Hidup di atas patahan sesar

Page 1

Hidup Di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai

Hidup Di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai Diterbitkan atas dukungan

Cover MENTAWAI.indd 1

22/06/2015 15:42:40


Hidup Di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai




Judul

: Hidup di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai

Penulis

: Iswanto & Adi Hamdani

Tim Dokumentasi

: Udin Surya, Firja, Sandar

Tim Suport

: Wawan Budianto, Josua Manulang, Nofri Yani

Editor

: Chasan Ascholani

Desain & Lay Out

: Iswanto

Diterbitkan Oleh

: AIFDR-CDSP


Daftar Isi

Kata Pengantar BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................1 1.1 Latar Belakang Penelitian ............................................................................................................... 2 1.2 Batasan Penelitian ............................................................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................................................................. 4 1.4 Metode Penetlitian ................................................................................................................................ BAB II : PROFIL SINGKAT KABUPATEN KEPULAUAN MENTAWAI...................7 2.1 Letak Geografis......................................................... ..............................................................................8 2.2 Demografi................................................................... ..............................................................................9 2.3 Sosial Budaya.........................................................................................................................................10 2.4 Sejarah dan Potensi Ancaman Bencana...............................................................................10 2.5 Dampak Bencana................................................................................................................................12 BAB III : PRAKTIK DAN IMPLEMENTASI MASYARAKAT TANGGUH.................15 3.1 Kearifan Lokal Berbasis Mitigasi Bencana ..........................................................................16 3.2 Dampak Pembangunan Terhadap Mitigasi Bencana .................................................19 3.3 Modal Sosial Pondasi Menghadapi Bencana ...................................................................21 3.4 Dampak Bencana Gempa dan Tsunami...............................................................................24 3.5 Praktik Tangguh Sebelum Bencana.........................................................................................25 3.5.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................25 3.5.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................31 3.5.3. Pagai Utara ............................................................................................................................36 3.5.4. Siberut .....................................................................................................................................45 3.6 Praktik Tangguh Saat Bencana ..................................................................................................48 3.6.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................48 3.6.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................55 3.6.3. Pagai Utara ............................................................................................................................62 3.6.4. Siberut .....................................................................................................................................65 3.7 Praktik Tangguh Sesudah Bencana..........................................................................................67 3.7.1. Sipora Selatan .....................................................................................................................67 3.7.2. Pagai Selatan .......................................................................................................................70 3.7.3. Pagai Utara ............................................................................................................................75 3.7.4. Siberut .....................................................................................................................................79


3.7.5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat ........................................................................80 3.7.6. Tata Ruang Berbasis Penanggulangan Bencana ...........................................86 3.7.7. Faktor Pendorong dan Penghambat Ketangguhan ...................................87 3.7.7.1. Faktor Pendorong ..........................................................................................87 3.7.7.2. Faktor Penghambat ......................................................................................88 BAB IV : PENUTUP..............................................................................................93 4.1. Kesimpulan.............................................................................................................................................94


Kata Pengantar

Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan bagian wilayah provinsi sumatera barat, pada tahun 2010 lalu telah mengalami bencana gempa bumi dengan kekuatan 7,9 SR diikuti dengan kejadian tsunami. Banyak korban ketika kejadian ini terutama disepanjang pantai barat dari Kecamatan Sipora Selatan dan Kecamatan Pagai Utara, Selatan di Sikakap daerah yang terdampak secara langsung. BPBD Provinsi Sumatera Barat dengan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai dibantu BNPB serta LSM, TNI Polri serta SKPD dan masyarakat bahu membahu membantu proses emergensi sampai dengan saat pemulihan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ada beberapa daerah dengan kearifan dan kesiapsiagaan bisa selamat pada saat kejadian bencana ini, apa yang menjadi latar belakangnya tentu patut untuk dipelajari dan dijadikan sebagai contoh prilaku tangguh dan siaga kedepannya. BPBD provinsi sumatera barat dalam hal ini mengucapkan terimakasih kepada program CDSP – AIFDR yang telah membuat buku pembelajaran ketangguhan masyarakat terhadap gempa dan tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai, demikian juga terhadap BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, tim penulis dan peneliti serta masyarakat yang telah berkontribusi sehingga buku pembelajaran ketangguhan ini bisa dicetak menjadi referensi dan dibagikan kepada semua pihak. Masyarakat memiliki kearifan terhadap bencana bagaimana kearifan ini bersinergi dengan rencana pembangunan membutuhkan perencanaan yang matang serta kesadaran terkait pemahaman risiko bencana, terimakasih Salam Tangguh Ir. ZULFIATNO, M.Sc NIP : 19591015 198203 1 001 Plt. Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Sumatera Barat


Kata Pengantar

Bicara ketangguhan (Resilience) membutuhkan pemahaman yang mendalam, apalagi dikaitkan dengan ketangguhan terhadap bencana. Banyak literatur terkait ketangguhan dari lembaga lembaga internasional bahkan sampai ke level PBB, parktisi maupun akademisi dengan berbagai cara pandang yang beragam. Buku ketangguhan kawasan, terutama terkait bagaimana masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai bersikap dan berprilaku sebelum terjadinya gempa tsunami oktober 2010, saat terjadi dan bagaimana setelah terjadi merupakan ringkasan ungkapan apa yang telah dilakukan dan dirasakan oleh masyarakat kabupaten kepulauan mentawai. Kesadaran akan potensi bencana yang muncul sebagai kebiasaan dan pengalaman hidup, kemudian ditambah pengaruh dari pihak luar yang memberikan pengetahuan maupun pengalaman secara langsung dari bencana yang dihadapinya menjadi saripati dari buku kajian ketangguhan mentawai ini. Kondisi geografis tidak pernah menjadi alasan untuk berdiam diri dan berpangku tangan tetapi justru menjadi kekuatan untuk saling berbagi dan memberi melalui budaya “ Rob Parob “. Kearifan dan budaya yang ada selayaknya menjadi dasar dari pengembangan pembangunan agar menjadi lebih baik kedepan dalam upaya pengurangan dampak dan risiko bencana. Mentawai tak pernah tenggelam dan akan selalu ada dipuncak gelombang mereka berdiri, dilebatnya belantara mereka hidup harmoni dan selaras dengan alam, semoga buku ini menjadi bagian hidup, bagaimana tangguhnya masyarakat mentawai. Salam Tangguh Wawan Budianto Koordinator CDSP Sumatera Barat



Hidup di Atas Patahan Sesar

Potret Tangguh Masyarakat Mentawai


pendahuluan

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

1

BAB I

Pendahuluan


BAB I

Pendahuluan

pendahuluan

1.1. Latar Belakang Penelitian

2

Indonesia merupakan daerah rawan bencana alam. Secara geologi, wilayah Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif, yaitu Lempeng IndoAustralia di bagian Selatan, Lempeng Eurasia di bagian Utara, dan Lempeng Pasifik di bagian Timur. Ketiga lempengan tersebut bergerak dan saling bertumbukan, sehingga Lempeng Indo-Australia menunjam ke bawah Lempeng Eurasia dan menimbulkan gempa bumi, jalur gunung api, dan sesar atau patahan. Penunjaman (subduction) Lempeng Indo-Australia yang bergerak relatif ke Utara dengan Lempeng Eurasia yang bergerak ke Selatan menimbulkan jalur gempa bumi, juga rangkaian gunung api aktif sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara yang sejajar dengan jalur penunjaman kedua lempeng. Di samping itu, jalur gempa bumi juga terjadi sejajar dengan jalur penunjaman, maupun pada jalur patahan regional seperti patahan Sumatera/Semangko. Indonesia berada di jalur pegunungan api teraktif di dunia. Gugusan gunung berapi memanjang sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Maluku, Nusa Tenggara, serta Sulawesi Tenggara. Jumlah gunung berapi aktif di lndonesia mencapai 127 atau 13 persen dari yang ada di dunia. Dari jumlah itu, sebanyak 68 gunung berapi berada dalam pantauan, karena terdapat masyarakat yang bermukim di sekitarnya.1 Berbagai bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran hutan rawan terjadi di Indonesia. Bahkan untuk beberapa jenis bencana alam, Indonesia menduduki peringkat pertama dari sisi jumlah korban manusia yang meninggal akibat bencana alam. Inilah yang menasbihkan Indonesia sebagai negara dengan risiko dan dampak bencana alam tertinggi di dunia. Dari berbagai jenis bencana alam yang meliputi tsunami, tanah longsor, banjir, gempa bumi, angin topan dan kekeringan, dari sisi jumlah korban, Indonesia menduduki peringkat pertama pada dua bencana alam: tsunami dan tanah longsor. Berada di peringkat ketiga pada gempa bumi dan peringkat keenam pada banjir. Hanya di dua bencana alam, yaitu kekeringan dan angin topan, Indonesia “absen�.2 1 Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB. 2 United Nations International Stategy for Disaster Reduction (UNISDR; Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Risiko Bencana).


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Gempa dahsyat yang disusul gelombang tsunami di Aceh pada 2004, menjadi pelajaran berarti bagi Pemerintah Indonesia. Bukan hanya Tanah Rencong Aceh yang porak-poranda, melainkan negara lainnya, seperti Srilanka, India, Thailand, Somalia, Myanmar, Malaysia, Maladewa, Tanzania, Bangladesh dan Afrika Selatan. Sejak tragedi kelam itu, Pemerintah Indonesia mulai melakukan berbagai upaya dan strategi aksi pengurangan risiko bencana. Di antara upaya tersebut adalah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai manajemen kontrol terhadap berbagai ancaman bencana alam.

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang mampu mewakili sebagian ketangguhan masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai, maka penelitian dilakukan di Kecamatan Sipora Selatan, Pagai Selatan, dan Pagai Utara. Di Kecamatan Sipora Selatan, penelitian dilakukan di Dusun Gobik dan Katiet, Desa Bosua. Kemudian di Kecamatatan Pagai Selatan, penelitian dilakukan di Dusun Maonai, Desa Bulasat. Sedangkan penelitian di Kecamatan Pagai Utara berlangsung di Dusun Sabeugunggung, Desa Betumonga. Ketiga kecamatan ini menjadi subjek penelitian karena pada 2007 terkena dampak bencana alam gempa bumi. Bahkan pada 2010, gempa bumi di wilayah tersebut disertai gelombang tsunami yang membuat kawasan porak-poranda serta merenggut ratusan korban jiwa. Masyarakat dari tiga kecamatan pun cenderung memiliki karakter dan pemahaman yang sama dalam aktivitas sosial dan budaya, serta letak lokasi permukiman masyarakat awalnya berada sekitar 50 meter dari bibir pantai. Penelitian pada tiga kecamatan tersebut diyakini akan mampu memberikan jawaban dan pemetaan terhadap sikap, perilaku, dan implementasi masyarakat tangguh dalam pemahaman nilai-nilai pengurangan risiko bencana. 1.3. Tujuan Penelitian Munculnya berbagai cerita dari para korban bencana alam yang selamat, selama ini hanya menjadi konsumsi atau komoditas media massa tanpa mengungkap nilai-nilai pemahaman dini terhadap ancaman bencana. Di samping itu, sejak bencana gempa dan tsunami di Mentawai pada 25 Oktober 2010, para korban sebenarnya juga sudah menceritakan banyak fakta yang mengejutkan terkait proses penyelamatan diri dari malapetaka itu. Para korban selalu bertutur kepada beragam lembaga yang ketika itu memberikan bermacam bantuan, yang sarat dengan nilai-nilai ketangguhan. Dalam waktu relatif

pendahuluan

1.2. Lokasi Penelitian

3


singkat, kisah tersebut seperti menjadi dongeng, seiring dengan pergi atau habisnya masa tugas program berbagai lembaga yang pernah ada di Mentawai.

pendahuluan

Semua daerah pada prinsipnya hampir memiliki cerita sejarah secara turun-temurun terkait bencana alam. Begitu juga di Mentawai, cerita leluhur nenek moyangnya sebagian besar masih kental diingat, bahkan dilakukan. Namun tidak sedikit cerita leluhur dianggap sebatas mitos oleh generasi modern saat ini. Padahal, kisah-kisah leluhur memberikan makna berharga dalam membaca tanda-tanda alam. Terutama sebagai model mitigasi atau peringatan dini untuk membentuk masyarakat tangguh berdasarkan praktik dan perspektif masyarakat.

4

Penelitian ini akan mendokumentasikan kisah leluhur itu sebagai kearifan lokal dalam membaca tanda-tanda alam saat ancaman bencana yang diprediksi akan datang, melalui pendokumentasian dan penggalian data secara mendalam dengan cara partisipatif. Dengan harapan, melalui penelitian ini diperoleh dokumentasi model ketangguhan masyarakat, proses pengembangannya, dan berbagai inisiatif masyarakat lokal. 1.4. Metode Penelitian Metode penelitian dan pendokumentasian praktik tangguh yang dilakukan masyarakat ini dilakukan dengan cara observasi ke lapangan. Proses pendokumentasian praktik ketangguhan diawali dengan lima pertanyaan sebagai alat ukur untuk menggali dan pengumpulan fakta perilaku tangguh sebagai pengetahuan dengan melibatkan masyarakat. Di antaranya, sejauh mana tingkat ketangguhan masyarakat bisa mengurangi dampak bencana? Apa dampak bencana yang dihadapi masyarakat? Bagaimana praktik ketangguhan (adaptasi dan transformasi) yang sudah dilakukan masyarakat untuk mengurangi dampak bencana? Apa faktor pendukung dan penghambat dalam proses membangun ketangguhan (adaptasi dan transformasi) yang dilakukan masyarakat? Bagaimana caranya masyarakat bisa melakukan praktik ketangguhan (adaptasi dan transformasi) lebih baik untuk mengurangi dampak bencana? Dari lima pertanyaan tersebut, akan muncul indikator dampak bencana dari berbagai sektor serta praktikpraktik ketangguhan menurut masyarakat, baik melalui pemahaman maupun perilakunya pada sebelum, saat,


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

pendahuluan

dan sesudah bencana. Selanjutnya, indikator itu dkonfirmasi dan diverifikasi kepada masyarakat yang menjadi sumber pendokumentasian. Hasilnya akan divalidasi untuk menjadi data temuan terhadap praktik ketangguhan masyarakat.

5


Hidup di Atas Patahan Sesar

Potret Tangguh Masyarakat Mentawai


7

BAB I

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai


BAB II

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

8

2.1. Letak Geografis Kepulauan Mentawai merupakan kabupaten di Provinsi Sumatera Barat dengan posisi geografis yang terletak di antara 0055’00’’-3021’00’’Lintang Selatan dan 98035’00’’-100032’00’’ Bujur Timur dengan luas wilayah tercatat 6.011,35 km2 dan garis pantai sepanjang 1.402,66 km. Secara geografis, daratan Kabupaten Kepulauan Mentawai ini terpisahkan oleh laut dari Provinsi Sumatera Barat, yaitu dengan batas sebelah utara adalah Selat Siberut, sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia, sebelah timur berbatasan dengan Selat Mentawai, serta sebelah barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas gugusan pulau-pulau yakni Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, Pagai Selatan, dan 95 pulau kecil lainnya sesuai dengan UndangUndang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada 2011, secara geografis dan administratif, Kabupaten Kepulauan Mentawai terdiri atas 10 kecamatan, 43 desa dan 266 dusun. Kecamatan dimaksud adalah: 1. Kecamatan Pagai Selatan luas wilayah 901,08 km2 (14,99%). 2. Kecamatan Sikakap luas wilayah 278,45 km2 (4,63%). 3. Kecamatan Pagai Utara luas wilayah 342,02 km2 (5,69%). 4. Kecamatan Sipora Selatan luas wilayah 268,47 km2 (4,47%). 5. Kecamatan Sipora Utara luas wilayah 383,08 km2 (6,37%). 6. Kecamatan Siberut Selatan luas wilayah 508,33 km2 (8,46%). 7. Kecamatan Siberut Barat Daya luas wilayah 649,08 km2 (10,80%). 8. Kecamatan Siberut Tengah dengan wilayah 739,87 km2 (12,31%). 9. Kecamatan Siberut Utara luas wilayah 816,11 km2 (13,58%). 10. Kecamatan Siberut Barat luas wilayah 1.124,86 km2 (18,71%).3 Kondisi geografis dan alam Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besar kawasan hutan. Total kawasan hutan (terdiri dari hutan lebat, hutan sejenis, semak belukar) memiliki persentase terbesar, yaitu 85,19% dari luas wilayah Kabupaten Kepulauan Mentawai 3 Mentawai Dalam Angka Tahun 2011.


atau sekitar 512.044 hektare dan sebagian besar merupakan lahan tidur. Sementara 456.956 hektare berupa hutan lebat (76,02%), 12.348 hektare hutan sejenis (2,05%), dan 42.740 hektare semak belukar (7,11%). Komposisi luas lahan yang dimanfaatkan untuk budi daya sektor pertanian sebesar 85.809 hektare (14,27%) dari total luas wilayah, yang meliputi 619 hektare luas lahan sawah (0,07%), 40 hektare tegalan (0,01%), 68.246 hektare kebun campuran (11,38%), dan 16.944 hektare perkebunan (2,81%). Luas lahan untuk permukiman atau rumah sebesar 3.042 hektare (0,51%) dari total luas wilayah. Keadaan lahan untuk permukiman tersebar di masingmasing kecamatan. Untuk mencapai daerah permukiman di suatu dusun atau desa pada kecamatan yang sama memerlukan waktu yang lama. Hampir sebagian besar transportasi utama masyarakat menggunakan jalur laut. 2.2. Demografi Keadaan geografis bervariasi antara dataran, sungai, dan perbukitan. Rata-rata ketinggian seluruh daerah ibu kota kecamatan mencapai dua meter dari permukaan laut (DPL). Ibu kota Kabupaten Kepulauan Mentawai adalah Tuapeijat, yang terletak di Kecamatan Sipora Utara dengan jarak tempuh ke Kota Padang sejauh 153 km. Untuk mencapai ibu kota Provinsi Sumatera Barat itu harus ditempuh melalui jalan laut. Begitu pula halnya transportasi dari masing-masing ibu kota kecamatan ke Kota Padang ataupun ke ibu kota kabupaten. Berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk Kabupaten Kepulauan Mentawai pada 2011 sebanyak 77.078 jiwa, terdiri dari penduduk laki-laki 40.632 jiwa dan perempuan 36.446 jiwa. Angka ini mengalami peningkatan sekitar 1,18% ketimbang jumlah penduduk pada tahun 2010 yang tercatat sebanyak 76.173 jiwa.4 4

Mentawai Dalam Angka 2011.

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

9


Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

2.3. Sosial Budaya

10

Salah satu seni budaya masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai yang sudah diakui dunia adalah tato atau yang akrab disebut dalam bahasa Mentawai ti’ti. Tato dalam pandangan Masyarakat Adat Mentawai (MAM) merupakan salah satu seni budaya tradisional terkait dengan keper­ca­yaan dan keyakinan (Arat Sabulungan). Meski masyarakat Mentawai sudah menganut agama yang dianggap resmi oleh pemerintah, mereka masih menjalankan ritual tradisional. Fungsi tato MAM menunjukkan tanda kedewasaan, dalam tataran sosial tercermin melalui ragam rupa motifnya. Masing-masing motif tato sebagai wahana komunikasi yang membersitkan bermacam aturan, hukum, perilaku, serta dikenali melalui sistem penandaan semiotika, yang tergambar lewat motif tato.5 Masing-masing jenis tato dapat dipahami dengan berbagai pers­pek­tif. Di antaranya tato MAM yang berhu­bungan dengan perburuan, keperca­yaan, kesehatan, pengenal profesi, dan hiasan. Melalui tato yang terukir di tubuh MAM, orang akan mengetahui profesi dan eksistensi MAM sendiri. Namun dalam perkembangan zaman 10 tahun terakhir, generasi Mentawai mulai enggan ditato, sehingga saat ini tato Mentawai mulai jarang ditemui pada generasi sekarang. Masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagian besar tinggal di pesisir pantai, dengan aktivitas bertani, berburu, dan mencari ikan. Dalam tataran kehidupan, masyarakat Mentawai awalnya hidup dalam satu keluarga dan tinggal pada rumah besar (uma) yang dipimpin oleh seorang kepala suku. Falsafah hidup warga Mentawai adalah hidup berdampingan dan saling tolongmenolong satu sama lain. Inilah yang membuat masyarakat Mentawai hidup rukun dan damai. Semua permasalahan diselesaikan dengan cara musyawarah secara kekeluargaan. Jika tidak tuntas, masyarakat Mentawai biasanya menggunakan hukum adat sebagai akhir penyelesaian masalah yang disebut tulo (denda). Sistem sosial atas kehidupan keluarga menganut sistem garis keturunan dari laki-laki (ayah). 2.4. Sejarah dan Potensi Ancaman Bencana Berdasarkan data gempa 1900-2014, seperti halnya beberapa kawasan di sepanjang jalur subduksi, zona megathrust Mentawai termasuk zona seismic gap (daerah jarang gempa atau yang sudah lama tidak mengalami gempa besar). Kendati demikian, menurut penelitian para ahli, seismic gap pada zona megathrust Mentawai masih menyimpan potensi gempa dengan magnitudo 8,9 skala richter (SR). Kawasan ini pernah mengalami gempa besar pada tahun 1797 di wilayah Siberut dengan magnitudo 8,7-8,9 SR dan pada 5 Mentawai Dalam Angka 2011.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Sejarah kejadian bencana yang pernah terjadi di Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan peristiwa yang berpotensi berulang. Untuk peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi pada 25 Oktober 2010 di Mentawai data BNPB mengungkapkan ada 447 korban jiwa, 498 penduduk luka-luka, 56 orang hilang, dan 15.353 penduduk mengungsi.7 Tabel 1. Sejarah Kejadian Bencana di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2000–2012 Rumah Jumlah Me­ LukaHilang Meng­ungsi Rusak Kejadian ninggal Luka Berat

Kejadian

Rumah Rusak Ringan

Gelombang 1 Ekstrim & Abrasi

-

-

-

-

14

-

Gempa Bumi

3

14

58

-

500

5.013

18.991

Tsunami

1

447

498

56

15.353

-

-

Cuaca Ekstrim

1

-

-

-

-

-

-

Tanah Longsor

3

38

-

-

-

61

-

Total

9

499

556

56

15.853

5.088

18.991

Sumber: Data & Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2000–2012

Tabel 2: Sejarah Kejadian Bencana Berdasarkan Data Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai8 KEJADIAN Gempa bumi Gempa bumi Gempa bumi Banjir Kekeringan

TAHUN 1797 1833 1935 1997 1997

KETERANGAN Terjadi di Siberut dengan kekuatan 8,4 SR Terjadi di Pagai dengan kekuatan 9,0 SR Terjadi di antara Siberut dan Nias dengan kekuatan 7,7 SR Terjadi di Sikabaluan Kecamatan Siberut Utara Musim kemarau terjadi hampir sembilan bulan Terjadi di antara Selat Sipora dan Painan dengan kekuatan 7,7 SR. Kerusakan banyak terjadi di Siberut, Sipora, Pagai Utara dan Selatan

Gempa bumi

2007

Gempa bumi diikuti dengan tsunami

2010

Terjadi di Pagai dengan kekuatan 7,2 SR

Puting beliung (cuaca ekstrem)

2011

Terjadi di Dusun Betaet Desa Simalegi, Kecamatan Siberut Barat dengan 20 unit rumah rusak berat dan satu bangunan Sekolah Dasar.

6 Data & Informasi Bencana Indonesia (DIBI) Tahun 2000–2012. 7 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018 8 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

1883 di wilayah Sipora dengan magnitudo 8,9-9,1 SR. Rentang waktu itu memperlihatkan adanya masa berulang dalam 200-300 tahun.6

11


KEJADIAN Abrasi pantai (gelombang ekstrem dan abrasi)

TAHUN

KETERANGAN

1999 Penyusutan pantai dan beberapa pulau kecil hilang. sekarang

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

Sumber: BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2013

12

Kabupaten Kepulauan Mentawai yang memiliki berbagai potensi ancaman bencana, juga dapat dianalisa berdasarkan kecenderungan kejadian bencana yang tetap dan meningkat di daerah itu. Pertimbangan dalam penentuan analisa dan kecenderungan diperoleh dari data kejadian bencana dalam kurun waktu 10 tahun terakhir di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Kecenderungan kejadian yang meningkat merupakan bencana dengan kecenderungan peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan untuk kecenderungan kejadian tetap merupakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti bencana cuaca ekstrem, tanah longsor, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan. Tabel 3. Analisis Kecenderungan Kejadian dan Potensi Ancaman Bencana di Kabupaten Kepulauan Mentawai9 No 1

Jenis/Potensi Ancaman Gelombang Ekstrim dan Abrasi

Kecenderungan Kejadian Meningkat

2

Gempabumi

Meningkat

3

Tsunami

Masih Ada Ancaman

4

Banjir

Meningkat

5

Epidemi dan Wabah Penyakit

Meningkat

6

Cuaca Ekstrim

Tetap

7

Tanah Longsor

Tetap

8

Kekeringan

Tetap

9

Kebakaran Hutan dan Lahan

Tetap

Sumber: BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai 2013

2.5. Dampak Bencana Gempa bumi yang disusul gelombang tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai berdampak pada berbagai sektor, di antaranya infrastruktur, pertanian, peternakan, kesehatan, sosial budaya, dan pendidikan, serta ratusan korban jiwa dan luka-luka. Untuk lebih rinci, datanya dapat dilihat pada tabel berikut: 9 RPB Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2018


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

No

Lokasi

Meninggal

1

Kecamatan Sipora Selatan

23

2

Kecamatan Pagai Selatan

184

3

Kecamatan Pagai Utara

292

4

Kecamatan Sikakap

5

Dirawat rujuk ke Padang

6

TOTAL

LukaHilang Luka

Pengungsi (Jiwa) 1248

3

5495

18

2129

5

10

2553 12

509

17

21

11.425

Sumber: Pusdalops PB Sumbar, 22 November 2010

Tabel 5. Rekapitulasi Kerusakan dan Kerugian Pascabencana Gempa Bumi dan Tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai No

Sektor/ Subsektor

Nilai Nilai Kerusakan Kerugian

(Rp Juta)

1 PERUMAHAN 105.414,13 10.412,50 1. Perumahan 91.664,46 102.412,50 2. Prasarana 13.759,67 Lingkungan 2 INFRASTRUKTUR 17.365,00 1.801,44 1. Transportasi 17.245,00 1.758,60 2. Air dan Sanitasi 120,00 42,84 3 EKONOMI 53.423,85 64.397,77 1. Pertanian 4.658,50 4.465,00 2. Perkebunan 18.494,00 31.015,00 3. Peternakan 248,42 1.467,87 4. Perdagangan 405,00 5. Perikanan 21.430,43 22.278,90 6. Pariwisata 7.700,00 4.475,00 7. Perindustrian 235,00 402,00 8. Koperasi dan 252,50 24,00 UKM 4 SOSIAL 16.037,63 1. Kesehatan 1.065,68 2. Pendidikan 7.511,70 3. Agama 7.460,25 5 LINTAS SEKTOR 79.613,00 188,00 1. Lingkungan 75.450,00 Hidup 2. Pemerintahan 3.258,00 64,00 3. Ketertiban dan 905,40 124,00 Keamanan

Total Kerusakan dan Kerugian

Kepemilikan Peme足 Nonrintah Pemerintah

(Rp Juta)

(Rp Juta)

115.826,63 13.749,67 102.076,96 102.076,96 102.076,96 13.749,67

13.749,67

13

19.166,44 19.003,60 162,84 19.003,60 19.003,60 162,84 162,84 117.821,61 - 117.821,61 9.123,50 9.123,50 49.509,00 49.509,00 1.716,29 1.716,29 405,00 405,00 43.709,33 43.709,33 12.445,00 12.445,00 637,00 637,00 276,50

276,50

16.037,63 16.037,63 1.065,68 1.065.68 7.511,70 7.511,70 7.460,25 7.460,25 79.441,40 79.441,40

-

75.450,00

75,450,00

-

2.962,00

2.962,00

-

1.029,40

1.029,40

-

Sumber: Pusdalops PB Sumbar, 29 November 2010

Profil Singkat Kabupaten Kepulauan Mentawai

Tabel 4. Data Korban Jiwa, Luka-luka, Hilang dan Pengungsi Akibat Gempa dan Tsunami Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2010


Hidup di Atas Patahan Sesar

Potret Tangguh Masyarakat Mentawai


15

BAB III

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh


BAB III

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

16

3.1. Kearifan Lokal Berbasis Mitigasi Bencana Provinsi Sumatera Barat memiliki luas daratan 42.297,30 km2, jumlah penduduk 5.886.977 jiwa, luas perairan laut lebih kurang 186.500 km2, dengan panjang garis pantai 2.420.357 km, serta memiliki 375 buah pulau besar dan kecil. Di wilayah ini terdapat empat gunung api aktif, yaitu Gunung Marapi, Talamau, Talang, serta Kerinci. Sumber daya air yang melimpah dengan jumlah sungai sebanyak 254 aliran, bermuara di Pantai Timur dan Barat Pulau Sumatera serta dibagi dalam sembilan satuan wilayah sungai (SWS), yaitu empat SWS utuh dalam provinsi dan lima SWS lintas provinsi, empat danau besar (Singkarak, Maninjau, di atehdi bawah).10 Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 19 kabupaten dan kota, yang sebagian besar menyebar di sepanjang garis Pantai Barat Sumatera. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang sangat rentan dengan berbagai ancaman bencana. 10 Artikel Wawan Budianto, Majalah Sasaraina Edisi 02 Februari 2015.


