Kisah dari timur

Page 1

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri Diterbitkan atas dukungan

Cover Kisah Dari Timur.indd 1

20/06/2015 13:32:46


Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri


Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri


t

pendahuluan

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

1

BAB 1

Pendahuluan


BAB 1

Pendahuluan

pendahuluan

(Oleh Dr. Sutopo Purwo Nugroho - Head of Data, Information and Public Relations BNPB Indonesia)

2

Buku ini merupakan sebuah ringkasan elaboratif mengenai pengalaman masyarakat Indonesia mengembangkan sistem penanganan bencana yang diselenggarakan oleh masyarakat secara mandiri. Penanganan bencana oleh masyarakat bukan sesuatu yang baru di negeri ini. Berbagai catatan sejarah yang telah dipublikasikan maupun praktik turun-temurun yang masih berlangsung hingga hari ini menunjukkan hal itu. Pada masa kerajaan Hindu-Budha setidaknya sejak abad 10 Masehi, sudah ada upaya penanganan bencana. Ini misalnya dilakukan Raja Erlangga (memerintah tahun 10091042 Masehi) di Kerajaan Kahuripan yang mengerahkan rakyatnya untuk membangun bendungan yang digunakan menghalau banjir dari Sungai Brantas. Di saat yang sama, Erlangga mengurangi beban pajak rakyat yang mengalami banjir. Sebelum Erlangga, kakek buyutnya yaitu Mpu Sindok, raja pertama di Kerajaan Medang (Jawa Timur) yang berkuasa pada tahun 929-947 Masehi membuat sudetan Sungai Harinjing yang mengalir ke Sungai Konto. Posisi sudetan kini masih dimanfaatkan sebagai kanal lahar dingin erupsi Gunung Kelud. Jauh di wilayah timur Indonesia, di sebuah pulau terpelosok bernama Palue dengan Gunungapi Rokatenda, masyarakat adat mengingat petuah nenek moyang agar di tempat tertentu yang ditetapkan, masyarakat tidak boleh menumbangkan pohon besar selama kurun waktu lima tahun. Bila ajaran ini dilanggar, masyarakat dipercaya akan terkena bencana. Secara praktis, larangan itu dapat dimengerti sebagai upaya menjaga agar ada bidang-bidang lahan yang dapat berfungsi menghalangi laju lava gunung ketika meletus maupun banjir. Nasihat yang mengingatkan akan bencana juga diwariskan kepada masyarakat Pulau Simeulue di Sumatra lewat kisah Smong. Kisah tersebut bahkan secara luar biasa telah membantu menyelamatkan warga saat tsunami raksasa menerjang pantai barat wilayah itu pada bulan Desember 2004. Ribuan warga Simeulue berbondongbondong lari ke bukit sesaat setelah gempa besar terjadi dan air laut surut tibatiba karena mengingat peringatan tentang Smong (dalam dialek setempat berarti tsunami).


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Meski demikian, seiring perkembangan masyarakat, pengetahuan untuk menangani bencana yang berasal dari kehidupan turun-temurun itu ada yang memudar, bahkan menghilang. Orang melupakan pengetahuan itu. Ada yang secara sembrono dianggap tak lagi relevan dengan zaman. Ada yang luntur karena perubahan dalam masyarakat. Namun itu semua menunjukkan bahwa pengetahuan modern yang didominasi oleh positivisme pengetahuan mengerus pemaknaan pengetahuan dan menempatkan pengetahuan tersebut sebagai kearifan lokal, untuk tidak mengatakannya sebagi pengetahuan. Implikasi dari dominasi pengetahuan saat ini adalah penomor duaan pengetahuan asli masyarakat sebagai sebuah pengalaman saja bukan pengetahuan yang sejajar dengan pengetahuan modern. Pengetahuan asli masyarakat terstigma menjadi materi sejarah dan tidak memiliki nilai modern.

Pengalaman faktual menunjukkan bahwa penanganan bencana adalah kompleks. Di dalamnya terdapat persoalan teknis yang berkelindan dengan persoalan sosial, kultural, ekonomi, pertahanan, dan lain-lain. Dalam hal ini, pedekatan teknis praktis menjadi kurang memadai. Pendekatan ini akan menghadapi kesulitan prinsipil ketika menghadapi situasi sosial-kultural yang kompleks, seperti di kaki Gunung Rokatenda di mana ada warga yang memilih bertahan di rumah karena ketaatan pada ajaran para leluhur, kendati ancaman erupsi tersebut di depan mata. Dengan alasan kultural, warga menolak relokasi karena harus meninggalkan tanah leluhur. Demikian pula dalam proses evakuasi. Mengungsi bukan hanya soal mengangkut fisik manusia ke tempat-tempat aman, tetapi harus pula mempertimbangkan penyelamatan hewan ternak milik masyarakat. Selalu ada warga yang enggan mengungsi karena alasan properti seperti ternak. Penjangkauan media televisi yang menyebarluaskan gambar-gambar kondisi di pengungsian yang menunjukkan orang-orang seolah hanya duduk menunggu berhari-hari hingga situasi kembali aman agar bisa kembali ke rumah yang telah hancur lebur juga memberikan perasaan tidak nyaman bagi sebagian orang untuk ikut evakuasi. Mereka tidak ingin hidup seperti hewan ternak yang hanya memamah biak tanpa kejelasan akan nasib dirinya dan keluarganya. Sementara itu, upaya menggerakkan evakuasi dan menangani kondisi saat transisi darurat juga dihadang beragam persoalan yang klasik, sebab terus berulang dari waktu ke waktu. Menjelang atau saat harus evakuasi, ada saja warga yang belum mengetahui informasi situasi dan mereka harus bagaimana agar selamat. Ini biasanya diperburuk oleh distorsi informasi, entah dari sisi komunikator maupun media penyaluran informasi. Ketika evakuasi berlangsung, warga mengungsi dengan panik, sehingga tak jarang justru memicu kecelakaan dan menimbulkan korban. Setelah tiba di tempat pengungsian, masyarakat pun akan meminta supaya bisa segera kembali ke rumah. Di Indonesia, misalnya dalam kejadian erupsi Gunung Sinabung di Tanah Karo, Sumatra Utara, pada tahun 2013 sejumlah warga ditemukan tewas setelah kembali

pendahuluan

Penanganan bencana yang digerakkan masyarakat

3


memasuki zona merah karena distorisi informasi yang membuat mereka mengira kondisi sudah aman.

pendahuluan

Hal lain adalah mengenai pengelolaan pengungsian selama transisi darurat. Cukup sering bahwa pengungsian dikelola oleh pihak di luar masyarakat, di mana masyarakat umumnya hanya menjadi “konsumen�. Di sini timbul banyak masalah, termasuk bahwa tidak semua orang bersedia diperlakukan sebagai manusia yang tidak berdaya di tempat pengungsian. Di sisi lain, persoalan transparansi “bantuan� juga makin kerap mengemuka. Hal-hal ini bisa terjadi karena penanganan bencana menjadi urusan satu pihak, dalam hal ini pihak luar yang datang selaku dewa penolong bagi masyarakat yang terkena bencana. Kerapkali tidak ada upaya untuk memberdayakan dengan memberikan ruang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk berperan.

4

Kesulitan-kesulitan tersebut mengharuskan kita, mau tidak mau harus kembali kepada masyarakat untuk menemukan solusi. Keterlibatan masyarakt adalah kunci. Peran masyarakat harus dimulai sejak identifikasi ancaman hingga penyusunan rencana kontingensi. Bila selama ini sumber daya rencana kontingensi cenderung dimaknai sebagai mobilisasi sumberdaya eksternal, maka dalam penanganan yang digerakkan masyarakat sumber daya mesti dipahami sebagai menggerakkan potensi yang ada di masyarakat. Indonesia memiliki banyak pengalaman menangani bencana, barangkali salah satu di dunia dengan bencana terbanyak. Kami belajar dari pengalaman itu, entah dari keberhasilan maupun kegagalan. Pada periode antara Februari hingga November 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia melakukan sebuah riset intensif di sekurangnya 11 kota dalam rangka mencari pembelajaran dari praktikpraktik penanganan bencana yang ada. Kami menemukan banyak hal, termasuk secara mendalam tentang bagaimana penanganan yang digerakkan oleh masyarakat itu mungkin, bahkan sangat sukses. Salah satu yang paling menonjol yang karena itu kami angkat dalam buku ini adalah pengalaman masyarakat di sekitar lereng Gunung Kelud, Jawa Timur, saat menghadapi erupsi dahsyat pada bulan Februari 2014. Setidaknya 86.000 jiwa yang tinggal di tiga kabupaten sekitar gunungapi ini berhasil dievakuasi dalam waktu kurang dari dua jam, tanpa seorang pun korban langsung yang ditimbulkan. Beberapa saat setelahnya, kondisi masyarakat telah kembali seperti semula, bahkan gerakan pengurangan risiko dan kesiapsiagaan terus berlangsung hingga kini oleh masyarakat sendiri untuk mengantisipasi kemungkinan banjir lahar hujan. Masyarakat Kelud mampu bangkit dari situasi tercerai berai pada erupsi tahun 1990 dan 2007 ketika evakuasi terpaksa dilakukan tunggang langgang karena tidak ada informasi dan absennya pemimpin dan kepemimpinan. Pada tahun 2014, Peran ini dijalankan dengan penuh tanggung jawab karena solidaritas bersesama yang dididik sejak tahun 2008.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Secara garis besar, buku ini berisi lima bab. Bab pertama memaparkan bagaimana horizon pemikiran timur dalam memahami bencana. Istilah ‘timur’ dalam hal ini tidak pertama-tama mengacu kepada logika geografis. Timur adalah antitesis barat. Timur di sini berkaitan dengan corak alam fikir yang berbeda dengan corak pemikiran barat. Corak pemikiran timur dicirikan dalam ke-khas-annnya yang holistik. Pengetahuan barat tetap digunakan dalam batas kemampuannnya untuk dijustifikasi dengan corak pemikiran timur. Maka, selain persoalan teknis persoalan kompleks dari kultur dan mistisme yang mewarnai tindakan sosial juga menjadi bagian yang digeluti. Apalagi ke-khas-an kultural Indonesia, maka dalam konteks ini corak pemikiran kejawa-an menjadi penting untuk digunakan dalam penjelasan motif-motif dasar dan cara memenuhinya sedemikian sehingga penanganan bencana secara mandiri oleh masyarakat menjadi mungkin. Selanjutnya, pada bab kedua hingga keempat akan ditampilkan pengalaman sekaligus ekstraksi pengetahuan dari penanganan bencana yang digerakkan masyarakat, khususnya berdasarkan kejadian erupsi Gunung Kelud. Kami percaya bahwa kisah Kelud adalah contoh sangat baik mengenai bagaimana mitigasi kultural dilakukan. Mitigasi kultural di sini memiliki makna yang lebih spesifik dibanding terminologi mitigasi non struktural yang luas dipahami selama ini sebagai vis a vis upaya mitigasi struktural. Dalam mitigasi kultural, apa yang dilakukan adalah berdialog secara intensif dengan kebudayaan setempat untuk menemukan titik singgung dengan pengetahuan modern yang bermanfaat bagi penanganan bencana dan pada akhirnya kebaikan umum. Dan tentu saja, penanganan bencana di Kelud menjadi menarik karena sungguh-sungguh digerakkan oleh masyarakat itu sendiri. Bab penutup adalah tulisan refleksi.

pendahuluan

Buku di hadapan Anda ini merupakan versi ringkas dari buku yang akan dipublikasikan dalam waktu dekat di Indonesia. Buku ini dituliskan dengan maksud membagikan pengetahuan masyarakat Indonesia kepada dunia, kepada mereka yang ingin menyelami makna penanganan bencana yang digerakkan oleh masyarakat. Berbagi dalam hal ini persis karena gerakan masyarakat itu sendiri dijiwai oleh semangat berbagi dalam komunitas. Peristiwa-peristiwa bencana telah membantu kita menyadari bahwa manusia adalah sosok-sosok yang mampu mengesampingkan kepentingan diri sendiri untuk menolong orang lain. Dalam kebebasannya, manusia sanggup memberi diri agar harmoni kehidupan terjaga. Dan harmoni itu, dari zaman Erlangga sampai hari ini masih serupa dan sebangun: Bahwa dalam hidup ini kita tidak sendiri dan tidak bisa sendiri. Sebab, apakah bencana selain bagian dari realitas kehidupan yang disambut dengan segenap kemanusiaan kita demi pendewasaan sebagai manusia? Dan apakah penanganan bencana itu selain dari kemanusiaan yang dipraktikkan?

5


6

Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

7

BAB 2

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

BAB 2

8

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

1.1. Pengantar Gunung Kelud adalah gunungapi aktif yang menurut catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) terlacak meletus sejak tahun 1000. Ciri letusan eksplosif diketahui sejak tahun 1901. Pada tahun 1919, letusan Kelud menewaskan 5.160 orang. Ciri letusan yang eksplosif yang pernah mengakibatkan ribuan korban jiwa. Sebelum tahun 2007, Gunung Kelud dikenal sebagai gunungapi dengan kawah berupa danau. Pemerintah membangun terowongan untuk mengurangi volume air dalam kawah pada tahun 1926. Letusan pada tahun 1990 setidaknya 57,3 meter kubik juta meter kubik material padat terlontar. Pada tahun 2014 letusan eksplosif Gunung kelud melontarkan material hingga setinggi 17 kilometer. Suara ledakan terdengar hingga radius lebih dari 300 kilometer. Jumlah total pengungsi mencapai 100.248 jiwa. Pengosongan lokasi hingga lebih dari 10 kilometer dari pusat erupsi. Dampak erupsi Kelud hingga menutup seluruh bandara di Jawa kecuali Jakarta. Sebaran abu vulkanik ke arah timur mencapai Pulau Lombok, sedangkan arah barat mencapai Jawa Barat. Lereng Kelud sendiri ditinggali setidaknya 100.000 jiwa. Kehidupan mereka tergantung dari sumberdaya yang diberikan oleh gunung tersebut. Selama ratusan tahun mereka hidup dalam ekosistem Gunung Kelud. Kehidupan yang berlangsung lama tersebut membentuk relasi dengan (simbolisasi) gunung. Gunung dimaknai melebihi keadaan fisiknya. Makna ini menciptakan persepsi yang kemudian mempengaruhi tanggapan masyarakat terhadap fenomena gunung, termasuk erupsi Gunung Kelud. Dalam dunia mistik Jawa, kehidupan manusia (jagad kecil/mikro kosmos) adalah bagian dari semesta (jagad besar/makro kosmos). Kejawaan ini juga manifestasi atas hormat dan menjaga keselarasan yang menjadi pokok alam fikir (nalar) Jawa. Hormat diwujudkan sebagai upaya ‘ngaruhke’ (memberi perhatian khusus) seperti berkunjung ke rumah tokoh adat dengan tata cara yang disesuaikan dengan adat istiadat yang ada, serta upaya menjaga keharmonisan relasi antara jagad cilik (dunia


