemayamkan Sri Susuhunan Paku Buwana VI (1823-1830, putra Sunan Paku Buwana V), Sri Susuhunan Paku Buwana VII (18301858, putra Sunan Paku Buwana IV, paman dari Sunan Paku Buwana VI), Sri Susuhunan Paku Buwana VIII (1859-1861, kakak dari Sunan Paku Buwana VII) dan Sri Susuhunan Paku Buwana IX (18611893, putra Sunan Paku Buwana VI). Meski bukan yang paling dahulu bertahta, Sunan Paku Buwana VII adalah raja pertama yang dimakamkan di Hastana Kapingsangan. Ini karena saat wafat pada tanggal 2 Juni 1849, Sunan Paku Buwana

VI tidak bisa dimakamkan di Pajimatan Imogiri. Beliau meninggal dalam masa pembuangannya di Ambon, sebagai hukuman Pemerintah Hindia Belanda atas keterlibatannya dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Laporan resmi menyatakan, raja yang dikenal sebagai Sinuhun Bangun Tapa ini meninggal karena kecelakaan saat berpesiar di laut. Baru pada 13 Maret 1957, jasad Sunan Paku Buwana VI dipindahkan ke Astana Kapingsangan. Proses pemindahan ini memunculkan fakta baru, dengan diketemukannya lubang pada tulang tengkoraknya, tepat di bagian dahi. Menurut Alm. Jend. TNI GPH. Djatikoesoemo, putra Sunan Paku Buwono X, dari letak dan ukuran lubang yang tepat seukuran peluru senapan laras panjang, sulit

dipahami jika beliau meninggal karena kecelakaan atau bunuh diri. Beliau diperkirakan sengaja dibunuh dengan tembakan pada dahinya. Atas perjuangan dan kegigihannya dalam melawan kolonialisme Belanda, Sunan Paku Buwana VI ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 17 November 1964, sekaligus menjadi raja pertama dari Dinasti Maratam Islam yang memperoleh gelar


REGOL KABAR UTAMA tersebut. Hastana Girimulya adalah pesareyan paling barat di sebelah kiri Hastana Kapingsangan, tempat disemayamkannya 3 orang raja yang bertahta turun-temurun. Di bagian tengah adalah makam dari Sri Susuhunan Paku Buwana X (1893-1939), putra Sunan Paku Buwana IX, yang sering disebut oleh rakyatnya sebagai Sunan Panutup atau raja besar terakhir. Sebagaimana kakeknya (Sunan Paku Buwana VI), pada tanggal 7 November 2011, beliau juga memperoleh gelar Pahlawan Nasional atas jasa-jasanya dalam membangun kesejahteraan rakyatnya serta mendukung pergerakan nasional Indonesia. Makam Sunan Paku Buwana X diapit dalam posisi sejajar oleh makam Sri Susuhunan Paku Buwana XI (1939-1944) di sisi sebelah kanan dan makam Sri Susuhunan Paku Buwana XII (1944-2004) di sisi sebelah kiri. Kasultanan Yogyakarta Hastana Kasuwargan Yogyakarta adalah pesareyan tertua Kraton Kasultanan

Yogyakarta, yang terletak di sebelah kanan bawah Hastana Pakubuwanan. Yang pertama kali disemayamkan adalah Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), raja pertama Kraton Kasultanan Yogyakarta. Putra Sunan Amangkurat IV yang bertahta di Kraton Kasunanan Kartasura ini, dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam perjuangan menegakkan keadilan dan melawan penindasan yang dilakukan oleh VOC. Atas patriotisme dan perjuangan yang dikobarkannya, Sultan pertama Yogyakarta ini telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 3 November 2006. Di Hastana Kasuwargan Yogyakarta hanya terdapat 2 makam raja. Satu lagi yang berada di sisi kanan makam Sri Sultan Hamengku Buwono I adalah makam cucunya, Sri Sultan Hamengku Buwono III (1810-1811, 1812-1814). Sementara Sri Sultan Hamengku Buwono II (1792-1810, 1811-1812,

