Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat Tangguh

Page 1

Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh

Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh Diterbitkan atas dukungan

ISBN: 978-602-7700-11-6

Cover Pengalaman Membangun Masyarakat Tangguh.indd 1

20/06/2015 13:13:42


Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh

Penanggungjawab: Drs. Muhtaruddin, M.Si

Tim Editor:

Sigit Padmono Dewo, Chasan Ascholani, Valentinus Irawan, D. Savio Wermasubun, dan Yusniar Nurdin

Penata Letak:

Yohannes Kristanto

Diterbitkan oleh:

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jl. Ir. H. Djuanda No. 36 Jakarta 10120 Phone: +62 21 344 2734, 344 3078 Fax: +62 21 350 5075, 351 9737 http://www.bnpb.go.id

ISBN: 978-602-7700-11-6


Kata Pengantar Semenjak terjadinya bencana tsunami tahun 2004 di Aceh dan Nias, gempabumi di Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera Barat tahun 2006, dan gempabumi di Jawa Barat dan Sumatera Barat tahun 2009, wacana untuk membangun ketangguhan masyarakat mulai banyak didiskusikan baik oleh organisasi internasional, LSM lokal, dan juga pemerintah. Sambil melaksanakan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh dan Nias, banyak pihak yang juga membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Upaya kesiapsiagaan, meningkatkan keterampilan, mitigasi ancaman, dan pengembangan kapasitas untuk mengurangi kerentanan menjadi bagian dari program-program yang dilakukan oleh berbagai instansi/organisasi. Akan tetapi, dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat, para pelaku pemberdayaan masyarakat menerjemahkannya dengan berbagai kriteria dan indikator masing-masing. Merujuk kepada salah satu penggagas isu ketangguhan masyarakat, John Twigg (2009) menyebutkan bahwa sistem atau ketangguhan masyarakat dapat dipahami sebagai kapasitas untuk: (a) mengantisipasi, meminimalisasi, dan menyerap potensi stres atau kekuatan destruktif melalui adaptasi atau resistensi, (b) mengelola, atau menjaga fungsi dan struktur dasar tertentu, selama peristiwa bencana, dan (c) memulihkan atau ‘melambungkan balik’ setelah sebuah peristiwa bencana. Berdasarkan ketiga kapasitas diatas, menimbulkan pertanyaan, apakah masyarakat sendiri bisa membangun kapasitasnya untuk mencapai ketangguhan? Hal ini akan sangat tergantung pada kondisi masyarakatnya. Mungkin ada yang sudah memiliki modal sosial yang besar dan terjadi dalam kurun waktu yang lama, sehingga mereka sudah memiliki kapasitas untuk beradaptasi dengan ancaman bencana. Tetapi banyak juga masyarakat yang belum memiliki kapasitas untuk beradaptasi, apalagi ‘melambung balik’, khususnya untuk masyarakat yang baru saja terkena dampak bencana. Oleh karena itu, banyak pihak percaya bahwa upaya untuk membangun ketangguhan masyarakat dibutuhkan kerjasama antar berbagai pelaku dengan masyarakat. “Ketangguhan dapat dicapai dalam sebuah sistem (ekonomi, infrastruktur, ekologi, sosial) yang memasukkan berbagai kegiatan, interaksi, dan hubungan” (IFRC, 2012). Walaupun, pada kenyataan di masyarakat, upaya-upaya pengembangan ketangguhan masyarakat tidak mudah untuk diintegrasikan, karena terjadinya perbedaan pandangan dan pendekatan yang digunakan oleh berbagai pihak. Hal ini dipengaruhi oleh relasi kuasa, politik, sistem sosial, dan para pelaku yang ada di sana (Heijmans, 2012). Pada konteks Indonesia, sudah ada cukup banyak inisiatif-inisiatif untuk membangun ketangguhan masyarakat yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga negara, lembaga internasional, lembaga swadaya masyarakat di tingkat lokal dan nasional,


perguruan tinggi, dan lembaga usaha. Pengembangan ketangguhan dilaksanakan melalui pendekatan disiplin dan sektor yang menjadi mandat dan kapasitas masing-masing pihak. Beberapa contoh program terkait dengan pengembangan ketangguhan ialah program Kampung Siaga Bencana yang dilaksanakan oleh Kementerian Sosial, program Desa Pesisir Tangguh dari Kementeran Kelautan dan Perikanan, program Desa Mandiri Pangan dari Kementerian Pertanian, program Desa Siaga dari Kementerian Kesehatan, program Safer Communities through Disaster Risk Reduction dari UNDP, program Pengurangan Risiko Terpadu berbasis Masyarakat dari Palang Merah Indonesia, program Building Resilience dari Oxfam dan masih banyak lagi. Beberapa program CSR yang dilaksanakan oleh lembaga usaha di desa-desa dampingannya juga sebagian sudah mulai mengadopsi konsep pemberdayaan masyarakat dan ketangguhan terhadap bencana. Dalam hal ini, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diberi mandat untuk melakukan koordinasi upaya-upaya penanggulangan bencana, termasuk dalam rangka membangun ketangguhan masyarakat, menerbitkan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Peraturan ini dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengintegrasikan program berbagai pihak untuk membangun ketangguhan. Hal ini juga sesuai dengan amanat UU No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bahwa bencana merupakan urusan bersama (semua pihak) dengan penekanan pada upaya pengurangan risiko bencana. Sehingga, peraturan tersebut menyebutkan bahwa kerjasama dengan semua pihak dan sinergi program merupakan salah satu strategi utama dalam mewujudkan Desa/ Kelurahan tangguh bencana. Sebagai salah satu upaya untuk membangun sinergi dan integrasi, BNPB mendokumentasikan berbagai program pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh berbagai pihak dalam bentuk buku kompilasi yang bisa menjadi referensi bersama. Penulisan buku ini memiliki tujuan untuk: a. Mendokumentasikan program-program yang berkontribusi terhadap pengembangan ketangguhan masyarakat dari berbagai pihak (pemerintah, organisasi internasional/nasional, dan lembaga usaha). b. Mendapatkan ringkasan pembelajaran dari pelaksanaan program-program tersebut. c. Memberikan salah satu referensi untuk membangun sinergi dan integrasi program antar berbagai pihak. Dan yang terakhir, mewakili BNPB, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada lembaga/instansi/organisasi yang telah berbaik hati untuk membagikan informasi dan pengalamannya dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Buku ini, dan juga kesimpulan atas faktor keberhasilan dan keberlanjutan program, tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari para kontributor tulisan. Apa yang sudah dilakukan oleh banyak


pihak yang ditulis dalam buku ini, adalah kontribusi nyata untuk mewujudkan Visi Penanggulangan Bencana Indonesia: “Ketangguhan Bangsa dalam Menghadapi Bencana�. (Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010 – 2014). Saya juga mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Pemberdayaan Masyarakat BNPB yang telah berinisiatif untuk mengumpulkan pengalaman yang sangat berharga ini. Mungkin, ini adalah buku pertama yang ditulis dengan mengumpulkan pengalaman banyak pihak dari berbagai latar belakang yang berbeda, dalam membangun ketangguhan masyarakat. Dan bagi pihak-pihak lain yang pengalamannya belum sempat dituliskan pada buku ini, BNPB akan dengan senang hati untuk menerima informasi dan pembelajarannya, yang nanti akan kami masukkan dalam edisi berikutnya dan digunakan sebagai bagian dari referensi untuk pengembangan kebijakan penanggulangan bencana ke depan. Semoga, buku ini bisa menjadi salah satu media dan referensi untuk terus meningkatkan sinergi dan integrasi program untuk bersama-sama membangun masyarakat yang tangguh terhadap bencana.

Jakarta, November 2013 Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Ir. Dody Ruswandi, MSCE


Kontributor Tulisan Buku ini ditulis berdasarkan kontribusi dari berbagai pihak, baik kementerian/ lembaga negara, organisasi internasional, organisasi nasional, dan lembaga usaha. Banyak dokumen program, data, artikel, cerita, foto, dan berbagai informasi yang telah diberikan kepada tim editor. Adapun para kontributor tersebut adalah sebagai berikut: 1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) 2. Kementerian Kesehatan 3. Kementerian Sosial 4. Kementerian Kelautan dan Perikanan 5. Kementerian Lingkungan Hidup 6. Kementerian Pertanian 7. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 8. United Nations Development Programme (UNDP)

9. Oxfam 10. Mercy Corps 11. Partners for Resilience 12. Internasional Organization for Migration (IOM) 13. Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) 14. GIZ IS (International Service) 15. Catholic Relief Services (CRS) 16. World Vision Indonesia 17. Palang Merah Indonesia 18. Rekompak 19. Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) 20. PT. HM Sampoerna Tbk 21. PT. Unilever

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP

KEMENTERIAN PERTANIAN


Daftar Isi Kata Pengantar Kontributor Tulisan Daftar Isi BAB I 1 Membangun Bangsa yang Tangguh 1 1.1. Ketangguhan dari Masa ke Masa 2 1.2. Menyusun Landasan Ketangguhan yang Kokoh 5 1.3. Jalan Panjang Menuju Ketangguhan 9 BAB II 13 Program Pemberdayaan Masyarakat 13 2.1 Program Pemerintah 14 2.1.1. Desa/Kelurahan Siaga Aktif oleh Kementerian Kesehatan 14 2.1.2. Kampung Siaga Bencana oleh Kementerian Sosial 17 2.1.3. Desa Pesisir Tangguh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan 19 2.1.4. Kampung Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup 21 2.1.5. Desa Mandiri Pangan oleh Kementerian Pertanian 23 2.1.6. Pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) Berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dan PLT Hybrid (Surya-Angin) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral 24 2.2 Program Lembaga Internasional/Nasional 28 2.2.1. Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) Oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Pemerintah Indonesia 28 2.2.2. Membangun Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana di Indonesia Timur oleh Oxfam 34 2.2.3. Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana untuk Ketahanan (API PERUBAHAN) oleh Mercy Corps 38 2.2.4. Peningkatan Ketangguhan Masyarakat melalui Integrasi PRB, API, dan Pemulihan Ekosistem oleh Partners for Resilience 41 2.2.5. Peningkatan Kesiapsiagaaan dan Kapasitas dalam Merespon Bencana di Jawa Barat Oleh International Organization for Migration (IOM) 44 2.2.6. Perluasan Partisipasi Perempuan dan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat Oleh: Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) 49


2.2.7. Peningkatan Kapasitas Masyarakat untuk Kesiapsiagaan dan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Wilayah Selatan Jawa Oleh: GIZ IS (International Service) untuk PROYEK GITEWS dan PROTECTS di Indonesia 55 2.2.8. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Desa Hutan Oleh: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan (LPPSLH) dan Catholic Relief Services (CRS) Indonesia 62 2.2.9. READY Project: Membangun Kapasitas Anak untuk Membantu Desa Menjadi Tangguh terhadap Bencana oleh World Vision Indonesia 67 2.2.10. Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat (PERTAMA) oleh Palang Merah Indonesia 70 2.2.11. REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman 2.2.12.

Berbasis Komunitas) Pengalaman Pasca Tsunami Aceh dan Pasca Gempa Merapi Oleh MDF (Multi-Donor Fund), PSF (PNPM Support Facility), JRF (Java Reconstruction Fund), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) 73 Studi Kasus Ketangguhan: Kelurahan Paupanda dan Tanjung di NTT 79

2.3. Program Lembaga Usaha 83 2.3.1. Program Dukungan Pengembangan Ketangguhan Masyarakat terhadap Bencana sebagai Wujud Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (CSR) PT HM Sampoerna Tbk. 83 2.3.2. Program Dukungan Pengembangan Ketangguhan Masyarakat terhadap Bencana Oleh CSR Yayasan Unilever Indonesia 88 2.4. Database dan Peta Ketangguhan Desa/Kelurahan 92 BAB III 97 Konsep Desa/Kelurahan Tangguh Bencana 97 3.1. 3.2. 3.3. 3.4. 3.5.

Definisi 98 Kebijakan dan Strategi 98 Prinsip-prinsip 99 Indikator dan Kategori 100 Integrasi Program dan Pelaku 102

BAB IV 105 Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012 105 4.1. Latar Belakang 106 4.2. Tujuan 107 4.3 Indikator Program Tahun 2012 107 4.4. Rincian Kegiatan Program 107 4.5. Lokasi Program 108 4.6. Capaian Hasil Program 109 4.7. Replikasi 111 4.8. Pembelajaran dari Pelaksanaan Program 112



Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


membangun bangsa yang tangguh

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

1

BAB 1

Membangun Bangsa yang Tangguh


BAB V 115 PEMBELAJARAN PELAKSANAAN PROGRAM 115 A. Faktor Keberhasilan 116 B. Faktor Keberlanjutan 118 DAFTAR PUSTAKA 120

BAB 1

membangun bangsa yang tangguh

Membangun Bangsa yang Tangguh

2

1.1. Ketangguhan dari Masa ke Masa Upaya pengurangan risiko bencana dan pengembangan ketangguhan terhadap bencana sudah dikenal sejak Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil pada sekitar abad ke-4 Masehi. Prasasti Tugu yang ditemukan di Desa Tugu, Tarumajaya, Bekasi, menyebutkan bahwa pada jaman Kerajaan Tarumanegara, raja pertama kerajaan itu, Rajadirajaguru Jayasingawarman memerintahkan penggalian Sungai Candrabaga (kemungkinan Kali Bekasi) untuk mengalirkan air sampai ke laut. Sementara itu, pada sekitar tahun 417 raja Tarumanegara ketiga, Maharaja Purnawarman, memerintahkan penggalian Sungai Gomati sepanjang 6.112 tombak atau 12 km. Penggalian sungaisungai ini merupakan upaya untuk menghindari bencana alam banjir dan kekeringan yang sering terjadi pada masa itu, dan menjaga ketangguhan ekonomi serta penghidupan masyarakat.1 Dari Jawa Timur pada era Kerajaan Medhang yang merupakan kelanjutan Kerajaan Mataram kuno di Jawa Timur ada cerita tentang pembangunan bendungan di tiga tempat, yang menurut para ahli sejarah kini berada di sekitar daerah Tulungagung. Sistem air untuk irigasi dan pencegahan banjir ini dibangun atas perintah Raja Mpu Sindok dan tercatat dalam Prasati Bakalan 934 M. Sejarah menunjukkan adanya beberapa bendungan dan sistem rekayasa air di kawasan lembah Sungai Brantas yang dibangun untuk mengatasi ancaman banjir maupun luapan material gunung api yang ada di sekitar aliran Sungai Brantas. Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan membangun Bendungan Waringin Sapta untuk mengatasi banjir Sungai Brantas, seperti tertulis dalam Prasasti Kamalagyan 1037 M. Dari rekaman-rekaman sejarah ini tampak bahwa sejak jaman kerajaan Indonesia sudah mengenal sistem pengelolaan Bagian ini sebagian besar disarikan dari sumber on-line: http://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara; http://djuliantosusantio.blogspot.com/2009/03/situs-tugu-kraton-tarumanegara-bekasi.html; dan beberapa sumber on-line lainnya.

1


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Selanjutnya pada jaman penjajahan Belanda pun ada beberapa catatan tentang upaya penanggulangan bencana. Pemerintah VOC di Batavia di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen, 1617-1629, berusaha menjinakkan Kali Ciliwung dengan membangun sodetan-sodetan di banyak sisi badan sungai yang kemudian dibuat menjadi kanal-kanal seperti di kota-kota di Belanda untuk mengurangi beban debit air Ciliwung. Kanal-kanal itu mengalirkan air dari hulu ke hilir dan bermuara di Laut Jawa. Sayang upaya J.P. Coen ini tidak terlalu berhasil dan banjir tetap terjadi karena sejumlah besar kanal mengalami pendangkalan akibat endapan material yang terbawa air dari hulu. Pada abad ke-18 sampai awal abad ke-20, mitigasi fisik dan penelitian penanganan banjir menjadi salah satu program kerja terpenting pemerintah kolonial Belanda. Tercatat tahun 1910 Pemerintah Batavia menganggarkan 25 ribu gulden untuk menanggulangi banjir dan mengadakan penelitian tentang akibat peningkatan penebangan hutan untuk perkebunan di daerah Bogor dan sekitarnya.3 Mulai tahun 1913 penanganan banjir dipimpin oleh Prof. Herman Van Breen, seorang ahli hidrologi, yang membuat perencanaan menyeluruh sistem pengairan di Batavia dengan mengendalikan aliran air dari hulu dan membatasi volume air yang masuk kota. Saluran kolektor Banjir Kanal Barat, yang membelah Jakarta mulai dari Pintu Air Manggarai sampai ke Muara Angke, mulai dibangun tahun 1922. Upaya Van Breen dilanjutkan pemerintah Indonesia mulai tahun 1965, dengan membangun beberapa waduk, polder dan sodetan sungai. Program yang sama diteruskan sampai pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo yang membangun Banjir Kanal Timur dan era Gubernur Joko Widodo yang melanjutkan pembersihan sungai-sungai utama, Waduk Pluit, Waduk Ria-Rio dan situ-situ di Jakarta. Di samping sibuk menangani banjir, Pemerintah Kolonial Belanda juga menangani ancaman-ancaman geologis seperti letusan gunungapi dengan membentuk Jawatan Pertambangan, Dienst van het Mijnwezen, pada tahun 1850. Ini berkaitan erat dengan sejarah penyelidikan geologi dan tambang di wilayah nusantara yang dimulai sejak pertengahan abad ke-17 oleh para ahli Eropa, yang mencari bahan tambang sebagai bahan dasar industri. Lembaga ini selanjutnya berganti nama menjadi Dienst van den Mijnbouw pada tahun 1922, dan bertugas melakukan penyelidikan geologi serta sumber daya mineral. Inilah yang menjadi cikal bakal lembaga-lembaga yang kini menangani ancamanancaman geologis di Indonesia. Semua upaya penanggulangan bencana dari mulai jaman Lihat http://diabicara.blogspot.com/2009/11/strategi-penanggulangan-banjir-pada.html dan http:// jv.wikipedia.org/wiki/Karajan_Medhang 3 Bagian yang membahas pengendalian banjir di jaman Belanda ini sebagian besar disarikan dari Disertasi Dr. Restu Gunawan, Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010, dan dilengkapi dari berbagai sumber on-line 2

membangun bangsa yang tangguh

air, yang menjadi pusat perhatian dari penguasa, karena penduduk yang tinggal di Pulau Jawa adalah masyarakat agraris.2

3


membangun bangsa yang tangguh

kerajaan sampai pemerintah sekarang ini pada dasarnya berkontribusi dalam melindungi penghidupan dan meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana.

4

Selain mitigasi fisik dalam skala besar yang diupayakan oleh penguasa kerajaan atau birokrasi kolonial Belanda sampai pemerintah jaman republik sekarang ini, banyak warga masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana di seluruh nusantara mengembangkan berbagai bentuk kearifan lokal dalam menghadapi bencana. Tsunami Aceh pada tahun 2004 mengangkat nama masyarakat di Pulau Simeulue di lepas pantai Sumatra. Masyarakat Simeulue menjadi terkenal karena dapat memanfaatkan pengetahuan tentang tsunami yang diturunkan secara lisan dari nenek moyang untuk menyelamatkan diri. Simeulue adalah bagian dari Provinsi Aceh. Hanya tujuh korban jiwa yang menjadi korban tsunami di Simeulue dari keseluruhan penduduk yang berjumlah sekitar 78.000, di mana 95% di antaranya hidup di wilayah pantai. Ketika terjadi gempa pada tanggal 26 Desember 2004, penduduk Simeulue tahu bahwa mereka harus segera mengungsi ke tempat yang lebih tinggi karena ada kemungkinan terjadi tsunami, dan reaksi inilah yang telah menyelamatkan mereka. Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di Pulau Simeulue berasal dari “pengalaman nenek moyang� pada tahun 1907, ketika terjadi gempa besar yang menimbulkan tsunami hingga menewaskan banyak penduduk pulau. Cerita-cerita tentang peristiwa 1907 ini kemudian diterjemahkan menjadi dongeng dan cerita-cerita, monumen peringatan, dan pengingat lainnya, yang lalu diteruskan kepada anak cucu mereka dalam berbagai bentuk. Masyarakat Simeulue menggunakan kata smong untuk menyebut peristiwa itu, yang artinya sama dengan tsunami. Kata smong diturunkan dari ni semongan yang berarti percikan air. Menurut pemahaman penduduk, smong adalah rentetan peristiwa yang diawali oleh gempa besar, lalu diikuti surutnya air laut, kemudian gelombang raksasa dan banjir. Cerita smong yang diturunkan selama berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus tahun dari mulut ke mulut ini tanpa sadar telah membangun ketangguhan masyarakat Pulau Simeulue.4 Di samping kearifan lokal dalam bentuk pengetahuan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana juga memiliki bentuk-bentuk bangunan asli yang tangguh terhadap bencana. Masyarakat di Pulau Nias, Sumatra Utara, misalkan saja, sering mengalami gempabumi yang menghancurkan, dan kebanyakan rumah kayu tradisional ternyata dapat bertahan terhadap guncangan gempa. Rumah tradisional Nias terbuat dari kayu, yang unsur-unsur strukturnya dikaitkan satu sama lain dan bukan dipaku. Teknik sambungan ini membuat bangunan menjadi fleksibel. Rumah ditopang tonggak-tonggak vertikal, yang bertumpu pada balok-balok batu dan sejumlah balok diagonal. Balok diagonal diletakkan di antara tonggak vertikal, dengan Koen Meyers dan Puteri Watson, Legend, Ritual and Architecture on the Ring of Fire, dalam Indigenous Knowledge for Disaster Risk Reduction: Good Practices and Lessons Learned from Experiences in the Asia-Pacific Region, UN-ISDR, 2008

4


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Masih banyak contoh kearifan lokal dalam menghadapi bencana dan kondisi lingkungan hidup yang sulit dan keras, yang belum digali. Kearifan lokal membentuk masyarakat menjadi masyarakat yang tangguh, yang mampu mengatasi kesulitan dengan memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki sendiri. Masyarakat semacam ini tidak terlalu membutuhkan bantuan luar dalam menghadapi bencana, perubahan iklim dan tantangan degradasi lingkungan hidup. Selain kearifan yang dimiliki masyarakat secara kolektif, Indonesia juga memiliki banyak individu tangguh yang tidak menyerah dalam menghadapi kerasnya alam. Sejak tahun 1980 sudah ada puluhan penerima penghargaan Kalpataru yang menunjukkan ketangguhan mereka dalam mengatasi tantangan alam, seperti contoh Mak Eroh berikut ini. Pada awal tahun 1980-an, seorang ibu setengah tua bernama Mak Eroh berjuang sendiri membangun saluran air dengan memecah tebing cadas lereng Gunung Galunggung dengan bermodalkan cangkul dan linggis. Berkat kerja keras dan tekad bajanya, air Sungai Cilutung dapat dialirkan ke desa melalui saluran buatan tangan sepanjang setengah kilometer. Mak Eroh selanjutnya juga membuat saluran air sepanjang 4,5 kilometer mengitari delapan bukit dengan kemiringan 60-90 derajat dengan dibantu warga desa yang akhirnya ikut tergerak. Saluran air ini selesai dalam waktu 2,5 tahun, dan setelah itu lahan pertanian sawah di Desa Santana Mekar yang luasnya mencapai lebih dari 90 hektar dapat terairi sepanjang tahun. Perjuangan ini mengantar Mak Eroh memperoleh penghargaan Kalpataru sebagai perintis lingkungan pada tahun 1988 dan Global 500 Award dari Program Lingkungan Hidup PBB/UNEP pada tahun 1989.5 Sampai saat ini di Indonesia masih terus lahir individu dan kelompok-kelompok masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana dan tantangan alam lainnya. Berbagai kejadian bencana yang terjadi belakangan ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia pada dasarnya tangguh. Dunia mengakui, misalnya saja, bahwa warga Aceh merupakan warga masyarakat yang tangguh. Hanya enam tahun setelah diporak-porandakan oleh Tsunami dahsyat tahun 2004, Aceh berhasil memulihkan diri dengan baik. Banyak lembaga pembangunan internasional dan badan-badan PBB memandang pemulihan Aceh sebagai sesuatu yang luar biasa dan jauh melampaui ekspektasi masyarakat internasional. Serupa dengan itu, masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah yang pada tahun 2006 mengalami gempabumi hebat juga telah memperlihatkan ketangguhannya. Hanya dalam waktu sekitar dua sampai tiga tahun perekonomian dan kehidupan sosial-budaya masyarakat telah relatif pulih. Namun, akankah ketangguhan ini terus berlanjut, juga di hadapan tantangan-tantangan baru seperti perubahan iklim, degradasi lingkungan hidup yang Dikumpulkan dari beberapa sumber on-line

5

membangun bangsa yang tangguh

arah memanjang dan melintang bangunan dan saling mengikat. Teknik pengikatan rumah seperti ini memungkinkan bangunan bertahan terhadap guncangan gempa yang kuat. Rumah-rumah joglo kayu tradisional di Yogyakarta dan Jawa Tengah juga telah terbukti lebih tahan dalam menghadapi gempabumi yang sering terjadi di kedua wilayah ini.

5


kian meningkat, urbanisasi yang kian deras dan kemiskinan yang masih kronis?

membangun bangsa yang tangguh

1.2. Menyusun Landasan Ketangguhan yang Kokoh

6

Beberapa organisasi internasional di tingkat global dan regional telah berusaha mendefinisikan konsep “ketangguhan”. Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) sebuah organisasi regional yang berkedudukan di Thailand, menekankan pentingnya ketangguhan yang dicirikan oleh adanya pengetahuan tentang risiko, adanya rencana PRB dan kesiapsiagaan masyarakat, adanya dana masyarakat untuk melaksanakan kegiatan PRB, adanya sistem peringatan dini, dan adanya organisasi masyarakat yang dinamis. Ini semua perlu didukung dengan adanya tenaga terlatih untuk pengkajian risiko, pencarian dan penyelamatan (SAR), tenaga medis untuk pertolongan pertama, distribusi bantuan, para tukang untuk konstruksi yang lebih aman, dan petugas pemadam kebakaran. Selain itu, masyarakat yang tangguh juga perlu didukung oleh infrastruktur dan fasilitas seperti jalanjalan, listrik, telepon, dan klinik yang baik, serta hubungan dengan pemerintah lokal, LSM, dan lembaga terkait lainnya. Keberadaan rumah warga yang aman bencana serta sumbersumber penghidupan yang lebih aman juga mendukung ketangguhan masyarakat. Plan International memandang “ketangguhan” melalui lima aspek yakni tata kelola, pengkajian risiko, pengetahuan dan pendidikan, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, serta kesiapsiagaan dan tanggap bencana. Dalam aspek tata kelola, penting bila kelompok-kelompok rentan dan anggota masyarakat pada umumnya mempunyai akses pada kebijakan, regulasi, perencanaan, penganggaran dan pemantauan PRB, serta adanya kesadaran masyarakat akan hak-hak mereka dan adanya akses terhadap hukum atau saluran lain untuk menegakkan hak ini. Tata kelola perlu didukung dengan adanya pengkajian dan pemetaan risiko partisipatif yang diintegrasikan ke dalam perencanaan pembangunan. Masyarakat juga perlu memiliki kesadaran akan sistem peringatan dini, risiko dan strategi-strategi pengurangan risiko. Secara khusus masyarakat yang tangguh menerapkan manajemen risiko dan pengurangan kerentanan serta kesiapsiagaan dan tanggap bencana secara memadai dengan menggunakan sumber daya internal mereka. Practical Action, sebuah lembaga pembangunan internasional yang bekerja di lebih dari 40 negara berkembang dan berpusat di Inggris, mendefinisikan “ketangguhan” secara hampir serupa dengan ADPC. Ketangguhan menurut Practical Action meliputi adanya organisasi masyarakat yang mewakili mayoritas warga, adanya pengetahuan dan kesadaran akan risiko serta strategi pengurangan risiko, adanya rencana PRB dan kesiapsiagaan bencana yang didukung pemerintah, adanya sistem-sistem peringatan dini dan adanya warga yang terlatih dalam berbagai isu dan praktik PRB. Lembaga ini juga memandang penting adanya infrastruktur fisik dan hubungan dengan pemerintah lokal, LSM-LSM, serta lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan. Masyarakat yang tangguh juga memiliki rumah yang aman, sumber penghidupan yang lebih aman, dan akses terhadap sumber-sumber mitigasi, tanggap darurat dan kegiatan-kegiatan pemulihan.


Berbagai macam definisi dan konsep “ketangguhan” yang ada dapat membingungkan pengguna. Secara operasional, “ketangguhan” lebih mudah dipahami melalui karakteristiknya. Sebuah masyarakat yang tangguh setidaknya memiliki: (1) kapasitas untuk mengantisipasi ancaman, (2) kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan yang menghancurkan, dengan melawan atau beradaptasi, (3) kapasitas untuk mengelola, atau mempertahankan fungsi dan struktur-struktur dasar tertentu dalam situasi bencana, dan (4) kapasitas untuk memulihkan diri atau melenting balik setelah suatu kejadian bencana. Namun, patut dicatat bahwa “ketangguhan” umumnya dipandang sebagai sesuatu yang lebih luas daripada “kapasitas” karena memiliki makna yang lebih tinggi daripada sekedar perilaku, strategi dan langkah-langkah manajemen risiko tertentu yang biasa dipahami sebagai kapasitas. Fokus pada ketangguhan berarti memberi penekanan yang lebih besar pada peran masyarakat dalam mengurangi sendiri risiko yang mereka hadapi. Program peningkatan ketangguhan akan melihat cara-cara untuk memperkuat kapasitas masyarakat, alih-alih memusatkan perhatian pada kerentanan terhadap bencana atau kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam situasi darurat. Ketangguhan merupakan sesuatu yang kompleks dan mengandung banyak aspek. Dibutuhkan berbagai unsur ketangguhan yang berbeda untuk menangani beragam tekanan yang berbeda dengan tingkat intensitas yang berbeda-beda pula. Masyarakat yang tangguh adalah sesuatu yang lebih bersifat cita-cita, karena tidak ada masyarakat yang sepenuhnya aman dari ancaman alam dan non-alam. Suatu masyarakat yang tangguh terhadap bencana harus dipandang sebagai suatu masyarakat dengan tingkat keamanan tinggi mampu merancang dan membangun dalam lingkungan yang berisiko. Masyarakat seperti ini juga mampu meminimalkan kerentanannya sendiri dengan memaksimalkan penerapan langkah-langkah PRB. Namun, pada dasarnya keberadaan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya. Ketangguhan masyarakat dipengaruhi juga oleh kapasitas di luar masyarakat, terutama oleh layanan penanggulangan bencana, layanan sosial dan administratif, infrastruktur publik dan jaringan hubungan sosial-ekonomi dan politik dengan dunia yang lebih luas. Hampir semua masyarakat praktis tergantung pada penyedia layanan eksternal, oleh karena itu ketangguhan masyarakat sedikit banyak ditentukan juga oleh lingkungan luar yang mendukung. Berdasarkan kerangka-kerangka ketangguhan yang telah disusun oleh ADPC, Plan International dan Practical Action, Twigg (2007) menyusun ketangguhan dalam lima aspek dasar berikut unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Tata kelola ● Kebijakan, perencanaan, prioritas-prioritas dan komitmen politik ● Sistem-sistem hukum dan pengaturan ● Pemaduan ke dalam kebijakan-kebijakan dan perencanaan pembangunan

membangun bangsa yang tangguh

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

7


● Pemaduan ke dalam tanggap darurat dan pemulihan ● Mekanisme-mekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan; pembagian tanggung jawab ● Kemitraan ● Akuntabilitas dan partisipasi masyarakat 2. Pengkajian risiko

membangun bangsa yang tangguh

● Pengkajian dan data bahaya/risiko ● Pengkajian dan data kerentanan dan dampak ● Kapasitas ilmiah dan teknis serta inovasi

8

3. Pengetahuan dan pendidikan ● ● ● ● ●

Kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan publik Manajemen dan pertukaran informasi Pendidikan dan pelatihan Budaya, sikap, motivasi Pembelajaran dan penelitian

4. Manajemen risiko dan pengurangan kerentanan ● ● ● ● ● ● ●

Manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam Kesehatan dan kesejahteraan Penghidupan yang berkelanjutan Perlindungan sosial Perangkat-perangkat finansial Perlindungan fisik; langkah-langkah struktural dan teknis Sistem dan mekanisme perencanaan

5. Kesiapsiagaan dan tanggap bencana ● ● ● ● ● ●

Kapasitas kelembagaan dan koordinasi Sistem-sistem peringatan dini Perencanaan kesiapsiagaan dan kontinjensi Sumber-sumber daya dan infrastruktur kedaruratan Tanggap darurat dan pemulihan Partisipasi, kerelawanan, akuntabilitas

Dalam mewujudkan masyarakat yang tangguh, sebagai bagian dari perwujudan visi ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana, Indonesia perlu menggunakan kerangka lengkap seperti diusulkan Twigg di atas. Upaya peningkatan ketangguhan pertama-tama harus memperbaiki dimensi tata kelola yang menyangkut segi internal masyarakat sendiri maupun struktur di luar masyarakat, seperti kebijakan, peraturan perundangan, dan fasilitas serta infrastuktur yang dimiliki masyarakat. Setelah itu, sebagai langkah dasar dalam membangun ketangguhan, perlu dilakukan pengkajian


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

risiko dengan segala kelengkapannya. Pengetahuan dan kompetensi masyarakat juga perlu dikembangkan secara terus-menerus, agar dapat merespons dengan efektif tantangan ancaman bencana dan perubahan iklim yang kian meningkat. Selanjutnya keseluruhan manajemen risiko perlu diterapkan untuk membangun kesiapsiagaan terhadap bencana dan kapasitas tanggap bencana yang memadai.

