Hidup dalam pasang surut danau

Page 1

HIDUP DALAM PASANG SURUT DANAU

Hidup dalam Pasang Surut Danau Diterbitkan atas dukungan

Cover Danau Tempe.indd 1

23/06/2015 10:47:51


Hidup dalam Pasang Surut Danau



hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

1

BAB 1

Hidup dalam Pasang Surut Danau


BAB 1

hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

2

Bagi warga Laelo, kampung di tepi timur Danau Tempe, Wajo, Sulawesi Selatan pasangsurut air danau telah menjadi keseharian. Air telah menjadi “sahabat� warga Laela dengan pasang dan surutnya. Mereka sudah terbiasa tergenang dan hidup dalam genangan selama berbulan-bulan setiap tahun tanpa merasa perlu mengungsi. Warga Laelo terbiasa dengan luapan air Danau Tempe yang menggenangi rumah setiap tahunnya. Air pasang tak pernah membuat penduduk terusir dari kediamannya hingga datanglah peristiwa pada April 2002. Ketika itu, air meluap hingga 4,5 meter di atas permukaan tanah di perkampungan. Ini berarti air mencapai 1,5 - 2 meter di atas lantai rumah-rumah panggung penduduk. Rumah panggung warga Laelo rata-rata dipasang dengan ketinggian 2 - 2,5 meter di atas permukaan tanah. PT PLN (Persero), perusahaan listrik milik negara, memutuskan untuk memadamkan aliran listrik karena genangan sudah mencapai terminal listrik yang dipasang di bagian atas dinding rumah-rumah panggung warga. Karena itulah, nyaris seluruh warga mengungsi ke dua kelurahan tetangga selama kurang lebih dua bulan. Di sekolah, yang sedang libur sehabis ujian semester, bangku dan meja mengapung. Semua buku hancur. Para guru mengetahuinya setelah memeriksa sekolah seminggu kemudian. Hanya dalam waktu tiga hari sekolah itu sudah terendam. Seusai libur, kegiatan belajar mengajar berpindah sementara di masjid. Air meluap dengan membawa eceng gondok sehingga menghantam dan merobohkan sekitar tiga puluh rumah dan empat puluh rumah lainnya rusak ringan. Rombongan eceng gondok ini selalu menjadi “penumpang� dalam luapan air danau yang dapat merusak rumah warga. Eceng gondok biasanya datang dengan luasan puluhan hektare karena didorong angin musim barat. Tiang pancang penahan eceng gondok baru dibangun pada 2009. Genangan mulai surut pada Agustus 2002, tapi kembali meninggi pada pekan terakhir November dan bertahan sampai beberapa bulan. Genangan di kampung Laelo baru benar-benar surut pada Februari 2003. Warga Laela masih mengingat bahwa luapan Danau Tempe tahun itu telah mengakibatkan banjir tertinggi dan dampaknya paling lama.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Banjir akibat luapan Danau Tempe telah melumpuhkan kampung Laelo. Mereka tidak dapat memanen apapun dari kebun selama tahun itu. Masa kering lahan yang singkat menyebabkan gagal panen jagung, kacang hijau dan semangka. Peristiwa ini belum pernah terjadi sebelumnya maupun setelahnya, setidaknya hingga 2015 ini.

Banjir yang mendatangi perkampungan di pesisir Danau Tempe merupakan banjir genangan. Kelurahan Laelo, Kecamatan Tempe, berada sekitar setengah kilometer dari tepi timur Danau Tempe ketika musim kemarau. Laelo dapat dikatakan merupakan wilayah genangan alami danau. Kelurahan ini juga merupakan daerah delta tepi danau yang dialiri beberapa sungai dan banyak anak sungai yang akan meluap seiring naiknya air danau. Di Kelurahan Laelo, muka air biasanya naik secara perlahan, sekitar dua minggu hingga sebulan pada bulan April, sebelum mencapai tinggi 3,5 meter atau sekitar satu meter di atas lantai rumah panggung warga pada bulan Mei. Tinggi muka air itu kemudian bertahan hingga Agustus atau mengalami sedikit naik turun sebelum benar-benar surut. Rata-rata kampung Laelo tergenang selama empat sampai lima bulan. Tinggi muka air sering naik lagi pada bulan Januari, tetapi biasanya tidak tinggi dan tidak bertahan lama.

hidup dalam pasang surut danau

1.1. Karakteristik Banjir

3

GAMBAR 1 Skema jadwal dan tinggi rata-rata genangan banjir di permukiman. (Sumber: FGD warga Laelo)


hidup dalam pasang surut danau 4

PETA 1. Letak Kelurahan Laelo di tepi timur Danau Tempe dan tanpa penghalang bagi angin muson barat yang bertiup dari barat laut. (Peta diolah dari Google Map). Secara umum, di masa kering luas Danau Tempe hanya berkisar 1.000 hektare, sedangkan pada saat normal 15 ribu hingga 20 ribu hektare dan luasan ini menjadi sekitar 48 ribu hektare ketika pasang.1 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa danau dapat meluas hingga nyaris 50 kali lipat ketika pasang. Sebelum dibangun tiang pancang penahan eceng gondok pada 2009, luapan air dapat menciptakan ancaman tambahan, yaitu eceng gondok. Angin muson barat bisa datang membawa ombak dari barat laut serta mendorong eceng gondok yang mengapung dalam jumlah besar menuju perumahan warga. Laelo dikenal sebagai ammateang bombang atau �tujuan akhir ombak� yang bertiup dari arah barat laut. Artinya, kampung yang berada di tepi timur Danau Tempe itu memang tidak terlindungi dari ombak yang didorong oleh angin muson barat. Warga Laelo yang mendiami wilayah itu selama beberapa generasi telah mengetahui watak banjir di kampungnya. Mereka tahu bahwa air selalu menggenangi perkampungan bila musim penghujan datang dan ukuran danau meluas kadang hingga dua kali lipat. Bila muka air danau naik, permukiman di kelurahan yang dihuni 517 Kepala Keluarga (KK) itu telah bersiap menyambut genangan. 1 http://danau.limnologi.lipi.go.id/danau/profil.php?id_danau=sul_temp&tab=gambaran%20 umum (diakses 17 Mei 2015)


GAMBAR 2. Suasana banjir di Kelurahan Laelo tahun 2014. (Foto: BPBD Kab. Wajo). Karena itulah, bagi 1.991 jiwa warga di Kelurahan Laelo, luapan air itu bukanlah bencana. Bagi mereka, air pasang dapat menjadi berkah karena meluasnya wilayah penangkapan ikan. Sekitar 90 persen penduduk Laelo berprofesi sebagai nelayan. Genangan air baru berubah menjadi bencana bila tinggi air sudah menciptakan berbagai kerepotan dan kerugian seperti tahun 2002. 1.2. Banjir di Mata Warga Setempat Warga Laelo telah memiliki definisi ‘bencana’ banjir sendiri dengan tabiat genangan serta dampaknya. Uniknya, laki-laki dan perempuan di Laelo memiliki pandangan berbeda mengenai luapan air yang berubah menjadi bencana. Bagi kebanyakan warga pria, luapan air baru berubah menjadi bencana bila tinggi air sudah melampaui lantai rumah panggungnya. Saat itu mereka sudah harus membeli bambu dengan harga tinggi. Bambu tersebut dipakai untuk membuat langkiang, lantai tambah dengan tulang dari bambu dan papan lantai dari dinding rumah yang dibuka sementara. Tulang-tulang panggung diikatkan pada tiang-tiang rumah dan dapat dinaikkan mengikuti naiknya tinggi permukaan air di atas lantai permanen. Mereka juga mulai sibuk mengumpulkan barang-barang dan menaikkannya ke atas langkiang. Semua kegiatan domestik seperti memasak, mencuci, makan dan sebagainya dilakukan di atas langkiang.

hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

5


hidup dalam pasang surut danau

Barang-barang perabot rumah tangga, terutama yang berat seperti lemari dan kursi akan rusak terendam air karena sulit diangkat naik langkiang atau sulit ditopang langkiang. Beberapa bagian rumah juga akan rusak terendam. Sebagian warga nonnelayan akan kehilangan pekerjaan. Warga pun harus buang air di ruang terbuka karena jamban sudah tidak berfungsi.

6

Sementara bagi warga perempuan, naiknya air danau sudah terasa sebagai bencana ketika air mulai naik sekitar setengah meter. Ketika itu mereka sudah harus sibuk membereskan dan mengangkat barang-barang yang diletakkan di kolong rumah. Barang-barang kebutuhan sehari-hari mulai sulit didapati karena perubahan jenis transportasi, becak motor (bemor) sudah tidak berfungsi; dan kerja-kerja domestik lainnya menjadi lebih sulit (selengkapnya, lihat Bab 2). Musim hujan yang mengakibatkan air danau meluap tetap membawa banyak berkah bagi warga Laelo. Sebagian besar warga Laelo, pria maupun wanita, menganggap bahwa musim kemarau yang membuat danau kering merupakan pembawa bencana lebih besar ketimbang musim hujan. Dalam tuturan seorang guru di SD Negeri Kelurahan Laelo: “Kami menyebut banjir sebagai bencana “membawa nikmat�. Tidak seperti di Jakarta, banjir selalu memakan korban dan harta benda. Di sini tidak ada korban [jiwa karena banjir] yang pernah kami dengar. Meski [kami] tidak meminta agar banjir selalu datang. Tapi kemarau seperti sekarang ini membuat para nelayan menganggur. Mereka bingung karena rata-rata mereka tidak memiliki keterampilan lain selain mencari ikan.� 1.3. Penyebab Banjir Menurut berbagai kajian dan diskusi dengan warga Laelo, penyebab utama banjir di kawasan pesisir Danau Tempe lantaran meningkatnya volume air dan sedimentasi yang mengakibatkan pendangkalan danau. 1.3.1. Volume Air Genangan biasanya menanjak cepat ketika secara bersamaan terjadi peningkatan volume air dari dua Daerah Aliran Sungai utama pensuplai Danau Tempe, yaitu Daerah Aliran Sungai (DAS) Walennae di Kabupaten Soppeng dan DAS Bila di Kabupaten Sidenreng Rappang. Sementara itu, jalan keluar air hanya satu jalur yaitu lewat Sungai Cenrana yang bermuara di Teluk Bone. Volume air mulai meningkat sejak bulan April-Mei, ketika mikro-iklim di wilayah pantai timur semenanjung selatan Sulawesi memulai awal musim hujan. Wilayah mikro-


hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

PETA 3. Peta pegunungan yang membelah semenanjung Sulawesi Selatan guna membentuk dua musim dengan periode nyaris berkebalikan. Pegunungan ini berakhir di selatan Danau Tempe sehingga danau ini mendapat efek angin dan hujan dari dua musim. (Peta diolah dari Google Map). iklim ini meliputi wilayah timur Kabupaten Baru dan Kabupaten Soppeng, wilayah utama yang menyuplai DAS Walennae, Kabupaten Wajo, dan sebagian Kabupaten Sidrap, salah satu penyuplai DAS Bila. Puncak musim penghujan di wilayah timur terjadi pada bulan Juni dan berakhir pada September. Sementara di wilayah pantai barat di sebagian Kabupaten Sidrap, Enrekang dan Tana Toraja yang menyuplai DAS Bila, masa itu merupakan akhir musim penghujan. Perbedaan musim antara pantai timur dan barat ini menjelaskan fenomena air di Laelo dapat surut pada Agustus sampai akhir November dan sering naik lagi para Januari (puncak musim hujan wilayah pantai barat) hingga Februari (curah hujan wilayah pantai barat mulai surut). Perbedaan musim antara pantai timur dan barat semenanjung Sulawesi Selatan disebabkan oleh jajaran pegunungan yang membelah semenanjung ini. Menjulur

7


dari pantai selatan ke utara, pegunungan ini berakhir di Kawasan Danau Tempe (Kabupaten Wajo dan Kabupaten Sidrap). Karena itu, kawasan Danau Tempe menerima guyuran hujan dan hembusan angin musim dari dua musim angin yang berbeda— meski tetap lebih intensif dipengaruhi oleh iklim musim pantai timur.

hidup dalam pasang surut danau

1.3.2. Sedimentasi

8

Pendangkalan Danau Tempe yang terjadi sekitar lima hingga sepuluh sentimeter per tahun2 akibat gerusan erosi yang dibawa oleh dua DAS Walennae dan DAS Bila. Pantauan di menara pengukur ketinggian air di titik terdalam Danau Tempe (Pattok Balanda) menunjukkan bahwa pada masa penelitian (Februari adalah akhir musim kemarau bagi mikro-iklim pantai timur), tinggi air hanya mencapai sekitar 150 cm. Penyebab lain pendangkalan yang diakui sebagian warga adalah eceng gondok yang pertumbuhannya sangat cepat dan luas tumpukannya bisa mencapai puluhan hektare. Tumbuhan apung ini menahan lumpur di akarnya sehingga tidak mengalir keluar danau lewat Sungai Cenrana. Eceng gondok, menurut penuturan warga, baru muncul di Danau Tempe di sekitar tahun 2001. Beberapa tahun kemudian, eceng gondok datang dalam jumlah besar sehingga menghantam roboh rumah penduduk. Tiang penahan eceng gondok baru dibangun pada 2009. Seorang tetua warga mengatakan kepulan eceng gondok ini sangat besar sehingga hanya sedikit yang dapat hanyut ke muara di Sungai Cenrana. Sebagian besar bertahan di dalam danau dan terus bertambah banyak hingga musim kemarau. Di musim ini, sebagian eceng gondok mati kekeringan, namun sekaligus menambah pendangkalan danau. Menurut penurutan sejumlah warga, jumlah eceng gondok yang berlebihan tidak lepas dari keberadaan alat tangkap bungka toddo’ yang mencapai luasan dan jumlah berlebihan (Lihat BOKS 1). Menurut nelayan, di samping menyisakan terlalu sedikit ruang bagi pallanra (nelayan yang menggunakan lanra’ atau jaring insang), tonggakBOKS 1 Bagaimana Bungka Toddo’ Bekerja Bungka toddo’ adalah tumbuhan apung yang sengaja disangkutkan pada tonggak-tonggak bambu untuk mengelilingi kawasan danau dengan luasan beragam (kadang mencapai kisaran lima hektare). Lingkaran tumbuhan apung ini didominasi oleh eceng gondok dan berfungsi sebagai perangkap ikan raksasa. 2 Keterangan Andi Fajar, salah seorang inisiator Forum Penyelamat Danau Tempe (13 Februari 2015), merujuk laporan kajian Danau Tempe yang dilakukan oleh Nippon Koei tahun 2005. Sampai saat ini laporan kajian ini belum bisa diakses.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Dalam satu bungka toddo’ biasanya dipasang sekitar puluhan hingga seratusan unit pattoddo’ bungka dengan jarak antara satu hingga dua meter membentuk pagar melingkari areal danau seluas beberapa hektare. Pattoddo’ bungka dipasang pada sekitar Agustus atau September, dan ikan di bawah dan di dalam lingkarannya dipanen pada bulan yang sama tahun berikutnya. Bulan Agustus atau September adalah awal musim kemarau di wilayah ini. Ketika itu air sudah surut. Setelah alat ini ditancapkan, para pemilik bungka toddo’ akan mengeluarkan biaya untuk 2) perahu mesin tempel guna menarik eceng gondok agar berhimpun di sekitar tonggak-tonggak pattoddo’ bungka, sekaligus menandai wilayah bungka toddo’ yang tidak boleh dimasuki nelayan tanpa seizin pemilik bungka toddo’. Setelah panen, biasanya para pemilik bungka toddo’ tidak membersihkan tonggak bambu (pattoddo’ bungka), mereka membiarkannya menjadi tempat eceng gondok tersangkut dan berkembang biak dengan cepat. Bila pattoddo’ bungka belum rusak pada Agustus atau September tahun berikutnya (tahun kedua) para pemilik bungka toddo’ tidak perlu memasang yang baru. Tetapi yang paling sering terjadi di Laelo adalah pattoddo’ bungka terangkat dan tercabut dari dasar danau ketika air naik (pada sekitar bulan April) membawa naik eceng gondok, yang menarik ke atas dan mencabut lepas pattoddo’ bungka. Alat lain yang digunakan adalah 3) belle’ atau jalajja, berupa panel menyerupai kerai dari bilah-bilah bambu berukuran lebar 1,5 m dan tinggi 1,25 meter. Untuk satu unit bungka toddo’ digunakan 500 sampai 5000 belle’. Belle’ baru digunakan ketika akan panen. Belle’ di pasang mengelilingi bungka (eceng gondok), untuk mengurung ikan yang berhimpun di bawah eceng gondok. Lingkaran belle’ lalu dikecilkan secara perlahan dan manual, biasanya beberapa belle’ dimajukan perlahan oleh satu orang untuk mengecilkan lingkaran bungka toddo’.

hidup dalam pasang surut danau

Penangkapan ikan di bungka toddo’ menggunakan beberapa alat tangkap sekaligus: 1) pattoddo’ bungka atau tonggak-tonggak bambu utuh (tiga atau empat batang) yang ditancapkan (di-toddo’) ke dasar danau yang berlumpur, ujung atas tonggak-tonggak bambu itu saling diikatkan, untuk membentuk satu ikat pattoddo’ bungka. Alat ini berperan untuk menahan eceng gondok dan tumbuhan apung lainnya agar tidak hanyut terbawa ombak. Tumbuhantumbuhan apung ini berfungsi untuk mengundang ikan-ikan untuk bermain, mencari makan dan bertumbuh di bawahnya.

9


hidup dalam pasang surut danau

Setiap kali sebelum belle’ diangkat ke depan untuk menyempitkan lingkarannya, beberapa orang lain bertugas untuk mengusir ikan dari bawah eceng gondok menuju ke tengah lingkaran, di mana tidak ada eceng gondok, agar mereka tidak lari keluar kawasan bungka toddo’ ketika belle’ diangkat untuk dimajukan. Akhirnya lingkaran itu cukup kecil hingga ikan terhimpun di kawasan lebih kecil sehingga lebih mudah dipanen.

10

Di salah satu sisi lingkaran bungka toddo’, sebagian belle’ dibentuk seperti lorong, yang disebut bunoang, selebar kira-kira satu meter dengan ujung tertutup atau dipasangi pukat. Ikan diusir dari lingkaran yang sudah mengecil ke lorong sempit itu untuk ditangkap dengan alat 4) serok, semacam sendok dengan lingkaran mulut sekitar 50 cm berbahan kawat besi dan jaring nilon dengan luas mata jaring seluas 4-5 cm. Proses ini dilakukan berulang hingga lingkaran dan lorong itu menyusut habis dan semua ikan yang terkurung tertangkap. Kegiatan panen ini hanya bisa dilakukan ketika air surut sekitar 70 cm atau lebih rendah, untuk mencegah ikan yang panik melompat melewati belle’ (setinggi 1,25 cm) dan bebas dari kurungan. Bila air masih tinggi, biasanya di bunoang para pekerja memasang satu belle’ lagi di atas belle’ yang ditancap di dasar danau, dan di atasnya dipasang dari (sejenis kasa berbahan nilon) untuk memastikan ikan tidak melompat keluar bunoang. Dengan demikian, untuk menghasilkan panen maksimal, para pemilik bungka toddo’ selalu menginginkan tinggi air danau yang lebih rendah. tonggak bambu bungka toddo’ juga menahan eceng gondok sehingga tidak mengalir ke hilir. Akar eceng gondok menahan gerusan tanah atau lumpur dari hulu sehingga tidak mengalir ke hilir dan tertahan menjadi tumpukan sedimen danau. Jumlah bungka toddo’ sangat banyak, mencapai “puluhan” di kecamatan tetangga, yaitu Kecamatan Sabbamparu. Sementara di Laelo hanya terdapat empat bungka toddo’ saat penelitian berlangsung. Ini terjadi terutama karena beberapa sebab. Pertama, Kelurahan Laelo adalah kawasan tujuan akhir ombak, tempat ombak menghempas tanpa halangan, sehingga bungka toddo’ tidak bisa bertahan ketika air naik dan mencerabut tiang-tiang bambu yang menahan eceng gondok agar tidak hanyut terbawa ombak. Kedua, lumpur di dasar danau di banyak wilayah Laelo terlalu dalam bagi tiang-tiang bungka toddo’; posi’ tappareng (pusar danau) wilayah palung paling dalam Danau Tempe berada di Kelurahan Laelo. Ini menyebabkan patok-patok bambu bungka toddo’ akan mudah tercerabut. Ketiga, karena berada di titik terdalam, di sana terdapat juga patto’ balanda’ (patok [buatan] Belanda) yang menandai titik terdalam danau.