1826-1828) yang wafat di tahun 1829 tidak dimakamkan di Pajimatan Imogiri. Beliau yang dikenal sebagai Sultan Sepuh meninggal saat berkecamuknya Perang Diponegoro. Karena alasan keamanan saat itu, akhirnya Sultan Sepuh dimakamkan di Pasareyan Senopaten Kotagede, menjadi satu dengan makam leluhurnya, para pendiri Dinasti Mataram Islam. Hastana Besiyaran yang terletak di sebelah kanan Hastana Kasuwargan Yogyakarta adalah tempat disemayamkannya 3 raja Kasultanan Yogyakarta berikutnya. Dua yang berdampingan di sebelah atas adalah makam Sri Sultan Hamengku Buwono IV (1814-1822, putra Sri Sultan Hamengku Buwono III) di sisi kiri dan makam putra yang menggantikannya, Sri Sultan Hamengku Buwono V (1822-1826, 18281855) di sisi kanan. Sri Sultan Hamengku Buwono IV wafat pada tanggal 6 Desember 1822 saat sedang bertamasya, sehingga dikenal dengan gelar Sultan Seda ing Besiyar. Gelar inilah yang mengilhami pemberiaan nama hastana tempat

Kondisi makam Raja-raja Imogiri setelah gempa tahun 2006

26

Oktober 2012


dimakamkannya. Satu petak di sebelah kiri bawah kedua makam tersebut adalah makam Sri Sultan Hamengku Hashim Djojohadiku sumo pada peresmian Buwono VI (1855pemugaran Makam Imogiri atas bantuan YKHD, 29 April 2008 1877), adik sekaligus penerus tahta dari Sri Sultan Hamengku Buwono V. Pesareyan paling timur dari makam para raja Kraton Kasultanan Yogyakarta adalah Hastana Saptorenggo, tempat disemayamkannya 3 raja yang bertahta turun-temurun. Yang di tengah adalah makam Sri Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921, putra Sri Sultan Hamengku Buwono VI), yang juga dikenal dengan sebutan Sultan Ngabehi atau Sultan Sugih. Di sisi kanannya adalah makam Sri Sultan Hamengku Buwono VIII (1921-1939), sementara di sebelah kiri adalah makam Sri Sultan Hamengku Buwono IX (1939-1988), salah satu tokoh nasional yang paling dihormati dan disegani oleh rakyat Indonesia di era kemerdekaan. Berbagai jabatan penting dan strategis telah diembannya semenjak NKRI berdiri, termasuk sebagai Wakil Presiden RI pada tahun 19731978. Atas jasa-jasanya pada bangsa dan negara, Sri Sultan Hamengku Buwono IX mendapatkan anugerah gelar Pahlawan Nasional pada tanggal 30 Juli 1990. +


REGOL KABAR UTAMA

Kisah dan Tradisi yang

Lestari di Pajimatan Imogiri Teks: Agus Yuniarso; Foto: Budi Prast, Agus Yuniarso

B

entang wilayah dari Kotagede di sudut tenggara Kota Yogyakarta hingga Imogiri di Kabupaten Bantul, yang saat ini berada di wilayah Kasultanan Yogyakarta, adalah saksi bisu muasal kebesaran Mataram Islam, dinasti kekuasaan di tanah Jawa yang paling lama dan tetap bertahan sejak 5 abad yang lalu. Pengaruhnya bahkan meluas hingga seluruh penjuru Nusantara, hingga hari ini. Di sini pernah berdiri 3 istana yang menjadi awal pusat pemerintahan Dinasti Mataram Islam: Kedhaton Kotagede di bawah Panembahan Senopati (1587-1601) dan Sri Susuhunan Prabu Hanyakrawati atau Panembahan Seda ing Krapyak (1601-