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Dalam mitologi Gunung Kelud, diyakini sebagian besar masyarakat bahwa erupsi Gunung Kelud adalah wujud ‘tindakan’ dendam Lembu Sura terhadap Kediri, dan dendam tersebut suatu ketika akan hadir sebagai kenyataan.1 Benar bahwa dendam ditujukan kepada Kediri, bukan kepada warga lereng Kelud karena Kelud dirawat oleh warga sekitarnya. Namun dendam yang terlaksana tersebut akan memiliki dampak yang mungkin akan terjadi pada warga lereng Kelud, oleh karena itu pada posisi inilah warga yang tinggal di lereng Gunung Kelud harus waspada. Dengan demikian Gunung Kelud tidak dimaknai sebagaimana gunungapi lainnya di Indonesia, Kelud adalah ancaman, maka warga harus kembali kepada tradisi setempat untuk ‘berkomunikasi’ sehingga mereka terhindar dari ancaman bahaya erupsi dan tetap melangsungkan kehidupannya tanpa menjadi korban ‘dendam’ Kelud pada Kediri pada saat erupsi. Dasar kewaspadaan terhadap bencana erupsi gunungapi, bagi warga sekitar Gunung Kelud pada kepercayaan dan tradisi Jawa yang sudah berlangsung berabad-abad. Gunungapi bukan diposisikan semata sebagai material fisik yang dihuni, namun dipersonifikasikan sedemikian sehingga memiliki makna yang perlu ditanggapi sebagai bagian dari makro kosmos. Prinsip hidup Jawa didasarkan pada keharmonisan relasi hidup antara mikro dan makro kosmos. Maka prinsip etis utama kehidupan masyarakat Jawa adalah hidup rukun dan berlaku (bertindak) hormat. Hidup rukun dimaknai sebagai kaidah bagi setiap manusia bersikap sedemikian-hingga sehingga tidak menimbulkan konflik. Sedangkan berlaku hormat adalah kaidah agar setiap manusia dalam berbicara dan membawakan diri selalu dalam sikap hormat kepada orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya. 1.2. Moralitas sebagai Dasar Etika Jawa Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis atau berada dalam keadaan selaras, tenang dan tenteram tanpa perselisihan dan pertentangan serta bersatu dalam maksud saling membantu2. Rukun sendiri adalah kondisi damai, tidak ada perselisihan, saling menerima, bekerja sama, tenang dan sepakat. Rukun adalah kondisi ideal yang dituju oleh masyarakat dan dapat dipertahankan dalam hubungan sosial. Dengan demikian rukun adalah cara bertindak, dan bertindak rukun adalah menghilangkan gejala-gejala ketegangan baik dalam pribadi maupun dalam masyarakat sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik3. Artinya, rukun adalah cara bertindak yang menghindarkan diri dari konflik untuk keharmonisan dan keselarasan hubungan dalam masyarakat. Kebebasan diri dari konflik dalam moralitas Jawa artinya bebas dari rasa resah yang merupakan kebahagiaan besar karena resah adalah gangguan manusia yang terbesar. Dalam pengertian ini, sikap memperhatikan perasaan orang lain adalah tindakan yang sangat penting.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

personal) dan jagad gedhe (dunia kehidupan). Kesadaran ini juga disadari dilandasi oleh ‘pengertian’ bahwa tanpa keselarasan diantara keduanya hidup bersama menjadi tidak mungkin. Hidup bersama menjadi jauh dari realitas kehidupan mereka sendiri.

9


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Di dalam kisah Bima Suci4, sebagaimana dalam dunia pewayangan dikisahkan, Bima salah seorang ksatria dalam keluarga Pandawa pada kisah Mahabarata, Bima diminta penasehat spiritualnya (Durna) untuk mencari banyu perwitasari (air kehidupan) sebagai kekuatan untuk menang dalam perang Bharatayuda. Dalam pencariannya Bima menghadapi tantangan yang tidak mudah, seperti perang dengan raksasa di hutan dan masuk ke dalam samudera berhadapan dengan naga raksasa Nemburnawa hingga dirinya mengalami kelelahan yang amat sangat sehingga diombang-ambingkan oleh ombak samudera. Pada saat itu dirinya dihampiri makhluk mirip dirinya kecil, yang memperkenalkan diri sebagai Dewaruci, penjelmaan Yang Mahakuasa. Ia kemudian mengajak Bima masuk ke dalam dirinya melalui telinganya. Pada awalnya Bima memngalami kekosongan yang luar biasa hingga kemudian melihat kembali matahari, tanah, gunung, dan laut. Ia mengerti bahwa di dalam Dewa Ruci termuat seluruh alam luar secara terbalik. Di dalamnya ia menyaksikan empat warna yang melambangkan sifat-sifat manusia. Bima menyadari bahwa hakikat hidup yang terdalam adalah manunggaling kawula Gusti (kesatuan hamba-Tuhan). Dalam kesatuan tersebut Bima menyadari bahwa tidak ada lagi yang perlu dipelajari. Ia hidup dalam kematian dan mati dalam hidup. Dalam hal itu dirinya menemukan asal muasal dan tujuan hidup yaitu menyatu dalam kesatuan (relasi) hamba-Tuhan, bersempurna dalam kehidupan. Ia menyadari dirinya telah bereksistensi sesuai dengan kodrat Ilahi. God

10

Self Manunggaling Kawula-Gusti

Spirits

Nature

Gambar 1.1Filsafat Hidup Jawa Oleh karena itu dalam pengertian ini, makro kosmos adalah alam lahir (makro kosmos) yang merupakan eksteriorisasi alam batin (mikro kosmos). Sedemikian sehingga pengertian mikro kosmos atau ‘tubuh manusia’ Jawa berbeda dengan tubuh dalam sejarah pemikiran Barat, namun sebagai realitas yang utama, yaitu realitas batin. Suara


hati dan pengendalian diri adalah pra-tindakan yang berada dalam realitas batin. Maka, tindakan lahir yang melahirkan relasi fisik (lahir) adalah akibat (eksteriorisasi) yang ditimbulkan sesuai dengan realitas batinnya. Realitas batin relasi dengan dunia eksterior inilah yang menjadi kunci tradisi, kepercayaan, dan budaya masyarakat Jawa dalam berelasi baik dengan manusia lain maupun dunia di luar ‘subyek’ Jawa. Dengan sendirinya, dalam pengertian moralitas Jawa, subyek (diri) manusia Jawa tidak memiliki nilai bagi dirinya sendiri karena diri manusia adalah pancaran sinar ke-Ilahian. Individualitas bukanlah realitas permanen namun sementara. Kesatuan hambaTuhan adalah kesempurnaan hidup manusia Jawa. Konsisten dengan pengertian sebelumnya prinsip hidup rukun memiliki implikasi makna yang bersifat negatif: mencegah (menghindari) segala tindakan yang dapat menimbulkan keselarasan dan ketenangan. Prinsip kerukunan adalah untuk tidak mengganggu keselarasan daripada menciptakan keselarasan sosial. Kedua, rukun adalah usaha untuk menjaga keselarasan dalam relasi5. Kontrol diri menjadi penting untuk menjaga keselarasan. Dalam penelitian di Modjokuto, Clifford Geertz menyatakan bahwa kaum priyayi alus sangat menekankan perilaku yang teratur untuk menghindari kejutan-kejutan (kagét) yang berdampak pada keharmonisan relasi6 dan terutama dibawakannya dalam percakapan yang jauh dari kesan marah, frustrasi, dan emosi yang sangat terkendali. Oleh karena itu, dalam menjaga keharmonisan suatu pernyataan dibuka dengan rumusan: “mbok menawi” (barangkali) dan jawaban “inggih” (ungkapan persetujuan) dengan sopan dan menghindari kata “mboten” (tidak). Pun ketika harus menghindari kekecewaan diperlukan sikap “éthok-éthok” (berpura-pura) untuk mencegah konflik yang mungkin akan muncul7. 1.3. Kesadaran dan Prinsip Etika Jawa Sebagaimana kisah Bima Suci, kesadaran Bima ditemukan melalui pengertian yang lebih dari sekedar pengetahuan. Pengertian berhubungan dengan rasa (råså) yang berarti kecocokan sempurna dalam keselarasan keseluruhan. Pengertian ini bukan yang tumbuh secara lahiriah seperti pengetahuan yang dapat dimengerti secara kognitif, namun lebih karena pendalaman realitas atas keterlibatan diri pribadi manusia. Jika subyek mengerti yang lebih benar, maka ada rasa yang lebih mendalam dan lebih benar8. Rasa dapat dibiasakan dengan mengembangkannya kepekaannya dalam relasi dan reaksi sesamanya dengan membatinkan perintah dasar untuk mencegah konflik sebagai sesuatu yang positif dan memahami struktur hirarkis masyarakat. Dengan demikian secara pribadi akan diketahui posisinya dalam tempat sosial dan tempat kosmisnya. Untuk keperluan ini kemampuan untuk bersikap yang sesuai dengan tuntutan etika keselarasan, dikembangkan dengan cara: tekanan masyarakat yang tidak mentolerir sikap-sikap tidak menghormati adat istiadat, pelanggaran tata karma sopan santun (etiket), tidak menghormati masyarakat sesuai dengan kedudukan dan kewajibannya, dan tidak menjaga keharmonisan dengan memunculkan sikap

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

11


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

konflik terbuka. Selain tekanan masyarakat juga dengan internalisasi norma-norma etika keselarasan melalui pendidikan dengan mengembangkan kemampuan untuk menjadi rumĂĽngsĂĽ (malu dan sungkan) sebagai kriteria kematangan kepribadian Jawa.

12

Dalam etika Jawa perilaku yang benar tidak hanya didasari atas pengetahuan atas moral namun juga pengertian yang benar akan menjamin perilaku yang benar pula9. Perilaku yang baik merupakan akibat pengertian dalam rasionalitas spesifik tindakan yang baik. Pengertian sebagai sikap dasar yang benar dengan rasa yang mendalam dan benar, akan menghasilkan sikap-sikap etis yang tepat10. Dalam kepentingannya menjaga keselarasan diperlukan setiap individu menjaga (kontrol) diri, menjaga suasana rukun, dan mengakui kedudukan masing-masing. Oleh karenanya orang Jawa perlu memberikan tekanan pada keutamaan-keutamaan membangun kehendak untuk selalu menjaga keselarasan, menjauhi konflik dan menunjukkan rasa hormat. Keutamaan-keutamaan itu adalah untuk membatasi diri, kesediaan untuk tidak menomorsatukan diri (sepi ing pamrih) dan kesediaan untuk memenuhi kewajiban masing-masing dengan setia, kesediaan untuk melaksanakan kewajiban (rame ing gawe)11. Dua keutamaan dasar etika Jawa ini memiliki ciri teoritis yaitu bersifat formal dan negatif. Sifat formal dan negatif ditunjukkan dengan merujuk pada sikap tertentu yang harus dicegah. Ciri keduanya adalah kesediaan untuk membatasi diri serta menyesuaikan diri dengan harapan-harapan masyarakat. Terhadap kehendak buruk, dalam etika Jawa dimaknai sebagai kekurang pengertian dan disebut durung ngerti. Maka, orang yang demikian akan disebut kurang berkembang sebagai manusia. Mereka mungkin mengerti aturan moral, normanorma dalam masyarakat namun dalam arti yang dangkal. Ia bukan jahat tetapi bodoh, dan patut disayangkan12. Dalam memelihara keselarasan diperlukan tindakan yang benar yang menempatkan dalam keseluruhan hubungan yang selaras. Terdapat dua kategori kunci yaitu halus dan kasar (estetika) dalam mengatur semua unsur lahir dan batin (moral). Halus adalah sikap yang sudah mengendalikan kejasmanian dan kerohaniannya sehingga mencapai rĂĽsĂĽ yang benar. Sebaliknya kasar adalah kekurangan kontrol diri dan kekurang matangan13. Dalam hal ini, pada awalnya, terdapat kedekatan antara penilaian moral dan estetika. Namun orang Jawa tidak akan tergesa-gesa untuk memberikan penilaian moral dari kenampakan estetisnya, tetapi memperhitungkan sesuatu yang tersembunyi, seperti sikap batin Semar yang halus dan tersembunyi dalam wujud yang kasar. Semar yang meskipun dalam penggambarannya ditampakkan sebagai tokoh yang bentuk badan tidak seperti satria, perut besar, pantat besar, wajah tidak laki-laki dan tidak perempuan, namun dirinya adalah sumber kebijaksanaan yang tertinggi14. Semar perawakannya jauh dari keindahan namun budinya luhur, penuh tanggung jawab dan dicintai.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Channel

Channel Communication Ethics

Communicator (1st Party)

Channel

Receiver (2nd Party)

Gambar 1.2. Praktik Relasi Komunikasi Bencana Masyarakat Kelud Kediri 1.4. Mitigasi Kultural sebagai Bagian Praksis Etika Jawa Kebersatuan hamba-Tuhan sebagai kesempurnaan hidup Jawa menjadi landasan tindakan manusia Jawa. Kesempurnaan tujuan hidup Jawa dilakukan dengan menjaga keselarasan dan keharmonisan relasi realitas batin dan dunia luar. Jika kebersatuan hamba-Tuhan itu sendiri adalah landasan konsep keselamatan hidup Jawa, maka, keselarasan dan keharmonisan dilakukan dengan tujuan keselamatan. Keselamatan masyarakat terjadi apabila masyarakat berada dalam keselarasan tiga dimensi: masyarakat, alam, dan alam ghaib. Untuk itu diperlukan sikap pribadi yang tidak mengganggu hubungan ketiga dimensi tersebut, namun mengikuti dan menempatkan diri dalam tiga dimensi tersebut (secara selaras dan harmonis). Dasar pemikiran tersebutlah yang mendasari keseluruhan praksis masyarakat Jawa keseharian. Pun dalam hal memahami erupsi Gunung Kelud. Gunung Kelud didudukkan sebagai material fisik yang secara obyektif ada dengan pemaknaan yang spesifik. Dengan demikian relasi batin masyarakat dengan Gunung Kelud menjadi keniscayaan. Dalam konteks inilah relasi manusia Jawa dengan Gunung Kelud diletakkan dalam konstalasi pencapaian kesempurnaan hidup Jawa. Keselamatan seluruh kosmos menjadi bagian yang utama dalam keseluruhan tanggapan masyarakat lereng Kelud terhadap fenomena erupsi gunungapi. Salah satu yang terpenting dalam proses mitigasi adalah komunikasi. Proses meyakinkan bahwa komunikasi selama krisis Kelud dipersiapkan, direncanakan, dijalankan dan dilembagakan dalam institusi sosial masyarakat akan dikisahkan dalam bab berikutnya. Pada bagian ini hanya akan dibahas materialisasi nalar berpikir Jawa

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

People Safety (3rd Party)

13


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

sehingga masyarakat mampu mengorganisir dirinya selama krisis karena bencana berlangsung.