GAMBAR 3. Gambar udara Danau Tempe menunjukkan bahwa di selatan Laelo (dengan penanda merah) tampak banyak lingkaran bungka toddo’ memenuhi belahan selatan Danau Tempe. (Gambar diolah dari Google Map). Di wilayah ini pemerintah menetapkan larangan penggunaan alat tangkap yang dipasang lebih dari satu malam. Akan tetapi jumlah bungka toddo’ di Danau Tempe secara keseluruhan berlebih dan turut mengurangi wilayah tangkapan nelayan Laelo. Selain jumlahnya yang berlebih, luasan bungka toddo’ juga banyak yang melampaui aturan. Menurut Perda No. 4 Tahun 2012 Pasal 14 Ayat 2, luasan maksimal bungka toddo’ yang diperbolehkan adalah satu hektare, atau sesuai dengan penggunaan 1.000 panel belle’3 (tentang belle’ lihat BOKS 1). Tetapi banyak pemilik membuat lingkaran bungka toddo’ yang sangat luas sehingga membutuhkan 3.000 bahkan hingga 5.000 belle’ untuk melakukan panen. 1.3.3. Kekeringan Kekeringan sangat berhubungan dengan pendangkalan Danau Tempe. Sedimentasi yang menimbun dasar sungai kian intensif. Proses ini membuat bentuk lantai danau 3 Kebanyakan warga mengetahui bahwa batas maksimal jumlah belle’ untuk satu unit bungka toddo’ adalah 1500.

hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

11


hidup dalam pasang surut danau 12

GAMBAR 4. Kekeringan total Danau Tempe di puncak musim kemarau September-Oktober. (Foto: Dinas PSDA Kab. Wajo). berubah, dari yang dulunya berbentuk cekungan (“seperti wajan” menurut istilah warga) kini menjadi kian datar (“seperti baki”). Dengan berubahnya dasar danau, volume air yang masuk ke Danau Tempe dengan cepat berkurang karena tidak tertampung di danau. Kondisi ini mengurangi kedalaman rata-rata air danau di musim kemarau. Seorang nelayan mengatakan bahwa pada akhir kemarau, seperti pada saat penelitian berlangsung (Februari 2015), kedalaman air bisa mencapai sekitar tiga sampai empat meter. Tahun ini kedalamannya hanya berada pada kisaran 1,5 meter di titik terdalam danau, dan pada November 2014 hanya sekitar 70 cm. Bahkan pada bulan September dan kadang hingga Oktober, kira-kira selama sebulan, Danau Tempe mengalami fenomena kekeringan total. Pada periode itu hanya wilayah danau sekitar patto’ balanda yang berubah menjadi kawasan lumpur, kawasan lain menjadi kering hingga tanah retak-retak (mallesse’). Warga masih bisa mengingat bahwa kejadian kekeringan total tahunan ini mulai terlihat pada awal dekade 2000-an. Tentu masih perlu penelitian lebih lanjut dengan menimbang variabel gerusan sedimentasi dari wilayah-wilayah hulu, tetapi fakta bahwa fenomena ini terjadi nyaris bersamaan dengan munculnya eceng gondok di Danau Tempe, kita dapat


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Tetapi warga memperkirakan bahwa tahun ini tidak akan terjadi lagi kekeringan setelah difungsikannya bendung gerak. Bendungan ini dapat mempertahankan level muka air pada ketinggian sekitar 150 cm di tengah danau selama musim kering. Pada tahuntahun lalu kekeringan ini memberi konsekuensi cukup penting bagi penghidupan nelayan Laelo dan keseluruhan ekonomi kelurahan yang sangat bergantung kepada tangkapan nelayan. Pendapatan mereka yang bekerja sebagai pengemudi bemor (becak motor), penjual ikan, atau penjual kios, misalnya, sangat bergantung kepada pasang surut pendapatan dari penangkapan ikan. Dari 475 KK di kelurahan ini, terdapat 279 KK atau sekitar 50,3 persen yang berprofesi sebagai nelayan. Angka ini masih dapat bertambah mengingat data ini dihitung dari kolom pekerjaan di KTP warga. Banyak di antara mereka yang menerakan wiraswasta di KTP sehari-hari bekerja sebagai nelayan.4 Akhirnya, banyak dari mereka memang yang tidak berprofesi sebagai nelayan akan berubah menjadi nelayan setiap musim banjir datang. Termasuk mereka yang berprofesi sebagai ‘petani’ yang berjumlah 106 KK, mengingat seluruh ladang di Laelo akan terendam pada masa banjir.

hidup dalam pasang surut danau

mengatakan bahwa eceng gondok punya peran dalam pendangkalan Danau Tempe; karena itu, juga berperan dalam kekeringan total danau. Dengan mengingat sifat eceng gondok sebagai penyimpan lumpur sedimen dan jumlahnya berlebihan di danau, kesimpulan sementara ini cukup masuk akal. Sebagaimana disebutkan di atas, kondisi ini tidak terlepas dari kehadiran bungka toddo’ dalam jumlah berlebihan.

13

Para pengemudi bemor pun banyak yang beralih menjadi nelayan musiman ketika musim banjir. Ini membuat kekeringan punya konsekuensi cukup besar bagi ekonomi Laelo—meskipun masih membutuhkan penelitian lain untuk menghitung seberapa besar. 1.4. Metodologi Sebelum mengurai efek-efek banjir dan kekeringan, bagian ini akan terlebih dahulu membahas secara ringkas metodologi dan metode penelitian yang digunakan dalam proses pendokumentasian ini. Tujuan utama penelitian ini mengidentifikasi dan menganalisis ketangguhan di sebuah masyarakat tertentu, dalam hal ini warga di Kelurahan Laelo yang berada di pesisir Danau Tempe, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. 4 Setidaknya ada dua alasan untuk ini. Pertama, karena gengsi pekerjaan ‘nelayan’ di KTP dianggap rendah oleh sebagian warga (biasanya yang berusia muda); dan kedua, lebih terbuka peluang untuk menerima bantuan dalam banyak jenis usaha bila menerakan pekerjaan ‘wiraswasta’, sebab sering terjadi bahwa bantuan usaha yang tidak khusus untuk nelayan tidak akan diberikan kepada mereka yang ber-KTP ‘nelayan’.


hidup dalam pasang surut danau

Penelitian ini memahami ketangguhan sebagai kemampuan sebuah masyarakat, dengan dukungan pihak-pihak lain, untuk mengantisipasi ancaman, meredam guncangan ketika bencana datang, beradaptasi terhadap perubahan risiko dan penghidupan, serta dapat mengusahakan transformasi demi menghadapi faktorfaktor mendasar dan akar masalah yang menciptakan kerentanan. Ancaman yang dimaksud di sini adalah banjir dan kekeringan. Dalam definisi di atas, ketangguhan dilihat bukan sekadar kemampuan bertahan atau pulih dari bencana dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Namun juga kemampuan untuk mengubah kondisi tersebut menjadi lebih baik buat mereka— yang dapat mengurangi penyebab terbentuknya kerentanan dan ancaman yang telah mengiringi sebuah masyarakat selama ini. Dengan kata lain, penelitian ini tidak hanya berusaha mengidentifikasi bentukbentuk ketangguhan sebagai kemampuan untuk pulih dari bencana atau guncangan (bounch back). Lebih dari itu, ingin mencari bentuk usaha yang dilakukan warga untuk melenting ke kondisi lebih baik yang belum ada sebelumnya (bounch forward). Karena itu, dalam menelisik ketangguhan, penelitian ini tidak hanya melihat aspekaspek yang berhubungan langsung dengan ancaman (seperti kemampuan membuat sistem peringatan dini, tanggap darurat atau rehabilitasi dan rekonstruksi). Penelitian ini juga menelisik lebih mendalam aspek kerentanan.

14

Dalam aspek kerentanan, kebijakan pemerintah dan mata pencaharian warga, serta hubungan keduanya, menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Kebijakan pemerintah dapat menghambat ketangguhan warga, misalnya dengan menciptakan kerentanan ekologis, sosial dan ekonomi. Sebaliknya, justru dapat mendukung ketangguhan dengan menciptakan lingkungan kondusif bagi warga untuk membangun kekuatan ekonomi dan sosial, atau mewujudkan pemulihan ekologis yang dapat mendukung keduanya. Demikian pula, situasi penghidupan warga setempat dapat mendukung ketangguhan bila diarahkan untuk memperkuat aspek ketangguhan lainnya. Kekuatan ekonomi dari mata pencaharian yang terjamin, misalnya dapat menjadi modal, penting dalam membangun kohesi sosial lewat kerja-kerja kolektif yang mensyaratkan jaminan ekonomi dan keberadaan waktu luang. Tersirat dalam pengertian di atas adanya perhatian terhadap fenomena jangka panjang seperti terbentuknya kerentanan, ketimbang hanya menitikberatkan analisis pada kejadian jangka pendek, tak lama sebelum dan sesudah ancaman menerjang kelompok rentan. Fokus terhadap kebijakan dan mata pencaharian adalah upaya untuk menelisik lebih jauh bagaimana kerentanan terbentuk secara perlahan


Hidup dalam Pasang Surut Danau

dan bagaimana upaya-upaya dilakukan untuk mengatasinya—dengan kata lain bagaimana ketangguhan terhambat atau terbangun.

Pendekatan tersebut juga berpotensi mencegah kita membuat ‘daftar praktik-praktik’ yang dilepaskan dari konteks, agar kita dapat melihat dengan lebih jernih bagaimana praktik-praktik itu muncul, kerentanan dan ancaman apa saja yang berusaha mereka atasi, dan sejauh mana praktik-praktik itu dapat mengatasi kerentanan dan ancaman tersebut. Karena itulah dibutuhkan upaya untuk mengidentifikasi faktor-faktor penghambat dan pendukung ketangguhan di sebuah masyarakat (Diurai di Bab 4). Kelurahan Laelo dipilih sebagai lokasi pendokumentasian setidaknya karena tiga alasan. Pertama, hasil penjajakan awal pada kawasan Danau Tempe yang dilaksanakan oleh Capacity Development Support Program (CDSP) pada 2014 menyebutkan bahwa Kelurahan Laelo adalah salah satu wilayah terdampak banjir paling parah di kawasan Danau Tempe. Kedua, kontak awal yang telah terbangun dengan pemerintah dan tokoh masyarakat Kelurahan Laelo dapat menjamin efektifitas kerja penelitian, mengingat singkatnya masa pendokumentasian ini. Ketiga, dalam beberapa kesempatan kami telah mengetahui hadirnya bentuk-bentuk ketangguhan masyarakat Laelo yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Pemilihan cakupan kawasan berupa wilayah administratif (Kelurahan Laelo) tidak menutup mata terhadap model pemilahan ‘wilayah’ lain yaitu wilayah geografis (Kawasan Danau Tempe), melainkan hanya sebagai contoh kasus dari model wilayah geografis (bandingkan Maru 2010). Di samping itu, pemilihan tipe wilayah semacam ini berguna untuk menelisik rangkaian kebijakan spesifik yang diterapkan pemerintah dalam kawasan administratif yang diteliti, berikut dampak dan reaksi terhadapnya. Memang membutuhkan penelitian lebih lanjut di wilayah-wilayah administratif lain dalam kawasan geografis yang sama (kawasan Danau Tempe) untuk bisa mendapatkan gambaran lebih lengkap mengenai seluruh kawasan ini. Perhatian terhadap aspek kerentanan dalam bangunan ketangguhan warga membutuhkan penggalian perspektif warga. Ini dilakukan guna menangkap pengalaman dan pandangan mereka mengenai seluruh aspek yang dikaji dalam pendokumentasian ini: watak dan efek ancaman serta faktor-faktor pendorong dan penghambat ketangguhan. Perspektif warga dalam memaknai dan merespons dinamika perubahan ancaman dan (implementasi) kebijakan akan memberi kita

hidup dalam pasang surut danau

Selain itu, perhatian terhadap kerentanan dalam membangun ketangguhan juga secara langsung mengajak kita melihat konteks masalah, ketimbang hanya menghimpun best-practices yang sebenarnya merupakan reaksi terhadap konteks tersebut. Dari situ kita bisa membangun bayangan mengenai apa saja yang membuat sebuah masyarakat menjadi tangguh.

15


hidup dalam pasang surut danau

gambaran lebih jelas mengenai bagaimana bentuk dan tingkatan ketangguhan warga terbangun secara kontekstual.

16

Untuk tujuan mengidentifikasi dan menganalisis ketangguhan warga Kelurahan Laelo, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan data. Sejumlah langkah yang ditempuh sebagai berikut. Pertama, FGD (Focus Group Discussion) dengan pertanyaan penuntun (Lihat Lampiran). FGD dilakukan sebanyak enam kali, masing-masing dua kali bersama warga perempuan dan pria, sekali dengan pengurus LKM-PNPM , dan bersama tim peneliti lokal yang juga adalah pemangku jabatan lurah dan kepala dua lingkungan di Kelurahan Laelo. Kedua, kami melakukan pengamatan langsung, termasuk landskap Danau Tempe hingga wilayah permukiman di kelurahan. Ketiga, kami melakukan wawancara tidak terstruktur dengan narasumber tertentu yang diidentifikasi dari hasil metode bola salju (snowball) seperti pejabat SKPD (satuan kerja perangkat daerah) terkait, pegiat organisasi non-pemerintah, pappananrang (pembaca tanda alam), dan sebagainya. Akhirnya, pendokumentasian ini dilengkapi dengan menggali literatur yang relevan untuk mengumpulkan data sekunder, termasuk data dari berbagai lembaga pemerintahan setempat. Penyajian dokumentasi ini dimulai dari mengurai data mengenai latar, watak dan efek ancaman (Bab 1 dan 2), lalu beralih ke praktik-praktik yang dilakukan untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut; praktik-praktik yang menandakan hadirnya ketangguhan (Bab 3). Setelah itu data-data itu dianalisis untuk mengurai faktor-faktor penghambat dan pendorong ketangguhan (Bab 4). Bagian terakhir buku ini (Bab 5), menyajikan analisis mengenai tingkat ketangguhan warga Laelo secara kualitatif. Untuk itu, kami menggunakan parameter tiga tingkatan ketangguhan yaitu kemampuan meredam (absorb), beradaptasi (adapt) dan mengusahakan transformasi (transform) (Bene et al. 2013). Metode analisis ini berguna untuk menentukan sejauh mana warga Kelurahan Laelo dapat disebut sebagai masyarakat tangguh.


hidup dalam pasang surut danau

Hidup dalam Pasang Surut Danau

17


Hidup dalam Pasang Surut Danau


menelusuri efek banjir dan kekeringan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

19

BAB 2

Menelusuri Efek Banjir dan Kekeringan


BAB 2

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Menelusuri Efek Banjir dan Kekeringan

20

Dalam beberapa diskusi kelompok terfokus (FGD) dengan warga secara terpisah, perempuan dan lelaki, tuturan warga mengenai efek banjir dapat dipilah menjadi empat kelompok sasaran banjir: (1) fasilitas publik, (2) manusia, (3) aset, dan (4) penghidupan warga. Pada banjir 2002-2003, misalnya, ketika bertutur mengenai efek banjir, mereka menyebutkan berbagai fasilitas publik yang lumpuh untuk sementara, seperti jalanan, sekolah, kantor dan masjid. Efek terhadap manusia berupa timbulnya kerepotan dan kelelahan dalam membuat langkiang, memindahkan barang ke atasnya serta membersihkan rumah setelah terendam berbulan-bulan; serta terjadinya pengungsian dan mewabahnya penyakit gatal-gatal dan muntaber. Dalam hal aset, antara lain mereka menyebutkan puluhan rumah yang roboh terhantam kepulan eceng gondok, di samping puluhan lainnya yang rusak ringan. Sedangkan dalam hal penghidupan, terutama berdampak kepada warga nonnelayan yang kehilangan pekerjaan atau petani musiman yang mengalami kerugian akibat gagal panen dan naiknya harga-harga sebagian kebutuhan warga. Kami akan menguraikan bab ini berdasarkan pengelompokan tersebut. Dari diskusi dan penuturan warga menujukkan bahwa mereka sangat sering bercerita mengenai efek danau terhadap penghidupan, bagi lelaki maupun perempuan. Selain itu, mereka tidak hanya bicara mengenai genangan, tetapi juga tentang efek kekeringan terhadap penghidupan mereka. Hal ini mengisyaratkan bahwa bagi warga Laelo, pasang dan surutnya air danau memang memberi efek terhadap seluruh aspek lain, tetapi yang paling terancam adalah sumber penghidupan mereka, terlebih oleh kekeringan danau. 2.1. Fasilitas Publik Genangan air yang rata-rata berlangsung selama 4-5 bulan setiap tahun, kecuali tahun 2002-2003 yang berlangsung sampai delapan bulan. Genangan selama itu menyebabkan sebagian infastruktur publik mudah lapuk atau rusak, juga menghambat sebagian kegiatan sosial yang bergantung kepada sebagian infrastruktur tersebut. Pipa air minum berbahan PVC (polyvinyl chloride) yang dijulurkan warga dari rumah masing-masing menuju sungai untuk mengakses air bersih biasanya patah atau pecah


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Rumah-rumah yang tidak memanfaatkan air sungai biasanya rumah yang berjarak cukup jauh dari sungai (sekitar 150 meter ke atas) karena mesin air tidak mampu lagi menariknya. Rumah-rumah ini biasanya menggunakan air bor yang kualitasnya lebih buruk. Di samping itu, mereka juga menggunakan air galon untuk kebutuhan masak dan minum. Sedangkan untuk mencuci biasanya mereka hanya pindah tempat dari tepi sungai ke teras rumah. Dengan demikian, banjir mengurangi beban sebagian perempuan yang biasanya pergi mencuci di tepi sungai. Jalanan kampung berbahan beton yang umumnya dibangun lewat program PNPM alias Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat menjadi retak dan terkelupas ketika air sudah surut, setelah terendam selama berbulan-bulan. Menurut warga, sebagian ruas jalan lingkungan itu memang bisa bertahan lebih lama ketimbang lainnya, tergantung kepada mutu campuran semen-pasir-batu. “Kalau campurannya baik, akan bisa bertahan lebih lama.� Tetapi mereka menambahkan bahwa, “pada akhirnya [ruas jalan di Laelo] tetap lebih cepat rusak dibandingkan di tempat lain karena terendam lama setiap tahun.� Sementara itu, selokan yang dibangun di tepi jalan-jalan lingkungan sudah pasti rusak atau tertutup lumpur. Hal ini membuat pembuangan dari rumah tangga tidak bisa mengalir sehabis banjir. Tiang listrik yang berbahan besi juga mudah berkarat setelah tergenang selama berbulan-bulan. Di samping itu, tiang listrik berbahan besi itu juga berisiko tumbang dan menimpa rumah warga atau menimbulkan aliran singkat saat banjir dan menciptakan ancaman sengatan listrik, sebagaimana pernah terjadi pada Juli 2014. Saat itu salah satu tiang listrik oleng dan kabel yang mulai mengenai atap rumah menimbulkan percikan api. Beruntung warga cepat mengantisipasi dengan menopang tiang itu menggunakan bambu untuk sementara. Bisa dibayangkan bila itu terjadi ketika warga sedang tidur; saat itu Laelo masih tergenang. Saat ini, warga tengah mengusulkan untuk mengganti seluruh tiang listrik di Kelurahan Laelo menjadi tiang yang berbahan beton. Sementara bangunan-bangunan publik seperti masjid, pusat kesehatan dan sekolah tidak banyak terkena efek genangan banjir. Rata-rata bangunan-bangunan tersebut berdiri di atas tiang berbahan kuat (Lebih lanjut lihat Bab 3).

menelusuri efek banjir dan kekeringan

dan kemasukan lumpur setelah tergenang berbulan-bulan. Kebanyakan warga harus menggantikan pipa air bersih mereka setelah air surut. Penggunaan pipa ini dilakukan sebagian besar rumah di Kelurahan Laelo. Mereka menggunakan mesin air untuk menghisap air dari sungai/anak sungai yang melintas di utara dan timur kelurahan ini.

21


menelusuri efek banjir dan kekeringan 22

GAMBAR 5. Pos Kesehatan Desa di Kelurahan Laelo di bangun di atas tiang setinggi tiga meter (Foto: A. Ikhsan Ambas). 2.2. Manusia Salah satu efek yang paling sering terlihat ketika banjir merendam Kelurahan Laelo selama berbulan-bulan adalah meningkatnya beberapa kasus penyakit. Biasanya penyakit-penyakit yang sering muncul kala banjir datang antara lain diare, kutu air, gatal-gatal, dan batuk. Menurut sebagian warga, penyakit-penyakit tersebut menyerang semua warga, termasuk bayi dan orang dewasa. Terkadang, jika ada ibu yang melahirkan di saat banjir, biasanya dibawa ke tempat yang bebas genangan air agar melahirkan dengan aman. Bahaya justru bisa datang kepada balita di usia sekitar dua hingga empat tahun yang belum mengerti risiko namun sudah bisa bergerak mengitari rumah. Ada kasus anak usia tiga tahun yang hanyut pada saat banjir karena bermain dengan bonekanya ketika orang dewasa tidak mengawasinya. Orang-orang Laelo sudah terbiasa hidup dalam genangan air. Sebagian besar hanya mengungsi ketika listrik dipadamkan. Ini terjadi karena tinggi air sudah mencapai meteran listrik sehingga PLN harus memadamkan aliran untuk menghindari sengatan listrik. Peristiwa itu hanya terjadi kala banjir besar pada 2002-2003.


Setelah air surut para perempuan harus bekerja keras menyikat lantai, tiang, dinding rumah kotor dan berlumut, demikian pula dengan perabot yang berat seperti lemari dan kursi tamu yang sudah terendam lama. Setelah itu mereka juga harus membersihkan permukaan tanah di kolong dan pekarangan yang dipenuhi berbagai macam sampah dan lumpur tinggalan banjir, juga rerumputan yang tumbuh subur. Kadang para wanita menderita demam karena kelelahan membersihkan sisa-sisa banjir tersebut. Sementara itu, para pria harus bekerja memperbaiki atau mengganti bagian-bagian rumah yang rusak dan memasang kembali semua bagian rumah, seperti sebagian dinding dan papan lantai yang lapuk akibat genangan air melampaui lantai rumah (Lihat Bab 3). BOKS: 2 Dampak Banjir terhadap Perempuan • Pekerjaan bertambah: membungkus barang-barang yang tidak boleh basah, menaikkan barang-barang elektronik ke langkeang, bayi dan balita diungsikan, membersihkan rumah dan perabot. • Sulit bertemu tetangga, kadang menjadi kesepian atau ‘stres’. • Bagi yang tinggal sendiri tidak ada yang membantu ketika air melewati lantai, karena semua orang sibuk secara bersamaan. Ada yang hanya bisa menangis sambil sibuk sendirian di rumahnya. • Ketika air surut, perempuan sangat sibuk dan lelah menyikat kotoran dan jamur yang melekat di tiang, dinding, tangga, lantai rumah. Juga membersihkan kolong rumah yang dipadati kotoran, seperti eceng gondok dan rumput yang tumbuh setelah air surut. • Harus buang air besar di luar rumah, biasanya di teras pada malam hari, setelah menggelapkan teras bila listrik masih menyala. Sumber: FGD Warga Perempuan Lingkungan Baru Alau, Kelurahan Laelo

2.3. Aset Sebagian besar harta benda tidak menerima efek genangan. Barang-barang yang berada dalam rumah biasanya segera dibungkus dengan sarung begitu mengetahui air akan naik melewati lantai rumah. Kendaraan bermotor (sepeda motor dan bemor [becak motor]) juga ternak biasanya dengan mudah dapat diselamatkan, sebab proses naiknya air memakan waktu berhari-hari. Demikian pula perahu dan beragam

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

23


alat tangkap lain, dengan mudah dapat diselamatkan karena alasan serupa. Apalagi para nelayan akan sibuk menggunakannya selama genangan meninggi.