Sebagai bagian dari upaya mewujudkan tujuan negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum, Pemerintah telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan pengurangan risiko bencana dan pengembangan ketangguhan. Terutama belakangan ini, sejalan dengan implementasi Kerangka Aksi Hyogo, beberapa kementerian dan lembaga menyelenggarakan program-program di tingkat masyarakat untuk mengurangi kerentanan masyarakat dan membangun ketangguhan. Program-program ini menggunakan pendekatan dan strategi yang beragam, serta masyarakat sasaran yang berbeda pula, walau tujuannya biasanya sama: memberdayakan warga masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana. Kementerian Kesehatan, misalkan saja, sejak tahun 2006 telah mengembangkan program “Desa Siaga Aktif”, untuk meningkatkan layanan kesehatan dan mempromosikan kesiapsiagaan dalam bidang kesehatan serta perilaku hidup sehat, yang akan menjangkau 80% desa di Indonesia pada tahun 2015. Sementara itu, Kementerian Sosial melaksanakan progam “Kampung Siaga Bencana” sejak tahun 2010, yang telah menjangkau 123 desa di 120 kabupaten/kota di 33 provinsi. Program ini memiliki 32.071 relawan dari seluruh Indonesia yang melatih masyarakat, membentuk kelompok siaga bencana dan membangun lumbung/pondok untuk koordinasi dan penyimpanan logistik. Sampai tahun 2014 Kementerian Sosial menargetkan untuk membantu 528 komunitas. Pembangunan program “Desa Pesisir Tangguh” dilakukan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan di desa-desa pesisir rawan tsunami dan terkena dampak perubahan iklim. Program yang akan menjangkau 6.640 desa pesisir ini mengangkat permasalahan pembangunan kapasitas manusia, pengembangan ekonomi lokal, restorasi lingkungan, pembangunan infrastruktur fisik dan kesiapsiagaan bencana. Sampai tahun 2012 telah ada 48 desa percontohan di 16 kabupaten/kota di 16 provinsi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sejak tahun 2012 mulai melaksanakan program “Desa Tangguh Bencana” yang bertujuan untuk membangun ketangguhan di tingkat desa melalui pengenalan analisis dan pemetaan risiko, persiapan rencana penanggulangan bencana dan rencana aksi PRB oleh masyarakat, sistem peringatan dini, pengembangan relawan dan pengembangan ketangguhan ekonomi. Program ini telah memiliki 40 desa percontohan di 20 provinsi yang pada umumnya terletak di daerah rawan tsunami.

membangun bangsa yang tangguh

1.3. Jalan Panjang Menuju Ketangguhan

9


membangun bangsa yang tangguh 10

Terkait dengan adaptasi perubahan iklim, Kementerian Lingkungan Hidup telah meluncurkan program “Kampung Iklim� sebagai salah satu upaya untuk meraih target 26% pengurangan gas rumah kaca pada tahun 2020. Program serupa juga dikembangkan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan yang bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat yang tinggal di daerah pesisir terhadap tantangan perubahan iklim dan membangun ketangguhan terhadap perubahan lingkungan. Melalui manajemen desa yang ramah lingkungan, masyarakat lokal akan dilibatkan dalam upaya-upaya untuk mengurangi risiko bencana terkait iklim melalui adaptasi dan mitigasi, yang diiringi dengan promosi penghidupan berkelanjutan dan kemandirian. Ditargetkan pada tahun 2020 Indonesia telah mengembangkan 100 Kampung Iklim. Sejak tahun 2006 Badan Ketahanan Pangan, yang merupakan instansi pendukung di Kementerian Pertanian, melaksanakan Kegiatan Desa Mandiri Pangan. Kegiatan ini merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat miskin dan rawan pangan di pedesaan untuk mencapai kemandirian pangan, dengan cara meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, peningkatan ketersediaan pangan, peningkatan daya beli dan akses pangan rumah tangga. Pada tahun 2012 desa yang dibina mencapai sejumlah 3.414 desa, yang tersebar di 410 kabupaten/kota di 33 provinsi. Dari jumlah tersebut, 563 desa berada dalam tahap persiapan, 838 desa dalam tahap penumbuhan, 829 desa dalam tahap pengembangan, 359 desa dalam tahap kemandirian, dan 825 desa dalam tahap mandiri. Beberapa LSM internasional maupun nasional juga mengembangkan program serupa. Lembaga usaha kini juga mempunyai program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan ketangguhan baik dalam aspek ekonomi ataupun lingkungan melalui program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Sejak tahun 2009 CSR PT. Sampoerna, misalkan saja, melaksanakan program kesiapsiagaan, mitigasi dan pemulihan pasca bencana di berbagai tempat di tanah air. Di Pasuruan dan Surabaya, PT. Sampoerna melaksanakan konservasi dan pengembangan kapasitas masyarakat di pesisir Timur Surabaya dan perkampungan dekat kawasan hutan Gunung Arjuno Pasuruan. Program reforestrasi hutan kritis di lereng gunung Arjuno mencakup penanaman pohon, pengurangan risiko kebakaran hutan, pembinaan petani sebagai kader pengawas hutan dan pengembangan konsep pengawasan hutan bersama. Masih banyak lagi pemangku kepentingan yang mengembangkan program-program ketangguhan di tingkat masyarakat, yang dapat dibaca dalam bab-bab selanjutnya dari buku ini. Jika diperhatikan sebagian besar program ketangguhan yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah, LSM dan lembaga usaha ini umumnya lebih menyasar pada aspek pemberdayaan masyarakatnya, terutama dari segi pengetahuan, kapasitas atau kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana, dan infrastruktur atau fasilitas setempat


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Hanya ada sedikit program yang menyasar aspek penghidupan atau mata pencaharian masyarakat sebagai bagian dari ketangguhan ekonomi lokal. Yang masih sangat kurang adalah program yang meningkatkan atau memperbaiki lingkungan pendukung di luar masyarakat yang berpengaruh terhadap ketangguhan, seperti misalkan adanya kebijakan pemerintah daerah yang mendukung perencanaan spasial yang peka risiko, regulasi daerah yang mencegah pembangunan berisiko, rencana pembangunan daerah yang menumbuhkan ekonomi lokal yang berkelanjutan, dan aspek-aspek lainnya yang mendukung ketangguhan masyarakat. Lepas dari kelebihan dan kekurangannya, bagaimanapun juga, para pemangku kepentingan telah memulai upaya peningkatan ketangguhan masyarakat, dan ini patut diperkuat dengan kerjasama, koordinasi dan saling melengkapi antar program.

membangun bangsa yang tangguh

yang mendukung ketangguhan.

11


12

Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


program pemberdayaan masyarakat

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

1133

BAB 2

Program Pemberdayaan Masyarakat


BAB 2

Program Pemberdayaan Masyarakat

program pemberdayaan masyarakat

2.1. Program Pemerintah Pada masa pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu II periode 2009 – 2014, terdapat 32 kementerian/lembaga negara dan tiga kementerian koordinasi6 yang menjadi bagian dari pemerintah untuk menjalankan seluruh kebijakan dan programnya bagi warga negara Indonesia. Di antara kementerian/lembaga tersebut, setidaknya ada lebih dari 10 instansi yang memiliki program langsung pemberdayaan masyarakat di tingkat desa/kelurahan. Program-program tersebut dilaksanakan oleh masing-masing instansi sesuai dengan kebijakan, tugas, dan fungsinya. Terkait dengan pembangunan ketangguhan masyarakat, banyak program pemerintah yang memiliki tujuan yang sama. Beberapa contoh program di bawah ini akan memberikan gambaran lebih jelas tentang upaya pemerintah dalam memberdayakan masyarakat.

14

2.1.1. Desa/Kelurahan Siaga Aktif oleh Kementerian Kesehatan Pada Tahun 2006, Kementerian Kesehatan mulai melaksanakan sebuah program pengembangan kemandirian masyarakat dalam bidang kesehatan dengan sasaran semua desa di Indonesia. Pada tahun 2009, Program Desa Siaga telah dilaksanakan di 42.295 desa atau 56,1% dari seluruh jumlah desa yang ada di Indonesia. Pada tahun 2010, program Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif diluncurkan sebagai tindak lanjut dari Program Desa Siaga untuk mencapai target 80 persen jumlah desa siaga pada tahun 2015.7 Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif memiliki tiga komponen dasar, yaitu (1) pelayanan kesehatan dasar; (2) Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan UKBM dan mendorong upaya survailans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan; dan (3) Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).8 Dasar Hukum Pelaksanaan program Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif berdasarkan peraturan sebagai berikut: http://www.presidenri.go.id/index.php/statik/kabinet.html Kementerian Kesehatan, 2010, Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (versi online), hal.3 8 Kementerian Kesehatan, 2011, Desa dan Kelurahan Siaga Aktif – Suplemen 2 (versi online), hal. 2. 6 7


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1529/MENKES/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif

Secara umum, program Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif ditujukan untuk mempercepat terwujudnya masyarakat desa dan kelurahan yang peduli, tanggap, dan mampu mengenali, mencegah serta mengatasi permasalahan kesehatan yang dihadapi secara mandiri, sehingga derajat kesehatannya meningkat.9 Selain tujuan umum tersebut, tujuan khusus dari program Desa dan Kelurahan Siaga Aktif adalah sebagai berikut10: a. Mengembangkan kebijakan pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif di setiap tingkat Pemerintahan. b. Meningkatkan komitmen dan kerjasama semua pemangku kepentingan pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, desa dan kelurahan untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. c. Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar di desa dan kelurahan. d. Mengembangkan UKBM yang dapat melaksanakan survailans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu, pertumbuhan anak, lingkungan, dan perilaku), penanggulangan bencana dan kedaruratan kesehatan, serta penyehatan lingkungan. e. Meningkatkan ketersediaan sumber daya manusia, dana, maupun sumber daya lain, yang berasal dari pemerintah, masyarakat dan swasta/dunia usaha untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. f. Meningkatkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga di desa atau kelurahan.

Kementerian Kesehatan, 2010, Op. Cit, hal. 5 Kementerian Kesehatan, 2010, Loc.Cit.

9

10

program pemberdayaan masyarakat

Tujuan

15


program pemberdayaan masyarakat 16

Kegiatan program Desa Siaga yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan: Posyandu dan kerja bakti Indikator Keberhasilan Program Desa dan Kelurahan Siaga memiliki sejumlah indikator yang terealisasi pada lima tingkat administratif pemerintahan, yaitu pusat, provinsi, kabupaten/ kota, kecamatan, dan desa/kelurahan. Pada tingkat desa dan kelurahan, keberhasilan program didasarkan pada realisasi indikator-indikator sebagai berikut:11 a. Keberadaan dan keaktifan Forum Desa dan Kelurahan. b. Adanya Kader Pemberdayaan Masyarakat/Kader Kesehatan dan Kelurahan Siaga Aktif. c. Kemudahan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dasar atau memberikan pelayanan setiap hari . d. Keberadaan UKBM yang dapat melaksanakan penanggulangan bencana dan kegawatdaruratan kesehatan, survailans berbasis masyarakat serta penyehatan lingkungan. e. Adanya pendanaan untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) atau Anggaran Kelurahan, masyarakat dan dunia usaha. f. Adanya peran serta aktif masyarakat dan organisasi kemasyarakatan dalam kegiatan kesehatan di Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. g. Adanya peraturan di desa atau kelurahan yang melandasi dan mengatur tentang pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. h. Adanya pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) di Rumah Tangga. Kementerian Kesehatan, 2010, Op. Cit., hal. 39-40.

11


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

2.1.2. Kampung Siaga Bencana oleh Kementerian Sosial

Hal mendasar yang ingin dicapai melalui program ini adalah membentuk kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Untuk mewujudkan hal tersebut terdapat tiga hal pokok yang harus disampaikan kepada masyarakat. Pertama adalah pengetahuan kebencanaan di Indonesia secara umum dan secara khusus tentang kebencanaan di daerahnya. Kedua, keterampilan/skill penanggulangan bencana khususnya pada pertolongan pertama, dapur umum dan logistik. Ketiga, masyarakat mampu mengalisis tentang bencana dan sumber-sumber yang dapat dipergunakan untuk penanggulangan bencana. Akumulasi dari tiga hal tersebut dirangkum dalam bentuk Direktori Penanggulangan Bencana yang dibuat oleh masyarakat itu sendiri. Dasar Hukum Pelaksanaan Program Kampung Siaga Bencana didasarkan pada: 1. Peraturan Menteri Sosial RI No. 128 Tahun 2011 tentang Kampung Siaga Bencana (KSB); dan 2. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial No. 193/LJS/X/2011 tentang Petunjuk Teknis Kampung Siaga Bencana. Tujuan Tujuan utama program KSB adalah pengurangan risiko bencana yang berbasis masyarakat, dengan cara menyiapkan sumber daya terlatih di daerah rawan bencana. Sedangkan tujuan khususnya adalah:12 a. Memberikan pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan risiko bencana; b. Membentuk jejaring masyarakat siaga bencana berbasis masyarakat di seluruh Indonesia; c. Mengorganisir potensi masyarakat terlatih dalam penanggulangan bencana; d. Memberikan kepastian bahwa penangulangan bencana berbasis masyarakat dapat berjalan berkesinambungan mulai dari sebelum, pada saat dan sesudah bencana; Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana alam, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial, 2011, Petunjuk Teknis Kampung Siaga Bencana (KSB), hal. 10-11

12

program pemberdayaan masyarakat

Program Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan program unggulan Kementerian Sosial untuk melindungi masyarakat (warga negara) dari ancaman dan risiko bencana yang dapat terjadi di Indonesia. Program KSB muncul dari perubahan cara pandang tentang penanggulangan bencana, dari semula bersifat fatalistik (tanggap darurat) menjadi preventif (kesiapsiagaan). Dalam program ini masyarakat dianggap sebagai pelaku utama (actor) dan terdepan dalam penanggulangan bencana.

17


e. Memperkuat solidaritas antar anggota masyarakat;

program pemberdayaan masyarakat

f. Mengoptimalkan potensi dan sumber daya masyarakat dalam penanggulangan bencana.

18

Simulasi tanggap darurat yang dilaksanakan dalam program Kampung Siaga Bencana dari Kementerian Sosial. Indikator Keberhasilan Program Sebuah Kampung Siaga Bencana memiliki setidaknya unsur-unsur berikut, yang sekaligus menjadi dasar penilaian akan keberhasilan program:13 1. Gardu Sosial

Gardu Sosial merupakan sekretariat bagi Tim KSB. Sebagai sebuah sekretariat maka didalamnya dilengkapi dengan Direktori PB seperti Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanggulangan Bencana, Peta Kawasan dan Daftar Potensi dan Sumber yang dapat dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana.

2. Lumbung Sosial Penanggulangan Bencana

Lumbung Sosial merupakan tempat penyimpanan barang-barang penanggulangan bencana. Sebagai daerah rawan bencana, Tim KSB memiliki tempat penyimpanan barang-barang penanggulangan bencana seperti tenda, bahan makanan, alat evakuasi sederhana dll.

3. Tenaga Terlatih dalam Penanggulangan Bencana Tenaga Terlatih yang tergabung dalam Tim KSB memperoleh pengesahan dari Pemerintah Daerah setempat. Tim KSB ini berjumlah antara 30 – 50 orang. 4. Data-data yang ada dalam Direktori selalu diperbaharui sesuai dengan dinamika kondisi lingkungan setempat. Ibid., hal. 35-36.

13


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Lokasi Sejak tahun 2010, Program KSB telah dilaksanakan di 123 desa/kelurahan, yang tersebar di 120 kabupaten/kota pada 33 provinsi dengan menggunakan anggaran dari Kementerian Sosial. Namun disamping menggunakan anggaran pusat, beberapa daerah provinsi secara mandiri membentuk KSB dengan sumber dana anggaran daerah seperti Provinsi Jawa Barat, DIY, Jawa Timur, dan Sumatera Selatan.

Tingkat kerentanan desa pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap bencana dan perubahan iklim dinilai sangat tinggi. Situasi ini sekurang-kurangnya diakibatkan oleh empat faktor utama, yaitu: tingginya angka kemiskinan, tingginya tingkat kerusakan sumber daya alam, lemahnya kemandirian organisasi sosial desa dan lunturnya nilai-nilai budaya setempat, serta minim/lemahnya kualitas infrastruktur dan kesehatan lingkungan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut dan sekaligus membangun ketangguhan masyarakat desa pesisir dan pulau-pulau kecil, Kementerian Kelautan dan Perikanan melaksanakan program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT), yang juga merupakan bagian integral dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri KP).14 Dasar Hukum Inisiasi dan pelaksanaan program Desa Pesisir Tangguh didasarkan pada kebijakan berikut: 1. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.07/MEN/2012 tentang Pedoman pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2012 2. Peraturan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil Nomor PER.04/ KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Pengembangan Desa Pesisir Tangguh Tahun 2012. Tujuan Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) dilaksanakan dengan tujuan sebagai berikut:15 1. Meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat terhadap bencana dan perubahan iklim di desa pesisir dan pulau-pulau kecil; Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2012, Pedoman Teknis Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT), hal. 1. 15 Ibid., hal. 2. 14

program pemberdayaan masyarakat

2.1.3. Desa Pesisir Tangguh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan

19


program pemberdayaan masyarakat 20

Sebelum dan setelah pelaksanaan Program Desa Pesisir Tangguh oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2. Meningkatkan kualitas lingkungan hidup di desa pesisir dan pulau-pulau kecil; 3. Meningkatkan kapasitas kelembagaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif di desa pesisir dan pulau-pulau kecil; dan 4. Memfasilitasi kegiatan pembangunan dan/atau pengembangan sarana dan/atau prasarana sosial di desa pesisir dan pulau-pulau kecil. Indikator Keberhasilan program PDPT diukur dari tercapainya hasil, yaitu meningkatnya ketangguhan 48 desa pesisir di 16 kabupaten/kota, yang mensyaratkan adanya unsurunsur sebagai berikut:16 1. Tersedianya dokumen rencana pengembangan desa 2. Terlaksananya fasilitas peningkatan kapasitas masyarakat 3. Terlaksananya kegiatan sosialisasi program PDPT Ibid., hal. 2.

16


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

4. Terlaksananya kegiatan lokakarya program PDPT 5. Tersalurnya Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ke Kelompok Masyarakat Pesisir (KMP) 6. Terbangunnya sarana dan/atau prasarana sosial, ekonomi, dan/atau lingkungan Lokasi

2.1.4. Kampung Iklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup Program Kampung Iklim (Proklim) adalah sebuah program yang dilaksanakan untuk mendorong masyarakat melakukan peningkatan kapasitas adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan penurunan emisi gas rumah kaca. Program ini dikelola oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Untuk mendorong inisiatif masyarakat, Proklim dilaksanakan dalam format lomba. Pilihan ini diambil karena Proklim juga dimaksudkan untuk memberikan penghargaan terhadap upaya-upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah dilaksanakan di tingkat lokal sesuai dengan kondisi wilayah. Proklim memiliki prosedur tertentu yang dapat diikuti oleh masyarakat/ kampung yang melaksanakan program ini, dan prosedur penilaian/verifikasi atas pelaksanaannya. Dasar Hukum Landasan hukum pelaksanaan Program Kampung Iklim adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim. Tujuan Program Kampung Iklim memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.18 Tujuan umum program ini adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan pemahaman akan perubahan iklim dan dampaknya, dengan demikian semua pihak terdorong untuk melakukan tindakan nyata dalam memperkuat ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim serta memberikan andil dalam upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). 2. Menumbuhkan kemandirian masyarakat dalam melaksanakan adaptasi perubahan iklim, termasuk menjaga nilai-nilai kearifan tradisional atau lokal yang dapat Ibid., hal 2. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim - Lampiran I: Pedoman Umum Program Kampung Iklim (versi online), hal. 2-3.

17 18

program pemberdayaan masyarakat

Pada tahun 2012, Program PDPT dilaksanakan di 48 desa/kelurahan yang tersebar di 16 kabupaten/kota di 16 provinsi.17

21


mendukung upaya penanganan perubahan iklim dan pengendalian kerusakan lingkungan secara umum. 3. Menjembatani kebutuhan masyarakat dan pihak-pihak yang dapat memberikan dukungan untuk pelaksanaan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

program pemberdayaan masyarakat

4. Meningkatkan kerjasama seluruh pihak di tingkat nasional dan daerah dalam memperkuat kapasitas masyarakat untuk melaksanakan upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

22

5. Menumbuhkan gerakan nasional adaptasi dan mitigasi perubahan iklim melalui pelaksanaan kegiatan berbasis masyarakat yang bersifat aplikatif, adaptif dan berkelanjutan. 6. Mengoptimalkan potensi pengembangan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang dapat memberikan manfaat terhadap aspek ekologi, ekonomi dan pengurangan bencana iklim. 7. Mendukung program nasional yang dapat memperkuat upaya penanganan perubahan iklim secara global seperti gerakan ketahanan pangan, ketahanan energi, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pencapaian target penurunan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Sedangkan tujuan khusus Program Kampung Iklim ialah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim serta potensi pengembangannya di tingkat lokal. 2. Memberikan pengakuan terhadap aksi lokal yang telah dilakukan masyarakat untuk mendukung upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 3. Mendorong penyebarluasan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim yang telah berhasil dilaksanakan pada lokasi tertentu untuk dapat diterapkan di daerah lain sesuai dengan kondisi wilayah dan kebutuhan masyarakat setempat. Indikator Keberhasilan Keberhasilan pelaksanaan Proklim diukur dengan tiga kriteria umum dan sejumlah kriteria khusus yang tercakup dalam setiap kriteria umum tersebut. Ketiga kriteria umum tersebut adalah:19 1. Pelaksanaan aksi lokal adaptasi yang dapat meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim. 2. Pelaksanaan aksi lokal mitigasi yang dapat berkontribusi pada upaya pengurangan emisi Gas Rumah Kaca. 3. Pembentukan kelompok masyarakat dan/atau keberadaaan tokoh di tingkat lokal Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim – Lampiran II: Pedoman Penilaian Program Kampung Iklim (versi online), hal. 1.

19


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

yang menjadi penggerak kegiatan serta berbagai aspek pendukung yang dapat menjamin keberlanjutkan pelaksanaan dan pengembangan kegiatan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. 2.1.5. Desa Mandiri Pangan oleh Kementerian Pertanian

Dasar Hukum

program pemberdayaan masyarakat

Sejak tahun 2006, Badan Ketahanan Pangan, yang merupakan aparatus pendukung pada Kementerian Pertanian, melaksanakan Kegiatan Desa Mandiri Pangan (Demapan). Kegiatan ini merupakan upaya untuk memberdayakan masyarakat miskin dan rawan pangan di pedesaan untuk mencapai kemandirian pangan, dengan cara meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam pengembangan usaha produktif berbasis sumber daya lokal, peningkatan ketersediaan pangan, peningkatan daya beli dan akses pangan rumah tangga. Program Desa Mandiri Pangan adalah perwujudan dari strategi ganda (double-track strategy) yang diterapkan Kementerian pertanian dalam pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan di pedesaan. Strategi ini terdiri dari (1) membangun ekonomi berbasis pertanian dan perdesaan untuk menyediakan lapangan kerja dan pendapatan; dan (2) memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin di daerah rawan pangan melalui pemberdayaan dan pemberian bantuan langsung.20

Program Demapan dilaksanakan atas dasar peraturan berikut:

23

1. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 15/Permentan/RC.110/1/ 2010 tentang Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014 2. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/OT.140/3/2012 Tentang Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun Anggaran 2012. Tujuan Adapun tujuan kegiatan Demapan adalah pemberdayaan masyarakat miskin perdesaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki atau dikuasainya secara optimal untuk mencapai kemandirian pangan rumah tangga dan masyarakat.21 Indikator Perwujudan kemandirian pangan masyarakat miskin di desa rawan pangan dinilai berhasil bila program tersebut dapat merealisasikan hal-hal berikut:22 Kementerian Pertanian, 2012, Pedoman Umum Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012 (versi online), hal. 1. 21 Kementerian Pertanian, 2012, Ibid., hal. 4. 22 Kementerian Pertanian, 2012, Loc. Cit. 20


1. Keluaran langsung Program a. Terbentuknya kelompok-kelompok afinitas; b. Terbentuknya Lembaga Keuangan Desa (LKD); c. Tersalurnya dana Bansos untuk usaha produktif; 2. Hasil Program a. Terbentuknya kelompok usaha produktif; program pemberdayaan masyarakat

b. Berperannya lembaga permodalan;

24

c. Meningkatnya usaha produktif; 3. Manfaat Program

Meningkatnya pendapatan, daya beli, dan akses pangan masyarakat

4. Dampak Program

Terwujudnya ketahanan pangan dan gizi masyarakat

Lokasi Pada tahun 2012, jumlah desa yang dibina adalah 3.414 desa, yang tersebar di 410 kabupaten/kota di 33 provinsi. Dari jumlah keseluruhan tersebut, 563 desa dalam tahap persiapan, 838 desa dalam tahap penumbuhan, 829 desa dalam tahap pengembangan, 359 desa dalam tahap kemandirian, dan 825 desa dalam tahap mandiri.23 2.1.6. Pembangunan Desa Mandiri Energi (DME) Berbasis Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) dan PLT Hybrid (Surya-Angin) oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Gambaran Umum Dalam beberapa tahun mendatang, permintaan energi nasional masih akan terus tumbuh dengan pesat, seiring dengan membaiknya kondisi ekonomi dan terus bertambahnya jumlah penduduk. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut, diperlukan pasokan energi primer yang cukup besar. Sementara itu, minyak bumi yang selama ini menjadi andalan bagi penyediaan energi nasional, ketersediaannya semakin terbatas sehingga tidak dapat diandalkan lagi menjadi sumber energi utama. Untuk itu upaya diversifikasi energi yaitu menganekaragamkan pemakaian energi harus dipercepat, di antaranya adalah dengan jalan meningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan seperti tenaga surya, biomassa, angin, energi air skala kecil (mikrohidro) dan panas bumi. Salah satu jenis energi terbarukan yang mempunyai prospek untuk dikembangkan adalah tenaga air skala kecil. Kementerian Pertanian, 2012, Pedoman Umum Desa Mandiri Pangan TA. 2012, hal. 1.

23


Peluang pemanfaatan mikrohidro dan pikohidro cukup besar, karena sampai dengan saat ini diperkirakan potensi mikrohidro yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 15% dari total potensi yang ada. Selain itu, masih banyaknya desa-desa yang belum terjangkau oleh listrik PLN merupakan peluang pemanfaatan mikrohidro, pikohidro, surya dan angin. Saat ini masih ada sekitar 13.000 desa yang belum mempunyai akses terhadap listrik. Dan karena kondisi geografis Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau yang kecil dan banyak Rumah Pembangkit PLTMH dan yang terpencil, diperkirakan sekitar 6.200 desa Lampu Menyala menggunakan tidak mungkin atau sangat sulit dialiri listrik Listrik Dari PLTMH dengan cara perluasan jaringan sistem PLN. Satu-satunya alternatif untuk memberikan akses aliran listrik bagi desa semacam ini adalah dengan memanfaatkan potensi energi setempat yang ada; diantaranya adalah mikrohidro dan pikohidro. Potensi energi air skala kecil di Indonesia cukup besar dan telah sejak lama dikembangkan, akan tetapi sampai saat ini belum menunjukkan perannya yang berarti bagi penyediaan energi nasional. Hal ini dikarenakan banyaknya kendala dan tantangan yang dihadapi. Hal utama yang perlu mendapat perhatian adalah aspek perekonomian dan kelembagaan. Pada umumnya potensi mikrohidro terdapat di daerah perdesaan yang letaknya jauh dari pusat dan medan yang relatif sulit, sehingga pembangunannya memerlukan biaya investasi yang cukup tinggi yang diperkirakan berkisar antara Rp. 7,5 juta – 15 juta per kW. Sebagai akibat dari tingginya biaya investasi dan secara finansial kurang layak, lembaga pendanaan, khususnya dunia perbankan, kurang tertarik untuk memberikan pinjaman bagi investor yang akan menanamkan modalnya untuk pembangunan mikrohidro. Selain itu, pada umumnya pendapatan yang diperoleh oleh lembaga pengelola tidak sebanding dengan biaya pengeluaran sehingga kelanjutan usaha terganggu. Berdasarkan pengalaman, kendala lain yang dihadapi dalam pembangunan PLTMH adalah masalah kelembagaan. Hal ini disebabkan karena pada umumnya lembaga pengelola PLTMH dibentuk tanpa atau kurang melibatkan peran serta masyarakat, sehingga pengelolaannya kurang efektif. Selain itu, kemampuan operator PLTMH masih kurang sehingga apabila terjadi kerusakan pada peralatan elektrikal atau mekanikal mereka tidak dapat memperbaikinya. Energi air skala kecil mempunyai kontribusi yang sangat penting untuk memacu perkembangan ekonomi, terutama dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat

program pemberdayaan masyarakat

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

25


dan penyediaan lapangan kerja. Pemanfaatan energi air skala kecil dapat digunakan untuk proses industri makanan dan industri kecil lainnya. Oleh karena itu, Pemerintah mempunyai perhatian yang cukup serius untuk mengembangkan energi air skala kecil sebagai salah satu alternatif untuk penyediaan energi.

program pemberdayaan masyarakat

Tujuan Program

26

Tujuan program pembangunan desa mandiri energi adalah tersedianya energi bagi masyarakat dengan memanfaatkan potensi energi air skala kecil/mikrohidro, pikohidro, pemanfaatan energi angin, dan surya untuk meningkatkan aksesibilitas energi di perdesaan terutama bagi mereka yang tinggal jauh dari jaringan listrik PLN (isolated). Hal ini sesuai dengan kebijakan pemerintah pada Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi dan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan energi Nasional. Hasil Program Dari pembangunan Desa Mandiri Energi Berbasis Non Bahan Bakar Nabati (BBN) yang telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal EBTKE menghasilkan kapasitas total daya terbangkit sebesar 210,13 KW dari PLTMH yang tersebar di 8 Provinsi. Hasil tersebut merupakan kegiatan pada tahun anggaran 2011. Sedangkan pada tahun 2012, program ini mengalami gagal lelang sehingga tidak dapat meningkatkan kapasitas terpasang. Dengan adanya listrik dari tenaga air skala kecil tersebut dapat juga mengkonversi penggunaan BBM ke energi terbarukan untuk mengurangi konsumsi BBM saat ini. Selain pembangunan PLTMH, Direktorat Jenderal EBTKE juga melaksanakan pemasangan kegiatan peralatan produktif pada Tahun Anggaran 2011 dan 2012. Diharapkan dengan kegiatan pemasangan peralatan produktif yang energinya diambil dari PLTMH ini dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat. Lokasi Program PLTMH Program PLTMH sudah dilaksanakan di 9 desa yang berada di 8 Provinsi. Sedangkan pemberian peralatan produktif sebagai dukungan pemanfaatan PLTMH untuk pengembangan ekonomi masyarakat sudah dilaksanakan di 16 desa yang berada di 13 Provinsi.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Cerita Sukses: Air Terangi Desa Kami

Berbarengan dengan perubahan kebiasaan para ibu itu, adzan pun menjadi lebih tetap terdengar berkumandang dari pengeras suara di Masjid Jami Al-Ikhlas. Tiga tahun lalu suara azan kerap “menghilang” ketika aki sebagai sumber energi listrik habis dan dibawa ke kota kecamatan berjarak 5 km untuk diisi ulang. Harap maklum sebelum tahun 2007 dusun di ketinggian 1.100 m dpl itu tidak dialiri listrik. Ketika itu aki menjadi satu-satunya sumber listrik andalan dusun yang berjarak 80 km dari ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung. Sumber listrik kecil itu dipakai untuk menerangi fasilitas-fasilitas umum seperti masjid dan sekolah dasar satu-satunya yang ada di sana. Sementara penduduk mengandalkan lampu patromaks dan cempor untuk menerangi rumah. Tak ada penerangan jalan. Suasana di waktu malam praktis gelap gulita. Kondisi berubah ketika Pemerintah Provinsi Jawa Barat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). “Potensi air di sana melimpah. Volume dan debit air konstan tinggi sehingga cocok untuk dimanfaatkan sebagai PLTMH,” tutur Yudhi Satriadi dari Asosiasi Hidro Bandung (AHB). Gunung Halu yang topografinya berbukitbukit memang dianugerahi sungai-sungai yang mengalirkan air dengan deras. Syarat debit air yang dibutuhkan untuk mengoperasikan PLTMH minimal 250 l/detik. Pada tahun 2007 dimulai pembangunan PLTMH selama 3 bulan. Seluruh komponen PLTMH dan kelengkapan infrastruktur untuk mengalirkan listrik ke rumah-rumah penduduk dibangun dengan dana dari Anggaran Belanja dan Pendapatan Daerah (APBD) 2007 Provinsi Jawa Barat. Memasuki pengujung 2007 PLMTH Rimba Lestari— demikian namanya— diresmikan. Dari 400 l per detik air yang masuk, PLTMH itu mampu membangkitkan energi listrik sebesar 18 kW. Listrik itu dimanfaatkan untuk menghidupkan lampu-lampu di 65 rumah warga, fasilitas umum terdiri dari 1 masjid, 2 mushola, dan 1 sekolah dasar, serta jalan desa dan jalan-jalan setapak di dusun yang bisa diakses dari Bandung dan Jakarta melalui Cimareme-Batujajar-CililinSindangkerta itu. Setelah listrik hadir memang banyak yang berubah di sana. “Dulu, di dusun ini yang punya televisi paling hanya tiga orang. Itu pun televisi hitam-putih. Sekarang setiap rumah memilikinya,” kata Toto. Antena parabola mudah ditemui di halaman depan rumah penduduk supaya empunya bisa menangkap saluran televisi lebih jelas.

program pemberdayaan masyarakat

Setrika “berbahan bakar” arang panas dengan patung ayam kecil di bagian mukanya itu tinggal kenangan di Dusun Tangsi Jaya, Desa Gunung Halu, Kecamatan Gunung Halu, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Tak terlihat lagi para ibu membakar arang di dalam setrika ayam itu, mengipasinya hingga membara, lalu menggunakan setrika untuk melicinkan pakaian. Kini mereka tinggal mengambil setrika listrik dari almari penyimpanan, memasukkan steker ke dalam stop kontak, dan siaplah setrika itu dipakai.

27


program pemberdayaan masyarakat

Penanak nasi listrik yang dulu tak pernah terbayang akan dimiliki kini menjadi perabot dapur yang lumrah. Embusan angin dari kipas angin pun lazim dipakai mendinginkan suasana rumah ketika panas terik di luar. Warga kian mudah berkomunikasi dengan penduduk di luar dusun. Sebab, telpon genggam yang butuh energi listrik untuk mengisi ulang baterai kini lazim dimiliki.

28

Berkat PLTMH, anak-anak sekolah bisa belajar di rumah dengan lebih nyaman karena ada penerangan dari lampu pijar dan neon. “Sekarang jumlah anak-anak yang bersekolah hingga ke SMP dan SMA—yang harus ditempuh dengan berjalan kaki ke kota kecamatan berjarak sekitar 5 km—lebih banyak,” kata Opan Sopandi, ketua Pengurus Pengelola PLTMH Gunung Halu. (Cerita sukses diambil dari “Success Story Pemanfaatan Energi Terbarukan Indonesia, KESDM, 2010) 2.2. Program Lembaga Internasional/Nasional Organisasi internasional yang bekerja di Indonesia dan juga organisasi nasional telah melakukan beberapa upaya untuk membangun ketangguhan masyarakat. Banyak program-program pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat yang sudah dilakukan, khususnya di desa/kelurahan rawan bencana, baik yang sudah pernah mengalami bencana maupun yang memiliki potensi ancaman tinggi. Beberapa program tersebut juga sebagian digabungkan dengan program pemberdayaan yang lain, seperti pengembangan ekonomi masyarakat, kesehatan, pendidikan dan lainlain yang juga mendukung pada pencapaian indikator ketangguhan masyarakat. Beberapa contoh program tersebut ialah: 2.2.1.

Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) 24 Oleh United Nations Development Programme (UNDP) dan Pemerintah Indonesia

Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) merupakan kerjasama antara Bappenas, Bakornas (yang kemudian menjadi BNPB), dan Kementerian Dalam Negeri. SC-DRR dirancang untuk mendorong agar pengurangan risiko bencana menjadi bagian dari proses pembangunan yang menjadi fungsi utama pemerintah dan mitranya pada semua tingkatan, khususnya pada masyarakat lokal dimana tindakan yang paling efektif bisa dilakukan untuk mengurangi kerentanan fisik, ekonomi, dan sosial terhadap bencana.25 Program ini didukung antara lain oleh DFID (Pemerintah Inggris) dan AusAID (Pemerintah Australia). Selain Program SCDRR, UNDP juga menjalankan proyek rintisan PRBBK di 10 gampong (desa) di 10 Kabupaten di Provinsi Aceh. Proyek rintisan PRBBK ini di bawah program Disaster Risk Reduction for Aceh (DRR-A). Program ini memiliki output yang hampir sama, dengan tambahan penekanan pada aspek sensitif gender. 25 Project Summary: Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) in Development, 2007. 24


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Tujuan Program Memastikan bahwa budaya aman menjadi norma di Indonesia, baik dalam pemerintah dan masyarakat yang rentan terhadap bencana.26

Dengan diterbitkannya UU No. 24 tahun 2007, lalu diikuti pembentukan BNPB sebagai pemegang mandat pengelolaan bencana di Indonesia, dan PRB menjadi salah satu prioritas pembangunan di bawah prioritas “Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Bencana”, maka perubahan ini merepresentasikan suatu perubahan paradigma di dalam pengelolaan bencana, dari “Tanggap Darurat menuju Figure 1 Masyarakat dampingan SC- Pengurangan Risiko Bencana”. Program DRR berdiskusi dalam penyusunan SC-DRR dirancang untuk membantu proses perubahan paradigma tersebut Rencana Aksi Komunitas (RAK) di Desa Lidi, Kec. Palue, Kab. Sikka, NTT dengan mengarusutamakan PRB ke dalam proses pembangunan. Untuk mewujudkan hal itu, maka upaya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan mutlak harus dijalankan. Upaya ini ditempuh melalui empat sasaran berikut yang juga menjadi output dari SC-DRR: 1. Diberlakukannya kebijakan, peraturan, dan kerangka kerja regulasi pengurangan risiko bencana; 2. Diperkuatnya kelembagaan pengurangan risiko bencana dan kemitraan di antara mereka. Sistem kelembagaan yang mendukung desentralisasi pengurangan risiko bencana dan diintegrasikan dengan pembangunan daerah; 3. Masyarakat dan pengambil kebijakan lebih memahami tentang risiko bencana dan tindakan yang dapat diambil untuk mengurangi risiko tersebut; 4. Proses, metodologi, panduan, dan perangkat pengurangan risiko bencana sudah didemonstrasikan, dikembangkan, dan dilaksanakan di daerah dan masyarakat yang kemudian didokumentasikan dan dijadikan masukan untuk kerangka kebijakan.

Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) in Development: Project Evaluation, 2011, hal 7.

26

program pemberdayaan masyarakat

Capaian Program

29


Proyek Rintisan dan Lokasi

program pemberdayaan masyarakat

1. Proyek Rintisan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK)

30

Proyek rintisan PRBBK ini dilaksanakan di 34 desa/kelurahan yang tersebar di 6 Provinsi, yaitu Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Timur. Proyek rintisan PRBBK ini dilakukan di daerah dengan ancaman bencana spesifik (banjir, longsor, kekeringan, tsunami, gempa bumi, dan gunung berapi) dan dilaksanakan di wilayah perkotaan, perdesaan, pesisir, dan pulau-pulau kecil. Tujuan jangka panjang penyelenggaraan proyek rintisan PRBBK ini adalah terwujudnya masyarakat di lokasi pilot project yang lebih aman yang memiliki budaya keselamatan (the culture of safety). Untuk mencapai tujuan jangka panjang tersebut, maka dalam jangka pendek proyek rintisan ini ditujukan untuk mendukung pemerintah daerah dan masyarakat di lokasi proyek rintisan mendemonstrasikan proses-proses dan tahapan-tahapan pengembangan desa tangguh sebagai sebuah upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas dan pengintegrasiannya ke dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di daerah. 2. Proyek rintisan Pengurangan Risiko Bencana dalam Penghidupan Berkelanjutan (PPRB-PB)

Proyek rintisan PRB-PB ini dilaksanakan di 2 provinsi, yaitu Provinsi Sumatera Barat yang tersebar di 2 jorong di Kabupaten Pasaman Barat dan 2 jorong di Kabupaten Agam, dan di Provinsi D.I. Yogyakarta yang tersebar di 2 desa di Kabupaten Gunungkidul, 2 desa di Kabupaten Kulonprogo, dan 2 desa di Kabupaten Bantul.

Tujuan proyek rintisan PPRB-PB (Livelihood-DRR) ini adalah untuk melakukan pengembangan ekonomi lokal berkelanjutan dengan membangun tingkat kepedulian pemerintah dan kemampuan masyarakat terhadap risiko bencana. Kegiatan ini akan mendorong program pemerintah atau membantu mendorong inisiatif baru dalam pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam program pengembangan ekonomi berkelanjutan. Pemerintah daerah sebagai salah satu stakeholder pelaku dalam program ini akan memastikan bahwa kegiatan ini sudah memasukan unsur pengurangan risiko bencana di dalamnya. Adapun tujuan lainnya adalah; (1) Dapat mengurangi tingkat kerentanan masyarakat dan secara simultan dapat memperkuat ketahanan pelaku usaha dalam menghadapi bencana alam; (2) Dapat mengisi kekurangan dari intervensi sektor penghidupan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak yang teridentifikasi melalui perencanaan dan pengimplementasian yang terkonsolidasi.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Pembelajaran Proyek PRBBK

1. Untuk bisa membangun kesadaran masyarakat, sangat penting bagi para pelaku untuk memahami konteks struktur sosial, budaya/agama/norma, ekonomi, tingkat pendidikan, demografis, dan pemahaman masyarakat atas penanggulangan bencana dan pengurangan risikonya. Sehingga, proses penyadaran bisa dilakukan dengan pendekatan dan bahasa yang lebih bisa diterima oleh masyarakat. 2. Karena bervariasinya tingkat pengetahuan masyarakat, maka penerimaan mereka terhadap konsep dan upaya pengurangan risiko bencana menjadi beragam. Untuk itu proyek PRBBK harusnya memiliki waktu yang lebih fleksible untuk mengakomodasi tingkat pengetahuan yang beragam. 3. Integrasi kegiatan penguatan ekonomi masyarakat dengan rencana aksi komunitas yang dilaksanakan oleh forum PRB di desa/kelurahan bisa meningkatkan kepemilikan dan keberlanjutan forum. Kegiatan ini juga bisa memberikan pendapatan untuk membiayai kegiatan forum PRB. 4. Mengintegrasikan rencana aksi komunitas dengan pelaksanaan program PNPM yang dilaksanakan oleh pemerintah akan meningkatkan efektifitas rencana aksi, khususnya terkait dengan pembangunan infrastruktur untuk mitigasi ancaman bencana. Proyek PPRB-PB Ada beberapa pembelajaran yang pernah diteliti dari pelaksanaan program PPRB-PB SC-DRR, dan bisa menjadi acuan bagi para pelaku, yaitu: 28 1. Panduan cara mengintegrasikan Pengurangan Risiko Bencana ke dalam Penghidupan Berkelanjutan sangat diperlukan jika program PPRB-PB ini akan direplikasi. 2. Hubungan yang baik dan saling percaya sangat diperlukan untuk membangun kemitraan. Pemerintah daerah khususnya SKPD terkait pada level kabupaten agar lebih membuka informasi kepada kelompok atau organisasi di desa dalam usaha membangun kemitraan. 3. Komitmen pemerintah desa sangat berperan untuk memajukan dan mendorong forum PRB atau pun Forum Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) untuk menjadi ruang aspirasi dalam berdiskusi perencanaan pembangunan khususnya bidang ekonomi terkait PRB. 2011 Lessons Learned: Building Safer Communities through Pilot Projects for Community Based Disaster Risk Reduction, hal 20 – 22. 28 Laporan Akhir Pelaksanaan PPRB-PB SC-DRR oleh Daya Annisa 27

program pemberdayaan masyarakat

Ada beberapa pembelajaran yang pernah diteliti dari pelaksanaan program PRBBK SC-DRR, dan bisa menjadi acuan bagi para pelaku, yaitu: 27

31


Masih terbatasnya akses dan ruang bagi kelompok perempuan dan kelompok miskin di desa untuk berpartisipasi dalam kegiatan dan turut serta dalam proses pengambilan keputusan. Pengalaman PRBBK SC-DRR di Kota Palu:

program pemberdayaan masyarakat

Masyarakat Ujuna dan Besusu Barat Kini Lebih Siap Menghadapi Ancaman Banjir

32

Banjir sudah demikian akrab bagi masyarakat Ujuna dan Besusu Setelah memperoleh pendampingan dari Barat. Mereka yang hidup di kedua Program SC-DRR melalui Program Hibah kelurahan ini, sekurangnya dua kali Pengurangan Risiko Bencana Berbasis dalam setahun rutin mengalami Komunitas (PRBBK) dengan mitra lokal rumah-rumahnya tergenangi air Yayasan Mitra Karya Membangun (YMKM), yang meluap dari sungai Palu yang masyarakat Ujuna dan Besusu Barat di Kota melintasi kedua kelurahan tersebut. Palu kini lebih siap dalam menghadapi Kejadian banjir paling parah terjadi ancaman banjir. Pendampingan selama 12 pada tahun 2006, menghanyutkan bulan telah membawa berbagai perubahan, sedikitnya 6 rumah dan satu orang baik pada aspek kapasitas masyarakat dan korban tewas terbawa arus. Dalam kelembagaannya, maupun pada aspek setiap kejadian banjir, genangan kebijakan yang dikembangkan di kedua air biasanya berlangsung sampai kelurahan tersebut. seminggu. Selama kurun waktu itu, kegiatan ekonomi masyarakat terganggu dan banyak perabotan rumah tangga masyarakat yang rusak. Belum lagi merebaknya berbagai penyakit, seperti gatal-gatal dan diare, sehingga menambah derita dan kerugian yang dialami masyarakat. Kelurahan Ujuna merupakan ibukota kecamatan Palu Barat yang terdiri atas 7 Rukun Warga (RW) dan 20 Rukun Tetangga (RT). Sebanyak 8.845 orang penduduk (4.232 laki-laki dan 4.253 perempuan) yang tercakup dalam 1.838 rumah tangga tinggal di kelurahan Ujuna yang memiliki luas wilayah 0,49 km2. Selain itu, sekitar 1.5 km panjang wilayah Ujuna dilalui sungai Palu. Kondisi ini menempatkan Kelurahan Ujuna paling rawan dari ancaman banjir. Kelurahan Besusu Barat merupakan ibukota kecamatan Palu Timur yang terdiri atas 9 RW dan 23 RT. Sebanyak 15.304 orang penduduk (7.758 laki-laki dan 7.546 perempuan) yang tercakup dalam 3.803 rumah tangga tinggal di kelurahan Besusu Barat dengan luas wilayah 0.87 km2. Wilayah Besusu Barat dilalui sungai Palu sepanjang 0.5 km, sehingga dengan kepadatan penduduknya yang tergolong tinggi, Kelurahan Besusu Barat juga termasuk kelurahan yang paling rawan dari ancaman banjir.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Rembug-rembug masyarakat yang dijalani, baik selama proses pengkajian risiko bencana maupun musrenbangkel, telah memperkuat pemahaman dari perwakilan-perwakilan komunitas yang terlibat, khususnya pemahaman bahwa penanggulangan bencana dilakukan bukan hanya pada saat kejadian bencana dan sesudahnya, melainkan juga sebelum terjadinya bencana, baik pada saat adanya ancaman bencana maupun tidak. Pemahaman ini juga telah memperkuat dan mendorong solidaritas dan kerelawanan (volunteerism) mereka untuk mengambil prakarsa dalam penanggulangan bencana. Kondisi ini bermuara pada terbangunnya kesepakatan di antara perwakilan komunitas tersebut untuk membentuk sebuah wadah yang bisa mengakomodasi keberlanjutan proses-proses multistakeholder yang selama ini telah mereka jalani. Maka terbentuklah Forum Peduli Bencana Enjere Putra di Kelurahan Besusu Barat dan Forum Tanggap Siaga Bencana (TASBE) di Kelurahan Ujuna, yang telah Figure 2: Rencana Aksi Komunitas dikukuhkan melalui surat keputusan kepala (RAK) Kelurahan Talise, Kota Palu kelurahan masing-masing. Secara umum mandat forum peduli bencana ini adalah: (i) menggalang kepedulian semua pihak untuk meminimalisasi dampak akibat bencana; (ii) menyampaikan usulan-usulan dalam rangka penyiapan peraturan penanggulangan bencana tingkat kelurahan dan perencanaan penanggulangan bencana; (iii) meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam upaya pengurangan risiko bencana; dan (iv) melakukan koordinasi dan kerjasama dengan dinas/instansi terkait dalam rangka tanggap bencana. Kedua forum peduli bencana tersebut telah mulai melaksanakan mandatnya, terutama dalam proses penyiapan peraturan kelurahan terkait dengan penanggulangan bencana, penyusunan konsep rencana penanggulangan bencana dan rencana kontingensi, serta perumusan rencana aksi komunitas dalam pengurangan risiko bencana. Saat ini, kedua forum sedang mengelola dana hibah komunitas, masingmasing sebesar Rp 117.000.000, yang dibantu oleh UNDP melalui Program SCDRR untuk pelaksanaan rencana aksi komunitas (RAK). Secara umum, RAK yang dilaksanakan meliputi: (i) kegiatan pengendalian sampah yang menjadi faktor pemicu banjir, baik mekanisme pengelolaannya, peralatan, dan pengolahannya; (ii) penghijauan di sekitar bantaran sungai, (iii) peningkatan kesiapsiagaan masyarakat terhadap ancaman banjir melalui serangkaian pelatihan dan penyediaan peralatan; (iv) pengurangan kerentanan ekonomi; dan (v) penyadaran publik dan koordinasi dengan dinas/instansi terkait.

program pemberdayaan masyarakat

Komunitas peduli bencana

33


program pemberdayaan masyarakat

Integrasi PRBBK dalam perencanaan pembangunan

34

Hal lain yang menarik dari pengalaman pendampingan PRBBK di Kota Palu adalah menguatnya upaya komunitas melalui forum untuk memasukkan usulan-usulan program atau kegiatan di bidang pengurangan risiko bencana ke dalam sejumlah dokumen perencanaan dengan mendasarkan pada hasil pengkajian risiko bencana yang telah mereka lakukan. Upaya untuk mengintegrasikan pengurangan risiko bencana ke dalam dokumen perencanaan kelurahan dimulai ketika perwakilanperwakilan komunitas yang terlibat dalam rembug-rembug pengkajian risiko bencana difasilitasi untuk berperan serta dalam musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan. Walaupun belum cukup optimal, namun setidaknya upaya ini telah berhasil memasukkan sejumlah usulan program atau kegiatan dalam dokumen musrenbangkel di kedua kelurahan yang diajukan untuk tingkat yang lebih tinggi (kecamatan dan kota). Upaya integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam rencana pembangunan jangka menengah kelurahan sejauh ini memang belum dilakukan. Namun demikian, dengan telah dirumuskannya rencana penanggulangan bencana tingkat kelurahan yang diprakarsai oleh forum peduli bencana, maka upaya pengintegrasian tersebut akan menjadi lebih mudah. Tahap berikutnya yang harus segera didorong oleh forum adalah melakukan penyesuaian RPJMKel mendasarkan pada rencana penanggulangan bencana yang telah disusun. Hal ini penting dilakukan mengingat bila pengurangan risiko bencana sudah masuk dalam dokumen RPJMKel, maka ia akan menjadi rujukan atau dasar dalam perencanaan program dan anggaran setiap tahunnya. 2.2.2.

Membangun Ketahanan Masyarakat Terhadap Bencana di Indonesia Timur oleh Oxfam

Program Membangun Ketahanan Masyarakat terhadap Bencana yang didanai oleh AusAID dilaksanakan oleh Oxfam selama 3 tahun (2009-2012). Program ini memiliki 2 tujuan utama: (a) untuk memperkuat pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas untuk pengurangan risiko bencana (PRB) agar komunitas, pemerintah, dan masyarakat sipil bisa mengidentifikasi, merencanakan dan melakukan pengurangan kerentanan komunitas terhadap bencana; dan (b) untuk meningkatkan kapasitas mitra Oxfam dalam melaksanakan program PRB melalui pelatihan dan pendampingan agar para mitra bisa bekerjasama dengan pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas untuk merencanakan dan melaksanakan model PRB untuk mengurangi kerentanan komunitas, khususnya perempuan.29 Program ini dilaksanakan melalui kemitraan dengan 1130 organisasi lokal yang memfasilitasi masyarakat untuk melaksanakan kegiatan pengurangan risiko bencana. Final report of Mid Term Review Oxfam Building Resilience Program, http://www.ausaid.gov.au/ countries/eastasia/indonesia/Documents/building-resilience-oxfam-mtr-report.pdf, 2011, hal. 5. 30 Yayasan JAMBATA di Donggala, Perkumpulan KELOLA di Sangihe, PMPB di Timor, YPPS di Flores Timur, LP2DER di Bima, YBS di Lembata, LRM di Manggarai, KOSLATA di Lombok Utara, KONSEPSI di Lombok Timur, KOMPAK di Nabire, dan PERDU di Manokwari. 29


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Capaian Program

Masyarakat Lembah Baliem: Perang Melawan Bencana Masyarakat Jayawijaya di sepanjang DAS Baliem umumnya bertani menanam ubi dan beternak babi. Ketika terjadi banjir, luapan air sungai merusak ubi muda, sehingga bisa mengancam keamanan pangan mereka. Oleh karena itu, bersama dengan mitra Oxfam, masyarakat 10 kampung di 3 kecamatan, yaitu Asolokobal, Asologaima, dan Musatfak bersepakat untuk membentuk Tim Siaga Bencana Kampung (TSBK). Ada beberapa hal yang berhasil disepakati dan dilaksanakan bersama dengan perlindungan peraturan adat. Misalnya, disepakati jika menebang satu pohon harus menanam sepuluh pohon pengganti. Disamping itu, 3 kampung juga sepakat untuk menggunakan lahan 3 Ha milik salah satu suku untuk dijadikan tempat pengungsian bersama. Dalam hal peringatan dini, Kepala Suku Perang Bambak akan meneriakkan peringatan yang pertama kali, ketika terjadi banjir.

Banyak capaian dalam rangka membangun ketahanan masyarakat yang berhasil dilaksanakan oleh masyarakat dan pemerintah. Kajian risiko di tingkat desa/kelurahan, (Sumber: Oxfam, 20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia, 2012) rencana aksi masyarakat untuk PRB, pengembangan sistem peringatan dini, pembentukan forum/pokja PRB, serta pengetahuan dan keahlian masyarakat untuk respon terhadap bencana adalah capaian utama program ini. Disamping itu, Oxfam dan mitranya juga berhasil memberikan dukungan kepada BPBD terkait dengan penyusunan analisis risiko, rencana aksi daerah, dan rencana kontinjensi.31 Program ini melakukan intervensi di tiga level selama tiga tahun dan pencapaiannya adalah: 1. Tingkat masyarakat: adanya instrumen DRR tingkat desa (analisis risiko, rencana aksi masyarakat, dan SOP); tim siaga di 105 desa; adanya hasil pemantauan risiko masyarakat di 49 desa di 6 dari 16 kecamatan; dukungan dana untuk pelaksanaan Ibid, hal. 10 – 16.

31

program pemberdayaan masyarakat

Program ini berfokus pada enam provinsi, yaitu Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Papua dan Papua Barat, yang dianggap sebagai yang paling rawan bencana di Indonesia bagian Timur. Terdapat 129 desa di 16 Kecamatan yang difasilitasi oleh Oxfam dan mitranya. Dari jumlah tersebut, kegiatan di 43 desa di 10 kecamatan merupakan kelanjutan dari pekerjaan program Oxfam sebelumnya yang didanai oleh DIPECHO.

35


program pemberdayaan masyarakat

rencana aksi masyarakat ditingkatkan, seperti instansi kabupaten (52 desa), perencanaan pemerintah desa (25 desa), dan PNPM (17 desa); dan penyelesaian instrumen PRB tingkat sekolah (analisis risiko, rencana aksi dan SOP, dan pembentukan tim siaga sekolah).

36

2. Tingkat Pemerintah: pembentukan lembaga penanggulangan bencana tingkat kabupaten, BPBD (16 didirikan selama pelaksanaan program); penyusunan instrumen PRB dipimpin oleh BPBD (analisis risiko bencana, rencana aksi, rencana kontingensi, dan peraturan penanggulangan bencana); pembentukan forum PRB dengan banyak pemangku kepentingan sebagai landasan koordinasi, advokasi dan berbagi (14 dari 16 kabupaten sasaran); dan peningkatan kinerja BPBD dalam respon bencana (BPBD di Flores Timur, Sikka, Manggarai, Lembata, Bima, Lombok Timur dan Manokwari diuji ketika mereka harus merespon bencana selama periode pelaksanaan program). 3. Pemberdayaan perempuan: penggerak masyarakat perempuan telah melakukan advokasi untuk rencana aksi khusus perempuan dan di beberapa desa perempuan telah menjadi pemimpin tim siaga mereka (13 desa). Kesadaran gender dan kebutuhan perempuan dalam PRB menjadi pertimbangan yang semakin menonjol di instansi pemerintah dan anggota staf mitra telah menjadi petugas penghubung gender (baik perempuan maupun laki-laki) untuk melakukan advokasi untuk inklusifitas gender dalam kegiatan PRB. Pembelajaran Pelaksanaan program selama tiga tahun di beberapa tempat yang berbeda telah memberikan banyak pembelajaran bagi pengembangan ketangguhan masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi bencana. Ada 10 pembelajaran yang ditemukan oleh Oxfam dan mitranya. 1. Bekerjasama dengan pemerintah. Di Lombok Timur, kerjasama dengan BPBD yang baru terbentuk dapat dilakukan dengan baik, sehingga banyak Suasana diskusi Pokja Pengurangan Risiko Bencana di Larantuka komponen peningkatan kapasitas yang bisa dilakukan bersama, seperti pelatihan kajian risiko dan perencanaan kontijensi.32 2. Pentingnya peran forum/pokja PRB. Dari pengalaman di beberapa daerah, forum PRB memiliki peran sangat penting untuk membawa isu PRB dalam diskusi Ibid, hal. 38

32


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

dan perencanaan bersama pihak lain, seperti SKPD terkait dan lembaga usaha. Disamping itu, forum PRB juga bisa menjadi jembatan untuk membawa isu PRB di tingkat daerah ke tingkat nasional, baik melalui Platform Nasional maupun BNPB.33

4. Keseimbangan peran laki-laki dan perempuan. Penggerak masyarakat yang ada di desa/kelurahan dipilih dengan pertimbangan keseimbangan antara laki-laki dan perempuan. Ternyata, hal ini dapat membangun kepemimpinan perempuan di desa/kelurahan, dimana banyak perempuan yang melakukan peran penting untuk PRB di wilayahnya.35 5. Tim Siaga Bencana Desa atau Kampung (TSBD/K) merupakan jembatan untuk ketahanan masyarakat terhadap bencana. Mereka adalah organisasi penanggulangan bencana tingkat desa yang berfungsi sebagai fasilitator inisiatif PB dan tindakan pembangun jaringan antara masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. 6. Peran penghubung gender (Gender Focal Point) adalah strategi pengarusutamaan gender yang efektif. Mereka berperan aktif mendorong organisasi mereka masingmasing untuk bekerja sama dengan pemerintah dan pemangku kepentingan untuk mempromosikan isu-isu gender dan peran perempuan dalam pelaksanaan kegiatan PRB. 7. Menggunakan strategi media kreatif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat yang disesuaikan dengan karakteristik masing-masing daerah. Dengan mempelajari media yang umum digunakan oleh masyarakat setempat, untuk kemudian digunakan dalam proses menyebarluaskan pengetahuan PRB, dapat menanamkan pemahaman yang lebih luas dan baik bagi masyarakat, seperti pertunjukanpertunjukan tradisional masyarakat dan lomba rute evakuasi. Penggunaan metode komunikasi yang sesuai dengan masyarakat setempat, seperti penyampaian pengetahuan tentang kebencanaan dengan menggunakan bahasa lokal, melalui pemutaran film seperti layar tancap, lomba dan pertunjukan tradisional. Cara-cara seperti ini terbukti efektif untuk menarik masyarakat. 8. Memanfaatkan media dengan lebih baik untuk meningkatkan kesadaran PRB. Pelatihan PRB bagi wartawan membantu meningkatkan pengetahuan mereka untuk menulis tentang PRB dengan baik dan benar. Hal ini menjadikan pemberitaan tentang kesiapsiagaan menjadi lebih sering dan membantu penyadaran kepada masyarakat target dan yang bukan. Ibid, hal. 27. Ibid, hal. 28. 35 Ibid. 33 34

program pemberdayaan masyarakat

3. Menghubungkan dan integrasi dengan program pemerintah. Pada pengalaman di beberapa desa, masyarakat berhasil menghubungkan dan mengintegrasikan rencana aksi masyarakat untuk PRB ke dalam program PNPM dari pemerintah. Hal ini berhasil memberikan dukungan dana yang lebih untuk pelaksanaan rencana aksi, seperti membuat saluran air di Lombok Timur.34

37


9. PRB berbasis sekolah membutuhkan pelembagaan agar kegiatan PRB bagi guru menjadi prioritas dan merupakan pekerjaan yang penting. 10. Bencana sebagai katalis perubahan. Terjadinya bencana sering menjadi katalis untuk pemerintah bertindak. Contohnya adalah gempa yang terjadi di Manggarai dirasakan oleh tiga desa dampingan yang memiliki TSBD dan SOP. Melihat praktik baik TSBD, membuat BPBD setempat memutuskan untuk memperluas model untuk desa lain di kabupaten tersebut.

program pemberdayaan masyarakat

2.2.3.

38

Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana untuk Ketahanan (API PERUBAHAN) oleh Mercy Corps

Perubahan iklim yang terjadi secara global berdampak luas bagi Indonesia. Sebagai Negara kepulauan dengan iklim tropis, dampak perubahan iklim mempengaruhi banyak sektor penting kehidupan; kesehatan, ketersediaan air, pangan, mata pencaharian, pendidikan maupun infrastruktur. Adalah sebuah realitas, perubahan iklim berkorelasi terhadap peningkatan risiko bencana. Tidak saja meningkatkan ancaman, khususnya bahaya hidrometeoroligis, juga mempengaruhi tingkatan kerentanan dan kapasitas yang telah ada. Dan Indonesia sebagai Negara dengan tingkat risiko bencana yang tinggi, secara signifikan terpengaruh terhadap dampak negatif tersebut. Risiko bencana yang telah tinggi akan semakin tinggi. Menjadi kewajiban para pihak untuk mengurangi implikasi-implikasi negatif yang ada sekaligus memanfaatkan berbagai peluang untuk meningkatkan ketahanan. Tidak saja untuk hari ini, besok atau lusa, namun jauh ke depan. Adaptasi Perubahan Iklim dan Pengurangan Risiko Bencana untuk Ketahanan atau disingkat API Perubahan merupakan Sebuah strategi keluar “kerangkeng� pola pikir melihat dan menyelesaikan persoalan jangka pendek – namun jangka panjang. Program yang awalnya dinamakan SCALE-R (Stakeholder Coordination, Advocacy, Linkages, and Engagement for Resilience) yang didanai oleh USAID ini mengedepankan aspek koordinasi, penguatan hubungan antar stakeholders and kekuatan advocacy kebijakan untuk memperkuat ketahanan masyarakat miskin atau rentan terhadap dampak perubahan iklim serta risiko bencana. Program ini bertujuan untuk membangun ketahanan masyarakat miskin dan rentan terhadap dampak perubahan iklim dan risiko bencana melalui penguatan kapasitas pemangku kepentingan mewakili pemerintah, masyarakat dan sektor swasta yang dapat berkontribusi secara terukur pada berbagai kegiatan di beberapa kelurahan dan desa yang dipilih sebagai wilayah percontohan.36 Secara khusus, hasil yang diharapkan dari program ini adalah:37 Mercy Corps, Annual Program Statement, The Stakeholder Coordination, Advocacy, Linkages, and Engagement for Resilience Program, 2010, hal. 2. 37 Ibid, hal. 3 – 4. 36


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

2. Pemerintah dan masyarakat rentan menunjukkan peningkatan kesadaran akan risiko yang spesifik dari ancaman Lokakarya penyusunan rencana aksi bencana dan perubahan iklim. komunitas di Jakarta Barat 3. Masyarakat rentan telah mengurangi kerentanannya terhadap ancaman bencana dan dampak perubahan iklim, dengan pengembangan dan pelaksanaan proyek percontohan, melalui kerjasama dengan pemerintah setempat. Untuk mencapai tujuan diatas, ada tiga elemen kunci dalam program ini. Pertama, pengorganisasian multi pihak dari pemerintah, masyarakat sipil, universitas, dan sektor swasta untuk membentuk Kelompok Pengarah Provinsi (KPP) menjadi pelaksana kunci untuk implementasi program dan menerima peningkatan kapasitas. Di setiap 8 kelurahan, API PERUBAHAN mengorganisir Kelompok Kerja (Pokja) yang menghubungkan program dan KPP kepada informasi, prioritas dan perencanaan di tingkat masyarakat.

program pemberdayaan masyarakat

1. Meningkatnya hubungan antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dengan masyarakat, yang mengarah pada perencanaan yang lebih terkoordinasi dengan baik dan lebih inklusif untuk pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim.

39

Kedua, dengan difasilitasi oleh Mercy Corps, KPP dan Pokja di kelurahan melakukan penilaian kerentanan dan kapasitas dengan menerjemahkan data ancaman bencana dan iklim. Proses ini membuat KPP dan Pokja bisa membuat prioritas dan mengusulkan rencana dan anggaran untuk pengurangan risiko bencana dan perubahan iklim dalam perencanaan pembangunan, perencanaan spasial, perencanaan sektoral dll. Dan ketiga, berdasarkan prioritas masyarakat yang dibuat dari kajian kerentanan dan kapasitas, Mercy Corps sedang mendampingi KPP dan Pokja untuk melaksanakan proyek percontohan melalui dana hibah yang mendukung beberapa kegiatan, seperti penguatan tanggul sungai atau pengelolaan air untuk meningkatkan ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman rob dan kekurangan air bersih.38 Pada program yang dilaksanakan selama 2010 – 2013, Mercy Corps bekerja di 8 kelurahan yang tersebar di 4 provinsi, yaitu Sumatera Barat, Lampung, Maluku, dan DKI Jakarta. Dan sampai pada tahun 2012, setidaknya sudah ada 4 capaian utama, yaitu:39 1. Penilaian kerentanan dan kapasitas sudah dilaksanakan di 8 kelurahan yang ada di 4 provinsi diatas. Ibid, hal. 2. Mercy Corps, Annual Performance Report Oktober 2011 – September 2012, hal. 1 – 2.

38 39


2. Berdasarkan hasil penilaian kerentanan dan kapasitas, sudah dibuat 6 rencana aksi ketangguhan lokal di Jakarta Barat, Sumatera Barat, dan Lampung. 3. Tim program, KPP, dan Pokja kelurahan secara aktif terlibat dalam proses perencanaan di tingkat pemerintah provinsi dan kelurahan, termasuk Musrenbang, RPJMD dan RPB.

program pemberdayaan masyarakat

4. Peningkatan kapasitas dan kesadaran untuk pegawai pemerintah, masyarakat, KPP, dan anggota Pokja kelurahan dalam bentuk pelatihan, kunjungan lapangan, lokakarya, dan simposium nasional.

40

Bekerjasama dengan para pihak, API Perubahan Mercy Corps di tahun 2013 berencana memfasilitasi sejumlah pelatihan ditujukan untuk beragam kelompok masyarakat, akademisi, guru, pelajar, pencinta alam, LSM dan pemerintah daerah di 4 Provinsi; Jakarta, Lampung, Sumatera Barat dan Maluku. Pelatihan tersebut diharapkan dapat memberikan pemahaman dasar-dasar perubahan iklim dan kebencanaan bagi pemula, serta menyiapkan pelatih dan fasilitator bagi pelatihan API dan PRB di keempat provinsi tersebut.

Dari pelaksanaan program selama kurun waktu 2010 – 2012 menunjukkan bahwa meskipun pada tataran diskusi di tingkat kebijakan maupun akademisi banyak membicarakan perbedaan antara pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Namun pada tataran praktik, masyarakat cenderung melihat kedua aksi tersebut sebagai aksi yang sama. Isu tentang bencana merupakan entry point yang paling mudah di tingkat masyarakat dalam memahami adaptasi perubahan iklim. Penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap dampak yang bersifat slow onset dengan meningkatkan kapasitas untuk melakukan adaptasi. Dalam memberikan respons terhadap dampak perubahan iklim dan upaya pengurangan risiko bencana, masyarakat cenderung memilih kegiatan pembangunan fisik infrastruktur sebagai prioritas, dibanding penguatan ekonomi dan modal sosial. “Saya senang dengan kegiatan penyusunan rencana aksi komunitas ini. Bisa cerita kondisi banjir dan dampaknya di RW saya dan jadi tahu kondisi di RW lain. Saya berharap kegiatan seperti ini terus dilakukan biar kami bisa belajar dan mendukung kegiatan untuk mengurangi dampak bencana dan perubahan iklim di wilayah kami. Saya juga ingin meneruskan informasi yang saya peroleh kepada teman-teman lain, seperti di PKK�. Wati (39 tahun), Sekretaris PKK Kelurahan Jelambar Baru


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Peningkatan Ketangguhan Masyarakat melalui Integrasi PRB, API, dan Pemulihan Ekosistem oleh Partners for Resilience

Lima organisasi berbasis kemanusiaan, pembangunan, dan lingkungan dari Belanda, The Netherlands Red Cross (NLRC), CARE International, the Netherlands Cordaid, Wetlands International, dan the Red Cross/Red Crescent Climate Centre, telah bergabung membentuk aliansi global untuk mengurangi dampak ancaman bahaya di masyarakat yang memiliki kerentanan tinggi. Aliansi tersebut disebut dengan Partners for Resilience (PfR) dan berkerja secara global di 9 negara, yaitu Ethiopia, Kenya, Mali, Uganda, Guatemala, Nikaragua, Indonesia, Filipina, dan India.

Embung yang dibangun di Desa Batnun baru akan mulai menampung air hujan ketika musim hujan nanti

Visinya adalah bahwa pengurangan risiko bencana (DRR) dan adaptasi terhadap perubahan iklim (CCA) dapat digabungkan dengan penanganan dan pemulihan ekosistem (EMR) untuk meningkatkan ketahanan (kemampuan masyarakat untuk bertahan di lingkungan mereka) secara signifikan – dan penting untuk membantu masyarakat untuk melepaskan diri dari kemiskinan.

Tiga strategi utama Partners for Resilience:40 1. Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan pengurangan kemiskinan. Masyarakat adalah yang pertama terkena bencana dan dampak perubahan iklim. Ketahanan yang meningkat dan mata pencaharian yang berkelanjutan akan dapat mencegah bencana atau membantu mengurangi akibatnya. Pekerjaan kami di tingkat lokal mencakup berbagai kegiatan seperti perancangan dan penerapan bersama program keamanan mata pencaharian masyarakat, air, degradasi lingkungan, dan pengurangan kemiskinan; menghubungkan beberapa organisasi dengan para ahli/ sumber ke masyarakat dan menyediakan sumber daya bagi masyarakat. 2. Memperkuat pemberdayaan masyarakat sipil. Untuk meningkatkan ketahanan masyarakat, konteks kebijakan dan kerjasama antara para pelaku dari pemerintah maupun non-pemerintah harus diperkuat. Pekerjaan kami untuk strategi ini mencakup analisa risiko bersama dengan masyarakat, menyusun rencana pengurangan risiko dan alat peringatan dini, membantu masyarakat, organisasi berbasis masyarakat dan organisasi masyarakat sipil agar secara efektif menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka dan menyuarakan kebutuhan mereka kepada para pejabat setempat. Partners for Resilience Info

40

program pemberdayaan masyarakat

2.2.4.

41


program pemberdayaan masyarakat

Dialog dan advokasi kebijakan untuk kebijakan DRR/CCA yang lebih kuat dan peningkatan sumber daya di semua tingkat. Advokasi dibutuhkan untuk membuat konteks kebijakan yang lebih kuat dalam pengurangan risiko bencana/adaptasi terhadap perubahan iklim di semua tingkat.

