Menjalin kemitraan untuk ketangguhan masyarakat

Page 1

Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat

Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat Diterbitkan atas dukungan:

Cover Menjalin Kemitraan.indd 1

20/06/2015 13:09:57


Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat


Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat

Penanggungjawab: Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc Pengarah: Dra. Anny Isgiati, MM Tim Penulis: Chasan Ascholani, Ishak Salim, Cakrawala Timur dan Perhimpunan Aksara Diterbitkan oleh: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jl. Ir. H. Djuanda No. 36 Jakarta 10120 Phone: +62 21 344 2734, 344 3078 Fax: +62 21 350 5075, 351 9737 http://www.bnpb.go.id Cetakan pertama: Januari 2015 ISBN: 978-602-7700-13-0 Buku ini diterbitkan atas kerjasama:

CAKRAWALA TIMUR


Kata Pengantar

Salah satu isi Deklarasi Bangkok yang dihasilkan pada Konferensi Tingkat Menteri di Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction - AMCDRR ke-enam di Thailand pada 22 – 26 Juni 2014 ialah rekomendasi untuk mengembangkan ketangguhan di tingkat lokal. Rekomendasi ini merupakan kelanjutan dari rekomendasi yang dihasilkan oleh AMCDRR ke-lima di Yogyakarta Indonesia yang diselenggarakan pada bulan Oktober 2012. Rekomendasi tersebut menekankan pada beberapa aspek penting, di antaranya ialah institusionalisasi pendekatan ketangguhan masyarakat secara terintegrasi, mempromosikan desa tangguh sebagai dasar untuk pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, dan membangun kemitraan masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta di tingkat lokal. Hal ini selaras dengan Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang merupakan dasar dan paradigma baru dalam pelaksanaan upaya-upaya penanggulangan bencana (yang tidak lagi sekedar upaya tanggap darurat), baik di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional. Salah satu paradigma yang dibangun dalam UU tersebut ialah penanggulangan bencana harus melibatkan semua pihak. BNPB kemudian menerjemahkan kemitraan multipihak ini dalam lambang setiga biru yang merepresentasikan pemerintah, masyarakat dan sektor swasta. Selama ini, memang sudah banyak kemitraan yang kita lakukan dengan instansi pemerintah, lembaga internasional dan lokal, perguruan tinggi dan lembaga usaha. Akan tetapi, kemitraan tersebut seringkali tidak bisa dilakukan bersamaan dan masih terbatas pada kegiatan tertentu, seperti tanggap darurat bencana. Kemitraan yang dibangun sekaligus melibatkan semua pihak dalam satu program bersama, sepertinya masih jarang kita temukan. Untuk itu, pembelajaran Public, Private and People Partnership (P4) yang melibatkan pemerintah, perguruan tinggi, LSM lokal, lembaga usaha, dan masyarakat, dalam satu program bersama untuk membangun ketangguhan masyarakat di Jawa Timur ini menjadi sangat penting sebagai rujukan dan inspirasi bersama. Pembelajaran ini bisa menunjukkan bahwa kemitraan multipihak tidak cukup hanya dilakukan melalui pertemuan koordinasi saja. Tetapi, dibutuhkan komunikasi intensif, kontribusi nyata di masyarakat, dan saling belajar serta saling mengisi kekurangan masing-masing. Dicontohkan pada buku ini, relawan para dosen STKIP Pacitan bisa


menjalin komunikasi dan fasilitasi secara intensif dengan masyarakat, sedangkan beberapa lembaga usaha memberikan kontribusinya dalam bentuk fasilitas, barang dan kegiatan. Di sisi lain, pemerintah juga mengkontribusikan program mereka. Di sini kemitraan bisa saling melengkapi antar pelaku. Pembelajaran P4 dari Jawa Timur ini juga menarik, karena menggunakan people centered approach yang menempatkan rencana masyarakat sebagai dasar pengembangan kemitraan. Seringkali, kemitraan yang kita bangun masih terbatas pada hasil diskusi antar pihak saja, misalnya pemerintah dan lembaga usaha atau pemerintah dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Dengan pendekataan people centered, kemitraan akan bisa lebih menjawab kebutuhan masyarakat dalam membangun ketangguhan. Mewakili Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), saya mengucapkan terimakasih kepada Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) yang telah menginisiasi dan mendukung pelaksanaan proyek ini. Saya juga menyampaikan terimakasih kepada BPBD Provinsi Jawa Timur, BPBD Kabupaten Pacitan, BPBD Kabupaten Pasuruan dan BPBD Kabupaten Lamongan yang telah terlibat aktif dalam pelaksanaan proyek. Di samping itu, ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Cakrawala Timur dan Perhimpunan Aksara yang telah menjadi mitra pelaksana proyek di Jawa Timur. Rasa terimakasih juga saya sampaikan kepada semua perguruan tinggi, LSM, lembaga usaha dan masyarakat yang telah membangun kemitraan yang sangat bermanfaat untuk pengembangan ketangguhan. Proses yang telah mereka lakukan bisa menjadi inspirasi bagi para pelaku lainnya di tempat yang berbeda. Jakarta, Januari 2015 Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana

Prof. Dr. Syamsul Maarif, M.Si


Daftar Isi

Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Singkatan BAB I 1 Pengantar 1 1.1 Latar Belakang 2 1.2 Konteks Sosio Demografis dan Kebencanaan di 3 (tiga) Kabupaten Lokasi Proyek P4 di Jawa Timur 4 1.3 Konsep Public, Private and People Partnership (P4) 7 1.4 Hasil Assessment Proyek P4 di Jawa Timur 9 1.5 Strategi Pelaksanaan P4 untuk Ketangguhan Masyarakat 13 1.6 Tujuan Dokumentasi Pembelajaran 19 1.6.1 Metode Penyusunan Dokumentasi Pembelajaran 19 1.6.2 Keterbatasan Dokumen Pembelajaran 19 BAB II 21 Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur 21 2.1 Pengalaman Pelaksanaan Proyek P4

22

2.1.1 Pengalaman P4 di Pacitan

22

2.1.2 Pengalaman P4 di Pasuruan

28

2.1.3 Pengalaman P4 di Lamongan

35

Hasil Yang Telah Dicapai

40

2.2

2.2.1 Kabupaten Pacitan

40

2.2.2 Kabupaten Pasuruan

44

2.2.3 Kabupaten Lamongan

48

2.3 Peningkatan Ketangguhan Desa 50


BAB III

55

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 55 3.1

Dinamika Kemitraan P4 di 3 Kabupaten di Jawa Timur

56

3.1.1 Inisiatif dari Lapis Kedua BPBD

56

3.1.2 Keraguan Perusahaan

61

3.1.3 Keberpihakan Pemikir Kampus

66

3.1.4 Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk

Menjalin Kerjasama dengan Pihak Lain

68

3.2

Pola Kemitraan Untuk Membangun Ketangguhan

70

3.21 Pacitan

70

3.2.2. Pasuruan 71

3.2.3 Lamongan 72

3.3

Peluang dan Tantangan Kemitraan P4

77

BAB IV EPILOG

84 84

DAFTAR PUSTAKA

88


Daftar Singkatan

ADB ADBI AIFDR AMCDRR AMDK APEL BNI BNPB BPBD BUMN CBDRM CSR CV DAS EHS EWS FBO FPRB IWAPI Kalak Kabid KOBAR LIS LMM LPBI NU

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

LSM MDMC NU P4 PAD PB PBNU PDPT PDRB

: : : : : : : : :

Asian Development Bank Asian Development Bank Institution Australia Indonesia Facility for Disaster Reduction Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction Air Minum Dalam Kemasan Aliansi Perempuan Lamongan Bank Negara Indonesia Badan Nasional Penanggulangan Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Badan Usaha Milik Negara Community Based Disaster Risk Management Corporate Social Responsibility Persekutuan Komanditer (commanditaire vennootschap) Daerah Aliran Sungai Environment, Health and Safety Early Warning System Faith-Based Organization Forum Pengurangan Risiko Bencana Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Kepala Pelaksana Kepala Bidang Krenteg lan Obahing Warga Bromo – Semeru Lamongan Integrated Shorebase Linggarjati Mahardika Mulia Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama Lembaga Swadaya Masyarakat Muhammadiyah Disaster Management Center Nahdlatul Ulama Public, Private and People Partnership Pendapatan Asli Daerah Penanggulangan Bencana Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Program Desa Pesisir Tangguh Produk Domestik Regional Bruto


Perdes PG PGRI PKBL PNPM PPIS PPP PRB PT PU RAK RAPBDes Renkon RKPDes RPB RPJMDes RPJPD RS SAR SDA SDM Sekda Sekjen SKAWAN SKPD SMS SOP STKIP STMIK TJSL TKSK TPA UNISDR WPP

: : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : : :

Peraturan Desa Pabrik Gula Persatuan Guru Republik Indonesia Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Putera Pacitan Indonesia Sejahtera Public and Private Partnership Pengurangan Risiko Bencana Perseroan Terbatas Pekerjaan Umum Rencana Aksi Komunitas Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Rencana Kontingensi Rencana Kerja Pemerintah Desa Rencana Penanggulangan Bencana Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Rumah Sakit Search and Rescue Sumber Daya Alam Sumber Daya Manusia Sekretaris Daerah Sekretaris Jenderal Sukarelawan Karyawan Aqua Pandaan Satuan Kerja Perangkat Daerah Short Message Service Standard Operational Procedure Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan Tempat Pembuangan Akhir United Nations International Strategy for Disaster Reduction Widodo Praja Perkasa



Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat


1

BAB 1

Pengantar


BAB I

Pengantar

PENGANTAR

1.1. Latar Belakang

2

Jawa Timur adalah salah satu provinsi yang memiliki tingkat kejadian dan ancaman bencana tinggi di Indonesia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh BNPB (dibi. bnpb.go.id), Jawa Timur adalah provinsi yang berada pada urutan ketiga, setelah Jawa Tengah dan Jawa Barat, dalam hal tingkat kejadian bencana. Beberapa bencana besar sudah terjadi di Jawa Timur pada kurun waktu 10 tahun terakhir, misalnya banjir sungai Bengawan Solo yang terjadi hampir setiap tahun, tetapi beberapa kali banjir besar terjadi, seperti tahun 2008 dan 2013. Di samping itu, kekeringan juga banyak terjadi di wilayah Jawa Timur, seperti di kabupaten Pacitan, Trenggalek, Madura dan lainlain. Bahkan pada tahun 2014 terjadi letusan besar gunung Kelud yang berdampak pada wilayah kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar. Dampak letusan ini juga sampai di beberapa kota yang jauh, seperti Yogyakarta dan Solo, dan mengakibatkan terhentinya penerbangan dan aktifitas masyarakat serta sekolah untuk beberapa hari.1 Bencana telah menyebabkan kerugian besar yang dialami oleh masyarakat, pemerintah, dan juga perusahaan. Banjir sungai Bengawan Solo yang terjadi pada awal tahun 2008 diperkirakan telah menyebabkan kerugian lebih dari 2 triliun rupiah.2 Itu baru perkiraan sampai pada Januari 2008, padahal bencana banjir terus terjadi sampai bulan Maret 2008. Contoh lainnya adalah kerugian akibat letusan Gunung Kelud tahun 2014 yang telah mengakibatkan kerugian sekitar 1,2 triliun rupiah.3 Kejadian dua bencana besar ini telah memberikan bukti bahwa bencana dapat mengakibatkan kehilangan yang besar atas hasil pembangunan yang sudah dilakukan dalam waktu yang panjang. Di sisi lain, kejadian bencana membawa simpati dan empati dari banyak pihak lain untuk memberikan bantuan. Pada dua kejadian tersebut, telah banyak lembaga pemerintah, organisasi sosial, kelompok masyarakat, organisasi politik, dan 1 Gambaran dampak letusan gunung Kelud bisa dilihat di http://www.antaranews.com/ Berita/418952/letusan-gunung-kelud-mulai-berdampak-di-jawa-timur-jawa-tengah. 2 Perkiraan Bappenas (2008) yang dimuat oleh http://www.tempo.co/read/news/2008/01/19/ 056115789/ Kerugian-Banjir-Bengawan-Solo-Sekitar-Rp-2-Triliun. Diakses pada 14 Agustus 2014. 3 Perkiraan ini dikatakan oleh Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, selaku Ketua Posko Induk Penanganan Bencana Gunung Kelud (2014) yang dimuat oleh http://regional.kompas.com/ read/2014/02/17/1800532/Kerugian.akibat.Bencana.Kelud.Ditaksir.Rp.1.2.Triliun. Diakses pada 14 Agustus 2014


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Proyek percontohan Public, Private and People Partnership (P4) untuk membangun ketangguhan masyarakat ini dimaksudkan untuk memberikan contoh kemitraan para pihak yang dilakukan sebelum terjadinya bencana. Proyek yang merupakan kerjasama antara BNPB, AIFDR, BPBD Provinsi Jawa Timur, dan mitra pelaksana (Cakrawala Timur dan Aksara), diharapkan bisa mendorong banyak pihak untuk berkontribusi pada pengurangan risiko bencana, sehingga ketika bencana terjadi, tidak lagi banyak kerugian yang diderita masyarakat dan pihak-pihak lainnya. Tujuan kemitraan untuk membangun ketangguhan masyarakat dipilih karena upaya ini dipandang strategis untuk mengurangi risiko yang besar. Disadari bahwa masyarakat di lokasi rawan bencana akan menjadi pihak yang paling menderita akibat dampak bencana. Tetapi, di sisi lain, mereka juga akan menjadi pihak yang pertama kali merespon terjadinya bencana, karena mereka hidup dan berada di sana. Untuk itu, penguatan masyarakat untuk menjadi tangguh terhadap bencana adalah pilihan strategis untuk mengurangi

PENGANTAR

perusahaan yang memberikan bantuannya kepada masyarakat yang terkena dampak bencana. Hanya saja, seiring dengan selesai masa tanggap darurat bencana, maka berhenti pula bantuan yang diberikan oleh banyak pihak. Hanya sedikit aktor yang kemudian berkenan untuk meneruskan kontribusinya dalam memulihkan masyarakat terdampak untuk kembali kepada kehidupan mereka sebelum bencana. Bahkan, kalau dilihat pada fase sebelum terjadinya bencana, akan lebih sedikit lagi pihak-pihak yang menginvestasikan programnya untuk mengurangi risiko bencana tersebut, kecuali memang dalam program khusus untuk itu.

3


risiko bencana, yang juga bisa berdampak pada berkurangnya risiko yang dihadapi oleh pihak lain, termasuk pemerintah dan perusahaan.

PENGANTAR

1.2. Konteks Sosio Demografis dan Kebencanaan di 3 (tiga) Kabupaten Lokasi Proyek P4 di Jawa Timur

4

Provinsi Jawa Timur memiliki 4 sub-kultur yang mencerminkan karakter masyarakat di masing-masing daerah tersebut, yaitu Mataraman, Arek, Tapalkuda, dan Madura. Subkultur Mataraman adalah wilayah bagian barat Jawa Timur seperti Pacitan, Madiun, Ngawi, Blitar, Tulungagung dan sekitarnya. Sub-kultur Arek meliputi Surabaya, Gresik, Lamongan, Tuban, Sidoarjo dan sekitarnya. Sub-kultur Tapalkuda adalah wilayah selatan Jawa Timur seperti Banyuwangi, Situbondo, Jember, Pasuruan dan sekitarnya. Sedangkan kawasan sub-kultur Madura ada di pulau Madura itu sendiri. Secara sosial-budaya, sub-kultur ini mempengaruhi karakter masyarakatnya sehingga menjadi pertimbangan dalam menjalin komunikasi dan kerjasama dengan mereka. Sedangkan dari sisi ancaman bencana, perbedaan antar wilayah lebih ditentukan oleh karakter alam di wilayahnya, seperti bentangan DAS sungai Bengawan Solo dan Brantas, gugusan gunungapi Kelud, Bromo dan lain-lain, daerah kering yang jauh dari sumber air, dan kawasan pantai selatan Jawa. Lokasi pelaksanaan program P4 ini mewakili 3 sub-kultur yang ada, yaitu Mataraman (kabupaten Pacitan), Arek (kabupaten Lamongan), dan Tapalkuda (kabupaten Pasuruan). Sedangkan sub-kultur Madura tidak terwakili dalam pelaksanaan program ini, dikarenakan keterbatasan sumberdaya. Rincian penjelasan kondisi sosio demografis dan kebencanaan untuk masing-masing lokasi ialah sebagai berikut. 1.2.1. Konteks Sosio-Demografis dan Kebencanaan Kabupaten Pacitan Sosio-demografis Pacitan adalah kabupaten yang terletak di bagian barat daya Jawa Timur, terbentang sepanjang garis Pantai Laut Selatan dan berbatasan langsung dengan Jawa Tengah di sebelah Barat. Kabupaten Pacitan yang memiliki luas wilayah 1.389,87 km2 berbatasan langsung dengan 3 kabupaten yakni kabupaten Wonogiri di sebelah Utara dan Barat, Kabupaten Trenggalek di sebelah Timur dan Kabupaten Ponorogo di sebelah Utara, sedangkan di sebelah Selatan berbatasan langsung dengan Samudra Hindia. Secara umum, bagian Utara kabupaten Pacitan merupakan perbukitan sedangkan di bagian Selatan adalah dataran rendah. Pemukiman penduduk pada umumnya terletak di dataran rendah yakni di sepanjang lembah sungai dan dataran dekat pantai. Hal ini menjadikan beberapa wilayah Pacitan sangat rentan terhadap ancaman Gempabumi, Tsunami dan Banjir. Sementara di perbukitan umumnya adalah wilayah yang rentan akan tanah longsor dan kekeringan. Kabupaten Pacitan memiliki 12 Kecamatan terdiri dari 166 Desa dan 5 Kelurahan, dengan jumlah penduduk sebesar 543.391 jiwa yang terdiri dari laki-laki 264.587 jiwa dan perempuan 278.804 jiwa (Kabupaten Pacitan dalam Angka 2013). Indikator makro pembangunan di Kabupaten Pacitan tahun 2010 - 2012 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang stabil pada kisaran 6,53 dan perlahan tumbuh menjadi


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

6,73 pada tahun 2012. Jumlah penduduk miskin turun dari 19,5% pada tahun 2010 menjadi 17,07% pada tahun 2012. Pertumbuhan ekonomi positif tercermin dari naiknya pendapatan perkapita dari Rp. 6.199.533 menjadi Rp. 7.198.872. Indeks pembangunan manusia juga mengalami kenaikan perlahan dari 72,07 pada tahun 2010 menjadi 72,91 pada tahun 2012 (Kabupaten Pacitan 2012).4 Sejarah Kebencanaan

Selain tsunami, longsor dan banjir juga menjadi ancaman di beberapa wilayah di Pacitan saat musim hujan tiba. Beberapa wilayah yang sering terlanda banjir adalah sepanjang aliran sungai Grindulu di Kecamatan Arjosari dan Kecamatan Pacitan serta sepanjang aliran sungai Lorog di Kecamatan Ngadirojo. Hampir setiap tahun banjir melanda Pacitan. Banjir besar yang tercatat dan mengakibatkan kerugian yang cukup besar adalah pada tahun 1965 dan 2008. Sedangkan kekeringan dialami oleh desadesa yang terletak di perbukitan yang berada di bagian utara kabupaten. 1.2.2. Konteks Sosio Demografis dan Kebencanaan Kabupaten Pasuruan Sosio-demografis Kabupaten Pasuruan mempunyai luas wilayah 147.401,50 Ha, terdiri dari 24 Kecamatan, 24 Kelurahan dan 341 Desa. Kondisi wilayah Kabupaten Pasuruan terdiri dari daerah pegunungan berbukit di bagian Selatan dan dataran rendah di bagian tengah dan Utara. Sebagai modal dasar pembangunan, penduduk Kabupaten Pasuruan relatif besar, yaitu 1.510.261 jiwa terdiri dari laki-laki 747.376 jiwa dan perempuan 762.885 jiwa, dengan kepadatan 1024,59 jiwa/km² (BPS Kabupaten Pasuruan 2010). Perhitungan PDRB menghasilkan gambaran mengenai volume ekonomi, struktur ekonomi dan perkembanganya serta kontribusi masing-masing sektor terhadap total PDRB. Sektor yang diukur meliputi sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa. Dari kinerja pembangunan ekonomi daerah, tingkat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Pasuruan pada tahun 2009 mencapai 5,31%. Di samping itu, realisasi PAD (Pendapatan Asli Daerah) Kab. Pasuruan sebesar Rp. 87.356.770.052,57 dan pendapatan per kapita mencapai Rp 9.302.164,005 4 Dituangkan dalam Informasi Laporan Penyelenggaran Pemerintah Daerah (LPPD) Kabupaten Pacitan 2012. 5 Profil Kabupaten Pasuruan, http://www.pasuruankab.go.id/pages-1-gambaran-umum.html.

PENGANTAR

Sejarah mencatat Pacitan pernah mengalami tsunami dan gempabumi pada tahun 1818, 1840, 1859, 1883, 1904, 1921, 1925, 1957, 1994, dan 2006. Dari hasil pengkajian yang pernah dilakukan, wilayah-wilayah yang rawan tsunami di Pacitan adalah Kecamatan Pacitan, Kecamatan Ngadirojo, Kecamatan Sudimoro dan beberapa bagian kecil dari kecamatan lain seperti Kecamatan Donorojo, Pringkuku, Kebonagung dan Tulakan (Yudhicara 2011).

5


Sejarah Kebencanaan Salah satu bencana utama yang terjadi di Kabupaten Pasuruan bersumber dari gunungapi, yakni Gunung Bromo. Tercatat, letusan pertama terjadi sejak lebih dari 300 tahun yang lalu dan terus aktif hingga saat ini. Sepanjang tahun 2000an sudah tiga kali meletus, yaitu tahun 2001, 2004 dan terakhir 2010. Ancaman bencana lainnya bersumber dari banjir yang bersifat tahunan. Keberadaan 6 sungai besar di Kabupaten Pasuruan, yaitu Sungai Lawean, Sungai Rejoso, Sungai Gembong, Sungai Welang, Sungai Masangan dan Sungai Kedunglarangan, menjadikan hampir setiap tahun Kabupaten Pasuruan tidak lepas dari banjir. Selain itu, Pasuruan juga menghadapi ancaman bencana tanah longsor, puting beliung, kekeringan dan kebakaran hutan. 1.2.3. Konteks Sosio-Demografis dan Kebencanaan Kabupaten Lamongan

PENGANTAR

Sosio-demografis

6

Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah kurang lebih 1.812,8 km². Daratan Kabupaten Lamongan dibelah oleh Sungai Bengawan Solo, dan secara garis besar daratannya dibedakan menjadi 3 karakteristik yaitu bagian tengah Selatan merupakan daratan rendah yang relatif agak subur, bagian Selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu-batu dengan kesuburan sedang, sedangkan bagian Tengah Utara merupakan daerah Bonorowo yang merupakan daerah rawan banjir. Secara administratif, Kabupaten Lamongan terbagi atas 27 Kecamatan meliputi 462 Desa dan 12 Kelurahan. Penduduk kabupaten Lamongan tahun 2012 mencapai 1.284.379 jiwa yang terdiri dari 643.532 laki-laki dan 640.847 perempuan. Selama tahun 2011 – 2012, laju pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar minus 0,17% dengan tingkat kepadatan rata-rata penduduk 709 orang/km² (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lamongan, 2012). Sektor agraris masih menjadi sektor utama bersama dengan perdagangan, perikanan dan jasa. Pada tahun 2011 pertumbuhan ekonomi Kabupaten Lamongan mencapai 7,08% dengan 2 (dua) sektor mengalami pertumbuhan melampaui 10% yaitu sektor pembangunan dan konstruksi, dan sektor jasa-jasa masing-masing 25,10% dan 15,37%. Pada tahun 2012, perekonomian Kabupaten Lamongan tumbuh 7,12% dengan pertumbuhan tertinggi pada sektor bangunan/kontruksi dan sektor perdagangan, hotel dan restoran masing-masing tumbuh 12,11% dan 9,16%, disusul dengan sektor jasa 8,72%, dan sektor pertambangan dan penggalian 7,06%. Sektor pertanian hanya berontribusi sebesar 5,63%. Dari hasil perhitungan PDRB atas dasar harga berlaku tahun 2011 diketahui bahwa PDRB per kapita Kabupaten Lamongan sebesar Rp. 10.771.552,atau tumbuh 15,62% dari tahun 2010, dan pada tahun 2012 menjadi Rp. 12.184.430atau tumbuh 13,11% dari tahun 2011 (Kabupaten Lamongan Tahun 2012).6 Sejarah Kebencanaan Wilayah rawan bencana di Kabupaten Lamongan sebagian besar terletak pada wilayah yang mempunyai ketinggian 0 – 7 meter diatas permukaan laut, tepatnya 6 Dituliskan pada Buku Laporan Kerja Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kabupaten Lamongan tahun 2012.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

berada di sepanjang Sungai Bengawan Solo. Adapun lokasi-lokasi yang dilalui sungai Bengawan Solo yang rawan terhadap bencana banjir meliputi Kecamatan Babat, Sekaran, Maduran, Laren, Karanggeneng, Kalitengah, Glagah dan Karangbinangun. Wilayah Kabupaten Lamongan yang tergenang secara periodik tercatat seluas 29.273 Ha atau 16,15% sedangkan untuk wilayah yang tergenang terus menerus seluas 612 Ha atau 0,34% dari luas wilayah Kabupaten Lamongan (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kab. Lamongan 2012). Bencana bajir bukan satusatunya bencana yang mengancam di Kabupaten Lamongan. Bencana tanah longsor, puting beliung, kekeringan, kebakaran, bahkan kebocoran gas, pernah terjadi dan masih mengancam Kabupaten Lamongan. Istilah Public, Private and People Partnership (P4) atau Kemitraan Pemerintah, Lembaga Usaha, dan Masyarakat adalah konsep yang secara khusus digunakan dalam pelaksanaan proyek ini. Sampai saat ini, belum ada definisi tertentu untuk konsep tersebut. Konsep P4 sebenarnya dikembangkan dari konsep Public and Private Partnership (PPP) yang sudah banyak dikenal sejak tahun 1990an. PPP digunakan oleh banyak negara berkembang dalam menjalankan program pembangunannya, khususnya di bidang pemberian layanan publik dan pembangunan infrastruktur. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) adalah di antara beberapa lembaga internasional yang secara intensif mempromosikan PPP sebagai salah satu perangkat pembangunan. Secara umum, Bank Dunia (ppp.worldbank.org) mendefinisikan PPP sebagai pengaturan kerjasama pemerintah dan sektor swasta, untuk jangka waktu menengah dan panjang, dimana sebagian layanan yang menjadi tanggungjawab pemerintah, diberikan oleh sektor swasta, dengan kesepakatan yang jelas atas tujuan untuk memberikan infrastruktur dan/atau layanan publik. Berdasarkan definisi tersebut, PPP secara jelas hanya ditujukan kepada kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa pemberian layanan dan pembangunan infrastruktur, yang menjadi tanggungjawab pemerintah, akan lebih efisien ketika dilakukan oleh sektor swasta. 7 Akan tetapi, setelah 10 tahun pelaksanaan PPP, konsep kemitraan ini berkembang menjadi lebih luas, dan bahkan masuk pada sektor sosial. Asian Development Bank Institution (ADBI) telah melakukan studi pelaksanaan PPP di beberapa negara Asia dan Pasifik, termasuk Indonesia, dan mereka memberikan definisi PPP sebagai “kegiatan kolaborasi antar kelompok kepentingan dan para pelaku berdasarkan atas pemahaman bersama atas kekuatan dan kelemahan masing-masing untuk bekerja mencapai tujuan yang disepakati, yang dibangun melalui komunikasi yang efektif dan tepat waktu� (Paoletto, dalam ADBI 2000: 42). 7 Untuk konteks di Indonesia, kerjasama pemerintah dan badan usaha dalam bidang infrastruktur bisa dilihat pada Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur.