PINGGIRAN. Beberapa dusun yang ada di Mentawai sebagian masih ada yang terletak di hulu sungai dan jauh dari bibir pantai. (Foto: Iswanto) Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, sejumlah bencana alam telah merusakkan infrastruktur, pertanian, dan ribuan korban jiwa. Di antara bencana yang sudah terjadi, seperti kemarau panjang, banjir bandang, longsor, angin puting beliung, gunung meletus, gempa bumi, dan tsunami. Bencana-bencana itu kerap berulang ketika iklim berubah, seperti hujan yang akan berdampak pada banjir bandang serta longsor di beberapa daerah kabupaten dan kota. Salah satu daerah yang paling rentan dengan ancaman bencana adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai, yang menjadi daerah otonom setelah memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman pada 2000. Kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan daerah yang paling rentan dengan ancaman gempa bumi dan tsunami. Hal ini setelah terjadinya gempa bumi pada tahun 2010 yang disusul dengan gelombang tsunami. Pola hidup dan peradaban masyarakat Kabupaten Kepulauan Mentawai pada dasarnya sudah memiliki kearifan lokal dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Hal ini terbukti dengan sistem kontruksi rumah panggung berbahan kayu dan beratapkan daun rumbiah. Selain itu, kehidupan masyarakat Mentawai pada dasarnya berada di hulu sungai pedalaman hutan dan jauh dari bibir pantai. Pola konstruksi rumah panggung berbahan kayu dan atap rumbiah itu sudah dilakukan oleh nenek moyang orang Mentawai. Rumah besar (uma) yang dihuni sedikitnya 10 kepala keluarga ini menjadi wadah untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial dan budaya. Uma bagi masyarakat Mentawai merupakan rumah suku, dan juga sebagai sarana dalam menentukan persoalan terkait kehidupan. Konstruksi rumah panggung

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

17


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 18

yang dibuat masyarakat Mentawai tersebut diyakini sebagai bentuk antisipasi terhadap dinginnya malam di tengah hutan, ancaman banjir, dan guncangan gempa. Sebab masyarakat Mentawai yang tinggal di sepanjang aliran sungai tersebut tidak menutup kemungkinan terimbas kenaikan air sungai ketika hujan lebat. Selain itu, guncangan gempa yang selalu dirasakan Arsitektur Uma. (Foto: Istimewa) masyarakat Mentawai juga menjadi dasar desain konstruksi rumah panggung. Sampai saat ini, pola rumah panggung pun masih banyak ditemui di Kabupaten Kepulauan Mentawai, khususnya yang masih tinggal di aliran sungai dan kawasan pesisir pantai. Kepercayaan masyarakat Mentawai dalam memahami bencana alam, seperti gempa, diartikan sebagai suatu berkah. Guncangan gempa bumi kerap dijadikan sebagai pertanda musim buah atau tumbuhnya krumucu (jamur). Ketika merasakan guncangan gempa, masyarakat Mentawai tidak pernah panik, melainkan hanya berdiam di dalam atau luar rumah, kemudian berdoa karena sudah diberi nikmat berupa buah-buahan. Secara turun-temurun masyarakat Mentawai yakin, bahwa guncangan gempa itu disebabkan oleh seorang teteu (nenek), yang berada di dalam tanah, terbangun dan menarik-narik akar pohon. Akibatnya, terjadi guncangan gempa dan jatuhnya buahbuahan.11 Namun, cerita teteu ini dibedakan sesuai dengan waktu kejadiannya. Ketika gempa terjadi, pagi musim buah-buahan, siang munculnya krumucu, dan malam munculnya penyakit.12 Cerita teteu sejauh ini belum dijadikan pemahaman atau pertanda adanya ancaman bencana tsunami yang diakibatkan dari guncangan gempa oleh warga Dusun Katiet dan Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. Namun dalam praktiknya, cerita teteu tersebut mampu membuat mental masyarakat Mentawai yang tinggal di bagian pesisir pantai tidak pernah panik atau khawatir setiap menghadapi guncangan gempa. 11 Wawancara bersama Sarnida, masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. 12 Wawancara bersama Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Ketika Kabupaten Kepulauan Mentawai menjadi daerah otonom, pembangunan dari pemerintah dan perusahaan pun gencar dilakukan. Hal ini menjadikan adanya pola hidup yang terbalik. Masyarakat Mentawai yang awalnya tinggal di hulu sungai akhirnya turun ke kawasan bibir pantai, menjadi pekerja dari berbagai proyek pembangunan, seperti jalan, jembatan, serta dari perusahaan kayu (HPH) yang mulai masuk Mentawai sekitar tahun 1980-an.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

3.2. Dampak Pembangunan Terhadap Mitigasi Bencana

19

PUSAT KOTA. Permukiman Ibu Kota Kecamatan Sikakap padat penduduk dengan fasilitas pasar, kantor pemerintahan, sekolah, rumah ibadah, dermaga, Puskesmas dan mata pencaharian dari keramba apung. (Foto: Iswanto) Di samping itu, pemerintah pun melakukan pembangunan fasilitas umum, seperti kantor pemerintahan, sekolah, puskesmas, serta pusat perdagangan (pasar). Secara psikologis, lapangan pekerjaan dan pembangunan infrastruktur itu merupakan salah satu intervensi bagi masyarakat Mentawai untuk lebih memilih tinggal di kawasan pesisir pantai yang rentan dengan ancaman gempa bumi dan tsunami. Sekitar tahun 1980-an, masyarakat Mentawai yang tinggal di hulu sungai banyak menderita penyakit kolera. Salah satu penyebab penyakit kolera itu adalah pola hidup yang kurang bersih. Pertengahan tahun 1970-an, adat-istiadat warga Mentawai dalam menguburkan jenazah diawali dengan pencucian mayat di sungai. Selanjutnya, mayat disimpan sampai membusuk dan dicuci pada aliran sungai yang kerap menjadi sumber kehidupan (mandi dan minum). Kebiasaan inilah yang menyebabkan air sungai tercemar dari cucian daging manusia yang sudah membusuk.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 20

Bencana berupa wabah penyakit pun menjadi perhatian serius dari Pemerintah Kabupaten Padangpariaman saat itu. Akhirnya, pembangunan pelayanan kesehatan dilakukan di kawasan pesisir pantai dengan membangunan sarana pelayanan kesehatan, seperti puskesmas. Hal ini dilakukan pemerintah, karena secara fisik, tim medis kesulitan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat yang tinggal jauh di pedalaman hutan dan hulu sungai. Gencarnya pembangunan infrastruktur juga menyebabkan banyak penduduk baru dari luar Mentawai datang ke Bumi Sikerei, untuk berdagang. Warga pendatang tersebut tinggal di kawasan pesisir pantai. Hal ini didukung dengan sarana pembangunan pasar di kawasan pesisir pantai. Karena keterbatasan akses jalan darat, akhirnya warga yang tinggal di hulu sungai secara bertahap pindah ke kawasan pesisir pantai. Apalagi di sana terdapat beberapa peluang pekerjaan serta dukungan pusat pelayanan pemerintahan. Memasuki 10 tahun otonomi daerah, telah terjadi perubahan dalam konteks sosial, budaya, dan agama. Begitu juga dengan mata pencaharian warga, dari yang tadinya bertani kini sebagian memilih menjadi nelayan. Secara sosial budaya, konstruksi rumah warga Mentawai sebagian besar menjadi tembok permanen dan dibangun di kawasan pesisir pantai. Perubahan ini didorong oleh perekonomian warga yang sudah mulai meningkat sejak banyaknya lapangan pekerjaan, baik dari proyek pembangunan infrastruktur pemerintah, maupun dari perusahaan kayu.

MEMBANGUN JEMBATAN. Warga Mentawai gotong royong dalam membangun jembatan dari material kayu. (Foto: Istimewa)


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Hukum adat (tulou-denda) yang menjadi benteng dalam menjaga nilai-nilai kekeluargaan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan. Kini, semua tindakan amoral selalu diselesaikan secara hukum administratif atau pidana, yang kadang juga tidak menimbulkan efek jera. Sebelum arus perubahan terjadi di Mentawai, hukum adat selalu menjadi benteng untuk menjaga nilai-nilai luhur dan perilaku dalam bermasyarakat. Melalui hukum adat, masyarakat Mentawai menjadi terdidik karena merasa dipermalukan dan dirugikan, baik secara materil maupun moril. Sehingga menimbulkan efek jera. 3.3. Modal Sosial Menghadapi Bencana Aktivitas berladang menanam sagu, pisang, dan keladi, bagi masyarakat Mentawai sudah menjadi budaya secara turun-temurun. Tanpa disadari, hasil ladang seperti pisang, keladi, dan sagu, mampu menjadikan ketahanan pangan ketika mahalnya segala kebutuhan hidup, khususnya sembilan bahan kebutuhan pokok atau sembako. Di samping itu, sagu, keladi, dan pisang juga mampu

PANEN. Hasil panen talas (keladi) untuk dijadikan makanan. (Foto: Sumarwoko)

LADANG. Salah satu ladang tanaman taoto. (Foto: Sumarwoko)

SAGU. Warga Mentawai mengolah sagu. (Foto: Istimewa)

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Pola hidup masyarakat Mentawai menjadi lebih konsumtif dan terkesan meninggalkan nilai-nilai kearifan lokal dalam mengurangi risiko bencana. Banyak warga yang sibuk menjadi buruh pada perusahaan kayu. Bahkan, tindakan menyerahkan isi tanah kepada perusahaan untuk dijual kayunya pun kerap terjadi. Kebiasaan mendapatkan uang banyak dengan cara cepat inilah yang menjadi perubahan sikap bagi warga Mentawai.

21


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

menjadikan masyarakat Mentawai tangguh ketika menghadapi masa darurat, seperti menghadapi bencana alam. Kaum ibu rumah tangga di Mentawai biasanya mengolah sagu, pisang, dan keladi menjadi beragam jenis makanan, seperti jurut yang berbahan keladi dan pisang atau kapurut dengan bahan baku sagu.

22

Dalam proses membuat jurut, keladi direbus dan ditumbuk dengan campuran pisang yang sudah matang. Ditambah dengan bahan kelapa muda serta airnya, seluruh adonan masuk ke bambu dan dimasak atau dipanggang. Hasil dari makanan itulah yang disebut warga Mentawai sebagai jurut. Bukan hanya dalam kondisi darurat, sehari-hari masyarakat Mentawai juga terbiasa mengonsumsi jenis makanan ini. Biasanya, dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti acara pernikahan, punen (pesta kampung), dan gotong-royong, jurut dan kapurut selalu menjadi hidangan utama. Misalnya, saat bergotong-royong membersihkan lingkungan perkampungan, jurut selalu tersaji di atas daun pisang untuk peserta gotong-royong yang tengah beristirahat. Aktivitas mugalai simakere (gotong–royong) membersihkan lingkungan itu sudah menjadi program dusun setiap bulan. Sebab masyarakat Mentawai menyadari, lingkungan bersih akan membuat tubuh terjaga dari segala wabah penyakit. Bahkan setiap kegiatan kemasyarakatan dan ibadah, tokoh agama dan masyarakat selalu mengingatkan untuk menjaga lingkungan agar tetap bersih. Di antaranya, melalui imbauan agar tidak membuang air besar sembarangan, baik di pekarangan rumah maupun di sejumlah aliran air yang menjadi sumber air bersih.13 Untuk menjaga lingkungan tetap bersih, khususnya tertib dalam membuang air besar, warga membuat WC umum yang sudah disediakan di beberapa titik. Bagi warga yang ekonominya dianggap sudah mampu, dianjurkan untuk membuat WC pribadi di rumah. Anjuran untuk berdisiplin agar tidak membuang air besar sembarangan berawal ketika sering terjadinya warga yang membuang hajat di sepanjang pantai. Hal ini berdampak pada buruknya kebersihan lingkungan serta nilai-nilai pariwisata di Mentawai. Sementara Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Dinas Pariwisata sudah menetapkan beberapa dusun sebagai kawasan pariwisata untuk lokasi berselancar atau surfing. Jika perilaku buang air besar sembarangan masih terjadi di sepanjang pantai, dikhawatirkan para wisatawan asing enggan datang kembali.14 Warga juga tidak diperkenankan membuang air besar di aliran sungai yang menjadi 13 Wawancara bersama Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan Bosua dan Markelis, Kepala Dusun Tattanen. 14 Wawancara bersama Risel Samaloisa, Ketua Tim PB Dusun Katiet.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Meski dalam kesehariannya sebagian besar masyarakat Mentawai sibuk berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kebudayaan Rob Parob (tolong-menolong) masih terus terjaga. Budaya Rob Parob merupakan satu hal terpenting dalam kehidupan bermasyarakat. Bahkan Rob Parob mampu mengikat atau menyatukan rasa persaudaraan bagi semua warga, meskipun pada prinsipnya tidak ada hubungan kekeluargaan atau garis keturunan. Di samping itu, budaya Rob Parob juga mampu mengurangi beban satu sama lain, karena saling memberikan bantuan dalam berbagai bentuk atau masalah yang dihadapi masing-masing warga. Misalnya, jika di sebuah dusun ada yang sakit atau melahirkan, secara bersama warga satu dusun tersebut atau dusun tetangga memberikan bantuan sejumlah uang untuk biaya perobatan dan transportasi menuju puskesmas atau rumah sakit. Begitu juga dengan adanya kegiatan pernikahan, punen (pesta adat kampung), serta orang meninggal, warga tanpa diminta pun turut memberikan bantuan dalam berbagai bentuk.16 Warga yakin budaya Rob Parob tidak akan pernah luntur sampai ke anak cucu. Sebab budaya Rob Parob selalu diajarkan kepada semua anak-anak sejak dini, baik melalui lembaga pendidikan formal, maupun dalam kegiatan beribadah. Warga sendiri yakin, budaya Rob Parob tidak akan luntur meskipun zaman sudah modern. Sebab bagi generasi Mentawai yang pernah tinggal di kota besar untuk bersekolah, ketika pulang kampung juga tidak pernah membawa sikap egois perkotaan. Mereka tetap kembali pada nilai-nilai luhur Mentawai dengan menjunjung budaya Rob Parob.17 Sejauh ini, yang mengikis budaya Rob Parob bukan faktor kemajuan zaman, melainkan sering terkikis dengan adanya selisih paham antarkeluarga atau rumah tangga. Biasanya, faktor ini diakibatkan karena adanya pembagian warisan tanah yang dianggap merugikan salah satu pihak. Akibatnya, tak jarang dalam satu suku terjadi keributan dan berujung tidak mengakui persaudaraan, meskipun masih dalam satu suku. Faktor warisan tanah sejauh ini selalu mendominasi pudarnya nilai-nilai budaya Rob Parob yang sudah tertanam sejak masa kecil.18 Untuk menjaga nilai-nilai modal sosial tersebut, pada prinsipnya ada pengaruh dari kepemimpinan yang menjadi panutan masyarakat. Di Mentawai, untuk kepemimpinan tingkat dusun masih menjadi wadah dalam merencanakan arah pembangunan serta 15 Wawancara bersama Regina, masyarakat Dusun Gobik. 16 Wawancara bersama Kepala Desa Bosua. 17 Wawancara bersama Intan Permata, Sekretaris Desa Bosua. 18 Wawancara bersama Ketua Tim PB Dusun Katiet, Risel Samaloisa.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

sumber air bersih. Bahkan ada ketetapan sanksi moral jika membuang air besar sembarangan di sepanjang aliran sungai yang menjadi tempat konsumsi air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.15

23


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

menyelesaikan berbagai masalah sosial kemasyarakatan. Hal ini karena tiga unsur kepemimpinan tingkat dusun, seperti kepala dusun, pengurus gereja (paneinei), serta tokoh masyarakat, selalu berperan aktif dalam menyikapi berbagai masalah.

24

Tiga unsur kepemimpinan tingkat dusun tersebut mengambil sikap selalu membawa aspirasi masyarakat yang diputuskan secara bersama di rumah ibadah gereja sebagai tempat untuk berkumpul dan bersuara. Namun tidak serta-merta aspirasi dan keputusan bersama di tingkat dusun tersebut dapat diterima di tingkat desa, bahkan kecamatan. 3.4. Dampak Bencana Gempa dan Tsunami Bencana gempa bumi dan tsunami tahun 2010 menghancurkan sebagian tiga pulau yang ada di Mentawai, yaitu Kecamatan Sipora Selatan, Sikakap, serta Pagai Selatan dan Utara. Fasilitas umum seperti sekolah, rumah ibadah, jembatan, jalan, pertanian, dan peternakan hancur tergulung tsunami. Rasa trauma pada setiap korban yang selamat juga menjadi beban hidup mereka.

BANTUAN. Setelah beberapa hari, para korban menerima bantuan logistik dari berbagai pihak. (Foto: Iswanto)

Akibat bencana tsunami itu, pemerintah telah merelokasi seluruh masyarakat Mentawai yang terdampak untuk pindah ke tempat yang lebih aman dari jangkauan tsunami. Masyarakat sendiri pada prinsipnya menyetujui rencana itu, namun dalam pelaksanaannya, terjadi ketegangan dalam relokasi gara-gara masalah koordinasi dan komunikasi antara pemerintah dan masyarakat yang kurang maksimal. Rasa HUNTARA. Para korban tsunami tinggal di percaya masyarakat terhadap pemerintah huntara selama empat tahun. (Foto: Iswanto) mulai menyusut terkait proses relokasi hunian sementara hingga pembangunan hunian tetap. Ketegangan ini bukan hanya terjadi antara masyarakat dan pemerintah, tetapi juga antara sesama masyarakat. Namun ketegangan itu selalu diselesaikan secara musyawarah di tingkat pemerintahan dusun dan desa. Akibat bencana tsunami, masyarakat yang terdampak juga mengalami kehidupan ekonomi

HUNIAN TETAP. Memasuki tahun ke lima, 2015, hunian tetap mulai selesai pembangunannya. (Foto: Iswanto)


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

3.5. Praktik Tangguh Sebelum Bencana 3.5.1. Sipora Selatan

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

yang lemah. Masyarakat sendiri sempat kehilangan pekerjaan dalam beberapa bulan. Hilangnya pekerjaan masyarakat pun berdampak keberlanjutan bagi anak-anak mereka di tingkat SMP dan SMA. Bahkan, hampir satu tahun, sebagian siswa SMP dan SMA putus sekolah akibat orang tuanya tidak memiliki pekerjaan dan lumpuhnya perekonomian.

25

Letak permukiman Dusun Katiet dan Gobik sekitar 50 meter dari bibir pantai. Sejauh ini, warga hanya memahami adanya ancaman badai yang disertai dengan angin kencang, tapi tidak membuat mereka cemas. Sebab mereka sudah terbiasa mengalami cuaca ekstrem seperti badai dan angin kencang pada bulan tertentu (musim badai).19 Namun berbeda dengan seorang tokoh masyarakat Dusun Gobik, Alpaus Samongilailai. Berdasarkan pengamatannya, Dusun Gobik sudah mulai terancam dengan abrasi pantai. Ia memperkirakan dalam kurun waktu 10 tahun, sudah 50 meter terjadi abrasi pantai yang bakal mengancam 27 Kepala Keluarga (KK) warga Dusun Gobik, Desa Bosua. Melalui keputusan bersama, mereka bersepakat untuk pindah kampung, mencari lokasi baru yang dianggap lebih aman. 19 Wawancara bersama Risel Samaloisa, Ketua Tim Penanggulangan Bencana (PB) juga Ketua Pokmas Hunian Tetap, , Dusun Katiet, Desa Bosua.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Rupanya masih ada sebagian warga yang menolak. Begitu juga dengan Pemerintah Desa Bosua, walaupun Pemerintah Kecamatan telah mendukung mendukung. Mirisnya, akibat rencana relokasi mandiri itu, Kepala Dusun Gobik terancam dipecat dari jabatan karena ikut mendukung program relokasi mandiri dari ancaman abrasi pantai. Sampai akhirnya, sebagian warga Dusun Gobik tetap memilih pindah setelah diguncang gempa pada 2007. Sebagian lagi tetap bertahan di Dusun Gobik.

26

Kronologis Warga Dusun Maonai Mmemahami Tanda-tanda Sebelum Bencana Sudah 40 tahun Dusun Gobik berdiri, namun tidak ada perkembangan, khususnya pembangunan. Saya sendiri sebenarnya warga Bosua dan pindah ke Dusun Gobik sekitar 10 tahun lalu. Pada saat itu jumlah warga Dusun Gobik masih 27 kepala keluarga. Selama tinggal di Dusun Gobik, saya melihat pantai di depan permukiman warga terkikis sampai 50 meter. Saya berpikir, kemungkinan lima tahun ke depan, teras rumah sudah berada di bibir pantai atau mungkin dusun kami bisa habis. Sementara, di belakang permukiman Dusun Gobik terdapat rawa-rawa. Saat itu saya mulai menawarkan kepada warga Dusun Gobik untuk pindah dan mencari lokasi baru yang aman

Alpaus


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Proses pemindahan ditargetkan selama lima tahun, sebab diangsur secara perlahan untuk membuat rumah baru. Sementara saya dan warga juga menunggu momen tepat dari kunjungan kerja anggota DPRD dan pihak kecamatan dengan tujuan mengajukan pindah lokasi dusun. Ketika itu, Camat Sipora Selatan merespons positif dan memberikan dukungan agar pindah ke lokasi dusun yang baru dipercepat. Menurutnya, proses pindah selama lima tahun itu cukup lama. Camat sendiri menyadari dan memahami kemungkinan terjadi tsunami seperti di Aceh. Selain kepada petugas kecamatan, kami juga mengajukan surat pindah yang dilengkapi tanda tangan seluruh warga kepada pengurus desa. Namun pihak desa justru diam saja, tanpa memberikan respons setuju atau menolak. Pada tahun 2007, datanglah gempa dahsyat. Dan sepanjang tahun 2007 itu, sering sekali terjadi guncangan gempa. Hingga semua warga lari menyelamatkan diri dan berpencar. Sebab memang tidak tahu dan belum ada kesepakatan penunjukan perbukitan yang menjadi tempat evakuasi, maka penduduk menyelamatkan diri ke ladang masingmasing. Lokasi itu menjadi pilihan karena setiap ladang milik warga dilengkapi pondok. Seminggu setelah gempa 2007, timbul lagi rencana untuk pindah kampung. Tempat yang kami sepekati sebagai lokasi dusun baru itu jaraknya sekitar 150 meter dari dusun yang lama. Maka kami sepakat memilih lokasi baru yang dekat dengan perbukitan. Lokasi Dusun Gobik yang baru itu cukup bagus dan memiliki sumber air bersih. Maka warga pun langsung membuat rumah di lokasi tersebut. Ketika sebagian warga sudah membuat rumah di lokasi Dusun Gobik baru, saya melaporkan kepada Kepala Desa. Namun kepala desa tidak mengizinkan. Beberapa hari kemudian, kepala desa memanggil saya dan melarang kami pindah. Warga diminta kembali ke dusun yang lama. Kepala Desa juga sempat mengancam saya, kalau tidak pindah ke lokasi dusun lama, jabatan sebagai kepala dusun akan digantikan kepada yang lainnya. Menurut Kepala Desa, saya dianggap sudah meresahkan kenyamanan warga dengan membawa isu ancaman bencana. Kepala Desa ambil sikap, tidak memberikan izin untuk pindah. Penduduk boleh pindah dengan catatan tidak diakui lagi sebagai warga Dusun Gobik.

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

dari abrasi pantai. Dalam rapat, memang semua warga sepakat untuk pindah, namun semua masih dalam persiapan. Dalam kesepakatan, ada tiga tempat lokasi yang harus dipilih dan disepakati secara bersama untuk menjadi permukiman dusun baru. Dan selama dalam persiapan itu, tidak diperbolehkan lagi ada penambahan rumah baru, karena lokasi Dusun Gobik lama akan dikosongkan.

