Pengetahuan untuk pengembangan kapasitas

Page 1

PPENGETAHUAN UNTUK PPENGEMBANGAN KAPASITAS

Kompilasi Sinopsi dan Kartu Kodifikasi Pengetahuan yang Diolah dari Pengalaman dan Refleksi Para Konsultan CDSP

KNOWLEDGE MANAGEMENT UNIT Capacity Development Support Program Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction 2015


PENGETAHUAN UNTUK PENGEMBANGAN KAPASITAS PENANGGULANGAN BENCANA Kompilasi Sinopsis dan Kartu Kodifikasi Pengetahuan yang Diolah dari Pengalaman dan Refleksi Para Konsultan CDSP

KNOWLEDGE MANAGEMENT UNIT Capacity Development Support Program Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction

2015 Â


PENGANTAR Kompilasi ini merupakan hasil kerja Tim Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge Management Team) dalam menangkap, menggali, mengolah, menuliskan, dan mendiseminasikan pengetahuan implisit (tacit knowledge) yang melekat pada implementasi program oleh para konsultan CDSP. Pengetahuan ini adalah hasil refleksi mendalam para konsultan atas pengalamannya sendiri, yang kemudian diolah lebih lanjut oleh Tim KM. Karena itu, pengetahuan ini bersifat kontekstual, tidak dapat dilepaskan dari bidang kerja, lingkungan kerja, faktor politis dan birokratis, serta sosial-budaya, termasuk juga sejarah hidup dan pengalaman berharga sebelum bergabung dengan CDSP, dan nilai-nilai yang telah dibangun dan dihidupi oleh para konsultan. Dalam hal ini, Tim KM lebih berfungsi sebagai mitra bagi konsultan untuk membantu mempertajam refleksi agar pengetahuan bersifat spesifik, otentik, inheren dan inspiratif, baik bagi konsultan sendiri maupun bagi orang lain. Upaya semacam ini selalu mensyaratkan pendekatan dan metode spesifik, disesuaikan dengan karakter personal dan lingkungannya serta ketersediaan waktu. Hasil refleksi bersama konsultan kemudian dirumuskan dalam dalam bentuk eksemplar pengetahuan, yang diinput dalam kartu kodifikasi pengetahuan. Untuk mencapai hasil yang maksimal, hasil formulasi eksemplar pengetahuan ini selanjutnya dikonfirmasikan secara langsung kepada konsultan di akhir wawancara. Proses konfirmasi ini diperlukan untuk mensistematisir ulang produk pengetahuan. Berdasarkan hasil konfirmasi tersebut, tim KM menuliskan sinopsis pengetahuan. Perlu dicatat bahwa kompilasi sinopsis dan kartu kodifikasi pengetahuan ini tidak memuat semua tema dan sub-tema yang mau digali, karena keterbatasan teknis menyangkut waktu. Namun sangat diharapkan bahwa kompilasi ini dapat digunakan, atau sekurang-kurangnya menginspirasi upaya yang sama di sektor Penanggulangan Bencana di Indonesia.

Tim KM berterima kasih kepada pengelola CDSP yang telah menginisiasi upaya pengelolaan pengetahuan ini. Terima kasih juga disampaikan kepada semua konsultan CDSP yang telah meluangkan waktu dan energi untuk berefleksi secara intensif sehingga menghasilkan kompilasi ini.

Plaosan, Yogyakarta, 20 Juni 2015 Tim KM

Â

i Â


DAFTAR ISI Pengantar

i

Daftar isi

ii

Keterangan Kodifikasi

iii

Sinopsis Pengetahuan Integrasi Isu PB dalam SPPD

1

Pengelolaan Konflik dalam Penggalangan Kerjasama Multipihak

8

untuk PB Membangun Concern pada Level Individu

12

Mengubah Pendekatan PB yang Birokratis menjadi Partisipatif

16

Mengubah Persepsi Pimpinan BPBD tentang Paradigma PB

21

Pendekatan Budaya dalam Penyadaran di Tingkat Masyarakat

26

Pengkajian Risiko Bencana (PRB) dalam Pengurangan Risiko

30

Bencana (PRB) Penyelenggaraan Serial Diskusi Publik tentang Penanggulangan

35

Bencana Pelembagaan Isu PB di Perusahaan (Grand Zuri Hotel)

39

Perluasan Wacana PB di Tingkat SKPD

43

Penggalangan Kerjasama Multipihak Berbasis Kelembagaan untuk

47

Penanggulangan Bencana

Â

Sistem Edukasi Masyarakat Berbasis Bencana (Erupsi)

52

Mengelola Proses Politik dalam Perumusan Kebijakan PB

58

Pendekatan Evaluasi Ketangguhan Masyarakat

62

Pengembangan Kapasitas a la CDSP

65

Visi Pengembangan Kapasitas CDSP

71

ii Â


KETERANGAN KODIFIKASI KODE: JP/PP/TP Jenis Pengetahuan (JP): Kode I Pengetahuan kognitif (know-what): penguasaan keterampilan yang dicapai melalui proses pendidikan dan pelatihan Kode II Keahlian (know-how): kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan kognitif ke dalam pelaksanaan yang efektif dalam realitas yang kompleks Kode III Pemahaman sistem (know-why): Pengetahuan mendalam tentang hubungan sebab-akibat yang mendasari suatu fakta atau realitas Kode IV Kreativitas motivasi-diri (care-why): merupakan keinginan, motivasi, dan kemampuan adaptasi yang memungkinkan pembaharuan Pendekatan Pengetahuan (PP): Kode A (struktural) : Melihat ke dalam organisasi yang telah ada atau dimiliki oleh organisasi (Kebijakan, peraturan, SOP, tata kelola) Kode B (aktivitas) : Merujuk serangkaian kegiatan-kegiatan yang dilakuan orang-orang berdasarkan struktur organisasi di dalam organisasi Kode C (perilaku) : Mengembangkan budaya-budaya kerja dalam suatu organisasi Tujuan Pengetahuan (TP): Kode 1 (Normatif) : Goal pada level ini lebih mengarah kepada sasaran yang bersifat normatif, sehingga masing-masing pengguna dapat berbagi dan memanfaatkan pengetahuan yang ada Kode 2 (Strategis) : Goal pada level ini adalah perbaikan pencapaian sasaran organisasi, yang sifatnya jangka panjang dan diorientasikan ke masa depan Kode 3 (Operasional) : Goal diarahkan pada aspek-aspek praktis dan dapat terlihat (observable) yang memudahkan proses operasional sehari-hari. Empat Fungsi Pengetahuan: 1. Sebagai Rujukan Pengambilan keputusan 2. Mengidentifikasi dan memahami responsivitas publik 3. Mengidentifikasi dan meningkatkan efisiensi kerja 4. Mengidentifikasi dan mengembangkan inovasi produk dan layanan

Â

iii Â


Sumber Bukti

:

Mitra

:

Rujukan Pembanding

:

Â

dokumen: buku, booklet, dokumen peraturan, SOP, risalah rapat, daftar hadir, dsb. adalah perorangan/kelompok/komunitas/lembaga yang bekerjasama secara langsung dengan konsultan CDSP. adalah perorangan/kelompok/komunitas/lembaga yang menjadi penerima manfaat dari kerja konsultan CDSP.

iv Â


SINOPSIS PENGETAHUAN

INTEGRASI ISU PB DALAM SPPD Tema Sub-tema Sumber

: : :

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan), Prof. Darmawan Salman (Konsultan Utama, Bappeda Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi Audio-Visual) Makassar, Sulawesi Selatan 28 September – 2 Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

*** Meskipun penanggulangan bencana (PB) telah menjadi salah satu concern dalam pemerintahan, dibutuhkan upaya lebih konkrit untuk mengarusutamakan penanggulangan bencana (PB) dalam kebijakan di tingkat daerah, melalui integrasi isu PB dalam sistem perencanaan dan penganggaran daerah (SPPD). BPBD Provinsi Sulawesi Selatan mengupayakan pengarusutamaan kebijakan tersebut melalui integrasi isu PB dalam RPJMD 2013-2018. Upaya BPBD Provinsi Sulawesi Selatan untuk merumuskan program yang sistematik dan penganggaran yang bersumber dari APBD terbentur kenyataan tidak tersedianya satupun jenis program dalam RPJMD yang dapat menjadi dasar perencanaan dan penganggaran untuk bidang penanggulangan bencana. Agar bidang ini bisa diakomodir dalam perencanaan internal (Renstra) BPBD, maka memasukkan isu penanggulangan bencana sebagai program prioritas dalam RPJMD 2013-2018 merupakan syarat yang harus ditempuh. Langkah-langkah yang dilakukan BPBD Provinsi Sulawesi Selatan: Pertama, menegaskan dirinya sebagai Badan yang mengkoordinasikan upaya penanggulangan bencana dan bagaimana kaitan dan kerjasama dengan SKPD lainnya tanpa mengurangi atau mencampuri tupoksi SKPD tersebut. Kedua, meyakinkan kepada berbagai SKPD dan berbagai kalangan tentang pentingnya penanggulangan bencana di Sulawesi Selatan. Untuk itu, BPBD membentuk sebuah panitia yang dipimpin oleh Sekretaris BPBD, yang bertugas melakukan advokasi pada jalur formal kepada Bappeda. Dengan difasilitasi oleh Konsultan CDSP dan dibantu oleh Forum PRB, panitia tersebut juga menemukan/mengenali serta membangun relasi dengan aktor-aktor kunci dalam sistem perencanaan pembangunan daerah (SPPD). Salah satu aktor kunci yang dilibatkan adalah Profesor Darmawan Salman, Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Hasanudin,

KM-­‐CDSP 2015

1


yang juga merupakan konsultan utama perumusan RPJMD 2013-2018. Setelah secara seksama membaca rancangan RPJMD dan berhasil meyakinkan Bappeda bahwa isu PB sama sekali belum dimasukkan dalam RPJMD, BPBD disarankan untuk langsung mendiskusikan upaya tersebut dengan Prof. Darmawan. Prof. Darmawan tidak serta-merta menolak ataupun menerima. Pada saat itu, beliau juga tengah mencari cara untuk memasukkan satu isu lain yang menjadi perhatiannya, yaitu penyuluhan pertanian. Advokasi dari BPBD, dibantu oleh Forum PRB, akhirnya meyakinkan Prof. Darmawan untuk memfasilitasi dimasukkannya isu PB dalam RPJMD Provinsi Sulawesi Selatan, yang memungkinkan BPBD untuk melakukan perencanaan program yang sistematis dan mengakses Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah setidaknya dalam kurun waktu lima tahun. Memasukkan isu PB dalam RPJMD berarti mengupayakan pelembagaan kebijakan, menjadikan isu kebencanaan masuk dalam batang tubuh dokumen perencanaan, demikian ditegaskan Prof. Darmawan. Kiat: K-T-P K = Kaji-­‐ulang

T = Temukan landasan filosofis dan h ukum

P = Produksi wacana PB untuk pengambil kebijakan

Terdapat beberapa hal yang menjadi kendala terhadap upaya pelembagaan tersebut. Ketika itu, daftar indikator kinerja pemerintah daerah yang dikeluarkan oleh Kemendagri sebagai acuan semua SKPD belum memuat urusan penanggulangan bencana. Daftar indikator kinerja sendiri ada dua versi, yaitu yang dikeluarkan oleh Kemenpan (Permen PAN 20) dan Kemendagri (Permendagri 24). Hambatan ini bersumber dari peraturan di tingkat birokrasi, yang belum memberikan ruang untuk isu penanggulangan bencana. Selain itu, provinsi Sulawesi Selatan belum memiliki pencatatan sejarah bencana, atau data mining tentang bencana, yang berarti bahwa dukungan bukti tentang pentingnya isu PB tidak dapat diambil dari data serial tahunan (time series). Hal ini dapat dimengerti karena BPBD merupakan lembaga yang relatif baru dan belum memiliki sistem pendataan yang mapan. Di sisi lain, pemahaman dan wacana PB masih terbatas pada lingkup tanggap darurat. Pemahaman ini terutama terdapat di berbagai SKPD di provinsi Sulawesi Selatan. Untuk memasukkan isu baru yang sama sekali tidak disebutkan sebagai judul program dalam Permendagri 24, dibutuhkan siasat tertentu untuk menciptakan “celah” sambil membangun landasan pembenaran (justifikasi) yang kuat. KM-­‐CDSP 2015

2


Prof. Darmawan mengingat kembali pengalaman pada saat merumuskan RPJMD pada periode sebelumnya. Ketika itu, Kepala Daerah telah membuat janji politik tentang pendidikan gratis. Janji politik ini menyalahi logika. Pendidikan tidak dapt dikatakan gratis atau tidak. Yang benar adalah bebas biaya sekolah atau sekolah gratis. Lebih berat lagi, frase pendidikan gratis tidak tercantum dalam Permendagri sebagai judul program. Namun, logika yang salah tersebut terlanjur menjadi janji politik dan diterima sebagai kebenaran publik melalui pewacanaan yang masif. Upaya untuk memasukkannya sebagai program prioritas juga terbentur tidak adanya stock of knowledge sebagai dasar proyeksi dan justifikasi. Hal yang mirip terjadi ketika isu PB diupayakan masuk sebagai program prioritas dalam RPJMD. Untuk membangun dasar argumentasi yang kokoh, BPBD bekerja sama dengan tim perumus RPJMD melakukan pewacanaan isu PB melalui rangkaian (2-3 kali) konsultasi/diskusi publik. Pewacanaan ini melibatkan SKPD, DPRD dan para pihak non-pemerintah dan menekankan penanggulangan bencana dalam perspektif yang diamanatkan oleh UU PB (24/2007) serta pentingnya isu PB masuk dalam kebijakan pemerintah provinsi. Terbangun kesepahaman bahwa 1) penanganan bencana (tanggap darurat bencana) seperti yang terjadi pada masa lalu tidak memadai; dan 2) bencana dapat terjadi sewaktu-waktu, maka yang paling penting adalah memperkuat kapasitas seluruh elemen untuk mengantisipasi dan merespon kejadian bencana. Terkait hal ini, Prof. Darmawan menyatakan, “Fokus kami waktu itu kuatkan saja kapasitas maka apapun bencana terjadi, kita punya kapasitas untuk merespon itu.” Kesepahaman tersebut memberikan landasan yang kuat untuk mendorong pelembagaan isu PB dalam kebijakan provinsi. Dengan kata lain, telah disepakati pengarusutamaan isu PB ke dalam kebijakan pemerintah provinsi. Mengingat perencanaan adalah pengejewantahan pengetahuan menjadi tindakan, perencanaan pembangunan daerah Provinsi Sulawesi Selatan selalu mensyaratkan ketersediaan data sekurang-kurangnya dalam lima tahun terakhir sebagai dasar proyeksi. Menyangkut hal ini, pemahaman bahwa bencana dapat terjadi sewaktuwaktu menyiratkan bahwa kejadian bencana tidak dapat sepenuhnya diproyeksikan. Hal ini lebih lanjut menyiratkan bahwa ketersediaan data saja tidak memadai. Karena itu, tim perumus RPJMD melihat bahwa catatan tentang kejadian bencana yang sering terjadi sudah cukup untuk memulai membangun kapasitas Provinsi Sulawesi Selatan untuk mengantisipasi dan merespon kejadian bencana. Sesuai peraturan perundang-undangan, dilaksanakan uji publik untuk mensosialisasikan sekaligus menjaring masukan atas RPJMD. Pada tahap ini, SKPD, termasuk BPBD, memberi masukan atas naskah RPJMD. Akhirnya, Isu PB masuk dalam RPJMD sebagai Tujuan (BAB IV), Sasaran (BAB V) dan kebijakan dan program. Terkait dengan hal itu, Prof. Darmawan menyatakan: “Isu PB memang seharusnya diintegrasikan sejak awal ke dalam sasaran strategis RPJMD. Sehingga isu PB dapat menjadi program prioritas dan dijabarkan lebih lanjut ke dalam berbagai aktivitas.”

KM-­‐CDSP 2015

3


Sebagai rangkuman, dapat dikatakan bahwa proses pelembagaan isu PB dalam SPPD Sulawesi Selatan mencakup tiga tahap, yaitu 1) Identifikasi ketersediaan data bencana; 2) pemetaan isu bencana melalui diskusi publik; dan 3) rumusan pernyataan tertulis isu PB sebagai sasaran dalam RPJMD.

Identifikasi Ketersediaan Data

Pemetaan Isu Bencana

Perumusan PB sbg Sasaran RPJMD

Pewacanaan berlanjut seiring dengan perumusan Rencana Strategis (Renstra) BPBD Provinsi, yang disinkronkan dengan rumusan tujuan dan empat sasaran prioritas menyangkut isu PB dalam RPJMD.

KM-­‐CDSP 2015

4


Skema Proses

Tim Perumus RPJMD (Prof. Darmawan)

BPBD Sulsel (Panitia)

Bappeda Forum PRB

Pewacanaan untuk Pengambil Kebijakan

DPRD SKPD

Perumusan dalam RPJMD

Perda ttg RPJMD

KM-­‐CDSP 2015

5


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber: Buttu Ma’dika; Prof. Darmawan

Kode :

JP

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

3

A

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Pelembagaan Isu PB Sub-sub Tema : Integrasi Isu PB dalam SPPD (Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah) B Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE)

E

Kombinasi (EàE)

C

Internalisasi (EàT)

I

S1. Menemukenali Aktor Kunci SPPD (Butu) S2. Menjalin Relasi dan Berkolaborasi dengan Aktor Kunci dalam SPPD (ButtuDarmawan) S3. Tantangan dan Peluang Pelembagaan Isu PB dalam SPPD (Buttu, Darmawan) E1. Kiat Temukan Celah Isu PB dalam SPPD (Darmawan, KTP (Kaji-ulang, Temukan landasan, Produksi wacana)

E2. Pendekatan dan strategi Pengarusutamaan wacana PB C1. Menjembatani dan mengintegrasikan isu PB dalam RPJMD C2. Merumuskan sasaran, kebijakan dan program PB dalam RPJMD C3. Sinkronisasi Renstra BPBD dengan RPJMD C4. Kiat: Checklist Pengintegrasian Isu PB dalam RPJMD dan Sinkronisasi dengan Renstra BPBD I1. Review RPJMD dengan perpersktif pengelolaan PB

C

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Rekaman dan transkrip wawancara kepada konsultan dan testimoni Prof. Darmawan ToR Serial Diskusi Publik, Foto dan Laporan kegiatan Dokumen RPJMD dan Renstra BPBD, Laporan proses penyusunan renstra BPBD Dokumentasi penjabaran renstra oleh bidang di lingkungan BPBD (foto dan catatan rapat)

D

VALIDASI

TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE)

Testimoni dari pimpinan dan lintas SKPD

Kombinasi (EàE)

Internalisasi (EàT)

E

LEVEL ORGANISASI

LEVEL JARINGAN

Pemahaman Tupoksi masingmasing bidang di BPBD berdasarkan perspektif PB Dokumen analisis bencana; Kerangka filosofis dan hukum pelembagaan isu PB; Naskah akademik atau dokumen yang diproduksi untuk pengarusutamaan wacana bencana Dokumen RPJMD dan Renstra BPBD, Dokumentasi proses pembahasan RPJMD dan Renstra BPBD Dokumen Renstra BPBD beserta dokumentasi prosesnya.

RINGKASAN NARASI

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan dsb.)

Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

Konsep-Konsep Dasar: 1. Isu PB dalam SPPD: adalah terakomodasinya isu-isu pengelolaan PB dalam siklus perencanaan dan penganggaran daerah; 2. Integrasi Isu PB dalam SPPD adalah adanya pernyataan eksplisit tentang PB ke dalam dokumen

Relevansi bagi Konsultan CDSP: Para konsultan memiliki rujukan dalam mengaplikasikan pendekatan, strategi dan metode advokasi dalam menjembatani dan mengintegrasikan isu-isu PB ke dalam kerangka

Pengetahuan tentang bagaimana mengintegrasikan isu PB dalam SPPD memiliki kontribusi untuk: 1. Mendorong kehendak para politik untuk melembagakan isu PB dalam SPPD; 2. Meningkatkan responsivitas publik untuk terlibat dalam pengarusutamaan isu PB di dalam SPPD;

KM-­‐CDSP 2015

6


perencanaan dan penganggaran daerah. Keterampilan: Membaca dan menyajikan data kebencanaan untuk mempengaruhi cara berpikir pihak-pihak yang terlibat dalam perumusan kebijakan SPPD; Strategi, Metode untuk teknik advokasi kebijakan berbasis pengarusutamaan PB Kiat: Memperkuat kredibilitas wacana pengetahuan PB untuk memberi masukan kepada para pengambil kebijakan SPPD Langkah: (KTP) Kaji-ulang, Temukan Landasan (filosofis dan hukum), Produksi wacana PB bagi pengambil kebijakan.

KM-­‐CDSP 2015

perencanaan dan penganggaran di daerah. Khususnya untuk daerah yang belum mengakomodir isu PB dalam penyelenggaraan SPPD; Pengetahuan ini fokus untuk perbaikan kinerja sumber daya manusia serta pengembangan inovasi terkait pendekatan, metode dan prosedur.

3.

Mengembangkan prakarsa-prakarsa multipihak untuk memproduksi wacana PB dalam kerangka perencanaan.

Signifikansi: Keberhasilan pengintegrasian isu PB ditandai dengan adanya komitmen, kehendak politik dan inisiatif memasukkan isu-isu PB dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah.

7


SINOPSIS PENGETAHUAN

Pengelolaan Konflik dalam Penggalangan Kerjasama Multipihak untuk PB Tema Sub-tema Sumber

: : :

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Mengelola konflik dalam kerjasama multipihak Wawan Budianta, Konsultan CDSP untuk BPBD Propinsi Sumatra Barat Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Nurlailah (Rapporteur) Padang, Sumatra Barat 22-24 September 2014; 10-14 Februari 2015

Konflik adalah keniscayaan yang selalu hadir dalam proses penggalangan kerjasama multipihak. Bahkan, energi konflik sesungguhnya merupakan momentum yang bisa didayagunakan untuk membangun soliditas para pihak. Kiat dan Peran untuk Penggalangan Kerjasama Multipihak Pengalangan kemitraan multipihak, adalah sebuah seni yang melampaui prosedur dan mekanisme yang tekstual. Proses penggalangan kerjasama multipihak adalah upaya merebut hati, memancing kepedulian dan mengundang keterlibatan. Terdapat lima langkah penting untuk melakukan hal itu. Pertama, kenali kondisi sosial budaya para pihak; ke-dua, hadir dan dekatkan diri dengan para pihak; Ke-tiga, jalin relasi yang tulus; Ke-empat, buka ruang keterlibatan sesuai kapasitas dan kompetensinya; dan Kelima, bangun consensus antar pihak. Untuk melaksanakan kelima langkah itu, inisiator penggalangan kerjasama multipihak dalam PB perlu memiliki adaptabilitas dan fleksibilitas peran. Ada lima peran yang perlu disadari oleh para inisiator pengembangan kerjasama multipihak, yakni: peran sebagai pengarah, perajut, perawat, penyeimbang dan penjangkauan.

Sumber Konflik dalam Penggalangan Kerjasama Multipihak Terdapat tiga sumber konflik dalam proses penggalangan kerjasama multipihak. Pertama, konflik personal antar pelaku. Ke-dua, konflik dalam menafsirkan data, informasi, kebijakan dan prosedur. Ke-tiga, konflik otoritas, peran dan tanggung jawab antar pihak. Ketiga sumber konflik itu bisa menjadi batu sandungan dalam proses penggalangan kerjasama. Namun, ketiganya juga bisa menjadi landas pacu untuk mengakselerasi terjadinya soliditas kerjasama antar pihak. Apakah konflik akan menjadi batu sandungan atau landas pacu, sangat ditentukan oleh bagaimana (1) pendekatan pengelolaan konflik, (2) bagaimana menemukan titik singgung untuk melakukan transformasi konflik dan (3) bagaimana memfasilitasi proses negoasiasi antar pihak.

KM-­‐CDSP 2015

8


Pendekatan Pengelolaan Konflik Terdapat tiga pendekatan pengelolaan konflik yang telah dipraktikkan, yaitu: pendekatan top down, pendekatan politis dan pendekatan koordinatif. Pendekatan top down adalah pendekatan pengelolaan konflik yang mengedepankan jalur struktur otoritas untuk meredam dan mengendalikan eskalasi konflik. Pendekatan politis adalah pengelolaan konflik dengan cara mempengaruhi jalur-jalur politik untuk menegosiasikan ragam kepentingan para pihak. Sedangkan pendekatan koordinatif merupakan pengelolaan konflik dengan mengedepankan komunikasi antar pribadi, antar kelompok dan antar lembaga. Pendekatan struktur otoritas digunakan ketika terjadi konflik karena persoalan kewenangan dan tafsir kebijakan antar unsur pelaksana di lingkungan pemerintahan. Contoh kasus, ketika terjadi konflik antara Sekda dan BPBD, yang perlu dilakukan adalah melibatkan gubernur atau wakil gubernur. Pendekatan politik digunakan ketika terjadi benturan kepentingan antar lembaga pemerintah dan non pemerintah. Contoh kasus ketika terjadi konflik yang melibatkan unsur militer, pengusaha dan SKPD dalam pengadaan logistik. Upaya yang dilakukan ketika menghadapi situsi ini adalah melibatkan aktor dari kalangan legislatif. Pendekatan koordinatif digunakan ketika terjadi konflik personal antar pelaku atau organisasi non pemerintahan. Contoh, ketika terjadi konflik antara anggota forum PRB, upaya yang dilakukan adalah menciptakan “ruang dialog” dan memfasilitasi terjadinya komunikasi timbal balik.

Cara Menemukan Titik Singgung Titik singgung yang dimaksud adalah isu atau kepentingan yang bisa dinegosiasikan antar pihak dengan tetap berpegang pada kebijakan dan/atau prinsip-prinsip etis yang berlaku. Titik singgung yang efektif dalam mengelola konflik adalah isu kemanusiaan, isu pelayanan kepada publik serta isu-isu akuntabilitas. Ketiga isu ini digunakan sebagai bahan evaluasi dan refleksi oleh para pihak yang terlibat konflik. Kemampuan persuasi dan afirmasi sangat penting dalam mengelola ketiga isu ini.

Fasilitasi Proses Negosiasi Proses fasilitasi yang sangat penting adalah menciptakan ruang dialog yang kondusif. Salah satunya adalah dengan mengembangkan forum-forum informal seperti coffee morning, silaturahmi, event-event gathering dan sebagainya. Proses ini bertujuan untuk membuka sumbatan komunikasi, melakukan klarifikasi dan konfirmasi antar pihak, tanpa mereka dipersalahkan, dipojokkan dan dihakimi.

Kiat Memfasilitasi Konflik Kenali kepentingan para pihak, latar belakang dan implikasi konflik; Elaborasi harapan, kebutuhan dan horizon para pihak; Tawarkan solusi yang memenangkan para pihak dan bangun pijakan untuk membangun konsensus antar pihak.

KM-­‐CDSP 2015

9


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber: Wawan Budianta

Kode:

JP

I

II ✓

III

IV

PP

A

B

C TP ✓

1

2

3 ✓

A

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Mengelola Konflik Dalam Forum PRB Sub-sub Tema : B Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATA KODE TEMUAN/HASIL N Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE)

E C

Internalisasi (EàT)

I

S1. Peta aktor, kepentingan dan sumber konflik dalam penyelenggaraan PB S2. Episode dan episentrum konflik penyelenggara PB E1. Fasilitasi pengelolaan konflik dalam forum PRB

I1. Merumuskan horison masa depan penyelenggaraan PB (masih perlu didalami)

C

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Testimony dari konsultan, Kabid dan Ketua Forum PRB, diagram peta aktor, ilustrasi kepentingan dan sumber konflik (perlu dirumuskan lebih lanjut) Catatan/notula rangkaian pertemuan forum PRB Pendekatan, metode dan teknik pendekatan penyelesaian konflik

D

VALIDASI

TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT)

Umpan balik para aktor yang terlibat konflik

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Konsep-Konsep Dasar: Konflik dalam penyelenggaraan PB merupakan salah satu keniscayaan proses pelibatan multipihak. Tiga komponen utama dalam pengelolaan konflik penyelenggaraan PB mencakup pemetaan konflik, analisis episode dan epicentrum konflik serta perumusan horison masa depan para pihak dalam PB.

Keterampilan: Deteksi dan pemetaan konflik;

KM-­‐CDSP 2015

Analisis implikasi konflik terhadap kinerja PB Analisis dampak konflik terhadap kinerja forum PRB

LEVEL JARINGAN Analisis implikasi konflik terhadap jaringan PB Manfaat serial diskusi bagi pihak di luar pemerintah.

Deskripsi pendekatan, metode, teknik dan langkah kerja mengelola konflik antar aktor dan lembaga

E

Teknik fasilitasi, konsiliasi, negosiasi, dan mediasi

LEVEL ORGANISASI

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Relevansi bagi Konsultan CDSP: Asimetri kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah dan PB, paradigma pengelolaan PB, Kehendak politik vs aspirasi public terkait layanan public dalam bencana serta perbedaan kepentingan antar aktor merupakan pemicu konflik yang harus dikelola secara konstruktif dan produktif

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Manajemen konflik yang efektif dalam penyelenggaraan PB dan PRB dapat memiliki kontribusi bagi: 1. Pengintegrasian penyelenggaraan PB oleh pemerintah dan nonpemerintah; 2. Terbangunnya kepekaan dan responsivitas terhadap harapan publik terkait dengan profesionalisme, dan akuntabilitas kinerja PB; 3. Mendorong keterlibatan dan kepedulian para pihak dalam PB.

10


. Signifikansi: Energi konflik dalam PB dan PRB merupakan landas pacu untuk menciptakan “ruang dialog” dan “ruang deliberative” antara pemerintah, warga masyarakat dan sektor swasta.

KM-­‐CDSP 2015

11


SINOPSIS PENGETAHUAN MEMBANGUN CONCERN PADA TINGKAT INDIVIDU Proses formal selalu penting untuk menjamin keberhasilan upaya pelembagaan, tetapi proses informal pada tingkat individual tidak kalah penting dan menentukan. Bahkan, membangun dan menjaga concern serta komitmen pada tingkat personal menjadi dasar untuk proses selanjutnya dalam upaya pelembagaan PB, seperti ditunjukkan dalam pengalaman Sulawesi Selatan membangun Forum PRB. *** Kalau harus membangun dari awal, apalagi di tengah situasi kurangnya pemahaman atas isu yang dijunjung, pilihan yang paling mungkin adalah membuka diri, memandang ke luar dan mencari tahu siapa yang sekurangkurangnya dapat diajak berdiskusi. Dalam kondisi ini, integritas personal serta keterampilan membangun dan memelihara relasi interpersonal dengan berbagai pihak sangat menentukan. Tujuannya adalah membangun basis dan jaringan sumber daya manusia dalam penanggulangan bencana melalui upaya membangkitkan keterikatan, keprihatinan, dan komitmen individual untuk melibatkan diri secara personal dan intensif dalam upaya PB/PRB. Dengan tujuan tersebut di atas, pemilihan person yang akan dilibatkan dalam upaya PB/PRB didasarkan pada pertimbangan tertentu. Pertama, perhatian diarahkan pada para pihak yang kerjanya bersentuhan dengan kepentingan publik. Kelompok ini mencakup lingkungan universitas/akademik, lembaga swadaya masyarakat, dan media massa. Ke-dua, perhatian diarahkan pada person-person yang telah mengembangkan keahlian tertentu yang berkaitan dengan aspek-aspek penanggulangan bencana. Keahlian tersebut dapat berkaitan langsung dengan pekerjaan/profesi yang didalami maupun dikembangkan secara mandiri. Ke-tiga, perhatian diarahkan pada person-person yang karena profesinya atau kedudukannya memiliki pengaruh untuk menyebarkan visi PB. Identifikasi person-person diikuti dengan upaya membangun relasi. Hal ini selalu bermula dari tataran informal dan personal, berupa kunjungan/pertemuan pribadi untuk memperkenalkan pentingnya visi PB sambil menggali visi dan pengalaman person bersangkutan, termasuk bagaimana ke depan visi PB dapat diimplementasikan serta tantangan-tantangan yang dihadapi. Selanjutnya, personperson bersangkutan dipertemukan dalam seri diskusi untuk mendalami visi dan isu PB dalam konteks setempat. Seri diskusi perlu memicu pemikiran baru dan

KM-­‐CDSP 2015

12


memungkinkan para person melihat kontribusi yang dapat diberikan dari perspektifnya sendiri untuk mengelaborasi peran yang dapat dimainkannya. Seri diskusi yang intensif dengan sendirinya mengkristal sebagai jaringan individu yang memiliki kesamaan visi PB. Jaringan ini dapat ditransformasikan menjadi organisasi semi-formal yang keanggotaannya tidak mengikat tetapi dengan kesamaan visi PB, dapat merumuskan tujuan dan target tertentu yang bersifat umum terkait aspek-aspek PB yang sesuai dengan konteks setempat. Meskipun bersifat informal dan cair, serta mengandalkan hubungan personal semata, kelompok ini perlu didorong untuk memiliki identitas tertentu agar bisa berelasi dengan para pihak dan terutama lembaga resmi penyelenggara PB, dalam hal ini BPBD. Dibutuhkan seni tersendiri untuk mengelola jaringan informal dan cair, yang mengadalkan komitmen personal, dan karena itu cenderung mudah bubar. Dibutuhkan fasilitator yang berkomitmen kuat, memiliki kualitas personal yang memadai, dan kecakapan interpersonal untuk menjaga visi PB yang dibangun bersama dalam konteks setempat, melibatkan person-person yang telah menyatakan komitmen dan bila diperlukan, memfasilitasi pengembangan pengetahuan dan kapasitas person-person yang terlibat. Cara praktis dalam membangun dan menjaga concern dan komitmen personal: 1. Memfasilitasi komunikasi antar-person di luar pertemuan rutin 2. Selalu berbagi informasi PB 3. Meluangkan waktu untuk berdiskusi secara terbuka dalam situasi tatap muka 4. Memfasilitasi penembangan pengetahuan dan kapasitas melalui pelatihan, lokakarya, dsb.

KM-­‐CDSP 2015

13


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN JP

Konsultan/Narasumber : Buttu Ma’dikka (anggota Tim Sembilan)

Kode:

I

II

III

IV

PP

A B C

TP

1

2

3 √

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Sub-tema : Strategi Pelembagaan Isu PB Sub-sub-Tema : Membangun concern pada tingkat individual Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE)

E

S1. Mengidentifikasi pihak-pihak (perorangan) yang potensial untuk diajak kerjasama dari berbagai kalangan S2. Membangun relasi dengan pihak-pihak yang sependapat perihal PB S3. Diseminasi informasi kepada pihak-pihak secara berkala E1. Mengelaborasi peran dan kontribusi pihak-pihak dalam PB sesuai dengan keahliannya

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

C

C1. Membentuk tim pengkajian ancaman (5 ancaman)

I

I1. Memasukkan isu PB dalam penelitian sesuai bidang keahliannya (Pak Muchsan [banjir])

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Catatan pertemuan, agenda rapat, email kepada anggota tim sembilan Catatan pertemuan, catatan personal/agenda kegiatan konsultan Dokumen pengkajian ancaman Silabus kuliah (Muchsan)

VALIDASI TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT)

Anggota Tim Sembilan (pengkajian ancaman) memiliki concern yang kuat dalam PB/PRB sesuai bidangnya. Anggota Tim Sembilan mampu mengambil peran sesuai dengan keahliannya, khusunya dalam penelitian dan pembelajaran. Anggota Tim Sembilan menjadi peserta aktif dalam Forum PRB. AnggotaTim Sembilan berinisiatif membangun pemahaman tentang PB di lingkungannya.

Eksternalisasi (TàE)

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Membangun concern adalah upaya membangkitkan keterikatan, keprihatinan dan komitmen individu untuk melibatkan diri secara personal dan intensif dalam upaya PB/PRB di Sulawesi Selatan. Keterampilan: • Relasi interpersonal • Membangun/memelihara jaringan personal Kiat: • Berbagi informasi secara rutin • Meluangkan waktu untuk diskusi intensif secara terbuka • Mempertimbangkan profil ancaman

KM-­‐CDSP 2015

LEVEL ORGANISASI

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Kompentensi/pengetahuan dalam membangun relasi saling percaya dengan individu-individu yang memiliki keahlian dalam bidangnya, terutama mereka yang berasal dari dunia akademik, dapat menentukan dalam upaya membangun dan menyebarkan pemahaman tentang PB/PRB karena otoritas keilmuan yang dimilikinya.

LEVEL JARINGAN

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Pelibatan individu-individu yang memiliki keahlian, perhatian dan komitmen pada PB/PRB serta memiliki posisi strategis di bidangnya dapat memperkuat argumentasi dan legitimasi pengambilan keputusan dan kebijakan PB.

Bagi CDSP, kompetensi konsultan dalam membangun relasi interpersonal dan concern individual dengan para ahli menjadi penting dalam rangka memperluas basis dan jaringan sumber daya manusia dalam PB pada umumnya dan program kerja konsultan pada khususnya.

