RENCANA INDUK Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019 Diterbitkan atas dukungan
Cover Rencana Induk Sistem Komunikasi Bencana.indd 1
20/06/2015 13:21:00
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Badan Nasional Penanggulangan Bencana | 2015
Ucapan Terima Kasih BNPB dan AIFDR membentuk sebuah tim pada Januari 2014 untuk menyusun rencana induk sistem komunikasi bencana. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat (Pusdatin Humas) BNPB DR. Sutopo Purwo Nugroho memberikan arahan kepada tim. Konsultan CDSP-AIFDR Kwan Men Yon mengkoordinasikan pekerjaan tim. Tim inti penyusunan rencana induk adalah Cahyo Suryanto, Paulus Diartoko, dan Aprilidia. Aghnia Adzkia terlibat dalam pengumpulan data. Muji Kartika Rahayu melakukan analisis hukum dan regulasi. Tim inti didukung sepenuhnya oleh Humas BNPB, yaitu Ario Akbar Lomban, I Gusti Ayu Arlita, Theopilus Yanuarto, Andri Cipto Utomo, Ignatius Toto Satrio, Rusnadi Suyatman, dan Slamet Riyadi. Rencana induk ini disampaikan kepada publik dalam Lokakarya Nasional di Kediri, Jawa Timur, pada 29-31 Oktober 2014. Masukan publik menjadi bahan revisi rencana induk dan ditampilkan dalam lampiran. Rencana induk dapat diselesaikan berkat kesediaan berbagai pihak dalam berbagi pengalaman, pembelajaran, dan dokumen terkait komunikasi bencana di Indonesia. Narasumber rencana induk ini meliputi para pekerja kemanusiaan di bidang penanggulangan bencana, termasuk sukarelawan, unsur muspida, pejabat dan staf lembaga teknis, aktivis organisasi non pemerintah, akademisi, jurnalis, anggota TNI/Polri, dan anggota masyarakat. Penghargaan khusus perlu diberikan kepada narasumber anggota masyarakat di tempat-tempat pengungsian yang di tengah segala keterbatasan rela meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan tim. Semoga rencana induk ini mampu mewakili aspirasi mereka.
Laporan ini disusun oleh tim konsultan Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan AustraliaIndonesia Facility for Disaster Reduction. Pandangan yang tertuang merupakan tanggung jawab penulis. BNPB dan AIFDR tidak memiliki kewajiban hukum atas isinya.
Daftar Isi Ucapan Terima Kasih Daftar Isi Akronim Bagian Satu – Pendahuluan__________________________________________ Latar Belakang______________________________________________________ Maksud dan Tujuan__________________________________________________ Mandat Konstitusi___________________________________________________
1 2 3 4
Bagian Dua – Kerangka Konseptual___________________________________ 9 Kembali kepada Komunikasi yang Memberdayakan________________________ 10 Mereka yang Rentan Wajib Diprioritaskan________________________________ 13 Pentingnya Pembaruan Strategi Komunikasi______________________________ 15 Bagian Tiga – Metodologi___________________________________________ Pendekatan_______________________________________________________ Alur Penyusunan___________________________________________________ Metode Pengumpulan Data__________________________________________ Teknis Analisis Data_________________________________________________
19 20 21 22 22
Bagian Empat – Gambaran Situasi Sistem Komunikasi Bencana___________ Dinamika Komunikasi Penanggulangan Bencana__________________________ Media Massa dan Komunikasi Bencana__________________________________ Ketangguhan Komunikasi di Masyarakat, Mungkinkah?_____________________
25 26 44 64
Bagian Lima – Harapan Masyarakat dan Isu Strategis____________________ 81 Harapan Masyarakat________________________________________________ 82 Isu-isu Strategis Komunikasi Bencana___________________________________ 86 Bagian Enam – Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana___________ Nilai IKRAR________________________________________________________ Visi dan Misi Sistem Komunikasi Bencana________________________________ Kerangka Program__________________________________________________ Bagian Tujuh – Lampiran__________________________________________ Lampiran 1: Referensi_______________________________________________ Lampiran 2: Data Responden________________________________________ Lampiran 3: Pemantauan Berita Banjir dan Erupsi Kelud____________________ Lampiran 4: Catatan Akhir___________________________________________
97 98 99 99
113 116 120 123 130
Akronim APBD Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Bakohumas Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah BBM Blackberry Messenger BMKG Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPPTKG Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi Dandim Komandan Distrik Militer Danramil Komandan Rayon Militer EWS Early Warning System KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia Keppres Keputusan Presiden KRB Kawasan Rawan Bencana LHP Laporan Hasil Pengawasan LKPP Laporan Keuangan Pemerintah Pusat LSM Lembaga Swadaya Masyarakat ORARI Organisasi Amatir Radio Indonesia Perka Peraturan Kepala Permen Peraturan Menteri PGA Pengamatan Gunung Api PKK Program Kesejahteraan Keluarga POLRI Kepolisian Negara Republik Indonesia Posyandu Pos Pelayanan Terpadu PRB Pengurangan Risiko Bencana Pusdalops Pusat Kendali Operasi PVMBG Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi RAPI Radio Antar Penduduk Indonesia SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah TNI Tentara Nasional Indonesia TRC Tim Reaksi Cepat UU Undang-Undang
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Pendahuluan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
1
BAB 1
Pendahuluan
BAGIAN SATU
Pendahuluan
Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
2
Sebagai lembaga yang memiliki mandat koordinasi penanggulangan bencana, BNPB menyadari bahwa perbaikan sistem komunikasi bencana merupakan titik ungkit untuk meningkatkan kualitas pelayanan penanggulangan bencana. Perbaikan sistem komunikasi juga merupakan keniscayaan bagi Indonesia yang rawan bencana. Setiap tahun terjadi ribuan bencana di negeri ini. Dibutuhkan strategi komunikasi yang cepat, cermat, dan terbaik bagi masyarakat terdampak secara bermartabat untuk penyelamatan. Tantangan menjalankan mandat komunikasi bencana perlu dikalkulasi dengan mempertimbangkan posisi geografis Indonesia, konteks psiko-sosio-kultural, dan situasi kekhasan komunikasi masyarakat, di mana tidak semua warga dapat mengakses informasi secara optimal. Dalam rangka memperbaiki sistem tersebut, maka telah disusun sebuah rencana induk yang diharapkan bisa memadukan preferensi dan visi multipihak, memadukan prinsip pendekatan komunikasi bencana, serta memandu aspek penilaian dan kebutuhan komunikasi bencana di masa depan secara terorganisir. Pada tataran praktis, rencana induk ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi pemerintah dan non pemerintah dalam pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan terkait sistem komunikasi bencana. Berdasarkan mandat, relevansi dan manfaat tersebut, penyusunan rencana induk ini dibingkai dengan prinsip sebagai berikut: Pertama, prinsip pelibatan multipihak. Sistem komunikasi yang efektif dalam konteks negara dengan wilayah geografis seluas dan kondisi demografi serumit Indonesia, hanya mungkin dicapai dengan pelibatan multipihak. Pemerintah tidak boleh dibiarkan sendiri, bukan saja karena kebutuhan untuk mengawasi tata kelola, tetapi karena lingkup pekerjaannya memang terlalu besar. Ada arena di mana pemerintah bisa berperan; sebaliknya, ada arena di mana pemerintah lebih baik berposisi mendukung (supporting) dengan berbagai pertimbangan, termasuk bahwa peran pihak lain lebih tepat. Kedua, prinsip pengalaman dan praktik terbaik. Praktik terbaik di luar sistem komunikasi bencana yang diperankan pemerintah, termasuk juga pelajaran dari negara lain, dapat diadopsi secara kontekstual guna memastikan masyarakat memperoleh informasi yang
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
diperlukan dalam melindungi kehidupan dan penghidupan mereka dari ancaman bencana. Di sisi lain, pemerintah saat ini juga memiliki berbagai pengalaman yang dapat dijadikan rujukan untuk peningkatan efektivitas sistem komunikasi bencana di masa mendatang.
Tujuan tertinggi yang mengarahkan seluruh penyusunan sistem komunikasi bencana pada akhirnya adalah mewujudkan ketangguhan (resilience) komunikasi untuk memastikan seminim mungkin korban pada saat bencana, dan penanganan serta pemulihan kehidupan masyarakat terdampak secara bermartabat. Untuk sebuah citacita, tujuan tersebut sangat laik diupayakan pencapaiannya. 1.2. Maksud dan Tujuan Penyusunan rencana induk sistem komunikasi bencana memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut: Maksud 1. Memberikan kerangka acuan dalam penyusunan strategi komunikasi bencana bagi para pemangku kepentingan. 2. Meminimalkan risiko kegagalan komunikasi untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan bencana. 3. Memadukan agenda strategis, kerangka program, beserta indikator efektivitas sistem komunikasi bencana secara nasional. Tujuan 1. Meningkatkan kualitas dan efektivitas pelayanan publik melalui perbaikan sistem komunikasi bencana di tingkat nasional, provinsi, dan kota/kabupaten. 2. Memandu arah perbaikan dan pengembangan sistem komunikasi bencana yang partisipatif, integral, komprehensif, dan akuntabel.
Pendahuluan
Ketiga, prinsip pemenuhan kebutuhan dan pelayanan publik. Karena rencana ini disusun dengan perspektif jangka menengah, maka analisis hanya pada level organisasi tidak memadai. Strategi perlu dikembangkan dengan melihat komunikasi bencana sebagai sektor yang saling kait-mengait dengan banyak aspek. Konsekuensinya, komunikasi bencana menjadi urusan publik. Publik ditempatkan pada posisi penting, bahkan dalam banyak hal, sebagai satu-satunya pihak, yang laik menikmati hasil dari penanggulangan bencana. Penjabaran strategi dalam program dan kegiatan perlu berangkat dari kebutuhan riil masyarakat, dan bukan dikerjakan secara top-down.
3
1.3. Mandat Konstitusi
Pendahuluan
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana Pasal 5 menyatakan pemerintah dan pemda menjadi penanggung jawab penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pasal 10 menyebutkan pemerintah membentuk BNPB, sedangkan pasal 18 mengatakan pemda membentuk BPBD. Adapun Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Pasal 2 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana menyatakan penyelenggaraan penanggulangan bencana bertujuan menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dari risiko dan dampak bencana.
4
Guna mencapai tujuan itu, Peraturan Presiden Nomor 8 Tahun 2008 tentang BNPB menyatakan setidaknya dua tugas BNPB yang terkait dengan komunikasi seperti dinyatakan dalam pasal 2 huruf b dan c. Tugas tersebut adalah menetapkan standarisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan perundang-undangan, serta menyampaikan informasi kegiatan penanggulangan bencana kepada masyarakat. Dua tugas tersebut tidak dapat dipisahkan dari keseluruhan peran BNPB dalam penanggulangan bencana. Dalam hal ini, kepentingan standarisasi dan kebutuhan, serta penyampaian informasi kepada masyarakat tidak dapat dipersempit hanya kepada aspek perangkat (hardware dan software). Kualitas sumber daya manusia (brainware) dan suprastruktur (ideologi, kebijakan, dan regulasi) juga menjadi faktor penentu dalam penyelenggaraan komunikasi penanggulangan bencana. Informasi pada sisi lain adalah hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam Pasal 28F Undang-undang Dasar 1945. Setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Pada saat yang sama, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sebagai operasionalisasi dari Pasal 28F UUD 1945 menjamin pelibatan masyarakat dalam pembangunan, termasuk penanggulangan bencana. Masyarakat berhak berperan dan berpartisipasi dalam keputusan publik, termasuk pengelolaan informasi bencana. Ketentuan ini mendorong perwujudan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu transparan, efektif dan efisien, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan. Terkait pengelolaan informasi, UU Nomor 24 Tahun 2007 mengatur peran masyarakat, lembaga usaha, dan BNPB/BPBD.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 1.1. Perihal Informasi menurut UU Nomor 24 Tahun 2007 Pasal
Bunyi
Tugas BNPB
Pasal 12 huruf c
BNPB mempunyai tugas: ….c. menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat
Tugas BPBD
Pasal 21 huruf c
BPBD mempunyai tugas:….c. menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana
Hak masyarakat
Pasal 26 ayat Setiap orang berhak: ….c. mendapatkan 1 huruf c informasi secara tertulis dan/atau lisan tentang kebijakan penanggulangan bencana
Kewajiban masyarakat
Pasal 27 huruf c
Peran lembaga usaha
Pasal 29 ayat 2
Penyelenggaraan penanggulangan bencana
Pasal 45 ayat 2 huruf f
Pasal 46 ayat 2 huruf d
Setiap orang berkewajiban: ….c. memberikan informasi yang benar kepada publik tentang penanggulangan bencana Lembaga usaha berkewajiban menyampaikan laporan kepada pemerintah dan/atau badan yang diberi tugas melakukan penanggulangan bencana serta menginformasikannya kepada publik secara transparan Pada penyelenggaraan kesiapsiagaan, kegiatan yang dilakukan adalah:….f. penyusunan data akurat, informasi dan pemutakhiran prosedur tetap tanggap darurat bencana Pada penyelenggaraan peringatan dini, kegiatan yang dilakukan adalah: ….d. penyebarluasan informasi tentang peringatan bencana
Sumber: UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, diolah.
Dari pengaturan tersebut, dapat diajukan setidaknya tiga premis penting. Pertama, informasi didudukkan sebagai hak masyarakat di satu sisi dan kewajiban penyelenggara,1 baik lembaga negara (BNPB dan BPBD) maupun lembaga lain dan masyarakat yang terlibat dalam penanggulangan bencana di sisi lain. Kedua, keakuratan informasi adalah pondasi utama dalam penanggulangan bencana, terutama pada penyelenggaraan kesiapsiagaan dan peringatan dini. Ketiga, meski demikian, UU 24 Tahun 2007 tidak memandatkan peraturan operasional tentang keterbukaan informasi.
Pendahuluan
Keterangan
5
UU KIP dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik memandatkan jenis informasi sebagai berikut: (1) informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala; (2) informasi wajib diumumkan serta merta; (3) informasi wajib tersedia setiap saat; dan (4) informasi dikecualikan (Lihat Tabel 1.2). Tabel 1.2. Jenis dan Substansi Informasi Bencana
Pendahuluan
• Jenis Informasi • Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala
6
Substansi 1. Profil: tugas, fungsi, sejarah, struktur organisasi, daftar pejabat 2. Kegiatan: jadwal, pelaksanaan program 3. Laporan keuangan yang telah diaudit BPK 4. Perjanjian kerjasama negara lain atau organisasi internasional 5. Pengadaan barang/jasa 6. Penerimaan calon pegawai atau outsourcing 7. Daftar aset
• Informasi • Informasi yang mengancam hajat hidup orang banyak wajib dan ketertiban umum, seperti peringatan gempa, status diumumkan gunungapi, dan perkembangan kejadian bencana serta merta • Informasi 1. Peraturan perundangan di BNPB wajib tersedia 2. Kebijakan pimpinan BNPB dan dokumen pendukungnya setiap saat 3. Rencana kerja program/kegiatan per deputi 4. Perjanjian BNPB dengan pihak ketiga 5. Rencana strategis BNPB 6. Daftar dan alamat BPBD seluruh Indonesia 7. Daftar daerah yang mendapat bantuan logistik dan peralatan 8. Publikasi: majalah, jurnal, buletin kebencanaan, poster 9. Laporan akses informasi publik 10. Dana siap pakai/DSP (on call budget) • Informasi • Kriteria informasi yang dirahasiakan, prosedur menguji dikecualikan informasi rahasia, prosedur untuk menetapkan status informasi rahasia Sumber: UU 14 Tahun 2008 dan Peraturan Komisi Informasi 1 Tahun 2007, diolah.
Keakuratan informasi memungkinkan kepastian informasi dan komunikasi. Keakuratan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Pendahuluan
membuat masyarakat, terutama mereka yang terdampak, memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan saat menghadapi bencana. Jelaslah mandat konstitusi dalam hal ini, yaitu bahwa keakuratan informasi dalam komunikasi adalah ‘suci.’ Keakuratan informasi menentukan hidup dan mati masyarakat yang tinggal di kawasan terdampak bencana.
7
8
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
KERANGKA KONSEPTUAL
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
9
BAB 2
Kerangka Konseptual
BAB 2
Kerangka Konseptual “Salus populi suprema lex esto.” (Keselamatan manusia adalah hukum yang tertinggi)
KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Kembali kepada Komunikasi yang Memberdayakan
10
Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami2. Dalam bahasa Inggris, kata ‘communication’ memiliki dua arti, yaitu pertama bertukar informasi melalui ucapan, tulisan atau media yang lain, dan kedua mengirim atau menerima informasi seperti telepon dan komputer. Kata ‘communication’ tersebut berasal dari bahasa Prancis ‘comunicacion’ dan Latin ‘communicatio’ yang berarti berbagi3. Apa yang dimaksud komunikasi dalam urusan bencana? Secara gramatikal, kata ‘komunikasi’ tidak ada dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Kata ini tercantum dalam dokumen Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014, tetapi pengertiannya terbatas kepada infrastruktur komunikasi, dalam hal ini, keandalan peralatan, jaringan, dan perannya saat kedaruratan, serta secara sangat terbatas pada fase prabencana dan pascabencana. Lalu, bagaimana konsep ‘berbagi’ yang terkandung dalam etimologi komunikasi itu dijalankan? Pertanyaan itu sulit terjawab dengan teori komunikasi arus utama (mainstream) karena menekankan linearitas, dengan penyederhanaan model komunikasi. Komunikasi arus utama dibangun atas inisiatif komunikator. Model ini terbatas sebab realitas komunikasi sesungguhnya jauh lebih kompleks. Selain linearitas, model komunikasi arus utama rawan bias sebab didasarkan pada ketergantungan komunikan kepada komunikator, bukan relasi yang dibangun di antara keduanya. Dalam hal ini, komunikasi seakan berada dalam ruang steril, mekanis, dan terisolasi dari konteks. Selain itu, sifat komunikasi lebih persuasif daripada pengertian yang bermutu antara para pihak yang berkomunikasi (mutual understanding), kesepakatan, dan tindakan kolektif. Komunikasi arus utama juga berfokus pada dampak psikologis bagi individu ketimbang efek sosial dan relasi antar individu.4
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Para ahli komunikasi di Indonesia sendiri mengkritik bahwa secara historis ilmu komunikasi yang berkembang di Tanah Air terlalu berpatokan kepada tradisi Amerika yang Euro-antroposentris.5 Ilmu komunikasi yang berkembang akhirnya menekankan individualitas serta berorientasi efisiensi dan positivistik. Praksis komunikasi pun lebih banyak mengacu kepada studi komparasi dari negara-negara yang memiliki budaya dan sistem politik yang berbeda dengan Indonesia.
Masih banyak pesan (konten) komunikasi yang melanggar etika jurnalistik, mengikuti tren Barat, dan kurang sensitif terhadap konteks budaya. Sebagai gambaran, pada tahun 2010 terdapat 514 pelanggaran kode etik jurnalistik, pada 2011 ada 511 pelanggaran, dan pada 2012 ada 470 pelanggaran.7 Negeri ini seolah menjadi pasar bagi pendidikan komunikasi dengan konstruksi konten yang berkiblat ke dunia Barat yang ‘lebih baik’ dari Indonesia. Dalam konteks bencana, komunikasi justru diselenggarakan tanpa empati. Hal ini terlihat dari bobot kesalahan pemberitaan di media massa yang dikritik habis-habisan oleh masyarakat terdampak. Berita bencana, terutama di masa kedaruratan justru tampil seakan mengkomoditaskan korban.8 Dalam keterbatasan komunikasi arus utama itu, model komunikasi Sadharanikaran9, yang dikembangkan dalam filsafat timur memberikan perspektif berbeda. Konsep ini lain dengan model retorika Aristoteles (384-322 SM), yang merepresentasikan arus utama teori komunikasi saat ini. Model Sadharanikaran menekankan bahwa konteks budaya mempengaruhi pengertian dan batasan pengertian komunikasi itu sendiri. Setiap bangsa memiliki karakter mental yang khas dalam berkomunikasi. Dalam hal ini, komunikasi dua pihak (bahkan dua orang) dapat dipengaruhi ratusan faktor dan variabel yang membuat komunikasi itu khas dan berbeda.10 Sadharanikaran berasal dari bahasa Sansekerta sadharan. Kata ini mengandung makna bahwa komunikasi berarti mencapai ke-satu-an (oneness) atau ke-publik-an (commoness) melalui berbagi. Ke-satu-an bermakna holistik. Menjadi satu bukan berarti menyatukan, namun karena ke-satu-an, karena identik dalam tujuan. Adapun ke-publik-an bermakna menyatu dalam kepentingan umum, di mana semua individu mendambakan hal yang sama, yaitu keselamatan hidup. Keselamatan hidup dalam tradisi filsafat mengacu pada terminologi kebaikan umum.11 Kebaikan umum adalah kriteria objektif dalam politik, di luar kepentingan kekuasaan itu sendiri.
KERANGKA KONSEPTUAL
Sementara itu, Indonesia adalah satu-satunya negara kepulauan berbasis maritim dengan panjang garis pantai lebih dari 81.000 km dan 17.508 pulau. Dalam konteks negara kepulauan, diperlukan sistem komunikasi yang berbeda dengan lainnya.6 Aplikasi komunikasi seperti jurnalistik, hubungan masyarakat, iklan, media, dan program komunikasi juga dirasakan belum ‘membumi’ sesuai dengan karakter budaya dan kepribadian nasional.
11
KERANGKA KONSEPTUAL
Mirip dengan model komunikasi arus utama, namun secara khas Sadharanikaran menekankan bahwa komunikasi adalah proses ‘ke dalam’ dalam pencarian makna. Proses ini meliputi kesadaran diri (self awareness), kebebasan (freedom), dan kebenaran (truth) menuju Brahman.12Pemahaman itu membawa konsekuensi terhadap komunikasi dalam hal interaksi, perubahan perilaku sosial, dan pencarian bersama atas kebenaran.
12
Konsep ‘berbagi’ dalam komunikasi pun menjadi lebih mudah dipahami. Model ini menekankan substansi komunikasi yang kendati berelasi asimetris, namun berlangsung dalam semangat pemberdayaan karena ke-satu-an dan ke-publikan. Meski pada suatu ketika model ini sangat hirarkis dengan aliran informasi dari ‘yang lebih tinggi’ (sumber komunikasi) ke ‘yang lebih rendah’ (penerima informasi), ia berjalan dengan penghormatan kepada nilai (esteem) yang diakui bersama. Keberbagian dengan segala makna di dalamnya tidak mampu dijawab dengan model komunikasi arus utama. Keberbagian secara etimologis memiliki jarak dengan praktik komunikasi arus utama dengan segala ciri yang sudah diidentifikasi di atas. Komunikasi bencana memiliki karakter khas. Secara hirarkial, komunikasi tidak akan memadai jika didominasi pemerintah yang bertanggungjawab melindungi warga negara dari ancaman bencana yang memundurkan kualitas hidup. Negara akan sulit meningkatkan kualitas dan kuantitas layanan bagi warga negara, kecuali membuka kemungkinan bagi warga untuk secara kontekstual dan otentik mengemukakan pengalaman dan pengetahuannya dalam penanggulangan bencana. Kedua hal ini bergerak bersama seperti pendulum keseimbangan yang tidak akan pernah berhenti seimbang secara statis di titik tengah. Maka, komunikasi asimetris yang saling memberdayakan diperlukan dalam komunikasi bencana agar keutamaan (virtue) manusia dalam komunikasi bencana tergenapi. Pada posisi itulah, dokumen ini ditulis. Dokumen ini menekankan kedalaman komunikasi, melampaui aspek infrastruktur (software dan hardware). Scott (1921) menyatakan bahwa “Comment is free, but facts are sacred” (opini bebas tetapi fakta adalah suci)13. Fakta tidak boleh menjadi kabur karena bingkai opini. Pada saat tertentu, kedalaman menjadi penting karena membawa kepercayaan, dan kepercayaan membawa kepastian. Dalam relasi negara dan warga, masyarakat terdampak bencana sangat membutuhkan kepastian. Keharusan dialogis dalam makna baru ini kental dikedepankan daripada komunikasi mekanistik. Penyusunan rencana induk sistem komunikasi ini secara umum tidak mengubah mata rantai komunikasi yang saat ini berjalan. Namun, rencana induk ini diharapkan mendorong ruang terobosan dalam praktik komunikasi agar peluang untuk menyelamatkan manusia yang terdampak bencana semakin besar.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Salus populi suprema lex esto15. Keselamatan manusia adalah hukum yang tertinggi. Dengan keyakinan itu, sistem komunikasi bencana dapat diarahkan untuk menjawab pertanyaan kunci ini: Bagaimana informasi penting pada masa sebelum, saat, dan setelah bencana dapat sampai kepada mereka yang membutuhkan, terutama masyarakat rentan di daerah terpencil, melalui sistem dan sarana komunikasi yang ada pada momen yang paling tepat? 2.2. Mereka yang Rentan Wajib Diprioritaskan Keragaman situasi dan konteks di Indonesia memberikan tantangan tersendiri dalam komunikasi bencana. Tak terbayangkan jika penanggulangan bencana dibebankan kepada salah satu pihak saja. Meskipun konstitusi menetapkan BNPB sebagai penanggung jawab penanggulangan bencana, perlu kerjasama dengan pihak lain, termasuk masyarakat di daerah rawan bencana. Lantas, bagaimana kerjasama agar tujuan keselamatan manusia tercapai? Dalam pemahaman model Sadharanikaran, kerjasama secara mutual16 menjadi mungkin jika para pihak bersama-sama menghasrati keselamatan manusia. Dalam situasi itu, komunikator (pihak I) dan komunikan (pihak II), dengan atau tanpa kanal komunikasi, bekerjasama dalam spirit mencapai keselamatan manusia (pihak III). Pihak III tidak mewakili fisik atau jargon, namun nyata dalam alam pikir (hati dan pikiran manusia). Dalam konteks ini, komunikasi adalah nyawa, roh dari penanggulangan bencana. Keberhasilan penanggulangan bencana adalah keberhasilan komunikasi. Secara diagramatis, relasi ketiganya adalah sebagai berikut:
KERANGKA KONSEPTUAL
Tantangan penanggulangan bencana di Indonesia sungguh tidak ringan. Menurut statistik BNPB, sepanjang tahun 1815 hingga 2014 semua provinsi pernah dilanda bencana14. Secara geografis, negeri ini terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik dunia, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang membuatnya selalu digoyang gempa dan diancam tsunami. Ada 127 gunungapi aktif mengelilingi Nusantara, yang secara dramatis disebut jalur cincin api (ring of fire). Ini belum termasuk bencana lain yang terjadi hampir setiap tahun, seperti banjir, kekeringan, serta kebakaran lahan dan hutan. BNPB menghitung selama 2002-2014 terjadi 13.164 bencana. Itu berarti setahun terjadi setidaknya 1.097 bencana.
13
Keselamatan Manusia/ Pihak III
Kanal
Kanal ETIKA KOMUNIKASI
KERANGKA KONSEPTUAL
Komunikator/ Pihak I
14
Kanal
Komunikan/ Pihak II
Gambar 2.1. Skema Relasi Komunikasi Bencana Komunikasi berlangsung antara pihak I dan II yang saling menghasrati pihak III, yaitu keselamatan manusia. Jika salah satu atau keduanya tidak saling menghasrati, maka komunikasi tidak dimungkinkan. Dengan kata lain, penghasratan kedua belah pihak terjadi jika ada etika komunikasi. Kata kunci etika komunikasi adalah penghasratan keselamatan manusia yang menjadi idealitas penanggulangan bencana. Demikian pula konsekuensinya untuk kanal komunikasi. Kanal tidak berfungsi sebagai saluran ketika tidak memfasilitasi tujuan keselamatan manusia. Model komunikasi arus utama mendefinisikan pihak I sebagai komunikator dan pihak II adalah komunikan. Model komunikasi Sadharanikaran memahami istilah ‘pihak’ sebagai kategori yang dalam ruang dan waktu dapat diperankan para pihak dalam penanggulangan bencana secara dinamis. Pada level mikro, dalam kondisi kedaruratan misalnya, seorang kepala daerah dapat menjadi komunikator ketika mengaktifkan status darurat dan memerintahkan pengosongan wilayah terdampak. Namun, dalam kasus bencana gunungapi, kepala daerah adalah komunikan yang menerima informasi dalam relasinya dengan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Gunungapi (PVMBG). Ketika etika komunikasi tidak mengikat pihak yang berkomunikasi, maka komunikasi itu sendiri dapat membawa bencana. Secara filosofis, model komunikasi Sadharanikaran melengkapi model komunikasi Aristoteles (arus utama). Relasi pihak I dan II dalam filsafat Aristoteles bersifat hirarkial. Hal ini dipengaruhi gagasan konsep Aristoteles, di mana komunikasi secara praktis dimaknai sebagai persuasi pihak I kepada pihak II. Sementara itu, dalam konteks kekinian, di mana situasi bermasyarakat semakin kompleks, perubahan perilaku pihak II tidak serta merta dikarenakan keberhasilan persuasi pihak I. Ada faktor lain yang bekerja dan mempengaruhi komunikasi pihak I dan II.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Kompleksitas inilah yang diperhitungkan dalam model Sadharanikaran, di mana komunikasi pihak I dan II diwarnai konteks keduanya, sedangkan pihak III (keselamatan manusia) menjadi kunci komunikasi keduanya. Dalam situasi ini, meski bersifat hirarkial, namun dialog keduanya (termasuk persuasi pihak I kepada pihak II) dapat berlangsung timbal balik sebab pihak III menjadi tujuan keduanya.
Lebih lanjut, peran kanal sebagai mediator komunikasi pihak I dan II menjadi ‘tentatif.’ Kanal bukan penentu kemungkinan komunikasi antara para pihak. Akan tetapi, bila kanal diperlukan sebagai mediator keduanya, maka kanal terikat kepada etika komunikasi. Etika komunikasi adalah nilai dan tindakan yang harus diambil oleh kanal komunikasi agar kemungkinannya masuk dalam sistem komunikasi pihak I dan II dengan melibatkan pihak III terjadi. Tanpa etika, tidak mungkin berkomunikasi. Jika dipaksakan, terjadi distorsi. Dengan demikian, komunikasi adalah faktor utama keberhasilan penanggulangan bencana. Penjelasan skematik inilah yang dapat menjelaskan kerjasama warga dan perangkat Kecamatan Ngancar di Kediri, Jatim. Komunikasi bencana di Ngancar sukses menyelamatkan 86.000 jiwa di Kediri, Blitar, dan Malang yang secara berdikari evakuasi dalam dua jam pada 13 Februari 2014 dari erupsi Gunung Kelud. 2.3. Pentingnya Pembaruan Strategi Komunikasi Konsep tersebut melandasi penyusunan rencana induk sistem komunikasi BNPB. Keberadaan rencana induk ini tidak menggantikan atau mengubah dokumen perencanaan lain yang lebih dulu dimiliki atau tengah disusun, tetapi menjadi pelengkap untuk peningkatan kinerja penanggulangan bencana secara keseluruhan. Peran komunikasi dalam penanggulangan bencana telah lama diyakini sangat penting. Para pihak, baik pemerintah maupun non pemerintah, memahami betapa komunikasi yang efektif dapat menyelamatkan jiwa dari bencana; sebaliknya, komunikasi buruk meningkatkan kerentanan. Kini, makin banyak pemerintah dan masyarakat sipil yang menjadikan inisiatif peningkatan kapasitas komunikasi sebagai bagian upaya peningkatan efektivitas penanggulangan bencana.17
KERANGKA KONSEPTUAL
Dalam hal itu, komunikasi kedua pihak menjadi saling memberdayakan. Model ini tidak bekerja dalam ruang steril karena konteks menjadi variabel penentu dan (tujuan) komunikasi menjadi sentral. Maka, siapapun yang memasuki komunikasi bencana tanpa menghasrati pihak III menjadi tidak mungkin. Jika secara formal diperlukan, pihak I dapat ‘memberdayakan,’ meningkatkan kapasitas pihak II agar pihak III menjadi tujuan bersama. Tanpa pemenuhan syarat tersebut, distorsi komunikasi sangat mungkin terjadi.