27


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Proses membuat rumah pun tetap kami lakukan bersama warga lainnya di lokasi Dusun Gobik yang baru dengan segala caci maki. Hingga saya kembali dipanggil Kepala Desa dan jajaran Badan Pengawas Desa (BPD). Saat itu saya seperti diadili oleh dua pejabat desa tersebut. Namun saya tidak ambil pusing saat ditanya alasan memindahkan warga Dusun Gobik ke lokasi baru. Dalam sidang itu saya ceritakan, pertama, sudah 40 tahun Dusun Gobik tidak ada perkembangan. Tujuan saya memindahkan ke lokasi baru agar ke depan bisa mengembangkan Dusun Gobik. Kedua, abrasi pantai sudah mengancam. Ketiga, pemerataan pembangunan tidak ada di Dusun Gobik. Selama ini Dusun Gobik dianggap jumlah kepala keluarganya sedikit, sehingga selalu dianaktirikan dalam pembangunan. Ketika itu saya jelaskan, sedikit pun tidak ada jawaban dari pihak penyidang yang terdiri dari jajaran Kepala Desa dan BPD. Namun mereka tetap melarang untuk pindah lokasi. Awalnya, 27 KK itu secara bersama menyatakan ingin bersama pindah ke lokasi Dusun Gobik yang baru. Karena ada banyak tekanan, sebagian warga tidak mau pindah. Hanya 11 KK yang ikut pindah dengan saya dan 16 KK memilih tinggal di Dusun Gobik lama yang terancam abrasi pantai. Meski awalnya ada tiga rencana lokasi, pada akhirnya kami hanya memilih satu tempat. Sebab yang pindah hanya 11 KK, dan tidak mungkin mereka hidup berpencar di tiga lokasi berbeda. Itu semua diputuskan setelah ada kebijakan dari Kepala Dusun.

28

Kami juga siapkan jatah lahan rumah bagi warga Dusun Gobik yang tidak mau pindah. Tanah itu sendiri milik warga yang memang ikut pindah bersama kami. Dalam perjalanannya, para pemilik tanah dipengaruhi supaya kembali lagi ke Dusun Gobik lama. Tujuannya agar kami pisah dan bercerai-berai lagi di lokasi baru. Meskipun sudah ada perpecahan, saya tetap menganjurkan warga yang ikut pindah agar tetap rajin mengikuti kegiatan kemasyarakatan secara bersama. Namun tetap terjadi selisih paham sampai pada organisasi kecil untuk kemasyarakatan. Pada 2007, organisasi non-pemerintah (NGO) Surfaid datang dan programnya berjalan setahun kemudian. Kami, warga Dusun Gobik di lokasi baru, mendapatkan pelatihan terkait pengurangan risiko bencana. Saat itu, Surfaid memberikan dukungan dana untuk membuat posko pengungsian di atas bukit yang dekat dengan lokasi permukiman di Dusun Gobik baru. Bantuan juga kami pergunakan untuk membuat bak air bersih. Kemudian kami secara bersama dilatih tentang kebencanaan. Saat Surfaid memberikan latihan, warga Dusun Gobik lama, selalu mencaci maki kami. Mereka mengolok-olok dan menyatakan kami tidak perlu dilatih karena dianggap kurang beriman. Namun saya tetap menyampaikan dengan sabar dan tenang, bahwa kami pindah bukan berarti meninggalkan Tuhan, tetapi hanya ingin menyelamatkan


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Berhari-hari, saya dan warga yang pindah itu selalu diolok-olok. Pada akhirnya, ketika beribadah di gereja saya sampaikan sambil berdoa, Tuhan tahu niat saya baik, maka dukunglah aku, tapi kalau saya jahat, Tuhan silahkan hukum aku. Itulah doa saya dihadapan jemaah saat itu. Sebab ketika saya mengajak pindah selalu dituduh mengambil kesempatan dari masyarakat dan nanti akan bikin ini dan itu. Ketika sudah memperoleh pelatihan Surfaid pada 2007-2008, tiga tahun kemudian sudah ada persiapan di posko pengungsian. Kami membentuk tim PB (Penanggulangan Bencana) dan tetap mengundang warga Dusun Gobik lama karena berada di zona merah. Namun mereka tidak mau datang. Setelah itu kami bentuk regu keamanan, tandu kesehatan, tim penyelamat orang hamil, buta, tim kebakaran, dan tim pendeteksi dini. Semua itu disimulasikan dan kami laksanakan untuk belajar menghadapi bencana ketika nantinya terjadi. Menurut ilmu dari Surfaid, kalau ada gempa dan kita tidak bisa berdiri dengan baik, maka berpotensi tsunami. Maka tim pendeteksi dini akan membunyikan toa (megaphone), sebagai peringan dini. Setelah mendengar itu, tim pendeteksi dini akan keluar melihat ombak untuk memastikan air laut surut atau naik. Kemudian disambut dengan kentongan jika memang ada potensi tsunami dari pantauan tim pendeteksi dini dari pantai. Semua sudah kami pelajari, bahkan arah untuk lari ke atas bukit juga sudah dipahami semua warga Dusun Gobik di lokasi baru. Dalam pelatihan, warga Dusun Gobik lama tidak ikut, karena menganggap sudah memisahkan diri. Akhir cerita, aneh tapi nyata, seminggu kami resmi pindah ke lokasi Dusun Gobik yang baru, datanglah tsunami pada tanggal 25 Oktober 2010. Warga yang saya ajak pindah semuanya selamat dari musibah tsunami, sedangkan yang tidak mau pindah banyak yang meninggal tergulung tsunami. Warga yang tidak mau saya ajak pindah pun meminta maaf. Mereka menyesal dan yakin, seandainya ikut pindah pasti tidak akan tersapu tsunami. Begitu juga dengan Kepala Desa, menyampaikan maaf atas kebijakannya yang melarang kami untuk pindah ke lokasi dusun yang baru. Namun untuk Kepala Desa, terpaksa saya tunjuk dengan bahasa tegas. Sebab gara-gara larangan Kepala Desa, akhirnya banyak warga yang menjadi korban tsunami. Ingat, jangan pernah mengambil kebijakan yang bisa mengorbankan nyawa saudara-saudara dan keluarga kita sendiri.

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

diri dari bencana alam. Saya tegaskan kepada mereka yang mengolok-olok, bahwa Nabi Eliya dipercaya Tuhan. Tetapi secara manusiawi, dia takut melihat perang pertumpahan darah dan pembunuhan. Dia lari dari perang karena takut dibunuh, tetapi bukan lari meninggalkan Tuhan-Nya.

29


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 30

Bukan hanya di Dusun Gobik, Dusun Katiet sejak tahun 2007 juga sudah membangun posko pengungsian di area ladang warga setempat. Lokasi posko pengungsian itu kini dibangun menjadi hunian tetap (huntap). Meski sejak awal belum memahami ancaman bencana tsunami, warga Dusun Katiet selalu waspada ketika memasuki musim badai dan angin kencang. Guncangan gempa tahun 2007 sangat memberikan pelajaran berarti terhadap warga Dusun Katiet untuk meningkatkan kesadaran dalam memahami pengurangan risiko bencana. Atas bantuan dan dukungan NGO Surfaid, warga mulai sadar dan membangun jalur evakuasi serta posko pengungsian.20 Selama pendampingan NGO Surfaid, warga mendapatkan pelatihan pengurangan risiko bencana hingga terbentuknya Tim PB. Ketika Tim PB terbentuk, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawia pun memberikan bantuan berupa perlengkapan alat bangunan sebagai aset Dusun Katiet. Alat itu direncanakan untuk setiap kali melakukan kerja bakti atau gotong-royong, tanpa harus dimiliki secara pribadi. Untuk membuat jalur evakuasi dan posko pengungsian, warga Dusun Katiet menerima kucuran dana sebanyak Rp20 juta. Meski anggaran itu tidak cukup, warga mampu menyelesaikan mitigasi ancaman bencana dengan melakukan swadaya. Akhirnya, setiap kali terjadi gempa, warga langsung menuju ke tempat evakuasi yang sudah dilengkapi dengan dua posko pengungsian. Posko pengungsian itu sendiri sudah dilengkapi dengan peralatan memasak sebagai bentuk persiapan darurat ketika bencana terjadi dan tinggal di pengungsian. Setiap kali terjadi guncangan gempa, Tim PB selalu memberikan arahan kepada warga melalui megaphone sambil teriak keliling pedusunan. Suara sirine yang dikeluarkan dari megaphone Tim PB tersebut sangat membantu untuk memberikan informsi dini ketika adanya guncangan gempa untuk melakukan evakuasi secara dini. Di samping itu, suara sirine dan himbauan evakuasi melalui megaphone sebelumnya juga sudah disepakati oleh warga untuk dipatuhi dan dipahami dalam melakukan evakuasi. Kalender Musim Dusun Gobik BULAN Keterangan Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Cengkeh    Kopra             Panen 3 bulan sekali Pertengahan dan Ikan       akhir tahun Lobster             Tergantung pasang-surut Awal Juni berakhir Anggau       November Buah/     Durian MUSIM

20

Wawancara Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet, Desa Bosua.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Panas/ Kemarau Hujan Badai Penyakit

BULAN Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des 

  

 

 

 

 

Keterangan

 

  

   Demam, Batuk,Diare

Catatan: Ada beberapa musim yang bergeser. Pergeseran musim sejak tahun 1999. Sebelumnya, musim selalu tepat. (Sumber: Hasil diskusi dengan warga Dusun Gobik, Desa Bosua).

3.5.2. Pagai Selatan

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

MUSIM

31

Salah satu dusun yang paling terdampak dan menimbulkan banyak korban jiwa di Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan, adalah Dusun Maonai. Secara geografis sebelum 2010, dusun ini terletak di bibir pantai dengan jarak rata-rata sekitar 50 meter. Dalam teluk dan dilingkari sungai itulah, 40 kepala keluarga Dusun Maonai tinggal dengan tingkat kerentanan ancaman tsunami dan badai yang cukup tinggi.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 32

Kondisi Dusun Maonai yang terisolasi dan jauh dari pembangunan pemerintahan, membuat warga setempat minim akses informasi. Untuk menjual hasil komoditas pertanian dan laut, warga harus pergi ke Kecamatan Sikakap dengan jarak hampir 90 km. Mujurnya, di beberapa dusun tetangga, seperti Dusun Mapinang, ada beberapa warga yang menjadi agen (pengumpul) KOPRA. Warga mengumpulkan kelapa untuk diolah hasil komoditas pertanian dan laut. menjadi kopra sebagai komoditas ekonomi. Umumnya, warga Dusun Maonai (Foto: Surya Udin) berladang pisang, keladi, cengkeh, nilam, dan kakao, juga kelapa untuk diolah jadi kopra. Sedangkan untuk hasil laut, biasanya warga menangkap udang lobster secara tradisional untuk dijual. Namun untuk tangkapan ikan, warga hanya mengonsumsi secara pribadi, tidak ada nilai tambah ekonomi. Sebagian hasil dari panen cengkeh, nilam, kakao, dan tangkapan udang lobster itulah, ditabung oleh warga untuk menyekolahkan anak-anaknya serta tabungan biaya hidup. Tabungan bagi warga Dusun Maonai bukan berarti simpanan uang di bank, melainkan hasil pertanian yang disimpan di rumah.21 Jika suatu saat membutuhkan uang, hasil pertanian dijual. Seperti nilam dan cengkeh, kedua komoditas pertanian ini kerap menjadi tabungan ketika membutuhkan biaya untuk keperluan sesuatu yang sifatnya mendadak atau sudah direncanakan. Bahkan, seorang warga sudah mampu membuktikan, bahwa pola menabung tersebut bisa untuk perencanaan biaya persalinan istri.22 Menurut warga Dusun Maonai, tabungan itu sangat perlu untuk menjamin kebutuhan keluarga ke depannya. Apalagi warga Dusun Maonai hanya bisa menyekolahkan anak ke jenjang SMP dan SMA di Sikakap. Anak-anak tersebut harus kos atau tinggal dengan sanak saudara. Namun untuk biaya kebutuhan sehari-hari, setiap bulan warga harus mengirimkan bekal untuk anak-anaknya, baik bentuk uang maupun lauk pauk, seperti ikan asin. Mirisnya, Dusun Maonai belum memiliki pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD). Wrga yang ingin menyekolahkan anaknya di tingkat SD harus ke Dusun Mapinang dengan jarak sekitar 10 km. Mengingat akses jalan darat tidak layak untuk dilewati, mereka terpaksa memilih lewat jalur laut untuk mengantarkan anaknya ke sekolah. Biasanya, 21 Wawancara bersama Yanti Saogo, masyarakat Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. 22 Wawancara bersama Nelman Taileleu, tokoh masyarakat, Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Dalam beberapa tahun kemudian, Dusun Mapinang mendirikan sekolah yang bernama “Sekolah Hutan�, atas bantuan NGO Rebana Indonesia. Nama tersebut terinspirasi dari lokasi di belakang Dusun Maonai masih hutan, walaupun warga tinggal di kawasan pesisir pantai. Dalam proses belajar-mengajar, beberapa staf NGO Rebana menjadi guru pendidikan untuk non-permanen. Mereka juga melakukan kaderisasi calon guru yang berasal dari warga Dusun Maonai, tanpa mendapat honor. Setelah berjalan beberapa bulan, Rebana Indonesia menyerahkan sekolah tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai melalui Dinas Pendidikan. Akhirnya, sekolah tersebut resmi milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan hanya sampai kelas III SD. Untuk menempuh jenjang kelas IV sampai VI SD, anakanak Dusun Maonmai harus sekolah ke Dusun Mapinang. Ketika sekolah tersebut diserahkan oleh pihak Dinas Pendidikan, para guru sukarela yang berasal dari warga Dusun Maonai mulai mendapatkan honor dari pemerintah.23 Melihat kondisi sekolah dasar di Dusun Maonai berada di bibir pantai yang rentan dengan ancaman badai serta tsunami, Rebana Indonesia memberikan pendidikan siaga bencana. Dalam pendidikan itu, diberikan simulasi tsunami sebanyak dua kali. Siswa SD Dusun Maonai mendapatkan pemahaman cara berlindung di bawah meja ketika gempa berguncang, kemudian lari, dan berkumpul di halaman sekolah. Untuk memastikan kemungkinan tsunami, seperti disampaikan dalam simulasi, sebagian anak-anak pergi ke bibir pantai untuk melihat pasang surut air laut. Kemudian, beberapa siswa diarahkan melakukan evakuasi ke bukit yang ada di sekitar Dusun Maonai, ketika ancaman tsunami datang. Dalam simulasi, anak-anak mampu mencapai bukit sampai ke titik aman tsunami sekitar tujuh menit.24 Sebagian besar hutan di wilayah administratif Kecamatan Pagai Selatan dijadikan area hak pengusahaan hutan (HPH) oleh perusahaan kayu PT Minas sejak tahun 1970an. Selama puluhan kayu di Kecamatan Pagai Selatan dieksploitasi untuk diekspor ke luar negeri. Sebagian besar masyarakat Kecamatan Pagai Selatan juga menjadi buruh di perusahaan tersebut, termasuk warga Dusun Maonai. Namun, tanpa disadari, pembabatan hutan menjadi ancaman baru bagi masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pagai Selatan. Meski tergolong masih awam terhadap lestari lingkungan, akhirnya masyarakat Dusun Maonai mulai sadar terhadap lingkungannya yang mulai terancam kekeringan dan longsor akibat hutan yang mulai gundul. Pemahaman ini diketahui warga ketika 23 Wawancara dengan Nelson, Staf NGO Rebana Indonesia. 24 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

para siswa SD itu dititipkan kepada beberapa saudara di Dusun Mapinang dan setiap pekan dijemput pulang.

33


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

melihat debit air sejumlah aliran sungai sudah mulai berkurang. Secara kasat mata, di beberapa titik ladang mereka juga sudah ada yang longsor serta air sungai kerap meluap, meski pun tidak pernah menimbulkan banjir sampai ke permukiman warga.25

34

Warga menilai, dulunya, setiap hujan air sungai tidak pernah keruh, melainkan tetap jernih dan selalu bisa menjadi kebutuhan sehari-hari, seperti memasak, mencuci, dan mandi. Selain itu, untuk mandi juga harus menggunakan gayung, padahal awalnya anak-anak bisa mandi dengan cara berenang. Bukit pun sudah mulai menipis di kawasan pengambilan kayu. Warga mulai menyadari, ketika bukit mulai menipis karena faktor pengambilan kayu, maka perlu dilakukan pencegahan dan kerja sama antara pihak pengelola kayu dan warga Dusun Maonai. Tujuannya, agar semua hutan yang ada di Kecamatan Pagai Selatan, khususnya di wilayah Dusun Maonai tidak semuanya diambil kayunya. Sebab ancaman banjir, kekeringan, serta longsor menjadi perhatian dan kekhawatiran warga Dusun Maonai. Kolom: Kronologis Warga Dusun Maonai Memahami Tanda-tanda Sebelum Bencana Saya asli orang Mentawai dan lahir di sini. Namun memasuki usia remaja, saya sering merantau, bahkan pernah sampai ke Bengkulu mencari kerja. Karena dibuka perusahaan kayu di Kecamatan Pagai Selatan, saya pun pulang kampung dan bekerja pada perusahaan kayu itu. Tapi tak lama, karena saya mengundurkan diri. Kemudian saya pergi merantau ke Kota Padang selama beberapa Tarsen Samongilalai tahun. Di sana, saya pergi ke rumah teman, tepatnya di sekitar Bukit Gado-gado atau Gunung Siti Nurbaya. Saya melihat beberapa titik di bagian bukit ada yang longsor. Ketika saya tanyakan kepada masyarakat di sekitar, sebagian bukit longsor akibat tidak ada pohon yang tumbuh, karena kerap ditumbangkan untuk material kayu bangunan. Saat itu, warga Bukit Gado-gado di Kota Padang sendiri sudah mulai sadar kalau hidup mereka dalam ancaman longsor. Kala kembali pulang ke Dusun Maonai, saya pun teringat cerita ancaman bencana longsor dari warga Bukit Gado-gado. Pandangan saya, bukit di sekitar Dusun Maonai mulai menipis. Penilaian saya, semua itu pasti disebabkan penebangan hutan, seperti yang terjadi di Bukit Gado-gado. Karena itu saya berkoordinasi dengan kepala dusun untuk membuat sebuah peraturan dengan pihak Industri Pengelolah Kayu (IPK). Kami 25 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Tokoh Masyarakat dan juga Ketua Kelompok Masyarakat Pembangunan Hunian Tetap, Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Seingat saya, dulu warga masih bisa mandi sambil berenang di beberapa aliran sungai. Tapi sekarang harus memakai gayung. Masa lalu, setiap hujan air sungai juga tetap jernih. Sekarang justru airnya keruh dan sering meluap, meski belum pernah membuat banjir sampai ke perkampungan. Walau sudah ada batas-batas dan peraturan dalam pengambilan kayu, pihak IPK kerap melanggar dengan mengambil kayu di luar batas wilayah. Tak jarang pula mengambil kayu dari kawasan yang sudah resmi menjadi hutan lindung. Karena itu, saya bersama tokoh masyarakat dan kepada dusun menemui pihak IPK untuk merumuskan kesepatakan dalam pengambilan kayu di kawasan hutan Dusun Maonai. Dalam kesepakatan itu, pihak IPK tidak boleh lagi mengambil kayu di kawasan hutan lindung yang berjarak dekat dengan Dusun Maonai. Kedua, pihak IPK harus membuatkan jalan bagi warga Dusun Maonai. Awalnya mereka menerima perjanjian itu. Tapi beberapa tahun berlalu, mereka kembali melanggarnya. Awalnya pelanggaran terjadi karena beberapa warga yang memiliki tanah secara pribadi menjual kayu kepada pihak IPK. Padahal, dalam kesepakatan penduduk Dusun Maonai dengan IPK, tidak ada lagi jual beli di kawasan hutan lindung. Karena masing-masing warga mulai mencari keuntungan pribadi dengan cara menjual kayu yang ada di dalam lahannya, maka aksi protes pun sempat terjadi, baik antara sesama warga, maupun antara warga Dusun Maonai dengan pihak IPK. Menurut pemikiran saya, jalan satu-satunya untuk menghentikan semua itu dengan menutup usaha pihak IPK. Akhirnya, dengan beberapa kali aksi protes, pihak IPK menutup usaha di kawasan hutan lindung. Dalam beberapa tahun kemudian, warga Dusun Maonai sadar, bahwa penebangan kayu dapat memicu banjir dan longsor. Warga Dusun Maonai mulai meyakininya ketika menonton berita di televise tentang banjir dan longsor pada beberapa daerah di Indonesia. Saat itu saya menjelaskan, bahwa Dusun Maonai bisa terjadi banjir dan longsor bila masih ada akitivitas penebangan kayu secara besar-besaran.

Dalam kesehariannya, mayoritas aktivitas warga Dusun Maonai berladang merawat cengkeh, keladi, pisang, kakao, nilam, kelapa, dan menyelam ke laut untuk menangkap lobster. Setiap hari Sabtu, warga Dusun Maonai mengambil kelapa untuk dijadikan kopra dan dijual. Rata-rata panen kopra untuk setiap Sabtu sebanyak 30 kg.

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

melakukan musyawarah kepada semua warga untuk membuat kesepakatan kepada pihak IPK terkait pengambilan kayu. Sebab tampak jelas, bukit sudah mulai menipis, debit air berkurang, serta setiap hujan air meluap dan keruh.

35


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Karena itulah, setiap Sabtu warga Dusun Maonai selalu memiliki penghasilan pasti. Seluruh komoditas pertanian tersebut berjalan berdasarkan musim panen. Pisang dan keladi merupakan komoditas pertanian yang sudah melekat bagi warga Dusun Maonai secara turun-temurun. Karenanya pisang dan keladi sering menjadi makanan pokok alternatif bagi warga Dusun Maonai, ketika kondisi harga sembako tidak terjangkau. 3.5.3. Pagai Utara

36

Kejadian gempa besar di Pulau Pagai tahun 1833 memicu terjadinya pergerakan tanah yang membelah Pulau Pagai terbagi menjadi dua bagian. Dampak dari peristiwa tersebut, terciptalah selat yang menghubungi Pantai Timur dengan Pantai Barat Kepulauan Pagai. Dampak lainnya, masyarakat mengalami perubahan cara pikir untuk menentukan lokasi perkampungan baru, yang sebelumnya berada dekat dengan pantai, kemudian beralih ke pedalaman perkampungan. Peristiwa bersejarah ini diceritakan secara turun-temurun oleh almarhum orang tua Joni Siritoitet, Kepala Desa Betumonga, untuk diteruskan kepada seluruh keluarganya.26 Secara administratif, Desa Betumonga berada di wilayah Kecamatan Pagai Utara. Empat dusun berada di tepi pantai, yaitu Dusun Baru-baru, Muntei, Sabeugunggung, dan Betumonga Selatan. Sementara dua dusun lainnya berada sekitar dua hingga tiga kilometer dari bibir pantai, yaitu Dusun Betumonga Barat dan Dusun Betumonga Timur. Lokasi Dusun Sabeugunggung berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Lama 26 Wawancara dengan Joni Siritoitet, Kepala Desa Betumonga.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Dusun ini merupakan pengembangan dari dusun yang berada di pusat Desa Betumonga, berada di pinggiran pantai, di sebelah Selatan perkampungan terpisahkan oleh aliran sungai dan di bagian Timur terdapat rawa-rawa yang ditumbuhi bakau (Mangrove). Mangrove salah satu yang menjadi kendala utama pada saat masyarakat melakukan evakuasi bencana tsunami menuju perbukitan. Tidak jauh beda dengan Pulau Sipora, masyarakat Dusun Sabeugunggung mengenal gempa dengan sebutan Teteu, sedangkan tsunami disebut Ojuk Sabeu. Karena lokasi dusun terpisah dengan pusat desa akibat keterbatasan sarana komunikasi yang ada, warga pun belum mendapatkan pemahaman pengurangan risiko bencana dari beberapa lembaga kemanusiaan. Pada tahun 2008, SurfAid International dengan Program Siaga Bencana, melakukan pelatihan Satlinmas (Tim Penanggulangan Bencana Dusun) yang direncanakan di Dusun Sabeugunggung. Karena lokasi dusun yang terpisah serta keterbatasan sarana komunikasi, kegiatan tersebut pun gagal dilaksanakan, sehingga rencana pelatihan dilakukan ke dusun lain. Dalam hal ini, Kepala Dusun Sabeugunggung memiliki andil dalam memberikan kesiapan dalam pengurangan resiko bencana. Melalui kerja sama dengan pengurus gereja, selesai ibadah akan ada penyampaian informasi, sosialisasi, dan diskusi antara masyarakat dengan stakeholder dusun. Dalam diskusi tersebut, selalu mengapung rencana gotong-royong, pembersihan dan pembukaan badan jalan, pengajuan rencana pembangunan jalan evakuasi, paket pembangunan yang didanai oleh Pemerintah Kabupaten melalui Program P2D Mandiri, dan itu telah terlaksana pascagempa 2007. Jarak yang cukup jauh untuk mencapai bukit, ditambah bentangan rawa-rawa yang menghalangi menuju perbukitan menjadi kendala utama sehingga jalur evakuasi belum selesai sampai kejadian tsunami tahun 2010.27 Pengurus Gereja GKPM, atau biasa disebut Paneinei, Bajak Gereja, ikut berperan dalam menciptakan suasana nyaman di dalam lapisan masyarakat, tidak terkecuali kesiapan masyarakat di dalam pengurangan resiko bencana. Ketika ada masalah antara sesama masyarakat, bersama kepala dusun, pengurus gereja mencarikan jalan keluar dari permasalahan. Prinsip keadilan dan netralitas dalam menyelesaikan masalah menjadi hal pokok untuk mencegah munculnya konflik dari pihak-pihak yang dirugikan terkait dengan keputusan bersama. Ketika masyarakat memiliki kendala keuangan dalam kondisi sakit berat dan memiliki keyakinan harus berobat ke pusat kecamatan ataupun ke pusat kabupaten, keluarga akan mengupayakan mencari pinjaman kepada para keluarga atau kas gereja 27 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

perjalanan laut dari pusat kecamatan membutuhkan waktu lebih kurang dua jam. Sarana transportasi laut yang biasa digunakan adalah kapal, perahu dengan penggerak mesin tempel (longboat), atau perahu dengan penggerak mesin genset (pompong).

37


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

yang dikelolah pengurus. Jika yang sakit sembuh dari pengobatan tersebut, maka pinjaman yang diperoleh dari gereja akan dicicil untuk pengembaliannnya. Namun jika yang sakit tidak bisa diselamatkan, gereja tidak akan menuntut keluarga untuk mengembalikan uang yang dipinjam. Hal ini sudah menjadi aturan dan disepakati bersama antar masyarakat, kepala dusun, dan pengurus gereja..