14


Langkah: • menjaring informasi tentang individu potensial • menjalin komunikasi • melibatkan individu potensial dalam diskusi dengan pihak-pihak terkait yang memiliki otoritas (BPBD) Kegiatan: • Diskusi informal (tatap muka) • Berbagi informasi melalui saluran personal (email)

KM-­‐CDSP 2015

15


SINOPSIS PENGETAHUAN

Mengubah Pendekatan PB yang Birokratis menjadi Partisipatif Tema Sub-tema

: :

Sumber

:

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Strategi Pelembagaan Isu dan Identifikasi Mitra untuk Kerjasama Multipihak Wawan Budianta, Konsultan CDSP untuk BPBD Propinsi Sumatra Barat Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Nurlailah (Rapporteur) Padang, Sumatra Barat 22-24 September 2014; 10-14 Februari 2015

Penanggulangan Bencana menuntut keterlibatan banyak pihak mulai dari pemerintah, LSM dan pegiat kemanusiaan, dunia usaha, maupun masyarakat. Semua pihak terpanggil untuk mengambil peran dalam upaya pencegahan, kedaruratan, hingga pada upaya pemulihan cepat bagi korban bencana. Penanggulangan bencana mengandaikan adanya peran aktif dari berbagai pihak dengan Badan Penanggulangan Bencana sebagai leading sektornya. Langkah mewujudkan perubahan Perubahan paradigma penanggulangan bencana dari emergency response menjadi pengurangan risiko atau manajemen risiko dalam praktiknya tidak selalu berjalan mulus. Anggapan masih cukup kental bahwa penanggulangan bencana adalah persoalan memberikan pertolongan pada korban. Dibutuhkan upaya terus-menerus untuk membangun kesadaran bersama, kesediaan terlibat aktif mengedukasi diri dan para pihak, serta bersama masyarakat mengembangkan pengetahuan dan praktik-praktik pengurangan risiko bencana. Upaya-upaya tersebut dapat ditempuh dengan langkah-langkah: Pertama, mendorong BPBD semakin mampu menjadi inisiator penggalangan kerjasama multipihak. Ke-dua, mendorong BPBD mengembangkan keterlibatan dan peran aktif berbagai pihak melalui berbagai kegiatan penanggulangan bencana. Ke-tiga, mendorong BPBD dan berbagai pihak meningkatkan kapasitas warga masyarakat agar semakin sadar bencana dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan upaya pengurangan risiko. Mendorong inisiator penggalangan multipihak Penggalangan kerjasama dalam penanggulangan bencana sering gagal karena jalinan yang terbangun acapkali sebatas prosedur yang mekanis. Penggalangan kerjasama multipihak memerlukan proses, mensyaratkan adanya inisiator yang kemudian juga merawat dan menggeluti dinamika serta berbagai peluang dan

KM-­‐CDSP 2015

16


tantangan. Diperlukan “figur” yang berperan menjadi simpul yang mendekatkan berbagai pihak, mendorong kepedulian, dan menginspirasi untuk lebih terlibat. “Figur” dalam peran tersebut perlu memiliki kemampuan untuk mewujudkan lima langkah dan peran sebagai inisiator penggalangan kerjasama multipihak (baca: Kiat dan Peran Penggalangan Kerjasama Multipihak dalam narasi pengetahuan “Strategi Membangun Kerjasama Multipihak”). Mengembangkan keterlibatan aktif para pihak Pelibatan berorientasi pada pembagian peran berbasis kebutuhan dalam upaya penanggulangan bencana. Relasi kerjasama yang dibangun adalah relasi yang setara dan koordinatif. Semua pihak sama pentingnya, memiliki kesempatan berkontribusi sesuai potensi dan sumber daya yang dimiliki. Aktualisasi pelibatan dan berbagi peran bisa diwujudkan dalam berbagai kegiatan, misalnya: 1. 2. 3. 4.

membuat kajian bencana, membuat kajian sosial masyarakat di kawasan rawan bencana, mendorong dan berperan aktif untuk penguatan kelembagaan FPRB, menyusun modul pembelajaran untuk edukasi masyarakat (misal: simulasi renkon/kesiapsiagaan; simulasi sistem evakuasi mandiri; dsb.).

Mengupayakan bersama peningkatan kapasitas masyarakat sadar bencana Kapasitas masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana adalah prioritas utama dari keseluruhan edukasi dan fasilitasi dalam upaya pengurangan risiko bencana. Warga masyarakat di kawasan rawan bencana menjadi penentu keberhasilan penanggulangan bencana dengan semua pihak “luar” (BPBD, LSM, Sektor Usaha, dsb.) sebagai fasilitator. Pengalaman dan pengetahuan warga dalam menghadapi bencana yang berulang menumbuhkan pembelajaran dan perilaku adaptif, serta membuat warga semakin memiliki alternatif dan siasat menghadapi ancaman bencana. Dengan demikian, mau tidak mau, pengalaman dan pengetahuan masyarakat yang terbentuk melalui praktik hidup kesehariannya harus ditempatkan sebagai basis dalam menciptakan alternatif-alternatif yang paling mungkin dalam penanggulangan bencana. Dalam situasi inilah kapasitas warga masyarakat di kawasan rawan bencana meningkat dan menjadi ketangguhan masyarakat. Dari sinilah titik tolak perubahan strategi penanggulangan bencana dijalankan. BPBD sebagai leading sektor bersama parapihak dapat mewujudkan upaya peningkatan kapasitas warga masyarakat di kawasan rawan bencana melalui beberapa contoh kegiatan seperti berikut:

KM-­‐CDSP 2015

17


1. Mengedukasi warga masyarakat di KRB dengan mensosialisasikan hasil kajian bencana 2. Melakukan praktik simulasi bersama masyarakat (kesiapsiagaan, evakuasi mandiri) 3. Mengembangkan pola hidup masyarakat yang berdampak pada pengurangan risiko bencana (tatakelola lahan, konservasi lingkungan) 4. Mendorong dan memfasilitasi pengembangan pola praktik hidup tangguh (adaptif dan antisipatif terhadap potensi risiko) 5. Fasilitasi masyarakat untuk membentuk dan berfungsinya Kelompok Siaga Bencana (KSB) 6. Fasilitasi penguatan kelembagaan KSB.

KM-­‐CDSP 2015

18


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN A(struktural) B(aktivitas) C(perilaku) ; 1(normatif) 2(strategis) 3(operasional) JP

Konsultan/Narasumber: Wawan Budianta Tema Sub-tema Sub-Temabaru

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

Kode:

« « : Strategi Penggalangan Kerjasama : Strategi Pelembagaan Isu dan Identifikasi Mitra untuk Kerjasama Multipihak (1.e) : Mengubah Pendekatan PB yang Birokratis menjadi Partisipatif

3

«

Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE)

E

Kombinasi (EàE)

C

Internalisasi (EàT)

I

S1. Melakukan diskusi informal dengan Kalak dan Jajaran Pimpinan BPBD tentang regulasi PB yang diproduksi BPBD. S2. Memahami dan mereview dokumen Rencana Kontinjensi (Kedaruratan) yang telah ada bersama para pihak (jajaran pimpinan BPBD, anggota forum) E1. Menyusun rencana ToT bersama Jajaran Pimpinan BPBD dan anggota FPRB untuk menghasilkan fasilitator lapangan E2. Menyusun modul sosialisasi Renkon untuk komunitas. C1. Konsultasi public (BPBD Kab/Kota; SKPD; TNI-POLRI; LSM) modul Sosialisasi Renkon yang diadaptasikan dengan konteks lokal I1. Sosialisasi renkon ke komunitas

VERIFIKASI TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

Eksternalisasi (TàE)

SUMBER BUKTI

MITRA LANGSUNG

RUJUKAN PEMBANDING

• Catatan hasil diskusi informal • Dokumen rencana kontinjensi dan catatan hasil review • Draf Materi/modul sosialisasi renkon • Daftar hadir pertemuan

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

• Struktur Kelembagaan KSB • Daftar KSB yang terbentuk VALIDASI (perubahan persepsi apa yang telah, sedang, sudah terjadi karena dimilikinya pengetahuan ini. TEMUAN/HASIL LEVEL LEVEL ORGANISASI LEVEL JARINGAN PERSONAL Sosialisasi (TàT)

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

• Perubahan wawasan jajaran pimpinan BPBD tentang renkon, dari birokratif menjadi lebih partisipatif • • • Perubahan pemahaman masyarakat tentang pentingnya terlibat aktif dalam PB

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

KM-­‐CDSP 2015

• Munculnya Kelompok Siaga Bencana (KSB) di tingkat komunitas dan mulai berperan dalam kerja-kerja kesiapsiagaan

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

19


Melakukan ToT pada calon fasilitator lapangaan; melaksanakan sosialisasi renkon ; fasilitasi pembentukan KSB; melibatkan KSB dalam kegiatan kesiapsiagaan dan respon kedaruratan.

KM-­‐CDSP 2015

Perubahan pemahaman tentang PB (kesiapsiagaan) ditandai munculnya Kelompok Siaga Bencana (KSB) di tingkat komunitas. KSB memiliki pemahaman tentang peringatan dini bencana gempa bumi dan tsunami dari alat teknologi yang terpasang, serta mengetahui peranperannya dalam penyebaran informasi dan persiapan evakuasi, antara lain: menyebarkan informasi yang diterima dari Pusdalops/orari pada masyarakat; mengkoordinasi masyarakat jika diperlukan evakuasi; membantu pelaksanaan evakuasi.

20


SINOPSIS PENGETAHUAN

Mengubah Persepsi Pimpinan BPBD tentang Paradigma PB Tema Sub-tema Sumber Tim KM

: : : :

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi Audio-Visual) Makassar, Sulawesi Selatan 28 September – 2 Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

Perubahan persepsi dan paradigma PB ditandai dengan : bencana bukan kutukan, bukan cobaan Yang Di Atas; sebagian bencana terjadi akibat ulah kita sendiri, bisa diprediksi, dapat dikelola. PB bukan hanya terkait dengan aktivitas tanggap darurat, PB adalah upaya bersama dari waktu ke waktu untuk mewujudkan pengurangan risiko.

Langkah mewujudkan perubahan Persepsi PB yang parsial dan sektoral masih menjadi tantangan bersama untuk perubahan. Suka atau tidak suka, Jajaran pimpinan BPBD (Kalak, Sekban, Kabid) adalah pihak yang pertama-tama mesti berubah persepsi dan paradigmanya tentang pengelolaan PB. Dari titik ini akan dapat mempengaruhi perubahan para pihak lain. Upaya mewujudkan perubahan persepsi jajaran pimpinan BPBD dapat ditempuh dengan melakukan pemetaan awal tentang pemahaman PB; merefleksikan peta pemahaman tentang PB; dan menginisiasi rencana tindak lanjut. Langkah secara teknis misalnya sebagai berikut: 1. Menjalin relasi dan komunikasi dengan jajaran pimpinan BPBD. Keberhasilan membangun relasi dengan jajaran pimpinan akan menentukan keberhasilan relasi dengan semua level di bawahnya. Untuk itu dibutuhkan pemahaman sekaligus kemampuan praktik tentang etika berelasi dengan jajaran birokrasi. 2. Menginisiasi ruang-ruang dialog informal tentang berbagai pengetahuan PB. Dialog tematik secara informal memungkinkan terjalinnya relasi sejalan dengan diperolehnya pemahaman-pemahaman baru tentang kebencanaan.

KM-­‐CDSP 2015

21


3. Melakukan penilaian awal tentang pemahaman PB di kalangan BPBD. Relasi dan pemahaman yang terbarukan tentang PB menjadi pintu masuk mendapatkan perkenan untuk melakukan penilaian di internal BPBD. 4. Mengkomunikasikan hasil penilaian kepada jajaran pimpinan BPBD dan merancang tindak lanjutnya. 5. Mengidentifikasi perubahan persepsi dan paradigma PB di BPBD.

Keterampilan Untuk mewujudkan langkah-langkah upaya perubahan diperlukan beberapa keterampilan personal, antara lain: 1. Komunikasi interpersonal 2. Memahami budaya birokrasi 3. Menginisiasi media perjumpaan dan dialog informal 4. Fasilitasi

Kiat 1. Memiliki kepercayaan diri 2. Mampu membangun kepercayaan dari pimpinan serta jajaran BPBD 3. Mengedepankan prinsip dan etika berelasi di lingkungan birokrasi

Relevansi bagi Konsultan (CDSP): Pengetahuan berbasis pengalaman dan pembelajaran ini dapat menjadi rujukan awal para konsultan untuk mengembangkan kompetensi dalam menjalin relasi yang produktif dengan pimpinan BPBD dan jajarannya. Pengetahuan ini bermanfaat bagi upaya bersama dalam memperbaiki kinerja serta etos kerja SDM secara kelembagaan untuk meningkatkan kualitas layanan PB.

Signifikansi: Keberhasilan dalam mengubah persepsi dan paradigma pimpinan BPBD serta jajarannya merupakan titik ungkit untuk melembagakan pendekatan PB yang integral, akuntabel, partisipatif, dan berkelanjutan; serta menciptakan prakondisi bagi terjadinya keterbukan dan partisipasi antar unit di lingkungan BPBD. Pengetahuan tentang bagaimana mengubah persepsi dan paradigm PB di kalangan para pimpinan dan jajaran BPBD memiliki kontribusi strategis bagi peningkatan kapasitas BPBD dalam:

KM-­‐CDSP 2015

22


1. Meningkatkan responsivitas terhadap harapan para pihak dan publik terkait PB 2. Mengembangkan kemampuan tata kelola PB yang transparan dan akuntabel 3. Mengembangkan produk dan layanan PB yang sesuai dengan harapan publik

KM-­‐CDSP 2015

23


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber: Butu Ma’dika

Kode:

JP

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

3 ✓

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Pelembagaan Isu PB Sub-sub Tema : Mengubah Persepsi Pimpinan BPBD tentang Paradigma PB Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE)

E

Kombinasi (EàE)

C

Internalisasi (EàT)

I

S1. Menjalin relasi dan komunikasi dengan jajaran pimpinan BPBD S2. Etika berelasi dengan jajaran birokrasi S3. Menginisiasi ruang-ruang dialog informal untuk berbagi pengetahuan tentng PB E1. Melakukan penilaian awal tentang pemahaman PB di kalangan BPBD E2. Mengkomunikasikan hasil penilaian kepada jajaran pimpinan BPBD E3. Mengidentifikasi perubahan persepsi dan paradigma PB di BPBD

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL

SUMBER BUKTI

Sosialisasi (TàT)

Rekaman dan transkrip wawancara dengan konsultan, Kabid 1, SekBan dan Kalak (story telling, testimoni)

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

VALIDASI

TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT)

Perubahan persepsi Kalak, SekBan dan Kabid I dan III tentang pengelolaan PB Perubahan paradiigma personil BPBD dan akademisi (dari parsial ke integral, dari reaktifproaktif)

Eksternalisasi (TàE)

LEVEL ORGANISASI

LEVEL JARINGAN

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

KM-­‐CDSP 2015

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi konsultan CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

Connectivity

(Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

24


Konsep: Perubahan persepsi dan paradigma PB ditandai dengan : bencana bukan kutukan tapi dapat dikelola, PB bukan hanya terkait dengan aktivitas tanggap darurat Keterampilan: Komunikasi interpersonal, memotret budaya birokrasi, menginiasi media perjumpaan dan dialog informal, keterampilan fasilitasi Kiat: Membangun percaya diri dan kepercayaan pimpinan serta jajaran BPBD, prinsip dan etika berelasi di lingkungan birokrasi Langkah: Pemetaan awal tentang pemahaman PB, merefleksikan peta pemahaman dan menginisiasi rencana tindak lanjut

KM-­‐CDSP 2015

Relevansi bagi Konsultan CDSP: Para konsultan memiliki rujukan untuk mengembangkan kompetensi dalam menjalin relasi yang produktif dengan pimpinan BPBD dan jajarannya; Pengetahuan ini fokus untuk perbaikan kinerja dan etos kerja sumber daya manusia. Signifikansi: Keberhasilan dalam mengubah persepsi dan paradigma pimpinan BPBD serta jajarannya; Merupakan titik ungkit untuk melembagakan pendekatan PB yang integral, akuntabel, partisipatif dan berkelanjutan serta membangun prakondisi untuk terjadinya keterbukan dan partisipasi antar unit di lingkungan BPBD

Pengetahuan tentang bagaimana mengubah persepsi dan paradigm PB di kalangan para pimpinan dan jajaran BPBD memiliki kontribusi strategis bagi peningkatan kapasitas BPBD dalam: 4. Meningkatkan respon ; 5. Meningkatkan responsivitas terhadap harapan para pihak dan publik terkait PB, dan dapat menjadi titik tolak bagi pengembangan tata kelola PB yang transparan dan akuntabel. 6. Mengembangkan produk dan layanan PB yang sesuai dengan harapan publik;

25


SINOPSIS PENGETAHUAN

Pendekatan Budaya dalam Penyadaran di Tingkat Masyarakat Tema Sub-tema Sumber Tim KM Tempat Tanggal

: Strategi penggalangan kerjasama multipihak : Strategi pelembagaan isu dan identifikasi mitra untuk kerjasama multipihak : Wawan Budianto (Konsultan CDSP untuk BPBD Propinsi Sumatra Barat) dan Tim Relawan Pusdalops Sumatra Barat : Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun : Padang, Sumatra Barat : 22-24 September 2014

Penyadaran masyarakat dalam penanggulangan bencana akan berjalan efektif apabila dilakukan dengan cara “menemani” mereka secara terus-menerus dengan menggunakan “bahasa” mereka, melalui pola pikir dan perilaku sosial yang dapat diterima dan dipraktikkan olehnya. Pengetahuan baru yang diperkenalkan akan diterima dan diintegrasikan dengan pengalaman serta pembelajaran yang sudah ada pada masyarakat. Penyadaran Bencana yang Memasyarakat Kita sering menempatkan masyarakat korban bencana sebagai “objek” yang tak berdaya, maka kita “wajib” menolongnya dengan segala upaya dan dengan “cara” kita. Kita perlu mengubah pendekatan dalam penanggulangan bencana semacam itu. Tugas kita yang hendak menolong masyarakat yang terkena bencana bukanlah pertama-tama menjelaskan apa dan bagaimana menanggulangi bencana menurut pemahaman kita, melainkan justru memahami apa dan bagaimana mereka menghadapi bencana. Dengan cara demikian, kita menempatkan masyarakat pada posisi subjek yang memiliki pengetahuan atas praktik hidup yang diadaptasikan dengan bencana yang sering dihadapinya. Penyadaran masyarakat sebagai upaya pengurangan resiko bencana harus dimulai dari titik ini. Yakni, menghargai bahwa masyarakat memiliki pengetahuan yang secara alamiah didorong oleh nalurinya untuk selamat, memiliki pengalaman yang dipadukan dengan ilmu “menandai” (Jawa: niteni), dan menjadi pengetahuan bersama secara kolektif. Kiat dan Langkah Penyadaran yang Memasyarakat Pengalaman di Sumatra Barat membuktikan bahwa penyadaran masyarakat tentang penanggulangan bencana lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan budaya. Upaya tersebut dilakukan dengan langkah-langkah teknis sebagai berikut:

KM-­‐CDSP 2015

26


1. Hadir dan bergabung dengan masyarakat melalui berbagai forum informal (kedai kopi dsb.); bertemu tokoh adat maupun tokoh masyarakat lainnya; menjalin silaturahmi dengan semua pihak. Suasana kedai kopi adalah suasana yang santai, informal, cair, dan tidak dipengaruhi strata sosial dalam berelasi. 2. Menggunakan forum informal dan perjumpaan dalam silaturahmi sebagai media edukasi, membincang resiko bencana (gempa dan tsunami) dengan peristiwa Aceh dan Padang sebagai kasus pembelajaran bersama. Berbagai jenis bencana berpotensi terjadi di Sumatra Barat, gempa dan tsunami adalah salah satu yang berpotensi menjadi bencana besar dengan potensi resiko yang besar pula. 3. Melibatkan tokoh adat dan tokoh masyarakat dalam upaya penyadaran masyarakat, memahami resiko gempa dan tsunami sebagai ancaman terbesar di Sumatra Barat. Isu mega trash di wilayah Sumatra Barat adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Dibutuhkan upaya berbagai pihak untuk mengantisipasi dan membangun kesiapsiagaan agar dapat mengurangi resiko dan meminimalisasi jatuhnya kurban. Masyarakat memerlukan informasi yang cukup dan dapat dipahami agar menyadari potensi resiko tersebut, serta memiliki pengetahuan cukup untuk mengambil tidakan penyelamatan kapan pun diperlukan. Agar komunikasi lebih cepat terbangun dan mendapatkan kepercayaan masyarakat, maka diperlukan keterampilan menjalin komunikasi secara informal menggunakan bahasa lokal, bahasa setempat. Di samping keterampilan, terdapat beberapa kiat untuk lebih mengefektifkan penyadaran masyarakat, antara lain: 1. Jeli menangkap nilai-nilai sosial setempat serta mengungkapkannya dalam bahasa lokal. Banyak upaya penanggulangan bencana (baik pra, saat, maupun pasca bencana) kurang mendapatkan respon dari masyarakat. Tidak jarang terjadi penolakan, pembangkangan. Bukan karena masyarakat tidak sadar bencana, tidak takut resiko; namun karena terjadi ketidaksesuaian kegiatan dengan nilai-nilai sosial dan budaya mereka. 2. Jeli memetakan dan mendayagunakan pihak-pihak yang berpengaruh dalam masyarakat. Tokoh adat dan tokoh masyarakat lainnya adalah jembataan yang efektif untuk membangun kesadaran masyarakat serta mengajak terlibat dalam upaya bersama mengurangi resiko bencana. Mereka adalah pemimpin dalam kehidupan sosial yang telah diterima dalam sanubari masyarakat.