PENGANTAR

1.3. Konsep Public, Private and People Partnership (P4)

7


PENGANTAR

Definisi yang diberikan oleh ADBI membawa pengertian PPP kedalam makna yang lebih luas dan melibatkan lebih banyak pihak. Tujuan kemitraan tidak lagi dibatasi pada penyediaan layanan publik dan pembangunan infrastruktur, tetapi lebih luas kepada segala aspek pembangunan, selama bisa menjadi tujuan bersama para pihak. Pengertian ini juga memungkinkan keterlibatan LSM dan organisasi masyarakat sipil lainnya dalam kemitraan. Dalam hal ini, Bank Dunia (1999: 6) menyebut PPP sebagai kemitraan para pihak (pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil), di mana masing-masing pihak berkontribusi sumberdaya (keuangan, manusia, keahlian tehnis, informasi, dukungan kebijakan dan lain-lain) dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Di sini Bank Dunia menambahkan syarat keterlibatan dalam proses pengambilan keputusan dalam membangun kemitraan. Dengan kata lain, kemitraan tidak bisa ditentukan oleh salah satu pihak saja.

8

Tujuan PPP yang semakin luas, tentunya bisa juga dilaksanakan pada isu Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Sampai saat ini, belum ada definisi yang secara khusus menjabarkan konsep PPP pada isu PRB atau panduan bagaimana kemitraan harus dibangun dan isu apa yang mereka harus fokuskan (UNISDR 2009: 5). Konsep PPP untuk PRB kemudian dibangun dari berbagai pengalaman upaya-upaya pengurangan risiko yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah dan sektor swasta, serta terkadang dengan organisasi masyarakat sipil. Sebagai pendekatan baru dalam melaksanakan upaya PRB, PPP tidak dengan mudah bisa dilakukan, khususnya membangun kemitraan dengan sektor swasta. Hal ini tentunya berbeda dengan pengalaman kerja PRB yang dilakukan oleh masyarakat sipil dan pemerintah, yang sudah dikenal cukup lama. Ditambah lagi bahwa PRB masih menjadi istilah yang relatif baru bagi sektor swasta. Dari hasil review studi kasus dan konsultasi dengan para ahli yang dilakukan oleh UNISDR (2009: 30-31), mereka menyimpulkan ada beberapa tantangan pelaksanaan PPP dalam PRB, diantaranya ialah: 1. Banyak perusahaan yang masih belum siap terhadap bencana alam dan kesadaran atas risiko ancaman bencana juga masih rendah 2. Sekalipun PPP dalam PRB sudah mulai banyak diketahui, tetapi belum ada definisi yang disepakati bersama 3. Komitmen dari pemerintah dan sektor swasta seringkali tidak kuat untuk mewujudkannya pada aksi nyata di lapangan 4. Keuntungan bisnis dalam melakukan PRB belum disosialisasikan dengan baik sehingga belum bisa meyakinkan banyak perusahaan Public, Private and People Partnership (P4) yang digunakan dalam proyek ini dimaksudkan untuk menambahkan “People” dalam konsep PPP. Penambahan ini tidak sekedar sebagai salah satu pelaku pelengkap dalam membangun kemitraan, tetapi justru “people” menjadi pusat dari proses dan hasil kemitraan. Dalam hal ini, proyek P4 menggunakan “people-centered development” sebagai pendekatan utama dalam membangun kemitraan. Sebagaimana disebutkan oleh Korten (1987), pendekatan ini


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

memfokuskan pada kebutuhan untuk memperkuat kapasitas institusi dan sosial yang mendukung kontrol, akuntabilitas, inisiasi, dan kemandirian lokal yang lebih besar.

Sebagai pendekatan baru dalam membangun ketangguhan masyarakat, tentunya P4 tidak mudah untuk dilaksanakan, terutama dalam membangun kemitraan dengan perusahaan, seperti yang disebutkan oleh UNISDR di atas. Untuk itu, pelaksana proyek ini mempelajari pengalaman yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dalam membangun kemitraan. Beberapa contoh kemitraan pemerintah dan perusahaan sudah dipresentasikan dalam Global Platform for Disaster Risk Reduction tahun 2013.8 Pertimbangan menarik untuk menerapkan konsep P4 juga diambil dari sebuah studi yang dilakukan oleh Meister Consultants Group, Inc. (2013: 3) atas 9 kasus terbaik tentang kolaborasi untuk membangun ketangguhan yang dipilih dari 100 kasus kemitraan pemerintah dan swasta di negara berkembang. Dari studi tersebut, disimpulkan bahwa ada 6 faktor keberhasilan kemitraan, yaitu: 1. Dibangun berdasarkan kedekatan lokal dan kepercayaan masyarakat

9

2. Memulai dari yang kecil dan lokal, tetapi bisa diperluas skalanya dan direplikasi 3. Mengintegrasikan pengembangan kepemilikan masyarakat

keahlian

untuk

memaksimalkan

rasa

4. Membangun kapasitas adaptif melalui penguatan bisnis dan penghidupan (livelihoods) masyarakat 5. Membangun kemitraan sepanjang atau melalui rantai nilai produk/jasa 6. Temukan alternatif yang inovatif atas infrastruktur tradisional 1.4. Hasil Assessment Proyek P4 di Jawa Timur Dalam assessment, lokakarya di provinsi dan di kabupaten terungkap bahwa Jawa Timur memiliki pengalaman menarik terkait upaya menjalin kemitraan antara pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, LSM, dan masyarakat. Inisiatif Penanggulangan Bencana (PB) di tiga kabupaten terpilih yaitu Lamongan, Pacitan dan Pasuruan mewakili sub-kultur Mataraman, Arek dan Tapal Kuda9. Pembagian 8 Beberapa contoh kerjasama pemerintah dan sektor swasta dalam PRB yang dipresentasikan di Global Platform bisa dilihat pada http://www.preventionweb.net/globalplatform/2013/. 9 Karena keterbatasan waktu dan sumberdaya, maka lokakarya di kabupaten tidak dilakukan di kawasan Madura dan lokakarya di provinsi juga tidak melibatkan peserta dari kawasan Madura.

PENGANTAR

Sebagai konsekuensi dari pendekatan ini, maka proyek P4 dilakukan dengan melakukan pendampingan kepada masyarakat desa terlebih dahulu, untuk memfasilitasi kajian risiko dan perumusan prioritas mereka dalam aksi pengurangan risiko bencana dalam rangka membangun ketangguhan. Rumusan prioritas aksi masyarakat inilah yang kemudian dijadikan dasar dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mudah dalam mengidentifiksi para pelaku terkait (pemerintah, perusahaan, LSM, perguruan tinggi, ormas, dan kelompok lainnya) dan menentukan strategi untuk membangun kerjasamanya.


kawasan ini didasarkan pada sub kultur yang ada di masyarakat Jawa Timur untuk memudahkan dalam melakukan pendekatan implementasi program.

PENGANTAR

Secara umum, kerja penanggulangan bencana yang sudah terbangun di Jawa Timur memiliki aspek positif, kekurangan dan rekomendasi perbaikan sebagai berikut:

10

1.4.1. Inisiatif Kemitraan untuk Penanggulangan Bencana di Jawa Timur Kemitraan sejumlah stakeholder dalam pengurangan risiko bencana secara umum masih bersifat tentatif, sporadis dan terbatas pada respon tanggap darurat, khususnya kemitraan yang melibatkan perusahaan. Sedangkan kemitraan yang melibatkan unsur organisasi dan perguruan tinggi umumnya mampu lebih cepat bergerak untuk mensinergikan kerja-kerja pengurangan risiko bencana. Berikut ini adalah contoh model dan inisiatif kemitraan yang dikembangkan unsur pemerintah, masyarakat sipil, perusahaan dan perguruan tinggi di Jawa Timur. a. BPBD sebagai pusat koordinasi dan dukungan data lintas stakeholder

Upaya yang dilakukan BPBD Pasuruan untuk memberi data dan membagi rencana tindak lanjut kedaruratan mendapat respon yang baik dari CSR beberapa perusahaan antara lain PT. Sampoerna, PT. Aqua Danone, PT. Indofood, PT. Nestle, PT. Samsung dan PG Kedaung. CSR dari PT. Aqua Danone menindaklanjuti dengan kegiatan paska banjir, PT. Nestle di kawasan rawan bencana kekeringan, serta PG Kedawung yang juga mendukung penguatan kapasitas bagi desa-desa yang rawan banjir di sekitarnya.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

b. Kolaborasi Koperasi Setia Kawan dengan komunitas lokal Dengan aset koperasi sekitar 126 milyar, koperasi memiliki 3 divisi yakni Susu Segar, Simpan Pinjam, dan Perdagangan & Jasa. Koperasi ini mampu mengarahkan sumber daya yang dimiliki melalui CSR untuk mendukung pemulihan ekonomi paska bencana di Pasuruan. c. Kolaborasi PT. Unilever – Spektra (LSM)

Selain terlibat dalam respon tanggap darurat bersama dengan PT. Exxon, PT Unilever bersama mitranya Spektra, memiliki program Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di 35 Kabupaten dan menjangkau 2000 sekolah di seluruh Provinsi Jawa Timur. Kegiatan yang digagas memang tidak secara langsung terkait dengan Pengurangan Risiko Bencana (PRB), seperti kegiatan health and hygiene, namun kontribusi perusahaan tersebut secara tidak langsung telah meningkatkan kapasitas masyarakat dalam kesehatan; dan ini menjadi salah satu indikator ketangguhan.

PT. Sampoerna merupakan salah satu perusahaan yang sudah relatif maju dalam hal pengembangan program PRB. Hal ini bisa dilihat dari 4 fokus program penanggulangan bencana yaitu respon dan evakuasi, rehabilitasi -rekonstruksi, medis & pelayanan komunitas serta kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana. Dalam implementasi programnya, PT. Sampoerna bekerja sama dengan beberapa LSM seperti Kappala, Yappeka, IDEP, ACT, Mercy Corps, Stappa Foundation, dan juga dengan perguruan tinggi, kalangan bisnis, komunitas, dan pemerintah daerah (baik provinsi maupun kabupaten). Selain itu, PT. Sampoerna juga menyediakan sarana pelatihan untuk kesiapsiagaan yang bisa digunakan oleh berbagai pihak sebagai bentuk kontribusi untuk pendidikan PRB. Mereka juga memiliki sarana pendukung untuk respon kedaruratan. Di internal perusahaan, telah disusun SOP evakuasi, simulasi dan kerangka tanggap darurat. e. Kolaborasi FBO-Perguruan Tinggi-Komunitas: NU, Karina, MDMC Upaya penanggulangan bencana juga telah dilakukan oleh faith-based organisazation (FBO) yang ada di wilayah Jawa Timur yaitu Karina, MDMC dan LPBI-NU. Inisiatif ketiga organisasi ini merupakan salah satu contoh bagus dalam mendorong kerja respon bencana menjadi kerja pengarusutamaan pengurangan risiko bencana. Sebagai contoh, Karina Surabaya tahun 2012 melakukan implementasi program PRB dengan integrasi Livelihood di Ponorogo dan Pacitan. Pada bulan Juni 2013, Karina Surabaya melakukan kerjasama dengan Universitas Ciputra dan Universitas Widya Mandala dalam rangka pelatihan kewirausahaan, berkolaborasi dengan Komisi PSE Keuskupan. Sejak 2008 MDMC Lamongan mengembangkan kemitraan rumah sakit, klinik kesehatan (2 balai pengobatan), komunitas dan masyarakat luas untuk kesiapsiagaan bencana di sektor kesehatan. MDMC membuat Disaster Medical

PENGANTAR

d. Kolaborasi PT. Sampoerna - LSM

11


Committee dan buku panduannya serta menyusun juga Hospital Disaster Plan. MDMC juga mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak, seperti pemerintah daerah dalam kegiatan simulasi dan pelatihan kesiapsiagaan.

LPBI NU, mengembangkan strategi PRB di 2 wilayah (Jember dan Magelang) melalui interpretasi teks keagamaan akan pentingnya prinsip berdampingan dengan risiko bencana. Ada beberapa kegiatan yang dilakukan, yaitu pengembangan dan pemberdayaan agen / kader perubahan di tingkat terbawah dengan memadukan upaya advokasi, termasuk pelibatan tokoh berpengaruh, pengembangan kajian risiko dan rencana aksi komunitas, dan perintisan sumber ekonomi alternatif. Di Jawa Timur, LPBI NU juga merumuskan program advokasi kelembagaan bencana, yang berfokus pada penguatan kebijakan / regulasi dan kelembagaan PB, penyusunan perencanaan PB, forum PRB di tingkat daerah, serta diseminasinya kepada publik.

f. PT. Semen Gresik-LSM-Pemerintah-Perguruan Tinggi-Komunitas

PENGANTAR

12

Alokasi dana CSR PT Semen Gresik ialah sebanyak Rp 235 Miliar. Mereka terikat pada regulasi yang dikeluarkan oleh Kementerian BUMN, yaitu program Kemitraan dan Bina Lingkungan, dimana bencana telah menjadi prioritas walaupun cakupannya masih sebatas respon darurat pada area kerja perusahaan. Dalam menjalankan kegiatannya, PT. Semen Gresik telah melibatkan LSM, pemerintah dan Perguruan tinggi secara terpisah.

Belajar dari pengalaman kemitraan yang sudah terbangun yang ada di Jawa Timur, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam membangun model kemitraan P4, yaitu:  Akomodasi kepentingan yang berbeda-beda dari aktor yang berbeda perlu diwadahi dalam pengembangan kemitraan lintas pihak.  Untuk membangun kolaborasi yang melibatkan lebih dari satu perusahaan, penting untuk mempertimbangkan aspek visibility, sehingga agak sulit untuk menyatukan beberapa perusahaan dengan karakter produk/jasa yang sama dalam satu wilayah program atau kegiatan.  Keberadaan forum-forum yang melibatkan berbagai perusahaan dalam satu wadah, dirasakan membantu untuk menjembatani komunikasi dan berbagi informasi antar perusahaan.  Keterbukaan menjadi prasyarat penting untuk kemitraan multi pihak dalam penanggulangan bencana. Pelajaran tentang kemitraan tanpa transparansi di masa lalu, bisa menjadi ganjalan untuk pengembangan kerja sama di masa yang akan datang. Secara khusus, perusahaan menekankan bahwa mereka bukanlah semata mesin uang bagi upaya kemitraan, sehingga proses dialog dan saling menghargai sangatlah ditekankan. Perusahaan juga menyampaikan harapan agar pemerintah berperan sebagai fasilitator.  Bagaimana mendorong perusahaan supaya mengadopsi konsep “Corporate Sustainability” dimana perusahaan harus dapat melihat bahwa dampak bencana


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

juga merugikan proses produksi dan distribusi perusahaan, sehingga harus ada manajemen risiko bencana. 1.4.2. Pemilihan Lokasi Proyek Pemilihan kabupaten didasarkan pada keragaman jenis ancaman, terdapatnya inisiatif kemitraan dari pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat sipil, komunitas lokal dan perguruan tinggi, serta adanya tanggapan yang baik dari pemerintah daerah (BPBD) terhadap keberadaan program ini. Sedangkan untuk tingkat desa beberapa dasar pemilihan lokasi ialah sebagai berikut: pertama, profil risiko bencana, dimana beberapa desa diantara desa-desa ini juga menghadapi multi ancaman. Kedua, keberadaan atau kesediaan dan minat pihak-pihak non-pemerintah untuk ambil bagian dalam proses pemberdayaan dan kemitraan untuk pengurangan risiko bencana.

Kabupaten Pacitan

Pasuruan

Lamongan

Desa Percontohan P4 Desa Sirnoboyo Desa Kembang Desa Hadiwarno Desa Sidomulyo Desa Kedawung Kulon Kelurahan Kalirejo Desa Wonokitri Desa Truni Desa Bulutigo

1.5. Strategi Pelaksanaan P4 untuk Ketangguhan Masyarakat Meski bencana adalah tanggung jawab semua pihak, namun sampai saat ini kerjakerja penanggulangan bencana kebanyakan masih dilakukan terpisah-pisah. Pemerintah, Lembaga non pemerintah dan Perusahaan masih jarang bekerja sama dalam kerja pengurangan risiko bencana. Lebih jauh lagi, komunitas sebagai pihak yang berhadapan langsung dengan bencana justru jarang sekali dilibatkan. Menyatukan berbagai pihak dalam kerja pengurangan risiko bencana merupakan tantangan utama proyek P4 untuk membangun ketangguhan masyarakat. Secara umum gambaran kondisi saat akan dilaksanakan proyek ini ialah sebagai berikut. Baik di Pasuruan dan Lamongan, BPBD telah menginisiasi terbentuknya Desa Tangguh meski pada tahap yang paling awal. Sedangkan di Pacitan, BPBD mengintegrasikan Desa Tangguh dengan Desa Pesisir Tangguh yang telah diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Sehingga BPBD Pacitan tidak memulai pembentukan desa tangguh dari nol.

PENGANTAR

Berikut adalah desa-desa lokasi pelaksanaan pilot untuk proyek P4 di 3 Kabupaten:

13


Di Lamongan, peran koordinasi antar pihak lebih banyak dilakukan oleh forum PRB. Secara berkala forum PRB melakukan pertemuan koordinasi untuk membahas kerjakerja pengurangan risiko bencana. Selama ini kerja-kerja pengurangan risiko bencana yang dilakukan di Lamongan lebih banyak dimotori oleh LPBI NU dengan BPBD. Akan tetapi, sampai saat itu pertemuan dan koordinasi yang dilakukan masih belum banyak melibatkan Perusahaan.

PENGANTAR

Sementara di Pasuruan, Forum PRB baru saja terbentuk dan belum dapat terlihat perannya sebagai forum untuk koordinasi dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana. Sebelum adanya Forum PRB, BPBD Pasuruan secara berkala mengadakan pertemuan dan koordinasi dengan berbagai pihak, juga dengan perusahaan meskipun masih sedikit dan terfokus pada tanggap darurat. Sedangkan di Pacitan, belum ada forum PRB yang bisa menjadi wadah koordinasi bersama para pihak. Sampai saat program P4 dilaksanakan, peran BPBD sebagai koordinator para pihak dalam penanggulangan bencana masih sangat kuat.

14

Pada tingkat komunitas, bencana belum menjadi fokus perhatian meskipun mereka sadar bahwa mereka hidup di daerah rawan bencana. Kesadaran dan upaya pengurangan risiko bencana pada tingkat komunitas masih rendah. Kerja-kerja pengurangan bencana masih dipandang sebagai wewenang dan tanggung jawab pemerintah. Hal ini menyebabkan seringkali masyarakat terlihat pasif dan hanya menunggu. Sedangkan pada kalangan perusahaan, awalnya kerja mereka terbatas pada respon darurat bencana, namun belakangan ini mulai terjadi perubahan cara pandang kerja-kerja kebencanaan. Sebagian sudah mulai melakukan upaya kesiapsiagaan masyarakat di wilayah dampingannya. Langkah-langkah untuk mendorong kemitraan multi pihak dalam upaya pengurangan risiko bencana bisa dilihat sebagai gabungan strategi untuk penguatan komunitas melalui kajian risiko, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan, serta yang tak kalah pentingnya adalah upaya advokasi kebijakan. Di tingkat komunitas, pengorganisasian menjadi pilar penting untuk memastikan proses yang partisipatif dan sesuai dengan kebutuhan komunitas melalui pengkajian risiko dan perumusan rencana aksi komunitas. Proses ini bermuara pada mendorong ketangguhan komunitas. Dari hasil lokakarya di tingkat provinsi dan kabupaten pada tahap awal proyek P4, didapatkan kesimpulan bahwa kunci dari kesuksesan kemitraan multi pihak dalam membangun ketangguhan adalah: 1. Kemitraan sebagai strategi kunci serta bagian inti dalam pengurangan risiko bencana. Dalam kemitraan terkandung upaya koordinasi, pendistribusian peran dan tanggungjawab serta sinergi kapasitas antar berbagai aktor kunci dalam PRB. 2. Koordinasi dan mobilisasi sumber daya akan menentukan sejauh mana kemitraan untuk pengurangan risiko bencana bisa dibangun. Pola dan desain koordinasi lintas pihak setidaknya mengakomodasi dua aspek kunci yakni posisi masyarakat dan sinergi dengan penguataan kelembagaan penanggulangan


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

bencana. Upaya koordinasi perlu memastikan bahwa masyarakat / komunitas menjadi inti dalam proses koordinasi tersebut, bukan hanya sekedar untuk melengkapi syarat formalitas saja. 3. Pelibatan lembaga masyarakat sipil dapat dilakukan melalui Forum PRB. Di Jawa Timur, Forum PRB dapat menjadi alternatif yang memadai untuk artikulasi dan partisipasi komunitas dalam upaya penanggulangan bencana. Keberadaan forum, sebagai skema multi stakeholders approach, memungkinkan posisi yang setara dari berbagai aktor kunci dalam penanggulangan bencana, yang memungkinkan masyarakat sipil berada pada posisi yang tidak berbeda dengan unsur yang lain seperti pemerintah maupun perusahaan.

Selain forum PRB, juga penting untuk menemukan dan mengakui beragam forum di komunitas. Forum ini tidak selalu dengan nama PRB, namun telah memiliki aktivitas dan gagasan pengurangan risiko bencana. Kelembagaan semacam kelompok tani, kelompok arisan, hingga kelompok keagamaan bisa menjadi alternatif yang bisa dipilih untuk mendorong skema multipihak dalam upaya pengurangan risiko bencana. Kemitraan harus dilakukan secara simultan dengan penguatan kelembagaan dan peran BPBD sebagai simpul koordinasi dan distribusi peran pada tingkat struktural pemerintahan maupun jejaring dengan masyarakat sipil, perguruan tinggi dan perusahaan. Pentingnya penekanan penguatan kelembagaan BPBD sebagai agenda yang tidak terpisahkan dari pengembangan kemitraan PRB juga didasarkan pada kesadaran bahwa tanggung-jawab PRB seharusnya tidak hanya milik BPBD saja. Keberadaan BPBD menjadi strategis untuk mengkoordinasikan inisiatif berbagai pihak dalam menjadikan upaya PRB menjadi lebih efektif dan berkelanjutan. Berikut adalah tabel rencana pembagian peran kerjasama multi pihak dalam program P4 di masing-masing kabupaten :

PENGANTAR

4. Penguatan Forum PRB pada tingkat desa dan kabupaten agar ada kejelasan peran masing-masing pihak, sehingga forum bisa menjalankan perannya dengan baik. Forum PRB juga menjadi jembatan untuk menghubungkan inisiatif di tingkat desa dengan kelembagaan penyelenggaraan penanggulangan bencana di tingkat daerah (BPBD) dan juga Forum PRB di tingkat yang lebih tinggi.

15


Lembaga Rencana Dukungan Kabupaten Pacitan: Dinas Kelautan dan - Penanaman vegetasi di pantai. Hanya untuk di Hadiwarno, perlu disesuaikan, karena disana Perikanan: menjadi habitat pengembangbiakan penyu - Akan dilakukan perbaikan pelabuhan di Sidomulyo - Di Kembang dan Sirnoboyo sudah menjadi lokasi program DPT mulai tahun 2012. Untuk tahun 2014, tinggal ditunggu rencana kegiatannya

PENGANTAR

Dinas Pendidikan

Dinas Pekerjaan Umum

16

Dinas Sosial

- Tahun 2014, akan dibuat profil desa/kelurahan pesisir seluruhnya di Pacitan (ada 26 desa/ kelurahan) Melakukan perbaikan sekolah yang rusak karena bencana. Untuk itu, kalau ada sekolah rusak, bisa segera diusulkan. - Bisa mengoperasikan alat berat kalau dibutuhkan - Memasang rambu-rambu, termasuk rambu evakuasi - Mengusulkan normalisasi sungai ke pemerintah Kabupaten dan Provinsi Ada Tagana di beberapa desa, dan mereka bisa diajak kerjasama baik untuk pendataan kelompok rentan, kesiapsiagaan bencana, maupun respon tanggap darurat

PT. Putra Pacitan Indonesia Sejahtera (PPIS)

- bisa memberikan bantuan air bersih untuk daerah kekeringan

PT. BRI

- Memberikan bantuan air bersih untuk daerah kekeringan

PT. Telkom

- pelatihan tanggap darurat untuk relawan desa, karena PPIS memiliki tim PB yang sudah terlatih.