14

Dalam nalar batin Jawa, komunikasi dimaknai sebagai proses berelasi baik verbal maupun non verbal yang ditujukan untuk mengarahkan sikap lahir sehingga tercapai tujuan kesempurnaan hidup. Komunikasi dalam pengertian ini hanya dapat berlangsung jika dan hanya jika terdapat kesetaraan pelaku komunikasi. Syarat yang kedua adalah bertemunya tujuan pelaku untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga komunikasi tersebut berlangsung dengan semangat saling memberdayakan. Tanpa komunikasi yang (saling) memberdayakan maka kemungkinan berelasi menuju kesempurnaan hidup, kebersatuan hamba-Tuhan, tidak akan mungkin. Artinya komunikasi juga tidak akan mungkin terjadi jika pelaku komunikasi tidak menghasrati keselamatan. Pada ilustrasi di atas, komunikator (pihak I) dan komunikan (pihak II), dengan atau tanpa kanal komunikasi, bekerjasama dalam spirit untuk mencapai keselamatan manusia (pihak III). Yang dimaksud pihak III bukan mewakili fisik tertentu, bukan pula jargon, namun nyata dan berada dalam alam pikir (hati dan pikiran manusia). Komunikasi berlangsung antara pihak I dan II yang saling menghasrati pihak III, yaitu keselamatan manusia. Jika salah satu atau keduanya tidak saling menghasrati, maka komunikasi tidak dimungkinkan. Dengan kata lain, penghasratan kedua belah pihak terjadi jika ada etika komunikasi. Kata kunci etika komunikasi adalah penghasratan keselamatan manusia yang menjadi idealitas penanggulangan bencana. Demikian pula konsekuensinya untuk kanal komunikasi. Kanal tidak berfungsi sebagai saluran ketika tidak memfasilitasi tujuan keselamatan manusia. Maka, dalam konteks ini, bagi masyarakat Jawa khususnya dalam konteks masyarakat terdampak erupsi Gunung Kelud, komunikasi adalah nyawa, roh, dari penanggulangan bencana. Keberhasilan penanggulangan bencana adalah keberhasilan komunikasi. Secara filosofis, model komunikasi ini melengkapi model komunikasi Aristoteles (arus utama). Relasi pihak I dan II dalam filsafat Aristoteles bersifat hirarkial. Dalam dunia yang kompleks seperti saat ini, perubahan perilaku pihak II tidak serta merta dikarenakan keberhasilan persuasi pihak I. Ada faktor lain di luar komunikasi itu sendiri yang bekerja dan mempengaruhi komunikasi pihak I dan II. Kompleksitas inilah yang diperhitungkan dalam model di atas, di mana komunikasi pihak I dan II diwarnai konteks keduanya, sedangkan pihak III (keselamatan manusia) menjadi kunci komunikasi keduanya. Dalam situasi ini, meski bersifat hirarkial, namun dialog keduanya (termasuk persuasi pihak I kepada pihak II) dapat berlangsung timbal balik sebab pihak III menjadi tujuan keduanya. Dalam hal itu, komunikasi kedua pihak menjadi saling memberdayakan. Model ini tidak bekerja dalam ruang steril karena konteks menjadi variabel penentu dan (tujuan) komunikasi menjadi sentral. Maka, siapapun yang memasuki komunikasi bencana tanpa menghasrati pihak III menjadi tidak mungkin. Jika secara formal diperlukan,


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Lebih lanjut, peran kanal sebagai mediator komunikasi pihak I dan II menjadi ‘tentatif.’ Kanal bukan penentu kemungkinan komunikasi antara para pihak. Akan tetapi, bila kanal diperlukan sebagai mediator keduanya, maka kanal terikat kepada etika komunikasi. Etika komunikasi adalah nilai dan tindakan yang harus diambil oleh kanal komunikasi agar kemungkinannya masuk dalam sistem komunikasi pihak I dan II dengan melibatkan pihak III terjadi. Tanpa etika komunikasi, tidak mungkin berkomunikasi. Jika dipaksakan, terjadi distorsi. Dengan demikian, komunikasi adalah faktor utama keberhasilan penanggulangan bencana. Penjelasan skematik inilah yang dapat menjelaskan kerjasama warga dan perangkat Kecamatan Ngancar di Kediri, Jatim. Komunikasi bencana di Ngancar sukses menyelamatkan 86.000 jiwa di Kediri, Blitar, dan Malang yang secara berdikari evakuasi dalam dua jam pada 13 Februari 2014 dari erupsi Gunung Kelud.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

pihak I dapat ‘memberdayakan,’ meningkatkan kapasitas pihak II agar pihak III menjadi tujuan bersama. Tanpa pemenuhan syarat tersebut, distorsi komunikasi sangat mungkin terjadi.

15


Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

1177

BAB 3

Evakuasi Sukarela dalam Dialog Kebudayaan


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

BAB 3

18

Evakuasi Sukarela dalam Dialog Kebudayaan

Dalam kejadian erupsi Gunung Kelud tahun 2007, terjadi perulangan pengalaman penanganan evakuasi seperti dalam kejadian erupsi tahun 1990. Penduduk menolak mengungsi. Mereka harus dipaksa mengungsi. Tetapi dalam kejadian erupsi Gunung Kelud, 13 Februari 2014, pengalaman tahun 1990 dan 2007 itu sama sekali tidak terjadi. Mengapa dan bagaimana hal itu terjadi? 3.1. Inisiasi Gerakan Pendidikan Informal tentang Gunungapi Saat kejadian Kelud tahun 2007, sebuah paguyuban yang dipersatukan oleh hobi radio komunikasi (rakom) menjadi salah satu perantara informasi kondisi gunung. Dengan 25 anggota yang tersebar di dua kecamatan di Kabupaten Kediri, paguyuban ini memantau informasi dari instansi pemerintah untuk disampaikan kepada masyarakat. Sebuah posko informasi pun didirikan di Desa Sempu, Ngancar. Dalam kejadian erupsi tahun 2007, penyiaran informasi tentang Kelud dilakukan oleh sejumlah pihak. Selain paguyuban kecil tersebut, ada pula beberapa organisasi lain. Informasi awal disampaikan oleh pos pengamatan yang terletak di Desa Sugihwaras, Kecamatan Ngancar, Kediri kepada kantor pusat PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) di Bandung. PVMBG lalu meneruskan kepada pemerintah daerah. Dari pemerintah, barulah informasi diberikan kepada masyarakat melalui berbagai medium, termasuk media massa. Jalur komunikasi yang berkelok ini membuat masyarakat memperoleh informasi dari banyak sumber. Sebagian ternyata menimbulkan kebingungan.15 Demikianlah, peranan rakom dalam urusan bencana hingga tahun 2007 belum sentral, tetapi secara terbatas masyarakat Kelud telah merasakan manfaatnya. Radio dapat dikatakan merupakan alat komunikasi yang paling tahan banting. Dalam kondisi mati listrik, saat sarana komunikasi lainnya kolaps, radio tetap dapat digunakan. Masyarakat Kelud menyadari bahwa upaya perbaikan penanganan bencana, khususnya yang berkaitan dengan komunikasi, akan memerlukan penggunaan rakom secara efektif. Radio yang semula lebih banyak untuk sarana penyaluran hobi hendak dijadikan medium komunikasi utama dalam bencana. Pada tahun 2008, melalui sebuah lembaga swadaya masyarakat, sejumlah warga yang tergabung dalam tim siaga desa memperoleh bantuan radio HT. Persoalannya, rakom


sebagai alat hanya bisa efektif jika para penggunanya mampu menggunakannya dengan baik untuk bencana. Kemanfaatan rakom juga hanya mungkin sejauh seluruh masyarakat sebagai sasaran komunikasi memahami ancaman Kelud yang bisa sewaktuwaktu datang. Penyediaan sarana fisik adalah perkara mudah bila dibandingkan dengan pekerjaan mengedukasi masyarakat mengenai pengurangan risiko bencana. Ini tantangan terbesar di Kelud, apalagi mengingat sebagian anggota masyarakat cenderung semakin tidak percaya kepada informasi dari pihak berwenang yang juga diteruskan oleh paguyuban komunikasi dan organisasi rakom setelah gunung itu dianggap tidak jadi meletus pada 2007. Seorang anggota paguyuban dengan jitu mengungkapkan inti permasalahannya, “(Sekalipun) Tim (komunikasi) mati-matian (bekerja) kalau masyarakat tidak sadar ya jelas tidak bisa.� Para pegiat masyarakat itu menyadari bahwa tantangan yang mereka hadapi untuk membangun kesadaran warga sangat besar dan sulit. Tetapi mereka tetap berusaha mendekati masyarakat untuk menularkan pengetahuan kegunungapian kepada masyarakat. 3.2. Meneruskan Pesan Kunci dengan Pendekatan Informals Kejadian letusan Kelud pada tahun 1990 dan 2007 dijadikan acuan pengalaman oleh para pegiat masyarakat yang peduli pada bencana di lereng Kelud sebagai bahan perbincangan dan diskusi dengan sesama anggota masyarakat setempat. Sejak 2008, masyarakat dan LSM membentuk suatu forum peduli kebencanaan Gunung Kelud yang diberi nama Jangkar Kelud. Melalui forum tersebut mereka giat melakukan edukasi kepada masyarakat dengan pertemuan-pertemuan formal yang diisi dengan sosialisasi pengetahuan kegunungapian dan risiko bencana. Strategi menggunakan pertemuan-pertemuan formal itu diubah dengan memanfaatkan pertemuanpertemuan informal karena dirasa kurang efektif. Melalui perjumpaan dalam hidup sehari-hari dengan masyarakat desa, disampaikan pesan-pesan kunci, membangun dan menajamkan pengetahuan masyarakat akan risiko bencana kegunungapian. Pesan yang disampaikan adalah tingkatan status kegunungapian (normal, waspada, siaga, awas), dan apa yang harus dilakukan dalam tiap tingkatan tersebut. Status gunungapi di Indonesia secara umum dibagi dalam empat tingkatan, yaitu normal (level 1), waspada (level 2), siaga (level 3), dan awas (level 4). Pesan penting yang lain adalah soal evakuasi/penyelamatan diri. Para pegiat itu menyatakan bahwa penyelamatan diri atau evakuasi itu adalah suatu kebutuhan, bukan permintaan atau tindakan eksternal. Tidak boleh menunggu. Menunggu diselamatkan atau menunda evakuasi sama saja dengan menjemput kematian. Penyampaian dengan bahasa lugas itu membuka kesempatan untuk bagi para pegiat dan masyarakat untuk membangun dasar kesepahaman bahwa keselamatan mereka adalah hal pokok yang harus diperjuangkan pertama kali, berhadapan dengan risiko terjadinya bencana akibat erupsi Gunung Kelud di masa depan. Bagaimanapun, dalam situasi darurat, mengorganisir pengungsian puluhan ribu orang di 3 kabupaten, adalah perkara rumit. Seandainya orang memilih untuk menunggu diselamatkan, bisa dibayangkan besarnya sumberdaya eksternal yang diperlukan untuk melakukannya.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

19


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud 20

Melakukan sosialisasi di warung kopi dikatakan cukup efektif, bahkan dalam banyak kasus lebih berhasil memancing keingintahuan dan dialog dengan masyarakat ketimbang yang diselenggarakan dalam suasana resmi. Efektivitas pendekatan informal ini bukan karena hal fisik dari warung kopi itu. Akan tetapi, kondisi kesetaraan, keterbukaan, dan penerimaan yang tercipta ketika orang-orang berada di warung kopi yang membuat sosialisasi berhasil. Membicarakan risiko bencana bersama masyarakat yang tinggal di sekitar sumber ancaman, perlu membuat pihak yang diajak bicara itu merasa nyaman, sehingga deksripsi mendalam mengenai potensi risiko bencana yang dibicarakan, bisa dibahas dengan tenang. Meski kelihatan sederhana, proses edukasi menggunakan pendekatan informal ini dilakukan terus menerus dalam rentang waktu 2008 – 2011. Menyasar kelompok pemuda, orangtua, petani, komunitas religius, penghayat kepercayaan maupun kelompok perempuan. Pada sejumlah kasus, penerima pesan sengaja dipilih di antara anggota masyarakat yang dinilai berpotensi menjadi penerus informasi kepada yang lain. Dari mereka ini, diambil lagi sejumlah orang yang menunjukkan antusiasme. Sebagian di antaranya adalah pemuda-pemuda desa biasa. Mereka selanjutnya dilibatkan terus dan dijadikan penggerak di desanya. Setelah itu, diadakan pertemuan-pertemuan dengan tokoh masyarakat, termasuk guru, kiai, tokoh spiritual. Hal yang berhasil disampaikan kepada mereka dalam periode ini adalah: (1) istilah-istilah kegunungapian (status, indikator) dan tindakan apa yang harus dilakukan untuk setiap tingkat status gunungapi; (2) mulai mengungsi sukarela saat status Gunung Kelud dinyatakan “Awas�. 3.3. Membangun Rasa Percaya: Memberi Tempat bagi Persoalan Warga Kesuksesan menjalankan edukasi kegunungapian memanfaatkan pendekatan informal akhirnya berujung kepada proses fasilitasi dialog masyarakat dengan pemerintah, yang memiliki otoritas penanganan situasi darurat/krisis. Pada tahun 2011, para pegiat forum mulai memfasilitasi proses perjumpaan masyarakat dengan pemerintah. Tokoh-tokoh dari berbagai desa di tiga kabupaten dikumpulkan dalam forum-forum pertemuan dengan para pejabat kabupaten. Meskipun demikian inisiatif menggunakan jalur formal ini tidak terjerembab ke dalam formalisasi belaka. Bahkan, struktur yang terbentuk dibiarkan tidak birokratis. Tidak ada kepengurusan yang bertingkat-tingkat. Dari tiga kabupaten (Kediri, Blitar, Malang) hanya ditunjuk 3 orang koordinator saja. Sehingga, komunikasi antara para pihak dengan masyarakat tidak ter-reduksi dalam tingkatan kepengurusan yang birokratis. Dalam proses di tahun 2011 itu, masyarakat memunculkan keinginan mereka agar bisa difasilitasi secukupnya supaya bisa mengungsi bersama dengan ternak mereka. Bagi masyarakat lereng Kelud di 3 kabupaten tersebut, tinggal di pengungsian meninggalkan ternak mereka, berarti tidak melakukan apa-apa. Makan dan tidur saja. Jika ternak mereka diungsikan juga, warga masih bisa menjalankan rutinitas harian mereka, memelihara ternak. Meskipun ada dalam situasi darurat di pengungsian, bagi masyarakat agraris yang tinggal di lereng Gunung Kelud, suasana harian yang normal dirasa perlu dipertahankan. Ternak, dan aktivitas harian memelihara ternak mereka itu,


adalah cara bagi mereka untuk tetap merasakan yang “normal� itu, meskipun secara fisik, mereka tidak sedang tinggal di rumah masing-masing. Permintaan ini disanggupi oleh pemerintah daerah. Selain urusan pengungsian ternak, proses dialog antara pemerintah dengan warga ini juga menyepakati, siapa saja yang akan melakukan pengungsian dan siapa yang akan membantu prosesnya. Kesepakatan yang dihasilkan tersebut adalah landasan kedua bagi suksesnya proses evakuasi sukarela warga lereng Kelud dalam kejadian erupsi tahun 2014. Edukasi kegunungapian menggunakan pendekatan informal yang dilakukan sebelumnya berhasil meningkatkan pengetahuan penduduk akan risiko bencana akibat erupsi gunungapi. Tetapi, penduduk maupun para pegiat edukasi itu tidak berhenti sampai di situ saja. Mereka melanjutkan pendalaman pengetahuan akan risiko itu pada dimensi yang lebih tinggi, bagaimana hidup dan kehidupan masyarakat masih terus berlangsung, meskipun mereka harus mengungsi, meninggalkan rumah dan lahan pertanian mereka. Kesediaan pemerintah daerah mengikuti cara pikir penduduk, membuahkan penerimaan penduduk, karena mereka menganggap, pemerintah bersedia memikirkan kebutuhan mereka. Ini adalah capaian yang sangat penting. Baik kalangan pemerintah maupun penduduk percaya satu sama lain, sehingga membuahkan kesepakatan yang amat penting dalam situasi krisis/darurat yang berpotensi terjadi di masa depan. 3.4. Percaya dalam Praktik: Tanggap Darurat yang Sensitif Budaya Petugas Pos PGA Kelud sebenarnya sudah membaca indikator kenaikan aktivitas gunungapi sejak bulan September 2013. Namun, dia memilih untuk tidak mengkomunikasikannya terlebih dahulu kepada warga di lereng Kelud, meskipun laporan resmi ke atasannya tetap dilakukan. Berkaca dari pengalaman erupsi Kelud tahun 2007 dan 1990, Dia mendatangi para tokoh sesepuh masyarakat yang menjadi panutan masyarakat di lereng Gunung Kelud. Kepada mereka dilakukan konsultasi, menceritakan kondisi peningkatan aktivitas gunung sebagaimana terdeteksi peralatan monitoring kegunungapian dan meminta tanggapan mereka. Konsultasi ini dilakukan bukan karena peran para tokoh sesepuh kebudayaan Jawa setempat adalah pihak-pihak yang biasa didatangi penduduk yang membutuhkan peneguhan dalam berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari. Dia berharap, jika aktivitas gunung semakin meningkat dan mengarah pada terjadinya erupsi suatu hari nanti, para tokoh sesepuh itu bisa membantu mengarahkan penduduk untuk bersiap-siap melakukan penyelamatan diri. Dalam proses konsultasi ini, data-data kegunungapian yang dihasilkan secara sistematis menggunakan ilmu pengetahuan modern itu tidak dipertentangkan dengan nilai-nilai kebudayaan Jawa yang dihayati para sesepuh itu. Bahkan, digunakan untuk membuka jalan dialog, bagaimana orang Jawa dan kejawa-an, secara arif dan bijaksana bisa membantu orang-orang yang tinggal di lereng Gunung Kelud menyikapi risiko bencana akibat erupsi Gunung Kelud. Para sesepuh penghayat budaya itu, mewarisi pengetahuan mengenai alam, dan manusia yang diwariskan secara turun temurun sejak beberapa generasi ke belakang.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