15
KERANGKA KONSEPTUAL
Secara prinsip, komunikasi bencana tidak hanya meliputi komunikasi antara pemerintah, dalam hal ini BNPB dan BPBD, dengan masyarakat. Komunikasi bencana yang efektif juga perlu mencakup komunikasi politik dengan kementerian/lembaga, anggota legislatif, masyarakat sipil, dan lainnya. Politisi dan anggota legislatif kerap menjadi pihak yang perlu diyakinkan mengenai kegentingan hal bencana. Di daerah, sebagai contoh, tantangan besar yang terus mengemuka adalah mendorong politisi dan anggota legislatif setempat agar mulai memandang bencana dengan perspektif berbeda, termasuk mengalokasikan sumber daya memadai untuk peningkatan kesiapsiagaan menghadapi bencana.
16
Strategi dikembangkan dengan melihat komunikasi bencana dengan konsep baru, spiritualitas baru, di mana keselamatan manusia diletakkan sebagai tujuan utama (ultimate goal) kerja penanggulangan bencana. Dengan kesadaran itu, praktik penyelamatan manusia dari bencana menjadi pengalaman kritis yang diadopsi dalam konstruksi sistem komunikasi yang diajukan. Penyusunan rencana induk sistem komunikasi ini hanya secara terbatas menggunakan metode deduktif, yaitu dari sebuah konsep besar diturunkan menjadi usulan sistem. Sebaliknya, penyusunannya lebih cenderung berangkat dari pengalaman di lapangan beserta refleksi filosofis yang dikonstruksi menjadi sistem komunikasi (induktif ). Dengan demikian, pendekatan ini dapat dikatakan relatif baru dalam kerja penanggulangan bencana. Justru di titik inilah, penanggulangan bencana dapat diselenggarakan dengan cara baru, yaitu belajar dari pengalaman khas Indonesia dalam bingkai kritis filosofis untuk keselamatan manusia.
KERANGKA KONSEPTUAL
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
17
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
METODOLIG
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
1 19 9
BAB 3
Metodologi
bAB 3
Metodologi
3.1. Pendekatan
METODOLIG
Rencana induk sistem komunikasi bencana disusun dengan mengkombinasikan beberapa pendekatan sebagai berikut:
20
1. Pendekatan Audit Komunikasi, yakni pendekatan untuk meninjau efektivitas bekerjanya sistem komunikasi bencana. Komponen fokus dalam audit ini mencakup (1) Ketepatan sasaran komunikasi yang berimplikasi pada ketepatan pemilihan metode; (2) Pemilihan media komunikasi; (3) Pengkajian tujuan komunikasi; serta (4) Peranan komunikator dalam komunikasi. Pendekatan ini mendiagnosis masalah yang ada dan mengidentifikasi potensi perbaikan, menganalisis keterkaitan antara kebijakan dan praktik, menginisiasi alternatif perbaikan tata kelola dan fungsi-fungsi komunikasi, serta menyusun landasan kebijakan dan program yang relevan dan signifikan dengan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana; 2. Pendekatan Kebutuhan Komunikasi, yakni pendekatan untuk menentukan jenis data dan informasi dalam sistem komunikasi di semua tahap yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tujuannya adalah memahami persepsi stakeholder terkait jenis, bentuk, media, serta makna atas data dan informasi, menggambarkan pengaruh data dan informasi terhadap efektivitas manajemen pengurangan risiko bencana, menggambarkan proses sebab akibat, dan memperbaiki sistem komunikasi; 3. Pendekatan Partisipatif, yakni pendekatan yang mengutamakan pelibatan dan interaksi multipihak dalam seluruh rangkaian penggalian data, formulasi kebijakan, strategi, dan program pengembangan sistem komunikasi bencana; 4. Pendekatan Scenario Building, merupakan piranti perencanaan untuk merangsang pemikiran dan kepedulian multipihak terhadap apa yang mungkin dilakukan untuk memperbaiki sistem komunikasi bencana, dengan tetap berfokus pada kekuatan-kekuatan bermakna (signifikan). Pendekatan ini dipilih agar para pihak tidak terjebak dalam kondisi kekinian dan terkejut atas apa yang mungkin terjadi di masa depan, melainkan mendorong pemikiran tentang masa depan (bukan sekarang atau masa lalu).
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
3.2. Alur Penyusunan Proses penyusunan rencana induk dimulai dengan pembuatan konsep dasar pada Januari 2014. Setelah itu, pengumpulan data berlangsung sekitar tiga bulan antara Februari hingga Mei 2014. Tim memilih dan mengunjungi responden di 10 kota di enam provinsi, meliputi Yogyakarta, Surabaya, Kediri, Malang, Medan, Kabanjahe, Maumere, Ende, Bandung, dan Jakarta. Total responden 189 orang mewakili berbagai kategori yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem komunikasi bencana. Draf yang dihasilkan kemudian disampaikan kepada publik dalam lokakarya nasional pada Oktober 2014. Masukan publik tersebut selanjutnya menjadi bahan finalisasi rencana induk. Penyusu nan Konsep Dasar Rekrutmen Advisor, Konsultan, Peneliti dan Asisten Peneliti yang Berasal dari Internal dan Eksternal BNPB
METODOLIG
Penu gasan oleh Kepala Pusdatin d an Hu mas BNPB Penyusu nan Kerangka Kerja dan Instrumentasi Pen gumpulan Data
Stud i Dokumen
Peng galian Data Lapangan
Analisis Kebijakan
Peng olahan dan Analisis Data
Draf Ren can a In duk
Expert Review
Lokakarya In ternal BNPB
Lokakarya Multipihak
FINALISASI
Gambar 3.1. Alur Penyusunan Rencana Induk
21
3.3. Metode Pengumpulan Data 1. Kajian Dokumen Pengumpulan data dan informasi terkait sistem komunikasi bencana melalui sumber undang-undang, peraturan, surat keputusan, panduan, kliping, dokumen, pustaka, website, arsip, hasil rapat, dan sebagainya.
METODOLIG
2. Observasi Partisipatif Pengamatan dan keterlibatan langsung dalam proses penyelenggaraan komunikasi bencana bersama para pihak di lokasi. Tujuan pengamatan partisipatif adalah untuk menyajikan gambaran yang realistis dan aktual terkait ruang (tempat), kegiatan, objek, tindakan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan para pelaku yang terlibat dalam pengelolaan komunikasi.
22
3. Wawancara Mendalam Wawancara mendalam merupakan proses penggalian informasi dan keterangan dengan bertatap muka dengan informan. Tujuan wawancara mendalam untuk mengkonfirmasi dan mengklarifikasi data, informasi, dan temuan dari kajian dokumen dan observasi, serta mengidentifikasi praktik di lapangan. 4. Diskusi Kelompok Terarah Teknik diskusi terarah (Focus Group Discussion) merupakan pengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui diskusi kelompok. Diskusi kelompok terfokus ini digunakan mendalami gejala, peristiwa, kejadian, dan masalah terkait komunikasi bencana. 3.4. Teknis Analisis Data Proses pengaturan, penguraian, dan pengorganisasian data, informasi, dan fakta tersebut selanjutnya dianalisis dengan beberapa teknik sebagai berikut: 1. Analisis Kebijakan Analisis kebijakan adalah aktivitas pendalaman dan tinjauan kritis atas produk perundangan terkait dengan penyelenggaraan sistem komunikasi bencana. Hasil kajian tersebut selanjutnya menjadi landasan penyusunan strategi dan rekomendasi perbaikan sistem dan tata kelola sistem komunikasi bencana. 2. Analisis Media Analisis media merupakan proses pemantauan, pengumpulan, inventarisasi, dan kompilasi berita terkait data dan informasi bencana. Hasil analisis media ini menjadi rujukan dalam menyusun strategi komunikasi bencana, khususnya terkait dengan upaya perbaikan pemilihan saluran dalam sistem komunikasi bencana.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
4. Analisis Faktor Pendorong (Driving Forces) Dengan mengacu pada pendekatan scenario building, analisis faktor pendorong secara berurutan dilakukan dengan langkah sebagai berikut: Pertama, mengidentifikasi fokus kepedulian (focal concern) berdasarkan seluruh temuan. Kedua, merumuskan faktor pendorong (driving forces) berdasarkan komponen yang ada dalam sistem komunikasi bencana. Ketiga, menganalisis faktor pendorong dengan memetakan hubungan di antara faktor penggerak dan mencari penjelasan bagaimana masing-masing faktor pendorong per komponen maupun lintas komponen jika dikaitkan dengan fokus kepedulian. Keempat, memprioritaskan faktor pendorong berdasarkan derajat kepentingan atau ketidakpastiannya.
Naskah akhir rencana induk kemudian dipaparkan kepada publik dalam lokakarya nasional yang mengundang para pihak. Selain itu, naskah mengalami proses kajian ahli (expert review) guna memastikan konsistensi isi dan metode.
METODOLIG
3. Analisis Kebutuhan Komunikasi Analisis kebutuhan komunikasi merupakan proses mengkategorisasikan ragam kebutuhan data dan informasi berdasarkan komponen komunikasi, karakteristik psiko-sosio-kultural, dan tahapan dalam manajemen bencana. Analisis ini untuk memandu perumusan rencana komunikasi yang relevan, signifikan, dan kontekstual.
23
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 24
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
25
BAB 4
Gambaran Situasi
Sistem Komunikasi Bencana
BAB 4
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Gambaran Situasi Sistem Komunikasi Bencana
26
Bagian ini berisi ulasan mengenai situasi terkini komunikasi bencana di Indonesia dilihat dari perspektif komunikator, kanal komunikasi, dan komunikan. Sebagian besar pembahasan merupakan temuan dan analisis dari kunjungan lapangan. Analisis situasi ini menjadi dasar penentuan isu-isu strategis serta rekomendasi kerangka dan strategi sistem komunikasi bencana yang diajukan. 4.1. Dinamika Komunikasi Penanggulangan Bencana Pada bagian ini dibahas temuan dan analisis mengenai bagaimana institusi pemerintah dan pemda melakukan komunikasi bencana saat ini. Institusi pemerintah yang dimaksud terutama adalah BNPB, tetapi tidak terbatas kepada lembaga ini. Institusi lain, seperti BMKG dan PVMBG yang ikut berperan, juga akan dibahas untuk memperoleh gambaran utuh mengenai situasi komunikasi bencana khususnya dari sisi komunikator. Adapun di tingkat daerah, unit analisis mencakup BPBD, gubernur, wali kota, bupati, serta perangkat yang merupakan unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Selain itu, terdapat pelaku di posisi yang secara struktural lebih rendah, namun yang perannya justru terbukti sangat penting dalam merespons bencana. Mereka antara lain camat, kepala desa, kepala pos pengamatan gunungapi, dan komandan rayon militer. Keterlibatan, bahkan kepemimpinan dalam komunikasi bencana yang ditunjukkan para pelaku tersebut adalah bukti bahwa penanggulangan bencana tak selalu harus bergantung kepada Jakarta, tetapi dapat didelegasikan kepada pihakpihak yang kredibel dan kompeten di daerah. Seiring tumbuhnya kesadaran mengenai posisi rentan Indonesia terhadap bencana, pemerintah sejak 2008 terus memperkuat kapasitas badan penanggulangan bencana. Alokasi anggaran, jumlah sumber daya manusia, dan fasilitas kerja (baik hardware maupun software) bertambah secara berkala. Dalam lima tahun terakhir, anggaran BNPB meningkat rata-rata 73,4%, dari Rp94,5 miliar dalam LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat) 2008, menjadi Rp1,47 triliun dalam APBNP tahun lalu.18Peningkatan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Secara detail, BNPB menggunakan anggaran untuk program sebagai berikut: (1) dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya; (2) peningkatan sarana dan prasarana aparatur; (3) pengawasan dan peningkatan akuntabilitas aparatur; dan (4) penanggulangan bencana. Indikator kinerja yang ditargetkan, antara lain 12 kerjasama organisasi di bidang penanggulangan bencana, terealisasi satu pedoman kesiapsiagaan sistem peringatan dini, dan terlaksana pengurangan risiko bencana di 40 lokasi. Selain itu, terdapat 10.000 relawan yang disertifikasi, tersedia data spasial dan statistik kebencanaan, serta terlaksana sistem informasi dan hubungan masyarakat di bidang kebencanaan dalam 18 satuan.19 Tabel 4.1. Program Kerja BNPB Tahun 2014 No
Program
Indikator Kinerja
1
Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya
Pelaksanaan kegiatan kerjasama organisasi internasional di bidang penanggulangan bencana
Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur
Jumlah pembangunan gedung kantor/diklat
2
3
Jumlah pelatihan teknis
Jumlah pengadaan sarana dan prasarana
Program Jumlah kegiatan pemeriksaan di Pengawasan Deputi Pencegahan dan Peningkatan dan Kesiapsiagaan, Akuntabilitas Deputi Rehabilitasi dan Aparatur Rekonstruksi, Pusdiklat, dan Pusdatinmas Jumlah dan kualitas laporan hasil pengawasan (LHP) Inspektorat II sesuai standar
Target 2014 12
6
1 4
31
5
Outcome Meningkatnya koordinasi dan keterpaduan perencanaan, pembinaan, pengendalian terhadap program, administrasi dan sarana prasarana serta kerjasama BNPB Meningkatnya koordinasi dan keterpaduan perencanaan, pembinaan, pengendalian terhadap program, administrasi dan sarana prasarana serta kerjasama BNPB Terwujudnya pengawasan dan pemeriksaan pelaksanaan tugas unit-unit BNPB yang akuntabel
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
anggaran kemungkinan terjadi karena penambahan belanja perbaikan infrastruktur, belanja logistik, dan dana siap pakai.
27
No
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
4
28
Program
Indikator Kinerja
Program Jumlah pemenuhan logistik di daerah rawan bencana Penanggulangan Bencana Jumlah pemenuhan kebutuhan peralatan di wilayah rawan bencana
Target 2014 33 prov
108 kab/ kota
Outcome Meningkatnya upaya pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan PRB dan adaptasi iklim Terselenggaranya penanganan darurat secara cepat, tepat, terpadu, menyeluruh Terselenggaranya rehabilitasi dan rekonstruksi secara terkoordinasi dan terpadu Terselenggaranya ketersediaan dan pemenuhan logistik dan peralatan
Sumber: Nota Keuangan dan RAPBN 2014, Hal. 4-149.
Dapat dikatakan, BNPB kini jauh lebih kuat dibanding lima tahun lalu dari sisi infrastruktur dan peralatan, jumlah SDM, serta struktur kelembagaan. Ini termasuk dalam hal komunikasi. BNPB telah memiliki infrastruktur dan peralatan yang tergolong canggih, mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mutakhir. BNPB mengadakan berbagai produk maupun sarana komunikasi untuk menjangkau publik. Kini tersedia website, akun media sosial, buku, siaran pers, iklan layanan masyarakat, film, brosur/leaflet, hingga kegiatan sosialisasi kebencanaan rutin. Setiap tahun, frekuensi pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan informasi dan komunikasi cenderung meningkat seiring membesarnya alokasi anggaran. Semua itu merupakan perkembangan positif yang patut diapresiasi.20 Meski demikian, tentu saja masih terdapat banyak pekerjaan rumah untuk menghadirkan komunikasi bencana yang memenuhi kebutuhan publik, terutama kelompok rentan. Fenomena menguatnya aspek hardware dan software komunikasi belum diimbangi kualitas SDM (brainware) maupun kebijakan dan regulasi (suprastruktur). Tabel 4.2 hingga 4.8 menampilkan temuan dan analisis praktik dan kinerja komunikasi BNPB.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
No Informasi Kunci Temuan 1 Siaran pers Jumlah konferensi pers yang disiapkan Humas BNPB selama kurun 2008-2013 sebanyak 30-an kali, sekitar lima kali setahun. Pada 2013, tercatat empat kali konpers Narasumber konpers biasanya hanya satu orang Siaran pers belum terarsip rapi. Ditemukan 13 siaran pers dengan tahun rilis antara 2009-2014. Siaran pers berkop sebanyak enam, dengan gambar logo berbeda-beda 2
Brosur/leaflet kampanye publik
Ditemukan 17 leaflet. Lima leaflet mengenai banjir, tiga tanah longsor, dua gempa bumi, dua kebakaran hutan, serta masing-masing satu tentang tsunami, gunungapi, kekeringan, angin topan, dan kebakaran Didistribusikan kepada K/L dan dalam pameran
3
Iklan layanan masyarakat dan advertorial
4
Tulisan di media
5
Foto di media massa
6
Spanduk, billboard
Terdapat tiga advertorial pada 2012 yang dimuat sekali di Kompas.com, Tribunnews.com, dan Tribun Jogja. Pada 2013, ada lima advertorial muncul sekali di Sindo, Jurnal Nasional, Media Indonesia, serta dua kali di Majalah Gatra Advertorial berisi informasi kegiatan (Contoh: peringatan bulan pengurangan risiko bencana dan lomba kreativitas kebencanaan)
Data tidak ditemukan
Ditemukan dua foto karya staf BNPB yang dimuat di Kantor Berita AFP dan Tribun Pekanbaru pada 2013
Data tidak ditemukan
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Tabel di atas menunjukkan bahwa siaran pers sebagai produk resmi BNPB berpotensi kehilangan kredibilitas karena inkonsistensi standar visual dan isi. Dalam hal ini, BNPB perlu membakukan standar visual dan isi siaran pers sesuai dengan tahap penanggulangan bencana. Demikian pula produk cetak lain, seperti leaflet dan billboard. Selain itu, diperlukan analisis target penjangkauan komunikasi tertulis agar konten dan artikulasi pesan menjadi lebih relevan bagi sasaran komunikasi. Pada fase kedaruratan diperlukan pembaruan informasi sesuai dengan perkembangan yang ada secara terus-menerus dan reguler hingga fase darurat berakhir. Hal ini sejalan dengan kebutuhan masyarakat terdampak mengenai ancaman yang mungkin ada dan publik secara umum yang memerlukan informasi untuk mendistribusikan bantuan. BNPB dapat menggunakan media massa sebagai sarana publikasi pada
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tabel 4.2. Komunikasi BNPB melalui Media Cetak
29
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
masa kedaruratan setelah komunikasi kepada masyarakat terdampak dilakukan. Penyampaian informasi ancaman bencana harus diprioritaskan kepada masyarakat terdampak, barulah masyarakat umum.
30
Variasi informasi kepada publik dimungkinkan dengan menambah sejumlah konten, seperti informasi mengenai pengungsi, penyaluran bantuan, dan lain-lain yang sesuai kebutuhan masyarakat. Untuk itu, penting bahwa BPBD di lokasi bencana menerima delegasi kewenangan (diatur melalui kebijakan dan regulasi komunikasi) untuk menyampaikan informasi secara langsung kepada masyarakat terdampak dan publik secara terbatas melalui media center. Pembedaan ini diperlukan untuk mengurangi distorsi dan memberikan kepastian informasi di masa darurat. Dengan demikian, pembingkaian pesan bagi masyarakat terdampak dan masyarakat umum menjadi berbeda mengikuti kebutuhannya. Dalam rangka mewujudkan idealitas tersebut, BNPB perlu memastikan bahwa BPBD, terutama di tingkat kabupaten/kota, memiliki kapasitas (brainware) komunikasi publik yang memadai dan mampu menentukan prioritas komunikasi kepada masyarakat terdampak. Lebih lanjut, dalam hal komunikasi untuk pengurangan risiko bencana, BPBD perlu mempersiapkan konten sesuai dengan ancaman yang terjadi di daerah setempat. Guna memperbanyak pilihan media komunikasi, diperlukan pengembangan media yang relevan dengan situasi masyarakat setempat. Dalam hal pendelegasian peran kepada BPBD untuk pengurangan risiko, BNPB dapat mentradisikan BPBD sebagai simpul (hub) penghubung para pihak di tingkat lokal untuk pengembangan keragaman media komunikasi. Secara praktis, peran ini dapat dicangkokkan melalui forum pengurangan risiko bencana. Tabel 4.3. Komunikasi BNPB melalui Media Elektronik No Informasi Kunci Temuan 1 Berita di website Ditemukan 538 berita di website sepanjang 17 Februari 2013-17 Februari 2014. Sekitar 82% berita mengenai bencana. Sebanyak 23% berita bencana adalah tentang gunung meletus, 21% banjir, 13% gempa bumi, serta 8% kebakaran lahan dan hutan 2 Pesan di Twitter Antara 1 Agustus 2011-27 Februari 2014, jumlah tweet @bnpb_indonesia 2.582 atau rata-rata 2-3 tweet per hari Pengikut akun me-retweet 59% tweet tersebut. Ada 17% tweet favorit. BNPB membalas 8% tweet Akun ini paling aktif pada hari Senin (22,5%), lalu berturut-turut hari kerja lain, yakni Kamis, Rabu, Jumat, dan Selasa. Akun relatif “tidur” pada akhir pekan Akun paling aktif pukul 10.00 (18%), kemudian pukul 11.00, 12.00, dan 15.00
No Informasi Kunci Temuan 3 Facebook Halaman tidak diperbarui secara reguler 4 Film dokumenter Terdapat beberapa film dokumenter sejak 2010. Film berisi informasi bencana dengan wawancara pendapat dan imbauan pejabat terkait Film diproduksi pihak ketiga 5 Blackberry BNPB sangat aktif memakai BBM untuk diseminasi Messenger (BBM) informasi kepada pihak luar, khususnya wartawan. Kepala Pusdatinmas mengelola sendiri BBM ini Penerima BBM mencapai 1.500 nomor. Tidak ada data mengenai jumlah BBM yang telah dikirim Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Informasi elektronik yang dikomunikasikan BNPB lebih banyak menjangkau masyarakat yang memiliki akses internet. Dari sisi kecepatan, penyampaiannya dapat diandalkan. Namun, dari sisi akurasi informasi, penyampaian informasi lewat media elektronik seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat terdampak. Hal ini bisa terjadi karena BNPB tidak melakukan analisis target komunikasi sebelum menentukan media yang digunakan. Risiko dari ketiadaan analisis tersebut adalah tidak relevannya informasi dengan kebutuhan sasaran komunikasi dan berkontribusi pada munculnya kepanikan yang tidak perlu di publik. Kasus penyampaian informasi potensi tsunami akibat gempa Chile baru-baru ini merupakan bukti mengenai risiko tersebut. Di sisi lain, perlu pengaturan konten dan pembaruan informasi secara reguler, terutama untuk pesan yang disampaikan di media sosial, sehingga ada kepastian dan konsistensi informasi di media sosial dan media massa secara umum. Identik dengan penyampaian informasi melalui media cetak, diperlukan pembedaan konten antara masyarakat terdampak dan masyarakat umum. Hal ini diperkuat oleh kenyataan bahwa media sosial hanya diakses oleh mereka yang memiliki keandalan infrastruktur. Komunikasi melalui media sosial baik, tetapi tidak cukup, khususnya untuk komunikasi kedaruratan. Media sosial lebih tepat digunakan untuk komunikasi pengurangan risiko bencana, kendati dalam kasus tertentu dapat efektif untuk menggalang donasi dan bantuan bagi masyarakat terdampak, seperti penyediaan nasi bungkus bagi pengungsi erupsi Gunung Merapi tahun 2010. Persoalannya adalah, pada saat itu, distribusi nasi bungkus tidak merata. Pengelola tempat pengungsian tidak mengantisipasi hal itu. Akibatnya, meskipun jumlah nasi bungkus melimpah, ada tempat pengungsian yang kekurangan pangan.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
31
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Kondisinya akan berbeda jika pihak komunikator melengkapi komunikasi nasi bungkus melalui Twitter tersebut dengan informasi distribusi. Dengan demikian, pengelolaan informasi dan pembaruan secara reguler melalui media sosial menjadi keharusan. Dalam hal ini, dapat diatur dengan standar prosedur pengelolaan media sosial.
32
Distribusi informasi melalui Blackberry Messenger akan efektif jika kontak wartawan sebagai penerima informasi didokumentasikan secara kelembagaan dan informasi yang disampaikan juga diformalisasikan menjadi informasi dari lembaga. Bagi wartawan, dalam kondisi darurat, mengutip informasi resmi akan memberikan kepastian konten dan mengurangi penafsiran yang dalam banyak kasus menimbulkan bias. Bias juga timbul sebab pemuatannya tidak melalui proses verifikasi untuk memastikan tidak ada makna ganda yang mungkin ditafsirkan secara berbeda, di mana pengertiannya berbeda dari fakta lapangan. Selain itu, dalam situasi darurat, komunikasi kepada masyarakat terdampak harus sesuai dengan kebutuhan mereka, yaitu informasinya akurat, dibingkai sehingga bermakna tunggal, mudah dipahami, mudah dikomunikasikan, ditafsirkan secara tunggal, singkat, dan disebarkan secara cepat. Belajar dari pengalaman komunikasi saat erupsi Gunung Kelud pada 13 Februari 2014 pukul 21.50 WIB, Camat Ngancar sebagai penanggung jawab wilayah menyampaikan informasi darurat langsung kepada warga terdampak dengan menggunakan kalimat sebagai berikut: 1. Gunung Kelud telah meletus. 2. Radius aman di luar 10 km. 3. Masyarakat segera mengosongkan lokasi. 4. Siapapun yang berada di radius tidak aman segera turun/evakuasi. Kata-kata di atas disampaikan berulang-ulang melalui siaran radio komunikasi RAPI. Informasi itu terbukti efektif dengan setidaknya 86.000 jiwa di tiga kabupaten sekitar Kelud dapat melakukan evakuasi dalam waktu kurang dari dua jam tanpa ada korban langsung sama sekali. Kunci dari keefektifan informasi tersebut adalah singkat, bermakna tunggal, mudah dikomunikasikan, dan sederhana. Meskipun dinyatakan berulang-ulang, tidak terjadi perluasan makna konten yang berpotensi multitafsir ketika diterima oleh warga terdampak. Dalam konteks ini, masyarakat terdampak di luar Kediri, yakni di Blitar dan Malang juga mendapatkan informasi yang sama dan merespons dengan cara sama. Artinya, komunikasi bencana kepada masyarakat terdampak dengan ancaman yang sama perlu dikelola melampaui batas-batas administrasi kewilayahan. Konsekuensinya,
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
pada satuan ancaman yang sama, BPBD setempat harus mengupayakan kesamaan informasi yang disampaikan kepada masyarakat di wilayah terdampak.
No Informasi Kunci Temuan 1 Kegiatan sosialisasi BNPB melakukan sosialisasi melalui kegiatan Badan Koordinasi Kehumasan Pemerintah (Bakohumas), (Humas) forum komunikasi wartawan, dan pameran Forum Bakohumas dilakukan rutin sekali setahun sejak 2008 Forum komunikasi wartawan mulai dilakukan 2011. Pada 2013, frekuensi kegiatan menjadi tiga kali setahun, yakni di Yogyakarta, Palembang, dan Semarang BNPB mengikuti pameran beragam instansi Sumber: Olah data konsultan, 2014
Komunikasi tatap muka yang dilakukan BNPB masih lebih banyak menekankan komunikasi institusi, baik kepada kementerian/lembaga maupun instansi lain dalam bentuk bimbingan teknis dan semacamnya. Praktis belum ada komunikasi tatap muka yang dilaksanakan dengan masyarakat terdampak. Kalaupun mengikuti pameran, keberhasilan komunikasi BNPB dengan masyarakat umum ditentukan oleh daya tarik stan pameran dan presentasi. Jika tidak menarik maka tidak akan mengundang orang untuk ingin tahu. Dengan demikian, komunikasi lewat pameran bersifat bersyarat. Secara keseluruhan, komunikasi tatap muka langsung tidak memadai untuk menjawab problem penjangkauan bagi mereka yang tidak terjangkau. BNPB melalui BPBD sebenarnya dapat mengkombinasikan penggunaan media elektronik, seperti film untuk dikomunikasikan secara massal sampai level RT. Kegiatan ini dapat menggunakan mobil komunikasi di BPBD. Belajar dari program sosialisasi keluarga berencana dan transmigrasi pada masa Orde Baru, sosialisasi dengan media hiburan sampai tingkat RT dapat efektif untuk memancing dialog mengenai mitigasi bencana dan bahkan menyediakan layanan terapi psikososial pada masa pascabencana. Dalam kasus respons pascagempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, misalnya, pertunjukan dan sosialisasi melibatkan seniman, pelawak, dan artis lokal. Penyadaran pengungsi di luar radius rawan bencana di Sinabung baru-baru ini pun menggunakan media interaktif dalam dialog pengelola posko BNPB dengan masyarakat. Cara ini terbukti berhasil, sehingga pengungsi yang tinggal di shelter adalah mereka yang memang berada di kawasan rawan bencana.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tabel 4.4. Informasi yang Disampaikan dengan Tatap Muka
33
Tabel 4.5. Format Produk dan Karakteristik Sasaran Komunikasi No Keterangan
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
1
Format dan produk komunikasi ke pihak lain
2
Informasi Kunci
Temuan
Format dan produk cetak
Siaran pers, Majalah GEMA, Info Bencana, Atlas, Statistik Bencana, poster, leaflet, buku data, peta, kalender, buku, komik, spanduk, billboard
Format dan produk online
Format dan produk online meliputi website, Twitter, BBM, dan Facebook. Update Facebook tidak dilakukan secara reguler
Karakteristik Jumlah dan sasaran karakteristik media massa komunikasi (berdasarkan data pesan dan produk komunikasi)
Belum ada pemetaan mengenai media massa yang menerima informasi bencana, baik jumlah maupun karakternya Belum ada pembedaan strategi penjangkauan media (nasional dan lokal; cetak, elektronik, daring, dan komunitas) Belum ada pembedaan strategi dalam mendekati reporter, redaktur, dan pengambil keputusan konten media massa
34
3
Jumlah dan Data tidak tersedia karakteristik masyarakat
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Berdasarkan temuan di atas, format produk komunikasi cetak lebih banyak digunakan untuk kepentingan komunikasi antar institusi daripada kepada masyarakat terdampak bencana. Komunikasi melalui media massa dilakukan, tetapi tidak melalui analisis pemilihan media secara memadai. Meskipun BNPB memiliki daftar wartawan yang relevan, peluang pemberitaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat tidak dapat dipastikan. BNPB dapat membuat kesepakatan dengan penyelenggara media pemerintah, seperti TVRI, Kantor Berita Antara, RRI, dan lainnya agar ada prioritas bagi diseminasi informasi bencana, terutama pada masa kedaruratan. Tidak tertutup kemungkinan hal ini dilakukan dengan media nonpemerintah. Pelibatan media juga tidak terbatas pada reporter di lapangan. BNPB dapat mengambil risiko yang lebih moderat dengan memprioritaskan konten informasi pengurangan risiko bencana sebagai materi pendidikan masyarakat melalui media massa.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 4.6. Jeda Waktu, Kecepatan, dan Ketepatan Penyampaian Informasi
1
Keterangan Jeda waktu antara penyampaian informasi dan waktu kejadian
Informasi Kunci Siaran pers Berita di website
Temuan Data tidak tersedia
Berdasarkan data yang ada, artikel terkait banjir (18 artikel), gempa (sembilan artikel), dan erupsi gunungapi (15 artikel) rata-rata dipublikasikan 1-3 jam setelah kejadian
Sebanyak lima artikel angin topan diberitakan 12–24 jam setelah kejadian
Masing-masing tiga artikel kebakaran hutan/ lahan diberitakan 3–6 jam dan 12–24 jam setelah kejadian
Masing-masing enam artikel tanah longsor diberitakan 6–12 jam dan 24–48 jam setelah kejadian
Data tidak tersedia
BBM
Data tidak ditemukan, namun BBM merupakan sarana yang paling sering digunakan untuk diseminasi informasi
Begitu BNPB memperoleh informasi bencana, berita diolah dan langsung dikirim ke daftar kontak BBM. Semua responden penerima pesan memuji penggunaan BBM dari sisi kecepatan
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
No
35
No
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Informasi Kunci
Penerima pesan Ketepatan penerima pesan siaran pers yang sebenarnya versus yang dituju
2
36
Keterangan
Penerima pesan berita di website Penerima pesan Twitter Penerima pesan brosur/leaflet Penerima pesan iklan layanan masyarakat dan advertorial Penerima pesan BBM Penerima pesan sosialisasi (Humas)
Temuan
BNPB lebih sering memberikan siaran pers kepada media melalui BBM dan media sosial. Penerima pesan relatif sesuai dengan yang dituju, kendati tidak ada data mengenai efektivitas, misalnya bahwa apakah media tertentu tepat menjadi penerima pesan dan memang memberitakannya Tidak tersedia analisis statistik pengunjung website
Seperti website, penggunaan Twitter untuk diseminasi info darurat kepada masyarakat terdampak
Data tidak tersedia
Tidak tersedia data atau informasi analisis mengenai target spesifik
Tidak ada analisis penggunaan media iklan layanan masyarakat Belum ada pemetaan penerima BBM: wartawan, pejabat, aktivis LSM, dan akademisi Peserta sosialisasi adalah pejabat dan pegawai negeri sipil di kementerian/ lembaga, wartawan,dan pengunjung pameran
Kegiatan sosialisasi Humas belum menjangkau masyarakat, terutama kelompok rentan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
3
4
Keterangan
Informasi Kunci
Temuan
Ketepatan waktu Jumlah pesan Selama ini, diseminasi informasi kepada publik lebih banyak yang sesuai dan dilakukan melalui media massa. tidak sesuai jadwal BNPB menyampaikan kepada media dengan BBM Jumlah pesan tepat/tidak yang Data tidak tersedia diterima pada saat dibutuhkan Ketepatan isi: Jumlah kesalahan Data tidak tersedia pesan
Kesalahan minimum yang direncanakan
Data tidak tersedia
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Data dalam tabel di atas menunjukkan belum ada standar layanan informasi bencana. Pelaksanaan komunikasi juga belum dievaluasi, baik kasuistis maupun reguler. Media digital yang digunakan menjamin kecepatan komunikasi bencana secara real time. Namun, tanpa verifikasi informasi, informasi yang disampaikan secara digital berpotensi mengalami bias. Dalam hal ini, BNPB perlu memprioritaskan verifikasi informasi yang disampaikan melalui media digital, bahkan mengaturnya dalam bentuk prosedur standar operasi. Bias komunikasi dapat menimbulkan kepanikan. Dengan melakukan verifikasi, kendati kepanikan mungkin tidak hilang, masyarakat terdampak dapat mengelola kepanikan dengan lebih baik. Tabel 4.7. Ragam dan Jenis Media yang Digunakan No.