- Program CSR lainnya itu dari Pusat, jadi perlu diusulkan terlebih dahulu Bisa memberikan pelatihan internet untuk masyarakat desa secara gratis


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Lembaga PT. Telkomsel

Rencana Dukungan - Memberikan poster jalur evakuasi yang ditempelkan di rumah (ada 6000 poster) - Fasilitas sms broadcast untuk peringatan atau info bencana dari Telkomsel ke masyarakat - Ketika terjadi bencana, Telkomsel menyediakan BTS Combat yang bisa memberikan akses langsung ke satelit dan diberikan layanan gratis

Lembaga

Rencana Dukungan

Kabupaten Pasuruan: BPBD Kab Pasuruan - Pelatihan dapur umum & bentuk tim LPBI NU Kabupaten Pasuruan U SAR TKSK Dinsos dan Tagana Fak Hukum Unmer Pasuruan PT. Sampoerna

- Pembentukan Forum PRB Desa Kedawungkulon - Peta evakuasi - Pembentukan dan peningkatan kapasitas relawan Peraturan Perdesaan (Perdes) - Pembuatan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dengan mengajukan proposal ke PT. Sampoerna - Penyediaan sarana pelatihan

Dinas Pengairan Kabupaten Pasuruan Bina Marga

Dinkes Pasuruan STMIK

- Pelatihan kewirausahaan Sementara bisa membuat bronjong, dan secara teknis dapat membantu apabila ada dana dari pihak lain. - Perbaikan infrastrutur jalan dan jembatan secara rutin maupun berkala - Perbaikan dan pembangunan saluran drainase jalan dan perawatannya Pelayanan kesehatan, termasuk penjernih air pendataan dan komunikasi

PENGANTAR

- Penyusunan RPB Desa

17


Lembaga Fak Ekonomi Unmer Pasuruan

Rencana Dukungan - Pelatihan kewirausahaan - Pelatihan managemen dan teknis

Kabupaten Lamongan: Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Lamongan

• Peningkatan kapasitas bidang ekonomi melalui Pelatihan Hantaran Pengantin Bersertifikat • Pelatihan dari Pengolahan Data Elektronik (PDE) maksimal 20 orang (perlu proposal dari pemerintah desa)

PENGANTAR

PT. Bank Jatim

18

Dinas PU, UPT pengairan Lamongan

Skema CSR yang bisa diakses oleh masyarakat (ada prosedur tersendiri). • Mitigasi Struktural melalui survey dan koordinasi untuk mengurangi banjir di DAS Bengawan Solo (dan keterkaitannya dengan Bengawan Jero) • Kajian normalisasi tanggul

RSUD Lamongan Dinas Kesehatan Bappeda Lamongan Palang Merah Indonesia (PMI) Lamongan TAGANA Forum Kabupaten Sehat (FKS) LPBI NU KOLILA

Pelayanan internal dan eksternal, termasuk layanan gratis kelas 3 bagi keluarga yang membutuhkan namun tidak memiliki Jamkesmas Pelayanan kesehatan melalui Puskesmas dan Polindes Mengawal usulan untuk mitigasi struktural banjir dalam proses Musrenbang Pelatihan untuk Relawan: Pertolongan Pertama, Dapur Umum dan Distribusi Logistik Pelatihan pemasangan tenda dan posko dapur umum Pelatihan Posko Kesehatan dan Posko Pendidikan, bermitra dengan SKPD Ketersediaan relawan, pelatihan kesiapsiagaan bencana • Penghijauan • Pelatihan untuk para kader pengorganisasian di tingkat desa


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

1.6. Tujuan Dokumentasi Pembelajaran Dokumen pembelajaran ini disusun dengan pertimbangan untuk menjaring setiap peluang pembelajaran positif dari proses pelaksanaan proyek P4 di Jawa Timur yang kemudian dapat dikembangkan di daerah lain. Tujuan penulisan dokumen ini adalah untuk mengakomodasi temuan lanjutan pada saat dokumen strategi diuji implementasikan di masyarakat berupa inisiatif baru serta model kemitraan baru yang dapat menjadi pembelajaran bersama dalam membangun masyarakat tangguh bencana. 1.6.1. Metode Penyusunan Dokumentasi Pembelajaran Dokumen ini disusun menggunakan metode partisipatoris dimana tim penyusun berkeliling ke 3 Kabupaten untuk melakukan konsultasi dan diskusi dengan berbagai stakeholder pengurangan risiko bencana yakni: pemerintah, perusahaan, masyarakat sipil (perguruan tinggi, LSM, Ormas) dan juga representasi dari komunitas yang terlibat dalam proyek P4. Di samping itu, penulisan dokumen pembelajaran juga didasarkan pada laporan hasil dan proses pelaksanaan proyek P4 di 3 wilayah tersebut. Sebagaimana tergambar dalam dokumen assessment dan dokumen strategi yang sudah ditulis sebelumnya, beberapa keterbatasan yang dihadapi dalam proses penyusunan dokumen pembelajaran tidak jauh berbeda, yaitu sebagai berikut: • Keterlibatan perusahaan yang masih terbatas semenjak tahap lokakarya 1 hingga pelaksanaan kegiatan di desa. Secara umum kegiatan konsultasi belum mampu menjangkau aspirasi dan pengalaman mereka secara memadai meskipun telah dikembangkan berbagai pendekatan dan kegiatan alternatif untuk melibatkan dan berkomunikasi dengan unsur dari perusahaan. Perkecualian mengenai minimnya partisipasi perusahaan terdapat di kabupaten Pacitan. • Pada saat dokumen ini dituliskan proses pelaksanaan RAK di masyarakat belum seluruhnya selesai, sehingga penilaian ketangguhan yang ada dalam dokumen belum mencerminkan keseluruhan hasil indikator di desa; tetapi setidaknya hasil penilaian ini bisa memberikan gambaran sekitar 80 – 90% dari kondisi saat ini di desa.

PENGANTAR

1.6.2. Keterbatasan Dokumen Pembelajaran

19


Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

21

BAB 2

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur


BAB II

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

2.1. Pengalaman Pelaksanaan Proyek P4

22

Proses awal penyusunan RAK Desa Sidomulyo Kabupaten Pacitan 2.1.1. Pengalaman P4 di Pacitan Proyek Public, Private and People Partnership (P4) di Pacitan dilaksanakan di 4 Desa yaitu Desa Kembang, Sirnoboyo, Hadiwarno dan Desa Sidomulyo. Desa Kembang dan Sirnoboyo sebelumnya adalah pilot project Desa Tangguh Bencana yang dikembangkan oleh BPBD. Selain itu kedua Desa tersebut juga masuk dalam program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) dari Dinas Kelautan dan Perikanan. Sementara 2 Desa yang lain, yaitu desa Hadiwarno dan Sidomulyo merupakan desa yang belum tersentuh sama sekali oleh program-program kebencanaan, tetapi 2 desa tersebut telah masuk sasaran sebagai calon Desa tangguh bencana BPBD Pacitan. Dengan demikian, Proyek P4 di Pacitan kemudian lebih berkonsentrasi pada desa Hadiwarno dan Sidomulyo. Sementara di Desa Kembang dan Sirnoboyo,


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

pendampingan dilakukan dalam rangka pemantauan dan evaluasi untuk menjamin keberlanjutan Desa tangguh bencana. Proyek P4 di Pacitan, meskipun baru tetapi sebenarnya BPBD sebagai pemangku kebijakan utama telah menerapkan prinsip-prinsipnya sebelum proyek ini dijalankan. BPBD, sebagai pemangku kebijakan utama telah mencoba menjadi simpul koordinasi dalam kebencanaan dengan melibatkan jajaran SKPD dan Perusahaan dalam penanganan bencana. Pada proyek desa tangguh di Desa Kembang dan Sirnoboyo, peran BPBD terlihat jelas sebagai fasilitator dan koordinator. Selain sebagai pilot project desa tangguh bencana, Desa Kembang dan Sirnoboyo juga merupakan pilot project Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) Dinas Kelautan dan Perikanan. PDPT merupakan salah satu bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP) yang terintegrasi dengan PNPM Mandiri. Dalam perkembangannya, Program PDPT dan Desa Tangguh di Kembang dan Sirnoboyo kemudian diintegrasikan. Selain itu, BPBD bersama Dinas Kelautan dan Perikanan melakukan koordinasi dengan SKPD terkait untuk mendukung pelaksanaan Pengembangan Desa Tangguh Bencana dan PDPT tersebut. Dalam pengembangan Desa Tangguh bencana, BPBD kemudian juga mengajak beberapa pengusaha lokal untuk berperan di dalamnya. Beberapa hal yang telah dilakukan dengan pengusaha lokal diantaranya adalah mencetak leaflet tentang kesiapsiagaan bencana, broadcast SMS informasi bencana, pembuatan penanda jalur evakuasi dan distribusi bibit pohon untuk penghijauan. Pemetaan kontribusi para aktor ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

2.1.1.1. Desa Kembang dan Sirnoboyo

23


2.1.1.2. Desa Hadiwarno dan Sidomulyo

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa Hadiwarno dan Sidomulyo merupakan desa baru yang menjadi sasaran BPBD Pacitan untuk pengembangan desa tangguh. Sebelum Proyek P4, dua desa ini baru satu kali mendapatkan sosialisasi tentang kebencanaan. Itupun hanya sebatas pada tingkatan desa dengan mengundang perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat.

24

Proyek P4 kemudian diawali dengan sosialisasi dan perencanaan proyek yang dilakukan bersama dengan perangkat desa dan tokoh-tokoh masyarakat. Setelah itu dilanjutkan dengan workshop di masing-masing desa untuk membuat Rencana Aksi Komunitas (RAK). Sebelumnya, draf RAK telah dibuat garis besarnya oleh beberapa perwakilan desa, yang kemudian dalam workshop bersama masyarakat, draf RAK tersebut dibahas dan disesuaikan dengan kebutuhan di desa. Ada beberapa perusahaan yang terlibat, antara lain adalah PT. Widodo Praja Perkasa (WPP) yang melakukan layanan broadcast SMS untuk penyebaran informasi tentang kebencanaan. Saat ini broadcast SMS masih seputar informasi bencana seperti kejadian gempabumi dan kemungkinan tsunami. Sementara Perusahaan lainnya yaitu PT. Putera Pacitan Indonesia Sejahtera (PPIS) baru terlibat pada pendistribusian bantuan untuk kekeringan di beberapa dusun di desa Sidomulyo. Kemungkinan kerjasama lain masih sebatas penjajagan forum CSR yang baru dirintis oleh BPBD dan pengusaha lokal Pacitan. Selain itu, ada juga keterlibatan institusi pendidikan non formal yaitu Pondok Pesantren yang berada di Sidomulyo. STKIP PGRI Pacitan juga melakukan sosialisasi sampai tingkat dusun melalui pertemuan warga seperti pengajian Ibu-ibu. Pola kemitraan yang ada digambarkan sebagai berikut:


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

2.1.1.3. Kontribusi para pihak Secara terinci, kontribusi masing-masing pihak untuk penguatan kapasitas masyarakat di 4 desa tersebut dijelaskan pada tabel di bawah ini: Aktor BPBD

Kontribusi - Pendampingan

dan

- Sosialisasi

Sirnoboyo

- EWS - Rambu Evakuasi

Hasil - Masyarakat memahami ancaman bencana, terutama gempa dan tsunami. - Kesadaran akan ancaman bencana juga meningkat - EWS telah terpasang berikut rambu evakuasi. - Penanaman mangrove dilakukan bersama masyarakat.

Dinas - Program PDPT Kelautan - Penanaman dan mangrove Perikanan - Muncul industri rumah - Penguatan ekonomi tangga pembuatan terasi - Pendampingan - Masing-masing desa telah menyusun rencana pengembangan desa pesisir tangguh. - Keberlanjutan dari Forum - Pendampingan/ pengembangan desa fasilitasi Relawan tangguh bersama (STKIP) - Sosialisasi masyarakat. - Peningkatan - Monitoring dan Evaluasi kapasitas Relawan berkala dilakukan dan kelembagaan - Pelatihan relawan dan penguatan kelembagaan relawan di masing-masing desa. PT. PPIS Pelatihan relawan Pelatihan relawan dilakukan bersama BPBD dan forum Relawan STKIP PT. WPP SMS Broadcast - Informasi kebencanaan melalui SMS . Leaflet informasi - Leaflet sudah dicetak tetapi kebencanaan belum terdistribusi. PT. LMM Penyaluran bibit untuk Penyaluran bibit untuk penghijauan penghijauan langsung kepada masyarakat

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa/ Kelurahan Kembang

25


Desa/ Kelurahan Hadiwarno

Aktor BPBD

Kontribusi - Pendampingan

dan

- Sosialisasi

Sidomulyo

- EWS

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

- Rambu Evakuasi

Forum Relawan (STKIP)

Pendampingan/ fasilitasi Sosialisasi

PT. PPIS

Peningkatan kapasitas Relawan dan kelembagaan Droping air bersih

PT. WPP

SMS Broadcast

26

Leaflet informasi kebencanaan PT. LMM

Penyaluran bibit untuk penghijauan

Hasil -

Masyarakat memahami ancaman bencana, terutama gempa dan tsunami.

-

Kesadaran akan ancaman bencana juga meningkat

-

EWS telah terpasang, rambu evakuasi belum semua terpasang. Pembentukan relawan, RAK, Peta daerah rawan bencana, peta evakuasi

-

-

Sosialisasi kebencanaan bersama relawan desa

Droping air bersih di daerah rawan kekeringan - Informasi kebencanaan melalui SMS. -

Leaflet sudah dicetak tetapi belum terdistribusi. Penyaluran bibit untuk penghijauan langsung kepada masyarakat

Beberapa perusahaan yang sudah berkomitmen belum terlihat kontribusinya karena mereka menunggu pengajuan proposal dari masyarakat. Sedangkan dalam RAK yang disusun masyarakat, belum ada kegiatan yang membutuhkan dukungan dari perusahaan tersebut. Di desa Hadiwarno dan Sidomulyo, RAK lebih fokus pada upaya sosialisasi bencana dan pelembagaan. Sementara di desa Kembang dan Sirnoboyo sedang melakukan proses penyusunan RPJMDes. 2.1.1.4. Bentuk Kemitraan di tingkat Kabupaten Pada awalnya, respon-respon bencana yang dilakukan oleh para pengusaha lokal di Pacitan bersifat sporadis dan tanpa koordinasi dengan pihak pemerintah. Kemudian atas inisiatif BPBD Pacitan, koordinasi dengan pengusaha lokal dilakukan dalam penyaluran bantuan saat bencana. Jejaring kemudian terbangun meski masih bersifat perorangan. Hal ini terjadi karena adanya kedekatan pribadi antara pengusaha lokal


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Perusahaan berencana untuk membentuk forum CSR. Rintisan forum ini dimotori oleh para pengusaha lokal Pacitan. Di antara perusahaan lokal yang tergabung dalam forum tersebut adalah PT. Widodo Praja Perkasa (WPP), PT. Pacitan Putra Indonesia Sejahtera (PPIS), PT Linggarjati Mahardika Mulia (LMM) dan beberapa cabang perusahaan nasional seperti PT. Telkom Pacitan, Bank BNI dan lain-lain. Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Pacitan sampai saat ini belum ada. BPBD Pacitan baru sebatas membentuk forum relawan bencana yang anggotanya kebanyakan adalah beberapa dosen STKIP Pacitan dan beberapa warga sipil yang telah mendapatkan pelatihan tentang kebencanaan. Beberapa hal yang dilakukan forum relawan antara lain adalah sosialisasi bencana kepada masyarakat dan sekolah-sekolah di daerah rawan tsunami dan pemetaan daerah rawan bencana. Selain itu, mereka juga melakukan sosialisasi pada desa-desa penyangga di sekitar daerah rawan bencana. Pola hubungan para aktor di kabupaten Pacitan digambarkan oleh diagram sebagai berikut:

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

dan pejabat BPBD. Dalam perkembangannya, jejaring ini kemudian menjadi ajang koordinasi dalam setiap penanggulangan bencana di Pacitan. Upaya-upaya untuk mengajak pengusaha lokal dalam pengurangan risiko bencana dilakukan belakangan setelah adanya pilot proyek desa tangguh bencana di Pacitan.

27

Dalam membangun ketangguhan masyarakat dan pengurangan risiko bencana di Pacitan, kerja-kerja dari semua pihak dikoordinasikan oleh BPBD kabupaten Pacitan. Inisiasi dan inovasi lebih banyak dilakukan oleh BPBD Pacitan. Upayaupaya peningkatan kapasitas masyarakat dan lembaga non pemerintah, termasuk


perusahaan dan perguruan tinggi, saat ini terus dilakukan oleh BPBD. Harapannya, ke depan masyarakat dan lembaga non pemerintah akan lebih banyak berperan dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana di Pacitan.

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

2.1.2 Pengalaman P4 di Pasuruan

28

Pos pemantau Banjir di desa Kedawung Kulon, kabupaten Pasuruan Di Pasuruan, proyek P4 dilaksanakan di 3 Desa yaitu Wonokitri, Kedawung Kulon dan Kalirejo. Masing-masing desa di Pasuruan mempunyai karakter masyarakat yang berbeda-beda. Masyarakat desa Wonokitri lebih homogen dengan mayoritas pemeluk agama Hindu yang taat dan karakter masyarakat desa yang kuat. Masyarakat di Desa Kedawung Kulon bisa dikatakan sebagai masyarakat sub-perkotaan. Mereka masih mempertahankan beberapa budaya agraris tetapi dengan kebiasaan dan budaya perkotaan juga terlihat jelas. Sementara Desa Kalirejo bisa dikatakan sebagai masyarakat perkotaan yang sangat heterogen, meskipun sebagian masih menggantungkan hidup dari pertanian. Dengan demikian pola pendekatan yang dibangun juga sedikit berbeda di masing-masing desa. 2.1.2.1. Desa Wonokitri Ancaman utama di Wonokitri adalah erupsi Gunung Bromo dan tanah longsor. Masyarakat Wonokitri yang rata-rata pemeluk agama Hindu mempunyai keunikan dan cara sendiri dalam menyikapi fenomena alam, termasuk bencana. Konsep tentang keseimbangan hubungan antara manusia dengan Tuhan dan lingkungannya diterapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Meski warga belum mengenal istilah pengurangan risiko bencana (PRB) tetapi sebenarnya warga telah memiliki kapasitas mengelola risiko dan menangani bencana. Ini tergambar dalam kearifan lokal yang mereka terapkan dalam kehidupan keseharian


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Sebelum proyek P4 dilaksanakan di Wonokitri, Paguyupan Jeep telah ikut berkontribusi terhadap penanganan bencana di desa meski tidak secara formal. Proyek ini kemudian mendorong Paguyupan Jeep untuk dapat berperan lebih. Ini dilakukan dengan melibatkan secara formal Paguyupan Jeep dalam upaya membangun ketangguhan di desa Wonokitri bersama beberapa elemen masyarakat lain seperti KOBAR (Krenteg lan Obahing warga Bromo Semeru) atau Tim Siaga Desa.

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

mereka. Misalnya, keluarga di Wonokitri memiliki tradisi untuk menanam pohon yang lebih banyak dari kebutuhan kayu bakar yang mereka gunakan setiap hari. Sehingga, kondisi tegakan tanaman masih bagus di sana, walaupun masyarakatnya banyak menggunakan kayu bakar. Proyek P4 kemudian mencoba mengenali kebiasaan dan budaya masyarakat Wonokitri agar lebih mudah diterima.

29

2.1.2.2. Desa Kedawung Kulon PG. Kedawung selama ini menjadi pihak yang cukup banyak membantu, baik dalam respon darurat maupun mitigasi bencana di Desa Kedawung Kulon. Hal ini karena Desa Kedawung berada di ring satu dalam Program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL/CSR) PG. Kedawung. Bencana yang dialami masyarakat desa Kedawung juga merupakan bencana bagi perusahaan. Dengan adanya banjir, PG. Kedawung tidak bisa beroperasi karena lokasi perusahaan juga terdampak dan banyak karyawannya juga tidak bisa bekerja karena rumah mereka juga tergenang banjir. Banyak hal telah dilakukan PG. Kedawung, seperti melakukan mitigasi sungai dan memberikan dukungan peralatan pada relawan yang telah ada di Desa Kedawung. PG. Kedawung sendiri juga mempunyai Tim Relawan bencana di dalam perusahaan.


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Selain bertanggung jawab terhadap keselamatan internal, relawan ini juga berkewajiban memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar bila terjadi bencana. Selain PG. Kedawung, beberapa toko retail juga memberikan dukungan berupa logistik untuk relawan yang melakukan pemantauan. Meski kecil tetapi dukungan tersebut dilakukan secara berkelanjutan. Meskipun mitigasi struktural dengan membangun tanggul disepanjang aliran sungai dan pembuatan pintu air telah dilakukan, menyiapkan masyarakat jika sewaktu-waktu bencana terjadi juga menjadi hal penting yang harus dilakukan. Proyek P4 kemudian mencoba mempertemukan pihak-pihak tersebut untuk bersama-sama bekerja membangun ketangguhan masyarakat. Beberapa inisiasi telah dilakukan termasuk pembuatan Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) yang rencananya akan menjadi sebuah Peraturan Desa. Selain itu, inisiasi lain adalah rencana untuk pengelolaan sampah melalui usaha bank sampah.

30

2.1.2.3. Desa Kalirejo Bencana yang sering terjadi di desa Kalirejo adalah banjir. Ancaman banjir tersebut selain karena luapan langsung dari air Sungai Kedung Larangan juga karena limpahan air kiriman dari Desa Kedungringin dan Kedungboto yang tidak langsung mengalir ke laut. Banjir yang datang hampir tiap tahun ini, dan ditambah sistem drainase yang buruk, semakin memperparah dampaknya pada masyarakat. Masyarakat Desa Kalirejo sudah mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang mencerminkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Misalnya ketika banjir terus naik sampai di atas lutut maka secara swadaya mereka akan menuju ke tempat pengungsian. Seperti ada kesepakatan yang tidak tertulis tentang tempat-tempat yang dapat dijadikan pengungsian ketika terjadi banjir.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Tidak ada perusahaan yang beroperasi di Desa Kalirejo. Pihak luar yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana di Kalirejo selain LPBI-NU adalah Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) Yadika. STMIK saat ini sedang mengembangkan sistem peringatan dini banjir berbasis SMS gateway. Selain itu STMIK juga sedang menyiapkan sistem informasi logistik untuk rehabilitasi.

31

Masyarakat Desa Wonokitri Bersahabat dengan Gunung Bromo Desa Wonokitri, berada di kaki Gunung Bromo kabupaten Pasuruan. Penduduknya mayoritas beragama Hindu. Di sana, sejumlah orang muda desa mendirikan organisasi relawan bernama ‘KOBAR’ (Krenteg lan Obahing warga Bromo Semeru). Artinya secara leterlek adalah keinginan [yang mengebu-gebu] sekaligus merealisasikan keinginan [dalam tindakan nyata]. Sedangkan motto KOBAR bernafaskan ajaran Hindu adalah Niskala Kala Ning Argayasa yang artinya “Selamat Saat Gunung Membangun”. Motto KOBAR sebenarnya merupakan ekspresi dari falsafah hidup Orang Tengger, yakni Tri Hita Karana. Falsafah ini merupakan tiga pedoman atau konsep kepercayaan Hindu dalam hal hubungan harmonis yang wajib dijaga umat manusia, yang terdiri dari Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Parahyangan artinya menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Pawongan berarti menjaga hubungan yang harmonis dengan sesama manusia. Sedangkan Palemahan berarti menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan lingkungannya.


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Dalam realitasnya menghadapi “Bromo Membangun�, masyarakat Tengger telah dan selalu mempersiapkan diri mengantisipasi dampak aktifitas Gunung Bromo. Salah satunya adalah dengan mengatur pola konsumsi kayu bakar dari pohon cemara yang tumbuh di lingkungan mereka. Mereka mengatur mekanisme penanaman kembali dari setiap penebangan pohon untuk kepentingan bahan bakar secara berkelanjutan. Dengan cara ini, orang Tengger sekaligus melindungi lingkungan mereka yang berlereng terjal dari ancaman longsor.

32

Lebih jauh, mengingat kejadian longsor merupakan salah satu jenis ancaman rutin di dataran tinggi ini, terdapat satu Paguyuban Jeep (Jeep Wisata Bromo) yang terorganisir, melakukan sejumlah respon darurat setiap terjadi tanah longsor. Paguyuban ini memiliki ‘dana segar’ yang bersumber dari iuran rutin anggotanya dan mereka menggunakan anggaran itu untuk mengantisipasi dampak dari Bromo Membangun, semisal membersihkan longsoran dengan cara menyewa traktor. Dalam Paguyuban Jeep terdapat kesepakatan antar pengemudi, di mana dalam setiap hasil sewa Jeep oleh turis ke Bromo, sebesar Rp. 50.000 akan didonasikan ke kas Paguyuban. Jumlah kas saat ini setidaknya sudah mencapai ratusan juta rupiah. Mengingat potensi Paguyuban Jeep yang besar dan berguna bagi kepentingan desa, maka pemerintah desa melibatkan anggota Paguyuban dalam setiap pertemuan resmi desa. Bukan sekadar berkontribusi pada pemberian pendapat bagi pemerintah desa, namun anggota Paguyuban Jeep bahkan sepakat untuk menyisihkan sejumlah anggaran dari kas mereka untuk pembangunan desa. (Sumber: wawancara dengan Wiji (ketua KOBAR desa Wonokitri), dan Kirun (Ketua Paguyuban Jeep desa Wonokitri) pada tanggal 26 April 2014.) 2.1.2.4. Kontribusi Para Pihak Di 3 desa lokasi proyek P4 di Pasuruan, beberapa kontribusi sudah dilakukan oleh beberapa pihak, dengan kapasitasnya masing-masing. Rincian kontribusi masingmasing pihak ialah sebagai berikut: Desa/ Kelurahan Wonokitri

Aktor BPBD

LPBI NU

Kontribusi Pendampingan dan fasilitasi Peningkatan kapasitas relawan Pendampingan dan fasilitasi

Hasil Pembentukan FPRB Desa Pelatihan relawan

Pembentukan FPRB Desa

Penyusunan RAK Peningkatan kapasitas Draft Perdes PB relawan dan kelembagaan


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Aktor

Kontribusi

Paguyupan Sumbangan dana Jeep untuk kas desa

Kedawung Kulon

BPBD

LPBI NU

PG Kedawung

Membersihkan longsoran yang terjadi di luar desa Pendampingan dan fasilitasi Peningkatan kapasitas relawan dan kelembagaan Pendampingan dan fasilitasi Peningkatan kapasitas relawan Logistik Mitigasi fisik

Toko retail Logistik untuk petugas (Indomart pemantau di pos dll) pemantauan banjir Kalirejo

BPBD

LPBI NU

STMIK YADIKA

Pendampingan dan fasilitasi Peningkatan kapasitas relawan dan kelembagaan Pendampingan dan fasilitasi Peningkatan kapasitas relawan Sistem informasi peringatan dini

Hasil Dana kas desa Tenaga relawan Pembentukan FPRB Desa Pelatihan relawan

Pembentukan FPRB Desa Penyusunan RAK Draft Perdes PB Penyaluran bantuan logistik saat banjir Pintu air Pos pantau Logistik (gula, kopi, teh, kue) untuk pos pantau banjir Penyaluran bantuan logistik saat banjir Pembentukan FPRB Desa Pelatihan relawan

Pembentukan FPRB Desa Penyusunan RAK Draft Perdes PB Sistem peringatan dini berbasis sms Sistem informasi posko (tahap Pengembangan)

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa/ Kelurahan

33


Sejak awal, perusahaan yang terlibat dalam pengurangan risiko bencana di Pasuruan jumlahnya sedikit, karena perusahaan lebih berkonsentrasi pada wilayah kerjanya masing-masing. BPBD dan mitra pelaksana masih kesulitan untuk mengajak perusahaan agar berkontribusi di lokasi program P4. Beberapa undangan pertemuan sudah dilakukan, tetapi belum ada hasil kontribusi dari banyak perusahaan.