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Mebel yang berat seperti kursi dan lemari biasanya lebih cepat rusak karena tidak dapat diangkat naik ke atas langkiang. Setelah terendam air selama berbulan-bulan, beberapa bagian rumah seperti lantai dan dinding cenderung lebih cepat lapuk; kadang harus diganti setiap beberapa tahun. Lantai dan dinding lebih mudah rusak ketimbang tiang yang memang biasanya menggunakan bahan kayu yang lebih tahan lama.

24

Efek banjir terhadap aset alat tangkap nelayan tidak terlalu besar, kecuali jika mereka harus membeli alat tangkap baru, misalnya lanra’ atau jaring insang (gill net) dengan mata jaring yang lebih besar (6-10 inci) untuk menangkap ikan yang rata-rata berukuran lebih besar di masa banjir. Ini terjadi bila alat tangkap serupa yang mereka gunakan di masa banjir tahun sebelumnya sudah rusak. Dalam kondisi paling ideal, yaitu ketika lanra tidak dicuri orang, tidak terbawa hanyut bersama eceng gondok, dan digunakan dengan hati-hati (ketika melepaskan ikan tangkapan dari jaring), jaring seperti ini dapat bertahan hingga tiga tahun. Sementara perahu tidak mengalami dampak signifikan karena para nelayan senantiasa melakukan perawatan setiap saat, tanpa mengenal musim. 2.4. Penghidupan Sebagian besar profesi utama warga Kelurahan Laelo adalah nelayan atau pekerjaan lain yang berhubungan dengan penangkapan ikan, seperti penjual ikan (utamanya istri nelayan), pembuat alat tangkap dan pengangkut ikan (pengemudi bemor). Para nelayan menggunakan berbagai jenis alat tangkap, yang paling umum adalah lanra’. Sejak awal 2013, jabba trawl mulai banyak mereka gunakan. Alat ini dengan mudah dapat dipasang dekat rumah, sehingga mereka tidak perlu pergi ke tengah danau untuk mallanra’ semalaman. Alat ini biasanya dapat memerangkap udang, lenrong (belut), kepiting dan lele, selain ikan-ikan yang lebih lazim seperti lappuso, bungo, kamboja (mujair). Harganya pun dirasakan murah bagi nelayan, yaitu Rp310 ribu per unit, dengan panjang masing-masing unit sembilan meter. Harga tersebut terbilang murah lantaran pendapatan warga saat ini rata-rata berkisar Rp50 ribu per malam ketika musim kemarau. Di masa banjir (terutama pada bulan Mei) pendapatan mereka melonjak menjadi Rp250 ribu hingga Rp1 juta per malam, dengan mengoperasikan rata-rata 50 unit jabba per nelayan. Jumlah unit jabba ini adalah angka rata-rata yang dioperasikan satu nelayan di Laelo.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

BOKS 3. Jenis Alat Tangkap

Lanra’ Lanra’ adalah jaring insang (gill net). Terbuat dari nilon, ukuran lebarnya beragam 3,5, 9, 10 dan 11 cm; panjangnya biasanya 20 m. Untuk membuat lanra’ biasanya bahan-bahan yang digunakan adalah: timah (pemberat), tali nilon ukuran 1,2 3 inci; dan nilon warna putih dalam ukuran 0,5 inci. Lanra dibuat berupa jaring dengan ukuran mata jaring empat hingga lima sentimeter. Lanra’ dipasang menyerupai jaring bola voli. Bagian atas lanra diikatkan pada tali yang diberi pelampung dari bahan bekas botol minuman (Fanta, Sprite, dan lainlain), bagian bawahnya diberi pemberat. Lanra’ biasanya dibiarkan selama 1 - 12 jam. Jabba (perangkap) Alat tangkap ini ada dua jenis: jabba besi dan trawl. Jabba besi biasanya dibuat sendiri oleh nelayan setelah membeli bahannya, yaitu kawat besi. Umumnya satu gulung dibanderol dengan harga Rp200 ribu. Satu

GAMBAR 6. Alat tangkap Jabba yang sedang dikeringkan setelah dibersihkan. (Foto: A. Ikhsan Ambas)

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Berikut ini adalah beberapa alat tangkap yang lazim digunakan oleh nelayan Kelurahan Laelo.

25


menelusuri efek banjir dan kekeringan

gulung biasanya dapat membuat jabba besi sebanyak 10 buah. Bentuknya seperti jaring/kandang besi persegi empat dengan tinggi sekitar satu meter. Di tengah salah satu sisinya diberi celah sempit (dari atas ke bawah) tempat ikan masuk dan terperangkap. Cara penggunaan: jabba diletakkan di dasar sungai atau tepi danau. Setiap jabba besi diberi patto’ (tiang) yang ujungnya menyebul di permukaan air agar tidak hanyut, diketahui keberadaannya dan sebagai tanda kepemilikan. Jabba biasanya dipasang 1x24 jam.

26

Jabba nilon (trawl). Jabba trawl dibeli nelayan di toko-toko yang menjual alat tangkap ikan, biasanya dalam satu rol seharga Rp300 ribu dengan panjang sembilan meter. Bentuknya seperti terowongan segi empat di mana jaring dikembangkan menggunakan tulang-tulang kawat besi berbentuk segi empat, setiap sekitar satu meter, ujung jaringnya ditutup dengan ikatan simpul yang akan dibuka kelak untuk mengeluarkan ikan. Cara penggunaan: pemasangannya sama dengan jabba besi, diletakkan di dasar danau atau tanah yang tergenang, tetapi jabba trawl dipasang secara bersambung hingga beberapa unit jabba dan di ujungnya dipasang patto’ (tiang). Julu atau bunre Julu adalah kantong-kantong jaring yang dipasang melebar berlawanan dengan arus sungai. Alat ini biasanya dibuat sendiri oleh nelayan dan biasanya dipasang di sungai-sungai besar.

GAMBAR 7. Alat tangkap Buu di atas latar belle’ (Foto: A. Ikhsan Ambas)


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Belle’ Belle’ biasanya dibuat dari bambu yang dibelah kecil menjadi ukuran dua sentimeter dan panjang 125 cm yang kemudian diikat dengan tali nilon yang berukuran dua inci. Dalam satu buah panel belle’ biasanya terdiri dari 50 bilah bambu (salima’). Penggunaan: belle’ dipakai pada saat air surut, dipasang menyerupai pagar melingkar untuk mengurung ikan, biasannya digunakan oleh nelayan bungka toddo’. Bessi bale (tombak ikan) Bessi bale terbuat dari bambu yang ukurannya agak kecil dan mata tombak dari besi. Sering digunakan untuk ikan-ikan besar seperti ikan mas, ikan gabus, dan lainnya. Tombak ini biasanya dibuat oleh nelayan sendiri. Genangan air punya efek beragam terhadap penghidupan warga. Beberapa pekerjaan non-nelayan akan hilang sementara atau pendapatannya menurun. Sebagian pekerjaan yang umumnya dikelola perempuan dari keluarga non-nelayan terpukul oleh naiknya genangan air. Sementara bagi para nelayan yang didominasi kaum pria, banjir malah mendatangkan hasil lebih banyak karena daerah penangkapan ikan meluas dan ikan dengan cepat membesar karena dapat mengkonsumsi beragam jenis rerumputan dan semak yang tumbuh di sekitar permukiman yang baru dapat dikonsumsi ikan ketika air naik. Seorang nelayan mengatakan, “Kalau musim banjir, kita dapat memakan dan menjual ikan rata-rata jauh lebih banyak dan lebih besar.” Para istri nelayan juga mengalami peningkatan pendapatan dari menjual ikan tangkapan suami mereka (Lebih jauh mengenai ini lihat Bab 3). Tetapi sebagian kecil nelayan (musiman) yang hanya punya perahu bekas dan biasanya sudah agak rapuh, lebih memilih menangkap ikan hanya di sekitar permukiman bila air sudah sangat tinggi dan disertai ombak. Mereka harus membatasi wilayah penangkapan hanya di sekitar permukiman karena khawatir perahu rusak di tengah danau.

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Buu (bubu) Alat tangkap ini berupa perangkap ikan yang terbuat dari bilah bambu dan berbentuk silinder sepanjang kira-kira satu meter dan berdiameter sekitar 10 cm. Alat ini biasanya digunakan untuk menangkap udang dengan diletakkan di dasar sungai.

27


menelusuri efek banjir dan kekeringan

Di Lingkungan Baru Alau5, pekerjaan seperti dagang kecil di kios-kios kolong rumah, baik yang menjual barang ‘campuran’ maupun spesifik (seluruhnya 17 KK), mengalami penurunan penghasilan harian. Ini terjadi karena kios-kios mereka, yang biasanya dikelola perempuan, tergenang air sementara pada saat yang sama semua orang sibuk mengerjakan banyak hal. Meskipun genangan air bisa tidak mengganggu alat produksi para penjahit (7 KK), pekerjaan ini juga mengalami penurunan pendapatan karena orang sibuk mengurusi berbagai efek genangan.

28

Profesi

TABEL 1 Jumlah Kepala Keluarga Menurut Jenis Pekerjaan Baru Baru Total Baru Baru Profesi Alau Orai KK Alau Orai

Total KK

Nelayan

37

202

239 KK

Anggota kelompok menjahit*

7

7

14 KK

Petani

36

70

106 KK

Anggota kelompok tenun*

40

5

45 KK

Penjual ikan

20

77

97 KK Pembuat lanra’*

5

100

105 KK

13

13

26 KK olahan ikan

3

1

4 KK

4

9

13 KK Pembuat kue

5

1

6 KK

-

4

4 KK

Service mesin

2

3

5 KK

-

3

3 KK

Bemor

13

9

22 KK

194

279

475 KK

Penjual ‘campuran’ Penjual ‘barang jadi’ Penjual lanra’ Angk. Perahu motor (Taksi)

TOTAL KK Kelurahan Laelo** Sumber: Data Kantor Kelurahan Laelo

Keterangan: * ‘Anggota kelompok’ mengindikasikan jumlah KK yang berprofesi di bidang yang ditandai (melalui salah satu atau lebih anggota keluarga). ** ‘Total KK Kelurahan Laelo’ mewakili jumlah seluruh KK di kelurahan ini, tidak sama 5 Kelurahan Laelo terdiri dari dua Lingkungan, Barau Alau dan Baru Orai. Jarak Lingkungan Baru Alau lebih dekat ke jalan raya ketimbang danau dan penduduknya tidak banyak bekerja sebagai nelayan, hanya 37 KK dari 197 KK atau sekitar 18%. Beda dengan Lingkungan Baru Orai yang berdekatan dengan danau, nyaris seluruhnya adalah keluarga nelayan atau berhubungan dengan penangkapan ikan (nelayan 202 dari 239 KK atau sekitar 84,5%, di tambah pembuat lanra’ 100 KK, penjual lanra’ 4 KK dan penjual ikan 97 KK). Jumlah nelayan bisa bertambah secara keseluruhan di kelurahan ini karena inakurasi data dan datangnya musim banjir (lihat bagian ‘Kekeringan’ dan catatan kaki nomor 3 pada Bab 1).


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Selain menurunkan pendapatan sebagian pekerjaan, banjir justru mendatangkan pendapatan baru atau meningkatkan pendapatan warga. Pekerjaan menjahit lamming atau hiasan pelaminan (‘menjahit’ 14 KK) dan menjahit lanra’ (155 KK dalam Tabel 1) merupakan pilihan pekerjaan yang banyak dilakukan perempuan di kala banjir. Pekerjaan ini sebenarnya juga dilakukan ketika air surut, tetapi pada masa banjir, sebagian warga (terutama perempuan) menjadikannya sebagai pemasukan utama karena sebagian pekerjaan menghilang atau mengalami penurunan nafkah secara signifikan. Penjualan baju (masuk dalam kategori ‘penjual barang jadi’) juga menunjukkan peningkatan pendapatan rata-rata di masa banjir karena lebih mudah mendapatkan pelanggan ketika mereka sulit untuk bepergian. TABEL 2 Jenis Pekerjaan dengan Pendapatan Naik/Turun saat Banjir di Baru Alau, Kelurahan Laelo Naik/Dikerjakan

Turun

Menjahit lamming Rp15 ribu Jualan campuran dari Rp100 ribu menjadi Rp50 ribu Jualan baju omsetnya naik

Jualan alat listrik

Pembuatan pukat meningkat

Pendapatan tukang jahit baju Rp100 ribu – Rp 50 ribu. Penjualan ikan mujair menurun, dari Rp100 ribu menjadi Rp75 ribu per hari

Membandingkan pekerjaan yang mengalami penurunan dengan yang mengalami kenaikan pendapatan di masa banjir, dapat disimpulkan bahwa: jenis pekerjaan yang mengalami kenaikan pendapatan dan berhubungan dengan kegiatan penangkapan ikan merupakan jenis pekerjaan dominan di Kelurahan Laelo. Semuanya adalah profesi yang banyak digeluti di Kelurahan Laelo, seperti nelayan (239 KK), penjual ikan (97 KK) dan pembuat lanra’ (105). Sementara jenis-jenis pekerjaan yang mengalami penurunan pendapatan merupakan pekerjaan marjinal di kelurahan ini, baik yang berhubungan langsung dengan kegiatan penangkapan ikan semisal pengendara bemor (22), maupun yang tidak demikian, seperti kios penjual ‘campuran’ (sebagian dari total 26 KK).6

6 Tidak semua penjual ‘campuran’ mengalami penurunan pendapatan. Mereka yang mengangkut jualan keliling dengan perahu tidak mengalami penurunan bahkan meningkat.

menelusuri efek banjir dan kekeringan

dengan penjumlah seluruh KK berdasarkan pekerjaan dalam Table di atas. Sebab (1) satu KK bisa masuk dalam lebih dari satu kategori pekerjaan lewat anggota keluarga yang berbeda; (2) masih ada pekerjaan lain tidak tertera dalam data yang ada di Kantor Kelurahan (mis. PNS).

29


menelusuri efek banjir dan kekeringan

Dua pekerjaan marjinal lain yang ikut mengalami kenaikan selama banjir, meski tidak berhubungan langsung dengan penangkapan ikan, adalah penjual barang jadi atau penjual baju (13 KK), dan tukang jahit lamming (14 KK). Sementara jenis pekerjaan yang konstan baik selama masa banjir maupun kering dan banyak digeluti adalah tenun sarung sutera (45 KK), biasanya dikerjakan oleh perempuan dari keluarga nonnelayan sebagai tambahan pendapatan keluarga.

30

Dari rumusan di atas cukup aman untuk mengatakan bahwa Danau Tempe merupakan sumber ekonomi sangat penting bagi warga di Kelurahan Laelo. Pekerjaan-pekerjaan yang terpukul selama banjir biasanya dikompensasi oleh kegiatan penangkapan ikan. Misalnya, sebagian pengemudi bemor yang mengalami penurunan pendapatan karena harus keluar kelurahan mencari penumpang dan bersaing dengan pengemudi bemor lain di Kota Sengkang (ibukota Wajo), beralih profesi menjadi nelayan musiman dengan pendapatan yang lebih baik. Sementara pekerjaan yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan nelayan ikut terkerek dengan naiknya belanja keluarga nelayan selama banjir. Sebagian penjual campuran, misalnya, mendapatkan keuntungan lebih dengan berkeliling kelurahan menjajakan dagangan menggunakan perahu. Belanja rumah tangga rata-rata meningkat tatkala tinggi air naik. Genangan air memunculkan kebutuhan baru dan membuat sebagian barang menjadi langka atau menjadi lebih sulit diperoleh, misalnya kayu bakar dan air minum (air kemasan galon). Mengikuti naiknya permintaan, harga bahan-bahan pembuatan langkiang sering meroket hingga lebih dari dua kali lipat. Harga bambu naik dari Rp20 ribu menjadi Rp50 ribu per batang. Rotan dan tali nilon untuk mengikat bambu langkiang juga naik dua kali lipat atau lebih. Harga mata pancing juga ikut terkerek naik selama banjir lantaran meningkatnya permintaan akibat meluasnya daerah penangkapan ikan dengan memancing. Di saat banjir, banyak perempuan yang memancing ikan dari teras rumah masing-masing. Sebaliknya, beberapa pengeluaran menurun selama banjir, misalnya ikan yang melimpah di masa itu turut membawa berkah bagi warga non-nelayan yang sering mendapat pemberian dari tetangga nelayan atau membeli dengan harga murah. Ongkos transportasi juga ikut turun seiring naiknya genangan. Untuk bepergian di saat banjir terjadi perubahan pada moda transportasi masyarakat. Warga menggunakan perahu karena bemor (becak motor) yang banyak beroperasi di sana sudah tidak dapat berfungsi lagi. Perahu ini banyak dijalankan oleh anak-anak yang membawa perahu dengan dayung. Ongkos sekali jalan pun menurun dari Rp5 ribu menjadi Rp2 ribu per orang.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

TABEL 3 Jenis Pengeluaran yang Naik/Turun Saat Banjir

• harga bambu (untuk membangun langkeang), Rp20 ribu jadi Rp50 ribu • rotan Rp2 ribu jadi Rp5 ribu per ikat dan tali nilon Rp20 ribu jadi Rp40 ribu (untuk mengikat bambu langkiang) • mata pancing • harga terigu dan gula Rp10 ribu jadi Rp12 ribu (kadang-kadang)

Turun • ubi kayu (singkong); Rp10 ribu jadi Rp5 ribu • alame (udang kecil) • ikan, ketika itu ikan melimpah. Rp10 ribu jadi Rp5 ribu • ongkos transportasi Rp5 ribu jadi Rp2 ribu per orang

Sebagai gambaran mengenai keuntungan yang diperoleh nelayan selama masa banjir, Tabel 4 di bawah ini menyajikan perkiraan kenaikan angka pendapatan dan pengeluaran dari salah satu keluarga nelayan di masa banjir. Tabel ini menujukkan bahwa dalam perkiraan kasar yang bersifat moderat, sebuah keluarga nelayan masih mendapatkan keuntungan meski terjadi kenaikan harga-harga selama masa banjir, sebab pada saat yang sama terjadi kenaikan pendapatan secara signifikan. Keuntungan yang besar ini menyebabkan sebagian nelayan yang tidak mendapatkan pekerjaan di masa kering yang singkat (lihat di bawah) berani atau dapat menganggur pada masa itu, sebab mereka tahu akan memperoleh pendapatan besar begitu air danau naik. Sekali lagi, wajar bila mereka menyebut banjir sebagai “pembawa berkah”.

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Naik

31


TABEL 4 Perbandingan Kenaikan Belanja dan Pemasukan Keluarga Nelayan di Masa Banjir dan Kemarau (per bulan)

menelusuri efek banjir dan kekeringan

Kenaikan Belanja

32

Belanja harian (pangan dan energi) naik Rp25 ribu per hari (dari Rp25 ribu menjadi Rp50 ribu). Kenaikan belanja harian per bulan adalah Rp25 ribu x 30 hari = Rp750 ribu per bulan Belanja bambu dan rotan untuk langkeang (tidak setiap tahun). Bambu Rp1,5 juta; rotan Rp20 ribu. Total belanja untuk langkiang per bulan, Rp1,52 juta: empat bulan (rata-rata masa banjir) = Rp380 ribu per bulan Pembelian lanra’ bermata lebih besar, ratarata 40 set (= Rp6,8 juta). Digunakan total selama 12 bulan (empat bulan setiap tahun, selama tiga tahun). Total belanja lanra’ per bulan = Rp560 ribu. Total kenaikan belanja per bulan: 750 ribu + Rp380 ribu + Rp560 ribu = Rp1,69 juta per bulan

Kenaikan Pemasukan

Kenaikan rata-rata pendapatan keluarga nelayan: Rp150 ribu per hari (bersih) (dari rata-rata pendapatan bersih Rp50 ribu menjadi 200 ribu) Total kenaikan pendapatan bersih per bulan: 150 ribux30 hari = Rp4,5 juta per bulan (Catatan: angka ini adalah perkiraan moderat, sebagian nelayan mendapatkan kenaikan pendapatan bersih hingga Rp250 ribu per hari).