Informasi Kunci
Temuan
1
Kanal yang BNPB menggunakan kanal media massa dan media sosial digunakan versus untuk menyampaikan informasi darurat kepada publik seharusnya Pada tanggap darurat dan pasc abencana, media massa tetap diandalkan. Selain itu, website, rambu, spanduk, konferensi pers, media sosial, dan media center tanggap darurat Pada prabencana, BNPB memakai media massa, majalah, website, buku, komik, leaflet, advertorial, serta media sosial
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
No
37
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 38
No.
Informasi Kunci
2
Ragam dan jenis media
Temuan Media internal meliputi website, media sosial, dan media cetak. Penggunaan media cetak lebih bersifat diseminasi informasi ke dalam untuk mendukung pengambilan keputusan Media eksternal yang digunakan terdiri atas media cetak, daring, dan penyiaran (televisi dan radio). BNPB belum menggunakan media komunitas Belum ada analisis target sebagai dasar pertimbangan penentuan penggunaan media
3
Ketepatan isi dan media yang digunakan
BNPB belum melakukan perencanaan isi dan media yang digunakan Informasi kedaruratan tidak disampaikan langsung kepada masyarakat terdampak, tetapi melalui media massa
sumber: Olah data konsultan, 2014.
Pemilihan media perlu disesuaikan dengan konteks dan sasaran komunikasi guna memperluas jangkauan dan memastikan informasi sampai ke mereka yang membutuhkan. BNPB perlu mengembangkan analisis media yang tidak hanya dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan pengurangan risiko, tetapi untuk pengambilan keputusan. Dalam hal ini, pemantauan pemberitaan media sekaligus memungkinkan adanya kemampuan merespons dengan cepat jika ditemukan informasi yang keliru dan berpotensi menggagalkan penanggulangan bencana. Penggunaan media massa pada fase kedaruratan menjadi tidak tepat jika mengabaikan tindakan komunikasi yang langsung kepada masyarakat terdampak. Dalam hal ini, penyediaan informasi bagi masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana harus diprioritaskan. Dengan demikian, ragam dan jenis media yang digunakan hendaknya berkontribusi bagi penyediaan informasi yang akurat dan cepat bagi masyarakat terdampak. Tabel 4.8. Hambatan dan Tantangan dalam Produksi Produk Komunikasi Hambatan 1. Tidak ada skenario untuk penerbitan 2. Tidak ada redaksi yang didedikasikan untuk penerbitan
Tantangan 1. Lingkup pembaca terbatas instansi pemerintah dan terkait 2. Menumbuhkan kepercayaan pembaca
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Hambatan
Tantangan
3. Mengubah persepsi media pemerintah 4. Ketrampilan teknis (penulisan, fotografi, 4. Pelibatan masyarakat dan para komunikasi massa) belum memadai pihak 5. Produk yang menekankan 5. Tidak ada arahan kebijakan terkait kesiapsiagaan dan kesadaran risiko bencana Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Tabel 4.8 menyajikan hambatan dan tantangan dalam pembuatan produk komunikasi untuk pengarusutamaan pendidikan risiko bencana. Selain hambatan dan tantangan tersebut, BNPB juga menghadapi masalah kualitas dan kuantitas SDM. Sisi kualitas terutama terkait dengan manajemen produksi konten pendidikan risiko bencana. Saat ini, belum ada skenario pembuatan konten dalam pengelolaan produk komunikasi sehingga bergantung kepada orang per orang. Belum ada pula proses baku dalam produksi termasuk untuk validasi materi. Tidak ada target spesifik terkait fungsi produk komunikasi. Secara kelembagaan, keseluruhan proses pengelolaan produk komunikasi juga tidak diampu oleh orang yang ditugaskan dan dibekali dengan peningkatan kapasitas secara programatik. Akibatnya, media pendidikan pengurangan risiko bencana beragam dan banyak, tetapi sumbangannya terhadap penyelesaian masalah penjangkauan relatif kecil. Kemampuan signifikan yang perlu ditingkatkan terutama dalam hal pemaknaan atas informasi dan kontribusinya terhadap masalah pendidikan pengurangan risiko bencana. Secara teknis, pengembangan kapasitas ini tidak dapat dicapai hanya dengan melakukan pelatihan. Diperlukan konsistensi keterlibatan pihak pengelola konten komunikasi secara terus-menerus untuk menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam pendidikan pengurangan risiko. Ini termasuk bagaimana meningkatkan antusiasme para pihak untuk membagikan, merefleksikan, dan mengungkapkan pengalaman secara tertulis melalui media yang ada. Dalam hal ini, tata kelola media menentukan keberhasilan penjangkauan target komunikasi. Komunikasi Kedaruratan Pada saat kedaruratan maupun tanggap darurat, lembaga teknis akan melaporkan perkembangan situasi dari waktu ke waktu kepada pemerintah dan pemda. Ketika sebuah gunungapi berstatus Awas, PVMBG akan menyampaikan apa yang terjadi setiap enam jam. Ini berlangsung antara lain saat respons letusan Kelud, Sinabung,
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
3. Kontribusi tulisan minim, baik dari pihak internal maupun eksternal
39
dan Rokatenda. Tabel di bawah menunjukkan bagaimana pesan diolah berdasarkan wawancara dengan responden. Tabel 4.9. Pengolahan Pesan Kedaruratan dan Fase Lainnya
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tahap
40
Pihak yang Proses yang Terlibat Terjadi Pra PVMBG, Surat resmi bencana BMKG tentang status gunungapi, cuaca, gempa, tsunami
Saat darurat
PVMBG, BMKG, pemda
Tanggap PVMBG, darurat BMKG
Pusdalops/ Posko
Pasca K/L bencana
Alasan
Keterangan
Mandat - BNPB dan BPBD mengolah dan meneruskan pesan konstitusi kepada media dan masyarakat - BMKG dan PVMBG juga menyampaikan langsung kepada media dan masyarakat melalui kanal mereka sendiri
- Warga panik karena informasi tsunami di 115 kabupaten/kota akibat gempa Chile (InaTEWS) Telepon disusul Mandat - Pemda memerintahkan evakuasi berdasarkan surat resmi konstitusi rekomendasi lembaga tentang status teknis gunungapi, cuaca, gempa, - Pos PGA Sinabung tidak tsunami berhasil menghubungi kepala daerah. Akibatnya, warga memutuskan sendiri evakuasi Informasi Mandat - BNPB meneruskan informasi kepada media berkala (eg. konstitusi status Awas, - Lembaga teknis juga enam jam sekali langsung menyampaikan dari PVMBG) ke media dan publik Laporan Perka - Dengan catatan daerah memiliki Pusdalops berkala: korban, logistik, - Problem teknis pengungsi, dll pengumpulan dan akurasi data Relokasi, Mandat - Peran pemda masih kurang pemulihan konstitusi
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Persoalannya adalah, apakah penyampaian informasi secara bersamaan kepada para pihak itu dapat mengurangi kesempatan kepala daerah untuk mengambil keputusan tindakan evakuasi dalam kondisi darurat. Berkurangnya kesempatan untuk mengambil keputusan evakuasi tersebut berpeluang terjadi karena tidak adanya prioritas penerima informasi kedaruratan kepada kepala daerah. Secara teknis, hal ini juga dapat dipengaruhi kesadaran (awareness) kepala daerah mengenai situasi tersebut. Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa ada kejadian petugas Pos PGA gagal menyampaikan informasi status darurat gunungapi kepada kepala daerah selama tiga kali periode erupsi berturut-turut. Akibatnya, tidak ada perintah evakuasi dari kepala daerah. Pengosongan lokasi terdampak akhirnya ditentukan inisiatif warga sendiri. Dalam situasi itu, kepanikan pun menjadi histeria. Komunikasi antara pihak yang melakukan pemantauan eskalasi ancaman bencana dengan otoritas wilayah perlu diperbaiki dengan regulasi dan pengawasan secara terus-menerus mengikuti bertumbuhnya kesadaran warga secara keseluruhan terhadap risiko bencana. Pengawasan ini dapat dilakukan dengan melibatkan lembaga negara yang berwenang atas kontrol kualitas layanan publik, seperti Komisi Informasi Publik dan Ombudsman. Pada tahap pascabencana, komunikasi bergeser dari lembaga penyedia informasi teknis tentang peringatan dini kepada lembaga teknis yang mengampu peran rehabilitasi dan rekonstruksi. BNPB berperan memastikan komunikasi antar lembaga teknis dengan masyarakat dan kepala daerah secara solid memperpendek fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Dengan demikian, BNPB tidak menggantikan peran lembaga lain yang mengelola substansi, seperti sektor mata pencaharian (livelihood), melainkan memfasilitasi kerjasama antar lembaga teknis dan memastikan peralihan pascabencana ke kondisi normal berjalan lancar. Implikasi Kegagalan Komunikasi Temuan lapangan menunjukkan fungsi penyediaan informasi pada masa darurat ditentukan keberhasilan kerja tim reaksi cepat (TRC) di tingkat BPBD. Informasi awal mengenai jumlah korban, dampak bencana, dan kerusakan yang ditimbulkan akan digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan terkait mobilisasi sumber daya daerah untuk penanganan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa TRC memiliki peran krusial dalam mengawali respons.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Komunikasi kedaruratan perlu menekankan tindakan mitigasi sebelum kejadian guna mengurangi risiko. PVMBG sebagai salah satu lembaga teknis, misalnya, memiliki standar operasi yang memungkinkannya berkomunikasi langsung dengan kepala daerah setelah gunungapi mencapai status Awas. Penyampaian informasi kepada kepala daerah dapat dilakukan bersamaan dengan kepada BNPB maupun BPBD.
41
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 42
Komposisi TRC di Yogyakarta, misalnya, terdiri atas unsur SAR, PMI, dan Tagana. Namun, tidak ada anggota TRC yang berasal dari unsur komunikasi. Sementara itu, di Jawa Timur komposisi TRC diisi staf instansi teknis di level kecamatan. Kondisi ini mempengaruhi kecepatan komunikasi dan karena itu, pengambilan keputusan untuk respons. Atau setidaknya, terdapat beban ganda bagi relawan teknis lainnya yang harus merangkap sebagai relawan komunikasi. Di sisi lain, TRC tidak berwenang mengambil keputusan, kecuali mengumpulkan dan menyampaikan informasi. Ini termasuk pengambilan keputusan mengenai sumber daya yang digunakan untuk melaksanakan tugas mereka. Keterlambatan penanganan dampak abu Kelud di Yogyakarta oleh pemerintah ditengarai terjadi karena persoalan kewenangan TRC dalam pengadaan transportasi dan sarana pembersihan abu. Masyarakat akhirnya menyiram abu vulkanik secara mandiri tanpa petunjuk apapun dari pihak berwenang ke saluran gorong-gorong yang menyebabkannya tersumbat. Warga pun berinisiatif mengumpulkan karung untuk mengangkut dan membuang abu. Inisiatif ini tersebar luas lewat media sosial. Contoh lain adalah kejadian embusan gas dari kawah Merapi pada 24 Maret 2014. Pada saat itu, warga yang mendatangi titik kumpul siap melakukan evakuasi menyusul hujan abu yang turun ke Desa Glagaharjo dan Bale Rante. Warga berharap mendapatkan status Merapi melalui TRC. Namun, anggota TRC yang dihubungi warga tidak dapat mengkomunikasikan kondisi Merapi karena stasiun pancar ulang mengalami mati listrik dan kehabisan solar. TRC kemudian menurunkan tim ke lokasi dari Kantor BPBD DIY. Pada saat yang sama, warga telah bergerak turun melalui jalan jalur evakuasi yang juga digunakan hilir mudik truk pengangkut pasir. Terjadi kemacetan total di jalur tersebut dan kepanikan. Di sisi lain, petugas TRC gagal mengonfirmasi status Merapi dari lembaga yang berkompeten memberikan informasi. Situasi akan berbeda apabila TRC memiliki kewenangan, kendati terbatas, untuk mengelola sumber daya guna menjamin keandalan sistem komunikasi yang digunakan. Ini termasuk mengalokasikan hal teknis minor, seperti membeli solar pada saat dibutuhkan. Selain itu, diperlukan jaminan keandalan (disiplin) sistem komunikasi dari pihak yang memiliki kompetensi dan otoritas untuk menyatakan status bahaya, seperti saluran komunikasi khusus (hotline service) di luar perangkat komunikasi pribadi. Dalam kasus di Jatim, TRC mengumpulkan informasi melalui jalur dan mekanisme reguler, sehingga kecepatan dan keakuratannya tidak merefleksikan kondisi darurat. Akibatnya, respons terlambat. TRC merupakan sumber daya yang berpotensi memberikan terobosan dalam komunikasi bencana. Secara praktis, BPBD dapat membuat regulasi agar daya terobosan tersebut tidak hilang dengan cara (1) memperkuat kelengkapan unsur
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Fasilitasi Ketangguhan Komunikasi Keberlangsungan komunikasi bencana perlu diletakkan sebagai perilaku (habitus) baru dalam penanggulangan bencana. Guna menjamin keberlanjutannya, diperlukan pendidikan komunikasi bencana yang integral dengan pengurangan risiko bencana. Keniscayaan pendidikan komunikasi bencana antar generasi, selain ditentukan keberlangsungan pendidikan itu sendiri, juga ditentukan mental edukatif pihak komunikator. Dalam hal ini, komunikator bencana berfungsi sebagai fasilitator. Komunikator bencana yang berhasil adalah mereka yang memfasilitasi, memberdayakan masyarakat dalam mewujudkan ketangguhan komunikasi. Ketangguhan itulah yang memungkinkan tidak ada korban saat bencana, serta penanganan dan pemulihan kehidupan masyarakat terjadi secara bermartabat. Fasilitator dalam terminologi partisipasi publik dimaknai sebagai katalis untuk gerakan masyarakat tanpa keterlibatan praktis dari fasilitator itu sendiri. Dalam terminologi ini, Chambers (1985) mengkategorikan fasilitator sebagai pihak luar (outsider). Ini sekalipun fasilitator dalam konteks kebencanaan menguasai materi-materi kebencanaan. Sementara itu, masyarakat adalah pihak dalam (insider) yang secara praktis tidak menguasai materi kebencanaan, tetapi memiliki mandat atas tindakan yang akan diambil untuk penanggulangan bencana. Dalam konteks ini, fasilitator secara spesifik memberikan stimulasi (memantik pemberdayaan), sehingga insider memiliki keyakinan untuk mengambil keputusan tindakan penanggulangan bencana yang relevan dengan situasinya. Meskipun menguasai materi kebencanaan, fasilitator bukan sumber kebenaran atas praksis yang ditempuh masyarakat dalam penanggulangan bencana. Ketika fasilitator melakukan fungsi melampaui mandatnya, maka yang terjadi adalah rekayasa sosial. Insider kehilangan otentisitas yang menyebabkan ketergantungan tinggi kepada fasilitator. Sebaliknya, jika fasilitator bekerja sesuai mandatnya, insider memiliki kebebasan memilih tindakan yang harus diambil dalam penanggulangan bencana. Ini mencakup hingga tingkat teknis operasional yang relevan dengan situasi setempat, namun menyelesaikan persoalan yang sama: merawat keselamatan manusia dengan mengurangi korban bencana.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
TRC dengan relawan komunikasi (misalnya melibatkan relawan dari organisasi radio komunikasi antar penduduk); (2) mendelegasikan sebagian wewenang operasional untuk menjamin keandalan sarana komunikasi pada masa darurat; (3) meningkatkan kapasitas TRC dalam keakuratan dan kecepatan informasi dalam situasi darurat; serta (4) memberikan insentif yang layak sehingga anggota TRC tidak perlu mencari sumber penghasilan tambahan yang berpotensi menggagalkan peran mereka sebagai produsen informasi utama pada masa darurat.
43
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Dalam situasi tersebut, insider akan memiliki keyakinan yang tinggi untuk menumbuhkan ketangguhan komunikasi dari dalam. Kapasitas simpati, empati, dan bela rasa antar anggota masyarakat pun dimungkinkan berkembang karena keberlanjutan ketangguhan komunikasi serta bergerak horizontal dan meluas kepada masyarakat yang lain.
44
Secara teknis, inisiatif peningkatan ketangguhan komunikasi masyarakat dapat dimulai dengan melakukan pelatihan, workshop, dan sejenisnya. Namun, spirit ketangguhan komunikasi yang mewujud dalam kapasitas simpati-empati-bela-rasa hanya dapat tumbuh karena intensionalitas relasi antara subjek dengan subjek yang lain. Peran komunikasi dalam mitigasi kultural tidak dapat terjadi tanpa keterlibatan insider. Dari sisi outsider, hal itu hanya dapat terjadi jika outsider mengasimilasikan pengetahuan pengurangan risiko bencana dengan sistem dan pengetahuan setempat. Kredibilitas outsider dalam komunikasi bencana ditentukan oleh kesediaannya mengakomodasi praktik lokal untuk mengkomunikasikan bencana. Penggunaan radio HT, misalnya, kendati mulai umum dalam komunikasi untuk mitigasi bencana, tetapi komunikasi berbasis sistem pengetahuan dan kepercayaan setempat masih dipertahankan. Ini menunjukkan kredibilitas komunikator dibangun di atas kemampuan mengakomodasi kebutuhan masyarakat lokal dalam menjalankan komunikasi bencana. Komunikasi simbolik yang dipraktikkan masyarakat adat dan lokal menjadi bagian penting sarana komunikasi. Bagi insider, hal itu dapat bermakna penghormatan atas kearifan lokal (local genius). Simbol kultural berupa ritual serta perayaan adat dan kemasyarakatan, seperti kenduri yang dilaksanakan masyarakat Kecamatan Ngancar, Kediri, beberapa saat setelah kembali dari pengungsian, menjadi puncak asimilasi pengetahuan modern dan kearifan lokal. Momentum ini menjadi kunci mitigasi kultural yang berkontribusi besar di level praktis penanggulangan bencana. 4.2. Media Massa dan Komunikasi Bencana “Tanggung jawab dasar pers adalah menyajikan kebenaran. Etos dasar pers tidak lain adalah etos kebenaran. Apapun yang disajikan pers harus benar. Pers harus merasa terlibat terhadap kebenaran. Pers mempunyai dan boleh mempunyai pelbagai tujuan dan harapan, tapi tak pernah tujuan-tujuan dan harapanharapan itu boleh dikejar dengan menyampingkan kebenaran. Kebenaran adalah prasyarat etis bagi segala usaha pers.� (Magnis-Suseno, 2000:128) Ulasan pada bagian ini didedikasikan untuk membahas peran media massa, mengingat pengaruhnya yang paling besar terhadap cara publik memperoleh informasi. Komunikasi yang dilakukan BNPB dan lembaga lainnya selama ini pun lebih banyak mengandalkan media massa sebagai kanal.
Seperti dibahas sebelumnya, keselamatan manusia seharusnya menjadi tujuan bersama para pihak dalam komunikasi bencana, termasuk mereka yang berperan sebagai kanal komunikasi. Kanal boleh memiliki agenda dan kepentingan, tetapi keterlibatannya yang pertama dan terutama hendaknya tetap keselamatan manusia. Seperti halnya komunikator dan komunikan, peran substantif kanal komunikasi harus terikat kepada etika komunikasi yang dibangun di atas prinsip-prinsip tujuan keselamatan manusia. Ini merupakan ukuran tertinggi bagi alasan-adanya (raison d’etre). Distorsi timbul ketika kanal mengabaikan etika komunikasi. Keterlibatan media dalam meliput bencana di Indonesia semakin tampak dalam 15 tahun terakhir, seiring ledakan jumlah media serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Dapat dikatakan bahwa media telah menjadi bagian dari penanggulangan bencana, khususnya dalam mengkomunikasikan bahaya dan dampaknya. Meski demikian, peran media tidak berlangsung dalam ruang vakum. Media pada suatu ketika dapat menjadi relevan, tetapi di saat lain justru memicu distorsi. Situasi itu perlu disadari dan diantisipasi oleh pihak yang hendak menggunakan media sebagai kanal komunikasi. Peliputan Media dan Distorsi Informasi Mayoritas media arus utama masih memahami bencana sebagai kejadian. Bencana baru diberitakan ketika terjadi. Berita akan melonjak saat bencana dibanding pra dan pascabencana. Artikel mengenai pengurangan risiko, apalagi yang ditampilkan atas inisiatif media sendiri, relatif sedikit. Situasi ini diakui oleh semua wartawan yang diwawancara. Hasil pemantauan media juga membawa kepada kesimpulan serupa. Di bawah ini adalah analisis data pemantauan pemberitaan beberapa media yang meliput peristiwa banjir (di Jakarta dan kota lain) dan letusan Gunung Kelud. Pemantauan terutama untuk melihat kecenderungan pemberitaan bencana berdasarkan fase pra, masa darurat, dan pascabencana.
Gambar 4.1. Frekuensi Pemberitaan Banjir Okt 2013-Feb 2014
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
45
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 46
Gambar 4.1 menunjukkan frekuensi pemuatan berita banjir di dua media daring nasional. Terdapat pola yang mirip di antara keduanya. Selama Oktober 2013 hingga minggu pertama Januari 2014, frekuensi kemunculan berita banjir rendah. Seperti diketahui, periode ini dapat dikategorikan sebagai masa prabencana. Banjir baru terjadi secara sporadis dengan intensitas kecil. Topik berita juga lebih banyak menyoroti perkiraan cuaca dan persiapan menghadapi banjir. Dalam periode ini, ditemukan beberapa berita berisi tips bagi pembaca untuk menghindari kerusakan properti maupun kendaraan akibat banjir, seperti sebuah berita pada masa prabencana yang ditemukan di Kompas.com pada 1 November 2013 berjudul “Waspadai 5 Penyakit Ini pada Musim Hujan.� Frekuensi pemberitaan kemudian meningkat pesat pada pekan kedua dan ketiga Januari. Secara keseluruhan, terdapat 842 berita di kompas.com (sekitar 62% dari total berita selama lima bulan) dan 928 berita di detik.com (66% dari total) yang muncul pada Januari, sebagian besar di pekan kedua dan ketiga. Seperti diketahui, ini adalah puncak musim hujan yang juga masa terparah banjir (tanggap darurat). Frekuensi pemberitaan kemudian menurun pada Februari ketika banjir surut dan intensitas hujan berkurang. Setelah itu, berita banjir praktis hanya sambil lalu, dengan topik dampak banjir, perbaikan infrastruktur, dan lain-lain. Data berbeda tetapi dengan pola pemberitaan yang mirip ditemukan dalam hasil pemantauan pemberitaan Kelud (Lihat Gambar 4.2). Terlihat bahwa media juga lebih banyak memberitakan saat letusan terjadi dan beberapa waktu setelahnya. Frekuensi pemberitaan melesat ketika gunung yang terletak di garis cincin api Pasifik ini erupsi pada Kamis, 13 Februari 2014, menjelang tengah malam. Pola pemberitaan media nasional dan lokal serupa, dengan periode pemberitaan pasca letusan di media lokal sedikit lebih panjang.
Gambar 4.2. Frekuensi Pemberitaan Erupsi Kelud Feb-Apr 2014
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Narasumber mengatakan wartawan di lapangan dituntut melaporkan informasi dengan sedapat mungkin tidak mendistorsi inti pesan. Meski demikian, mereka tidak memungkiri seringnya terjadi perubahan sudut pandang (angle) maupun bingkai (framing) berita yang dilakukan redaktur maupun produser. Akibatnya, tak jarang distorsi muncul justru setelah berita dibingkai ulang oleh redaksi media. Dalam hal ini, tampak bahwa kegagapan media dalam pemberitaan bencana bukan hanya terjadi di lapangan, tetapi juga di balik meja redaktur dan produser. Dibutuhkan upaya serius untuk meningkatkan pemahaman mengenai bencana, termasuk tentang hak asasi pengungsi, istilah teknis kebencanaan, mekanisme pengambilan keputusan, hingga peraturan terkait. Kondisi itu memunculkan pertanyaan soal sejauh mana penggunaan media mempengaruhi, secara positif atau negatif, tujuan pencapaian keselamatan manusia saat bencana. Pers modern adalah industri kata-kata yang dihidupi sistem pasar. Pertimbangannya saat memilih isu maupun ketika membingkai pesan dari komunikator sebelum disampaikan kepada masyarakat tidak steril dari kepentingan media itu sendiri, kegagapan sumber daya wartawan dan redaktur/produser, serta reduksi informasi akibat keterbatasan tempat dan waktu. D Gagal Interpretasi
I
S
T
Framing
O
R
S
I
Kompetensi
Kecepatan Vs Akurasi
Pesan
Olah Media
Fakta
Artikulasi Bahasa
Berita/Konten
Publik
Gambar 4.3. Skema Distorsi Media
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Maraknya pemberitaan hanya saat bencana adalah konsekuensi dari cara kerja pers modern. Dalam hal ini, berita kejadian bencana selalu menarik keingintahuan publik dan karena itu akan laris, terlebih jika skalanya besar dan banyak korban. Berita hari-hari ini “bukan dibagi gratis, tetapi dijual, dipasarkan, dipersaingkan� (Oetama, 2003:4). Media berkompetisi dalam pasar bebas. Dalam kondisi itu, media mengejar rating dan laba. Maka menjadi wajar jika media pun memilih berita yang lebih laku dijual, dipasarkan, dipersaingkan, sehingga membuatnya layak dimuat.
47
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Media selalu menyeleksi, memilih informasi yang akan atau layak diteruskan berdasarkan pembacaan terhadap selera pemirsa, pendengar, dan pembacanya; dan dengan demikian, hampir pasti informasi dari komunikator tidak disampaikan utuh kepada masyarakat. Singkat kata, dalam kondisi status quo, distorsi media arus utama menjadi niscaya.
48
Lebih jauh, konglomerasi menjadi konsekuensi tak terhindarkan dari kepentingan modal yang mendorong perkembangan industri media. Dalam kenyataan seharihari, kita melihat media, terutama televisi telah memberi manfaat bagi para pencari kekuasaan. Konten televisi sebagai sektor media yang paling berpengaruh karena jangkauannya, berpengaruh besar terhadap pembentukan persepsi masyarakat. Logika tersebut didasarkan atas nalar komersialisasi dalam wujud target perolehan rating atau oplah demi meraup iklan dan pendapatan. Rating dan oplah yang tinggi berpengaruh terhadap banyaknya iklan dan pendapatan yang memungkinkan industri media tetap hidup. Untuk mencapai rating tinggi, awak media harus membuat berita yang menarik (newsworthiness). Dalam hal ini, berita yang memiliki nilai tinggi harus mengandung salah satu atau beberapa aspek berikut: aktualitas, magnitude, ketokohan, pertama kali, relevansi atau kedekatan (proximity) dengan pembaca, unik, dramatik, dan tren baru (Taufiqurohman, 2014). Demi rating, banyak media khususnya televisi menekankan aspek dramatik yang diulang-ulang dengan asumsi penonton menyukainya. Di sinilah distorsi terjadi. Mengingat media seperti televisi menggunakan frekuensi publik—lebih penting lagi, media memiliki tugas publik—wajar jika media diharapkan memproduksi konten yang lebih edukatif dan informatif guna meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Akumulasi Laba
Pasar
Komersialisasi
Konten
Kapital Media
Privatisasi
Gambar 4.4. Skema Pengaruh Modal terhadap Konten Media
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Selain persoalan yang secara substansial inheren dengan permediaan tersebut, setidaknya terdapat dua faktor lain yang membuat berita bencana terkonsentrasi di masa tanggap darurat, sebagaimana dituturkan narasumber wartawan dalam wawancara. Faktor pertama berkaitan dengan keadaan internal media, yaitu kompetensi wartawan di media arus utama yang relatif rendah dalam peliputan bencana. Faktor kedua lebih bersifat eksternal, yakni minimnya suplai informasi dari pihak komunikator, dalam hal ini pemerintah dan lembaga terkait. Menurut penuturan narasumber, tidak banyak wartawan di Indonesia yang secara khusus mengembangkan spesialisasi peliputan penanggulangan bencana, laiknya bidang lain, seperti ekonomi, politik, hukum, atau bahkan hiburan dan olahraga. Jumlah wartawan yang pernah mendapatkan pendidikan tentang bencana dan jurnalisme bencana ditengarai sangat minim. Saat ini sebagian besar yang meliput bencana adalah wartawan muda yang kerapkali baru tahu tentang bencana ketika ditugaskan; itupun dalam kemampuan yang tidak spesifik. Ini ditambah kurangnya arahan spesifik dari redaktur kepada wartawan di lapangan saat peliputan bencana.29 Tak mengherankan bila kita sering menyaksikan wawancara live di televisi, di mana reporter mengajukan pertanyaan kurang empatik, seperti “Bagaimana perasaan Bapak/Ibu di pengungsian saat ini?� Bahkan, seringkali liputan akhirnya malah menimbulkan kepanikan. Alhasil, liputan bencana yang dihasilkan pun distortif.30 Sementara itu, faktor kedua yang menyebabkan berita non kejadian bencana jarang muncul di media adalah minimnya suplai informasi dari pihak komunikator. BNPB sendiri masih lebih banyak berkomunikasi dengan media saat ada bencana dibandingkan dengan masa pra maupun pascabencana. Akibatnya, berita di media didominasi berita masa darurat. Bagaimana media meliput bencana perlu ditilik dari kualitas konten dan sejauh mana ia memungkinkan masyarakat terdampak menerima informasi persis seperti yang disampaikan pemerintah, atau sebaliknya, mengartikulasikan kehendak masyarakat untuk diteruskan kepada pemerintah. Dalam kata-kata yang lebih lugas: Bagaimana etika komunikasi bekerja pada saat peliputan bencana.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Dalam hal ini, menjadi benarlah sinyalemen bahwa pers modern telah beroperasi dengan logika sistem pasar.28 Program edukasi bencana hampir selalu kesulitan memperoleh sponsor iklan pada awal inisiasinya. Kesulitan mendapatkan sponsor merupakan salah satu alasan yang mengakibatkan program edukasi bencana di media sulit terealisasi. Realitas media digerakkan motif laba ini menjadi pola industri pers modern yang perlu disadari dan disiasati oleh pihak yang ingin menggunakan media massa sebagai saluran komunikasi.
