Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat Diterbitkan atas dukungan
Cover Pembelajaran Nagari Tangguh.indd 1
18/06/2015 15:09:46
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat (Sesuai dengan Kebudayaan dan Kearifan Lokal Masyarakat)
Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS Nasional | | 2015
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat (Sesuai dengan Kebudayaan dan Kearifan Lokal Masyarakat)
Penulis: Lengga Pradipta Editor: Chasan Ascholani & Wawan Budianto Desain/Lay Out: Iswanto. JA
Pasan Buruang* Cipt. Nuskan Syarief
Manangih bapisah batang nan jo ureknyo Rantiang jo daun indak badayo, indak badayo Taragak mandanga kicau si buruang murai Lah tabang jauah mambaok untuang, iyolah sansai Usah tabang sumbarang tabang Jikok lai takuik datang galodo Urang kampuang, sawah jo ladang Nan taniayo Danga pasan unggeh jo buruang Tolonglah kami nan lamah nangko Rimbo tampek kami balinduang Jan ditabang juo
* lagu ini bercerita tentang kerusakan alam yang menyebabkan terjadinya bencana.
Sambutan
Kepala Pelaksana BPBD Sumatera Barat Sumatera Barat dengan segala keindahan alam dan potensi yang ada merupakan sebuah anugerah, pantai, gunung, danau, sungai, gua bahkan ngarai dan patahan menjadi obyek yang menarik untuk dikunjungi. Kultur dan budaya minang termasuk rumah bagonjong yang merupakan bangunan ramah gempa mulai pudar berganti dengan bangunan tembok dan beton. Tak ada lagi lumbung (rangkiang) untuk menyimpan padi. Ketangguhan (resilience) secara etimologi bagaimana kembali kuat dan pulih setelah mengalami kesulitan, dalam hal ini dikaitkan dengan bencana tentunya bisa segera kembali pulih setelah kejadian bencana. Kalau kembali pada sejarah minang bagaimana masyarakatnya dengan kultur dan budaya yang ada dengan istilah “ Tungku Tigo Sajarangan “ menjadi penguatan dalam upaya pengurangan risiko bencana menuju ketangguhan. Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari Ninik Mamak, Alim Ulama dan Cerdik Pandai, ketiga elemen penting ini sebagai tiang tonggak di sumatera barat ketika menjalankan upaya upaya pengurangan risiko bencana, dimana masing masing memiliki peran sesuai dengan wilayah kepemimpinanya. Ninik Mamak, merupakan pemimpin tradisional yang telah digariskan oleh adat secara berkesinambungan dia berilmu, punya wawasan yang luas, mempunyai kelebihan dari yang lainnya, berwibawa dan disegani anak kemenakan, bijaksana, memahami hukum adat dan melindungi harta pusaka. Segala persoalan yang ada dimasyarakat dilakukan dengan musyawarah mufakat “ bapantang kusuik indak salasai “ (berpantang kusut yang tidak selesai), bapantang karuah indak janiah (berpantang keruh yang tidak jernih). Artinya setiap persoalan yang tumbuh dalam kaum, suku dan nagari dapat dicari pemecahannya melalui musyawarah dan mufakat. Alim Ulama, adat dan agama diminang sangat kuat dan bisa bersanding yang digambarkan dalam “Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah “ adalah adat yang didasarkan/ditopang oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Quran dan Hadist. Ulama lebih banyak berfungsi sebagai Pembina Iman dan akhlak anak nagari, ulama bukan punya kaum atau suku saja tetapi adalah milik nagari. Sifat pelayanannya adalah kenagarian.
Cadiek Pandai, Kepemimpinan cerdik pandai lahir dari kelompok masyarakat yang mempunyai ilmu pengetahuan dan cerdik memecahkan masalah yang ada dalam masyarakat. Ia pandai mencarikan jalan keluarnya, sehingga ia dianggap pemimpin yang mendampingi ninik mamak dan alim ulama. Orang tersebut dibawa ikut berunding memecahkan berbagai masalah di nagari atau di kalangan masyarakat karena mereka memahami undang-undang dan peraturan atau ketentuan yang berlaku dalam hidup bernagari, bangsa dan bernegara. Filosofi “Alam takambang jadi guru� adalah filosofi dari kebudayaan Minangkabau, Sumatera Barat, yang berarti alam berkembang menjadi guru. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia adalah berasal dari fenomena-fenomena alam semesta, karena alam itu bersifat dinamis, tidak statis, sehingga selalu ada kemungkinan untuk terjadi perubahan. Filosofi ini merupakan salah satu kearifan lokal terkait pengelolaan lingkungan hidup yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.  Alam semesta ini dapat dijadikan sumber pengetahuan dan pendidikan. Ada dua hal yang dapat dipelajari dari fenomena-fenomena alam yaitu dalam hal teknologi atau sains dan hikmah (arti yang mendalam atau tersirat) dari proses alam tersebut. Buku pembelajaran Desa atau Nagari Tangguh bencana ini setidaknya memberikan gambaran terkait bagaimana upaya upaya pengurangan risiko bencana disumatera barat dilakukan sesuai dengan kearifan dan budaya lokal, terimakasih kepada AIFDR yang telah membantu proses bersama BPBD baik provinsi kota dan kabupaten, serta kelompok siaga bencana dan fasilitator pendamping ketangguhan harus menjadi prioritas dalam kebencanaan dimulai dari lingkup terkecil keluarga, sampai dengan masyarakat dan pemerintahnya. Salam Tangguh, Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sumatera Barat Ir. Yazid Fadhli, MM
Kata Pengantar
Buku pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat ini dibuat untuk mengetahui sejauh mana proses dan hasil yang sudah dicapai oleh Desa/Nagari di Sumatera Barat dalam mengaplikasikan program Destana ini ke masing-masing wilayah mereka yang berbeda karakteristik alam dan masyarakatnya. Program ini didukung sepenuhnya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR), selain itu juga melibatkan partisipasi aktif Pemerintah Daerah dan Badan Penanggulangan Bencan Daerah (BPBD) di masing-masing Kota/Kabupaten. Buku ini tidak hanya membahas hal-hal teori mengenai kebencanaan, tapi juga menonjolkan sisi budaya dan kearifan lokal masyarakat Sumatera Barat atau Minangkabau yang sudah terkenal dari dulu lewat filosofi “Alam Takambang Jadi Guru�. Sepenggal lagu ciptaan Nuskan Syarief yang dipaparkan pada halaman awal buku ini menjadi penanda bahwa bencana bisa kita minimalisir asalkan kita tidak merusak alam. Lagu ini seakan menjadi benang merah bagi pelaksanaan Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat yang elok alamnya namun juga rawan akan bencana. Karena hanya pola kehidupan masyarakat setempat dan kearifan lokal yang bisa menjaga alam dan meminimalisir terjadinya bencana. Semoga buku ini dapat diterima oleh semua kalangan, baik pemerintah, praktisi kemanusiaan, masyarakat dan juga sektor terkait lainnya. Semua masukan serta kritik membangun akan sangat berarti bagi perkembangan buku ini, terutama pada program Desa/Nagari Tangguh Bencana. Salam tangguh!!!
Juni 2014
Penulis
BUKU PEMBELAJARAN Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
1
BAB 1
Pendahuluan
BAB I
Pendahuluan
Pendahuluan
Negara Indonesia merupakan Negara yang memiliki kondisi alam yang tidak menentu sehingga menjadikannya sangat rawan terhadap bencana. Walaupun ada bencana lain seperti bencana non-alam dan bencana sosial, namun bencana alamlah yang kerap terjadi di Indonesia. Data terkini dari Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) menyebutkan bahwa sepanjang satu dekade terakhir ini banyak terjadi bencana alam. Indonesia menduduki peringkat tertinggi untuk ancaman bencana alam seperti; tsunami, tanah longsor, gunung berapi, gempa serta banjir.
2
Bencana tidak bisa dipungkiri telah menghancurkan hasil-hasil pembangunan. Banyak dana yang dialokasikan untuk program tanggap darurat dan program pemulihan pasca bencana, padahal harusnya dana tersebut bisa dialokasikan untuk pembangunan nasional dan untuk pemberantasan kemiskinan. Jika terjadi bencana, maka imbas terburuknya adalah pada masyarakat miskin yang tinggal di kawasan rawan bencana. Jadi sudah dapat diasumsikan bahwa merekalah yang menjadi korban terbesar jika terjadi bencana. Karena korban terbesar dari bencana adalah masyarakat miskin, maka merekalah yang harus difokuskan dalam program penanggulangan dan pengurangan risiko bencana, dan tentu saja keterlibatan mereka menjadi pokok penting dalam program ini. Pemerintah Indonesia mulai mengambil langkah untuk membuat program pengurangan risiko bencana berbasis komunitas, dan salah satu strategi untuk mewujudkan program ini adalah dengan cara mengembangkan kapasitas desa dan kelurahan yang tangguh menghadapi bencana. Pengembangan desa dan kelurahan tangguh bencana ini merupakan salah satu visi utama dari BNPB, yaitu “terciptanya ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana�. BNPB mengembangkan program Destana ini di banyak provinsi yang rawan bencana, dan salah satunya adalah provinsi Sumatera Barat.
Pendahuluan
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
3
4
PEMBELAJARAN Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
5
BAB 2
Provinsi Sumatera Barat
BAB II
provinsi sumatera barat
Provinsi Sumatera Barat
6
Gambar 1. Peta Provinsi Sumatera Barat
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
2.1. Kondisi Geografis
Secara geografis, Sumatera Barat terletak diantara benua Asia dan benua Australia, serta berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga menyebabkan provinsi ini memiliki kondisi iklim yang sangat unik, yaitu musim hujan dan kemarau yang panjang. Dari kondisi geologis, Sumatera Barat berada pada jalur pegunungan aktif, kawasan beriklim tropis dan berada pada pertemuan 2 (dua) lempeng Eurasia dan Indo-Australia yang bertumpukan. Hal ini menyebabkan Sumatera Barat menjadi salah satu daerah yang rawan akan bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir dan lain sebagainya. Bencana yang menimpa Sumatera Barat sering menimbulkan kerugian materil maupun non-materil. Untuk mencegah timbulnya kerugian ini maka upaya yang harus segera dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah bagaimana daerah melakukan tindakan pengurangan risiko bencana, di semua sektor; baik pemerintah, masyarakat dan sektor swasta harus terlibat aktif dalam upaya ini.
provinsi sumatera barat
Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat Pulau Sumatera. Provinsi Sumatera Barat sendiri terdiri dari dataran rendah yang berupa daerah pantai serta dataran tinggi vulkanik yang terbentuk karena adanya Bukit Barisan. Garis pantai di provinsi Sumatera Barat bersentuhan langsung dengan Samudera Hindia sepanjang 2.420.357 km dan luas perairan 186.580 km².