38

Satu hari sebelum gempa dan tsunami, muncul tanda-tanda yang tidak disadari oleh masyarakat sebagai peringatan dini. Di pagi harinya muncul rusa di jembatan. Kehadiran rusa di perkampungan merupakan suatu hal yang jarang terjadi. Ketika masyarakat mendekatinya, rusa tersebut lari ke arah hutan. Di sore hari saat warga bermain bola voli, tiba-tiba muncul ular sawa (piton) dari arah hutan dan mendekati lokasi tempat bermain warga. Ular tersebut diusir oleh warga yang sedang bermain, dan kembali ke hutan. Kehadiran ular di siang hari atau kala ramai masyarakat sangat jarang terjadi. Menurut pemahaman masyarakat tentang ular, ketika masyarakat pergi ke hutan dan mendengar suara manusia, ular akan menjauhkan diri dari manusia. Ular piton akan sangat galak saat sedang bersama kumpulan anak-anaknya ataupun melindungi telurnya di dalam sarang.28 Perekonomian masyarakat Dusun Sabeugunggung hanya bergantung pada alam. Kekayaan sumber daya alam yang berada di laut perlu dijaga dan disyukuri sebagai salah satu anugerah yang bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat yang berada di daerah tersebut. Komoditi laut seperti ikan, lobster, teripang, yang memiliki nilai jual ekonomi tinggi, sangat mudah didapat melalui penyelam-penyelam tradisional pada saat musim timur (gelombang tenang). Mata rantai perdagangan yang sudah terbentuk, sistem dan keamananan transaksi antara nelayan tradisional dengan pengumpul di dusun, serta pengumpul yang berada di pusat kecamatan, tidak semata-mata berorientasi dagang. Beberapa nilai positif cerminan kebudayaan Mentawai muncul di balik hubungan tersebut. Saat terjadi penurunan harga penjualan barang secara mendadak, pengumpul barang di kecamatan sering kali memberikan keamanan harga kepada pengumpul di dusun untuk meminimalisir terjadinya kerugian. Situasi seperti ini menjadi tanggung jawab pengumpul yang berada di kecamatan untuk membuka komunikasi dan keamanan transaksi ke level yang lebih tinggi. Hal lain ketika masyarakat membutuhkan bantuan dana melalui proposal, seperti pembuatan sarana olahraga (lapangan voli, tenis meja, dll). Pengumpul yang berada di pusat kecamatan akan memberikan uluran tangan untuk ikut berkonstribusi kepada masyarakat dusun. Ketika terjadi kejadian luar biasa yang tidak mampu ditangani oleh masyarakat dusun, pengumpul hasil dagangan yang berada di kecamatan akan turun tangan memberikan keringanan kepada masyarakat dusun. Ini merupakan 28 Wawancara dengan Asael, mantan Bajak Gereja dan pengurus gereja GKPM, Jursam, tokoh masyarakat Dusun Sabeugunggung.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Perbukitan dan dataran yang ada di sekitar permukiman masyarakat dimanfaatkan dengan bertani kopi, coklat (kakao), kelapa, pisang, dan talas. Sebagian untuk dikonsumsi keluarga serta dijual kepada pengumpul di dusun dan kecamatan. Keberadaan pisang, talas, dan kelapa di dalam dusun, merupakan kapasitas dasar masyarakat dari sisi ketersedian sumber makanan yang menjadikan warga memiliki kemandirian dan mampu bertahan ketika terjadi bencana. Kesehatan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki oleh masyarakat dusun Sabeugunggung, beberapa aktivitas kesehari-harian hanya bisa dilakukan masyarakat dalam keadaan sehat. Sebagian besar masyarakat mempercayai Siagai Laggek, sebagai tujuan untuk melakukan pengobatan atas penyakit yang diderita. Tenaga medis yang tidak selalu berada di dusun, dan tingginya keyakinan masyarakat untuk berobat kepada Siagai Laggek, menjadikannya sebagai elemen penting yang mampu memberikan solusi terhadap permasalahan kesehatan. Salah satu masyarakat yang memiliki kemampuan untuk melakukan pengobatan tersebut adalah Ismail. Garis keturunan Ismail tidak memiliki latar belakang Siagai Laggek (orang yang memiliki pengetahuan/kemampuan tentang pengobatan tradisional Mentawai). Tapi berawal dari penyakit demam yang dialami Ismail dan tidak sembuh meski telah berobat pada beberapa dukun. Perasaan bosan dan jenuh mulai menghampiri. Sampai suatu hari Ismail mendapatkan bisikan/kunjungan roh orang tuanya, dan mengatakan bahwa sakit yang diderita disebabkan oleh rasa tidak suka seseorang kepadanya. Maka harus meminta dukun lain untuk memberi penyakit kepada Ismail (santet). Saat itu ia diminta untuk mencari beberapa daun-daunan yang akan diracik dan digunakan sebagai obat. Daun-daunan tersebut diolah sesuai dengan pesan yang Ismail peroleh dari bisikan mimpi itu. Alhasil Ismail sembuh setelah memakai obat yang racikannya. Masyarakat pun mendengar kabar soal Ismail dan penyakitnya. Dan mereka mulai membahasnya. Isu kesembuhan Ismail tanpa melalui pengobatan sebagaimana layaknya masyarakat lain, dengan menggunakan Siagai Laggek, menjadi cerita hangat di dalam lingkungan kampung yang hanya dihuni lebih kurang 200 jiwa. Pelan tapi pasti. Isu ini mulai didengar dusun tetangga dan di antara masyarakat mulai berdatangan untuk meminta pengobatan. Keadaan tersebut berjalan sampai saat ini. Pengetahuan Siagai Laggek Pengetahuan pengobatan tradisional Mentawai, memiliki perbedaan antara satu daerah dengan daerah lain. Di Pulau Siberut, seorang dukun lebih dikenal dengan sebutan Sikerei. 29 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

perwujudan semangat tolong-menolong (parob) yang sudah ada sejak dulu di Mentawai.29

39


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sementara untuk klasifikasi Sikerei di Pulau Pagai (Sikakap), tingkatannya berada di atas Siagai Laggek. Sikerei memiliki kemampuan mengenal jenis penyakit seseorang pada saat pertemuan sebelum melakukan diagnosa. Sementara Siagai Laggek mengetahui penyakit seseorang melalui diagnosa. Untuk mendapatkan tingkatan Siagai Laggek, ada beberapa kriteria yang harus ada dalam diri calon Siagai Laggek, di antaranya:

40

1. Memiliki kemauan, minat tentang pengobatan tradisional, indikasi ini akan terlihat ketika calon Siagai Laggek, sering melihat, memperhatikan, dan bertanya tentang penyakit dan obat-obatan yang digunakan, biasanya akan terlihat pada saat ada pasien yang berobat kepada Siagai Laggek. 2. Memiliki semangat dan kemauan membantu, tidak terbatas waktu. 3. Memiliki jiwa keikhlasan tanpa mengharapkan pamrih atas pengobatan yang dilakukan. 4. Orang pilihan, ditunjuk oleh roh leluhur. Seseorang yang berlatar belakang dari keluarga Siagai Laggek tidak ada keharusan akan menjadi Siagai Laggek. Biasanya, jika calon Siagai Laggek memiliki beberapa sifat yang di atas, akan sangat berpotensi calon tersebut akan mendapatkan penunjukkan dari leluhur untuk menjadi Siagai Laggek. Secara umum pengobatan di lingkungan masyarakat memiliki beberapa tingkatan, ruang lingkup yang terbatas memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengetahui jenis obat untuk beberapa penyakit yang biasa terjadi di masyarakat. Tabel 6. Klasifikasi Ahli Pengobatan Masyarakat Mentawai No

Juru Obat

Jenis Penyakit

Keterangan

1

Masyarakat / Dasar

Penyakit ringan seperti luka

Luka ringan.

2

Siagai Laggek

Penyakit berat

Demam yang lama, dipatok ular berbisa, terkilir, mengusir roh jahat.

3

Sikerei

Penyakit berat

Mengusir roh jahat, berkomunikasi dengan roh leluhur, mampu mendeteksi penyakit pasien sebelum dilakukan diagnosa.

Ekonomi Keluarga Siagai Laggek Sebuah misteri tentang ketahanan ekonomi Siagai Laggek sampai saat ini menjadi sebuah tanda tanya besar yang tidak bisa dipecahkan secara logika. Nilai-nilai


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Durasi waktu pengobatan sangat bervariasi tergantung berat ringannya jenis penyakit, ada kalanya satu hari, se minggu, atau menghabiskan waktu selama 10 hari. Dalam masa pengawasan tersebut Siagai Laggek tidak pernah memasang tarif atau mewajibkan pasien untuk memberikan kompensasi dalam bentuk uang maupun barang. Sebuah pantangan dalam pengobatan jika hal ini dilanggar. Bagi pasien yang memiliki kemampuan finansial, pasien secara sukarela akan membantu Siagai Laggek dengan memberikan bantuan materi maupun barang dalam bentuk kebutuhan sehari-hari. Hal ini tidak ada ukuran pasti, karena dilakukan semata-mata memaknai budaya Rob Parob yang sudah terjalin dari dahulu kala. Tata Cara Pengobatan Tradisional Sebelum mengobati, Siagai Laggek melakukan diagnosis kepada pasien. Cara yang lazim digunakan adalah dengan interaksi komunikasi antara penderita dengan Siagai Laggek. Diagnosa 1. Penyakit biasa (sakit kepala, gigi, dan demam), jenis penyakit yang biasa Seorang Sikerei membawa ramuan dialami masyarakat dan mampu diobati RAMUAN. obat-obatan. (Foto: Istimewa) dalam waktu singkat. 2. Penyakit yang disebabkan kekuatan alam lain. Biasanya memiliki jenis yang sama dengan penyakit biasa, tetapi tidak kunjung sembuh ketika menggunakan metode pengobatan jenis penyakit biasa. Contoh penyakit kepala seperti ditusuk-tusuk jarum, pasien akan menilai bahwa dia sakit kepala, tetapi seorang Siagai Laggek akan mengenali jenis PENGOBATAN. Seorang Sikerei mengobati penyakit tersebut bukan sakit kepala pasiennya secara tradisional. (Foto: Istimewa)

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

ketangguhan terkait pengobatan sangat jelas terlihat, budaya Rob Parop (tolongmenolong) merupakan warisan dari nenek moyang yang telah terjalin dari dahulu kala sampai sekarang. Tidak bergantung situasi dan kondisi, apakah di masa sebelum, saat atau setelah bencana, kontribusi Siagai Laggek dalam memainkan peranan di masyarakat sangat tinggi. Banyaknya orang yang berobat, membuktikan bahwa Siagai Laggek memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah (penyakit) masyarakat.

41


biasa, sehingga metode pengobatan yang dilakukan menggunakan metode pengobatan penyakit supranatural.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Mencari dan Meracik Obat Bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan pengobatan tradisional Mentawai, berada di sekitar perkampungan masyarakat. Sering kali masyarakat tidak menyadari rumput liar dan tumbuh-tumbuhan liar yang berada di sekitar rumah memiliki khasiat dari beberapa jenis penyakit. Selain Siagai Laggek, ada beberapa orang yang memiliki pengetahuan tentang fungsi dari beberapa tumbuhan yang ada. Ini disebabkan ada minat dan kemauan untuk mengetahui tentang pengobatan, tetapi belum memiliki kemampuan dan mengetahui tentang doa-doa (mantra) yang dipergunakan pada jenis penyakit tertentu. Untuk jenis ramuan daun, batang, dan akar yang biasa digunakan pada beberapa penyakit yang sering terjadi pada tiga musim kebencanaan. Pengawasan Pasien/Reaksi Obat Penggunaan obat yang dilakukan Siagai Laggek/Sikerei kepada pasien, memberikan tanggung jawab dan pengawasan ekstra dari Siagai Laggek kepada pasien. Sebuah pantangan bagi Siagai Laggek selesai melakukan pengobatan, kemudian melakukan aktivitas kerja di ladang ataupun ke laut. Makna yang terkandung di balik keadaan ini adalah:

42

1. Pengawasan dari Siagai Laggek terhadap reaksi obat yang diberikan kepada pasien. 2. Rasa tanggung jawab dari Siagai Laggek kepada pasien (Parob). 3. Memberi rasa tenang kepada pasien. Tabel 7. Jenis Daun Obat No Jenis

Bahasa Lokal

No Jenis

Bahasa Lokal

1

Daun Ailepet (Hijau)

12

Daun Goro-gori

2

Daun Ailepet (Merah)

13

Daun Kakaddut

34

Daun Ailepet simabo

14

Daun Karakak

5 6

Daun Baggak Daun Baiko

15 16

Daun Kelakkelak leleu Daun Kelakkelaks Sabeu


7

Daun Bakkou enung

17

Daun Kiniu sailuk

8

Daun Boblo Merah

18

Daun Lakbek

9

Daun Boblo

19

Daun Lape-lape

10

Daun Ebbep (2)

20

Daun Leppe-leppe

11

Daun Ettet

21

Daun Manggeak

22

Daun Mumunen

32

Daun Ramun

23

Daun Oroket (Batang warna Merah) 33

Daun Saerasaera

24

Daun Oroket (Batang warna putih) 34

Daun Sek-Sek Koat

25

Daun Osap

35

Daun Sibekak

26

Daun Paka lajo

36

Daun Sibukak

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

27

Daun Paka sele

37

Daun Sikukuet buat kaju

43

28

Daun Pakasele Simabulau

38

Daun Sikukuet

29

Daun Pangantoili

39

Daun Siloipai sabeu

30

Daun Pekpek bagbag

40

Daun Silokpak

31

Daun Potcala

41

Daun Soisoi

42

Daun Puppu

51

Daun Sugguru-sugguru

43

Daun Surak Gorotet

52

Bunga Baglibagli

44

Daun Surak Leilei Gogok

53

Bunga Bekeu

45

Daun Surak

54

Bunga Kakainaok

46

Daun Tikuk

55

Bunga Patuleuleugat


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 44

47

Daun Toptopmamaik

56

Bunga sikukuet

48

Daun Tuik

57

Daun Uman Sagaik

49

Daun Tumu

58

Daun Ubbau

50

Daun Turu Ketcat. Foto-foto: Adi Hamdani.

Di daerah Siberut, pemberian obat untuk penyakit berat, yang biasa dilakukan Sikerei juga membutuhkan tambahan pengobatan dengan memakai ritual, seperti taritarian adat, pemotongan babi, ayam, dan ditutup dengan makan bersama. Hal ini akan menghabiskan waktu lebih kurang dua hari dua malam. Suasana seperti ini merupakan hal yang biasa ditemukan, khususnya di pedalaman Pulau Siberut. Atribut budaya yang dipakai oleh Sikerei seperti kalung, gelang, lonceng kecil, serta tato yang menghiasi tubuh mencerminkan keaslian budaya Mentawai. Seluruh proses pengobatan semata-mata memaknai semangat Parob yang sudah tertanam sejak dulu di Mentawai. Tidak ada pembayaran secara tunai yang dilakukan seperti di daerah lain, serta sangat langka ditemukan seorang Sikerei dan Siagai Laggek memiliki kekayaan lebih hasil dari pengobatan yang dilakukan. Dukun Beranak Dukun beranak merupakan tenaga profesional masyarakat yang memiliki kemampuan serta pengetahuan tentang cara melakukan persalinan. Latar belakang kemampuan itu sangat beragam. Ada yang berawal dari keberanian karena sudah sering melihat darah, juga ada yang mendapatkan pengkaderan dari dukun beranak senior ataupun binaan bidan desa. Dalam dukun kader Secara

melaksanakan fungsinya, beranak dibantu oleh kesehatan masyarakat. terorganisir di Dusun

MEMANDIKAN BAYI. Seorang dukun beranak di pedalaman memandikan bayi seorang warga. (Foto: Istimewa)


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Di era kemajuan ini, dukun beranak mendapatkan kepercayaan lebih dari masyarakat untuk mendampingi persalinan. Beberapa hal yang mendukung hal tersebut, tingginya tingkat keselamatan ibu dan bayi saat persalinan. Terdapat kedekatan emosional antara calon ibu dan dukun beranak yang didukung oleh kecilnya perkampungan, sehingga proses interaksi masyarakat terbatas dan terjalin kuat. Komunikasi antara dukun beranak dengan tenaga medis kesehatan berjalan baik. Ketika tenaga medis tidak berada di kampung karena sedang perjalanan dinas dan terjadi proses persalinan yang ditangani oleh dukun beranak, kader kesehatan akan memberikan laporan ketika bidan atau perawat kembali ke lokasi Dusun Dampingan. Beberapa hal yang berkaitan dengan penyakit, pengobatan dan kerja sama antara Siagai Laggek/Sikerei dengan dukun beranak, kami tampilkan di dalam bentuk

lampiran terpisah. 3.5.4. Siberut

Gempa dan tsunami tahun 2004 yang melanda Aceh belum menjadi persiapan khusus bagi masyarakat di Pulau Siberut, Kabupaten Kepulauan Mentawai, walaupun informasi sudah mereka terima. Masyarakat Siberut hanya sebatas merespons informasi tanpa adanya persiapan khusus untuk melakukan mitigasi terhadap ancaman gempa dan tsunami. Tahun 2005, gempa kembali mengguncang dan meratakan Pulau Nias. Guncangan itu juga dirasakan masyarakat Siberut. Spontan, masyarakat pun keluar dan berhamburan mencari tempat tinggi sebagai respons dari ancaman tsunami. Namun guncangan gempa tahun 2005 itu tidak mendatangkan tsunami di Siberut. Meski

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sabeugunggung terdapat lima kader kesehatan, tiga orang berlatar belakang pengetahuan tentang persalinan, terdiri dari satu orang dukun beranak senior dan dua orang asisten dukun beranak. Sementara dua orang lainnya berlatar belakang masyarakat biasa yang memiliki kemauan untuk membantu proses persalinan secara sukarela.

45


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 46

PENGUNGSIAN. Pondok pengungsian di Desa Muara Siberut, Kec. Siberut Selatan. (Foto: Tim Dokumentasi)

SIMULASI. Puluhan siswa SD mengungsi di pondok pengungsian yang ada di Desa Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara pada simulasi evakuasi tsunami. (Foto: BPBD Mentawai)

demikian, masyarakat Siberut cukup terlatih dan terbiasa untuk melakukan evakuasi ke berbagai bukit yang ada di sekitar permukiman ketika merasakan guncangan gempa. Tahun 2007, kembali gempa berguncang dahsyat. Ratusan rumah rusak, begitu juga beberapa fasilitas umum, seperti sekolah, perkantoran pemerintahan, rumah ibadah, dan jembatan. Meski tidak mendatangkan tsunami, lebih dari seminggu warga mengungsi di atas perbukitan sambil membuat tenda secara mandiri. Sekitar hampir sebulan, warga tidur di atas bukit, kemudian menjelang pagi, warga kembali ke rumah yang berada di kawasan pantai. Guncangan gempa 2007 ternyata mampu membuat warga Siberut mulai berpikir untuk meningkatkan mitigasi dari ancaman tsunami. Pertengahan 2008, warga Siberut umumnya membuat pondok di atas bukit sebagai bentuk antisipasi untuk mengungsi dari ancaman tsunami. Pondok yang terbuat dari kayu dan sebagian beratap rumbia serta seng itu tersusun rapi di atas perbukitan. Warga juga mengisi pondok pengungsian dengan berbagai perlengkapan dapur dan tidur. Sehingga ketika tsunami datang, mereka sudah tidak bingung untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya selama masa tanggap darurat. Di samping itu, warga pun dapat tidur dengan nyenyak, karena perlengkapan tidur juga tersedia di dalam pondok pengungsian. Pondok pengungsian itu juga dilengkapi dengan WC dan sarana air bersih, serta penerangan dari mesin genset. Fasilitas pendukung tersebut dipersiapkan ketika masyarakat mengungsi akibat diguncang gempa. Untuk mendukung proses evakuasi, warga Siberut, dibantu dengan beberapa NGO, membuat jalur evakuasi menuju bukit. Sebagian jalur evakuasi itu masih terawat, bahkan dilakukan pembangunan secara permanen (cor rabat beton) oleh pemerintah.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Selain melakukan inisiatif membuat pondok pengungsian, warga sendiri sadar dengan ancaman karena sebagian anggota keluarga menjadi korban tsunami pada tahun 2010. Kesadaran itu terbangun karena mereka tidak ingin lupa terhadap kesiapsiagaan dari ancaman gempa dan tsunami. Masyarakat Siberut pun sangat terbuka dengan para pendatang di Siberut. Keterbukaan tersebut memudahkan masyarakat untuk terus menggali dan mendapatkan informasi terkait ancaman bencana alam. Meski sudah banyak informasi dan isu berkembang tentang ancaman tsunami setelah 2010, masyarakat Siberut tidak terprovokasi secara berlebihan. Mereka justru meningkatkan kesiapsiagaan. Informasi yang mereka terima umumnya menjadi modal pemahaman dan kesadaran dalam menghadapi ancaman bencana gempa serta tsunami. Untuk menjaga ketahanan pangan di pondok pengungsian, warga bersiap dengan menanam ubi dan pisang. Tanaman ubi dan pisang di ladang tersebut merupakan karakter tanaman khas Mentawai sejak zaman dulu. Meski ada tanaman sagu dan keladi, keduanya kerap tidak berfungsi ketika terjadi tsunami. Sebab sagu dan keladi tumbuh di tanah rawa-rawa, sehingga kerap terkena dampak kala banjir, badai, dan tsunami menghantam. Sejauh ini, pengobatan tradisional yang dilakukan oleh seorang Sikerei (dukun kampung) masih menjadi salah satu alternatif untuk menjaga kesehatan warga Siberut. Berbagai ramuan dari daun-daun di hutan Siberut kerap menjadi obat pelbagai penyakit. Sikerei merupakan salah satu modal bagi warga Mentawai untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, ketika pemerintah secara medis lambat untuk memberikan pelayanan. Untuk melakukan proses evakuasi secara terorganisir, setiap dusun di Pulau Siberut umumnya sudah memiliki Kelompok Siaga Bencana (KSB). Bahkan untuk tingkat kecamatan, juga sudah terbentuk Satgas Penanggulangan Bencana. Kedua organisasi kebencanaan tingkat dusun, desa, dan kecamatan tersebut, selalu berkoordinasi aktif dalam menyikapi berbagai ancaman bencana. Untuk mendukung koordinasi dan komunikasi, juga tersedia jaringan telekomunikasi dan radio komunikasi, yang sangat membantu organisasi kebencanaan setempat dalam merespon semua informasi terkait ancaman bencana. Perlengkapan proses evakuasi, seperti sirene dari megaphone, maupun tudukat (kentongan), menjadi salah satu peringatan dini bagi warga Siberut untuk membaca tanda-tanda ancaman gempa dan tsunami. Suara tersebut selalu dibunyikan ketika terjadi gempa yang dianggap berpotensi tsunami. Meski kedua alat peringatan dini

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sampai saat ini, warga Siberut cukup sadar terhadap ancaman tsunami yang datang kapan saja, tanpa bisa diprediksikan.

47


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

secara modern menjadi acuan dalam melakukan proses evakuasi terhadap ancaman bencana, sebagian masyarakat Siberut cenderung masih membaca bencana melalui tanda-tanda alam sebelum suatu peristiwa berlangsung.

48

Salah satu kearifan lokal masyarakat Siberut membaca tanda-tanda alam adalah dengan mendengarkan suara Sibilou, (Hylobates klossii), kera kecil endemik Mentawai. Kera tersebut selalu menjadi acuan untuk mendeteksi bakal adanya ancaman bencana. Sejak awal secara turun-temurun, ketika Sibilou berteriak, masyarakat yang mempunyai profesi berburu akan menghentikan bahkan membatalkan perburuannya. Sebab mereka yakin akan ada bencana ketika mendengar suara sibilou. Begitu juga dengan para petani, ketika mendengar teriakan Sibilou bersahutan, mereka membatalkan rencana pergi ke ladang. Sebab suaranya memberi peringatan akan adanya ancaman bencana. Sampai saat ini, warga tidak PENDETEKSI. Primata Endemik Mentawai, Sibilou (Hylobates klossii), suaranya dijadikan pernah memburu Sibilou, karena memberikan pendeteksi dini ancaman bencana. arti penting dalam kehidupan yang damai serta (Foto: Iswanto) ancaman bencana. 3.6. Praktik Tangguh saat Bencana 3.6.1. Sipora Selatan Guncangan gempa dahsyat tahun 2007 membuat masyarakat Dusun Katiet dan Gobik panik. Puluhan rumah kedua dusun tersebut hancur, sedangkan warga sendiri hampir seminggu mengungsi di beberapa bukit, bahkan sebagian berdiam di ladang masing-masing. Warga Dusun Katiet dan Gobin memang selalu membuat pondok di ladang untuk tempat istirahat kerja dan tempat menyimpan beberapa hasil pertanian. Namun dalam melakukan evakuasi, mereka belum terarah secara bersama menuju perbukitan karena belum ada penetapan tempat evakuasi. Berbeda pada guncangan gempa 25 Oktober 2010, sebagian warga kedua dusun itu tidak merasakan getarannya. Mereka pun bersikap santai. Namun seorang warga Dusun Gobik, Alpaus Samongilalai melihat informasi di televisi tentang peringatan


USAI WAWANCARA: Tim Peneliti foto bersama Kepala Desa Bosua setelah perkenalan dan wawancara di rumahnya, Dusun Katiet, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. (Foto: Yani)

gempa berpusat di Mentawai dan berpotensi tsunami. Peringatan pertama di televisi itu belum juga mempengaruhi Alpaus Samongilalai untuk melakukan evakuasi. Ketika berita televisi kembali menampilkan informasi potensi tsunami, Alpaus Samongilalai mulai meyakini kebenaran informasi bila akan ada tsunami setelah guncangan gempa yang hampir tidak dirasakan getarannya oleh sebagian warga Dusun Gobik.30 Untuk memastikan ancaman tsunami itu, Alpaus membawa lampu ke tepi laut. Tujuannya guna memastikan pasang surut air. Ia terkejut ketika mendengar suara gemuruh bagaikan pesawat datang. Di tepi pantai, Alpaus pun mencium bau busuk air laut yang menyengat. Dia meyakini suara gemuruh itu adalah gelombang tsunami yang datang. Tanpa berpikir panjang, Alpus Samongilalai membangunkan istri dan anaknya sambil berteriak memberitahukan warga yang lain. Mereka lalu berlari menuju perbukitan. Sampai di sekitar perbukitan, terlihat air laut berwarna kemerah-merahan menyapu perkampungan Dusun Gobik. Warga Dusun Gobik sendiri tidak yakin kalau tsunami datang. Sebab berdasarkan ilmu yang mereka terima dari NGO Surfaid dalam pelatihan pengurangan risiko bencana, gempa yang menyebabkan tsunami itu ketika tidak mampu membuat orang berdiri dengan sempurna. Namun berbeda pada gempa tahun 2010 itu, justru getarannya tidak terasa. 30 Wawancara dengan Alpaus, tokoh masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

49


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Warga Gobik merasa kecolongan terhadap guncangan gempa yang hampir tidak dirasakan. Mereka mengakui bila guncangan gempa itu pelan dan berayun dan agak lama. Jika warga mengetahui guncangan gempa yang tidak terasa bisa menyebabkan tsunami, pasti akan lebih cepat melakukan evakuasi dengan waktu yang relatif singkat. Meski dianggap terlambat untuk melakukan evakuasi, warga Dusun Gobik Baru berhasil menyelamatkan diri tanpa ada korban jiwa. Hanya warga Dusun Gobik lama yang ada korban jiwa.31

50

Begitu halnya dengan warga Dusun Katiet, sebagian besar tidak merasakan guncangan gempa. Warga hanya berteriak memberitahu adanya tsunami datang. Tapi gelombang tsunami di Dusun Katiet tidak sedahsyat pada Dusun Gobik. Hanya beberapa rumah saja yang rusak karena tsunami, sedangkan semua warga selamat. Penduduk yang melihat tsunami pada malam itu, awalnya juga mendengar suara gemuruh yang kuat. Suara itu sangat berbeda dengan suara ombak dalam setiap harinya. Dengan keanehan suara gemuruh yang kuat itu, warga pun meyakini bahwa yang datang adalah tsunami.32 Dusun Katiet dan Gobik, sama-sama sudah membentuk Tim Penanggulangan Bencana (PB) yang dibentuk oleh NGO Surfaid. Dalam praktiknya, Tim PB tersebut mampu menjalankan standar prosedur operasional (SOP). Sebab pada prinsipnya, Tim PB menjalankan fungsi ketika terjadi bencana alam, bahkan selalu memberikan informasi terkait ancaman bencana secara dini. Ketika terjadi gempa, warga sendiri langsung ke pantai untuk memastikan kemungkinan tsunami. Ketika melihat pasang-surut air laut (potensi tsunami), Tim PB membunyikan sirine dari megaphone dan kentongan sebagai tanda bahaya bencana, khususnya gempa dan tsunami. Suara sirine dari megaphone dan kentongan itu pada umumnya juga sudah dipahami oleh warga, sehingga mampu melakukan evakuasi dengan cepat. Dengan membunyikan suara sirine dan kentongan, Tim PB sendiri juga mengarahkan warga untuk melakukan evakuasi ke bukit yang sudah disepakati. Di atas bukit sudah tersedia Sapau (pondok) pengungsian milik warga.33 Dua jam setelah tsunami menghantam perkampungan Dusun Gobik, warga langsung turun dari bukit untuk melakukan evakuasi penyelamatan terhadap korban yang diduga masih hidup. Meski masih dalam ancaman tsunami, warga terus nekad mencari korban di semak-semak bekas terjangan tsunami. Dalam beberapa jam, mereka menemukan satu korban yang masih hidup dengan luka di bagian perutnya yang cukup parah. Warga berencana membawanya ke atas bukit dengan menggunakan daun pintu dari rumah yang sudah hancur. Saat melakukan 31 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. 32 Wawancara dengan Kepala Dusun Katiet, Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan. 33 Wawancara dengan Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet, Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan Bosua, Markelis, Kepala Dusun Tattanen, Eden, Kaur Desa Bulasat.