21


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud 22

Kekayaan pemaknaan dan ingatan akan peristiwa alam yang pernah terjadi dalam masyarakat Jawa di masa silam, memampukan mereka membaca tanda-tanda jaman dan membimbing masyarakat dalam menghadapi kekinian hidup, sehingga orang terbantu mendapatkan ketenteraman. Pada titik ini, terjadi pertemuan esensial antara metode kebudayaan dan metode kebudayaan Jawa dan penghayatan kejawa-an. Bahwa, metodologi ilmiah khas pengetahuan modern, bertemu dengan nilai kebudayaan yang sama-sama mementingkan keselamatan alam dan manusia, dimana budibahasa teknologis maupun budaya lokal mengarah kepada satu titik utama: memayu hayuning bawana (menjaga keutuhan semesta, dimana manusia, alam dan segala segi kehidupan ada di dalamnya). Pertemuan antara teknologi modern yang diwakili sistem monitoring dan peringatan kegunungapian dengan sistem nilai dan praksis ke-jawa-an di Kediri sangat menarik. Mengapa? Ini hanya mungkin terjadi ketika para pihak memposisikan diri tidak melampaui yang lain, tetapi meng-ada bersama. Bahkan, ritual dalam kebudayaan Jawa sebagai suatu sistem pengetahuan simbolik kebudayaan setempat diberi ruang, untuk secara kolektif mengusahakan keselamatan publik. Di pihak kebudayaan Jawa sendiri, teknologi tidak ditentang dan dikebelakangkan, tetapi diakui sebagai sarana jaman ini, untuk membaca tanda-tanda jaman, sebagaimana para sesepuh itu menggunakan ritual dan seluruh sistem simbolik yang menjadi perangkatnya menafsir dan memaknai setiap kejadian yang mempengaruhi masyarakatnya, demi keselamatan bersama. Sama halnya seperti proses memfasilitasi kesepakatan antara masyarakat dengan pemerintah, dialog kebudayaan dengan para sesepuh itu juga tidak berlangsung sebentar. Berkali-kali, dan semakin intensif. Sampai ada kesepahaman—bahkan restu (blessings)—bahwa saat alat dan teknologi yang ada menyatakan situasi sudah membahayakan keselamatan, para petugas Pos PGA akan menjalankan mandat mereka memberikan peringatan bahaya yang akan memicu masyarakat, melakukan pengungsian sukarela, menyelamatkan hidup mereka. Restu semacam ini sungguh luar biasa, mengingat bahwa ini hanya bisa dicapai jika para pihak percaya satu sama lain, dan mereka ada di pihak yang sama: mengupayakan keselamatan umum. Tentu, dalam kejadian erupsi Kelud 2014 ini, ada sesepuh yang menolak kesimpulan yang didialogkan petugas pos PGA, tetapi restu dari para sesepuh yang lain, memampukan yang bersangkutan untuk tidak menganggap semua sesepuh dan kebudayaan setempat adalah penghalang bagi misi menyelamatkan penduduk dari bahaya erupsi. Dengan demikian, petugas yang bersangkutan tetap dapat menjalankan tugas negara tanpa melukai penduduk karena budaya dan praksis ke-jawa-an mereka tetap dihargai. Menjelang akhir tahun 2013, berawal dari bincang-bincang informal antara petugas Pos PGA, Camat dan staf kesbanglinmas, muncul ide untuk melakukan gladi. Karena waktu itu menjelang akhir tahun anggaran di pemerintahan, hanya tersedia dana sedikit yang bisa digunakan membiayai proses gladi.16 Maka, dengan dana seadanya


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Gladi itu dikerjakan malam hari, sekitar pukul 21.00 WIB dan diorganisir menggunakan radio komunikasi dan disiarkan melalui radio komunitas yang bisa dipantau di luar daerah yang melaksanakan gladi. Waktu itu sempat ada yang menanyakan melalui radio komunikasi, apakah benar gunung sudah meletus sehingga ada proses evakuasi. Pertanyaan serupa muncul dari beberapa wilayah, yang memonitor frekuensi radio komunikasi. Tetapi, tidak terjadi kepanikan karena para pendengar memaklumi bahwa yang sedang mereka dengar adalah proses latihan yang disiarkan melalui radio komunikasi Proses gladi yang dilakukan itu mengacu kepada dokumen renkon Gunung Kelud yang sudah dibuat oleh para pihak di tahun 2010. Dalam gladi yang dilakukan masyarakat, teridentifikasi bahwa kebutuhan sarana transportasi untuk mengungsikan penduduk tidak sebesar yang diidentifikasi dalam skenario evakuasi yang ada. Penduduk dan panitia gladi hanya memfokuskan penggunaan truk untuk mengungsikan kelompok rentan (ibu-ibu, anak-anak, lansia dan penyandang disabilitas), warga yang lain menggunakan sarana transportasi.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

yang berhasil dihimpun, dilakukanlah gladi masyarakat. Kepanitiaan kecil dibentuk, dan sekitar 500-600 orang penduduk dari dua desa dijadikan peserta gladi. Dengan harapan, mereka nanti akan membimbing warga yang lain melakukan proses evakuasi sukarela saat situasi darurat terjadi.

23

Gambar 2.1. Situasi Gladi Masyarakat yang dilakukan pada bulan December 2013. Gladi diikuti 500 – 600 orang yang dipilih dari dua desa, dan dilakukan di malam hari.


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

lain yang diusahakan sendiri. Dengan demikian, armada yang diperlukan tidak terlalu banyak. Mereka sudah mengetahui titik kumpul di setiap RT dan jalur yang harus mereka tempuh ke lokasi pengungsian yang sudah ditentukan sebelumnya.

24

Kesepakatan penting yang dihasilkan antara masyarakat lereng Gunung Kelud dengan pemerintah tiga kabupaten yang disebutkan di atas, dipegang erat oleh para pejabat pemerintahan setempat. Ketika status Gunung Kelud dinyatakan Siaga17 bulan Februari 2014, proses pendataan ternak, identifikasi lokasi pengungsian ternak dan jalur pengungsian ternak dilakukan oleh aparatur pemerintahan setempat dan SKPD terkait. Proses pendataan dilakukan dengan sepengetahuan penduduk, bahkan data yang dihasilkan bisa diakses masyarakat di Kecamatan dimana mereka tinggal. Lokasi yang sudah ditentukan itu, dipasangi patok kayu sebagai tempat untuk menambatkan ternak penduduk. Aktivitas itu dilakukan dengan melibatkan SKPD terkait dan diketahui juga oleh masyarakat. Tiga hari sejak status gunung dinyatakan siaga, pada tanggal 13 Februari 2014, pukul 21.00 WIB, status gunung dinyatakan “Awas (level 4)� oleh PVMBG—Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, unit milik Badan Geologi Kementerian Eenergi dan Sumber Daya Mineral. Pada saat peningkatan status itu terjadi, sedang berlangsung rapat di Kecamatan Ngancar untuk mempersiapkan proses evakuasi ternak penduduk ke lokasi yang sudah disiapkan. Rapat dihentikan, karena proses evakuasi penduduk harus segera dilakukan sesuai kesepakatan yang sudah dibangun bertahun-tahun sebelumnya. Berdasarkan data-data indikator kegunungapian dan peningkatan status Gunung Kelud oleh PVMBG, Camat mengumumkan status “Awas� Gunung Kelud melalui radio komunikasi yang disiarkan juga melalui frekuensi radio komunitas, lalu memberi perintah evakuasi kepada penduduk. Proses evakuasi berjalan seperti yang sudah dilatihkan dan dipelajari bersama. Saat evakuasi dilakukan, tidak muncul kepanikan, yang mengakibatkan kemacetan atau kecelakaan lalu lintas. Proses berlangsung dengan aman sesuai yang diidamkan banyak orang selama bertahuntahun: semua selamat tanpa harus dipaksa mengungsi! 3.5. Peringatan Dini yang Berhasil Di balik kesuksesan evakuasi dalam kejadian erupsi Gunung Kelud 2014 tersebut, sebenarnya hadir empat elemen kunci sistem peringatan dini terpusat pada masyarakat (people centered early warning system).18 Apa yang dilakukan sejak 2008 menemui momen puncaknya di tahun 2014. Secara ringkas berikut dipaparkan halhal apa saja yang dikerjakan di lereng kelud dari sudut pandang kerangka sistem peringatan dini terpusat pada masyarakat itu.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Pengetahuan akan Risiko (Risk Knowledge) • Rujukan kepada pengalaman erupsi tahun 90-an, dan 2007 dilakukan

Pemantauan dan Layanan Peringatan (Monitoring and Warning Service) • Informasi indikator kegunungapian dan status termutakhir gunung api yang dipantau Pos PGA Kelud digunakan

• Pengumpulan informasi dikerjakan • Informasi status dan peringatan disampaikan memanfaatkan ketersediaan informasi secara reguler status dan level status gunungapi • Layanan informasi status dan peringatan bisa yang disediakan Pos PGA Kelud diakses warga melalui pengoperasian radio • Edukasi bahaya kegunungapian komunitas dan radio komunikasi oleh para dengan pendekatan informal sukarelawan radio • Dialog kebudayaan antara petugas Pos • Pencatatan informasi status gunung, pesan PGA Kelud dengan para sesepuh budaya peringatan dan rekomendasi tindakan Jawa di lereng Kelud dilakukan tidak hanya oleh petugas resmi tetapi oleh warga juga.

Penyebarluasan dan Komunikasi (Dissemination and Communication) • Informasi status, indikator kegunungapian dan rekomendasi tindakan disampaikan tiap 6 jam sekali sebelum erupsi memakai radio komunitas dan radio komunikasi • Informasi dan pesan peringatan disampaikan dari satu pintu untuk menghindari kesimpangsiuran informasi • Informasi status gunungapi dan pesan peringatan disertai rekomendasi tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah kepanikan masyarakat • Pencatatan informasi status dan pesan peringatan dilakukan oleh tim di kecamatan maupun sukarelawan radio agar pesan yang diberikan tetap konsisten, tidak terkontaminasi tafsir yang bisa mengakibatkan ketidakjelasan

Kemampuan Merespon (Response Capability)

• Identifikasi sarana transportasi evakuasi, jalur dan titik kumpul sudah dilakukan sejak sebelum erupsi terjadi, berdasar informasi status gunung • Perencanaan penyelamatan hewan ternak dilakukan • Aksi penyelamatan diri yang direkomendasikan berdasar tingkat status gunung sudah diidentifikasi dan dilatih, sehingga tidak ada kepanikan. • Warga mengumpulkan dokumen-dokumen penting sebelum melakukan pengungsian. • Pengungsian dilakukan warga menggunakan sarana yang disediakan atau secara mandiri.

Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kerangka Elemen Kunci Peringatan Dini Terpusat Pada Masyarakat Dalam Pengalaman Penanganan Erupsi Kelud 2014

25


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud 26

Sebagaimana diuraikan di atas, kepercayaan (trust) menjadi hal yang sangat penting dan diusahakan sungguh-sungguh jauh sebelum terjadi erupsi tahun 2014 dan tetap dipelihara sampai peristiwa erupsi itu sendiri berlangsung. Hal ini menunjukkan orientasi peringatan dini yang hadir di sana sudah bukan lagi peringatan dini berbasis masyarakat tetapi peringatan dini yang digerakkan masyarakat dengan karakter seperti yang diikhtisarkan berikut ini, Perbedaan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan Digerakkan Masyarakat19 Early Warning System (EWS)

Elemen Kunci

Berbasis Masyarakat Orientasi

Bersama komunitas

Karakter

Demokratis

Tujuan Posisi Cara pandang

Digerakkan Masyarakat Oleh komunitas

Memberdayakan Berbasis kebutuhan, Memberi saran, konsultatif partisipatif Komunitas sebagai Komunitas sebagai mitra pengelola (manajer) Komunitas dikelola Komunitas diberdayakan

Nilai

Pengembangan kemampuan manusia

Percaya kepada kapasitas manusia Merestrukturisasi struktur sosial

Hasil/Dampak

Memicu reformasi sosial

Aktor kunci

Pengusaha sosial, pekerja Setiap orang dalam dan pemimpin masyarakat masyarakat

Metodologi

Terkoordinasi dengan dukungan teknis

Dikelola mandiri

Unsur peringatan dini yang aktif (dari empat unsur)

Setidaknya satu aktif (contoh kemampuan respons)

Semua aktif, khususnya pemantauan indikator

Meskipun tidak by design, kesuksesan proses evakuasi masyarakat di lereng Gunung Kelud itu menunjukkan bahwa para pelaku dan pengorganisirnya, tidak terjebak dalam perdebatan klasik antara sistem peringatan dini nasional dan peringatan dini komunitas. Bahkan, lebih jauh lagi, pengalaman di lereng Kelud itu menunjukkan kepada kita, bagaimana dua level sistem itu dipadupadankan dengan sempurna menggunakan kebudayaan sebagai jembatan.