2.2. Kondisi Sosial Budaya di Sumatera Barat
7
Mayoritas penduduk yang mendiami wilayah provinsi Sumatera Barat berasal dari suku Minangkabau. Suku Minangkabau awalnya berasal dari 2 (dua) klan utama, yakni Koto Piliang dan Bodi Caniago. Klan Koto Piliang memakai sistem pemerintahan yang cenderung aristokrat yang dikenal dengan istilah “titiak dari ateh” (titik dari atas), sedangkan klan Bodi Caniago cenderung bersifat demokratis yang dikenal dengan istilah “mambasuik dari bumi” (muncul dari bumi). Tentu saja kedua karakteristik berbeda ini turut mempengaruhi sifat masyarakat di Minangkabau. Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang arif dan kaya akan nilai-nilai kebudayan dan filosofi. Orang Minangkabau mengenal pepatah-pepatah yang erat dengan kehidupan mereka. Masyarakat Minangkabau merupakan masyarakat yang lekat dengan syariat islam, dan karena syariat Islam merupakan nafas utama dalam kehidupan masyarakat Minangkabau maka muncullah filosofi “Adat basandi Syarak, Syarak basandi Kitabullah” yang berarti “Adat bersendikan Agama, Agama bersendikan Kitab (Al Qur’an)”. Jadi tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas masyarakat Minangkabau beragama Islam dan selalu berpedoman pada adat dan agama secara turun temurun. Disamping itu, kehidupan masyarakat Minangkabau juga sangat lekat dengan alam, mereka dikenal sebagai masyarakat yang hidup secara komunal
dan mengedepankan hubungan dengan alam. dari kedekatan hubungan mereka dengan alam, maka lahirlah sebuah falsafah yaitu “Alam Takambang jadi Guru� (Alam Terkembang Jadi Guru), yang berarti alam merupakan tempat belajar bagi orang Minangkabau. Apa saja yang ada di alam bisa dijadikan guru atau sumber ilmu.
provinsi sumatera barat
Namun yang paling menarik dari masyarakat Minangkabau, walaupun nilai adat dan agamanya sangat kental, mereka tidak pernah menolak segala hal-hal positif yang datang dari luar. Kondisi ini tentu saja membuat masyarakat Minangkabau mampu bersinergi dengan segala nilai-nilai baru yang datang, terutama program Destana yang dicanangkan oleh BNPB. Kekhasan masyarakat dan budaya Minangkabau dalam menerima dan melaksanakan program Desa Tangguh Bencana tentu saja sangat menarik untuk dibahas.
8
provinsi sumatera barat
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
9
PEMBELAJARAN Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
1111
BAB 3
Program Desa Tangguh Bencana di Sumatera Barat
BAB III
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Program Desa Tangguh Bencana di Sumatera Barat
12
Pengertian Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta dapat memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan (Peraturan Kepala BNPB No. 1 Tahun 2012). Berdasarkan pengertian tersebut, maka tidak mudah bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencapai ketangguhan terhadap bencana, karena ketangguhan ini bersifat multi-disiplin dan lintas sektoral. Pada Peraturan Kepala BNPB No. 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/ Kelurahan Tangguh Bencana, disebutkan ada 20 (dua puluh) indikator yang menggambarkan ketangguhan. Keseluruhan indikator inilah yang bisa menjadi jaminan tangguhnya suatu desa dalam menghadapi bencana. Indikator tersebut meliputi: 1. Adanya kebijakan/peraturan di desa/kelurahan tentang Penanggulangan Bencana (PB) atau Pengurangan Risiko Bencana (PRB). 2. Adanya Rencana Penanggulangan Bencana (RPB), Rencana Aksi Komunitas (RAK) dan Rencana Kontijensi (Renkon). 3. Terbentuknya Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB). 4. Terbentuknya relawan penanggulangan bencana. 5. Adanya kerjasama antar pelaku dan wilayah. 6. Tersedianya dana khusus untuk tanggap darurat. 7. Tersedianya dana untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB). 8. Diberikannya pelatihan untuk perangkat/pemerintah desa.
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
9. Diberikannya pelatihan untuk tim relawan. 10. Diberikannya pelatihan untuk masyarakat desa.
12. Dilibatkannya perempuan dalam tim relawan 13. Adanya peta dan kajian risiko bencana. 14. Adanya peta dan jalur evakuasi serta tempat untuk mengungsi. 15. Adanya sistim peringatan dini (early warning system). 16. Dilaksanakannya mitigasi struktural (fisik). 17. Terbentuknya pola ketahanan ekonomi masyarakat untuk mengurangi kerentanan mereka dalam menghadapi bencana. 18. Adanya perlindungan kesehatan kepada kelompok masyarakat yang rentan. 19. Adanya pelaksanaan dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk mengurangi risiko bencana. 20. Adanya perlindungan terhadap aset produktif utama pada masyarakat. Mengingat keseluruhan indikator tersebut dibuat oleh BNPB, maka BNPB harus mensosialisasikan indikator ini kepada BPBD di provinsi/kota/kabupaten agar pelaksanaan program Destana bisa terlaksana dengan baik. Tantangan terbesar untuk mencapai semua indikator ini adalah karakteristik bencana yang berbeda-beda, serta karakter masyarakat yang berbeda-beda di setiap daerah. Sumatera Barat menjadi salah satu provinsi yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah mengenai program penanggulangan bencana. Mulai dari tingkat pusat yakni BNPB, BPBD Provinsi serta BPBD Kota dan Kabupaten selalu berusaha mendorong kemampuan dan ketahanan masyarakat terhadap bencana yang mengancam di masing-masing wilayah. Tentu saja hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Di provinsi Sumatera Barat sendiri ada 3 (tiga) kota dan kabupaten yang mengembangkan program Desa Tangguh Bencana ini:
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
11. Dilibatkannya masyarakat desa secara aktif.
13
Program Destana di Sumatera Barat
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Kota/Kabupaten
Kelurahan/Desa/Nagari*
Kota Pariaman
Kampuang Pondok
Kabupaten Agam
Nareh Tiku Limo Jorong
Kabupaten Solok
Tiku Selatan Batu Bajanjang Salayo
Nagari: istilah “desa� di Sumatera Barat
Ketiga daerah tersebut memiliki karakteristik bencana yang berbeda-beda dan tentu saja masyarakat di daerah tersebut memiliki keunikan budaya dan kearifan lokal tersendiri dalam menghadapi bencana. 3.1. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Kota Pariaman
14
Gambar 2. Peta Kota Pariaman
Kota Pariaman merupakan salah satu kota yang berada di wilayah provinsi Sumatera Barat dan mempunyai luas wilayah 73,36 km² dan luas lautannya mencapai 282,54 km². Kota Pariaman terdiri dari 4 (empat) kecamatan, yaitu; Kecamatan Pariaman Utara, Kecamatan Pariaman Tengah, Kecamatan Pariaman Selatan dan Kecamatan Pariaman Timur. Secara geografis, Kota Pariaman terletak di dataran rendah dan hanya sedikit memiliki wilayah perbukitan. Maka dari itu, kota ini identik dengan pantai dan laut. Karena letaknya yang sangat dekat dengan laut, maka Kota Pariaman sangat rentan akan bahaya gempa dan tsunami. Oleh karena itu untuk mempersiapkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dan menanggulangi bencana, program Destana masuk ke Kota Pariaman. Di Kota Pariaman sendiri ada 2 (dua) wilayah yang dipersiapkan menjadi desa/nagari tangguh. Kedua desa/nagari tersebut adalah Kelurahan Kampuang Pondok dan Desa Nareh. Program Destana masuk di kedua wilayah ini dikarenakan kerentanannya akan bencana gempa dan tsunami. Untuk kota Pariaman sendiri, anggaran untuk program Destana ini diperoleh dari DIPA anggaran daerah Kota Pariaman tahun 2013 dan Provinsi Sumatera Barat. Tentu saja, banyak dampak positif dan selama pelaksanaan program Destana di Kota Pariaman, namun juga ada beberapa ketidaksempurnaan yang harus terus diperbaiki. 3.1.1. Program Desa Tangguh Bencana di Kelurahan Kampuang Pondok
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
15
Gambar 3. Daerah Kampuang Pondok
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 16
Kelurahan Kampuang Pondok merupakan salah satu kelurahan yang terletak di Kecamatan Pariaman Tengah. Kelurahan ini letaknya sangat strategis, yakni di pusat Kota Pariaman. Karena letaknya di pusat kota, maka banyak fasilitas umum yang berada di kawasan ini, mulai dari bank, sekolah sampai pertokoan milik masyarakat setempat. Selain itu, perumahan warga juga banyak tersebar di lokasi ini. Oleh karenanya, Kelurahan Kampuang Pondok bisa dikategorikan sebagai salah satu desa/ kelurahan dengan penduduk terpadat di Kota Pariaman. Di Kelurahan Kampung Pondok, sebenarnya ada 3 (tiga) jenis bencana yang mengancam, yakni; gempa bumi disertai gelombang tsunami, kemudian banjir yang biasanya berasal dari hulu (daerah Kampuang Jawa) dan terakhir adalah angin puting beliung yang datang secara musiman. Namun diantara ketiga macam jenis bencana tersebut, bencana gempa dan tsunamilah yang paling membuat masyarakat was-was. Karena ancaman gempa dan tsunami bisa datang sewaktu-waktu, maka Kelurahan Kampuang Pondok memerlukan Kelompok Siaga Bencana (KSB) sebagai penggerak utama dalam pengurangan risiko bencana. Kampuang Pondok sebenarnya telah memiliki KSB (Kelompok Siaga Bencana) sejak tahun 2011. KSB tersebut terbentuk karena adanya dukungan dari pemerintah serta inisiatif dari masyarakat untuk membentuk tim relawan yang akan berpartisipasi aktif dalam kegiatan PRB. Namun, selama medio 2011 sampai 2012, kegiatan KSB tidak terlalu aktif. Baru pada tahun 2013 KSB mulai digiatkan kembali hal ini dikarenakan masuknya program Desa Tangguh Bencana yang diprakarsai oleh BNPB dan BPBD. KSB di Kampuang Pondok berjumlah 30 orang, terdiri dari 24 orang laki-laki dan 6 orang perempuan. Dalam melaksanakan program Destana, KSB sudah membuat peta ancaman sampai merumuskan dokumen draft RAK, RPB dan Renkon.