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

2.1.2.5. Bentuk Kemitraan di Tingkat Kabupaten

34

Koordinasi dalam pengurangan risiko bencana di Pasuruan selama ini dilakukan oleh BPBD Kabupaten Pasuruan. Meskipun seringkali BPBD mencoba melibatkan Perusahaan, namun peran Perusahaan masih sangat sedikit. Ini sangat kontras jika melihat begitu banyaknya perusahaan lokal dan nasional yang berkedudukan di Pasuruan. Beberapa perusahaan yang ikut berkontribusi dalam pengurangan risiko bencana di Pasuruan adalah PT. Aqua (Danone), PG Kedawung dan Koperasi susu Setia Kawan. Akan tetapi perusahaan tersebut bekerja di wilayah kerja mereka masingmasing dan belum terkoordinasi secara sistematis dengan BPBD Pasuruan. Sementara, Forum PRB di tingkat kabupaten baru saja terbentuk dan belum menunjukkan kontribusi yang berarti. Lembaga non pemerintah yang bergerak di bidang kebencanaan dan mempunyai kontribusi yang cukup berarti di Pasuruan di antaranya adalah LPBI-NU dan STMIK. Salah satu dari kontribusi mereka di Pasuruan adalah advokasi perencanaan dan anggaran kebencanaan di Kabupaten, selain kerjakerja mereka di tingkat komunitas.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Pelatihan tim relawan desa Bulutigo dan Truni, kabupaten Lamongan Di Lamongan, proyek P4 dilaksanakan di 2 Desa yaitu Desa Bulutigo dan Truni. Meski kedua desa tersebut seringkali dilanda bencana banjir, tetapi belum menjadi fokus BPBD Lamongan untuk kerja-kerja pengurangan risiko bencana. BPBD justru memusatkan perhatian di desa Bojoasri, meski sama-sama menjadi langganan banjir, tetapi ancamannya tidak sebesar desa Truni dan Bulutigo. Oleh karena itu, proyek P4 dilaksanakan di dua Desa tersebut. 2.1.3.1. Desa Bulutigo dan Truni Di Truni, kegiatan P4 diawali dengan sosialisasi desa tangguh bencana dan pembentukan forum PRB tingkat Desa. Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan Peraturan Desa (Perdes) tentang Forum PRB dan penyusunan RAK. RAK ini akhirnya juga dijadikan Perdes. Setelah disahkan, kedua Perdes ini kemudian disosialisasikan melaui forum pertemuan tingkat desa. Selain itu peta analisis risiko bencana dan rencana kontingensi juga telah disusun bersama perangkat desa, tokoh masyarakat dan forum PRB desa Truni. Di Bulutigo, kegiatan dilakukan belakangan dengan jenis kegiatan yang tidak jauh berbeda dengan kegiatan yang dilakukan di Truni. Hanya saja di Bulutigo tidak ada sosialisasi Perdes tentang Forum PRB dan RAK, karena Perdes dan RAK baru selesai disusun pada akhir proyek. Selain itu, di Bulutigo juga belum dilakukan penyusunan rencana kontingensi. Kegiatan terakhir yang dilakukan adalah pelatihan relawan siaga bencana dalam menghadapi banjir yang merupakan ancaman utama di Desa Truni dan Bulutigo. Pelatihan relawan ini adalah salah satu kegiatan yang ada dalam Rencana Aksi

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

2.1.3. Pengalaman P4 di Lamongan

35


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Komunitas (RAK). Kegiatan ini sengaja dilakukan bersama (untuk dua desa) yang ditempatkan di desa Truni. Dengan dilakukan bersama, harapannya ke depan ada pertemuan untuk berbagi pengalaman antar kedua desa yang mempunyai ancaman yang sama. Dalam pelaksanaan kegiatan, Aliansi Perempuan Lamongan (APEL) yang merupakan pendamping proyek P4 juga melibatkan BPBD dan Lembaga Penanggulanan Bencana dan Perubahan Iklim NU (LPBI-NU) Kabupaten Lamongan. Hal ini dilakukan karena BPBD dipandang sebagai pengampu tanggung jawab dalam kebencanaan. Sedangkan pelibatan LPBI-NU dilakukan karena LPBI-NU merupakan lembaga yang mempunyai perhatian pada pengurangan risiko bencana di Lamongan. Keterlibatan perusahaan baru terlihat pada kegiatan pelatihan relawan, yaitu Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan. Rumah Sakit mengirimkan 4 orang dokter sebagai pelatih. Sementara Tim SAR BPBD memberikan pelatihan dasar Evakuasi dan SAR pada bencana banjir. Di samping itu, Telkomsel dan CV. Banjar Maju juga memberikan kontribusi sesuai bidang usaha mereka, walaupun itu sudah mulai dilakukan sebelum proyek ini dijalankan. Peran dan kontribusi para pihak digambarkan di bawah ini.

36

Strategi Warga Desa Bulutigo dan Truni dalam Menghadapi Dampak Banjir Sungai Bengawan Solo Desa Bulutigo dan Truni di Kabupaten Lamongan, merupakan wilayah sasaran banjir sungai Bengawan Solo saat musim penghujan. Bagi penduduk desa Truni yang memiliki kemampuan finansial, mereka dapat meninggikan pondasi rumahnya guna menghindari dampak buruk banjir. Warga lain mengandalkan tumpukan batu kapur


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Desa Truni dan Bulutigo merupakan desa yang berbatasan dengan desa yang masuk wilayah Kabupaten Tuban. Jika pemerintah hendak membangun tanggul utama di sepanjang sungai yang melintasi desa Truni dan Bulutigo, maka harus terjalin kerjasama antar dua kabupaten ini. Bahkan lebih jauh, mengingat Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo yang melintasi 21 kabupaten di 2 Provinsi, maka pembangunan tanggul utama di dua desa ini harus menjadi tanggungjawab pengelola DAS, khususnya sub-DAS Bengawan Solo Hilir. Berbagai upaya warga mengatasi dampak buruk dari banjir sudah dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara adalah dengan meninggalkan desa mencari penghidupan di tempat lain. Diaspora orang-orang Lamongan dengan menjadi penjual Soto dan Pecel Lele Lamongan di banyak kota di Indonesia adalah satu wujud menghindari desa yang ‘terganggu’ penghidupannya. Sementara itu, mereka yang tetap tinggal berupaya dengan berbagai cara, baik secara mandiri maupun bergantung pada proyek pemerintah, semisal PNPM dan Desa Tangguh serta program dari organisasi lain seperti proyek P4 ini. Sebagai ilustrasi, jika terjadi banjir di desa Truni dan menggenangi persawahan yang siap panen, maka kerugian seluruh keluarga petani Truni bisa mencapai 2,28 miliar rupiah. Hitungan ini berdasarkan pada luasan lahan berkisar 95 hektar. Dalam setiap hektar dapat diperoleh hasil panen seberat 6 ton gabah, dengan harga Rp. 4.000/kg. Kerugian sebesar itu belum termasuk kerugian yang timbul akibat sejumlah kerusakan jalan desa, rumahrumah warga dan isinya, terhambatnya kegiatan usaha warga, kerusakan sarana pelayanan publik, dan seterusnya. Sejauh ini, melalui sejumlah pertemuan desa bersama pengorganisir dari Aliansi Perempaun Lamongan (APEL), Pemerintah Desa Truni memutuskan untuk mengalokasikan anggaran kebencanaan di RAPBDes sebesar Rp. 5.000.000,- per tahun. Besaran ini memang jauh dari memadai, namun pemerintah desa berharap upaya ini memperoleh respon dari pemerintah daerah. Di desa Bulutigo, warga memilih kepala desa berdasarkan pada seberapa kuat visi-misi kandidat dalam mengatasi dampak bencana banjir. Kepala desa terpilih pada periode ini adalah kepala desa yang aktif di lembaga swadaya masyarakat. Jatuhnya pilihan warga kepadanya berkaitan erat dengan pemahaman kandidat soal isu kebencanaan dan luasnya jaringan kandidat dengan organisasi masyarakat sipil lainnya di kabupaten Lamongan. (Sumber: wawancara dengan Muwadturrahmah (sekretaris forum PRB desa Bulutigo) pada 2 Mei 2014 dan Warda serta Anis (aktifis APEL) pada 30 April 2014 di Lamongan)

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

berbentuk kubus untuk menghindari desakan arus kuat luapan sungai yang dapat merusak dinding rumah. Desa ini belum memiliki tanggul utama untuk menangkis luapan air. Hanya terdapat tanggul buatan warga dengan kapasitas yang jauh dari memadai. Bahan bakunya hanya ribuan karung berisi pasir yang dijajar di sepanjang sungai yang berbatasan dengan permukiman dan persawahan penduduk.

37


2.1.3.2. Kontribusi Para Pihak Kegiatan di 2 desa di Lamongan terlaksana karena kontribusi dari beberapa pihak seperti yang di gambarkan di atas. Rincian kontribusi masing-masing ialah sebagai berikut:

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa/ Kelurahan

Aktor

Kontribusi Pendampingan dan fasilitasi

Truni

BPBD

APEL

LPBI NU

Peningkatan kapasitas relawan dan kelembagaan Pendampingan

CV Banjar maju PT Telkomsel

BPBD

APEL

Pelatihan relawan bersama APEL, LPBINU dan RS Muhammadiyah Forum PRB Desa Pelatihan relawan bersama BPBD, LPBINU dan RS Muhammadiyah

Pelatihan Relawan

Perdes PB Desa Pelatihan relawan bersama BPBD, APEL, dan RS Muhammadiyah

Analis risiko

Pelatihan Relawan

Kas desa Pulsa komunikasi Pendampingan dan fasilitasi

Bulutigo

Forum PRB Desa

Penguatan kapasitas relawan dan kelembagaan

38

RS Muhammadiyah

Hasil

Peningkatan kapasitas relawan dan kelembagaan Pendampingan Penguatan kapasitas relawan dan kelembagaan

Kajian risiko bersama APEL Pelatihan relawan bersama BPBD, APEL, dan LPBINU (melalui MDMC) Dana kas desa dari bagi hasil irigasi Ada sarana komunikasi untuk pemantauan banjir Forum PRB Desa Pelatihan relawan bersama APEL, LPBINU dan RS Muhammadiyah Forum PRB Desa Pelatihan relawan bersama BPBD, LPBINU dan RS Muhammadiyah Perdes PB Desa


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Aktor

LPBI NU

Kontribusi Pelatihan Relawan Analis risiko

RS Pelatihan Relawan Muhammadiyah

Hasil Pelatihan relawan bersama BPBD, APEL, dan RS Muhammadiyah Kajian risiko bersama APEL Pelatihan relawan bersama BPBD, APEL, dan LPBINU

Upaya pelibatan perusahaan di Lamongan masih terkendala dengan mekanisme dan kapasitas masyarakat. Perusahaan menunggu pengajuan proposal dari masyarakat, sementara belum ada lembaga kebencanaan di tingkat desa. Sehingga yang dilakukan dalam proyek P4 kemudian lebih pada pelembagaan dan peningkatan kapasitas masyarakat. 2.1.3.3. Bentuk Kemitraan pada Tingkat Kabupaten Kerja-kerja pengurangan risiko bencana di Lamongan selama ini lebih banyak dilakukan oleh Lembaga non-pemerintah seperti LPBI-NU dan MDMC Kabupaten Lamongan. Sementara peran BPBD Kabupaten Lamongan belum banyak terlihat sebagai koordinator. Hal ini dikarenakan BPBD lebih banyak memainkan peran pada tanggap darurat bencana. Koordinasi dalam kerja-kerja pengurangan risiko bencana di Lamongan dimotori oleh forum PRB. Namun sampai saat program P4 dilaksanakan, Forum PRB belum melibatkan perusahaan. Sehingga sampai saat ini, keterlibatan perusahaan dalam pengurangan risiko bencana masih sangat minim dan belum tampak jelas. Melihat kondisi tersebut, Proyek P4 kemudian mencoba merangkul beberapa perusahaan untuk ikut berkomitmen pada kerja-kerja pengurangan risiko bencana. Hasilnya adalah munculnya beberapa komitmen dari perusahaan yang coba dilibatkan dalam sebuah workshop P4. Namun untuk mewujudkan komitmen-komitmen itu diperlukan inisiasi dari desa. Dengan demikian, maka yang pertama kali dilakukan oleh proyek P4 adalah pelembagaan pengurangan risiko bencana di desa dengan membentuk forum PRB pada tingkat desa. Forum inilah yang kemudian dibangun kapasitasnya dengan harapan akan mampu menginisiasi kerja-kerja pengurangan risiko bencana dengan melibatkan berbagai pihak. Pola komunikasi dan koordinasi yang dikembangkan di Lamongan dapat dilihat pada diagram dibawah ini :

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa/ Kelurahan

39


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur 40

2.2. Hasil Yang Telah Dicapai 2.2.1. Kabupaten Pacitan Desa Kembang Karena Desa Kembang sebelumnya merupakan pilot project Desa Pesisir Tangguh yang kemudian diintegrasikan dengan Desa Tangguhnya BPBD, maka proses proyek P4 kemudian hanya berkontribusi untuk mendorong terlaksananya beberapa kegiatan yang telah diinisiasi sebelumnya. Selain itu, pendampingan yang dilakukan oleh Relawan dari STKIP PGRI Pacitan masih berlanjut. Proyek P4 berkontribusi untuk mendukung proses-proses ini dengan memberikan dukungan pada pendamping untuk dapat terus melakukan pemantauan dan evaluasi. Pendampingan yang dilakukan lebih bertujuan untuk meningkatkan keterlibatan warga dalam pengurangan risiko bencana di desa. Capaian indikator ketangguhan di Desa Kembang mengalami sedikit peningkatan dari nilai 47 (baseline) menjadi 56 (endline). Rincian perubahan pada masing-masing indikator bisa dilihat dari grafik di bawah ini :


Dilihat dari tabel penilaian di atas, meski tidak terlalu banyak tetapi peningkatannya cukup jelas terlihat. Tingkat partisipasi warga dan perempuan mengalami peningkatan. Peningkatan juga terjadi pada kapasitas relawan bencana di desa. Sampai sejauh ini, tingginya nilai indikator ketangguhan Desa Kembang tidak lepas dari peran berbagai pihak yang terlibat dalam pengembangan Desa Tangguh Bencana. Adanya integrasi program pengembangan Desa Pesisir Tangguh dari Dinas Kelautan dan Perikanan dengan Desa Tangguh Bencana yang merupakan program BPBD Pacitan merupakan satu contoh baik adanya kerjasama antar lembaga pemerintah. BPBD Pacitan juga mengkoordinasikan perusahaan sehingga kegiatan mereka dalam pengurangan risiko bencana di Desa Kembang tidak saling tumpang tindih dengan program – program dari pemerintah daerah. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya pencapaian adalah partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam upaya pengurangan risiko bencana, terutama masyarakat yang tergabung dalam forum PRB tingkat Desa. Desa Sirnoboyo Seperti halnya Desa Kembang, Sirnoboyo juga merupakan pilot project yang dikerjakan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan dan BPBD. Proses-proses penguatan masyarakat dalam kebencanaan telah berjalan sebelum proyek P4 dilakukan. Kontribusi P4 di Desa Sirnoboyo hanya terbatas pada upaya mendorong keberlanjutan dan pemantauan. Namun demikian, ada beberapa kontribusi nyata dari proyek P4 di Sirnoboyo. Salah satunya adalah adanya upaya mendorong integrasi penanggulangan bencana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Selain itu, pendampingan yang dilakukan mampu memotivasi warga untuk terus-menerus meningkatkan upaya pengurangan risiko bencana. Capaian indikator ketangguhan mengalami sedikit peningkatan di Desa Sirnoboyo, dari nilai 39 (baseline) menjadi 46 (endline). Rincian capaian masing-masing indikator bisa dilihat pada grafik di bawah ini :

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

41


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur 42

Hampir mirip dengan Desa Kembang, di Sirnoboyo yang mengalami peningkatan adalah pada tingkat partisipasi perempuan dan kapasitas forum PRB. Selain itu, peningkatan juga pada pengalokasian dan pengelolaan dana tanggap darurat serta dana PRB. Sama halnya dengan Desa Kembang, pencapaian tingginya nilai indikator ketangguhan desa Sirnoboyo disebabkan oleh adanya integrasi kerja-kerja pengurangan risiko bencana dari berbagai pihak di Desa Sirnoboyo. Integrasi ini dilakukan baik antar program dari SKPD maupun kegiatan perusahaan dalam pengurangan risiko bencana. Pemerintah Desa dan warga Sirnoboyo telah melakukan banyak hal untuk upaya pengurangan risiko bencana. Bahkan pemerintah Desa Sirnoboyo sudah mengintegrasikan pengurangan risiko bencana pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes). Desa Hadiwarno Meski secara kasat mata bencana yang sering terjadi di desa Hadiwarno adalah banjir, ancaman tsunami tidak mungkin dikesampingkan. Hal ini dikarenakan letak desa yang berada di sepanjang pantai dan lembah sungai. Dengan kondisi yang demikian, kesadaran masyarakat terhadap bencana seharusnya telah terbangun dengan sendirinya. Namun karena minimnya sosialisasi, proses-proses mitigasi dan pengurangan risiko tidak terlihat di desa Hadiwarno. Sampai saat proyek P4 mulai dilakukan, masyarakat baru satu kali mendapat sosialisasi tentang kebencanaan. Beberapa capaian proyek P4 yang dilaksanakan di desa Hadiwarno adalah : 1. Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana 2. Tersusunnya peta daerah rawan bencana dan peta jalur evakuasi 3. Tersusunnya RAK untuk pengurangan risiko bencana Perkembangan capaian indikator ketangguhan di desa Hadiwarno cukup signifikan, dimana terjadi peningkatan dari nilai 3 (baseline) menjadi 12 (endline). Rinciannya bisa dilihat dalam grafik berikut :


Meski ada peningkatan poin dalam penilaian ketangguhan, tetapi jika dibandingkan dengan desa lain, perkembangan desa Hadiwarno kurang memuaskan. Hal ini dikarenakan pelaksanaan kegiatan RAK belum tuntas, masih pada tahap-tahap awal pelaksanaannya. Masih ada beberapa kegiatan yang belum dilakukan karena beberapa kendala, seperti penjadwalan kegiatan yang harus menyesuaikan dengan kegiatan warga. Sementara pendampingan pelaksanaan RAK dalam proyek P4 di desa Hadiwarno baru dimulai bulan Februari 2014, dan penilaian endline dilakukan pada bulan Mei 2014. Desa Sidomulyo Ancaman utama di desa Sidomulyo adalah tsunami di sepanjang pesisir pantai dan kekeringan di daerah perbukitan. Meski belum pernah mengalami terkena dampak tsunami secara langsung, tetapi dampak tsunami Banyuwangi (1994) dan Tsunami Aceh (2006) dirasakan oleh masyarakat Sidomulyo, meskipun tidak besar. Selain itu, kekeringan menjadi ancaman yang datang rutin setiap musim kemarau di daerah perbukitan sebelah Utara desa Sidomulyo. Masyarakat di Sidomulyo sangat antusias dalam pelaksanaan proyek P4. Ini dapat dilihat dari tingkat partisipasi tokoh masyarakat dan warganya pada setiap kegiatan. Dari beberapa kegiatan yang telah dilakukan di Sidomulyo, ada beberapa hasil yang telah dicapai, di antaranya : 1.

Meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana

2.

Tersusunnya peta daerah rawan bencana dan peta jalur evakuasi

3.

Tersusunnya RAK untuk pengurangan risiko bencana

4.

Terbentuknya forum relawan tingkat desa

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

43


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Capaian indikator ketangguhan di desa Sidomulyo sangat cepat, dari semua nilai 6 (baseline) menjadi 24 (endline). Rincian perbandingan masing-masing indikator bisa dilihat pada grafik di bawah ini :

44

Berdasarkan grafik penilaian di atas, peningkatan ketangguhan di desa Sidomulyo terlihat dengan jelas. Hampir di semua aspek penilaian mengalami peningkatan. Perkembangan ini cukup memuaskan mengingat sampai saat penilaian dilakukan, beberapa kegiatan di desa Sidomulyo masih tetap berjalan. Hal ini tidak lepas dari tingkat partisipasi warga yang tinggi dan pemerintah desa yang mendukung pelaksanaan proyek P4 di desa Sidomulyo. Sesuai dengan permintaan dari warga, sosialisasi kebencanaan dilakukan sampai tingkat dusun melalui forum-forum temu warga seperti arisan dan pengajian ibu-ibu. Forum relawan tingkat desa yang terbentuk juga cukup aktif dalam melakukan pertemuan-pertemuan untuk koordinasi dan diskusi dengan pendamping dari STKIP PGRI Pacitan. 2.1.2. Kabupaten Pasuruan Desa Wonokitri Desa Wonokitri memiliki ancaman yang berbeda dibanding dengan desa lain yang masuk dalam proyek P4. Ancaman bencana desa Wonokitri adalah erupsi gunungapi dan tanah longsor. Hal ini dikarenakan letak desa Wonokitri yang berada di lereng Gunung Bromo dengan kemiringan tanah yang cukup terjal. Tanah longsor seringkali terjadi dan kadang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Sebelum pelaksanaan proyek P4, ada beberapa warga desa yang sudah terlebih dahulu terlibat upaya pengurangan risiko bencana dalam Komunitas kebencanaan KOBAR Bromo Semeru. Selain itu, sebenarnya masyarakat sudah mempunyai beberapa kapasitas dalam penanggulangan bencana meski belum terlembagakan dengan baik. Proyek P4 kemudian mendorong untuk melembagakan mekanisme dan partisipasi warga dalam penanggulangan bencana. Beberapa hasil di desa Wonokitri antara lain adalah:


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

1. RAK untuk pengurangan risiko bencana 2. Peta jalur evakuasi 3. Masuknya pos anggaran kebencanaan dalam RAPBDes 4. Ikatan kerjasama antara pemerintah Desa dan Paguyuban Jeep

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Peningkatan capaian indikator ketangguhan di desa Wonokitri cukup bagus, dari semua nilai 17 (baseline) menjadi 37 (endline). Rinciannya ditunjukkan pada grafik berikut:

45

Kontribusi program P4 tampak jelas dari peningkatan poin ketangguhan. Dari poin awal yang hanya 17 kemudian menjadi 37 menunjukkan perkembangan yang cukup pesat dari Desa Wonokitri. Hampir semua aspek mengalami peningkatan, baik pada sisi kebijakan, perencanaan, kelembagaan, pendanaan, kapasitas dan penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tingkat partisipasi warga yang cukup tinggi menjadi faktor yang sangat membantu pelaksanaan proyek P4 di Wonokitri. Sementara tantangannya adalah warga yang menganggap tabu kalau membicarakan bencana, terutama jika menyangkut ancaman dari Gunung Bromo. Model pendekatan yang dilakukan oleh pendamping kemudian adalah dengan cara mengikuti budaya dan kebiasaan setempat. Pendekatan ini ternyata cukup efektif, terbukti dalam waktu yang cukup singkat, sekitar 3 bulan, peningkatan poin ketangguhan cukup tinggi. Desa Kedawung Kulon Banjir yang berasal dari sungai Rejoso yang membelah desa menjadi ancaman utama di desa Kedawung Kulon. Banjir tahun 2008 merupakan banjir terbesar yang pernah terjadi dan melumpuhkan desa Kedawung Kulon. PG Kedawung yang berada di desa Kedawung Kulon menjadi salah satu perusahaan yang kemudian terlibat dalam penanganan tanggap darurat, selain beberapa toko retail yang berada di desa Kedawung Kulon.


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Beberapa warga desa Kedawung Kulon sudah terlatih dalam tanggap darurat bencana, bahkan sudah terbentuk komunitas relawan tanggap darurat. Tetapi mekanisme dan kelembagaan penanggulangan bencana belum terbentuk di tingkat desa. Kerjasama dalam tanggap darurat antara desa dengan perusahaan juga sudah ada, tetapi belum dalam bentuk kerjasama formal. Berangkat dari kondisi yang ada, proyek P4 mengajak desa dan masyarakat untuk merencanakan mekanisme dan pelembagaan penanggulangan bencana di tingkat desa. Beberapa hasil dari kegiatan proyek ini adalah : 1. RAK dalam pengurangan risiko bencana 2. Ikatan kerjasama dengan PG Kedawung 3. Peningkatan partisipasi warga dalam pengurangan risiko bencana 4. Alokasi dana penanggulanan bencana di desa Capaian indikator ketangguhan di desa Kedawung Kulon mengalami kenaikan yang drastis, dari nilai 8 (baseline) menjadi 36 (endline). Rinciannya ditujukkan oleh grafik berikut:

46

Melihat dari grafik perbandingan baseline dan endline, perkembangan ketangguhan desa Kedawung Kulon sangat pesat. Seluruh aspek dalam poin penilaian meningkat, terutama pada sisi kebijakan dan kelembagaan serta penyelenggaraan penanggulangan bencana. Poin-poin kemajuan yang telah dicapai merupakan modal dasar bagi pengembangan desa tangguh bencana ke depannya. Selain kesadaran masyarakat yang telah terbentuk pada adanya ancaman bencana banjir yang tiap tahun selalu datang, kemajuan ini juga tidak lepas dari tingginya partisipasi masyarakat dan pemerintah desa dalam mendukung pelaksanaan proyek P4. Peran dari perusahaan dan pemerintah daerah juga memberikan kontribusi yang


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

tidak sedikit, utamanya PG Kedawung dan BPBD yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan proyek. Desa Kalirejo

Melihat kondisi tersebut, kemudian proyek P4 mengajak masyarakat untuk membuat perencanaan penanggulangan bencana. Sebagian hasil dari pelaksanaan proyek ini di desa Kalirejo adalah : 1. RAK untuk pengurangan risiko bencana 2. Alokasi dana desa untuk penanggulangan bencana 3. Ikatan kerjasama pemerintah Desa dengan STMIK Yadika untuk pengurangan risiko bencana Capaian indikator ketangguhan di desa Kalirejo mengalami kenaikan sedikit, dari nilai 25 (baseline) menjadi 34 (endline) pada akhir proyek. Rinciannya ditunjukkan oleh grafik berikut:

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Karena hampir setiap tahun mengalami banjir, masyarakat di Desa Kalirejo sudah mempunyai kesadaran dalam kesiapsiagaan bencana. Mereka mengetahui apa yang harus segera dilakukan saat banjir mulai melanda. Beberapa warga juga telah mendapat pelatihan dalam kebencanaan seperti teknik SAR, mendirikan tenda dan dapur umum.

47

Dibandingkan dengan desa-desa lain yang masuk dalam proyek P4 di kabupaten Pasuruan, perkembangan desa Kalirejo relatif rendah. Meski poin awalnya lebih tinggi dari desa Wonokitri maupun Kedawung Kulon, tetapi poin akhir penilaian justru lebih rendah. Sedikit peningkatan terjadi adalah pada sisi kebijakan dan pendanaan.


Rendahnya capaian proyek P4 di desa Kalirejo dikarenakan sulitnya mengatur jadwal kegiatan dengan masyarakat. Sehingga beberapa kegiatan harus tertunda, sementara durasi pelaksanaan pendampingan pelaksanaan RAK dalam proyek ini di desa hanya 3 bulan. 2.2.3.