26

Oktober 2012

1613), Kedhaton Kerta di bawah Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo (1613-1645) dan Kedhaton Plered di bawah Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Sunan Amangkurat I (16451677). Sayang, bukti fisik peninggalannya sebagian besar sudah hilang, nyaris tanpa bekas. Tradisi masyarakat Jawa dalam menghormati dan memuliakan para leluhur, untungnya masih menyisakan jejak kebesaran itu. Di pemakaman serta masjid kuno yang lazim ada di dekatnya, tak hanya wisata religi yang bisa dilakukan, namun juga wisata sejarah. Di sana, dapat ditelusuri kisah tentang tokoh yang disemayamkan, berikut rangkaian sejarah dan beragam peristiwa yang terjadi di


pun meninggal seketika saat itu juga dan langsung dimakamkan di puncak Giriloyo. Sisa pasir yang dibawanya dari Makkah dilemparkannya kembali dan jatuh puncak Bukit Merak, di sebelah barat daya Giriloyo. Di situlah kemudian makam yang diperuntukkan bagi para raja Mataram ini dilanjutkan kembali. Dan Sultan Agung yang wafat pada tahun 1645, adalah raja pertama yang dimakamkan di Pasareyan Pajimatan Imogiri. Meski tak setenar Pajimatan Imogiri, Pasareyan

masa hayatnya. Pasareyan Pajimatan Imogiri adalah salah situs penting yang wajib dikunjungi untuk melihat langsung bukti sejarah kebesaran Dinasti Mataram Islam. Yang menarik, tak sebatas memahami tempat dan tokoh berikut rangkaian sejarahnya, pengunjung juga dapat mendengar berbagai kisah, kepercayaan dan tradisi turuntemurun yang turut menjaga lestarinya cagar budaya ini. Pasareyan Giriloyo Satu kisah yang sering dituturkan oleh pemandu dan juru kunci pasareyan adalah legenda kesaktian Sultan Agung dan proses pembangunan Pasareyan Pajimatan Imogiri. Alkisah, berkat tingginya ilmu kebatinan yang dimilikinya, Sultan Agung selalu menjalankan sholat Jumat di Makkah al Mukarramah yang berjarak ribuan kilometer dari Pulau Jawa. Sering hadir dan merasakan kedamaian di tanah suci umat Islam ini, memunculkan hasrat Sang Raja Jawa itu untuk dapat dimakamkan di sana, suatu saat kelak jika dipanggil Yang Maha Kuasa. Sayang, keinginan ini tak kesampaian lantaran ditolak halus oleh para pejabat agama di Makkah. Sebagai gantinya, Sultan Agung diperkenankan untuk membawa segenggam pasir dan disarankan untuk melemparnya ke tanah Jawa. Di mana pasir itu jatuh, di situlah tempat terbaik yang pantas menjadi makamnya. Konon, pasir itu jatuh di sebuah bukit di sebelah selatan istananya di Kerta. Sultan pun memerintahkan untuk mulai membangun pesareyan di bukit yang kemudian dikenal dengan nama Giriloyo itu. Belum genap makam ini berdiri, Panembahan Djuminah, paman Sultan Agung, lebih dahulu mengajukan permintaan untuk dimakamkan di pasareyan yang sedang dibangun. Merasa dilangkahi, Sultan begitu kecewa dan mempersilakan pamannya untuk meninggal lebih dahulu. Konon, Panembahan Djuminah

Giriloyo yang umurnya lebih tua dan sama-sama dibangun oleh Sultan Agung, tetap dipergunakan sebagai makam sejumlah tokoh dan kerabat Mataram. Makam ini dimuliakan dan dibangun kembali pada tahun 1788, pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Pasareyan Giriloyo berada Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, arah timur laut Pajimatan Imogiri. Selain makam Panembahan Djuminah, di sini juga dimakamkan Kanjeng Harya Mangkubumi (putra Panembahan Seda ing Krapyak), Kanjeng Pangeran Harya Sokawati (putra Sultan Agung), Kanjeng Ratu Mas Hadi (ibunda Sultan Agung), Tumenggung Wiroguno, Tumenggung Haryawangsa, Raden Ayu Nerang Kusumo, dan sejumlah tokoh lainnya. Di salah satu sudut, terdapat sebuah makam yang disebut Sekaran Sepen, yang dipercaya sebagai makam ghaib Sultan Agung. Meski jasadnya dimakamkan di Pajimatan Imogiri, namun rohnya konon bersemayam di sini. Satu lagi tokoh penting yang kemudian dimakamkan di sini adalah Panembahan Adiningkusuma atau Panembahan Ratu II, Oktober 2012