Gambar 4. Draft RPB dan RAM Kampuang Pondok
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
“Subananyo, program Desa Tangguh Bencana ko rancak mah. Terutama untuak anggota KSB. Kami jadi tau baa caronyo menghadapi bencana. Mulai dari ado pertemuan kelompok 3 (tigo) kali saminggu, mambuek peta sampai disuruah mambuek dokumen rencana aksi. Tapi permasalahannyo, kami sebagai anggota KSB maraso program ko alun maksimal lai. Sistem administrasinyo masih alun jaleh, ditambah pulo kami dijanjikan akan diagiah alat-alat untuk dapua umum, sampai kini alun ado juo nampak doh. Kalau soal pertemuan dan pelatihan pun kami maraso masih kurang. Kok dapek ditambah jadwalnyo jadi kami samakin paham jo program Desa Tangguh Bencana ko”. Gambar 5. Ibu Eva, anggota KSB Kp. Pondok --- “Sebenarnya program Desa Tangguh Bencana ini bagus. Terutama untuk anggota KSB. Kami jadi tahu bagaimana caranya menghadapi bencana. Mulai dari diadakannya pertemuan kelompok sebanyak 3 (tiga) kali dalam seminggu, membuat peta sampai membuat dokumen rencana aksi. Tapi permasalahannya, kami sebagai anggota KSB merasa program ini belum berjalan maksimal. Sistem administrasinya masih belum jelas, selain itu kami juga dijanjikan akan diberikan alat-alat untuk dapur umum, sampai saat ini belum ada realisasinya. Kalau soal pertemuan dan pelatihan kami merasa masih kurang. Jika memungkinkan ditambah jadwal untuk pelatihan agar kami semakin paham dengan program Desa Tangguh Bencana ini” ---
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
Menurut Ibu Eva (53 tahun), salah seorang anggota KSB Kampuang Pondok:
17
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Dapat ditarik kesimpulan bahwa menurut salah seorang anggota KSB Kampuang Pondok, program Destana ini sangat baik. Namun dari sisi pelaksanaannya masih ada yang belum sempurna. Selain itu KSB merasa sedikit kesulitan untuk mensosialisasikan program ini ke masyarakat, hal ini dikarenakan masyarakat tidak percaya pada program pengurangan risiko bencana. Sifat apatis masyarakat ini membuat anggota KSB tidak bisa melakukan sosialisasi secara aktif. Malah, masyarakat yang tinggal di tepi pantai semakin banyak membangun rumah maupun kedai-kedai di sepanjang pantai. Ada sebuah ungkapan dari masyarakat yang tinggal di sekitar pantai Gandoriah Pariaman:
Ibu Nurma (42 tahun), warga yang tinggal di tepi pantai Gandoriah: “Ondeh, jan disabuik-sabuik jo tentang gampo jo tsunami tu lai, beko yo bana tibonyo… Kami nan tingga di tapi pasia ko labiah pacayo ka Nan Satu, lagipulo kan alah ado tando-tando alam mah. Kalaupun gampo tibo, indak ka takana bagai maabehan nan lain do, lari se kami sakancang-kancangnyo” --- “Waduh, jangan disebut-sebut juga tentang gempa dan tsunami, nanti datang… Kami yang tinggal di tepi pantai lebih percaya pada Tuhan Yang Maha Esa, lagipula kan’ sudah ada tanda-tanda alam. Kalaupun gempa datang, kami tidak mau mengurus hal-hal lain, kami lebih memilih lari sekencang-kencangnya” ---
18
Kearifan Lokal Warga Kampuang Pondok Menyikapi Program Destana Masyarakat Minangkabau sangat menjunjung tinggi falsafah adat Minangkabau. Begitupun halnya dengan masyarakat di Kelurahan Kampuang Pondok. Falsafah adat menjadi tolak ukur bagi masyarakat di Kampuang Pondok dalam menyikapi datangnya bencana. Mereka percaya kepada tanda-tanda alam seperti kelakuan hewan ternak yang tidak lazim dan bau air laut yang janggal sebagai tanda-tanda gempa dan tsunami akan segera tiba. Dan kearifan lokal lain yang diadaptasi masyarakat di Kelurahan Kampuang Pondok, mereka percaya bahwa selagi mereka tidak merusak alam dan tidak berbuat maksiat, maka bencana tidak akan datang pada mereka: Seperti ungkapan Pak Abas (63) seorang manula yang merupakan warga asli Pariaman:
“Gampo samo tsunami ko tibo dek karano kini banyak urang nan maksiat mah Buk. Caliaklah pergaulan anak jaman kini. Yo subana mambuek darah tasirok. Baa ndak ka berang Tuhan Allah. Tapi ambo ndak takuik do Buk. Ambo ndak ado babuek maksiat doh. Kalau soal Desa Tangguh Bencana ambo indak pernah mandanga. Subananyo kalau dek ambo nan alah baumua ko, ndak paralu program Desa Tangguh saroman tu do buk, cukuik mandakekan diri se ka Tuhan, inshaAllah bencana ko ndak katibo do. Masyarakat disiko kalaupun ado bencana saliang tolong manolong buk. Minimal ado yang manyaru-nyaru untuak manyalamaikan diri”. --- “Gempa dan tsunami ini datang karena sekarang banyak orang melakukan perbuatan maksiat. Coba lihat pergaulan anak zaman sekarang. Benar-benar membuat darah mendidih. Bagaimana Tuhan tidak marah. Tapi saya tidak takut. Kan saya tidak berbuat maksiat. Kalau tentang Desa Tangguh Bencana saya tidak pernah mendengar. Sebenarnya menurut saya yang sudah tua ini, program Desa Tangguh Bencana itu tidak perlu buk, cukup mendekatkan diri kepada Tuhan, inshaAllah bencana tidak akan datang. Kalaupun ada bencana datang, masyarakat disini saling tolong menolong buk. Minimal ada yang memberitahu atau mengumumkan untuk segera menyelamatkan diri”. ---
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
19
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan masih banyak warga Kelurahan Kampuang Pondok yang bersikap apatis terhadap bencana. Mereka masih mempercayai tandatanda alam dan mempunyai pola pikir yang konservatif. Namun jika bencana datang (seperti yang pernah terjadi di tahun 2009), mereka tetap saling tolong menolong. Setidaknya dengan memberitahukan tetangga sekitar untuk lari menyelamatkan diri. Cara-cara seperti ini memang kurang efektif, mengingat tidak semua orang bisa menyelamatkan diri. Akan ada kaum perempuan dan anak-anak, serta kaum manula dan kaum difabel yang tidak bisa menyelamatkan diri seperti orang kebanyakan. Hal ini menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah untuk menerapkan sistem yang berbeda pada setiap individu. Selain itu pemerintah juga harus bisa mengubah pola pikir mereka agar bisa lebih siap dan siaga menghadapi bencana. lebih jauh, harusnya kearifan lokal bisa diselaraskan dengan program pemerintah. Pemerintah tidak bisa menyamakan atau ‘pukul-rata’ dalam menerapkan program Desa Tangguh Bencana ini, karena setiap daerah berbeda-beda karakteristik alam dan masyarakatnya 3.1.2. Program Desa Tangguh Bencana di Desa Nareh 1 Di Kota Pariaman, selain Kelurahan Kampuang Pondok, ada satu daerah lagi yang menjadi wilayah program Desa Tangguh Bencana, yaitu Desa Nareh 1. Desa Nareh
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 20
1 merupakan desa yang terletak di Kecamatan Pariaman Utara dan lokasinya tidak seberapa jauh dari bibir pantai. Desa Nareh 1 mempunyai potensi besar untuk dijadikan percontohan bagi program Destana, karena disamping masyarakatnya yang berjumlah 2.873 jiwa cukup terbuka dengan berbagai program pemerintah, Desa Nareh 1 juga dijadikan salah satu lokasi pembuatan shelter pemukiman yang digagas oleh BPBD dan pemerintah Kota Pariaman. Dari segi perekonomian, secara turun temurun mayoritas masyarakat Desa Nareh 1 terkenal karena jiwa berdagang dan kerajinan tangannya, terutama sulaman. Namun, pascagempa besar melanda Sumatera Barat tahun 2009, perekonomian masyarakat Nareh 1 sempat terpuruk. Pemasaran usaha kerajinan pelaminan sulaman Nareh menjadi tersendat dikarenakan masyarakat yang ingin membeli dan memakai pelaminan sulaman Nareh menjadi khawatir ke daerah itu dikarenakan ancaman gempa. Kondisi ini tentu saja mendatangkan kerugian signifikan terhadap usaha warga di Desa Nareh 1. Program Desa Tangguh Bencana masuk pada bulan November 2013 di Desa Nareh 1, dan pada saat itu KSB langsung dibentuk dan melibatkan 30 orang anggota masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur (bundo kanduang, ninik mamak, alim ulama, kelompok Karang Taruna, kelompok nelayan, kelompok Posyandu, kelompok PKK dan kapalo mudo – orang-orang muda). Dan pada saat ini KSB Desa Nareh 1 terdiri dari 17 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Anggota KSB (yang selanjutnya disebut Forum PRB – Forum Pengurangan Risiko Bencana) dipilih berdasarkan kemampuan mereka dalam mensosialisasikan program Destana kepada masyarakat.
Gambar 6. Beberapa orang anggota KSB Desa Nareh 1
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Menurut pengakuan Pak Puni (61 tahun), selaku ketua Forum PRB Desa Nareh 1, dalam mendapatkan pelatihan tentang Destana ini mereka dibantu oleh fasilitator dalam hal pembuatan dokumen pengurangan risiko bencana sampai dengan rencana kontijensi. Setelah Forum PRB Desa Nareh 1 mendapat pelatihan terkait pengurangan risiko bencana merekapun mulai melakukan pendekatan persuasif kepada anggota masyarakat yang lain. Salah satu cara yang dipakai mengadaptasi falsafah hidup orang Minangkabau, yaitu melalui pendekatan keagamaan.
Gambar 7. Pak Puni (61 tahun), Ketua Forum PRB Desa Nareh 1
“Kito di Forum ko labiah suko mamakai caro-caro lamo ka warga. Misalnyo lewat acara keagamaan saroman pas ceramah sumbayang Jumaek jo pengajian di musajik. Katiko alah bakumpua jo nan lain, anggota Forum acok manyampaian tentang bencana. Mukasuiknyo bukan untuak manakuikan urang, tapi labiah ka bajago-jago. Salain tu, kami acok mambuek acara badoa basamo supayo bencana ko ijan sampai tibo lai. Kalau induak-induak biasonyo diagiah tau pas ado arisan. Kalau nan apak-apaknyo diagiah tau katiko sadang minum kopi atau teh talua di kadai-kadai. Subananyo murah maajak warga ko nyo. Asal anggota Forum lai tageh maingekan taruih”.
--- “Kita anggota Forum PRB lebih suka menerapkan cara-cara lama/tradisional dalam melakukan pendekatan ke masyarakat. Misalnya lewat ceramah ketika Sholat Jumat dan pengajian di masjid. Ketika sudah berkumpul dengan anggota masyarakat lain, anggota Forum PRB sering menyampaikan tentang bencana. Tujuannya bukan untuk menakutnakuti, tapi lebih kepada waspada. Selain itu, kami sering membuat acara berdoa bersama agar bencana jangan datang lagi. Kalau Ibu-Ibu biasanya membicarakan hal ini ketika ada arisan. Dan Bapak-Bapak sering membicarakan ini ketika minum kopi dan teh talua di kedai-kedai. Sebenarnya gampang untuk mengajak warga agar memahami program ini. Asal anggota Forum PRB terus berusaha mengingatkan” ---
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
Kearifan Lokal Masyarakat Desa Nareh 1 Menyikapi Program Destana
21
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 22
Dari sudut pandang Ketua Forum PRB, program Destana ini sepertinya cukup mudah diterima warga di Desa Nareh 1 dan tidak ada hambatan berarti dalam pelaksanaanya. Tapi apa memang demikian? Apakah semua unsur masyarakat seperti manula, kaum difabel dan anak-anak ikut dilibatkan dan merasakan manfaat dari program Destana ini? Sementara kita tahu bahwa salah satu indikator keberhasilan dari program ini adalah terciptanya rasa aman bagi kaum rentan ketika bencana datang. Berikut data tentang apa yang sudah dilakukan selama program Destana dilaksanakan di Desa Nareh 1: Kegiatan Yang Dilakukan
Sudah
Pembuatan dokumen PRB, RAK, Renkon
√
Pelatihan tanggap darurat
√
Pelatihan dapur umum
√
Belum
Pemberian alat komunikasi (HT – Handy Talky)
√
Pemberian alat-alat untuk dapur umum
√
Pelatihan bagi kaum rentan
√
Penganggaran mandiri yang bersumber dari masyarakat demi keberlangsungan program Destana Melakukan kunjungan ke Nagari Salayo terkait dengan program Desa Tangguh Bencana
√ √
* Data diambil pada tanggal 17 Juni 2014
Dari poin-poin diatas dapat dilihat bahwa warga di desa Nareh 1 secara garis besar sudah melaksanakan petunjuk pelaksanaan Desa Tangguh Bencana sesuai dengan yang dianjurkan oleh BNPB dan BPBD Kota Pariaman. Tapi justru yang paling menarik dari poin diatas adalah tentang diberikannya kesempatan yang sama bagi kaum rentan (manula, kaum difabel dan anak-anak) dalam mengikuti pelatihan tentang pengurangan risiko bencana. Padahal sebenarnya kaum manula sebagai “nan dituokan” atau “yang dituakan” dan telah lama hidup di Desa Nareh 1 pasti akan lebih mengerti tentang karakteristik desa dan mengerti sejarah kebencanaan di daerah tersebut. Jadi sudah sepantasnya beliau dilibatkan. Selain itu, keterlibatan kaum difabel dan anak-anak juga memiliki urgensi yang penting, karena merekalah yang sebenarnya harus diselamatkan pertama kali ketika bencana terjadi. Tentang keberlangsungan program Destana, sangat tidak mungkin pemerintah terus-terusan melakukan subsidi atas kegiatan ini. Harus ada inisiatif masyarakat untuk menjaga keberlangsungan program Destana, misalnya saja melakukan iuran sebulan
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
sekali dan membuat kas (tabungan) khusus Forum PRB. Jadi untuk ke depannya mereka secara mandiri tetap bisa melanjutkan program Destana ini. Seperti kata pepatah Minangkabau:
Yang memiliki makna bahwa masyarakat harus mampu mengembangkan apa yang sudah didapat walau sekecil apapun, baik itu ilmu maupun hal lain, dan wajib mensyukurinya. Pemerintah memberikan sejumlah dana untuk program Desa Tangguh Bencana, maka untuk tahap berikutnya diharapkan masyarakat harus bisa mengembangkannya, karena tujuan paling utama dari program Desa Tangguh Bencana ini adalah menciptakan masyarakat yang kuat, mandiri dan mengerti tentang kebencanaan. 3.2. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Kabupaten Agam Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah provinsi Sumatera Barat. Kabupaten ini mempunyai luas wilayah 2.232 km² dan dikelilingi oleh perbukitan/pegunungan serta kawasan pesisir. Kombinasi dari keadaan geografis yang sarat dengan dataran tinggi dan pantai membuat Kabupaten Agam menjadi salah satu daerah rawan bencana di Sumatera Barat. Beberapa jenis bencana yang kerap mengancam daerah ini adalah gempa dan tsunami, abrasi pantai, tanah longsor serta letusan gunung berapi.