KM-­‐CDSP 2015

27


3. Komunikasi interpersonal dan informal disertai Kepedulian. Komunikasi dialogis , akarab, dan cair bisa saja manipulatif karena ada kepentingan pribadi di sebaliknya. Komunikasi yang demikian tidak akan bertahan lama karena tidak akan ada kepercayaan dan ketulusan. Kepedulian akan menjadi pengusir keraguan dan menumbuhkan kepercayaan. Relasi interpersonal yang dilandasi kepercayaan niscaya akan membuka ruang-ruang baru bagi perubahan dan keterlibatan. Relevansi bagi Konsultan dan Pegiat Kebencanaan Pendekatan budaya yang menekankan pemahaman akan konteks sosial-budaya setempat merupakan faktor penting dalam upaya penyadaran masyarakat dalam pengurangan risiko bencana. Pemahaman konsultan dan para pegiat kebencanaan akan sistem nilai dan budaya setempat niscaya menentukan efektivitas upaya peningkatan kesadaran akan pentingya PB/PRB di tingkat masyarakat.

KM-­‐CDSP 2015

28


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber :

JP

I

II

III

IV

PP

A B C TP

1

2

Kode: Wawan Budianto √ √ √ (Tim Relawan Pusdalops) Tema : Strategi penggalangan kerjasama multipihak Sub-tema : Strategi pelembagaan isu dan identifikasi mitra untuk kerjasama multipihak Sub-sub-Tema : Pendekatan budaya dalam penyadaran di tingkat masyarakat Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATA KOD TEMUAN/HASIL N

E

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

S E C I

3 √

S1. Menimbang risiko bencana dan konsekuensinya (Aceh sebagai kasus: Gempa dan Tsunami) secara informal (di kedai kopi, dsb.) dengan tokoh-tokoh informal E1. Memanfaatkan media visual E2. Menggunakan ungkapan dalam bahasa setempat C1. Melibatkan tokoh-tokoh informal dalam penyadaran informal I1. Menyadarkan masyarakat memahami risiko gempa dan tsunami sebagai ancaman terbesar Sumbar

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Pertemuan dengan tokoh-tokoh masyarakat Rekaman proses diskusi dengan masyarakat

VALIDASI TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE)

LEVEL ORGANISASI Pemahaman akan risiko bencana di tingkat masyarakat Pembentukan Kelompok Siaga Bencana

LEVEL JARINGAN Jaringan KSB

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Pendekatan budaya adalah cara pandang/pikir, bersikap, bertindak dan berkomunikasi yang didasarkan pada konteks sosial-budayareligius masyarakat setempat. Keterampilan: • Komunikasi dalam bahasa setempat Kiat: • Jeli menangkap nilai-nilai sosial setempat serta pengungkapannya dalam bahasa setempat • Jeli memetakan dan mendayagunakan pihak-pihak yang berpengaruh dalam masyarakat • Komunikasi interpersonal dalam setting informal

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Pendekatan budaya yang menekankan pemahaman akan konteks sosial-budaya setempat merupakan faktor penting dalam upaya penyadaran penyadaran masyarakat akan risiko bencana. Pemahaman konsultan akan sistem nilai dan budaya setempat dapat menentukan efektivitas upaya peningkatan kesadaran akan pentingya PB/PRB di tingkat masyarakat.

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Pendekatan budaya, terutama dalam komunikasi untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya PB/PRB di masyarakat, memudahkan artikulasi kebutuhan masyarakat setempat.

Kegiatan • Fasilitasi di tingkat masyarakat

KM-­‐CDSP 2015

29


SINOPSIS PENGETAHUAN

Pengkajian Risiko Bencana (PRB) dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Tema Sub-tema Sumber

: : :

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama multipihak Strategi Pelembagaan Isu Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan), Dr. Eng. Mukhsan Putra Hatta, ST. MT (Forum PRB Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi Audio-Visual) Makassar, Sulawesi Selatan 28 september – 2 Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

Keberhasilan dalam upaya pengurangan risiko bencana sangat dipengaruhi oleh pengetahuan masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana. Salah satu pengetahuan yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan yang berbasis pada kajian jenis bencana yang mengancam, kalkulasi potensi risikonya, dan tindakan antisipasi yang harus dilakukan.

Perubahan paradigma penanggulangan bencana Paradigma penanggulangan bencana sudah bergeser dari soal tanggap darurat ke pengurangan risiko bencana atau manajemen. Hal ini berimplikasi kepada pemahaman bahwa upaya mengurangi risiko bencana harus dilandasi hasil kajian sebagai dasar informasi dan pengetahuan yang memadahi. Masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana akan semakin mampu mengurangi risiko ancaman bencananya jika memiliki pengetahuan yang cukup. Mereka akan peka tanda, mengetahui lebih dini, dan mampu menentukan tindakan yang diperlukan.

Langkah dan strategi Pengalaman masyarakat menghadapi bencana akan menjadi pengetahuan yang sangat bermanfaat dalam pengurangan risiko jika diintegrasikan dengan hasil kajian akademis. Kajian-kajian risiko pada setiap jenis bencana yang berpotensi terjadi sangat diperlukan masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana. Ada kebutuhan akan tersedianya hasil kajian para akademisi untuk membantu masyarakat semakin memahami risiko ancaman bencana dan mengetahui langkah yang harus diambil untuk upaya pengurangannya.

KM-­‐CDSP 2015

30


Untuk mewujudkan peran tersebut, akademisi yang concern dalam upaya pengurangan risiko bencana dapat melakukan langkah berikut: 1. membangun kesepahaman dengan para pihak (forum PRB) tentang pentingnya data dalam kajian risiko bencana 2. melakukan praktik kajian risiko bencana sesuai dengan keahlian 3. mempresentasikan hasil kajian dalam berbagai forum (PRB, Seminar, Lomba, dsb.) 4. membuat inovasi pengurangan risiko berbasis hasil kajian dalam tindakan/praktik PRB 5. mengintegrasikan hasil kajian ilmiah dengan kajian sosio-kultural untuk mengedukasi masyarakat di KRB.

Banyak pihak perlu berubah Perubahan mesti terjadi di berbagai pihak, mulai dari masyarakat, lembaga sosial, dunia usaha, hingga birokrasi pemerintah. Salah satu strategi yang bisa dipilih untuk mendukung agar langkah-langkah di atas efektif dalam upaya perubahan adalah sebagai berikut. Pertama, kelembagaan forum PRB harus diperkuat. Upaya pengurangan risiko bencana melibatkan banyak pihak secara simultan, bukan parsial dan sektoral. Ada kebutuhan berbagi peran yang sinergis. Kelembagaan Forum PRB yang kuat, dilibati oleh berbagai sektor dan elemen akan berfungsi baik dalam berbagai perannya. Kedua, kajian-kajian kebencanaan diperluas, melibatkan banyak pihak mulai dari akademisi, dunia usaha, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kajian secara ilmiah terkait dengan jenis bencana yang ada serta potensi risiko yang menimbulkan ancaman hingga kajian sosio-kultural masyarakat di kawasan rawan bencana. Ketiga, mengedukasi masyarakat dengan pendekatan kultural, memanfaatkan berbagai kearifan lokal, melibatkan “tokoh” lokal. Proses edukasi dengan cara ini di samping mudah diterima juga tidak mengubah kemampuan masyarakat yang telah ada dalam menghadapi berbagai ancaman. Modal sosial yang telah dimiliki masyarakat ter-up grade secara alamiah, memungkinkan masyarakat lebih adaptif terhadap hal-hal yang baru.

Pendekatan dalam Edukasi Pertama-tama adalah fokus pada data. Data memungkinkan untuk melakukan prediksi. Berdasar data curah hujan harian dapat dinilai minimum dan maksimumnya. Dapat dimanfaatkan sebagai bahan kajian, membuat prediksi tinggi genangan hingga risiko banjir.

KM-­‐CDSP 2015

31


Pemaknaan bencana perlu diperbarui. Acapkali bencana dipahami sebagai kutukan, cobaan Yang Di Atas. Peristiwa menakutkan yang berasal dari luar diri manusia. Faktanya, bencana bukan hal yang demikian. Bencana bukan kutukan. Sebagian bencana yang terjadi juga akibat dari ulah kita sendiri, bisa diprediksi, bisa dikelola. Sebagian besar bencana adalah kejadian alam, yang antara peristiwa dan ancamannya ada jeda. Ada kesempatan untuk menganalisa, sehingga kita bisa mengambil langkah penyelamatan. Kita bisa beradaptasi dengan kejadian alam itu.

Tantangan Membangun pemahaman baru tidaklah mudah; menyangkut pengetahuan (kognisi) dan juga sikap (afeksi). Pengetahuan yang berkembang semakin kaya sering tidak sejalan dengan perubahan sikap. Terlebih jika menyangkut banyak pihak dalam kehidupan sosial. Peran akademisi melalui kajian risiko bencana bisa menjadi titik ungkit dalam proses edukasi untuk dan bersama masyarakat.

KM-­‐CDSP 2015

32


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN A(struktural) B(aktivitas) C(perilaku) ; 1(normatif) 2(strategis) 3(operasional) Konsultan : Buttu Ma’dika Narasumber : Dr Mukhsan

JP

Kode:

I

II

III

IV

P P

«

A B C

TP

1

2

« «

«

Tema

: Strategi Penggalangan Kerjasama multipihak

Sub-tema Sub subtema

: Strategi Pelembagaan Isu dan Identifikasi Mitra untuk Kerjasama Multipihak (1.e) : Pengkajian risiko bencana (PRB) dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB)

Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN

KODE

Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE)

E

Kombinasi (EàE)

C

Internalisasi (EàT)

I

TEMUAN/HASIL S1. Melakukan diskusi tentang kajian bencana di forum PRB (5 bencana) S2. Memilih / menyepakati jenis bencana yang dijadikan fokus kajian sesuai keahlian E1. Melakukan kajian bencana sesuai keahlian yang dimiliki (hidro dynamic): kajian bencana longsor E2. Membuat laboratori kebencanaan: sipil hidrodynamic; tsunami darat E3. Menuliskan hasil kajian dan ekspose (juara di Vietnam) E3. C1. Memasang alat ukur curah hujan; mengkalkulasi dan memprediksi seberapa akibat / dampak yang ditimbulkan. C2. Membuat inovasi pengurangan risiko berdasar hasil kajian (membuat gorong-gorong di bendung agar mengurangi kerusakan diakibatkan arus deras air yang mengguyur). C3. Mengembangkan model pengurangan risiko: membocorkan dam I1. I2. I3.

VERIFIKASI TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

Eksternalisasi (TàE)

SUMBER BUKTI

MITRA LANGSUNG

RUJUKAN PEMBANDING

• Dokumen/notulensi hasil diskusi (rekomendasi 5 bencana) • Dokumen hasil kajian PRB tanah longsor • Hand out / makalah presentasi di Vietnam

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

VALIDASI (perubahan persepsi apa yang telah, sedang, sudah terjadi karena dimilikinya pengetahuan ini. TEMUAN/HASIL LEVEL PERSONAL LEVEL ORGANISASI LEVEL JARINGAN Sosialisasi (TàT)

Eksternalisasi (TàE)

• Muncul concern berbagai pihak pentingnya kajian risiko bencana dalam upaya PRB • Kesediaan akademisi terlibat dalam pengkajian risiko bencana • PRB dijadikan materi dalam perkuliahan

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content (Ringkasankonsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

KM-­‐CDSP 2015

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

3

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

33


Membangun kesepahaman pentingnya data dalam kajian risiko bencana; melakukan praktik kajian risiko bencana sesuai dengan keahlian; mepresentasikan hasil kajian dalam berbagai forum (PRB, Lomba,…); membuat inovasi praktik hasil kajian dalam tindakan/praktik PRB (Wasior,…); mengintegrasikan hasil kajian ilmiah dengan kajian sosiokultural sebagai bahan edukasi masyarakat di KRB. Langkah: • Penguatan pemahaman PRB di tingkat internal FPRB • Memanfaatkan bidang keahlian (akademis) dalam kajian risiko bencana • Riset pembuatan kajian potensi risiko bencana sesuai bidang keahlian. • Bertemu dengan berbagai disiplin dalam forum kajian risiko bencana. • Memperluas perspektif pemahaman bencana dari berbagai segi (sosial, budaya, agama) • Mengedukasi masyarakat : memahamkan hasil kajian potensi risiko bencana dan menyesuaikannya dengan kearifan lokal.

KM-­‐CDSP 2015

Masyarakat di KRB mengetahui cara membaca gejala, menerjemahkan kemungkinan risiko, dan mengambil tindakan penyelamatan. Persepsi masyarakat lebih luas; bencana bukan kutukan Tuhan. Sebagian bencana diakibatkan oleh ulah kita (manusia) sendiri. Bencana (banjir, longsor) dapat diprediksi, dikelola. Banjir ada maksimumnya, bisa diantisipasi. Masyarakat di KRB menghindarkan tindakan yang berpeluang memperbesar dampak bencana.

Data yang detail dan lengkap serta pengkajian yang didukung bidang keilmuan yang sesuai dan memadai akan mampu memberikan hasil analisis risiko bencana yang akuntabel. Diskusi kajian risiko bencana dari berbagai jenis bencana dan berbagai latar belakang disiplin keilmuan membuka peluang munculnya inovasi rekomendasi program mewujudkan pengurangan risiko bencana.

34


SINOPSIS PENGETAHUAN

Penyelenggaraan Serial Diskusi Publik tentang Penanggulangan Bencana Tema Sub-tema Sumber Tim KM

: : : :

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi Audio-Visual) Makassar, Sulawesi Selatan 28 September – 2Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

Serial diskusi publik merupakan cara efektif untuk penggalangan multipihak, utamanya dalam upaya pelembagaan isu penanggulangan bencana. Melalui serial diskusi publik terbangun proses penyamaan persepsi, peran aktif, pembelajaran bersama, hingga menjadi wahana diseminasi, jala dan perekat kepedulian multipihak untuk terlibat dalam penyelenggaraan PB Konsep-Konsep Dasar: Agar berhasil dalam penggalangan dan pengelolan kerjasama multipihak, terdapat tiga nilai utama. Pertama, penanggulangan bencana harus menjadi satu-satunya visi dan kepentingan yang melandasi kerjasama. Kedua, diperlukan sikap inklusif yang kuat agar tetap menjaga posisi netral di antara semua pemangku kepentingan. Ketiga, yang tidak kalah penting adalah kepedulian pada seluruh jaringan dan semua potensi yang dimilikinya. Melalui serial diskusi intensif memungkinkan pihak yang berbeda menjadi terbangun komunikasinya, sehingga terbuka ruang koordinasi. Efektivitas serial diskusi ditentukan oleh data penilaian awal tentang tingkat pemahaman stakeholder, paradigma para penyelenggaran PB, dan kerangka regulasi PB di daerah. Keterampilan: Inisiator penyelenggaraan serial diskusi harus memiliki kemampuan membangun relasi yang inklusif, menghargai setiap potensi yang dimiliki multipihak agar tercipta ruang koordinasi. Selain itu juga terampil melakukan penilaian kapasitas, menyusun KAK, dan membangun jaringan komunikasi multipihak.

KM-­‐CDSP 2015

35


Langkah-langkah: Terdapat 5 (lima) langkah penting (5P) dalam upaya terselenggaranya serial diskusi publik untuk membangun kerjasama multipihak dan upaya pelembagaan isu PB, yakni: 1. Prakondisi, adalah menilai dan merefleksikan kapasitas para mitra yang terlibat, 2. Persiapan, yang mencakup bagaimana menyusun menyebarluaskannya, hingga menata setting pelaksanaan diskusi,

KAK,

3. Penyelenggaraan, yang dalam hal ini mencakup bagaimana (how to) mengawali, memandu, dan menarik kesimpulan, 4. Perumusan rekomendasi dan tindak lanjut, serta 5. Penyebarluasan hasil diskusi publik. Relevansi bagi BPBD, SKPD, dan Pegiat Kebencanaan: Serial diskusi merupakan metode yang efektif dan efisien untuk melakukan penyadaran publik, penyadaran multipihak yang beragam potensinya, sekaligus sebagai prakondisi untuk mengintegrasikan dan melembagakan isu penanggulangan bencana dalam kerangka perencanaan dan penganggaran daerah maupun penganggaran di masing-masing institusi. Signifikansi: Selain sebagai wahana penyadaran dan pengintegrasian perencanaanpenganggaran, serial diskusi publik merupakan wahana diseminasi, jala dan perekat kepedulian multipihak untuk semakin terlibat aktif dalam penyelenggaraan PB. Pengetahuan berbasis pengalaman dan pembelajaran melalui serial diskusi publik semacam ini berkontribusi besar untuk memperkaya metode dan keterampilan para konsultan, fasilitator, dan relawan kegiatan penanggulangan bencana dalam “menciptakan ruang dialog” yang memungkinkan terjadinya: 1. Perubahan pemahaman dan paradigma PB di kalangan pemerintah dan nonpemerintah; 2. Proses saling berbagi pengetahuan tentang PB dan umpan balik untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan penyelenggaraan PB; 3. Menjaring dan mendorong keterlibatan serta kepedulian para pihak dalam PB.

KM-­‐CDSP 2015

36


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber: Buttu Ma’dika;

Kode:

JP

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

3 ✓

A

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Pelembagaan Isu PB Sub-sub Tema : Penyelenggaraan Serial Diskusi Publik Tentang PB B Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE)

E

Internalisasi (EàT)

S1. Penilaian Cepat (Rapid Assessment) Kapasitas Penanggulangan Bencana S2. Klarifikasi Persepsi antar para Pemangku kepentingan tentang PB E1. Identifikasi peta aktor dan lembaga yang peduli terhadap PB E2. Menginisiasi aktivitas serial diskusi publik tentang PB C1. Menyusun KAK diskusi publik C2. Penyelenggaraan Serial Diskusi PB C4. Checklist penyelenggaraan serial diskusi publik tentang PB yang efektif I1. Tindak lanjut hasil serial diskusi publik

C I

C

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Rekaman dan transkrip wawancara kepada konsultan dan testimoni Peta aktor dan lembaga yang terkait PB, foto dan dokumentasi pertemuan awal ToR Serial Diskusi Publik, undangan, Foto dan Laporan kegiatan Dokumen rencana tindak lanut, foto dan hasil notulensi

D

VALIDASI

TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT)

Transkrip testimoni pasca klarifikasi persepsi antar pemerintah dan kalangan media; Foto Refleksi para aktor (pihak-pihak) terlibat dalam menginiasi serial diskusi publik Hikmah-hikmah pembelajaran atau buah-buah kebijaksanaan para aktor yang terlibat dalam serial diskusi Testimoni anggota tim perumus rekomendasi

Eksternalisasi (TàE)

Kombinasi (EàE)

Internalisasi (EàT)

E

LEVEL ORGANISASI

Upaya BPBD untuk menindaklanjuti hasil-hasil diskusi publik

LEVEL JARINGAN

Manfaat serial diskusi bagi pihak di luar pemerintah.