Kabupaten Lamongan

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa Truni Sadar bahwa wilayahnya langganan banjir, membuat segenap perangkat dan warga desa sangat kooperatif dalam pelaksanaan proyek P4. Dibandingkan dengan desadesa lain yang masuk dalam proyek ini, hasil yang dapat dicapai di desa Truni adalah yang paling banyak. Di antara beberapa capaian di desa Truni adalah : 1. Terbentuknya forum PRB tingkat Desa 2. Tersusunnya Dokumen RAK 3. Tersusunnya Peta dan Kajian Risiko Bencana dan Rencana Kontingensi 4. Terselenggaranya pelatihan relawan bencana Perkembangan capaian indikator desa tangguh sangat besar di desa Truni, yaitu dari nilai 7 (baseline) dan menjadi 44 (endline) sesudah proyek P4 dilaksanakan. Rinciannya ditunjukkan oleh grafik di bawah ini :

48

Dibanding dengan desa-desa yang masuk dalam proyek P4, peningkatan ketangguhan desa Truni lebih banyak dari desa-desa lain. Hal ini dikarenakan pelaksanaan RAK di desa Truni mulai lebih dulu dibanding dengan desa lain. Pendampingan pelaksanaan RAK di desa Truni sudah dimulai sejak bulan Agustus 2013. Selain itu, capaian ketangguhan juga dikarenakan tingkat partisipasi warga yang tinggi dan pemerintah desa yang memberikan dukungan penuh pada pelaksanaan RAK. Semangat warga ini kemudian


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

disambut positif oleh BPBD Kabupaten dengan memberikan dukungan pada setiap kegiatan pelaksanaan RAK di desa. Sehingga pada waktu penilaian dilakukan, hampir semua kegiatan RAK yang didukung proyek ini telah dilakukan. Hampir di semua aspek penilaian mengalami peningkatan yang cukup tinggi. Seperti halnya Desa Truni, banjir juga menjadi ancaman utama di desa Bulutigo. Meski sudah ada tanggul, tetapi itu belum cukup menjamin Desa Bulutigo aman dari ancaman banjir. Secara alami, masyarakat sudah mempunyai mekanisme kesiapsiagaan terhadap ancaman banjir. Namun itu semua belum terlembagakan dengan baik. Proyek P4 yang dilaksanakan kemudian menjadi sarana yang cukup efektif untuk memperkuat dan melembagakan kesiapsiagaan yang sudah ada. Beberapa hasil dari proyek ini di desa Bulutigo adalah : 1. Terbentuknya forum PRB 2. Tersusunya Dokumen RAK 3. Tersusunnya Peta dan Kajian Risiko Bencana 4. Terselenggaranya pelatihan bagi relawan desa Terjadi peningkatan capaian indikator ketangguhan yang signifikan di desa Bulutigo, yaitu dari nilai 17 (baseline) menjadi 34 (endline) pada akhir proyek. Rinciannya ditunjukkan oleh grafik berikut :

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

Desa Bulutigo

49

Meski pelaksanaan pendampingan di desa Bulutigo sedikit tertinggal dari desa Truni, tetapi perkembangannya cukup memuaskan. Peningkatan ketangguhan di desa Bulutigo meliputi semua aspek penilaian, baik pada sisi kebijakan, perencanaan,


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur 50

kelembagaan, pendanaan, peningkatan kapasitas, dan penyelanggaraan penanggulangan bencana. Sementara desa Truni sudah mulai pada bulan Agustus 2013, desa Bulutigo karena terkendala berbagai hambatan baru dapat mulai pada bulan Februari 2014. Namun karena kesadaran akan ancaman bencana yang mereka hadapi cukup baik, warga melaksanakan proyek P4 Pelatihan relawan di Lamongan dengan antusias. Yang masih kurang sebenarnya adalah dukungan dari perusahaan dalam pengurangan risiko bencana di desa Bulutigo. 2.3. Peningkatan Ketangguhan Desa Melihat hasil pelaksanaan proyek P4 yang telah dilakukan, terlihat jelas perbedaan tingkat capaian dari masing-masing desa. Desa Hadiwarno dan Sidomulyo di Pacitan, desa Kedawung Kulon di Pasuruan, dan desa Truni di Lamongan mengalami kenaikan yang tinggi (di atas 300% dari nilai baseline). Sementara desa Wonokitri di Pasuruan dan desa Bulutigo di Lamongan meski ada kenaikan capaian indikator ketangguhan, tetapi tidak cukup tinggi. Sedangkan desa Kembang dan Sirnoboyo kenaikannya bisa dikatakan rendah, karena sebelum pelaksanaan proyek P4 kedua desa tersebut mempunyai penilaian ketangguhan yang sudah tinggi. Rincian perubahan capaian indikator ketangguhan masing-masing desa diperlihatkan dalam tabel berikut. NO DESA Kabupaten Pacitan: 1 Kembang 2 Sirnoboyo 3 Hadiwarno 4 Sidomulyo Kabupaten Pasuruan: 5 Wonokitri 6 Kalirejo 7 Kedawung Kulon Kabupaten Lamongan: 8 Truni

9

Bulutigo

BASELINE

ENDLINE

PERUBAHAN

47 39 3 6

56 46 12 24

19% 18% 300% 300%

17 25 8

37 34 36

118% 36% 350%

7

44

529%

13

34

162%


 Rata-rata Perubahan   203% Secara persentase, perubahan hasil dari capaian program sangat besar, yaitu rerata 203%. Akan tetapi, peningkatan besar hanya terjadi pada pada desa-desa yang nilai baselinenya sangat kecil, seperti Hadiwarno (3), Sidomulyo (6), Kedawung Kulon (8), dan Truni (7). Tentunya, nilai kecil saat baseline, akan memberi dampak persentase perubahan yang lebih besar, karena nilai pembaginya lebih kecil. Di sisi lain, untuk desa yang sudah memiliki nilai baseline besar, seperti Kembang (47) dan Sirnoboyo (39) hanya mengalami peningkatan kurang dari 20%. Persentase peningkatan perubahan ini menunjukkan perkembangan capaian indikator ketangguhan, tetapi tidak secara langsung menunjukkan tingkat ketangguhan; karena itu ditentukan oleh nilai endline yang merepresentasikan capaian indikator desa tangguh bencana. Misalnya, desa Kembang (yang perubahannya hanya 19%) lebih tangguh daripada desa Truni (yang perubahannya 529%). Tabel di atas juga memperlihatkan bahwa peningkatan capaian indikator ketangguhan lebih mudah dilakukan ketika desa tersebut masih memiliki nilai yang rendah (di bawah 10). Sebaliknya, kalau desa sudah memiliki nilai di atas 36 (tangguh madya) untuk ditingkatkan menjadi minimal 51 (tangguh utama), maka dibutuhkan usaha yang lebih keras dan waktu yang lebih lama. Hal ini menunjukkan bahwa jenjang kategori ketangguhan desa didasarkan pada tingkat kesulitan pemenuhan indikator ketangguhannya. Berdasarkan diskusi dengan masyarakat dan mitra pelaksana di 3 kabupaten tersebut, ditemukan bahwa faktor utama dari tingginya capaian (rerata 203%) dari pelaksanaan proyek P4 adalah tingginya partisipasi dari masyarakat dan peran pemerintahan desa. Ini terjadi pada pelaksanaan proyek di desa Wonokitri dan Kedawung Kulon di Pasuruan, desa Hadiwarno dan Sidomulyo di Pacitan, dan desa Truni dan Bulutigo di Lamongan. Selain itu, pendampingan dari lembaga masyarakat sipil (LSM) serta dukungan yang diberikan BPBD terhadap kegiatan RAK di desa mampu mendorong percepatan dalam membangun ketangguhan di desa. Di lain pihak, kontribusi dari perusahaan dan perguruan tinggi juga menambal kekurangan dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat. Hal ini dengan jelas terlihat pada pelaksanaan kegiatan di desa Kedawung Kulon di Pasuruan, desa Hadiwarno dan Sidomulyo di Pacitan. Sinergi multipihak inilah yang kemudian mempercepat proses pencapaian indikator ketangguhan. Sedangkan desa-desa yang peningkatannya cenderung rendah penyebab utamanya adalah tingkat partisipasi masyarakat yang relatif rendah dan kurangnya dukungan pemerintah desa terhadap pelaksanaan program. Sehingga proses penyusunan RAK dan pelembagaan kebencanaan di tingkat desa cenderung lambat. Tanpa adanya lembaga kebencanaan di tingkat desa, proses koordinasi dan peningkatan kapasitas menjadi sulit dilakukan. Di sisi lain, untuk mendapatkan dukungan dari BPBD, SKPD, perguruan tinggi dan perusahaan, dibutuhkan adanya lembaga kebencanaan di tingkat desa. Pengalaman pelaksanaan proyek ini menunjukkan bahwa para pihak, SKPD, perguruan

Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

51


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur 52

tinggi, LSM, dan perusahaan, akan bisa dengan mudah memberikan kontribusinya dalam pengembangan ketangguhan, kalau di desa sudah memiliki organisasi untuk menjalin komunikasi dan kerjasama. Pelembagaan upaya pengurangan risiko bencana di tingkat desa/ kelurahan menjadi strategis untuk dilakukan, karena ini akan membawa pada kerjasama dengan banyak pihak lain. Hal ini menjadi titik tekan konsep Perwakilan dari desa mempresentasikan Public, Private and People Partnership rencana mereka kepada para pihak di (P4) dimana “People� (masyarakat) Pacitan menjadi pusat dan prasyarat utama dalam membangun kemitraan dengan banyak pihak (people centered approach). Rencana masyarakat harus menjadi basis untuk membangun kemitraan. Di sinilah pelembagaan pengurangan risiko bencana di desa/kelurahan menemukan konteks dan justifikasinya.


Praktik Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat di Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

53


Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

5 55 5

BAB 3

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur


BAB III

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

56

3.1. Dinamika Kemitraan P4 di 3 Kabupaten di Jawa Timur 3.1.1. Inisiatif dari Lapis Kedua BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di banyak kabupaten di Indonesia umumnya baru berusia antara 3 - 4 tahun. Sebagian BPBD mengalami kemajuan dalam mengelola kebencanaan baik karena telah menerima sejumlah intervensi berupa program atau proyek dari BNPB maupun lembaga lain. Sebagian lainnya masih tertatih dengan sejumlah keterbatasan, baik keterbatasan sumber daya manusia, sarana dan prasarana, maupun kendala struktural semisal praktik ‘mutasi politik’ pimpinan maupun rendahnya jumlah anggaran operasional. Baik di kabupaten Pacitan, Lamongan maupun Pasuruan, mutasi kepala pelaksana BPBD sudah pernah terjadi. Di Lamongan bahkan sudah berlangsung beberapa kali. Pak Ratna sedang fasilitasi diskusi Sebagaimana umum diketahui, posisi bersama masyarakat di Pacitan seorang kepala pelaksana BPBD di banyak daerah di Indonesia adalah posisi ‘rentan’ untuk diganti sewaktu-waktu melalui ‘mutasi politik’.10 Proses perubahannya merupakan kebijakan kepala daerah dengan pertimbangan yang tidak selalu berdasarkan penempatan seseorang berdasarkan keahliannya. Dengan demikian, pergantian pucuk pimpinan di BPBD tidak berlangsung 10 Mutasi politik adalah konsep yang menjadikan mutasi sebagai ruang untuk menempatkan orangorang sesuai keinginan pemimpin dalam hal ini bupati/walikota agar tujuan individunya bisa tercapai. Sebaliknya, Politik mutasi adalah upaya sadar yang dilakukan oleh pemimpin di sebuah lembaga untuk mengganti elemen-elemen organisasi guna memaksimalkan keuntungan atau keberhasilan sebagaimana diatur berdasarkan UU No. 43 Tahun 1999. Moral utama mutasi di sini adalah kesejahteraan semua orang melalui penempatan staf yang tepat pada tempat yang tepat (Bataha, Katerina. “Kebijakan Mutasi Jabatan Struktural di Lingkup Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe.” Jurnal Administrasi Publik 1.1 (2013).


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Di BPBD Pacitan, Kepala Pelaksana (Kalak) yang menjabat pada periode awal merupakan figur yang dianggap tepat oleh banyak mitra. Hal ini tampak saat program P4 berlangsung, walau ‘mantan Kalak’ ini tidak lagi menjabat, namun memori atas kegiatannya selama menjadi Kalak dengan sikap kerelawanan yang laik dicontoh tetap membekas pada diri setiap orang yang pernah bersama-sama dengannya mengurusi bencana dan masih aktif di lembaga masing-masing. Kalak ini mampu membangun relasi dengan orang-orang dari lembaga berbeda dan bahkan mudah dijumpai di waktu-waktu tertentu di mana isu kebencanaan dibicarakan di tengahtengah masyarakat. Kantor BPBD lalu menjadi tempat yang nyaman bagi pihak lain dan menjadi “ruang publik” untuk menggali dan berbagi pengetahuan. Setelah mutasi politik terjadi, salah satu dampaknya adalah para anggota kemitraan dari berbagai kalangan membutuhkan waktu relatif lama untuk beradaptasi dan menerima perubahan tersebut. Hal ini juga terjadi di kabupaten Lamongan, di mana sejak 2011 telah terjadi pergantian Kalak BPBD sebanyak empat kali. 11 Mengingat dampaknya yang negatif terhadap kemitraan, maka praktik ‘mutasi politik’ yang tidak berdasarkan pada kelaikan antara kapasitas seorang birokrat dengan wilayah kerjanya tidak bisa terus-menerus diterapkan. Seharusnya ada regulasi khusus untuk mengatur peralihan pimpinan setingkat ‘kepala pelaksana’ demi menjamin keberlanjutan kemitraan antar berbagai elemen di sebuah kabupaten. Di Kabupaten Lamongan, ada Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD yang memegang kendali kemitraan di tengah kerapnya pergantian jabatan Kalak. Bagi sejumlah aktifis kebencanaan Lamongan, peran Jumali amat sentral dan membantu mempererat ikatan kemitraan dengan berbagai aktor. Sementara itu, di Kabupaten Pacitan hal serupa juga terjadi. Kepala Seksi pencegahan dan kesiapsiagaan BPBD Pacitan banyak memainkan peran demi menjaga ritme ‘gerakan sosial’ kebencanaan yang baru muncul agar semakin banyak orang terlibat dan terintegrasi satu sama lain. Ia memiliki semangat kerelawanan walaupun posisinya adalah seorang birokrat pemerintah. Ia berani mengambil langkah-langkah tertentu berdasarkan pertimbangan pribadinya (diskresi), yang tidak selalu menjadi bagian tupoksinya, dan di sisi lain juga tidak melanggar aturan perundang-undangan. Upayanya tampak dari 11 BPBD Lamongan terbentuk pada 20 Januari 2011 dengan payung hukum berupa Perbup No.27 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi BPBD Kabupaten Lamongan dan Perda No.1 Tahun 2010. Kalak pertama adalah Soni dan sekertarisnya Suprapto. Sebelum pensiun, Soni pindah di BKKBN dan Suprapto menjabat sebagai ‘Pelaksana Tugas’ selama 1 tahun 6 bulan. Pada Agustus 2012, Mubarok dilantik sebagai Kalak BPBD baru hingga akhirnya meninggal pada 2013. Suprapto kembali menjabat sebagai Pelaksana Tugas selama 1 bulan. Pada Mei hingga Desember 2013 Kalak baru dilantik, yakni Bobi menggantikan Mubarok. Terakhir, Suprapto pada 1 Januari 2014 secara definitif menjabat sebagai Kalak BPBD yang baru (wawancara dengan Suprapto, Kepala Pelaksana BPBD, pada tanggal 30 April 2014).

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

secara teratur berdasarkan ‘manajemen birokrasi yang baik’. Akibatnya, setiap terjadi perubahan pimpinan selanjutnya akan mengikuti berubahnya ‘cara kerja’ lembaga. Dampaknya bisa pada berubahnya relasi kemitraan antar aktor yang bisa bermakna ‘positif’ seperti menguatkan ikatan kemitraan maupun ‘negatif’ yakni melemahkan hubungan kemitraan.

57


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

cara mengelola mitra secara informal dan bersedia menanggalkan ‘seragam birokrat’ demi memudahkan komunikasi dengan pihak perusahaan dan elemen masyarakat sipil lainnya, baik dari akademsi kampus maupun aktifis desa. Kunci dari informalitas adalah keramahan, keterbukaan pikiran, dan semangat untuk selalu mengembangkan diri, khususnya mengembangkan pengetahuan terkait kebencanaan.12

58

Peran penting lain yang dimainkan Kepala Seksi (Kasi) Pencegahan dan Kesiapsiagaan, selain mengatasi dampak negatif ‘mutasi politik’, adalah menyiasati rendahnya anggaran operasional BPBD, khususnya di bidang penanggulangan bencana. Misalnya, anggaran sosialisasi BPBD dengan tujuan membangun kesadaran publik akan ancaman bencana di kabupaten Pacitan hanya 20 juta rupiah per tahun. Salah satu cara mengatasinya adalah BPBD mengembangkan jaringan kerjasama atau kemitraan dengan pihak lain, baik di ranah pemerintahan maupun perusahaan. Di kabupaten Pacitan, salah satu mitra yang sejauh ini telah bekerjasama dengan BPBD adalah beberapa perusahaan yang beroperasi di wilayah ini. Model kerjasama yang mereka kembangkan adalah model informal. Pilihan ini dipilih secara sadar baik oleh BPBD maupun pihak perusahaan. Dalam membangun kemitraan dengan para perusahaan, BPBD menggunakan cara yang disukai orang perusahaan, seperti membangun komunikasi secara informal. Sejumlah ‘diskusi santai’ kerap mereka lakukan untuk membangun kesepahaman bersama dan kemudian menyiapkan langkah-langkah untuk terlibat dalam merespon keadaan darurat seperti ancaman terjadinya banjir.13 Dengan cara-cara informal ini, komunikasi berjalan dengan baik dan tetap dipertahankan oleh kedua pihak baik saat menghimpun anggaran ataupun mengalokasikan anggaran bantuan bencana. Mereka mengelolanya bersama-sama dan sejauh mungkin bersifat transparan. Berapapun banyaknya bantuan terkumpul dari pihak perusahaan dan berapapun banyaknya bantuan yang telah didistribusikan akan disampaikan melalui media komunikasi yang telah disepakati bersama seperti whatsapp, facebook maupun email. Beberapa perusahaan yang telah membangun kemitraan dengan BPBD Pacitan adalah Telkomsel, Putera Pacitan Indonesia Sejahtera (PPIS), Bank JATIM, Bank Negara Indonesia (BNI), Wahyu Praja Perkasa (WWP), Semen Indonesia dan Linggarjati Mahardika Mulia (LLM). Sejauh ini belum ada kesepakatan untuk melembagakan kemitraan ini. Lagi pula, sebagai staf BPBD yang dipercaya oleh pihak perusahaan, peran Kasi menjadi penting untuk menjaga kepercayaan yang telah diberikan pihak perusahaan. Untuk itu, ia telah menyampaikan kepada seluruh staf BPBD Pacitan bahwa tak boleh sepeser pun bantuan dari mitra digunakan untuk anggaran operasional kantor dan kepentingan pribadi. Prinsip kejujuran dan transparansi menjadi syarat utama demi menjaga kepercayaan ini. Mengenai apakah kemitraan ini kelak akan dilembagakan, bagi BPBD, akan tiba waktunya kemitraan yang bersifat informal ini dilembagakan. Sekarang ini yang dapat 12 Wawancara dengan Ratna Budiono, Kepala Seksi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan, 22 April 2014. 13 Ibid.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Ratna Budiono adalah salah satu pejabat di BPBD Kabupaten Pacitan. Sebagai Kepala Seksi (Kasi) di BPBD, dia menyadari bahwa Badan tempatnya bekerja mengalami kesulitan untuk mendapatkan dana yang mencukupi dalam menjalankan program untuk masyarakat. Kemudian dia secara personal mulai berkomunikasi dengan teman-teman yang bekerja di sektor swasta. Telkomsel adalah perusahaan pertama yang bersedia untuk bekerjasama dengan BPBD Pacitan dalam penanganan bencana di daerah. Beberapa waktu kemudian, BPBD juga bekerjasama dengan PPIS —pihak ketiga yang menjadi pengelola anggaran CSR PT HM. Sampoerna— untuk menjalankan program penyediaan air bersih. Mereka ditawarkan apakah kegiatannya dilaksanakan secara langsung ke masyarakat atau bersama dengan BPBD. Model kerjasama dan komunikasi seperti itu menjadikan hubungan lembaga usaha dengan BPBD Pacitan semakin dekat, bahkan perusahaan yang bemukim di ibukota provinsi, Surabaya, tidak segan-segan menggelontorkan anggarannya secara langsung ke Pacitan tanpa melalui induk pihak ketiganya di Surabaya. Menurut Ratna, lembaga usaha sebenarnya tidak begitu memperdulikan ketika dihadapkan dengan regulasi dan formalitas yang kaku. Di sinilah peran personal menjadi sangat penting untuk melakukan pendekatan. Apalagi sebenarnya lembaga usaha ini sangat terbuka ketika didekati dengan pola komunikasi yang informal. Seperti yang dilakukan Ratna dengan berkunjung ke Bank BNI untuk sekadar berdiskusi sembari menikmati seduhan kopi di luar jam kedinasannya. Tidak menggunakan baju kedinasan merupakan salah satu strategi yang Ratna gunakan untuk menciptakan suasana yang santai dan bersahabat dengan lembaga usaha. Ratna mengistilahkan metode pendekatanya ke lembaga usaha dengan memanusiakan manusia atau di dalam bahasa Jawa nguwongke. Lebih lanjut, Ratna menjelaskan bahwa lembaga usaha sebenarnya sangat terbuka dengan tawaran kerjasama dan menyisihkan sebagian uangnya untuk anggaran program lingkungan dan kebencanaan. Kita hanya cukup mempercayai mereka agar mereka juga mempercayai kita, apalagi kepercayaan terhadap institusi kebencanaan yang baru ini (BPBD) masih sangat minim dan itu wajar. Ketika diberikan kepercayaan sumbangan dana dari donatur, Ratna membuat laporan secara riil kepada pemberi dana program. Laporan tidak hanya berbentuk tulisan, tetapi juga foto dan video kegiatan serta menyebarkannya lewat jejaring sosial facebook. Dari model pelaporan yang menggunakan facebook ini berimplikasi ke hal lain, yakni semakin banyak personal, perusahaan maupun kelompok masyarakat lain tertarik untuk menyerahkan uangnya kepada BPBD untuk dikelola. Setelah melihat laporan kegiatan, biasanya mereka segera mengirim surat melalui layanan email. (Sumber: wawancara dengan Ratna Budiono tanggal 22 April 2014 di Pacitan)

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Ratna Budiono: Membangun Komunikasi Informal dengan Lembaga Usaha

59


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 60

dilakukan barulah pada upaya membuka ruang partisipasi seluas mungkin dengan menyediakan akses semudah mungkin bagi siapapun. Cara membangun kemitraan ini menjadi penting, karena pada akhirnya bukan hanya pihak-pihak perusahaan saja yang bisa masuk bermitra, namun sejumlah organisasi sosial dan kampus juga memungkinkan berjalan bersama mengurusi bencana (broadening space of participation). Bahkan, di internal pemerintah daerah cara yang sama tetap digunakan oleh pejabat BPBD. Ia mengunjungi setiap sektor pemerintahan untuk mendiskusikan pentingnya pengarusutamaan ‘pengurangan risiko bencana’ dalam setiap sektor (SKPD) dan jika memungkinkan BPBD yang minim anggaran oprasional dapat turut serta dalam sosialisasi program SKPD tertentu ke seluruh desa tanpa kecuali secara cuma-cuma. Dalam model kemitraan pengelolaan bencana yang sedang dikembangkan di Pacitan, dapat dikatakan bahwa kemitraan haruslah dipandang sebagai sebuah ‘proses ketimbang hasil’. Proses ini menunjukkan adanya upaya BPBD melakukan pencarian terus-menerus bentuk yang pas untuk menjaga keterikatan sejumlah aktor dari berbagai institusi. Dapat dikatakan pula bahwa bentuk kemitraan informal adalah capaian saat ini yang paling memungkinkan untuk digunakan dan Diskusi para pelaku di Pasuruan efektif dalam menggaet semakin banyak pihak untuk masuk bergabung dalam kemitraan. Karena kemitraan dipandang sebagai proses, maka bagaimanapun bentuk kemitraannya itu tidaklah menjadi penting, apakah informal ataukah formal, namun yang lebih penting ialah apakah kemitraan berjalan atau mandek. Berbeda dengan BPBD Pacitan, BPBD Pasuruan masih mengalami kesulitan membangun pola kemitraan informal. Upaya menjajaki cara-cara resmi atau formal sudah ditempuh oleh BPBD Pasuruan. Namun, BPBD Pasuruan mengalami kesulitan melibatkan perusahaan untuk bersama-sama mengatasi dampak bencana secara terintegrasi. Tampaknya, upaya-upaya formal--seperti melalui rapat-rapat koordinasi, Pusdalops dan latihan gabungan--yang menjadi pilihan BPBD Pasuruan dalam menggaet minat institusi lain untuk bermitra belum menunjukkan hasil baik. Menurut Sekretaris BPBD Pasuruan, suatu kali BPBD pernah mengundang perusahaanperusahaan untuk hadir memberi masukan dalam penyusunan Rencana Strategis (Renstra) BPBD; tetapi hanya sebagian kecil perusahaan yang bersedia menghadiri pertemuan tersebut. Tentu ada sejumlah alasan mengapa pihak perusahaan kurang berminat, dan salah satunya adalah perusahaan menganggap bahwa Renstra BPBD tidak berkaitan langsung dengan kepentingan mereka.14 14 Wawancara dengan Saiful Anwar, Sekretaris BPBD Pasuruan, pada tanggal 24 April 2014.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Sebenarnya BPBD Pasuruan berkeinginan untuk membangun kemitraan secara informal dengan pihak perusahaan, namun saat ini belum ada staf BPBD yang bisa menjalankan peran tersebut. Dengan belajar pada pengalaman membangun kemitraan informal di Pacitan, peran staf yang mau ‘menanggalkan seragam’ dan meninggalkan cara pandang kaku dalam bermitra merupakan syarat utama. Dengan menanggalkan sementara identitas institusi yang bersangkutan, maka sekat-sekat kelembagaan bisa didobrak dan dialog bisa dilangsungkan untuk membangun kemitraan. Sebagaimana pengalaman di Lamongan dan Pacitan, lapis kedua pejabat BPBD (yaitu Kepala Bidang/Seksi) bisa menjadi orang yang tepat untuk membangun komunikasi informal dengan pihak lain, termasuk perusahaan. 3.1.2. Keraguan Perusahaan Melibatkan perusahaan dalam kemitraan penanggulangan bencana merupakan pekerjaan sulit. Sudah banyak perusahaan diundang dalam pertemuan sosialisasi bahaya bencana sampai pelaksanaan pengurangan risiko bencana. Namun, dari pengalaman pelaksana program P4 ini, jumlah perusahaan yang hadir selalu sedikit. Padahal undangan pelibatan perusahaan ini selalu lebih dari belasan perusahaan. Biasanya hanya dua atau tiga perusahaan hadir, dengan peserta bukan pengambil kebijakan atau hanya staf biasa. Pada pertemuan berikutnya, sering kali staf biasa ini tak hadir dan digantikan dengan staf lain. Akibatnya, kesinambungan tujuan antara pertemuan sebelum dan pertemuan selanjutnya sulit dicapai. Hal ini merupakan bukti lain, bahwa pendekatan formal tidak berhasil untuk mengajak kerjasama perusahaan. Kegagalan pendekatan ini juga bisa dikarenakan siapa yang melakukannya, dalam hal ini adalah LSM pelaksana program. Dimana, banyak perusahaan yang “kurang berkenan” untuk bekerjasama dengan LSM, karena memiliki pengalaman yang kurang baik sebelumnya. Salah satu perusahaan yang memandang positif pola kemitraan ini adalah PT Putera Pacitan Indonesia Sejahtera (PPIS) yang bergerak di bidang produksi rokok. PPIS yang merupakan mitra PT HM Sampoerna memiliki karyawan hampir 1.500 pekerja yang mayoritas adalah perempuan. Menurut Koordinator Environment, Health and Savety (EHS) PPIS, kerjasama antara perusahaan dengan BPBD Pacitan sudah terbangun sejak BPBD berdiri. Sejumlah kegiatan kebencanaan sudah berlangsung dengan baik, misalnya sosialisasi tahunan soal ‘potensi dan bahaya bencana’’ bagi pekerja perusahaan dan simulasi tanggap darurat di areal perusahaan dengan jenis ancaman gempa bumi dan tsunami. 15 Wawancara dengan Yudha Triwidya, Kepala Pelaksana BPBD Pasuruan, pada tanggal 27 April 2014