Hidup dalam Harmoni Spiritual: Kisah Mitigasi Kultural Sebagai Praksis Manusia Jawa Di Lereng Kelud

Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

27


Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri


2 29 9

BAB 4

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural


BAB 4

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

30

Gunung Kelud meletus hebat pada Kamis, 13 Februari 2014, menjelang tengah malam. Sebanyak 86.000 jiwa yang tinggal di sekitar lerengnya menerima kabar tepat waktu tentang bahaya yang datang sehingga sempat menyelamatkan diri. Anakanak, orang lanjut usia, kaum difabel, perempuan dan ibu hamil, serta warga lain yang rentan di desa-desa terdekat telah diungsikan pada siang hari ke tempat aman yang disiapkan. Masyarakat bahu-membahu memastikan semua orang menerima informasi yang akurat dan mampu bertindak dengan benar. Hari itu, praksis komunikasi telah menyelamatkan warga. Yang bekerja untuk komunikasi di Kelud adalah orang-orang biasa yang tidak memiliki pengetahuan tinggi atau ilmiah atau akademik tentang komunikasi massa maupun komunikasi krisis. Tidak ada perangkat dan metode canggih yang digunakan selain radio HT, radio komunitas, dan komunikasi tatap muka. Tidak ada pula mobilisasi sumber daya besar-besaran dari luar. Dapat dikatakan masyarakat melakukan komunikasi dengan mandiri sesuai kemampuan yang ada. Komunikasi krisis dengan khalayak tidak pernah merupakan perkara mudah. Sudah sejak kemunculannya sebagai sebuah bidang pengetahuan teoretis maupun terapan, ilmu komunikasi telah dimaksudkan sebagai sarana propaganda, persuasi, dan kontrol massa. Dan sejak itu pula, kesulitan terus muncul dan terjadi kegagalan-kegagalan. Komunikasi bencana di Kelud juga mengalami kegagalan pada tahun 1990 dan 2007 ketika warga baru mengungsi setelah letusan terjadi, sementara banyak orang di wilayah rawan menolak dievakuasi. Tetapi, kondisi masyarakat telah berubah pada tahun 2014. Pendekatan kultural dan upaya edukasi secara informal telah membentuk pengetahuan dan pandangan masyarakat dalam melihat ancaman Kelud. Masyarakat kini mengetahui arti status gunung api, apa yang harus dilakukan pada setiap situasi, dan bagaimana menyelamatkan diri. Ibu S, sukarelawan radio setempat, mengatakan: “Dapat kita lihat dari 2007 Kelud itu sampai sekarang masyarakatnya sudah beda. Dulu 2007 itu masyarakat diajak ngungsi itu sulit banget, harus dibawakan tentara, sekarang sudah tidak gitu lagi, pada ngungsi sendiri-sendiri.�20


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Bagaimana masyarakat menggunakan komunikasi yang membuat penanganan bencana pada tahun 2014 itu demikian efektif?

Di Kelud, masyarakat mengandalkan apa yang ada di masyarakat untuk mengelola komunikasi bencana. Apa yang ada ini bukan sekadar potensi yang karena itu belum tentu dapat berfungsi saat dibutuhkan, tetapi apa yang aktual. Warga terlebih dahulu bersama-sama mengidentifikasi peran yang diperlukan bagi kesuksesan penanganan bencana sekaligus menentukan orang-orang yang bersedia dan mampu untuk dilibatkan secara lebih dibanding warga lain. Ada sekitar 50 warga lokal yang kemudian menjadi orang-orang inti dalam penanganan di Kelud, khususnya pengelolaan komunikasi. Mereka tidak ditetapkan dengan atribut resmi apapun sebagai relawan. Ini adalah orang-orang biasa yang menyadari bahwa mereka dibutuhkan pada situasi itu. Mereka tidak sekonyong-konyong muncul sebagai relawan komunikasi, tetapi sebelumnya sudah bergelut dengan dunia radio komunikasi dan komunitas setempat, sebagian karena hobi sebagian lagi untuk interaksi sosial. Agar relawan yang jumlahnya relatif tidak banyak itu dapat bekerja efektif, para relawan menyadari mereka perlu membangun sistem dan membagi peran dengan tepat. Sistem di sini bukan dalam pengertian rekayasa teknokratik maupun teknologis di mana sebuah entitas dibagi-bagi ke dalam unit-unit kecil dengan struktur dan hirarki. Sistem di Kelud mewujud lewat pengorganisasian dan relasi antar bagian yang dihubungkan menjadi suatu kebersatuan “kita.� Yang terjadi adalah pemberdayaan melalui pembagian peran yang dijalankan karena adanya identitas bersama bahwa mereka bekerja untuk kebaikan umum. Para relawan kemudian membuat sistem bahwa informasi bencana hanya akan disampaikan oleh satu sumber melalui satu saluran dengan pesan yang dirumuskan secara cermat. Pembagian peran dilakukan sebagai berikut: Pertama, pos pengamatan gunungapi akan berperan sebagai sumber informasi satu-satunya. Kedua, Camat Ngancar akan menjadi juru bicara. Ketiga, anggota Radio Antar Penduduk Indonesia (RAPI) Lokal Kediri 6 akan mengelola frekuensi bencana 142.220 MHz (biasa disebut triple two) dan langsung bertugas menginformasikan kepada kepala desa dan masyarakat di lokasi yang rawan. Keempat, radio-radio komunitas akan menyebarluaskan informasi yang disampaikan melalui frekuensi RAPI. Selain itu, masyarakat menetapkan bahwa pihak Komandan Rayon Militer (Danramil) setempat akan berperan membantu evakuasi ke tempat-tempat yang aman.

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

4.1. Menggerakkan Apa yang Aktual

31


Komunikasi sebagai Gerakan Kultural 32

Gambar 3.1. Skema Pembagian Peran dan Alur Diseminasi Informasi Bencana Kelud. Pos pengamatan gunungapi dijadikan satu-satunya sumber informasi mengenai Kelud sebab masyarakat tidak ingin terjadi simpang siur informasi. Dalam hal ini, sumber informasi juga dipilih yang kredibel. Meski demikian, hal ini dalam konteks masyarakat Kelud yang masih memegang teguh kepercayaan kultural menjadi tidak sederhana. Pada tahun 2007, sejumlah warga menolak dievakuasi karena lebih memilih mendengarkan rekomendasi tokoh adat yang meyakini gunung tidak akan membahayakan, bertolak belakang dengan peringatan pos pengamatan gunungapi. Setelah itu, upaya ‘mempertemukan’ ilmu pengetahuan modern dalam bentuk rekomendasi saintifik pos pengamatan gunungapi dengan ilmu pengetahuan kultural yang diyakini masyarakat pun dilakukan. Pengamat gunungapi berkali-kali menemui tokoh adat hingga tercapai kesepahaman mengenai hasil rekomendasi dari ‘pendekatan’ yang berbeda tersebut. Dialog yang dibangun ini menjadi kunci penerimaan para tokoh adat terhadap rekomendasi saintifik dari pos pengamatan gunungapi. Kesepahaman antara pos pengamatan gunungapi dengan tokoh adat ini pada gilirannya membuat masyarakat semakin yakin untuk bergerak dengan satu sumber informasi. Kemudian, pengamat gunungapi dan para relawan menunjuk juru bicara untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Peran juru bicara adalah menjembatani antara sumber informasi dengan penerima, yakni masyarakat sendiri. Dengan adanya juru bicara, pengamat gunungapi dapat berkonsentrasi memantau perkembangan situasi ancaman gunung karena tidak perlu meladeni langsung semua permintaan akan informasi. Juru bicara di sisi lain memungkinkan masyarakat untuk memperoleh informasi pada saat dibutuhkan.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Penunjukan Camat Ngancar tersebut tidak tanpa alasan. Ngancar adalah kecamatan, di mana pos pengamatan gunungapi berada, serta terletak paling dekat dengan lereng Kelud di Kabupaten Kediri. Jumlah warga yang akan terdampak oleh letusan di Ngancar termasuk paling besar. Dengan dijadikan juru bicara, camat dapat berinteraksi tatap muka secara mudah dan intensif dengan pengamat selaku sumber informasi. Meski demikian, pengamat dan para relawan siap mencari pengganti apabila camat kurang mampu menjadi juru bicara yang baik. Dengan demikian, penunjukan juru bicara didasarkan pada kemampuan, bukan karena posisi jabatan atau hal lain. Belajar dari pengalaman tahun 2007 saat tidak ada kepastian informasi, menjadi wajar bahwa masyarakat kemudian berharap juru bicara adalah orang yang dapat diandalkan untuk memperlakukan informasi bencana sebagai sesuatu yang “suci,� yang tidak boleh keliru atau dimanfaatkan untuk kepentingan lain kecuali untuk kemanfaatannya bagi masyarakat. Di samping tantangan yang bersifat teknis berupa adanya pengetahuan tentang bencana, seorang juru bicara akan menghadapi persoalan bagaimana meraih kepercayaan publik. Pasalnya, informasi didengarkan jika dan hanya jika ada kepercayaan dari masyarakat kepada pemberi pesan. Kepercayaan ini lahir dari intensionalitas dan relasi untuk menyelami realitas kehidupan masyarakat. Camat Ngancar mengupayakan adanya kepercayaan tersebut dengan selalu memakai kesempatan berinteraksi dengan masyarakat. Ia mengunjungi rumah-rumah warga, balai desa, warung, sekolah, tempat ibadah, dan tempat berkumpul masyarakat untuk bercakap-cakap tentang keseharian mereka, termasuk mengenai Kelud. Ia menghadiri acara-acara, termasuk ritual adat yang menolongnya meresapi alam pikir setempat. Jelaslah bahwa pihak yang berperan sebagai komunikator bencana tidak pernah berada dalam ruang steril, yakni hanya muncul ketika ingin menyampaikan sesuatu. Sebaliknya, ia perlu berada di antara masyarakat, hidup bersama mereka. Di antara pengamat gunungapi sebagai sumber informasi, camat selaku juru bicara, serta Danramil yang melaksanakan perintah camat untuk membantu warga selalu ada kesepakatan sebelumnya tentang pesan yang akan disampaikan kepada masyarakat. Kesepakatan pesan ini adalah kunci sebab sebagai bentuk kehati-hatian dengan selalu mempertimbangkan bagaimana pesan diterima masyarakat. Rumusan pesan diupayakan tidak justru membuat panik. Sebaliknya, pesan harus membuat

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

Masyarakat sepakat meminta Camat Ngancar sebagai juru bicara. Camat ini awalnya tidak memiliki pengetahuan teknis mengenai kegunungapian, sehingga ia sempat ragu-ragu ketika diminta. Hanya karena menyadari bahwa masyarakat membutuhkan, camat memutuskan untuk mencoba. Bila nanti ternyata kurang mampu, ia dapat menyerahkan peran ini kepada yang lain. Sesudah menerima peran itu, camat berusaha belajar dari pengamat gunungapi tentang segala hal pokok yang perlu diketahuinya agar dapat menjalankan peran dengan baik. Selama berhari-hari dan pada berbagai kesempatan, camat berada di pos gunungapi atau bercakap-cakap dengan pengamat sekadar untuk makin menguasai perannya.

33


masyarakat lebih siap menghadapi risiko. Seorang warga yang mendengarkan siaran juru bicara Kelud mengatakan demikian:

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

“Setelah selesai menginformasikan kegempaan, Pak Camat pasti mengatakan, “Kepada warga masyarakat, tidak usah panik. Harap tenang, mulai sekarang benda-benda berharga suratsurat berharga mulai diringkesi.” Ini jauh-jauh hari sebelum erupsi selalu itu. Bikin ayem, tenang. Itu kata-kata Pak Camat tiap sore mesti diumumkan.”

34

Berkat edukasi yang intensif dan mengena, masyarakat Kelud memahami bahwa ketika status “Waspada” mereka harus terus mengikuti perkembangan situasi; saat “Siaga” mereka perlu mulai mengumpulkan barang-barang berharga untuk dibawa ketika mengungsi serta menghafal rute evakuasi dan titik kumpul; puncaknya ketika status “Awas,” mereka harus secepatnya ikut mengungsi. Peran ketiga yang penting dalam pergerakan komunikasi masyarakat di Kelud adalah diseminasi informasi yang dilakukan melalui frekuensi triple two yang dikelola anggota RAPI Lokal Kediri 6. Sebagian anggota RAPI ini adalah anggota Jangkar Kelud, sebuah jaringan relawan lokal yang cukup berperan dalam mengedukasi masyarakat tentang Kelud. Dalam hal ini, anggota RAPI diposisikan sebagai yang selalu pertama mengetahui informasi dari sumber pos pengamatan gunungapi. Sebelumnya, mereka telah dididik untuk memaknai informasi kegunungapian. Mereka paham betul harus melakukan apa pada situasi tertentu. Anggota RAPI juga selalu diajak dalam pertemuan dengan pengamat gunungapi, camat, dan Danramil guna menentukan langkah bersama dalam menghadapi ancaman Kelud. Semua pelibatan dan keistimewaan sebagai penerima informasi itu membuat anggota RAPI merasa diberi peran terhormat untuk memastikan informasi itu sendiri diteruskan kepada masyarakat dengan seminimal mungkin distorsi. Pilihan metode komunikasi di Kelud, di mana masyarakat menerima informasi langsung dari pos pengamatan melalui frekuensi RAPI dapat dikatakan khas dan bertolak belakang dengan praksis komunikasi publik yang biasanya menggunakan pendekatan top-down. Dalam pendekatan yang terakhir ini, informasi akan diturunkan dari otoritas publik melalui berbagai saluran kepada masyarakat yang hanya diposisikan menjadi konsumen informasi. Pada pilihan seperti itu, pada dasarnya tidak ada yang dapat dituntut bertanggung jawab atas kebenaran informasi dan sejauh mana itu menjangkau mereka yang membutuhkan. Dari frekuensi RAPI, informasi tentang Kelud lalu dipancarluaskan oleh radio-radio komunitas. Radio Kelud FM secara khusus biasanya memperoleh langsung informasi dari pos pengamatan gunungapi karena kedekatan lokasinya dengan pos itu. Namun, sesuai kesepakatan, Kelud FM akan menyiarkan informasi yang sama persis dengan RAPI.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Radio-radio ini bersepakat dengan RAPI dan pemerintah kecamatan bahwa mereka akan menyiarkan pesan dari camat selaku juru bicara apa adanya tanpa disunting. Seorang pengelola radio komunitas menceritakan pengalaman sebagai berikut:

Para relawan radio tersebut, sama seperti para pendengar mereka, tinggal di lereng Kelud. Ketika mulai berdiri pada tahun 2010, salah satu radio di lereng Kelud dikelola oleh tim berjumlah 40 orang. Pada erupsi Kelud 2014, anggota timnya tinggal 15 orang. Menurut D, salah seorang penyiar, jumlah orang yang tersisa itu adalah yang “mampu bertahan”.22 Memang tidak mudah, menghidup-hidupi sebuah radio komunitas. Beragam tantangan selalu ada. Kekurangan alat, ketersediaan biaya operasional, ketidakpastian frekuensi dan lokasi studio yang selalu berpindah, adalah makanan sehari-hari bagi mereka. Apa yang dimaksud dengan kemampuan bertahan sebenarnya adalah suatu kesediaan para relawan untuk mengalami peran mereka yang terhubung dengan peran lain dalam masyarakat, di mana peran yang diambil itu, harus ada, supaya edukasi masyarakat di lereng Kelud terus terjadi. Di Kelud, praksis komunikasi bergerak seperti lingkaran dari titik pusat di dalam ke luar. Dari sumber informasi, kemudian bergerak menjangkau lingkaran pertama dalam hal ini RAPI, baru ke luar. Dengan cara itu, sangat kecil kemungkinan informasi berkembang dengan sendirinya dan memunculkan distorsi karena sejak awal dikontrol dan mereka yang menjaganya memang adalah orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk itu. Sebelum menjalankan tugas, relawan mempersiapkan kondisi sepeda motor, radio HT, telepon seluler, helm, dan peralatan pelindung lain yang dimiliki. Dengan radio di tangan, mereka bisa memantau perkembangan, termasuk kapan harus menuju tempat aman. Motor siap dilarikan sewaktu-waktu. Beberapa relawan berkata begini: “Jadi sebelum dia (Kelud) meletus kami sudah tahu. Kenapa kami berani karena kami punya fasilitas itu... Selama ada fasilitas itu kami yakin gunung itu mau meletus kami harus menghindar.” 4.2. Satu Sumber, Satu Saluran, Satu Penerimaan Saat status Kelud naik menjadi “Waspada” (level 2) pada 2 Februari 2014, para relawan membentuk posko terpadu di kantor Kecamatan Ngancar. Berita dari pos pengamatan Kelud disampaikan ke posko untuk memudahkan masyarakat mengakses. Setiap beberapa jam lembar informasi di papan pengumuman kantor kecamatan diperbarui. Di masing-masing desa di lereng Kelud juga didirikan posko. Anggota RAPI dan relawan dengan berbekal radio komunikasi menyebar ke titik-titik tersebut untuk menggerakkan masyarakat. Kepada masyarakat, disampaikan bahwa informasi mengenai Kelud akan diberikan secara berkala. Setiap hari di posko-posko

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

“Kalau radio komunitas, kemarin itu saya sampaikan bahwa silakan itu di-relay disana dengan catatan, satu, original. Artinya mereka harus merekam yang disampaikan Ngancar 1, setelah itu di-broadcast di situ.”21

35


Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

ini pada waktu yang ditentukan, warga berkumpul untuk mendengarkan siaran radio tentang perkembangan situasi Kelud. Kerumunan warga yang mendengarkan radio ini terjadi di banyak tempat aktivitas publik.