Gambar 8. Peta Kabupaten Agam
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
“Satitiak Jadikan Lauik, Sakapa Jadikan Gunuang�
23
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Wilayah Kabupaten Agam merupakan salah satu kabupaten yang sangat luas, terdiri dari 16 Kecamatan. 82 Nagari dan 467 Jorong. Kabupaten ini sangat kaya dengan luas hutan yang tersebar di Kecamatan Malalak dan juga mempunyai cadangan air yang cukup besar di danau Maninjau yang terletak di Kecamatan Tanjuang Raya. Namun dikarenakan adanya perubahan iklim, maka banyak terjadi kerusakan terhadap sumber daya alam di Kabupaten Agam. Secara otomatis hal ini mempengaruhi kebijakan dan program pembangunan di banyak bidang; pertanian, industri, lingkungan hidup serta bidang kebencanaan. Bidang kebencanaan sendiri mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dikarenakan mereka kerap kali memberi julukan kepada Kabupaten Agam sebagai ‘lumbung bencana’. Salah satu kecamatan yang sering mendapatkan ancaman bencana yaitu Kecamatan Tanjuang Mutiara. Kecamatan Tanjuang Mutiara terbagi atas 3 (tiga) Nagari; Nagari Tiku Selatan, Nagari Tiku Utara dan Nagari Tiku V Jorong. Tapi hanya 2 (dua) Nagari yang benar-benar rawan akan bencana banjir, abrasi pantai serta gempa dan tsunami, yaitu: Nagari Tiku Selatan dan Tiku V Jorong.
24
Gambar 9. Pantai Bandar Mutiara yang berlokasi di Kec. Tanjuang Mutiara. Kedua Nagari tersebut mendapatkan bantuan dana untuk program Desa Tangguh Bencana pada akhir tahun 2013. Masing-masing nagari mendapatkan bantuan sebanyak Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) untuk melaksanakan Destana ini. Dana ini sendiri berasal dari APBD yang dikelola langsung oleh masing-masing Nagari.
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Program Desa/Nagari Tangguh Bencana masuk ke wilayah Kenagarian Tiku Selatan pada akhir tahun 2013. Program ini sendiri digagas oleh BNPB dan BPBD Provinsi Sumatera Barat. Nagari Tiku Selatan dipilih sebagai salah satu Nagari yang menjadi pilot-project untuk Destana dikarenakan Nagari ini sudah mempunyai KSB. Kelompok Siaga Bencana di Nagari Tiku Selatan jauh terbentuk sebelum program Destana masuk. Pembentukan KSB ini dibantu sepenuhnya oleh pemerintah dan para fasilitator dari Jemari Sakato. Jadi tidak terlalu sulit lagi membentuk kesadaran masyarakat dan relawan yang akan dimasukkan ke dalam pembentukan Forum PRB Desa Tangguh. Forum PRB sendiri merupakan ujung tombak dalam melakukan proses penanggulangan dan pengurangan risiko bencana di Nagari Tiku Selatan. Keterlibatan mereka mulai dari berkomitmen dalam menanggulangi bencana sampai kepada mendorong partisipasi masyarakat lainnya diharapkan dapat terlaksana dengan baik. Forum PRB di Nagari Tiku Selatan sendiri terbentuk pada Januari 2011. Dan pada awalnya beranggotakan 15 (lima belas) orang, yakni 10 (sepuluh) orang relawan laki-laki dan 5 (lima) orang relawan perempuan.
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
3.2.1. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Nagari Tiku Selatan
25
Gambar 10. Proses pembentukan Forum PRB di Nagari Tiku Selatan
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Kearifan Lokal Masyarakat Nagari Tiku Selatan Menyikapi Desa Tangguh
26
Masyarakat Tiku Selatan menyambut pembentukan Forum PRB dan program Desa/ Nagari Tangguh Bencana ini dengan tangan terbuka. Apalagi program ini juga menitikberatkan pada kemandirian dan kerjasama antar sesama anggota masyarakat. Menurut pengakuan koordinator Destana di Nagari Tiku Selatan, kearifan lokal sangat mendukung pelaksanaan program ini. Terlebih lagi, kearifan lokal yang telah lama ada di Nagari Tiku Selatan, yaitu tradisi “badoncek”. Tradisi ini sudah ada sejak zaman dahulu kala. Tradisi “badoncek” merupakan salah satu bentuk solusi yang lahir secara spontan dari masyarakat dan telah mengakar pada masyarakat di Tiku Selatan. Sebelum ada program Desa Tangguh Bencana, tradisi “badoncek” terjadi pada momen-momen tertentu, misalnya ketika ada pesta perkawinan seluruh anggota keluarga dan masyarakat sekitar menyumbang untuk kelangsungan acara tersebut, dan ketika ada musibah seperti ada yang meninggal dunia, masyarakat juga sering melakukan tradisi “badoncek” berupa pengumpulan uang sumbangan untuk membantu orang yang terkena musibah. Menurut salah seorang tetua adat di Nagari Tiku Selatan, Pak Amri (67 tahun): “Tradisi badoncek alah lamo dipakai jo masyarakat di Piaman. Dulu Tiku ko kan masuak wilayah Piaman Buk. Baa kok badoncek ko tetap adoh dek karano iko filosofi adaik. Manuruik adaik nan taralah, hiduik ko indak bisa surang doh, harus saliang manolong, talabiah kalau ado acara basamo-samo. Kalau mambuek rumah, mambuek jalan, pokoknyo sadoalah nan untuk basamo masayarakaik lai indak ado nan taraso barek manyumbang doh. Saroman itulah di Nagari ko buk”. --- “Tradisi ‘badoncek’ ini sudah lama diadaptasi oleh masyarakat di Pariaman. Dulu daerah Tiku termasuk dalam wilayah Pariaman. Kenapa tradisi ‘badoncek’ ini masih bertahan, karena adat masih tetap bertahan sampai sekarang. Menurut adat yang sudah ada dari zaman dahulu kala, hidup di dunia ini tidak bisa hanya mengurus urusan sendiri-sendiri, harus saling tolong menolong, apalagi kalau ada acara besar yang diperuntukkan bagi semua orang. Misalnya membuat rumah, membangun jalan, intinya semua hal yang tujuannya untuk kepentingan masyarakat, masyarakat tidak pernah merasa berat untuk menyumbang. Seperti itulah keadaan di Nagari ini” ---; Pola kearifan lokal seperti ini diakui bisa menyiasati kekurangan dari program Desa/ Nagari Tangguh Bencana. Misalnya saja, ketika ada pertemuan Forum PRB, yang diundang sebenarnya hanya 30 orang, tapi yang datang lebih dari jumlah tersebut.
Gambar 11. Ibu-Ibu anggota Forum PRB membuat RAK Masyarakat biasanya langsung spontan mengambil tindakan dengan saling menyumbang. Isu pengelolaan dana menjadi sangat penting bahkan dilihat dari ruang lingkup terkecil; yakni pada pertemuan atau rapat Forum PRB. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, dana bantuan dari pemerintah tidak akan selamanya berkesinambungan, oleh karena itu partisipasi aktif masyarakatlah yang harusnya menjadi objek penting dalam program Desa/Nagari Tangguh Bencana ini. Sebenarnya bisa saja ada sistem lain seperti pengolahan lahan secara bersama yang hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di Nagari (dimana hasil dari lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai cadangan pangan ketika terjadi gempa atau tsunami) namun sayangnya hal ini belum dapat diterapkan secara menyeluruh di Nagari Tiku Selatan. Walaupun untuk keberlanjutan program Desa/Nagari Tangguh Bencana belum berjalan maksimal, tapi masyarakat di Tiku Selatan sudah bisa membuat dokumen RAK (Rencana Aksi Komunitas) bagi daerahnya. Dan pada fase ini, semua lapisan masyarakat cukup mempunyai andil besar. Misalnya saja, keterlibatan perempuan sangat terasa di Nagari Tiku Selatan. Keterlibatan peran yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan di Nagari ini menyebabkan segala keputusan yang dibuat mempertimbangkan aspek kesetaraan gender, karena seperti yang kita tahu di Minangkabau sendiri, khususnya di Nagari Tiku Selatan masih sangat kental memegang prinsip dan sistem kekerabatan matrilineal, dimana keterlibatan aktif perempuan sangat dihargai.
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
27
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Diakui oleh Ibu-Ibu di Nagari Tiku Selatan, mereka cukup dilibatkan dan didengarkan pendapatnya oleh anggota Forum PRB yang laki-laki. Sebagian besar Ibu-Ibu yang aktif di Forum PRB merupakan Ibu-Ibu yang memang aktif di organisasi kemasyarakatan seperti PKK atau di pengajian.
28
Ibu Ita (39 tahun) anggota Forum PRB Tiku Selatan mengatakan: “Nan padusi saroman kami ko lai ado diajak dek Apak-Apak untuak masuak Forum PRB, kami kini alah tau lo apo tu bencana nan mangancam Nagari kami, alah bisa lo punyo persiapan kalo bencana tibo. Yo, kalau dikecekan kalaupun gampo tibo, InshaAllah kami indak panik lai do”. --- “Kaum perempuan seperti kami ini diajak ‘kok oleh kaum laki-laki untuk masuk ke Forum PRB, malahan sekarang kami jadi paham tentang apa itu bencana, dan bencana apa saja yang mengancam Nagari kami, selain itu, kami jadi tahu apa-apa saja persiapan yang harus kami lakukan ketika bencana datang. Ya, kalau bisa saya katakan, jika gempa benar-benar datang, InsyhaAllah kami siap dan tidak akan panik lagi” ---
3.2.2. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Nagari Tiku V Jorong Nagari Tiku V Jorong merupakan kawasan yang terkenal dengan pemukiman nelayannya. Tiku V Jorong juga sering mengalami pasang surut dalam hal perkenomian masyarakatnya. Masyarakat nelayan tidak berdaya dalam menghadapi perkembangan teknologi yang semakin berkembang terutama dalam hal penangkapan ikan. Selain itu, mereka juga harus berhadapan dengan risiko yang amat besar ketika mereka memutuskan untuk melaut. Ketika hendak melaut untuk menangkap ikan mereka sering ditempa oleh gelombang besar, tentu saja gelombang besar ini turut andil dalam menghancurkan pemukiman mereka dan merusak peralatan melaut mereka. Abrasi pantai di Nagari Tiku V Jorong mengakibatkan tenggelamnya pemukiman penduduk. Kondisi seperti ini membuat masyarakat menjadi pasrah tidak mempunyai daya upaya, hal ini membuat pemerintah memberikan perhatian khusus kepada perbaikan sosial-ekonomi masyarakat di Tiku V Jorong. Jika ditilik dari sejarah bencana, cukup banyak bencana yang pernah terjadi di Tiku V Jorong, salah satunya bencana banjir yang terjadi pada tahun 1979. Banjir besar ini mengakibatkan perekonomian masyarakat lumpuh total. Berpuluh tahun setelah bencana banjir, bencana lain yang lebih besar juga pernah terjadi di Tiku V Jorong. Bencana tersebut adalah bencana abrasi pantai pada tahun 2005. Pada saat bencana itu datang 105 rumah warga rusak dan terbawa gelombang air laut. Bencana yang sering terjadi di Nagari Tiku V Jorong
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Namun dibalik semua isu kemiskinan di Nagari Tiku V Jorong, sebenarnya daerah ini memiliki potensi besar dari sisi sumber daya alamnya. Terbukti dengan adanya perusahaan besar yang cukup besar di Tiku V Jorong, yaitu PT. Mutiara Agam. PT. Mutiara Agam beroperasi sejak tahun 1999 namun tidak memberikan manfaat positif kepada masyarakat sekitar. Justru menimbulkan banyak kerusakan alam dan konflik adat.