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Menurut Kepala Pelaksana BPBD Pasuruan, dalam membangun kemitraan dengan perusahaan, BPBD menghadapi masalah penyesuaian kesibukan dari setiap aktor usaha. Bagaimanapun upaya BPBD mengatur waktu pertemuan dengan perusahaan, jumlah yang hadir dari perusahaan tidak pernah maksimal. Namun BPBD menganggap posisi perusahaan sangat penting dan karena itu BPBD akan tetap berupaya secara fleksibel mengatur pertemuan dengan pihak perusahaan.15

61


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 62

Sebagai perusahaan, PPIS memiliki dana CSR yang penyalurannya dilakukan setiap tiga bulan. Dalam kaitannya dengan alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana, PPIS berkoordinasi dengan BPBD. Fokusnya sejauh ini baru sebatas pada meringankan dampak paparan bencana terhadap korban, belum pada keseluruhan siklus bencana. Misalnya, karena Pacitan adalah wilayah yang memiliki ancaman kekeringan (pada bulan Oktober - Desember), maka ketika kekeringan terjadi, perusahaan segera mengucurkan sejumlah dana CSR untuk penyediaan air bersih bagi warga melalui koordinasi dengan BPBD. Selain itu, dana CSR juga dialokasikan secara internal untuk menguatkan kapasitas anggota tim EHS seperti sosialisasi dan pelatihan-pelatihan teknis meliputi penyusunan skenario dan jalur evakuasi, pelatihan penanggulangan bencana kebakaran, simulasi tanggap darurat untuk ancaman gempa bumi dan tsunami, penyusunan SOP bencana dan lain-lain. Di kabupaten Pasuruan, PT Tirta Investama (Danone-Aqua) yang bergerak di bidang air minum dalam kemasan (AMDK) juga tergolong perusahaan yang memandang positif pentingnya membangun kemitraan dalam tata kelola bencana. Baru-baru ini terbentuk Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) di Pasuruan.16 Sekretaris Jenderal terpilih adalah karyawan PT Tirta Investama dan menduduki posisi sebagai koordinator Program CSR di perusahaan tersebut. Ia merupakan calon terpilih dengan jumlah suara 70% saat pemilihan berlangsung.17 Sebagai seorang karyawan perusahaan, ia memiliki pemikiran bahwa penanggulangan bencana tidak mungkin bisa dikerjakan sendiri tanpa melibatkan kekuatan-kekuatan yang ada dalam masyarakat. Ia juga beranggapan bahwa sebagai karyawan pada perusahaan yang berorientasi profit, seorang karyawan juga harus mempertimbangkan sisi sosialnya. Seorang karyawan tidak sekadar mengurusi kepentingannya sendiri, namun penting pula menonjolkan kepedulian terhadap lingkungan sosial. Karena itu, ia bangga bekerja di Perusahaan ini yang dalam aktifitasnya juga mengaitkan antara kepentingan bisnis dan sosial. Salah satu wujud nyata kepedulian sosial tersebut adalah tersedianya alokasi anggaran untuk menanggulangi dampak bencana alam di Pasuruan. Selain itu, atas dukungan dari BPBD Pasuruan, perusahaan telah membentuk tim relawan yang dinamakan SKAWAN (Sukarelawan Karyawan Aqua Pandaan).18 Tak dapat dipungkiri, peran BPBD Pasuruan dalam membantu penguatan kapasitas tim relawan perusahaan cukup besar. Selain itu, BPBD juga memberikan arahan pengalokasian bantuan perusahaan 16 Proses persiapan hingga terbentuknya Forum berlangsung kurang lebih setahun. PT HM Sampoerna melalui Sampoerna Rescue merupakan penyokong utama terlaksananya Musyawarah Besar pembentukan Forum dan pemilihan pengurus Forum di Pasuruan. 17 Wawancara dengan Fafit Rahmat Aji di Pasuruan pada tanggal 28 April 2014. 18 Pembentukan SKAWAN merupakan bagian dari manajemen pengelolaan dana CSR PT Tirta Investama. Fungsinya adalah mendukung kerja-kerja sektoral di CSR, karena tidak mungkin CSR bisa mendalami semua sektor yang ditangani. Ada juga target yang sudah dibuat perusahaan mengenai berapa persen keterlibatan karyawan di dalam program-program sosial kemasyarakatan yang perusahaan lakukan. Saat ini, anggota SKAWAN berjumlah 154 orang dari 1000 lebih karyawan yang bekerja di perusahaan ini (Ibid).


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Saat ini, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forum PRB di Pasuruan sedang memperluas keterlibatan sejumlah perusahaan lain di Pasuruan yang sejauh ini masih bekerja sendiri-sendiri dalam berpartisipasi di bidang kebencanaan. Ia berharap dengan terintegrasinya sejumlah perusahaan dengan aktor lain seperti BPBD dan warga di wilayah terancam bencana, maka penanggulangan bencana secara menyeluruh dan komprehensif dapat terjadi. Untuk itu, sebagai Sekjen Forum PRB Pasuruan, ia pun mengandalkan pola komunikasi informal dengan aktor lain di luar perusahaan, di mana pada waktu-waktu tertentu ia akan menanggalkan ‘seragam perusahaannya’ dan mengenakan ‘seragam forum kerelawanan’ yang lebih bisa diterima secara luas dari berbagai kalangan atau lembaga. Dengan seragam ini pula ia berkesempatan untuk menjalin kemitraan dengan Forum PRB Provinsi Jawa Timur. Dibandingkan dengan PT PPIS dan PT Tirta Investama, contoh kemitraan paling baik bisa disematkan pada Pabrik Gula (PG) Kedawung di Pasuruan. Perusahaan ini sudah lebih dulu membangun kemitraan secara utuh yang melibatkan 3 aktor penting, yakni pihak Pemerintah Daerah (BPBD), Pemerintah desa, dan relawan di Desa Kedawung Kulon kabupaten Pasuruan. Di perusahaan PG. Kedawung, spirit kerelawanan ini ada pada diri sejumlah karyawan yang kemudian ikut arus mainstreaming kebencanaan dalam keseharian mereka, khususnya di perusahaan. Ketua serikat pekerja PG. Kedawung misalnya, ia menjadi penghubung antara karyawan dan manajer perusahaan dalam urusan pekerjaan. Di satu sisi, keberadaannya sebagai tim relawan juga menjadi mediator yang potensial menghubungkan antara relawan desa dan BPBD serta institusi lain di luar perusahaan dalam urusannya dengan upaya mengurangi dampak risiko bencana. Ketua serikat pekerja PG. Kedawung kenal baik dengan tokoh yang merupakan inisiator terbentuknya tim relawan desa Kedawung Kulon. Keduanya berasal dari desa yang sama yang secara rutin dilanda banjir. Bencana banjir yang melanda juga berimbas pada proses produksi pabrik gula di desa ini. Hal ini pulalah yang menjadi pemicu terbangunnya kemitraan antara perusahaan, desa serta BPBD dan institusi sosial lain di kabupaten Pasuruan. Pengalaman kemitraan perusahaan dengan institusi lain di luar mereka menjadi contoh baik yang membuktikan bahwa kemitraan dengan perusahaan dalam urusan kebencanaan bisa dijalin lebih dari sekadar tanggap darurat saja. Di luar contoh baik di atas, masih banyak perusahaan yang masih ragu atau tak tahu akan pentingnya kemitraan penanggulangan bencana ini. Sehingga, pekerjaan meyakinkan para pebisnis ragu ini sama sulitnya dengan membangun kesadaran kritis di ranah publik. Di Lamongan sendiri, sejumlah kesulitan pelibatan perusahaan

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

yang bersumber dari dana CSR kepada sasaran yang tepat berdasarkan hasil investigasi yang sudah dilakukan oleh BPBD. Salah satu contohnya adalah penyaluran bantuan pengadaan air bersih kepada sejumlah rumah tangga petani yang terpapar akibat bencana kekeringan. Bantuan yang perusahaan berikan ke masyarakat berupa tangki air bersih dan beberapa pompa listrik.

63


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

dihadapi baik oleh BPBD maupun aktor non-pemerintah. Di Lamongan, banyak perusahaan [hanya] berkantor di sana namun beroperasi di wilayah lain, semisal di kabupaten Tuban. Sehingga, mereka merasa belum memiliki kepentingan langsung atas upaya pengurangan risiko bencana di Lamongan.

64

Berdasarkan pengalaman beberapa perusahaan di Pacitan dan Lamongan yang terlibat dan berkontribusi dalam kemitraan membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana, ada 2 motivasi utama perusahaan. Pertama, nilai kerelawanan yang dimiliki oleh karyawan atau manajer perusahaan dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan untuk terlibat dan memberikan sebagian sumberdayanya untuk upayaupaya pengurangan risiko bencana. Kedua, apabila dampak bencana dirasakan langsung oleh perusahaan, seperti PG. Kedawung, maka mereka akan memberikan kontribusi yang lebih, karena pengurangan risiko bencana akan menjadi bagian dari investasi mereka untuk mengurangi kerugian terhentinya produksi akibat bencana. Pengalaman beberapa perusahaan tersebut juga menunjukkan bahwa kontribusi mereka dalam penanggulangan bencana merupakan bagian dari program CSR/TJSL yang dilaksanakan setiap tahun.

Pak Pengki: Tokoh Relawan di PG Kedawung Pasuruan Pabrik Gula Kedawung berada di wilayah administrasi desa Kedawung Kulon. Jadi secara administratif, pabrik yang merupakan bagian dari PTPN XI ini berkoordinasi langsung dengan pemerintah desa, dan salah satunya dalam bentuk penanganan bencana banjir yang rutin terjadi di desa ini. Banjir bagi perusahaan punya dampak langsung, yaitu proses produksi perusahaan terhenti. Untuk itu, saat Pak Bagong (tokoh desa) dan pemerintah desa memiliki inisiatif mengurangi risiko bencana banjir ini, perusahaan serta merta mengambil peran untuk mendukungnya. Salah satu bentuk dukungan itu, pada akhir tahun 2012 Perusahaan membangun tim relawan di dalam perusahaan dan menjadi bagian dari tim relawan desa Kedawung Kulon atau yang kini bernaung dalam Forum PRB desa Kedawung Kulon. Pak Pengki, salah seorang relawan dari perusahaan ini, juga memiliki semangat kerelawanan yang tinggi. Begitu Bagong menginisiasi terbentuknya tim relawan di desa ini, ia serta merta menjadi mitranya. Usia mereka lebih dari separuh baya, namun keduanya masih memiliki semangat tinggi layaknya orang-orang muda. Dengan perannya yang sentral di tim relawan desa dan di serikat pekerja ia mampu menghubungkan antara relawan desa dan di tingkat manajer perusahaan. Ia dengan mudah menghubungkan peran perusahaan dalam menangani ancaman bencana banjir di desa ini. Pada awalnya, Pengki kesulitan mengajak karyawan untuk menjadi relawan. Pola pikir seorang pegawai perusahaan tidak serta merta berpikir sosial. Di tengah pencariannya, ia menemukan karyawan-karyawan tertentu yang juga memiliki kepekaan sosial seperti dirinya dan Bagong. Ia pun mulai mengajak orang-orang


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Sejauh ini, antara perusahaan dengan pemerintah desa sudah kerap terjalin komunikasi dan diskusi membahas soal antisipasi bencana banjir. Berbagai upaya perbaikan saluran sanitasi dan pintu air dilakukan bersama. Bagi Pengki, koordinasi yang ia bangun dengan pihak manajer perusahaan telah memberi kesadaran baru bahwa pihak perusahaan perlu terlibat secara langsung dalam urusan kebencanaan ini. Dalam upaya ‘membujuk’ itu, ia lebih sering menggunakan cara informal ketimbang formal. Walau demikian, sebagian besar upaya informal ini (mendialogkan secara langsung tanpa mekanisme persuratan) justru menunjukkan hasil-hasil yang positif. Hal penting menurut Pengki dalam meyakinkan manajer di tingkat pusat perusahaan negara ini (bukan hanya di tingkat manajer Pabrik) adalah dengan memberi bukti-bukti konkrit menyangkut mengapa perusahaan harus menjadi bagian dalam Penanggulangan Bencana. Suatu waktu, saat banjir besar melanda desa Kedawung Kulon dan pabrik tergenang air yang membuat karyawan tak bisa bekerja, ia harus susah payah menembus banjir di desanya baik dengan bersepeda, mengojek, sampai beberapa kali ganti bis menuju Surabaya untuk menemui pimpinan mengenai bencana yang berimbas pada perusahaan ini. Sebelum ia berangkat untuk menemui pimpinan demi menjelaskan alasan-alasan mengapa proses produksi harus dihentikan, ia telah mendokumentasikan kejadian banjir di lingkungan perusahaan dan di desa. Kekuatan dokumentasi ini memberi hasil di mana pimpinan BUMN ini memutuskan untuk mendukung penuh upaya pengurangan risiko bencana di desa Kedawung Kulon. Kini, berkat peran Pak Pengki dan relawan perusahaan, kerjasama antara perusahaan dengan BPBD, Forum PRB Desa serta Pemerintah Desa Kedawung Kulon dalam mengatasi ancaman banjir telah terjalin dan terlembagakan dengan baik. Bahkan dana PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) ke depan sudah bisa diakses untuk menangani bencana, dan tidak hanya berkaitan dengan usahausaha peningkatan ekonomi warga belaka. Berkat kerjasama ini juga, kini salah seorang relawan perusahaan sudah memeroleh sertifikat dari Badan SAR Nasional. Sertifikat atau pengakuan secara resmi ini menjadi modal bagi setiap relawan untuk melibatkan diri dalam upaya pertolongan korban bencana. Sejauh ini, Pengki belum puas dengan capaiannya. Salah satu ketidakpuasan itu mengenai masih rendahnya tingkat kesadaran karyawan untuk terlibat dalam kerja-kerja sosial seperti ini. Baginya, jumlah relawan perusahaan masih terbilang kecil. Bisa dibayangkan jika bencana besar terjadi, dengan jumlah personel hanya belasan, maka akan sulit menjaga ratusan karyawan yang bekerja di waktu

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

ini bergabung sebagai tim relawan perusahaan. Berkat upaya-upaya informal yang dibangun oleh Pengki dengan manajer perusahaan, dukungan perusahaan semakin besar kepada relawan ini, sampai akhirnya menjadi bagian penting dalam kesatuan manajemen perusahaan.

65


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

bersamaan. Belum lagi saat ini ia berpikir bahwa ia akan segera pensiun dari perusahaan ini. Ia berharap lebih banyak lagi karyawan mau menjadi relawan. Ia memikirkan kaderisasi relawan. Persis bagaimana Bagong juga meresahkan lambatnya proses kaderisasi ini. Ia percaya, bahwa kerelawanan memang bisa tumbuh di lingkungan yang memungkinkannya bisa tumbuh.

66

Namun, Pengki tidak lekas berputus asa. Ia terus saja berupaya peduli soal kebencanaan walaupun kesulitan-kesulitan menghadang. Ia tetap menjalin komunikasi dengan warga dan membangun kesadaran kritis warga. Pernah suatu waktu, saat musim penghujan dan tak terjadi banjir di desa Kedawung Kulon, seorang warga dengan lugunya berujar, “tumben tahun ini tidak banjir!”. Dongkol hatinya mendengar ungkapan warga ini. Ia paham, orang ini tak memerhatikan bahwa tiadanya banjir tahun ini adalah buah dari pekerjaan bulan-bulan sebelumnya dari Forum PRB desa. “Ah sudahlah, di bawa ketawa saja, ungkapan seperti ini!” ujarnya sambil tertawa. (Sumber: wawancara dengan pak Pengki tanggal 24 April 2014 di Pasuruan)

3.1.3. Keberpihakan Pemikir Kampus Sejumlah dosen STKIP PGRI Pacitan yang mulai tumbuh kesadarannya untuk berpartisipasi di bidang kebencanaan telah aktif melakukan pengorganisasian di sejumlah desa. Sebelum mereka terlibat dalam proyek P4, mereka sudah keluar masuk desa untuk membangun kesadaran warga secara swadaya. Boleh dikatakan, sebelum komunitas ini terbentuk, semangat kerelawanan yang ada di dalam diri setiap pelopornyalah yang menjadi faktor pendorongnya. Aktifitasnya di ranah kebencanaan selalu dimulai dengan cara-cara informal seperti melalui obrolan, diskusi, dan akhirnya pertemuan yang lebih serius menyangkut kesadaran kritis sampai pada tindakan nyata dalam keseluruhan siklus kebencanaan (pra, saat, dan pasca bencana). Kini, komunitas dosen ini perlahan-lahan mulai mengalami pelembagaan karena adanya tuntutan tertentu yang dipersyaratkan. Komunitas ini menjadi lembaga yang disebut ‘Relawan Bencana Pacitan’. Mereka berharap, tim ini akan menjadi embrio bagi terbentuknya Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) dengan melibatkan lebih banyak orang dan institusi. Seorang dosen di STKIP Pacitan memulai komunitas dosen peduli bencana ini. Ia menghimpun dosen yang punya minat yang sama. Selain bekerja di kampus berhadapan dengan para mahasiswa dan dosen, ia juga hadir di tengah masyarakat mengkampanyekan pentingnya kesadaran kebencanaan. Awalnya adalah upaya Kepala Pelaksana (Kalak) BPBD Pacitan yang mengajaknya bergabung dalam kemitraan di tahun 2011. Sikap terbuka yang diperlihatkan oleh Kalak BPBD memberi kesan mendalam bagi dosen-dosen STKIP, sehingga mereka bersedia berada dalam barisan orang-orang peduli bencana. Di desa, komunitas dosen ini mengadakan pertemuan informal melalui forum pengajian kaum ibu baik di lingkungan masjid, Balai Rukun Tetangga maupun rumah


warga. Mereka percaya, pelibatan lebih banyak orang di desa akan lebih mudah jika berlangsung informal. Baginya, pertemuan formal hanya akan membatasi jumlah warga desa yang bisa hadir dan pada kondisi tertentu bisa membatasi peserta diskusi aktif memberi pendapat dan bertukar pikiran. Hal ini mengingat pertemuan formal biasanya dihadiri oleh elit desa, pejabat daerah, dan lembaga lain yang bisa menurunkan minat warga desa untuk urun rembuk. Suasana informal menjadi syarat bagi warga untuk datang dan aktif. Lagipula, melalui pengajian kaum ibu yang sudah rutin berjalan dan terkelola dengan baik akan meminimalisir biaya pertemuan. Hanya pada kondisi tertentu, jika dalam suatu kegiatan desa membutuhkan anggaran khusus, maka para dosen ini siap menyisihkan sebagian gaji atau honor mengajar mereka. Bagi Diana dan teman-temannya, diskusi informal desa selalu memberi manfaat dari dua sisi. Sisi pertama adalah para dosen menyampaikan hal atau informasi baru bagi warga yang bersumber dari pengetahuan kampus. Sedangkan di sisi kedua, orang-orang desa juga menyampaikan pengetahuan milik mereka. Dengan demikian, peluang terjadinya pembauran pengetahuan terbuka lebar. Dalam literatur ‘ketangguhan’, pembauran pengetahuan merupakan salah satu karakteristik yang harus ada dalam desa tangguh (Cutter et. al. [2008], Mitchell dan Harris [2012]).19 Di Kabupaten Pasuruan, STMIK Yadika juga mengalami hal yang sama. Sejumlah dosen yang merasa terpanggil untuk menjalankan konsep Tri Dharma Perguruan Tinggi, di mana salah satu poinnya adalah melakukan Pengabdian Pada Masyarakat, juga memilih kebencanaan sebagai pintu masuknya. Sebagai sekolah tinggi di bidang teknik informatika, maka pilihan aktifitas mereka tak lepas dari urusan manajemen pengelolaan informasi berbasis media elektronik dan internet. Sejauh ini, walaupun masih tertatih, sejumlah inovasi sudah mereka tunjukkan. Ketertarikan mereka dalam pengelolaan bencana dimulai dari sejumlah pertemuan kebencanaan yang diadakan baik oleh mitra program P4 ini maupun dari lembaga lain. Kampusnya tergolong kecil dibandingkan dengan universitas-universitas ternama di Jawa Timur. Namun semangat mereka melebihi kecilnya dan terbatasnya sarana dan prasarana dalam kampus untuk menopang ide-ide saintifik mereka. Sejauh ini, selain terus berupaya mencari bahan-bahan pengetahuan soal kebencanaan dan memanfaatkan ketentuan akademikus ‘tri dharma perguruan tinggi’, para dosen STMIK Yadika terus mencari dan menemukan ide baru untuk bisa berkontribusi pada penanggulangan bencana. Selain melibatkan diri dalam diskusi di tingkat desa Kalirejo yang memiliki ancaman banjir dan sudah menyusun peta evakuasi bagi warga dan menginventarisir aset desa yang terancam terganggu atau terpapar jika terjadi banjir, para dosen ini juga mengajak sejumlah mahasiswanya. Salah satu peluang yang mereka kembangkan 19 Cutter, Susan. et. al. 2008. “A place-based model for understanding community resilience to natural disasters”. Global Environmental Change, Vol. 18. Lihat juga, Mitchell dan Harris. 2012. “Resilience: a risk management approach”. ODI Background Note. Overseas Development Institute.

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

67


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 68

adalah dengan menawarkan mahasiswa melakukan penelitian bertemakan bencana untuk keperluan tugas akhir mereka. Tiga kajian yang sudah mahasiswa lakukan dan tentu berguna untuk pengembangan lebih lanjut adalah “Sistem Informasi Kekuatan Rehabilitasi pada Desa Tangguh Bencana Pasuruan Berbasis Web: Studi Kasus Desa Kalirejo”, lalu “Sistem Informasi Pendataan Penduduk dan Kekuatan Logistik pada Desa Tangguh Bencana Pasuruan Berbasis Web” juga di desa Kalirejo, dan “Rancang Bangun Sistem Informasi Peringatan Dini Bencana Banjir dengan SMS Gateway pada Desa Tangguh”. Pilihan kajian di desa Kalirejo adalah karena memang kampus ini berada di desa Kalirejo yang memiliki ancaman banjir. Secara rutin, setiap musim penghujan tiba, maka di lingkungan kampus akan tergenang air yang menghambat civitas akademika melakukan aktifitas belajar-mengajar. 3.1.4. Dukungan Lembaga Swadaya Masyarakat untuk Menjalin Kerjasama dengan Pihak Lain Fenomena kerjasama yang didasarkan dari nilai-nilai luhur juga dapat kita temukan pada dua organisasi massa berbasis agama, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah di kabupaten Pasuruan dan kabupaten Lamongan. NU dan Muhammadiyah masing-masing memiliki organisasi yang mengurusi kebencanaan, yakni LPBI-NU (Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama) dan MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center). Kedua organisasi ini bukan sekadar latah mengikuti arus mainstreaming kebencanaan dalam program sosial mereka, namun memang menemukan bahwa landasan ajaran agama yang mereka anut dalam organisasi sosial kemasyarakatan mereka sesuai dengan semangat bahwa mengelola bencana adalah ‘urusan bagi semua orang’. Salah seorang pegiat MDMC dari Lamongan mengemukakan bahwa salah satu pijakan ajaran agama yang menjadi landasan ontologis dan epistemologis aktifitas sosial mereka adalah surat Al Ma’un. Surat ini memang menjadi rujukan utama Pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan untuk melebarkan ‘kesalehan individual’ seseorang menjadi ‘kesalehan sosial’. Tentu saja jiwa kesalehan yang dilandasi oleh ajaran Muhammadiyah ini identik dengan jiwa kerelawanan dalam konteks yang lebih sekuler sebagaimana dimiliki oleh orang lain yang mau berkorban demi kemaslahatan orang banyak. Dari sikap ini, terwujudlah sejumlah bentuk pelembagaan internal seperti berdirinya MDMC yang merupakan amanat dari Muktamar Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta. Kini, MDMC Lamongan memiliki beberapa unit kerja seperti Unit Kesehatan dan Unit Relawan. Unit relawan ini memiliki tugas seperti tim SAR pada umumnya sedangkan Unit kesehatan berpusat di rumah sakit Muhammadiyah seperti Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan dan Rumah Sakit Muhammadiyah Babat. Jika Muhammadiyah melandasi aktifitas sosialnya di bidang kebencanaan ini dengan Surat Al-Ma’un, maka LPBI-NU menyitir Surat Ar-Rum ayat 41, yang kurang lebih artinya “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan


mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Embrio lahirnya LPBI NU adalah CBDRM-NU (Community Based Disaster Risk Management – Nahdlatul Ulama) yang berbentuk ad hoc di bawah PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama). Sejak tahun 2004, CBDRMNU menjadi pionir bagi Nahdliyin (orang NU) dalam pengelolaan risiko bencana, kedaruratan dan rehabilitasi. Program-program kegiatan CBDRM NU dilakukan melalui kerjasama dengan pihak Pemerintah dan berbagai lembaga donor. Pada Mukatamar NU ke-32 di Makassar pada bulan Maret 2010, pengurusnya mengagendakan dibentuknya lembaga khusus menangani masalah kebencanaan dan perubahan iklim. Semangat ini kemudian dikukuhkan dan ditetapkan dalam rapat pleno harian PBNU untuk membentuk LPBI-NU. Baik Muhammadiyah maupun NU merupakan organisasi sosial yang mapan dan sudah berdiri sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu. LPBI-NU bahkan mengorganisir penyusunan dokumen Rencana Penanggulangan Bencana di sejumlah kabupaten di Provinisi Jawa Timur atas dukungan BNPB dan AIFDR. Namun, salah satu pengorganisir LPBI-NU menyebutkan bahwa walaupun sudah melakukan sejumlah pertemuan dengan orang desa, namun tingkat penerimaan atau pemahaman warga akan isu kebencanaan masih relatif rendah. Kebanyakan warga masih melihat penanggulangan bencana sebagai tindakan membangun infrastruktur desa, belum sampai melihat esensi dari penanggulangan bencana secara menyeluruh yang menjadi urusan setiap orang.20 Selain kedua organisasi NU dan Muhammadiyah, sejumlah penggiat ‘gerakan sosial’ juga hadir mengisi sejumlah peran di ranah basis (komunitas) dengan berbagai isu sosial, khususnya isu kebencanaan. Di Kabupaten Lamongan, organisasi Aliansi Perempuan Lamongan (APEL) menjadi katalisator dari berbagai mitra kebencanaan untuk berbuat dan menjalin ikatan kemitraan dari sejumlah aktor di kabupaten ini. Berdasarkan mandat utama organisasi, APEL merupakan lembaga advokasi yang membela kepentingan perempuan, termasuk pendampingan kasus hukum yang merugikan perempuan. Jika kini aktifitasnya mulai menyeberang ke isu kebencanaan, maka sasaran sesungguhnya tak pernah lepas dari kepentingan perempuan sebagai salah satu kelompok rentan yang ada di negeri ini. Perkenalan aktifisnya dengan isu kebencanaan tidak lepas dari peran aktifis LPBI-NU dan MDMC Lamongan sebagai teman berdiskusi. Memang, LPBI-NU dan BPBD Lamongan sudah memiliki sejumlah program kebencanaan sebelum program P4 berjalan, seperti penyusunan Peraturan Daerah Penanggulangan Bencana dan pembentukan Forum PRB Kabupaten Lamongan. Dari interaksi antar lembaga ini, bisa dikatakan kapasitas aktifis APEL yang semula hanya fokus pada pemberdayaan perempuan dan pendampingan kasus hukum, kini juga paham soal bencana. Tentu saja, keterlibatan APEL dalam tata kelola bencana telah memperkaya cara pandang menangani bencana atau membangun ketangguhan, yakni perspektif gender.21 20 Wawancara dengan Saiful, anggota LPBI-NU Pasuruan, pada tanggal 25 April 2014. 21 Wawancara Warda dan Anis, keduanya aktifis Aliansi Perempuan Lamongan (APEL), pada tanggal 30 April 2014.