49
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Etika komunikasi sebagai standar norma dan nilai melampaui etika pers. Dalam etika komunikasi, standar tertinggi pelaksanaan peran pers adalah pertama-tama dan terutama pencapaian keselamatan manusia. Pers dapat dikatakan memenuhi kewajiban etis jika dan hanya jika media menempatkan keselamatan manusia di atas tujuan atau kepentingan apapun.
50
Temuan lapangan menunjukkan masih banyak masalah dalam pelaksanaan etika komunikasi oleh pers dalam meliput bencana, termasuk dan terutama pada situasi darurat. Setidaknya terdapat dua kasus yang dapat ditampilkan di sini. Pertama adalah peliputan respons letusan Gunung Sinabung di Sumatra Utara. Kedua, pemberitaan tsunami akibat gempa Chile. Dalam kasus pemberitaan Sinabung, wawancara dengan sejumlah narasumber31 yang mengetahui peristiwa tewasnya 17 orang akibat awan panas pada 1 Februari 2014, menunjukkan distorsi informasi di media massa. Narasumber mengatakan pemberitaan di media beberapa hari sebelum jatuhnya korban ikut membuat banyak orang mengira situasi gunungapi itu telah kondusif, sehingga warga bebas mendekati pusat erupsi. Narasumber menyebut membaca running text di televisi yang isinya: “Situasi di Sinabung makin kondusif, sebagian pengungsi dibolehkan pulang.� Intonasi pemberitaan di beberapa surat kabar juga mengesankan penurunan aktivitas Sinabung. Sementara itu, menurut pengakuan narasumber, sejumlah warga menyaksikan dua menteri memasuki desa-desa yang oleh PVMBG dinyatakan zona steril. Dalam hal ini, menjadi dapat dimaklumi jika muncul persepsi warga bahwa desa terdampak sudah dapat dikunjungi. Kecenderungan penurunan kewaspadaan dalam peristiwa bencana yang periode ancamannya panjang seperti pada letusan gunungapi merupakan sikap yang diakui banyak mendera pelaku penanggulangan bencana selama ini.32 Setelah satu masa peningkatan ancaman yang diikuti fenomena penurunan, pelaku penanggulangan bencana, dan karena itu masyarakat, kerap menganggap bahaya terbesar sudah lewat. Orang kemudian melonggarkan kesiapsiagaan dan menjadi permisif terhadap perilaku ketidakpatuhan yang berpotensi membahayakan. Penurunan kewaspadaan ini tanpa sadar diteruskan melalui pemberitaan di media dan ditangkap oleh masyarakat sebagai informasi. Pemberitaan yang distortif dan kurangnya keteladanan dari pejabat pemerintahan kita mengakibatkan kebijakan yang dikeluarkan PVMBG tentang zona steril menjadi ambigu dan dimaknai secara berbeda oleh masyarakat. Dalam hal ini, pesan komunikasi yang disampaikan kepada masyarakat menjadi tidak kredibel.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Kasus kedua adalah pemberitaan dampak gempa Chile pada 2 April 2014. Perkiraan BMKG, gempa itu dapat memicu tsunami di Indonesia. Kepanikan masyarakat muncul setelah berita tersebar di media, apalagi dengan penyebutan angka 115 kota terancam gelombang tsunami.
Media pun seolah berlomba menyiarkan kabar itu dengan headline mencekam. Penggalan berita dalam Kotak 4.1 di samping Kotak 4.1. Sumber: kabar24.com mengutip siaran pers BMKG mengenai peringatan ancaman tsunami. Meskipun BMKG sebenarnya jelas menyebutkan bahwa tinggi tsunami maksimal 0,5 meter33, di mana dalam situasi normal ketinggian air tersebut relatif tidak berbahaya, berita tersebut jelas menggaungkan pesan bahaya dan evakuasi. Kotak 4.1 menunjukkan contoh berita distortif.34 Kepanikan berlangsung hingga malam keesokan hari menyusul waktu kedatangan tsunami yang diperkirakan hingga 3 April pukul 19.44 WIB. Sejumlah sekolah sempat diliburkan.35 Evakuasi bahkan dilakukan di wilayah pesisir, seperti Cilacap, Bantul,36 Mentawai,37 Ende, dan Maumere.38 Banyaknya simpang siur informasi di media sosial tentang ancaman tsunami menambah kepanikan dan sekaligus menunjukkan ada yang keliru dengan diseminasi peringatan dini tsunami. Penyebaran peringatan dini ke 115 lokasi dikritik para peneliti gempa dan tsunami karena dianggap berlebihan.39 Beberapa negara, seperti Jepang mencabut peringatan dini tsunami hanya dua jam setelah gempa Chile. Informasi yang tak akurat mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peringatan dini. BMKG telah mengakui bahwa kekurangan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (Indonesia Tsunami Early Warning System/InaTEWS) dan ketergesaan mengumumkan hasil olah data turut berkontribusi terhadap situasi panik di publik.40 Dalam situasi yang mirip di masa depan, BMKG memilih membingkai ulang isi pesan sebelum disampaikan kepada lembaga terkait dan publik.41 Ini termasuk lebih membumikan istilah teknis yang disampaikan kepada masyarakat. Bagi mereka yang awam, status Waspada tsunami dapat ditafsirkan berbeda, sehingga memicu kepanikan.42 Bukti-bukti pemberitaan distortif tersebut menunjukkan ada masalah dalam kualitas konten media dengan potensi distorsi dalam situasi kedaruratan. Proses pembingkaian pesan di media sering tidak mempertimbangkan dampaknya bagi masyarakat, bahwa apakah pemilihan sudut pandang (angle) tertentu dapat memicu kepanikan tak perlu. Banyak informasi krusial seharusnya disampaikan utuh, tetapi hanya diberitakan sepenggal.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
“Pemerintah Provinsi/Kab/ Kota yang berada pada status AWAS diharap memperhatikan dan segera mengarahkan masyarakat untuk melakukan evakuasi menyeluruh. Pemerintah Provinsi/ Kab/Kota yang berada pada status SIAGA diharap memperhatikan dan segera mengarahkan masyarakat untuk melakukan evakuasi.�
51
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Sebaliknya, banyak informasi sensitif disampaikan dengan sembrono dan mendistorsi inti pesan. Dampaknya terhadap efektivitas komunikasi bencana amat signifikan. Berikut ini contoh lain kecerobohan pemberitaan bencana:
52
Gambar 4.5. Tayangan Erupsi Gunung Sinabung Dalam upaya menghasilkan berita yang menarik, media massa juga selalu ingin menjadi yang pertama memberitakan, mendahului media lain. Agar dapat menjadi yang pertama, media pun mengutamakan kecepatan. Pada beberapa keadaan, kecepatan pemberitaan mungkin tidak menimbulkan distorsi informasi. Namun, dalam konteks bencana sebagaimana kerap kita saksikan di media massa, nafsu mengejar kecepatan justru memicu kecerobohan dalam peliputan dan pemberitaan. Peran Media dan Problem Keberlanjutan Edukasi Bencana Kesadaran mengenai peran media dalam edukasi bencana serta penanggulangan bencana secara umum telah mengemuka dari lingkungan pekerja media sendiri. Para jurnalis dari berbagai negara yang menjadi peserta Media Summit on Climate Change, ICTs and Disaster Risk Reduction di Jakarta pada 4-6 Juni 2014 menghasilkan Komitmen Jakarta yang terdiri atas enam poin sebagai berikut: 1. Memastikan bahwa media, terutama penyiaran, secara keseluruhan lebih siap dalam menyampaikan informasi untuk penyelamatan manusia dan mendukung masyarakat pada masa darurat dan bencana. 2. Terus memperkuat organisasi profesional dan penyiaran untuk berkolaborasi mengoptimalkan kualitas dan relevansi program dan peliputan mengenai perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
3. Terus mengembangkan konten program audio-visual tentang dampak jangka menengah dan panjang dari perubahan iklim dan bencana.
5. Memperbaiki manajemen pemberitaan dengan memanfaatkan peran sistem peringatan dini berbasis teknologi, informasi, dan komunikasi, mendorong peran jejaring relawan dalam mendiseminasikan berita perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, membentuk forum kerjasama media dalam upaya meningkatkan kompetensi media meliput perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, serta mengingatkan para pihak mengenai kebutuhan untuk mematuhi prosedur standar operasi dalam hal keamanan jurnalis yang meliput perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana. 6. Meningkatkan peran media sosial, jurnalisme warga, dan media komunitas (stasiun TV dan radio jaringan, lokal, dan regional) dalam mendiseminasikan informasi tentang perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana secara bertanggungjawab. Ke depan, BNPB sendiri dapat menggunakan informasi dari berbagai unit kerja terkait sebagai asupan bahan liputan bagi media pada masa pra dan pascabencana. Dengan demikian, BNPB berperan membentuk media massa menjadi media yang mengkomunikasikan materi pengurangan risiko bencana. Pada saat yang sama, lembaga ini perlu tetap mewaspadai potensi distorsi dalam pemberitaan media. Kemungkinan distorsi informasi juga yang membuat pelaku utama penanggulangan bencana di Kediri enggan menggunakan media massa sebagai kanal informasi kedaruratan erupsi Gunung Kelud pada Februari 2014. Mereka memilih memanfaatkan media komunitas berupa frekuensi RAPI. Komunikasi dilakukan langsung dengan masyarakat terdampak melibatkan pengguna radio komunikasi. Mereka adalah warga lokal yang mempunyai kepedulian lebih tinggi karena faktor keterikatan dan tanggung jawab terhadap keselamatan warga setempat.43
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
4. Melanjutkan peningkatan ketrampilan profesional anggota organisasi terkait agar semakin baik dalam memberitakan isu-isu relevan melalui pengembangan program pelatihan dan inisiatif lainnya secara lebih komprehensif.
53
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 54
Gambar 4.6. Sistem Komunikasi Lokal saat Erupsi Kelud Kantor Camat Ngancar di Kediri dijadikan pos informasi (media center) kedaruratan sejak status Kelud naik menjadi Waspada pada 2 Februari 2014. Pada setiap waktu yang ditentukan, Camat Ngancar yang disuplai dengan informasi terbaru dari Pos PGA Kelud setiap hari berbicara di radio. Siaran ini didengarkan tidak hanya di Kediri, tetapi juga dipancarkan hingga Malang dan Blitar.44 Informasi dari satu sumber kredibel yang dikenal masyarakat yang disampaikan lewat satu kanal yang disterilkan hanya untuk komunikasi kedaruratan itu memungkinkan masyarakat terdampak menerima informasi tanpa distorsi. Masyarakat terdampak menjadi pihak yang pertama menerima informasi langsung dari sumber. Sejumlah warga yang terlibat dalam respons Kelud mengatakan masyarakat akhirnya tidak gampang percaya kepada desas-desus yang berkembang di luar, termasuk di media sosial dan media massa. Mereka selalu dapat mengonfirmasi kebenaran berita lewat radio atau dengan mendatangi media center. Praktik komunikasi kedaruratan yang sederhana, namun luar biasa ini menjadi pelajaran yang sangat berharga. Komunikasi bisa efektif karena masyarakat sejak jauh
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
hari juga telah disiapkan. Sosialisasi dan proses edukasi mengenai bahaya gunung dilakukan berbulan-bulan, bahkan beberapa tahun sebelumnya, yakni pasca aktivitas Kelud tahun 2007. Ini sekaligus menunjukkan komunikasi kedaruratan dapat dilakukan tanpa media arus utama. Hasilnya bahkan sangat efektif.
Kebaikan Bersama untuk Hidup Bersama RAPI Lokal 6
Jangkar Kelud Keterikatan Kultural, Sosial, dan Bela Rasa
Mitigasi Kultural
CamatDanramil-PGA Kelud
Mitigasi Kultural
Kelud FM
Masyarakat Terdampak
Gambar 4.7. Skema Komunikasi Kultural Kediri Skema di atas adalah gambaran metaanalisis mengenai motif yang menggerakkan keswadayaan masyarakat Kecamatan Ngancar, Kediri, dalam menanggapi erupsi Gunung Kelud. Terdapat tiga pelaku kanalisasi komunikasi antara pimpinan daerah kecamatan dengan masyarakat terdampak, yaitu Jangkar Kelud, Kelud FM, dan RAPI Lokal 6 Kediri. RAPI adalah organisasi radio antar penduduk, yang relatif lebih tua dibanding Jangkar Kelud dan Kelud FM. Pengguna radio komunikasi RAPI umumnya hobi terhadap radio dan komunikasi. Mereka mengadakan peralatan secara mandiri dan rutin ‘bertemu’ di frekuensi RAPI untuk berdialog dan aktivitas komunikasi lainnya. Jangkar Kelud adalah organisasi masyarakat yang menaungi tiga kabupaten sekaligus, yaitu Kediri, Malang, dan Blitar (10 kecamatan dengan 37 desa). Jangkar berdiri tahun 2008 sebagai respons masyarakat setelah erupsi Kelud tahun 2007. Organisasi ini berbentuk perkumpulan dengan badan hukum disahkan pada 2009. Sementara itu, Kelud FM berdiri tahun 2010 (inisiatif sejak 2009) di Desa Sugihwaras, Ngancar. Pengelolanya sekitar 15 orang dengan dana bersumber dari swadaya dan iklan, seperti iklan layanan masyarakat pemerintah lokal, pemilu, keluarga berencana, sekolah, dan lain-lain. Misi Kelud FM adalah edukasi masyarakat di lereng Kelud tentang cara hidup yang ramah dengan gunung. Jam siarannya mulai pukul 10.00 hingga 23.00. Saat erupsi, siaran berlangsung mulai pukul 06.00 karena Camat Ngancar memberikan informasi perkembangan gunung tiga kali sehari, yakni pukul 06.00, 13.00, dan 19.00.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Keselamatan Warga Kediri-Blitar-Malang
55
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 56
Selama masa mitigasi dan tanggap darurat, Kelud FM mendedikasikan 60% waktu siaran untuk menyiarkan perkembangan Kelud. Petugas Pos PGA dan Camat memberikan dukungan dan bimbingan dalam menyiarkan berita kebencanaan. Kondisi itu menjadikan Kelud FM rujukan berita media massa lain dalam hal Kelud. Salah satu yang sangat ditekankan para pelaku komunikasi di sini adalah bahwa yang membutuhkan informasi mengenai Kelud adalah warga di sekitar gunung itu sendiri, bukan orang luar. Maka, prioritas berita dan sasaran siaran Kelud FM adalah masyarakat yang terdampak langsung. Dengan memahami kesejarahan tiga pihak yang berfungsi sebagai kanal komunikasi di Kediri tersebut, jelas bahwa ketiganya adalah buah inisiatif masyarakat. Mereka adalah anggota masyarakat yang tinggal di lokasi terdampak bencana yang hadir untuk memenuhi panggilan keterlibatan. Kelud menjadi urusan warga masyarakat, maka keterikatan sosio-kultural ini menjadi motif utama. Keterikatan sosio-kultural kemudian berkembang menjadi tanggung jawab sosial untuk berbela rasa (compassion) terhadap masyarakat terdampak yang menghadapi ancaman erupsi. Motif inilah yang menggerakkan tindakan untuk melakukan edukasi tentang hidup dalam ancaman bencana dan bagaimana menyikapinya dengan bijak. Tindakan ini kemudian yang mendorong sosialisasi ke masyarakat mengenai ancaman dan mitigasi bencana gunungapi setelah erupsi 2007. Upaya edukasi bencana dilakukan dengan menghormati kebutuhan warga, termasuk dalam keperluan menjelaskan ritual adat dalam perspektif baru. Mitigasi kultural diperlukan karena masyarakat membutuhkan penjelasan yang melampaui penalaran pengetahuan modern yang terkait dengan sistem kepercayaan setempat. Bela rasa kepada masyarakat terdampak muncul sebagai kebutuhan sebab mereka pertamatama adalah bagian dari masyarakat tersebut. Tanpa masyarakat di mana mereka tinggal, keberlangsungan kehidupan yang terjadi saat ini menjadi tidak punya arti. Kebaikan bersama itu menjadi bagian utama dari kehidupan bersama. Ke-kita-an dalam hidup bersama menguat sebagai spirit dalam mitigasi: bedo ing karso manunggaling roso (berbeda kehendak, namun senasib sepenanggungan).45 Dalam hal media massa, pada masa tanggap darurat, biasanya pemberitaan tidak bertahan lama jika teralihkan oleh isu lain.46 Namun, pemberitaan media mampu memicu solidaritas sosial untuk membantu korban bencana. Solidaritas sosial dapat disaksikan dalam hampir semua peristiwa bencana yang disorot media massa secara masif, seperti erupsi Kelud, banjir Jakarta, banjir Manado, gempa Yogyakarta, letusan Merapi, hingga tsunami Aceh dan Nias. Terdapat beberapa contoh baik peran media dalam mengedukasi pengurangan risiko, misalnya program Ekspedisi Cincin Api Kompas serta program dokumentasi
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Eagle Award di Metro TV. Ekspedisi Cincin Api merupakan liputan komprehensif mengenai gunungapi aktif di seluruh Indonesia yang dipublikasikan melalui televisi, internet, surat kabar, dan buku. Sementara itu, penayangan film dokumenter tentang bencana dalam program Eagle Award memungkinkan kisah-kisah edukatif mengenai bencana memasuki ruang-ruang keluarga. Ini cara yang ramah dan komunikatif untuk mensosialisasikan bencana kepada masyarakat.
Negara sebagai penanggung jawab penanggulangan bencana dapat mengompensasi konsekuensi biaya yang dikeluarkan tersebut. Wujudnya dapat berupa membuat kerjasama edukasi pengurangan risiko bencana dengan media melalui skema kemitraan pemerintah dan swasta (public-private partnership). Selain itu, skema tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), insentif pajak, dan lain-lain. Dengan demikian, edukasi pengurangan risiko bencana melalui media menjadi berkelanjutan (sustainable).
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Disadari bahwa ada konsekuensi terkait mahalnya biaya produksi untuk program edukasi semacam ini. Selain itu, dari sisi media, penayangan program pada jam tayang utama berpotensi mengurangi pendapatan media bersangkutan. Namun, karena target edukasi bencana adalah keluarga maka penayangan program itu baru akan menjadi bermakna jika dilakukan pada saat keluarga berpeluang besar menyaksikan tayangan tersebut, dalam hal ini pada sore hari atau hari libur.
Edukasi Bencana dan Akses terhadap Media
57
Dalam tiga tahun terakhir, BNPB telah membangun hubungan yang cukup baik dengan media. Semua narasumber wartawan yang pernah berhubungan dengan BNPB memuji kecepatan lembaga ini dalam menyampaikan berita, serta kemudahan yang diberikan kepada wartawan untuk mewawancara pejabat terkait. Mengenai kecepatan, tidak banyak lembaga atau instansi teknis pemerintah yang seperti BNPB. BNPB juga sangat detail memberikan informasi kejadian bencana.47 Hasil kajian terhadap kegiatan BNPB menunjukkan bahwa media arus utama menjadi kanal yang paling diandalkan untuk menyampaikan informasi atau melakukan komunikasi massa tentang bencana.48 BNPB menggunakan media arus utama sebagai kanal penyampaian informasi bencana pada semua fase penanggulangan, yakni pra, saat kedaruratan, tanggap darurat, serta pascabencana. Karena BNPB sendiri masih lebih banyak berkomunikasi saat terjadi bencana, tak heran bahwa media juga terutama digunakan pada saat kedaruratan dan tanggap darurat. Penggunaan media untuk kepentingan edukasi bencana, apalagi yang mempertimbangkan aspek psiko-sosio-kultural masyarakat sasaran belum dilakukan. Narasumber media mengapresiasi kecepatan dan kerincian informasi dari BNPB. Informasi yang diperoleh dijadikan petunjuk untuk mencari informasi lain. Mereka
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
berharap BPBD dan SKPD di daerah dapat mengikuti kinerja BNPB dalam hal kecepatan dan kerincian informasi tersebut. Dalam banyak kasus, wartawan mengaku sulit memperoleh informasi di daerah, baik pada kondisi bencana maupun normal. Mereka juga sering mengalami perbedaan antara data yang diberikan sejumlah instansi dengan data BNPB.49
58
Pada sisi lain, BNPB belum memiliki program komunikasi dengan media komunitas. Kebanyakan program yang melibatkan media komunitas diinisiasi oleh LSM dan perguruan tinggi. Radio komunitas bencana kebanyakan terbentuk setelah ada kejadian dan dipengaruhi kesadaran pemerintah mengenai penyebarluasan informasi bencana. Ketersediaan dan keandalan sumber daya setempat menentukan pilihan mengenai media yang paling tepat digunakan untuk komunikasi bencana. Tabel 4.10 hingga 4.14 menampilkan kelebihan dan kekurangan jenis media dalam hal jangkauan, konten, dan kecepatan. Tabel 4.10. Media Cetak dalam Komunikasi Bencana Tahap Pra bencana
Saat darurat
Jangkauan, Kelebihan Konten, Kecepatan + Informasi biasanya ďƒź Relevan untuk lebih mendalam menjangkau dibanding media lain kelompok sasaran kelas menengah + Cocok untuk atas di perkotaan kelompok sasaran dengan konten menengah atas di analitik dan tidak perkotaan memerlukan + Penyuntingan berita medium interaktif biasanya lebih teliti dibanding yang lain + Mekanisme ralat lebih solid dan terdokumentasi ďƒť Tidak relevan karena tidak sampai seketika kepada mereka yang butuh
+ Tidak ada
Kekurangan - Jangkauan terbatas. Tidak dibaca di pelosok atau warga terdampak - Informasi tidak dapat dimuat seketika - Tidak interaktif; terbatas dengan ekspresi bahasa tulis dan gambar - Kecuali iklan, isi yang sama hanya bisa dimuat sekali - Kalah oleh waktu. Informasi tak dapat dimuat seketika - Jangkauan terbatas. Tidak sampai pelosok
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Jangkauan, Kelebihan Konten, Kecepatan Tanggap Kurang relevan + Dapat menganalisis isu dari berbagai sudut bagi penyintas darurat pandang yang tinggal di pos pengungsian + Penyuntingan berita biasanya lebih teliti dibanding yang lain + Mekanisme ralat lebih solid dan terdokumentasi Pasca + Memungkinkan Relevan pembahasan sebagai media bencana mendalam pengawasan pemulihan + Memungkinkan keadaan pembaca mengetahui pascabencana perkembangan situasi lebih lengkap + Dokumentasi solid
Kekurangan − Praktis tidak dibaca di pengungsian, apalagi media nasional − Tak dapat memuat informasi seketika − Tidak interaktif; terbatas bahasa tulis dan gambar − Tak dapat memuat informasi seketika − Jangkauan terbatas di perkotaan − Tidak interaktif; terbatas dengan ekspresi bahasa tulis dan gambar
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Media cetak membutuhkan waktu lebih lama untuk menyampaikan informasi bencana dibanding media lain. Meski demikian, ulasan media cetak cenderung lebih baik dan mendalam. Media cetak lokal lebih baik dalam penjangkauan dibanding media nasional, termasuk dalam pembahasaan yang membuatnya lebih mudah dimengerti warga lokal. Meski demikian, jangkauannya tidak menjamin tingkat akses dari kelompok rentan, terutama yang tinggal di wilayah terpencil dan buta huruf.
Tahap Pra bencana
Tabel 4.11. Televisi dalam Komunikasi Bencana Jangkauan, Kelebihan Kekurangan Konten, Kecepatan + Menjangkau hingga − Penayangan pada Relevan untuk perdesaan; diakses jam utama harus menjangkau semua kalangan bersaing dengan hingga perdesaan konten yang populer, dengan konten + Audio visual seperti sinetron audio visual memungkinkan − Kurang penerimaan lebih memungkinkan konkrit dialog interaktif, + Memungkinkan relatif dibanding pengulangan konten radio + Informasi dapat − Tarif iklan lebih dimuat seketika mahal
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tahap
59
Tahap
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Saat darurat
Jangkauan, Kelebihan Konten, Kecepatan + Informasi dapat Relevan untuk dimuat seketika diseminasi secara live seketika kepada publik, tetapi + Menjangkau hingga harus ada perdesaan kanal lain yang + Memungkinkan langsung ke pengulangan terusmereka yang menerus terdampak, mengingat potensi distorsi
Kekurangan − Rentan dramatisasi yang menimbulkan kepanikan − Rentan terhadap editing tergesagesa, bahkan tanpa editing − Rentan terhadap simpangsiur informasi ketika media mencari sendiri info di luar yang disampaikan otoritas
Tanggap darurat
Relevan untuk menyebarkan informasi secara meluas dalam seketika
+ Informasi dapat + Rentan dramatisasi disampaikan seketika + Rentan reduksi + Biasanya tetap diakses informasi (running penyintas text) + Bisa menyebar + Rentan luas ke luar daerah menimbulkan tafsir terdampak berbeda terhadap inti pesan
Pasca bencana
Relevan untuk menyebarkan informasi secara meluas dalam seketika
+ Informasi dapat − Rentan reduksi disampaikan seketika informasi (terutama running text) + Memungkinkan penyebaran luas − Kurang bisa dialog interaktif, relatif + Bisa mengulang dibanding radio informasi
60
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Televisi lebih cepat menyampaikan informasi dan mudah diakses oleh mereka yang tinggal di daerah dengan ketersediaan energi listrik memadai. Namun, karena sifatnya yang mengejar kecepatan, televisi memiliki kekurangan dalam akurasi dan kedalaman. Bagi mereka yang hidup di daerah terpencil dengan infrastruktur yang buruk, akan sulit mengakses informasi melalui televisi. Selain itu, karena kecepatan dan kedangkalan pengolahan, sangat mungkin terjadi misleading informasi. Kecepatan sering berubah menjadi ketergesaan.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 4.12. Radio dalam Komunikasi Bencana Jangkauan, Kelebihan Konten, Kecepatan Pra + Informasi dapat Relevan untuk seketika menjangkau bencana kelompok sasaran + Jangkauan cukup yang memerlukan luas di kota dan interaktivitas pinggir kota + Bisa mengulang informasi + Bisa interaktif + Tarif iklan murah Saat + Informasi seketika Relevan jika frekuensi yang darurat + Mampu menjangkau ada sepenuhnya pinggir kota didedikasikan + Bisa mengulang untuk informasi penyampaian informasi darurat + Interaktif + Bisa beroperasi tanpa saat kejadian listrik PLN Tanggap Relevan untuk + Informasi dapat seketika menyampaikan darurat perkembangan + Mudah diakses penanggulangan penyintas bencana secara + Bisa mengulang interaktif informasi + Bisa interaktif Pasca + Bisa interaktif Relevan untuk menyampaikan bencana + Mudah diakses baik perkembangan warga terdampak secara interaktif maupun di luar
Kekurangan − Terbatas pada bahasa tutur − Jumlah pengguna radio terus menurun
− Pengguna terus turun
− Reporter terbatas di kota besar − Saat live, kualitas informasi amat bergantung kepada reporter; editing lemah − Reporter terbatas di kota besar − Jumlah pengguna radio terus menurun
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Radio memiliki kekurangan dan kelebihan yang mirip dengan televisi. Perbedaan terletak pada biaya produksi konten dan penjangkauan. Pada radio, dengan biaya lebih murah, durasi siaran bisa lebih panjang. Radio lokal seperti di Yogyakarta cukup banyak yang bersiaran 24 jam, sehingga memungkinkan digunakan untuk mengkomunikasikan bencana setiap saat (real time). Selain itu, jangkauan siaran radio, misalnya RRI Jakarta, melalui frekuensi AM (Amplitudo Modulation) dan SW (Shortwave) dapat diterima hingga level nasional.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tahap
61
Tabel 4.13. Media Daring dalam Komunikasi Bencana
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tahap
62
Jangkauan, Kelebihan Kekurangan Konten, Kecepatan Pra + Cocok untuk − Perlu jaringan Hanya kelompok menengah internet relevan untuk bencana atas di perkotaan menjangkau − Jangkauan perkotaan + Bisa interaktif perkotaan dengan akses + Tarif iklan lebih murah − Standar jurnalistik internet lebih longgar − Reporter terbatas di kota besar Saat + Tidak ada − Sering mengejar Tidak relevan kecepatan sebab rentan darurat dibanding akurasi terhadap distorsi, baik saat − Kerap memuat foto editing maupun bencana tidak sesuai penjangkauan kondisi sebenarnya. − Editing lemah − Reporter terbatas di kota besar − Tergantung internet Tanggap Hanya + Informasi dapat − Relatif tidak disampaikan cepat diakses penyintas relevan untuk darurat menjangkau + Menjangkau warga − Jangkauan terbatas perkotaan perkotaan dengan kepada yang dengan akses akses internet memiliki akses internet internet + Informasi dapat − Reporter terbatas Pasca Hanya di kota besar disampaikan cepat relevan untuk bencana menjangkau + Menjangkau warga − Jangkauan terbatas perkotaan perkotaan dengan ke mereka dengan dengan akses akses internet akses internet internet Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Praktis hanya mereka yang memiliki koneksi internet yang dapat mengakses media daring. Ini membuat media ini bergantung kepada ketersediaan infrastruktur. Tentu saja, dalam hal ini akses masyarakat perkotaan menjadi lebih baik dibanding perbatasan dan perdesaan. Dengan demikian, jangkauan media daring lebih terbatas dibanding televisi dan radio. Selain itu, pengguna media daring biasanya adalah masyarakat yang terdidik secara digital. Karena kecepatannya, media daring juga menghadapi persoalan akurasi dan kedalaman informasi.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 4.14. Radio Komunitas dalam Komunikasi Bencana Jangkauan, Kelebihan Konten, Kecepatan Pra + Aspek kelokalan Relevan, konten bisa disesuaikan bencana + Berbasis masyarakat dengan psiko+ Reporter biasanya sosio kultural warga lokal masyarakat + Ada yang memang radio bencana + Bisa interaktif Saat Relevansi sangat + Ada yang memang radio bencana tinggi karena ada darurat yang didirikan + Berita disampaikan memang langsung dari lokasi untuk bencana + Reporter warga lokal dan berbasis dengan ikatan psikomasyarakat sosio-kultural tinggi + Mudah verifikasi + Aspek kelokalan + Tidak komersial + Mudah diakses Tanggap Relevan sebab + Tidak komersial tidak komersial, darurat + Reporter biasanya berbasis orang lokal masyarakat, dan + Berbasis masyarakat mudah diakses di + Aspek kelokalan pengungsian + Mudah diakses + Bisa interaktif Pasca + Bertahan paling lama Relevan karena di lokasi bencana bertahan lebih bencana lama di lokasi + Tidak komersial bencana dengan + Berbasis masyarakat kemungkinan + Bisa interaktif dialog interaktif
Kekurangan − Jangkauan terbatas 2,5 km − Reporter biasanya tidak memiliki latar belakang jurnalistik − Jam siaran terbatas − Jangkauan terbatas − Pendengar radio cenderung menurun
− Daya jangkau terbatas − Kapasitas jurnalistik relatif rendah
− Jangkauan terbatas − Kapasitas jurnalistik relatif rendah − Infrastruktur terbatas, berhenti siaran jika stasiun kena bencana
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Karakteristik radio komunitas adalah penggunaan bahasa lokal, sehingga lebih mudah diterima dan dipahami masyarakat setempat. Kondisi ini memungkinkan kontekstualisasi penyampaian informasi kebencanaan dalam edukasi pengurangan risiko. Beberapa pemda di daerah yang dikunjungi menunjukkan komitmen untuk
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tahap
63
membiayai produksi konten radio komunitas. Hal ini menguntungkan karena radio komunitas dapat hadir secara berkelanjutan.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Kelemahannya adalah jangkauan yang terbatas, yaitu maksimal 2,5 km (sesuai regulasi kementerian terkait). Artinya, untuk menjangkau masyarakat terpencil perlu memperbanyak stasiun pancar ulang untuk meneruskan siaran edukasi pengurangan risiko dari stasiun utama, baik di tingkat kota/kabupaten, provinsi, maupun nasional.