Perkiraan keuntungan moderat (dari kenaikan total pendapatan dikurangi kenaikan belanja) satu keluarga nelayan selama masa banjir adalah Rp4,5 juta – Rp1,69 juta = Rp2,81 juta per bulan Banjir juga berdampak terhadap pertanian warga. Pertanian yang berlangsung singkat di antara masa genangan danau, antara Agustus hingga Maret, hanya memungkinkan satu musim tanam bagi tanaman jangka pendek seperti jagung, wijen dan kacang hijau. Terkadang genangan datang lebih awal, yaitu pada Januari. Bila banjir berakhir lebih lama atau mulai lebih awal (pada Januari atau Februari) maka aktivitas bercocok tanam akan terganggu. Dalam kondisi seperti ini, ada dua kemungkinan bisa terjadi. Pertama, bila mereka mampu memprediksi bahwa masa kering akan singkat, mereka tidak akan bertani. Ini membuat mereka tidak dapat memperoleh hasil dari bertani selama tidak dapat menangkap ikan, mengingat hampir seluruh petani ini adalah petani musiman ketika jeda sebagai nelayan karena wilayah tangkapan yang menyusut di musim kering itu. Kedua, bila salah prediksi, mereka akan merugi karena tanah pertanian tergenang sebelum hasilnya dipanen atau justru dipanen sebelum waktunya. Seperti tahun ini,


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Seorang nelayan yang juga petani musiman menyebutkan bahwa untuk menanam jagung pulut di areal seluas lime hektare dibutuhkan modal Rp2 juta untuk membeli pupuk, racun rumput dan bibit. Bila berhasil, dia mendapatkan harga jual Rp4-5 juta. Setelah dibagi dengan pemilik ongko (pemilik hak guna) dengan pembagian dua porsi untuk penggarap dan satu porsi bagi pemilik hak guna, dia mendapatkan Rp3,5 juta. Setelah dikurangi ongkos produksi, maka dia memperoleh pendapatan bersih sekitar Rp1,5 juta untuk bertanam selama 50 hari jagung pulut. Bila tanamannya terkena banjir sebelum masa panen, dia akan merugi karena telah mengeluarkan uang untuk ongkos produksi. Menurutnya, jagung pulut adalah tanaman paling aman karena masa tanamnya lebih singkat (50 hari sampai panen), dan tidak banyak terserang penyakit serta hama tanaman. Jagung kuning biasanya membutuhkan waktu empat bulan untuk dipanen sementara kacang hijau sering terkena penyakit. Di Laelo tidak ada orang yang menanam padi karena tanaman ini membutuhkan lahan yang luas (sekitar satu hektare) untuk bisa mendapatkan keuntungan. Selain itu, di Kelurahan Laelo hanya tersisa sekitar 100 bekas tana koti (tanah yang diundi) yang masing-masing seluas 5-7,5 hektare atau 5-7,5 x 100 meter. Ini membuat tidak semua dari 239 keluarga nelayan yang ingin bertani di masa surut danau dapat melakukannya. 2.5. Kekeringan Kekeringan danau menyimpan ancaman bagi nelayan Laelo. Kekeringan biasanya terjadi pada akhir Agustus hingga Maret dan tidak jarang di sela musim genangan yang pendek pada Januari. Saat kemarau, tinggi muka air di danau bisa hanya mencapai 75150 cm. Sejak awal dekade 2.000-an terjadi kekeringan total Danau Tempe dengan durasi rata-rata sebulan pada September yang kadang berlanjut sampai Oktober. Kekeringan membuat pendapatan warga (terutama nelayan) menyusut karena secara langsung mengurangi wilayah penangkapan ikan nelayan. Di masa kering ini, ‘penjualan’ hak guna eksklusif (ongko) oleh pemerintah, seperti ongko yang digunakan untuk bungka toddo’ turut berperan dalam menyempitkan wilayah pencarian ikan nelayan kecil di Danau Tempe—selain menyebabkan pendangkalan. Padahal danau merupakan tempat pencarian utama warga Laelo. Ada beberapa anak sungai yang tidak kering di musim kemarau—dan menyuplai air ke Danau Tempe—yang juga dapat dijadikan areal penangkapan ikan oleh warga,

menelusuri efek banjir dan kekeringan

karena pada bulan Februari air mulai menggenangi sebagian lahan jagung, mereka terpaksa panen lebih cepat.

33


menelusuri efek banjir dan kekeringan

tetapi cabang-cabang sungai itu sudah lebih banyak dikapling lewat penguasaan ongko (hak guna eksklusif terhadap sebidang perairan). Akibatnya, hanya sedikit daerah sungai yang dapat dimanfaatkan nelayan kecil yang mendominasi penduduk Laelo.

34

Di sisi lain, para pemilik bungka toddo’ justru menginginkan agar kekeringan bertahan lebih lama agar mereka bisa memanen dengan bebas ikan yang terperangkap di dalam bungka toddo’ mereka. Kebutuhan ini berlawanan dengan kepentingan nelayan kecil yang menginginkan tinggi air tidak terlalu surut di musim kemarau, agar wilayah tangkapan ikan tidak terlampau berkurang dan bila terjadi dapat segera naik lagi. Para nelayan Laelo tidak punya kepentingan sama sekali dan tidak mendapatkan keuntungan apa-apa dari keberadaan bungka toddo’ tersebut. Di Kelurahan Laelo ada empat bungka toddo’ yang beroperasi dan hanya dimiliki oleh sembilan pemodal (masing-masing dimiliki oleh dua atau tiga pemodal yang saling berkerabat) yang tidak tinggal di Kelurahan Laelo. Begitu pula orang-0rang yang dipekerjakan untuk memanen ikan di bungka toddo’, seluruhnya bukan nelayan Laelo. Para nelayan kecil juga tidak ingin air surut terlalu rendah agar ikan tidak mati karena kepanasan. Ketika air berada pada kisaran 70 cm pada masa tengnga esso tanra (masa tengah hari paling panas dalam setahun), seluruh ikan di danau akan terkurung air dengan suhu yang tinggi. Ini terjadi karena volume dan kedalaman air berkurang sehingga ikan tidak punya tempat bersembunyi di bawah level air bersuhu tinggi akibat tersengat panas matahari. “Pada Oktober tahun lalu (2014) mungkin semua ikan di danau mati karena tengngaesso tanra,” kata para nelayan. Akhirnya, kekeringan total Danau Tempe yang terjadi sekitar sebulan setiap tahun, sebagaimana dijelaskan di atas, praktis menghentikan aktivitas seluruh nelayan. Kekeringan juga mengurangi volume air baku bagi PDAM Kabupaten Wajo.7

7 Keterangan dari Andi Fajar, salah seorang inisiator Forum Penyelamat Danau Tempe, 13 Mei 2015.


menelusuri efek banjir dan kekeringan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

35


Hidup dalam Pasang Surut Danau


National Strategy and Action Plan 2015-2019

praktik-praktik Action Plan ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau HIV and AIDS Response in Indonesia

3 37 7

BAB 3

Praktik-Praktik Ketangguhan


BAB 3

praktik-praktik ketangguhan

Praktik-Praktik Ketangguhan

38

Warga Kelurahan Laelo telah melakukan berbagai cara menghadapi genangan air di musim hujan maupun kekeringan di musim kemarau. Beragam praktik ketangguhan warga dalam menghadapi alam lingkungannya telah berlangsung selama beberapa generasi. 3.1. Menyambut Luapan Air Mengembangkan pengetahuan untuk memprediksi alam adalah kemampuan yang sangat berguna dalam mengantisipasi naiknya air. Pengetahuan ini menjadi petunjuk bagi warga untuk melakukan berbagai persiapan sebelum air merangkak naik, yang berarti dimulainya genangan di perkampungan. Untuk itu warga memperhatikan berbagai gejala alam, mulai dari benda-benda langit seperti bintang dan awan, arah angin, perilaku tumbuhan seperti bambu dan hewan seperti katak, burung, semut dan buaya, serta perubahan arus sungai dan curah hujan (Lihat BOKS 4). Biasanya warga semakin yakin apabila kian banyak tanda-tanda itu terlihat. Sebagian dari tanda-tanda tersebut berlaku untuk jangka pendek (ramalan harian), sebagian lagi berlaku untuk satu musim bahkan satu tahun. BOKS 4 Beberapa Tanda Permukaan Air akan Naik • Hujan turun 7 hari berturut-turut • Banyak suara bunyi katak • Arus sungai deras dari arah timur ke selatan (DAS Walennae) meskipun yang dari utara (DAS Bila) belum deras. • Banyak semut naik ke rumah warga • Sepuluh hari sesudah banjir di daerah Jawa


Hidup dalam Pasang Surut Danau

• Munculnya pananrang (pertanda) rasi bintang, yaitu woromporong [‘tumpukan’, Pleiades], tanra tellue [‘tiga suar’, Sabuk Orion] dan manu’e [Sang Ayam; Canopus, Sirius dan Procyo] 8 • Terlihat kepulan awan di bawah Bulan Purnama • Pintu masuk sarang burung menghadap ke timur, berarti akan terjadi muson barat, dan sebaliknya musim timur yang membawa air.

• Tunas-tunas bambu (rebung) lebih besar daripada pohon induknya • Bila hujan turun pada tanggal 1 Muharram, akan banyak hujan pada tahun itu. Sumber: FGD warga Kelurahan Laelo dan wawancara pappananrang (ahli pembaca tanda-tanda alam) 8 Identifikasi nama rasi bintang ini merujuk Christian Pelras, Manusia Bugis. Jakarta: Penerbit Nalar, 2006), hlm 278.

Pengetahuan ini banyak berguna untuk menentukan tindakan dalam menghadapi ancaman terhadap beragam aset warga, misalnya menentukan kapan mulai membuat dan menaikkan tinggi langkiang; menentukan konstruksi fasilitas publik, seperti berapa tinggi lantai dan di mana meletakkan bangunan sekolah atau masjid. Bagi sebagian kecil nelayan yang hanya punya perahu tua, tanda-tanda ini berguna mengambil keputusan untuk pergi menangkap ikan atau tidak. Sebagian dari pertanda ini juga berguna untuk mengetahui apakah tinggi genangan bakal terus naik, seberapa cepat air akan naik dan apakah akan segera surut. Satu hal yang belum dapat diketahui adalah titik puncak tertinggi genangan air. Artinya, mereka bisa mengetahui kapan air menggenang dan seberapa cepat turunnya, namun belum bisa meramal sejak awal perihal tinggi air genangan pada tahun itu. BOKS 5 Suara Seorang Pappananrang Nama saya Ruslan Mandiru dan usia saya 52 tahun. Saya beruntung sewaktu kecil dulu suka mendengar bagaimana kakek saya menafsir tanda-tanda alam akan turunnya hujan atau banjir.

praktik-praktik ketangguhan

• Seekor buaya muncul di permukaan air di musim kering.

39


Kakek saya dan orang-orang yang dipercaya sebagai pappananrang (ahli membaca tanda-tanda alam) bisa mengetahui datangnya banjir dengan cara melekatkan telinga mereka ke tanah (mattoling tana) dan mendengarkan seberapa besar gemuruhnya. Dari hasil pendengaran itu mereka tahu apakah tahun ini akan terjadi kemarau atau banjir.

praktik-praktik ketangguhan

Pengetahuan seperti ini saya percaya ada karena dulu orang-orang memang dekat dengan alam. Mereka memperlakukan alam dengan baik.

40

Dari tahun ke tahun saya mempelajari kebiasaan kakek. Meskipun saya tidak bisa berkomunikasi langsung dengan alam tapi saya bisa menggambarkan apa yang akan terjadi dengan melihat tanda. Misalnya, bila tunas-tunas bambu (rebung) lebih besar daripada pohon induknya maka itu merupakan satu pertanda akan datangnya banjir. Juga apabila ada yang melihat seekor buaya mondar-mandir di permukaan saat air sedang surut atau pada musim kemarau, maka itu penanda akan datangnya banjir. Tapi bilamana si buaya mondar-mandir saat air pasang, maka yang terjadi sebaliknya. Selain itu, saya seringkali mengamati tanda-tanda alam pada 1 Muharram. Bilamana turun hujan di hari itu, maka tahun itu akan banyak turun hujan. Sebagai seorang pappananrang, saya juga selalu mengamati bagaimana susunan bintang pada saat-saat tertentu. Bila jajaran bintang-bintang berbentuk seperti burung yang terbang miring, maka akan ada angin kencang dari timur yang membawa air. Tanda seperti itu disebut rasi bintang manu’e [Sang Ayam; Canopus, Sirius dan Procyo] atau mabbakasangngi la kape. Adapun jajaran bintang yang berbentuk seperti alat bajak sawah atau tekko soroe [‘bajak dorong’; mungkin rasi bintang Tiangulum], maka siapapun boleh bercocok tanam atau membajak sawah karena air akan tersedia dalam beberapa bulan ke depan. Sebagai pappananrang, kadang saya juga memikirkan tentang pengetahuan lokal ini. Di antara para nelayan sendiri tidak banyak lagi yang percaya bahkan apalagi ingin mempelajarinya. Saya memberitahukan tanda-tanda alam tersebut, tapi mereka lebih percaya pada tekonologi dan BMG. Betul memang teknologi bisa memprediksi apa yang terjadi besok atau seminggu kemudian, tapi dengan ilmu pananrang ini, kami bisa mengetahui keadaan hingga satu tahun ke depan. Pengetahuan lokal seperti ini sudah tidak mereka ketahui lagi. Mengenai kejadian banjir pada 2002-2003 itu memang sudah diperkirakan bahwa akan terjadi banjir besar karena semua hasil pananrang (perkiraan) menunjukkan wilayah ini akan terisi air. Ini biasanya siklusnya 10 tahunan dan baru terjadi lagi nanti setelah 10 tahun. Jadi setelah banjir pada 2013 kemarin, diperkirakan akan terjadi lagi pada 2023.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Tindakan peringatan dini ini sangat berguna untuk menghindari pekerjaan berulangulang menaikkan langkiang setiap kali air meninggi. Selain itu juga menghindari kerusakan perahu, agar masih bisa dikeluarkan dari kolong rumah sebelum air mencapai lantai rumah. Bila tidak, perahu akan terjepit di antara air dan lantai rumah sehingga bisa memecahkan perahu dan merusak mesin perahu. Sebab, terkadang air naik dengan cepat sehingga warga tidak sempat mengeluarkan perahu dari kolong rumah—tempat perahu disimpan. 3.2. Fasilitas Publik Berbagai fasilitas publik seperti masjid, pos kesehatan, kantor dan sekolah di Kelurahan Laelo menggambarkan adaptasi terhadap watak banjir tahunan Danau Tempe. Seluruh bangunan publik itu dibangun dalam bentuk rumah panggung dan terus mengalami peninggian mengikuti ketinggian air pada banjir tertinggi yang terakhir.

praktik-praktik ketangguhan

Selain mengandalkan pengetahuan lama, warga juga mengembangkan sistem peringatan dini baru untuk menghadapi datangnya genangan, yaitu menghubungi kawan di dua daerah hulu sungai terpenting yang menyuplai air ke Danau Tempe yaitu Tanrutedong (Kabupaten Sidrap) dan Cabbengnge (Kabupaten Soppeng). Tujuannya untuk mengetahui tinggi air di dua daerah itu (Selanjutnya lihat di bawah).

41

GAMBAR 8 Masjid Taqwa di Lingkungan Baru Orai, sedang mengalami renovasi untuk membangun lantai tiga. (Foto: A. Ikhsan Ambas)


praktik-praktik ketangguhan 42

GAMBAR 9 Bangunan Sekolah Dasar di Kelurahan Laelo. (Foto: Muhary Wahyu Nurba) Landasan tiang sekolah telah ditinggikan pada 2011 (tinggi tiangnya kini mencapai sekitar 2,5 meter). Dengan begitu, lantai sekolah tidak lagi tersentuh banjir ketika banjir kembali datang. Begitu juga dengan pusat layanan kesehatan yang dibangun pada 2012, mengikuti ketinggian banjir yang terjadi pada 2010. Bahkan masjid di Lingkungan Baru Orai kini dibuat menjadi tiga lantai. Banjir yang terjadi pada 2010 membuat lantai dua masjid yang setinggi dua meter tergenang dan tidak dapat digunakan selama Ramadhan. Tahun ini mereka membuat lantai baru dengan tinggi 3,5 meter di atas lantai dua. Sementara itu, di Lingkungan Baru Alau, lantai masjid jarang tergenang karena dibangun di zona paling tinggi di lingkungan itu. Warga Laelo, dibantu pihak-pihak lain, juga berusaha membangun jalan-jalan kampung di lingkungan dengan lebih tinggi. Rata-rata ukuran jalanan beton tertinggi di kelurahan ini adalah 50 cm. Dengan begitu, mereka bisa memperlambat air mencapai permukaan jalanan dan membuat alat transportasi bemor dapat berfungsi lebih lama. Alat transportasi ini sangat penting bagi perdagangan hasil tangkapan. Jalan-jalan di kampung ini telah terhubung dengan seluruh rumah di kelurahan tersebut, meski sebagian kecil lorong belum dibeton tetapi sudah bisa digunakan. Jalan poros Kelurahan Laelo sudah mencapai panjang 1.965 meter dengan lebar tiga meter. Sementara ruas-ruas jalan lorong selebar 2,5 meter, panjangnya mengikuti


Hidup dalam Pasang Surut Danau

ukuran dua puluh lorong yang ada di kelurahan ini. Lingkungan Baru Orai yang mempunyai 12 lorong, sudah merampungkan ruas jalan lorong sepanjang 2.074 meter; sementara Lingkungan Baru Alau yang memiliki delapan lorong sudah membangun ruas jalan sepanjang 1.825 meter. Proses pembangunan sebagian besar jalanan ini dicapai lewat kerja kolektif, termasuk kontribusi finansial warga yang tidak sedikit (Lihat BOKS 6).

Di Kelurahan Laelo ruas-ruas jalan kampung dibangun dengan cara yang menunjukkan ketangguhan warga. Mereka mengandalkan kerja kolektif. Di samping dana “pancingan” dari PNPM, andil warga secara kolektif sangat terlihat di sebagian besar tahap pengerjaan jalan yang kini hampir rampung seluruhnya. Pentingnya kerja kolektif warga terlihat ketika mereka berhasil membangun jalan beton di Lorong 12, lorong terakhir di Lingkungan Baru Orai, para 2012. Saat itu dana yang tersedia dari BLM hanya Rp7 juta (sisa dari pembangunan tiang penahan eceng gondok), sementara dana yang dibutuhkan adalah Rp63 juta. Pemerintahan Lingkungan Baru Orai mengadakan semacam ‘lelang’: lorong mana yang mengajukan pembangunan jalan paling panjang dengan dana Rp7 juta akan menjadi pemenangnya. Warga Lorong 12 mengajukan diri dengan menyatakan sanggup membangun jalanan untuk seluruh bentang lorong dengan total 175 meter. Ini merupakan tawaran pembangunan lorong terpanjang dengan dana hanya Rp7 juta. Warga pun segera bertemu untuk menetapkan kontribusi mereka, yang jauh lebih besar ketimbang “dana pancingan PNPM”. Mereka menyediakan seluruh semen dengan meminta sumbangan para perantau dari masing-masing keluarga warga Lorong 12. Mereka menyediakan pasir dengan mengambil sendiri di sungai dan tenaga kerja untuk pembangunan. Uang dari PNPM hanya digunakan untuk membeli kerikil dan batu gunung. Kerja kolektif semacam ini menjelaskan mengapa sejak PNPM masuk ke Kelurahan Laelo pada 2009, kelurahan ini selalu mendapatkan peringkat pertama pengelolaan dana Bantuan Langsung Masyarkat (BLM) PNPM di Wajo. Karena itu mereka mendapat dana BLM PNPM lebih besar daripada kelurahankelurahan tetangga. Kriteria-kriteria yang ditetapkan PNPM, menurut Koordinator Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) antara lain karena tingginya partisipasi masyarakat dan praktik gotong royong, lancarnya pengelolaan dana bergulir,

praktik-praktik ketangguhan

BOKS 6 Kerja Kolektif Membangun Jalan Kampung

43


pengurus lembaga yang aktif dan kinerja (kualitas output) penggunaan dana yang baik. Mereka memenuhi semua kriteria itu.

praktik-praktik ketangguhan

Pada 2013, Kelurahan Laelo menerima dana P4IP-PNPM sebesar Rp250 juta untuk meninggikan jalan poros di Kelurahan Laelo. Dana ini merupakan ‘hadiah’ yang diterima warga sebagai salah satu kelurahan peringkat teratas di Indonesia dalam hal pengelolaan dana PNPM Mandiri Perkotaan, dengan kriteria sebagaimana disebut di atas.

44

Bahkan pada 2014 Kelurahan Laelo menerima dana dari PNPM dengan total sebesar Rp700 juta. PNPM pusat menetapkan Laelo sebagai peringkat pertama secara nasional untuk dipercayakan mengelola Dana Replikasi, Penataan Lingkungan Pemukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) PNPM sebesar Rp500 juta. Dana tersebut digunakan untuk merehabilitasi jembatan, rehabilitasi enam unit rumah, membangun ruas jalan lorong, jalanan keliling lapangan sepak bola. Di tahun yang sama Kelurahan Laelo juga masih tetap menerima dana BLM sebesar Rp200 juta, sebagaimana tahun sebelumnya. Pada tahun itu, setelah menerima uang sedemikian besar, mereka masih mengandalkan kerje kolektif. Untuk membangun jalanan beton di Lorong 10, misalnya, hanya tersedia dana BLM PNPM sebesar Rp29,5 juta, sedangkan hitungan kebutuhan dana mencapai kisaran Rp98 juta. Panjang lorong yang akan dibangun adalah 215 meter. Agar bisa menutupi kekurangan ini, mereka mengadakan pertemuan dan mencapai beberapa kesepakatan. Mereka menyediakan tenaga kerja untuk pembangunan tersebut, pria dan wanita. Mereka juga menyediakan pasir sendiri, dengan mengambilnya dari Sungai Walennae di Kecamatan Tetanga (Sabbangparu). Untuk itu setiap hari mereka berangkat ke kawasan pengambilan pasir dengan perahu, kadang tiga kali sehari, sepulang menangkap ikan. Setiap warga yang punya perahu harus menyediakan sekitar 20 sak pasir setiap hari. Mereka juga menyumbang Rp400 ribu per rumah dan Rp200 ribu per unit tanah kosong. Dengan demikian, kontribusi dana dari PNPM hanya digunakan untuk membeli semen, batu gunung dan kerikil yang tidak dapat diperoleh secara mandiri.