42

Dalam istilah kongkrit, PfR akan bekerja sama dengan masyarakat untuk menentukan risiko bencana yang utama yang mereka hadapi, dan telah banyak mitra lokal yang telah direkrut. Proyek-proyek yang dikelola oleh masyarakat akan meningkatkan jaminan mata pencaharian dengan, contohnya, membuat rumah-rumah menjadi lebih tahan terhadap bencana dan melindungi lahan dari kerusakan akibat bencana alam; teknik-teknik pertanian dan peternakan akan ditingkatkan, sistem pengadaan air yang kuat akan dibuat, kredit mikro dan praktik akan disajikan melalui berbagai metode seperti video partisipatif. Disamping langkah-langkah di tingkat keluarga, PfR juga akan mengimplementasikan EMR untuk memastikan ketahanan alam. Untuk proyek yang lain, aliansi ini akan menanam tanaman bakau di wilayah pesisir yang rawan, memastikan penggunaan air sungai dan rawa bisa berkelanjutan di wilayah-wilayah kering, dan mengelola hutan serta rawa untuk mencegah banjir. PfR juga yakin bahwa program ini akan menjadi lebih efektif jika dapat membuat lingkungan institusi menjadi lebih kondusif terhadap DRR yang berbasis ekosistem – dari tingkat internasional hingga ke akar rumput. PfR akan mempromosikan dialog dan solusi yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan pusat-pusat ilmu pengetahuan. Di Indonesia, PfR mencakup Palang Merah Indonesia (PMI), the Netherlands Red Cross (NLRC), CARE International Indonesia, Perkumpulan PIKUL, Wetlands International Indonesia Programme (WIIP), Insist (the Indonesian Society for Social Transformation), Karina KWI (Caritas Indonesia/ Office of Humanitarian Services, Bishops’ Conference of Indonesia), Caritas Keuskupan Maumere, Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), dan Red Cross/Red Crescent Climate Centre. PfR Indonesia akan dijalankan di 32 desa di Nusa Tenggara Timur dan menjangkau 50.000 orang selama periode 2011-2015 serta memilih Teluk Banten sebagai learning site. Aktifitas PfR Indonesia sampai tahun 2012: ● Melaksanakan pemetaan risiko tren iklim dan mengidentifikasi rencana di tingkat masyarakat untuk meningkatkan ketahanan masyarakat melalui penanggulangan bencana, penanggulangan risiko iklim, dan langkah-langkah penanganan lingkungan yang berkelanjutan bersama 20 kelompok masyarakat dan menjangkau 2.634 anggota masyarakat ● Menyusun rencana pengurangan risiko bersama 12 organisasi berbasis masyarakat yang menjangkau 7.345 anggota masyarakat.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Ada tiga dusun di Desa Batnun Kabupaten TTS, NTT. Dusun 1 dan Dusun 2 dan beberapa bagian di Dusun 3 mengalami kekurangan air. Mata air yang ada sangat jauh. Sumber air yang tersedia hanyalah sungai dan kali kecil yang melewati desa. Memang, sungai ini tidak kering pada musim kemarau tetapi airnya hanya cukup untuk mereka yang tinggal di sekitar sungai dan kali tersebut. Sebagian besar masyarakat di Dusun 2 dan Dusun 3 tinggal jauh dari sungai dan hidup di dataran tinggi. Di Batnun, menggali sumur bukan pilihan, karena setiap kali masyarakat menggali, sumurnya menghasilkan air payau. Di desa yang dihuni oleh sekitar 200 KK ini, hanya terdapat kira-kira 2 sumur dengan air tawar. Situasi ini menyebabkan munculnya ide untuk membangun embung baru. Sudah ada embung Tuanamolo di Dusun 1. Tetapi embung ini tidak cukup untuk memasok kebutuhan air desa, selain pula pada jarak antara lokasi embung yang jauh dengan 2 dusun yang lainnya. Kepala Desa mengusulkan untuk membangun embung baru di Dusun 3, yang disebut Embung Fautfane, karena letaknya yang berada di tengah-tengah desa, sehingga mudah diakses. Kepala Desa telah berhasil meyakinkan pemerintah, dan Kantor Pekerjaan Umum Provinsi telah membangun embung ini. Saat ini, masyarakat desa masih menunggu untuk melihat kemampuan embung baru untuk menyimpan air. Kegiatan PfR pada bulan Oktober 2012 di Desa Batnun adalah untuk membantu masyarakat dalam bersama-sama membangun pagar disekitar embung air yang ada di desa. Kegiatan ini merupakan bagian dari rencana aksi masyarakat oleh kelompok sasaran di Batnun dalam mempertahankan dan menjaga sumber daya air di desa, di bawah Visi Desa dari kegiatan visioning PDRA-AI masyarakat yang dilakukan oleh PfR CARE PIKUL pada awal tahun 2011. Setelah dipagari, masyarakat akan menanam pohon di sekitar lokasi embung air. Masyarakat akan mendapatkan manfaat dari kegiatan pemagaran dimana embung akan aman untuk anak-anak dan ternak serta dapat meningkatkan debit air di masa depan dengan menanam pohon di sekitarnya. Pada waktunya nanti, hal ini diharapkan dapat meningkatkan ketahanan masyarakat di masa depan terhadap bahaya kekeringan dan meningkatkan ketahanan mata pencaharian mereka karena sumber air yang terpelihara. (sumber: PfR CARE PIKUL: Cerita dari masyarakat Desa Batnun, Kabupaten TTS, NTT)

â—? Langkah-langkah mitigasi seperti: penanaman pohon oleh 9 organisasi kemasyarakatan untuk menjaga kestabilan tanah, mencegah tanah longsor, mengurangi hilangnya kesuburan tanah, akses air diperbaiki oleh 3 desa guna menjaga air untuk kebutuhan rumah tangga dan pertanian, teknologi semi-hybrid untuk mempromosikan pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat di lokasi pembelajaran di pelabuhan Banten.

program pemberdayaan masyarakat

Pagari Embung, Amankan Air

43


● Melatih 141 staf organisasi berbasis masyarakat tentang bagaimana mengintegrasikan DRR/CCA/EMR. ● Melatih 194 anggota masyarakat tentang berbagai pendekatan mata pencaharian berbasis ekosistem yang dapat diadaptasi untuk mata pencaharian mereka.

program pemberdayaan masyarakat

● Mendapatkan akses pengetahuan tentang tren bencana, proyeksi iklim, data ekosistem melalui pemetaan ekosistem pesisir dan daratan bagi 20 organisasi berbasis masyarakat.

44

● Terdapat 10 organisasi berbasis masyarakat yang telah bekerja sama dengan berbagai organisasi pengetahuan dan sumber daya (seperti badan meteorologi, lembaga bencana nasional/kabupaten, universitas, dll.). ● Menekankan pentingnya integrasi DRR/CCA/EMR pada agenda platform regional/ nasional seperti South-South Citizenry Community Based Development subAcademy (SSCBDA), National Caritas Directors Forum, Kelompok Kerja Mangrove Nasional (KKMN). ● Melakukan penelitian tentang “tingkat katahanan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana akibat perubahan iklim” dilaksanakan di empat kabupaten di NTT, Sulawesi Selatan, Jambi, dan Maluku Tenggara; temuannya dipresentasikan di pemerintah kabupaten dan nasional untuk mendukung bukti berbasis pengembangan kebijakan. ● Menyelenggarakan workshop nasional tentang Standar Minimum untuk Pengurangan Risiko Bencana berbasis cerdas iklim – untuk mengintegrasikan kapasitas lokal ke dalam strategi adaptasi iklim nasional sebagai salah satu penekanan PfR. ● Lokasi pembelajaran untuk integrasi DRR/CCA/EMR di Pelabuhan Banten, demonstrasi kecil tentang penahanan sedimen dengan menggunakan jaring ikan dan ranting dan diberi benih mangrove alami di atas sedimen (teknologi semi-hybrid). 2.2.5.

Peningkatan Kesiapsiagaaan dan Kapasitas dalam Merespon Bencana di Jawa Barat Oleh International Organization for Migration (IOM)

Bencana alam telah menjadi perhatian global dengan meningkatnya kejadian bencana alam hingga dua kali lipat selama dua puluh tahun terakhir. Frekuensi bencana diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perubahan iklim yang tidak diimbangi adaptasi dan perbaikan lingkungan. Bagi negara berkembang, dampak yang ditimbulkan bencana alam sangat masif dengan kerusakan parah hampir di seluruh sektor. Analisis Risiko Global yang dikeluarkan Bank Dunia menempatkan Indonesia di peringkat ke-12 dari negara-negara dengan risiko kematian tertinggi akibat berbagai bencana. Sejalan dengan Hyogo Framework for Action (HFA) yang diperjuangkan 168 negara dalam Konferensi Dunia tentang Pengurangan Risiko Bencana, International Organization for Migration (IOM) berpartisipasi dalam aksi kemanusiaan dalam konteks penanggulangan bencana.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Tinjauan Program Fakta di lapangan meneguhkan IOM untuk menjalankan agenda Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan menerapkan aksi nyata untuk mengurangi dan mencegah risiko bencana. Bekerjasama dengan pemerintah dan masyarakat, IOM menjalankan proyek “Peningkatan Kesiapsiagaan dan Kapasitas dalam Merespon Bencana” di lima kecamatan (di 6 desa/kelurahan) di Kabupaten Garut, yakni: Cikelet, Cibalong, Cisompet, International Organizaton for Pameungpeuk, dan Cisurupan. Proyek Migration turut berkontribusi dalam ini berjalan dengan dukungan European pembentukan Kelompok Masyarakat Commission – Directorate General for Penanggulangan Bencana (KMPB) Humanitarian Aid and Civil Protection Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet, through its Disaster Preparedness Kabupaten Garut Programme (DIPECHO) sejak Juni 2010 – Oktober 2011 dan Australian – Indonesia Facility for Disaster Risk Reduction (AIFDR) sejak Oktober 2011 – Desember 2011. Keterlibatan IOM dalam agenda PRB adalah bentuk dukungan IOM terhadap upaya Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana. Dalam proyek berdurasi 19 bulan ini, keluaran yang ingin dicapai adalah : 1. Peningkatan kapasitas lembaga pemerintah lokal dan masyarakat untuk mengidentifikasi, mengkaji, dan memantau risiko bencana dan peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana; 2. Peningkatan kapasitas fasilitas kesehatan, staf kesehatan, dan masyarakat agar siap siaga dalam merespon bencana;

program pemberdayaan masyarakat

Momentum kerja IOM di Jawa Barat terjadi pasca gempa bumi yang mengguncang Tasikmalaya dan 15 kabupaten lainnya di Jawa Barat dan Jawa Tengah. Sebanyak 50.964 keluarga/196.107 orang mengungsi dan 264.030 rumah rusak akibat gempa bumi berkekuatan 7,3 skala Richter tersebut. Bencana di Tasikmalaya menyibak fakta penting tentang kerawanan bencana di Jawa Barat. Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Indonesia (2010-2012) menempatkan Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kerawanan bencana tinggi di Asia Tenggara. Berbagai ancaman seperti tanah longsor, banjir, gempa bumi, erupsi gunung api, kekeringan, kebakaran, dan angin puting beliung mengintai provinsi ini. Ancaman tsunami di pesisir selatan Jawa Barat kian menekankan pentingnya intervensi PRB di wilayah ini.

45


3. Penguatan koordinasi dan pertukaran informasi antar pemangku kepentingan PRB. Hasil Akhir Program Selama 19 bulan dan dengan kerjasama lintas sektor, pencapaian program yang diperoleh adalah :

program pemberdayaan masyarakat

1. Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) di tingkat desa telah dibentuk; 2. Peta ancaman, yang penyusunannya melibatkan pemerintah dan masyarakat, telah tersedia; 3. Agenda PRB telah terintegrasi dalam program dan kebijakan pembangunan; 4. Prosedur Operasi Standar untuk petugas kesehatan sudah disusun; 5. Fasilitasi Forum Pengurangan Risiko Bencana di Kabupaten Garut terlaksana. Pelaksanaan proyek PRB di Kabupaten Garut berkontribusi dalam tumbuhnya kesadaran warga untuk lebih mempersiapkan diri menghadapi bencana. Partisipasi aktif dan setara semua pihak memegang peran penting dalam mengubah perspektif penanggulangan bencana yang responsif menjadi preventif di Kabupaten Garut. International Organization for Migration mengadakan sosialisasi Pengurangan Risiko Bencana tentang konsep penanggulangan bencana dan pemetaan kerentanan dan kapasitas wilayah yang ditujukan untuk pelajar. Acara berlangsung di SMKN 5 Garut, Desa Cikelet, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut

46

Pembelajaran Pembelajaran yang diperoleh melalui proyek PRB di Garut ialah: 1. Intervensi yang dilakukan IOM telah berhasil merangkul pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan PRB di tingkat nasional hingga lokal yang berkomitmen menyelaraskan agenda PRB dalam pembangunan dan kebijakan.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

2. Koordinasi dan komunikasi baik di masyarakat maupun struktur pemerintahan terjalin dan berlangsung lancar serta setara. Kedua hal ini menjadi kunci dalam menyukseskan model pengurangan risiko bencana yang melibatkan masyarakat di pedesaan hingga pejabat struktural di pemerintahan.

Warga Desa Sukanagara, Kecamatan Sukanagara, Kabupaten Garut berpartisipasi dalam proses pembuatan peta desa yang memuat ancamanancaman bencana di desa tersebut

4. Kerjasama, komunikasi strategis, dan pendekatan yang tepat dengan pemerintah lokal telah mendorong lahirnya kebijakan anggaran yang berpihak pada pengurangan risiko bencana di tingkat desa. Di Desa Karyasari, Kecamatan Cibalong, pemerintah desa menganggarkan Rp 1 juta setiap tahun sejak tahun 2012 yang dialokasikan dari Anggaran Dana Desa untuk berbagai aktivitas PRB. 5. Pengorganisasian di tingkat pedesaan telah mendorong lahirnya partisipasi warga yang secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan pengurangan risiko bencana di desanya masing-masing.

6. Penguatan kelembagaan di tingkat desa melalui pelatihan-pelatihan telah membangun figur-figur yang berwawasan kebencanaan yang memiliki peran penting dalam menentukan kebijakan/kegiatan PRB di desa masing-masing. 7. Penguatan kapasitas masyarakat mendorong lahirnya inisiatif dan praktik cerdas dari lapangan. Warga Desa Sukanagara, Kecamatan Cisompet misalnya, telah berinisiatif menjalin kerjasama dengan Perhutani untuk menyediakan bibit pohon yang akan ditanam untuk mengantisipasi banjir dan longsor. 8. Kemitraan dengan media membuat program PRB juga mendapatkan perhatian lebih luas baik di tingkat lokal maupun nasional, terutama dengan diselenggarakannya peringatan Hari Pengurangan Risiko Bencana Sedunia pada bulan Oktober tahun 2011. Cerita dari Garut: Dengan Kayu Putih, Pangauban Menangkal Bencana Ade Kusmana (37), Koordinator Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB) Desa Pangauban, Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, menapaki

program pemberdayaan masyarakat

3. Peningkatan kemitraan dengan pemerintah yang mengedepankan transparansi dan pertanggungjawaban sehingga keberadaan IOM turut mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan terutama dalam perencanaan pembangunan yang tahan bencana.

47


program pemberdayaan masyarakat

pematang sawah dengan langkah mantap. Hamparan padi merunduk dikelilingi pohon-pohon kayu putih yang semampai. Di balik keindahan yang melenakan, mengintai bahaya yang mampu melumat permukiman dan persawahan.

48

Desa Pangauban yang dihuni 2.869 warga hidup berdampingan dengan bencana karena berjarak hanyak 4 kilometer Ade Kusmana (37) berjalan di dari Gunung Papandayan. Sebagai pematang sawah yang dikelilingi desa terdekat dari gunung, Pangauban pepohonan kayu putih di Desa berpotensi dilanda gempa bumi vulkanik Pangauba, Kecamatan Cisurupan, juga terkena lahar bilamana terjadi erupsi. Kabupaten Garut. Pohon putih telah Kabupaten Garut juga dilalui patahan tumbuh besar sejak ditanam warga yang melalui wilayah Garut Selatan dua tahun lalu. sehingga rawan dari gempa. Adapun erupsi Papandayan terbesar tercatat tahun 1772 yang memakan sekitar 2.900 korban jiwa. Pada tahun 2002 dan 2008, kawah sempat meletus dan mengeluarkan lahar dingin yang merusak persawahan warga. Ancaman bencana yang nyata tidak membuat warga sekadar berpangku tangan. Sejak dibentuk 8 September 2010, KMPB yang didukung 20 relawan aktif, bergerak menyebarkan pengetahuan risiko bencana di desa. Sosialisasi untuk anak-anak hingga manula digalakkan, baik melalui pertemuan desa maupun pengajian. Aksi konkrit pun dilakukan dengan mendorong warga untuk menanam pohon kayu putih. Sejak 2011, pohon kayu putih mulai tumbuh di Pangauban, terutama di area rawan bencana seperti bantaran Sungai Cibeureum Leutik. “Kayu putih ini menjadi benteng kami terhadap banjir sekaligus upaya menghijaukan kembali lahan yang kritis,� kata Ade. Kendati tersebar di berbagai kampung, setidaknya jumlah pohon kayu putih yang ditanam 12 bulan terakhir diperkirakan mencapai 10.000 batang. Bukan hanya dari sisi ekologis, pohon kayu putih juga diharapkan membawa keuntungan ekonomi bagi warga desa yang mengolah daun, ranting, maupun batangnya. Bila berkunjung ke Desa Pangauban saat ini, akan tampak bukit-bukit yang ditanami pohon kayu putih. E Kusnadi (57), warga Pangauban, berharap pohon-pohon ini nantinya akan melindungi sawah dan kebun sayur warga bila banjir melanda. Kusnadi saat ini menanam kol yang dijual Rp 3.000 per kilogram. Dengan luas desa hanya 128 hektar, mayoritas warga menjadi petani penggarap atau berkebun kecilkecilan. Diharapkan, pengurangan risiko bencana juga mampu menyelamatkan sumber penghidupan mereka.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

2.2.6.

Perluasan Partisipasi Perempuan dan Anak Berkebutuhan Khusus dalam Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat Oleh: Arbeiter-Samariter-Bund (ASB)

Bencana menimbulkan dampak yang pastinya sangat besar terhadap penyandang disabilitas, keluarga serta kerabatnya. Namun sayangnya, di wilayah-wilayah yang rawan bencana, kemampuan penyandang disabilitas untuk mengakses informasi dan prosedur pengurangan risiko bencana (PRB), utamanya terkait dengan perlindungan dan penyelamatan diri, kurang diperhatikan. Padahal pada kenyataanya disabilitas merupakan keadaan yang dapat menambah tingkat kerentanan pada kelompok masyarakat yang pada dasarnya sudah rentan, misalkan perempuan penyandang disabilitas dan penyandang disabilitas anak. Saat ini, diperkirakan 15% dari penduduk dunia adalah penyandang disabilitas. Kegiatan trauma healing dalam simulasi Bahkan di negara berkembang seperti bencana inklusif yang melibatkan anak Indonesia, persentasenya diperkirakan berkebutuhan khusus lebih tinggi, yakni 21% (WHO dan World Bank, 2011). Tingginya persentase ini menunjukkan bahwa masyarakat penyandang disabilitas bukanlah penduduk minoritas sehingga kebutuhannya, utamanya terkait PRB, tidak dapat dikesampingkan. Lebih lanjut, data nasional mendapati 74% penyandang disabilitas anak atau anak berkebutuhan khusus usia sekolah belum dapat mengakses layanan pendidikan di sekolah (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar, 2011). Dapat disimpulkan bahwa kelompok anak berkebutuhan khusus di luar sekolah ini menjadi lebih rentan lagi terhadap bencana karena mereka tidak dapat mengakses layanan sekolah, yang merupakan pusat informasi utama di lingkungan masyarakat.

program pemberdayaan masyarakat

Inisiatif warga untuk menanam pohon kayu putih tidak muncul secara instan. Gempa yang melanda Kabupaten Garut pada 2 September 2009 ikut mendorong warga untuk lebih awas terhadap ancaman di depan mata. Ade, misalnya, mengikuti pelatihan Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang dipandu oleh International Organization for Migration (IOM). Ade mempercayai bahwa masyarakatlah tombak kegiatan pengurangan risiko bencana karena mereka yang berada di lapangan dan terpapar secara langsung oleh bencana. “Bencana tidak untuk ditakuti, tetapi direspon dengan baik,� tukas Ade.

49


program pemberdayaan masyarakat

UU No. 24 tahun 2007 khususnya Pasal 26 menyebutkan “Setiap orang berhak mendapatkan perlindungan sosial dan rasa aman, khususnya bagi kelompok masyarakat rentan bencana.� Sejalan dengan dasar hukum ini maka sudah merupakan keharusan bagi setiap aktor PRB, baik pemerintah maupun non pemerintah, untuk mempertimbangkan inklusifitas terhadap penyandang disabilitas dalam setiap kegiatan PRB-nya. Pada dasarnya usaha mengurangi risiko bencana akan menjadi ironi apabila penyandang disabilitas, sebagai kelompok masyarakat yang paling berisiko, tidak dilibatkan atau terlupakan.

50

Tujuan Program Secara umum program ini bertujuan untuk menginisiasi ketangguhan masyarakat secara inklusif dan berkontribusi pada penyebaran atau replikasi praktik-praktik PRB yang efektif dan inklusif terhadap kelompok rentan di Indonesia. Sedangkan secara khusus, program ini ditujukan untuk hal-hal berikut: 1. Pemberdayaan dan pembentukan mekanisme keterlibatan aktif perempuan dalam PRB berbasis masyarakat di 15 desa, Kecamatan Panawangan di Ciamis, Jawa Barat.

“Pelatihan PRB sangat penting karena memberi rasa tenang, mengingat pada waktu gempa tahun 2009, saya yang lagi memasak malah lari keluar tanpa mematikan kompor. Sekarang saya lebih tenang dalam menghadapi kemungkinan terjadinya bencana. Tas siaga juga penting, misalnya kalau mati lampu saya bisa membawa senter di dalam tas siaga. Setelah pelatihan, tetangga juga ada yang melakukan penataan rumah dengan cara menurunkan barangbarang dari atas lemari dan mengikat lemari. Ada juga yang memiliki tas siaga. Tetangga juga menyatakan kesiapannya untuk membantu Iqbal ketika terjadi bencana� – Iin Parlina, Ibu dari Muhammad Iqbal, anak dengan hambatan mobilitas.

2. Perluasaan akses, penyediaan, serta penyebarluasan informasi dan prosedur PRB yang praktis dan relevan bagi anak berkebutuhan khusus di luar sekolah, keluarga serta tetangga mereka. 3. Pembentukan mekanisme dukungan di tingkat rumah tangga untuk perlindungan dan penyelamatan anak berkebutuhan khusus saat terjadi bencana. 4. Penyediaan model mekanisme penyampaian informasi dan prosedur PRB bagi anak berkebutuhan khusus yang replikatif bagi Pemerintah Kabupaten. Hasil Program Program ini telah melatih 100 anak berkebutuhan khusus bersama 338 anggota keluarga serta 557 tetangga.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Berkat keterlibatan dan koordinasi aktif Pemerintah Kabupaten dan SKPD terkait (utamanya BKBPM, BPBD, dan Dinas Sosial) Pelatihan tata ruang aman bagi dalam pelaksanaan program, mekanisme kader desa dukungan ini telah diintegrasikan dalam Rencana Penanggulangan Bencana Daerah (RPBD) Kabupaten Ciamis 2012- 2016 dan Rencana Aksi Daerah (RAD) Kabupaten Ciamis 2012 – 2015 serta Rencana Kontinjensi Tanah Longsor dan Gempabumi di tingkat Kabupaten Ciamis dan Kecamatan Panawangan. Dalam dokumen kebijakan kebencanaan, disebutkan bahwa kader perempuan terlibat dalam kegiatan penanggulangan bencana pemerintah, utamanya terkait dengan pengarusutamaan kebutuhan dan keterlibatan penyandang disabilitas dalam setiap tahapan kebencanaan. Kolaborasi bersama kader perempuan dalam upaya penyebaran informasi PRB kepada masyarakat dinilai sangat efektif dan efisien dikarenakan kelompok kader yang terdiri dari 75 kader terlatih ini telah dikenal dan mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai agen penyebaran informasi sosial kemasyarakatan bahkan sebelum program berlangsung. Bermodal kepercayaan masyarakat ini, para kader dapat lebih mudah dan percaya diri dalam menyebarkan informasi PRB. Lebih lanjut, kepercayaan yang diperoleh kader memungkinkan rumah tangga dengan anggota keluarga penyandang disabilitas menjadi lebih terbuka dan mendukung kader dalam menggali informasi kebutuhan masyarakat penyandang disabilitas secara lebih rinci. Stigma atau pandangan negatif masyarakat kepada penyandang disabilitas membuat sebagian keluarga penyandang disabilitas menjadi tertutup atau sensitif terkait kemampuan dan kebutuhan anggota keluarganya. Melalui program ini, komunitas kader tersebut juga mampu mengidentifikasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus di luar sekolah selain yang terkait dengan kebencanaan, misalkan pendidikan dan kesehatan. Dalam konteks ketangguhan terhadap bencana, peningkatan kapasitas masyarakat dalam segala bidang termasuk pendidikan dan kesehatan merupakan komponen penting. Oleh karena itu, output tambahan ini tidak dapat dikesampingkan. Berkat fasilitasi kader, melalui mekanisme rujukan sederhana, beberapa anak berkebutuhan khusus mendapatkan akses layanan

program pemberdayaan masyarakat

Keterlibatan keluarga dan tetangga ditujukan untuk menyokong mekanisme dukungan bagi anak berkebutuhan khusus saat terjadi bencana. Anak berkebutuhan khusus, keluarga dan tetangga telah menunjukkan kecakapan PRB dengan melakukan penataan ruang yang aman dan praktek simulasi evakuasi bersama yang dimonitoring langsung oleh ASB dan kader pelatih.

51


publik seperti tertera pada tabel berikut:

program pemberdayaan masyarakat

Dampak Program Kebencanan Khusus di Luar Sekolah

52

terhadap Layanan bagi Anak Berkebutuhan

Fasilitasi Pengadaan Bantuan Kursi Roda

Jaminan Kesehatan Sosial dan Masyarakat

8 anak berkebutuhan khusus dan 21 penyandang disabilitas dewasa

21 anak berkebutuhan khusus untuk tahun 2012 dan 2013

Akses layanan pendidikan

• 44 anak berkebutuhan khusus masuk sekolah • 54 anak berkebutuhan khusus sedang dalam masa tunggu untuk masuk Sekolah Luar Biasa/SLB (menunggu hasil koordinasi Kantor Cabang Dinas Pendidikan Kec. Panawangan dan Dinas Pendidikan Kabupaten Ciamis.

Berikut ringkasan capaian program: 1. Pelatihan PRB dan simulasi evakuasi bencana bersama 100 anak berkebutuhan khusus di luar sekolah. 2. Pelatihan kepada 75 kader desa dan 7 Penyuluh Lapangan Keluarga Berencana (PLKB) dengan materi PRB dan disabilitas, pertolongan pertama dan kaji cepat, kontruksi ramah gempa, SPHERE Standard, serta pelatihan dan penyebaran informasi yang efektif (informasi-aksi41).

Trio Satrio, seorang anak berkebutuhan khusus dengan hambatan mobilitas, belajar beraktifitas di atas kursi roda barunya, bantuan dari UCP

3. Fasilitasi penyusunan RPBD, RAD dan Rencana Kontinjensi Tanah Longsor dan Gempa Kabupaten Ciamis yang inkusif terhadap perempuan dan disabilitas. RPBD dan RAD Ciamis merupakan dokumen kebencanaan inklusif disabilitas yang pertama di Metode komunikasi dengan materi dan konten informasi yang relevan terhadap penerima informasi (recipient) dimana materi informasi dapat diakses dan konten informasi dapat dipraktekan dengan mudah oleh recipient.

41


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Indonesia. 4. Workshop sensitasi pemerintah dan masyarakat terhadap kebutuhan dan kemampuan penyandang disabilitas dalam kaitannya dengan interaksi sosial kemasyarakatan.

6. Keterlibatan aktif kader dalam Forum PRB Kabupaten yang diinisiasi oleh BPBD Kabupaten Ciamis. Forum PRB juga mengatur kegiatan sosialisasi oleh kader ke kecamatan-kecamatan yang belum mendapatkan pelatihan. Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Ciamis, Drs. H. Dicky Erwin Juliady, M.Si. telah mempresentasikan program PRB inklusif ini dalam Konferensi PRB Tingkat Menteri SeAsia (AMCDRR) ke 5 di Yogyakarta pada Bulan Oktober 2012 lalu. Presentasi tersebut ditujukan untuk diseminasi praktik PRB inklusif yang praktis serta menjembatani pengarusutamaan isu disabilitas dalam forum PRB di tingkat regional. Sebagai hasilnya Deklarasi Yogyakarta yang merupakan hasil kesepakatan akhir dalam konferensi tersebut mengakomodasi isu PRB dan disabilitas secara spesifik dan siginifikan. Dokumen ini diakui sebagai produk kebijakan PRB tingkat regional yang paling inklusif disabilitas hingga saat ini. Lokasi Program Wilayah pelaksanaan program yang digambarkan dalam artikel ini mencakup 15 desa di Kecamatan Panawangan, Kabupaten Ciamis. Pelaksanaan program ini merupakan upaya replikasi keberhasilan program yang sebelumnya dilaksanakan di Kecamatan Ciamis, Kabupaten Ciamis serta di seluruh kecamatan dan desa di Kabupaten Sleman dan Gunungkidul Yogyakarta (35 kecamatan, 230 desa). Pada tahun 2011, program PRB inklusif ini sendiri terpilih sebagai salah satu praktik terbaik dalam pelibatan penyandang disabilitas dalam program-program Pelatihan bagi anak berkebutuhan pembangunan (The United Nations khusus dengan hambatan Best Practices for including Persons with pendengaran dengan penggunaan Disabilities in all Aspects of Development). gambar serta bahasa tubuh Artikel dapat diakses di www.un.org/ disabilities/documents/best_practices_publication_2011.pdf Pembelajaran

program pemberdayaan masyarakat

5. Simulasi bencana inklusif disabilitas tingkat kabupaten dengan melibatkan seluruh sumber daya kebencanaan tingkat kabupaten salah satunya kader perempuan yang terlatih dalam program.

53


program pemberdayaan masyarakat

Program ini menghasilkan beberapa pembelajaran baik bagi ASB sebagai pelaksana program maupun bagi pemerintah, kader dan masyarakat sebagai mitra dan pemanfaat program. Berikut ringkasan pembelajaran yang dihasilkan dalam program yang diharapkan dapat menjadi pertimbangan replikasi program di wilayah lain di Indonesia dan menjadi salah satu acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program PRB ke depannya:

54

1. PRB bagi penyandang disabilitas tidak selalu bersifat teknis dan memerlukan ahli khusus. Informasi PRB praktis terkait perlindungan dan penyelamatan diri, yang merupakan informasi utama yang harus diketahui penyandang disabilitas dalam upaya mengurangi risiko bencana, dapat dengan mudah disampaikan oleh orang umum dengan memperhatikan materi dan konten informasi yang sesuai kebutuhan dan kemampuan penyandang disabilitas. 2. Pemanfaatan sumberdaya penyebaran informasi yang sudah ada dalam masyarakat berkontribusi pada keberlanjutan mekanisme penyampaian informasi yang terbentuk dalam program PRB. Lebih lanjut, hal ini juga berkontribusi pada perluasan dampak program. Dalam pelaksanaannya, para kader berinisiatif untuk melakukan penyebaran informasi PRB pada masyarakat umum selain penyandang disabilitas dengan cara mengintegrasikannya pada kegiatan-kegiatan kader reguler, misalkan pertemuan arisan, PKK, Posyandu, dll. 3. Program terkait penyandang disabilitas tidak semata-mata hanya melibatkan penyandang disabilitas sendiri. Diperlukan peningkatan kesadaran bagi masyarakat sekitarnya agar memahami kebutuhan dan kemampuan penyandang disabilitas serta mendukung perluasan kesempatan bagi mereka dalam kehidupan sosial bermasyarakat. 4. Dalam PRB inklusif disabilitas tidak hanya penyandang disabilitas yang mendapatkan manfaatnya secara langsung tetapi juga kelompok rentan lainnya dan juga masyarakat umum. Sebagai contoh, penataan ruang yang aman bagi penyandang disabilitas dipastikan aman pula bagi semua orang tanpa terkecuali, penentuan jalur evakuasi yang aman dan aksesibel juga pastinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum, dll. 5. Penyandang disabilitas dan perempuan sebagai bagian kelompok rentan tidak hanya dapat menjadi objek dari kegiatan PRB namun dapat pula menjadi sumberdaya yang signifikan untuk mendukung efektifitas kegiatan PRB, utamanya yang berbasis masyarakat. 6. Perencanaan penanggulangan bencana secara partisipatif (perumusan RPBD, RAD, dan rencana kontinjensi) dapat memastikan inklusifitas dan terakomodasinya perencanaan pemenuhan kebutuhan seluruh masyarakat, termasuk perempuan dan penyandang disabilitas dalam setiap tahapan kegiatan penanggulangan bencana. Lebih lanjut partisipasi ini juga dapat mendukung identifikasi sumberdaya


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

PRB yang ada pada kelompok masyarakat perempuan dan penyandang disabilitas yang memungkinkan mereka untuk terlibat secara aktif. Dengan demikian program PRB akan berbasis pula pada pemberdayaan masyarakat secara menyeluruh.

8. Melalui perluasan kesempatan dan terbukanya sikap masyarakat terhadap kelompok rentan maka potensi yang ada dalam diri mereka semakin tergali. Sebagai contoh, sebelum pelatihan anak berkebutuhan khusus yang tidak sekolah dan keluarganya tertutup dengan interaksi luar, setelah pendekatan dan pelatihan ramah anak dan keluarga serta sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan oleh kader maka teridentifikasi bahwa anak berpotensi mengikuti pembelajaran di sekolah dan anak sendiri menyatakan keinginan besar mereka untuk sekolah. Saat ini anak-anak berkebutuhan khusus yang telah terdaftar di sekolah terbukti mampu mengikuti pembelajaran formal bersama teman-temannya yang lain, baik di sekolah umum maupun di SLB. 9. Dalam konteks ketangguhan terhadap bencana peningkatan kapasitas masyarakat dalam segala bidang termasuk pendidikan, kesehatan serta kesetaraan dalam kehidupan sosial bermasyarakat merupakan komponen penting.

program pemberdayaan masyarakat

7. Terkait disabilitas sebagai isu lintas sektoral, kegiatan PRB dapat menjadi pintu bagi terbukanya akses layanan publik lainnya bagi anak berkebutuhan khusus yang selama ini masih tertinggal. Data serta informasi disabilitas yang teridentifikasi dalam kegiatan PRB dapat pula digunakan dalam perencanaan penyediaan layanan pendidikan, kesehatan dan sosial bagi anak melalui mekanisme rujukan.