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
mengakibatkan masyarakat semakin rentan dan rawan terkena dampak bencana, yaitu kemiskinan. Bencana disertai kemiskinan warga menjadi topik utama yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat di Nagari V Jorong.
29
Gambar 12. Salah satu jembatan rusak di Nagari Tiku V Jorong Jika program Desa/Nagari Tangguh Bencana akan masuk ke wilayah ini, tentu saja akan mendapatkan tantangan besar, baik dari sisi kondisi alam yang tidak menentu bahkan adanya pihak swasta yang tidak mempunyai tanggung jawab sosial kepada masyarakat di Tiku V Jorong. Karena kondisi alam yang tidak menentu dan bencana yang tidak bisa diprediksi, maka masyarakat di Nagari Tiku V Jorong berinisiatif membentuk kelompok yang siap siaga akan bencana, kelompok ini kemudian disahkan dalam bentuk Forum PRB. Forum PRB di Nagari ini dibentuk pada tahun 2012. Namun campur tangan pemerintah masih sangat besar pada Forum PRB ini, terbukti beberapa staf kantor Wali Nagari juga menjadi anggota Forum PRB. Selain itu pengelolaan dana Forum PRB masih dikelola
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
oleh Wali Nagari. Hal ini sebenarnya tidak lazim karena seharusnya pengurusan Forum diserahkan sepenuhnya kepada relawan dan masyarakat. Seperti yang terjadi di daerah Pariaman, keberatan sempat diutarakan oleh masyarakat yang apatis terhadap program pengurangan risiko bencana. mereka menganggap program ini justru seperti “maimbau bencana” atau “memanggil bencana” agar datang ke Nagari mereka.
30
Gambar 13. Rapat Pembentukan Forum PRB Tiku V Jorong Seperti yang dijelaskan sebelumnya, ada beberapa tantangan yang dihadapi Forum PRB di Nagari Tiku V Jorong ini untuk meyakinkan masyarakat, diantaranya: 1. Daerah Tiku V Jorong terletak sangat dekat dengan pesisir pantai. Sementara akses jalan sangat jauh dicapai dan tidak ada jalur evakuasi. Jika hendak mencapai tempat yang lebih tinggi (perbukitan) jaraknya sekitar 10 km. Kalaupun masyarakat berlari ataupun menggunakan motor, tidak akan bisa selamat. Dari sini bisa dilihat masyarakat sangat pesimis dan cenderung pasrah menghadapi bencana. Sebagai contoh konkrit, pada gempa tahun 2009 masyarakat tidak ada yang melakukan evakuasi karena tempat ketinggian sangat jauh. 2. Masyarakat Nagari Tiku V Jorong tidak mempunyai komunikasi dan koordinasi yang baik dengan Wali Nagari. Mereka berpendapat Wali Nagari ‘menguasai’ semua sistem administrasi Forum PRB (baik struktur dan dananya) mereka jadi tidak bersemangat menghadiri rapat tentang kebencanaan yang diadakan oleh Forum PRB di kantor Wali Nagari.
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
3. Masyarakat lebih suka dengan pembangunan shelter daripada pelatihan kesiapsiagaan bencana yang ada di program Desa/Nagari Tangguh. Menurut mereka shelterlah yang paling mereka butuhkan. Bukan pelatihan. Seperti yang
Makonyo kami pemuda-pemuda disiko labiah katuju jo pembangunan shelter. Kan lahan untuak shelter pun alah ado. Cuma pembangunan se nan alun. Masih janji ka janji se dari BPBD”.
--- “Yang paling bermanfaat bagi kami adalah shelter. Bukan pelatihan. Jangan samakan kondisi Nagari Kami dengan Nagari Tiku Selatan. Nagari kami ini rumit. Kalau ada gempa besar dan tsunami bahkan gelombang pasang, kami tidak mungkin bisa lari. Dan kalaupun mencoba menyelamatkan diri menggunakan Gambar 16. Yodi, pemuda kendaraan bermotor, jarak tempuhnya Tiku V Jorong benar-benar jauh. Sepuluh kilometer yang hendak ditempuh. Belum apa-apa kami sudah digulung ombak. Makanya kami pemuda-pemuda di sini lebih suka dengan ide pembangunan shelter. Lahan untuk shelter pun sudah disediakan. Hanya pembangunan saja yang belum. BPBD cuma janji-janji saja” ---
Selain itu, anggota masyarakat yang bukan anggota Forum PRB juga mempunyai pendapat sendiri, Mila (15 tahun) yang merupakan siswi SMP di Nagari Tiku V Jorong berpendapat: “Mila tahu buk kalau ado program bencana-bencana tuh. Tapi Mila ndak pernah ikuik rapek. Mila tahu dari Ibuk guru Mila di sakola. Kalau di dakek rumah ndak ado yang maagiah tahu doh. Paliang kecek amak Mila, kalo ado gampo lari sakancangkancangnya, bara talok, salamaikan diri surang jo adiak Mila nan masih ketek”
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
diungkapkan oleh Yodi (26 tahun), warga Nagari Tiku V Jorong:
31
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 32
--- “Mila tahu kalau ada program tentang kebencanaan. Tapi tidak pernah ikut pertemuan seperti itu. Mila mendapat informasi dari Ibu guru Mila di sekolah. Kalau di sekitar lingkungan rumah tidak ada yang memberitahu. Yang memberitahu hanya Ibu Mila, Ibu mewanti-wanti kepada Mila jika gempa datang lari sekencangkencangnya, seberapa sanggup, selamatkan diri sendiri dan adik yang masih kecil” ---
Dari pendapat Mila seorang siswi sekolah menengah dapat disimpulkan bahwa sosialisasi tentang program Desa/Nagari Tangguh Bencan tidak sampai kepada anakanak dan remaja. Anak-anak dan remaja hanya mendapat sosialisasi tentang gempa dan tsunami dari guru mereka di sekolah. Padahal sebenarnya mensosialisasikan bencana kepada mereka bukan hanya tugas guru di sekolah. Mata rantai sosialisasi bencana ini harus dimulai dari masyarakat di lingkungan sekitar. Karena masyarakatlah yang menjadi ujung tombak pengurangan risiko bencana. Lagi-lagi kaum rentan belum diperhatikan sepenuhnya dalam program Destana di Nagari Tiku V Jorong ini. Kearifan Lokal Masyarakat Nagari Tiku V Jorong Menyikapi Program Desa Tangguh Bencana Beberapa kelompok masyarakat yang cukup paham tentang kebencanaan di daerah mereka dan juga anggota Forum PRB sepakat bergotong royong untuk membuat kapal. Kapal ini merupakan alternatif dalam pengurangan risiko bencana di Nagari mereka jika sewaktu-waktu gempa besar datang. Ide ini keluar ketika rapat di Nagari mereka karena mereka sudah tidak mau berharap lagi kepada pemerintah yang berjanji akan membangun shelter di Nagari mereka. Falsafah hidup adat Minangkabau yang mereka anut dalam hal ini adalah: “Indak Kayu Janjang Dikapiang” Artinya adalah:“Tidak ada kayu, tangga pun akan dibelah dan dimanfaatkan”, dan makna dari kalimat ini adalah masyarakat Nagari Tiku V Jorong akan berusaha melakukan apa saja untuk menyelamatkan seluruh masyarakat di Nagari mereka dari bencana, walaupun dengan modal seadanya. Falsafah ini sudah ada dari zaman nenek moyang orang Minangkabau. Apalagi untuk daerah Tiku V Jorong yang terkenal dengan watak keras “urang pasia”, tentu saja mereka akan memakai bahan-bahan yang ada untuk membuat kapal. 3.3. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Kabupaten Solok Kabupaten Solok adalah sebuah wilayah pemerintahan di Propinsi Sumatera Barat yang terletak pada posisi antara 01º 20’27”-01º 21’39” Lintang Selatan dan 100º 25’00’-
100º 33’43’ Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Solok adalah 3.738 km² dengan topografi daerah yang sangat beragam, yakni terdiri dari dataran, lembah dan perbukitan dengan ketinggian antara 328 meter – 1.458 meter di atas permukaan laut. Secara legal formal, Kabupaten Solok mempunyai 19 kecamatan, 86 Nagari dan 520 Jorong. Kabupaten Solok juga mempunyai banyak sumber air berupa danau, ada 3 (tiga) danau di Kabupaten ini yaitu Danau Singkarak, Danau Diateh, Danau Dibawah serta Danau Talang. Dan wilayah ini juga memiliki satu gunung berapi aktif, yaitu Gunung Talang. Selain topografi yang memiliki keunikan, kekayaan alam Kabupaten Solok juga luar biasa. Ada banyak kawasan hutan di wilayah ini baik yang berstatus sebagai hutan Negara maupun hutan kemasyarakatan. Solok juga merupakan daerah sentra produksi beras di Provinsi Sumatera Barat. Namun selayaknya wilayah yang kaya akan sumber daya alam, maka ancaman terhadap bencana juga akan semakin tinggi.
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
33
Gambar 17. Peta Kabupaten Solok Di Kabupaten Solok ada 2 (dua) Nagari yang mendapat perhatian khusus dari pemerintah terkait dengan program pengurangan risiko bencana, Nagari tersebut adalah Nagari Salayo dan Nagari Batu Bajanjang. Kedua Nagari ini menjadi langganan
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 34
bencana alam. Nagari Salayo kerap dilanda tanah longsor dan banjir bandang atau galodo. Galodo adalah istilah banjir bercampur lumpur yang lazim dipakai masyarakat Minangkabau. Sedangkan bencana yang kerap melanda Nagari Batu Bajanjang adalah letusan gunung berapi. Karena faktor seringnya bencana mengancam kedua Nagari ini, maka diperlukan suatu program terpadu yang dapat membuat Nagari beserta masyarakatnya mempunyai kapasitas dalam mengurangi risiko bencana. Dan program Desa/Nagari Tangguh yang digagas BNPB dan BPBD Kabupaten Solok dirasakan mampu mengakomodir kedua Nagari ini. Tujuannya tentu saja mengurangi dampak negatif dari bencana, baik mengurangi jumlah korban, maupun mengurangi jumlah kerugian materil dan non-materil. 3.3.1. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Nagari Salayo Nagari Salayo adalah salah satu Nagari di Kabupaten Solok, Secara administratif, Nagari Salayo terdiri dari 4 (empat) jorong, yaitu; Jorong Batu Palano, Jorong Galanggang Tanah, Jorong Lurah Nan Tigo dan Jorong Sawah Suduik. Nagari ini mempunyai luas sebesar 21,44 km² dan terletak di ketinggian 405 – 550 meter dari permukaan laut, selain itu Nagari Salayo mempunyai kontur tanah yang cukup curam dengan kemiringan 60º. Hal ini menjadikan Nagari Salayo sangat rawan akan bencana tanah longsor. Selain itu, Nagari Salayo dilalui oleh 2 (dua) sungai; yakni Sungai Batang Gawan dan Sungai Batang Lembang. Jika hujan terjadi terus menerus, kedua sungai ini bisa meluap dan menyebabkan banjir. Hal inilah yang menjadi ancaman utama bagi masyarakat Salayo.