Bentuk-bentuk publikasi dan diseminasi BPBD untuk menindaklanjuti hasil diskusi publik

RINGKASAN NARASI

Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

Konsep-Konsep Dasar: Serial Diskusi Publik PB: Merupakan salah satu bentuk diseminasi. Efektivitas serial diskusi ditentukan oleh: Data penilaian awal tentang tingkat pemahaman stakeholder, paradigma para penyelenggara PB dan kerangka regulasi PB di daerah.

Relevansi bagi Konsultan CDSP: Serial diskusi merupakan metode yang efektif dan efisien untuk melakukan penyadaran publik, sekaligus sebagai prakondisi untuk mengintegrasikan dan melembagakan isu PB dalam kerangka perencanaan dan penganggaran daerah.

Pengetahuan ini berkontribusi untuk memperkaya metode dan keterampilan para konsultan, fasilitator dan relawan PB dalam “menciptakan ruang dialog” yang memungkinkan terjadinya: 1. Perubahan pemahaman dan paradigma PB di kalangan pemerintah dan non pemerintah; 2. Proses saling berbagi pengetahuan tentang PB dan umpan balik untuk memperbaiki penyelenggaraan PB;

KM-­‐CDSP 2015

37


3. Keterampilan: Penilaian kapasitas, menyusun KAK dan membangun jaringan komunikasi multipihak. Langkah 5P: (1) Prakondisi (menilai dan merefleksikan kapasitas), (2) Persiapan (menyusun KAK, menyebarluaskan, menata setting), (3) Penyelenggaraan (mengawali, memandu dan menarik kesimpulan); (4) Perumusan rekomendasi dan tindak lanjut; (5) Penyebarluasan hasil diskusi publik

KM-­‐CDSP 2015

Signifikansi: Serial diskusi publik merupakan wahana diseminasi, jala dan perekat kepedulian multipihak untuk terlibat dalam penyelenggaraan PB.

Menjaring dan mendorong keterlibatan dan kepedulian para pihak dalam PB.

38


SINOPSIS PENGETAHUAN PELEMBAGAAN ISU PB DI PERUSAHAAN (GRAND ZURI HOTEL) Tema Sub-tema Sumber

: : :

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama multipihak Strategi Pelembagaan Isu PB Wawan Budianta (Konsultan CDSP Sumatra Barat), Forum PRB Sumatra Barat Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Nurlailah (Rapporteur) Padang, Sumatra Barat 22-24 September 2014; 10-14 Februari 2015

Lembaga usaha menjadi salah satu mitra utama pemerintah dalam penyelenggaraan PB. Tetapi bagaimana pihak swasta dapat mengambil peran dalam PB masih perlu dicari dan dirumuskan. Pengalaman di Sumatra Barat dapat menjadi contoh bagaimana perusahaan menemukan perannya dalam upaya PB. *** Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) telah mengatur peran serta lembaga usaha dalam upaya penanggulangan bencana (PB). Lembaga usaha dapat berperan serta dalam upaya PB baik secara sendiri-sendiri maupun bersama pihak lain (Pasal 29). Peran ini kemudian diperkuat dengan Peraturan Kepala BNPB Nomor 12 Tahun 2014 tentang Peran Serta Lembaga Usaha dalam Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Diharapkan peran serta lembaga usaha tidak hanya terbatas pada tanggap darurat, dengan cara memberi sumbangan, yang lebih bersifat insidental. Lebih dari itu, lembaga usaha juga dapat memainkan peran dalam pengurangan risiko bencana dengan mengupayakan penguatan kapasitas dan pengurangan kerentanan terhadap ancaman bencana melalui kegiatan-kegiatan programatik dan berkelanjutan. Dalam praktiknya, masih terdapat pemahaman bahwa kepentingan bisnis dan kepentingan PB adalah dua hal yang tidak terdamaikan sehingga jarang terlihat upaya untuk mencari titik temu. Pemahaman ini dapat menghambat upaya untuk menemukan cara yang tepat bagi lembaga usaha untuk berperan serta dalam penanggulangan bencana dalam cakupan yang lebih luas. Namun, di tengah pandangan umum tersebut, sudah mulai muncul inisiatif untuk melembagakan penanggulangan bencana di dalam perusahaan, sebagaimana dilakukan oleh Hotel Grand Zuri Padang.

KM-­‐CDSP 2015

39


Proses pelembagaan PB di Hotel Grand Zuri bertumpu pada nilai-nilai perusahaan yang menghargai keselamatan manusia, sebagaimana terlihat dari struktur bangunan hotel yang memperhitungkan kemungkinan terjadinya gempa dan tsunami dengan menempatkan pembangkit listrik pada lantai paling atas dengan ruang evakuasi yang luas untuk menampung pegawai, tamu, dan masyarakat sekitar bila terjadi bencana. Pengelola hotel juga mengembangkan prosedurprosedur penyelamatan diri bagi pegawai, tamu dan masyarakat sekitar dalam mengantisipasi ancaman gempa dan tsunami. Kesadaran dan kesiapan bertindak untuk mengantisipasi ancaman gempa dan tsunami tersebut tidak lepas dari keterlibatan rutin perusahaan dalam Forum Pengurangan Risiko Bencana (Forum PRB) Provinsi Sumatra Barat. Keterlibatan yang telah berlangsung cukup lama dalam Forum PRB ini memungkinkan perusahaan berinteraksi dengan berbagai pihak yang memiliki concern dan bergerak di bidang penanggulangan bencana. Interaksi intensif memungkinkan terbangunnya komunikasi konstruktif yang mengarahkan perusahaan untuk memahami titik temu antara kepentingan bisnis dan penyelenggaraan PB, membangun komitmen atas pelembagaan PB di dalam perusahaan, dan memperkuat jalinan kerjasama dengan berbagai pihak terkait. Para pihak dari berbagai spektrum, seperti pemerintah, masyarakat dan LSM ikut membantu dalam perumusan, ujicoba internal dan ujicoba bersama masyarakat sekitar. Sistem peringatan dini di lingkungan hotel terhubung dengan sistem peringatan dini di Pusdalops Provinsi Sumatra Barat. Demikian juga sistem informasi PB hotel terhubung dengan sistem informasi PB di Pusdalops. Apa yang telah dilakukan oleh pihak Hotel Grand Zuri tersebut bisa menjadi model peran serta lembaga usaha dalam penanggulangan bencana (PB).

KM-­‐CDSP 2015

40


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN P Konsultan/Narasumber : JP I II III IV A B C TP 1 2 3 P Wawan Budianto Kode: √ √ √ √ √ (Forum PRB Sumatra Barat) Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama multipihak Sub-tema : Strategi Pelembagaan Isu PB Sub-sub-Tema : Penyusunan SOP Gempa dan Tsunami di Hotel Grand Zuri Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

S1. Membangun pemahaman dan komitmen manajemen perusahaan tentang risiko gempa dan tsunami

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

E

E1. Penyusunan SOP Gempa dan Tsunami di tingkat perusahaan (hotel)

C

C1. Penyelarasan SOP milik hotel dengan SOP Pusdalops, khusus untuk peringatan dini

I

I1. Karyawan konsumen/penghuni hotel memahami SOP hotel I2. Masyarakat sekitar memahami SOP hotel

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Catatan pertemuan/diskusi, MoU SOP Gempa dan Tsunami Hotel Grand Zuri SOP Gempa dan Tsunami Hotel Grand Zuri, dan Pusdalops Rekaman proses simulasi oleh karyawan, konsumen dan masyarakat

VALIDASI TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

LEVEL ORGANISASI

LEVEL JARINGAN

Pemahaman dan komitmen penanggulangan risiko bencana di tingkat perusahaan Prosedur Keselamatan di perusahaan juga mencakup masyarakat sekitar hotel Kerjasama antara perusahaan dan Pusdalops dan BPBD Konsumen memahami (dan menaati) SOP gempa dan tsunami di Hotel Grand Zuri

Content

RINGKASAN NARASI Context

Connectivity

(Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

(Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

(Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan)

SOP Gempa dan Tsunami di Hotel Grand Zuri adalah prosedur keselamatan bagi pekerja, konsumen, maupun masyarakat sekitar hotel, khusus untuk menghadapi kejadian gempa dan tsunami.

SOP Gempa dan Tsunami di Hotel Grand Zuri merupakan model pelibatan dunia usaha secara konkret dalam kesiapsiagaan menghadapi bencana, yang dilandaskan pada kepentingan bisnis perusahaan dalam berbagai aspek, dari keselamatan karyawan sampai citra perusahaan.

Penjangkauan yang efektif dengan dunia usaha, yang berorientasi pada keselamatan manusia yang sekaligus memperhatian keselamatan masyarakat di sekitarnya dapat menjadi sistem pendukung bagi upaya bersama yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat dalam tahap kesiapsiagaan pada khususnya dan PB pada umumnya.

Keterampilan: • Membangun komunikasi konstruktif dengan perusahaan • Memfasilitasi proses di perusahaan Kiat: • Jeli menangkap kepentingan keselamatan manusia sebagai bagian dari kepentingan bisnis • Membangun dukungan dari pihak terkait seperti BPBD Provinsi dan BPBD Kota Padang

KM-­‐CDSP 2015

41


Kegiatan: • Fasilitasi di tingkat perusahaan (perumusan SOP dan simulasi internal) • Sosialisasi dengan masyarakat sekitar hotel (simulasi dengan masyarakat sekitar)

KM-­‐CDSP 2015

42


SINOPSIS PENGETAHUAN PERLUASAN WACANA PB DI TINGKAT SKPD Tema Sub-tema Sumber Tim KM

: : : :

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Strategi Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan), Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi Audio-Visual) Makassar 29 September 2014, 20-21 Februari 2015

Penanggulangan Bencana merupakan urusan pemerintahan yang relatif baru, termasuk di kalangan pemerintah daerah. Pada saat yang sama, perubahan paradigm PB tidak tersosialisasikan dengan baik di kalangan SKPD. Karena itu, pelembagaan isu PB di daerah hanya mungkin terjadi bila dilakukan perluasan wacana PB di kalangan SKPD. *** Secara nasional telah terjadi perubahan mendasar dalam cara penanggulangan bencana. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah meninggalkan cara ad hoc dan menggantikannya dengan cara yang lebih terpadu, yang didasarkan pada pengelolaan risiko bencana. Satkorlak, yang hanya aktif dalam lingkup tanggap (darurat) bencana digantikan oleh lembaga yang permanen, yaitu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat nasional dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di daerah. Kedua lembaga tersebut diberi mandat untuk membagun sistem penanggulangan bencana menyeluruh, yang mencakup pra-bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Sistem PB yang mau dibangun memiliki lima komponen utama, yaitu kebijakan/regulasi, perencanaan, kelembagaan, pendanaan, dan pengembangan kapasitas. Agar dapat menjalankan mandat tersebut, BNPB/BPBD menjalankan fungsi utama sebagai koordinator di sektor PB. Meskipun demikian, dalam menjalankan fungsi koordinasi untuk membangun kelima komponen sistem PB, BNPB menemui hambatan dan tantangan tersendiri. Perubahan kebijakan yang terjadi di tingkat nasional tidak cukup tersosialisasikan di tingkat daerah sehingga menimbulkan kesalahpahaman di kalangan SKPD. Hal ini memiliki ekses tertentu, seperti pandangan bahwa BPBD menyerobot tupoksi SKPD lain. BPBD sebagai lembaga yang relatif baru dan bukan merupakan instansi vertikal dengan BNPB (ini juga merupakan bentuk desentralisasi dalam PB) bergantung sepenuhnya pada anggaran Pemerintah Daerah agar dapat beroperasi sebagaimana layaknya, tetapi seringkali akses tersebut sulit didapatkan. KM-­‐CDSP 2015

43


Hal ini diperparah oleh kenyataan bahwa PB tidak secara jelas ditetapkan sebagai urusan pemerintahan (baik wajib maupun pilihan) dan tidak terdapat judul program bencana dalam nomenklatur keuangan. Namun yang paling mendasar adalah tiadanya pemahaman akan pentingnya penyelenggaraan PB secara menyeluruh di daerah. Untuk mengatasi hambatan tersebut, diperlukan upaya-upaya membangun dan memelihara komunikasi yang efektif di antara BPBD dan SKPD lainnya. Komunikasi antar lembaga pemerintah ini dilaksanakan dalam koridor budaya, cara kerja dan cara komunikasi birokrasi, dengan memperhatikan konteks dan prioritas pembangunan daerah, sebagaimana tertuang dalam RPJMD, serta dengan pemahaman yang memadai tentang peraturan-peraturan terkait (permendagi, dsb.). Namun, cara komunikasi birokrasi perlu dilengkapi dengan cara-cara informal yang melibatkan hubungan personal yang didasarkan pada rasa saling percaya (mutual trust). Hubungan personal ini dapat dibangun dari nol dan mensyaratkan kemampuan interpersonal yang kuat, tetapi juga dapat memanfaatkan hubungan personal yang telah terbangun di antara para pejabat SKPD. Dua jalur komunikasi ini saling melengkapi untuk membangun pemahaman bersama akan pentingnya penanggulangan bencana yang menyeluruh di tingkat daerah sekaligus pemahaman bersama atas fungsi dan peran masingmasing SKPD dalam membangun sistem PB tersebut. Komunikasi antar lembaga yang efektif tidak hanya menghasilkan pemahaman bersama, tetapi juga komitmen dan pelibatan (keterlibatan) dari SKPD terkait dalam upaya membangun sistem PB di daerah. Tahapan Pewacanaan isu PB di Tingkat SKPD dapat digambarkan dalam skema sebagai berikut, berdasarkan pengalaman Provinsi Sulawesi Selatan. PROSES/TAHAPAN

PENGALAMAN SULAWESI SELATAN

Komitmen dan Keterlibatan dalam membangun sistem PB

Pelibatan SKPD terkait dalam penyusunan Renstra BPBD

Keterlibatan dalam diskusi tentang Isu PB, baik secara formal maupun informal

Mengangkat isu PB/PRB dalam F orum SKPD

Komunikasi dan komitmen personal para pejabat/pimpinan SKPD

Membangun komunikasi informal antara BPBD dan SKPD terkait

KM-­‐CDSP 2015

44


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber : Buttu Ma’dikka

Kode:

JP

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

3

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Strategi Pelembagaan Isu PB Sub-sub-Tema : Perluasan wacana di tingkat SKPD Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATA KOD TEMUAN/HASIL N

E

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

S E C I

S1. Membangun relasi/komunikasi dengan SKPD memanfaatkan hubungan personal Kalak (mantan kalak) E1. Mendiseminasikan posisi BPBD melalui forum SKPD C1. Melibatkan SKPD dalam pembahasan RENSTRA BPBD C2. Melibatkan SKPD dalam Forum PRB I1. Memahami tupoksi BPBD sesuai peraturan perundang-undangan

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Catatan kegiatan konsultan Catatan pertemuan forum SKPD, presentasi BPBD dalam forum SKPD Dok RPJMD dan Renstra BPBD, Laporan proses penyusunan Renstra BPBD, catatan pertemuan FPRB Catatan pertemuan/diskusi internal BPBD

VALIDASI TEMUAN/HASIL

LEVEL PERSONAL

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE)

LEVEL ORGANISASI BPBD menjadi lebih percaya diri, objektif melihat perannya Terbangun relasi antara BPBD dan SKPD terkait

Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

BPBD memahami tupoksinya dalam kaitan dengan tupoksi SKPD terkait

LEVEL JARINGAN Perubahan persepsi tentang BPBD di jajaran SKPD Pemahaman tentang tupoksi BPBD di antara SKPD Partisipasi SKPD dalam penentuan kebijakan PB Pemahanan tupoksi SKPD terkait PB/PRB

RINGKASAN NARASI Content (Ringkasankonsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Perluasan Wacana adalah upaya diseminasi kerangka PB dan tupoksi BPBD di antara SKPD provinsi untuk membangun kesepahaman bersama tentang PB/PRB yang dapat menjadi landasan untuk kerjasama di antara SKPD. Keterampilan: • Komunikasi antar lembaga Kiat: • Memahami budaya dan cara kerja dan komunikasi birokasi SKPD • Memahami prioritas pembangunan provinsi (RPJMD) • Memahami peraturan-peraturan

KM-­‐CDSP 2015

Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Perluasan wacana PB kepada SKPD terkait merupakan hal penting mengingat PB adalah hal/urusan yang relatif baru dalam pemerintahan dalam kerangka desentralisasi. Sjalan dengan itu, BPBD adalah lembaga yang relatif baru yang memunculkan persepsi tentang tupoksi yang tumpang tindih. Perluasan wacana PB kepada SKPD perlu untuk membangun pemahaman bersama yang benar tentang BPBD dan tupoksinya, sekaligus membangun pemahaman bersama tentang tupoksi SKPD lainnya dalam wawasan PB.

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Perluasan wacana PB/PRB di jajaran SKPD terkait membantu tumbuhnya pemahaman yang benar tentang PB/PRB dan tupoksi masing SKPD terkait PB/PRB. Hal ini pada gilirannya memudahkan koordinasi antar SKPD dalam tingkat pembuatan kebijakan dan pengambilan keputusan dan penyediaan layanan kepada masyarakat.

45


terkait (permendagri, dsb.) Langkah: 1. Membangun komunikasi informal antara BPBD dan SKPD terkait 2. Mengangkat isu PB/PRB dalam forum SKPD 3. Melibatkan SKPD terkait dalam penyusunan Renstra BPBD

KM-­‐CDSP 2015

Pengetahuan tentang perluasan wacana ini dapat menjadi model yang dapat diadopsi/diadaptasi bila dibutuhkan di masa yang akan datang, terutama dalam membangun sistem PB di daerah.

46


SINOPSIS PENGETAHUAN PENGGALANGAN KERJASAMA MULTIPIHAK BERBASIS KELEMBAGAAN UNTUK PENANGGULANGAN BENCANA Tema Sub-tema Sumber Tim KM

: : : :

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Strategi Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Mantavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi AudioVisual) Makassar, Sulawesi Selatan 28 September – 2 Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

Kerjasama di antara para pemangku kepentingan merupakan kunci keberhasilan penanggulangan bencana. Namun penggalangan kerjasama multipihak bukanlah hal mudah. Agar berhasil, dibutuhkan kiat-kiat tertentu. *** Petingnya kerjasama multipihak telah ditegaskan dalam UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) yang sangat menekankan pentingnya kerjasama multipihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 26 dan 27 bahwa pemerintah merupakan penanggung jawab utama, tetapi setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk ikut serta dalam upaya penanggulangan bencana dalam segala aspeknya. UUPB juga menekankan pentingnya peran serta dunia usaha dalam penanggulangan bencana. Ketiga pihak ini dilambangkan dalam segitiga pada logo BNPB. Dalam praktiknya, mengupayakan kerja sama di antara berbagai pihak dapat menemui sejumlah hambatan. Setiap pihak yang dilibatkan memiliki persepsi sendiri-sendiri, yang mempengaruhi cara pendekatan dan metode yang digunakan dalam isu penanggulangan bencana. Selain itu, setiap pihak dapat saja mengejar kepentingan yang berbeda-beda. Semua ini adalah kenyataan yang tidak terhindarkan. Konflik adalah keniscayaan dan karena itu, harus diterima dan dikelola agar menguatkan, bukan sebaliknya melemahkan, kerjasama di antara para pihak. Agar berhasil dalam penggalangan dan pengelolan kerjasama multi pihak, terdapat tiga nilai utama, yaitu penanggulangan bencana harus menjadi satusatunya visi dan kepentingan yang melandasi kerjasama; diperlukan sikap inklusif yang kuat agar tetap menjaga posisi netral di antara semua pemangku kepentingan; dan tidak kalah penting adalah kepedulian pada seluruh jaringan dan semua potensi yang dimilikinya. Ketiga nilai ini memberi panduan dalam pelibatan para pihak, sekaligus pengelolaan konflik.