55

2.2.7. Peningkatan Kapasitas Masyarakat untuk Kesiapsiagaan dan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Wilayah Selatan Jawa Oleh: GIZ IS (International Service) untuk PROYEK GITEWS dan PROTECTS di Indonesia Secara umum proyek kerjasama ini memfasilitasi implementasi kegiatan pembangunan Kesiapsiagaan dan Peringatan Dini Tsunami untuk masyarakat di 8 kabupaten di pesisir selatan Jawa Timur dan 2 kabupaten di DI Yogyakarta. Secara khusus, kegiatankegiatan proyek memfasilitasi masyarakat daerah untuk memiliki: a. pengetahuan umum tentang gempa bumi dan tsunami, dan potensi ancaman di daerah masing-masing b. peta bahaya tingkat kabupaten, kajian kerentanan dan kapasitas, c. peta dan prosedur evakuasi tingkat kabupaten dan komunitas, mekanisme rantai peringatan dini di daerah, d. kemampuan, materi-materi dan sejumlah relawan di desa agar dapat melaksanakan sosialisasi secara dekat dan berkelanjutan untuk peningkatan kesadaran warga. Wilayah pesisir selatan Jawa merupakan daerah berisiko terhadap ancaman gempa


bumi dan tsunami. Terbukti wilayah selatan Jawa telah mengalami bencana tsunami yang dikenal dengan tsunami Banyuwangi (1994) dan tsunami Pangandaran (2007). 1. Proyek Kerjasama dan Lokasinya di Jawa

program pemberdayaan masyarakat

Proyek kerjasama GITEWS mengawali pelaksanaan pembangunan sistem peringatan dini tsunami di lima (5) kabupaten: Bantul di DIY, Purworejo, Kebumen, Cilacap di Jawa Tengah dan Ciamis di Jawa Barat selama periode Januari 2007-Juni 2011.

56

Pendekatan dan hasil kerja GITEWS ditingkatkan pada proyek lanjutan yang dinamakan PROTECTS, yang kemudian direplikasi di wilayah baru di Kabupaten Pacitan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, Malang Lumajang, Jember dan Banyuwangi di Provinsi Jawa Timur dan di Kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul di DI.Yogyakarta pada periode Juni 2011–Juni 2013. 2. Pelaku Proyek kerjasama di selatan Jawa ini mendorong keterlibatan pemangku kepentingan di semua tingkatan masyarakat. Kelompok Kerja dari berbagai pemangku kepentingan, BPBD, SKPD, TNI, POLRI, PMI, LSM, Ormas di tingkat Contoh Model kabupaten (Bagan 1), Keterwakilan Lembaga Pelaksana Perangkat desa, Individu di Kabupaten warga di tingkat desa/ kecamatan (Bagan 2), Kelompok Kerja BPBD di tingkat provinsi dan BNPB, BMKG, RISTEK di tingkat Peran: mewakili masyarakat daerah nasional (Bagan 3). dalam proses alih pengetahuan & teknologi

Tanggung jawab: mengimplementasikan komponen-komponen kesiapsiagaan di daerah

Kontribusi: menyediakan sumber daya manusia & lainnya

3. Pendekatan Terstruktur Kegiatan proyek dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan terstruktur dan multi-tingkat.

1. Kabupaten menyediakan Bagan 1. Kelompok Kerja Kabupaten Peta Bahaya (kajian risiko), menyusun Peta Evakuasi kabupaten dan mengembangkan konsep Peringatan Dini Tsunami di Daerah. 2. Desa terlibat dalam penyusunan Peta Evakuasi, mengembangkan cara-cara penyebaran peringatan untuk warga, dan melaksanakan Sosialisasi dan Gladi Tsunami. 3. Individu warga berpartisipasi dalam Sosislisasi dan mengembangkan Rencana


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Contoh Cara Kerja PROTECTS

Implementasi Komponen Kerja

Peningkatan Kapasitas Masyarakat di Wilayah Kerja Proyek

di Masyarakat di Satu Kabupaten

Kab. A

DEPDAGRI RISTEK BNPB

BPBD Prov

Kab. E

BMKG LIPI

Pendamping/ Kader Desa Prioritas

Desa Prioritas

Kab. D

Pendamping/ Kader Desa Prioritas

Desa Prioritas

Bagan 2. Relasi di Kabupaten dan Desa

Kab. B

Forum Tsunami Provinsi Kab. C

GIZ IS

Bagan 3. Relasi antar Pelaku Multi-Tingkat

Evakuasi Mandiri. 4. BPBD Provinsi, BNPB dan BMKG menyediakan pedoman dan panduan serta peraturan-peraturan yang relevan dan memfasilitasi kegiatan. 5. GIZ IS menyelenggarakan pelatihan dan konsultasi teknis. 4. Peningkatan Kapasitas dan Pelatihan

program pemberdayaan masyarakat

Contoh Model

57

Bagan 4. Pendekatan Terstruktur dan Multi-Tingkat


program pemberdayaan masyarakat

Secara praktis untuk mewujudkan komponen-komponen kegiatannya diselenggarakan 5 kali workshop untuk semua kabupaten di satu provinsi dan serangkaian pertemuan antar pemangku kepentingan di masing-masing kabupaten untuk menyelesaikan setiap kegiatan yang direncanakan atas prakarsa sendiri.

58

Kegiatan pelatihan teknis diberikan kepada personil lembaga pemerintah dan nonpemerintah di daerah dan kepada kader-kader (relawan) di desa untuk mendukung penyelesaian tugas-tugas komponen-komponen di atas secara berkualitas. Pelatihan yang diberikan adalah: Contoh Model Proses Pelaksanaan Peningkatan Kapasitas Masyarakat

Rapat Kerja & Implementasi

Loka Karya 4, dst.

Hasil

Rapat Kerja & Implementasi

Loka Karya 3

Hasil

Rapat Kerja & Implementasi Hasil

Loka Karya 2

a. pelatihan Evakuasi Tsunami

Perencanaan

b. pelatihan Pembuatan Peta Evakuasi Tsunami Berbasis GIS c. pelatihan ToT untuk Fasilitator Tsunami (FATMI) d. pelatihan untuk Kader Tsunami (KATSUMI) e. pelatihan Layanan Peringatan Dini Tsunami di Pusdalops Daerah

Loka Karya 1

Bagi daerah yang memiliki dana, proyek ini juga memfasilitasi pembuatan Rambu Evakuasi dan Papan (billboard) Evakuasi, serta pemasangan peralatan komunikasi untuk penyebaran peringatan dini tsunami di masyarakat dengan merujuk pada standar nasional. Hasil Proyek Kerjasama Kegiatan proyek GITEWS menghasilkan sejumlah piranti terapan untuk pengembangan kesiapsiagaan dan peringatan dini tsunami di masyarakat, antara lain: a. Panduan Perencanaan untuk Evakuasi Tsunami b. Modul Pelatihan Perencanaan untuk Evakuasi Tsunami c. Panduan Pembuatan Peta Evakuasi Tsunami Berbasis GIS d. Modul Pelatihan Layanan Peringatan Dini Tsunami di Pusdalops Daerah e. Modul Pelatihan Fasilitator Tsunami (FATMI) tingkat Kabupaten f. Modul Pelatihan Kader Tsunami (KATSUMI)


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Selain itu, juga dihasilkan materi-materi untuk sosialisasi (film, poster, komik, dll.) dan dokumentasi pembelajaran dari berbagai pengalaman di daerah. Hasil-hasil tersebut dapat dilihat di www.gitews.org/tsunami-kit.

1. Pendanaan dan Sumber Daya

Pelaksanaan setiap kegiatan yang direncanakan didukung dengan kontribusi setiap pihak yang terlibat di semua tingkat (desa/kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional) dengan menyediakan sumber daya manusia, pendanaan, fasilitas, data dan informasi, materi pengetahuan, mekanisme dan peraturan yang ada.

2. Kajian Risiko Tsunami

Pengadaan Peta Bahaya untuk kabupaten merupakan upaya Kelompok Kerja Kabupaten atau dengan mengadopsi peta bahaya kontribusi dari DLR. Pengembangan Kajian Kerentanan dan Kajian Kapasitas secara sederhana dilakukan oleh Pokja Kabupaten.

3. Rencana Evakuasi, Jalur Evakuasi dan Tempat Pengungsian

Rencana Evakuasi dikembangkan oleh Pokja bersama masyarakat dengan menerapkan metode 5 langkah, dan menghasilkan Peta Evakuasi beserta Prosedur Evakuasi tingkat komunitas (desa atau kecamatan) dan tingkat Kabupaten. Jalur-jalur evakuasi yang dipilih di beberapa kabupaten sudah dilengkapi dengan sejumlah rambu-rambu evakuasi dan tempat-tempat evakuasi, sesuai dengan kemampuan finansial daerah.

4. Sistem Peringatan Dini Tsunami

Konsep Rantai Peringatan di daerah dikembangkan dengan merujuk pada Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS). Pusdalops di BPBD Kabupaten dikembangkan agar mampu menerima peringatan dari Pusat Peringatan Dini Tsunami Nasional di BMKG Jakarta, dan dirancang mendapat delegasi dari Otoritas Daerah (melalui Perbup/Perda) untuk mengambil keputusan evakuasi atau tidak. Beberapa kabupaten menggunakan cara-cara penyebaran peringatan sesuai dengan kondisi di daerah, misalnya melalaui sirine lokal, SMS gateway, DVB, radio komunitas, HT.

program pemberdayaan masyarakat

Hasil Program Ringkasan di bawah merupakan catatan proyek yang dibuat dengan menggunakan daftar indikator di Perka BNPB No 1/2012 sebagai referensi.

59


Pelatihan Perencanaan untuk Evakuasi Tsunami selama 5 hari diberikan kepada 3 personil laki-laki dan perempuan dari setiap kabupaten untuk membantu Pokja dalam menyusun Rencana Evakuasi. Pelatihan Pembuatan Peta Evakuasi Tsunami Berbasis GIS 5 hari diberikan kepada 7 personil dari BPBD Provinsi dan Pokja Kabupaten untuk membantu Pokja dalam mengembangkan Peta Evakuasi. Pelatihan selama 5 hari diberikan kepada 4-5 personil di setiap kabupaten dan BPBD propinsi dengan menerapkan modul pelatihan Fasilitator Tsunami-FATMI, untuk memampukan mereka melakukan dua hal: a) memfasilitasi proses perencanaan evakuasi di level desa/komunitas, dan b) menjadi pelatih bagi kader/relawan desa agar mampu melakukan sosialisasi kepada warga masyarakat di desanya. Menjelang pelatihan kader desa, para fasilitator mendapatkan coaching intensif selama 2 hari. Pelatihan Kader Tsunami (KATSUMI) diberikan kepada kirakira 20 laki-laki dan perempuan aparat dan perwakilan masyarakat desa di setiap kabupaten dengan menerapkan modul pelatihan Kader Tsunami selama 3 hari.

6. Rencana Kontijensi

Beberapa kabupaten mengembangkan Rencana Kontinjensi tingkat kabupaten dengan memadukan Rencana Evakuasi, Rantai Peringatan dan Rencana Tanggap Darurat. Pada kesempatan tersebut, kerjasama ini memberi sumbangsih berupa Rencana Evakuasi Tsunami dan Rantai Peringatan Dini Tsunami untuk Daerah. Kabupaten yang sudah melaksanakan Renkon antara lain Cilacap, Gunungkidul, Pacitan dan Tulungagung.

7. Sosialisasi dan Gladi Tsunami

Sosialisasi dilaksanakan oleh Kader, Fasilitator, bersama Pokja dengan menggunakan beragam materi (film, poster, komik, peta evakuasi, dll) untuk memberikan materi pengetahuan yang benar dan memadai tentang gempa bumi dan tsunami, rencana evakuasi komunitas dan peringatan dini. Kabupaten yang sudah melaksanakan sosialisasi antara lain, Ciamis, Cilacap, Kebumen, Purworejo, Bantul, Gunungkidul, Pacitan, Tulungagung. Gladi tsunami dilaksanakan oleh beberapa kabupaten untuk mempraktekkan Rencana Kontinjensi, antara lain di Cilacap, Kebumen, Bantul, Gunungkidul, Pacitan, Tulungagung.

program pemberdayaan masyarakat

5. Pelatihan untuk Personil di Kabupaten, Aparat dan Relawan di Desa

60


8. Legislasi dan Kelembagaan

Pada akhir proyek kerjasama ini Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Desa didorong untuk melegalisasi produkproduk kegiatan proyek untuk secara resmi diterapkan di daerah masing-masing. Misalnya Peta Bahaya, Peta dan Prosedur Evakuasi, konsep Rantai Peringatan di Daerah, SOP Pengambilan Keputusan, dll. Forum-forum di masyarakat juga dibentuk, misalnya di Bantul. Selain itu juga didorong untuk melembagakan para personil yang sudah dilatih untuk penguatan kapasitas penanggulangan bencana di tingkat kabupaten (Pokja dan Fasilitator) dan desa (Kader).

Lokasi Program Lokasi program GITEWS dan PROTECTS ada di 53 desa/kelurahan yang tersebar di 15 Kabupaten/Kota di Jawa Timur, Jawa Tengah, D.I.Yogyakarta, dan Jawa Barat. Pembelajaran Pendekatan yang digunakan PROTECTS memungkinkan terlaksananya: 1. Penguatan kapasitas kelembagaan BPBD dan personil lembaga lain di tingkat kabupaten dan komunitas desa, serta BPBD Provinsi. Kapasitas ini dibangun dengan mengikutsertakan personil di daerah dalam serangkaian workshop, pelatihan teknis, pertemuan-pertemuan dan konsultasi teknis. 2. Proyek kerjasama ini selain menjadi ruang sosial, politik dan budaya untuk menguji coba kembali pendekatan (GITEWS) yang sudah ditingkatkan (PROTECTS) di masyarakat di kabupaten lain, juga memberi kesempatan untuk menerapkan peraturan dan kebijakan (BNPB, Kementrian Dalam Negeri) dan pedoman nasional (PDT BMKG), panduan teknis (perencanaan evakuasi dan WRS GIZ), piranti dan peraga pelatihan (FATMI, KATSUMI dan Pusdalops GIZ) dan sosialisasi (poster, komik, film), model rambu evakuasi (RISTEK), serta papan peta evakuasi/billboard, sirine lokal. 3. Pelatihan bagi sejumlah personil sehingga ter-upgrade kapasitasnya di tingkat provinsi, kabupaten dan komunitas desa. Hal ini menjadikan mereka memiliki kesamaan pengetahuan, kemampuan teknis dan ‘bahasa yang sama’ untuk menyelesaikan tugas kebencanaan yang ada di daerah masing-masing. Kelompok ini berpotensi mengawali terbentuknya sebuah Forum Kerja di daerah. 4. Terjalinnya hubungan yang lebih baik antara para personil dan lembaga yang terlibat di berbagai tingkat: desa/kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional. 5. Selain pembelajaran di atas, terdapat sejumlah tantangan yang dialami oleh pelaku di berbagai tingkat masyarakat selama pelaksanaan proyek kerjasama

program pemberdayaan masyarakat

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

61


program pemberdayaan masyarakat

sehingga mengakibatkan kurang optimalnya capaian proyek, dan bahkan ketidakberhasilan dalam mewujudkan hasil di daerah. Tantangan tersebut antara lain masih barunya lembaga BPBD di daerah dan keterbatasan personil di BPBD, belum terhubungkannya dengan efektif potensi yang ada di pemerintah dan di masyarakat yang berimplikasi pada minimnya pengalaman dan pengetahuan organisasi.

62

2.2.8. Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat Desa Hutan Oleh: Lembaga Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya dan Lingkungan (LPPSLH) dan Catholic Relief Services (CRS) Indonesia Dengan banyaknya jenis bahaya alam yang mengancam, Kabupaten Banyumas dapat disebut sebagai salah satu wilayah paling rawan di Indonesia. Dari 27 kecamatan di Banyumas, 26 diantaranya daerah rawan longsor. Selain itu, ada puluhan titik rawan bencana angin ribut dan banjir. Menurut Indeks Rawan Bencana Indonesia, Banyumas berada di posisi 8 nasional. Selain potensi bencana yang disebabkan oleh aktivitas alam, Banyumas juga memiliki potensi bencana yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti konflik sosial, epidemi wabah penyakit dan kegagalan teknologi. Dalam perspektif manajemen bencana, dampak buruk bencana dan banyaknya korban disebabkan karena tidak ditempatkannya potensi ancaman bencana dalam segala sektor. Kondisi ini semakin diperburuk dengan belum dijadikannya ancaman sebagai pengetahuan dan kemampuan yang harus dimiliki masyarakat di daerah rawan bencana. Potensi ancaman semakin bertambah dengan dampak pemanasan global yang telah nyata dirasakan. Selama 2008-2010, CRS mendukung proyek “Pengelolaan Bencana Berbasis Masyarakat Desa Hutan” yang dilaksanakan oleh LPPSLH. Di sisi strategi advokasi, kebijakan diarahkan untuk membangun forum komunikasi penanggulangan bencana di tingkat kabupaten. Pembentukan forum ini sebagai implementasi dari Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework for Action) dan Undang-Undang no 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang mewajibkan Pemerintah Daerah menyelenggarakan kegiatan penanggulangan bencana di daerahnya. Tujuan Tujuan umum dari program adalah meningkatkan perlindungan masyarakat desa rawan bencana tanah longsor dan banjir untuk menghadapi bencana yang akan datang di desa Samudra Kulon, Kedungurang, Cibangkong, dan Kracak di Kabupaten Banyumas. Sedangkan tujuan khususnya adalah : 1. Meningkatkan ketahanan masyarakat rentan dalam melakukan pengurangan risiko bencana melalui kelembagaan penanggulangan bencana


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

2. Mengembangkan strategi advokasi untuk pengintegrasian pembangunan daerah yang berperspektif bencana Hasil yang diharapkan Melalui program ini, hasil yang diharapkan ialah: 1. Masyarakat rentan meningkat kapasitasnya secara teknis tentang DRR/ER

3. Dokumen rencana aksi komunitas dan penanggulangan bencana ditingkat desa tersusun dengan baik. 4. Usaha ternak dan usaha lain dapat berkembang untuk mendukung kemandirian finansial lembaga PRB 5. Draft rancangan perencanaan, pendanaan dan kelembagaan penanggulangan bencana ditingkat kabupaten tersusun dengan baik.

dalam

6. Forum pengurangan risiko bencana terbentuk di tingkat kabupaten Lokasi Program Lokasi program berada di Propinsi Jawa Tengah Kabupaten Banyumas meliputi empat wilayah desa dan kecamatan, yaitu Desa Samudra Kulon dan Desa Kedungurang (Kecamatan Gumelar), Desa Cibangkong (Kecamatan Pekuncen), dan Desa Kracak (Kecamatan Ajibarang). Kegiatan dan Hasil Program 1. Meningkatnya ketahanan masyarakat rentan dalam melakukan pengurangan risiko bencana melalui kelembagaan penanggulangan bencana.

Kegiatan Berpetualang Mengenal Bencana yang diikuti oleh 250 siswa Sekolah Dasar di wilayah dampingan program

program pemberdayaan masyarakat

2. Kelembagaan PRB memiliki kemampuan dalam advokasi penanggulangan bencana

63


program pemberdayaan masyarakat 64

Saluran air dan bak penampungan di Desa Cibangkong

Sosialisasi Kebencanaan

Melalui pendidikan bencana dilakukan dengan mengemas materi bencana bagi anak dengan berbagai permainan dan outbond yang diharapkan anak-anak lebih siap dalam menghadapi bencana. Pendidikan bencana yang didukung oleh dinas pendidikan diikuti oleh 250 anak-anak sekolah kelas 5 dan 6.

Implementasi Rencana Aksi Komunitas

Implementasi rencana aksi komunitas dengan membangun sarana infrastruktur mitigasi dilakukan oleh tim PRB bersama masyarakat di masing-masing desa dengan beragam jenis bentuknya seperti Desa Cibangkong membangun pembuatan saluran air dan bak penampung. Sementara Desa Kracak dan Desa Kedungurang membangun Jalur setapak, Desa Samudra Kulon membangun Pos Pengurangan Risiko bencana. Pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh Tim PRB dibantu dengan masyarakat baik swadaya material maupun tenaga disesuaikan dengan kemampuan masing-masing wilayahnya.

Pengembangan Alat Peringatan Dini Pada periode awal proyek telah dibuat alat peringatan dini yang sudah dibuat di masing–masing desa, namun ketersediaannya masih belum menjangkau keseluruhan wilayah rawan bencana. Sampai saat ini sudah terpasang alat peringatan dini sederhana yang merupakan hasil inspirasi masyarakat yang telah dirancang ulang. Alat peringatan dini ini yang dinamakan TENGGARA. Alat ini berupa dua buah tiang yang TENGGARA: Alat peringatan dini ide dihubungkan dengan seutas kawat. masyarakat setempat Selain pengembangan alat juga dilakukan


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Musyawarah Kebijakan Penanggulangan Bencana Desa

Empat desa sasaran program PRB menjelang akhir tahun ke II telah menyiapkan tim PRB mandiri. Pengakuan legalitas kelembagaan yang disahkan dengan setidaknya SK desa yang mengatur keberadaan kelompok PRB. Melalui rangkaian kegiatan pertemuan, telah disahkan kelembagaan tim PRB di desa Samudra Kulon dan Kracak. Pengesahan ini tertuang dalam surat keputusan kepala desa. Sementara Desa Cibangongkang serta Kracak menggunakan bantuan akta notaris dalam proses pengesahannya. Dengan adanya SK ini semakin memperkuat soliditas kepengurusan tim PRB dan mensejajarkan kedudukannya dengan lembaga desa lainnya.

Pengembangan Usaha Ekonomi Produktif untuk Keberlanjutan Kelompok PRB

Kemandirian finansial kelompok PRB dilakukan dengan pengembangan usaha ekonomi produktif. Kegiatan yang dilakukan di Desa Cibangkong dan Kracak diawali dengan mengidentifikasi usaha kerakyatan yang ada, dan pilihannya ialah usaha ternak kambing. Usaha ini dilakukan dengan mekanisme di tingkat kelompok dan telah disepakati melalui model bagi hasil dengan pemelihara kambing (penggaduhan). Hasil dari penggaduhan kambing ini diharapkan menyumbang permodalan kelompok untuk dapat menunjang operasional lembaga tim PRB. Usaha ternak kambing ini sebelumnya telah dikembangkan di Kelompok Tim PRB Desa Kedungurang dengan nama TAKABUR. Model TAKABUR ini dikembangkan pada masing-masing desa dampingan LPPSLH dengan memberikan modal awal kambing sejumlah 5 ekor di masing-masing kelompok PRB. Ternyata pada perkembangan selanjutnya cukup prospektif dan memberikan keuntungan bagi kelompok PRB. Berkaca dari proses yang telah dilakukan sebelumnya, maka dibuatkan kontrak perjanjian antara Tim PRB dengan penggaduh/peternak kambing. Surat perjanjian ini berfungsi untuk memperkuat mekanisme kerjasama dalam usaha penggaduhan kambing. Rumah Baru Buat Bapak Tak ada yang lebih diinginkan Kamad Mardikam (64 thn), warga Desa Cibangkong, selain menikmati hari tuanya dengan nyaman dan tentram di rumah bersama keluarga. Tetapi apa mau dikata ketika hujan deras yang turun sore itu mengakibatkan rumah Pak Kamad yang dibangun dengan susah payah selama 15 tahun hancur dan rusak tersapu longsor dalam sekejap karena hujan deras yang turun sejak siang. Desa Cibangkong, dimana Pak Kamad dan seorang anaknya tinggal termasuk salah satu desa rawan bencana longsor di Kabupaten Banyumas. Kejadian tanah longsor yang terjadi tanggal 16 Februari 2010 sekitar pukul 16.00 sore

program pemberdayaan masyarakat

kajian teknis dan ilmiahnya keberadaan alat dapat diketahui efektifitasnya dalam membantu mendeteksi bencana.

65


mengakibatkan rumah Kamad Madikram dan Karsito rusak berat. Pada saat kejadian, Madrikam dan Narkem (istrinya) sempat terkena runtuhan rumah, beruntung mereka hanya mengalami luka ringan. Namun Madrikam dan Nakem harus merelakan rumah yang baru dibangun sekitar 6 bulan dari hasil menabung selama 15 tahun rusak parah, kerugian ditaksir mencapai 50 juta rupiah.

program pemberdayaan masyarakat

Disaat mengalami penderitaan seperti itu, kelompok PRB masyarakat desa Cibangkong mengadakan rembug warga untuk membantu meringankan beban penderitaan Pak Kamad. Setelah mengadakan pertemuan dengan anggota dan pengurus kelompok, akhirnya mereka sepakat untuk menggunakan dana kas organisasi yang pada saat itu berjumlah Rp. 2,500,000 untuk dipakai membangun kembali rumah sederhana diatas bangunan rumah Pak Kamad yang sudah rusak parah. Dengan dana yang sangat terbatas tersebut, pada mulanya masyarakat hanya akan membangun bagian rumah utama agar bisa ditinggali. Tetapi, siapa sangka, dengan modal gotong royong dan swadaya, bangunan rumah yang sedianya akan dibangun seadanya bisa dibangun seluruhnya seperti sebelum terkenal longsor. Tidak terbayangkan perasaan sukacita yang dirasakan Pak Kamad karena bisa tinggal dirumahnya kembali. Inisiatif kelompok PRB dan semangat gotong royong yang sangat kuat yang dimiliki masyarakat Cibangkong menjadi bukti bahwa tidak ada yang tidak mungkin dicapai jika diusahakan bersama-sama.

66

2. Mengembangkan strategi advokasi untuk pengintegrasian pembangunan daerah yang berperspektif bencana

Penyusunan Dokumen Rencana Penanggulangan Bencana

Musyawarah penyusunan dokumen rencana penanggulangan bencana ini dihadiri oleh perwakilan dari elemen – elemen di masyarakat seperti lembaga desa, pemerintah desa dan stakeholder lainnya.

Lokakarya Pembentukan BPBD dan Konsultasi pembentukan BPBD Kabupaten Banyumas

Lokakarya pembentukan BPBD menghasilkan rekomendasi bagi Pemerintah Daerah untuk memfasilitasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam penanganan bencana di Banyumas. Pemerintah Daerah merespon baik dengan mengadakan diskusi publik yang membuka komunikasi antara elemen di LSM dan stakeholder


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Penguatan Kapasitas Forum Slamet dan Kongres Forum Slamet

LPPSLH dan kelompok PRB adalah salah satu komponen yang terlibat aktif dalam Forum Slamet. Forum Slamet adalah forum PRB yang berada pada lima kabupaten sekitar Gunung Slamet, yaitu Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Pemalang, Tegal dan Brebes. Forum ini terdiri komponen LSM, pemerintah, swasta dan media.

Pembelajaran - Pembangunan usaha ekonomi produktif sangat strategis untuk membangun kemandirian finansial lembaga dan akseptasi program di tingkat masyarakat - Pengelolaan pembangunan sarana mitigasi yang partisipatif dan swakelola oleh tim PRB mampu memobilisasi keswadayaan masyarakat yang cukup tinggi - Media warga berupa bulletin meningkatkan kapasitas PRB skaligus dapat menjadi sarana informasi bagi masyarakat dan media advokasi - Pengenalan bencana di tingkat anak-anak yang dikemas dengan kegiatan di luar ruang sangat diminati dan mudah dimengerti oleh anak-anak - Badan hukum lembaga tim PRB dapat dijadikan sebagai rangkaian membangun strategi keberlanjutan lembaga melalui sinergi program-program yang ada di desa - Penggunaan teknologi dengan membuat website jaringan LSM sangat membantu untuk mengkampanyekan keberadaan LSM sekaligus media belajar bersama 2.2.9.

READY Project: Membangun Kapasitas Anak untuk Membantu Desa Menjadi Tangguh terhadap Bencana oleh World Vision Indonesia

Terkait dengan pengurangan risiko bencana, Wahana Visi Indonesia berupaya untuk memberikan perhatian yang serius dalam memastikan pemenuhan hak-hak anak pada masa pra, saat, dan pasca bencana. Pemenuhan hak-hak anak tentunya menjadi penting agar anak dapat memperoleh kesempatan bertumbuh dan berkembang secara baik dan sesuai dengan apa yang seharusnya diperolehnya. Hal ini tentunya juga didasari atas pentingnya peran orang tua dan masyarakat di sekitarnya untuk dapat memastikan anak mendapatkan yang terbaik bagi kehidupannya. Di dalam menjalankan upaya-upaya meningkatkan kapasitas anak, keluarga, dan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana maka Wahana Visi Indonesia melakukan pendekatan integrasi kemitraan lintas sektoral di 50 wilayah program pengembangan

program pemberdayaan masyarakat

lainnya dan melanjutkan proses diskusi ke arah pembahasan kebijakan pembentukan BPBD. Pertemuan dan proses diskusi terus berlanjut sampai akhirnya keluar Peraturan Bupati Banyumas nomor 72 tahun 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyumas.

67


program pemberdayaan masyarakat

masyarakat di 8 provinsi di Indonesia (Sumatra Utara, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, NTT, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, dan Papua). Integrasi kemitraan lintas sektoral dimaksudkan sebagai upaya pelibatan seluruh pihak yang berkepentingan di dalam program pengembangan masyarakat (Pemerintah, Sektor Usaha, Institusi Pendidikan, Kelompok Swadaya Masyarakat, Media, dsb) ke dalam upaya-upaya integrasi pengurangan risiko bencana yang berbasiskan anak dan masyarakat. Secara khusus, di tingkat desa Wahana Visi Indonesia berupaya untuk mendukung kebijakan Desa Tangguh Bencana yang dikeluarkan oleh BNPB melalui strategi memperkuat kapasitas kesiapsiagaan anggota masyarakat desa terutama anakanak dengan kegiatan-kegiatan partisipatif untuk mengukur, menganalisa, dan membuat perencanaan kesiapsiagaan desa. Wahana Visi Indonesia di tahun 2012 mengimplementasikan program READY (Strengthening Community Resilience Through Improvement of DRR Capacity) di 5 Kabupaten di provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Melalui program READY ditargetkan sekitar 30 kelurahan/desa mampu untuk mengembangkan kapasitas masyarakatnya terhadap risiko bencana yang ditunjukan melalui penyusunan dokumen rencana kontinjensi desa dan sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Saat mengimplementasikan program ini, salah satu perangkat yang digunakan adalah DRR Toolkit. Perangkat panduan ini memiliki tujuan agar upaya-upaya pengurangan risiko bencana dapat terintegrasi dengan maksimal dalam program-program pengembangan masyarakat.

68

Tujuan Program Program READY memiliki dua tujuan utama, yaitu: 1. Meningkatkan perencanaan masyarakat, terutama anak, dalam penanggulangan bencana; 2. Memperkuat jaringan kemitraan diantara para pelaku penanggulangan bencana di tingkat desa hingga kabupaten. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam implementasi tersebut antara lain; - Joint-Training mengenai Rencana Kontinjensi Desa dan Sistem Peringatan Dini antara Wahana Visi Indonesia, BPBD, dan Dinas Sosial kepada para staff program dan kader masyarakat di desa binaan - Pemetaan dan analisa mitra di tingkat desa, kecamatan, dan kabupaten - Merevitalisasi forum-forum PRB yang Simulasi bencana di salah satu sekolah pernah dibentuk di tingkat kabupaten dasar pada wilayah program READY


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

- Mengimplementasikan Participatory Human Vulnerability and Capacity Assessment di tingkat desa - Memfasilitasi masyarakat desa dalam mengidentifikasi sistem peringatan dini berbasis lokal yang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat - Distribusi dan sosialiasi penggunaan sistem peringatan dini Melalui rangkaian kegiatan-kegiatan tersebut Wahana Visi Indonesia selalu berupaya menerapkan prinsip kemitraan strategis melalui keterlibatan institusi keagamaan, institusi pendidikan, dan juga lembaga usaha agar keberlanjutan program dapat terjadi. Berikut ini adalah grafik yang menunjukan road map dari program READY yang direncanakan akan berlangsung selama 2 tahun hingga tahun 2014. Seperti yang nampak dalam grafik diatas, elemen penting di dalam implementasi ini adalah partisipasi aktif dari seluruh stakeholders dan potential mitra lainnya di setiap tahapan kegiatan program. READY Project ROAD MAP

Project transitionnn Learning and reflection for better Simulation Staffs and Partners training Socialization CDPP EWS and develop CDPP

HVCA and EWS Identification Rebuilding partnership & action plan Staffs and partners training Building partnership Framing approach Staff recruitment Initiate READY

Pembelajaran Pembelajaran dari pelaksanaan kegiatan di program READY adalah partisipasi kaum perempuan dan anak-anak di dalam menentukan beberapa keputusan penting sehubungan dengan penyusunan rencana kontijensi bencana di desa/kelurahan mereka. Keterlibatan semua pihak menjadi sangat penting agar informasi yang dihasilkan dapat tersalurkan dan diterima dengan baik oleh semua pihak, terutama kelompokkelompok yang perlu mendapatkan perhatian khusus seperti anak-anak.

program pemberdayaan masyarakat

- Simulasi bencana

69


program pemberdayaan masyarakat 70

Anak-anak menjadi kunci utama dari penguatan kapasitas masyarakat untuk tangguh terhadap bencana. Untuk itu, Program READY melakukan simulasi bencana. Melalui simulasi ini anak-anak kemudian menyebarkan pengalamannya kepada orang tua dan kerabatnya. Simulasi ini juga kemudian dikembangkan rencanarencana simulasi yang lebih luas di tingkat desa. Kegiatan ini tentunya melibatkan Penyusunan peta evakuasi desa mitra-mitra strategis seperti BPBD, PMI, Tagana, dan relawan kemanusiaan yang ada di salah satu wilayah dampingan program READY di Sulawesi Tengah di wilayah setempat Berdasarkan kesepakatan dengan pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat, anak-anak yang mengikuti pelatihan mengenai kebencanaan kemudian mengadakan paparan-paparan kepada orang-orang dewasa di berbagai lokasi. Melalui implementasi program READY di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara maka Wahana Visi Indonesia berupaya untuk Seorang murid SD memaparkan memberikan pembelajaran penting bahwa pentingnya pendapat mengenai keterlibatan kelompok-kelompok rentan, simulasi yang dilakukan salah satunya anak, menjadi sangat penting sekaligus informasi pentingnya dalam setiap proses penyusunan kerangka pemenuhan hak-hak anak kesiapsiagaan masyarakat di tingkat desa. kepada pihak pemerintah Anak-anak dapat menjadi saluran informasi yang efektif kepada masyarakat dewasa melalui cara dan kapasitasnya yang kreatif. 2.2.10. Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat (PERTAMA) oleh Palang Merah Indonesia Palang Merah Indonesia (PMI) ialah salah satu organisasi yang memiliki kontribusi besar dalam penanggulangan bencana di Indonesia. Selama menjalankan programnya, PMI memahami bahwa masyarakat adalah pelaku utama tanggap bencana, maka masyarakatlah yang harus ditingkatkan ketahanan dan pemahamannya mengenai bencana; baik pada saat bencana terjadi, maupun dalam upaya pemulihan dan upaya pengurangan dampak bencana. Dan dalam rangka meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap bencana inilah PMI menetapkan misi keempatnya yaitu


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

“mengembangkan kegiatan kepalangmerahan yang berbasis masyarakat”.42

Sebenarnya, sejak 2002, PMI telah mulai melaksanakan program kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat (KBBM). Pada 2005, konsep program ini dikembangkan menjadi sebuah pendekatan baru yang diberi nama Pengurangan Risiko Terpadu Berbasis Masyarakat (disingkat PERTAMA). Dengan demikian, upaya pengurangan risiko berbasis masyarakat melalui pendekatan ini tidak hanya terfokus terhadap risiko bencana alam semata, namun juga risiko secara luas, termasuk kesehatan, lingkungan serta sosial dan ekonomi.43 Program PERTAMA dimaksudkan untuk mengurangi kerentanan masyarakat di daerah yang rawan bencana melalui peningkatan kapasitasnya. Komponen utama kegiatannya yaitu meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan masyarakat di bidang tanggap darurat dan mengurangi risiko bencana di tingkat masyarakat. Tahapan Program PERTAMA secara kronologis dimulai dengan seleksi area. Daerah yang dipilih adalah yang dinilai paling rawan bencana dan adanya komitmen dari masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan sumber dayanya. Selanjutnya PMI bersama masyarakat melakukan VCA (Vulnerability and Capacity Assessment) atau Kajian Kerentanan dan Kapasitas dengan menggunakan alat PRA Kegiatan PMI untuk penanaman (Participatory Rural Appraisal). Survei dasar mangrove/bakau sebagai upaya mitigasi (baseline) dan PSK (Pengetahuan, Sikap, dan Ketrampilan) menjadi tahap berikutnya untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan masyarakat di lokasi-lokasi Program PERTAMA akan dilaksanakan.44 Untuk meningkatkan kapasitas PMI dan masyarakat dalam menjalankan Progam PERTAMA, PMI merekrut dan melatih Korps Sukarela (KSR) serta Tim Sibat (Siaga Bencana Berbasis Masyarakat) yang ada di masyarakat. Korps Sukarela dan Tim Sibat bersama masyarakat melakukan pemetaan ancaman, kerentanan, risiko, dan kapasitas, yang menjadi salah satu bahan pembuatan rencana aksi. Rencana Aksi Pengurangan Risiko dibuat secara bottom up dan melibatkan partisipasi penuh dari masyarakat, kemudian diadvokasi dan disosialisasikan kepada Pemerintah Daerah setempat untuk mendapatkan dukungan teknis dan pendanaannya. 42 43 44

PMI, Bersama untuk Tangguh: Kumpulan Cerita Sukses Pengurangan Risiko Bencana, 2012, hal. 12. Ibid, hal. 13 – 14. http://www.pmi.or.id/ina/program/?act=detail&id_sub=47

program pemberdayaan masyarakat

Program PERTAMA

71


program pemberdayaan masyarakat 72

Berbagai upaya pendidikan, pelatihan, dan simulasi telah dilakukan untuk memperkuat keterampilan membuat peta rawan bencana, menentukan jalur evakuasi dan sistem peringatan dini berbasis masyarakat. Pendidikan dan pelatihan berjenjang diberikan kepada staf dan relawan PMI, sehingga mereka mampu melakukan upaya penyadaran dan mobilisasi masyarakat, melakukan sosialisasi dan advokasi, sekaligus menjalin kemitraan dengan Pemerintah Daerah dan para pemangku kepentingan. Dengan fasilitasi dari KSR dan Sibat, telah dilakukan upaya penyadaran mengenai hidup bersih dan sehat, perbaikan sarana air bersih, pencegahan penyakit yang disebabkan oleh sanitasi buruk, lingkungan yang kotor, air limbah, dan lain-lain. Walaupun pengentasan kemiskinan bukanlah bidang kegiatan dari PMI, akan tetapi sebagai salah satu upaya untuk mengurangi kerentanan masyarakat, maka sumber-sumber penghidupan masyarakat perlu dilindungi.45 Lokasi Program

Menanam Mitigasi, Memanen Kopi Pada tahun 2009, program PRATAMA memfasilitasi rencana aksi untuk upaya mitigasi ancaman tanah longsor di Desa Pangauban Kab. Bandung. Dari hasil diskusi, aksi yang disepakati ialah penanaman pohon kopi, dimana ini akan merubah komoditas milik masyarakat. Maka, pada November 2009, sebanyak 6.000 pohon kopi diselingi 5.000 pohon kayu sobsi ditanam serentak di atas tanah rawan longsor. Setelah 4 tahun, masyarakat mulai bisa memetik hasil panen kopi dan sekaligus lebih aman dari ancaman longsor. Masyarakat sepakat menyisihkan 10% keuntungan untuk dana siaga desa (PMI,

Sejak tahun 2002 sampai saat ini, program KBBM yang kemudian berkembang menjadi PERTAMA ini telah dilaksanakan di 18 provinsi, yaitu Aceh, D.I.Yogyakarta, DKI Jakarta, Jambi, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Lampung, Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Pendampingan sudah dilakukan Bersama untuk Tangguh: Kumpulan Cerita Sukses di 210 desa/kelurahan, dengan Pengurangan Risiko Bencana, 2012, hal. 76) beberapa aktifitas pengurangan risiko bencana yang disesuaikan dengan konteks daerahnya masing-masing. Pembelajaran

Ada banyak pembelajaran yang didapatkan dari proses pelaksanaan program PERTAMA oleh PMI. Beberapa diantaranya ialah: 1. Keterlibatan masyarakat ternyata adalah kuncinya. Jika masyarakat telah bergerak, maka konsistensi perilaku positif akan terus bertahan. Dan pengurangan risiko rencana bukan lagi sekedar program, namun telah menjadi sebuah gaya hidup baru.46 Ibid. PMI, Bersama untuk Tangguh: Kumpulan Cerita Sukses Pengurangan Risiko Bencana, 2012, hal. 15.