DISKUSI. Salah seorang tim peneliti berdiskusi dengan masyarakat di Dusun Gobik untuk mendapatkan data akurat. (Foto: Yani).

evakuasi korban yang masih selamat, warga berhadapan dengan masalah jalan yang masih terendam genangan air tsunami. Kembali nekad, mereka membawa korban melalui jalur tepi pantai dengan kondisi masih khawatir adanya tsunami susulan.34 Menjelang pagi, warga turun dari bukit pengungsian untuk mencari makanan dan minuman guna menyelamatkan korban luka. Mujurnya, warga memiliki uang iuran gereja yang biasa dipergunakan untuk punen atau acara keagamaan. Berdasarkan hasil musyawarah, uang iuran tersebut disepakati untuk membeli beras dan makanan lain di Pasar Sioban.35 Agar mempercepat proses evakuasi korban setelah tsunami, warga Dusun Katiet turut memberikan bantuan dalam pencarian korban yang belum ditemukan. Sebab di Dusun Katiet sendiri, tsunami tidak sedahsyat di Dusun Gobik. Bahkan, masih banyak rumah warga Dusun Katiet yang masih layak huni. Tapi karena masih ketakutan, warga Dusun Katiet turut mengungsi dan membuat tenda yang jaraknya lebih jauh dari pantai.36 Selain itu, sebagian warga mengambil kelapa dan memberikannya kepada para korban luka serta anak-anak yang kehausan, sedangkan lainnya mencari dan mengumpulkan korban meninggal untuk dikuburkan. 34 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik. 35 Wawancara dengan Sarnida, warga Dusun Gobik. 36 Wawancara dengan Risel Samaloisa, Ketua PB Dusun Katiet.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

51


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 52

Meski dalam kondisi sulit dan terhimpit, warga masih terus berpartisipasi aktif dalam pemenuhan kebutuhan di saat terjadi bencana. Untuk tetap bertahan hidup di bukit pengungsian, sambil menunggu bantuan dari berbagai pihak datang, warga mencari sisa makanan dan pakaian di permukiman yang sudah hancur. Sementara penduduk yang rumahnya tidak terbawa tsunami, menyumbangkan makanan dan pakaian kepada warga lain di pengungsian. Ini terlihat dari sebuah warung di Dusun Gobik yang sebagian makanannya masih bisa dimanfaatkan dan dibagi-bagikan bagi korban lainnya.37 Selama di pengungsian, warga tidak boleh makan sendiri-sendiri. Semua korban yang mengungsi diwajibkan makan bersama-sama di posko dan mendahulukan anak-anak serta korban luka. Dalam hal ini, kaum perempuan berperan untuk mengambil pisang dan keladi sebagai bahan makanan selama beberapa hari sambil menunggu bantuan dari berbagai pihak. Di posko pengungsian, para anak gadis sebagai juru masak di dapur umum, sedangkan kaum ibu pergi ke ladang mencari pisang, keladi, dan kelapa. Kemudian seluruh laki-laki dewasa turun dan melakukan pencarian korban di lokasi permukiman yang hancur.38 Dengan hasil olahan makanan dari keladi dan pisang tersebut, korban yang terdiri dari anak-anak dan orang dewasa mampu bertahan selama empat hari di pengungsian. Kebiasaan membuat kue jurut memang sering dilakukan oleh warga dalam kesehariannya. Dalam prosesnya, keladi direbus kemudian ditumbuk bersama pisang yang sudah matang. Setelah itu, dimasukkan ke dalam bambu untuk dibakar (panggang), layaknya memanggang lemang yang terbuat dari beras pulut. Untuk anak bayi sendiri, warga memberinya dengan toitet (kelapa muda).39 Tabel 8. Sumber Ekonomi Produktif Dusun Katiet BULAN Sumber Ekonomi Produktif Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des   Cengkeh             Kelapa   Pala          Souvenir     Ombak Surfing Sumber: Diskusi dengan masyarakat Dusun Gobik

Pukul

Tabel 9. Aktivitas Harian Warga Dusun Katiet Aktivitas Orang Tua Anak Muda

37 Wawancara dengan Alpaus Samongilalai, tokoh masyarakat Dusun Gobik. 38 Wawancara dengan Sarnida, masyarakat yang juga kader kesehatan Dusun Gobik. 39 Wawancara dengan Basaria dan Regina, masyarakat Dusun Gobik.


06.00-08.00 08.00-10.00 10.00-12.00 12.00-14.00 14.00-16.00 16.00-18.00 18.00-20.00 20.00-22.00 22.00-24.00 24.00-01.00

Bangun dan Sarapan, Kerja Souvenir Ke Ladang Ke Ladang Keladang Pulang dari Ladang Istirahat dengan keluarga Keluarga dan tetangga Kerja Souvenir Kerja Souvenir Istirahat

Bangun dan Sarapan, Kerja Souvenir Istirahat Sebentar/Jalan-jalan Surfing Kerja Souvenir Kerja Souvenir Istirahat, Olahraga, sesuai hobi Istirahat bersama keluarga Kerja Souvenir Kerja Souvenir Istirahat

Sumber: Diskusi dengan Masyarakat Dusun Katiet. Jumlah Pengrajin Souvenir 35 Orang Laki-laki.

Malam itu, ada warga yang berteriak menyebut ular. Jadi saya keluar membawa parang. Ketika saya tanya, lalu warga menjawab ini ularnya sudah sampai rumah. Warga itu menunjukkan senternya ke arah air laut yang sudah mulai masuk permukiman Dusun Katiet. Lalu sebagian warga berteriak ada tsunami. Mereka panik dan lari ke belakang Dusun Katiet, menyusuri jalur evakuasi. Pagi di hari pertama setelah tsunami, kami langsung melakukan Rob Parob atau gotong-royong membersihkan permukiman sambil mencari sisa makanan dan pakaian. Setelah membersihkan perkampungan, kami membuat Kades Bosua tenda. Sementara beberapa warga mengungsi dalam pondok pada lading masing-masing. Dalam keseharian, pondok milik warga itu menjadi tempat beristirahat menjelang makan siang. Di Dusun Katiet memang tidak ada korban jiwa, bahkan rumah yang rusak tidak parah. Sebab tsunami itu sendiri tidak kuat datangnya. Sambil mendirikan tenda, ibuibu mencari makanan di ladang. Ada yang membawa keladi, pisang, ubi, dan hasil ladang lainnya. Mereka memasaknya untuk dimakan warga, beramai-ramai. Selama di pengungsian, tidak ada yang boleh makan sendiri-sendiri, dan kami mengutamakan anak-anak untuk makan terlebih dulu. Ketika itu, kami dengar kabar bila Dusun Gobik hancur karena tsunami. Sebagian warga Dusun Katei pun pergi ke Dusun Gobik untuk memberikan bantuan tenaga dalam mencari korban jiwa. Sebab kami sadar, bahwa dengan memberi bantuan itu, proses evakuasinya juga akan cepat. Selama di pengungsian, kami bergotong-royong membangun tenda darurat dan

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

53


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

menyediakan makanan. Kami di sini tertib, karena selalu bekerja sesuai budaya Rob Parob yang sudah ada sejak dahulu dan tetap terjaga hingga kini. Bahkan pendidikan Rob Parob diajarkan kepada anak-anak sejak kecil, baik di sekolah, di rumah ibadah, dan di dalam rumah tangga. Meski zaman sudah modern, budaya Rob Parob sendiri tidak akan pernah luntur. Contoh saja, banyak anak-anak Mentawai yang kuliah di kota besar. Ketika pulang kampung, tidak pernah membawa sikap egois seperti orang kota pada umumnya. Mahasiswa itu tetap melakukan apa yang sudah menjadi nilai-nilai budaya di Mentawai, salah satunya Rob Parob. Sejak kecil mereka sudah menerima pendidikan Rob Parob, hingga sudah mendarah daging. Padahal, kalau pun mereka yang sudah pernah tinggal di kota, baik merantau atau sekolah, kemudian meninggalkan Rob Parob, juga tidak ada sanksi sosialnya. Tapi, semua itu tidak bisa mereka tinggalkan atau lupakan, karena sudah menjadi budaya sejak kecil. Jadi, kemungkinan ada rasa malu sendiri ketika meninggalkan nilai-nilai budaya Mentawai, termasuk Rob Parob. Akibat jalan darat yang tidak bisa diakses, satu-satunya distribusi bantuan hanya

54

EKSTREM. Hujan, dan jalan licin menjadi tantangan sekaligus menguji ketangguhan tim peneliti menuju Dusun Gobik. (Foto: Yani)

melalui jalur laut. Kondisi inilah yang membuat bantuan selama empat hari belum sampai kepada para korban yang tinggal di pengungsian. Meski bantuan bencana menumpuk di Sikakap, untuk daerah terpencil seperti Dusun Gobik belum mampu didistribusikan dengan waktu cepat. Karena belum ada kepastian kedatangan


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Kehidupan warga setelah bencana tsunami semakin tidak stabil. Namun pendidikan anak-anak hanya diliburkan selama satu minggu setelah ada arahan dari kepala sekolah. Padahal, pihak Dinas Pendidikan Kabupaten Kepulauan Mentawai sendiri belum mengeluarkan instruksi libur setelah terjadi tsunami. Namun siswa diliburkan karena pertimbangan kondisi psikologis, sejumlah fasilitas belajar juga rusak. Beberapa siswa juga kehilangan peralatan dan perlengkapan sekolah, seperti seragam, buku, dan alat tulis. Namun dalam seminggu, pendidikan kembali normal seperti biasa.41

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

bantuan makanan, warga secara mandiri mencari dan mengolah makanan yang diambil dari ladang. Walaupun hidup dalam kekurangan di pengungsian, mereka tetap mengutamakan kepentingan bersama, serta saling bahu-membahu untuk membuat peti jenazah sampai penguburannya. Warga yakin, kondisi gelombang laut yang masih ekstres setelah tsunami berdampak pada lambatnya distribusi sampai pada korban yang tinggal di pedalaman.40

55

UJIAN KETANGGUHAN. Hujan deras membuat jalan licin menjadi tantangan sekaligus menguji ketangguhan tim peneliti menuju Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. (Foto: Wawan Budianto)

3.6.2. Pagai Selatan Guncangan gempa yang menyebabkan tsunami pada 25 Oktober 2010 dan berpusat di perairan Kecamatan Pagai Selatan juga tidak dirasakan oleh sebagian warga Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. Warga Dusun Maonai mengetahui kemunculan tsunami ketika mendengar suara gemuruh yang sangat kuat dari laut. 40 Wawancara dengan Kepala Desa Bosua. 41 Wawancara dengan Nainggolan, guru SDN 12 Mongan Bosua.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Sebagian warga justru ke pantai untuk memastikan kejadian dari suara gemuruh tersebut. Tidak berapa lama, warga melihat gulungan tsunami berwarna hitam. Sejumlah orang berteriak memberikan informasi kepada warga lain untuk segera melakukan evakuasi karena tsunami. Warga memperkirakan kejadian tersebut terjadi sekitar pukul 22.00 WIB, dengan kondisi hujan. Meski sempat melakukan evakuasi, umumnya warga Dusun Maonai terseret oleh tsunami. Permukiman Dusun Maonai sendiri dikelilingi sungai, sehingga warga tidak sempat menyeberangi jembatan karena air laut sudah masuk melalui aliran sungai. Akhirnya, warga pun terjebak dan tersapu tsunami.42 Menariknya, beberapa anak-anak justru mampu menyelamatkan diri tanpa terseret dengan gulungan tsunami. Keberhasilan anak-anak tersebut mampu menyelamatkan diri karena pernah mendapatkan pendidikan pengurangan risiko bencana melalui NGO Rebana Indonesia dengan melakukan kegiatan simulasi tsunami sebanyak dua kali. Sementara beberapa anak turut menjadi korban karena dibawa lari oleh orang tuanya yang tidak mengetahui arah evakuasi menuju bukit serta belum pernah mendapatkan pelatihan pengurangan risiko bencana.43 Winda Iri Nogroho Staf Rebana Indonesia

56

Rebana memang awalnya concern terhadap pendidikan di Kecamatan Pagai Selatan, termasuk daerah intervensi di Dusun Maonai. Saya salah satu staf yang melanjutkan progam pendidikan teman-teman. Untuk di Dusun Maonai, setiap hari kami melihat anak-anak berkeliaran. Kami mengusulkan kepada warga Dusun Maonai agar anak-anak mendapatkan pendidikan. Mereka mendukung ide pendirian sekolah. Dalam beberapa dusun wilayah intervensi Rebana Indonesia, memang hanya Dusun Maonai yang belum memiliki sekolah. Bersama warga, kami mendirikan bangunan sekolah yang sederhana. Target kami dan harapan warga Dusun Maonai, anak-anak tidak harus pintar, melainkan bisa menulis dan membaca. Awal berdiri, sekolah itu bernama Sekolah Hutan, sedangkan para guru berasal dari sukarelawan Rebana Indonesia. Tapi petugas Rebana Indonesia tidak selalu ada di Dusun Maonai, dan sangat menyulitkan kalau harus bolak-balik dari Sikakap dengan akses jalan yang tidak layak. Maka kami mengangkat guru sukarela dari warga Dusun Maonai. 42 Wawancara dengan Nelman Taileleu, tokoh masyarakat Dusun Maonai. 43 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, staf NGO Rebana Indonesia.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Setelah itu, kami menyuruh anak-anak keluar kelas untuk berkumpul di halaman sekolah. Ketika guncangan gempa sudah habis, beberapa siswa kami utus ke pantai untuk memastikan pasang surut laut. Kalau lautnya surut, maka kami beri tahu akan adanya tsunami, dan anak-anak harus lari bukit. Kami juga uji anak-anak untuk lari kebukit dengan waktu lima menit sudah mencapai pada titik aman. Kami di sekolah, antara Rebana Indonesia, para guru dan siswa, sudah sepakat terhadap bukit yang dijadikan simulasi untuk dijadikan tempat evakuasi ketika tsunami terjadi. Maka ada kegiatan rutinitas membersihkan jalur evakuasi dengan cara bergotongroyong antara siswa dan guru sekolah. Warga sendiri juga mendukung, sehingga turut berpartisipasi membersihkan jalur evakuasi yang menjadi simulasi tsunami itu. Simulasi tsunami ini sudah dua kali dilakukan, namun materi pengurangan risiko bencana selalu diingatkan oleh para guru relawan dari warga Dusun Maonai. Sebenarnya pendidikan pengurangan risiko bencana melenceng dari Program Rebana Indonesia. Ini hanya inisiatif dari fasilitator di lapangan. Tapi pada akhirnya, pengurangan risiko bencana di sekolah menjadi salah satu program Rebana Indonesia. Awalnya, kami juga tidak mengetahui materi pengurangan risiko bencana. Hanya saja kami mendapatkan beberapa modul dari Yayasan Tanggul Bencana (YTB), yang dikembangkan serta ajarkan kepada anak-anak. Kebetulan, basisnya memang untuk anak-anak, dan materi itu dipahami oleh siswa tanpa ada kendala. Alasan berinisiatif melahirkan program pengurangan risiko bencana melalui pendidikan juga berdasarkan kejadian tahun 2004 dan 2007. Pada tahun 2007, warga sendiri merasakan guncangan gempa yang dahsyat, sedangkan tahun 2004, warga hanya mengamati air laut pasang surut akibat kiriman dari tsunami Aceh. Selain itu, kami juga melakukan survei kepada warga Dusun Maonai, hasilnya memang sangat mengharapkan pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah. Dalam memberikan pemahaman terhadap tsunami, kami hanya memberitahukan adanya suara gemuruh dari laut. Ketika ada suara gemuruh, maka itulah tsunami. Anak-anak itu sendiri paham apa yang kami jelaskan terkait tanda-tanda ancaman gempa dan tsunami. Karena tidak selamanya Rebana Indonesia ada di Mentawai, khusus Dusun Maonai, maka pada Juli 2010, sekolah tersebut kami serahkan kepada Dinas Pendidikan

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

Kami menilai, memang ada potensi bencana tsunami di Mentawai. Maka kami dari staf di lapangan membuat inisiatif untuk memberikan pendidikan pengurangan risiko bencana. Hal pertama yang kami lakukan, memberikan pemahaman kepada anak-anak ketika menghadapi ancaman gempa dan berpotensi tsunami. Anak-anak tersebut kami didik proses menyelamatkan diri di dalam kelas untuk melindungi kepala ketika gempa bergunacang.

57


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Kabupaten Kepulauan Mentawai. Harapannya, agar anak-anak Dusun Maonai mendapatkan pendidikan formal sesuai dengan kurikulum yang berlaku.

58

Target Rebana Indonesia, setelah memberikan pendidikan pengurangan risiko bencana kepada anak-anak, juga akan membagi materi itu kepada warga Dusun Maonai. Namun belum sempat memberikan materi pengurangan risiko bencana, tsunami sudah datang. Rentetannya, Juli 2010 kami serahkan sekolah kepada pemerintah, 25 Oktober 2010 tsunami datang. Jadi lebih dahulu datang tsunami dari pada materi pengurangan risiko bencana yang akan kami sampaikan. Kejadian tsunami itu cukup mengejutkan. Ternyata anak-anak yang didik pada pelatihan simulasi umumnya selamat sampai ke titik aman perbukitan yang sudah disepakati. Memang ada beberapa siswa didikan kami yang meninggal. Sebab, kejadian tsunami malam itu, anak-anak sudah tidur. Kemudian dibangunkan oleh orang tuanya diajak berlari sambil ditenteng tangannya. Orang tuanya sendiri membawa anaknya menyelamatkan diri tanpa tahu jalur evakuasi, sedangkan anaknya sudah mengetahui. Jadi mereka menjadi korban. Kemungkinan, jika tidak ditarik dan dibawa lari orang tuanya, anak-anak yang menjadi korban itu bisa selamat dengan melakukan evakuasi sendiri. Hal ini juga ada bukti, bahwa anak-anak sekolah di Dusun Limosua yang sudah mengikuti simulasi tsunami berhasil menyelamatkan orang tuanya dengan mengajak berlari ke atas bukit melalui jalur evakuasi yang sudah disepakati. Jadi, di Limosua, anak-anak itulah yang mengajak orang tuanya untuk lari ke bukit berdasarkan pemahamannya saat mengikuti simulasi tsunami.

Beberapa jam setelah tsunami, warga yang selamat pun turun dari bukit untuk menyelamatkan para korban yang diyakini masih hidup. Dalam gelap malam di atas bukit, warga tetap bertahan dengan tubuh yang basah kehujanan. Menjelang pagi, warga pindah mengungsi ke ladang yang juga masih kawasan perbukitan karena diyakini ada makanan serta pondok. Saat itu juga, mereka mendirikan tenda terpal yang sempat dibawa saat melakukan evakuasi ketika tsunami datang. Sebab pondok yang ada di ladang tersebut tidak mampu menampung semua pengungsi. Terpal dan pondok itu sendiri hanya diperbolehkan untuk anak-anak, ibu hamil, dan korban luka. Di pondok dan tenda terpal pengungsian, warga bertahan selama satu minggu tanpa bantuan medis. Untuk merawat luka, warga hanya membersihkannya dengan air. Tenaga medis dari pihak kecamatan datang empat hari setelah tsunami, namun


PENGGALIAN DATA. Tim peneliti melakukan diskusi bersama warga Dusun Maonai untuk menggali data yang akurat (Foto: Yani).

hanya melakukan pendataan terhadap para korban tanpa memberikan bantuan perawatan medis.44 Akhirnya beberapa korban luka dibawa ke Sikakap untuk mendapatkan perawatan melalui Kapal Sikerei milik bupati ketika meninjau lokasi korban. Berdasarkan hasil pendataan warga Dusun Maonai di pengungsian, dari 40 kepala keluarga, sebanyak 39 jiwa meninggal dan satu orang dinyatakan hilang.45 Warga Dusun Maonai yang selamat sebagian besar tergulung tsunami. Meski kondisi lemas, beberapa jam setelah tsunami, mereka masih memiliki ketahanan mental untuk turun dari bukit menyelamatkan para korban dengan kondisi gelap. Rasa trauma warga Dusun Maonai sendiri tidak terlalu berkepanjangan. Selain itu, para korban sendiri sebagian juga menghibur warga lainnya yang kondisinya masih lemah dengan tujuan untuk bangkit sesegera mungkin. Seminggu setelah bencana, sebagian warga belum mampu menceritakan kejadian tsunami tersebut. Namun beberapa warga justru selalu menceritakan secara detail pengalamannya ketika tergulung-gulung menyelamatkan diri menghadapi bencana tsunami. Bagi mereka, pengalaman tsunami itu harus kembali diceritakan kepada setiap warga Mentawai agar selalu waspada dan siap siaga ketika gempa berguncang. Cerita tsunami itu selalu diceritakan dalam berbagai acara, seperti di sela-sela musyawarah, 44 Wawancara dengan Yanti Saogo, masyarakat Dusun Maonai yang menjadi korban luka. 45 Wawancara dengan Jonatan Samaloisa, Kepala Dusun Maonai.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

59


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

pernikahan, dan beribadah. Dengan begitu, diharapkan menjadi pesan kesiapsiagaan hingga anak cucu mampu menyelamatkan diri ketika ada ancaman tsunami yang diakibatkan gempa, baik dengan gucangan kuat ataupun pelan berayun.46

60

Kondisi warga Dusun Maonai pada umumnya terluka, sehingga tidak mampu untuk mencari makanan di ladang. Tanaman seperti keladi dan pisang pun sebagian hancur dan tertimbun tanah akibat gulungan tsunami. Bahkan hanya sedikit yang memiliki pakaian. Karena sebagian besar korban selamat telah kehilangan pakaian di badan kala tergulung tsunami. Hingga seorang penduduk Dusun Maonai mengajak warga lain untuk memberikan informasi kepada warga Dusun Mapinang tentang hantaman tsunami di dusun mereka. Tujuan pesan itu agar warga Dusun Maonai memperoleh bantuan berupa makanan dan pakaian. Hari pertama setelah tsunami, warga Dusun Mapinang yang tidak jauh dari Dusun Maonai, membawakan makanan dan pakaian untuk dibagikan kepada korban di pengungsian. Mereka makan bersama dan mendahulukan anak-anak serta korban terluka. Warga Dusun Limosua juga turut memberikan bantuan makanan dan pakaian setelah seorang utusan warga Dusun Maonai menyampaikan pesan. Selain memberikan bantuan makanan dan pakaian, warga Dusun Mapinang serta Limosua juga turut membantu pencarian korban. Kerjasama dan saling tolong-menolong itu berhasil mempercepat proses evakuasi sampai penguburan jenazah.47

46 Wawancara dengan Ismail, tokoh masyarakat Dusun Maonai. 47 Wawancara dengan A. Ependi Sababalat, tokoh masyarakat Dusun Maonai.


Malam itu hujan dan gempa pelan berayun, tapi agak lama ayunannya. Warga juga biasa-biasa saja, sebab guncangan gempanya sebagian juga tidak dirasakan warga. Tidak berapa lama, ada suara gemuruh dari arah laut, suaranya kuat seperti pesawat mau turun. Karena heran, saya melihat ke arah laut, ternyata warnanya hitam dan menggulung. Saya langsung berteriak ada tsunami, warga lain yang mendengarkan pun berlarian. Ketika lari ke belakang Dusun Maonai, belum sempat kami melewati jembatan, air sudah menyambar dari arah sungai. Saya pun langsung tergulung-gulung. Entah berapa lama tergulung, saya juga tidak tahu. Kamudian air kembali surut, ternyata saya masih hidup. Saya bangun dan berlari ke bukit. Sepanjang pelarian, saya bertemu beberapa warga yang juga tergulung tsunami dan masih selamat. Sampai di atas bukit, sudah ada beberapa warga, dan kami Ependi Sababalat berkumpul. Sepanjang malam itu, saya hanya mendengar suara tangisan dari mereka yang selamat. Setelah beberapa jam dan air tsunami surut, saya perintahkan sebagian warga untuk mencari korban yang masih ada di kampung, mana tahu ada yang hidup meski tergulung tsunami. Sayang, sebagian besar korban yang kami temukan telah meninggal. Kala pagi, kami pindah ke bukit lain, yang sekarang ini dibangun hunian tetap. Dan sebagian besar mereka yang selamat tidak mengenakan pakaian lengkap. Saya juga tidak tahu, mungkin waktu tergulung tsunami, pakaian mereka terlepas semua. Lalu minta beberapa orang menjadi utusan untuk menyampaikan pesan ke warga Dusun Mapinang dan Limosua. Juga meminta bantuan berupa makanan dan pakaian, hal yang sangat kami butuhkan pada saat itu. Saya sendiri tidak bisa bergerak banyak, karena mengalami luka parah di tangan. Saya hanya menjadi koordinator dan memberikan arahan ke warga Maonai, selama kondisi darurat itu. Bagi yang selamat dan tidak mengalami luka parah, saya perintahkan untuk mencari korban, pagi itu juga. Sekitar pukul 10.00, datanglah warga Dusun Mapinang dan Limosua dengan membawakan bantuan. Mereka juga ikut turun ke kampung, membantu mencari korban. Selama beberapa hari, kami selalu bantu-membantu, baik sesama warga Dusun Maonai yang menjadi korban, maupun sesama warga dusun lainnya, seperti Mapinang dan Limosua. Kalau tidak ada bantuan dari Dusun Mapinang, entahlah siapa yang akan membantu.