19


REGOL KABAR UTAMA

Sultan Cirebon ke-5, yang kemudian dikenal dengan nama Panembahan Giriloyo. Menantu Sultan Agung ini adalah sultan terakhir, sebelum akhirnya Kasultanan Cirebon dipecah belah oleh Kasultanan Banten menjadi 2 kerajaan dan 1 kepangeranan. Tangga Makam Setiap pengunjung yang pertama kali datang ke Pajimatan Imogiri juga akan disuguhi misteri jumlah anak tangga menuju makam para raja. Biasanya, setiap orang akan menjumpai jumlah bilangan yang berbeda-beda. Bahkan, jika melintasi berulang kali pun seringkali bilangannya tidak pernah sama. Konon, barangsiapa dapat menghitung jumlah anak tangga dengan benar, maka hajat dan keinginannya akal terkabulkan. Anak tangga makam ini juga berkaitan dengan legenda tentang Tumenggung Endranata. Siapa sangka, Pajimatan Imogiri ternyata tak hanya menjadi persemayaman terakhir para raja yang diluhurkan beserta para kerabatnya. Pajimatan Imogiri juga menjadi peristirahan terakhir bagi tokoh yang dianggap sebagai pengkhianat Mataram, meski diperlakukan dengan berbeda. Konon, Tumenggung Endranata adalah tokoh Mataram yang dihukum mati karena merusak rencana serangan Sultan Agung ke

20

Oktober 2012

Batavia (1628-1629). Bocornya rahasia keberadaan lumbung-lumbung pangan prajurit Mataram ke tangan VOC akibat pengkhianatan Sang Tumenggung, dianggap menjadi salah satu penyebab kegagalan serangan bersejarah itu. Kepala Tumenggung Endranata dipenggal dan dikubur di tengah-tengah Gapura Sapit Urang, gerbang masuk utama Kasultanagungan. Badannya dikuburkan di trap tangga terbawah depan gapura, sementara kakinya dikuburkan di bawah kolam di depan gapura. Karenanya, setiap orang yang mengunjungi pasareyan akan menginjak salah satu bagian jasad Tumenggung Endranata. Ini sengaja dilakukan sebagai peringatan agar jangan pernah lagi terjadi pengkhianatan. Jika seseorang berani berkhianat kepada negaranya, maka nasibnya akan dihinakan. Kubur tubuh Sang Tumenggung dapat dijumpai pada salah satu anak tangga dengan permukaan tidak rata, yang konon akibat terinjak-injak oleh para peziarah selama berabad-abad. Berkembang juga versi cerita lain, bahwa anak tangga yang diinjak-injak itu adalah makam Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang meninggal misterius di tahun 1629, pascaserangan Sultan Agung ke Batavia. Perlakuan ini sebagai simbol kebencian kepada kaum penjajah. Semua kisah ini, meski berasa janggal dari sisi kronologi peristiwa terkait riwayat berdirinya pasareyan, telah memperkaya folklore yang berkembang lestari di seputar Pasareyan Pajimatan Imogiri. Nguras Enceh Di Depan gerbang Makam Kasultananagungan terdapat 4 buah tempayan berukuran besar. Tempayan di sisi paling kiri bernama Nyai Danumurti yang berasal dari Sriwijaya (Palembang). Di sebelah kanannya diberi nama Kyai Danumaya yang berasal dari Aceh. Tempayan berikutnya bernama Kyai Mendhung, berasal dari Ngerum, Istambul (Turki). Sementara tempayan yang berada di sisi paling kanan bernama Nyai Siyem yang berasal dari Siam (Thailand). Dahulu, keempat tempayan ini adalah tempat air wudhu yang dipergunakan Sultan Agung untuk menyucikan diri. Sepeninggalnya, keempat tempayan itu kemudian dimuliakan di Pajimatan Imogiri.