Meski demikian, sebagian warga belum puas dengan tinggi jalanan lingkungan yang ada sekarang. Terbatasnya dana dari PNPM membuat mereka hanya bisa mengusahakan tinggi jalanan yang ada sekarang, maksimal 50 cm. Mereka mengharapkan jalanan yang


praktik-praktik ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

45

GAMBAR 10 Lorong 10 di Lingkungan Baru Alau yang telah rampung. Gambar diambil Mei 2015, ketika air mulai naik. (Foto: A. Ikhsan Ambas) lebih tinggi mengingat kian tingginya rata-rata permukaan air kala banjir, sehingga jalan-jalan itu tidak terlalu lama terendam air, pun dapat berfungsi lebih lama. 3.3. Melindungi Harta Benda dan Rumah Sebelum bergerak melindungi rumah dan harta benda, warga mengusahakan adanya peringatan dini. Selain mengandalkan pengetahuan tradisional mengenai


tanda-tanda akan datangnya hujan, sebagaimana disebut di atas, warga juga mulai mengandalkan teknologi dan jaringan baru yang mereka punyai.

praktik-praktik ketangguhan

Kepala Lingkungan Baru Orai, Baharuddin Naje, menceritakan usaha yang dia lakukan sejak 2010. Sebelum tinggi air mencapai lantai rumah, dia menelepon dua orang kawannya di dua kabupaten berbeda untuk mengetahui tinggi muka air sungai di masing-masing wilayah tersebut.9 Baharuddin menuturkan, “Kalau teman di Tanrutedong [Kabupaten Sidrap] bilang, ’air sudah meluap dari sungai,’ sedangkan kawan di Cabbengnge [Kabupaten Soppeng] berkata, ’jembatan di sini sudah digenangi air,’ kita di Laelo harus segera bertindak, karena air di sini akan segera naik.”

46

Usai mendengar kabar bahwa air di dua tempat itu tengah meninggi, sedangkan tinggi air di Laelo sudah nyaris mencapai lantai rumah panggung, dia bergegas ke masjid. Tujuannya untuk mengumumkan bahwa air akan terus naik dan memperingatkan warga agar segera menyelamatkan barang masing-masing.10 Ketika warga sudah memastikan bahwa air akan naik hingga melewati lantai rumah, mereka mulai melakukan persiapan. Mereka membeli bambu atau menggunakan bantuan bambu dari pemerintah. Biasanya mereka membeli sekitar 20-30 batang bambu utuh, utamanya untuk dua fungsi: menunjang tiang rumah agar rumah tidak bergeser ketika air naik, apalagi bila disertai arus; dan sebagai tulang langkiang, lantai darurat yang dirakit di dalam rumah, tempat semua harta benda (yang tidak terlalu berat) dan aktivitas domestik sehari-hari dilakukan. Ketika air naik, warga juga membuka papan lantai, biasanya dua lembar dalam satu petak lantai dan membuka satu petak dinding agar rumah tidak bergeser terbawa air. Dinding yang dibuka itu juga difungsikan sebagai lantai langkiang. Untuk mengatasi laju eceng gondok yang bisa menghantam rumah-rumah warga, dibangun tiang-tiang pancang di sebelah barat permukiman Kelurahan Laelo (letak kelurahan ini di timur Danau Tempe). Konstruksi ini berupa tiang beton berjajar yang saling dihubungkan dengan slab beton di bagian atas, serta ditopang oleh slab diagonal di sebelah timur masing-masing tiang untuk mengantisipasi arus dan gerumbul eceng gondok dari arah barat. Tiang-tiang penahan eceng gondok yang dibangun secara bertahap sejak 2009 itu, kini sudah sepanjang 505 meter. Bangunan yang berasal bantuan Palang Merah Indonesia (PMI) tersebut terdiri dari tiga unit, masing-masing sepanjang 25 meter dan satu unit 9 Kawan pertama seorang tukang batu yang pernah kerja di Laelo dan tinggal di Cabbengnge, Kabupaten Soppeng; dan kawan kedua adalah rekanan penyuplai bahan material yang tinggal di Tanru Tedong, Kabupaten Sidrap. 10 Keberaniannya berbicara di depan seperti umum ini muncul saat dia mulai aktif menjabat Koordinator Lembaga Keswadayaan Masyarakat PNPM Kelurahan Laelo.


praktik-praktik ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

47

GAMBAR 11 Rakkiang dan Langkiang. Ruang berlantai yang paling dekat dengan atap disebut rakkiang bersifat permanen di setiap rumah sebagai tempat untuk menyimpan barang. Ruang berupa panggung dengan tiang bambu adalah langkiang bersifat sementara, hanya dipasang pada saat banjir telah mencapai lantai rumah. (Foto: Oxfam GB) sepanjang 170 meter. PNPM juga memberikan bantuan tiang sebanyak 13 unit, masingmasing sepanjang 20 meter. Konstruksi ini sangat efektif menyelamatkan cukup banyak rumah di Kelurahan Laelo sejak 2010 ketika banjir membawa cukup banyak arus eceng gondok. Mereka masih mengingat ketika awal banjir tahun itu warga beramai-ramai datang ke dekat tiang penahan untuk melihat secara langsung bagaimana tiang-tiang itu menahan laju eceng gondok yang sering merusak rumah mereka. “Mereka tidak takut, malah ramai-ramai datang menonton,� kata seorang warga. Karena banjir yang kerap datang, warga di Kelurahan Laelo tidak memelihara ternak besar seperti sapi atau kerbau. Mereka hanya memelihara hewan-hewan ternak kecil seperti ayam, itik dan kambing. Ketika air mulai meninggi menggenangi permukaan


praktik-praktik ketangguhan 48

GAMBAR 12 Tiang beton penahan eceng gondok tampak dari selatan Kelurahan Laelo. (Foto: Muhary Wahyu Nurba) tanah permukiman, warga segera beramai-ramai membawa motor dan bemor mereka ke Kelurahan Watallipue di seberang jembatan yang tidak tergenang untuk menitipkan kendaraan bermotor mereka. Setelah itu, mereka membangun rakit (dari bambu atau batang pisang yang hanyut) yang dilekatkan di bagian luar rumah untuk ternak atau unggas peliharaan mereka. Jamban merupakan masalah tersendiri bagi warga saat banjir. Karena tiap tahun terkena genangan, sebagian besar rumah membangun jamban dengan menempatkan kloset di atas lantai rumah. Pipa pembuangannya menjulur ke bawah menuju septic tank yang ditanam dengan menggunakan tumpukan tiga cincin beton, dengan dua cincin berada di bawah tanah. Jamban di rumah-rumah sudah dibangun sejak 2009 dari dana proyek PMI, PNPM, Prima Kesehatan, dan sumbangan dari berbagai pihak. Kini tinggal sekitar 95 rumah dari 412 rumah di Kelurahan Laelo yang belum memiliki jamban. Ketika air mulai naik, kira-kira satu meter di atas permukaan tanah, banyak warga mengeluh kepada Baharuddin Naje sebagai Koordinator LKM PNPM, program yang membangun banyak dari jamban tersebut. Mereka mengeluhkan tidak dapat lagi menggunakan toilet itu karena mampat.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Menerima serbuan keluhan itu, padahal jamban di rumahnya pun demikian, Baharuddin kemudian memukul-memukul pipa pembuangan dengan maksud agar tinja bisa turun ke septic tank. Tanpa sengaja, karena terlalu keras memukul, pipanya pecah. Ternyata tinja turun dan jambannya tidak mampat lagi.

Kiat itu berhasil dan tersebar dengan cepat di antara warga. Dengan begitu, mereka bisa menggunakan jamban sampai genangan air benar-benar melewati lantai kloset jongkok mereka. BOKS 7 Mengadaptasikan Rumah terhadap Banjir dan Angin Warga Kelurahan Laelo menggunakan berbagai macam cara untuk berdaptasi terhadap ancaman banjir dan angin. Sejak awal 2000-an, rumah-rumah baru yang dibangun di Laelo dibuat dengan pemasangan papan lantai yang tidak rapat, diberi jarak kira-kira ½ cm di antara setiap papan. Ini dilakukan agar air yang naik tidak mengangkat rumah dan menggerakkan rumah dari letaknya. Untuk menambah tinggi rumah, semakin banyak warga menguruk tanah di bawah kolong rumah, kadang mencapai ketinggian GAMBAR 13 Pondasi tiang rumah yang satu meter. Untuk itu mereka pondasi yang ditinggikan dan berdiri di atas kolong membangun kemudian diuruk, lalu ditutup rumah yang telah dua kali diuruk dan ditutup lantai beton. (A. Ikhsan Ambas) dengan cor beton. Di beberapa

praktik-praktik ketangguhan

Dia mendapatkan gagasan bahwa itu terjadi karena udara di dalam pipa dan septic tank terlepas ke luar dan tidak lagi menghalangi arus tinja. Dia pun memberi lubang kecil pada pipa jambannya, dekat sambungan antara pipa dengan kloset, menggunakan obeng yang dipanaskan. Dengan demikian tekanan udara di dalam septic tank bisa sedikit menguap dan jamban dapat digunakan.

49


praktik-praktik ketangguhan

rumah terlihat juga mereka menambah tinggi landasan tiang, rata-rata tingginya 50 cm, namun ada juga yang mencapai 70 cm.

50

GAMBAR 14 Menopang rumah dengan kawat besi di Lingkungan Baru Alau, Laelo. (Foto: A. Ikhsan Ambas)

Warga cenderung memilih jenis kayu yang tahan air khususnya untuk tiang dan tangga. Hal ini dilakukan sebab harga bahan tiang lebih mahal ketimbang bagian rumah lain. Papan lantai dan dinding memang lebih mudah rusak ketimbang tiang yang menggunakan bahan kayu yang lebih tahan lama seperti kayu ulin, bitti, bayam atau kumiya. Tetapi itu lebih baik ketimbang melakukan sebaliknya. Di samping itu, tiang dan tangga adalah dua bagian lama yang selalu paling lama terendam. Penggunaan bahan kayu ulin untuk tangga juga untuk

GAMBAR 15 Miniatur Kelurahan Laelo. Seluruh rumah menghadap ke timur (memanjang arah timur-barat) agar tidak menghalangi arah tiupan angin. (Foto: Nurhady Sirimorok)


praktik-praktik ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

51

GAMBAR 16 (Atas) Atap rumah “model Spanyol� dengan atap teras berbentuk segi tiga. (Bawah) Rumah model lokal dengan atap teras yang datar mengikuti lantai. (Foto: A. Ikhsan Ambas)


praktik-praktik ketangguhan

menghindari risiko hanyutnya tangga ketika banjir, selain ‘menanam’ tangga di tembok dasar tangga.

52

Menjelang meningginya genangan, warga mulai sibuk menunjang rumah dengan bambu maupun kawat besi. Ketika air terpantau akan mencapai lantai rumah, beberapa papan lantai dicabut; demikian pula, sebagian dinding dicabut agar memberi ruang bagi air untuk mengalir sehingga rumah tidak bergeser terdorong arus. Agar tidak mudah roboh terkena angin kencang, terutama angin musim barat, rumah dibangun menghadap timur-barat mengikuti arah angin. Arah timur barat juga memudahkan untuk menunjang rumah, terutama bagi rumah dengan ukuran kecil atau sudah tua sehingga kurang kuat menahan arus air dan hembusan angin. Rumah-rumah semacam ini biasanya dipasangi kawat pengikat dan bambu penopang. Sejak beberapa tahun lalu, atap “model Spanyol” mulai banyak dibuat. Model ini membuat ruang lapang di teras rumah dengan meninggikan atap di atas teras. Ini dilakukan dengan membuat atap berbentuk segitiga tepat di atas teras. Dengan atap model atap lama, atap dipasang mendatar di atas teras. Ini dilakukan agar orang masih bisa berdiri di atas langkiang yang sudah dipasang cukup tinggi di atas lantai teras. Pada saat banjir banyak kegiatan dilakukan di teras, seperti memasak, makan, mencuci, dan bersantai. Dengan bisa berdiri di atas langkiang di teras, orang akan lebih mudah membongkar dan mengangkut barang belanja atau bertamu. Akhir-akhir ini, semakin banyak rumah dengan sambungan kayu yang diberi pallaca’ atau pasak di setiap lubang sambungan antar-kayu rumah. Ini dilakukan supaya sambungan rumah tidak goyah. Bila kayu terendam air, biasanya kayu mengembang, termasuk kayu yang dimasukkan ke lubang sambungan, ini menyebabkan meluasnya lubang-lubang sambungan antar-kayu. Akibatnya, ketika air surut lubang-lubang itu menjadi longgar, sambungan jadi goyang dan rumah goyah. Dengan menggunakan pallaca’, jika air turun, orang tinggal memukul masuk pallaca’ di lubang sambungan untuk mengeratkan kembali sambungan antar-kayu rumah.

3.4. Melindungi Manusia Sejak kecil anak-anak Laelo sudah bisa berenang dan membawa perahu. Biasanya mereka belajar sambil bermain bersama kawan, baik berenang maupun menjalankan perahu. Mereka tidak melewati pelatihan khusus berenang dengan sesi-sesi latihan yang teratur oleh lembaga khusus. Genangan air akibat banjir berperan penting


Hidup dalam Pasang Surut Danau

sebagai “lahan� pelatihan berenang dan mengendarai perahu bagi para warga muda Laelo. Pelatihan bagi kedua keterampilan itu bisa mereka lakukan lebih mudah bila genangan sudah mencapai permukiman, saat banjir sudah terjadi. Anak-anak tidak perlu pergi jauh mencari genangan yang cukup tinggi untuk bermain sambil berlatih.

Pulang sekolang, mereka sering berlomba mendayung perahu dari sekolah ke sebuah ruang kosong (tanah lapang pada masa kering), dan segera terjun ke genangan begitu tiba di sana, meninggalkan peralatan sekolah mereka di perahu. Bagi mereka, kegiatan ini adalah hiburan. Kegiatan sekolah pun tidak terlalu sibuk seperti biasanya, terutama karena guru dari luar lingkungan kadang tidak bisa menembus banjir. Kondisi ini menciptakan keyakinan bagi warga Laelo bahwa bila ada orang meninggal karena tenggelam, termasuk saat banjir, mereka akan mengatakan “tidak perlu terlalu dipersoalkan, karena itu sudah takdirnya.� Sebab pada dasarnya seluruh warga sudah mahir berenang, sehingga bila mereka meninggal karena banjir hal itu karena suratan takdir. Begitu akrabnya mereka dengan genangan sehingga mereka dapat menyeleksi alat-alat bantu tanggap darurat saat banjir terjadi. Misalnya, mereka jarang menggunakan ban bekas atau perahu karet karena warga, termasuk anak-anak, lebih mudah mengendalikan bahkan melakukan maneuver dengan menggunakan perahu berbahan kayu. Faktor keterampilan ini turut berkontribusi terhadap tidak terganggunya kegiatan sehari-hari anak-anak di masa banjir, termasuk bersekolah. Keterampilan ini bahkan bisa membawa anak-anak Laelo menjuarai berbagai lomba renang daerah antar-sekolah. Selain itu, keterampilan ini membuat anak-anak dapat mencari uang di masa banjir dengan menjadikan perahu kecil mereka sebagai alat transportasi.

BOKS 8 Guru Memandang Banjir Para guru di Kelurahan Laelo sudah bertekad bahwa pendidikan harus terus berjalan walaupun banjir sudah mencapai dua meter atau lebih. Jika atasan mereka tidak memerintahkan libur, anak-anak tidak mereka liburkan. Anak-anak malah terlihat bertambah senang bila air naik karena mereka akan menggunakan

praktik-praktik ketangguhan

Ketika banjir terjadi, anak-anak menjadi lebih senang karena saat pulang sekolah, mereka bisa berenang dan membawa perahu di banyak tempat di dalam kampung. Orang tua pun tidak terlalu mengkhawatirkan itu karena mereka bermain di dekat rumah, sebagaimana ketika air surut.

53


perahu ke sekolah. Biasanya guru hanya memberi perhatian lebih serius menjaga anak-anak saat air mendekati tinggi lantai. Mereka khawatir bila ada anak-anak yang terjebak di bawah lantai dan tidak bisa keluar.

praktik-praktik ketangguhan

Selain perahu milik orang tua murid, sekolah juga mengadakan perahu inventaris sekolah yang bisa memuat 10 penumpang. Untuk membeli perahu itu sekolah mengalokasikannya dari dana BOS (Bantuan Opersional Siswa). Pertama pada 2005 seharga Rp2,75 juta, lalu ditambah satu lagi pada 2011 senilai Rp3,5 juta. Dengan pengadaan perahu ini, terkadang para murid ditugasi menjemput guru mereka dari seberang sungai yang tidak terkena banjir, yaitu Sungai Andi Bebe yang menjadi batas antara Kelurahan Laelo dan Kelurahan Watallipue.

54

Karena sebagian besar anak-anak di kampung ini sudah pandai berenang sejak kecil, hal ini menjadi potensi bagi dunia olahraga di Kecamatan Tempe, Wajo. Guru olahraga sekolah dasar di Laelo tidak pernah kesulitan mencari bibit perenang. Setiap ada kompetisi, dia tinggal memilih bergantian supaya murid yang berbeda mendapat pengalaman. Banjir besar yang terjadi pada 2002-2003 adalah peristiwa paling memilukan. Kala itu sekolah sedang libur usai menggelar ujian semester. Hanya dalam waktu tiga hari sekolah sudah terendam. Bangku dan meja mengapung. Semua buku hancur. Para guru mengetahuinya setelah memeriksa sekolah seminggu kemudian. Setelah peristiwa tahun itu, tidak ada lagi banjir yang setara. Murid pun tetap belajar seperti biasa. Meski air sudah mencapai lantai sekolah, anak-anak masih tetap belajar. Bahkan kalau sudah sampai lutut, bangku-bangku dirapatkan dan anak-anak duduk bersila di atasnya.

Satu hal yang diantisipasi dari peristiwa banjir adalah datangnya penyakit. Untuk menangani berbagai penyakit yang muncul, warga Laelo terbiasa mengobatinya secara tradisional. Selain itu, mereka mengandalkan pos kesehatan yang disiapkan pemerintah. Para warga, misalnya, mengatasi penyakit gatal-gatal dengan membuat ramuan minyak kelapa, bawang merah dan daun pare yang untuk dioleskan ke bagian tubuh yang terkena dampak gatal. Mereka juga punya cara pencegahan dengan melarang anak-anak berendam di air terlalu lama untuk menghindari gatal-gatal dan muntaber. Warga juga melakukan penjernihan air untuk memperbaiki kualitas air sungai maupun sumur bor. Air dijernihkan secara manual dengan cara diendapkan selama enam hari dalam tiga kali proses penjernihan di gentong atau ember besar. Ember pertama diberi kaforit dan dibiarkan selama dua malam; lalu dipindahkan ke ember kedua dan ketiga,


Hidup dalam Pasang Surut Danau

masing-masing selama dua malam. Cara lainnya yakni membeli air galon khusus untuk kebutuhan minum atau memasak warga.

Seorang warga menyatakan para kerabat mereka dengan senang hati melakukannya. Tanpa bantuan-bantuan itu, warga akan mengalami kesulitan hebat dalam menghadapi masa banjir. Kita dapat membayangkan kelelahan yang dialami banyak warga bila harus melakukan semuanya hanya dengan anggota keluarga. Apalagi bagi warga yang tinggal sendiri atau jika jumlah anggota keluarga tidak banyak. Sementara itu, para tetangga yang juga tengah sibuk dengan urusan rumah masing-masing sehingga sulit diharapkan dapat membantu secara intensif. 3.5. Melindungi Penghidupan Warga non-nelayan di Laelo mengganti pendapatan mereka yang berkurang akibat air pasang dan arus kencang dengan pekerjaan lain. Misalnya, para perempuan dari keluarga non-nelayan lebih banyak mengerjakan penjahitan pelaminan untuk mengganti pekerjaan tambahan dan mengusir kesepian karena terkurung air di atas rumah, terutama ketika tidak punya perahu. Mereka juga lebih banyak memancing ikan di teras rumah untuk menghibur diri sekaligus mencari ikan sekadar untuk hidangan keluarga. Usaha baru berupa pembuatan pupuk cair dari eceng gondok juga sedang dirintis sebagian dari keluarga non-nelayan. Di Lingkungan Baru Alau yang dihuni sedikit nelayan, bila tinggi air tidak terlalu berbahaya, belum melewati lantai dan tidak berarus, kaum pria masih bisa menangkap ikan. Sementara di Lingkungan Baru Orai yang didominasi nelayan, banjir membawa berkah bagi mereka karena daerah penangkapan ikan jadi meluas. Wilayah tak berpenghuni yang membentang sekitar setengah kilometer antara perkampungan dan danau di musim kemarau juga berubah menjadi daerah penangkapan ikan yang menguntungkan. Sementara bagian tengah danau yang masih tergenang saat musim kering sudah banyak diisi bungka toddo’ dalam jumlah besar. Bagi istri para nelayan, banjir adalah naiknya pendapatan. Mereka berinisiatif menjual sendiri hasil tangkapan suami mereka di beberapa pasar di Kabupaten Wajo, bahkan

praktik-praktik ketangguhan

Selain itu, pada masa tanggap darurat, kerabat dari daerah-daerah tetangga biasanya datang membantu warga Laelo, baik untuk bersiap-siap menghadapi genangan maupun setelah air surut. Mereka membantu mengangkat barang atau menyiapkan langkiang di masa banjir, lalu membersihkan dan memasang kembali bagian-bagian rumah yang dibuka setelah banjir surut, di samping bantuan-bantuan lainnya.