36

Penetapan waktu penyampaian informasi Kelud mengikuti waktu pelaporan di pos pengamatan Kelud. Para relawan memprioritaskan pemberian informasi kepada masyarakat terdampak. Masyarakat tidak perlu setiap saat diberikan informasi, kecuali situasi menuntut demikian, yaitu pada saat status gunung menjadi Awas. Justru ketika informasi disiarkan setiap saat, padahal kondisi gunung belum mengharuskan, ada kemungkinan informasi menjadi kehilangan makna dan makin besar pula kemungkinan terjadi distorsi. Dengan penetapan waktu yang juga disosialisasikan dengan baik, semua pihak yang berperan dalam komunikasi, baik sumber informasi, saluran, maupun masyarakat mau tidak mau menjadi berdisiplin. Masing-masing menempatkan momen komunikasi pada waktu yang ditetapkan sebagai momen yang tak dapat diulang kembali dan karena itu perlu dilalui dengan sikap hormat dan tanggung jawab. Saat Gunung Kelud meletus, Camat Ngancar sebagai juru bicara menyampaikan informasi darurat langsung kepada warga terdampak dengan menggunakan kalimat sebagai berikut: 1. Gunung Kelud telah meletus. 2. Radius aman di luar 10 km. 3. Masyarakat segera mengosongkan lokasi. 4. Siapapun yang berada di radius tidak aman segera turun/evakuasi. Kata-kata tersebut disampaikan berulang-ulang melalui frekuensi RAPI. Informasi itu terbukti efektif dengan setidaknya 86.000 jiwa di sekitar Kelud di tiga kabupaten dapat melakukan evakuasi dalam waktu kurang dari dua jam tanpa korban langsung sama sekali. Kunci dari keefektifan informasi tersebut adalah singkat, bermakna tunggal, mudah dikomunikasikan, dan sederhana. Meskipun dinyatakan berulang-ulang, tidak terjadi perluasan makna konten yang berpotensi multitafsir ketika diterima oleh warga terdampak. Setiap kali camat selesai mengudara untuk memberikan informasi, anggota RAPI mengulang-ulang menyampaikan di frekuensi radio sampai semua orang yang memerlukan informasi telah menyimak. Mereka juga akan mengulas situasi terakhir berdasarkan pemantauan di titik-titik di mana masing-masing orang ditugaskan. Orang hanya berbicara di frekuensi itu jika informasi yang diberikan baru dan telah dipastikan di lapangan. Seorang anggota RAPI menggambarkan situasi tersebut demikian: “Setelah Ngancar Satu (panggilan radio untuk Camat Ngancar) melemparkan informasi, kami teman-teman dari Loka Kedirinan terus mengulas sampai berita itu ter-update. Karena maklum


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

“Ternyata pas jalan, radio itu tidak bersuara jika tidak ada informasi itu dari komando. Sebelumnya frekuensi itu ada yang jamer, ternyata tidak ada yang jamer, semua frekuensi diam dan clear. Ketakutan kita itu ternyata tidak terbukti.� Melalui komunikasi semacam itu, kebenaran informasi dicapai dengan hanya merujuk kepada sumber tunggal. Maka, siapapun yang ditanya akan menghasilkan informasi yang sama. Komunikasi ini memungkinkan masyarakat merasa lebih aman dan tidak terombang-ambing oleh simpang siur informasi di luar. Para wartawan yang berdatangan ke Kelud juga diminta memantau informasi di triple two dan radio komunitas. Tidak ada keistimewaan pemberian informasi bagi wartawan. Mereka juga harus menunggu seperti warga lain.

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

kalau mendengar sudah banyak, sekali dibacakan dia akan minta lagi. Terus itu. Itu setiap kali Pak Camat, katakanlah jam tujuh mengudara untuk memberikan informasi, nanti katakanlah satu jam ini orang akan terus-menerus bertanya. Demikian seterusnya.�

37

Gambar 3.2. Catatan Kronologis Status Gunungapi Kelud yang Ditulis Ibu S di Balik Kertas Kalender di Rumahnya di Kecamatan Wates, Kediri. (Foto: P. Diartoko) Para relawan mencatat informasi yang didengarkan di RAPI untuk mengantisipasi jika ada yang bertanya karena tidak sempat mendengarkan langsung. Ketika ada yang bertanya, para relawan ini ingin dapat menjawab dengan benar. Di sisi lain, mereka yang tidak mendengarkan langsung dapat mempercayai informasi yang diteruskan oleh sesama warga. Ini membuat pesan yang sama dari satu sumber dapat menjangkau lebih banyak orang. Selama periode persiapan hingga letusan Kelud, kunjungan ke frekuensi triple two sangat padat. Akibat kondisi peralatan yang


Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

serba terbatas dan sudah tua, berkali-kali terjadi kerusakan. Penggunaan frekuensi juga menyentuh ambang batas. Meski demikian, upaya mengelola komunikasi terus dilakukan. Ini menunjukkan bahwa teknologi dan peralatan bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah menyiapkan manusianya. Sebagus apapun peralatan teknologi, tidak akan berguna selama manusianya tidak dipersiapkan. Sejauh manusianya siap, mereka dapat memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Dalam keterbatasan semacam itu, para sukarelawan radio di lereng Kelud, menggunakan keterampilan mereka untuk membuat radio yang mereka gunakan, bisa tetap menjalankan fungsinya dalam situasi krisis. Keterampilan elektronik yang mereka miliki menjadi bernilai taktis, dalam menggabungkan efektivitas teknologi nirkabel tersebut dengan daya jelajah sepeda motor mereka.

38

Gambar 3.1. Menyuarakan dan menjangkau. Manfaat taktis teknologi nirkabel dan daya jelajah sepeda motor yang digabungkan oleh para sukarelawan radio. (Foto: Robert Sulistyo) Sejumlah warga mengemukakan pengalaman mereka dengan peralatan yang terbatas sebagai berikut: â€œâ€Śini artinya hidup mati kami, (di) lokal kami, ya (tergantung kami) sendiri, dengan peralatan seadanya. Artinya dengan HT setengah badan, mungkin kalau dilihat perangkatnya juga seperti ini. ... Pak W itu juga ndak pernah bawa HT karena nggak punya. Itu menunjukkan bahwa kami ini swadaya sendiri. Informasi juga disebarkan melalui laman media sosial Facebook beberapa relawan dan radio komunitas. Mereka ditugaskan mendengarkan informasi dengan radio HT lalu meneruskan dengan menulis status setiap saat. Penggunaan internet bukan yang utama karena relatif tidak banyak warga yang memiliki akses. Informasi lewat internet lebih untuk menjangkau masyarakat di luar Kelud yang ingin mencari tahu mengenai kondisi terakhir.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Saat ada peningkatan situasi ancaman gunung, para relawan mendatangi rumah warga satu persatu untuk menyampaikan informasi. Setiap hari warga diajak bicara. Begitu situasi mencapai “Awas,� di mana orang dalam radius berbahaya harus segera evakuasi, masyarakat sudah siap. Masyarakat telah paham bahwa skenario penyelamatan tidak dapat mengandalkan pihak luar. Gerakan kultural dengan mendidik masyarakat justru yang paling ampuh dalam meningkatkan kemampuan menghadapi bencana.

Para relawan Kelud melihat adanya perubahan pada masyarakat menjelang letusan gunung itu pada tahun 2014 dibanding 2007. Masyarakat kini lebih tahu mengenai Kelud. Pengetahuan itu kemudian justru mendorong masyarakat untuk lebih ingin tahu. Ada kebutuhan akan informasi mengenai perkembangan di Kelud. Pada saat yang sama, masyarakat melihat bahwa sejumlah orang dengan aktif terlibat menyediakan informasi mengenai Kelud melalui siaran radio maupun tatap muka langsung dengan warga pada berbagai kesempatan. Orang-orang itu seolah menjawab kebutuhan akan informasi tentang Kelud. Keterlibatan dan kontribusi para relawan semakin besar dan diperlukan ketika diputuskan bahwa komunikasi mengenai Kelud akan dilakukan hanya melalui frekuensi RAPI dengan radio-radio komunitas menyebarluaskan. Para relawan itu diajak dalam pertemuan-pertemuan yang kian intensif pada awal tahun 2014 untuk menentukan langkah bersama menghadapi ancaman Kelud. Mereka tidak dilihat dan tidak pula merasa sebagai pahlawan. Mereka tetap para tetangga warga Kelud, tetapi sekarang dengan satu perubahan yang mencolok: Mereka selalu ada manakala masyarakat membutuhkan informasi mengenai Kelud. Ada ketika diperlukan. Melihat hal itu, sejumlah orang menjadi tergerak untuk ikut membantu. Tindakantindakan kecil yang tadinya tidak terorganisir berubah menjadi suatu gerakan bersama. Gerakan ini tidak dilandasi motif apapun, entah itu politik atau lainnya, melainkan kultural sebab hal itu perlahan-lahan menjadi cara hidup yang dijalani setiap hari, bahkan hingga kini. Para relawan komunikasi lokal ini tanpa disuruh atau diarahkan akan nimbrung dengan santai maupun serius mengenai segala urusan terkait publik, termasuk bencana pada berbagai kesempatan, khususnya melalui check in radio setiap hari. Bila sehari saja tidak terlibat perbincangan dengan sesama anggota RAPI dan radio komunitas, hidup pun menjadi terasa ada yang kurang. Orang menjadi ketagihan untuk berkomunikasi! Para relawan di Kelud menanggapi perubahan di masyarakat pada tahun 2014 yang lebih siap menghadapi bencana, dengan mendayagunakan pengetahuan akan risiko untuk melakukan aksi yang tepat saat terjadi krisis. Kesukarelaan untuk mengungsi disiapkan dan dilatih sebelum krisis. Tetapi, kepada warga yang berpotensi terdampak erupsi itu, tidak hanya diberikan perintah. Kepada mereka, diberikan kepastian bahwa cara dan proses menuju lokasi pengungsian di wilayah aman, adalah demi

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

4.3. Masuk Dalam Gerakan

39


Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

keselamatan mereka. Relawan radio seperti Ibu S, mengisahkan bagaimana proses fasilitasi ketenteraman publik ini dilakukan.

40

“[…] yang tidak punya (kendaraan—writer.) kita siapkan kendaraan. […] Sugihwaras, Sempu, Babatan itu ring 1 jadi diungsikan ke sini, (ke) Wates... Ada yang di balai desa Tempurejo, balai desa Tawan, balai desa Segaran, Gadungan. […] Jalur evakuasi juga sudah diatur sebelumnya, jadi kalau Sugihwaras ngungsi, jalurnya sini, Sempu sini, Babatan sini, jadi biar ga numpuk. Jadi memang bukan instan mas, jadi sudah kita tata jauh-jauh hari. […]”23 Seiring perjalanan waktu, para relawan komunikasi ini dilatih untuk mengikuti aturan yang disepakati bersama, menjadi teratur, bergerak bersama. Dengan disiplin itu, orang dibiasakan untuk mengkondisikan bagaimana informasi diterima oleh semua. Saluran komunikasi bencana di triple two itu dilihat sebagai bukan hanya untuk mereka lagi untuk menyalurkan hobi, tetapi untuk digunakan oleh semua bagi kebaikan umum. Setiap orang akhirnya berkontribusi, bahkan ketika mereka hanya diam. Ketika masing-masing orang memberikan informasi, mereka tahu bahwa ada yang mendengarkan dan semua punya sikap yang sama. Mereka merasa memberi manfaat terhadap orang lain pada akhirnya, dan dirinya sendiri, karena dengan memastikan informasi yang disampaikannya akurat, mereka jadi punya alasan untuk berharap bahwa informasi yang diterima dari orang lain juga dapat dipercaya. Mereka yang terlibat merasa dapat bermanfaat bagi masyarakat. Relawan komunikasi ini pelan-pelan menghayati semacam rasa syukur karena bisa berguna untuk orang banyak. “Hidup dilihat sebagai paling bermakna jika hidup dan tenaga kita dibutuhkan orang lain,” tutur seorang anggota. Semua yang terlibat ingin menjadi orang yang berguna. Tidak ada pamrih, tetapi berguna. Etos tersebut ditanamkan dari satu pertemuan ke pertemuan lain. Sejumlah orang benar-benar melihat diri mereka sebagai sedang melaksanakan amanah karena ada kepercayaan dan tanggung jawab yang diberikan. Sejumlah orang telah ikut dalam penanganan komunikasi bencana pada tahun 2007. Namun, rasa bangga dan semacam militansi yang muncul jauh lebih besar pada tahun 2014. Tidak sedikit dari mereka yang lebih dari satu anggota keluarganya terlibat dalam mempersiapkan masyarakat menghadapi letusan 2014. Ada keluarga di mana sang bapak bekerja dengan RAPI, sedangkan anaknya bersama Jangkar Kelud. Dalam situasi di mana orang merasa bisa mempercayai sesamanya dan pada saat yang sama orang lain dapat mempercayainya, maka keberanian untuk melaksanakan peran dan tanggung jawab menjadi bisa muncul. Inilah barangkali salah satu alasan kuat mengapa masyarakat bertahan di daerah berbahaya dan terus kembali sepanjang masih memungkinkan untuk menolong yang lain. Ketika semua orang memiliki dan menjalankan peran, maka tanggung jawab itu lahir karena orang merasa hidup tidak sendiri dan tidak bisa sendiri.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Sebagian relawan mengungsikan keluarga masing-masing pada siang hari sebelum kembali ke atas menolong yang lain. Seorang relawan mengatakan seandainya istri atau anggota keluarganya mencoba mencegahnya untuk naik lagi membantu yang lain, dia tidak akan menghiraukan. “Ya namanya relawan itu kalau dicegah pun saya tidak akan mau.” Menjadi relawan rupanya merupakan pilihan yang lahir dari kesadaran bahwa dirinya ingin berbuat baik bagi yang lain tanpa terlalu menghiraukan diri sendiri. Setelah letusan 13 Februari malam, keesokan harinya pemerintah dan TNI menengok kondisi ternak di rumah-rumah warga. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kecemasan dan mencegah masyarakat memaksakan diri pulang ketika situasi belum sepenuhnya aman. Camat dan Danramil Ngancar memberi pakan kepada ternak masyarakat. Saat itu, mereka sendiri belum makan selama sehari. Tindakan tersebut menimbulkan respek masyarakat. Mereka pun mendengarkan imbauan untuk tidak mendekat dulu ke rumah di kawasan rawan karena tidak ada kebutuhan yang mendesak. Pemerintah telah menggantikan mereka untuk sementara merawat hewan ternak. Yang dikembangkan di Kelud adalah diskursus yang bebas tekanan, di mana masyarakat selalu diberi ruang untuk bersama mencari kesepakatan yang dapat diterima menurut norma masing-masing. Semua bisa terlibat, bahkan diajak untuk terlibat. Pemerintah bertanya, “penake piye (baiknya bagaimana)?” untuk memberikan ruang tersebut. Dengan mengajukan pertanyaan “baiknya bagaimana?” pemerintah tidak kehilangan otoritas. Justru sebaliknya, pemerintah menunjukkan otoritas dengan memberi kesempatan kepada semua untuk berperan. Tetapi kesempatan berperan ini bukan kesempatan tanpa makna. Mereka yang diberi peran menyadari bahwa mereka bertanggung jawab untuk memastikan peran itu tidak dijalankan dengan sembarangan. Dengan peran masyarakat dimungkinkan bahkan dipersyaratkan dalam penanganan bencana maka keterlibatan dan partisipasi menjadi nafas dari penanganan bencana. Dan hasilnya tak bisa lebih baik. Mereka yang dulu menolak mengungsi, sudah mau mengungsi pada letusan tahun 2014. Kali ini bukan tanpa alasan, melainkan karena adanya kepercayaan bahwa pihak yang meminta mereka mengungsi sungguhsungguh memikirkan kebaikan mereka. Pemahaman antara pemerintah dan masyarakat seperti ini amat sulit diperoleh. Tetapi di Kelud bisa.