45 46


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

3. Integrasi pengurangan risiko bencana dan membangun ketahanan ekonomi masyarakat. Upaya mitigasi tanah longsor melalui penanaman pohon kopi di Kabupaten Bandung menjadi salah satu contoh yang bagus. Terdapat dua manfaat besar yang diperoleh masyarakat, yaitu berkurangnya ancaman dan meningkatnya pendapatan.48 2.2.11. REKOMPAK (Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis Komunitas) Pengalaman Pasca Tsunami Aceh dan Pasca Gempa Merapi Oleh MDF (Multi-Donor Fund), PSF (PNPM Support Facility), JRF (Java Reconstruction Fund), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan) Bagi masyarakat yang terdampak bencana maupun pemerintah dan para pendamping, REKOMPAK telah menjadi wadah belajar dan kerjasama. Pengalaman pertama REKOMPAK pasca tsunami di Aceh memanfaatkan kehadiran fasilitator P2KP (sekarang PNPM-Perkotaan) di lapangan sebagai pendamping bagi warga desa yang terdampak bencana. Pengalaman ini diterapkan kembali saat terjadi gempa 2006 di pulau Jawa, dan berkembang lebih lanjut ketika bencana lain melanda. Provinsi D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah mereplikasi REKOMPAK dengan APBN, meskipun dengan fasilitasi yang tidak begitu intensif. Pada periode 2007-2008, sebanyak total 280.000 unit rumah berhasil direkonstruksi 49. KEGIATAN REKOMPAK HINGGA Mei 2013

Kejadian bencana

26/12/2004

Tsunami di DI Aceh & Nias, Sumatera Utara

Komponen 15,000 unit rumah (rekonstruksi 8,000 unit, rehabilitasi 7,000 unit) 180 desa diperbaiki prasarananya, 126 desa dengan RPP (Rencana Pembangunan Permukiman)

Ibid, hal. 68 – 69. Ibid, hal. 76. 49 Sejumlah 190,000 di DIY, 90,000 di Jawa Tengah, termasuk 6,480 melalui Rekompak-P2KP-Peduli dan 15,153 melalui Rekompak-JRF (Kompas 23 Mei 2013: 233,000 di DIY). 47 48

program pemberdayaan masyarakat

2. Kerjasama antara masyarakat dan pemerintah setempat akan memberikan hasil yang lebih besar. Program PMI di Kabupaten Wajo dan Polewali Mandar misalnya, menunjukkan bahwa kerjasama PMI dan masyarakat telah menghasilkan keterampilan masyarakat untuk mengolah enceng gondok, sehingga bisa mengurangi banjir. Tetapi, melalui kerjasama dengan pemerintah, ada dukungan untuk membangun pemecah ombak. Sehingga, dampaknya menjadi lebih besar.47

73


27/5/2006 17/6/2006

program pemberdayaan masyarakat

30/9/2009

74

23/106/11/2010

Gempabumi di Yogyakarta & Jawa Tengah, tsunami di Pangandaran

21,633 unit rekonstruksi: 15,153 unit dengan dana JRF, dan 6,480 unit dengan dana P2KP.

Gempabumi di Sumatera Barat

Rumah dibangun 1,125 unit, tersebar di 185 desa

Letusan gunung Merapi, di Yogyakarta & Jawa Tengah

265 desa dengan RPP dan prasarana desa

Sedang berjalan: target 2,857 unit rumah rekonstruksi, relokasi ke lokasi lebih aman; 88 desa didampingi dengan RPP dan prasarana / fas-um

* Pasca gempa di D.I. Yogyakarta /Jawa Tengah, sekitar 3,000 kelompok masyarakat yang terdiri dari sekitar 10 keluarga membangun rumahnya sendiri, menghasilkan sekitar 300,000 unit rumah rekonstruksi, dalam kurang dari dua tahun. Suatu rekor dalam sejarah pembangunan perumahan.

1. Proses: Seluruh proses pembangunan rumah maupun pembangunan prasarana dilaksanakan oleh masyarakat sendiri, sejak usulan hingga pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan. Adapun prosesnya berawal dari: a. Penyiapan dan Organisasi warga Tahapan penting pada awal tanggap darurat adalah identifikasi warga terdampak / korban, yang perlu dilakukan secara transparan dengan melibatkan pendamping dan warga hingga jenjang akar rumput. Pada saat ini warga diajak untuk membentuk kelompok-kelompok relawan, yang kemudian dapat dilibatkan dalam survey / pemetaan swadaya. b. Pimpinan kolektif Komunitas di lokasi sasaran didampingi oleh fasilitator yang memberi informasi tentang program berikut segala prinsip yang dianut, dan mengajak warga untuk mengorganisasikan diri, dengan secara demokratis memilih kelompok orang yang dipercaya warga sebagai pimpinan kolektif seperti dilakukan di P2KP (sekarang PNPMPerkotaan) menjadi wadah BKM (Badan Keswadayaan Masyarakat, Aceh: Kerap) di kelurahan, atau TPK (Tim Pengelola Kegiatan) di perdesaan.


c. Kelompok-kelompok kegiatan Untuk mengelola pembangunan perumahan, warga membentuk kelompokkelompok @ 10 – 15 rumah tangga. Masingmasing KP (Kelompok Pemukim) memilih koordinator, sekretaris dan bendahara. Lalu panitia pelaksana yang dipilih oleh warga dibentuk untuk membangun prasarana dan fasilitas umum desa. Sementara pada desadesa dampingan Rekompak dibentuk PP (Panitian Pelaksana) untuk masing-masing proyek.

Bejo Prawiro (kelurahan Prawatan, kec. Jogonalan, Klaten), mengerjakan pondasi rumahnya. Beliau menambahkan Rp 2.5 juta pada termasuk tenaga kerjanya sendiri, dan memanfaatkan bahan batu bata bekas.

d. Pemetaan swadaya Kegiatan pemetaan swadaya diawali dengan survey swadaya oleh warga dan relawan yang mengajukan diri melalui dusun masing-masing. Survey swadaya juga sekaligus mengidentifikasi warga yang terdampak (rusak ringan/sedang/berat) didampingi oleh fasilitator atau pihak ketiga lain. Pemetaan swadaya dapat dilakukan berkali-kali sesuai kebutuhan, seperti yang terjadi di sekitar Merapi saat ini. Pemetaan wilayah terdampak langsung dengan memanfaatkan GPS, untuk kemudian menjadi peta wilayah desa / bagian desa yang diakui oleh Badan Informasi Geografik dan dimanfaatkan sebagai peta bersama (one map) oleh pemerintah daerah dan warga. 2. Bantuan teknis a. Hibah rekonstruksi rumah diberikan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan saat itu. Pada tahap pasca tsunami di Aceh bantuan untuk rekonstruksi rumah adalah Rp. 53.000.000,- untuk satu keluarga. Angka ini berkembang dari angka awal yaitu Rp. 42.000.000, -. Penyesuaian ini dilakukan berdasarkan kenaikan harga serta besar bantuan yang diberikan oleh lembaga donor yang lain. b. Belajar dari pengalaman di Aceh, maka pada saat memberi bantuan hibah untuk pasca gempa di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah, fungsi bantuan hibah tidak lagi untuk rekonstruksi rumah lengkap minimal. Fungsi bantuan hibah dialihkan untuk membangun rumah inti (core-house) yang masih harus dikembangkan oleh warga sendiri. Salah satu yang mendasari perubahan ini adalah perbedaan situasi dengan pasca tsunami di Aceh. Setelah gempa dan erupsi terjadi, sebagian besar reruntuhan dan puing bangunan pada daerah terdampak di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah masih berada di tempatnya semula dan dapat dimanfaatkan kembali. Setiap keluarga yang rumahnya rusak berat atau hancur diberi bantuan Rp 20,000,000, yang diberikan dalam tiga termin (40%-40%-20%) dan dikelola bersama oleh KP. Pasca erupsi gunung Merapi, kondisi dan kebutuhan pun telah

program pemberdayaan masyarakat

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

75


berubah. Merespon situasi ini, BNPB menyediakan anggaran pula sebesar Rp. 7.000.000,-/KK untuk memperoleh kavling tanah sebesar 100m2 di lokasi baru. Angka ini untuk memenuhi kenaikan harga ditambah dengan kebutuhan untuk relokasi bagi warga yang memutuskan untuk pindah ke lokasi yang lebih aman.

program pemberdayaan masyarakat

Rekompak memberikan acuan rancangan rumah, terutama untuk menjaga agar konstruksi menjadi tahan gempa. Warga pun dapat melakukan modifikasi rancangan sepanjang masih memenuhi syarat teknis. Umumnya warga mengadakan perubahan sedikit pada contoh rancangan struktur, memakai kusen pintu-jendela, lubang ventilasi, menambahkan dapur, unit MCK bila belum termasuk, dan teras depan.

76

3. Peran serta Peranserta adalah prinsip dasar pendekatan berbasis masyarakat, juga di REKOMPAK. Diawali dengan pemahaman akan masalah yang sama-sama dihadapi dan kesepakatan untuk bekerja tanpa imbalan apapun, kegiatan di tingkat desa maupun kelompok didasari kerelaan untuk berbagi dan saling membantu. Keterlibatan merupakan prasyarat tercapainya keterbukaan / transparansi dalam semua kegiatan. Keterlibatan juga membuka peluang munculnya berbagai gagasan dan inovasi warga. Contoh beberapa prakarsa kelompok, misalnya konsolidasi tanah di desa Lambung / Banda Aceh, sistem peringatan dini aliran lahar dingin dengan HT di kabupaten Magelang yang kemudian didukung BDL dari REKOMPAK, beberapa kegiatan usaha ekonomi yang muncul di berbagai tempat relokasi warga, atau kelompok 81 keluarga asal Umbulharjo yang bersama-sama membeli lahan di Karangkendal untuk relokasi. Peranserta dari tingkat keluarga sudah Peta dan maket sangat membantu dalam proses pengambilan terlihat ketika rumah mulai dibangun oleh keputusan kelompok pemukim. Pengadaan bahan secara bersama menghasilkan penghematan waktu dan dana cukup besar. Bagi yang mampu bekerja sebagai tukang, terlibat dalam pembangunan rumahnya sendiri; sebagian di antaranya tanpa upah, agar dapat menyisakan dana untuk melengkapkan bangunan. Sesuai dengan kemampuan masing-masing, keluarga pun menambah lagi dana untuk bahan penyelesaian rumah.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

4. Perencanaan Kampung Rekompak mengenalkan CSP (Community Settlement Plan) atau RPP (Rencana Pembangunan Permukiman). Dalam konsep awalnya, sebelum membangun rumah dan prasarana diharapkan sudah ada rencana tata-ruang desa serta rencana pengembangannya sebagai acuan bagi setiap proyek. Di desa-desa dampingan Rekompak di Aceh, pelaksanaan kegiatan awal survey swadaya langsung disusul dengan perencanaan partisipatif. Seperti di Desa Lambung, Kec. Meuraxa, rencana penataan ulang desa yang melibatkan konsolidasi tanah (land readjustment) oleh warga disusun setelah kegiatan awal survey swadaya. Dalam situasi pasca gempa di D.I. Yogyakarta dan Jawa Tengah, proses perencanaan desa tidak sempat dilakukan karena semua warga ingin cepat membangun kembali rumahnya. Di sekitar Gunung Merapi, perencanaan tata-ruang desa menjadi sebuah keharusan. Hal ini dikarenakan rusaknya lahan dan prasarana setelah dilewati lahar dan terkubur oleh pasir dan batu, serta lokasi yang terdampak langsung tidak layak untuk dihuni kembali, sehingga warga harus mencari lokasi baru yang lebih aman. Rekompak mendampingi warga sejak survey swadaya dan penyusunan RPP, hingga perancangan tapak (site-plan) untuk masing-masing lokasi baru bagi warga yang memutuskan untuk pindah. 5. Implementasi Pendekatan kelompok diterapkan sepanjang seluruh proses konstruksi hingga operasi dan pemeliharaan. Pengelolaan bahan dan pekerjaan: Seluruh pengadaan bahan dan pekerjaan dilakukan oleh kelompok (KP). Biasanya ada satu-dua anggota keluarga yang turut bekerja pada rumahnya sendiri sebagai tenaga tak-terampil (sering disebut kernet). Tentunya sambil terlibat bekerja, keluarga pemilik rumah akan sekaligus mengawasi mutu pekerjaan. Karena juga menerima

program pemberdayaan masyarakat

Sejak awal penyiapan program, keterlibatan kaum perempuan mendapat perhatian khusus. Diminta agar rembug desa sedikitnya dihadiri oleh 30% perempuan (meskipun kehadiran saja tidak menjamin peran yang berarti bagi ibu-ibu), dan anjuran agar sedikitnya satu orang pimpinan kelompok pemukim adalah perempuan. Bahkan untuk beberapa kegiatan seperti perancangan site-plan hunian tetap dilakukan pertemuan khusus perempuan. Kesetaraan gender ternyata merupakan hal yang tidak mudah karena latarbelakang budaya dan kebiasaan, tetapi dapat dikatakan bahwa saat ini keterlibatan perempuan sudah dilihat sebagai bagian yang tidak terpisah dari konsep partisipasi. Demikian juga keterlibatan pemuda dan kelompok-kelompok warga rentan.

77


program pemberdayaan masyarakat

pelatihan dari Rekompak, mereka pun dapat memastikan bahwa prinsip-prinsip bangunan tahan gempa diterapkan dengan benar. Sebagian besar bekerja tanpa upah (sering disebut “sweat equity�) sehingga keluarga dapat menghemat biaya dan menggunakannya untuk pintu-jendela atau tegel yang lebih baik dan sebagainya.

78

Bila membeli bahan bangunan di bawah Rp 15 juta, dapat dilakukan dengan belanja ke pemasok atau toko, setelah melakukan perbandingan harga. Di atas jumlah itu, kelompok mengadakan pelelangan pengadaan bahan, yang rata-rata menghasilkan penghematan hingga 20% di bawah RAB Pemda. Akhir-akhir ini sering dilakukan kerjasama di antara beberapa KP yang membuat panitia pelelangan bersama. Biasanya kualitas pekerjaan yang dihasilkan cukup baik, terutama di sisi finishing / penuntasan bangunan. Tidak heran, karena keluarga ingin yang terbaik bagi rumahnya sendiri. Tapi ada pula kasus di mana kualitas pekerjaan tidak memuaskan, antara lain ketika keluarga menyerahkan urusannya kepada orang lain, mandor pemborong tidak mengikuti petunjuk keluarga atau fasilitator kurang tegas. Bahkan terjadi pula bahwa setelah pengujian mutu beton sejumlah unit rumah ternyata tidak memenuhi syarat tahan gempa (di Simelue), sehingga terpaksa dilakukan retrofitting dengan cara melapis wire-mesh pada hubungan rangka dengan dinding. Pengelolaan dana: Penggunaan dana dilaporkan dan dibahas setiap minggu di antara anggota KP. Dana diberikan dalam tiga tahap, pada saat tahap kesatu selesai 90% atau lebih dan diperiksa sudah sesuai dengan rancangan dan persyaratan teknis, KP dapat mengajukan tahap berikutnya. Setiap belanja dilakukan dengan pertanggungjawaban, transparansi, akuntabilitas, pemantauan, dan sistem informasi manajemen kegiatan. 6. Peluang dan Tantangan: Beberapa peluang yang ada selama pelaksanaan program adalah: a. BNPB dan Kementrian Pekerjaan Umum telah bersepakat untuk menerapkan dan mengembangkan lebih lanjut pendekatan pembangunan desa berbasis masyarakat ini, baik untuk wilayah yang baru terkena bencana maupun dalam rangka pencegahan, khususnya di desa-desa yang rawan bencana. b. Prinsip Building Back Better (Membangun Kembali dengan Lebih Baik) Kejadian bencana menjadi petunjuk dan peringatan akan kelemahan dari sistem permukiman yang ada. Tahap pasca bencana memberi kesempatan untuk membangun kembali dengan cara yang lebih baik (Building Back Better). Seperti pembangunan berdasarkan tata ruang (tata letak bangunan dan jaringan transportasi), konstruksi bangunan yang lebih tahan-gempa, dan ketangguhan terhadap bencana (sistem peringatan dini dan evakuasi).


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Beberapa tantangan yang mungkin menghambat upaya membangun lebih baik perlu diatasi, antara lain: a. Kecenderungan untuk buru-buru membangun kembali rumah masing-masing tanpa menunggu rencana tata ruang desa, sehingga tidak terjadi perbaikan pola tata ruang.

c. Kecenderungan warga untuk mengabaikan pedoman tata ruang serta peraturan keselamatan bangunan dengan alasan keterbatasan biaya. 2.2.12. Studi Kasus Ketangguhan: Kelurahan Paupanda dan Tanjung di NTT50 Sejak tahun 2011, Indonesian Society for Social Transformation (INSIST) melakukan penelitian tentang dampak perubahan ikilm pada penghidupan masyarakat di 8 Kelurahan di 4 Kabupaten (Merangin/Jambi, Sinjai/Sulsel, Maluku Tenggara/Maluku, Ende/NTT). Di Ende, dua Kelurahan yang kami teliti adalah Kelurahan Paupanda dan Tanjung, yang pada Oktober 2012 ditetapkan sebagai Kelurahan Tangguh Bencana oleh BPBD Ende. Luas wilayah kelurahan Paupanda 2,18 km2, dengan jumlah penduduk 2.869 orang pada Februari 2012, yang terbagi dalam 3 lingkungan yakni Paupanda Atas, Paupanda Bawah 1 dan Paupanda Bawah 2. Paupanda Bawah 1 dan 2, terletak di bibir pantai. Paupanda Atas di perbukitan. Wilayah pantai Paupanda adalah pemukiman padat. Rumah penduduk, sumur, kandang ayam, kambing-kambing yang tidak dikandangkan, dan perahu-perahu yang ditambatkan berbaur jadi satu. Kelurahan Tanjung, terbagi dalam 3 lingkungan: Pu’unaka, Kampung Baru dan Rate, dengan topografi yang tidak jauh berbeda dengan Paupanda: landai di daerah pantai, dan agak curam di bagian perbukitan. Perbukitan di Tanjung berbatasan langsung dengan lereng G. Iya. Dengan luas wilayah 2,38 km2 dan penduduk 2.606 pada tahun 2010, wilayah Tanjung tidak sepadat Paupanda. Sebagian besar penduduk Tanjung adalah nelayan, sisanya petani. Dalam 30 tahun terakhir, pantai di wilayah Tanjung dan Paupanda mengalami perubahan topografi signifikan. Letusan G. Iya tahun 1969, mengakibatkan terbentuknya daratan baru di sepanjang pantai. Sebelum G. Iya meletus, pantai Ditulis oleh Saleh Abdullah, Pengurus Indonesian Society for Social Transformation (INSIST), dari laporan Ami Priwardhani, peneliti lapangan INSIST pada “dampak perubahan iklim pada kehidupan� di Paupanda dan Tanjung, Ende, 2011-2012. Tulisan ini juga menggunakan informasi dari Vincent Sangu, Direktur FIRD (Flores Institute for Rural Development), Ende.

50

program pemberdayaan masyarakat

b. Terbatasnya upaya untuk berkoordinasi dan bekerjasama di antara berbagai organisasi pemerintah, LSM maupun swasta dan lembaga donor pada berbagai jenjang pusat maupun daerah.

79


program pemberdayaan masyarakat

Tanjung dan Paupanda adalah pantai karang dengan tebing-tebing terjal. Tebingtebing tersebut berjarak sekitar 50 m dari bibir pantai saat ini. Ancaman dari Laut dan Darat

80

Sejak 1671, tercatat 8 kali erupsi G. Iya (1671, 1844, 1867, 1868, 1871, 1882, 1953, terakhir 27 Januari 1969). Dengan begitu periode erupsinya berkisar antara 1 sampai 173 tahun.51 Sejak letusan terakhir, saat-saat ini masuk ke dalam siklus priode erupsi. Selain semburan awan panas dan lahar, ledakannya berpotensi memberikan tekanan dan dorongan bagi lahirnya Tsunami. Selain ancaman G. Iya, kampung-kampung pesisir Selatan Ende juga berada dalam ancaman abrasi dan gelombang pasang. Gelombang pasang mulai masuk pemukiman kedua kelurahan pada tahun 2005. Pada musim tenggara, gelombang besar lazim terjadi, tetapi baru pada 2005, masuk menggenangi pemukiman. Sejak itu, setiap tahun gelombang pasang terjadi pada Agustus atau September. Akibatnya banyak penduduk di tepi pantai Tanjung berpindah tempat tinggal. Wilayah Paupanda relatif ‘terlindung’ dari ancaman gelombang pasang, setelah dermaga Tempat Pendaratan Ikan (TPI) dibangun di perbatasan Tanjung dan Paupanda. Menyadari semua itu, Paupanda dan Tanjung lalu membentuk Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK) yang beranggotakan 60 orang (masing-masing kelurahan 30 orang). TSBK dipersiapkan melakukan pencegahan terhadap bencana. TSBK bekerjasama dengan LSM lokal membangun tanggul semi-permanen dan menanam waru untuk penghijauan. TSBK juga mengikuti pelatihan-pelatihan pertolongan pertama pada korban, pemetaan, serta simulasi tanggap bencana. Hubungan baik TSBK-LSM-BPBD merupakan aset yang baik bagi kedua kelurahan, karena memungkinkan munculnya ide-ide baru dan kerja sama memperkuat usaha pengurangan risiko bencana. BPBD Ende pun senantiasa perhatian pada pencegahan bencana. Kendati menyadari beberapa problem internal --seperti kurangnya kapasitas, adanya ego sektoral antar instansi yang menyulitkan koordinasi, anggaran pas-pasan52-- BPBD justru menunjukkan sikap sangat kooperatif dengan pihak-pihak non-pemerintah seperti LSM. Beberapa staff BPBD tidak sungkan-sungkan untuk “belajar� dari LSM terkait isu-isu kebencanaan. Ketangguhan di Tengah Kerentanan Penetapan Kelurahan Tangguh bertujuan untuk mendorong terwujudnya masyarakat Kelurahan Tangguh dalam menghadapi Bencana yang lebih terarah, terencana, 51

Van Padang, 1951. Dalam Igan S. Sutawijaya, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol 2 No. 2, Agustus 2011.

52

Pada tahun 2012 lalu, BPBD Ende hanya mendapat jatah dana sebesar 1 milyar rupiah. Sedangkan Dana Aspirasi, yang peruntukannya bagi DPRD Ende, sebesar 21 milyar rupiah.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Kondisi desa Paupanda, Ende

Bila dilihat dari Prinsip dan Indikator Kelurahan Tangguh, faktor penghidupan warga menjadi sangat penting. Pengurangan kerentanan di sektor ini dengan demikian hendaknya menjadi prioritas utama. Masyarakat Paupanda dan Tanjung, berdasarkan hasil survey rumah tangga yang kami lakukan, mempunyai kerentanan sektor penghidupan cukup serius. Di antaranya ialah: 1. Tanah Dari 413 kepala keluarga kedua Kelurahan yang menjadi sampel survey, 227 memiliki tanah, 186 tidak. Penduduk yang tidak memiliki tanah adalah mereka yang tinggal di tanah tak bertuan di pantai yang dibentuk setelah ledakan G. Iya. Survey juga menunjukkan di antara mereka yang pemukimannya terkena gelombang pasang dan abrasi di Tanjung, 31% memiliki tanah, 69% tidak. Di Paupanda: 48% memiliki tanah, 52% tidak. Kepemilikan tanah di kalangan responden yang tidak terkena gelombang pasang (mereka yang tinggal lebih jauh dari pantai) lebih tinggi. Di Tanjung, 51% memiliki tanah, 49%, tidak. Di Paupanda 75% memiliki tanah, 25% tidak. Dari 227 pemilik tanah tersebut, hanya 26 pemilik mengusahakan tanahnya; 24 pemilik menanam tanaman pangan, dan 2 di antaranya menyewakan. Ini menunjukkan bahwa jika memiliki tanah pun, warga tidak menjadikan tanah tersebut produktif. Tanah hanya dipakai untuk membangun rumah. Wilayah Tanjung dan Paupanda, menurut Perda No.11/2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, termasuk dalam wilayah sempadan pantai atau wilayah perlindungan. Menurut Buku RTRW Kabupaten Ende, wilayah sempadan pantai akan digunakan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH, hal. IV-3). Kegiatan yang diperbolehkan di wilayah tersebut adalah kegiatan yang berhubungan dengan pelestarian alam, seperti penanaman mangrove, misalnya. Sampai saat ini, pemerintah belum menetapkan kapan dan bagaimana rencana itu akan dilaksanakan. Namun, aturan 100 meter ke wilayah darat sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan mempengaruhi kerentanan masyarakat yang tinggal di wilayah sempadan terkait kepemilikan tanah. Posisi tawar mereka akan sangat lemah.

program pemberdayaan masyarakat

terpadu, dan terkoordinasi; dan mendorong sinergi untuk saling melengkapi dengan seluruh program yang ada di kelurahan yang dilaksanakan oleh kementerian/ lembaga atau organisasi-organisasi nonpemerintah lainnya, termasuk sektor swasta. Tujuan diperkuat 16 Prinsip dan 20 Indikator Kelurahan Tangguh, yang secara keseluruhan, mengarah bagi terwujudnya masyarakat/komunitas tangguh (resilient).

81


program pemberdayaan masyarakat

2. Lembaga Keuangan

82

Masyarakat yang kehidupannya bergantung dari laut, selain minim alat-alat tangkap, juga diperburuk oleh iklim yang belakangan berubah. Dalam situasi itu, tidak ada kredit atau skema bantuan keuangan mudah bagi nelayan. Pemerintah pernah mendirikan koperasi nelayan, Mina Bahari, pada tahun 1994, yang menjual perlengkapan nelayan. Sayangnya, meski Koperasi itu terhitung aktif, tapi tidak berfungsi dengan baik. Banyak anggota tidak lagi berperan aktif dalam kegiatan, dan banyak pinjaman tidak dikembalikan. Data Dinas Koperasi tentang Usaha Kecil Menengah (UKM) di Kabupaten Ende menunjukkan bahwa dari 44 usaha di kecamatan Ende Selatan yang diberi bantuan kredit, hanya 2 unit usaha yang bergerak di bidang penangkapan ikan. Sebagian besar bantuan kredit diberikan kepada usaha perkiosan. 3. Tata Niaga Perikanan dan Pasar Kerentanan lain terkait tata niaga perikanan, yang membuat rendah posisi tawar nelayan. Nelayan menjual langsung ikannya kepada papalele.53 Papapele lalu menjual kepada papalele lain yang memiliki modal lebih kecil. Mata rantai perdagangan biasanya melibatkan paling tidak empat papalele. Lalu papalele menjual ke konsumen. Hampir tidak ada nelayan Tanjung dan Paupanda menjual sendiri ikannya di pasar. Kesepakatan harga antara nelayan dan papalele biasanya bersifat informal; bersifat lisan dan berdasarkan rasa saling percaya. Termasuk dalam kesepakatan tersebut adalah kapan uang akan dibayarkan kepada nelayan, karena biasanya uang pembelian akan diberikan setelah ikan laku dijual. Biasa terjadi jika papalele bersangkutan memiliki modal kecil dan tidak mampu membayarkan uang pembelian begitu harga disepakati. Sering juga terjadi, kesepakatan diingkari papalele. Misalnya, jumlah uang pembelian bisa berubah, dengan alasan persaingan pasar membuat papalele bersangkutan harus menurunkan harga ikan agar laku. Agar papalele tetap untung, jumlah uang yang diberikan kepada nelayan lebih sedikit dari jumlah yang disepakati. Koordinasi Lintas Kebijakan: Pekerjaan Besar bagi BPBD. Di antara prinsip-prinsip Kelurahan Tangguh, dikatakan bagi terwujudnya Kelurahan Tangguh hendaknya mengacu pada adanya pemaduan ke dalam pembangunan berkelanjutan dan diselenggarakan secara lintas sektor. Poin-poin tersebut jelas mengacu pada keharusan adanya koordinasi lintas instansi pengambil kebijakan. Di sinilah fungsi BPBD Kabupaten, berperan dalam koordinasi-koordinasi pelaksanaan kebijakan daerah. Amanat Undang-undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, jelas mengisyaratkan fungsi-fungsi koordinasi tersebut. Dalam kasus Ende, bagaimana BPBD bisa berperan melakukan koordinasi dengan SKPD lain untuk mengurangi kerentanan masyarakat, terutama di sektor penghidupan. Yang paling Semacam tengkulak.

53


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Ende, misalnya, pada 26 Oktober 2011 telah mengeluarkan informasi tentang potensi-potensi galian logam dan non-logam di Kabupaten Ende. Kelurahan Paupanda di Kecamatan Ende Selatan dinyatakan sebagai berpotensi pasir besi. Dinas terkait, di bagian penutup informasi tersebut mempersilahkan bagi investor atau perusahaan untuk memanfaatkan potensi tersebut. Dalam gambaran ancaman gelombang pasang di atas, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi bila pasir besi di Paupanda kemudian dieksploitasi. Di sinilah BPBD Ende juga bisa mengambil peran melakukan koordinasi lintas instansi, untuk mendukung penetapan Kelurahan Tangguh bagi Paupanda dan Tanjung. Mungkin sudah seharusnya dipertimbangkan bagi dikeluarkannya sertifikat Analisis Mengenai Ancaman dan Dampak Bencana oleh BPBD dan atau BNPB. 2.3.

Program Lembaga Usaha

Lembaga usaha sudah lama melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat melalui program CSR mereka, khususnya di wilayah kerjanya. Program yang dijalankan bervariasi, sesuai dengan kapasitas dan pilihan dari lembaga usaha. Beberapa sektor yang banyak dimasuki oleh lembaga usaha ialah pendidikan, kesehatan, perekonomian masyarakat, sosial, lingkungan, dan juga penanggulangan bencana. Beberapa tulisan dibawah ini merupakan contoh dari program-program CSR lembaga usaha yang juga terkait dengan upaya-upaya pengurangan risiko bencana. 2.3.1. Program Dukungan Pengembangan Ketangguhan Masyarakat terhadap Bencana sebagai Wujud Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan (CSR) PT HM Sampoerna Tbk. Gambaran Program CSR Sampoerna CSR merupakan suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggungjawab mereka terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan itu berada. CSR sebagai aspek inti dari aktifitas bisnis di suatu perusahaan dan melihatnya sebagai suatu alat untuk terlibat dengan para pemangku kepentingan. Definisi yang diterima luas oleh para praktisi dan aktivis CSR adalah definisi menurut The World Business Council for Sustainable Development bahwa CSR merupakan suatu komitmen terus-menerus dari pelaku bisnis untuk berlaku etis dan untuk memberikan kontribusi bagi perkembangan ekonomi sambil meningkatkan kualitas hidup para pekerja dan keluarganya, juga bagi komunitas lokal dan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu, program CSR seharusnya dilaksanakan secara berkelanjutan untuk mewujudkan efek jangka panjang bagi masyarakat.

program pemberdayaan masyarakat

konkrit seperti membuat sarana pemberian kredit murah bagi masyarakat, khususnya nelayan, dengan kemudahan dan bunga rendah.