55


sampai di Kabupaten Soppeng.11 Kegiatan ini menjadi ciri khas perempuan Keluarahan Laelo. Setiap pagi, ketika perahu suami-suami mereka merapat dari danau, mereka sudah menunggu di dermaga-dermaga kecil di ujung selatan kampung. Dengan mengendarai bemor mereka mengangkut ikan-ikan tangkapan langsung ke pasarpasar.

praktik-praktik ketangguhan

Penjualan langsung ini mulai dilakukan para perempuan Laelo sejak awal 1990-an karena melihat besarnya keuntungan dengan menjual langsung tanpa perantaraan pedagang pengumpul (pappalele). Harga jual ikan mereka umumnya naik 50 persen (misalnya di satu kasus, dari Rp100 ribu menjadi Rp150 ribu untuk jumlah ikan yang sama). Awalnya mereka menggunakan perahu untuk mengangkut ikan ke dermaga di dekat kelurahan lalu menggunakan mobil angkutan ke pasar. Sejak rampungnya jalan beton di Kelurahan, mereka menggunakan bemor, sehingga mereka dapat mengangkut ikan tangkapan dari perahu langsung ke pasar. Cara ini lebih murah dan tidak repot membongkar-muat ikan jualan. Para perempuan Laelo menjadi terkenal sebagai penjual ikan di pasar-pasar Kabupaten Wajo. Setiap perempuan yang telah menikah, tanpa mengenal usia, dan bersuamikan nelayan, hampir pasti ikut menjual ikan. Dengan demikian, ancaman terhadap penghidupan lebih banyak terjadi pada masa kemarau.

56

3.6. Kekeringan dan Mata Pencaharian Kekeringan menyulitkan para nelayan mencari ikan. Areal tangkapan berkurang karena danau menyempit. Areal tangkapan ini kian terbatas karena banyaknya bungka toddo’ yang memerangkap ikan di dalam lingkarannya sehingga tersisa sedikit saja ruang bagi para nelayan kecil. Penghasilan para nelayan kecil sangat kritis di musim kemarau. Mereka sering tidak memperoleh penghasilan sampai selama tiga atau empat bulan karena surutnya air danau. Dengan kondisi serba terbatas itu, para nelayan tetap berusaha supaya bisa menghidupi keluarganya. Mereka memiliki beberapa solusi, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pertama, mereka menghadapi masa kemarau dengan mencari pekerjaan di luar kelurahan bahkan hingga luar provinsi. Kini, banyak dari warga Laelo yang beralih profesi sebagai pekerja bangunan, penjual sarung, pemetik cengkeh atau kakao. 11 Antara lain mereka menjual di Pasar Tempe dan Pasar Mini di Sengkang, Pasar Ulugalung di Kecamatan Pammana, Pasar Salojampu di Kecamatan Sabbamparu, Pasar Sempangnge dan Pasar Lajukka di Kecamatan Tanasitolo, dan Pasar Takkalalla di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Masih perlu penelitian mengenai berapa jumlah nelayan Laelo yang bermigrasi karena sulitnya penghidupan, termasuk yang pindah secara permanen. Tetapi menurut beberapa diskusi dengan warga, jumlahnya cukup banyak. Salah satu buktinya adalah ketika mereka dimintai sumbangan membeli semen untuk pembangunan salah satu dari 12 Lorong di Lingkungan Baru Orai, mereka dapat membeli seluruh kebutuhan semen tersebut. Nilai sumbangan para pekerja migran itu mencapai puluhan juta. Bagi nelayan yang melakukan kerja musiman di luar desa, mereka akan kembali menjadi nelayan begitu air mulai naik.

Memanfaatkan pengetahuan perbintangan dan gejala alam lain, mereka dapat mengetahui jadwal datangnya genangan yang akan menggenangi lahan-lahan perkebunan di antara perkampungan dan danau. Dengan pengetahuan itu, mereka bisa menentukan apakah rentang masa kering antar-genangan cukup memadai bagi tanaman usia-pendek untuk tumbuh hingga panen. Biasanya mereka menanam jagung, kacang hijau, dan wijen. Apabila ramalan menunjukkan sebaliknya, genangan akan datang lebih cepat, mereka tidak perlu mengeluarkan modal untuk ongkos produksi. Sebagian besar lahan kebun di Laelo adalah milik orang luar kelurahan. Warga Laelo hanya sebagai pemilik hak guna. Ada tiga sistem penggarapan lahan di Laelo, yaitu sewa lahan, bagi hasil dan pemilik hak guna yang menggarap lahan mereka sendiri. Banyak di antara penggarap harus menyewa atau menyepakati sistem bagi hasil dengan pemilik (hak guna) lahan yang sebagian besar dikuasai oleh orang luar Laelo. Hal ini membuat hasil yang diperoleh para penggarap musiman tersebut tidak besar. Harga sewa berdasarkan letak lahan dari danau. Tanah kelas satu (langga 1)12 dengan luas 5-7,5 x 100 meter paling mahal, karena paling cepat ditinggal genangan dan paling terakhir genangan air surut. Dengan begitu, ada waktu lebih lapang untuk bertani dan lebih aman bagi investasi musiman tersebut. Selanjutnya tanah langga 2 seluas 10 x 200 dan langga 3 yang lebih rendah. Meski demikian, menggarap lahan dengan sewa atau bagi hasil merupakan solusi yang cukup memadai bagi nelayan ketimbang menganggur di masa susutnya luasan danau. Ketiga, memulai usaha ekonomi baru. Saat ini, warga Laelo tengah mengembangkan dua usaha ekonomi baru, yaitu pengolahan eceng gondok dan abon ikan. Keduanya 12 Langga berarti level, atau tingkat ketinggian lahan dari permukaan danau di saat kemarau. Langga 1 lebih tinggi ketimbang Langga 2, dan Langga 3 paling rendah dan paling dekat dengan danau.

praktik-praktik ketangguhan

Kedua, sekitar 40 persen nelayan menggarap lahan kebun yang ada di Laelo di masa kering antara Agustus-Januari/Maret. Mereka adalah petani musiman.

57


telah berproduksi dan produk-produk tersebut sangat laku di pasaran. Kelompokkelompok ini secara langsung melibatkan perempuan dalam pengelolaan, sehingga menambah pendapatan keluarga mereka.

praktik-praktik ketangguhan

Eceng gondok yang diolah menjadi pupuk cair. Selain dibeli orang, dimanfaatkan juga oleh anggota kelompok yang bertani dengan hasil panen yang menggembirakan. Sementara olahan ikan (gabus, belut dan betutu) menjadi abon telah laku hingga ke beberapa kota di provinsi ini, bahkan secara terbatas di luar provinsi. Hasilnya, setiap anggota kelompok yang seluruhnya perempuan memperoleh pemasukan rata-rata Rp1 juta per bulan dari usaha ini.

58

Meski baru dimulai di satu kelompok yang terdiri dari 10 perempuan, usaha ini mulai menarik perhatian warga. Bisnis tersebut diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Wajo yang memulai dengan sosialisasi, pelatihan, lalu produksi. Pemda ikut membantu pemasarannya, misalnya membantu mendistribusikan produk abon ikan gabus Laelo di Rumah Sakit di Makassar, mengingat khasiatnya yang mampu mempercepat pemulihan luka. Mereka juga membantu memudahkan keluarnya perizinan label (“Sinar Harapan�) dari Dinas Kesehatan. Beberapa perempuan mengakui usaha itu sangat membantu mereka sebab bisa dilakukan di sela kegiatan utama menjual ikan hasil tangkapan para nelayan (suami) di pasar-pasar. Keempat, para nelayan Laelo memanfaatkan fasilitas bendungan gerak yang rampung dibangun pada 2012. Bendungan ini mempunyai sejarah panjang, berasal dari penelitian yang dilakukan Nippon Koei, Jepang. Kajian itu merekomendasikan pembangunan bendungan gerak sebagai salah satu solusi menghadapi berkurangnya volume air di musim kemarau akibat pendangkalan danau yang kian parah. Bendungan ini berdiri atas keterlibatan berbagai pihak baik sebagai peneliti maupun pengadvokasi yang memastikan bendungan gerak ini bisa dibangun dan beroperasi. Proses pembangunan bendungan ini menunjukkan bahwa persoalan pendangkalan di Danau Tempe sangat besar, melibatkan banyak pihak, sehingga berada di luar jangkauan warga untuk bisa mereka selesaikan sendiri (Lihat BOKS 9). BOKS 9 Bendungan Gerak Pembangunan Bendung Gerak didorong oleh Forum Penyelamat Danau Tempe (Forum) dengan bantuan fasilitas dari LP3S Jakarta. Isunya adalah penyelamatan danau yang mendorong para calon pendiri Forum tersebut membentuk asosiasi danau sebagai langkah awal agar gerakan lebih terkoordinir. Dokumen mengenai


Hidup dalam Pasang Surut Danau

hasil riset yang diselenggarakan Nippon Koei (perusahaan konsultan dari Jepang) menjadi dasar utama bagi Forum ini untuk mengkampanyekan penyelamatan Danau Tempe.

Dari hasil pertemuan “musyawarah danau” pada 2003, disepakati untuk melakukan normalisasi sungai dalam bentuk pelebaran dan pelurusan sungai dari Danau Tempe ke muara yang dipadu dengan pembangunan sebuah bendungan gerak. Upaya ini harus segera dilakukan karena pendangkalan danau terus terjadi sehingga semakin sedikit air yang bisa bertahan di Danau Tempe. Forum Penyelamat Danau Tempe yang dibentuk setahun sebelumnya (2002) mengawal proses pembangunan tersebut, dan mereka menegaskan tidak boleh ada penundaan pembangunan bendungan. Di sisi lain Bank Dunia sebagai pendonor sudah bertanya-tanya mengenai pembangunan bendungan. “Jadi kami katakan, tidak ada kata meninjau ulang lagi atas rencana pembangunan itu.” Setelah mendesak pembangunan bendung gerak selama bertahun-tahun, akhirnya pada 2012 bendungan mulai dibangun dan baru rampung pada 2013 dan kemudian dioperasikan pada Oktober 2014. Penyelesaian pembangunan ini tidak terlepas dari desakkan para nelayan bersama Forum Penyelamat Danau Tempe.

Setelah sempat menganggur kurang lebih setahun, bendungan gerak ini beroperasi karena tidak lepas dari peran warga yang mengadvokasi pengoperasiannya. Advokasi warga ini dipicu oleh kejadian tengga esso tanra (siang terpanas dalam setahun yang berlangsung tiga hari di bulan Oktober), yang membunuh sebagian besar ikan Danau Tempe tahun lalu. (Lihat BOKS 11, Bab 4). Dengan beroperasinya bendung gerak ini, tinggi muka air dapat dipertahankan pada kedalaman 150 cm di tengah danau, sehingga dapat mempertahankan luasan wilayah tangkapan nelayan. Selain itu, pengoperasian bendung gerak juga merupakan pengusiran tidak langsung terhadap bungka toddo’ yang tidak akan dapat melakukan panen ketika air bisa bertahan pada ketinggian melebihi belle’ yang cuma 125 cm, sehingga tidak dapat mengurung ikan di dalam kawasan bungka toddo’. Hal ini

praktik-praktik ketangguhan

Nippon Koei sudah membuat konsep penyelamatan terpadu dari hulu hingga ke hilir, bahkan sampai rincian anggarannya. “Kalau tidak salah (sebesar) Rp2,5 triliun dan penyelamatan atau perbaikan danau ini harus berlangsung selama 25 tahun.” kata Andi Fajar, salah seorang inisiator Forum. “Penyelamatan danau harus dibagi tiga wilayah: hulu, tengah [Danau Tempe] dan hilir [Sungai Cenrana].”

59


berpotensi menyurutkan minat para pemodal untuk berinvestasi dalam usaha bungka toddo’, sekaligus membuka ruang menangkap ikan lebih luas bagi para nelayan kecil.

praktik-praktik ketangguhan

Bendungan gerak baru beroperasi pada akhir Oktober tahun lalu setelah musim kering lewat. Efektivitas bendungan dapat terlihat pada Agustus-Oktober 2015 ini, yang merupakan puncak musim kering Danau Tempe, apakah kedalaman air danau akan bertahan. Lewat advokasi yang dilakukan warga bersama pihak-pihak lain, warga Laelo telah berhasil menghentikan kekeringan danau secara keseluruhan. Selain itu, sangat mungkin menyingkirkan bungka toddo’ yang mengganggu pendapatan ribuan nelayan kecil yang bergantung pada Danau Tempe untuk selamanya. Bahkan dalam pertemuan multi-pihak yang menghasilkan kesepekatan pengoperasian bendungan gerak di akhir 2014 (lihat BOKS 11), dibuat kesepakatan lain bahwa sejak beroperasinya bendungan gerak, bungka toddo’ tidak boleh ada lagi di badan Danau Tempe. Selain itu, pelelangan kawasan hak guna eksklusif (ex-ornamen atau tanakoti) kepada pemodal yang berminat tidak lagi diperbolehkan. Untuk itu, Peraturan Daerah yang relevan harus direvisi.13

60

13 Keterangan Andi Fajar, 13 Mei 2015. Dia menambahkan bahwa sampai saat ini Perda yang dimaksud belum direvisi.


praktik-praktik ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

61


62

Hidup dalam Pasang Surut Danau


Hidup dalam Pasang Surut Danau

63

BAB 4

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan


BAB 4

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

64

Ancaman dan krisis yang dihadapi warga Laelo datang silih berganti. Deretan praktik ketangguhan yang mereka upayakan untuk mengatasi berbagai ancaman dan krisis tersebut. Warga Laelo pun menghadapi berbagai faktor yang mendukung dan menghambat praktik ketangguhan tersebut. 4.1. Faktor Pendukung Beberapa faktor pendukung bagi ketangguhan warga Kelurahan Laelo menghadapi ancaman banjir dan kekeringan, antara lain: (1) pengetahuan dan pranata lokal, (2) kemampuan mengorganisir diri, (3) jaringan, (4) teknologi informasi, serta (5) kebijakan dan respons pemerintah setempat. 4.1.1. Pengetahuan dan Pranata Lokal Warga Kelurahan Laelo memiliki pengetahuan yang cukup luas dalam mengantisipasi kenaikan muka air, termasuk perbintangan yang tertutama dipimpin oleh seorang pappananrang (pembaca tanda-tanda alam). Pengetahuan pappananrang ini tersebar cukup luas. Mereka pun punya pengetahuan mengenai karakter banjir sehingga dapat sangat berguna untuk menyelamatkan fasilitas publik dan harta benda pribadi. Pengetahuan warga juga cukup memadai mengenai aturan-aturan perikanan dan penangkapan ikan. Hal ini sangat membantu ketika warga melakukan advokasi terhadap tindakan-tindakan yang merugikan mereka, seperti dicontohkan pada kejadian penyitaan jabba trawl mereka (Lihat BOKS 13). Selain pengetahuan, warga Laelo juga memiliki sederet keterampilan untuk hidup dalam genangan yang sudah mereka pelajari sejak kecil. Di antara keahlian tersebut adalah berenang, membuat dan mengendalikan perahu, serta merangkai dan memakai beragam alat tangkap untuk menjamin penghidupan. Masyarakat yang menghuni Kelurahan Laelo merawat beberapa pranata lokal, baik yang tradisional maupun yang baru, sehingga dapat menjamin penghidupan dan


Hidup dalam Pasang Surut Danau

BOKS 10 Macoa Tappareng dan Maccera Tappareng Macoa tappareng adalah jabatan pemimpin warga untuk urusan pengelolaan sumber daya danau. Pejabat macoa tappareng dipilih dari perwakilan warga. Dia diberi tugas untuk menegakkan aturan-aturan yang ditetapkan nelayan untuk pengelolaan danau. Aturan-aturan ini dibuat selama rangkaian ritual maccera’ tappareng (mensucikan danau). Tugas-tugas lain seorang macoa tappareng adalah: a) memimpin ritual maccera’ tappareng dengan mendorong kepala kerbau ke danau yang diselenggarakan di Kelurahan Laelo. Ritual ini dilakukan untuk meminta berkah sekaligus mengucapkan terima kasih kepada ”penjaga” danau. Acara ini dihadiri juga oleh para pejabat. b) menjalankan persetujuan musyawarah seluruh nelayan hasil dari manre sipulung (makan bersama atau diskusi antar-nelayan) yang dilakukan di tengah danau. c) menyampaikan keluhan-keluhan nelayan kepada pemerintah. Setelah acara maccera’ tappareng yang dilaksanakan pada malam hari, besok paginya diadakan pesta rakyat. Tiga acara utama dalam pesta rakyat ini adalah: 1) pappalarri lopi atau lomba perahu dayung, 2) lomba perahu mesin ketinting (perahu mesin tempel), 3) lomba perahu hias. Tiga hari kemudian diadakan manre sipulung, musyawarah yang dilakukan setelah makan siang di tengah danau, di atas perahu masing-masing, untuk menyapakati aturan-aturan yang akan diberlakukan pada hingga setahun kemudian. Kata laelo berasal dari kata mappadaeloreng yang berarti “membuat kesepakatan”, karena merupakan tempat kesepakatan dibuat. Aturan-aturan yang disepakati masih berlaku di masa penelitian, antara lain: 1) Melarang membawa lebih dari satu alat tangkap sekali “melaut”14. 2) Menetapkan ukuran alat. 3) Tidak boleh turun ke danau pada malam Jumat, sampai selesai shalat Jumat. 4) Apabila ada yang melanggar akan dikenakan sanksi atau ‘dosa’. Selama tiga hari, sejak dimulainya pelaksanaan ritual hingga selesainya manre sipulung, berlaku masa mallangga lopi (memarkir perahu). Selama itu nelayan tidak ke danau maupun sungai untuk mencari ikan. 14 Istilah “melaut” adalah kata yang digunakan warga setempat untuk menyebutkan kegiatan mencari ikan di danau. Sementara kata “laut”, atau dalam bahasa Bugis “tasi’ ”, digunakan untuk menyebutkan danau.

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

kemampuan mereka menghadapi ancaman. Selain pappananrang yang dipercaya warga menyebarkan prediksi cuaca juga terdapat macoa tappareng (jabatan pemimpin danau) dan rangkaian ritual maccera’ tappareng (pensucian danau) yang berperan mempersatukan dan mengatur para nelayan Laelo dan sekitarnya dalam mengelola danau (Lihat BOKS 10).

65


Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Selain pranata tradisional juga terdapat beberapa pranata baru yang juga membantu warga dalam mengatur kepentingan bersama. Salah satu yang paling kuat adalah Lembaga Keswadayaan Masyarakat (LKM) bentukan program PNPM. Sejak 2009, lembaga ini sudah menunjukkan kinerja luar biasa dalam membangun banyak infrastruktur dasar yang sangat dibutuhkan warga. Fasilitas tersebut, antara lain ruas-ruas jalan yang sudah menjangkau nyaris seluruh rumah, tiang penahan eceng gondok yang efektif melindungi seluruh rumah di Laelo, jamban yang telah dibangun di lebih dari setengah rumah warga serta fasilitas publik lainnya.

66

Kelompok-kelompok bentukan baru yang bergerak di bidang ekonomi juga sedang bertumbuh seperti kelompok yang mengolah eceng gondok dan membuat abon ikan. Kelompok-kelompok ini didirikan untuk membantu ekonomi keluarga. Kini, gerakan ekonomi itu mulai memperlihatkan hasil positif. Selain pranata untuk mengatur tataguna perairan, warga Laelo juga pernah punya pranata lain untuk mengelola tanah bersama. Tanakoti adalah tanah milik negara di wilayah genangan danau yang diredistribusi secara berkala (biasanya setiap dua tahun) untuk digunakan sebagai lahan pertanian oleh warga pada saat kering, dengan cara diundi. Setelah mendapat undian, warga yang beruntung tinggal membayar retribusi kepada pemerintah berupa pajak hasil. Sayangnya, sejak awal 2000-an, tanakoti berubah menjadi “hak milik� (lebih tepatnya hak guna) oleh segelintir orang yang tidak tinggal di kelurahan ini. Biasanya, para pemilik itu mantan pejabat lurah atau kepala lingkungan. Warga menggarapnya dengan cara bagi hasil atau sewa kepada pemilik tersebut. 4.1.2. Kemampuan Mengorganisasi Diri Warga Laelo memiliki kemampuan yang sangat baik dalam hal mengorganisir diri. Tampaknya kemampuan ini terbentuk dari intensitas warga yang kerap berhimpun untuk berbagai kerja-kerja kolektif. Dengan kata lain, berbagai pranata lokal yang dipunyai warga seperti ritual maccera’ tappareng atau diskusi aturan pengelolaan danau (dilaksanakan di tengah danau), membuat mereka memiliki kebiasaan untuk membicarakan dan mengatasi masalah secara bersama. Keberadaan sumber daya bersama telah mendorong mereka sering berhimpun untuk membicarakan persoalan bersama. Dari kemampuan kolektif ini, mereka dapat menangani soal-soal lain, mulai dari kemampuan menyebar informasi dengan cepat ketika air akan melewati lantai dengan pengumuman di masjid (sudah jadi kebiasaan untuk mendengarkan informasi kepala lingkungan) hingga kemampuan melakukan aksi kolektif untuk menuntut perbaikan (implementasi) kebijakan pemerintah daerah. Sebagai contoh, meminta agar bendungan gerak yang telah selesai dibuat segera beroperasi (Lihat BOKS 11).