64
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa perkembangan TIK mempengaruhi akses terhadap media. Namun, sayangnya peningkatan akses ke media karena perkembangan TIK tersebut hanya dapat dinikmati mereka yang tinggal di wilayah dengan infrastruktur yang baik dan dapat diandalkan. Secara kuantitas, dalam konteks kebencanaan, perkembangan media dan TIK justru belum menjangkau mereka yang tidak terjangkau. Survei global Edelman tentang kepercayaan publik menyebut tingkat kepercayaan orang Indonesia terhadap media massa cukup tinggi, bahkan tertinggi di dunia pada 2012.50 Televisi adalah media yang paling banyak diakses masyarakat, menurut survei Kementerian Komunikasi dan Informasi pada 2011, lebih tinggi dibanding radio.51 Data Nielsen (2014) menunjukkan konsumsi media cetak justru turun, seiring naiknya konsumsi media daring. Hal ini bisa dipahami mengingat kemudahan akses dan kecepatan berita media daring.52 Peningkatan akses media daring sejalan dengan pertumbuhan penggunaan TIK. Daya tarik media daring tinggi karena fitur yang semakin ramah pengguna (user friendly), termasuk penyediaan tautan berita di media sosial. Namun, kemudahan ini juga berisiko ketika pengguna tidak mengonfirmasi kebenaran berita dari sumber lain. Akibatnya, media sosial mengandung problem akurasi. Sebagian pengakses media daring adalah pengguna telepon pintar (smartphone). Mobilitas telepon pintar yang lebih tinggi dibanding peranti lain memudahkan pengguna untuk menyebarkan informasi. Problemnya adalah, validitas informasi kerapkali tidak diutamakan. Dalam kasus bencana, ini tampak dalam penyebaran foto erupsi Kelud tahun 2007 saat letusan 2014.53 Situasi ini berkontribusi terhadap timbulnya kepanikan warga. 4.3. Ketangguhan Komunikasi di Masyarakat, Mungkinkah? Undang-undang 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana Pasal 1 menyebutkan setidaknya tiga terminologi yang dapat dipakai untuk mendekati pengertian ‘masyarakat’ dalam penanggulangan bencana. Pertama adalah ‘setiap orang,’ yang berarti “orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum.” Kedua ‘pengungsi,’ yakni “orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat tinggal untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.” Ketiga ‘korban bencana,’ yaitu “orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia akibat bencana.”
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Secara umum, masyarakat dalam “proyek� penanggulangan bencana masih menjadi objek komunikasi. Objek di sini adalah pihak yang dikenai aktivitas. Kalaupun terlibat, peran masyarakat terbatas pada memberi informasi mengenai kejadian atau menanggapi program pemerintah dan pihak lain. Sebagai contoh, dalam penyusunan rencana kontijensi, tidak ada masyarakat yang menginisiasi, merancang, mensimulasikan, dan menggunakannya sendiri dalam operasi penanggulangan bencana, kecuali di Kediri dalam erupsi Gunung Kelud. Pendekatan penanggulangan bencana secara umum saat ini mulai banyak yang berbasis masyarakat. Namun, hampir selalu pihak luarlah yang menginisiasi dan menyusupkannya sebagai agenda masyarakat. Selain bukan masyarakat yang berinisiatif, ini juga menunjukkan bahwa pendekatan penanggulangan bencana cenderung berjarak dengan masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan penanggulangan bencana lebih banyak menggunakan LSM, lembaga non pemerintah, dan lembaga komersial untuk bekerja dengan masyarakat. Situasi tidak akan berubah bila pemda tidak menginisiasi dari dalam masyarakat untuk mengintroduksi skenario penanggulangan bencana. Dalam komunikasi bencana, masyarakat cenderung memposisikan diri sebagai komunikan. Di sisi penyelenggara penanggulangan bencana, belum ada program komunikasi yang langsung bersentuhan dengan masyarakat, apalagi yang terkait dengan upaya membangun ketangguhan komunikasi bencana di tingkat akar rumput. Program yang ada lebih banyak ditujukan untuk komunikasi antar lembaga, komunikasi dengan pihak non pemerintah, maupun komunikasi dengan media massa. Bagian ini memaparkan dinamika komunikasi bencana di tingkat masyarakat, termasuk upaya bertahan (survive) dari ancaman bencana dengan menggunakan komunikasi massa yang diselenggarakan oleh mereka sendiri. Kebutuhan Komunikasi Dari hasil wawancara masyarakat dalam berbagai kategori, ditemukan keragaman kebutuhan komunikasi berdasarkan pengalaman mereka menghadapi bencana. Kebutuhan tersebut mencakup kebutuhan praktis maupun strategis yang tidak bisa dipenuhi masyarakat secara mandiri. Masyarakat mengusulkan berbagai hal
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
UU Nomor 24 juga memunculkan terminologi kelompok masyarakat rentan bencana (kadang disingkat kelompok rentan atau masyarakat rentan). Penjelasan atas Pasal 26 menyebutkan bahwa yang dimaksud masyarakat rentan bencana adalah “anggota masyarakat yang membutuhkan bantuan karena keadaan yang disandangnya, di antaranya masyarakat lanjut usia, penyandang cacat, anak-anak, serta ibu hamil dan menyusui.�
65
terkait kebutuhan komunikasi yang disadari masih mengandung potensi distorsi bila diselenggarakan pihak lain. Namun, potensi distorsi tersebut berkurang jika pemerintah yang menyelenggarakannya. Adapun ringkasan ragam kebutuhan komunikasi masyarakat ditampilkan dalam tabel berikut:
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Tabel 4.15. Ragam Kebutuhan Komunikasi
66
Tahap
Jenis Pesan
Prabencana Persiapan menghadapi bencana Pemetaan jalur evakuasi Simulasi evakuasi
Saat bencana
Informasi evakuasi
Pasca bencana
Media Brosur, selebaran, TV, radio HT dan rig
Tatap muka (praktik), HT Masyarakat di daerah yang tidak melakukan simulasi menjadi panik ketika memonitor frekuensi HT, sirene EWS, Stasiun pancar ulang (repeater) tak berfungsi kentongan, dari mulut saat listrik padam/ ke mulut, pengeras baterai habis suara di tempat ibadah, seperti masjid Informasi tidak sampai karena lokasi tidak terjangkau radio
Penyisiran dampak bencana
HT, dari mulut ke mulut
Keamanan rumah yang ditinggalkan Informasi pemulangan Perpindahan pos pengungsi
Pertemuan dengan perangkat desa, HT, telepon seluler Sosialisasi dengan perangkat desa Sosialisasi tatap muka
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Bentuk Distorsi Komunikasi Keragaman/perbedaan isi yang menimbulkan kebimbangan masyarakat Jamming frekuensi
Pemerintah lokal lebih dahulu mengungsi Tidak ada wakil masyarakat, sehingga menciptakan tafsir yang berbeda dengan temuan Informasi sampah (isu) yang muncul di media sosial Disampaikan bukan oleh pihak yang kredibel Masyarakat tidak paham alasan pemindahan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Dalam praktiknya, seperti di Bantul, Yogyakarta, penggunaan kentongan biasanya disertai cara komunikasi lain, termasuk memukul tiang listrik dan telepon. Penggunaan alat semacam itu perlu ditingkatkan efektivitasnya dengan mengkaji ulang dan melibatkan masyarakat dalam hal kesandian, operator, dan prosedur. Tujuannya masyarakat mampu mengelola kepanikan saat darurat. Ini kunci komunikasi demi terselenggaranya evakuasi mandiri. Masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana berharap dukungan komunikasi yang disediakan pihak luar benar-benar memperhatikan kebutuhan kontekstual mereka. Secara garis besar, Tabel 4.16 menampilkan kebutuhan dan prinsip komunikasi dimaksud. Tabel 4.16. Kebutuhan Penyelenggaraan Komunikasi
Tahap
Penyelenggaraan Komunikasi
Prabencana
Saat bencana
Sistem peringatan dini dan informasi evakuasi disebarkan merata, termasuk di daerah yang jauh dari hunian padat Disampaikan oleh komunikator dan media (secara) kredibel Menggunakan media riil, bukan virtuil Kecepatan dan kepastian informasi menentukan kesempatan evakuasi Penggunaan bahasa yang mudah dimengerti, sederhana, dan tak bias. Jika perlu, memakai bahasa campuran lokal-nasional
Komunikasi secara verbal lebih diutamakan daripada tertulis Komunikasi disertai dengan peragaan (praktik) Pelibatan warga (negosiasi) dalam keputusan skenario evakuasi (darurat) Terdapat media khusus penyandang disabilitas
Pascabencana Pelibatan warga (negosiasi) dalam keputusan skenario pemulangan/relokasi Sosialisasi mengenai keputusan/kebijakan terkait dilakukan selama masyarakat masih tinggal di pengungsian Kepastian kehidupan masyarakat pascabencana diutamakan Terdapat media khusus penyandang disabilitas Sumber: Olah data konsultan, 2014.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Masyarakat masih mengharapkan penggunaan instrumen tradisional, seperti kentongan sebagai alat komunikasi. Persoalannya, penggunaan alat seperti kentongan tidak lagi dengan sandi atau kode bunyi yang memiliki arti. Alat itu hanya dibunyikan sekenanya pada situasi darurat. Sebagian warga terbantu oleh suara khasnya, namun sebagian lain merasa semakin panik mendengar suara yang monoton, keras, dan terus-menerus.
67
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA 68
Komunikasi bagi masyarakat berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas perlu dibedakan apabila layanan yang ada belum mengakomodasi kebutuhan mereka. Komunikasi bencana belum terstruktur. Para penyandang disabilitas tidak dapat mempolakan komunikasi bencana berdasarkan pengalaman mereka. Mereka akhirnya mengandalkan keluarga dan kerabat agar selamat pada saat darurat. Harapan mereka yang perlu digarisbawahi adalah agar komunikasi bencana selain pada tahap kedaruratan disampaikan dengan media yang ramah terhadap kondisi disabilitasnya. Saat ini, media komunikasi bencana untuk penyandang disabilitas dapat dikatakan masih langka. Tabel 4.17. Saluran Komunikasi bagi Penyandang Disabilitas Ragam Saluran Konten Poster/leaflet/ Untuk tips khusus modul disabel sebelum simulasi Kegiatan Bermanfaat sosialisasi karena bisa tanya jawab Televisi nasional Informasi berbeda dengan kondisi sebenarnya Info gempa susulan
Cara Penyampaian Media Penyampaian Perlu diperagakan Untuk anak sekolah, keluarga (yang bisa membaca) Tepat untuk yang Relevan untuk jarang membaca daerah perdesaan dan buta huruf Efektif karena Relevan memakai running dengan catatan penyampaian cepat text dan informasi akurat Dilanjutkan Memadai karena sosialisasi di wilayah sebagian besar wilayah terjangkau terdampak siaran TV nasional
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Sementara itu, ibu hamil dan kaum lanjut usia (lansia) relatif minim mendapatkan informasi yang sesuai dengan kondisi mereka, baik pada saat darurat maupun selama tinggal di pengungsian. Sebagian besar mereka mendapatkan informasi dari saudara, kerabat, tetangga. Mereka menganggap sumber informasi tersebut kredibel. Jika dimanfaatkan dengan baik, jejaring sosial di tingkat masyarakat ini dapat diposisikan sebagai modalitas komunikasi akar rumput yang sangat memperkuat ketangguhan komunikasi bencana. Proses di lereng Kelud jelas menampilkan hal ini. Masyarakat mempersiapkan diri dengan menerapkan ‘pohon komunikasi’ yang disusun beberapa bulan sebelum gunung meletus. Tabel 4.18 menjelaskan kebutuhan ibu hamil dan kaum lansia yang sudah maupun belum dipenuhi berdasarkan pengalaman menghadapi bencana.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 4.18. Kebutuhan Komunikasi Ibu Hamil dan Kaum Lansia
Simulasi dan ujicoba jalur evakuasi
Saat Perintah evakuasi bencana
Pasca bencana  Â
Sudah/Belum Terpenuhi Sudah, namun tidak merata Ada informasi, tetapi hanya sampai titik kumpul, lalu menunggu arahan perangkat
Alasan/Keterangan Perlu pengetahuan mitigasi agar siap saat darurat Simulasi di kabupaten/ kota, tidak di tingkat desa/dusun
Sudah via sirene, Kepastian mengungsi pengeras suara masjid, mulut ke mulut
Info layanan kesehatan Belum
Pertolongan
Pertolongan kelahiran Belum
Pertolongan
Pertolongan bayi
Belum
Agar bayi tetap sehat
Pembedaan lokasi pengungsian ibu hamil, balita, orang tua, pengungsi biasa
Belum
Kenyamanan dan kemudahan untuk penanganan
Makanan untuk balita/bayi
Belum, hanya susu dan makanan balita, serta pertolongan jika diminta
Informasi kondisi tempat tinggal
Belum, karena rumah di Siap kembali ke kawasan rawan bencana kampung halaman
Informasi pembersihan
Terpenuhi, tidak merata
Siap kembali ke kampung halaman
Informasi pemulangan
Terpenuhi, tidak merata
Agar tidak terlalu lama tinggal di pengungsian
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Informasi yang Dibutuhkan Pra Ancaman di lokasi bencana tempat tinggal Tahap
69
Selama mengungsi tidak ada penghasilan sehingga perlu bantuan
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Secara umum, ibu hamil dan kaum lansia memerlukan informasi mengenai evakuasi yang kontekstual (ramah) dengan kondisi dan kebutuhan mereka dan anak-anak mereka, terutama balita pada saat darurat. Adapun pada fase pascabencana, ibu hamil dan kaum lansia, karena situasi yang lebih rentan dibanding pengungsi lainnya, membutuhkan informasi kesehatan. Ini perlu dipastikan tersedia selama di pengungsian dengan menggunakan jalur yang ada di wilayah bersangkutan, seperti kelompok PKK, Posyandu, dan lainnya.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Peran media massa diperlukan pada masa prabencana. Edukasi bencana dinilai masih sangat kurang. Anggota masyarakat siap berpartisipasi, namun pengalaman mereka tidak memadai untuk melakukan pendidikan penanggulangan bencana bagi lingkungannya sendiri. Dokumentasi tertulis sangat minim.
70
Pendidikan bencana dalam bahasa tutur, seperti Smong di Pulau Simeulue, Aceh, terbukti efektif dalam menyadarkan masyarakat tentang bahaya dan membantu respons saat darurat. Namun, tidak semua masyarakat memiliki warisan pengetahuan semacam ini. Ketiadaan pengetahuan bersama yang disampaikan turun-temurun sebagai bagian dari edukasi bencana ini yang dihadapi masyarakat Karo saat erupsi Sinabung. Gunung ini telah tertidur sekitar 400 tahun (lebih dari lima generasi). Begitu ia beraktivitas, masyarakat tak siap. Hal sama terjadi dalam gempa bumi 2006 di Yogyakarta. Masyarakat tidak siap dengan gempa yang sangat besar. Kesiapan ini berbeda dengan masyarakat di sekitar kawasan Gunung Merapi yang relatif memiliki banyak pengalaman menghadapi letusan. Dalam hal ini, perlu upaya terobosan berupa penggalian ‘ajaran’ lokal mengenai bencana dan tindakan penanggulangan yang kontekstual di tiap daerah. Upaya itu dapat membantu mendekatkan pemahaman pengetahuan modern dengan sistem kepercayaan setempat, sekaligus menemukan prasyarat komunikasi yang efektif dalam situasi darurat. Komunikasi yang Ramah kepada Masyarakat Adat Secara sosio-kultural, negeri ini beragam suku dan adat istiadat. Masih cukup banyak warga masyarakat yang sehari-hari tidak berbicara dengan bahasa nasional. Bahasa penting, karena bahasa memungkinkan komunikasi. Salah satu tantangan komunikasi bencana adalah mengkomunikasikan edukasi (prabencana), informasi darurat (tanggap darurat), dan informasi pascabencana kepada masyarakat adat. Pembelajaran di lapangan menunjukkan keterlibatan tokoh adat adalah syarat kemungkinan berkomunikasi dengan masyarakat adat. Media komunikasi seperti wayang untuk kasus di Jawa sangat mungkin digunakan berkomunikasi dengan masyarakat lokal. Namun, tidak semua masyarakat lokal memiliki media seperti wayang. Inventarisasi media komunikasi adat menjadi penting untuk diperhatikan. Komunikasi tatap muka dalam forum pertemuan masyarakat adat tetap perlu saat prabencana. Dengan pelibatan tokoh adat, terbuka ruang untuk pembahasaan ulang (intepretasi) atau diseminasi pasca pertemuan. Pengetahuan bencana adalah hal baru dalam sistem kepercayaan sejumlah masyarakat adat. Wawancara dengan tokoh adat menunjukkan pengalaman dan pengetahuan komunikasi bencana amat terbatas. Mereka praktis hanya mengetahui informasi risiko bencana yang disampaikan pemerintah, LSM, lembaga keagamaan, dan lainnya.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Tabel 4.19. Kebutuhan Komunikasi Masyarakat Adat Informasi
Sumber
Media Penyampaian
Informasi yang Diketahui Informasi risiko bencana Tetua adat
Tatap muka dan media lokal
Mitigasi bencana
Ahli dan tetua adat
Tatap muka
Skenario penyelamatan Ahli dan tetua adat dan pengungsian
Tatap muka
Relokasi
Pemerintah, tetua, tokoh agama Tatap muka, kunjungan
Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Mengenai tantangan pendidikan bencana bagi masyarakat adat, ada kejadian menarik yang dialami warga Palué di Kepulauan Flores, Nusa Tenggara Timur. Satu LSM datang ke Palué untuk memfasilitasi simulasi banjir. Menurut kesaksian warga, beberapa waktu setelah simulasi, banjir benar-benar terjadi. Jumlah korban pun sama dengan yang disimulasikan. Cerita yang mirip dikisahkan terjadi sekitar tahun 1970an, ketika Gunung Rokatenda di Pulau Palué beraktivitas. Saat itu, warga setempat tengah berada di ladang. Salah seorang warga mengambil kayu untuk memasak. Sambil menatap puncak gunung yang melelehkan magma, ia berkata, “Hai gunung, kenapa kamu tidak membagi barang sedikit api yang kamu punya untuk menyalakan kayu?” Hal yang terjadi selanjutnya adalah gunung itu memuntahkan lava pijar. Tangan warga ini terbakar terkena awan panas. Dua kisah itu menciptakan mitos pamali di kalangan masyarakat Palue. Warga pun meyakini bahwa simulasi bencana sama dengan mengharapkan bencana. Terlepas dari persoalan mistik yang melingkupinya, kisah di atas menyiratkan pertemuan antara ilmu pengetahuan modern dengan tradisi. Keduanya seringkali berbeda. Pamali dalam konteks budaya adalah larangan yang jika dilanggar akan menjadi masalah (risiko). Dalam hal ini, pamali dapat dimaknai sebagai tata cara adat yang harus dihormati. Tentu saja, tidak berarti simulasi bencana (yang bermaksud baik untuk menyelamatkan) identik dengan mengharapkan bencana. Namun, apakah dengan begitu tidak ada cara lain—yang menghindari pamali—untuk edukasi bencana bagi masyarakat adat? Di sisi lain, UU Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa informasi bencana adalah hak masyarakat. Pamali adalah bagian dari kearifan tradisional54, yaitu pengetahuan dan atau praktik tradisi yang diwariskan untuk mengatasi masalah yang dihadapi komunitas atau masyarakat tertentu. Masalah warga Palué adalah bencana gunungapi. Secara
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Informasi yang Belum Diketahui
71
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
geografis, Palué merupakan wilayah di atas dapur magma Gunung Rokatenda. Secara kultural, terbentuk relasi antara masyarakat dengan Rokatenda. Relasi ini membentuk pemaknaan masyarakat atas gunung.
72
Sebagaimana relasi dengan manusia lain, personifikasi relasi dengan gunung tersebut menciptakan persepsi yang personal pula. Masyarakat memaknai keselarasan hubungan dengan gunung serupa relasi dengan manusia. Sebagai penanda relasi, masyarakat di sekitar gunung menyerahkan sesajen berupa bahan pangan dan barang lain dalam upacara adat atau ritual. Praktik kebudayaan semacam ini berlangsung turun-temurun dan membentuk sistem kepercayaan masyarakat adat. Pamali dapat digambarkan sebagai upaya menjaga ‘perasaan’ gunung agar ia yang personal itu tidak marah dan mendatangkan bencana. Intensi kultural semacam ini menciptakan pemahaman lain, yaitu bahwa jika gunung menghadirkan bencana (konflik komunikasi masyarakat dengan gunung), maka yang bermasalah adalah manusia yang tidak mampu menangkap pesan gunung dan berperilaku melanggar. Secara psikologis, perasaan bersalah memunculkan pamali, ketika relasi manusia dan gunung berjalan sepihak, yakni hanya manusia yang aktif, sedangkan gunung pasif. Cara komunikasi tersebut identik dengan monolog, bukan dialog. Dalam dimensi waktu yang panjang, ketika praktik ini telah menjadi sistem kepercayaan, dengan personifikasi yang sama, tidak terjadi perluasan makna. Situasinya tentu akan berbeda jika erupsi Rokatenda dimaknai sebagai ketidaksukaan gunung itu kepada masyarakat yang menghuni lerengnya. Bila pemaknaan ini yang terjadi, maka masyarakat harus menyingkir dari gunung secara sukarela. Ketika masyarakat memilih relokasi, mereka harus menggelar upacara perpisahan yang dianggap tradisi, sama seperti dalam kasus perpisahan antara manusia dengan manusia. Lalu, siapa yang harus menjadi fasilitator untuk melakukan perluasan makna atas relasi masyarakat Palué dengan Gunung Rokatenda? Pertanyaan ini dapat dijawab jika dan hanya jika perluasan makna atas relasi dilakukan dalam pengertian relasi personal (meskipun berelasi dengan gunung). Dalam hal ini, seperti umumnya dalam konteks keluarga, jika terjadi konflik antara ayah dan ibu, maka mediator yang mungkin mendamaikan (rekonsiliasi batin) keduanya adalah keluarga terdekat. Dalam sistem kebudayaan kita, adalah tidak pantas jika konflik dimediasi pihak yang tidak memiliki hubungan darah dengan yang berkonflik. Setidaknya ada prioritas di sini. Keluarga menjadi pilihan pertama untuk memediasi, dibanding pihak luar. Ketika keluarga masih mampu memediasi, pihak luar menjadi tidak kredibel sebagai mediator. Barulah ketika keluarga gagal, pihak luar dimungkinkan. Dalam konteks Rokatenda, para mosalaki (tetua adat dalam tradisi Palué) wajib dilibatkan sebagai mediator. Mengapa? Sebab masyarakat memahami pemerintah sebagai pihak ‘luar’. Tercapainya kesepakatan antara mosalaki dengan masyarakat pun
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
harus ditandai dengan ritual yang berlaku di PaluĂŠ. Ini sebagai momen rekonsiliasi batin sekaligus bentuk penghormatan terhadap sistem kepercayaan.
Mitigasi kultural inilah yang dipraktikkan Camat, Danramil, dan Kepala Pos PGA Gunung Kelud di Ngancar, Kediri. Secara antropologis, keberhasilan mediasi kultural merupakan penentu keberhasilan komunikasi bencana yang pada gilirannya menentukan keberhasilan evakuasi dan penyelamatan masyarakat. Dalam waktu tak sampai dua jam, sekitar 86.000 warga dengan patuh evakuasi dan terhindar dari bahaya letusan Kelud. Ketangguhan Komunikasi Masyarakat: Belajar dari Ngancar-Kediri Pada 13 Februari 2014 pukul 22.46 WIB, Gunung Kelud erupsi dan mengeluarkan sekitar 150 juta meter kubik material vukanik. Abu vulkanik letusan menyebar ke banyak daerah di Pulau Jawa. Di tengah kedahsyatan kejadian alam tersebut, tak ada korban jiwa langsung. Masyarakat dipimpin Camat Ngancar, Kediri, telah mempersiapkan diri dengan baik. Mereka memulai upaya kesiapsiagaan dengan menyusun rencana komunikasi bersama. Warga anggota RAPI Lokal 6 Kediri dan Kepala Pos PGA Kelud yang juga pengurus teras organisasi tersebut menjadi tulang punggung. Meski rencana komunikasi itu masih dalam tahap uji coba dan penyempurnaan ketika Kelud akhirnya meletus, namun masyarakat tetap menggunakannya sebagai acuan komunikasi untuk mitigasi dan evakuasi. Di tingkat pemerintah lokal, Camat Ngancar melakukan konsolidasi dengan perangkat desa seiring intensitas aktivitas Kelud. Pada 13 Februari pukul 21.15 WIB, Camat memimpin evakuasi dengan memberikan komando pengosongan kawasan rawan bencana pada radius 10 km. Kawasan itu meliputi Desa Sugihwaras, Sempu, dan Babadan. Camat berbicara di frekuensi RAPI yang dipancarluaskan (relay) oleh radio komunitas Kelud FM. RAPI Lokal 6 mempersiapkan peralatan komunikasi berupa handy talky (HT) dan rig beberapa bulan sebelumnya. Berbekal informasi dari Pos PGA, Camat mengumumkan status Awas pada pukul 21.16 WIB. Pengumuman berisi status erupsi Kelud dan pengosongan lokasi hingga radius 10 km. Camat meminta warga segera pindah ke titik lokasi pengungsian yang sudah disiapkan. Pada pukul 22.34 WIB, kurang lebih 15 menit sebelum erupsi, Camat kembali memerintahkan pengosongan Kecamatan Ngancar. Anggota RAPI Lokal 6 Kediri menyiapkan peralatan HT maupun rig agar bisa mobile, dengan menghubungkan catu daya dengan baterai sepeda motor. Mereka juga memastikan stasiun pancar ulang dapat digunakan untuk komunikasi dalam kondisi darurat. Persiapan meliputi pengecekan catu daya utama dan cadangan. Beberapa
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Dalam ritual55 ini, jika dimungkinkan, pihak luar seperti pemerintah dapat hadir sebagai bentuk penghormatan terhadap kepercayaan setempat. Keseluruhan proses budaya yang harus dijalankan untuk menghindarkan masyarakat PaluĂŠ dari erupsi Rokatenda ini dapat disebut sebagai upaya mitigasi kultural.
73
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
jam sebelum erupsi, mereka mengungsikan terlebih dahulu anggota keluarga ke tempat aman di radius 10 km agar dapat membantu evakuasi dengan tenang.
74
Sekembali dari mengungsikan anggota keluarga, para relawan warga lokal ini siaga mengikuti perkembangan Kelud sambil memancarkan siaran radio ke pusat aktivitas warga di warung, kantor RT, kantor RW, masjid, gereja, dan lain-lain. Komunikasi menggunakan frekuensi lokal 142.220 MHz. Hanya satu frekuensi ini yang digunakan selama persiapan dan evakuasi warga. Dengan demikian, semua orang fokus pada satu sumber informasi. Ketika status gunung naik menjadi Siaga, frekuensi tersebut ‘beralih’ menjadi frekuensi bencana. Semua pengguna frekuensi hanya menggunakan untuk kepentingan mitigasi dan evakuasi. Mereka yang menggunakan frekuensi itu, baik warga maupun relawan, tanpa dikomando kemudian menjadi relawan komunikasi bencana. Dalam wawancara, para relawan komunikasi ini mengatakan keseriusan yang mereka tunjukkan dengan hanya berbicara tentang mitigasi dan evakuasi di frekuensi tersebut disebabkan semua orang menyadari bahwa bencana tidak bisa disepelekan. Pada saat itu, mereka memantau atau bertanya di frekuensi radio semata-mata dalam kepentingan penyelamatan dari bencana. Untuk memperkuat fungsi komando, Camat Ngancar menggunakan tanda panggil (call sign) Ngancar 1. Persiapan yang dilakukan dengan matang untuk memastikan adanya satu sumber dengan satu pesan satu tafsir melalui satu media tersebut membuat Camat Ngancar sebagai komunikator bencana menjadi sangat kredibel dan dipercaya. Hampir tidak ada distorsi komunikasi, kecuali kasus robohnya antena stasiun pancar ulang yang sempat mengganggu penyampaian informasi. Distorsi komunikasi menjadi lenyap karena semua memprioritaskan komunikasi bencana untuk penyelamatan warga. Bencana menjadi bernilai secara eksternal dengan respons berupa tindakan empati. Simpati-empati-bela rasa (compassion) adalah kapasitas dalam diri seseorang yang dapat dilatih, dididik. Sikap seperti ini muncul setelah belajar dari kejadian erupsi Kelud tahun 2007, di mana evakuasi terhambat karena ketiadaan nilai-nilai tersebut. Dalam hal itu, pendidikan kebencanaan, terutama penanggulangan bahaya erupsi Kelud, menjadi bagian pendidikan kehidupan warga Ngancar yang secara implisit (tacit) tampil sebagai konstruksi etika penanggulangan bencana, yang melekat pada individu-individu. Etika dalam penanggulangan bencana tersebut kemudian tampil ke permukaan dalam wujud sikap bertanggung jawab antar individu (subjek) karena menghasrati sesuatu yang identik: keselamatan manusia. RAPI Lokal 6 Kediri mempersiapkan bantuan komunikasi berdasarkan hasil simulasi dan pembelajaran letusan 2007. Mereka mengkomunikasikan materi meliputi pengenalan tanda-tanda, karakter gunung dan ancamannya, pembuatan peta ancaman dan pengenalan daerah aman, pengembangan radio komunitas untuk penyebaran informasi status gunung, perencanaan penanganan bencana, serta
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
pemantauan informasi perkembangan bahaya erupsi langsung dari Pos PGA Kelud.
Di samping alat komunikasi, anggota RAPI menyiapkan antena dan tiang penyangga, alat komunikasi, lampu penerangan, catu daya, baterai cadangan, serta alat tulis. Mereka juga mempersiapkan jalur evakuasi dan menjelaskan rutenya kepada warga. Penjelasan diberikan langsung oleh yang berwenang. Mereka mendampingi pengungsi sekaligus membantu pengaturan lalu lintas saat evakuasi berlangsung. Pengelolaan komunikasi berlanjut hingga periode pascabencana menyusul ancaman lahar dingin Kelud. Dalam situasi normal, frekuensi radio bencana berubah menjadi frekuensi komunitas yang digunakan untuk komunikasi warga. Di frekuensi RAPI, mereka membicarakan topik mulai dari bencana, persoalan lingkungan, lalu lintas, hingga cuaca. RAPI membagi pos komunikasi menjadi tiga segmen, yaitu pos hulu, terpadu kecamatan, dan terpadu desa-permukiman. Jumlah pos terpadu desa mengikuti jumlah desa di sepanjang aliran sungai. Adapun rancangan jaringan komunikasi mereka adalah sebagai berikut56:
PGA
Pos Terpadu Kecamatan
Petugas Hulu Kali
Pos Terpadu Desa
Pos Pemukiman
Masyarakat
Gambar 4.8. Skema Jaringan Komunikasi Ngancar Pasca Erupsi Kelud
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
Untuk menjamin kepastian dan jangkauan informasi, RAPI mempersiapkan titik-titik saluran komunikasi di Kecamatan Ngancar. Titik-titik itu kemudian dihubungkan dengan pos induk kabupaten dan kecamatan secara spasial. Terdapat pula pos komunikasi di tingkat desa yang terhubung dengan pemerintah desa dan petugas lapangan untuk penyebarluasan informasi. Selain itu, didirikan pos di pengungsian.
75
Alur komunikasi dalam skema di atas meliputi:
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
1. Relawan komunikasi secepatnya menginformasikan kondisi cuaca di sekitar Kelud dan kemungkinan lahar hujan berdasarkan data Pos PGA kepada pos terpadu kecamatan.