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

69


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 70

Hingga kini, APEL memperoleh dukungan dari LBPI-NU dan BPBD untuk bekerja di dua desa, yaitu Truni dan Bulutigo. Adapun capaian APEL sejauh ini adalah di desa Truni sudah terbit Peraturan Desa Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Forum Siaga Tangguh Truni dan Peraturan Desa Nomor 10 Tahun 2013 Tentang Rencana Penanggulangan Bencana di Desa dan Rencana Aksi Komunitas yang menjadi payung hukum pembentukan Forum PRB dan penanggulangan bencana di tingkat desa. Selain itu, APEL juga berupaya mengembangkan jaringan kemitraan dengan sejumlah perusahaan seperti CV Maju Banjar, Telkomsel, PT Lamongan Integrated Shorebase (LIS), BNI, HM Sampoerna, Petro Kimia, Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) dan lain-lain. Namun bagi aktifis APEL, bekerjasama dengan pihak perusahaan dalam konteks kebencanaan bukanlah hal yang mudah. Persoalan perspektif, konsep, dan terminologi bencana juga masih jauh dari kesepahaman bersama. 3.2. Pola Kemitraan Untuk Membangun Ketangguhan Dari pelaksanaan proyek P4 yang telah dilakukan di 3 (tiga) Kabupaten yakni Pacitan, Pasuruan dan Lamongan, ada beberapa bentuk dan pola kemitraan yang sudah digambarkan di atas. Koordinasi mulai terbangun antara semua pemangku kepentingan baik masyarakat, organisasi masyarakat sipil, perusahaan maupun pemerintah. Akan tetapi, siapa simpul koordinasi dan sejauhmana koordinasi terbangun menjadi berbeda di tiap daerah. Ada beberapa perbedaan antara pola yang terbangun dalam program P4 di Pacitan, Pasuruan maupun Lamongan, sebagaimana dijelaskan di bawah ini. 3.2.1. Pacitan Di Kabupaten Pacitan BPBD menjadi simpul koordinasi, sebagai pihak yang pertama kali punya inisiasi untuk melakukan koordinasi dengan para pihak. BPBD juga yang berinisiatif membentuk forum relawan yang terdiri dari orang-orang yang telah mendapatkan pelatihan kebencanaan. Pada akhirnya, inisiasi pembentukan forum CSR di Pacitan muncul dari seringnya BPBD dan beberapa perusahaan bertemu dan berkoordinasi. Dalam pengembangan desa tangguh, BPBD bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan yang telah terlebih dahulu mempunyai program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT). Dalam perkembangannya, kerjasama yang dilakukan dalam pengembangan desa tangguh bukan semata dengan Dinas Kelautan dan Perikanan saja, tetapi juga dengan Dinas dan Instansi dalam lingkup pemerintah daerah serta perusahaan. Perusahaan yang terlibat program P4 di Pacitan masuk sekala kecil dan menengah, dan bersifat lokal ataupun mitra dan cabang dari perusahaan nasional. Meski secara jumlah yang dikumpulkan tidak terlalu besar, tetapi karena terkoordinasi dengan baik, maka manfaatnya terlihat jelas dan dapat dirasakan masyarakat. Ikatan kemitraan yang terbentuk antara Pemerintah dan perusahaan di Pacitan lebih bersifat personal. Hal ini sangat dimungkinkan karena Pacitan merupakan kota kecil sehingga satu dengan yang lain warganya banyak yang saling kenal. Dengan kondisi


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Sedangkan lembaga masyarakat sipil di Pacitan belum tampak terlibat dalam pengurangan risiko bencana. Satu-satunya lembaga non pemerintah yang selama ini aktif dalam kegiatan penanggulangan bencana adalah STKIP (perguruan tinggi). Keterlibatan masyarakat terwakili melalui perorangan yang menjadi anggota forum relawan bencana bentukan BPBD. Selain itu, keterlibatan masyarakat juga terlihat melalui forum PRB tingkat Desa yang sudah terbentuk di beberapa desa. 3.2.2. Pasuruan Sama halnya di kabupaten Pacitan, BPBD Pasuruan juga menjadi simpul koordinasi. Sebelum Forum PRB Kabupaten Pasuruan terbentuk, BPBD telah berupaya melakukan koordinasi dengan organisasi masyarakat sipil dan perusahaan dalam kerja-kerja kebencanaan. Akan tetapi, hal ini belum efektif membawa hasil seperti yang diharapkan. Ini terlihat dari sedikitnya perusahaan yang terlibat, meskipun Pasuruan menjadi tempat kedudukan banyak perusahaan berskala nasional. Minimnya keterlibatan perusahaan di Pasuruan selain karena pengaruh kebijakan perusahaan, juga dipengaruhi oleh kurangnya pemahaman perusahaan terhadap upaya pengurangan risiko bencana. Kebalikan dari itu, perusahaan Aqua (Danone) dan PG Kedawung, karena mempunyai pengalaman dalam kebencanaan serta kebijakan perusahaan yang mendukung, telah cukup aktif terlibat dan berperan dalam pengurangan risiko bencana. Forum PRB kemudian terbentuk dan menjadi wadah koordinasi antara organisasi masyarakat sipil, perusahaan dan pemerintah. Namun demikian, karena masih sangat muda, kinerja forum ini belum maksimal. Forum PRB belum mempunyai pengalaman dan kapasitas yang cukup dalam mengkoordinasi dan mengintegrasikan kerja pengurangan risiko bencana di Pasuruan. Meskipun demikian, Forum PRB mulai memberi warna dalam kerja-kerja penanggulangan bencana di Pasuruan, misalnya ada pertukaran informasi dan pengalaman dari masing-masing pihak dalam kerja kebencanaan. Di sisi lain, kerjasama multi pihak antara pemerintah, organisasi masyarakat sipil, perusahaan dan masyarakat sendiri untuk pengurangan risiko bencana masih sangat minim. Meski ada beberapa perusahaan yang melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan pengurangan risiko bencana, tetapi belum semua terkoordinasi dan bersinergi dengan BPBD Pasuruan. Yang patut menjadi catatan adalah adanya kontribusi perusahaan mikro terhadap pengurangan risiko bencana; seperti bantuan logistik untuk pos pemantauan banjir di desa Kedawung Kulon dari toko-toko retail yang ada disana dan sumbangan paguyupan Jeep untuk penanganan tanah longsor dan kas desa di Wonokitri. Meskipun kecil, dukungan yang diberikan secara rutin tersebut sangat membantu kerja pengurangan risiko bencana di tingkat komunitas.

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

yang seperti itu, maka hubungan kemitraan secara personal lebih mungkin dilakukan tanpa perlu birokrasi yang berbelit. Meski terlihat cukup kuat, ikatan kemitraan yang demikian ini sebenarnya sangat rapuh. Jika salah satu orang berganti atau berpindah hampir kemungkinan besar ikatan akan terputus.

71


3.2.3. Lamongan

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Agak berbeda dengan dua kabupaten yang lain, di Lamongan, Forum PRB menjadi wadah komunikasi dan koordinasi dengan pihak-pihak lain dalam kerja pengurangan risiko bencana. Sementara BPBD lebih banyak mengambil peran komando dan koordinasi dalam tanggap darurat bencana. Akan tetapi, sejauh ini koordinasi yang dilakukan oleh forum PRB Kabupaten Lamongan belum banyak melibatkan perusahaan.

72

Minimnya keterlibatan perusahaan dapat dilihat dari minimnya tingkat partisipasi perusahaan dalam pengurangan risiko bencana di Kabupaten Lamongan. Perusahaan lebih sering terlibat dalam kegiatan tanggap darurat bencana. Sekalipun begitu, kegiatan-kegiatan tanggap darurat itupun seringkali tidak terkoordinasi dengan BPBD. Sehingga kadangkala konsentrasi bantuan terjadi pada daerah-daerah yang terekspos oleh media. Sementara daerah lain yang tidak terekspos dan mendapat dampak yang sama dari bencana, tidak mendapatkan bantuan yang memadai. Yang lebih terlihat perannya di Lamongan adalah lembaga masyarakat sipil yang bekerja di kebencanaan. Beberapa Lembaga masyarakat sipil sudah menginisiasi Desa Tangguh Bencana meski dengan format mereka sendiri, misalnya dari MDMC dan LPBINU. Antar lembaga masyarakat sipil, koordinasi dan komunikasi dilakukan melalui forum PRB, tetapi sinergi antar lembaga masyarakat sipil belum terbangun. Mereka masih bekerja sendiri-sendiri dan belum terintegrasi. Sinergi antara pemerintah, masyarakat dan perusahaan hampir tidak terlihat di Kabupaten Lamongan. Beberapa kerjasama yang terbentuk masih bersifat insidental dan tidak terencana dengan baik. Antara BPBD, lembaga masyarakat dan perusahaan belum ada kesamaan cara pandang dalam pengurangan risiko bencana. Perusahaan di Lamongan masih minim pengetahuan dalam hal kebencanaan, sementara pengetahuan dan pengalaman kebencanaan di pihak pemerintah juga belum merata. Selama ini, baik Forum PRB maupun BPBD belum melibatkan perusahaan. Upaya pelibatan perusahaan dalam pengurangan risiko bencana baru dimulai saat pelaksanaan program P4 di Lamongan. Tentu saja, sedikit banyak ini menjadi hambatan dalam koordinasi kerja-kerja pengurangan risiko bencana multi pihak di Lamongan. Berdasarkan dinamika pelaksanaan program P4 di 3 kabupaten di atas, maka pola kemitraan yang ada bisa dilihat dari aspek alasan mendasar [mengapa] seseorang terlibat dalam membangun kemitraan dan [kecenderungan] dalam memilih pola komunikasi antar aktor baik di wilayahnya maupun di luar wilayahnya. Dalam kenyataannya, ada 4 pola yang teridentifikasi, yakni: (1) kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi informal, (2) kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi informal, (3) kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi formal, dan (4) kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi formal.


[Kolom kuning]

[Kolom biru]

kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi formal.

kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi informal.

[Kolom merah]

[Kolom hijau]

kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi formal.

kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi informal.

KOMUNIKASI FORMAL

KOMUNIKASI INFORMAL

Berdasarkan informasi yang dihimpun selama pelaksanaan proyek P4 berlangsung, pola pertama merupakan satu pola yang menunjukkan pilihan utama yang diharapkan oleh banyak aktor. Di sisi lain, pola ini juga menunjukkan adanya kesinambungan kemitraan yang panjang ketimbang dalam satu skema proyek yang waktunya terbatas. Sementara pola kedua, ketiga dan keempat merupakan pola yang juga tampak dalam institusi tertentu dan merupakan pilihan yang didasarkan pada karakter personal dan lembaganya. Keempat pola ini dapat disematkan kepada sejumlah pola kemitraan yang dibangun di setiap daerah pada tingkat administrasi pemerintahan tertentu seperti tingkat desa, kabupaten, dan provinsi. Jika tata kelola bencana ini berlangsung di tingkat desa, seperti di desa Kedawung Kulon, Kabupaten Pasuruan, maka tampak aktor seperti perusahaan dan komunitas desa termasuk pemerintah desa lebih condong memainkan pola komunikasi informal dengan semangat kerelawanan yang menonjol. Demikian juga di desa Wonokitri Pasuruan, pola kemitraan ini berjalan dengan cara serupa namun dengan perusahaan skala desa, yakni perkumpulan para pemilik/pengemudi Jeep yang bersepakat bersama pemerintah desa dan organisasi warga KOBAR. Rincian contoh pelaksanaan pola interrelasi antar aktor tersebut ialah sebagai berikut. Pola Kolom Hijau: kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi informal. Jika pada tingkat kabupaten seperti di kabupaten Pacitan dijadikan rujukan, maka tampaknya pola kemitraan yang digunakan adalah kolom hijau. BPBD sebagai leading sector berupaya membuka ruang partisipasi tata kelola bencana seluas-luasnya melalui pola komunikasi informal dengan sejumlah aktor seperti perguruan tinggi dan khususnya perusahaan serta pada tataran tertentu dengan dinas SKPD terkait. Staf BPBD tidak terpaku hanya pada aspek kewajiban atau kaku dalam memaknai tugasnya sebagai staf. Misalnya kurangnya anggaran sosialisasi dan penyadaran publik

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

KERELAWANAN

KEWAJIBAN

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

73


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 74

di tingkat desa tidak serta merta membatasi kerja lapangan staf BPBD. Pun demikian dengan kurangnya aktifitas peningkatan kapasitas staf BPBD, baik dari BNPB maupan pemerintah daerah, tidak serta merta membatasi staf mengembangkan diri melalui ‘pembelajaran bersama’ secara internal. Pola komunikasi informal dalam jalinan kemitraan ini cukup efektif melibatkan sejumlah aktor perusahaan dan organisasi masyarakat sipil untuk duduk bersama membangun kemitraan dalam tata kelola bencana di tingkat kabupaten. Pola kemitraan ini merupakan bentuk awal dan dapat berkembang ke tingkat desa sesuai kebutuhan. Contoh dari desa Kedawung Kulon merupakan contoh yang tepat untuk menggambarkan pola kerelawanan - informal ini. Aktor perusahaan dan aktor desa bersinergi dalam mengatasi dampak bencana banjir yang datang setiap tahunnya. Begitu pula di STKIP PGRI Pacitan, sejumlah dosen yang berusaha concern pada isu kebencanaan memilih jalur informal mengingat tidak adanya dukungan formal dari pimpinan Yayasan STKIP. Sebagai dosen, tanggung jawab sosial (kerelawanan) tak boleh ditinggalkan dengan hanya mengedepankan tanggung jawab (kewajiban) dalam kampus. Aktor lain yang menggunakan pola kemitraan ini adalah organisasi masyarakat sipil di tiga daerah (Pasuruan, Pacitan dan Lamongan). Pola Kolom Biru: kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi informal. Pola ini tampak pada sekretaris jenderal Forum PRB Pasuruan yang mengharapkan adanya pengembangan jaringan perusahaan berdasarkan mandat Forum yang kini ia sandang. Sebagai orang perusahaan Aqua Danone, ia terbiasa bekerja berdasarkan standar perusahaan yang ketat dengan target tertentu. Namun, di sisi lain, ia juga mengerjakan kewajibannya di bidang Social Corporate Responsibility (CSR) yang sedikit banyak bersentuhan dengan realitas sosial di luar kegiatan bisnis. Ia mengerjakan tugas atau tepatnya tanggung jawab sosial perusahaan secara informal. Itulah mengapa ia memilih pola komunikasi informal untuk menggaet lebih banyak perusahaan terlibat dalam tata kelola bencana di keseluruhan siklus kebencanaan dan bukan sekadar tanggap darurat saja. Pola yang sama juga ditemukan di sejumlah perusahaan di Pacitan semisal PT PPIS. Aktor perusahaan menyukai pola komunikasi informal yang dibangun oleh BPBD Pacitan, namun tidak bisa hanya menggunakan kerelawanan mereka, mengingat perusahaan sudah memiliki Standard Operational Procedure (SOP) khususnya terkait pada pelaksanaan kegiatan yang menggunakan dana perusahaan. Demikian juga pada beberapa perusahaan yang sudah memiliki program community development melalui aturan formal CSR, seperti Telkomsel dan BNI yang juga berkontribusi di Pacitan. Mereka mengandalkan kewajiban menjalankan program ketimbang kerelawanan dalam sistem pengambilan keputusan yang hirarkis. Pimpinan adalah yang utama dan bawahan menjalankan keputusan pimpinan. Pola ini menjadi hambatan yang ‘membatasi’ aktor (staf ) perusahaan dengan tidak serta merta menyetujui model pelibatan yang diatur secara demokratis di dalam sebuah forum semisal Forum PRB.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Tetapi, di sisi lain, motivasi ini menjadi perekat di perusahaan untuk berkontribusi, walaupun masih dipandang sebagai kewajiban program.

Pola seperti ini tampak pada Kampus STMIK Yadika, khususnya di lingkungan internal kampus. Sikap kerelawanan yang mereka bangun dilandasi oleh tiga bakti perguruan tinggi. Selain kesibukan menjalankan rutinitas sebagai tenaga pengajar dan meneliti, mereka juga berupaya mengembangkan spirit kerelawanan guna mengejar satu darma yang disebut pengabdian pada masyarakat.22 Memang, ada sejumlah dosen yang mengejar ‘kewajiban’ ini sebagai bagian dari pekerjaan resmi sebagai dosen, yang dengan melakukannya akan berimplikasi pada terkumpulnya kredit poin untuk kenaikan pangkat akademik. Jadi, mengabdi kepada masyarakat sekadar mengikuti aktifitas di desa yang dilakukan oleh pihak lain dan bukan melalui desain program yang punya target jangka panjang. Bagi dosen-dosen STMIK Yadika, aktifitas mengabdi pada masyarakat bukan sekadar ingin memenuhi persyaratan akademik kampus. Melainkan, mereka punya gambaran lebih jauh untuk menuju pada Pusat Kajian Kebencanaan. Dalam keadaan kapasitas kampus yang masih terbatas, mereka lalu mengandalkan sisi kerelawanan dalam diri mereka untuk mengembangkan aspek kognisi mereka melalui kajian mandiri baik di kampus dan maupun luar kampus. Di sisi lain, mereka memanfaatkan pola komunikasi formal seperti hubungan dosen - mahasiswa atau dosen - pimpinan yayasan, dan dosen pemerintah desa. Kepada mahasiswa, mereka meminta atau lebih tepatnya menawarkan kepada mahasiswa semester akhir untuk meneliti masalah kebencanaan sesuai bidang masing-masing (teknik informatika). Selain itu, pihak dosen akan ‘mengarahkan’ ke desa yang memiliki ancaman bencana, misalnya desa Kalirejo, kecamatan Kraton, Pasuruan. Di samping itu, dalam hubungannya dengan BPBD Kabupaten Pasuruan, para dosen ini juga menggunakan komunikasi formal sebagai representasi dari STMIK Yadika. Sehingga, kerjasama juga dilakukan secara formal antar dua institusi. Pola Kolom Kuning: kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kewajiban dengan pola komunikasi formal. BPBD dan sejumlah sektor pemerintahan merupakan institusi yang aktornya paling menonjolkan praktik dengan pola ini. Terdapat sejumlah pegawai yang baru akan melakukan sesuatu jika pekerjaan itu berkaitan dengan kewajiban yang sudah dimandatkan dalam tupoksi di bidang di mana staf bekerja. Munculnya istilah adanya 22 Berdasarkan Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) mengeluarkan Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Dalam Permenpan ini disebutkan, bahwa tugas pokok jabatan Akademik Dosen adalah melaksanakan pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, dengan instansi pembina Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jabatan keahlian ini meliputi tingkatan yang paling rendah hingga tinggi. Jabatan akademik tersebut terdiri dari Asisten Ahli (golongan III/b), Lektor (gol. III/c dan III/d), Lektor Kepala (gol. IV/a, b dan c) dan Profesor (gol. IV/d dan IV/e).

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Pola Kolom Merah: kombinasi antara aktifitas atau partisipasi yang dilandasi oleh semangat kerelawanan dengan pola komunikasi formal.

75


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

‘ego sektoral’ yang kerap dipakai oleh informan tertentu dalam menggambarkan karakter dinas-dinas pemerintah dalam menjalankan tugas pelayanan publiknya dapat dijadikan contoh bagi pola ini. Misalnya, di sejumlah desa terdapat sejumlah proyek pemerintah yang memiliki ‘kesamaan’ tujuan namun tampaknya tidak terintegrasi satu sama lain.

76

Misalnya, BNPB melalui BPBD mengerjakan proyek membangun ‘Desa Tangguh’ di desa Sirnoboyo. Di desa yang sama, dinas Kelautan dan Perikanan juga sedang menjalankan proyek ‘Desa Pesisir Tangguh’. Sementara dinas lainnya, seperti dinas kesehatan menjalankan proyek ‘Desa Siaga’. Tiga jenis proyek pemerintah ini berjalan sesuai dengan mandat dinas (atau lebih jauh kementerian tertentu) dan stafnya mengerjakan berdasarkan pola komunikasi formal semisal melalui pertemuan-pertemuan resmi yang sudah dirancang khusus dengan mekanisme pertanggungjawaban yang juga sudah diatur sesuai prosedur standar yang ada di dinas tersebut. Dalam menjalin hubungan dengan pihak lain, seperti perguruan tinggi dan LSM, untuk menjalankan program, mereka juga menggunakan komunikasi dan kerjasama formal. Namun, dalam menjalankan proyek ini, dinas tertentu melibatkan mitra lokal tertentu (seperti organisasi desa dan kampus serta perusahaan), namun bisa terjadi aktor nonpemerintah ini menjalankan proyek bersama-sama dengan pemerintah namun tidak mengikuti pola yang dijalankan, mereka lebih informal dan berbasis kerelawanan. Berdasarkan pemetaan pola diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi orang yang terlibat dalam kemitraan bisa karena nilai kerelawanan atau kewajiban dari pekerjaan yang harus dia lakukan. Untuk inisiatif kemitraan, kebanyakan dimulai dari nilai kerelawanan yang ada di masing-masing lembaga/pihak. Mereka membangun pola komunikasi informal untuk membangun kedekatan, sehingga memudahkan untuk bekerjasama. Akan tetapi, ketika kerjasama harus dilakukan dengan atas nama lembaga mereka, maka motivasi kewajiban untuk berkontribusi akan semakin besar dan pola komunikasi menjadi semakin formal. Walaupun demikian, ada pihak-pihak tertentu yang tetap menjaga nilai kerelawanan mereka, dengan sedikit mengesampingkan mandat lembaga dimana mereka bernaung, seperti dosen di STKIP serta para aktifis LSM dan kelompok masyarakat. Sehingga, bisa dikatakan bahwa untuk memulai membangun kemitraan, motivasi kerelawan dan pola komunikasi informal perlu dibangun terlebih dahulu. Kegagalan BPBD Pasuruan dalam merangkul perusahaan untuk terlibat melalui komunikasi dan cara-cara formal kedinasan, juga menjadi bukti bahwa komunikasi informal perlu dibangun terlebih dahulu. Kalau dilihat dari kerjasama antar lembaga, maka secara garis besar, karakter masingmasing dapat dibedakan sebagai berikut. Instansi pemerintah, seperti BPBD dan SKPD, dan perusahaan (terutama perusahaan menengah ke atas) secara kelembagaan lebih menyukai motivasi pemenuhan kewajiban (sebagai pemerintah atau tanggungjawab sosial perusahaan) dan pola komunikasi yang formal, karena mereka memiliki mekanisme pola hubungan dan cara kerja tertentu. Sedangkan organisasi masyarakat sipil seperti LSM dan kelompok masyarakat lebih memilih motivasi kerelawanan dan pola komunikasi informal. Untuk perguruan tinggi, di tingkat dosen lebih banyak menggunakan motivasi kerelawanan, tetapi di tingkat lembaga perguruan tingginya


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

3.3. Peluang dan Tantangan Kemitraan P4 Untuk membangun kemitraan, banyak potensi yang ada di masing-masing daerah yang sampai saat ini belum terpetakan dan dimanfaatkan dengan baik. Ada yang memiliki program kerja yang bisa diintegrasikan seperti instansi pemerintah, ada yang memiliki sumberdaya manusia yang memadai seperti perguruan tinggi dan LSM, dan ada yang memiliki dana seperti perusahaan dan para pengusaha. Saat ini, mereka juga semakin terbuka untuk bekerjasama dengan pihak lain. Jika potensi-potensi sumberdaya tersebut dikelola dengan baik, akan dapat dimanfaatkan untuk pengurangan risiko bencana. Tentu saja, untuk mengorganisir semua potensi ini membutuhkan waktu dan tenaga yang tidak sedikit dari para inisator dan butuh niat baik untuk bekerjasama dari semua pihak. Peluang yang lain untuk membangun kerjasama para pihak ialah kebijakan pemerintah berupa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Perseroan Terbatas. Kedua kebijakan ini telah mewajibkan kepada perusahaan yang bekerja di bidang sumberdaya alam untuk menyisihkan sebagian keuntungannya untuk pelaksanaan program TJSL. Sedangkan bagi perusahaan lain, TJSL memang bersifat sukarela, tetapi sampai saat ini banyak sekali perusahaan yang memiliki program TJSL unggulan, khususnya untuk pemberdayaan masyarakat. Bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kebijakan Keputusan Menteri BUMN No. 236/ MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan (PKBL) juga bisa menjadi dasar peluang untuk berkontribusi pada pengurangan risiko bencana. Kebijakan-kebijakan tersebut memberi peluang untuk membangun kerjasama, karena program TJSL dan PKBL bisa diarahkan untuk mengurangi kerentanan masyarakat di kawasan rawan bencana, sehingga mereka lebih mampu untuk menghadapi dan mengurangi risiko bencana. Di sisi lain, banyak perusahaan atau pengusaha individu yang juga terkena dampak bencana. Misalnya, untuk konteks banjir Bengawan Solo di kabupaten Bojonegoro, Lamongan, dan Tuban, banyak pengusaha beras dan penggilingan padi yang mengalami kerugian yang besar karena gagal panen akibat banjir dan kehilangan atau kerusakan asetnya.23 Sedangkan pada konteks letusan gunung Kelud, banyak 23 Dampak banjir Bengawan Solo awal tahun 2012 mengakibatkan kenaikan harga gabah kering giling sebesar 22%. Hal ini diakibatkan oleh rusaknya ratusan ribu hektar tanaman padi di sepanjang sungai Bengawan Solo. (sumber: Kontan, 4 Januari 2012. Produksi beras terganggu akibat banjir Bengawan Solo. http://industri.kontan.co.id/news/produksi-beras-terganggu-akibat-banjir-bengawan-solo. Diakses pada 10 September 2014).