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Pada Oktober 2014, beberapa nelayan dari Kelurahan Laelo mendatangi petugas bendungan gerak untuk menutup pintu air di bendungan. Maksud kedatangannya untuk meminta pertugas mulai mengoperasikannya, karena setelah selesai dibangun sejak setahun sebelumnya, bendungan tersebut belum pernah difungsikan. Mereka ingin menutup pintu bendungan gerak agar ikanikan di danau tidak mati kepanasan. Seminggu sebelumnya, para nelayan telah melihat munculnya tenggaesso tanra: bintang tanra (Suar) telah tampak di pucuk langit pada waktu subuh. Mereka segera berkumpul untuk mendatangi kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Wajo. Kedatangan mereka difasilitiasi oleh Forum Penyelamat Danau Tempe. Puluhan perwakilan nelayan dari satu kecamatan mendatangi kantor pengairan untuk mendesak agar pintu air di bendungan gerak segera ditutup agar level kedalaman air bisa dipertahankan, sebagaimana fungsi utamanya. Mereka mengatakan, jika pintu air tidak segera ditutup, sinar matahari tengga esso tanra akan memanasi seluruh air danau dan ikan-ikan akan mati. Saat itu, tinggi permukaan air di tengah danau berada pada kisaran 75 cm dari dasar. Pada level seperti ini, ikan tidak punya tempat bersembunyi di bawah level air yang bersuhu panas akibat sengatan matahari. Awalnya pihak DPRD tidak percaya. Namun, para pappananrang berhasil meyakinkan mereka. Beberapa pihak dalam pertemuan itu mengatakan bahwa mereka khawatir warga di hilir bendungan akan marah karena kekurangan pasokan air, sebab saat itu warga di hilir danau memang sedang memerlukan. Tetapi itu segera dibantah, bahwa bila air kering maka seluruh ikan di danau akan mati dan sekitar 3000

GAMBAR 17 Bendungan gerak dengan empat pintu air terbuka pada akhir Maret 2015 (Foto: A. Ikhsan Ambas)

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

BOKS 11 Penutupan Pintu Air Menjelang Tenggaesso Tanra

67


Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

nelayan akan kehilangan tangkapan; lagipula pintu bendung gerak tidak harus ditutup total.

68

Tetapi mereka harus menunggu seminggu untuk sidang dengar pendapat. Usai pertemuan, akhirnya di hadapan sejumlah pihak terkait, DPRD membuat ketetapan yang meminta agar bendung gerak dioperasikan dalam dua hari setelah perintah itu. Air danau akan dipertahankan pada level lima meter di pintu bendung gerak sehingga kedalaman Danau Tempe akan bertahan pada angka 1,7 meter di tengah danau selama musim kering. Dua hari kemudian pintu bendung gerak beroperasi. Ketika pintu air akhirnya berhasil ditutup, tinggi muka air segera naik, tetapi sebagian besar ikan sudah mati kepanasan. Tengnga esso tanra telah datang sebelum sidang dengar pendapat yang butuh persiapan seminggu. Tak lama kemudian beberapa pihak, petani maupun PLTU datang mengajukan keluhan terhadap penutupan tersebut. Para nelayan Laelo berusaha mencegah agar pintu air itu tidak segera dibuka lagi karena semakin banyak ikan akan mati. Mereka pun bernegosiasi dan berhasil mencapai kesepakatan mengenai ukuran bukaan pintu air. Peristiwa tersebut menunjukkan dua hal penting. Pertama, warga mampu bernegosiasi untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak, bahkan tanpa difasilitasi oleh pihak dinas kabupaten terkait. Kedua, tindakan kolektif warga untuk kepentingan bersama berhasil menyelamatkan sisa ikan yang belum mati kepanasan dan akhirnya memulai pengoperasian bendungan gerak yang sudah menganggur setelah selesai dibangun. Ini berarti sekaligus menyelamatkan penghidupan ribuan nelayan di tepi Danau Tempe setidaknya hingga beberapa tahun ke depan. Dalam kasus pengelolaan proyek-proyek PNPM, kemampuan warga Laelo dalam mengorganisir kerja kolektif terbentuk oleh beberapa syarat pendukung. Meskipun syarat-syarat ini secara spesifik merujuk kerja kolektif dalam pengelolaan dana PNPM, sebagian juga berlaku dalam kerja-kerja kolektif lain. Syarat-syarat pendukung tersebut adalah sebagai berikut: BOKS 12 Prasyarat pendukung kerja kolektif warga Laelo dalam PNPM • Warga diajak berpartisipasi sejak awal, sewaktu perencanaan dilakukan. • Kepercayaan warga kepada pemerintah kelurahan dan pengurus LKM PNPM setempat.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

• Mereka banyak mengerjakan proyek-proyek yang merupakan kebutuhan mendesak warga, seperti jalan, jamban dan tiang pancang penahan eceng gondok.

• Sebagian besar warga punya waktu luang untuk mengerjakan proyek-proyek tersebut. Nelayan bekerja di malam hari dan bersantai di siang hari, saat proyek-proyek itu dikerjakan. • Mereka cukup punya uang untuk disumbangkan untuk mendampingi dana dari proyek-proyek PNPM. • Tingkat pendidikan rata-rata relatif tinggi, sehingga mereka bisa dan aktif mencari informasi sendiri, misalnya tentang jumlah anggaran proyek. • Ketua LKM membuka ruang sebesar-besarnya bagi warga menyampaikan usulan maupun kritik untuk dibicarakan dalam rapat-rapat LKM, dan hasilnya disampaikan kembali kepada warga.

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

• Terdapat pengalaman kerja kolektif, seperti pembangunan lorong secara swadaya yang sebelum datangnya PNPM pernah diinisiasi Lurah Laelo.

69

GAMBAR 18 Bersama memindahkan rumah. Salah satu bentuk kerja kolektif warga Laelo untuk memindahkan rumah salah satu warga. (Foto: Muhary Wahyu Nurba)


4.1.3. Jaringan

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Keberadaan jaringan sangat membantu warga Kelurahan Laelo dalam berbagai cara, baik dalam mengatasi ancaman banjir maupun kekeringan. Warga dapat memanfaatkan hubungan perkawanan, kekerabatan maupun rekan kerja, untuk membantu menyokong ketangguhan mereka.

70

Dalam menghadapi ancaman penyitaan jabba dan advokasi pembukaan pintu air bendungan gerak, selain menggerakkan jaringan antar-warga di kelurahan lain, mereka didukung jaringan organisasi non-pemerintah setempat yang peduli terhadap keadaan mereka. Ketika mengantisipasi naiknya air mereka menelepon kawan di luar kota yang pernah bekerja di Laelo. Sewaktu membutuhkan dana tambahan untuk membangun ruas jalan dan lorong mereka menghubungi para perantau Laelo. Datangnya kerabat dari wilayah-wilayah tetangga untuk membantu menghadapi air yang akan melewati tinggi lantai (tanggap darurat) dan setelah air surut (rehabilitasi), merupakan bentuk lain dari dukungan jaringan terhadap ketangguhan warga. Bantuan ini dapat menghindarkan warga dari kelelahan hebat dan kadang berujung pada sakitnya anggota keluarga. Dukungan terhadap aspek kemanusiaan ini juga berefek secara ekonomis: kita bisa membayangkan para nelayan yang dapat tetap berkonsentrasi pada kegiatan penangkapan ikan meski kesibukan di rumah meningkat pesat selama dan setelah surutnya banjir. Selain itu, bila ada anggota keluarga yang sakit akibat kelelahan, belanja keluarga akan bertambah untuk biaya perawatan dan potensi pendapatan dari anggota keluarga yang sakit dan merawatnya akan hilang. Meskipun biasanya sakit tersebut hanya berupa sakit ringan, situasi ini tetap mengharuskan penderita sakit untuk beristirahat dan dirawat oleh anggota keluarga lain. Kemampuan warga Laelo menjalin relasi juga berlaku bagi orang yang masih belum mereka kenali. Dengan kata lain, mereka cukup terbuka untuk mengembangkan jaringan baru. Mereka cukup punya kemampuan menciptakan dan mengadopsi bentuk-bentuk hubungan baru (formal maupun informal) dengan beragam aktor yang datang dari luar kelurahan untuk kepentingan bersama. Misalnya, dalam pembangunan beberapa lorong di Laelo, mereka membuat kesepakatan dan memanfaatkan para calon anggota legislatif yang datang berkampanye untuk membantu membeli bahan bangunan dengan bayaran suara pemilih. Ini bentuk hubungan pertukaran yang sangat bermanfaat bagi warga dan berasal dari kesepakatan warga sendiri secara kolektif bukan melalui kesepakatan-kesepakatan tertutup di antara orang-orang tertentu.


Hidup dalam Pasang Surut Danau

4.1.4. Teknologi Informasi

Teknologi informasi berperan pada masa depan hubungan warga dengan pemerintah setempat. Utamanya dalam tahap kesiapsiagaan dan tanggap darurat di mana badanbadan pemerintah biasanya sangat butuh pemutakhiran berbagai jenis data secara cepat, semisal data tentang wilayah dan orang terdampak atau jenis dan volume bantuan yang dibutuhkan. Aktivitas ini sangat mungkin dilakukan dan dikoordinasikan secara efektif dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Perkembangan teknologi informasi dapat dimanfaatkan warga untuk mencari informasi maupun mempertahankan relasi yang penting untuk menyokong ketangguhan mereka. Kisah pencarian informasi kenaikan tinggi muka air sungai di Kabupaten Soppeng dan Sidenreng Rappang hanya mungkin terjadi dengan keberadaan telepon selular dan terpasangnya antena pengirim sinyal di dekat kelurahan yang memudahkan komunikasi jarak jauh warga. Semua ini dapat diakses warga dengan relatif mudah dan murah.

4.1.5. Kebijakan dan Respons Pemerintah Lokal

71

Melalui telepon selular, warga juga mendapatkan informasi dan dukungan cepat dari jaringan organisasi non-pemerintah setempat seperti Forum Penyelamat Danau Tempe. Dengan adanya jaringan telepon selular, mereka dengan cepat mendapatkan respons ketika meminta bantuan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi.

Sejumlah kebijakan dan respons pemerintah setempat sangat membantu menyokong penghidupan warga. Pelepasan benih ikan setiap tahun dapat mempertahankan jumlah ikan di danau yang dieksploitasi cukup intensif oleh nelayan kecil maupun pemodal besar yang menguasai bungka toddo’. Hal ini sangat membantu para nelayan mempertahankan tingkat pendapatan mengingat intensifnya penangkapan ikan dengan berbagai alat tangkap yang dapat memanen ikan dalam jumlah besar setiap harinya. Pengiriman petugas kesehatan selama banjir, dengan cepat dapat menangani persoalan kesehatan warga yang muncul di masa banjir, yang bisa berlangsung berbulan-bulan. Petugas kesehatan yang membuat pos klinik sementara di kelurahan selama banjir dirasakan sangat membantu. Mereka dapat dihubungi kapan pun saat dibutuhkan. Bantuan air bersih dari Dinas Sosial dapat mengatasi sebagian kebutuhan air bersih warga selama banjir guna menghindari penyakit dan kerepotan menjernihkan air yang memakan waktu enam hari. Demikian pula bantuan bambu dari pemerintah dapat menolong sebagian warga yang senantiasa harus mengeluarkan uang cukup besar untuk membuat langkiang.


Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Kecenderungan yang tampak dari kebijakan dan respons pemerintah lokal adalah mereka cenderung cukup baik dalam tahap kesiapsiagaan maupun tanggap darurat (ketika banjir terjadi). Namun, kebijakan dan respons ini belum begitu tampak dalam membantu mengurangi kerentanan warga yang biasanya terbentuk secara perlahan dalam jangka panjang dan sering tidak tampak.

72

Memang sudah ada upaya untuk membantu dalam hal membuka usaha baru, namun itu baru dimulai dan masih bersifat pendapatan tambahan, seperti usaha abon ikan. Sementara upaya untuk mengatasi masalah nelayan yang merupakan mata pencaharian utama, dan sangat penting bagi ketangguhan warga Laelo, baru ditangani secara serius ketika ada desakan dan advokasi dari warga. Di masa penelitian, sudah ada rencana untuk membangun instalasi pengolahan air bersih di Kelurahan Laelo. Saat ini sosialisasi sudah berlangsung dan lahan untuk instalasi tersebut sedang usahakan. Dana untuk instalasi ini bersumber dari APBN lewat Kementerian PU. Instalasi ini akan mengolah air yang diambil dari sungai. Instalasi ini rencananya digunakan untuk menyuplai air bersih ke seluruh rumah warga. Bila instalasi ini berfungsi dengan baik, warga tidak akan kesulitan mendapatkan air minum di masa banjir. Menurut warga, instalasi ini akan dibangun di atas tiang setinggi tujuh meter sehingga akan terbebas dari genangan. Pemasangan instalasi ini diusulkan sendiri oleh warga kepada SKPD (Dinas Pekerjaan Umum) yang sudah punya kontak dengan Kelurahan Laelo karena kelurahan ini sudah dikenal lewat prestasi mereka dalam pengelolaan dana PNPM. Ini menunjukkan bahwa respons pemerintah terhadap kerentanan warga yang sudah berlangsung bertahun-tahun baru bisa dilakukan setelah melewati kerja keras kolektif. Setelah itu pemerintah daerah baru memberi prioritas. 4.2. Faktor Penghambat Faktor-faktor penghambat ketangguhan berasal dari satu perspektif, suara warga Kelurahan Laelo. Suara ini utamanya memuat apa yang dirasakan dan diketahui warga Laelo, sehingga belum menyajikan tentang mengapa persoalan-persoalan tersebut terbentuk dari sudut pandang pihak lain. Untuk mendapatkan gambaran lebih lengkap, dibutuhkan penelitian lebih lanjut yang menyajikan pendapat dari pihak-pihak terkait lainnya. 4.2.1. Kebijakan Penguasaan Hak Kelola Danau Beberapa kebijakan pemerintah daerah tertentu membuat warga sulit mengatasi kerentanan, utamanya dalam hal mata pencaharian. Salah satu yang paling penting dan sering diungkap dalam diskusi adalah disewakannya ‘ex-ornamen’ atau kawasan


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Di Kelurahan Laelo setidaknya ada 13 kawasan pallawang dengan luas beragam. Seluruh 25 anak sungai yang mengalir ke Danau Tempe di Kelurahan Laelo adalah daerah ongko. Setiap tahun diadakan lelang terhadap ongko, hak kelola eksklusif terhadap wilayah sungai dan danau tertentu. Lelang itu berlangsung pada bulan Maret setiap tahun.15 Orang-orang yang hendak ikut lelang secara tertutup menyerahkan penawaran mereka kepada Dinas Perikanan Kabupaten yang akan menghimpunnya untuk diumumkan secara terbuka satu per satu pada hari pengumuman lelang. (Selengkapnya lihat BOKS 13) BOKS 13 Tentang Ongko dan Pallawang Pada 1 Mei setiap tahun, Dinas Perikanan menutup kawasan ongko yang telah dilelang, dengan begitu nelayan tidak boleh lagi menangkap ikan di kawasan tersebut tanpa seizin dan pengaturan kontraktual dengan pemenang lelang atau pemilik ongko tahun itu. Masa berlaku ongko dimulai pada 1 Mei dan berakhir 1 November di tahun yang sama. Tetapi kontrak ongko berlaku selama dua tahun, sehingga pada periode 1 Mei hingga 1 November di tahun berikutnya, setiap pemilik ongko dapat memanfaatkan kembali kawasan ongko-nya masing-masing. Pemilik ongko bebas menangkap ikan di kawasan mereka. Mereka dapat menangkapnya sendiri, membayar pekerja untuk melakukannya, atau menyewakannya kepada nelayan dengan harga borongan (per hari, per minggu, dan seterusnya). Harga jual klaim ongko cukup tinggi, antara Rp2 juta hingga Rp25 juta, semua dihitung berdasarkan sejarah tangkapan ikan di masing-masing kawasan ongko. Bisa dipastikan nelayan kecil tidak dapat membeli ongko. Keberadaannya malah menyempitkan wilayah tangkapan mereka. Dengan demikian, para nelayan kecil hanya tertolong jika pada masa berlakunya ongko tinggi muka air tetap melampaui tinggi belle’ (pagar dari bilah-bilah bambu 15 Tahun ini belum ada lelang padahal sudah akhir Maret, warga menduga bahwa tidak akanada lelang tahun ini dan itu terjadi karena berfungsinya bendungan gerak yang akan mempertahankan tinggi muka air danau di atas tinggi rata-rata yang akan merugikan pemilik ongko di satu sisi, dan menguntungkan nelayan kecil di sisi lain.

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

klaim bungka toddo’ bagi siapa pun yang punya modal untuk membayar sewa tersebut. Kebijakan ini secara langsung mempersempit wilayah tangkapan para nelayan kecil dan mengurangi volume potensi tangkapan nelayan di danau maupun sungai. Ini membuat mereka kesulitan mempertahankan tingkat penghidupan mereka, terutama selama musim kering ketika luas danau menyusut hampir 50 kali lipat bila dibandingkan musim banjir (dari kl. 48 ribu ha menjadi kisaran 1.000 ha).

73


Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

yang dipasang mengelilingi kawasan ongko setinggi 1,20 m). Aturan Perda No. 4 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sumberdaya Perikanan (Pasal 18, Ayat 3 dan 5) menetapkan bahwa jika air di atas belle’ cukup tinggi sehingga bisa dilalui perahu, yaitu 30 cm, para nelayan bebas menangkap ikan di dalam kawasan ongko.

74

Selain ongko, juga ada wilayah pallawang yang merupakan kawasan perairan yang hak gunanya dimiliki oleh orang-orang tertentu. Petak-petak pallawang sering berada di tepi danau yang tergenang di saat banjir. Kini sebagian pallawang termasuk dalam wilayah permukiman kelurahan, rumah-rumah berdiri di atas mereka. Banyak di antara pallawang itu juga adalah lahan perkebunan di saat surut. Masa berlaku kawasan pallawang bersamaan dengan ongko. Berbeda dengan ongko, pallawang dimiliki oleh orang-orang tertentu yang menguasai kawasan perairan musiman itu secara warisan. Dengan demikian, kawasan-kawasan pallawang punya dua pemilik, yaitu pemilik tanah dan pemilik air. Pemilik tanah tidak dapat memiliki semua tangkapan yang berada di petak tanah miliknya ketika tergenang. Semua jenis tangkapan menjadi milik penyewa atau pemilik pallawang pada saat terjadi genangan. Sebaliknya, pemilik pallawang tidak punya hak milik maupun hak guna terhadap tanah di kawasan pallawang miliknya ketika air surut. Ketika seorang nelayan menebar lanra’ atau pukat di bawah atau di pekarangan rumahnya yang merupakan kawasan milik atau sewaan pallawang orang lain, dia harus meminta izin kepada pemilik/penyewa pallawang dan mengatur semacam kontrak atau bagi hasil atas pendapatan yang diperoleh oleh nelayan tersebut. Dalam satu kasus seorang nelayan membayar Rp50 ribu setelah menawar dari permintaan bayaran Rp75 ribu dari pemilik pallawang untuk sehari menebar lanra’ di bawah dan pekarangan rumah sendiri. Dua jenis hak guna eksklusif ini, pallawang dan ongko, menyempitkan daerah tangkapan nelayan kecil yang tidak dapat mengadakan, memiliki atau membeli salah satu dari dua hak guna tersebut. Tetapi untuk ongko yang digunkanan untuk bungka toddo’ persoalannya cukup rumit. Hak-hak penguasaan eksklusif ini menjadi faktor mendasar (underlying factor) yang tiap tahun berpotensi menciptakan risiko bagi warga, terutama dengan menciptakan krisis pendapatan bagi mereka yang bergantung pada danau, yang membentuk mayoritas warga Kelurahan Laelo. 4.2.2. Kurang Tegaknya Aturan Kasus bungka toddo’ dapat menjadi contoh bagaimana aturan yang tidak ditegakkan dapat menyebabkan kerugian bagi para nelayan kecil. Kawasan bungka toddo’ yang sangat luas, melanggar aturan luasan satu unit bungka toddo’ berikut aturan


Hidup dalam Pasang Surut Danau

mengenai jarak antar-unit. Hal ini pertama-tama menyebabkan kurangnya kawasan tangkap nelayan kecil.

Para pemilik bungka toddo’ bahkan sering melarang nelayan kecil menangkap ikan di sisi luar tepi bungka toddo’ mereka. Tidak jarang pula, ketika air danau benarbenar kering dan tanah retak, pemilik membasmi eceng gondok yang ada di tengah lingkaran bungka toddo’ dengan menggunakan racun rumput. Upaya ini mereka lakukan agar ketika air naik mereka dapat menjaring ikan dengan nyaman di tengah lingkaran tanpa gangguan tanaman air itu. Tetapi penggunaan racun rumput itu, menurut beberapa nelayan tua, telah membunuh telur-telur ikan yang bersembunyi di balik rekahan tanah sehingga mengurangi potensi tangkapan bagi nelayan. Melihat itu, para nelayan kecil menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan hasil tangkapan yang memadai buat mereka, termasuk menggunakan jabba yang menurut pihak Dinas Perikanan melanggar aturan, padahal belum terdapat di dalam

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Selain itu, keberadaan bungka toddo’ juga mengurangi jumlah ikan yang dapat ditangkap oleh nelayan kecil. Pemilik bungka toddo’ dengan bebas dapat menangkap ikan dengan lanra’ setiap malam di dalam kawasan bungka toddo’ mereka yang luas. Ini dimungkinkan karena eceng gondok dan semak apung lainnya merupakan tempat ideal bagi banyak ikan untuk menetap dan berkembang biak.

75

GAMBAR 19 Salah satu sisi lingkaran bungka toddo’ di Danau Tempe, Februari 2015. (Foto: Muhary Wahyu Nurba)


aturan Perda No. 4 tahun 2012. Ketika pemerintah melarang dan hendak bertindak tegas dengan menyita jabba, hal serupa tidak dilakukan terhadap bungka toddo’ yang juga melanggar aturan (Lihat BOKS 14).

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Pemerintah mendapatkan retribusi dari pemilik bungka toddo’ sebesar Rp600 ribu per unit per tahun. Padahal, unit-unit tersebut melanggar dua aturan sekaligus.