76
2. Petugas hulu menyampaikan informasi mengenai lahar. Petugas menempatkan diri di alur kali agar segera mengetahui jika ada aliran lahar sebelum memasuki daerah permukiman. 3. Pos terpadu kecamatan menerima informasi dari Pos PGA maupun petugas hulu. Informasi serta rekomendasi tindakan diteruskan kepada pos terpadu desa. 4. Pos terpadu desa menerima informasi dari pos terpadu kecamatan dan segera memberikan perintah atau tindakan kepada pos permukiman. 5. Informasi mengenai lahar hujan segera disebarkan kepada warga dengan sarana komunikasi yang ada, seperti kentongan dan pengeras suara. 6. Pos permukiman mengidentifikasi bila ada korban manusia maupun harta benda. Infrastruktur dan Skenario Komunikasi Pemerintah dan para pihak dalam beberapa tahun terakhir terus mengupayakan penyediaan infrastruktur yang memadai guna mendukung komunikasi bencana, terutama pada saat kedaruratan. Sama seperti sistem peringatan dini yang lebih spesifik, kualitas infrastruktur komunikasi perlu ditinjau dari daya jangkaunya serta seberapa cepat ia mampu sampai kepada mereka yang paling membutuhkan. Wawancara dengan responden yang mengalami bencana dan terlibat dalam komunikasi penyelamatan warga menunjukkan bahwa sarana komunikasi seperti HT, telepon seluler, rig, dan sirene sistem peringatan dini sangat bermanfaat dalam kondisi kedaruratan. Peralatan elektronik tersebut digunakan saat bencana di Yogyakarta, Kabanjahe, Kediri, maupun Maumere. Yang membedakan adalah intensitas dan efektivitas penggunaan. Meskipun peralatan serupa dan sama-sama digunakan dalam membantu proses evakuasi, keberhasilan transmisi dan penerimaan informasi selama komunikasi juga ditentukan oleh pengguna alat dan sejumlah faktor lain. Salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan dalam hal ini adalah pengguna peralatan haruslah orang atau pihak yang kredibel dalam komunikasi. Hanya dengan begitu, informasi yang disampaikan akan didengarkan dan dipatuhi. Kredibilitas di sini tidak bermakna sempit, seperti hanya tentang ‘siapa’ yang berbicara. Lebih dari itu, kredibilitas menyangkut ketepatan informasi yang disampaikan.
Ketepatan informasi mensyaratkan bahwa informasi tersebut diperoleh dari sumber yang tepat dan memiliki mandat konstitusi dalam perannya. Informasi mengenai status gunungapi akan kredibel jika bersumber dari Pos PGA-PVMBG. Pada gilirannya, informasi ini akan dipercaya oleh komunikan di daerah terdampak yang menjadi target jika disampaikan oleh mereka yang juga memiliki mandat. Dalam situasi genting pada saat kedaruratan, hal ini sangat penting dan terbukti menjadi kunci efektivitas komunikasi. Faktor penentu lain yang ditemukan di lapangan adalah ketersediaan sumber daya energi pada situasi darurat. Banyak kasus di mana komunikasi tidak ada pada momen paling gawat sebab instrumen elektronik gagal bekerja. Dalam hal ini, pilihan penggunaan energi (listrik, solar, dan lain-lain) perlu diskenariokan untuk memastikan komunikasi tetap dapat terselenggara pada situasi terburuk sekalipun. Keberadaan mobil komunikasi di BNPB dan BPBD provinsi cukup membantu komunikasi kedaruratan. Namun, masih ada persoalan terkait rasio mobil komunikasi yang dimiliki BPBD dengan jumlah kabupaten/kota yang dilayani. Dalam kasus erupsi Gunung Kelud, misalnya, BPBD harus membagi mobil komunikasi untuk tiga kabupaten terdampak, yaitu Kediri, Malang, dan Blitar. Lalu ke mana mobil komunikasi harus ditempatkan? Bagaimana pula bila pada saat yang sama terjadi bencana di tempat lain? Untuk menjawab persoalan ini, BNPB dan BPBD perlu melakukan audit infrastruktur komunikasi secara berkala. Selain untuk mendapatkan pembelajaran tentang pengelolaan sarana komunikasi pada saat darurat, audit juga untuk standarisasi instrumen, menjamin keandalan skenario penyediaan energi untuk komunikasi, serta mengembangkan infrastruktur jaringan komunikasi. Dalam jangka pendek menengah, keandalan komunikasi juga tidak dapat sepenuhnya bergantung kepada sarana yang relatif mahal dan jumlahnya masih terbatas, seperti mobil komunikasi. Pembelajaran dari komunikasi bencana yang berhasil menunjukkan bahwa diperlukan skenario jaringan komunikasi horizontal di tingkat masyarakat dengan partisipasi warga (lokal). Warga terlibat sebagai pengguna sarana komunikasi yang mentransmisikan informasi kedaruratan. Jaringan komunikasi ini bukan hanya berupa jaringan pengguna (operator/software), tetapi juga instrumen (hardware) dan perawatan prosedur komunikasi etis (brainware) dalam penanggulangan bencana. Skenario komunikasi horizontal dengan warga sebagai pelaku utama penting dimiliki dan dijalankan berkala tidak hanya secara formal dalam bingkai prosedur komunikasi BNPB/BPBD, namun juga di tingkat masyarakat yang tinggal di kawasan rawan bencana itu sendiri. Skenario bahkan perlu diintegrasikan dan dijamin dalam dokumen rencana penanggulangan bencana di tingkat publik. Semakin banyak
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
77
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
masyarakat yang memahami skenario komunikasi dalam penanggulangan bencana semakin baik. Dengan demikian, masyarakat dapat berperan langsung dalam penanggulangan bencana secara niscaya.
78
Skenario komunikasi horizonal terutama difungsikan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap informasi bencana, pada masa prabencana, kedaruratan, tanggap darurat, maupun pascabencana. Skenario ini memposisikan masyarakat sebagai subjek komunikasi bencana. Komunikasi adalah Jantung Penanggulangan Bencana Salah satu faktor penting dalam penanggulangan bencana adalah komunikasi pemerintah dengan masyarakat terdampak. Komunikasi seharusnya tidak hanya terjadi pada saat kondisi darurat. Justru dalam prabencana, pemerintah dapat melakukan komunikasi kontekstual dengan mengedukasi masyarakat mengenai ancaman yang dihadapi. Dalam hal ini, ada tiga hal yang harus tepat dalam komunikasi dengan masyarakat terdampak, yaitu: (1) isi pesan (informasi), (2) media komunikasi yang digunakan, dan (3) kecepatan pengiriman informasi. Pemilihan media hendaknya mempertimbangkan daya jangkau, kecepatan komunikasi, dan potensi bias paling rendah. Informasi yang disampaikan harus mudah dipahami (jika perlu dengan menghindari penggunaan bahasa asing), bermakna tunggal, dapat dikomunikasikan, dan mudah dimengerti semua orang yang menjadi target komunikasi itu sendiri. Pola komunikasi inilah yang digunakan Camat Ngancar dalam menginformasikan status Gunung Kelud sejak dari Waspada hingga Awas. Wawancara dengan masyarakat yang tinggal di area terdampak menunjukkan mereka memerlukan informasi mengenai penanggulangan bencana sedini mungkin. Sedini mungkin di sini bermakna jauh hari sebelum bencana terjadi. Dengan edukasi masyarakat sebelum bencana, pemerintah selaku komunikator memiliki waktu dan ruang lebih besar untuk membagi pengetahuan, memilih media komunikasi, dan menjangkau semua yang terancam. Pengetahuan yang perlu disampaikan tidak hanya mengenai bahaya bencana, tetapi juga tindakan antisipatif yang diperlukan. Tindakan antisipatif mengisyaratkan kesadaran sebagai prasyarat agar tindakan antisipatif ada. Kesadaran adalah kunci otentisitas tindakan bahwa keputusan antisipatif ada karena masyarakat mengambil keputusan atas pilihannya sendiri. Pada titik ini (pengayaan pilihan tindakan masyarakat dalam menghadapi bencana), upaya mempengaruhi komunikasi bencana di tingkat yang paling relevan dapat dilakukan.
Dalam iklim sosial yang sangat komunikatif dewasa ini, manusia massa yang terlibat dalam interaksi sosial memiliki daya pengaruh terhadap komunikasi, serta memungkinkan menenggelamkan otentisitas tindakan melalui keputusan yang dibuat tiap individu. Secara praktis, kondisi ini tampak dalam kisah Mbah Maridjan, juru kunci Merapi, dan Mbah Ronggo, penjaga Gunung Kelud. Ini tentu tidak berarti mereka tidak memiliki kesadaran mengenai bahaya gunungapi. Hanya saja, kesadaran mereka berbeda dengan kesadaran orang luar yang tinggal jauh dari Merapi atau Kelud. Pengetahuan mempengaruhi kesadaran. Pengetahuan Mbah Maridjan, Mbah Ronggo, dan orang lain seperti mereka mengenai gunungapi berbeda dengan pengetahuan kita yang cenderung positivistik (sesuatu hanya dianggap benar jika dapat diverifikasi secara fisik) dan instrumentalistik. Perbedaan atau kesenjangan pengetahuan inilah yang mengakibatkan komunikasi sering tidak terjadi. Dalam sistem pengetahuan Mbah Maridjan dan Mbah Ronggo, komunikasi adalah penyampaian makna kepada pihak lain yang tidak terbatas secara verbal. Ini termasuk penyampaian (makna) informasi yang mendahului artikulasi dalam bahasa. Maka, diam juga adalah komunikasi (proses penyampaian makna). Alasan eksistensial atas konsep tersebut adalah bahwa komunikasi otentik jika dan hanya jika menyingkapkan realitas. Maka, dalam pandangan ini, komunikasi massa modern dengan perantaraan media massa berpotensi meniadakan otentisitas manusia. Manusia larut dalam keseharian sebagai massa dan tidak sanggup mengambil jarak. Akhirnya, keputusan dan tindakan yang diambil tidak lagi bebas. Komunikasi bencana perlu menjangkau hingga tingkat keluarga, yaitu basis sosial terkecil di masyarakat. Keragaman situasi masyarakat Indonesia menjadi bagian penting yang perlu dipertimbangkan. Situasi dan konteks psiko-sosio-kultural masyarakat di Sumatra, misalnya, akan berbeda dengan Papua.
GAMBARAN SITUASI SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
79
80
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
BAB 5
Harapan Masyarakat dan Isu Strategis
BAB 5
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
Harapan Masyarakat dan Isu Strategis
82
5.1. Harapan Masyarakat Masyarakat berharap penanggulangan bencana ke depan, terutama aspek komunikasi, sungguh-sungguh menempatkan kebutuhan mereka sebagai dasar dari seluruh inisiatif, perencanaan, maupun pelaksanaan. Saat ini, masih banyak keluhan mengenai layanan komunikasi penanggulangan bencana pada semua fase. Peran pemerintah daerah sebagai pelayan masyarakat di garis terdepan sangat perlu ditingkatkan. Berikut ini adalah rangkuman ekspektasi masyarakat yang diperoleh dari hasil wawancara dan diskusi di lapangan. Tabel 5.1. Harapan Masyarakat tentang Komunikasi Bencana Wilayah
Harapan
Yogyakarta Sosialisasi dan diseminasi penanggulangan bencana diperluas untuk kelompok disabel dan dilakukan secara berkala Sosialisasi penanggulangan bencana tidak hanya diberikan modul, leaflet atau brosur, tetapi harus disertai dengan simulasi Media komunikasi dibuat lebih beragam terutama untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok disabel (audio, visual dengan bahasa isyarat) Sosialisasi terkait kebencanaan tidak hanya memuat informasi saat tanggap darurat, tetapi mempersiapkan juga penanganan pascabencana, terutama untuk kelompok rentan, misal dengan mengembangkan model komunikasi asertif Perawatan jaringan pelaku, organisasi atau lembaga yang bergerak di penanggulangan bencana sehingga data dan informasi lebih terkoordinasi dalam satu pintu Kecepatan layanan informasi (ketersediaan informasi dan sumber informasi) untuk membantu proses peliputan media massa Informasi di media massa harus mendidik masyarakat, menggunakan bahasa yang menenangkan pengungsi bukan malah membuat panik (tidak bombastis atau hiperrealistis) Pentingnya pendidikan kebencanaan untuk jurnalis Perlu MoU antara pemerintah dalam ini BNPB dengan media terkait informasi kebencanaan
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
S u r a b a y a Perlu kesamaan pemahaman bahwa informasi adalah hak dan Kediri masyarakat Harus ada standar dan prosedur untuk memastikan teknologi dan perangkat komunikasi bekerja dalam situasi krisis (cadangan RPO, genset, dll)
Perlu mekanisme pemantauan untuk memastikan informasi status gunung atau kesiapsiagaan sampai ke masyarakat secara akurat, tepat waktu, dan menyeluruh (Apa status? Apa implikasi? Apa yang perlu dilakukan?) Perlu pengembangan kapasitas SDM terkait komunikasi kesiapsiagaan, sehingga mampu menjalankan fungsi pengelolaan data dan informasi bencana secara tepat, akurat, dan terpercaya BPBD dan BNPB harus lebih memaksimalkan perannya untuk mengedukasi masyarakat baik prabencana, saat bencana dan pascabencana Pemerintah daerah perlu membangun sistem komunikasi kebencanaan, tidak hanya melengkapi sarana dan prasarana fisik Bagaimana agar posisi komunitas diakui dan diperkuat sebagai ujung tombak komunikasi dan penanggulangan bencana. Pemerintah (orang luar) pegang peran pendukung Sosialisasi tertulis lewat spanduk, leaflet, dan lain-lain berguna,namun tidak dapat menggantikan fungsi komunikasi lisan dengan datang ke rumah-rumah warga. Tetap ada warga yang setelah membaca leaflet, datang ke Pos PGA dan meminta penjelasan lebih lanjut
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
Penambahan repeater dan link untuk menjangkau daerah di lereng Kelud
83
Medan dan Komunikasi intens antara pemerintah dan pengungsi tentang Sinabung kejelasan informasi status gunung, titik kumpul, jalur evakuasi, rencana relokasi Sosialisasi tentang penanggulangan bencana di wilayah kawasan rawan bencana dan sekitarnya secara berkala
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
Pembaruan informasi secara berkala dari posko utama terkait logistik kebencanaan, khususnya di masa tanggap darurat
84
Mekanisme dan penegakan aturan main terkait penggunaan frekuensi radio saat tanggap darurat (mencegah jamming) Layanan informasi kesehatan bagi ibu hamil, bayi, dan lansia di pengungsian lebih diperhatikan (asupan gizi kurang) Kejelasan informasi pada tahap pascabencana terkait keputusan dan janji pihak pemerintah (kapan pulang, perbaikan rumah, kondisi lahan, relokasi, beasiswa, padat karya, dll) BNPB mengedukasi pemda tentang amanat undang-undang untuk melindungi dan mengayomi masyarakat, sebab tanggungjawab pengelolaan pengungsi ada di pemda, bukan gereja atau masjid Ada prosedur standar operasi yang dijalankan oleh lembaga terkait di tingkat daerah dalam pengelolaan informasi peringatan dini, tanggap darurat, dan pascabencana Memperkuat pemancar radio komunitas untuk memperluas jangkauan informasi yang bisa diakses masyarakat Penyediaan jalur dan frekuensi berbeda untuk komunikasi bencana Pengembangan kapasitas SDM pengelola teknologi informasi bencana Pembuatan rambu evakuasi agar berkonsultasi dengan warga
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
M a u m e r e Komunikasi intens antara pemda dengan pengungsi terkait dan Ende rencana relokasi pemukiman pengungsi (ada persiapan dan kejelasan tentang keberlanjutan hidup pengungsi di wilayah baru) Penentuan frekuensi informasi bencana
Reedukasi kepada pemda untuk mengubah cara berpikir dan pemahaman terkait komunikasi dan penanggulangan bencana, agar tidak hanya fokus pada saat terjadi bencana tetapi juga pada pra dan pascabencana Pemerintah dalam hal ini bupati dan wakil bupati harus mengambil posisi sebagai pengambil kebijakan, tidak menggantung nasib pengungsi Peningkatan kapasitas SDM BPBD dan mengurangi frekuensi pergantian pejabat dan staf Sumber: Olah data konsultan, 2014.
Pada dasarnya, masyarakat mengharapkan pihak luar, termasuk pemerintah, memberitahu mereka mengenai apa saja risiko bencana di sekitar mereka dan bagaimana menghadapinya. Masyarakat sangat berharap ketika bencana datang, ada komando yang jelas dari pemerintah untuk melakukan evakuasi. Ketika evakuasi, mereka ingin pemerintah juga memikirkan keberadaan harta benda, terutama aset mata pencaharian seperti kebun, sawah, dan hewan ternak. Di pengungsian, masyarakat berharap diperlakukan secara bermartabat. Tidak seperti pengangguran yang tergantung kepada bantuan pihak luar. Semua anggota masyarakat yang pernah mengalami bencana dan menjadi pengungsi ingin agar sekembali dari pengungsian, mereka secepatnya dapat memulihkan kembali kehidupannya dan keluarga. Untuk itu, perencanaan mengenai relokasi dan hal lain harus melibatkan warga dalam pengambilan keputusan. Minimnya komunikasi yang dilakukan secara bermartabat dengan warga pengungsi merupakan keluhan umum yang ditemui di banyak tempat. Akhirnya, upaya pemulihan kehidupan pengungsi terhambat. Masyarakat pun melihat pemerintah kurang mempedulikan nasib mereka. Pemerintah harus melibatkan tokoh masyarakat dan tetua adat dalam mengkomunikasikan pengurangan risiko, keputusan mitigasi, pemulihan kehidupan warga, dan soal penting lainnya dengan anggota masyarakat. Sikap abai terhadap konteks dan otentisitas masyarakat di daerah bencana merupakan bahan dasar yang paling ampuh untuk menggagalkan komunikasi. Masyarakat berharap pemerintah
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
Penyediaan dan pengadaan teknologi untuk memastikan akses informasi ke kawasan rawan bencana di Palué
85
mau lebih mendengarkan suara mereka dan memahami situasi mereka. Apa yang berhasil di satu daerah tidak dapat begitu saja dijiplak untuk diterapkan di daerah lain.
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
5.2. Isu-Isu Strategis Sistem Komunikasi Bencana
86
Di atas segalanya, sistem komunikasi barulah menjadi relevan bagi penanggulangan bencana apabila ia berkontribusi kepada peningkatan ketangguhan masyarakat menghadapi ancaman di sekitarnya. Diagram Rekapitulasi Hasil Diagnostik Sistem Komunikasi Bencana pada bagian ini menampilkan gambaran perubahan yang dituju beserta isu-isu strategis. Ketangguhan menghadapi bencana perlu ditingkatkan hingga titik di mana semua pihak mampu mencapai kondisi tak ada korban saat bencana. Dalam konteks penyampaian informasi saat darurat, misalnya, informasi harus bisa sampai kepada mereka yang membutuhkan secara cepat dan akurat. Tidak dapat lagi informasi sekadar disampaikan melalui media massa tanpa memikirkan efektivitasnya. Pada saat bersamaan, penanganan-pemulihan pengungsi yang terkena bencana perlu dipastikan berlangsung secara bermartabat, yakni dengan menjunjung tinggi harkat kemanusiaan. Hasil kunjungan ke sejumlah lokasi pengungsian dalam rangka studi ini menunjukkan idealitas tersebut belum terwujud. Dalam hal komunikasi, masyarakat tidak memiliki kepastian bukan saja mengenai hal-hal terkait kebutuhan selama pengungsian, tetapi terutama tentang bagaimana pemulihan kondisi mereka setelah keadaan kembali normal. Masyarakat terdampak bencana adalah warga negara yang memiliki hak konstitusional untuk dilayani oleh semua lapisan pelaku penanggulangan bencana tanpa kecuali. Sistem komunikasi bencana dibangun dengan ketangguhan (resilience) komunikasi berbasis psiko-sosio-kultural, penguatan modal sosial, dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan bencana. Sistem komunikasi yang semata-mata mengandalkan infrastruktur internet telah terbukti kurang memadai. Masyarakat di berbagai daerah memiliki sistem komunikasi lokal dan tradisional tersendiri yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan efektivitas komunikasi. Potensi tersebut perlu digunakan bila terbukti lebih menjanjikan penjangkauan dan keakuratan informasi dibanding sistem lain yang dicangkokkan dari luar. Penguatan modal sosial dan peran serta masyarakat juga diperlukan mengingat mustahil penanggulangan bencana di negeri sebesar dan sekompleks Indonesia hanya dilakukan sendiri oleh pemerintah. Pengalaman respons Kelud dengan relawan lokal dan masyarakat Ngancar sendiri yang menggerakkan proses mitigasi dan evakuasi di garis depan menunjukkan kemampuan untuk menghadapi bencana. Pihak luar dalam hal ini membantu memperkuat dan menyegarkan kembali potensi peran serta tersebut.
Untuk mewujudkan ketangguhan komunikasi, diperlukan perubahan dalam aspek tata kelola, sumber daya, dan peran serta masyarakat. Tata kelola komunikasi dibangun dengan pengelolaan komunikasi yang berintegritas, adanya kepastian arahan birokrasi, hilangnya hambatan birokrasi, serta penerapan TIK secara bijaksana. Infrastruktur TIK perlu dipandang sebagai sarana, bukan tujuan. Melengkapi infrastruktur tersebut juga merupakan bagian pekerjaan yang relatif paling mudah sepanjang tersedia dana memadai. Seringkali, kegagalan tata kelola bukan pada perkara besar, tetapi justru hal kecil, seperti tidak berfungsinya peralatan karena kehabisan solar. Pada sejumlah kasus, kegagalan tersebut berpotensi menimbulkan dampak berupa kelambanan menginformasikan kondisi darurat kepada masyarakat. Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan terjadi. Adapun perubahan sumber daya perlu mencakup keragaman inisiatif komunikasi dan adanya simpul sumber daya komunikasi. Keragaman inisiatif komunikasi menuntut para pelaku untuk berpikir melampaui bias perkotaan, di mana sistem komunikasi disandarkan kepada teknologi dan kanal yang hanya menjangkau orang-orang kelas menengah atas. Pada setiap gagasan untuk menginisiasi komunikasi, pertanyaan utama yang perlu diajukan adalah, sejauh mana inisiatif tersebut mempercepat dan meningkatkan akurasi penjangkauan komunikasi kepada masyarakat rentan? Keragaman tersebut juga mensyaratkan adanya simpul sumber daya yang melintasi sektor pemerintah. Keberhasilan masyarakat Ngancar mengelola ancaman bencana dari letusan Kelud sesungguhnya merupakan keberhasilan simpul sumber daya. Masyarakat dapat menggelar simulasi evakuasi bencana dengan dana hanya Rp4 juta berkat swadaya tenaga, uang, maupun pikiran. Simpul semacam ini yang sayangnya belum tampak di banyak daerah lain, termasuk di tingkat nasional. Perubahan masyarakat meliputi peningkatan partisipasi dalam penanggulangan bencana, berkembangnya bela rasa dan tanggung jawab sosial, serta adanya sadarimplikasi bencana, sadar konstitusi, serta sadar hak atas informasi. Jelas bahwa hal itu melampaui sekadar upaya untuk lebih banyak melibatkan masyarakat dalam penanggulangan bencana, apalagi hanya secara artifisial. Agar masyarakat sendiri terdorong untuk proaktif dalam penanggulangan bencana, kesadaran akan berbagai haknya sebagai warga negara perlu ditingkatkan. Di sini, peran media massa untuk membantu menyadarkan masyarakat, terutama mereka yang terdampak bencana menjadi krusial. Media yang kritis terhadap penanggulangan bencana dapat menjadi mitra masyarakat dan pemerintah dalam meningkatkan kualitas layanan dalam penanggulangan bencana.
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
87
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
Hambatan Birokrasi Hilang
Pengembangan Program Komunikasi untuk Kelompok Rentan
Pemanfaatan Media Berbasis Kearifan Lokal Pendekatan Komunikasi Sesuai Karakteristik Psiko-Sosio-Kultural Penentuan Sasaran Pemetaan Ekspektasi dan Aspirasi Publik
Pemetaan Ekologi Komunikasi
Penilaian Kebutuhan Informasi Multipihak
Pengorganisasian Data
Program Komunikasi Bencana
KETERJANGKAUAN
Pengembangan Jaringan Kemitraan Strategis
Koordinasi dan Sinergi Lintas Unit
Otoritas Pemimpin
Sadar Implikasi, Sadar Kontribusi, Sadar Hak Informasi-Data
Berkembangnya Bela Rasa dan Tanggung Jawab Sosial
Partisipasi dalam PB
PERUBAHAN MASYARAKAT
Simpul Sumber Daya Komunikasi
Keragaman Inisiatif
PERUBAHAN SUMBERDAYA
Kepastian Arahan Regulasi
Kanal Komunikasi
KAPASITAS SDM
Monev Strategi Komunikasi
Penerapan TIK secara Bijaksana
Analisis Risiko Komunikasi
Agenda Setting
Intensi dan Standar Kompetensi dalam Penanggulangan Bencana
Pengelolaan Komunikasi yang Berintegritas
Ketersediaan TIK
Standar Akuntabilitas
PERUBAHAN TATAKELOLA
Ketersediaan Standar Prosedur Komunikasi PB
Standar Produk Layanan Informasi
Kewenangan & Peran
Tata Kelola Kelembagaan
RENCANA KOMUNIKASI
KAPASITAS KELEMBAGAAN
KELUARAN ANTARA
Ketangguhan (resilience) komunikasiberbasis psiko-sosio Kebijakan dan Peraturan Informasi Komunikasi PB kultural,penguatan modal sosial, dan peran serta masyarakat dalam Identifikasi Peran Multipihak penanggulangan bencana
SISTEM KOMUNIKASI
INPUT
Level Masyarakat: Ketangguhan Komunikasi yang Berkelanjutan
Level Lembaga: Kredibilitas Pengelola Komunikasi
Level Negara: Pengelolaan PB secara Bermartabat
DAMPAK
Tidak ada korban saat bencana, penangananpemulihan kehidupan masyarakat terdampak secara bermartabat
KELUARAN AKHIR
DIAGRAM 1. REKAPITULASI HASIL DIAGNOSTIK SISTEM KOMUNIKASI BENCANA
88
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Diagram di atas menunjukkan bahwa secara keseluruhan, terdapat 25 isu strategis yang teridentifikasi berdasarkan temuan lapangan dan analisis situasi. Isu-isu tersebut lebih jauh dibagi dalam empat kelompok besar menurut kedekatan isunya, sebagai berikut:
a. Pengelolaan komunikasi penanggulangan bencana yang mampu menyampaikan informasi secara cepat dan tepat kepada masyarakat, media, dan publik; b. Peningkatan standar layanan informasi bencana berkaitan dengan jeda waktu, kecepatan, dan ketepatan penyampaian informasi; c. Kebijakan dan regulasi (suprastruktur) sistem komunikasi bencana yang relevan dan signifikan dengan kebutuhan dan karakteristik psiko-sosiokultural; d. Pembagian kewenangan/otoritas mulai dari institusi tingkat nasional hingga daerah, termasuk lembaga teknis. Ini antara lain BNPB, BMKG, PVMBG, kepala daerah, BPBD, camat, kepala desa, kepala pos pengamatan gunung api, komandan rayon militer, serta pelibatan tokoh adat/agama/sosial. 2. Isu strategis kapasitas SDM yang mencakup: a. Kompetensi dan fasilitasi komunikasi bencana; b. Kemampuan SDM dalam menganalisis target komunikasi sebelum menentukan media yang digunakan serta target penjangkauan komunikasi; c. Kapasitas SDM (brainware) komunikasi publik yang memadai dan mampu menentukan prioritas komunikasi kepada masyarakat terdampak; d. Kemampuan membangun jejaring komunikasi multipihak; e. Kemampuan mengelola, membagikan, merefleksikan, dan mengungkapkan data, fakta, dan pengalaman kepada publik; 3. Isu strategis perencanaan komunikasi yang mencakup: a. Penyusunan desain komunikasi (skenario sesuai target/sasaran), termasuk bagi penyandang disabilitas, ibu hamil dan lansia, disesuaikan dengan aspek psiko-sosio- kultural masyarakat setempat;
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
1. Isu strategis kapasitas kelembagaan mencakup:
89
b. Pembuatan produk komunikasi dengan fungsi pengarusutamaan pendidikan risiko bencana; c. Penentuan ragam dan jenis media yang digunakan untuk komunikasi publik;
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
d. Pembentukan simpul penghubung para pihak di tingkat lokal untuk pengembangan keragaman media komunikasi;
90
e. Pendidikan tentang bencana dan jurnalisme bencana bagi peliput berita (wartawan/reporter), termasuk etika komunikasi dalam penyampaian informasi bencana. 4. Isu strategis penjangkuan dan pelibatan yang mencakup: a. Penggunaan media dan perangkat komunikasi tradisional, misalnya kentongan, sebagai alat komunikasi dengan penentuan kode/bunyi khusus; b. Penggunaan media cetak (lokal maupun nasional) sebagai kanal penyampaian informasi bencana kepada seluruh masyarakat; c. Penggunaan media radio (komersial–swasta dan pemerintah); d. Pelibatan media komunitas (radio komunitas) yang dapat disesuaikan dengan aspek psiko-sosio-kultural masyarakat setempat; e. Penggunaan media televisi dengan konten audio visual yang menarik; Penggunaan media daring, khususnya informasi bagi masyarakat tidak terdampak. Berbagai isu strategis tersebut saling terkait dan menentukan perbaikan kinerja komunikasi bencana. Dalam hal ini, isu-isu tersebut harus menjadi determinan yang dikelola secara memadai melalui strategi dan program komunikasi yang disusun. Penyusunan strategi dan program pun menjadi bertujuan, yaitu menyelesaikan problem strategis yang ada dengan sasaran yang jelas untuk mencapai cita-cita penyelamatan manusia dari bencana dan penanganan pemulihan kehidupan masyarakat terdampak secara bermartabat. Dengan mengacu pada analisis situasi dan harapan masyarakat, isu strategis yang menjadi fokus kepedulian (focal concern) dikonfigurasikan dengan teknik analisis faktor pendorong (driving forces) untuk mengidentifikasi faktor pendorong atau determinan pencapaian hasil (outcome) sistem komunikasi bencana. Determinan merupakan komponen yang menentukan pencapaian hasil berdasarkan derajat kepentingan dan ketidakpastiannya.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Gambar 5.1. Konfigurasi Kapasitas Kelembagaan Gambar 5.1 menunjukkan peta hubungan antara lima isu strategis dalam kapasitas kelembagaan sistem komunikasi bencana. Standar akuntabilitas komunikasi merupakan determinan dalam konfigurasi isu strategis tersebut sebab keberadaannya paling banyak menentukan perkembangan isu lain. Standar akuntabilitas menentukan bagaimana tata kelola kelembagaan, kewenangan pelaku, standar produk layanan informasi, serta penetapan agenda kelembagaan. Adapun produk layanan informasi yang terstandarisasi dapat diharapkan menjadi hasil dari proses pembangunan kapasitas kelembagaan. Analisis situasi menunjukkan banyak celah yang muncul dalam komunikasi bencana sebab pada dasarnya memang belum ada standar baku yang diikuti. Konsekuensinya, secara kelembagaan, praksis komunikasi bencana mengikuti arahan dari orang per orang. Manakala sebuah lembaga memiliki pemimpin yang kredibel, komunikasi bencana mungkin bisa efektif. Persoalannya, ketergantungan kepada individu bukanlah jalan yang berkelanjutan untuk memastikan komunikasi bencana hadir untuk mencegah jatuhnya korban saat bencana serta penanganan-pemulihan masyarakat terdampak berlangsung secara bermartabat.