Gambar 18. Sentra Nagari Salayo
Nagari Salayo merupakan salah satu Nagari di Kabupaten Solok yang mendapatkan perhatian khusus dalam hal kebencanaan. Hal ini dikarenakan di Nagari Salayo kerap terjadi bencana alam berupa banjir serta ancaman tanah longsor yang diikuti oleh banjir bandang atau yang lebih dikenal dengan istilah galodo. Dilihat dari bentuk geografisnya, Nagari Salayo terletak cukup tinggi dari permukaan laut dan memiliki kontur tanah serta kemiringan yang curam. Sekitar 30 tahun yang lalu, tanah longsor atau galodo pernah terjadi di Nagari ini. Bencana ini menimbulkan dampak terhadap sektor pertanian berupa tertimbunnya lahan, menghanyutkan rumah masyarakat dan menelan korban banyak korban jiwa. Pada tahun 1987 juga sempat terjadi galodo di Kecamatan Gunung Talang dan berdampak terendamnya wilayah Salayo, tentu saja karena peristiwa ini masyarakat mengalami kerugian materil dan non materil. 3.3.2. Sejarah terbentuknya KSB (Kelompok Siaga Bencana) di Nagari Salayo Seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa di Nagari Salayo sering terjadi bencana alam berupa banjir dan galodo, maka kondisi seperti ini kemudian memunculkan inisiatif dari berbagai pihak/stakeholders (lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah) untuk membuat program pengurangan risiko bencana di Nagari Salayo. Salah satu program yang diinisiasi adalah program untuk membentuk sekumpulan orang yang mempunyai kapasitas dalam mengatasi dan menghadapi bencana, yang
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
35
Posko KSB Nagari Salayo
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 36
Anggota KSB Nagari Salayo pada pertemuan tanggal 7 Januari 2015 kemudian lebih dikenal dengan nama KSB (Kelompok Siaga Bencana). KSB di Nagari Salayo terbentuk pada tahun 2012 dan pada saat itu mulailah kelompok ini dilatih tentang prinsip dasar bencana dan kemudian dilatih untuk mampu memetakan wilayah mana saja yang rawan akan bencana di Nagari mereka. Dapat kita lihat bahwa ide pembentukan KSB di Nagari Salayo lahir dari buah pemikiran kaum intelektual seperti lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah. Hal ini cukup menarik untuk ditelisik mengapa ide pembentukan KSB justru berasal dari pihak luar, kenapa bukan masyarakat Nagari Salayo sendiri yang memiliki inisiatif untuk membentuk kelompok yang siaga akan bencana, padahal sejak mereka lahir mereka sudah akrab dengan bencana alam yang ada di Nagari mereka. Tentu pertanyaan sederhana ini hanya dapat dijawab oleh masyarakat Nagari Salayo sendiri. Menilik kondisi Nagari Salayo yang rentan akan bencana tersebut, maka pada tahun 2012 dibentuklah komunitas siaga bencana yang didukung penuh oleh UNDP dan didampingi oleh Jemari Sakato. Komunitas ini mulai dilatih tentang prinsip dasar bencana serta dilanjutkan dengan memetakan wilayah mana saja yang rawan akan bencana. Kegiatan ini biasanya diawali dengan rapat di kantor Wali Nagari.
Gambar 19. Kantor Wali Nagari Salayo Berikut beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh anggota KSB Nagari Salayo (yang selanjutnya disebut Forum PRB Nagari Salayo): 1. Membuat rencana kontijensi 2. Mencoba melakukan mitigasi, yakni segala usaha yang dilakukan untuk mengurangi dampak buruk dari bencana, dan biasanya ini dilaksanakan secara bersama-sama atau gotong royong. 3. Melaksanakan simulasi bencana (didukung oleh pemerintah dan sektor lain). 4. Melakukan penyusunan dokumen rencana aksi yang melibatkan semua lapisan masyarakat. Rencana aksi merupakan tolok ukur utama tercapainya indikator Desa/Nagari Tangguh Bencana. Nagari Salayo merupakan Nagari yang dijadikan contoh bagi Nagari lain dalam hal pengurangan risiko bencana. Bahkan Kota Pariaman sempat melakukan study banding mengenai program Destana ke Salayo. Namun walaupun program Desa/ Nagari Tangguh Bencana sudah dilaksanakan dengan baik oleh Nagari ini, tetap masih ada kekurangan, yaitu kurangnya sosialisasi ke kaum manula. Berdasarkan wawancara dengan seorang manula yang juga mempunyai cacat di bagian kakinya, Amak Niar (76 tahun) bertempat tinggal di belakang kantor Kerapatan Anak Nagari Salayo, dia tidak mengetahui program Destana tersebut. Berikut pengakuan Amak Niar:
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
37
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 38
“Ambo ko alah lamo hiduik, sabalun Negara ko merdeka ambo alah lahia. Alah salamo ko ambo di Nagari ko, yo alun pernah mandanga Desa Tangguh Bencana lai. Apo tu? Disiko yo acok banjir jo galodo, talabiah sajak jalan di muko pasa alah dibuek. Labiah tinggi lo jalan daripado rumah ambo. Baa ndak ka taganang aia. Mambuek hati rusuah”. --- “Saya sudah lama hidup, sebelum Negara ini merdeka saya sudah lahir. Sudah selama ini saya hidup, saya belum pernah mendengar Desa Tangguh Bencana. apa itu? Disini memang sering terjadi banjir dan longsor terlebih sejak jalan raya di depan pasar Salayo dibuat pemerintah. Lebih tinggi permukaan jalan daripada rumah saya. Bagaimana air tidak tergenang. Semuanya membuat saya sedih” ---
Bagi kaum lanjut usia yang jiwanya lebih sensitif, mereka sebenarnya juga ingin dilibatkan dalam program Desa/Nagari Tangguh Bencana ini. Namun, mungkin karena ketidakberdayaan fisik mereka tidak bisa aktif lagi memberikan aspirasi dan masukannya terhadap perkembangan Nagari Salayo. Harusnya keberadaan mereka juga dipertimbangkan, karena walau bagaimanapun kaum ini pasti ada di setiap daerah. Kerentanan kaum lanjut usia menyebabkan mereka menjadi sangat bergantung kepada orang lain terutama dalam hal melakukan penyelamatan ketika
Gambar 20. Masyarakat Nagari Salayo mengadakan pertemuan rutin
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
bencana datang. Ini bisa menjadi masukan bagus bagi BNPB dan BPBD, bagaimana mereka bisa membuat suatu program yang holistik dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat terutama manula dan kaum difabel.
Untuk menjaga kelangsungan program Desa/Nagari Tangguh Bencana, masyarakat dan anggota Forum Pengurangan Risiko Bencana mulai mencari cara-cara efektif untuk mendukung pendanaan mereka. Salah satu cara yang dipakai oleh masyarakat di Nagari Salayo yang diadaptasi dari budaya Minangkabau adalah “mamagang sawah”. Seperti yang kita ketahui, masyarakat Minangkabau mempunyai mata pencaharian melalui berdagang, beternak, berkebun serta bertani. Dan selain di perantauan, ladang dan sawah merupakan tempat masyarakat Minangkabau mencari penghidupan. Mamagang sawah berarti memegang lahan kepunyaan orang lain dengan memberikan sejumlah kekayaan (biasanya emas atau uang). Istilah juga lazim disebut “pagang gadai”. Setiap warga Nagari wajib memberikan sebagian dari penghasilan sawah atau ladangnya kepada orang yang dituakan dalam adat. Dalam mengelola sawah dan ladang semuanya dikerjakan secara bersama-sama dan hasilnya juga dinikmati secara kolektif. Dan untuk keberlangsungan program Destana hal ini cukup masuk akal untuk dilakukan. Mamagang sawah bisa dijadikan sumber dana alternatif bagi anggota Forum PRB. Karena tujuan mamagang sawah adalah untuk membantu anggota masyarakat yang kebanyakan berprofesi sebagai petani, dan tentu saja pengelolaan ini dilakukan secara bergilir. Ketika uang atau keuntungan hasil mamagang sawah sudah ada, bisa disimpan di kas Forum. KSB Nagari Salayo mencoba mandiri dengan melakukan praktik-praktik yang sesuai dengan adat dan budaya Minangkabau, salah satunya yaitu “mamagang sawah” seperti dijelaskan sebelumnya. Bagi anggota KSB, hasil dari mamagang sawah tidak lagi dinilai dari kekayaan berupa emas atau uang. Namun dinilai dari berapa banyak padi serta beras yang dihasilkan. Misalnya saja, hasil yang didapatkan dari mamagang sawah adalah sasukek, maka itu artinya masing-masing yang mengelola sawah mendapatkan satu liter beras. Padi yang ditanam di sawah akan dipanen dalam 4 (empat) bulan, ini relatif cepat dan dinilai bisa mensejahterakan anggota KSB karena mereka melakukannya bergiliran. Mamagang sawah merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang jelas-jelas mampu bertahan dan bisa dijadikan sumber dana alternatif bagi anggota KSB. Menurut salah seorang anggota masyarakat biasa bernama Ibu Ar (49 tahun) yang berjualan di sekitar Kantor Wali Nagari:
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Kearifan Lokal Masyarakat Nagari Salayo Menyikapi Program Desa Tangguh Bencana
39
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 40
“Mamagang sawah untuak kepentingan basamo-samo alah ado dari dulu. Biasonyo nan mode ko dirapekan dulu basamo, baru bisa dijalankan”. --“Mamagang sawah untuk kepentingan bersama sudah ada sejak zaman dahulu. Biasanya hal seperti ini dibicarakan bersama, baru bisa dilakukan” --Gambar 21. Ibuk Ar (49 tahun), warga Nagari Salayo
Beberapa bulan yang lalu, tepatnya di awal November 2014, terjadi bencana alam berupa banjir di Nagari Salayo. Pada saat itu dapat dilihat apakah KSB sebagai ujung tombak dalam penanggulangan bencana dapat diandalkan atau tidak. Menurut pengakuan Ibu As, salah seorang anggota KSB Nagari Salayo yang juga aktif dalam kegiatan kelompok tani: “Wakatu banjir tu kami nan aktif maingekan jo manolong masyarakat, mulai dari maagiah kaba mengenai banjir melalui HT punyo KSB sampai ka maagiah bantuan nasi bungkuih ka masyarakat. Kami nan paliang sibuk. Pemerintah indak ado doh. Apolai BPBD, urang BPBD lai tibo, tapi karajonyo mancaliak-caliak se nyo. Kami ko ibarat anak dari BPBD tapi indak diacuahan. Kok karajo, yo karajo se lah surang. Taibo hati kami subananyo mah. Tapi dek kesadaran kami alah muncul untuak manolong urang mako kami indak mamikian bana BPBD tu doh” (“Waktu bencana banjir datang, kamilah – KSB – yang aktif mengingatkan dan menolong masyarakat, mulai dari memberi kabar mengenai banjir melalui Handy Talky milik KSB sampai memberi bantuan berupa nasi bungkus ke masyarakat. Kamilah yang paling sibuk. Pemerintah tidak sama sekali. Apalagi BPBD, staf BPBD memang datang ketika banjir, namun mereka hanya melihat-lihat keadaan saja. Kami ini seperti ‘anak’ dari BPBD namun tidak diacuhkan. Kalau memang mau bekerja ya bekerja saja sendiri. Sebenarnya kami merasa sedih. Tapi karena kesadaran kami untuk menolong masyarakat sudah muncul maka kami tidak terlalu memikirkan BPBD”).