76

Menurut para nelayan kecil di Laelo, apabila aturan tentang bungka toddo’ ditegakkan, pemerintah akan mendapatkan retribusi lebih banyak karena unit lebih kecil akan memperbanyak jumlah unit bungka toddo’ dan nelayan kecil bisa memperoleh tangkapan lebih besar. Jarak satu antara bungka toddo’ dan lainnya menjadi kawasan yang memadai bagi nelayan menebar lanra’. Tindakan menangkap ikan sebelum masa panen dan penyemprotan racun rumput di dalam kawasan bugka toddo’, yang juga mengurangi potensi tangkapan secara keseluruhan. Menurut warga, pihak Dinas Perikanan jarang atau tidak pernah ‘turun’ ke lapangan untuk menegakkan aturan mengenai bungka toddo’. BOKS 14 Mempertahankan JABBA Pada Oktober 2014 pemerintah kabupaten, dalam hal ini Dinas Kelautan dan Perikanan mengumumkan akan menyita alat tangkap jabba. Mereka berencana menurunkan polisi dan staf perikanan untuk mengambil jabba milik warga. Mendengar pengumuman itu, warga segera berkumpul untuk membicarakan solusinya. Mereka sepakat menantang kebijakan tersebut sebab sangat merugikan. Warga akhirnya bersepakat, “Yang penting kita bersatu, jangan angkat jabba-mu.” Selain berhimpun, warga menghubungi Forum Penyelamat Danau Tempe untuk membantu mendampingi advokasi mereka. Besoknya, 400 orang nelayan melakukan demonstrasi di Dinas Perikanan. Mereka meminta ketegasan penerapan aturan dan keadilan perlakuan antara nelayan dan pengusaha pemilik bungka toddo’. Menurut Perda No. 4 tahun 2012, alat tangkap jabba trawl belum diatur sehingga nelayan sebenarnya tidak melanggar aturan apa pun, sementara bungka toddo’ sudah diatur sedemikian rinci. Mereka berpandangan bahwa kebijakan itu tidak adil sebab bungka toddo’ yang menguasai lahan danau sangat besar. Bagi mereka bungka toddo’ menyisakan sangat sedikit areal penangkapan bagi nelayan, memanen sangat banyak ikan


Hidup dalam Pasang Surut Danau

dibandingkan nelayan, dan melanggar aturan batas luasan dan jarak minimal antar-unit bungka toddo’, tidak disentuh sama sekali.

Mereka pun menyampaikan kepada pihak Dinas Kelautan dan Perikanan bahwa mereka hanya menginginkan keadilan dan bukan hendak melanggar Perda No. 4 tahun 2012. Mereka bertanya, “mengapa jabbaini ditegasi, sedangkan pabbungka [toddo’] yang jelas-jelas melanggar aturan tidak ditegasi?” Perwakilan mereka melanjutkan, “Kalau [anda] tidak bisa tegas terhadap aturan, biarkan saja semua alat tangkap [beroperasi].” Akhirnya mereka mengajak pihak Dinas Kelautan dan Perikanan untuk langsung melihat ke lapangan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pemilik bungka toddo’. Ketika pihak Dinas menolak dengan alasan keamanan, perwakilan nelayan Laelo menyatakan bahwa merekalah yang akan menjamin keamanan pihak Dinas. Tetapi sampai saat ini, belum ada yang datang memeriksa pelanggaran tersebut. Jabba mereka pun aman belum disita sampai sekarang.

4.2.3. Lambannya Respons Terhadap Kerentanan Berdasarkan penuturan sejumlah warga Laelo, praktik ketangguhan terhalang oleh kurang responsifnya badan-badan pemerintah tertentu yang menangani pengelolaan lingkungan dan sumber daya Danau Tempe. Warga mengungkapkan bahwa pemerintah baru memahami dan menanggapi masalah warga ketika mereka secara beramai-ramai mendatangi badan pemerintah tertentu dalam bentuk aksi massa (demonstrasi). Dalam kesempatan-kesempatan seperti itulah warga nelayan baru mempunyai peluang untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada pihak terkait. Hal ini dapat kita lihat, khususnya pada kasus-kasus yang berhubungan dengan kerentanan warga yang terbangun secara perlahan dalam jangka panjang. Misalnya, pada kasus pembukaan pintu air bendung gerak, warga berbondong-bondong menyampaikan keluhan mereka terhadap persoalan yang terbangun selama bertahun-tahun: pendangkalan Danau Tempe yang mengurangi rata-rata kedalaman air danau di masa kering. Kondisi serupa juga terlihat pada saat warga beramai-ramai mendatangi DPRD meminta bantuan bambu selama banjir berlangsung, untuk menahan eceng gondok agar tidak menghantam perumahan (sebelum ada tiang pancang). Pembesaran

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Mereka menyampaikan bahwa modal mengadakan bungka toddo’ yang besar hanya memungkinkan pemodal besar yang bisa menyanggupinya. Sehingga yang dirugikan jelas adalah nelayan kecil, mereka yang menggunakan jabba.

77


volume eceng gondok hingga level membahayakan bertumbuh perlahan sejak awal 2000-an, sehingga pada akhir dekade itu sudah membentuk kerentanan baru: rumah warga jadi terkespos oleh ancaman yang tidak ada sebelumnya. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa untuk soal kerentanan, lembaga-lembaga negara setempat baru mengetahui kondisi warga sebenarnya ketika warga sendiri datang menyampaikan keluhan mereka.

Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

4.2.4. Pendangkalan Danau

78

Pendangkalan danau merupakan ancaman yang bersifat permanen bagi para nelayan di musim kemarau. Menurut ingatan warga, sejak awal 2000-an air benar-benar habis selama sebulan pada bulan September atau hingga Oktober. Dalam istilah warga, ketika itu tanah di dasar danau yang sudah kering itu akan menjadi “mallesse’” atau retak-retak. Di saat seperti itu seluruh nelayan tidak dapat menangkap ikan. Kekeringan total danau ini tentu saja membuat seluruh nelayan kehilangan pekerjaan. Meskipun bersifat sementara, kekeringan ini cukup untuk mengirim sebagian warga menjadi pekerja di luar kampung, sebagian lagi berkebun di lahan-lahan yang tersedia selama musim kering, dan sisanya menjadi pengangguran dengan menjual peralatan tangkap (termasuk perahu) untuk menutupi kebutuhan selama musim kemarau.16 Dalam kondisi seperti ini ketangguhan warga mendapat tantangan serius. Ancamanancaman yang mungkin datang pada masa seperti ini dengan mudah dapat berubah bencana bagi sebagian nelayan yang sedang berada dalam kerentanan. Maka wajar bila mereka mengatakan berulang-ulang bahwa “banjir adalah berkah.” Untungnya tahun ini kekeringan total seperti ini tidak terjadi lagi karena bendungan gerak sudah berfungsi sebagai hasil dari advokasi warga bersama Forum Penyelamat Danau Tempe. Mereka pun telah belajar memanfaatkan eceng gondok sebagai bahan pupuk yang dicampur kotoran sapi untuk kebun sendiri, dan memproduksi pupuk cair dari eceng gondok yang sebagian untuk dijual. Bila produksi pupuk cair ini memperoleh pasar yang stabil, produksi akan meningkat dan akan membantu menghambat pendangkalan dengan berkurangnya volume eceng gondok.17

16 Diskusi dengan beberapa warga, termasuk dua kepala Lingkungan di Kelurahan Laelo memunculkan perkiraan sebagai berikut: sekitar 30% nelayan keluar kampung mencari kerja musiman sebagai pekerja bangunan, pemetik cengkeh atau kakao, berdagang sarung; 40% berkebun jangung, kacang hijau, wijen, dan kedelai; dan 30% menganggur. 17 Menurut wacana yang berkembang di kalangan warga dan pemerintahan Kelurahan, Bupati sudah menandatangani nota kesepahaman atau MoU dengan pihak perusahaan peternakan di Pammana (investor) untuk menghisap lumpur danau untuk dijadikan pupuk di peternakan. Namun, beberapa pihak mengatakan bahwa itu “baru wacana.”


Penyokong dan Penghambat Ketangguhan

Hidup dalam Pasang Surut Danau

79


Hidup dalam Pasang Surut Danau


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

Hidup dalam Pasang Surut Danau

81

BAB 5

Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

BAB 5

82

Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

Kesimpulan dari pendokumentasian ini belum disertai rekomendasi, karena masih membutuhkan diskusi lanjutan bersama warga untuk merumuskannya. Upaya itu bisa menjadi tindak lanjut dari pendokumentasian awal ketangguhan masyarakat di kawasan Danau Tempe. Bagian ini akan mengurai ciri dan tingkat ketangguhan masyarakat Laelo menghadapi banjir dan kekeringan. 5.1. Ciri Ketangguhan Terdapat beberapa karakteristik ketangguhan warga Kelurahan Laelo. Pertama, kemampuan warga membangun dan memanfaatkan berbagai bentuk jaringan membuat warga Kelurahan Laelo bisa lebih bersiap menghadapi genangan maupun kekeringan. Jaringan-jaringan ini dimanfaatkan warga untuk berbagai kepentingan, baik yang berhubungan langsung dengan kejadian datangnya ancaman (guncangan) maupun untuk mengatasi kerentanan jangka panjang. Untuk sistem peringatan dini mereka memanfaatkan kawan dan rekan dari kabupaten lain. Badan-badan pemerintah dan kerabat dari wilayah tetangga memainkan peran penting dalam proses tanggap darurat dan mitigasi. Sementara organisasi nonpemerintah seperti Forum Penyelamat Danau Tempe dan warga Laelo di perantauan berperan penting dalam beragam upaya yang bersifat mengurangi kerentanan warga terhadap krisis jangka panjang. Dukungan dari jaringan tersebut diperkuat oleh keberadaan teknologi informasi yang kini dapat diakses dengan relatif mudah dan murah oleh warga. Harus disebutkan pula bahwa kedekatan secara fisik Kelurahan Laelo dengan ibukota kabupaten, Sengkang, mungkin cukup berperan dalam keberadaan teknologi dan jaringan ini. Kedua, di balik dukungan jaringan ini terdapat kemampuan luar biasa warga Kelurahan Laelo untuk mengorganisir diri dan melaksanakan kerja kolektif yang berguna menghadapi tantangan jangka pendek maupun panjang. Kemampuan ini, misalnya,


membuat para nelayan mampu memperjuangkan kepentingan mereka ketika berhadapan dengan pihak lain, seperti aksi massa (demonstrasi) dalam persoalan jabba versus bungka toddo’, pengoperasian bendungan gerak dan meminta bantuan bambu. Bila dapat dipertahankan apalagi diperkuat dan diperluas, kemampuan ini dapat membantu mereka menyelesaikan soal-soal lain yang lebih besar. Persoalan banyaknya tanah pertanian yang dikuasai oleh non-warga Laelo adalah salah satu masalah yang belum terpecahkan. Padahal, bila tanah itu kembali menjadi tanakoti (sistem redistribusi tanah secara musiman) akan sangat membantu sebagian nelayan yang terpaksa menganggur di musim kering akibat susutnya wilayah tangkapan. Keberadaan berbagai bentuk pranata lokal seperti maccera’ tappareng dan LKM PNPM sangat membantu menjaga kohesi sosial warga untuk bisa menyelenggarakan kerja-kerja kolektif mereka. Ketiga, di balik kemampuan mengorganisir diri ini, terdapat prasyarat pendukung yang sangat penting yaitu keberadaan sumber daya bersama yaitu Danau Tempe. Sumber daya bersama ini senantiasa bekerja mengikat warga dalam satu kepentingan bersama: mengelola pemanfaatan sumber daya danau secara bersama. Dari sana warga membangun berbagai pranata-pranata sosial (seperti ritual manre’sipulung) yang secara langsung maupun tidak bekerja merawat kerja kolektif mereka. Sehingga dapat dikatakan bahwa Danau Tempe bukan sekadar sumber daya alam atau ekonomi, tetapi juga merupakan sumber daya sosial yang sangat penting bagi ketangguhan warga. Selain tiga karakteristik dari dalam masyarakat sendiri, terdapat kebijakan dan respons pemerintah tertentu yang berdampak penting bagi ketangguhan warga, baik sebagai pendukung maupun penghambat. Kebijakan pemerintah seperti pelepasan benih ikan setiap tahun sangat membantu bertahannya suplai ikan di Danau Tempe. Tanggapan DPRD Kabupaten Wajo terhadap permintaan para nelayan yang menuntut pengoperasian bendungan gerak juga sangat penting bagi ketangguhan ribuan nelayan di kawasan Danau Tempe menghadapi musim kemarau. Sementara respons cepat Dinas Kesehatan dalam pengadaan klinik sementara selama banjir merupakan upaya yang dirasakan sangat membantu warga. 5.2. Tingkat Ketangguhan Warga Kelurahan Laelo tampaknya sangat siap menghadapi genangan banjir, apabila tidak terjadi penambahan intensitas dan watak ancaman yang jauh melebihi kemampuan mereka selama ini. Banjir tidak selalu menjadi bencana, tetapi senantiasa menjadi berkah bagi nelayan kecil yang mendominasi Laelo dan ekonomi kelurahan ini secara keseluruhan. Banjir memberi keuntungan yang tidak mereka dapatkan ketika

Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

Hidup dalam Pasang Surut Danau

83


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

air surut. Selain meluaskan kawasan danau nyaris lima kali lipat, banjir memungkinkan nelayan kecil mengakses ikan di kawasan-kawasan hak guna eksklusif milik segelintir pemodal besar yang tidak tinggal di Laelo, seperti ongko dan bungka toddo’.

84

Mereka pun mempunyai tingkat ketangguhan nisbi setaraf ketika menghadapi kekeringan, misalnya dengan berhasil mendesakkan pengoperasian bendung gerak. Sebelumnya, jika terjadi kekeringan sebagian besar nelayan harus kehilangan pekerjaan di musim kemarau dan sebagian terdesak keluar kelurahan untuk mencari kerja. Mereka hanya belum mampu mengatasi pendangkalan yang turut berkontribusi mengurangi volume air di musim kering. Sebagian besar pihak yang berkontribusi terhadap persoalan ini memang berada masih di luar jangkauan mereka. Tetapi bukan tidak mungkin, dengan dukungan lebih luas dari berbagai pihak, persoalan semacam ini dapat diatasi. Sebab ketangguhan warga Kelurahan Laelo dapat dikatakan cukup tinggi. Di tingkat paling dasar, warga Kelurahan Laelo sudah tangguh menanggapi datangnya banjir maupun kekeringan dengan berbagai cara. Mereka memililiki pengetahuan lokal yang banyak untuk memprediksi gejala alam, keterampilan yang memadai dalam menanggapi kondisi genangan maupun kekeringan, jaringan yang memadai untuk membantu dalam kondisi tanggap darurat maupun mitigasi. Hampir seluruh aktifitas sosial maupun penghidupan dapat berjalan tanpa gangguan di masa banjir. Karena itu, bagi para nelayan yang mendominasi populasi Kelurahan Laelo, banjir adalah anugerah, bukan bencana. Kekeringan justru dapat menimbulkan krisis mata pencaharian secara periodik bagi sebagian nelayan. Mereka adalah nelayan yang masih harus menghadapi kekeringan dengan keluar kampung mencari kerja atau dengan menganggur, sebab tidak memperoleh akses terhadap petak-petak ladang yang ada di kelurahan Laelo— yang dapat ditanami selama masa kering. Kita pun masih harus menunggu apakah beroperasinya bendungan gerak dapat memberi mereka kepastian wilayah tangkapan bagi seluruh nelayan Laelo di musim kemarau. Selain itu, warga non-nelayan masih membutuhkan perhatian sebab di masa banjir mereka mengalami kerepotan serupa dengan keluarga nelayan. Mereka harus bekerja keras menghadapi banjir namun tidak menerima berkah setaraf dengan keluarga nelayan. Namun, mereka relatif tidak terdampak oleh masa kering yang lebih panjang. Pada level berikutnya, warga Laelo juga tampak sudah mampu beradaptasi terhadap kondisi banjir sehingga seluruh aktifitas tetap berjalan nisbi normal sembari terus menekan tingkat risiko. Mereka dapat mengadaptasi letak, bentuk dan bahan bangunan terhadap genangan berbulan-bulan; membuat langkiang dan rakit


Hidup dalam Pasang Surut Danau

Karena berderet kemampuan adaptasi tersebut, mereka tidak harus mengungsi dan justru menjalani aktifitas harian yang lebih sibuk setiap kali banjir datang. Kemampuan mereka beradaptasi sebagai orang-orang yang tinggal dalam kawasan genangan Danau Tempe membuat perkampungan mereka tetap didiami hingga saat ini dan bahkan mengalami berbagai kemajuan. Mereka justru menolak tawaran relokasi yang cukup menguntungkan dari pemerintah beberapa tahun silam. Di tingkat ketangguhan paling tinggi, tampak bahwa warga Laelo, dibantu pihakpihak lain, memiliki kemampuan yang baik untuk mengatasi berbagai masalah jangka panjang secara berkesinambungan. Mereka bukan hanya dapat menanggapi datangnya banjir atau beradaptasi terhadap kondisi berkurangnya luas daerah tangkapan di masa kering dengan mencari kerja keluar lain atau berkebun, mereka pun dapat mengubah kondisi itu sendiri agar dapat terus mengusahakan penghidupan utama mereka sebagai nelayan sepanjang tahun. Warga memperkirakan tahun ini kekeringan total danau yang biasanya berlangsung September atau Oktober tidak akan terjadi lagi, karena bendungan gerak telah berfungsi. Meskipun kita masih harus menunggu apakah ini akan berdampak positif bagi seluruh nelayan Laelo. Beroperasinya bendungan gerak ini merupakan hasil usaha kolektif warga dengan dukungan pihak lain, lewat cara yang baru mereka pelajari yaitu advokasi (implementasi) kebijakan. Hal serupa juga terlihat dari kemampuan warga Laelo memanfaatkan berbagai program yang masuk ke desa untuk merampungkan banyak fasilitas publik yang sangat penting seperti jalan beton dan jamban; serta ‘memancing’ datangnya rencana pembangunan instalasi pengolahan air bersih. Lewat kerja kolektif mereka menunjukkan bagaimana seharusnya sebuah program dari luar kelurahan dapat membantu aktifitas utama sebagian besar warga. Mereka berhasil mengubah kondisi yang ada, bukan hanya beradaptasi, dengan membangun jalanan beton yang tinggi untuk mengangkut produk utama mereka. Mereka pun berhasil mengubah hubungan dagang yang merugikan mereka, untuk selamanya, dengan para pedagang pengumpul dengan langsung menjual ikan di pasar-pasar. Demikian pula, usaha-usaha rintisan yang kini sedang berlangsung seperti abon ikan dan pembuatan pupuk cair yang di masa mendatang berpotensi mendatangkan perubahan besar.

Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

untuk menyelematkan harta benda, meninggikan jalan beton dan membocorkan pipa jamban agar bisa digunakan lebih lama. Sejak kecil mereka pun telah berlatih keterampilan berenang, mengendarai perahu dan menggunakan berbagai alat tangkap.

85


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh 86

Dengan level kemampuan seperti ini, cukup aman mengatakan bahwa warga Kelurahan Laelo adalah masyarakat tangguh. Apabila seluruh jaringan dan pihakpihak terkait terus memberi dukungan serupa atau lebih baik, bila warga Laelo sendiri dapat mempertahankan dan memperbaiki apa yang mereka punyai sekarang, dan bila watak dan intensitas ancaman tidak bertambah secara signifikan, warga Laelo punya peluang untuk terus menjadi masyarakat tangguh. Satu hal yang masih sulit mereka atasi adalah pendangkalan danau. Kurangnya kemampuan warga Laelo untuk mengubah kondisi pendangkalan ini terjadi utamanya karena persoalan ini merupakan masalah yang menghadapkan warga dengan pihakpihak yang jauh lebih luas. Pendangkalan yang mengurangi volume air danau secara ekstrim pada musim kemarau hanya dapat diselesaikan dengan komitmen beberapa kabupaten di hulu dan hilir Danau Tempe, berikut beberapa pihak di dalam Kabupaten Wajo sendiri. Ini membutuhkan kerja dan ketangguhan di level kawasan yang lebih luas. Tetapi bila mereka mau belajar dari pengalaman warga dan jajaran pemerintahan Kelurahan Laelo, bukan tidak mungkin masalah ini dapat teratasi. Sudah saatnya perhatian lebih diletakkan pada bagaimana mengatasi krisis jangka panjang ketimbang terus berfokus pada bencana jangka pendek. Dari tuturan dan analisis warga Laelo, kita belajar bahwa krisis dalam bentuk kekeringan dianggap sebagai ancaman lebih besar ketimbang kejadian banjir yang berdurasi lebih pendek dan justru merupakan berkah bagi ekonomi Kelurahan Laelo. Bahkan kita bisa mengatakan bahwa banjir merupakan salah satu prasyarat ketangguhan sebagian besar warga Laelo.


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

Hidup dalam Pasang Surut Danau

87


Kesimpulan: Warga Laelo Sebagai Masyarakat Tangguh

Daftar Rujukan

88

Bene, Christophe et. al. 2012. “Resilience: New Utopia or New Tyranny? Reflection about the Potentials and Limits of the Concept of Resilience in Relation to Vulnerability Reduction Programmes”. IDS Working Paper 405. Sussex: Institute of Development Studies. Maru, Yiheis .T. 2010. “Resilient regions: clarity of concepts and challenges to systemic measurement.” CSIRO working Paper Series 2010-2014. Canberra: CSIRO Sustainable Ecosystem. Pelras, Christian. 2006 [1996]. Manusia Bugis (terj. The Bugis). Jakarta: Penerbit Nalar.


HIDUP DALAM PASANG SURUT DANAU

Hidup dalam Pasang Surut Danau Diterbitkan atas dukungan

Cover Danau Tempe.indd 1

23/06/2015 10:47:51


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.