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
5.3. Konfigurasi Kapasitas Kelembagaan
91
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
5.4. Konfigurasi Kapasitas SDM
92
Gambar 5.2 Konfigurasi Kapasitas SDM Gambar 5.2 menampilkan tujuh isu strategis kapasitas sumber daya manusia yang saling kait-mengait. Tampak bahwa pemetaan ekologi komunikasi merupakan isu yang paling strategis dalam membangun kapasitas sumber daya manusia. Pemetaan ekologi komunikasi di sini dimaknai sebagai upaya memetakan komunikasi antar manusia (termasuk pelaku, sarana dan prasarana, budaya lokal, hambatan, dan lainnya) untuk penyampaian informasi tentang penanggulangan bencana secara cepat dan akurat. Dari pemetaan, BNPB dapat melakukan penilaian kebutuhan informasi multipihak, mengorganisasikan informasi, membangun jaringan kemitraan multipihak dalam komunikasi bencana, serta mengembangkan model kepemimpinan partisipatif. Di samping itu, setelah memetakan ekologi komunikasi, BNPB dapat membangun intensi dan standar kompetensi komunikasi serta melakukan koordinasi dan sinergi antar unit. Sementara itu, pengembangan jaringan kemitraan strategis dalam komunikasi bencana merupakan hasil yang dapat diharapkan dari seluruh proses pengembangan kapasitas sumber daya manusia. Dalam kemitraan strategis, dimungkinkan penanggulangan bencana yang tidak dominatif, melainkan saling memberdayakan.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Gambar 5.3 Konfigurasi Rencana Komunikasi Gambar 5.3 menunjukkan delapan isu strategis dalam pengembangan rencana komunikasi. Komunikasi untuk kelompok rentan menjadi isu yang paling menentukan. Komunikasi bencana selama ini belum banyak melihat hal itu sebagai isu yang sangat penting, padahal kelompok rentan merupakan pihak yang paling berpotensi terkena dampak merugikan dari bencana. Semakin tinggi kerentanan yang tidak dibarengi peningkatan kapasitas, semakin besar risiko bencana bagi kelompok rentan. Komunikasi untuk kelompok rentan sekaligus adalah isu yang tidak mudah. Persoalannya, kerentanan umumnya bersifat kontekstual. Dalam hal ini, upaya komunikasi juga tidak bisa seragam. Efektivitas komunikasi juga perlu dipantau terus-menerus mengingat relatif kurangnya kemampuan (fisik dan nonfisik) kelompok rentan untuk merespons ancaman dibanding mereka yang tidak rentan. Hasil dari pengembangan rencana komunikasi adalah adanya kanal komunikasi bencana yang memiliki standar dan diperkuat partisipasi para pihak.
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
5.5. Konfigurasi Rencana Komunikasi
93
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
5.6. Konfigurasi Penjangkauan
94
Gambar 5.4 Konfigurasi Penjangkauan Gambar 5.4 tak kalah penting sebab menggambarkan penjangkauan masyarakat terdampak bencana. Determinan isu penjangkauan adalah adanya program komunikasi bencana yang memang disusun untuk menjangkau semua lapisan masyarakat yang rentan bencana. Analisis situasi menunjukkan jangkauan program BNPB relatif terbatas di lingkup perkotaan dengan akses TIK dan infrastruktur pendukung yang baik. Program yang ditujukan menjangkau kelompok rentan belum banyak. Secara keseluruhan, pelaku penanggulangan bencana juga masih melihat program komunikasi sebagai pelengkap dari program lain. Komunikasi bahkan secara sempit sering dimaknai sebagai sekadar hubungan dengan media dan upaya hubungan masyarakat. Kenyataannya, temuan di lapangan memberikan bukti bahwa komunikasi bencana justru menjadi jantung penanggulangan bencana yang berhasil menyelamatkan hingga 86.000 jiwa saat letusan Gunung Kelud. Penjangkauan komunikasi selanjutnya dapat dikatakan telah meluas jika telah ada pemanfaatan media kearifan lokal dalam komunikasi bencana. Masyarakat di sekitar Gunung Merapi memiliki berbagai bentuk media kearifan lokal yang oleh banyak pelaku penanggulangan bencana di sektor lembaga swadaya masyarakat telah dimanfaatkan dan terbukti efektif. BNPB dapat memanfaatkan potensi media kearifan lokal tersebut dengan pertama-tama memastikan program komunikasinya menyasar tujuan yang tepat, yaitu menjangkau semua kalangan masyarakat.
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
95
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
HARAPAN MASYARAKAT DAN ISU STRATEGIS
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
97
BAB 6
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
bab 6
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
98
Bagian ini memaparkan keseluruhan kerangka dan strategi sistem komunikasi bencana nasional. Rencana Induk Sistem Komunikasi Bencana ini disusun dengan perspektif lima tahun, yaitu 2015 hingga 2019, mengikuti periode waktu rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) pemerintah. Meski demikian, pelaksanaannya akan bergantung kepada perencanaan BNPB berdasarkan masukan para pihak. 6.1. Nilai IKRAR Perubahan menuju sistem komunikasi bencana yang efektif karena menjawab kebutuhan masyarakat terdampak memerlukan nilai-nilai penggerak yang mampu mewakili keseluruhan cita-cita tersebut. Dalam hal ini, terdapat lima nilai yang diharapkan muncul dalam sistem komunikasi bencana ke depan, yaitu: 1. Integritas. Pihak yang terlibat dan sistem komunikasi bencana harus memiliki integritas yang ditunjukkan dengan konsistensi dan disiplin komunikasi. Tidak ada pahlawan dalam komunikasi bencana. Yang ada adalah komunikator, media, maupun komunikan yang melibatkan diri secara beretika dalam upaya penyelamatan manusia dan pemulihan kehidupan dari bencana secara bermartabat. 2. Kredibilitas. Pihak yang terlibat dan sistem komunikasi bencana harus memiliki kualitas terpercaya dan dapat diandalkan. Komunikasi menjadi kredibel ketika sebuah sumber informasi yang terpercaya menyampaikan pesan yang dapat diandalkan (satu makna, satu tafsir, satu penerimaan) kepada mereka yang membutuhkan pada saat yang tepat. Tidak mudah membangun kredibilitas, tetapi menghancurkannya bisa dalam sekejap waktu. Komunikasi bencana yang sukses menyelamatkan 86.000 warga di sekitar Kelud dibangun di atas pondasi kredibilitas para pelakunya. 3. Responsif. Pihak yang terlibat dan sistem komunikasi bencana harus siap dan sigap menanggapi persoalan yang muncul di lapangan. Perencanaan komunikasi
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
disusun dengan mendengarkan dan memberdayakan para pihak. Pelaksanaan sistem komunikasi akan bermanfaat bagi masyarakat jika dan hanya jika sistem ini senantiasa responsif terhadap kebutuhan dan kendala yang dihadapi masyarakat. Masyarakat menjadi pusat dari seluruh aktivitas sistem komunikasi untuk penanggulangan bencana.
6.2. Visi dan Misi
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
4. Akuntabilitas. Pihak yang terlibat dan sistem komunikasi harus dikelola dengan prinsip-prinsip yang memungkinkan adanya pertanggungjawaban terbuka kepada publik. Dalam hal ini, etika komunikasi harus dikedepankan. Pada kasus di Ngancar, Kediri, semua orang bertanggung jawab kepada sesama dalam spirit simpati-empati-belarasa. Bencana pun menjadi urusan publik.
Visi sistem komunikasi bencana 2015-2019 adalah:
99
5. Respek. Pihak yang terlibat dan sistem komunikasi harus menunjukkan penghormatan yang memadai dan tulus kepada konteks dan otentisitas masyarakat. Ini termasuk memberikan respek yang seharusnya kepada sistem keyakinan tradisional, pun ketika hal itu bertentangan dengan keyakinan dan pengetahuan modern. Banyak kegagalan komunikasi bencana semata-mata dipicu kurangnya atau tiadanya respek kepada keberadaan masyarakat beserta nilai-nilai yang berlaku di lingkungan mereka.
“Mewujudkan ketangguhan (resilience) komunikasi bencana untuk memastikan seminim mungkin korban pada saat bencana, dan penanganan serta pemulihan kehidupan masyarakat terdampak secara bermartabat.� Misi sistem komunikasi bencana 2015-2019 adalah: Memperbarui kebijakan dan tata kelola sistem komunikasi bencana untuk menjamin pelayanan publik yang cepat, akurat, berkualitas, transparan, dan akuntabel. Mengembangkan pendekatan komunikasi bencana yang integral, inklusif, dan interaktif. Mengembangkan jaringan simpul (hub) sumber daya komunikasi bencana. 6.3. Kerangka Programatik Seperti yang ditulis pada tabel berikutnya, terdapat tiga tujuan program utama yaitu (1) Kebijakan tata kelola sistem komunikasi bencana yang melayani publik secara cepat, akurat, berkualitas, dan akuntabel; (2) Pengintegrasian model-model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosio-kultural ke dalam sistem
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
komunikasi bencana; dan (3) Perluasan inisiatif, peran, dan keterlibatan multipihak untuk meningkatkan ketangguhan komunikasi bencana. Adapun program-program yang berada pada tujuan yang sama diusulkan untuk diimplementasikan dalam berbagai rentang waktu. Secara prinsip, program pada tujuan tertentu tersebut dikembangkan dengan dasar situasi terkini dalam ruang kerja komunikasi di BNPB dan perubahan yang akan dituju.
100
I. Kebijakan tata kelola sistem komunikasi bencana yang melayani publik secara cepat, akurat, berkualitas, dan akuntabel Dalam tujuan pertama ini terdapat 10 program yang penting mengikuti sasaran yang ada. Program yang diusulkan dalam hal ini dilatarbelakangi oleh perlunya penjangkauan seluas-luasnya kepada masyarakat yang tinggal di lokasi rawan bencana. Selain itu, dari sisi kelompok masyarakat yang ada, penjangkauan kepada masyarakat yang rentan sangat diperlukan. Dalam konteks ini, salah satu faktor penentu keberhasilan penjangkauan adalah kuantitas dan kualitas sumber daya yang tersedia, infrastruktur dan sistem komunikasi yang mendukung, dan kepemimpinan dalam penyelenggaraan bencana. Tiga faktor ini saling mempengaruhi. Program yang lain adalah upaya untuk menginklusikan penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Dalam penyelenggaraannya diperlukan keikutsertaan para pihak guna meyakinkan penjangkauan di lokasi yang paling sulit. Tentu saja penyelenggara penanggulangan bencana di tingkat daerah sangat diperlukan peran sertanya. Oleh karena itu, indikator keberhasilan dari program ini adalah keseluruhan upaya penjangkauan yang dihasilkan. Kegiatan diusulkan dimulai dari assessment terhadap situasi terkini. BNPB dapat memfasilitasi penilaian atas situasi kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi. Penilaian ini dilakukan untuk (1) menentukan fasilitasi yang dapat diberikan kepada BPBD dan (2) mengetahui secara persis sejauh mana ketersediaan infrastruktur komunikasi dalam tata kelola komunikasi. Secara internal hal ini akan meningkatkan kualitas informasi dengan penyediaan data yang informasinya dapat digunakan baik di tingkat daerah, provinsi, dan nasional. Untuk itu dengan inisiatif kegiatan ini, BNPB dapat pula melibatkan unit lain untuk menguji sejauh mana informasi yang tersedia dapat digunakan sebagai materi komunikasi publik dan strategi penjangkauannya kepada mereka yang tinggal dalam situasi tertentu yang tidak terjangkau. Pada sisi lain, unit selain Pusdatinmas BNPB dapat pula menilai sejauh mana integrasi informasi kebencanaan kepada publik. Hal ini penting bagi penyelenggara penanggulangan bencana agar dapat mengetahui secara persis pengelolaan informasi publik juga dapat memberikan masukan kepadanya untuk meningkatkan kualitas layanannya.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Pemantauan secara langsung dari masyarakat yang dilayani dapat dilakukan dengan aplikasi Citizen Report Card (CRC). CRC sangat efektif bagi pemerintah dalam menerima umpan balik dari masyarakat, terutama mereka yang terdampak, untuk peningkatan kualitas layanan. Tidak hanya itu, CRC dapat pula menstimulus partisipasi masyarakat sekaligus mencari jalan keluar yang memberdayakan baik di tingkat masyarakat maupun penyelenggara penanggulangan bencana. Dalam jangka panjang data dari hasil masukan dari masyarakat terdampak dapat digunakan dalam perbaikan keseluruhan sistem layanan. Artinya BNPB tidak lagi dimaknai sebagai agen perpanjangan tangan pemerintah di lapangan saja, namun BNPB sudah melangkah lebih jauh, yaitu memberikan makna strategis bahwa penanggulangan bencana bukan lagi melulu tanggung jawab pemerintah, namun secara lebih jauh melibatkan masyarakat dan secara lebih jelas memberikan masukan dalam hal apakah para multipihak dapat berperan spesifik dalam penanggulangan bencana, terutama dalam situasi darurat. Penggunaan media sosial penting, namun pada situasi tertentu penggunaan media sosial, di mana pengguna (user) media sosial sangat terbuka bahkan pada tingkat otentisitasnya, jika salah mengelola justru berpotensi menciptakan gangguan (noise) komunikasi. Kasus yang sudah ditampilkan terdahulu menunjukkan secara jelas bahwa yang dibutuhkan, terutama dalam situasi darurat, bukanlah ketergesaan namun kecepatan. Pada titik inilah pada situasi krisis cukup sulit dibedakan secara spesifik sehingga berpotensi pengambilan keputusan yang salah. CRC menawarkan konsepsi dan pembaharuan informasi secara periodik. Secara internal, BNPB/BPBD dapat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas data dan informasi serta perbaikan sistem komunikasi secara menyeluruh termasuk peran spesifik yang harus diambil baik BNPB atau BPBD pada situasi krisis. II. Pengintegrasian model-model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosio-kultural ke dalam sistem komunikasi bencana Belajar dari keragaman, bahwa dalam situasi yang sangat multi budaya-etnis-agama-ras dan segala bentuk keragaman di Indonesia adalah kekuatan dalam penanggulangan bencana. Dalam cara pandang ini, maka semua bentuk keragaman adalah kelebihan. Oleh karena itu, tantangan yang akan dijawab dalam tujuan program yang kedua ini adalah partisipasi masyarakat adat dalam penanggulangan bencana.
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Infrastruktur komunikasi dapat dilakukan pula dengan menguji tingkat layanan informasi dengan melibatkan media yang selama ini banyak berperan dalam situasi darurat. Media juga dapat lebih berperan saat prabencana, dengan meningkatkan informasi kebencanaan bagi masyarakat. Sisi lain, saat pasca darurat (rehabilitasi) media dapat berperan membantu publik dalam pemantauan, sehingga terjadi akuntabilitas penyelenggaraan penanggulangan bencana.
101
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana 102
Oleh karena situasi geografis, dapat saja tidak semua etnis budaya mendapatkan informasi yang sama atau akses yang sama terhadap informasi penanggulangan bencana. Dalam pembahasan terdahulu ditampilkan perbedaan yang mendasar dalam pola-pola budaya (sistem lokal) dalam menafsirkan dan menghadapi bencana. Masyarakat Rokatenda dan Kelud misalnya, keduanya hampir tidak dapat diintervensi dengan pola yang sama (tunggal). Itulah mengapa masyarakat Rokatenda memerlukan intesitas yang lebih besar dalam menerima informasi bencana. Sesuai dengan kondisi psiko-sosio-kultural setempat, pendekatan kepada masyarakat hampir mustahil tanpa keterlibatan tetua adat (mosalaki). Tetua adat memiliki otoritas dalam mengambil keputusan masyarakat. Kepercayaan masyarakat PaluĂŠ kepada mosalaki sangat besar, termasuk dalam mengambil keputusan kehidupan mereka. Dalam situasi ini, partisipasi tetua adat menjadi syarat dalam proses mitigasi kultural. Guna mencapai hal ini langkah pertama yang harus dipersiapkan adalah memahami situasi sosio kultural masyarakat yang dilayani. Interaksi yang intensif dan upaya kerjasama antara pengelola penanggulangan bencana baik di tingkat daerah maupun provinsi menjadi sangat penting. Situasi ini relatif akan lebih mudah jika mereka memiliki keragaman yang besar dalam penyediaan media-media komunikasi penanggulangan bencana. Media bukan hanya media nonverbal, tetapi dapat termasuk media verbal dan interaktif seperti penggunaan kesenian lokal, di mana relasi antara pemain dan penonton tidak berjarak. Hasil studi tentang situasi masyarakat lokal dapat digunakan untuk menilai tingkat literasi mereka terhadap informasi bencana. Keragaman media yang disediakan dapat berasal dari hasil kajian dan pengalaman penyelenggara penanggulangan bencana atau dari komunitas lain yang difasilitasi untuk dibagikan kepada etnis atau budaya lain. Dengan demikian, adopsi metodologi di tingkat lokal dimungkinkan, sehingga penetrasi informasi bencana dapat masuk lebih jauh ke lokasi-lokasi yang rawan bencana namun memiliki kendala infrastruktur untuk akses informasi. Guna memenuhi hal ini, penyelenggaraan pengelolaan pengetahuan menjadi penting dipertimbangkan dalam merintis ketangguhan komunikasi bencana. Model-model ketangguhan komunikasi bencana di tingkat masyarakat dapat didokumentasikan dan kerangka metodologis yang diperoleh dapat dikonstruksikan kembali dalam sistem pengetahuan untuk komunikasi bencana. Dengan demikian terdapat penerapan siklus aksi (praktik lokal) dan refleksi (kajian atas kontribusinya dalam ketangguhan bencana) yang didukung oleh sistem pengelolaan pengetahuan komunikasi bencana. Pengelolaan pengetahuan ini penting selain untuk kepentingan produksi media dan publikasi, juga untuk memperkaya khazanah pengetahuan komunikasi bencana yang secara sosio-kultural sudah ada jauh sebelum pengelola penanggulangan bencana hadir, dan terbukti efektif dalam penanggulangan bencana. Secara modern, kita dapat menyatakan bahwa dengan konstruksi pengetahuan komunikasi bencana yang lebih baik, justru BNPB dapat berkontribusi lebih besar bagi negara-negara lain mengenai ketangguhan komunikasi bencana.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
III. Perluasan inisiatif, peran, dan keterlibatan multipihak untuk meningkatkan ketangguhan komunikasi bencana Evaluasi mengenai penjangkauan terhadap mereka yang tidak terjangkau saat ini harus terus-menerus dilakukan. Evaluasi ini sangat penting, terutama dalam meningkatkan efektivitas penjangkauan dan perluasan gerakan ketangguhan komunikasi di seluruh lokasi yang saat ini tidak terjangkau. Hasil evaluasi menjadi masukan bagi pengembangan pengetahuan untuk memperbarui teknologi komunikasi yang tidak melulu hanya dipersepsikan sebagai persoalan mesin dan teknologinya, namun juga dalam media komunikasi tatap muka. Keragaman media menuntut kehadiran banyak pihak dalam gerakan ketangguhan komunikasi bencana. Oleh karena itu, mutu representasi dari kelompok masyarakat lokal tidak hanya didorong dalam peran mereka sebagai pengambil keputusan komunikasi (dalam pendekatan elitis), namun juga merawat informasi yang dikomunikasikan. Artinya, representasi tidak boleh hanya berperan sebagai elit, namun justru menjadi tulang punggung perpanjangan komunikasi ke tingkat akar rumput. Masyarakat, termasuk kelompok rentan adalah ‘konstituen’ representasi, maka keputusan keterwakilan tetap dikembalikan kepada mereka yang memilih wakilnya. Mirip dalam komunikasi politik, komunikasi bencana perlu diselenggarakan secara inklusif. Perlu dicarikan mekanisme di mana masyarakat dapat menarik representasinya ketika representasi itu tidak menjalankan fungsi perawatan komunikasi di tingkat akar rumput. Dengan demikian, terdapat kendali informasi komunikasi di tingkat masyarakat yang diwakili. Lebih jauh, masih diperlukan penguatan dan perawatan infrastruktur sebagai konsekuensi atas masifnya inisiatif para pihak dalam penguatan kualitas gerakan ketangguhan komunikasi. Kualitas infrastruktur dipastikan bergerak tidak hanya mengikuti perkembangan teknologi informasi saja, namun justru dalam konteks penjangkauan, di mana semakin banyak masyarakat yang tidak terjangkau dapat dijangkau. Maka, teknologi informasi ‘dikembalikan’ sebagai sarana dalam penanggulangan bencana, bukan tujuan. Konsekuensinya, fokus program infrastruktur adalah keberfungsiannya. Bila perlu, piranti dengan teknologi lama dapat dipertahankan apabila pada situasi tertentu keberfungsian piranti baru tidak optimal, kendati teknologi telah berkembang pesat. Indikasi tersebut diperkuat oleh fenomena teknologi telepon seluler (HP) yang ternyata relatif ‘kalah’ tangguh jika dibandingkan dengan penggunaan radio HT saat
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Penguatan tata kelola terletak pada kesesuaiannya dengan kebutuhan terutama kelompok rentan dalam komunikasi bencana. Integrasi bukan lagi difokuskan pada penguatan penyelenggaranya, namun juga peningkatan mutu representasi masyarakat yang secara khusus disasar oleh tujuan program ketiga.
103
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
bencana. Mayoritas penduduk Indonesia mengetahui cara penggunaan HP, tetapi masyarakat lokal seperti pada kasus erupsi Kelud merasa justru lebih tertolong oleh HT dalam penanganan kedaruratan. Persoalan yang tersisa adalah kualitas komunikasi dalam penggunaan piranti komunikasi.
104
Belajar dari masyarakat Ngancar, praktik komunikasi kedaruratan menjadi sangat berhasil karena kesadaran etis dari masyarakat. Pendidikan etika, termasuk etika komunikasi tidak hanya terjadi ketika kepentingan mitigasi mengemuka. Etika adalah persoalan kapasitas. Tanpa pendidikan, etika tidak berkembang. Maka, integrasi praktik komunikasi bencana di tingkat lokal dengan kebijakan komunikasi bencana tidak boleh berhenti pada persoalan teknis mekanistis komunikasi. Integrasi harus masuk sejak tingkat pengembangan kapasitas perangkat keras, lunak, operasional, dan kapasitas adaptifnya. Dalam hal ini, etika komunikasi juga menjadi bagian yang harus dikaji, diakomodasi, dan dikembangkan berdasarkan refleksi dengan membuka umpan balik dari praktik masyarakat di tingkat terkecil sekalipun. Secara lebih mendetail, kerangka programatik sistem komunikasi bencana dapat ditelusuri lebih lanjut pada tabel berikut ini.
Kebijakan tata kelola sistem komunikasi bencana yang melayani publik secara cepat, akurat, berkualitas, dan akuntabel
Tujuan
Peningkatan kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana
Sasaran
4
3
2
1
Tahun ke-
Identifikasi kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana yang tersedia
Penguatan infrastruktur komunikasi bencana
Pengembangan kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana
Terdapat informasi mengenai kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana
Program
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
x x x x x x x x x
Pengembangan compliance system (standar kesesuaian) untuk tata kelola komunikasi bencana
Audit infrastruktur pendukung sistem komunikasi bencana
x x x x x x x x x
Penataan dan pengembangan infrastruktur pendukung sistem x x x x x x x x x x x x komunikasi bencana
Pengembangan tata kelola x x x x x x x x x x x x komunikasi di tingkat nasional
x x x x x x x x x
Pengembangan model tata kelola komunikasi berbasis komunitas dan/atau kewilayahan
Perencanaan pengembangan kapasitas dan kualitas sumber x x x daya tata kelola komunikasi bencana
Review kesenjangan kapasitas dan kualitas sumber daya tata x x x x x x kelola komunikasi bencana
Desain kajian pengembangan kapasitas dan kualitas sumber x x x x x x daya tata kelola komunikasi bencana
Kegiatan
Bulan ke-
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Ketersediaan fasilitas pendukung yang menjamin keterpaduan, kecepatan, dan ketepatan layanan data, informasi, dan komunikasi bencana
Tingkat kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana
Indikator Program
Tabel 6.1 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (Tujuan 1) RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
105
Tujuan
Peningkatan keterlibatan publik dalam pengawasan tata kelola sistem komunikasi bencana
Sasaran
2
1
5
Tahun ke-
Konseptualisasi strategi dan rencana aksi sistem komunikasi bencana
Peningkatan kualitas partisipasi media massa dan publik dalam penanggulangan bencana
Identifikasi kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana yang tersedia
Program 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan ke-
x x x x x x x x x x x x
x x x
x x x x x x
Inisiasi penggunaan Citizen Report Card (CRC) untuk umpan balik layanan dan pengawasan
Terdapat masukan untuk peningkatan kualitas layanan informasi komunikasi bencana dari public
Strategi komunikasi bencana Perancangan strategi dan yang terintegrasi dalam rencana aksi sistem komunikasi rencana penanggulangan bencana bencana
x x x x x x x x x
Penganekaragaman media komunikasi untuk diseminasi informasi dan komunikasi bencana
Penyelenggaraan dan pengembangan pusat data, x x x x x x x x x informasi, dan komunikasi bencana
Jajak pendapat mengenai tingkat layanan data, informasi, x x x x x x dan kehumasan bencana
Penanganan keluhan atas layanan data, informasi, dan kehumasan bencana untuk pemenuhan prinsip keterbukaan informasi publik
Media monitoring tanggapan publik terhadap layanan data, x x x x x x informasi, dan kehumasan bencana
Kegiatan
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Peran media dalam penyebarluasan informasi dan edukasi bencana lebih baik
Tingkat persepsi layanan data, informasi, dan kehumasan bencana yang lebih baik
Indikator Program
106
Tujuan
Sasaran
1
5
4
3
Tahun ke-
Pelibatan publik dalam perbaikan layanan karena integrasi sistem komunikasi bencana
Integrasi sistem komunikasi bencana dalam dokumen penanggulangan bencana
Program
Terdapat kebijakan yang mengakomodasi CRC sebagai mekanisme umpan balik integrasi sistem dan perbaikan layanan komunikasi bencana
Terdapat sistem komunikasi bencana yang terintegrasi dalam rencana penanggulangan bencana
Tingkat akuntabilitas dan aksesibilitas layanan datainformasi bencana kepada publik
Indikator Program 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
x x x x x x
Pelembagaan penggunaan CRC dalam pengawasan tata kelola sistem komunikasi bencana
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Implementasi penggunaan CRC untuk evaluasi kualitas layanan public
x x x
Konsultasi nasional pimpinan redaksi media massa untuk perbaikan layanan penanggulangan bencana
Evaluasi dan perbaikan pelaksanaan integrasi sistem komunikasi x x x bencana dalam dokumen penanggulangan bencana
Review dan monitoring pelaksanaan integrasi sistem komunikasi x x x x x x x bencana dalam dokumen penanggulangan bencana
x
x x x
Operasionalisasi integrasi sistem x x x x x x x x x x x komunikasi bencana dalam dokumen penanggulangan bencana
Konsultasi lintas unit untuk integrasi sistem komunikasi bencana
Pewacanaan integrasi sistem x x x x x x komunikasi bencana dalam dokumen penanggulangan bencana
Kegiatan
Bulan ke-
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
107
Tujuan
Peningkatan kapasitas dan kapabilitas kinerja kepemimpinan komunikatif
Sasaran
5
4
3
2
Tahun ke-
Peningkatan efektivitas kepemimpinan penyelenggara penanggulangan bencana di tingkat provinsi dan kabupaten/ kota
Pengarusutamaan kepemimpinan komunikatif dalam penanggulangan bencana
Program 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan ke-
x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Pengembangan stimulus untuk penerapan kepemimpinan komunikatif dalam x x x x x x x x x penanggulangan bencana di daerah
Pewacanaan kepemimpinan komunikatif dalam penanggulangan bencana lintas unit penyelenggara penanggulangan bencana
Eksternalisasi pengetahuan kepemimpinan komunikatif x x x x x x x x x x x x dalam penanggulangan bencana di tingkat masyarakat
Kajian empirik dan konseptualisasi praktik kepemimpinan komunikatif x x x x x x dalam penanggulangan bencana di tingkat masyarakat
Kegiatan
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Efektivitas kepemimpinan dan komunikasi Pengembangan mekanisme bencana dalam pelayanan public pembinaan kepemimpinan komunikatif dalam penanggulangan bencana di daerah
Wacana tentang kepemimpinan komunikatif dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana
Indikator Program
108
Pengintegrasian model-model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psikososio-kultural ke dalam sistem komunikasi bencana
Tujuan
Bertumbuhnya model-model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psikososio-kultural
2
1
Tingkat keterlibatan para tokoh adat/ sosial/relawan komunikasi/ agama dalam mewujudkan ketangguhan komunikasi bencana
Tersedianya sumbersumber dan rujukan data, informasi dan pengetahuan tentang model komunikasi bencana berbasis psiko-sosio-kultural
Peningkatan partisipasi tokoh adat/ sosial/relawan komunikasi/ agama
Pengembangan unit pengelolaan pengetahuan (knowledge management) model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosio-kultural
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Fasilitasi peran relawan komunikasi dalam diseminasi informasi bencana di masyarakat sekitar Penguatan jaringan simpul relawan komunikasi bencana
x x x x x x x x x x
Pemetaan partisipatif untuk mengkodifikasi praktik ketangguhan komunikasi bencana berbasis psikososio-kultural
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
x x x x x x x x x x
Dokumentasi praktik ketangguhan di tingkat masyarakat atau komunitas
Fasilitasi ruang partisipasi komunitas dalam komunikasi bencana (misal radio komunitas, media lokal, x x x x x x x x x x x x kegiatan di pusat komunitas/ jambur/balai desa
Pengembangan media x x x x x x x x x x x x dialog komunikasi bencana
x x x x x x x x x x x x
Pengembangan kapasitas relawan komunikasi bencana
Tabel 6.2 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (TujuanBulan 2) keIndikator Tahun Sasaran Program Kegiatan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Program
Tabel 6.2 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (Tujuan 2) RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
109
Tujuan
Pelembagaan model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosiokultural dalam kebijakan sistem komunikasi
Sasaran
1
5
4
3
Tahun ke-
Diversifikasi dan diseminasi produk dan layanan data, informasi, dan pengetahuan ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosiokultural
Identifikasi kapasitas dan kualitas sumber daya tata kelola komunikasi bencana yang tersedia
Program
Pelembagaan relawan komunikasi bencana untuk provinsi dan kabupaten/kota
x x x x x x
x x x x x
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan ke-
Pemodelan sistem komunikasi bencana berbasis psiko x x x x x x sosio-kultural dengan lingkup kawasan terdampak
Penilaian dampak efektivitas peran relawan komunikasi di tingkat kawasan
Kegiatan
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Tingkat ketersediaan produk layanan data, informasi, dan pengetahuan komunikasi bencana yang dapat diakses komunitas
Penyusunan kerangka kerja ketangguhan komunikasi bencana terpadu
Penyebarluasan produklayanan data, informasi, dan pengetahuan di tingkat kawasan
x x x x x x
x x x x x x x x x
Keragaman produk layanan data, informasi, dan pengetahuan untuk Produksi produk-layanan data, x x x x x x x x x x x x mendukung ketangguhan informasi, dan pengetahuan komunikasi bencana komunikasi bencana berbasis psiko-sosio-kultural
Model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psikososio-kultural
Indikator Program
110
Tujuan
Perluasan pemanfaatan model ketangguhan komunikasi bencana berbasis psiko-sosiokultural
5
4
3
2
Peningkatan literasi dan aksesibilitas informasi bencana
Integrasi peraturan komunikasi penanggulangan bencana dengan kebutuhan informasi bencana kelompok rentan
Tingkat literasi dan aksesibilitas informasi bencana di tingkat kelompok rentan
Terdapat kebijakan yang mengelaborasi kebutuhan kelompok rentan dalam mengakses informasi bencana
x x x
x x x
x x x
x x x x x x x x x
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Pengembangan model ketangguhan komunikasi bencana bagi kelompok rentan
Kajian tingkat literasi dan aksesibilitas kelompok rentan terhadap informasi bencana
x x x x x x
x x x x x x
Inisiasi elaborasi kebutuhan informasi kelompok rentan dalam kebijakan komunikasi bencana
Analisis dampak kebijakan penanggulangan bencana terhadap pemenuhan kebutuhan informasi bencana pada kelompok rentan
Tabel 6.2 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (TujuanBulan 2) keIndikator Tahun Sasaran Program Kegiatan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Program
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
111
Perluasan inisiatif, peran, dan keterlibatan multipihak untuk meningkatkan ketangguhan komunikasi bencana
Tujuan
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Elaborasi inisiatif, peran, dan bentuk keterlibatan multipihak dalam sistem komunikasi bencana di berbagai level
1
5
4
3
2
1 Kualitas keterwakilan komunitas dalam pengembangan ketangguhan sistem komunikasi bencana Tingkat keterwakilan komunitas dalam pengembangan ketangguhan sistem komunikasi bencana
Terdapat kebijakan yang integratif terhadap praktik komunikasi bencana di tingkat lokal
Peningkatan mutu representasi dan peran serta multipihak dalam sistem komunikasi bencana
Pengintegrasian praktik komunikasi bencana di tingkat lokal dalam kebijakan komunikasi bencana
x x x x x x x x x x x x
Mobilisasi sumber daya lokal untuk ketangguhan komunikasi bencana
x x x x
x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Pelembagaan komunikasi bencana yang integral dengan praktik lokal
Inisiasi integrasi praktik komunikasi bencana di tingkat lokal dalam kebijakan komunikasi bencana
Kajian kesenjangan praktik dan konsep komunikasi bencana
Penguatan simpul komunikasi bencana di tingkat kawasan
Distribusi peran penyelenggaraan komunikasi bencana komunitas kawasan
Tabel 6.2 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (TujuanBulan 2) keIndikator Sasaran Tahun Program Kegiatan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Program
Tabel 6.3 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (Tujuan 3)
112
Tujuan
Terwujudnya kerjasama multipihak (mutual partnership) untuk peningkatan kinerja sistem komunikasi bencana
5
4
3
2
Gerakan ketangguhan komunikasi bencana
Penguatan infrastruktur komunitas untuk gerakan ketangguhan komunikasi bencana
Penguatan gerakan ketangguhan komunikasi bencana
Perluasan gerakan ketangguhan komunikasi bencana
Ragam inisiatif dan inovasi ketangguhan komunikasi bencana Tingkat ketangguhan dan kehandalan komunikasi bencana
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
Inisiasi gerakan ketangguhan komunikasi bencana
Kualitas infrastruktur komunikasi bencana yang lebih baik di berbagai level
Tabel 6.2 Kerangka Programatik Sistem Komunikasi Bencana BNPB 2015-2019 (TujuanBulan 2) keIndikator Tahun Sasaran Program Kegiatan ke1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Program
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
113
114
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Kerangka Strategi Sistem Komunikasi Bencana
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
115
BAB 7
Lampiran
Bab 7.