83


Sampoerna sebagai bagian dari warga masyarakat yang bertanggungjawab berusaha mewujudkan komitmen untuk turut serta mendukung pengembangan masyarakat di sekitar keberadaan perusahaan melalui program kontribusi dan CSR. Guna menajamkan fokus serta capaiannya maka program kontribusi dan CSR Sampoerna yang dijalankan dalam suatu payung kegiatan yang diberi nama “Sampoerna untuk Indonesia (SUI)” dikelompokkan dalam 4 pilar kegiatan, yaitu:

program pemberdayaan masyarakat

1. Pilar pemberdayaan ekonomi masyarakat (economic empowerment)

84

Pada tahun 2007, Pusat Pelatihan Kewirausahaan Sampoerna (“PPK Sampoerna”) mulai beroperasi di atas lahan Perusahaan seluas 10 hektar (saat ini mencapai 27 hektar) di dekat pabrik kami di Sukorejo, Pasuruan, Jawa Timur. PPK Sampoerna menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan untuk mendorong pengembangan usaha kecil baik usaha baru maupun yang sudah berjalan di masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik Sampoerna dan di sejumlah daerah lain di Jawa Timur dan Lombok. 2. Pilar peningkatan kualitas pendidikan (education improvement) CSR Sampoerna berfokus dalam memberikan akses lebih besar terhadap materi pendidikan melalui Pusat Pembelajaran Masyarakat dan Mobil Pustaka di daerah sekitar pabrik di Jawa Timur dan Jawa Barat serta juga mengoperasikan perpustakaan karyawan di pabrik SKT (Sigaret Kretek Tangan) di Surabaya, Jawa Timur.

Sampoerna juga bekerjasama dengan Putera Sampoerna Foundation (PSF) dalam program beasiswa bagi siswa-siswi Sekolah Menengah Atas, program Sampoerna Academy, serta pendirian dua fasilitas universitas berkelas internasional yaitu Sampoerna School of Education (SSE) yang mulai beroperasi sejak bulan Juni 2009 dan diikuti dengan pendirian Sampoerna School of Business (SSB) yang telah beroperasi sejak bulan September 2010, di mana kedua sekolah tersebut juga memberikan dan beasiswa bagi mahasiswanya.

3. Pilar pelestarian lingkungan (environment preservation) Melalui kerja sama dengan beberapa organisasi lingkungan, Sampoerna memberikan dukungan melalui Program Pelestarian Mangrove di Surabaya dan penanaman kembali hutan di Pasuruan dan Lombok untuk mewujudkan pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

Pada bulan Mei 2010, Sampoerna menerima piagam penghargaan “Wana lestari” dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia dalam acara yang diikuti dengan penandatanganan nota kesepahaman untuk mendukung pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Rakyat di Indonesia, untuk mendukung program Penanaman 1 Miliar Pohon 2010 Kementerian Kehutanan.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

4. Pilar penanggulangan bencana (disaster relief ) Bencana alam merupakan salah satu bagian memilukan dari realitas di Indonesia. Tim Sampoerna Rescue (“SAR�) telah dikerahkan untuk melakukan penanganan bencana alam di berbagai daerah di Indonesia. Tim SAR terdiri dari relawan karyawan dan relawan medis dengan misi memberikan bantuan cepat dan praktis kepada korban bencana alam kapan pun dan di mana pun bencana terjadi di Indonesia.

Tim SAR dilengkapi dengan perahu karet, ambulans, truk pemadam kebakaran, pembangkit listrik (genset), unit medis berjalan, dapur umum dan penyuling air bersih. Setiap tahun, tim SAR juga aktif melakukan berbagai kegiatan kemanusiaan penting, termasuk kegiatan pembersihan sungai, pencegahan kebakaran dan penyelamatan. Profil Kegiatan Pelaksanaan kegiatan CSR Sampoerna dalam mendukung pengembangan ketangguhan masyarakat terhadap bencana telah dilaksanakan sejak tahun 2009 dengan melibatkan mitra pelaksana program khususnya dari lembaga swadaya masyarakat (lembaga non-profit) yang memiliki kompetensi di bidang tersebut. Pemilihan lokasi serta penerima manfaat program didasarkan pada tingkat kerentanan daerah atas bencana serta kedekatan wilayah dengan area keberadaan perusahaan. Prinsip dasar yang dijadikan pegangan dalam pelaksanaan program tersebut adalah penerapan konsep pembangunan kemandirian dan ketangguhan masyarakat untuk menjamin keberlanjutan manfaat dari program. Khususnya untuk pilar penanggulangan bencana, pengejawantahan prinsip dasar tersebut terefleksikan dalam rangkuman jenis kegiatan yang dilaksanakan, yaitu mencakup kegiatan peningkatan kesiapsiagaan terhadap bencana; kegiatan penanganan atau respon saat terjadi bencana; kegiatan pertolongan dan pemulihan pasca bencana; hingga kegiatan bakti kesehatan. Setiap program dilaksanakan dalam periode satu tahunan, didahului oleh suatu analisa awal, ditunjang dengan skema pendampingan program dan dilengkapi oleh suatu rumusan indikator capaian kinerja untuk memonitor dan mengevaluasi capaian manfaat program. Kebijakankebijakan lokal yang ada di masyarakat dikolaborasikan dengan pengerahan

Kegiatan simulasi peringatan dini dan evakuasi

program pemberdayaan masyarakat

85


potensi sumber daya sosial yang tersedia untuk menghasilkan pengembangan ketangguhan masyarakat terhadap bencana yang berkelanjutan.

program pemberdayaan masyarakat

Lokasi Kegiatan Berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh CSR Sampoerna yang mendukung program pengembangan ketangguhan masyarakat terhadap bencana meliputi program: (1) kesiapsiagaan bencana;

Kegiatan penanaman mangrove di Surabaya

(2) mitigasi bencana; dan (3) pemulihan pasca bencana. Untuk program kesiapsiagaan menghadapi bencana beberapa kegiatan yang telah dilakukan adalah kegiatan peningkatan kesiapsiagaan bencana yang dilaksanakan di Padang, Semarang, Ujung Pandang, Gorontalo, Ambon, Kediri, Blitar, Malang dan Lumajang, meliputi pelatihan kesiapsiagaan bencana dan pengembangan sistem peringatan dini (Early Warning System) untuk masyarakat yang berada di daerah rawan bencana.

86

Program mitigasi bencana dilaksanakan di Pasuruan dan Surabaya di Provinsi Jawa Timur yaitu konservasi dan pengembangan kapasitas masyarakat yang berada di kawasan pesisir Timur Surabaya dan perkampungan di dekat kawasan hutan asuh gunung Arjuno Pasuruan. Program reforestrasi hutan kritis di lereng gunung Arjuno Pasuruan mencakup penanaman pohon, pengurangan risiko kebakaran hutan, pembinaan petani sebagai kader pengawas hutan dan pengembangan konsep pengawasan hutan bersama dilakukan di Pasuruan. Sementara di Surabaya, program mitigasi bencana meliputi pendidikan kepada warga tentang konsep manajemen konservasi area mangrove serta penyusunan detail Salah satu fasilitas training di engineering design (DED) kawasan lindung Sampoerna Rescue Training Center mangrove, dan pelatihan untuk masyarakat (SAR-TC) di Pandaan - Pasuruan


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Terkait program pemulihan pasca bencana, CSR Sampoerna berpartisipasi dalam penanganan korban pasca gempa bumi di Padang tahun 2009 melalui program integrated community shelter (ICS). Dalam kegiatan tersebut sebanyak 200 KK (950 jiwa) menerima manfaat ICS berupa pemenuhan kebutuhan dasar berupa tempat penampungan sementara, trauma healing serta pengembalian semangat pasca bencana bagi masyarakat sekitar termasuk 700 siswa sekolah dan 18 staf pengajar yang mendapatkan bantuan berupa rehabilitasi 2 bangunan sekolah yang rusak terdampak bencana tersebut. Guna mendukung pelaksanaan semua kegiatan pilar penanggulangan bencana tersebut, Sampoerna mendedikasikan secara khusus pengembangan sebuah platform berwujud Sampoerna Rescue (SAR) yang didalamnya dilengkapi dengan jejaring relawan kebencanaan, kelengkapan peralatan penunjang, serta sebuah pusat pelatihan kesiapsiagaan bencana (Sampoerna Rescue Training Center – SARTC). Fasilitas tersebut diresmikan tepat pada tanggal 18 September 2012 yang lalu. Pembelajaran : Kolaborasi antar pemangku kepentingan (multistakeholder) terutama dari unsur akademisi, pemerintahan, bisnis serta komunitas sangat penting dalam memperluas dampak, capaian, manfaat serta keberlanjutan program. Prinsip tersebut adalah landasan utama pelaksanaan program-program kontribusi dan CSR Sampoerna. Semua pihak pemangku kepentingan diharapkan dapat berkontribusi sesuai fungsi, peran dan bekerjasama secara sinergis untuk mencapai tujuan dari pelaksanaan program. Seribu Langkah Bersama, untuk Indonesia ! Radio Komunitas untuk Penyampaian Informasi Kepada Masyarakat di Lereng Gunung Kelud Gunung Kelud yang berada di Jawa Timur merupakan salah satu ancaman bencana yang memiliki frekuensi letusan relatif sering. Hal ini membuat banyak masyarakat yang hidup di lereng gunung Kelud harus mengetahui karakter ancaman tersebut dan waspada terhadapnya. Mereka juga perlu untuk melakukan upaya-upaya pengurangan risiko, sehingga ketika terjadi letusan, tidak ada lagi korban jiwa dan sedikitnya kerugian harta benda. Ada 36 desa yang termasuk dalam kawasan rawan letusan gunung Kelud, yang tersebar di kabupaten Kediri, Malang, dan Blitar. Sebagai upaya untuk membangun ketangguhan, masyarakat desa-desa tersebut, didukung oleh LSM dan Pemerintah membentuk organisasi “Jangkane Kawula Redi Kelud� yang kemudian disingkat menjadi Jangkar

program pemberdayaan masyarakat

sekitar kawasan, seperti kesadaran lingkungan, keterampilan penunjang, pembibitan dan penanaman mangrove.

87


program pemberdayaan masyarakat

Kelud. Organisasi ini selalu berusaha untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko bencana letusan gunung Kelud.

88

Salah satu kegiatan Jangkar Kelud, yang kemudian didukung oleh Sampoerna pada tahun 2011 ialah pembuatan radio komunitas bernama Pandawa FM. Bersama dengan 8 radio komunitas lainnya untuk 36 desa tersebut, Pandawa FM terus memberikan informasi untuk mitigasi bencana dan membangun kesiapsiagaan. Penyiar radio dilakukan sendiri oleh warga dengan beragam profesi, seperti pedagang sayur, guru, ibu rumah tangga dll. Mereka melakukan siaran setiap hari pukul 06.00 – 23.00. Selain menyampaikan informasi kebencanaan, radio ini juga menyediakan hiburan bagi masyarakat lereng Kelud, yang jauh dari kota. (Sumber: koran KOMPAS 25 Mei 2012)

2.3.2. Program Dukungan Pengembangan Ketangguhan Masyarakat terhadap Bencana Oleh CSR Yayasan Unilever Indonesia Gambaran Program Secara global, Unilever telah merangkum prinsip sustainability sebagai inti dari model bisnis Perseroan. Unilever Sustainability Living Plan (USLP) merupakan sebuah konsep terpadu untuk menanggapi tantangan penting dalam aspek sosial, ekonomi dan lingkungan yang dihadapi dunia saat ini; yang akan memungkinkan Unilever untuk meraih pertumbuhan tinggi sekaligus mengurangi jejak lingkungan dan menciptakan masa depan yang lebih baik setiap harinya bagi jutaan orang di seluruh dunia. USLP yang merupakan elemen dalam agenda pengembangan konsumen melalui Corporate Social Responsibility (CSR) Yayasan Unilever Indonesia yang dibentuk untuk mencapai tujuan yaitu tumbuh bersama masyarakat dan lingkungan dalam kehidupan yang berkelanjutan. Fokus kegiatannya ialah pada 4 program (isu) utama, yakni (1) Public Health and Education; (2) Humanitarian Aid Program; (3) Small Medium Enterprise Development Program; dan (4) Environment Program. 1. Public Health and Education (PHE) Program. Mulai diluncurkan tahun 2005, program Public Health Education (PHE) Unilever Indonesia diimplementasikan melalui sejumlah sekolah dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Sebagai bagian dari program edukasi kesehatan yang paling lama dilaksanakan di tanah air, program tersebut terus menciptakan manfaat dan kontribusi yang berarti bagi pencapaian tujuan kesehatan nasional. Sebagian dari langkah-langkah yang dilaksanakan di tahun 2011 melalui tiga program utama, yaitu program promosi kesehatan, program nutrisi, dan program kesehatan remaja (HIV/AIDS).


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Pelibatan anak dalam program ini adalah sangat penting untuk dimulai dari usia dini yaitu dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), yang disebut program KID yaitu pendidikan sehat dan bersih. Program Sekolah Dasar melalui kegiatan tambahan berupa Kantin Sehat dan Dokter Kecil serta Program remaja melalui Stops AIDS.

Strategi yang dibangun dalam pelaksanaan program ini yakni pertama, Unilever mencari pemimpin potensial di dalam masyarakat dengan memberikan sosialisasi tentang program-program PHE. Kedua, pengembangan kader melalui pelatihan. Ketiga, para kader kesehatan akan menyebarkan pengetahuan mereka dengan penyelenggaraan generative training. Dan keempat, lahirlah kader kesehatan yang baru. Para kader inilah yang menjadi agen perubahan di masyarakat dan menjamin keberlanjutan program. 2. Humanitarian Aid Program Humanitarian Aid Program berfokus pada bantuan kemanusiaan pasca bencana alam. Unilever bekerja sama dengan beberapa organisasi, seperti Indonesia Peduli, Peduli Bengkulu, dan Berbagi untuk Indonesia dalam mengumpulkan dana dan melaksanakan distribusi bantuan kepada korban bencana alam pada masa tanggap darurat dan rekonstruksi. 3. Small Medium Enterprise Development Program

Program dilakukan dalam bantuan terhadap para petani kedelai yang merupakan bagian dalam rantai produksi perusahaan yang dimulai dengan program Black Soybean Farmers Development. Program ini dilakukan bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada (UGM) untuk melibatkan petani dalam memproduksi kedelai hitam berkualitas. UGM menyediakan ahli pertanian untuk pendampingan petani, sedangkan Unilever memberikan jaminan pasar dengan komitmen membeli komoditas petani dengan harga yang disepakati bersama, dan menyalurkan bantuan sarana produksi bagi para petani yang membutuhkan melalui koperasi tani. Program ini juga melibatkan kaum perempuan sebanyak 2.700 orang.

Selain itu semenjak tahun 2010 CSR Yayasan Unilever Indonesia sebagai bentuk dukungan terhadap program Desa Mandiri Pangan yang diluncurkan oleh Kementerian Pertanian mengadakan Program Sekolah Petani. Program ini merupakan sebuah pintu bagi para petani binaan untuk mendapatkan modal yang cukup bagi mereka sampai akhirnya mereka siap untuk mendukung programprogram yang lain baik oleh swasta maupun pemerintah. Kegiatan dilakukan di Trenggalek dan Nganjuk. 4. Environment Program Environment Program dilaksanakan untuk memecahkan masalah lingkungan, terutama masalah sampah, yang salah satu sumber utamanya berasal dari sampah rumah tangga. Environment Program ini dilakukan pertama kali di Surabaya (2005) dengan tema ”Surabaya Green & Clean”. Program meliputi pendidikan masyarakat mengenai pemilahan sampah dan pemanfaatannya. Di samping itu, masyarakat

program pemberdayaan masyarakat

89


program pemberdayaan masyarakat

juga didorong untuk melakukan penghijauan di sekitar rumah mereka. Mereka dilatih untuk mengembangkan pengetahuan serta kepemimpinan dan berperan sebagai teladan bagi warga sekitar, menjadi duta lingkungan hidup, dan sumber informasi serta gagasan.

90

Environment Program juga dilakukan di Jakarta pada 2006 dengan tema “Jakarta Green & Clean” (JGC). Latar belakang program ini adalah masalah lingkungan yang ditandai dengan kurangnya penghijauan dan banyaknya timbunan sampah. JGC mengambil bentuk pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan programnya. Kegiatan yang dilakukan adalah pengelolaan sampah, kebersihan, dan penghijauan berbasis masyarakat.

Pada 2011, fokus perhatian program environment adalah pada tiga prakarsa, yaitu mengurangi limbah kemasan pasca konsumsi; memperkuat dampak green and clean; dan kampanye pemanasan global. Koperasi Bank Sampah juga didirikan di 10 lokasi di Surabaya dan 10 lokasi di Makassar, dengan berdasarkan kepada 5 prinsip yaitu lingkungan, ekonomi, komunikasi, nutrisi dan sanitasi. Disamping itu, semenjak tahun 2008 yaitu melalui Kampanye Global Warming, Unilever bersama para pemangku kepentingan juga telah melakukan penanaman ratusan ribu pohon di seluruh Indonesia.

Prinsip Pelaksanaan Kegiatan Pelaksanaan kegiatan CSR oleh Yayasan Unilever Indonesia sejak tahun 2000 dilakukan melalui berbagai program kegiatan. Program-program tersebut dibuat berdasarkan pada empat prinsip utama. Pertama, prinsip relevansi. Program-program yang dikembangkan selaras dengan bisnis. Kedua, prinsip model. Program percontohan dikembangkan terlebih dahulu sebelum direplikasi di daerah-daerah lain. Ketiga, prinsip kemitraan. Prinsip ini dimaksudkan untuk menggalang dukungan mitramitra strategis yang memiliki visi yang sama. Keempat, prinsip replikasi. Kegiatan dan pendekatan yang sukses direplikasi di wilayah-wilayah lain. Lokasi Kegiatan Untuk program Public Health and Education kegiatan menargetkan lebih dari 40 kota di sembilan (9) provinsi yaitu DKI Jakarta, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Utara, NTB, NTT dan Bali. Program revitalisasi sekolah dan posyandu dilaksanakan di 4 kota dan 1 kecamatan di Provinsi Jawa Timur yang mencakup sekitar 700 sekolah dan 700 Posyandu dengan dukungan 2.100 kader kesehatan yang terlatih. Program Desa Sehat tahun 2011 dilaksanakan di 9 kecamatan di Yogyakarta yang didukung oleh 241 kader kesehatan di 65 Posyandu. Pada tahun 2012, dua desa di Kabupaten Sumba Barat Daya – NTT masuk ke dalam program desa sehat. Program juga dijalankan di 25 desa di 5 kecamatan di Jawa Timur serta 14 desa di Jawa Barat. Tahun 2012 program desa sehat dilaksanakan di 17 desa di DIY dan 4 desa di Sumba Barat Daya-NTT plus 91 SD.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Sedangkan untuk program Small Medium Enterprise Development, lokasi pelaksanaannya ada di 8 area yaitu Bantul, Kulon Progo, Pacitan, Ngawi, Madiun, Nganjuk, Trenggalek dan Ponorogo. Sampai dengan tahun 2011 program pengembangan petani telah diikuti lebih dari 9.000 petani di 8 daerah di pulau Jawa. Tingkat produktivitas petani saat ini berkisar 0,7-2,7 ton per hektar. Sebanyak 9 koperasi petani ikut serta dalam program dan juga 85 kelompok petani perempuan. Melalui program Environment, kegiatan dipusatkan pada program penghijauan dan pengelolaan limbah Green and Clean dengan peluncuran program di Surabaya (2005) dan Jakarta (2006). Environment Program juga dilakukan di Jakarta pada 2006 dengan tema “Jakarta Green & Clean� (JGC). Pada tahun 2007 dilakukan perlombaan tingkat RT. Tahun 2008 diadakan di tingkat RW dengan melibatkan 300 RW. Sedangkan pada tahun 2009 meningkat menjadi 500 RW. Tahun 2011 diluncurkan program community centre di 10 wilayah percontohan di Kota Surabaya dengan berdasarkan kepada 5 prinsip yaitu lingkungan, ekonomi, komunikasi, nutrisi dan sanitasi. Pembelajaran Selama proses pelaksanaan program beberapa tahun ini, ada 2 pembelajaran utama yang ditemukan oleh tim CSR Unilever, yaitu: Kunci utama dalam melaksanakan kegiatan bersama masyarakat ialah membangun kesamaan visi diantara para pihak yang terlibat. Hal ini sangat penting untuk membangun rasa kepemilikian diantara masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta

Dari Limbah, Menghidupi 60 Karyawan Ini kisah sukses seorang yang bisa dikatakan “pengepul� sampah. Buat Hidayat (46), sampah bagaikan berlian yang belum diasah. Terbukti pengusaha sampah dari Bekasi, Jawa Barat ini, hidup amat layak dan mampu menghidupi 60 karyawan dari sampah. Berbendara PT. Mitratani Mandiri Perdana (Mittran), 25 orang karyawannya setiap hari berkeliling kawasan Jatimurni, Bekasi. Sekitar 9 ton sampah rumah tangga terkumpul setiap hari. Masuk mesin sortir, sampah dipilah menjadi 3 macam, yakni sampah organik, anorganik (bisa didaur ulang), dan

program pemberdayaan masyarakat

Melalui program Humanitarian Aid beberapa kegiatan yang dilaksanakan, yakni (1) mendirikan sekolah berstandar internasional pasca gempa dan tsunami di Aceh (26 Desember 2004); (2) membangun pusat pelatihan pasca gempa dan tsunami Aceh (2004); (3) mendirikan beberapa fasilitas publik berupa 5 puskesmas, 1 balai masyarakat, dan 1 taman kanak-kanak pasca gempa 27 Mei 2006 di Yogyakarta; (4) mendonasikan berbagai produk dan mendirikan dapur umum dan memproduksi 3.000 nasi bungkus selama 5 hari saat banjir besar melanda Jakarta (Februari 2007); (5) membangun perbaikan fasilitas di Pesantren Darujanna di sekitar Bengkulu Utara pasca gempa Bengkulu (12 September 2007); dan (6) menyiapkan dan mendistribusikan 8.000 paket bantuan untuk korban banjir di kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jakarta.

91


program pemberdayaan masyarakat

untuk membangun jaringan dengan pihak lain, dimana CSR Unilever tidak akan selamanya berada di komunitas tersebut.

92

Strategi yang cukup berhasil dan selalu digunakan oleh CSR Unilever adalah dengan membangun komunitas berkelanjutan dalam bidang sosial, ekonomi, dan modal lingkungan. Maka dilakukan pelibatan para tenaga ahli dari LSM dan Akademisi, juga dukungan pemerintah dalam hal infrastruktur dan kebijakan, perusahaan dalam hal pendanaan dan product knowledge, serta media dalam memasyarakatkan program. 2.4.

Database dan Peta Ketangguhan Desa/ Kelurahan

kompos. Kompos dijadikan sebagai media tanam sayur dalam pot. Seperti sawi, daun seledri, cesim dan sebagainya. Sayur dalam pot tersebut dijual ke 3 supermarket, dan sekitar 900 pot sayur terjual. Tiap bulan, paling tidak ia mengantongi pendapatan Rp. 10,8 juta dari sayur pot. Sampah anorganik yang bisa didaur ulang (plastik kresek atau tas belanjaan) dibersihkan, kemudian dijual ke pabrik pengolahan plastik Rp. 1.200/kg. Setiap bulan ia menjual 5-6 ton sampah plastik daur ulang senilai Rp 6 juta. Yang tak bisa didaur ulang dijadikan biomasa (bahan bakar pengganti). Setiap bulan bisa mengirim 100 ton biomassa ke pabrik semen dan pengolahan kapur dengan harga Rp 150/kg, senilai Rp. 15 juta. Omzet itu belum termasuk biaya pemungutan sampah dari 3.000 rumah, yang besarnya Rp. 6.000 – Rp. 25.000 (rata-rata 15.000). Pendapatan dari iuran sampah itu bisa mencapai Rp. 45 juta. Jumlah pendapatan itu bertambah besar, bila ditambah hasil penjualan. Hasil penjualan mesin pengolah sampahnya yang laku setiap bulan 20 buah (harga Rp. 30 juta – Rp. 60 juta/mesin). “makanya jangan anggap enteng usaha seperti ini,� ujarnya sambil tersenyum.

Gambaran program-program pemberdayaan di atas menunjukkan bahwa sudah banyak upaya-upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk membangun ketangguhan (Sumber: Buletin Unilever Edisi Sep-Nov 2012) masyarakat. Dengan demikian, dibutuhkan upaya untuk membangun koordinasi dan sinergi antar berbagai pelaku, sehingga bisa menghasilkan dampak yang lebih besar di masyarakat. Untuk itu, BNPB pada tahun 2012 memulai untuk mengumpulkan data desa/ kelurahan yang sudah difasilitasi dan capaian indikator ketangguhannya, sesuai dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Pendataan


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Menggunakan Peta Ketangguhan untuk Meyakinkan Anggota DPRD*

Dengan berbekal peta dan data tersebut, pada awal 2013 BPBD Provinsi DI Yogyakarta mencoba menjelaskan kepada anggota DPRD bahwa lebih dari 65% desa/kelurahan di DI Yogyakarta memiliki ancaman bencana tinggi. Dan baru sekitar 30%-nya yang sudah mendapatkan pelatihan dan kegiatan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Sebagai hasilnya, DPRD sangat apresitif atas data tersebut dan menyetujui untuk memasukkan program “pembentukan dan pendampingan desa tangguh” dalam RPJMD tahun 2013 – 2017. Bahkan, DPRD juga menyetujui untuk memberikan alokasi dana yang lebih untuk program tersebut, dimana sebelumnya hanya dianggarkan untuk 5 desa per tahun, dalam RPJMD baru ini menjadi 10 desa per tahunnya. Berdasarkan RPJMD tersebut, BPBD Provinsi DI Yogyakarta mencantumkan target pengembangan 50 desa/kelurahan tangguh bencana dalam Rencana Strategisnya untuk periode 2013 – 2017. Bahkan, kabupaten/kota di wilayah DI Yogyakarta juga sudah mulai mengalokasikan dana untuk pengembangan 1 – 2 desa/kelurahan tangguh per tahunnya. Keberhasilan ini akan diadopsi untuk pengembangan sekolah siaga bencana. *Sumber: wawancara dengan Pak Heri Siswanto, Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Provinsi DI Yogyakarta pada tanggal 24 Juli 2013.

dilakukan dengan pendekatan pelaku, dimana data didapatkan dari para pelaku yang melaksanakan program pemberdayaan masyarakat di tingkat desa/kelurahan. Sampai pada Mei 2013, data yang masuk menunjukkan bahwa ada 1023 desa yang sudah dan sedang difasilitasi oleh berbagai pihak dengan berbagai indikatornya. Capaian tersebut memiliki kontribusi atas pengembangan masyarakat tangguh di tingkat desa/kelurahan. Data sementara menunjukkan bahwa indikator pada aspek

program pemberdayaan masyarakat

Pemetaan desa/kelurahan tangguh bencana di provinsi DI Yogyakarta sudah dimulai pada Oktober 2012, yang kemudian dilanjutkan pada Februari – April 2013. Pada pemetaan tersebut, tidak hanya pencapaian indikator ketangguhan di tiap desa/kelurahan yang diidentifikasi, tetapi juga desa/kelurahan dengan ancaman tinggi. Dengan melakukan overlay peta ancaman dan ketangguhan, maka terlihat desa/kelurahan yang memiliki ancaman tinggi tetapi belum tangguh.

93


program pemberdayaan masyarakat

pelatihan, partisipasi, peraturan, perencanaan, dan relawan memiliki nilai capaian yang tinggi, yang berarti bahwa indikator tersebut banyak dilakukan oleh banyak pelaku. Sedangkan indikator untuk aspek pendanaan dan perlindungan aset produktif masih sangat sedikit. Rincian capaian untuk masing-masing indikator bisa dilihat dalam grafik dibawah ini.

94

Disisi sebaran lokasi desa/kelurahan yang difasilitasi, data yang didapatkan lebih banyak di provinsi D.I.Yogyakarta, Jawa Barat, Aceh, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Tenggara. Sedangkan di provinsi lain, belum banyak data yang didapatkan oleh BNPB. Sebaran desa/kelurahan yang difasilitasi, bisa dilihat pada grafik berikut ini.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

program pemberdayaan masyarakat

Database akan semakin memudahkan para pengambil kebijakan dan memberikan informasi yang lebih cepat untuk menentukan prioritas, terkait lokasi program, jika dibuat dalam bentuk data spasial. Oleh karena itu, sebagai percobaan pertama, BNPB melakukan ujicoba aplikasi database ketangguhan desa/kelurahan menjadi peta di provinsi D.I.Yogyakarta, yang sudah mendapatkan banyak data. Hasil peta tersebut dengan jelas menggambarkan desa/kelurahan yang memiliki tingkat ancaman tinggi tetapi belum tangguh, dan juga desa/kelurahan yang sudah mencapai tingkat ketangguhan yang berbeda (pratama-madya-utama). Contoh peta ketangguhan provinsi D.I.Yogyakarta ialah sebagai berikut.

95


Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


97

BAB 3

Konsep Desa/Kelurahan Tangguh Bencana


BAB 3

KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

Konsep Desa/Kelurahan Tangguh Bencana

98

3.1. Definisi Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah desa/kelurahan yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan, jika terkena bencana.54 Dengan demikian sebuah Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pasca keadaan darurat. 3.2. Kebijakan dan Strategi Strategi-strategi yang dapat diterapkan untuk mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana antara lain meliputi: 1. Pelibatan seluruh lapisan masyarakat, terutama mereka yang paling rentan secara fisik, ekonomi, lingkungan, sosial, termasuk perhatian khusus pada upaya pengarusutamaan gender ke dalam program 2. Tekanan khusus pada penggunaan dan pemanfaatan sumber daya mandiri setempat dengan fasilitasi eksternal yang seminimum mungkin 3. Membangun sinergi program dengan seluruh pelaku (kementerian, lembaga negara, organisasi sosial, lembaga usaha, dan perguruan tinggi) untuk memberdayakan masyarakat desa/kelurahan 4. Dukungan dalam bentuk komitmen kebijakan, sumber daya dan bantuan teknis dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota dan pemerintah desa sesuai kebutuhan dan bila dikehendaki masyarakat 54

Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

5. Peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan potensi ancaman di desa/kelurahan mereka dan akan kerentanan warga 6. Pengurangan kerentanan masyarakat desa/kelurahan untuk mengurangi risiko bencana

8. Penerapan keseluruhan rangkaian manajemen risiko mulai dari identifikasi risiko, pengkajian risiko, penilaian risiko, pencegahan, mitigasi, pengurangan risiko, dan transfer risiko 9. Pemaduan upaya-upaya pengurangan risiko bencana ke dalam pembangunan demi keberlanjutan 10. Pengarusutamaan pengurangan risiko bencana ke dalam perencanaan program dan kegiatan lembaga/institusi sosial desa/kelurahan, sehingga PRB menjiwai seluruh kegiatan di tingkat masyarakat 3.3. Prinsip-prinsip Upaya PRB yang menempatkan warga masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana sebagai pelaku utama, sebagai subjek yang berpartisipasi dan bukan objek, akan lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Masyarakat yang sudah mencapai tingkat ketangguhan terhadap bencana akan mampu mempertahankan struktur dan fungsi mereka sampai tingkat tertentu bila terkena bencana. Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip berikut:55 a. Bencana adalah urusan bersama b. Berbasis Pengurangan Risiko Bencana c. Pemenuhan Hak Masyarakat d. Masyarakat Menjadi Pelaku Utama e. Dilakukan Secara Partisipatoris f. Mobilisasi Sumber Daya Lokal g. Inklusif h. Berlandaskan Kemanusiaan i. Keadilan dan Kesetaraan Gender j. Keberpihakan Pada Kelompok Rentan k. Transparansi dan Akuntabilitas Ibid.

55

KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

7. Peningkatan kapasitas masyarakat untuk mengurangi dan beradaptasi dengan risiko bencana

99


l. Kemitraan m. Multi Ancaman n. Otonomi dan Desentralisasi Pemerintahan 0. Pemaduan ke Dalam Pembangunan Berkelanjutan

KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

p. Diselenggarakan Secara Lintas Sektor

100

3.4. Indikator dan Kategori 1. Indikator Penyusunan indikator desa/kelurahan tangguh bencana berdasarkan sistem penanggulangan bencana yang meliputi aspek legislasi, perencanaan, kelembagaan, pendanaan, pengembangan kapasitas serta penyelenggaraan penanggulangan bencana. Adapun indikator tersebut ialah: 1. Kebijakan/Peraturan di Desa/Kelurahan tentang PB/PRB 2. Rencana Penanggulangan Bencana, Rencana Aksi Komunitas, dan/atau Rencana kontijensi 3. Forum PRB 4. Relawan Penanggulangan Bencana 5. Kerjasama antar pelaku dan antar wilayah 6. Dana tanggap darurat 7. Dana untuk PRB 8. Pelatihan untuk pemerintah desa/kelurahan 9. Pelatihan untuk tim relawan 10. Pelatihan untuk warga desa/kelurahan 11. Pelibatan/partisipasi warga 12. Pelibatan Perempuan dalam tim relawan 13. Peta dan analisa risiko 14. Peta dan jalur evakuasi serta tempat pengungsian 15. Sistem peringatan dini 16. Pelaksanaan mitigasi struktural (fisik) 17. Pola ketahanan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat 18. Perlindungan kesehatan kepada kelompok rentan


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

19. Pengelolaan sumber daya alam (SDA) untuk PRB 20. Perlindungan aset produktif utama masyarakat 2. Kategori

1. Adanya kebijakan PRB yang telah dilegalkan dalam bentuk Peraturan Desa atau perangkat hukum setingkat di kelurahan 2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah dipadukan ke dalam RPJMDes dan dirinci ke dalam RKPDes atau yang setara di kelurahan 3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, dan wakil pemerintah desa/ kelurahan, yang berfungsi dengan aktif. 4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang secara rutin terlibat aktif dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya 5. Adanya upaya-upaya sistematis untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan 6. Adanya upaya-upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana b. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Madya, Tingkat ini adalah tingkat menengah yang dicirikan dengan: 1. Adanya kebijakan PRB yang tengah dikembangkan di tingkat desa/ kelurahan 2. Adanya dokumen perencanaan PB yang telah tersusun tetapi belum terpadu ke dalam instrumen perencanaan desa/kelurahan 3. Adanya forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat, termasuk kelompok perempuan dan kelompok rentan, tetapi belum berfungsi penuh dan aktif 4. Adanya tim relawan PB Desa/Kelurahan yang terlibat dalam kegiatan peningkatan kapasitas, pengetahuan dan pendidikan kebencanaan bagi para anggotanya dan masyarakat pada umumnya, tetapi belum rutin dan tidak terlalu aktif 5. Adanya upaya-upaya untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan, termasuk kegiatan-kegiatan ekonomi produktif alternatif untuk mengurangi kerentanan, tetapi belum terlalu teruji

KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

a. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Utama, Tingkat ini adalah tingkat tertinggi yang dapat dicapai oleh sebuah desa/kelurahan. Tingkat ini dicirikan dengan:

101


6. Adanya upaya-upaya untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana yang belum teruji dan sistematis c. Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Pratama, Tingkat ini adalah tingkat awal yang dicirikan dengan:

KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

1. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun kebijakan PRB di tingkat desa atau kelurahan

102

2. Adanya upaya-upaya awal untuk menyusun dokumen perencanaan PB 3. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk forum PRB yang beranggotakan wakil-wakil dari masyarakat 4. Adanya upaya-upaya awal untuk membentuk tim relawan PB Desa/Kelurahan 5. Adanya upaya-upaya awal untuk mengadakan pengkajian risiko, manajemen risiko dan pengurangan kerentanan 6. Adanya upaya-upaya awal untuk meningkatkan kapasitas kesiapsiagaan serta tanggap bencana 3.5. Integrasi Program dan Pelaku Keberhasilan kerja koordinasi lintas sektor akan menjamin adanya pengarusutamaan pengurangan risiko bencana dalam program sektoral sehingga mengefektifkan kerjakerja pengurangan risiko bencana dalam mewujudkan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Sinergi kerja lintas sektor ini juga akan dapat menghindari tumpang-tindih program/kegiatan yang dapat berakibat pada inefisiensi pendanaan. Pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat diarahkan agar menjadi bagian terpadu dari rencana dan kegiatan pembangunan reguler, serta menjadi bagian dari kebijakan-kebijakan sektoral. Begitu pula sebaliknya, setiap proses pengelolaan pembangunan harus memasukkan unsur-unsur pengurangan risiko bencana (analisis ancaman, kerentanan dan risiko serta rencana-rencana mitigasi). Pada praktiknya, pengurangan risiko bencana seharusnya mendapatkan tempat yang memadai dalam musyawarah perencanaan pembangunan di segala tingkatan, mulai dari desa sampai nasional. Misalnya, rencana pengembangan ekonomi untuk mengurangi kerentanan masyarakat, baik berupa meningkatkan produksi, memperluas akses pasar, maupun membuat sumber ekonomi lain yang lebih aman dari ancaman bencana, dan mekanisme untuk menjamin keberlanjutan pengembangan ekonomi tersebut.