KM-­‐CDSP 2015

47


Visi PB

Inklusi f

Peduli

Sejalan dengan itu, penggalangan kerjasama multipihak dalam bidang penanggulangan bencana di Sulawesi Selatan dimulai dengan membangun kontak dan melakukan kunjungan ke pemangku kepentingan dari berbagai spektrum, seperti instansi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan perguruan tinggi serta lembaga usaha. Kunjungan ini diisi dengan diskusi informal untuk mengetahui sekaligus menyamakan persepsi di antara pemangku kepentingan. Dari diskusi informal, akhirnya disepakati untuk dilakukan diskusi berkala (seri diskusi) yang melibatkan semua pemangku kepentingan, yang semakin memperkuat penyamaan persepsi bahwa penanggulangan bencana tidak hanya terbatas pada tanggap darurat, tetapi meliputi pra-bencana dan pascabencana, serta pentingnya upaya pengurangan risiko. Upaya penyamaan persepsi ini juga dilaksanakan dengan pendekatan kepada Bappeda dan SKPD provinsi Sulawesi Selatan, yang kemudian memungkinkan urusan PB masuk dalam RPJMD. Persepsi yang sama tentang isu penanggulangan bencana dengan sendirinya menghasilkan kesamaan dalam tindakan, sebagaimana tampak dalam pembentukan Tim Sembilan yang diberi mandat untuk membidani lahirnya Forum PRB, termasuk mengawal rangkaian diskusi PRB selanjutnya. Seri diskusi yang dilaksanakan secara berkala akhirnya memutuskan untuk melembagakan kelompok diskusi para pihak tersebut menjadi Forum PRB dalam pertemuan tudang sepulung (musyawarah bersama) parapihak. Forum PRB melihat sisi kebijakan sebagai salah satu faktor kunci dalam pengembangan system PB yang kuat di Sulawesi Selatan sehingga secara aktif mendukung BPBD untuk mengupayakan isu PB dimasukkan sebagai program prioritas dalam RPJMD 2013-2018.

KM-­‐CDSP 2015

48


Pelembagaan Advokasi

Samakan Persepsi

Intensifkan Interaksi Pelaku

Gabungkan Sumber Daya

Keseluruhan upaya pelembagaan isu PB dalam kebijakan daerah provinsi Sulawesi Selatan menuntut seorang pendamping/fasilitator instansi pemerintah, dalam hal ini konsultan CDSP terhadap BPBD, untuk menguasai setidaknya tiga kemampuan, yaitu, kemampuan untuk telaah dan analisis semua dokumen perencanaan terkait PB serta politik yang menyertainya; kemampuan melakukan advokasi secara internal di lembaga dampingan dan secara eksternal kepada instansi dan lembaga yang berwenang agar kepentingan PB diakomodasi dalam perencanaan kebijakan; dan kemampuan untuk fasilitasi pengembangan kapasitas internal untuk melakukan/mengikuti proses perencanaan secara internal maupun eksternal. Dalam penggalangan dan pengelolaan kerjasama multipihak, terdapat dinamika relasi antar individu dan antar lembaga yang terlibat. Menghadapi dinamika tersebut, sangat diperlukan kemampuan untuk tetap menjaga netralitas, yang didasarkan pada sikap mengutamakan visi dan kepentingan penanggulangan bencana (sebagaimana telah disebutkan di atas) sambil menempatkan dan/atau memperlakukan pihak-pihak yang berkonflik (saling berinteraksi secara dinamis) dengan tepat. Untuk itu perlu diperhatikan: 1) kompetensi masing-masing pihak untuk tetap menyumbang pada isu penanggulangan bencana; 2) orientasi masingmasing pihak terdefinisikan dengan benar dalam hal PB; 3) motivasi masingmasing pihak dalam upaya PB; 4) potensi yang dimiliki masing-masing pihak untuk menyumbang pada upaya PB; 5) akses yang dimiliki oleh setiap pihak untuk membantu dalam upaya PB; dan 6) sumber daya yang dimiliki masingmasing pihak yang dapat dikontribusikan dalam upaya PB. Pengalaman dalam penggalangan dan pengelolaan kerjasama multipihak di Sulawesi Selatan merupakan pendekatan yang berbasis pada penguatan kelembagaan, baik lembaga-lembaga pemerintah maupun lembaga nonpemerintah. Implikasi dari pendekatan ini adalah meningkatnya responsivitas lembaga terkait isu PB. Sehingga, kinerja layanan publik dalam PB semakin efektif, akuntabel dan melibatkan multipihak di berbagai level. ***

KM-­‐CDSP 2015

49


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber : Buttu Ma’dikka

Kode:

JP

I √

II √

III √

IV √

PP

A B C √

TP

1

2

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Sub-tema : Strategi Pelembagaan Isu PB Sub-sub-Tema : Perubahan persepsi dan paradigma tentang PB di lingkungan BPBD Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATA KOD TEMUAN/HASIL N

E

Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE)

S

S1. Melakukan diskusi informal dengan para pimpinan BPBD (Kalak, Kabid, Sekban)

E

E1. Melakukan Penilaian awal tentang pemahaman PB di lingkungan BPBD E2. Mengidentifikasi perubahan persepsi dan paradigma PB (indikator) di BPBD C1. Menginisiasi ruang informal (dan formal) untuk berbagi pengetahuan tentang PB di lingkungan BPBD

C

Internalisasi (EàT)

I

I1. Mengkomunikasikan hasil penilaian kepada jajaran pimpinan BPBD

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT) Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

SUMBER BUKTI Catatan kegiatan konsultan Dokumen laporan penilaian tentang persepsi dan perubahannya Catatan rapat/diskusi PB di lingkungan BPBD, daftar hadir Dokumen rencana tindak lanjut, catatan rapat/diskusi, daftar hadir

VALIDASI TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

LEVEL PERSONAL

LEVEL ORGANISASI

LEVEL JARINGAN

Perubahan paradigma BPBD dari parsial menjadi integral BPBD menyusun rencana kerja yang sesuai paradigma integral

BPBD berdialog dengan SKPD dan pihak non pemerintah BPBD memperjuangkan PB masuk RPJMD

Perubahan persepsi tentang PB pada Kalak, Sekban, Kabid

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

Content

RINGKASAN NARASI Context

Connectivity

(Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.)

(Relevansi dan signifikansi bagi Konsultan CDSP, Mitra dan penerima manfaat)

(Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan untuk konsultan)

Perubahan Persepsi dan paradigma adalah pergeseran cara pandang tentang PB ditandai dengan munculnya pandangan bahwa PB bukan hanya terkait kegiatan TD tetapi menyangkut keseluruhan upaya dalam semua tahapan, bahkan menyangkut berbagai aspek pembangunan.

• Perubahan persepsi dan paradigma PB dari partial menjadi integral merupakan proses yang menentukan dalam membangun sistem PB di daerah karena menjangkau sampai tingkat pengambilan kebijakan dan keputusan.

Pengetahuan tentang bagaimana mengubah persepsi dan paradigma PB di pimpinan dan jajaran BPBD dapat memiliki kontribusi bagi: 1. pengembangan model pengambilan keputusan yang berwawasan PB, transparan dan partisipatif di lingkungan BPBD 2. meningkatan responsivitas terhadap harapan para pihak dan publik terkait PB dan selanjutnya dapat menjadi titik tolak pengembangan tata kelola PB yang transparan dan akuntabel. 3. kapasitas dalam mengembangkan produk dan layanan PB sesuai harapan publik.

Keterampilan: • komunikasi interpersonal • memotret budaya birokrasi • menginisisasi media perjumpaan/dialog informal • fasilitasi

KM-­‐CDSP 2015

• Keberhasilan mengubah persepsi dan paradigma pimpinan dan jajaran BPBD menjadi titik ungkit untuk melembagakan pendekatan PB yang integral, partisipatif, akuntabel dan berkelanjutan serta membangun prakondisi untuk terjadinya keterbukaan antar unit di lingkungan BPBD.

50

3 √


Kiat: • Membangun kepercayaan diri dan kepercayaan pimpinan dan jajaran birokrasi • Prinsip dan etika berelasi di lingkungan birokrasi

• Kompetensi ini dapat menjadi model awal bagi upaya yang sama di daerah lain di kemudian hari.

Langkah: • Pemetaan awal pemahaman PB • Merefleksikan peta pemahaman • Menginisiasi rencana tindak lanjut

KM-­‐CDSP 2015

51


SINOPSIS PENGETAHUAN

Sistem Edukasi Masyarakat Berbasis Bencana (Erupsi) Tema Sub-tema

: :

Sumber

:

Tim KM Tempat Tanggal

: : :

Strategi Komunikasi Penanggulangan Bencana Strategi Pengembangan Sistem Komunikasi Bencana Berbasis Masyarakat Choirul Huda, Petuga Pengawas Gunungapi (PGA) Kelud, kecamatan Ngancar, kabupaten Kediri, Jawa Timur Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun Ngancar, Kediri 29-31 Oktober 2014

Efektivitas sistem edukasi masyarakat dalam penanggulangan bencana bertujuan agar masyarakat mampu memahami dan mengambil pilihan tindak atas ancaman bencana yang dihadapi. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan “menemani” masyarakat secara terus- menerus dengan menggunakan “bahasa” yang dapat diterima dan dipraktikkan oleh masyarakat.

Edukasi Bencana (Erupsi) yang Memasyarakat “Menemani” masyarakat menjadi “sadar bencana” tidak mudah dalam praktiknya. Perlu proses panjang yang harus dilibati secara terus-menerus, dengan cara-cara yang “diterima” oleh masyarakat dalam berbagai kelompok usia, jenis kelamin, status sosial, serta melibatkan berbagai pihak. Karena tidak mungkin upaya ini dilakukan sendirian, maka pertama-tama mutlak perlu membangun pemahaman, membangkitkan keterikatan dan komitmen pada siapa saja untuk mau dan ikhlas melibatkan diri dalam upaya penyadaran masyarakat melalui berbagai keterlibatan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana.

Langkah-langkahnya: 1. Melakukan sosialisasi, penyadaran pada masyarakat tentang pengurangan risiko bencana secara informal, terus-menerus, melalui berbagai kesempatan pertemuan informal seperti halnya: ngobrol di warung kopi, angkringan, tempat “nongkrong” anak muda, dan berbagai kesempatan berkumpulnya warga. 2. Mendekati tokoh formal (pejabat pemerintah) maupun tokoh informal (adat, masyarakat) dan mengajak terlibat dalam upaya mengedukasi masyarakat. 3. Membangun kerjasama dengan lembaga peduli bencana dan mengajak terlibat dalam upaya mengedukasi masyarakat, khususnya tentang CBDRM.

KM-­‐CDSP 2015

52


Keterampilan yang harus dimiliki: 1. Komunikasi dan membangun relasi interpersonal dengan berbagai pihak / kalangan. 2. Mempersuasi dan memotivasi berbagai pihak hingga muncul kesediaan dan keikhlasan untuk terlibat dan bangga karena peran yang dijalankan dalam upaya PRB.

Kiat: 1. Terus memperbarui (update) data terkait aktivitas gunungapi (Kelud) 2. Mengedepankan silaturahmi 3. Aktif berkomunikasi dan berkoordinasi secara informal

Pendekatan : Dibutuhkan pendekatan terpadu antara pendekatan formal maupun informal. Dalam upaya pelibatan pejabat pemerintahan maka diperlukan prosedur legal formal (surat-menyurat, permohonan, dsb.) yang diikuti dengan pendekatan personal dengan bersilaturahmi, membangun relasi, persuasi, hingga senang terlibat dan “mendapatkan manfaat politis” terkait jabatannya. Dalam format yang kurang lebih sama juga dijalankan dalam pelibatan tokoh informal, tokoh adat. Silaturahmi adalah yang utama; menghargai dan menggunakan cara pandang mereka untuk komunikasi sosial adalah sisi lainnya.

Tahapan mengedukasi: Simultan dengan pendekatan dan bangun relasi dengan pejabat publik, tokoh masyarakat, maupun tokoh adat, langkah dan strategi juga perlu disusun untuk tujuan penyadaran masyarakat, menemani warga menjadi “sadar bencana”. Selain model pendekatan informal melalui berbagai kesempatan, perlu dibangun tim yang terdiri dari unsur masyarakat yang akan mengedukasi lanjut dan terus menerus warga sekitarnya. Tahapnya adalah sebagai berikut: 1. Menyusun materi pelatihan CBDRM. 2. Menyusun Materi/modul ToF CBDRM. 3. Bersama Lembaga peduli bencana melatih kelompok individu dari berbagai elemen warga yang berasal dari berbagai desa di KRB 1 Kelud (10 desa). 4. Melakukan pelatihan ToF, pada mantan peserta pelatihan yang “aktif” (mencetak fasilitator lokal). 5. Mendampingi Fasilitator lokal melakukan edukasi ke desa lain hingga menjangkau desa-desa lain (menjadi 38 desa, dan sekarang 54 desa di 3 kabupaten).

KM-­‐CDSP 2015

53


Kunci keberhasilan: 1. Kemampuan dan ketulusan dalam membangun relasi personal dengan berbagai pihak (birokrat, tokoh masyarakat, hingga “pengangguran”) menjadikan berbagai pihak paham tentang aktivitas gunungapi (Kelud) yang tinggi potensi risiko bencananya. 2. Terus menerus melakukan sosialisasi dengan ikhlas. Orientasinya bukan saya dapat apa, tetapi tujuan dan manfaat: INGIN MEMPUNYAI MASYARAKAT YANG CERDAS TERHADAP BENCANA. 3. Pemahaman yang terbangun dalam konteks pertemanan menumbuhkan minat para pihak terlibat aktif dalam berbagai kegiatan PRB baik dalam upaya menyadarkan masyarakat, mengembangkan sistem komunikasi, kegiatan simulasi evakuasi, hingga evakuasi yang sebenarnya.

KM-­‐CDSP 2015

54


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN A(struktural) B(aktivitas) C(perilaku) ; 1(normatif) 2(strategis) 3(operasional) Konsultan/Narasumber Choirul Huda (PGA)

:

JP

I

II

III

IV

PP

A B C

TP

1 2 3

Kode:

Tema : Strategi Komunikasi Penanggulangan Bencana Sub-tema : Strategi Pengembangan Sistem Komunikasi Bencana Berbasis Masyarakat (2.k) Sub-sub-Tema : Sistem Edukasi Masyarakat Berbasis Bencana (Erupsi) HasilKonversidenganpendekatanSECI(Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKAT KOD TEMUAN/HASIL AN Sosialisasi (Tà T)

E S

Eksternalisasi (Tà E)

E

Kombinasi (Eà E)

C

Internalisasi (Eà T)

I

TEMUAN/HASIL Sosialisasi (Tà T) Eksternalisasi (Tà E) Kombinasi (Eà E) Internalisasi (Eà T)

S1. Melakukan sosialisasi , penyadaran pada masyarakat tentang pengurangan risiko bencana secara informal, terus-menerus S2. Mendekati tokoh formal (pejabat pemerintah) maupun tokoh informal dan mengajak terlibat dalam mengedukasi masyarakat S3. Membangun kerjasama dengan Kapala (Upn yogyakarta) tentang CBDRM E1. Menyusun materi pelatihan CBDRM. E2. Menyusun Materi / modul ToF CBDRM E3. C1. Membentuk tim evakuasi yang terdiri dari berbagai unsur: Camat, Koramil, Polsek, Jangkar Kelud; Rapi; Orari; Komunitas HT C2. C3. I1. Bersama Kapala melatih kelompok individu berbagai elemen di 10 desa di KRB 1 Kelud. Terbentuk “Jangkar Kelud” I2. Melakukan pelatihan ToF , “mencetakmenjadi fasilitator I3. Mendampingi Fasilitator lokal melakukan edukasi ke desa lain hingga menjadi 38 desa di 3 kabupaten.

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG SUMBER BUKTI Foto pertemuan Foto simulasi evakuasi Daftar hadir pelatihan Daftar kelompok lokal latih Peta jalur evakuasi Modul pelatihan CBDRM Modul pelatihan ToF Foto kegiatan pelatihan peserta ToF pada berbagai kelompok

VALIDASI (perubahan persepsi apa yang telah, sedang, sudah terjadi karena dimilikinya pengetahuan ini. TEMUAN/HASIL LEVEL LEVEL LEVEL JARINGAN PERSONAL ORGANISASI Tumbuhnya kesadaran Tumbuhnya peran aktif Tumbuhnya rasa Sosialisasi (Tà T) masyarakat berperan aktif dalam upaya pengurangan risiko bencana

KM-­‐CDSP 2015

dan sinergis pada instansi muspika bersama PGA di kecamatan Ngancar (PGA; Kecamatan; Koramil)

tanggung jawab dan kesediaan terlibat aktif berbagai elemen masyarakat desa hingga jajaran birokrasi-TNIPolri dalam PRB

55


Eksternalisasi (Tà E)

Masyarakat sadar dan tahu persis jika terjadi evakuasi harus menuju titik kumpul di mana; mengungsi ke mana; lewat jalur mana.

Terbentuknya komunitas JANGKAR KELUD (Jangkane kawulo redi Kelud;rinengkuh Kelud hangreksa rahayu)

Kombinasi (Eà E)

Internalisasi (Eà T)

Adanya individu lokal terlatih yang melakukan pelatihan / edukasi pada berbagai kelompok kategorial di masyarakat.

Pos Pengawasan Gunung Api (PGA) menjadi rujukan utama informasi kebencanaan erupsi gunung berapi.

Munculnya sistem komunikasi yang efektif dari berbagai jaringan komunikasi: RAPI; Kelud FM; Triple Two; dsb. Bersinerginya berbagai kelompok (Kelompok local latih; RAPI; ORARI; Komunitas HT) dalam mengambil peran dalam upaya PRB Berfungsinya berbagai media komunikasi (9 radio FM; Komunitas pemegang HT) secara efektif sebagai saluran informasi kebencanaan erupsi secara kontinyu, ter up date; dipercaya masyarakat.

RINGKASAN NARASI Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Membangun pemahaman, membangkitkan keterikatan dan komitmen pada siapa saja untuk mau dan ikhlas melibatkan diri dalam upaya penyadaran masyarakat melalui berbagai keterlibatan dalam kegiatan pengurangan risiko bencana. Memberikan pelatihan (oleh Kapala) pada kelompok masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen (linmas, yandu, pkk, guru, karangtaruna, tomas) tentang PRB kegunungapian; melakukan ToF pada “pionir” hasil pelatihan; mendorong agar peserta ToF melakukan edukasi lanjut pada keluarga dan lingkungan kegiatannya. Keterampilan: F Komunikasi dan membangun relasi interpersonal dengan

KM-­‐CDSP 2015

Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Kemampuan dan ketulusan dalam membangun relasi personal dengan berbagai pihak (birokrat, tokoh masyarakat, hingga “pengangguran) menjadikan berbagai pihak paham tentang aktivitas gunung yang tinggi dengan potensi risiko bencananya. Terus menerus melakukan sosialisasi dengan ikhlas. Orientasinya bukan saya dapat apa, tetapi tujuan dan manfaat : INGIN MEMPUNYAI MASYARAKAT YANG CERDAS TERHADAP BENCANA.