Praktik Praktik dan dan Implementasi Implementasi Masyarakat Masyarakat Tangguh Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

61


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 62

KUBURAN MASSAL. Di Dusun Maonai yang lama, warga yang menjadi korban dikuburkan secara massal. (Foto: Yani)

Apalagi anak-anak semua sudah mulai kelaparan, tidak memiliki pakaian, dan kedinginan. Bahkan sebagian anak-anak sudah mulai mengalami demam pada hari pertama. Karena selama malam kejadian, kami berbasah-basahan dan ada yang tidak mengenakan pakaian sampai pagi. Kami bisa bertahan sampai sekarang karena kebersamaan untuk saling membantu. Selama beberapa hari belum mendapatkan bantuan dari pemerintah, beberapa warga Dusun Maonai pergi ke Sikakap untuk meminta bantuan. Akhirnya, NGO Yayasan Citra Mandiri (YCM) dan Rebana Indonesia datang dalam waktu relatif cepat dan memberikan bantuan. Pendistribusian bantuan ke Dusun Maonai memang memiliki kendala berat karena hanya bisa menggunakan jalur laut. Akses jalan darat sendiri tidak bisa dilewati kendaraan, sepeda motor atau mobil.48 3.6.3. Pagai Utara Suasana gelap gulita, minim sarana penerangan listrik, tidak tersedia sinyal untuk berkomunikasi dengan telepon genggam, merupakan kondisi beberapa malam di Dusun Sabeugunggung usai gempa 7,7 Skala Richter. Guncangan gempa yang terjadi pada Senin malam, sekitar pukul 21.42 WIB itu sesungguhnya tidak terlalu terasa oleh penduduk Dusun Sabeugunggung. Namun ayunan gempa terjadi cukup lama. Kala itu, sebagian masyarakat masih menonton televisi di satu-satunya rumah warga yang memiliki penerangan listrik. Dari televisi, mereka melihat peringatan evakuasi tsunami yang ditampilkan BMKG melalui running text televisi. Tapi beberapa kemudian, peringatan itu dicabut. Sehingga beberapa orang tidak memandang sebagai sesuatu hal penting. Sementara sebagian lainnya kembali ke rumah dengan rasa khawatir. Sejumlah warga yang tidak menganggap genting situasi mengambil pengalaman gempa tahun 2007. Kala itu Dusun Sabeugunggung diguncang gempa 7,9 Skala 48 Wawancara dengan Tarsen Samongilalai, Ketua Pokmas pembangunan Hunian Tetap.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Namun di malam itu, warga mendengar suara besar seperti deru pesawat, beberapa menit usai gempa. Mereka menganggap akan ada angin kencang yang menerpa kampung. Dan ini merupakan hal biasa bagi masyarakat di pinggir pantai. Sehingga terjadi dua kondisi kala itu. Pertama, warga yang berada di rumah Leisa Saogo, langsung melakukan evakuasi menuju bukit pengungsian. Ketika suara berdentum, mereka sudah menjauhi pantai tapi belum berada di bukit pengungsian. Posisi mereka di dalam hutan belum berada pada level aman dari terjangan ombak tsunami. Hingga kedatangan gelombang memisahkan satu warga dengan yang lainnya. Kondisi gelap gulita tidak memungkinkan mereka untuk menyelamatkan warga lain dari amukan ombak tsunami. Sementara warga lain yang mendengar tsunami yang seperti suara pesawat berjalan, segera memanjat pohon kelapa dengan ketinggian lebih kurang lima meter. Malangnya, pecahan gelombang sempat melewati tinggi pohon kelapa. Mereka bertahan dengan berpegangan satu dengan lainnya di atas pohon kelapa di tengah arus tsunami. Namun beberapa orang terlepas pegangannya dan sempat terpisah terbawa arus. Mereka berhasil selamat karena memiliki kemampuan berenang dan berpegangan dengan kayu-kayu yang hanyut. Setelah gelombang surut, warga saling bertemu dan pergi ke pondok di ladang, sekitar perbukitan.50 Kondisi kedua, sebagian warga sudah terlelap tidur karena letih bekerja seharian sehingga tidak sempat melakukan evakuasi. Hingga hampir setengah dari penduduk Dusun Sabeugunggung menjadi korban. Masyarakat yang selamat dari tsunami berkumpul di Pulaungat (perbukitan) terpisah menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok yang memiliki pondok, banyak pula yang melawati malam di bawah rimbun pohon-pohonan perbukitan. Kondisi sangat mencekam, dan suasana duka menyelimuti setiap warga yang terpisah dengan keluarga. Terdengar suara erangan kesakitan keluar dari korban yang luka. Saat itu ketahanan fisik sangat teruji sampai keesokan hari.51 Pagi, sehari setelah tsunami, sebagian warga mencari makanan yang tidak hanyut terbawa arus. Mereka mencari kelapa sebagai pengganti makanan, terutama untuk warga yang luka parah, anak-anak, dan kaum ibu. Sebagian warga juga mencari keluarga yang menghilang. 49 Wawancara dengan Philus, tokoh masyarakat. 50 Wawancara dengan Tarsi, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung. 51 Wawancara dengan Melki, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Richter, hingga masyarakat melakukan evakuasi selama beberapa hari di bukit. Sampai warga meninggalkan pengungsian dan kembali ke kampung, tsunami tak kunjung datang.49

63


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 64

Saat itu, Kepala Desa memantau kondisi dusun yang terkena terjangan tsunami, sekaligus mengevakuasi korban ke pusat kecamatan menggunakan kapal cepat di tengah gelombang besar dan kelangkaan BBM. Kepala Desa memerintahkan pegawainya untuk mengantar makanan (beras, mi instan) serta minuman. Secara spontan, turis peselancar yang berada di kapal dan selamat dari tsunami juga memberikan bantuan. Mereka rela mengurangi perbekalan logistik kapal untuk menolong penduduk lokal. Bantuan juga berupa tenda, peralatan memasak, uang tunai, dan transportasi untuk korban bencana berobat ke Pusat Kecamatan Sikakap.52 Untuk pengadaan tenda, warga memperoleh bantuan dari turis peselancar, satu hari setelah bencana. Karena jumlah bantuan tenda tidak mencukupi dengan kebutuhan hunian sementara, beberapa warga mendirikan pondok dengan beratapkan daun pisang (pisang hutan) dan tiang kayu. Kehidupan di Pulaungat (perbukitan) yang berlangsung selama lebih kurang lima bulan itu sangat minim fasilitas. Sebagian besar masyarakat tidak memiliki pondok untuk tempat berlindung, makanan yang cukup, atau toilet untuk buang air besar sebagai bentuk antisipasi penyebaran wabah penyakit di lokasi pengungsian. Sarana tempat ibadah yang telah hancur di dusun lama, dibangun secara swadaya oleh masyarakat bersama pimpinan gereja, kepala dusun, dan tokoh masyarakat. Hasilnya, satu pekan setelah tsunami, berdiri bangunan darurat yang mampu menampung warga dusun untuk melakukan ibadah. Rasa trauma kehilangan keluarga menjadi beban yang tidak mudah disembuhkan, tetapi masyarakat sangat membutuhkan sarana ibadah untuk mengembalikan kepercayaan diri, bahwa hidup belum berakhir.53 Saat peristiwa terjadi, Siagai Laggek sedang berada di luar dusun. Sehingga, tidak tersedia kemampuan pengobatan yang membantu penanganan korban bencana di dusun. Melihat kondisi korban bencana yang memerlukan pengobatan segera, evakuasi korban ke pusat puskesmas merupakan satu-satunya jalan yang harus ditempuh. Budaya Rob Parob dalam kondisi bencana masih bisa dilaksanakan dengan baik. Hal itu mencerminkan masih ada sikap mendahululukan yang sakit untuk mendapatkan makan dan minuman karena tidak bisa berdiri. Korban yang sakit pun dibawa berobat ke pusat kecamatan. Bahkan pembagian kerja dalam bergotong-royong membangun sarana ibadah dilakukan masyarakat di bawah kondisi trauma. Pasca-tsunami, perekonomian warga berhenti total. Mereka hanyut dalam kedukaan. Para penyelam baru kembali beraktivitas satu pekan bahkan sampai dua bulan 52 Wawancara dengan Joni Siritoitet, Kepala Desa Betumonga. 53 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Sebagian besar lahan pertanian warga rusak berat dan tidak menghasilkan, sehingga sumber pendapatan untuk bertahan hidup di lokasi pengungsian bergantung pada bantuan dari luar (pemerintah, NGO, swasta, atau masyarakat lainnya). Bangunan dan sarana prasarana untuk belajar pun hancur total saat tsunami melanda. Sebagian anak-anak yang seharusnya belajar menjadi korban jiwa, dan lainnya belum memiliki kekuatan untuk memulai aktivitas pendidikan. Ada banyak faktor yang harus masyarakat siapkan untuk memulai hidup baru, dan butuh waktu sekitar satu tahun pasca-tsunami guna mencapainya. Lembaga yang merespon bencana itu adalah Mercy Corp, Surf Aid International, dan CFK dengan bantuan yang beragam. Untuk penampungan air bersih, masyarakat mendapatkan tangki air dengan ukuran beragam. Sementara untuk pengganti rumah, warga mendapatkan bantuan tenda, selimut, pakaian, peralatan pertukangan, dan peralatan memasak.54 Pemulihan korban bencana dibantu pemerintah melalui puskesmas pusat yang berada di Sikakap. Keterbatasan bangunan dan tenaga dibantu oleh sukarelawan yang datang dari luar daerah, untuk melakukan respon bencana. 3.6.4. Siberut Masyarakat Siberut merasakan guncangan gempa pada tahun 2005, yang terjadi sebanyak dua kali. Pertama, gempa yang terjadi pada 28 Maret 2005 dan berpusat di Nias, namun tidak begitu kuat dirasakan masyarakat Siberut. Isu dari Kota Padang melalui telepon rumah (air pasang telah naik di Kota Padang) setelah gempa, mendorong masyarakat melakukan evakuasi ke perbukitan tanpa komando. Saat melakukan evakuasi, masyarakat tetap melakukan budaya Rob Parob (tolongmenolong). Terbukti, ketika ada orang tua, anak-anak, orang sakit menjadi perhatian bagi masyarakat lainnya untuk menuntunnya sampai ke atas perbukitan. Masyarakat bermalam di pondok-pondok perladangan, sebagian mendirikan tenda terpal yang telah mereka siagakan pasca-guncangan gempa Aceh. Ketika pagi, masyarakat turun ke rumah dan beraktivitas seperti biasa, sambil tetap waspada ketika terjadi gempa susulan. Kondisi bermalam di perbukitan ini berlangsung lebih kurang selama tiga hari. 54 Wawancara dengan Tarsi, tokoh Masyarakat Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

kemudian. Mereka yang sudah kembali ke laut sepekan setelah tsunami terdorong untuk kembali hidup normal dan melupakan kesedihan. Sementara warga yang baru memulai aktivitas di laut dua bulan kemudian, terlebih dulu harus mengurus keluarga di pengungsian. Beberapa juga mesti memberikan keyakinan kepada keluarga agar memberikan izin kembali menyelam.

65


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Kedua, gempa 30 April 2005 yang merupakan guncangan lokal 6,5 SR dan hanya dirasakan masyarakat Siberut, khususnya Kecamatan Siberut Selatan. Gempa ini terjadi di sore hari, saat pemuda-pemuda bermain bola kaki. Warga sontak berlarian ke arah bukit, terdorong rasa takut akan terjadi ancaman bencana tsunami. Beberapa anggota Kepolisian dan TNI pergi ke pantai melihat reaksi air laut. Ketika malam, beberapa pemuda menjaga rumah penduduk untuk mengantisipasi pencurian.

66

Gempa susulan berlangsung selama satu bulan. Sehingga memicu masyarakat untuk bertahan bermalam di perbukitan. Satu-satunya informasi tentang gempa berasal dari UNESCO melalui papan informasi yang terpajang di depan kantor, tepatnya di rumah masyarakat di pusat Desa Muara Siberut. Kerusakan rumah masyarakat dan prasarana pemerintah berawal dari gempa ini. Seringnya gempa susulan dengan kekuatan yang cukup besar menjadi faktor utama kerusakan. Gempa 29-30 September 2007, merupakan gempa terkuat yang dialami masyarakat Siberut. Goyangan gempa terasa lama dan kuat. Masyarakat berhamburan ke luar rumah begitu gempa terasa dan melakukan evakuasi ke perbukitan, lalu bermalam di sana. Saat itu, Pulau Siberut telah memiliki beberapa pondok evakuasi yang dibangun secara mandiri oleh masyarakat. Kejadian gempa sebelumnya memberikan motivasi kepada masyarakat akan pentingnya pondok evakuasi untuk bencana gempa dan tsunami. Kerusakan perumahan masyarakat pada gempa April 2005, semakin parah dengan guncangan di tahun 2007. Pertengahan tahun 2007, masyarakat memperoleh pencerahan informasi kesiapan bencana tsunami melalui program Siaga Bencana Surf Aid International di Kecamatan Siberut Barat Daya. Program itu memberikan sosialisasi dan pelatihan kebencanaan yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, seperti kepala dusun, tokoh agama, tokoh pemuda, tokoh adat, kepala desa, dan camat. Dengan bantuan itu, masyarakat cepat memperoleh informasi kesiapan dalam menghadapi ancaman bencana tsunami. Masyarakat juga memperoleh sosialisasi rencana tempat pertemuan kala gempa. Kesepakatan tempat pertemuan evakuasi ini sangat penting dalam menghadapi waktu singkat antara gempa dan tsunami. Mercy Corps Indonesia dengan Yayasan Penanggulangan Bencana Ready Mentawai juga bekerja sama di Kecamatan Siberut Tengah, Desa Saibi Samukop dan Saliguma untuk meningkatkan kemampuan Tim Penanggulangan Bencana Dusun. Juga perencanaan mitigasi struktural dan non-struktural yang menjadi agenda besar dan telah terealisasikan ke dalam lapisan masyarakat dampingan. Masyarakat juga melakukan persiapan secara sukarela untuk membangun pondok pengungsian, atau menanam ubi dan pisang di lokasi pengungsian.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

3.7. Praktik Tangguh Sesudah Bencana 3.7.1. Sipora Selatan Bencana tsunami yang terjadi pada 2010 menghancurkan semua infrastruktur di Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Pagai Selatan. Lahan pertanian, peternakan, jalan perkampungan, rumah, fasilitas umum, seperti jembatan dan gereja juga hancur. Untuk memperbaiki semua itu, warga harus melakukan mugalai simakare (gotongroyong). Beberapa minggu setelah tsunami, warga mulai membangun gereja bantuan dari Patmos. Di samping mendapatkan bantuan untuk membuat pondasi dari Patmos, masing-masing kepala keluarga juga iuran menyumbang seng untuk atap gereja. Mereka juga bergotong-royong membangun jalan perkampungan yang sebagian rusak tertimbun tanah atau hancur tergulung tsunami. Ketika kaum laki-laki melakukan gotong-royong perbaikan jalan, para perempuan bersama-sama menyajikan makanan untuk istirahat makan siang. Kegiatan gotongroyong memang merupakan tradisi bagi warga, bahkan menjadi program utama dusun dalam menciptakan lingkungan bersih.55 Meski kondisi masih dalam serba keterbatasan setelah bencana tsunami, warga cepat melakukan pembangunan hunian sementara (huntara) dengan bantuan dari beberapa pihak luar, seperti organisasi kemanusiaan internasional. Warga juga mendapatkan bantuan posko pengungsian beserta alat-alat tanggap darurat dari NGO Surfaid. NGO Mercy Corps membangun dan memfungsikan sarana air bersih. Sementara NGO Habitat memberikan bantuan pembangunan huntara bagi warga. Karena dalam pembangunan huntara ada kelebihan anggaran, mereka pun mengalihkannya untuk pembangunan jalan yang rusak.56 Sehingga mempermudah akses layanan kesehatan bagi penduduk. Para tenaga medis seperti bidan bisa siap sedia bila dibutuhkan warga.57 Dalam kodisi tanggap darurat, masyarakat mulai sadar untuk melakukan pemulihan ekonomi secara berkelompok. Kesadaran ini terjadi karena warga memiliki inventaris sebagai aset dusun serta modal bersama. Inventaris itu berupa modal kapal cepat 55 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik. 56 Wawancara dengan Alpaus, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun, Sarnida, Kader Kesehatan, dan Regina, masyarakat Dusun Gobik, Desa Bosua, Kecamatan Pagai Selatan. 57 Wawancara dengan Regina, Sarnida, dan Basaria, sebagai kader kesehatan Dusun Gobik.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Ketika gempa terjadi, kelompok siaga bencana dusun mampu menjalankan tugas pokok dan fungsinya. Dalam beberapa menit perkampungan telah kosong, penduduk yang telah berada di perbukitan dengan komando Tim Penanggulangan Bencana Dusun. Kerja sama regu kesehatan KSB, tenaga medis, dan Sikerei berjalan berbagi peran. Baik pemuka agama dan kepala dusun ikut memberikan ketenangan dalam suasana kepanikan masyarakat.

67


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

bantuan dari NGO Mercy Corps. Dengan kapal cepat, masyarakat bisa seperti menolong orang yang sakit dan tidak memiliki uang untuk berobat ke Sioban atau Tuapeijat. Kapal cepat itu juga boleh dipinjamkan untuk keperluan mendadak tanpa harus dipungut biaya. Mercy Corps sendiri memberikan bantuan berdasarkan permintaan warga. Sebab bencana tsunami menghancurkan semua transportasi laut warga, seperti kapal cepat.58

68

Setahun setelah tsunami, warga kembali melakukan kegiatan ekonomi produktif. Sebagian mulai menanam kakao, cabe rawit, terong, jagung, dan sayuran, sedangkan warga lainnya kembali mengolah kelapa untuk menjadi kopra. Hasil pertanian tersebut cukup lumayan, bahkan dijual ke Sioban sebagai pasar ibu kota kecamatan. Ada pula warga yang memperoleh bantuan modal sebesar Rp2 juta untuk membuka usaha warung yang menjual kebutuhan sehari-hari. Bantuan itu berasal dari pemerintah untuk warga yang sudah memiliki warung sebelum tsunami menerjang dusun. Bantuan Rp2 juta dari pemerintah itu awalnya untuk membuat bangunan kedai, warga juga dijanjikan akan menerima bantuan modal modal untuk mengisi kedai. Namun ketika bangunan kedai itu sudah berdiri, pemerintah tak juga merealisasikan bantuan modal untuk mengisi kedai. Mujurnya, masyarakat mendapatkan bantuan modal pinjaman dari seorang pedagang di Sioban yang memang kerap menjadi langganan belanjanya sebelum terjadi tsunami. Bahkan si pedagang menghapus utang-utang pemilik kedai sebelum terjadi tsunami.59 Bencana tsunami menjadi pelajaran penting warga dusun. Mereka pun semakin aktif mendapatkan pendidikan tentang pengurangan risiko bencana, khususnya gempa dan tsunami. Warga juga rajin membahas pentingnya pengurangan risiko bencana dalam berbagai pertemuan, seperti kala kegiatan keagamaan atau peringatan hari kejadian tsunami. Sejauh ini, warga mengaku tidak takut tsunami, namun selalu ketakutan bila merasakan guncangan gempa. Sebab ketika gempa, akan ada peringatan waspada yang justru membuat semakin panik. Menurut mereka, jika mampu menyelamatkan diri dari ancaman gempa, maka akan bisa menyelamatkan diri dari ancaman tsunami. Alasannya, ada jarak antara gempa dan kedatangan tsunami.60 Selain warga yang semakin terdidik, lembaga pendidikan juga menjalankan fungsi dalam memberikan pemahaman kepada para siswa. Sebab setelah tsunami, sekolah juga semakin gampang untuk diakses. Pada tahun 2011, lembaga pendidikan untuk tingkat SD sampai SMA selalu memberikan pendidikan terkait materi pengurangan risiko bencana, baik bekerja sama dengan pemerintah maupun dengan lembaga pengurangan risiko bencana tingkat internasional, seperti Surfaid dan Mercy Corps. Namun program pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah itu tidak berkelanjutan, hanya dari pihak orang tua siswa yang rajin mengajarkan pentingnya 58 Wawancara dengan Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik. 59 Wawancara dengan Alpaus Samongilalai, tokoh masyarakat dan pelaku usaha kecil. 60 Wawancara dengan Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik, Ferianto Gulo, Kepala Dusun Mongan Bosua, Eden Samaloisa, KAUR Desa Bulasat.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

MENGUJI KETANGGUHAN. Sebelum diskusi untuk menggali perilaku. (Foto: Iswanto) tangguh warga Dusun Maonai, tim peneliti menguji dengan pemainan game

pemahaman pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami.61 Masalah tanah sering menjadi konflik di Mentawai, khususnya saat akan ada penetapan lokasi pembangunan hunian tetap. Namun warga mampu menyelesaikan potensi konflik serta mencari solusi kala muncul perbedaan pendapat terkait penetapan lokasi hunian tetap. Melalui rapat musyawarah, warga mencari solusi apa yang menjadi rencana bersama. Bahkan mereka melakukan kajian untuk menentukan lokasi hunian tetap yang jauh dari pantai serta memiliki ketinggian yang aman dari jangkauan tsunami. Penentuan lokasi hunian tetap juga berlandaskan kedekatan jarak antara hunian tetap dengan ladang sebagai sumber penghasilan ekonomi. Pada awalnya, pembahasan penentuan lokasi hunian tetap tidak mengikutsertakan masyarakat. Mendadak mereka menerima surat edaran tentang penetapan lokasi hunian tetap. Beberapa dusun merasa keberatan dengan penetapan lokasi hunian tetap secara sepihak, warga pun melakukan rapat koordinasi. Hinga muncul kesepakatan bila warga berhak menentukan lokasi hunian tetap selama masih masuk dalam karakter aman dari ancaman tsunami dan dekat dengan jarak ladang sebagai sumber penghasilan ekonomi. 61 Wawancara dengan Nainggolan, guru SD 12 Mongan Bosua.

69


Warga juga membeli tanah hunian tetap dengan harga murah, ada pula yang menghibahkan, atau melakukan dengan cara tukar guling (tukar tanah). Beberapa rentetan masalah terselesaikan oleh warga tanpa ada konflik antara sesama korban bencana atau merugikan pihak lainnya.62

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

3.7.2. Pagai Selatan

70

Bencana tsunami meluluhlantakkan semua bangunan yang berdiri di bibir pantai. Fasilitas umum pun hancur. Saat kondisi darurat di pengungsian, warga berperan aktif dalam membangun sarana dan prasarana umum. Bergotong-royong, mereka membangun gereja sebagai tempat beribadah. Awalnya warga berencana membangun sekolah, namun dalam prosesnya berubah fungsi menjadi gereja, karena dalam tahap pembangunan, datang bantuan dari Rebana Indonesia yang membangun sekolah. Tidak ingin ada bangunan yang sia-sia, sekolah pun beralih fungsi menjadi gereja. Selain Rebana Indonesia, masyarakat juga mendapatkan dukungan dari Mercy Corps, Lumbung Dharma, Arcenova, dan Plan Indonesia. Bantuan pendidikan dari Rebana Indonesia tidak hanya bangunan sekolah, juga pendidikan di tenda darurat, bantuan buku, serta perlengkapan seragam sekolah. Ini terdorong keinginan anak-anak untuk segera kembali sekolah seperti biasa. Dari Mercy Corps, setiap kepala keluarga memperoleh bantuan tangki air untuk mendapatkan air bersih melalui tadahan hujan. Sementara Arcenova membangun empat unit WC umum untuk menjaga kebersihan lingkungan dari ancaman wabah penyakit. Dan Yayasan Citra Mandiri memberikan bantuan pembangunan hunian sementara (huntara) dengan material pabrikan. Untuk material lokal seperti kayu, warga memperoleh dengan cara swadaya.63 Sekitar hampir satu tahun tinggal di huntara, secara perlahan warga mulai melakukan kegiatan ekonomi produktif. Mereka membuka puluhan hektar lahan tidur dan menjadikannya sebagai lahan pertanian dengan menanam sawah, pada tahun 2012. Ini dilakukan agar masyarakat bisa menanam padi dan tidak perlu lagi mengeluarkan biaya besar untuk transportasi membeli besar di Sikakap. Untuk pertanian ini, mereka meminta bantuan Rebana Indonesia, berupa bibit. Sebetulnya, masyarakat Dusun Maonai tidak lihai bersawah. Namun mereka berkukuh bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan. Rebana Indonesia sendiri memberikan bantuan bibir karena warga kurang minat akan programnya. Beberapa kali pertemuan, warga tidak menghadiri karena sibuk mencari penghasilan. Akhirnya Rebana Indonesia mengabulkan permintaan bantuan bibit, syaratnya warga harus membuka lahan 62 Wawancara dengan Alpaus Samongilailai, tokoh masyarakat, Laskar, Wakil Kepala Dusun Gobik, Ferianto Gulo, kepala Dusun Mongan Bosua, Markelis, Kepala Dusun Tattanen. 63 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan hunian tetap Dusun Maonai.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Selama hampir setahun, hampir seluruh warga Dusun Maonai pun fokus dalam peningkatan ekonomi melalui sawah. Selama membuka lahan sawah, mereka tidak pernah lagi membeli beras. Sebab di setiap rumah sudah tersedia lumbung padi sebagai simpanan harian. Bahkan sampai sekarang, masih ada warga yang tidak membeli beras karena rutin menanam padi.65 Bukan hanya membuka lahan tidur untuk sawah, warga juga menanam cengkeh dengan cara membibit sendiri. Dan semua itu mereka lakukan dengan pendampingan dari Rebana Indonesia. Pada prinsipnya, warga memang tidak meminta uang ke NGO yang datang dalam kegiatan aktivitas pengurangan risiko bencana. Mereka hanya menginginkan pendampingan untuk mengelola beberapa jenis komoditas pertanian. Warga yakin, pendampingan dari petugas pendamping lapangan (PPL) akan membantu hasil panen yang maksimal. Juga meningkatkan ekonomi meski tinggal di huntara dalam serba keterbatasan.66

KOMODITI PISANG CENGKEH KOPRA PADI COKLAT HASIL NELAYAN MUSIM PENYAKIT MUSIM BUAH MUSIM KEMARAU NILAM KEPITING/ANGGAU UBI JALAR BADAI DUKU (SAMUNG)

Tabel 10. Kalender Musim Dusun Maonai BULAN Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des 

   

   

   

   

   

    

     

     

 

 

    

   

   

 

 

 

   

     

     

     

   

   

   

   

Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai 64 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia. 65 Wawancara dengan Yanti Saogo, warga Dusun Maonai. 66 Wawancara dengan Nelman Taileleu, tokoh masyarakat dan Rudol, warga Dusun Maonai.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

terlebih dahulu. Dengan menggunakan alat cangkul dan lainnya, warga membersihkan lahan tidur untuk dikelola menjadi sawah. Rebana Indonesia beranggapan, tidak akan mungkin program berjalan ketika warga dalam kondisi kelaparan. Terbukti, di samping rajin bertani dan merawat sawah, warga jadi aktif dalam kegiatan Rebana Indonesia.64

71


JAM 06.00-08.00

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

08.00-12.00

72

12.00-13.00 13.00-18.00 18.00-20.00 20.00-23.00 23.00

Tabel 11. Aktivitas Harian Warga Maonai AKTIVITAS SUAMI AKTIVITAS ISTRI Masak dan menyiapkan makanan, BANGUN TIDUR, NGOPI, mandi, cuci piringng, menata dan NGOBROL bersihkan rumah. KERJA MAKAN, ISTIRAHAT, BEKERJA MASIH DI LADANG (TIDAK SETIAP HARI ISTIRAHAT KE LADANG) MEMBANGUN HUNTAP MEMBANGUN HUNTAP, MEMANCING MANDI, TUKAR BAJU, SIAPKAN MAKANAN, MAKAN BERSAMA MAKAN KELUARGA NONTON TV NONTON TV TIDUR TIDUR Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai

Selain mengelola sawah dan cengkeh, warga sadar untuk mengolah ekonomi secara berkelompok. Agar meningkatkan ekonomi, mereka juga bersemangat mencari uang dari berbagai aktivitas dan sumber penghasilan lainnya. Seperti membuat tim penyelam untuk mencari lobster. Udang lobster yang masih melimpah di sekitar pantai Dusun Maonai lama, membuat warga kembali untuk mencari penghasilan ke laut. Umumnya, mereka membentuk tim yang terdiri dari tiga orang untuk menjadi penyelam penangkap lobster. Aksi penyelaman dilakukan secara manual dengan senter sebagai penerang ketika beraktivitas malam. Mereka tidak memerlukan tabung oksigen, melainkan hanya menahan napas. Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan warga Dusun Maonai untuk mencari lobster, hanya bermodalkan senter dan menahan nafas sepanjang mungkin di dalam laut. Hasil tangkapan lobster akan dijual ke agen pengumpul lobster, terdekat. Uang hasil penjualan akan dibagi rata sesama penyelam.67 Kondisi perkonomian yang terbatas dan masih lemah di pengungsian huntara membuat warga lebih mengutamakan skala prioritas dalam mengelola keuangan. Sebab sumber utama penghasilan warga setelah tsunami hanya mengelola kelapa menjadi kopra. Hingga tidak sedikit siswa SMP dan SMA dari Dusun Maonai putus sekolah sekitar hampir setahun. Dengan uang masuk baik, dari pemerintah maupun NGO yang memberikan jasa pekerjaan, sebagian warga lebih banyak menunda untuk membeli barang yang tidak produktif. Mereka lebih mengutamakan biaya pendidikan anak-anak. Sedangkan warga yang belum memiliki anak sekolah, membelanjakan uang untuk alat elektronik, seperti televisi.68 67 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas Pembangunan hunian tetap Dusun Maonai. 68 Wawancara dengan tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.