Ketika bencana banjir datang, masyarakat Nagari Salayo yang awalnya pesimis dengan keberadaan KSB merasa benar-benar terbantu dengan adanya KSB. Hal ini dapat ditandai dengan telah mulai terbukanya mereka akan informasi banjir yang disampaikan oleh KSB. Bahkan, ketika peristiwa tersebut terjadi, masyarakat juga membantu menyebarkan informasi secara mulut ke mulut, entah melalui telpon, pesan singkat sms, melalui HT atau juga menggunakan fasilitas sederhana seperti memberikan pengumuman lewat pengeras suara di surau (mushalla) setempat. Namun, ternyata keberadaan KSB juga mengikis kearifan lokal yang ada pada masyarakat Nagari Salayo. Masyarakat yang awalnya mandiri dan mampu mengatasi masalah secara swadaya malah menjadi sangat tergantung kepada KSB ketika bencana banjir. Misalnya saja ketika masalah pembagian makanan (nasi bungkus) ketika banjir. Masyarakat mulai bersifat ‘manja’ dan melimpahkan semua tanggung jawab pembagian nasi kepada KSB, padahal dulu sebelum KSB ada, semua masalah ketersediaan makanan ketia bencana ditanggung bersama oleh masyarakat. Pak Tasman salah seorang anggota KSB juga mengakui hal itu: “KSB ko kamari bedo mah. Pas banjir, masyarakat bagantuang ka kami sadonyo. Indak saroman dulu doh, dulu kalau susah jo sanang ditangguang basamo, nan kini susah manjadi tanggung jawab KSB, kearifan lokal tu bana nan alah mulai hilang” (“Menjadi anggota KSB ini serba susah. Ketika banjir, masyarakat bergantung pada kami. Tidak seperti dulu, kalau dulu susah dan senang ditanggung bersama, kalau sekarang, susah menjadi tanggung jawab KSB, kearifan lokal mulai hilang”)
Ancaman Lain di Daerah Batu Palano Batu Palano merupakan salah satu wilayah yang berada di Nagari Salayo. Daerahnya terletak di ketinggian bukit dan masih belum sepenuhnya terjangkau oleh fasilitas seperti listrik dan transportasi. Masyarakat di daerah Batu Palano juga memiliki anggota KSB yang cukup aktif. Dari perbincangan dengan anggota KSB Batu Palano bisa didapatkan gambaran bahwa daerah ini sangat rawan dan bisa menimbulkan ancaman bagi masyarakat Nagari Salayo. Beberapa dekade yang lalu, daerah Batu Palano mengalami banjir dan longsor yang mengakibatkan seluruh batuan yang ada di puncak bukit turun ke bawah dan menimpa pemukiman masyarakat. Masyarakat yang rentan akan ancaman tersebut tidak mau pindah karena mereka tidak mempunyai lahan lain untuk ditinggali. Hal ini diperburuk karena Ninik Mamak Nagari Salayo tidak mau lagi merelakan tanahnya untuk masyarakat yang rentan terkena ancaman tersebut. Hal ini merupakan kemunduran dari sisi kearifan lokal dan adat Minangkabau. Dan bisa dipastikan hal ini dapat memancing konflik adat. Kemunduran dari sisi adat dan kebudayaan ini harusnya didiskusikan oleh Kerapatan
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
41
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Adat Nagari (KAN) Nagari Salayo, namun sayangnya sampai detik ini belum ada solusi terhadap masalh tersebut.
42
Daerah Batu Palano Hal ini sangat kontras dengan filosofi Adat Minangkabau zaman dahulu, yakni “Anak dipangku, kamanakan dibimbingan, urang kampuang dipatenggangkan� Filosofis tersebut sebenarnya mempunyai makna yang sangat mendalam, yakni anak seharusnya dipangku dan diasuh dengan baik, sementara keponakan juga harus dibimbing dan diperhatikan, dan warga sekitar harus dipertimbangkan keberadaannya. Jadi walau sesibuk apapun Ninik Mamak, mereka seharusnya juga memperhatikan masyarakat sekitar yang dirasa masih kekurangan dan membutuhkan bantuan. Di daerah Batu Palano, khususnya di Kayu Manang sangat rentan akan terjadi bencana. Daerah ini terletak di gugusan bukit dan sulit dicapai oleh masyarakat awam. Dikarenakan letaknya yang sangat terisolir, maka masyarakat sekitar menamakannya daerah IDT. Keadaan ini diperburuk dengan belum adanya program pemerintah khususnya BPBD yang belum sampai ke daerah Kayu Manang tersebut. Padahal sebenarnya potensi ancaman terbesar di Nagari Salayo terletak di daerah tersebut, dan
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Kearifan Lokal serta Adat dan Budaya yang Mulai Terpinggirkan Terlepas dari konsep lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah untuk membentuk Kelompok Siaga Bencana di level pemerintahan terkecil yaitu Desa atau Nagari, sebenarnya program ini sangat bagus karena bertujuan untuk membentuk masyarakat yang mandiri, berkapasitas dan mempunyai kepedulian akan bencana. Namun tak bisa dipungkiri, banyak kekurangan pada program ini. Salah satunya adalah belum diprioritaskannya isu kearifan lokal serta adat dan budaya setempat. Isu kearifan lokal menjadi sangat penting dalam kebencanaan karena inilah yang mejadi tonggak utama yang dimiliki masyarakat ketika bencana terjadi. Jika hanya mengharapkan bantuan pemerintah dan pihak lain maka bencana tidak akan bisa terselesaikan secara optimal. Sebenarnya banyak sekali bentuk kearifan lokal yang dimiliki masyarakat Nagari Salayo dalam menghadapi bencana. misalnya menurut pengakuan Buk Mon, salah satu anggota KSB yang juga berprofesi sebagai guru Paud:
“Dulu kami kalau ado banjir indak ado takuik doh, malah kami menganggap itu hal biaso. Kami indak paralu perahu karet atau jaket palampuang. Sangkek ketekketek, kalau ado banjir, kami ambiak batuang dan kami bisa naiak diatehnyo. Malah kami sanang, bisa main aia, indak ado raso cameh saketek alahnyo. Beda jo kini, kini kalau banjir pakai lo perahu karet. Tapi baa lai, batuang tu bana nan alah jarang tumbuahnyo. Ciek lai, urang kini indak nio naiak batang pisang lai, jauah bana bedanyo jo zaman kami. Urang dulu apo nan tampak nyo manfaatkan untuk manyalamaikan diri. Urang dulu jauah lebih siap kalau ado banjir”. (“Dulu kalau ada banjir, kami tidak takut, malah kami menganggap itu hal yang biasa. Kami tidak perlu perahu karet atau jaket pelampung. Ketika kecil dahulu kalau ada banjir, kami tinggal mengambil batuang – batang bambu – atau batang pisang, dan kami bisa naik diatasnya. Malahan kami merasa senang, bisa main air, tidak ada sama sekali rasa cemas. Beda dengan zaman sekarang, sekarang kalau banjir pasti memakai perahu karet. Tapi mau bagaimana lagi, batuang sekarang sudah jarang didapat dan tumbuhnya juga tak sebanyak dulu. Satu lagi, orang sekarang tidak mau lagi menaiki batang pisang ketika banjir, jauh berbeda dengan zaman kami. Orang zaman dahulu memanfaatkan segala yang ada untuk menyelamatkan diri ketika banjir. Orang dahulu jauh lebih mandiri dan siap menghadapi bencana banjir”.)
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
bukan hanya masalah banjir yang berasal dari Sungai Batang Lembang dan Sungai Batang Gawan. Masyarakat yang tinggal di Kayu Manang sebenarnya sangat berharap di daerah mereka akan ada program pengurangan risiko bencana, sehingga mereka bisa bersiap-siap dan mengatasi bencana jika sewaktu-waktu bencana itu datang.
43
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Seiring perubahan zaman, praktik-praktik kearifan lokal yang dulu lazim dilakukan oleh masyarakat setempat mulai terkikis. Zaman dahulu masyarakat Nagari Salayo bisa memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya untuk survive jika ada bencana banjir, dan sangat berbeda dengan zaman sekarang. Pada zaman dahulu orang Minangkabau memiliki filosofi: “Hiduik Baraka, Mati Baiman� Filosofi ini memiliki arti bahwa ketika hidup kita harus mampu menyelesaikan semua persoalan dengan menggunakan akal, dan ketika meninggal dunia hendaklah membawa serta amal kebaikan dan iman yang telah dikumpulkan semasa hidup. Filosofi inilah yang hari ke hari mengalami degradasi atau tergerus. Tak bisa dielakkan, perkembangan zaman membuat masyarakat cenderung menggunakan hal-hal praktis dan peralatan yang lebih modern untuk mengatasi masalah (terutama ketika banjir), padahal masih banyak hal-hal di sekitar lingkungan yang bisa dimanfaatkan. Disamping itu, sifat manusia yang cenderung merusak alam dan hutan turut menyumbangkan dampak negatif. Misalnya saja penggunaan batuang, dahulu ketika hutan adat dan hutan milik masyarakat masih luas, masyarakat bisa mengambil batuang di dalam hutan. Namun seiring dengan makin sedikitnya kawasan hutan dan jarangnya batuang, maka masyarakat tidak bisa lagi menggunakan batuang sebagai pertolongan pertama ketika banjir tiba.
44
Sungai Batang Lembang
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Jembatan tempat jalur evakuasi di sungai yang mulai rusak Lebih jauh, ketika banjir datang di Nagari Salayo, faktor keamanan juga menjadi hal yang sangat penting di masyarakat. Bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Batang Lembang yang sangat rawan akan luapan air sungai, ketika dilanda banjir, mereka sama sekali tidak merasa was-was ketika mengungsi ke tetangga atau kampung sebelah, hal ini dikarenakan masih kentalnya budaya saling menjaga di tengah masyarakat. Menurut Tek Mar, warga yang tinggal di sekitar Sungai Batang Lembang:
“Kalau hujan labek siap tu banjir, kami nan disiko indak takuik bagai maninggaan rumah, dek karano urang-urang sabalik lai mancaliakan rumah kami. Lai indak ado maliang doh, kalaupun misalnyo ado, apo nan ka diambiaknyo. Rumah kami se indak baperabot doh” (“Kalau hujan lebat kemudian banjir datang, kami yang tinggal disini tidak takut untuk meninggalkan rumah, karena orang-orang sekampung mau menjaga dan melihat rumah kami. Sampai saat ini tidak ada maling, kalaupun ada, tidak ada barang yang bisa diambil. Rumah kami ‘kan isinya tidak seberapa, tidak ada perabotan mahal”.)
45
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 46
Warga yang tinggal di sekitar sungai Batang Lembang KSB Nagari Salayo sebagai motor penggerak di bidang kebencanaan yang anggotanya juga berasal dari kelompok tani (Gapoktan), sangat menyadari bahwa kearifan lokal masyarakat dalam menjaga lingkungan, hutan dan alam mulai tergerus. Untuk tetap menjaga hal itu, mereka telah mencanangkan penanaman bibit pohon untuk hutan di wilayah kenagarian Salayo, selain untuk mencegah banjir, hutan juga berfungsi sebagai daerah sumber air bagi masyarakat Salayo. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, mereka telah mengajukan proposal untuk kegiatan penanaman pohon, namun sampai saat ini belum mendapatkan respon dari dinas terkait. Cara seperti ini harusnya mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan stakeholders lain. Karena kelestarian alam, khususnya hutan tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab masyarakat. Masyarakat khususnya KSB sebenarnya sangat mengapresiasi program Desa/Nagari Tangguh Bencana ini, namun mereka juga mempunyai banyak keterbatasan dalam menjalankan program ini. Banyak praktik-praktik kearifan lokal yang bisa dijadikan batupijak mereka untuk lebih mandiri dalam menghadapi bencana. Namun sayangnya, kearifan lokal ini mulai tergerus seiring perkembangan zaman dan dinamika kehidupan di Nagari Salayo. Pun seharusnya pemerintah dan sektor terkait lebih bisa mengintegrasikan program ini sesuai dengan karakteristik kedaerahan di Nagari
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Salayo. Karena hanya melalui sinergisitas semua pihak maka program Desa/Nagari Tangguh Bencana dapat terlaksana dengan baik, tentu saja tanpa mengesampingkan nilai kearifan lokal dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat setempat.