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Meningkatnya kepercayaan masyarakat pada pemangku kepentingan / para pihak yang menjalankan tugas PRB atas pelayanan yang diterima Meningkatnya efektivitas dan efisiensi kinerja berbagai pihak yang terlibat dalam penanggulangan bencana (PGA; Muspika: Jangkar Kelud; dsb), khususnya dalam hal evakuasi warga di kawasan rawan bencana di lereng gunung Kelud. Keberhasilan Pembelajaran dan Penanganan evakuasi warga di KRB gunung Kelud menginisiasi berbagai pihak.

Pemahaman yang terbangun dalam konteks pertemanan menumbuhkan minat parapihak terlibat aktif dalam berbagai

56


berbagai pihak / kalangan. F Mempersuasi dan memotivasi berbagai pihak hingga muncul kesediaan dan keikhlasan untuk terlibat dan bangga karena peran yang dijalankan dalam upaya PRB. Kiat: F Terus memperbarui data terkait aktivitas gunung (Kelud) F Mengedepankan silaturahmi ; komunikasi-koordinasi informal.

KM-­‐CDSP 2015

kegiatan PRB baik dalam menyadarkan masyarakat, mengembangkan sistem komunikasi, maupun kegiatan simulasi evakuasi. Masyarakat yang sebelumnya susah dievakuasi menjadi sadar, aktif dan kooperatif dalam peristiwa evakuasi.

57


SINOPSIS PENGETAHUAN

Mengelola Proses Politik dalam Perumusan Kebijakan PB Tema Sub-tema Sumber

: : :

Tim KM

:

Tempat Tanggal

: :

Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Pelembagaan Isu PB Buttu Ma’dika (Konsultan CDSP Sulawesi Selatan), Ardadi, S.Farm., M.Kes (Kabid II BPBD Provinsi Sulawesi Selatan) Cahyo Suryanto, Ig. Sumarwoko, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumentasi audio-visual) Makassar 28 September – 2 Oktober 2014; 19-25 Februari 2015

Kebijakan PB tidak bisa lepas dari proses politik, yakni menyangkut proses penentuan who get what, when and how. Pelembagaan kebijakan PB juga merupakan sebuah proses dalam sistem politik mencakup serangkaian tindakan pengambilan keputusan baik oleh lembaga eksekutif dan legistatif maupun dalam rangka memenuhi aspirasi publik.

Langkah mengawal sebuah proses politik Pelaksanaan kegiatan PB sering terkendala oleh sistem penganggaran karena belum tercantum kegiatannya dalam RPJMD. Belum adanya renstra BPBD yang terakomodir masuk dalam RPJMD setidaknya akan berdampak pada kesulitan pendanaan. Penyusunan renstra yang kemudian terakomodir sebagai sasaran program dalam RPJMD mutlak diperlukan. Kegiatan PB dalam praktiknya selalu merupakan kegiatan multipihak. Oleh karenanya penyusunan renstra tidak bisa hanya dilakukan oleh BPBD secara internal, memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Pelibatan multipihak dalam penyusunan renstra dan memperjuangkannya hingga menjadi sasaran program dalam RPJMD merupakan proses politik yang sangat dipengaruhi oleh keberhasilan dalam menarik simpati dan membangun pengaruh. Kita tidak bisa meraih simpati orang, tidak bisa memenangkan kebenaran yang kita tawarkan, bila strategi cara menawarkannya tidak tepat. Proses politik menarik simpati dan membangun pengaruh dapat diupayakan dengan strategi sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.

Melembagakan isu kebencanaan Melibatkan konsultan RPJMD, Dewan, Akademisi, NGO Membangun lobi lintas SKPD Melakukan konsultasi publik dan memanfaatkan modal hubungan sosial

KM-­‐CDSP 2015

58


Langkah-langkah mengelola proses politik, menarik simpati dan mendapatkan dukungan multi pihak dapat ditempuh dengan cara-cara sebagai berikut: 1. Pendekatan politik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah 2. Identifikasi aktor di balik SPPD 3. Memetakan model perumusan kebijakan publik 4. Pendekatan dan strategi mempengaruhi pembuat Kebijakan Perencanaan Daerah 5. Strategi pelibatan legislatif dalam tim penyelenggaraan PB 6. Agenda setting untuk memasukkan kebijakan PB dalam proses politik Dalam praktiknya menarik simpati untuk membangun pengaruh tidaklah mudah. Terlibatnya banyak pihak acapkali membawa serta kepentingan yang berbeda. Mengelola proses politik dalam perumusan kebijakan PB memerlukan keterampilan khusus agar berhasil. Beberapa keterampilan yang sebaiknya dikuasai adalah: 1. 2. 3. 4.

Analisis politik daerah Analisis model kebijakan publik Alokasi kebijakan publik Teknik negosiasi politik

Relevansi bagi Konsultan Kebencanaan (CDSP): Konsultan kebencanaan (CDSP) merupakan fasilitator yang berperan untuk meningkatkan kapasitas para mitra, melakukan transfromasi pada level personal, level organisasi, dan level kelembagaan. Dalam konteks kelembagaan inilah konsultan CDSP perlu memiliki kapasitas politik agar mampu mempengaruhi kebijakan publik yang berperspektif PB. Signifikansi: Kemampuan memasuki “arena proses politik” merupakan modal dasar untuk memastikan terlembaganya prinsip-prinsip PB dalam kebijakan publik. Pengetahuan ini akan berkontribusi bagi akselerasi kinerja para konsultan (CDSP) dan para pegiat kebencanaan dalam: 1. Melembagakan isu-isu PB dalam ranah kebijakan publik 2. Memfasilitasi transformasi kehendak politik para aktor dan visi politik bencana di kalangan elit politik 3. Mendorong keterlibatan dan kepedulian para aktor politik terhadap isu-isu penanggulangan bencana

KM-­‐CDSP 2015

59


KARTU LAPORAN KODIFIKASI-KONVERSI PENGETAHUAN Konsultan/Narasumber: Butu dan Kabid 2

Kode:

JP

I

II

III

IV

PP

A

B

C

TP

1

2

3 ✓

A

Tema : Strategi Penggalangan Kerjasama Multipihak Sub-tema : Pelembagaan Isu Sub-sub Tema : Mengelola Proses Politik dalam Perumusan Kebijakan PB B Hasil Konversi dengan pendekatan SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization) PENDEKATAN KODE TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

S

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE)

E

S1. Pendekatan Politik dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah S2. Identifikasi aktor di balik SPPD S3. Memetakan model perumusan kebijakan publik E1. Pendekatan dan strategi mempengaruhi Pembuat Kebijakan Perencanaan Daerah

C

C1. Strategi pelibatan legislatif dalam tim penyelenggaraan PB

I

I1. Agenda setting untuk memasukkan kebijakan PB dalam proses politik

Internalisasi (EàT)

C

VERIFIKASI DATA PENDUKUNG TEMUAN/HASIL

SUMBER BUKTI

Sosialisasi (TàT)

Kerangka kebijakan SPPD dan Penyelengaraan PB; Matrik para pihak yang berpengaruh dalam proses politik perencanaan pembangunan daerah; Hasil analisis konsultan dalam mendefinisikan political will para actor di lingkungan BPBD dan SKPD terkait serta kalangan legislatif Notula rapat koordinasi untuk melibatkan pihak-pihak yang berpengaruh dalam SPPD Testimoni konsultan untuk mendekati dan melibatkan kalangan legislatif dalam perencanaan kebijakan PB Ragam pendekatan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang terlibat dalam proses politik

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE) Internalisasi (EàT)

D TEMUAN/HASIL Sosialisasi (TàT)

LEVEL PERSONAL

LEVEL JARINGAN

Ilustrasi dan konseptualisasi pemetaan proses politik kebijakan PB dalam SPPD

Eksternalisasi (TàE) Kombinasi (EàE)

VALIDASI LEVEL ORGANISASI

Testimoni anggota legislatif yang terlibat dalam penetapan kebijakan PB (Perlu penggalian lebih lanjut)

Inisiatif BPBD dan konsultan untuk mempengaruhi proses politik Opsi-opsi BPBD dan konsultan untuk “memasukkan isu PB” dalam proses politik

Internalisasi (EàT)

E Content (Ringkasan konsep, keterampilan, kiat, langkah, tahapan, kegiatan, dsb.) Konsep-Konsep Dasar: Kebijakan PB tidak bisa lepas dari proses politik, yakni, menyangkut proses penentuan who get what, when and how. Pelembagaan kebijakan PB juga merupakan sebuah proses dalam sistem politik mencakup serangkaian tindakan pengambilan

KM-­‐CDSP 2015

RINGKASAN NARASI Context (Relevansi dan signifikansi bagi program CDSP, Mitra dan penerima manfaat) Relevansi bagi Konsultan CDSP: Konsultan CDSP merupakan fasilitator untuk melakukan transfromasi di level personal, organisasi dan kelembagaan. Dalam konteks, kelembagaan

Connectivity (Kontribusi berdasarkan 4 fungsi pengetahuan) Pengetahuan ini akan berkontribusi bagi akselerasi kinerja para konsultan CDSP dalam: 1. Melembagakan isu-isu PB dalam kebijakan publik; 2. 3.

Memfasilitasi transformasi kehendak politik para aktor dan visi politik bencana di kalangan elit politik; Mendorong keterlibatan dan kepedulian para para aktor politik terhadap isu-isu PB

60


keputusan baik oleh lembaga legislatif dan eksekutif maupun dalam rangka memenuhi aspirasi publik

Keterampilan: Analisis politik daerah; Analisis model kebijakan publik; Adokasi kebijakan publik; Teknik negosiasi politik

KM-­‐CDSP 2015

inilah konsultan CDSP perlu memiliki kapasitas politik agar mampu mempengaruhi kebijakan publik yang berperspektif PB. Signifikansi: Kemampuan memasuki “arena proses politik” merupakan modal dasar untuk memastikan terlembaganya prinsipprinsip PB dalam kebijakan publik.

61


SINOPSIS PENGETAHUAN PENDEKATAN EVALUASI KETANGGUHAN MASYARAKAT Tema Sub-tema Sumber Tim KM

: : : :

Tempat Tanggal

: :

Ketangguhan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana Pendekatan Ketangguhan Masyarakat Chasan Ascholani – Konsultan CDSP untuk Direktorat PM, BNPB Cahyo Suryanto, Domi Wermasubun, Dyah Nala Martavani (Rapporteur), Parwito (Dokumnetasi Audio-Visual) Cebongan, Yogyakarta 20 Maret 2015

Pengantar Ketangguhan (resilience) merupakan elemen kunci dalam wacana dan praktik penanggulangan bencana. Ketangguhan juga pilar utama dalam pengembangan sistem penanggulangan bencana nasional. Berbagai inisiatif, pendekatan dan indikator untuk membangun ketangguhan telah dikembangkan oleh berbagai pihak. Guna mengoptimalkan inisiatif, pendekatan dan capaian indikator tersebut, diperlukan pendekatan evaluasi yang dapat membuahkan proses pembelajaran untuk mengakselerasi ketangguhan komunitas. Berikut adalah salah satu contoh praktik evaluasi ketangguhan komunitas dalam penanggulangan bencana. Asumsi Dasar Pendekatan Evaluasi Ketangguhan Pertama, ketangguhan adalah tindakan kolektif. Kejadian dan dampak bencana selalu mencakup sebuah wilayah dan komunitas. Ketangguhan dalam menghadapi bencana selalu bersifat sosial dan merupakan hasil dari tindakan kolektif sebuah komunitas. Kedua, masyarakat yang tangguh dalam menghadapi bencana adalah masyarakat yang telah memiliki kesadaran terhadap ancaman bencana serta kesadaran untuk mengorganisir diri agar tetap aman dan sejahtera. Ketangguhan bukanlah semata-mata hasil dari rekayasa sosial, melainkan sebuah proses pengembangan kapasitas yang berlangsung secara terus-menerus agar menjadi lebih tangguh dengan tetap berdasarkan pada prinsip dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat. Berdasarkan kedua asumsi ini, maka fokus pendekatan evaluasi ketangguhan komunitas adalah (1) tindakan kolektif dan (2) berorientasi pada proses. Sebagai suatu tindakan kolektif, ketangguhan masyarakat takkan terjadi tanpa terbentuknya kesadaran kritis pada semua warga tentang masalah yang dihadapi, yaitu ancaman dan risiko bencana.

KM-­‐CDSP 2015

62


Kesadaran kolektif ini sangat fundamental bagi tercapainya kesepakatan tentang tujuan dan upaya bersama menuju ketangguhan komunitas.

Dari sisi proses, terbentuknya kesadaran kolektif untuk mencapai tujuan bersama ini membutuhkan proses pengorganisasian (community organizing). Proses pengorganisasian akan menentukan terjadi-tidaknya perencanaan bersama (community planning). Melalui perencanaan bersama, akan terbentuk proses pengalaman bersama (pengalaman sosial). Perencanaan bersama akan menentukan terciptanya proses pembelajaran bersama (community learning) untuk menjadi lebih tangguh. Melalui proses pembelajaran, akan terjadi proses transfer dan sharing pengalaman tentang makna, tujuan, kiat dan inisiatif untuk menjadi lebih tangguh. Pendekatan evaluasi ketangguhan akan bermakna dan bermanfaat jika mampu mengidentifikasi dan merefleksikan keseluruhan proses tersebut. Secara skematis, pendekatan evaluasi ketangguhan yang berfokus pada tindakan kolektif dan proses tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Pendekatan Evaluasi Ketangguhan: Partisipatif-Eksperensial Dengan bertumpu asumsi tersebut, maka evaluasi ketangguhan komunitas perlu mempertimbangkan tiga hal. Pertama, membuka ruang untuk mengakomodir dimensi-dimensi kualitatif (baik pada indikator dan capaian); Kedua, menggunakan metode dialog dan refleksi yang melibatkan para pihak; dan Ketiga, memperlakukan evaluasi sebagai wahana pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Dengan mempertimbangkan ketiga hal itu, maka pendekatan ini dinamakan Pendekatan Partisipatif-Eksperensial.

KM-­‐CDSP 2015

63


Berdasarkan pengalaman BNPB dalam mengevaluasi ketangguhan komunitas, pendekatan partisipatif-eksperensial telah terbukti menghasilkan hal-hal positif, diantaranya: evaluator bukan lagi sebagai pihak luar, namun evaluator dapat terlibat secara mendalam sehingga tertanam rasa empati, memiliki dan tanggung jawab. Bagi komunitas, merasa disapa, didengarkan dan dihargai, serta memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menyampaikan keluhan dan aspirasi. Secara umum, Pendekatan Evaluasi partisipatif-experiensial dapat ditempuh dengan lima tahapan sebagai berikut: 1. Penyusunan rancangan evaluasi. Rancangan evaluasi sekurang-kurangnya memuat tentang bagaimana alur, proses dan metode, gambaran hasil baik dokumen maupun aplikasinya, pendekatan refeksi untuk pembelajaran dari pihak fasilitator, masyarakat, maupun BPBD sebagai pelaksana program, serta rekomendasi dan kemungkinan replikasi; 2. Serial meeting untuk tim evaluator. Rangkaian pertemuan ini dilaksanakan untuk memastikan pemahaman yang benar tentang apa yang dievaluasi, pertanyaan kunci serta metode yang digunakan; 3. Kunjungan lapangan. Dalam tahap fasilitator, evaluator dan komunitas bersama-sama menghasilkan data, informasi, pengetahuan dan fakta-fakta yang akurat, kontekstual dan terkini; 4. Lokakarya hasil evaluasi. Lokakarya ini diadakan untuk membahas secara bersama-sama atas hasil evaluasi dan menarik pembelajaran serta menyediakan rekomendasi untuk perbaikan; 5. Penyusunan laporan akhir.

KM-­‐CDSP 2015

64


SINOPSIS PENGETAHUAN

“PENGEMBANGAN KAPASITAS ALA CDSP” DIKONSTRUKSI OLEH TIM KM CDSP JUNI 2015 Paradigma baru penanggulangan bencana (PB) adalah titik tolak akselerasi kapasitas lembaga pemerintah yang penyelenggaraan dan pelayanan PB. Dalam konteks itulah, Australia-Indonesia Facility for Disaster Reduction (AIFDR) bersama BNPB telah merancang dan mengimplementasikan program Capacity Development Support Program (CDSP). Yakni, sebuah program pengembangan kapasitas yang difokuskan pada dimensi SDM dan Organisasi. Setelah dua tahun pelaksanaan program CDSP, dapat dikonstruksi sebuah pendekatan pengembangan kapasitas yang mengkombinasikan tiga pendekatan, yakni (1) induksi budaya kerja, (2) tranformasi yang berkelanjutan dan (3) good governance . *** Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB) mengatur tentang sistem penanggulangan bencana nasional dan mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagai lembaga tertinggi yang mengembangkan dan melaksanakan sistem PB nasional. Untuk itu, BNPB berfungsi merumuskan dan menetapkan kebijakan PB, yang lebih melekat pada unsur pengarah, dan mengkoordinasikan pelaksanaan PB, yang melekat pada unsur pelaksana (Pasal 13 s.d. 17). Demikian juga, UUPB menetapkan tugastugas spesifik untuk mendukung fungsi-fungsi BNPB tersebut dan BPBD menjalankan fungsi dan tugas serupa di tingkat daerah. Sistem penanggulangan bencana nasional terdiri dari lima pilar, yaitu kebijakan/regulasi, kelembagaan, perencnaan, pendanaan dan pengembangan kapasitas. Perubahan paradigma penanggulangan bencana dari tanggap bencana menjadi pengelolaan risiko bencana, sebagaimana diamanatkan dalam UUPB dengan sendirinya mempersyaratkan kapasitas tertentu agar sistem PB dapat dibangun dan dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Persyaratan kapasitas ini tersirat dalam rangkaian prosedur, kegiatan, dokumen yang wajib dilaksanakan/diupayakan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan

KM-­‐CDSP 2015

65


Penanggulangan Bencana (PP 21/2008). Pengembangan kapasitas diperlukan dalam sektor PB secara umum dan lembaga penyelenggara PB, dalam hal ini BNPB di tingkat nasional dan BPBD di tingkat daerah pada khususnya. Sebagai tanggapan atas surat tertanggal 3 Januari 2011, yang secara resmi meminta dukungan dalam pengembangan kapasitas di BNPB, AIFDR merancang sebuah program yang kemudian dikenal dengan sebutan Capacity Development Support Program (CDSP), sebagaimana tertuang dalam Terms of Reference Penguatan/Pengembangan Kapasitas untuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana, yang dikirim kepada BNPB dengan surat bertanggal 4 Januari 2011. Sebagai bagian dari AIFDR, CDSP merupakan bentuk kerjasama antara Pemerintah Australia dan Pemerintah Indonesia di bidang PB, dengan dua co-director, mewakili kedua negara. *** Aras Pengembangan Kapasitas Pengembangan kapasitas mengacu pada upaya menumbuh-kembangkan kualitas sumber daya manusia dan lembaga sesuai dengan tugas pokok dan fungsi BNPB sebagai lembaga negara utama yang menyelenggarakan penanggulangan bencana. Dalam hal ini, CDSP tidak memposisikan diri sebagai entitas luar yang sekedar memberi pengetahuan dan keterampilan, melainkan masuk dalam sistem BNPB sebagai mitra bagi unit-unit kerja BNPB untuk bersama-sama menelaah masalah dan menemukan jalan keluar. Mengacu pada visi PB nasional, program CDSP menyasar pada level individual dan level lembaga, baik di BNPB maupun BPBD. Pada tataran individual, pengembangan kapasitas mencakup pengembangan sikap (attitude), pengetahuan (knowledge) dan keterampilan (skill) yang sesuai di bidang penanggulangan bencana pada umumnya serta tugas pokok dan fungsi unit kerja. Pada tataran lembaga, pengembangan kapasitas mencakup pengembangan sistem, strategi, struktur, dan prosedur-prosedur yang sesuai dengan visi PB nasional dan memperhitungkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). ***