Meski sudah beberapa tahun setelah tsunami, sebagian warga masih mengalami trauma bila mengingat bencana itu. Tapi mereka pun mulai terdidik tentang bencana dan pengurangan risikonya. Kejadian tsunami yang pernah mereka alami selalu diceritakan kepada semua orang sebagai bentuk pesan kesiapsiagaan terhadap ancaman gempa dan tsunami yang bisa terjadi kapan saja. Pesan kesiapsiagaan itu selalu disampaikan melalui acara pernikahan, keagamaan, gotong-royong, dan punen (pesta kampung).69 Warga juga aktif melakukan pelatihan pengurangan risiko bencana yang digelar beberapa lembaga penanggulanagan bencana, baik dari NGO maupun pemerintah. Bahkan sampai saat ini, Dusun Maonai sudah memiliki kelompok siaga bencana (KSB), dibentuk oleh NGO Rebana Indonesia. Warga pun antusias mengikuti rangkaian kegiatan pelatihan pengurangan risiko bencana dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan terhadap berbagai ancaman bencana, khususnya gempa dan tsunami. Sejak tinggal di lokasi huntara yang kini dibangun sebagai hunian tetap, warga sendiri selalu siap siaga ketika ada angin kencang. Meski sudah tinggal di atas bukit yang dianggap aman dari tsunami, mereka lebih waspada dan keluar rumah setiap mendengar atap seng rumah berbunyi karena angin kencang.70 Kini warga Dusun Maonai sibuk dengan persiapan percepatan pembangunan hunian tetap (huntap). Dalam perjalanan pembangunannya, mereka sudah memiliki kemampuan advokasi dan negosiasi. Misalnya dalam penetapan lokasi huntap, antara pilihan warga dan pemerintah berbeda. Penduduk mempunyai pilihan lokasi huntap di jalan poros yang berada di kawasan hutan lindung. Pemerintah menolak dengan alasan mengganggu hutan lindung yang sudah ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Pemerintah mengusulkan penggabungan lokasi huntap warga Dusun Maonai dengan Limu, dan ditolak warga. Warga Dusun Maonai meyakini akan terjadi konflik antar-dusun berdasarkan pengalaman yang pernah terjadi. Dan bila dipaksakan akan mengganggu nilai-nilai kerukunan warga antar-dusun. Dengan penggabungan itu, mereka juga khawatir tidak memiliki tanah untuk berladang. Tanpa tanah berladang, mereka memprediksi akan kesulitan menghidupi kebutuhan keluarga. Maka warga Dusun Maonai menawarkan kepada pemerintah agar lokasi huntap di lokasi hunian sementara. Pemerintah pun menyetujuinya, karena lokasi itu sudah memenuhi kriteria aman dari ancaman tsunami. Alasan warga Dusun Maonai memilih lokasi huntap di lokasi huntara karena jarak dengan ladang masih relatif dekat. Sebab dengan dekat ladang, kebutuhan sehari-hari bisa tercukupi.71 69 Wawancara dengan Ismail, tokoh masyarakat Dusun Maonai. 70 Wawancara dengan Nelman Taileleu, Ketua KSB Dusun Maonai. 71 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

73


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Proses pembangunan huntap sendiri juga banyak menuai polemik, khususnya terkait pengambilan material kayu. Namun saat membangun, warga Dusun Maonai menjalankan fungsi pengawasan terkait bantuan pembangunan huntap. Rencana awal, Primer Koperasi Angkatan Darat (Primkopad) akan memasok material kayu. Karena tidak ada kesepakatan, warga pun membeli kayu dari pemilik ladang yang memiliki pohon berkayu kokoh.

74

Bukan hanya material kayu, warga juga melakukan verifikasi terhadap pihak pemasok material pabrikan untuk pembangunan huntap. Untuk menghindari penipuan, mereka melihat aset (harta) pihak pemasok. Dan ketika material pabrikan yang dikirim tidak sesuai perjanjian, maka warga akan menolak dan menuntut ganti. Bila pemasok tidak mau mengganti, masyarakat akan mengambil asetnya, sebagai jaminan, sambil menunggu pertanggungjawaban terkait kualitas material huntap. Sementara untuk pembangunan huntap, wargamengembangkan sumber daya sendiri. Meski pembangunan huntap sudah memakai standar pemerintah, warga lebih memilih desain yang mereka pahami. Pertimbangannya, mereka tidak mengerti pola struktur pembangunan huntap berdasarkan desain gambar pemerintah. Fasilitator huntap di lapangan juga jarang mendampingi pembangunan. Sebab fasilitator hanya muncul menjelang pencairan dana huntap, bukan dalam proses teknis pembangunan. Misalnya kala warga membangun kloset. Karena fasilitator teknis tak kunjung datang untuk mendampingi, pemasangan kloset tertunda sampai berbulan-bulan.72 Tabel 12. Aktivitas Membangun Huntap AKTIVITAS SUAMI ISTRI 1. Menyiapkan Bahan • Pasir • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, masukan gerobak • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, masukan gerobak • Batu • Mencangkul/Menggali • Mengangkat, Masukan Gerobak • Kerikil • Membawa Kayu • Kayu  • Mengetam • Papan  • Semen   • Seng • Mengangkat • Paku  • Alat dan Mesin  • Mencetak • Lubrik  • Besi

72 Wawancara dengan Tarsen Samongilailai, Ketua Pokmas pembangunan huntap Dusun Maonai.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

    

 

Sumber: Hasil FGD Warga Dusun Maonai

3.7.3. Pagai Utara Pascabencana lebih kurang lima bulan peristiwa tsunami berlalu, warga melakukan relokasi. Untuk menentukan relokasi, pemerintah menyiapkan bangunan huntara yang bisa ditempati warga sampai hunian tetap selesai. Mereka pun memiliki beberapa rute perpindahan warga dari perbukitan Sabeugunggung ke hunian tetap. Pasar (Jalur 3) Sebuah daerah di perbukitan dan berdekatan dengan lokasi hunian sementara warga. Namun keterbatasan ukuran pasar tanpa dukungan sarana lainnya, seperti ketersediaan sumber air bersih, membuat beberapa pengungsi harus absen mandi dalam beberapa hari. Di sana tidak ada pula tempat buang air besar yang memadai, sehingga lingkungan terkesan kotor. Warga hanya bertahan tinggal di pasar (jalur 3) selama empat hari.73 Hunian Sementara (Huntara) Jalur 8 Huntara yang difasilitasi pemerintah berada di atas perbukitan, lebih kurang 10 km dari bibir pantai kawasan permukiman lama. Lokasi huntara berada di jalur pengangkutan kayu gelondongan milik PT Minas Lumber. Sarana jalan yang sudah dipadatkan dengan menggunakan traktor dan belum dicor semen, menjadi akses utama penghubung antara huntara dengan pusat perekonomian warga di Sikakap. Jika jalan diguyur hujan, pengendara roda dua akan mengalami kesulitan karena rute menjadi sangat licin. Warga menempati huntara dengan kondisi seadanya, sedangkan anak-anak mulai sekolah di SDN 26 selama satu bulan. Untuk perlengkapan sekolah, mereka mendapatkan bantuan pemerintah, NGO, dan dewan greja yang datang dari Jakarta, juga PNPM. Bantuan perlengkapan mereka peroleh terdiri dari sepatu sekolah, kaos kaki, buku, pena, pensil, tas sekolah, serta seragam sekolah. Huntara tersebut tidak berada di area Dusun Sabeugunggung, dan warga hanya bertahan di sana selama satu bulan. Setelahnya, mereka pindah ke huntara km 10.74 73 Wawancara dengan Tarsi, Tokoh Pemuda Dusun Sabeugunggung. 74 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

2. Membuat • Pondasi • Rangka • Pasang Seng • Pasang Dinding • Cor Lantai • Pasang Lubrik

75


Hunian Sementara

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Huntara km 10 merupakan persinggahan akhir warga sebelum menikmati huntap. Mereka juga melakukan beberapa perbaikan sehingga huntara menjadi bangunan layak huni sesuai dengan keinginan dan standar setiap keluarga. Kehidupan di km 10 berlangsung lebih kurang dua tahun dan anak-anak pindah sekolah ke SDN 3. Pada saat relokasi di km 10, warga mendapatkan dampingan dari CFK, salah satu NGO yang bergerak di sektor pendidikan dan pertanian, sehingga aktivitas anak-anak mulai ada perubahan mental. Dengan pendampingan CFK, anak-anak mulai bermain dan bernyanyi. Sebuah kegiatan yang menjadi salah satu media penyembuhan warga dari rasa trauma terhadap bencana tsunami. Untuk bercocok tanam, warga mendapatkan bantuan bibit cabe dan sayur-sayuran yang dikelola ibu-ibu secara berkelompok. Ketika berhasil mendapatkan uang, akan ada pembagian yang adil untuk seluruh peserta kelompok. Juga tersedia pertanian yang dikelola kaum laki-laki melalui penanaman kopi dan coklat. Penambahan kapasitas juga dilakukan melalui pelatihan yang difasilitasi pelatih pertanian dari CFK.75 Pemulihan mental kepala keluarga untuk kembali bekerja terjadi secara bervariasi. Ada yang memiliki kemauan dan mampu untuk beraktivitas laut dua hari pascatsunami. Tapi ada pula yang selama dua bulan pascatsunami baru bisa melakukan aktivitas normal.

76

Di daerah Kilometer 10 warga mulai bertani dengan tanaman yang menghasilkan uang, seperti kopi, coklat, pisang, dan kelapa. Secara umum ekonomi warga Mentawai khususnya non-PNS dan wiraswasta, sangat menggantungkan hidup dari alam untuk pertanian. Panen yang dihasilkan akan memperbaiki kondisi perekonomian masyarakat yang sedang berjalan. Sebab bagi masyarakat Mentawai, beban hidup tidak terbatas pada makan saja, tapi juga untuk menciptakan generesi yang siap bersaing. Untuk itu penduduk Mentawai gencar membuka jalur komunikasi dengan seluruh elemen pendidikan, seperti program beasiswa pemerintah kabupaten, provinsi, pusat, perusahaan, lembaga keagamaan, dan sebagainya. Kebanyakan pelajar Mentawai mendapatkan fasilitas menyeluruh mulai dari biaya hidup, SPP, dan tempat tinggal. Sehingga dukungan dana dari orang tua hanya menjadi pelengkap. Hunian Tetap Hunian tetap bekas warga Dusun Sabeugunggung berada di km 14. Dan mereka memasukinya pada Desember 2013. Beberapa aktivitas warga di dusun lama dan sempat hilang, mulai terasa kembali. Kegiatan ibadah pun digelar rutin, dan sering ditutup dengan pengumumun informasi yang datang dari luar. Perencanaan gotong royong warga pun selalu berawal dari tempat ibadah. Kerja sama antara pengurus 75 Wawancara dengan Tarsi, tokoh pemuda Dusun Sabeugunggung.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Pengumpulan iuran yang menjadi kas umat yang dapat berguna untuk membantu masyarakat kesulitan keuangan berobat, sudah berjalan normal. Pendampingan yang dilakukan NGO terkait pertanian sudah menampakkan hasil, dengan panen cokelat. Walaupun belum maksimal dan kondisi ekonomi yang belum menentu, aktivitas warga sudah mulai berjalan.77 Rutinas menyelam di laut mencari lobster, teripang, ikan dan lainnya, juga berjalan normal. Kendala saat ini adalah jarak yang jauh untuk mencapai pantai. Karena sangat banyak energi yang terbuang untuk berjalan kaki sejauh 10 km untuk pergi dan pulang. Di sisi lain, pengumpul barang di Sikakap memberikan dukungan kepada pengumpul barang di dusun berupa keamanan harga jual ketika terjadi penurunan harga hasil tangkapan. Juga pemberian alat dukung untuk menyelam seperti masker, tapak bebek, dengan system pembayaran melalui pencicilan dari hasil tangkapan nelayan.78 Pengobatan yang dilakukan Siagai Laggek, penanganan persalinan oleh dukun

beranak, dan kunjungan dari dinas kesehatan melalui tenaga medis puskesmas Sikakap telah berjalan di kampung baru. Penimbangan anak-anak bayi melalui keterlibatan kader-kader posyandu telah terlaksana sehingga kesehatan batita dan balita dapat dipantau dari proses tersebut. Hunian tetap seharusnya sudah bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Namun hingga proses penelitian Maret 2015, masih banyak rumah yang belum selesai pengerjaannya. Sehingga sejumlah warga masih menempati rumah hunian sementara yang telah ukurannya sudah bertambah sesuai kemampuan dan kebutuhan masingmasing. Beberapa konsensus masyarakat, seperti hari Minggu, tidak hanya berfungsi waktu ibadah. Juga untuk memperkuat silaturahmi dan keakraban setiap warga. Selesai melakukan ibadah, biasanya akan ada kunjungan satu keluarga dengan lainnya. Selain untuk menjalin keakraban, juga berbagi suka duka kehidupan satu minggu yang sudah berjalan. Suasana tersebut berlanjut pada sore harinya di lapangan bola voli. Di sana, warga tidak saja mengolah tubuh. Tapi juga mengolahragakan mental yang masih menyisahkan trauma atas peristiwa tsunami yang merenggut jiwa orang-orang tersayang. 76 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung. 77 Wawancara dengan Jursam Sakerebau, masyarakat Dusun Sabeugunggung. 78 Wawancara dengan Leisa Saogo, Kepala Dusun Sabeugunggung.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

gereja, kepala dusun, dan tokoh masyarakat terlihat harmonis dalam mencapai tujuan dalam rangka kemaslahatan umat. Penyelesaian masalah yang terjadi di dalam masyarakat juga dibicarakan di gereja bersama kepala dusun dan penatua gereja.76

77


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 78

PERMUKIMAN. Letak Permukiman Desa Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan di Sepanjang Pesisir Pantai. (Foto: Hamdani)

Ketika ada keluarga yang meninggal, sakit, atau melahirkan, para tetangga akan datang berkunjung. Tidak hanya mendampingi keluarga yang sedang kesusahan, juga ikut berjaga sampai pagi, menghibur keluarga yang sedang dilanda musibah.79 Kondisi ini sudah menjadi budaya semenjak di kampung baru, dan durasi kunjungan semakin meningkat pasca-tsunami 2010, sebagai pertanda masyarakat semakin kuat di tengah kebersamaan di kampung baru. Pembangunan sekolah pasca-tsunami dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah dengan penduduk. Bila pemerintah bertugas mengurus pembangunan sekolah, warga menyediakan meja kursi. Tingginya harapan untuk memiliki generasi yang berpengetahuan luas, tidak menjadi halangan bagi masyarakat dalam mengulurkan tangan terkait bantuan meja kursi siswa. Beberapa hal positif yang bisa dilihat pasca-peristiwa adalah tingginya minat masyarakat untuk mengikuti proses pelatihan dari NGO. Kunjungan tugas perawat/bidan ke dusun juga meningkat dari pada kondisi sebelum bencana, ini didukung oleh tersedianya akses darat yang menghubungkan pusat Kecamatan Sikakap dengan dusun. Keterlibatan kaum ibu untuk mensukseskan pembangunan huntara dan huntap didasari keinginan untuk mempercepat memiliki rumah. Keterlibatan itu terlihat dari aktivitas pengumpulan pasir bangunan dan mengantar seng dari km 10 ke km 14 hanya dengan berjalan kaki.80 79 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung. 80 Wawancara dengan Sepiwati Saogo, masyarakat Dusun Sabeugunggung.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

3.7.4. Siberut

Pasca-gempa Nias, melalui iuran warga, sebagian besar masyarakat melakukan gotong-royong membuat jalur evakuasi sampai ke tahap pengecoran beton. Seperti yang dilakukan penduduk Desa Muara Siberut, pusat Kecamatan Siberut Selatan. Pada gempa Siberut, April 2005, iuran masyarakat dan bantuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Muara Siberut, juga memfasilitasi penerangan listrik dengan menggunakan mesin tenaga diesel. Penerangan hanya diperuntukkan bagi jalur lintas evakuasi sampai ke lokasi pengungsian ketika malam. Kondisi siap siaga masyarakat Muara Siberut menjadi pemicu bagi masyarakat desa lain untuk bersikap serupa. Muara Siberut lebih siaga ketimbang daerah lain dalam menghadapi bencana. Hal itu disebabkan oleh ketersediaan informasi melalui televisi dan PLTD milik negara, radio, keterbukaan masyarakat menerima informasi baru, dan kesiapan secara ekonomi. Warga Muara Siberut juga melakukan perubahan dalam pembuatan rumah, khususnya rumah panggung di pedalaman dan pinggir pantai terjadi pasca-gempa 2007. Ukuran posisi sandi rumah (tempat berdirinya tiang) dibuat lebih besar dan memiliki besi yang diikatkan untuk dipasang ke dalam tiang rumah. Ini dilakukan setelah masyarakat berpengalaman dari gempa sebelumnya ketika banyak rumah jatuh dari sandi. Penggunaan kawat untuk dinding rumah sebagai pengganti beton pun mengalami perubahan yang sama di beberapa pusat desa. Kawat yang dilampisi beton dengan ketebalan lebih kurang 10 cm, lebih memiliki ketahanan dari guncangan gempa dari pada susunan bata ataupun hollowbrik. Di Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, sebagian masyarakat sudah melakukan relokasi dengan membuat rumah baru di lokasi yang dekat dengan bukit. Melalui program siaga bencana, televisi, dan radio, masyarakat juga mulai paham tentang kedangkalan hamparan laut di depan Desa Taileleu yang berpotensi terjadinya gelombang tinggi. Keberadaan Satgas Penanggulangan Bencana Kecamatan yang dibentuk pada 2009, ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten melalui BPBD. Seperti dengan peningkatan kapasitas melalui beragam pelatihan dalam mengambil peran pada fase saat, sebelum, dan sesudah bencana. Namun pemerintah kabupaten belum menyediakan anggaran

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Pendataan kerusakan rumah oleh kepala dusun dan perangkat desa mulai dilakukan saat gempa 2007. Beberapa titik di Pulau Siberut, pendataan dilakukan secara mandiri oleh masyarakat. Mereka yang melakukan pendataan memiliki kemampuan tentang konstruksi bangunan dan melaporkan hasil pendataan ke kepala desa.

79


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

operasional untuk kegiatan Satgas PB Kecamatan. Sehingga timbul dilema untuk mempertahankan keberadaan Satgas di tengah-tengah masyarakat.

80

Cuaca ekstrem, badai, angin kencang, dan ombak tinggi juga menjadi pengalaman akan kendala pemberian bantuan pasca-gempa dan tsunami. Sebab ketersediaan transportasi laut seperti longboat berukuran besar dengan operator berpengalaman cukup sulit didapat. Padahal longboat mampu memuat barang-barang bantuan berjumlah banyak. Kini, ketersediaan longboat menjadi kebanggaan sumber daya lokal potensial yang akan turun tangan dalam membantu masyarakat di desa lain. Seperti membantu warga yang mendapatkan musibah sakit dan harus dibawa untuk berobat ke Kota Padang. Gesekan antar-umat beragama sampai saat ini belum pernah terjadi. Pada saat desa tetangga mendapatkan musibah bencana seperti pengalaman bencana banjir di Desa Muntei tahun 2013, masyarakat desa tetangga akan mengumpulkan nasi bungkus dan memberikan bantuan. Mereka tidak melihat perbedaan ras, agama, dan suku. Hanya ingin mengurangi derita saudara-saudara yang terdampak bencana. 3.7.5. Peningkatan Kapasitas Masyarakat Memasuki tahun kelima pasca-bencana gempa dan tsunami 2010, beberapa lembaga kemanusiaan serta penanggulangan bencana semakin gencar melakukan program kegiatan sosial. Juga terjadi peningkatan kapasitas, baik pemerintah maupun masyarakat, terhadap pengurangan risiko bencana. Pemerintah, melalui Badan Nasional Penanggulnagan Bencana (BNPB), juga melakukan kegiatan peningkatan kapasitas masyarakat dalam memahami pengurangan risiko bencana. Kini BNPB melaksanakan berbagai program dan kegiatan membangun ketangguhan sebagai bentuk peningkatan kapasitas masyarakat. Seperti Program Desa Tangguh di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang mulai dijalankan pada tahun 2012.81 Tabel 13. Program Desa Tangguh No 1 2 3 4 5 6

Daerah Intervensi Konsep Desa Tangguh Masyarakat Siberut, Sipora Menjadi Fasilitator yang Baik Masyarakat Peta dan Kajian Risiko Bencana Tingkat Desa Masyarakat Rencana Aksi Komunitas – Desa Tangguh Bencana Masyarakat Pembentukan Forum-Destana_yul Masyarakat Kelompok Rentan BNPB Masyarakat Materi

Komunitas

Sumber BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai Program Desa Tangguh Bencana, 2014 81 Peraturan Kepala BNPB Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Desa/Kelurahan Tangguh Bencana.


Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Kepulauan Mentawai juga ikut dalam peningkatan kapasitas masyarakat terhadap pengurangan risiko bencana. Seperti membentuk Satgas dan Kelompok Siaga Bencana (KSB) di beberapa kecamatan dan desa. Tujuan tim itu sebagai lembaga koordinasi yang bermitra langsung dengan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai ketika terjadi berbagai ancaman. Dengan koordinasi dengan lembaga terkait, respons dan proses evakuasi pun akan berlangsung lebih cepat. Satgas dan KSB juga selalu menjadi garda depan untuk melakukan tindakan awal dalam merespons berbagai bencana daerah masingmasing.82 Selain pemerintah melalui BNPB dan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, berbagai lembaga pengurangan risiko bencana (PRB) juga aktif melakukan kegiatan peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat. Seperti Mercy Corps Indonesia pada tahun 2012 melakukan program peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dengan mitra kerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Readi di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Program selama dua tahun itu membentuk masyarakat sadar dan paham terhadap ancaman bencana. Sebab mereka memperoleh pelatihan manajemen penanggulangan bencana serta simulasi evakuasi gempa dan tsunami. Untuk lebih meningkatkan kapasitas masyarakat dalam membaca dampak ancaman bencana, Mercy Corps Indonesia juga melakukan kampanye pengurangan risiko bencana melalui radio Surak FM serta kajian analisa melalui peta risiko ancaman tsunami di Kabupaten Kepulauan Mentawai.83

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

81

Tabel 14. Peningkatan Kapasitas Program Readi Mercy Corps No Materi Komunitas Daerah Intervensi Kajian Kerentanan Masyarakat dan Desa Saibi dan Saliguma, 1 Kapasitas (VCA) Staf BPBD Kecamatan Siberut Tengah Manajemen Dasar Staf BPBD 2 Tuapeijat Penanggulangan Bencana Mentawai Pemerintah 3 Kampanye PRB di Radio Mentawai dan Masyarakat Dusun Tuapeijat, Camp, Jati, Simulasi Evakuasi Gempa Pemerintah 4 Kampung, Saibi, Saliguma, dan Tsunami dan Masyarakat Sikabaluan Kajian Potensi Tempat 5 Staf BPBD Mentawai Evakuasi Sementara (TES) Kampanye PRB lewat 6 Masyarakat Dusun Saibi dan Saliguma Poster

82 Wawancara dengan Yusuf, Kabid Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai. 83 Wawancara dengan Supriyanto, Manager Program READI Mercy Corps Indonesia.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 82

7

Peta Partisipatif Ancaman Risiko Tsunami

Masyarakat

8

Jalur Evakuasi (fisik)

Masyarakat

9

Peta Landaan Tsunami Pulau Sipora

Masyarakat

Dusun Tuapeijat, Camp, Jati, Kampung, Saibi, Saliguma, Sirilanggai, Batjoja, Maileppet, Muara, Puro Dusun Mapadeggat, Sirilanggai, Maileppet, Batjoja, Muara, Puro Pulau Sipora

Sumber: Program READI Mercy Corps Indonesia, 2013-2014

Di samping itu, NGO ASB juga melakukan rangkaitan kegiatan dengan program peningkatan kapasitas masyarakat serta pendidikan pengurangan risiko bencana di beberapa sekolah. Dalam hal ini, ASB melatih warga setempat untuk menjadi pelatih bagi penduduk lain. Keterlibatan warga sebagai kader pelatihan pengurangan risiko bencana penting untuk mengembangkan pemahaman pengurangan risiko bencana secara berkelanjutan. Penduduk juga membentuk kelompok siaga bencana sebagai komunitas yang bakal memberikan pelayanan dan komando tanggap darurat di tingkat dusun. Dengan terbentuknya komunitas siaga bencana, komunikasi dan koordinasi dalam mengelola manajemen penanggulangan bencana akan berjalan lebih mudah. Seperti di Dusun Bosua, Desa Bosua, ASB melatih warga untuk menjadi pelatih dalam mengembangkan materi pengurangan risiko bencana. Secara teknis, ASB melatih beberapa orang untuk menjadi kader pelatih. Setelah dilatih, para kader itu akan memberikan pelatihan kepada warga dusun tersebut. Dalam hal ini, setiap kepala keluarga diwajibkan terlibat dalam mengikuti proses rangkaian kegiatan pelatihan pengurangan risiko bencana. Kemudian setiap utusan keluarga wajib untuk menyampaikan pesan pengurangan risiko bencana kepada anggota keluarga. Untuk mengukur sampai atau tidaknya pesan pengurangan risiko bencana itu, ASB membekali warga angket yang terkait materi pengurangan risiko bencana. Untuk merealisasikan pemahaman warga dalam peningkatan kapasitas terhadap ancaman bencana, maka dilakukan beberapa kali simulasi evakuasi gempa dan tsunami. Hal ini penting untuk menguji sejauh mana pemahaman warga terhadap pengurangan risiko bencana melalui pesan yang disampaikan masing-masing utusan keluarga saat dilatih sebagai trainer.84

Utri Ambarita Saya belum lama tinggal di Mentawai, bahkan saat kejadian tsunami 2010 juga tidak ada di sini. Datang ke Mentawai ketika lulus dalam pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Terkait pemahaman pengurangan risiko bencana sangat minim. 84 Wawancara dengan Utri Ambarita, guru SMP Desa Bosua.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Ketika tugas di Desa Bosua, Kecamatan Sipora Selatan sebagai seorang guru, saya baru memahami pentingnya pengurangan risiko bencana melalui NGO ASB. Saat itu, ASB membentuk tim pelatih yang terdiri dari berbagai unsur, salah satunya keterwakilan dari pekerja pendidik. Dan pihak sekolah merekomendasikan saya sebagai kader trainer. Saat itu, kami dilatih selama beberapa hari dengan materi pengurangan risiko bencana. Selesai menjalani pelatihan, kami memperoleh tugas untuk memberikan materi pengurangan risiko bencana atau 3B tersebut kepada semua warga. Dalam hal ini, setiap keluarga harus mengutus satu orang untuk menjadi peserta. Selama beberapa hari, kami melatih warga, mereka pun harus menyampaikan pesan pengurangan risiko bencana kepada keluarganya. Untuk mengukur kualitas kapasitas keluarga terhadap pengurangan risiko bencana, warga dibekali formulir berisi materi pengurangan risiko bencana yang disampaikan selama pelatihan. Formulir dengan materi pengurangan risiko bencana itulah yang menjadi alat ukur untuk mengetahui pemahaman tingkat keluarga terhadap ancaman bencana gempa dan tsunami. Sebab hasil formulir yang diisi oleh warga bersama keluarganya itu akan dievaluasi. Jadi dalam hal ini, ada trainer di tingkat dusun sampai keluarga.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Bahkan ketika merasakan guncangan gempa, sama sekali tidak mengerti tindakan apa yang mestinya dilakukan. Sejauh ini hanya panik dengan tindakan tanpa arah untuk menyelamatkan diri.

83

Setelah memahami materi, kami melakukan simulasi evakuasi gempa dan tsunami untuk menguji pemahaman warga dalam menyelamatkan diri saat terjadi ancaman gempa dan tsunami. Sebagai guru, sejauh ini saya akan mengupayakan adanya pelajaran pendidikan pengurangan risiko bencana, baik melalui muatan lokal atau sudah menjadi kurikulum. Tapi karena kondisi sekolah pasca-bencana gempa dan tsunami 2010 belum ada persiapan, hingga kini pelajaran pengurangan risiko bencana belum masuk kurikulum ataupun muatan lokal. Meski begitu, saya yakin jika pelajaran pengurangan risiko bencana akan masuk muatan lokal, khususnya SMP di Desa Bosua. Setelah menjadi trainer pengurangan risiko bencana, saya semakin terdidik terhadap pentingnya pemahaman pengurangan risiko bencana. Secara pribadi saya meyakini, sebelum dan sesudah menerima pemahaman pengurangan risiko bencana, pasti ada tindakan atau perubahan perilaku ketika merasakan gucangan gempa. Kalau dulu hanya panik dan bertindak tanpa arah kala gempa, sekarang pasti akan berubah. Namun setelah menjadi pelatih, sampai saat ini, saya belum pernah merasakan guncangan gempa.


No

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

1

84

2

Tabel 15. Materi Pengurangan Risiko Bencana MATERI KOMUNITAS DAERAH INTERVENSI 1. Forum PRB Kecamatan 2. Forum PRB Desa 3. Tim PB Dusun 4. Perwakilan Kepala Keluarga 5.Anggota Keluarga

Basic DRR 3 B Bersimpuh Berlindung Bertahan

Desa Bosua, 5 cluster/dusun Desa Taileleu 7 cluster/dusun Desa Sagulubek 7 cluster/dusun Desa Simalegi 5 cluster /dusun

Pelatihan untuk Tim Tim PB PB Dusun Materi PPGD SAR Manajemen Logistik dan Pendirian Tenda Pelatihan Komunikasi Radio

Desa Bosua 5 cluster/dusun Desa Taileleu 7 cluster/dusun Desa Sagulubek 7 cluster/dusun Desa Simalegi 5 cluster /dusun

Pelatihan Forum PRB Kecamatan dan Pembuatan Forum PRB desa Document RPB Tingkat Desa dan Kecamatan dalam PRB

Desa Bosua Kecamatan Sipora Selatan Desa Taileleu Kecamatan Siberut Barat Daya Desa Sagulubek Kecamatan Siberut Barat Daya Desa Simalegi Kecamatan Siberut Barat

4

Pelatihan PRB untuk Disabilitas

Masyarakat Disabilitas

Desa Bosua 5 cluster/dusun Desa Taileleu 7 cluster/dusun Desa Sagulubek 7 cluster/dusun Desa Simalegi 5 cluster/dusun

5

Simulasi Gempa dan Tsunami

Masyarakat Dusun Pusaregat dan Pupaliat Desa Sagulubek Tim PB Dusun Pusaregat dan Pupaliat

Desa Sagulubek

3

Sumber : ASB, 2015

No 1

Tabel 16. Materi Pengurangan Risiko Bencana Materi Komunitas Daerah Intervensi a. Pengetahuan Manajemen Bencana b. Dapur Umum c. Komunikasi d. Pemetaan e. Logistik dan peralatan f. Pertolongan Pertama g. Psikososial dan trauma

Masyarakat

1. Dusun Sao 2. Katiet 3. Mongan Bosua 4. Gobik

Sumber: SurfAID International Kabupaten Kepulauan Mentawai, 2008


Tingginya angka korban jiwa pada bencana tsunami tahun 2010 membuktikan masih minimnya pengetahuan pengurangan risiko bencana terhadap masyarakat di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Hal itu berakibat pada minimnya tingkat kesiapsiagaan warga Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam membaca ancaman bencana gempa dan tsunami. Seperti di Dusun Maonai, Desa Bulasat, Kecamatan Pagai Selatan. Terbukti, anak-anak yang sudah terlatih mendapatkan pembinaan terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana mampu melakukan evakuasi dari bencana tsunami tahun 2010. Anak-anak tersebut hanya mendapatkan pendidikan singkat mengenai pengurangan risiko bencana melalui simulasi evakuasi tsunami sebanyak dua kali di sekolah. Namun pendidikan singkat itu mampu menyelamatkan mereka dari pada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan pemahaman pengurangan risiko bencana. Untuk meningkatkan kapasitas terhadap pemahaman risiko bencana gempa dan tsunami, kini masyarakat Dusun Maonai sedang mendapatkan pembinaan terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana dari NGO Rebana Indonesia. Awalnya, Rebana Indonesia sudah bersiap untuk melatih warga Dusun Maonai terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami. Namun persiapan itu kalah cepat dengan datangnya bencana tsunami yang meluluhlantakkan Dusun Maonai pada 2010. Akibatnya, mayoritas yang menjadi korban jiwa dan luka-luka adalah orang dewasa. Pada mulanya, Rebana Indonesia sendiri hanya konsentrasi terhadap pendidikan anak-anak melalui sekolah. Namun mereka melihat kemampuan anak-anak sekolah menyelamatkan diri dari bencana tsunami tahun 2010 setelah mengikuti simulasi evakuasi gempa dan tsunami. Kemampuan anak-anak tersebut menjadi indikator, bahwa ada perbedaan proses evkuasi penyelamatan diri antara warga yang sudah atau pernah didik dalam pemahaman pengurangan risiko bencana. Sebab beberapa anak sekolah yang pernah mengikuti simulasi evakuasi tsunami oleh Rebana Indonesia menjadi korban akibat terbawa orang tuanya yang masih bingung menentukan arah evakuasi saat gelombang tsunami datang.85 Atas dasar indikator kemampuan anak-anak sekolah yang mampu menyelamatkan diri setelah mengikuti simulasi evakuasi gempa dan tsunami, maka orang dewasa atau warga umumnya juga harus mendapatkan pelatihan dan pemahaman terhadap pengurangan risiko bencana gempa-tsunami. Apalagi aktivitas sehari-hari warga masih di bibir pantai, meski tempat tinggal mereka di huntara sudah dianggap aman dari jangkauan tsunami. Secara terstruktur, Rebana Indonesia sudah membentuk Kelompok Siaga Bencana (KSB) di beberapa dusun, termasuk Dusun Maonai. Kelompok Siaga Bencana yang terdiri dari beberapa orang tersebut secara berkesinambungan mendapatkan pelatihan pengurangan risiko bencana. Kelompok Siaga Bencana tersebut ditargetkan akan 85 Wawancara dengan Nelson, Staf Rebana Indonesia.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

85


menjadi garda depan bagi semua warga Dusun Maonai untuk mampu menyelamatkan dan melakukan evakuasi warga ketika timbul ancaman gempa dan tsunami.86

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

3.7.6. Tata Ruang Berbasis Penanggulangan Bencana

86

Tingginya korban jiwa terhadap bencana tsunami tahun 2010 di Kabupaten Kepulauan Mentawai merupakan akibat dari lokasi permukiman warga yang dekat dengan bibir pantai. Angka fantastis itu menunjukkan 509 korban jiwa dan 11.425 orang mengungsi akibat bencana tsunami. Mayoritas korban berasal dari kelompok rentan, seperti anak-anak dan ibu rumah tangga. Meski tsunami sudah melanda Kabupaten Kepulauan Mentawai, bukan berarti ancaman itu tidak akan datang kembali. Apalagi Mentawai berada di patahan lempeng Indo-Australia. Bahkan terakhir, masih ada energi terkuat di Kabupaten Kepulauan Mentawai, tepatnya di Pulau Siberut dengan ancaman gempa berpotensi tsunami. Untuk menyikapi hal itu, BNPB bersama Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai memandang perlu untuk menata ruang berbasis penanggulangan bencana. Hal ini tergambar dalam proses penempatan hunian tetap (huntap) di semua titik yang terdampak tsunami tahun 2010. Di Kecamatan Sipora Selatan, beberapa dusun yang terdampak tsunami kini sedang melakukan percepatan pembangunan huntap di daerah yang dianggap sudah memenuhi kriteria aman dari ancaman tsunami. Juga pembangunan huntap di Kecamatan Pagai Utara dan Pagai Selatan, lokasi itu dianggap aman dari jangkauan tsunami sebagaimana yang telah diprediksikan pada kegiatan MMDirex 2014. Meski sebagian daerah pedesaan dan pedusunan yang terdampak tsunami tahun 2010 sudah direlokasi serta menempati lokasi aman tsunami, masih ada beberapa tempat publik yang dianggap rawan ancaman tsunami. Seperti pusat pasar di ibu kota kecamatan, yang umumnya masih berada di garis pantai dan masih rentan dengan ancaman tsunami. Contohnya Pasar Sikakap sebagai ibu kota Kecamatan Sikakap. Pasar Sikakap merupakan pusat pasar dari tiga kecamatan, di antaranya Kecamatan Pagai Selatan, Kecamatan Pagai Utara, dan Kecamatan Sikakap. Sama halnya di Pasar Sioban, Kecamatan Sipora Selatan dan Pasar Muara Siberut, Kecamatan Siberut Selatan. Untuk Pasar di Tuapeijat, Kecamatan Sipora Utara sudah aman pada jangkauan tsunami, namun hingga saat ini belum berfungsi. Semua aktivitas perdagangan masih menyebar di sepanjang pantai. Dari empat pasar ibu kota kecamatan tersebut, semuanya sudah memiliki jalur evakuasi tsunami, lengkap dengan arah evakuasi yang sudah dipahami warga dan pengungjung asing lainnya. Dengan proses tata ruang yang lengkap dengan jalur dan arah evakuasi tsunami, diharapkan mampu mengurangi risiko bencana dari ancaman bencana alam tesebut. 86 Wawancara dengan Winda Iri Nugroho, Staf Rebana Indonesia.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Namun, semua sekolah di Kecamatan Siberut Utara masih dalam jangkauan ancaman tsunami. Lokasi ibu kota Kecamatan Siberut Utara yang berada di Desa Sikabaluan juga masih rentan dengan ancaman tsunami. Sedangkan jalur evakuasi menuju titik aman sekitar 4,5 kilometer, membuat proses evakuasi akan menempuh risiko tinggi. Apalagi badan jalan evakuasi yang kurang lebar. Berdasarkan hasil kajian simulasi evakuasi tsunami di Desa Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara, peserta mampu mencapai titik aman dengan menempuh waktu 35 menit. Padahal ancaman dari Megathrust Mentawai, penduduk hanya memiliki waktu evakuasi selama tujuh menit.87 Untuk menekan angka korban jiwa dari ancaman tsunami di Desa Sekabaluan, Kecamatan Siberut Utara, pemerintah sudah merencanakan pembangunan penampungan dengan kapasitas sekitar seribu jiwa. Rencananya, shelter itu dibangun pada tahun 2015 di Desa Sikabaluan sebagai ibu kota Kecamatan Siberut Utara.

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Untuk di kawasan Pulau Siberut, pemerintah sudah mulai memindahkan beberapa sekolah dan kantor pemerintahan yang masih berada dalam jangkauan tsunami. Seperti di Dusun Pei-Pei, Desa Taileleu, Kecamatan Siberut Barat Daya, sekolah dasar serta kantor pemerintahan sudah mulai direlokasi ke tempat yang aman dari tsunami. Begitu juga dengan Desa Sikabaluan, Kecamatan Siberut Utara, kantor dan puskesmas pun sudah pindah ke lokasi aman.

87

Untuk mengetahui lokasi huntap yang ada di Kabupaten Kepulauan Mentawai, berikut dijelaskan dalam bentuk tabel.

No 1. 2 3

Tabel 17. Lokasi Huntap di Kecamatan Sipora Selatan Kecamatan Ketinggian dari Permukaan Laut Sipora Selatan 5 - 7 Meter Pagai Selatan 17 – 25 Meter Pagai Utara 17 – 25 Meter Sumber: BPBD Provinsi Sumatera Barat, 2014

3.7.7. Faktor Pendorong dan Penghambat Ketangguhan 3.7.7.1. Faktor Pendorong Kejadian bencana gempa bumi yang disusul tsunami menjadi satu faktor pendorong bagi masyarakat Mentawai untuk lebih sadar terhadap ancaman bencana. Sikap sadar terhadap ancaman bencana itu tentunya dengan meningkatkan kemampuan terhadap pemahaman pengurangan risiko bencana. Hal ini didukung dengan 87 Hasil simulasi evakuasi gempa dan tsunami BPBD Kabupaten Kepulauan Mentawai, 21 Oktober 2014.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 88

SIAP KIRIM. Ribuan kubik kayu di Dermaga Polaga Sikakap milik PT Minas siap kirim. (Foto: Iswanto)

intervensi pihak luar, seperti organisasi kemanusiaan pengurangan risiko bencana. Melalui intervensi NGO tersebut, masyarakat antusias mengikuti berbagai pelatihan dan pendalaman pengetahuan terkait pengurangan risiko bencana. Antusiasme itu juga didukung kondisi geografis Kabupaten Kepulauan Mentawai yang menuntut warga Bumi Sikerei menjadi lebih siap dengan kemampuan sumber daya yang ada.

Pembauran antara masyarakat Mentawai dengan para pendatang juga menjadi salah satu upaya peningkatan kapasitas dalam memahami berbagai karakter ancaman bencana. Di samping itu, munculnya perusahaan, seperti HPH, juga menjadi salah satu pengalaman dasar bagi masyarakat untuk mampu mengelola konflik. Keberadaan perusahaan kayu tersebut kerap memberikan pengalaman konflik sosial, terkait berbagai kepentingan, kepada masyarakat. Berbagai masalah yang muncul selama masyarakat bekerja dalam perusahaan kayu itu, secara tidak langsung mendidik masyarakat untuk mampu dan mengelola konflik dalam kesehariannya. Musyawarah dan mengambil keputusan secara bersama menjadi dasar hukum bagi masyarakat untuk menentukan sikap dan tindakan. Di samping itu, pasca-tsunami 2010, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai juga menyadari pentingnya perencanaan pembangunan berbasis penanggulangan bencana. Untuk menghindari ancaman gempa dan tsunami, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai mulai melakukan kebijakan arah pembangunan di kawasan yang aman dari jangkauan tsunami. Beberapa fasilitas umum, seperti kantor pemerintahan, sekolah, puskesmas, serta usaha bisnis penginapan mulai diarahkan pada tempat tinggi dan relatif jauh dari bibir pantai. Kebijakan ini berdasarkan kenyataan Kabupaten Kepulauan Mentawai sebagai daerah yang paling rentan dengan ancaman gempa dan tsunami yang tidak akan berakhir. 3.7.7.2. Faktor Penghambat Kebijakan yang dilakukan pemerintah tidak semuanya mendukung dalam menciptakan masyarakat tangguh terhadap bencana. Seperti dalam kebijakan penetapan hunian sementara dan hunian tetap. Dalam hal ini, pemerintah


merelokasi semua dusun, baik yang terdampak maupun yang dianggap rentan dengan ancaman tsunami. Dalam melakukan kebijakan relokasi menuju huntara, masyarakat menganggap pemerintah kurang berkoordinasi dan berkomunikasi. Seperti pembangunan hunian sementara di Kecamatan Sipora Selatan, Desa Bosua. Ratusan hunian sementara itu terbangun sia-sia, karena dengan pelbagai alasan masyarakat tidak bersedia menempatinya. Seperti anggapan lokasi hunian sementara yang jauh dari ladang warga. Lokasi hunian sementara itu juga tidak memiliki fasilitas pendukung, seperti air bersih, penerangan, seta akses jalan yang layak. Akhirnya, masyarakat lebih memilih membuat hunian sementara secara pribadi dan bantuan dari NGO. Bukan hanya di Kecamatan Sipora Selatan, Kecamatan Pagai Selatan dan Pagai Utara juga hampir mengalami hal sama. Pemerintah cenderung kurang komunikasi dan koordinasi dalam mengambil kebijakan. Terkesan, kebijakan pemerintah tidak berpihak kepada masyarakat yang menjadi korban. Bahkan terjadi ketegangan karena sebagian dusun tidak menerima lokasi hunian tetap versi pemerintah. Akhirnya, sebagian dusun melakukan kesepakatan bersama untuk mencari lokasi hunian tetap berdasarkan pilihan masyarakat sendiri. Warga sendiri memilih lokasi hunian berdasarkan lokasi yang dekat dengan ladang, sebagai ketahanan pangan. Menurut penduduk, bila lokasi hunian tetap mengikuti kebijakan dari pemerintah, ketahanan pangan tidak akan terjamin karena lokasi ladang terlalu jauh. Hingga kini, warga yang sudah menempati lokasi hunian tetap berdasarkan kebijakan pemerintah belum merencanakan pemulihan ekonomi secara mandiri. Mereka masih menunggu kebijakan dan bantuan dari pemerintah terkait pemulihan ekonomi. Intervensi dari pihak luar serta kultur masyarakat setempat sejauh ini juga belum berjalan maksimal. Berbagai pembangunan dianggap kurang memahami nilai-nilai kearifan lokal dalam mewujudkan masyarakat tangguh terhadap ancaman bencana.

JALAN LICIN. Tim Support, Wawan Budianto melawan jalan berlumpur dan licin menuju Dusun Maonai. (Foto: Yani).

JALAN LICIN. Tim Support, Wawan Budianto melawan jalan berlumpur dan licin menuju Dusun Maonai. (Foto: Yani).

Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

89


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh 90

MENEMBUS HAMBATAN. Dalam perjalanan menuju Maonai, hujan deras disertai angin kencang mengakibatkan beberapa pohon tumbang dan menghambat perjalanan tim dokumentasi. (Foto: Wawan Budianto)

Pemerataan pembangunan yang belum terealisasi juga menjadi penyebab kesulitan antara masyarakat dan pihak luar untuk melakukan tahapan pembangunan. Akses jalan dan sarana komunikasi menjadi urat nadi bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomian secara mandiri. Namun sampai saat ini, keduanya menjadi hambatan utama bagi masyarakat untuk tampil tangguh secara mandiri dalam melakukan pemulihan ekonomi mandiri.


Praktik dan Implementasi Masyarakat Tangguh

Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

91


Hidup di Atas Patahan Sesar

Potret Tangguh Masyarakat Mentawai


93

BAB IV

Penutup


BAB IV

Penutup

4.1. Kesimpulan

PENUTUP

Sebelum terjadi gempa-tsunami, sebagian masyarakat Mentawai sudah memahami adanya ancaman bencana. Dengan memiliki pengetahuan terhadap ancaman bencana, masyarakat pun mampu beradaptasi terhadap ancaman bencana. Setelah gempa dan tsunami tahun 2010, pengetahuan warga Mentawai semakin bertambah terhadap ancaman bencana.

94

Komunikasi dan keterbukaan terhadap semua informasi menjadi salah satu modal bagi masyarakat Mentawai untuk tetap bersatu dan menjaga nilai-nilai kerukunan. Sejauh ini, dalam menyelesaikan masalah, masyarakat aktif melakukan komunikasi untuk merumuskan dan mencari solusi terhadap semua masalah. Hal ini juga didukung oleh pemimpin yang setia dalam barisan masyarakat sendiri. Secara terorganisir, masyarakat selalu melakukan tahapan-tahapan dalam menyelesaikan berbagai masalah, baik sosial, budaya, bahkan kebencanaan. Terbukti, ketika terjadi bencana, secara spontan masyarakat mampu mengorganisir berbagai tugas dalam menghadapi masa tanggap darurat sebelum mendapatkan bantuan dari pihak luar, termasuk pemerintah. Modal sosial, sejauh ini sangat berperan aktif dalam mengatasi berbagai masalah. Aktivitas keseharian warga Mentawai pada prinsipnya menjadi sikap dan perilaku tangguh saat menghadapi bencana. Berbagai kebiasaan hidup yang sudah menjadi tradisi secara turun-temurun justru terpelihara tanpa terkikis oleh arus modernisasi. Seperti kebiasaan Rob Parob (tolong-menolong) dan Mugalai Simakere (gotongroyong), sikap itu sudah ada sejak dahulu. Hingga kini, perilaku itu terus terjaga dan mampu menyelesaikan berbagai masalah untuk saling meringankan beban kehidupan satu sama lainnya. Gotong royong, bagi warga Mentawai merupakan kegiatan rutin yang selalu dilakukan hampir setiap bulan, baik membersihkan lingkungan maupun memperbaiki fasilitas umum yang dianggap mengganggu akses ekonomi dan hubungan antar-dusun. Perilaku hidup bersih tersebut berlandaskan kesadaran warga yang didukung dengan berbagai pihak, baik lembaga kemanusiaan (NGO) maupun pemerintah.


Hidup Diatas patahan sesar potret tangguh masyarakat mentawai

Berbagai keahlian dan kemampuan sumber daya selalu dimanfaatkan warga Mentawai untuk saling membantu. Ketika terjadi bencana, warga yang memiliki kemampuan untuk mengobati luka dengan obat tradisional sangat membantu korban untuk bertahan hidup, meski dalam kondisi lemah. Melalui ramu-ramuan bahan tradisional, seorang Sikerei (dukun), dengan sukarela memberikan pertolongan kepada warga yang menderita sakit, baik luka, melahirkan, maupun pasien yang mengalami gangguan ghaib. Sikerei sendiri tidak pernah menerima bayaran, namun selalu siaga ketika pasien membutuhkan pertolongan. Meski kondisi ekonomi masyarakat Mentawai belum stabil pasca-tsunami 2010, masyarakat tetap bekerja keras untuk mencari penghasilan alternatif. Hal ini dilakukan karena kondisi yang terbatas membuat masyarakat bangkit secara mandiri. Dalam kesibukan mempersiapkan hunian sementara sampai hunian tetap, warga antusias untuk mencari pekerjaan yang dianggap mampu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Berbagai penghasilan alternatif selalu menjadi modal penghasilan bagi para korban untuk tetap bertahan hidup.

PENUTUP

Di samping itu, ketahanan pangan, melalui kebiasaan bertani dengan menanam keladi, pisang, kelapa, dan sagu, justru menjadi solusi dalam menghadapi kondisi darurat atau mahalnya harga kebutuhan di pasar. Di saat bencana, penduduk Mentawai tidak seperti warga kota umumnya, saling berebut berbagai bantuan kebencanaan. Mereka arif memanfaatkan hasil ladang sebagai ketahanan pangan ketika dalam kondisi susah atau tanggap darurat. Dengan mengolah keladi dan pisang sebagai makanan, warga mampu bertahan hidup selama beberapa hari di pengungsian sambil menunggu bantuan datang dari berbagai pihak. Kebiasaan itu, tanpa disadari, sudah menjadi sikap mandiri serta sadar dalam menghadapi berbagai bentuk masalah kehidupan.

95


Hidup Di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai

Hidup Di Atas Patahan Sesar Potret Tangguh Masyarakat Mentawai Diterbitkan atas dukungan

Cover MENTAWAI.indd 1

22/06/2015 15:42:40


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.