Dahulu, tidak setiap orang diperkenankan untuk mengambil atau meminum air di dalamnya. Keempatnya hanya dikuras setahun sekali pada bulan Sura dalam penanggalan Jawa, pada hari Jumat Kliwon atau Selasa Kliwon (jika tidak dijumpai hari Jumat Kliwon di bulan itu). Kyai Danumaya serta Nyai Danumurti di sisi barat dikuras oleh abdi dalem dari Kraton Kasultanan Yogyakarta, sementara Kyai Mendung dan Nyai Siyem di sisi timur dikuras oleh abdi dalem dari Kraton Kasunanan Surakarta. Air dalam setiap tempayan diganti dengan campuran air zam-zam dan air murni yang berasal dari Bukit Bakung, 7 kilometer arah timur Pajimatan Imogiri. Prosesi tahunan yang dikenal sebagai tradisi Nguras Enceh ini, selalu ramai dihadiri oleh ribuan peziarah. Sebagian di antara mereka berharap bisa minum atau membawa pulang sisa-sisa air tempayan, karena dianggap berkhasiat sebagai sarana pengobatan dan penolak bala. Konon, menjelang peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, Presiden Soekarno pernah mengirimkan permohonan kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX agar para prajurit TNI diizinkan meminum air suci dari tempayan-tempayan ini, guna memperkuat semangatnya untuk memenangkan pertempuran melawan tentara Belanda. Kini, setiap peziarah diperbolehkan minum atau membawa pulang air suci itu melalui juru kunci makam. Konon, khasiat air suci yang dibawa pulang dapat bertahan selama setahun, sejauh mengikuti tatacara penggunaaan yang disyaratkan para juru kunci. Salah satunya dengan membaca Surah Al-Fatihah dan Surah Al-Ikhlas serta mengirimkan doa khusus diperuntukkan bagi almarhum Sultan Agung Hanyokrokusumo. ***

Lebih dari sekadar datang ke cagar budaya Pajimatan Imogiri, sejumlah tatacara wajib dipatuhi oleh setiap pengunjung, agar bisa berziarah langsung di depan pusara para raja yang disemayamkan. Selain mematuhi jadwal waktu yang telah ditentukan, Salah satunya adalah menggunakan busana tradisional Jawa yang resmi berlaku di pasareyan ini. Peziarah laki-laki diwajibkan menggunakan bawahan kain bebed atau nyamping dan bagian atas terbuka (bertelanjang dada). Bisa juga menggunakan busana peranakan yang terdiri dari bawahan kain nyamping, atasan lurik telupat bercorak biru hitam serta blangkon sebagai penutup kepala, sebagaimana yang lazim dipergunakan oleh abdi dalem Kraton Kasultanan Yogyakarta. Tidak diperbolehkan menggunakan kain bercorak larangan seperti lereng, parang barong dan kawung. Juga dilarang untuk mempergunakan beskap landhung, jubah, serta semua jenis alas kaki. Peziarah perempuan diwajibkan menggunakan bawahan kain nyamping dan kemben sebagai atasan, dengan bahu terbuka. Tidak diperkenankan memakai rimong selendang dan perhiasan emas. Khusus bagi perempuan yang sedang datang bulan tidak diperkenankan masuk ke area pemakaman. Jika kesulitan untuk mempersiapkan sendiri busana tersebut, peziarah dapat menghubungi juru kunci dan menyewa busana yang telah disediakan. Sebagai tambahan, peziarah juga diwajibkan untuk mematuhi larangan untuk tidak membawa masuk kamera (foto maupun video), membawa senjata tajam maupun senjata api, membunyikan radio serta alat musik, menghidupkan telepon seluler, serta membawa tongkat, kecuali bagi para penyandang cacat. Nah, sudah siapkan Anda untuk mengunjungi Pasareyan Pajimatan Imogiri? +

Oktober 2012

21


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.