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

lebih merupakan kewajiban pada pelaksanaan tri dharma perguruan tinggi. Dengan adanya kecenderungan karakter tersebut, akan memudahkan inisiator dalam menjalin komunikasi dengan pihak lain untuk membangun kerjasama. Pengalaman BPBD Pacitan yang memiliki pegawai yang bisa memainkan peran sebagai insiator kemitraan dengan membangun komunikasi informal dengan pihak lain dan menumbuhkan nilai kerelawanan bersama, terbukti berhasil mewujudkan kemitraan yang bermanfaat bagi masyarakat di kawasan rawan bencana.

77


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

pedagang ternak dan pengusaha susu sapi yang juga mengalami kerugian besar.24 Sebagai sesama “korban� dari terjadinya bencana, maka perusahaan/pengusaha tersebut menjadi aktor potensial untuk diajak kerjasama dengan masyarakat di kawasan terdampak bencana. Contoh peran PG Kedawung di desa Kedawung Kulon dan Paguyuban Jeep di desa Wonokitri kabupaten Pasuruan adalah bentuk nyata kontribusi perusahaan/pengusaha yang juga terdampak atau potensi terkena dampak bencana.

78

Pemberlakukan UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga bisa menjadi peluang untuk membangun kemitraan dengan banyak pihak. Pada pasal 79 ayat 4 disebutkan bahwa “Peraturan Desa tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan Rencana Kerja Pemerintah Desa merupakan satu-satunya dokumen perencanaan di Desa.� Artinya, pihak manapun (pemerintah, lembaga sosial, perusahaan dll) yang memiliki program sampai pada tingkat desa harus mengintegrasikan programnya dalam RPJMDes dan RKPDes setempat. Sehingga, pemerintah desa memiliki kewenangan dan peluang untuk mensinergikan semua pihak yang bekerja di desanya dan membangun kemitraan bersama. Peluang ini mensyaratkan adanya kapasitas yang memadai di pemerintah desa untuk bisa menjalin kerjasama dengan berbagai pihak sesuai tujuan dalam RPJMDes. Dibalik peluang yang besar untuk membangun kemitraan multi pihak, para inisator dan koordinator kemitraan masih harus menghadapi tantangan yang cukup berat. Pengalaman pengembangan kemitraan di kabupaten Pasuruan, Pacitan, dan Lamongan menunjukkan bahwa setidaknya ada 4 tantangan utama yang masih perlu untuk dicarikan jalan keluarnya. Pertama, sebagai koordinator kemitraan,25 BPBD belum berhasil mengajak banyak SKPD lainnya untuk ikut bekerjasama dalam mewujudkan ketangguhan masyarakat di lokasi rawan bencana. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain kesadaran bahwa penanggulangan bencana (pra-saatpasca bencana) adalah tangggungjawab bersama belum banyak dimiliki oleh SKPD. Kebanyakan SKPD masih memahami bahwa peran mereka hanya pada saat tanggap darurat bencana. Di samping itu, BPBD sebagai koordinator dalam penangggulangan bencana belum bisa menjalin komunikasi yang baik dengan SKPD lainnya, terutama dalam menjelaskan peran dan fungsi BPBD sebagai koordinator. Kemudian, aspek psikologis bahwa Kepala Pelaksana BPBD dan Kepala Dinas adalah posisi yang setara, membuat proses komunikasi dan koordinasi tidak mudah dilakukan. Sebetulnya, 24 Dampak letusan gunung Kelud pada Februari 2014 telah mengakibatkan kerugian 436 juta per hari bagi pengusaha/koperasi susu sapi. Hal ini diakibatkan oleh turunnya produksi dari 30.000 sapi di kawasan Kelud. Diperkirakan, penurunan produksi bisa berlangsung sampai 1-2 bulan. (sumber: Kontan, 18 Februari 2014. Abu Kelud, pengusaha susu rugi Rp 436 juta perhari. http://industri. kontan.co.id/news/abu-kelud-pengusaha-susu-rugi-rp-436-juta-perhari. Dan Detik.com, 18 Februari 2014. Letusan Gunung Kelud Bikin 30.000 Sapi Stres, Produksi Susu Turun. http://finance.detik.com/ read/2014/02/18/122147/2500719/4/letusan-gunung-kelud-bikin-30000-sapi-stres-produksi-susuturun. Diakses pada 10 September 2014). 25 Peran BPBD sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana ini diamanatkan oleh Undangundang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Kedua, sebagai konsekuensi bahwa P4 harus dibangun dengan pendekatan people centered development, maka inisiasi isu untuk membangun kemitraan harus muncul dari masyarakat. Tetapi di sisi lain, tingkat kapasitas dan kesadaran kritis masyarakat juga sangat beragam, terkait dengan risiko bencana yang mereka hadapi. Bahkan, banyak masyarakat yang sudah tidak lagi menganggap serius atas ancaman bencana, karena seringnya bencana terjadi dan menimpa mereka, seperti banjir Bengawan Solo yang setiap tahun melanda di kabupaten Bojonegoro dan Lamongan. Idealnya, masyarakat sendiri yang menyadari risiko dan membuat rencana pengurangannya. Akan tetapi, di banyak daerah, masih dibutuhkan pihak luar untuk memfasilitasi mereka dalam mengkaji risiko bencana dan merumuskan rencana pengurangannya. Peran ini seringkali dilakukan oleh LSM dan perguruan tinggi yang relatif memiliki kapasitas dan waktu yang memadai untuk secara intensif berdiskusi dengan masyarakat, dibandingkan dengan instansi pemerintah atau perusahaan. Ketiga, upaya untuk membangun keterlibatan perusahaan besar, baik yang swasta maupun BUMN, tidak mudah untuk dilakukan oleh mitra pelaksana proyek P4 atau BPBD Kabupaten. Perusahaan besar biasanya sudah memiliki program tersendiri untuk pelaksanaan TJSL/CSR mereka. Lokasi program pun sudah ditentukan, dan prioritas diberikan kepada lokasi yang berada di sekitar perusahaan (ring I) dan lokasi tempat pasokan bahan untuk perusahaan. Sehingga, untuk mengajak mereka bekerjasama di lokasi lain, yang bukan menjadi prioritasnya, akan tidak mudah mewujudkannya. Mitra pelaksana proyek P4 sudah beberapa kali melakukan pendekatan kepada beberapa perusahaan besar, akan tetapi masih belum mendapatkan hasil. Sehingga, mereka menggunakan strategi yang berbeda untuk merangkul perusahaan-perusahaan yang ada di kabupaten. Kalau dilihat dari pengalaman 3 kabupaten di atas, maka hanya perusahaan skala kecil dan menengah yang berhasil diajak kerjasama dan memberikan kontribusinya. BPBD dan forum PRB yang diharapkan bisa menjalin komunikasi dan kerjasama dengan perusahaan besar, juga masih belum bisa menunjukkan hasilnya. Untuk itu, dibutuhkan strategi lain untuk membangun komunikasi dan kerjasama dengan perusahaan besar, yang sampai pada akhir proyek P4, belum berhasil dilakukan di 3 kabupaten. Dalam hal ini, pendekatan tingkat nasional mungkin bisa menjadi strategi yang efektif, dimana BNPB, sebagai koordinator penanggulangan bencana di tingkat nasional, bisa menjalin kerjasama dengan kementerian BUMN yang mengatur seluruh BUMN di Indonesia dan asosiasi perusahan serta pemilik perusahan swasta besar. 26 Sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah.

Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

Kepala BPBD ialah Sekretaris Daerah (Sekda)26 yang menjadi atasan semua Kepala Dinas, akan tetapi pada prakteknya, tidak banyak Sekda yang secara langsung mengkoordinasikan kerja-kerja pengurangan risiko bencana kepada semua SKPD di bawahnya.

79


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur 80

Keempat, kemitraan yang sudah dibangun di Pacitan, Lamongan, dan Pasuruan ialah kemitraan yang bersifat cair dan belum terlembagaan. Keberhasilan kemitraan masih tergantung pada tokoh relawan yang ada di masyarakat, perusahaan, lembaga sosial, dan perguruan tinggi. Di satu sisi, ikatan ini memang bisa fleksibel dan memberikan kenyamanan bagi semua pihak; tetapi di sisi lain, ketergantungan pada personal menimbulkan kerentanan ketika terjadi perubahan posisi atau pergantian tokoh kunci tersebut. Sehingga, diperlukan strategi lain untuk memastikan bahwa kemitraan yang sudah dibangun akan terus berlanjut dan memberi manfaat bagi semua pihak yang terlibat.


Model Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan: Pembelajaran dari Jawa Timur

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

81


epilog 82

Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat


83

BAB 4

Epilog


BAB IV

epilog

EPILOG

84

Pelaksanaan proyek P4 di 3 kabupaten (Pasuruan, Pacitan dan Lamongan) telah memberikan pembelajaran yang menjadi catatan penting untuk memastikan keberlanjutan dan pengembangan kemitraan yang saat ini sudah ada dan replikasi kemitraan multi pihak di tempat lain. Ada 6 hal penting sebagai pembejalan utama. Pertama, Kemitraan membutuhkan pihak yang mengambil inisiatif untuk memulai, dan ini bisa dari pihak manapun (pemerintah, LSM, perusahaan, masyarakat). Pengalaman di Pacitan menunjukkan bahwa inisiator kemitraan adalah BPBD yang diwakili oleh salah seorang Kepala Bidangnya. Di Lamongan, upaya membangun kemitraan diinisiasi oleh LSM yang bekerja langsung dengan masyarakat. Sedangkan di Pasuruan, inisiator kemitraan lebih banyak dilakukan oleh pemerintah dan tokoh masyarakat di tingkat desa. Keberadaan inisiator yang rela meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk membangun komunikasi dengan dan menjelaskan gagasannya kepada pihak lain adalah pra-syarat pertama untuk terwujudnya kemitraan multi pihak. Kedua, untuk mengelola dan memastikan kemitraan dapat berjalan dengan baik, diperlukan adanya koordinator yang bisa menjadi alur komunikasi dan dipercaya seluruh pihak untuk membangun kerjasama. Peran ini, dalam pengalaman di 3 kabupaten, lebih tepat dilakukan oleh pemerintah (BPBD) yang memang memiliki mandat sebagai koordinator dalam penanggulangan bencana. BPBD memegang peran sentral dan tumpuan harapan dalam kemitraan multi pihak. Beberapa fungsi koordinasi tidak bisa dilepaskan dari peran BPBD meskipun sudah ada Forum PRB. Sampai saat ini, Forum PRB di 3 kabupaten tersebut belum cukup punya kapasitas untuk melakukan koordinasi dan integrasi pengurangan risiko bencana antar pelaku, khususnya instansi pemerintah dan perusahaan. Selain itu, untuk memenuhi perannya, BPBD juga dituntut untuk membuat regulasi/mekanisme kerja yang jelas sebagai landasan kerjasama multi pihak yang saling menguntungkan. Dalam hal ini, kebijakan penanggulangan bencana daerah perlu memasukkan strategi kemitraan multi pihak dalam melaksanakan prioritas-prioritas untuk membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Ketiga, untuk menjaga komunikasi yang intensif antar berbagai pihak dalam membangun kerjasama, dibutuhkan ruang komunikasi dan diskusi. Idealnya, ruang ini diciptakan oleh Forum PRB yang memang merupakan representasi dari berbagai pihak yang bekerja untuk pengurangan risiko bencana. Akan tetapi, fakta di banyak


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Keempat, pengalaman di 3 kabupaten menunjukkan bahwa nilai-nilai kerelawanan yang ada di masing-masing pihak telah menjadi perekat bagi mereka untuk saling percaya dan bisa menjalin kerjasama. Nilai kerelawanan ini penting pada saat pertama kali inisiasi membangun kemitraan dimana dibutuhkan kedekatan dan saling percaya antar pihak. Di samping itu, nilai kerelawanan juga menjadi pendorong untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan kemitraan yang sudah disepakati bersama oleh para pihak. Kemudian, nilai kerelawanan juga selalu menjadi perekat selama jalin kemitraan berlangsung antar aktor. Hilangnya nilai kerelawanan akan menimbulkan pola hubungan yang kaku, formal, dan menjauh, sehingga akan sulit menemukan alasan bagi para pihak untuk mempertahankan kemitraan mereka. Kelima, untuk bisa bekerjasama dengan perusahaan, kita harus memahami kepentingan dan cara kerja mereka. Dalam pelaksanaan kerjasama multi pihak, peran perusahaan bukan sekedar melaksanakan program TJSL/ CSR. Perusahaan merupakan salah satu pihak strategis yang bisa berkontribusi banyak dalam pengurangan risiko bencana, termasuk dalam proses bisnis yang dijalankannya. Kepentingan dan cara kerja perusahaan mungkin berbeda bagi pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang belum pernah bekerjasama dengan mereka. Untuk itu, perlu ada saling tahu cara kerja, sehingga pintu masuk membangun kemitraan bisa diciptakan bersama. Keterbukaan dan penghargaan terhadap kepemilikan dari hasil-hasil kerja masingmasing perlu dilakukan untuk menumbuhkan rasa saling percaya. Di sisi lain, perusahaan juga bisa mendapat manfaat dari kemitraan multi pihak, dimana program TJSL/ CSR mereka bisa menjadi lebih tepat sasaran dan bermanfaat bagi masyarakat di kawasan rawan bencana. Selain itu, perusahaan juga akan mempunyai lebih banyak mitra pemerintah, LSM, perguruan tinggi dan organisasi masyarakat sipil yang bisa menjadi mitra dalam pelaksanaan program-program TJSL/ CSR. Keenam, menempatkan kepentingan masyarakat sebagai prioritas bersama telah terbukti mampu menjadi alasan yang kuat bagi banyak pihak untuk bekerjasama. Setiap pihak yang akan bekerjasama memiliki kepentingan dan tujuannya masingmasing. Akan tetapi, masing-masing tujuan tersebut bisa diintegrasikan apabila kemitraan menyepakati bahwa tujuan masyarakat adalah yang menjadi prioritas bersama. Untuk itu, partisipasi masyarakat sebagai aktor utama dalam proyek P4 merupakan faktor paling menentukan dalam keberhasilannya. Seberapa besar upaya

epilog

daerah menunjukkan bahwa forum PRB belum bisa memfasilitasi komunikasi dengan banyak pihak, terutama perusahaan dan instansi pemerintah selain BPBD. Di samping itu, masih sangat sedikit lembaga/organisasi yang menjadi anggota forum PRB di daerah. Seperti contoh di Pasuruan dan Lamongan, forum PRB hanya didominasi oleh 1-2 LSM yang memang aktif dalam isu penanggulangan bencana. Bahkan, di Pacitan belum ada forum PRB, yang ada hanya forum relawan yang terdiri dari dosen, mahasiswa dan tokoh masyarakat. Untuk itu, perlu upaya yang sistematis dan strategis terkait penguatan forum PRB di daerah. Forum ini harus menjadi ruang perwakilan dari para pihak untuk berkomunikasi dan berdiskusi, bukan menjadi sebuah lembaga tersendiri yang mengambil alih peran anggotanya.

85


epilog

dari berbagai pihak, tanpa adanya partisipasi masyarakat, maka tidak akan membuat dampak yang besar. Pemerintah desa sebagai pemegang kebijakan juga mempunyai peran penting dalam membuat regulasi dan kelembagaan penanggulangan bencana pada tingkat desa. Dengan adanya regulasi dan lembaga tersebut terbukti mampu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam penanggulangan bencana di desa. Masyarakat juga lebih mudah mengakses sumberdaya yang ada disekitarnya dan sumberdaya dari pihak lain untuk mendukung pengurangan risiko bencana di desa.

86

Disahkannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi salah satu titik awal untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat desa melalui integrasi pengurangan risiko bencana dalam pembangunan desa. Karena desa hanya akan mengenal satu perencanaan, maka rencana aksi masyarakat untuk pengurangan risiko bencana harus menjadi bagian dari RPJMDes dan RKPDes. Dengan adanya alokasi dana besar yang akan diberikan kepada desa juga menjadi sumberdaya dari masyarakat untuk meningkatkan kapasitas ketangguhannya di segala aspek. Tentunya, hal ini akan terjadi apabila masyarakat dan pemerintah desa sudah memiliki kesadaran kritis untuk menentukan prioritas pembangunan, terkait dengan ancaman risiko bencana yang mereka hadapi. Sebagai kesimpulan dari pengalaman di atas, Public, Private and People Partnership (P4) untuk membangun ketangguhan masyarakat harus dibangun dengan pendekatan people centered development. Sehingga, langkah pertama yang harus dilakukan ialah mengetahui kebutuhan masyarakat lokal sebagai pijakan untuk kerjasama multi pihak. Identifikasi kebutuhan juga harus dilakukan melalui pendekatan dan cara yang bisa membangun rasa kepemilikan masyarakat terhadap rencana kerjasama, karena rasa kepemilikan adalah kekuatan (ownership is power - Korten 2013). Dengan adanya rasa kepemilikan yang tinggi dari masyarakat, maka itu bisa menjadi kekuatan mereka untuk terus berkomunikasi dan menggalang kerjasama dengan berbagai pihak untuk meningkatkan ketangguhan mereka dalam menghadapi ancaman bencana. Sedangkan dari sisi pengembangan kemitraan multi pihak, ada dua variabel penting yang harus ada, yaitu motivasi masing-masing pihak untuk bekerjasama dan pola komunikasi yang dibangun antar para pihak. Motivasi kerelawanan dan pola komunikasi informal terbukti menjadi cara yang tepat untuk memulai membangun kemitraan. Setelah kedekatan para pihak sudah terbentuk, maka pola kemitraan bisa disesuaikan dengan karakter masing-masing pihak, misalnya kerjasama secara formal menjadi penting bagi instansi pemerintah dan perusahaan. Selain dua variabel tersebut, untuk menjaga kemitraan yang sedang dibangun, perlu ada kesamaan tujuan dari para pihak. Tujuan besar untuk membangun masyarakat yang aman dan sejahtera bisa menjadi perekat bersama para pihak, sekalipun masing-masing memiliki kepentingan yang agak berbeda.27

27 Penjelasan tentang tujuan bersama yang bisa menjadi perekat sebuah tindakan kolektif atau kemitraan bisa dilihat di tulisan Olson (1971) dan Foweraker (1995).


epilog

MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

87


Daftar Pustaka

Antara News. 14 Februari 2014. Letusan Gunung Kelud mulai berdampak di Jawa Timur-Jawa Tengah. http://www.antaranews.com/berita/418952/letusangunung-kelud-mulai-berdampak-di-jawa-timur-jawa-tengah. Diakses pada 10 September 2014. Bataha, Katerina. 2013. Kebijakan Mutasi Jabatan Struktural di Lingkup Pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Jurnal Administrasi Publik 1.1 (2013). daftar pustaka

BNPB. Data dan Informasi Bencana Indonesia. http://dibi.bnpb.go.id. BPS Kabupaten Pacitan. 2013. Kabupaten Pacitan Dalam Angka 2013.

88

Detik.com, 18 Februari 2014. Letusan Gunung Kelud Bikin 30.000 Sapi Stres, Produksi Susu Turun. http://finance.detik.com/read/2014/02/18/122147/2500719/4/ letusan-gunung-kelud-bikin-30000-sapi-stres-produksi-susu-turun. Diakses pada 10 September 2014.

BPS Kabupaten Pasuruan. 2010. Kabupaten Pasuruan Dalam Angka 2010. Cutter, Susan. et. al. 2008. A place-based model for understanding community resilience to natural disasters. Global Environmental Change, Vol. 18.

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Lamongan, 2012. Data Penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2012. Foweraker, J. 1995. Theorizing Social Movements. London: Pluto Press. Kabupaten Lamongan. 2012. Buku Laporan Kerja Pertanggung Jawaban (LKPJ) Kabupaten Lamongan tahun 2012. Kabupaten Lamongan. 2012. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Lamongan 2012. Kabupaten Pacitan. 2012. Informasi Laporan Penyelenggaran Pemerintah Daerah (LPPD) Kabupaten Pacitan 2012. Kabupaten Pasuruan. Profil Kabupaten Pasuruan. http://www.pasuruankab.go.id/ pages-1-gambaran-umum.html. Diakses pada Juni 2014. Keputusan Menteri BUMN No. 236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan.


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Khanom, Nilufa Akhter. 2010. Conceptual Issues in Defining Public Private Partnerships (PPPs). International Review of Business Research Papers Volume 6. Number 2. July 2010 Pp. 150 -163. Kompas 2014. Kerugian Akibat Bencana Kelud Ditaksir Rp. 1,2 Triliun. http://regional. kompas.com/read/2014/02/17/1800532/Kerugian.akibat.Bencana.Kelud.Ditaksir. Rp.1.2.Triliun. Diakses pada 14 Agustus 2014. Kontan, 4 Januari 2012. Produksi beras terganggu akibat banjir Bengawan Solo. http:// industri.kontan.co.id/news/produksi-beras-terganggu-akibat-banjir-bengawansolo. Diakses pada 10 September 2014

Korten, David C. 1987. Third Generation NGO Strategies: A Key to People-centered Development. World Development, Vol. 15, Supplement. pp. 145-159, 1987. Korten, David C. 2013. The pursuit of happiness: A new development paradigm. http://livingeconomiesforum.org/new-development-paradigm. diakses pada 15 Agustus 2014. Meister Consultants Group, Inc. 2013. Resilience in Action: Lessons from Public-Private Collaborations Around the World. Boston U.S.A. Mitchell dan Harris. 2012. Resilience: a risk management approach. ODI Background Note. Overseas Development Institute. Olson, M. 1971. The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups. Cambridge: Harvard University Press. Paoletto, Glen. 2000. Public-Private Sector Partnerships: An Overview of Cause and Effect. Dalam Asian Development Bank Institution. 2000. Public Private Partnerships in the Social Sector- Issues and Country Experiences in Asia and the Pacific. ADBI Policy Paper, No. 1, 2000, diedit oleh Yidan Yang. Peraturan Kepala BNPB Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya. Peraturan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Nomor 3 Tahun 2012 tentang Panduan

daftar pustaka

Kontan, 18 Februari 2014. Abu Kelud, pengusaha susu rugi Rp 436 juta perhari. http:// industri.kontan.co.id/news/abu-kelud-pengusaha-susu-rugi-rp-436-juta-perhari. Diakses pada 10 September 2014.

89


Umum Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas. Tempo. 19 Januari 2008. Kerugian Banjir Bengawan Solo Sekitar Rp. 2 Triliun. http:// www.tempo.co/read/news/2008/01/19/056115789/Kerugian-Banjir-BengawanSolo-Sekitar-Rp-2-Triliun. Diakses pada 14 Agustus 2014. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

epilog

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

90

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UNISDR. 2009. The Development of a Public Partnership Framework and Action Plan for Disaster Risk Reduction (DRR) in Asia. Bangkok: UNISDR secretariat Yudhicara. 2011. Prediksi Landaan Tsunami untuk Wilayah Pantai di Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 21 No. 1 April 2011. World Bank. 1999. Working Together for a Change: Government, Business and Civil Partnerships for Poverty Reduction in Latin America and the Caribbean. The World Bank, Washington, D.C.:USA. World Bank. Tt. What Are Public-Priave Partnership. http://ppp.worldbank.org/publicprivate-partnership/overview/what-are-public-private-partnerships. Diakses pada 26 September 2014 Wawancara NO 1 2 3

NAMA Choiri Arifin Ratna Budiono

POSISI staf Perkumpulan Aksara Kepala Desa Sirnoboyo Kabupaten Pacitan Kepala Seksi (Kasi) Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Pacitan

TANGGAL 21 April 2014 21 April 2014 22 April 2014


MENJALIN KEMITRAAN UNTUK MEMBANGUN KETANGGUHAN MASYARAKAT

Ibu Lis

5 6

Diana Rina

7 8 9

Hanggono Suryo Wibowo Pengki Bagong

10 11

Saiful Anwar Saiful

12

Indriani

13

Wiji

14

Kirun

15

Yudha Triwidya

16 17

Fatit Rahmat Aji Yusron

18 19

Nadia Warda dan Anis

20

Suprapto

21 22 23

Rudi Afan Alfian Muwadturrahmah

Dinas Kelautan dan Perikanan kabupaten Pacitan dosen STKIP Kabupaten Pacitan koordinator EHS (Environtment Health and Sevety)/K3 Pt. PPIS di Pacitan Kepala Desa Sidomulyo Kabupaten Pacitan karyawan PG Kedawung di Pasuruan Ketua Forum PRB Desa Kedawung Kulon Kabupaten Pasuruan Sekretaris BPBD Kabupaten Pasuruan koordinator LPBI-NU Kabupaten Pasuruan Ibu Kepala Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan ketua KOBAR desa Wonokitri kabupaten Pasuruan Ketua Paguyuban Jeep desa Wonokitri kabupaten Pasuruan Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Pasuruan Sekjen Forum PRB Kabupaten Pasuruan dosen STIMIK Yadika Kabupaten Pasuruan koordinator Cakrawala Timur di Surabaya aktifis Aliansi Perempuan Lamongan (APEL) Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Lamongan LPPBI-NU Kabupaten Lamongan MDMC Kabupaten Lamongan Sekretaris Forum Desa Bulutigo Kabupaten Lamongan

22 April 2014 22 April 2014 22 April 2014 23 April 2014 24 April 2014 24 April 2014 24 April 2014 25 April 2014 26 April 2014 26 April 2014 26 April 2014 27 April 2014 28 April 2014 28 April 2014 30 April 2014 30 April 2014 30 April 2014 1 Mei 2014 1 Mei 2014 2 Mei 2014

epilog

4

91


Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat

Menjalin Kemitraan untuk Membangun Ketangguhan Masyarakat Diterbitkan atas dukungan:

Cover Menjalin Kemitraan.indd 1

20/06/2015 13:09:57


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.