Nagari Batu Bajanjang merupakan sebuah wilayah kenagariaan yang terletak di kaki Gunung Talang, Kabupaten Solok. Luas Nagari Batu Bajanjang adalah 12.940 Ha dan terletak jauh dari laut yaitu sekitar 600 m dari permukaan laut. Penduduk yang mendiami nagari ini berjumlah sekitar 2.794 jiwa dan rata-rata bekerja sebagai petani. Nagari yang terletak di kaki gunung ini sangat kaya akan sumber daya alamnya. Dan sumber daya alam tersebut sebenarnya sudah menjadi modal dasar agar Nagari Batu Bajanjang ini dapat berkembang. Di bidang pertanian, lahan yang subur turut membawa hasil yang unggul bagi komoditi pertanian, selain itu Nagari ini bahkan sudah mempunyai sumber tenaga listrik (yang berasal dari tenaga air). Selanjutnya, Nagari ini juga mempunyai cadangan bahan tambang yakni batubara yang banyak terdapat di Jorong Sumiso. Tak pelak lagi semua kekayaan alam ini harus dijaga dengan baik oleh semua masyarakat yang mendiami Nagari Batu Bajanjang. Namun, berkah tinggal di daerah subur dan kaya tidak selamanya menyenangkan bagi masyarakat di Nagari Batu Bajanjang. Gunung Talang yang menjadi sumber
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
3.3.2. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Nagari Batu Bajanjang
47
Gambar 21. Sawah bertingkat di Nagari Batu Bajanjang
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT 48
Gambar 22. Sungai di Nagari Batu Bajanjang penghidupan mereka sewaktu-waktu justru akan menjadi ancaman bagi mereka. Hal ini dikarenakan Gunung Talang merupakan gunung berapi aktif yang bisa meletus dan letusannya akan membahayakan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Hal ini menjadi perhatian serius bagi pemerintah Kabupaten Solok. Dengan dibantu oleh BNPB pusat dan BPBD setempat, pemerintah mencanangkan program Desa/ Nagari Tangguh Bencana untuk segera dilaksanakan di Nagari Batu Bajanjang. Sebenarnya banyak program serupa yang pernah digagas oleh organisasi lain seperti PKPU dan UNDP. Di tahun 2011, PKPU dengan program Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) sudah melaksanakan pelatihan yang serupa dengan Program Desa/Nagari Tangguh Bencana. Tapi tentu saja, persoalan bencana adalah persoalan berkelanjutan dan dibutuhkan konsistensi untuk terus mensosialisasikannya. Sebagai contoh, selama kurun waktu satu dekade terakhir, banyak kejadian letusan Gunung Talang yang terjadi di Nagari Batu Bajanjang, diantaranya: 1. Tahun 1926 terjadi letusan di Gabuo. 2. Tahun 1943 terjadi letusan masih di tempat yang sama, yaitu di Gabuo. 3. Tahun 2003 terjadi letusan di Gabuo atas.
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Karena ancaman letusan gunung berapi terus membuat masyarakat was-was, maka sangat dibutuhkan kesiapsiagaan masyarakat dalam upaya mengurangi risiko bencana yang disebabkan oleh gunung berapi. Salah satu upaya yang dilakukan adalah untuk mempersiapkan kemandirian mereka dalam program Desa/Nagari Tangguh Bencana. Forum PRB yang berperan sebagai ujung tombak dalam proses pengurangan risiko bencana mempunyai tugas penting untuk mengajak masyarakat untuk peduli terhadap bencana. Forum yang beranggotakan relawan dari 2 (dua) jorong ini sering mengikuti pelatihan tentang PRB. Kegiatan yang dilakukan Forum PRB Nagari Batu Bajanjang dalam rangka mengurangi risiko bencana di daerahnya adalah: 1. Membuat peta risiko bencana. 2. Menganalisa kerentanan di Nagari Batu Bajanjang (yang akan menghasilkan dokumen RPB, RAK dan Renkon). 3. Menyusun sistem peringatan dini berbasis masyarakat.
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
4. Tahun 2005 terjadi letusan yang mengakibatkan terbentuknya 2 kawah, yaitu kawah utama dan kawah selatan.
49
Gambar 23. Forum PRB Batu Bajanjang sedang berdiskusi tentang PRB
PROGRAM DESA TANGGUH BENCANA DI SUMATERA BARAT
Kearifan Lokal Masyarakat Nagari Batu Bajanjang Menyikapi Program Desa Tangguh Bencana Forum PRB Batu Bajanjang tidak memiliki kendala berarti dalam melakukan program Desa Tangguh Bencana, terbukti dari kekompakan masyarakat ketika membangun jalur evakuasi penyelamatan diri. Ketika kaum Bapak-Bapak sibuk menyemen dan meperbaiki jalur evakuasi, kaum Ibu-Ibu dan remaja putri turut membantu dengan menyediakan konsumsi. Ini berarti masyarakat di Nagari Batu Bajanjang sudah bisa mandiri dan mampu mempersiapkan ketangguhan mereka dengan cara swadaya. Dan sebenarnya hal inilah tujuan utama dari program Desa/Nagari Tangguh Bencana, yakni bagaimana agar masyarakat tidak sepenuhnya bergantung kepada pemerintah dalam melakukan proses pengurangan risiko bencana, walaupun dari hal paling sederhana.
50
Gambar 24. Masyarakat bergotong royong memperbaiki jalur evakuasi Hal ini senada dengan penuturan Ibuk Ros (59 tahun) warga Batu Bajanjang yang sudah hidup berpuluh tahun di Nagari ini:
--- “Nagari Batu Bajanjang ini memang rawan, tapi sejak ada bantuan dari pihak luar dan pemerintah, agak berkurang ketakutan saya, tidak seperti dulu lagi. Dahulu ketika saya masih kanak-kanak, banyak korban ketika bencana letusan gunung
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Gambar 25. Ibuk Ros (59 tahun)
Kalau bagi saya, asalkan tetap ada tenggang rasa kepada orang-orang lanjut usia seperti saya tidak ada masalah, jika ada program kebencanaan silahkan saja masuk ke daerah ini, semua tidak akan dipersoalkan, asalkan ingat satu hal;�Lamak Dek Awak Katuju Dek Urang�
Maksud dari kalimat diatas adalah masyarakat yang sudah berusia lanjut tidak masalah jika ada orang luar atau pihak asing yang ingin membantu Nagari mereka dalam hal kebencanaan. Asalkan tetap menghargai orang-orang yang dituakan tersebut dan mempunyai rasa tenggang rasa terhadap mereka, dengan kata lain, sesuatu yang nyaman bagi kita, harus nyaman juga bagi orang lain. Tidak boleh hanya menguntungkan diri sendiri tapi mengabaikan kepentingan orang lain.
PROGRAM PROGRAM DESA DESA TANGGUH TANGGUH BENCANA BENCANA DI DI SUMATERA SUMATERA BARAT BARAT
berapi terjadi. Masyarakat disini senang dengan acara-acara seperti ini dan mau bergotong royong, dan mereka semua sangat bersemangat.
51
Penutup 52
PEMBELAJARAN Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Penutup 53
BAB 4
Penutup
BAB IV
Penutup
4.1. Kesimpulan
Penutup
Program Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat mendapat sambutan yang cukup baik dari masyarakat di 3 (tiga) Kota/Kabupaten dan di masing-masing Desa/ Nagari. Program yang digagas oleh BNPB, BPBD dan didukung penuh oleh AIFDR serta didampingi oleh lembaga lokal yakni Jemari Sakato ini sangat dirasakan manfaatnya bagi mayoritas masyarakat di Desa/Nagari rawan bencana. Namun walau masih dirasa belum sempurna, program ini telah berkontribusi penuh dalam mengajarkan masyarakat tentang kemandirian dan kesiapsiagaan.
54
4.2. Saran
Untuk kedepannya, diharapkan program ini terus berlanjut, karena masyarakat masih ingin mendapatkan pelatihan tentang pengurangan risiko bencana, lebih jauh beberapa saran ini dapat diperhatikan: a. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana diharapkan mampu melibatkan seluruh lapisan masyarakat, tidak lagi melibatkan staff Desa/Nagari dalam proses administrasi atau pengelolaan keuangannya. b. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana diharapkan tidak hanya bersifat temporer (sementara), karena seperti yang kita tahu membangun kapasitas dan mengubah pola pikir masyarakat akan kebencanaan sangat sulit. Jangan terkesan program ini hanya untuk sekedar ‘penjawab-tanya’ penggunaan dana APBD atau karena permintaan donor semata. c. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana diharapkan mampu menjangkau daerah lain di Sumatera Barat, jangan hanya terpusat di Desa/Nagari yang sama, karena Sumatera Barat ini merupakan daerah yang sangat kompleks akan bencana. d. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana diharapkan mempunyai fasilitator handal yang mampu mengerti karakteristik masyarakat dan budaya setempat.
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
e. Program Desa/Nagari Tangguh Bencana diharapkan dapat lebih memfokuskan programnya kepada kaum rentan seperti perempuan, anak-anak, manula dan kaum difabel. 4.3. Koordinator Provinsi CDSP – AIFDR Program
Proses menjadi bagian yang sangat penting mengingat semua daerah tidak akan sama jenis ancamannya, kultur dan budayanya, geografisnya sehingga hal tersebut setidaknya memberikan gambaran bagaimana program desa/nagari tangguh ini bisa dijalankan sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada “ lain lubuk, lain ikannya “ terkadang program program yang diluncurkan dari nasional belum melihat ini sebagai keberagaman dan khas dari suatu wilayah sehingga menimbulkan berbagai kendala dalam praktik dan implementasinya. Penting dalam pembelajaran ini adalah bagaimana proses program desa/nagari tangguh dijalankan pola pendekatan dan juga tujuan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana, sehingga ketika suatu saat nanti ada bencana seminim mungkin ada korban dan kerugian, bisa kembali bangkit dan pulih menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya. Tahapan tahapan proses harus menuju tujuan bersama bukan semata mata mengejar indikator yang ada di dalam juklak dan juknis yang ada, terkadang apa yang dibayangkan oleh pemerintah berbeda dengan yang diharapkan masyarakat terkait makna ketangguhan yang pasti bagaimana masyarakat paham kondisi dan situasi daerahnya termasuk potensi, ancaman serta risiko bencana yang ada sehingga mampu mengambil langkah langkah dan tindakan untuk mengurangi, menghidari risiko sekaligus tau bagaimana cara menyelamatkan diri. “ Bencana tak perlu ditakuti jika kita telah siap dan siaga “ salam tangguh Wawan Budianto Koordinator CDSP Program Sumatera Barat
Penutup
Pembelajaran Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat merupakan wujud dukungan CDSP – AIFDR runtutan kegiatan yang bukan saja menjadi program nasional dari BNPB tetapi juga sudah menjadi program di dalam APBD propinsi, kota dan kabupaten saat ini.
55
56 Penutup
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat
Pembelajaran Desa/Nagari Tangguh Bencana di Sumatera Barat Diterbitkan atas dukungan
Cover Pembelajaran Nagari Tangguh.indd 1
18/06/2015 15:09:46