Komunikasi sebagai Gerakan Kultural

Urgensi kerelawanan di mana-mana kiranya sama: bagaimana menciptakan solidaritas sedemikian yang menjadikan orang berani dan bersedia berkorban bagi orang lain. Kerelawanan dalam artinya yang terdalam adalah memberi diri untuk orang lain sekalipun karena itu saya harus kehilangan dengan tidak ada gantinya. Maka, orang hidup tidak lagi hanya untuk hidup itu sendiri, dengan kata lain bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang-orang di sekitarnya. Kebahagiaan lantas memang dicapai dalam komunitas, dalam hidup bersesama.

41


42

Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri


43

BAB 5

Re-interpretasi adalah Kunci!


BAB 5

Re-interpretasi adalah Kunci!

Re-interpretasi adalah Kunci!

44

Memahami keberhasilan melakukan evakuasi sekitar 86.000 jiwa pada saat erupsi Gunung Kelud tidak mudah. Pertanyaan yang paling pokok untuk dikemukakan adalah bagaimana mungkin dalam waktu sekitar dua jam evakuasi sukarela tanpa kepanikan dapat dilakukan? Dari dokumentasi amatir yang dimiliki beberapa warga Kecamatan Ngancar yang turut evakuasi, terkesan bahwa evakuasi tersebut seperti piknik bareng warga. Tidak ada bunyi sirine, tidak ada bunyi klakson, tidak ada teriakan, dan jauh dari kesan tergesa-gesa. Sementara itu dalam tayangan tersebut tampak bahwa kita terus menerus tampil sebagai latar belakang pergerakan tersebut. Di dalam mobil, terdengar suara batu berjatuhan bersamaan dengan suara derit wiper yang berderit karena terjadi gesekan antara karet wiper dengan kaca. Sejauh sejarah kehidupan manusia digelar, yang pasti tanpa kepemimpinan dan ketaatan yang dipimpin maka pergerakan sukarela itu tidak akan terjadi. Lalu apakah syarat kemungkinannya agar hal tersebut dapat terjadi? 5.1. Literasi Ancaman Bencana Jauh hari sebelum erupsi tahun 2014, tahun 2007 maupun tahun 1990, masyarakat memiliki tanggapan yang berbeda sama sekali terhadap erupsi. Pada tahun 1990, menurut kesaksian seorang warga dinyatakan bahwa: […] saya mengalami menangani erupsi gulung Kelud itu 3 kali, tahun 90, 2007, 2014. Tahun 90 saya baru masuk. Saya sebetulnya sudah prihatin, tetapi pada waktu itu saya belum (bertindak), (karena) ibaratnya berperang (waktu) itu (saya) belum punya peluru gitu loh. Masih culun. (Wawancara Petugas PGA Kelud) Masyarakat yang tinggal di lereng terkesan menggunakan keyakinannya secara individu terhadap ancaman Gunung Kelud. Pengetahuannya tentang ancaman erupsi amat terbatas. Kesadaran untuk bertindak itu baru muncul pada tahun 2008. Tidak mungkin evakuasi mandiri semata-mata dilakukan oleh masyarakat tanpa ada yang menggerakkan. Masyarakat memiliki potensi, namun potensi itu hanya sekedar potensi jika tidak digerakkan menjadi actus (aktualitas). […] Kebetulan saya juga ikut menangani, saya juga prihatin dengan sikap masyarakat yang apatis dengan adanya bencana. Sangat-sangat dingin, sangat-sangat tidak respon. Sampai-sampai pada saat itu di suruh ngungsi,


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

diminta ngungsi itu nggak mau. Aparat itu sampai bawa senjata. dipaksa mengungsi. (Kesaksian Warga Ngancar-Kediri)

[‌] Saya bilang begini, cerdaskan warga saya tentang bencana. sesusah apapun ayo kita lakukan. Sejak saat itu, saya mulai tergerak. Selepas aktivitas Kelud, bencana sudah usai, akhirnya saya ke luar. Selain itu, di waktu-waktu senggang, di hari Sabtu, di hari minggu, biasanya saya juga nggak di kantor. Saya masuk di masyarakat. Di warung-warung, dimana ajalah pokoknya di situ ada orang ngumpul. Saya nimbrung di situ, saya ngobrol-ngobrol, akhirnya saya masukin virus bencana. Intinya adalah masyarakat itu harus tahu, status normal itu harus bagaimana, status waspada harus bagaimana, tatkala siaga mereka harus bagaimana, tatkala awas mereka harus mengungsi. Dan itu saya tekankan, mengungsi itu tidak harus diungsikan. (Wawancara Petugas PGA Kelud) Namun bagaimana cara menggerakkan potensi masyarakat tersebut sementara secara kultural mereka memiliki keyakinan dan penafsiran sendiri terhadap Gunung Kelud? Pokok persoalan tersebut menjadi kesadaran baru para warga Ngancar. Disadari pula bahwa yang perlu dilakukan dalam proses komunikasi kepada warga adalah edukasi untuk meningkatkan literasi warga terhadap ancaman Gunung Kelud. Kedua, menggunakan hasil literasi untuk diskursus masyarakat tentang upaya untuk pengurangan risiko bencana. Ketiga, merealisasikan upaya tersebut menjadi gerakan masyarakat (komunitas) lereng Kelud sehingga evakuasi mandiri dapat terselenggara dengan aman. Ketiga hal tersebut tidak mudah, namun tidak juga kemudian karena tidak mudah lalu tidak dilakukan. Ide tersebut direalisasikan. Petugas PGA Kelud berjalan dengan wakil masyarakat masyarakat masuk ke celah-celah dusun, di setiap titik kumpul warga kemudian menjelaskan bahwa warga harus memiliki kewaspadaan terhadap erupsi Gunung Kelud. Diskusi berubah menjadi persuasi dengan logat Jawa Tumur yang khas dengan tekanan, [..] Mengungsi itu adalah kebutuhan anda. Jadi Anda harus mengungsi dengan sendirinya. Jadi kalau Anda menunggu diungsikan, ya sama saja anda menunggu mati. Semacam itu. Saya, penyampaikan saya memang agak keras. Jadi kadangkala tak (saya) weden-wedeni (takut-takui). (Wawancara Pemuka Masyarakat)

Re-interpretasi adalah Kunci!

Sementara itu disadari bahwa diperlukan seseorang untuk menjadi ‘relawan’ yang mampu menggerakkan masyarakat. Salah satu faktor yang disadari mempengaruhi gerakan tersebut adalah kesejajaran informasi mengenai Gunung Kelud. Tanpa pengetahuan tersebut, menggerakkan masyarakat untuk evakuasi mandiri hanya akan menjadi cita-cita tanpa realisasi (aktualitas).

45


Seringkali keluar dengan hasil yang disepakati, bahwa mengungsi adalah upaya merawat hidup. Masyarakat Kelud harus berani hidup bukan berani mati. Maka, pandangan terhadap ‘keharusan’ mengungsi pun berubah menjadi kesepakatan baru;

Re-interpretasi adalah Kunci!

[…] Awake dewe (Kita) jangan sekali-kali menunggu untuk diungsikan. Tetapi begitu awas, kita harus mengungsi dengan sendirinya. (Wawancara Pemuka Masyarakat)

46

Disadari bahwa ketika sikap mengungsi adalah keputusan masyarakat secara kolektif, tanpa pengetahuan (positif ) tentang Gunung Kelud, hal itu akan mendatangkan kecanggungan. Maka syarat yang terpenting agar evakuasi mandiri tersebut dapat dilakukan, masyarakat harus memiliki informasi yang valid mengenai ‘gejala’ erupsi Kelud. Maka ‘mencerdaskan’ masyarakat dengan mengetahui indikasi pergerakan Gunung Kelud adalah syarat agar kemandirian evakuasi dapat dilakukan. […]Saya wanti-wanti, tidak boleh ditambahi, tidak boleh dikurangi. Masyarakat tahu, vulkanik dalam apa, vulkanik dekat apa. Kebanyakan (masyarakat) tahu. (Wawancara petugas Pos PGA Kelud) Tahun 2008 inisiatif mengumpulkan warga baru dimulai. Inisiatif datang dari Petugas Pos PGA Kelud dengan warga yang juga menggerakkan radio komunitas di lereng Kelud. Diskusi dengan warga di berbagai kesempatan dan ruang selalu terjadi. Kelud menjadi diskursus warga sekitar! Baru tahun 2011 dimulai kesepakatan baru dengan warga masyarakat, bahwa pengungsian dapat dilakukan jika: (1) diungsikan beserta ternaknya, dan (2) warga diberi kesempatan untuk beraktivitas seperti sehari-hari di pengungsian. Mereka tidak mau jika di pengungsian hanya tidur dan makan, seperti ternak. Bahkan kalau perlu mereka diberi bahan mentah kemudian memasak sendiri makan di dapur umum. Dan pada tahun 2014, pemerintah setempat merealisasikan kesepakatan dengan warganya dengan mengalokasikan satu lapangan untuk evakuasi ternak. […] iya, jadi kita pertemukan masyarakat dengan pemerintah daerah yang notabene, ini yang diungsikan, ini yang mengungsikan. Biar dia punya kata sepakat, klop. Itu kira-kira tahun 2011. Nah, akhirnya apa. Pertama, tuntutannya mengungsi dengan ternaknya. Kedua, mereka tidak mau, kalau orang jawa bilang di ndorokan. Hanya di suruh tidur, di kasih makan. Nggak mau. Mereka maunya di kasih bahan mentah, biar dikasih kesibukan. (Wawancara Petugas PGA Kelud) Kesepakatan inilah yang dipegang teguh pimpinan setempat. Tanpa pemenuhan atas kesepakatan ini sulit untuk dikatakan evakuasi pada tanggal 13 Februari 2014 tersebut akan berlangsung sukses.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Edukasi Ancaman Vulkanik Diskusi dan Persuasi

Diskursus Pengurangan Resiko

Sistem Komunikasi

Jalur Evakuasi

Gladi

Penanganan Pengungsi

Rencana Penanganan Darurat

Gambar 4.1. Rangkaian Proses Penanganan Darurat Masyarakat Ngancar Kediri

Re-interpretasi adalah Kunci!

Negosiasi SosialKultural

47

Selain itu atas kesepakatan pemuka masyarakat Ngancar, diputuskan rencana penanganan darurat yang akan dipimpin Camat Ngancar dan Danramil . Selain itu pada kondisi darurat Camat Ngancar mulai menggunakan call sign Ngancar 1 (satu) dan Danramil (Ngancar 2). Call sign dipergunakan untuk akses komunikasi yang dapat secara langsung dipimpin oleh beliau sekaligus memudahkan komunikasi dengan warga sekitar lereng Kelud karena RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia) lokal 6 Kecamatan Ngancar dan Kelud FM meneruskan berita tersebut kepada khalayak untuk bertindak di bawah koordinasi dalam kondisi darurat. Mereka pun sepakat untuk informasi darurat, dilakukan melalui satu pintu, satu bahasa, satu makna, dan satu interpretasi agar tidak membuat kebingungan, kegaduhan, dan isu yang tidak perlu. Namun demikian, masih ada beberapa tokoh masyarakat adat yang menolak evakuasi. Warga sempat bersitegang dengan mereka. Mereka berkeyakinan Gunung Kelud tidak akan meletus seperti yang banyak perkiraan. Dengan argumentasi yang dibangunnya dikemukakan banyak alasan bahwa Kelud tidak akan meletus. Namun toh sikap sudah diantisipasi. Pemuka masyarakat yang sudah paham dengan informasi dari Pos PGA kemudian ikut melakukan persuasi.


Re-interpretasi adalah Kunci!