KM-­‐CDSP 2015

66


Pendekatan Tiga Serangkai Implementasi pengembangan kapasitas dalam program CDSP dikonstruksi dari tiga pendekatan yakni, (1) pendekatan induksi budaya kerja, (2) pendekatan transformasi kelembagaan dan (3) pendekatan tatakelola yang baik (good governance). Pendekatan pertama berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia dan memprioritaskan aspek-aspek etika dan profesionalitas kerja SDM penyelenggara PB, yang difokuskan pada: pengembangan standar kompetensi PB, pencapaian standar kompetensi PB dan kecakapan dalam pengelolaan program, yang mencakup perencanaan, implementasi, monitoring, dan evaluasi. Upaya membangun budaya kerja yang efektif dan efisien ini dilaksanakan melalui kegiatan pendidikan/pelatihan, konsultasi, dan pendampingan khusus (mentoring). Pendekatan kedua berkaitan dengan pengembangan profesionalisme kinerja organisasional/kelembagaan BNPB/BPBD sebagai lembaga yang menjalankan fungsi pelayanan publik. Pendekatan ini bertujuan untuk menemukan leverage point organisasi dalam melakukan pembaharuan internal secara berkelanjutan, yang sejalan dengan perubahan lingkungan eksternal organisasi, harapan publik dan kebutuhan stakeholder. Pendekatan ini menitikberatkan pada pembangunan sistem pengolahan data dan informasi serta sistem komunikasi PB dan pelibatan multi pihak dalam PB di tingkat pusat. Di tingkat daerah, pendekatan ini memprioritaskan sistem perencanaan dan pengembangan program, fungsi koordinasi BPBD, dan pengembangan jaringan para pihak di sektor PB. Kedua pendekatan diharapkan menjadi landas pacu dalam melahirkan praktik-praktik good governance dalam pelayanan PB baik di tingkat BNPB maupun BPBD. Indikator kunci dari praktik tata kelola yang baik tersebut mencakup: (1) meningkatnya kapasitas SDM BNPB-BPBD melalui proses pembelajaran dan kemitraan dalam kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya; (2) Meningkatnya struktur dan peran pemerintah lokal dan kapasitasnya untuk secara berkesinambungan; (3) meningkatkan hubungan antar-sektoral antara inisiatif internasional dan strategi nasional dalam penyelenggaraan pelayanan PB; serta (4) terciptanya proses pengambilan kebijakan yang transparan dan inklusif dengan dibingkai oleh nilai dan etika pelayanan untuk kemanusiaan.

KM-­‐CDSP 2015

67


Interelasi antar ketiga pendekatan CDSP itu dapat digambarkan sebagai berikut: Kerangka Implementasi Pada tahap awal, AIFDR melakukan penilaian kesenjangan kapasitas dan menawarkan sejumlah tenaga konsultan, yaitu Disaster Management Analyst, Information Management Analyst, Capacity Building Analyst, International Cooperation Liaison, Public relations, Local Capacity Development Analyst, DRM Advisor/DM Program Coordinator. Selanjutnya, perekrutan dan penempatan konsultan di unit-unit kerja BNPB didasarkan pada permintaan BNPB sebagai pengguna. Unit kerja terkait, sebagai pengguna, selalu dilibatkan dalam seleksi calon konsultan, bahkan berwenang untuk memberi keputusan akhir terkait penentuan calon konsultan yang jasanya akan digunakan. ***

KM-­‐CDSP 2015

68


Untuk memulai pengembangan kapasitas di BNPB, CDSP memberikan keleluasaan penuh kepada setiap konsultan untuk melakukan penilaian terhadap situasi kapasitas yang ada, merumuskan arah pengembangan kapasitas, mengembangkan program tahunan, dan mengimplementasikan program tersebut. Penilaian dilakukan melalui observasi atas unit kerja dan dialog intensif dengan pimpinan unit kerja (dalam terminologi CDSP: supervisor) untuk mendapatkan pemahaman mendalam tentang persoalan yang ditemukan. Demikian juga, konsultan wajib mendiskusikan arah pengembangan kapasitas dengan supervisor. Program yang dirumuskan konsultan didiskusikan dalam lokakarya perencanaan internal CDSP untuk mendapatkan tanggapan dan masukan dari sesama konsultan, tetapi supervisor berwenang memberikan persetujuan akhir atas rancangan program pengembangan kapasitas di unit kerjanya. Perumusan program bertumpu pada perumusan LFA sementara pemantuan dan evaluasi bertumpu pada PMP (Project Management Plan) yang dirumuskan oleh konsultan di bawah supervisi dari M&E Advisor. M&E didukung oleh sebuah unit pengelolan pengetahuan (knowledge management) untuk memfasilitasi penciptaan pengetahuan dari seluruh proses perencanaan dan implementasi program yang dilaksanakan oleh setiap konsultan. Untuk mengukur realisasi output dan outcome, monitoring dilaksanakan sekali dalam tiga bulan, terutama dalam lokakarya konsultan CDSP. Untuk mengukur capaian outcome dalam kerangka tujuan pengembangan kapasitas di BNPB, dilakukan evaluasi oleh pihak ketiga (external). Berdasarkan kerangka implementasi tersebut, program CDSP menempatkan konsultan dan mengembangkan unit-unit pendukung yang relevan seperti tergambar dalam matrik berikut ini.

LEVEL

ISU UTAMA

• •

• • INDIVIDUAL • •

Kompetensi PB Pemahaman dan pelaksanaan prosedur PB Analysis kebijakan PB/PRB Perencanaan strategis dan pengembangan program Kecakapan fasilitasi pelatihan Penelitian/pemetaan masalah

KM-­‐CDSP 2015

HARAPAN HASIL • Standard kompetensi PB • Pencapaian standard kompetensi PB • Kecakapan mengelola program (perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi)

RUANG LINGKUP TUGAS KONSULTAN

NAMA KONSULTAN

Membangun kecakapan teknis Membangun Kecakapan analisis kebijakan PB/PRB Memfasilitasi pengelolaan program Fasilitasi pengembangan kecakapan fasilitasi pelatihan

Nanang Suharto Indra Nurpatria Chasan Ascholani Robert Sulistyo Kwan Men Yon Chasan Ascholani Arwin Sulaksono Sunarso Sukardi Didik Mulyono Buttu Ma’dika, Arni, Jatmiko Wawan Budianta dan Josua Simanulang

• • • •

69


ORGANISASI

• •

• BNPB

• •

BPBD

Pengembangan prosedur pelaksanaan kebijakan PB Kerjasama multipihak Sistem TIK PB Evidence-based policy/decision making

Pengembangan sistem dan prosedur pelaksanaan kebijakan PB Pengembangan jaringan PB Pengembangan sistem TIK Evidence-based decision making

Pencegahan dan Kesiapsiagaan: • Perencanaan strategis • Pengembangan program • Koordinasi lintas SKPD • Pelibatan para pihak dalam PB

Pengembangan metode dan sistem implementasi kebijakan (Perka, Pedoman, SOP) Partisipasi multipihak melalui program Desa Tangguh Pengembangan sistem mengolahan data/informasi PB dan komunikasi PB Mendukung penyediaan data/informasi/argument untuk pengambilan kebijakan/keputusan

Nanang Suharto Indra Nurpatria Chasan Ascholani Robert Sulistyo Kwan Men Yon Chasan Ascholani Arwin Sulaksono Sunarso Sukardi Didik Mulyono Buttu Ma’dika, Arni, Jatmiko Wawan Budianta dan Josua Simanulang

Pengembangan metode dan sistem implementasi kebijakan (Perka, Pedoman, SOP) Partisipasi multipihak melalui program Desa Tangguh Pengembangan sistem mengolahan data/informasi PB dan komunikasi PB Mendukung penyediaan data/informasi/argument untuk pengambilan kebijakan/keputusan

Nanang Suharto Indra Nurpatria Chasan Ascholani Robert Sulistyo Kwan Men Yon Chasan Ascholani Arwin Sulaksono

• Pendampingan/fasilitasi penyusunan Renstra • Fasilitasi penyusunan RPB, Renkon, etc • Fasilitasi Fungsi koordinasi BPBD • Fasilitasi Forum PRB • Mentoring staff dalam aspek teknis

Sunarso Sukardi Didik Mulyono Buttu Ma’dika, Arni, Jatmiko Wawan Budianta dan Josua Simanulang

• Partisipasi multipihak dalam PB/PRB • Sistem Pengolahan data dan penyediaan informasi, dan komunikasi PB • Praktik pengambilan keputusan berdasarkan studi mendalam

• Pelibatan multipihak dalam PB/PRB • Sistem pengolahan data dan informasi, dan komunikasi PB • Praktik pengambilan keputusan berdasarkan studi mendalam

• Sistem perencanaan dan pengembangan program • BPBD sebagai pusat koordinasi SKPD untuk isu PB • Jaringan para pihak di sektor PB

***

KM-­‐CDSP 2015

70


VISI PENGEMBANGAN KAPASITAS CDSP (WAWANCARA DALAM RANGKA KNOWLEDGE MANAGEMENT CDSP) Ir. B. Wisnu Widjaja – Co-director AIFDR Rabu, 4 Maret 2015; 11:37 INA DRTG, Sentul, Jawa Barat Tim KM: Cahyo Suryanto, Domi Wermasubun, Maria Dorotea (Rapporteur) --------------------------------------------------------------------------------------------------Ringkasan Hasil Wawancara Dalam perkembangan terakhir (per Maret 2015), CDSP telah berkembang dalam hal jumlah personil dan program serta menjalankan tupoksi yang diinginkan. Namun di sisi lain, CDSP perlu menengok kembali visi dan tujuan awalnya, yaitu penguatan kapasitas SDM dan kelembagaan BNPB, dengan fokus utama perubahan mindset, etos kerja dan professionalisme SDM, pemantapan kerangka kebijakan, perbaikan manajemen, pendanaan (sumberdaya), serta akselerasi kapasitas. CDSP lahir dari kebutuhan peningkatan kapasitas sumber daya manusia di BNPB, yang datang dari berbagai latar belakang lembaga, dengan tingkat motivasi dan etos kerja yang berbeda-beda. Di samping itu, kultur di birokrasi cenderung tidak suka membaca, pemahaman tidak banyak, dan pekerjaan lebih bersifat administratif (karena indikatornya pada penyerapan anggaran, bukan impact). Kultur birokrasi yang bertumpu pada patronase juga menghambat perkembangan sumber daya manusia. Hal ini tampak dalam mental block pada bawahan yang tidak berani menyatakan pendapatnya dan beranggapan bahwa atasan selalu benar (atau lebih pintar). Untuk mengatasi kelemahan ini, dibutuhkan suatu terobosan, yaitu kebiasaan diskusi yang efektif untuk mengggali ide bersama dengan mitra (partner diskusi) atau pendamping yang mumpuni, yang memahami aspek birokratis seperti tujuan dan rencana-rencana pemerintah sekaligus menguasai persoalan teknis dan stragetis dalam upaya mencapai tujuan-tujuan dan rencana-rencana tersebut. Lebih dari itu, terobosan diperlukan untuk membangun profesionalitas di kalangan birokrasi di bidang penanggulangan bencana (BNPB). Dibutuhkan pihak luar untuk memicu kultur baru ini. Format CDSP sebagai wadah konsultan dirasa sesuai, bila para konsultan dapat membawa kebiasaan dalam berkomunikasi dan bekerja yang sudah tertata berdasarkan pengalaman kerja sebelumnya, terutama di lembaga-lembaga non-

KM-­‐CDSP 2015

71


pemerintah. Para konsultan ini diharapkan ikut bekerja bersama para pejabat dan staf BNPB, tidak hanya sekedar melihat dari atas (memosisikan diri di atas balkon). Dengan demikian, para konsultan dapat sungguh-sungguh memahami masalah yang terjadi, memetakannya untuk kemudian menemukan solusinya. Upaya konsultan ini diharapkan berujung pada penguatan kebijakan, yang lantas tertuang dalam regulasi, protap, dsb. Dengan kata lain, para konsultan diharapkan membuat kebijakan dan sistem sembari proses peningkatan kapasitas staff BNPB (sekolah lanjut) berjalan. Ketika siap terjun, sumber daya manusia di BNPB tinggal mengikuti jalur yang sudah tertata (sistem) yang telah dibakukan, hasil kerja para konsultan. Induksi budaya tentu bukan proses yang mudah, karena lebih menitikberatkan pada upaya perbaikan dari dalam. Maka perlu assessment untuk menentukan konsultan yang tepat. Kriteria konsultan yang diharapkan tidak hanya mengembangkan budaya sharing yang egaliter, tetapi juga harus memahami kultur birokrasi. Juga tidak memaksakan kultur NGO ke dalam kultur birokrasi. Kultur NGO yang seharusnya dibangun adalah proses diskusi yang egaliter, semua harus diajak berbicara, bukan NGO yang mengaduk-aduk birokrasi. Ibarat kucing dan anjing yang sedari awal dilatih untuk bersama, mereka pun akan saling peduli. Intinya pencangkokan dan induksi budaya kerja, bukan konfrontasi dan antipati. *** Untuk mencapai visi tersebut, diperlukan hal-hal berikut: 1) UU sebagai kerangka pikir: UU sebagai pangkal dan akhir upaya (UU berkeinginan ada regulasi ujung akhir dan awal). 2) Lembaga yang kuat, baik formal maupun informal dan kemitraan yang kokoh, karena partnership itu penting, dan kekuatan itu ada di masyarakat. 3) Sistem manajemen. Dalam hal ini perencanaan bidang PB masih membutuhkan perbaikan. Diperlukan perencanaan yang rinci dari tingkat nasional hingga ke bawah, khususnya dalam aspek kesiapsiagaan. 4) Pendanaan. Pendanaan seringkali dijadikan masalah utama karena disalahartikan. Pendanaan bukan saja dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk dukungan sumber daya (tenaga, waktu, dsb.). Contohnya, masyarkat lereng Merapi yang sharing tenaga dengan sambatan itu juga disebut biaya. Local wisdom seperti ini yang harusnya diperkuat. Jangan sampai kultur birokrasi yang cenderung memberikan kucuran dana itu yang lebih menonjol. 5) Capacity development.

KM-­‐CDSP 2015

72


Induksi budaya yang hendak dicapai melalui pendampingan oleh CDSP muncul dari refleksi personal setelah mengikuti PIM 1 dan 2, yang menekankan bahwa prioritas negara adalah membentuk pegawai negeri profesional, yang melaksanakan manajemen dengan cara yang efektif dan efisien. Keyakinan untuk melakukan pencampuran kultur tersebut diperkuat oleh pengalaman pribadi ketika menjadi sekpri Kepala Badan, yang diberi kebebasan untuk menyiapkan pidato, memberikan pendapat melalui komentar pendek tertulis atas surat-surat yang dikirim. Dari pengalaman tersebut muncul pula keyakinan bahwa setiap orang memiliki kemampuan/kapasitas, tapi harus diberi kesempatan agar dapat berkembang. Demikian juga perlu diciptakan iklim agar dapat menempatkan orang-orang yang tepat sebagai mitra, sehingga harapan BNPB menjadi lembaga yang besar dapat terwujud. Dengan bantuan konsultan, cita-cita awalnya adalah membesarkan Pusdalops. Tetapi ini kemudian terjadi masalah, karena dirusak dari dalam dengan memutus hubungan orang-orang yang ia percaya tanpa sepengetahuan pak Wisnu. Hanya sampai periode bu Ana saja, kendali atas CDSP masih terjaga. Kemudian ada masalah komunikasi dengan CDSP, yang bergerak sendiri menentukan konsultan; sehingga ia tidak mempunya gambaran lagi ke depannya. *** Saat ini yang masih lemah adalah evaluasi, apalagi di pemerintahan jarang dilakukan pengukuran impactnya. Ini yang akan dicoba dilakukan, dan bila perlu monitoring dan evaluasi dilakukan oleh masyarakat sendiri, sehingga persepsi juga diperhitungkan. Penanggulangan bencana itu tidak bisa dilakukan sendiri, ini masalah sosial. Bukan sains, tapi lebih ke masalah masyarakatnya. Maka solusinya juga ada di masyarakatnya. Ini adalah upaya untuk enabling environment ke arah sana. Masalah yang menghambat tercapainya output tersebut adalah masalah komunikasi, yang semakin hari semakin tidak terpantau. Kini, tidak ada konsultan CDSP yang bisa diajak berdiskusi. Permasalahan komunikasi ini bukan terletak pada sistem, tetapi orangnya, yang juga telah dibahas secara serius dengan pihak AIFDR. Buruknya komunikasi berujung pada melemahnya transparansi dalam melakukan tugas. Di sisi lain AIFDR belum memiliki tim audit. Ini seperti membelah laut merah dan menyebranginya, tetapi para pasukan tidak segera mengikuti di belakang. Apa artinya berada di depan sendiri.

KM-­‐CDSP 2015

73


Seyogyanya bentuk komunikasi yang tepat adalah dengan memberikan update atas keputusan-keputusan yang diambil dan sedapat mungkin memperhatikan keputusan-keputusan yang datang dari co-director. Konsep awal bahwa CDSP adalah pendamping, maka ia harus setiap saat ada, ibaratnya seperti seorang istri yang mengikuti kemanapun ditugaskan dan bisa diajak berdiskusi. Para konsultan seyogyanya bisa mewarnai BNPB karena pengalaman di grass root juga penting sebagai feeding. Dan NGO tidak secara mentah melihat ketidakcocokan dengan birokrasi, karena budaya NGO dan birokrasi memang berbeda. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah kontinuitas. Tidak tergiur melulu memikirkan ini soal project. Kontinuitas menjadi poin penting dalam komunikasi BNPB dengan CDSP. Harapannya CDSP menjadi pendamping. CDSP bisa attach dengan BNPB, misalnya dalam program desa tangguh yang seharusnya tidak dikembangkan sendiri konsepnya di daerah. Tekait hal ini, proses komunikasi yang terus dilakukan ini merupakan feeding pemikiran. Komunikasi dan visi di atas dapat berjalan bila terdapat orang yang bisa berkomunikasi dengan melakukan interface antara manager. Optimisme untuk mewujudkan visi di atas bergantung pada kebijakan, yang seharusnya menjadi produk CDSP. Karena dengan menyusun kebijakan, itu akan memudahkan staff yang sementara belajar di luar negeri, mengikuti alurnya setelah dilembagakan di sini. Termasuk meluruskan perspektif konsultan melalui komunikasi yang lancar, karena ini tidak hanya sekedar bekerja tetepi peningkatan kapasitas. Capaian CDSP dari skor 1-10, dinilai masih di angka 5. Kelemahannya ada pada komunikasi, koordinasi, monitoring, dan evaluasi. Perlu ada personil yang mampu menjadi jembatan perantara. Selain itu, dengan resources yang tersedia, seharusnya capainnya lebih dari saat ini. Harapannya, ketersediaan sumberdaya tersebut dapat meningkatkan leverage point menuju outcomes yang kontributif terhadap tujuan CDSP. Amin.

KM-­‐CDSP 2015

74




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.