KONSEP DESA/KELURAHAN TANGGUH BENCANA

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

103


104

Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


105

BAB 4

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012


Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

BAB 4

106

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

4.1. Latar Belakang Masyarakat yang berada di desa/kelurahan adalah penerima dampak langsung dari bencana, dan sekaligus sebagai pelaku langsung yang akan merespon bencana di sekitarnya. Banyak pengetahuan, pengalaman, dan keahlian yang dimiliki oleh masyarakat. Banyak juga pihak lain yang bekerja bersama masyarakat. Oleh karena itu, dengan memanfaatkan semua yang dimiliki, masyarakat desa/kelurahan perlu membuat mereka tangguh terhadap dampak bencana, sehingga risiko korban jiwa, kerugian harta, dan lain lain akan bisa diperkecil dan bahkan dihindari. Desa Tangguh Bencana adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan (Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012). Berdasarkan definisi tersebut, pemerintah dan masyarakat desa/ kelurahan sendirian tentunya akan sulit untuk mencapai ketangguhan terhadap bencana. Ketangguhan ini bersifat multi-disiplin dan multi-sektoral, khususnya yang memiliki pengaruh langsung terhadap kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, “Ketangguhan dapat dicapai dalam sebuah sistem (ekonomi, infrastruktur, ekologi, sosial) yang memasukkan berbagai kegiatan, interaksi, dan hubungan� (IFRC, 2012). Pada Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana, setidaknya ada 20 indikator untuk menggambarkan ketangguhan. Pendekatan satu sektor saja sudah terbukti belum bisa membangun ketangguhan secara memadai. Untuk itu, masih dibutuhkan banyak usaha baik oleh masyarakat sendiri maupun dari berbagai pihak untuk meningkatkan kapasitas masyarakat. Sebagai salah satu upaya untuk membangun masyarakat tangguh, BNPB memiliki program pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana. Pelaksanaan program ini tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan penguatan dan pengembangan dari program-program pemberdayaan di desa/kelurahan yang sudah dilaksanakan


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

4.2. Tujuan Tujuan Program Pengembangan Desa/Kelurahan Tangguh Bencana ini adalah: 1. Mendorong terwujudnya masyarakat Desa/Kelurahan Tangguh dalam menghadapi Bencana yang lebih terarah, terencana, terpadu, dan terkoordinasi. 2. Mendorong sinergi untuk saling melengkapi dengan seluruh program yang ada di desa/kelurahan yang dilaksanakan oleh kementerian / lembaga atau organisasiorganisasi non-pemerintah lainnya, termasuk sektor swasta. 4.3. Indikator Program Tahun 2012 Ada 9 indikator yang ditetapkan oleh program tahun 2012, dimana pencapaiannya didasarkan pada prioritas kebutuhan di desa/kelurahan lokasi program. Indikator tersebut ialah:56 1. Peta ancaman bencana 2. Peta dan analisis kerentanan masyarakat terhadap dampak bencana 3. Peta dan analisis kapasitas dan potensi sumber daya 4. Draf Rencana Penanggulangan Bencana 5. Draf Rencana Aksi Komunitas 6. Relawan Penanggulangan Bencana (termasuk forum PRB) 7. Sistem Peringatan Dini berbasis masyarakat 8. Rencana kontijensi (termasuk evakuasi) 9. Pola ketahanan ekonomi. 4.4. Rincian Kegiatan Program Seluruh rangkaian kegiatan dalam program pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana tahun 2012 ialah sebagai berikut: 1. Sosialisasi dan pembekalan kepada fasilitator (masing-masing provinsi 4 orang yang terdiri dari BPBD Provinsi, BPBD Kab/Kota, dan LSM atau Perguruan Tinggi) Untuk program tahun 2013, rujukan indikator sudah menggunakan 20 indikator ketangguhan yang ada di Peraturan Kepala BNPB No. 1 Tahun 2012, sebagai acuan. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, program BNPB tidak dimaksudkan memenuhi seluruh 20 indikator tersebut, tetapi indikator yang dipilih berdasarkan kebutuhan masyarakat, ketersediaan sumberdaya, dan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya BNPB.

56

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

oleh kementerian/lembaga, organisasi internasional, nasional, dan lokal. Program ini adalah bagian dari pengembangan kapasitas (salah satu elemen dalam sistem penanggulangan bencana) untuk masyarakat di desa/kelurahan.

107


Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

2. Pertemuan di Kabupaten/Kota (1 hari dengan melibatkan perwakilan dari desa/ kelurahan lokasi program)

108

3. Pertemuan Fasilitasi/FGD di Desa/Kelurahan (masing-masing 5 kali pertemuan dengan alokasi 3 hari per pertemuan) 4. Kunjungan evaluasi program dilakukan di 14 provinsi 4.5. Lokasi Program Prioritas pemilihan lokasi untuk program tahun 2012 didasarkan pada: 1. Desa/Kelurahan memiliki potensi atau sudah pernah terkena bencana tsunami 2. Desa/Kelurahan sudah pernah difasilitasi oleh kementerian/lembaga negara dan/ atau organisasi internasional/nasional 3. Desa/Kelurahan masih memiliki kekurangan dalam memenuhi 9 indikator diatas Pada tahun 2012, lokasi program yang direncanakan ialah 42 desa/kelurahan yang terletak di 21 provinsi. Akan tetapi, BPBD provinsi Bengkulu tidak bisa melaksanakan program ini, karena kesibukan mereka dengan kegiatannya sendiri. Sehingga, lokasi program ada di 40 desa/kelurahan yang tersebar di 20 provinsi. Rincian lokasi program ialah sebagai berikut: NO

PROVINSI

KABUPATEN

KECAMATAN

1 2

NAD Nagan Raya Sumatra Utara Mandailing Natal

Kuala Pesisir Kec Penyabungan

3

Sumatera Barat Agam

Kec Tanjung Mutiara

4 5 6 7

Lampung Banten Jawa Barat Jawa Tengah

8 9

Jawa Timur DIY

10 Bali 11 NTB

Lampung Selatan Serang Ciamis Cilacap

Pacitan Bantul Badung Lombok Utara

DESA/KELURAHAN Kuala Trang Gunung Manaon

Desa Tiku V Jorong Banding Cinangka Pasauran Pangandaran Pananjung Adipala (Bunton) Bunton dan Binangun (Widarapayung Wetan) Pacitan Srandakan Sanden Kuta Selatan Pemenang

Suak Puntong Manyabar Jae Tiku Selatan Sukaraja Sindanglaya Pangandaran Widarapayung Wetan

Kembang Poncosari

Sirnoboyo Gadingsari

Kuta Gili Indah

Tanjung Benoa Pemenang Barat


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

PROVINSI

12 NTT 13 Sulawesi Utara 14 Sulawesi Tengah 15 Gorontalo

KABUPATEN Ende Minahasa Selatan Donggola Gorontalo Utara

16 Sulawesi Barat Majene 17 18 19 20

Maluku Maluku Utara Papua Papua Barat

Buru Pulau Morotai Sarmi Manokwari

KECAMATAN Ende Selatan Balaisang Atinggola Gentuma Sendana Pamboang Namlea Morotai Selatan Masni

DESA/KELURAHAN Tanjung Ranoiapo Batusuya

Puapanda Uwuran I Labean

Kota Jin

Ipilo

Tubo

Adolang

Ubun Juanga Bagaiserwar Masni

Sawa pandanga Sawar Arowi

4.6. Capaian Hasil Program Hasil dari pelaksanaan program ini beragam diantara banyak provinsi. Berdasarkan laporan dan evaluasi, capaian hasil program bisa dikategorikan menjadi tiga, yaitu kurang dari 5 indikator, minimal ada 5 indikator, mencapai semua 9 indikator. Dari hasil evaluasi menunjukkan 75% dari provinsi pelaksana program sudah mencapai minimal 5 indikator sesuai yang direncanakan oleh BNPB.

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

NO

109

Berdasarkan temuan diatas, sebagian besar BPBD Provinsi mengalami kendala kurangnya waktu untuk menjalankan program desa tangguh tahun 2012; akan tetapi hasil indikator yang dicapai berbeda-beda. Hal ini terkait dengan kebijakan bahwa desa yang dijadikan tempat pelaksanaan desa tangguh adalah desa yang sebelumnya sudah pernah difasilitasi oleh LSM atau lembaga lain untuk program sejenis. Sehingga, mungkin saja desa tempat pelaksanaan program desa tangguh di provinsi yang satu sangat intensif didampingi oleh LSM atau lembaga sebelumnya sedangkan desa di provinsi lain mungkin sudah lama ditinggalkan atau hanya sebentar difasilitasi. Oleh karena itu, pencapaian indikator program juga banyak dipengaruhi oleh intensitas dan efektifitas program sebelumnya yang dilaksanakan oleh LSM atau lembaga lain. Misalnya, masyarakat di kelurahan Tanjung Benoa Bali sudah membuat peta rawan bencana sejak tahun 2006 yang diinisiasi oleh PMI dan digunakan sampai sekarang. Mereka juga membuat Tanggul sementara yang dibangun peta evakuasi sejak tahun 2008 yang oleh warga di Ende, NTT


Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012 110

difasilitasi oleh GIZ dan digunakan hingga sekarang. Contoh lain ialah masyarakat di kelurahan Tanjung dan Paupanda di NTT sudah sangat sadar bencana karena sudah didampingi oleh FIRD sejak tahun 2010. Sehingga menggerakkan masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana di kelurahan tersebut bukanlah hal yang sulit. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan capaian indikator program tidak bisa Informasi peringatan yang ditulis dikatakan hanya karena program di dinding sekolah di Kel. Tanjung, pengembangan desa/kelurahan tangguh Ende NTT yang dilaksanakan oleh BPBD, tetapi juga kontribusi LSM/lembaga yang bekerja disana sebelumnya. Pada konteks diatas, untuk wilayah program yang sebelumnya sudah didampingi oleh LSM dengan baik, dan kemudian mereka terlibat dan berperan aktif dalam program Desa Tangguh dari BNPB, seperti keterlibatan FIRD di Ende (NTT) dan PMI di Badung (Bali), maka program ini mampu memberikan nilai tambah untuk melengkapi kapasitas yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hasil lain dari pelaksanaan program ini ialah sinergi dengan program lain yang ada di desa/kelurahan. Di kelurahan Tanjung Benoa, Kab. Badung, Prop. Bali misalnya, forum PRB berhasil menggunakan hasil dari program PMI dan GIZ. Forum PRB juga beranggotakan kelompok-kelompok yang sudah dibentuk oleh PMI dan GIZ. Sehingga, program desa tangguh dari BNPB difokuskan pada pembentukan forum, pelatihan untuk tanggap darurat, dan simulasinya. Simulasi/gladi lapang dilakukan dengan melibatkan hotel yang sudah memiliki MoU dengan kelurahan sebagai tempat evakuasi. Sinergi program juga ditunjukkan oleh Desa Sirnoboyo dan Kembang di Pacitan, Jawa Timur. Kedua desa yang dijadikan lokasi program BNPB tersebut juga menjadi lokasi program dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pemerintah dan Pada tahun 2012, Kementerian warga desa sudah membuat kedua Kelautan dan Perikanan (KKP) program tersebut terintegrasi, dimana menjadikan Desa Sirnoboyo sebagai program dari KKP lebih diarahkan untuk lokasi program Desa Pesisir Tangguh. pembangunan infrastruktur, termasuk Untuk mensinergikan program, jalur evakuasi, yang membantu kegiatan program KKP difokuskan ketangguhan masyarakat. Disamping pada pembangunan talud dan jalan itu, kedua desa juga didampingi oleh yang menjadi bagian dari rencana desa GIZ, dan sinergi dilakukan untuk aspek untuk mengurangi risiko bencana. pemetaan dan perencanaan dilakukan (Kepala Desa Sirnoboyo, Pacitan, Jawa Timur) bersama-sama.


Dari sisi ketangguhan desa/kelurahan, berdasarkan Perka BNPB Nomor 1 tahun 2012, dari 18 desa/kelurahan yang dievaluasi, sudah ada 2 desa/kelurahan tangguh utama, 6 tangguh madya, 8 tangguh pratama, dan 2 belum tangguh. Penilaian dilakukan untuk melihat capaian 20 indikator ketangguhan di masing-masing desa/kelurahan.57 Sebagaimana disebutkan diatas, kontribusi pencapaian indikator ketangguhan juga diperoleh dari pelaksanaan program-program sebelumnya yang ada di desa/ kelurahan tersebut. 4.7. Replikasi Program pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana yang dilaksanakan oleh BNPB adalah merupakan program inisiatif, yang diharapkan kedepannya akan direplikasi oleh BPBD untuk bisa memfasilitasi lebih banyak desa/ kelurahan untuk mencapai ketangguhan. Berdasarkan hasil evaluasi, sudah ada beberapa BPBD yang merencanakan untuk mereplikasi program ini, yaitu:

Peserta fasilitasi menuju desa tangguh di Kel. Tanjung, Ende, NTT

Di Tingkat Provinsi: 1. BPBD Provinsi Jawa Timur: bermaksud melakukan pelatihan untuk fasilitator desa/ kelurahan tangguh bencana yang ditujukan ke banyak kabupaten/kota, sehingga fasilitator tersebut bisa membantu BPBD Kab/Kota untuk memfasilitasi lebih banyak desa/kelurahan. 2. BPBD Sumatera Barat: pada tahun 2013, BPBD mengalokasikan anggaran untuk memfasilitasi 2 Nagari untuk mewujudkan beberapa indikator ketangguhan. 3. BPBD D.I.Yogyakarta pada tahun 2013 mengalokasikan anggaran untuk mengembangan 5 desa/kelurahan tangguh bencana. Indikator yang akan dicapai sama dengan indikator yang ditetapkan oleh BNPB. Dan untuk pelaksanaannya, BPBD bekerjasama dengan beberapa LSM lokal. Di Tingkat Kabupaten/Kota: 1. BPBD Kab. Ende, NTT: Semenjak tahun 2011, BPBD Kab. Ende memiliki program pembentukan dan pembinaan TSBK/TSBD dengan target 2 – 4 desa/kelurahan per tahun. Pembinaan dilakukan dengan memberikan pelatihan dan simulasi tanggap darurat. Penilaian ini dilakukan sendiri oleh fasilitator/BPBD dengan mengisi formulir yang disediakan oleh BNPB pada saat kunjungan lapangan.

57

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

111


Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012 112

2. BPBD Kab. Agam, Sumatera Barat: Semenjak 2011, BPBD Kab. Agam telah melakukan pembentukan 30 Kelompok Siaga Bencana di 30 Jorong.58 Kelompok ini bisa menjadi embrio untuk penguatan masyarakat menuju ketanggguhan. Dan pada tahun 2013, BPBD merencanakan untuk memberikan pelatihan kepada kelompok tersebut. 4.8. Pembelajaran dari Pelaksanaan Program Sebagai program yang baru dilaksanakan, pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana memberikan banyak pembelajaran selama pelaksanaannya di tahun pertama ini. Beberapa pembelajaran tersebut ialah: 1. Pencapaian indikator program pengembangan desa/kelurahan tangguh bencana sangat dipengaruhi oleh hasil dari fasilitasi yang sudah dilaksanakan oleh LSM/lembaga lain sebelumnya. Diskusi desa tangguh di Pacitan Oleh karena itu, untuk melihat hasil dari Jawa Timur program yang dilaksanakan oleh BPBD, bisa dilakukan dengan 2 cara. Pertama, perlu ada program pembanding (sebagai kontrol) di lokasi desa/kelurahan yang belum pernah difasilitasi oleh lembaga manapun. Atau kedua, perlu dilakukan penilaian ketangguhan sebagai baseline sebelum kegiatan dimulai, dan kemudian dibandingkan dengan penilaian endline di akhir program. Kuesioner penilaian ketangguhan desa/kelurahan dalam lampiran Perka BNPB Nomor 1 Tahun 2012 bisa digunakan sebagai pendataan baseline dan endline. 2. Sosialisasi kepada lebih banyak masyarakat desa/kelurahan. Pada pelaksanaan program ini, intensitas pemberian informasi, pengetahuan, dan keterampilan hanya difokuskan pada 30 peserta fasilitasi. Untuk itu, masih dibutuhkan sosialisasi kepada masyarakat yang lebih luas, seperti terkait dengan peta risiko, sistem peringatan dini, RAK dll. 3. Pelatihan untuk relawan. Kebutuhan lanjutan bagi kelompok/tim relawan siaga bencana di desa/kelurahan ialah kemampuan tehnis dan peralatan dalam respon bencana (tanggap darurat), dimana mereka membutuhkan pelatihan yang memadai untuk itu. Kurikulum relawan yang sudah dikembangkan oleh BNPB, bisa menjadi rujukan bagi BPBD dalam meningkatkan kapasitas kelompok-kelompok tersebut. 4. Dukungan untuk implementasi rencana aksi. Untuk desa/kelurahan yang sudah memiliki rencana aksi pengurangan risiko bencana, masih dibutuhkan dukungan Satu Naragi rata-rata terdiri dari 5 – 7 Jorong.

58


dari pihak eksternal (pemerintah, LSM, lembaga usaha dll) untuk mewujudkan rencana tersebut. Dukungan dari BPBD baik secara langsung atau melalui kerjasama dengan pihak lain, seperti LSM, perusahaan, Universitas dll, dapat menjadi dorongan untuk mewujudkan rencana aksi masyarakat. Misalnya, di Nagari Tiku 5 Jorong, Kab. Agam, Sumatera Barat, perusahaan sawit yang ada di Nagari tersebut harus dilibatkan dalam Peserta diskusi fasilitasi desa pelaksanaan rencana aksi, karena mereka tangguh di Gorontalo juga memiliki kepentingan dimana banyak kebun sawitnya dan pekerjanya ada di Nagari tersebut. Disamping itu, peran BPBD untuk mensinergikan rencana aksi dengan program-program dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) lainnya, akan sangat membantu pelaksanaan rencana aksi. 5. Salah satu faktor keberhasilan LSM/lembaga lain dalam melakukan fasilitasi di masyarakat ialah adanya pendampingan yang intensif dan dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi BPBD, ketika mereka akan mereplikasi program di tempat lain. Di beberapa BPBD, mereka (sebagai PNS) menyatakan tidak mampu untuk bisa melakukan pendampingan intensif karena tuntutan pekerjaan lainnya. Oleh karena itu, kemitraan antara BPBD dan LSM/lembaga fasilitator lainnya sangat penting untuk menentukan keberhasilan program. Kerangka kerjasama ini perlu diperjelas lagi, dimana ada pembagian peran yang sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. 6. Upaya lebih keras untuk replikasi. Sekalipun desa/kelurahan sudah memiliki ketangguhan yang cukup, hal ini tidak serta merta membuat desa/kelurahan di sekitarnya untuk mereplikasinya. Contoh di Ende (NTT) dan Badung (Bali) membuktikan hal ini. Ternyata masih dibutuhkan intervensi/stimulan eksternal untuk melakukan replikasi. Upaya BPBD Ende contohnya, untuk memfasilitasi pembentukan Tim Siaga Bencana di desa/kelurahan lain, merupakan salah satu upaya replikasi yang dilakukan oleh pemerintah.

Program Fasilitasi Pemberdayaan Masyarakat Menuju Desa/Kelurahan Tangguh Bencana Tahun 2012

Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

113


Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh


115

BAB 5

Pembelajaran Pelaksanaan Program


BAB 5

Pembelajaran Pelaksanaan Program

Pembelajaran Pelaksanaan Program

116

Kemampuan masyarakat desa/kelurahan dalam menghadapi bencana, baik sebelum, saat dan sesudah bencana, dan untuk mengurangi risikonya, menjadi mimpi besar dari banyak program yang sudah dan sedang dilaksanakan oleh berbagai pihak diatas. Di bawah ini adalah beberapa poin sebagai faktor keberhasilan dan faktor keberlanjutan dari program Desa Tangguh atau sejenisnya, berdasarkan pengalaman dari lembaga pemerintahan, lembaga nasional/internasional, dan lembaga usaha. 5.1. Faktor Keberhasilan 1. Keterlibatan masyarakat dan seluruh stake holder Masyarakat adalah pelaku yang paling memahami karakter wilayahnya. Untuk itu, pelibatan masyarakat menjadi sebuah dasar yang kuat untuk memastikan keberhasilan program. Masyarakat ditempatkan oleh program ini sebagai pelaku dan penerima manfaat utama, karena mereka memiliki pengetahuan dan wawasan mengenai potensi di sekelilingnya. Lokalitas pengetahuan ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa program berproses dengan memaksimalkan sumber daya yang ada di masing-masing desa/kelurahan. Misalnya dengan melibatkan masyarakat dalam perencanaan kegiatan pengurangan resiko bencana, maka proses pembangunan infrastruktur menjadi sebuah proses yang dijalani bersama dari awal pengambilan keputusan, pembangunan dan pemeliharaan. 2. Munculnya kesadaran masyarakat Pelibatan masyarakat saja tidak cukup untuk memastikan bahwa program telah berhasil mencapai tujuannya. Satu hal yang harus dibangun selama proses pelibatan bersama masyarakat ialah kesadaran bahwa program tersebut menjadi kebutuhan untuk menjawab masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Kalau kesadaran ini tidak terbangun, atau dengan kata lain bahwa program tidak bisa menjawab masalah yang dihadapi masyarakat, maka kemungkinan besar kegiatan-kegiatan hanya akan selesai dilaksanakan tetapi tidak memberikan hasil yang berharga. 3. Tim fasilitator/organiser dari masyarakat Untuk membangun kesadaran dan rasa kepemilikan masyarakat, pelaksana program (sebagai orang luar) tidak bisa serta merta melaksanakan sendiri semua


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

kegiatannya. Keterlibatan orang dari dalam masyarakat bisa menjadi “jembatan� yang sangat efektif untuk membangun hubungan kerjasama yang baik antara pelaksana program dan masyarakat. Orang dalam ini sering menjadi fasilitator/ organiser yang bekerjasama dengan pelaksana program untuk melaksanakan semua kegiatannya. Peran mereka (sebagai bagian dari masyarakat) menjadi salah satu kunci keberhasilan pelaksanaan program. Penanggulangan bencana (PB) mungkin sebuah wacana yang relatif baru bagi masyarakat, tetapi itu juga membutuhkan keahlian yang komprehensif, karena bencana terkait dengan banyak sektor. Menyelenggarakan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melaksanakan sekaligus mengelola kegiatan PB adalah langkah yang perlu diambil. Peningkatan kapasitas akan memberi nilai lebih kepada kualitas upaya-upaya pengurangan risiko yang dilakukan oleh masyarakat. Disamping itu, peningkatan kapasitas yang dilakukan oleh banyak pihak di atas, merupakan investasi sosial untuk membangun ketangguhan masyarakat. 5. Komitmen dan dukungan dari pemerintah desa/kelurahan Pada dasarnya, masyarakat bisa menyusun rencana mereka sendiri, dan melaksanakannya dengan para pelaku lain. Akan tetapi, pengalaman banyak pelaku membuktikan bahwa peran pemerintah desa/kelurahan sangat penting untuk menjalin kerjasama yang harmonis untuk keberhasilan program. Sebagai pemilik wewenang di daerahnya, komitmen dan dukungan pemerintah desa/ kelurahan atas rencana masyarakat dapat memberi kekuatan moral dan psikologis kepada lebih banyak warga untuk terlibat dalam program. 6. Integrasi dengan program pembangunan di desa/kelurahan Dengan adanya komitmen dan dukungan pemerintah desa/kelurahan, rencana program yang dimiliki oleh masyarakat bersama pelaku lainnya, akan mendapatkan jalan untuk integrasi dengan program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dari beberapa contoh program di atas, ada beberapa integrasi yang dilakukan, seperti dengan program PNPM, program dari kementerian lain, dan juga program dari lembaga sosial. Integrasi ini telah berhasil memberikan efektifitas pelaksanaan program dan dampak yang lebih besar. Dan kunci keberhasilan integrasi ialah peran dan dukungan dari pemerintah desa/kelurahan. 7. Penggunaan media informasi dan komunikasi yang tepat Pemilihan media komunikasi akan menentukan keberhasilan penyampaian informasi yang tepat dan kepada sasaran yang tepat. Di desa/kelurahan, ada beragam media komunikasi yang sudah ada di sana, berdasarkan konteks lokal. Misalnya, beberapa pelaksana program menggunakan media komunikasi informal di masyarakat yang sudah terbukti efektif, seperti pertemuan ibu-ibu, rukun

Pembelajaran Pelaksanaan Program

4. Peningkatan kapasitas

117


tetangga, arisan dan lain-lain untuk menjalin komunikasi dengan masyakarat. Kegiatan keagamaan juga menjadi salah satu media yang efektif untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat.

Pembelajaran Pelaksanaan Program

5.2. Faktor Keberlanjutan

118

Keberlanjutan (sustainability) seringkali dimaknai sebagai hasil dari 3 tujuan utama, yaitu (a) untuk hidup yang berkelanjutan secara lingkungan atau bisa berlanjut dalam waktu yang lama, (b) untuk hidup yang berkelanjutan secara ekonomi, menjaga kualitas standar hidup dalam waktu yang lama, dan (c) untuk hidup yang berkelanjutan secara sosial, baik sekarang dan untuk yang akan datang.59 Berdasarkan defini diatas, maka keberlanjutan sebuah program, bisa dilihat dalam 3 aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial. Prespektif ketiga aspek tersebut juga relevan dengan program-program pemberdayaan masyarakat, dan yang juga dikhususkan untuk mengurangi risiko bencana. Dari bebebapa pengalaman pelaksanaan program-program pemberdayaan yang dilaksanakan oleh berbagai pihak diatas, ada 5 faktor yang mendukung tercapainya keberlanjutan program. Sekalipun belum dilakukan studi keberlanjutan untuk semua program diatas, setidaknya faktor-faktor berikut ini bisa sebagai pemicu (drivers for change) untuk menjamin keberlanjutan program. Kelima faktor tersebut ialah: 1. Tingkat kepemilikan program oleh masyarakat

Keterlibatan masyarakat yang berhasil membangun kesadaran akan memunculkan rasa kepemilikan masyarakat terhadap program yang sedang dilaksanakan. Dan program yang sudah terbukti menjadi bagian dari jawaban atas masalah yang dihadapi oleh masyarakat, akan memperkuat rasa kepemilikan program. Dengan beralihnya kepemilikan program dari pelaksana (organisasi/instansi dari luar) kepada masyarakat, maka program tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk terus dilanjutkan oleh masyarakat. Proses ini, seringkali tidak bisa terjadi dalam waktu yang singkat, tetapi memiliki dampak keberlanjutan yang lebih besar.

2. Terbentuknya forum/kelembagaan Keberadaan forum sebagai wadah masyarakat yang menjadi lokasi pelaksanaan program merupakan salah satu modal sosial bagi berlanjutnya program. Forum memudahkan masyarakat untuk saling bertatap muka dengan seluruh pemangku kepentingan program secara terstruktur, termasuk dengan para pelaku di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan bahkan nasional. Jaringan yang terbentuk melalui forum tersebut akan memberikan peluang akses kerjasama dengan lebih banyak pihak di luar desa/kelurahan. Sehingga, kegiatan-kegiatan lanjutan akan memperkuat dan memperluas dampak dan keberlanjutan program. 59

Dillard, J., Dujon, V. & King, M. C. (2009). Introduction. Dalam J. Dillard, V. Dujon, & M. C. King (Eds.), Understanding the social dimension of sustainability (hal. 2). New York: Routledge.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Dasar legal dalam pelaksanaan program bukan sekedar sebuah bukti pengakuan dari tingkat desa/kelurahan. Dasar legal adalah kekuatan bagi program untuk menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan di desa/kelurahan. Ketika program PRB sudah menjadi prioritas, maka pemerintah bisa memberikan alokasi dana kegiatan PRB dalam anggaran desa/kelurahan. Maka, dasar legal menjadi sebuah tumpuan penting untuk keberlangsungan program. Para lembaga kontributor (terutama lembaga nasional dan internasional) sangat menyadari situasi ini, sehingga mendorong terbitnya dasar legal menjadi salah satu prioritas utama program mereka.

4. Integrasi Pengurangan Risiko dengan Kemandirian Ekonomi Warga Banyak program pemberdayaan yang berhenti setelah intervensi dari pihak luar selesai. Upaya pengurangan risiko bencana tidak bisa dilaksanakan secara terpisah, dan tidak bersinggungan dengan kebutuhan masyarakat. Di desadesa yang relatif tidak kaya, kemandirian ekonomi menjadi salah satu indikator penting untuk ketangguhan masyarakat. Pengurangan risiko yang terintegrasi dengan peningkatan ekonomi warga, telah terbukti memberi kontribusi pada keberlanjutan program, seperti penanaman kopi dan kayu putih untuk mitigasi longsor. Program pengembangan simpan-pinjam juga banyak diinisiasi oleh para pelaku untuk membangun kemandirian ekonomi. Manfaat finansial yang diperoleh warga telah meningkatkan kesadaran untuk berkontribusi dalam pembiayaan kegiatan-kegiatan pengurangan risiko yang sudah direncanakan. Seringkali, masyarakat mengalokasikan sebagian keuntungannya untuk kegiatan bersama, sehingga program akan terus dilaksanakan. 5. Peran Serta Perempuan dan Anak Perempuan dan anak adalah dua stakeholders penting dalam program pengembangan ketangguhan masyarakat. Dua kelompok ini sering dianggap sebagai kelompok yang rentan dalam menghadapi paparan bencana. Tetapi, di sisi lain, perempuan memiliki peran penting dalam menyiapkan keluarga menjadi siap dan tangguh dalam menghadapi bencana. Sementara, anak memiliki fungsi sebagai mediator dalam melakukan perubahan sikap dan pola pikir dalam menghadapi bencana untuk lingkungan terdekatnya. Dan anak adalah kelompok yang akan meneruskan program ini di kemudian hari. Beberapa pelaku di atas, telah berhasil membangun kapasitas perempuan dan anak untuk menjadi salah satu pelaku utama dalam upaya membangun ketangguhan masyarakat.

Pembelajaran Pelaksanaan Program

3. Adanya dasar legal di tingkat desa/kelurahan

119


DAFTAR PUSTAKA

Buku/Laporan: Dillard, J., Dujon, V. & King, M. C. 2009. Introduction. Dalam J. Dillard, V. Dujon, & M. C. King (Eds.), Understanding the social dimension of sustainability. New York: Routledge.

daftar pustaka

Gunawan, Restu Dr. 2010. Gagalnya Sistem Kanal, Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

120

IFRC. 2012. Understanding community resilience and program factors that strengthen them: A comprehensive study of Red Cross Red Crescent Societies tsunami operation. Geneva: IFRC. Mercy Corps. 2010. Annual Program Statement, The Stakeholder Coordination, Advocacy, Linkages, and Engagement for Resilience Program.

Mercy Corps. 2012. Annual Performance Report Oktober 2011 – September 2012.

Meyers, Koen dan Puteri Watson. 2008. Legend, Ritual and Architecture on the Ring of Fire, dalam Indigenous Knowledge for Disaster Risk Reduction: Good Practices and Lessons Learned from Experiences in the Asia-Pacific Region. Geneva: UN-ISDR.

Oxfam. 2012. 20 Cerita Sukses dari Timur Indonesia.

Padang, Van. 1951. Dalam Igan S. Sutawijaya, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, Vol 2 No. 2, Agustus 2011.

PMI. 2012. Bersama untuk Tangguh: Kumpulan Cerita Sukses Pengurangan Risiko Bencana.

Twigg, John. 2009. Characteristics of Disaster-Resilient Community: A Guidance Note. London: Latitude.

UNDP. 2007. Project Summary: Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) in Development.

UNDP. 2011. Lessons Learned: Building Safer Communities through Pilot Projects for Community Based Disaster Risk Reduction. UNDP. 2011. Safer Communities through Disaster Risk Reduction (SC-DRR) in Development: Project Evaluation.

Unilever. 2012. Buletin Edisi September-November 2012.


Pengalaman indonesia dalam mengembangkan masyarakat yang tangguh

Peraturan: BNPB. 2010. Rencana Nasional Penanggulangan Bencana Republik Indonesia Tahun 2010 – 2014.

BNPB. 2012. Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.

Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana alam, Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial, Kementerian Sosial. 2011. Petunjuk Teknis Kampung Siaga Bencana (KSB). Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral. 2010. Success Story Pemanfaatan Energi Terbarukan Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2012. Pedoman Teknis Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT).

Kementerian Kesehatan. 2010. Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif (versi online).

Kementerian Kesehatan. 2011. Desa dan Kelurahan Siaga Aktif – Suplemen 2 (versi online).

Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2012. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim Lampiran I: Pedoman Umum Program Kampung Iklim (versi online). Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2012. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 Tahun 2012 tentang Program Kampung Iklim – Lampiran II: Pedoman Penilaian Program Kampung Iklim (versi online).

Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Desa Mandiri Pangan TA. 2012.

Kementerian Pertanian. 2012. Pedoman Umum Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan pangan Masyarakat Badan Ketahanan Pangan Tahun 2012 (versi online).

Website:

http://id.wikipedia.org/wiki/Tarumanagara

http://jv.wikipedia.org/wiki/Karajan_Medhang http://www.presidenri.go.id/index.php/statik/kabinet.html http://www.ausaid.gov.au/countries/eastasia/indonesia/Documents/buildingresilience-oxfam-mtr-report.pdf http://www.pmi.or.id/ina/program/?act=detail&id_sub=47 http://djuliantosusantio.blogspot.com/2009/03/situs-tugu-kraton-tarumanegarabekasi.html

http://diabicara.blogspot.com/2009/11/strategi-penanggulangan-banjir-pada.html

daftar pustaka

121


Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh

Pengalaman Indonesia dalam Mengembangkan Masyarakat yang Tangguh Diterbitkan atas dukungan

ISBN: 978-602-7700-11-6

Cover Pengalaman Membangun Masyarakat Tangguh.indd 1

20/06/2015 13:13:42


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.