Saya datang ke sana, terus saya bilang, mbah, gunung saya ini kok kayaknya mau meletus? Melihat data yang terus bergerak ke sana, tetapi saya tidak begitu percaya waktu itu. Tapi kok kayaknya seperti itu. Nah kepastian? Saya ingin tanyakan. Itu sampai 3 kali. Dia bilang, wah mas ini nanti kalau mau meletus ini air. Air dari mana saya mikir, ah kayaknya nggak itu mbah. Artinya saya apa seperti itu, saya suruh (dia) ritual lagi, saya suruh (dia) ritual lagi, supaya itu nanti dia satu kata dengan saya. (Wawancara Petugas PGA Kelud)

48

Tidak mudah menyikapi sikap pemuka adat dengan dasar argumentasi yang berbeda horizon pengetahuannya dengan pengetahuan positif yang digunakan di Pos PGA. Intensitas dan persuasi tidak bisa sekali jadi, perlu dilakukan berulangkali dengan berulang cara. Petikan komunikasi di atas menunjukkan persuasi untuk mempertemukan cara pandang yang berbeda dengan positivisme pengetahuan yang digunakan di Pos PGA. Meskipun demikian upaya untuk merealisasikan rencana evakuasi ini berjalan mulus, bisa dikatakan tanpa halangan yang berarti. Umpan informasi diperoleh secara terus menerus oleh Pos PGA Kelud, disamping PGA melalui PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi) terus berkoordinasi dengan instansi terkait baik di tingkat lokal maupun nasional. Pun termasuk informasi yang setiap enam jam sekali diberikan oleh Ngancar satu kepada khalayak pada status siaga. Warga pun antusias untuk mendapatkan informasi terbaru. Sementara lain, ketika memasuki status waspada, kelompok rentan dan keluarga ‘relawan’ sudah diungsikan terlebih dahulu. Sehingga mereka yang masuk dalam ‘penyelenggara’ evakuasi mandiri ini sudah tidak lagi memiliki beban mengenai keselamatan keluarganya. Sehingga pada pukul 21.15WIB, berlokasi di Pos PGA Kelud, Ngancar Satu mengumumkan perintah pengosongan lereng Kelud: “Saudara-saudaraku di manapun berada... saya Ngancar Satu, Ngaseri... menyampaikan kepada saudara-saudaraku di manapun berada, baik yang berada di lereng Gunung Kelud, Kota Kediri, Malang maupun Blitar. Bahwa status Gunung Kelud pukul 21.15 dinyatakan AWAS, untuk itu kami menghimbau untuk turun dan mengosongkan dan segera menuju ke titik-titik evakuasi yang sudah ditentukan. Kosongkan radius 10 km, kosongkan radius 10 km, Kami menghimbau untuk mengosongkan radius 10 km... saudara-saudaraku mempersiapkan dan segera menuju ke titik pengungsian...” (Sumber: Dokumen Radio Kelud FM, Suara Ngancar Satu, pada tanggal 13 Februari 2014) Sungguh bukan hal yang mudah ketika menyampaikan berita dan pada saat yang bersamaan yang diperintah harus berani meninggalkan kampung halamannya. Tidak ada yang tahu persis nasib permukiman warga Kecamatan Ngancar pasca erupsi. Justru di dalam ketidaktahuan dan ketidakpastiannya para pemimpin setempat berhasil membangun kepercayaan. Disinilah puncak kepemimpinan itu sangat krusial.


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

[…] (Menurut dokumen Renkon Kediri) harus mengungsikan penduduk kurang lebih sekitar 28 ribu orang. Sesuai pada data saat itu. Itu perlu angkutan sekian ratus angkutan. Segala macam. Sedangkan pada waktu pelaksanaan kemarin, kita sendiri nggak gerilya di masyarakat, masyarakat sudah sangat siap (evakuasi mandiri). (Wawancara dengan Pemuka Masyarakat) […] (Bayangkan) kalau 80.000 ribu (jiwa harus diselamatkan), taruhlah satu truk itu bisa isi 50, maka butuh sekitar 1600 truk. Darimana itu? (Wawancara dengan Pemuka Masyarakat) 5.2. Keberhasilan Evakuasi adalah Kesuksesan Masyarakat Perintah evakuasi dari Ngancar Satu dalam transkrip di atas menjelaskan bahwa selain persoalan teknis tata cara penyampaian pesan mengungsi dilakukan juga memberikan kesan keyakinan efektivitas perintah karena relasi yang sudah terbangun sebelumnya, dan jauh dari kesan formal. Kesan itu sangat kuat dengan isitilah yang digunakan “saudara-saudaraku” dan penyebutan nama; Ngaseri daripada Camat sebagai ‘penguasa’ resmi wilayah Kecamatan Ngancar. Penggunaan kata “saudarasaudara” berimplikasi mendekatkan diri personal Ngancar Satu kepada diri personal warga masyarakat. Dirinya bukan orang lain, dirinya adalah saudaranya yang secara moral memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menjaga dan menjauhkan saudaranya dari mara bahaya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa dalam pemikiran Jawa, moralitas dan etika Jawa ditentukan atas sikap batin manusia. Sikap batin manusia adalah realitas yang sesungguhnya. Kata “saudara-saudaraku” adalah wujud eksteriorisasi sikap batin. Istilah yang digunakan untuk menjelaskan alasan penggunaan kata tersebut oleh Ngancar Satu dalam wawancara, adalah ketulusan, bahwa ketulusan untuk menyelamatkan adalah motif dasar Ngancar Satu dalam dimensi kebudayaan. Sikap batin yang terpancar dalam pemilihan kata ketika mengumumkan perintah pengungsian oleh Ngancar Satu menjelaskan bahwa dirinya sedang menjalankan prinsip rukun sekaligus hormat kepada mereka yang diminta untuk mengungsi. Dalam pemikiran Jawa, seperti yang sudah dibahas dalam bab sebelumnya, sikap ini dilakukan agar keharmonisan dan keselarasan tetap terjaga. Sepenggal kisah ini membuktikan efektivitas pemimpin dalam dimensi ke-jawa-an, bahwa pemimpin

Re-interpretasi adalah Kunci!

Pemimpin bukan hadir pada saat damai, namun disaat genting, ketika situasi dalam kondisi krisis. Tidak ada harapan yang ditebar. Tidak ada janji yang mengemuka kecuali memenuhi keputusan bersama yang sudah dibuat bersama masyarakat beberapa tahun sebelumnya. Pemimpin itu hanya menggerakkan potensi masyarakat yaitu modalitas di tingkat masyarakat itu sendiri. Rencana kontingensi yang direncanakan dengan asumsi pemenuhannya pada saat operasi dengan sumberdaya luar tidak mungkin dikerjakan.

49


Ultimate Goal (Manunggaling kawula-Gusti)

Safety

Trust

Mediation

Re-interpretasi adalah Kunci!

Good Governance

50

Leader Leadership

Self

Inner Affection

Gambar 4.2. Konsep Pemimpin-Kepemimpinan Dalam Etika Jawa harus membawa keseluruhan kosmos dalam kesatuan hamba-Tuhan. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa pemimpin dalam dimensi ini adalah kebersediaan dan kemampuannya mendampingi masyarakat dalam keharmonisan dan keselarasan. Inilah mandat utama pemimpin dalam konteks Kelud. Implikasi dari corak pemimpin dalam konteks ini adalah pembagian peran yang organik. Seorang pemimpin bisa menjadi pengikut dalam detik yang berbeda. Demikian pula seorang pengikut bisa dengan segera menjadi pemimpin. Oleh karenanya siapa yang menjadi pemimpin tidak begitu penting dalam konsep ini. Dalam dimensi ini, tujuan final dari kepemimpinan lebih penting daripada subyek. Manunggaling kawula-Gusti (kebersatuan hamba-Tuhan) melampaui subyek (diri/self ) itu sendiri. Maka, diri pribadi sebagai manusia ketika dirinya menjadi pemimpin atau pengikut, kesiapan peran atas dirinya dalam ke-semesta-an yang berorientasi pada tujuan final menjadi keharusan. Secara praktis mengenai pemimpin dan pengikut dapat diobservasi dari cuplikancuplikan percakapan di atas, bahwa suatu ketika seseorang dapat menjadi insiator, pemimpin, pelengkap, pendukung, bahkan pengikut. Perbedaaan peran dalam dimensi ini lebih sebagai panggilan hidup, bersama-sama dengan peran yang lain mengarahkan pada tujuan final; keselamatan hidup sebagai bentuk kesempurnaan hidup. Tanpa prinsip ini mereka yang dipimpin pun tidak akan memiliki komitmen. Komitmen adalah kesepakatan secara sukarela untuk menempatkan tujuan final kehidupan sebagai tujuan utama yang melampaui tujuan diri personal. Inilah


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Relasi pemimpin dan yang dipimpin dalam praksis etika Jawa dihubungkan dengan kepercayaan bahwa setiap individu memiliki tujuan final yang identik. Kondisi ini pula yang tercermin dalam diseminasi materi edukasi ancaman vulkanik, negosiasi, hingga pembentukan diskursus. Diskursus tentang upaya-upaya riil yang dijalankan dalam menghadapi ancaman erupsi dikembangkan dalam kebebasan individu karena landasan keyakinan atas tujuan final. Maka, penggunaan teknologi seperti radio Komunitas Kelud FM dan perangkat elektronik seperti handy talky (HT) akhirnya diposisikan sebagai alat saja. Yang terpenting adalah sikap batin operatornya yang tereksteriorisasi dalam tindakan riilnya. Dengan demikian konsisten dengan pemikiran tersebut, tata kelola yang baik adalah persoalan teknis. Dalam pemikiran ini tata kelola yang baik adalah jika dan hanya jika tata kelola tersebut mampu menghantarkan setiap individu di dalam komunitas tersebut bergerak harmonis dan selaras dalam mencapai tujuan final. Oleh karena itu prinsip tata kelola yang baik dalam dimensi modern lebih bernuansa teknis. Transaparansi dan akuntabilitas yang menjadi prinsip dalam implementasinya dengan sendirinya menjadi keniscayaan. Bukankah tanpa keterbukaan dan akuntabilitas tujuan final hidup itu sendiri tidak akan dapat tercapai? Bukankah tanpa hal itu kehidupan mereka menjadi lembaran sejarah yang penuh kemunafikan? Negosiasi antara pemuka masyarakat dengan masyarakat dengan segala keberhasilannya yang ditampilkan dalam keberhasilan mentaati kesepakatan hasil negosiasi, dan diskursus tentang upaya-upaya pengurangan risiko adalah bukti nyata bahwa sepenggal pengalaman masyarakat lereng Kelud adalah bagian dari panggilan hidup manusia Jawa. Inilah ketulusan dalam makna pemikiran moral dan etika Jawa!

Re-interpretasi adalah Kunci!

penjelasan terhadap alasan warga lereng Kelud taat dan patuh kepada Ngancar Satu, meskipun secara definitif Ngancar Satu baru menjalankan tugas sebagai pemimpin formal pada bulan November 2013.

51


Re-interpretasi adalah Kunci!

Catatan Akhir

52

1 Dalam legenda Gunung Kelud, seperti yang dituturkan pemuka masyarakat adat Gunung Kelud bahwa kisah ini diawali oleh putri Kediri yaitu Dewi Kilisuci yang akan dipinang oleh Lembu Sura. Lembu Sura mengutus adiknya (Mahesa Sura) dan Patihnya yaitu Jaka Sura. Dalam proses peminangan ini adik dan Patihnya terharu. Akhirnya kakaknya, Lembu Sura dibunuh sendiri oleh adik dan Patihnya. Dan, perminangan Dewi Kilisuci dilakukan oleh Jatha Sura dan Mahesa Sura. Hal ini membingungkan Dewi Kilisuci, karena dirinya dipinang oleh dua orang yaitu Mahesa Sura dan Jatha Sura. Akhirnya Dewi Kilisuci meminta untuk dibuatkan sumur di gunung Kelud dengan kedalaman hingga bersuara gemuruh. Raja Kediri sendiri sudah mempersiapkan sendiri, bahwa ketika sumur dibuat dengan kedalaman tersebut kemudian akan ditimbun. Legendanya adalah menembus (terhubung dengan) laut selatan. Gunung Kelud adalah gunung bersejarah yang mengandung dendam. Dendamnya adalah Kediri jadi kali (sungai), Blitar jadi latar (tanah datar), Tulungagung jadi kedung (danau). Tidak begitu jelas siapakah yang dimaksud sebagai Dewi Kilisuci ini, namun dalam teks Negara Kretagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 disebutkan bahwa Sanggramawijaya (putri Raja Erlangga hasil perkawinannya dengan putri Raja Dharmmawangsa) kemudian mengundurkan diri untuk hidup sebagai bhiksuni di asrama dengan gelar Nyi Ageng Kilisuci. Namun secara rinci berdasarkan penelitian sejarah tidak disebutkan bahwa Dewi Kilisuci yang dimaksud adalah putri Raja Erlangga yang kemudian dipinang oleh Lembu Sura. 2 Franz Magnis Suseno, 1999. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, PT. Gramedia Pustaka Utama, hal. 39. 3 Ibid, hal. 40. 4 Ibid, hal 114-116. 5 Ibid, hal. 40. 6 Geertz, Clifford, 1960. The Religion of Java, The University of Chicago Press, hal. 241242. Dalam hal ini Geertz memberikan penjelasan hubungan antara rasa dan etiket (sopan santun) terkait dengan tujuan hidup manusia; damai (The aim of life is to seek emotional peace, other than that there isn’t any). Seperti ketika berinteraksi di pasar, hanya tidak dalam bentuk uang namun rasa, dan setiap orang memiliki


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat Dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

“modal� yaitu rasa. Rasa sopan santun adalah bentuk kesopanan sebagai alat untuk menciptakan orang lain dan dirinya hidup dalam damai. Semua perilaku berasal dari rasa dan kesopanan memiliki rasa. 7 Franz Magnis Suseno, 1999. Hal 40-44. 8 Bdk. Ibid, hal. 199. 9 Ibid, hal. 198.

11 Ibid, hal. 205. 12 Ibid, hal. 210. 13 Ibid, hal. 212-213. 14 Anderson, Benedict R. O’G, 1996. Mythology and The Tolerance of Javanese, Cornell Modern Indonesia Project, Edisi ke-2, Ithaca, terjemahan: Ruslani, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa, 2000. 15 Keterlibatan organisasi rakom dalam bencana di wilayah Kelud sebenarnya bukan hal baru. Meskipun hanya sebatas pelengkap dengan peran yang minor, pada letusan tahun 1990, RAPI telah dilibatkan dalam komunikasi oleh ABRI (sekarang TNI) di tingkat Koramil maupun Kodim. Pembina RAPI wilayah Kelud saat itu adalah anggota ABRI. Korem Jawa Timur membagikan alokasi frekuensi untuk digunakan di bawah naungan radio telegraf tentara. Setiap kali ABRI mengadakan kegiatan ABRI Masuk Desa (AMD), anggota RAPI diajak serta, seringkali hingga memasuki daerah pegunungan.

Organisasi rakom di Kelud sendiri mulai muncul pada tahun 1980-an. Anggotanya belum banyak, tetapi berasal dari latar belakang yang beragam. Alasan mereka menggunakan rakom juga berbeda-beda. Sebagian karena kebutuhan akan sarana komunikasi yang mudah dan murah. Seorang anggota RAPI yang bergabung pada tahun 1987 mengungkapkan bahwa ia memakai radio HF karena perlu berkomunikasi dengan keluarganya yang tinggal di Merauke, Papua. Lamakelamaan, bagi sejumlah orang, penggunaan rakom menjadi kebiasaan. Timbul perasaan senang, bahkan semacam ketagihan terhadap komunikasi radio

16 The exercise cost the organizer of the event more or less USD 312 only (at January 2014 USD-IDR currency rate of IDR 12,800 per USD 1). That sum already cover consumption and fuel cost. 17 Saat itu, wilayah dalam radius 5 km dari puncak sudah dikosongkan.

Re-interpretasi adalah Kunci!

10 Ibid, hal. 201.

53


18 EWC III, Developing Early Warning System: A Checklist, UNISDR, Bonn: 2006, p. 2. 19 IFRC, Community Early Warning Systems: Guiding Principles, Geneva: 2012, p. 14. 20 Wawancara dengan Ibu S, Wates, Kediri, Januari 2015. 21 Penuturan Bapak F, ibid. 22 ibid.

Re-interpretasi adalah Kunci!

23 Wawancara dengan Ibu S, op.cit.

54


Kisah Dari Timur: Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri

Kisah Dari Timur:

Sepenggal Pengalaman Masyarakat dalam Menghadapi Erupsi Gunung Kelud - Kediri Diterbitkan atas dukungan

Cover Kisah Dari Timur.indd 1

20/06/2015 13:32:46


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.