LAMPIRAN
7.1. Lampiran 1: Referensi Abud, M. 2013. Indonesia: Crisis Communication Channel. Case Studies in Humanitarian Communication Preparedness and Response. Internews.
LAMPIRAN
Ade Armando, et. Al (editor), 2011, Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi; Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Depok-Jawa Barat.
116
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2007. Etnosains, Etnotek dan Etnoart Paradigma Fenomenologis Untuk Revitalisasi Kearifan Lokal. Kemajuan Terkini Riset Universitas Gadjah Mada. Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UGM Yogyakarta. Asosiasi Pengguna Jasa Internet Indonesia. 2012. Profil Pengguna Jasa Internet Indonesia, Jakarta. Badri, Muhammad. 2011. Komunikasi Penanggulangan Karhutla Berbasis Komunitas, Jurusan Ilmu Komunikasi FDIK UIN Suska Riau. Makalah, disampaikan dalam Konferensi Komunikasi Nasional “Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia,� Depok, 9-10 November 2011. Bdk. Dillistone, F.W, 1986. The Power of Symbols, terjemahan: A. Widyamartana, 2002, Daya Kekuatan Simbol, Yogyakarta, Kanisius. Coombs, W. Timothy and Sherry J. Holladay (eds). 2010. The Handbook of Crisis Communication. West Sussex, Wiley-Blackwell. Coombs, W. Timothy. 2007. Crisis Management and Communications. http://www. facoltaspes.unimi.it/files/_ITA_/COM/Crisis_Management_and_Communications.pdf (diakses pada 16 April 2014). Edelman. 2013. Global Results. http://www.edelman.com/trust-downloads/globalresults-2/ (diakses pada 29 Mei 2014). Elena, Maria and Lawrence, Kincaid. 2002. Communication for Social Change: An Integrated Model For Measuring the Process and Its Outcomes, Rockefeller Foundation.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Encyclope Britannica. Gazette Article. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/ 227495/gazette#ref92461 (diakses pada 22 Mei pukul). Foulger, Davis. 2004. Models of Communication. http://davis.foulger.info/ research/ unifiedModelOfCommunication.htm (diakses pada 15 April 2014). Griffin, Emor A. 2012. A First Look at Communication Theory. New York, McGraw-Hill. Haddow, George and Kim Haddow. 2009. Disaster Communications in A Changing Media World. Oxford, Butterworth-Heinemann. Kamus Bahasa Indonesia, “Definisi Komunikasi” http://kamusbahasaindonesia.org/ komuni kasi/mirip (diakses pada 17 Mei 2014)
M. Najib Husain, Trisakti Haryadi, Sri Peni Wastutiningsih. 2011. Tata Kelola Komunikasi Lingkungan pada Kepemimpinan Parabela Berbasis Kearifan Lokal pada Masyarakat Buton. Hasil sementara penelitian disertasi. Makalah, disampaikan dalam Konferensi Komunikasi Nasional “Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia,” Depok, 9-10 November 2011. Nasional. Nirmala, N.A. 2008. The Sadharanikaran Model and Aristotle’s Model of Communication: A Comparative Study, Nepal:Bodhi: An Interdiciplinary Journal, Vol.2, No.1, Serial No.2. Nugroho,Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia). Laporan. Bermedia, Memberdayakan Masyarakat: Memahami Kebijakan dan Tata Kelola Media di Indonesia melalui Kacamata Hak Warga Negara. Riset kerjasama antara Centre for Innovation Policy and Governance dan HIVOS Kantor Regional Asia Tenggara, didanai oleh Ford Foundation. Jakarta: CIPG dan HIVOS. Oetama, Jacob. 2003. Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna. Pidato Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Komunikasi dari Gadjah Mada University, Yogyakarta. Oxfam International. 2009. OI Humanitarian Policy Note on Disaster Risk Reduction. http://www.oxfam.org/sites/www.oxfam.org/files/oi-humanitarian-policy-disasterrisk-reduction-apr09.pdf (diakses pada 16 April 2014). Oxford Dictionaries, “Definition of Communication in English” http://www. oxforddictionaries.com/definition/english/communication (diakses pada 17 Mei 2014)
LAMPIRAN
Magnis-Suseno, Franz. 2000. Kuasa dan Moral. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
117
PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa). 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Disahkan 10 Desember 1948. Scott, C.P. 1921. The Manchester Guardian dalam Jacob Oetama (2003), Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna; Pidato Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sheppard, Ben, Melissa Janoske, and Brooke Liu. 2012. Understanding Risk Communication Theory: A Guide for Emergency Managers and Communicators, Report to Human Factors/Behavioral Sciences Division, Science and Technology Directorate, U.S. Department of Homeland Security. College Park, MD: START. The United Nations Office for Disaster Risk Reduction. 2007. Terminology. http://www. unisdr.org/we/inform/terminology (diakses pada 15 April 2014).
LAMPIRAN
UNISDR (United Nations International Strategy for Disaster Reduction). 2013. Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction.
118
World Meteorological Organization. 2014. DRR Definitions. http://www.wmo.int/ pages/prog/drr/resourceDrrDefinitions_en.html (diakses pada 15 April 2014). Undang-Undang, Peraturan, dan Sejenisnya: Kementerian Komunikasi dan Informasi Republik Indonesia. 2011. Indikator TIK 2011. Nota Keuangan dan RAPBN Tahun 2014. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Republik Indonesia. 1945. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28F. Jakarta. Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, Lembaran Negara RI Tahun 1999. Jakarta. Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, Lembaran Negara RI Tahun 2007. Jakarta. Republik Indonesia. 2008. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Lembaran Negara RI Tahun 2008. Jakarta.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Artikel dalam Koran: Kompas. 7 April, 2014. “INATEWS: Diusulkan Ada Evaluasi untuk Perbaikan�, hlm. 14. Media Online: Antaranews. 2014. Televisi Kita Hanya Mengejar Rating, Kata Rosihan. http://www. antaranews.com/berita/62630/televisi-kita-hanya-mengejar-rating-kata-rosihan (diakses pada 04 Juni 2014 pukul 20.05 WIB). Harian Jogja. 2014. BMKG : Ratusan Kota di Indonesia berpotensi Tsunami, Ini Daftarnya. http://www.harianjogja.com/baca/2014/04/02/gempa-chile-bmkg-ratusan-kotadi-indonesia-berpotensi-tsunami-kamis-342014-pagi-ini-daftarnya-500011 (diakses pada 28 Mei 2014 pukul 05.18 WIB).
Kabar 24. 2014. BMKG: Awas Tsunami Chile Sampai ke Indonesia Ini Wilayah yang Terkena. http://www.kabar24.com/nasional/read/20140402/66/214989/bmkg-awastsunami-chile-sampai-ke-indonesia-ini-wilayah-yang-terkena (diakses pada 16 Juni 2014 pukul 16.15 WIB). Tempo Online. 2014. Tertinggi Konsumsi Media Online di Jawa. http://www.tempo. co/read/news/2014/05/21/090579417/ (diakses pada 29 Mei 2014 pukul 18.42 WIB). Tempo Online. 2012. Kepercayaan Rakyat kepada Media Tinggi. http://www.tempo. co/read/news/2012/02/07/090382213/Kepercayaan-Rakyat-kepada-Media-Ting gi (diakses pada 29 Mei 2014 pukul 17.17 WIB). Tempo Online. 2014. Tertinggi Konsumsi Media Online di Jawa. http://www.tempo. co/read/news/2014/05/21/090579417/ (diakses pada 29 Mei 2014 pukul 18.42 WIB). Sindonews. Waspada Tsunami, Warga Mentawai Mengungsi ke Bukit. http://daerah. sindonews.com/read/2014/04/03/24/850142/waspada-tsunami-warga-mentawaimeng ungsi-ke-bukit (diakses pada 28 Mei 2014 pukul 05.30 WIB). Vivanews. 2012. Kepercayaan terhadap Media di RI Tertinggi. http://nasional.news. viva.co.id/news/read/285957-kepercayaan-terhadap-media -di-ri-tertinggi (diakses pada 29 Mei 2014 pukul 17.21 WIB).
LAMPIRAN
Inilah. 2010. Twitter Heboh TV ONE Dilarang Masuk Yogya. http://teknologi.inilah. com/read/detail/932682/twitter-heboh-tv-one-dilarang masuk yogya#.U6kv9Pm SyVM (diakses pada 22 Juni 2014 pukul 23.00 WIB).
119
Website BNPB. 2014. Tsunami Chili Diperkirakan Akan Tiba di Indonesia, Jauhi Pantai. http://bnpb.go.id/berita/ 2043/tsunami-chili-diperkirakan-akan-tiba-di-indone siajauhi-pantai (diakses pada 12 Juni 2014 pukul 22.50 WIB).
LAMPIRAN
Media Scanning:
120
www.beritajatim.com, media scanning berita Kelud periode 1 Februari hingga 31 April 2014. www.detik.com, media scanning berita banjir 1 Oktober 2013 hingga 28 Februari 2014. www.detik.com, media scanning berita Kelud periode 1 Februari hingga 31 April 2014. www.kompas.com, media scanning berita banjir 1 Oktober 2013 hingga 28 Februari 2014. www.kompas.com, media scanning berita Kelud periode 1 Februari hingga 31 April 2014. www.liputan6.com, media scanning berita Kelud periode 1 Februari hingga 31 April 2014. www.suarasurabaya.net, media scanning berita Kelud 1 Februari hingga 31 April 2014. 7.2. Lampiran 2: Data Responden Studi untuk penyusunan rencana induk sistem komunikasi bencana dilakukan di 10 lokasi, yakni Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Medan, Karo, Ende dan Maumere. Jumlah responden 189 orang, terdiri atas 147 laki-laki (77.6%) dan 42 perempuan (22.4%). Responden terbanyak di Yogyakarta (76 responden) dan paling sedikit di Bandung, Ende, dan Malang (satu orang). Diagram berikut menyajikan jumlah responden berdasarkan persebaran wilayah mereka.
Gambar 8.1. Jumlah Responden Berdasarkan Persebaran Wilayah
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
LAMPIRAN
Responden terbagi dalam empat kelompok, (1) Komunikator: BNPB/BPBD, Kementerian/ Lembaga, SKPD, BMKG, PVMBG; (2) Kanal: media cetak, radio televisi, media daring, dan radio komunitas; (3) Komunikan: kelompok masyarakat difabel, pernah terkena bencana, ibu hamil, anak-anak dan remaja, tanpa TIK, indigenous); dan (4) Program support/pre-requisite: LSM, lembaga pendidikan, relawan, PMI, dan TNI/POLRI. Berikut adalah diagram persentase jumlah responden berdasarkan kelompok tersebut.
Gambar 8.2. Jumlah Responden Berdasarkan Kelompok Dalam kelompok komunikator, wawancara dilakukan dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sebanyak 22 responden, BNPB/BPBD 15 responden, PVMBG lima orang, BMKG satu orang, dan BPPTKG tiga orang.
Gambar 8.3. Jumlah Responden Kelompok Komunikator
121
LAMPIRAN
Tim juga mewawancara kelompok kanal komunikasi sebanyak 37 responden di Jakarta, Kediri, Karo, dan Yogyakarta. Responden terbanyak adalah radio komunitas 18 orang, masing-masing 14 di Kediri dan empat di Yogyakarta.
122
Gambar 8.4. Jumlah Responden Kelompok Kanal Responden kelompok komunikan mencapai 41 orang, yakni masyarakat pernah kena bencana (32 orang), ibu hamil (dua orang), disabel (empat orang), serta anak-anak dan remaja (tiga orang). Responden pernah kena bencana tersebar di tiga lokasi, yaitu Yogyakarta (dua orang), Karo (17 orang), dan Maumere (13 orang). Responden ibu hamil, yang juga merupakan pengungsi erupsi Sinabung, hanya ditemui di Karo, sejumlah dua responden. Empat responden disabel ditemui di Yogyakarta.
Gambar 8.5. Jumlah Responden Kelompok Komunikan Responden program support terbanyak relawan 20 orang dengan sebaran di Karo (14), Malang (1), dan Yogyakarta (5). Responden program support lainnya adalah TNI/ POLRI (19), LSM internasional (5), LSM nasional/lokal (11), pusat studi (2), dan PMI (2).
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Gambar 8.6. Jumlah Responden Kelompok Program Support/Pre-requisite
LAMPIRAN
Pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, wawancara kelompok, dan diskusi kelompok terarah (FGD). Wawancara mendalam dengan 64 responden (34.04%), wawancara kelompok 85 responden (45.21%), dan FGD 40 responden (21.28%).
123
Gambar 8.7. Responden Berdasarkan Metode Pengumpulan Data 7.3. LAMPIRAN 3: PEMANTAUAN BERITA BANJIR DAN ERUPSI KELUD Peninjauan media ini bertujuan menganalisis kecenderungan pemberitaan bencana yang muncul pada masa pra, saat, maupun pascabencana. Pemantauan juga untuk memperoleh gambaran mengenai peran media secara umum dalam komunikasi penanggulangan bencana. Pemantauan Berita Banjir Pemantauan media (media scanning) dengan kata kunci “banjir� berlangsung lima bulan, yaitu antara Oktober 2013 hingga Februari 2014. Di samping memantau berita
saat puncak musim hujan yang biasanya jatuh pada Desember-Januari, proses ini diharapkan juga dapat melihat pemberitaan menjelang dan setelah banjir. Ada dua media yang dipantau, yakni Kompas.com dan Detik.com. Kompas.com merupakan situs berita aktual dengan 40 juta kunjungan per bulan. Situs ini adalah website terpopuler kedua belas di Indonesia menurut situs pemeringkat alexa.com. Kompas.com memiliki 2,83 juta pengikut di Twitter. Detik.com merupakan salah satu situs terpopuler di Indonesia. Detik.com berada di peringkat kedelapan alexa.com. Media ini memiliki 7,2 juta pengikut di Twitter, terbanyak dibanding media daring lain. Jumlah pembaca dan followers yang banyak itu membuat berita di Detik.com menjaring banyak respons dari pembaca.
LAMPIRAN
Kompas.com Total berita banjir yang terpantau di Kompas.com sepanjang Oktober 2013 hingga Februari 2014 adalah 1.352 berita. Jumlah berita paling banyak di Januari dengan 842 berita, disusul Februari 220 berita, dan November 125 berita. Sama halnya dengan jumlah berita, jumlah komentar pembaca mengenai berita banjir juga ditemukan paling banyak pada Januari.
124
Gambar 8.8. Jumlah Berita Banjir dan Komentar di Kompas.com Pemberitaan media meningkat pesat saat musim hujan memasuki periode puncak pada Januari, terutama pekan kedua dan ketiga. Saat itu, banjir melanda ibu kota Jakarta. Tabel 8.9 menunjukkan grafik frekuensi pemberitaan secara lebih detail dari pekan ke pekan.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Hasil pemantauan berita banjir juga menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merupakan pihak yang paling sering menjadi komunikator di media. Jumlah berita yang memuat Pemprov DKI sebagai komunikator utama mencapai 277 berita. Di urutan kedua ada warga masyarakat dengan total 247 berita. Adapun BPBD berada di peringkat kelima dengan 100 berita.
LAMPIRAN
Gambar 8.9. Frekuensi Berita Banjir dan Komentar di Kompas.com
125
Gambar 8.10. Komunikator Utama Berita Banjir di Kompas.com Detik.com Total berita banjir di Detik.com selama Oktober 2013 hingga Februari 2014 adalah 1.403. Jumlah berita pada Januari paling banyak dengan 928 berita, kemudian
LAMPIRAN
Februari 317 berita dan Desember 88 berita. Tingginya jumlah berita pada Januari mirip dengan Kompas.com.
126
Gambar 8.11. Jumlah Berita Banjir dan Komentar di Detik.com Serupa dengan Kompas.com, frekuensi pemberitaan di Detik.com melonjak memasuki pekan kedua Januari. Ini berlanjut hingga pekan ketiga dan keempat. Frekuensi pemberitaan mereda di Februari seiring dengan surutnya banjir dan berkurangnya curah hujan.
Gambar 8.12. Frekuensi Berita Banjir dan Komentar di Detik.com Dari sisi komunikator utama, Detik.com paling banyak mengutip warga masyarakat sebagai sumber informasi dengan total 328 berita. Pemprov DKI berada di peringkat kedua dengan 171 berita. Adapun BPBD menempati urutan kedelapan dengan 62 berita.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Pemantauan Berita Erupsi Kelud Pemantauan media dengan kata kunci “Kelud� berlangsung pada 2 Februari hingga 10 April 2014, yaitu sejak status Gunung Kelud pertama kali ditetapkan menjadi Waspada hingga memasuki pasca erupsi. Pemantauan meliputi tiga media daring nasional, yaitu Kompas.com, Detik.com, Liputan6.com, serta dua media lokal, yakni Beritajatim. com dan Suarasurabaya.net. Sebagaimana dikemukakan pada bagian sebelumnya, Kompas.com dan Detik.com dipilih sebab merupakan situs yang populer dan aktual. Adapun Liputan6.com adalah situs berita yang juga aktual. Menurut situs pemeringkat alexa.com, Liputan6.com berada di urutan ke-28 portal populer dengan jumlah pengikut di Twitter sebanyak satu juta. Selanjutnya, media lokal Beritajatim.com dipilih karena termasuk portal terkemuka di Jawa Timur. Situs ini menempati posisi ke-975 website terpopuler di Indonesia versi alexa.com. Jumlah pengikut di Twitter 9.240. Sementara itu, Suarasurabaya.net juga termasuk situs berita yang cukup populer di Jatim, khususnya Surabaya. Portal ini berada pada urutan 1.021 terpopuler menurut alexa.com. Media Nasional (Detik.com, Liputan6.com, Kompas.com) Jumlah berita mengenai Kelud di tiga media nasional pada 2 Februari hingga 10 April 2014 mencapai 1.279 buah. Berita di Detik.com paling banyak dengan 514 berita,
LAMPIRAN
Gambar 8.13. Komunikator Utama Berita Banjir di Detik.com
127
LAMPIRAN
diikuti Kompas.com 392 berita dan Liputan6.com 373 berita. Sekitar 96% atau 1.229 berita muncul pada Februari. Seperti diketahui, PVMBG menaikkan status Gunung Kelud menjadi Waspada pada 2 Februari 2014. Gunung yang secara geografis terletak di tiga kabupaten, yakni Kediri, Malang, dan Blitar tersebut mengalami erupsi pada 13 Februari malam.
128
Gambar 8.14. Jumlah Berita Kelud di Media Nasional Frekuensi pemberitaan memuncak pada pekan kedua Februari, yaitu menjelang, saat, dan tak lama setelah Gunung Kelud mengalami erupsi. Pemberitaan terus menurun pada akhir Februari ketika masyarakat berangsur-angsur meninggalkan pengungsian. Periode respons erupsi Kelud termasuk cepat, baik menjelang maupun setelah letusan. Masyarakat tidak berlama-lama berada di pengungsian. Pemberitaan media tidak hanya menyoroti masyarakat terdampak di sekitar Kelud, tetapi praktis di seluruh kota besar di Jawa menyusul tinggi lontaran abu vulkanik yang menjangkau hingga Yogyakarta dan wilayah Jawa Barat.
Grafik 8.15. Frekuensi Berita Kelud di Media Nasional
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Media Lokal (Beritajatim.com, Suarasurabaya.net)
Gambar 8.16. Jumlah Berita Kelud di Media Lokal Bila dilihat lebih detail dari pemberitaan minggu ke minggu, pola kemunculan berita Kelud di media lokal juga agak berbeda dibanding media nasional. Meskipun juga meningkat pesat pada pekan pertama hingga ketiga Februari, pemberitaan pascabencana di media lokal masih bertahan sampai Maret. Pada saat yang sama, berita tentang Kelud di media nasional semakin sulit ditemukan.
Gambar 8.17. Frekuensi Berita Kelud di Media Lokal
LAMPIRAN
Total berita Kelud yang terpantau di dua media lokal ini mencapai 651 berita. Beritajatim.com memuat 419 berita, sedangkan Suarasurabaya.net 232 berita. Sekitar 589 berita atau 90% berita muncul pada Februari. Dalam hal ini, media lokal masih memberitakan perkembangan penanggulangan bencana pada Maret, yakni ketika minat media nasional mulai surut terhadap isu Kelud.
129
Analisis Pola Pemberitaan Berdasarkan hasil pemantauan berita banjir dan Gunung Kelud, tampak bahwa terdapat pola yang sama dalam pemberitaan bencana baik di media nasional maupun lokal. Media lebih banyak memberitakan bencana saat kejadian. Masih sangat minim pemberitaan yang bersifat edukatif mengenai bencana. Media juga jarang menurunkan berita pascabencana, terlebih jika bencana dimaksud telah berlangsung lama.
LAMPIRAN
Situasi ini memunculkan peluang sekaligus tantangan bagi pihak komunikator bencana di tingkat nasional dan lokal. Media menyediakan ruang cukup besar bagi berita bencana, kendati saat ini masih terkonsentrasi pada saat kejadian. Namun, berita bencana jelas mengandung nilai berita di mata media. Media juga memberikan kesempatan kepada siapa saja untuk menyampaikan informasi bencana sepanjang memenuhi kaidah permediaan.
130
Dari sisi komunikator, tantangan penggunaan media untuk komunikasi bencana, khususnya untuk edukasi pengurangan risiko lebih bersifat internal. Pihak BNPB dan BPBD sebagai penanggungjawab penanggulangan bencana harus lebih aktif dan strategis menggunakan media untuk edukasi pengurangan risiko. Kerjasama pemberitaan dengan media perlu ditingkatkan, termasuk memanfaatkan forumforum terkait, seperti forum pengurangan risiko bencana maupun forum jurnalis. Penggunaan media lokal untuk edukasi pengurangan risiko bencana serta peningkatan penyediaan layanan informasi bencana bagi masyarakat juga menjadi opsi menarik yang perlu dipertimbangkan. Media lokal bagaimanapun lebih memperhatikan perkembangan di daerah di mana media tersebut beroperasi dibanding media nasional yang cenderung menggunakan pandangan helikopter (helicopter view). Media nasional cenderung tidak bertahan lama memberitakan perkembangan situasi di satu daerah, terlebih jika muncul berita di tempat lain yang dianggap lebih memiliki nilai berita tinggi. 7.4. Lampiran 4: Catatan Akhir (Endnotes) 1.
Menurut UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
2.
http://kamusbahasaindonesia.org/komunikasi/mirip diakses pada 17 Mei 2014, pukul 20.30 WIB.
http://www.oxforddictionaries.com/definition/english/communication, diakses 17 Mei 2014, pukul 20.45 WIB.
3.
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
Ade Armando, et. Al (editor), 2011, Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi; Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Depok-Jawa Barat, hal. 1-2.
4.
Cara pandang manusia terhadap dirinya yang lebih daripada manusia lain, sehingga orang lain dibutuhkan untuk kepentingan subjek, yaitu dirinya sendiri. Konsekuensinya dalam komunikasi, orang/pihak lain ada hanya sebagai jalan untuk kepentingan diri/pihaknya sendiri.
5.
Ade Armando, et. Al (editor), 2011, Prosiding Konferensi Nasional Komunikasi; Membumikan Ilmu Komunikasi di Indonesia, Depok-Jawa Barat, hal. 1-2.
6.
Laporan Dewan Pers Periode 2010-2013. Dikutip dari: file:///C:/Users/user/ Downloads/ 122987_laporan%20 Dewan%20Pers%202010-2013_final%201%20 april.pdf, diakses pada 21 Juni 2014, pukul 19.50 WIB.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Freddy H. Tulung menilai media kerap menampilkan sisi melodrama bencana, seperti korban dan isak tangis. “Hal ini justru membuat kalut dan kepanikan, serta berpotensi menimbulkan trauma bagi warga,” kata Tulung saat membuka Media Summit on Climate Change, ICTs and Disaster Risk Reduction, 4 Juni 2014. Dikutip dari: http://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4025/ Dirjen+IKP+%3A+Media+Massa+Sangat+Penting+lakukan+edukasi+Bencana/0 /berita_satker#.U5kOqRaKjFI, diakses 12 Juni 2014, pukul 09.35 WIB.
8.
Nirmala., N.A., 2008. The Sadharanikaran Model and Aristotle’s Model of Communication: A Comparative Study, Nepal: Bodhi: An Interdiciplinary Journal, Vo. 2, No. 1, Serial No. 2, hal. 268-289.
9.
Ibid, hal. 273.
10.
Prinsip Aristotelian yang dikembangkan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam filsafat tata negara.
11.
Dalam perspektif teologis, Brahman identik dengan konsep ketuhanan dalam tradisi timur.
12.
13.
Scott, C.P., 1921, The Manchester Guardian dalam Jacob Oetama (2003), Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna; Pidato Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hal. 2.
14.
UU 24 Tahun 2007 Pasal 1 mendefinisikan bencana sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia, sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
LAMPIRAN
7.
131
LAMPIRAN
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
132
15.
Kalimat pembuka John Locke (1632-1704) dalam buku berjudul Second Treatise of Civil Government (1689). Pengandaian dasar pemikiran Locke adalah kodrat manusia sama satu dengan lainnya. Karena itu, manusia secara alamiah tidak perlu melanggar atau merusak kehidupan orang lain. Maka, agar kehidupan bersama lebih terjamin, pihak yang dirugikan tidak perlu memaksakan sanksi kepada yang merugikan seperti gagasan filsafat Hobbes. Manusia dapat saling mengikat kontrak secara sosial dengan menyerahkan sebagian haknya atas dasar kepercayaan (fiduciary trust). Kepercayaan dibangun di antara yang mempercayakan (trustor) dan yang dipercayakan (trustee), di mana trustee dan penerima manfaat (beneficiary) tidak saling membuat kontrak. Hanya trustor dan trustee yang membuat kontrak, sehingga trustor dapat berperan sekaligus sebagai beneficiary atas kontrak sosial tersebut.
16.
Setara, timbal balik, dilakukan oleh satu atau lebih orang/pihak yang saling mengerti dan menghormati.
Abud, M. 2013. “Indonesia: Crisis Communication Channel. Case Studies in Humanitarian Communication Preparedness and Response.” Internews.
17.
18.
Nota Keuangan dan RAPBN 2014, hal. 4-36.
19.
Ibid.
20.
Upaya peningkatan kinerja dalam menyampaikan informasi secara cepat kepada media dan masyarakat mendapat apresiasi dari sejumlah pihak. Yang terakhir, BNPB meraih penghargaan nasional Indonesia Public Relations Awards 2013 untuk kategori Lembaga Publik Pilihan Serikat Perusahaan Pers Pusat.
21.
Media daring adalah singkatan dari ‘dalam jaringan,’ yaitu keadaan di mana seseorang terhubung dalam sebuah jaringan atau sistem yang lebih besar. Kata daring adalah alih bahasa dari kata ‘online.’
22.
Media scanning banjir dilakukan selama Oktober 2013-Februari 2014 dengan sampel dua media daring terdepan di Indonesia, yaitu www.kompas.com dan www.detik.com. Sementara itu, pemantauan berita Kelud mencakup periode Februari 2014-April 2014. Pemantauan dilakukan pada tiga media nasional, yaitu www.kompas.com, www.detik.com dan www.liputan6.com serta dua media lokal, yakni www.beritajatim.com dan www.suarasurabaya.net.
23.
Sejalan dengan itu, Forum Media Summit on Climate Change, ICTs and Disaster Risk Reduction di Jakarta pada 4-6 Juni 2014 merekomendasikan agar media massa,
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
24.
http://www.antaranews.com/berita/62630/televisi-kita-hanya-mengejar-ratingkata-rosihan, diakses 4 Juni 2014 pukul 20.05 WIB.
25.
Wawancara dengan wartawan Kompas pada 26 April 2014 di Medan.
26.
Nugroho, Y., Putri, DA., Laksmi, S. 2012. Memetakan Lansekap Industri Media Kontemporer di Indonesia (Edisi Bahasa Indonesia), hal 4.
27.
Ibid, hal 64.
28.
Nugroho (2012:6-7) bahkan mensinyalir motif laba memainkan peran krusial dalam produksi konten. Media pun digugat tentang sejauh mana ia masih pantas dilihat sebagai ruang publik bagi interaksi kritis warga.
29.
Wawancara dengan wartawan Kompas Biro Medan pada 26 April 2014, serta diskusi dengan produser Kompas TV dan TVRI pada 13 Mei 2014 di Jakarta.
30.
Buruknya kualitas peliputan media telah menimbulkan antipati masyarakat di daerah bencana. Di lereng Merapi pada tahun 2010, warga Yogyakarta sempat melarang wartawan sebuah media televisi meliput menyusul kecerobohan pemuatan berita mengenai luncuran awan panas yang sebenarnya adalah hujan abu. (Sumber: http://teknologi.inilah.com/read/detail/932682/twitter-heboh-tv-one-dilarangmasuk-yogya#.U6kv9PmSyVM, diakses pada 22 Juni 2014 pukul 23.00 WIB.
31.
Wawancara kelompok di Kantor GBKP Sinode pada 23 April 2014 serta wawancara dengan narasumber pengelola media center Sinabung pada 23 April 2014 di Kabanjahe, Sumatra Utara.
32.
Wawancara dengan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi pada 12 April 2014 di Bandung.
33.
“Tsunami Chili Diperkirakan Akan Tiba di Indonesia, Jauhi Pantai.� Sumber: http://bnpb.go.id/berita/2043/tsunami-chili-diperkirakan-akan-tiba-diindonesia-jauhi-pantai, diakses 12 Juni 2014 pukul 22.50 WIB.
34.
Sumber:http://www.kabar24.com/nasional/read/20140402/66/214989/ bmkg-awas-tsunami-chile-sampai-ke-indonesia-ini-wilayah-yang-terkena, diakses 16 Juni 2014 pukul 16.15 WIB.
35.
Waspada Tsunami, Warga Mentawai Mengungsi ke Bukit. Sumber: http:// daerah.sindonews.com/read/2014/04/03/24/850142/waspada-tsunami-
LAMPIRAN
khususnya penyiaran, dipersiapkan secara lebih komprehensif untuk menyebarkan informasi yang dapat menyelamatkan hidup masyarakat dari bencana.
133
LAMPIRAN
warga-mentawai-mengungsi-ke-bukit, diakses 28 Mei 2014 pukul 05.30 WIB. 36.
Harian Kompas 7 April 2014, hal.14 berjudul “InaTEWS, Diusulkan Ada Evaluasi untuk Perbaikan.”
37.
Waspada Tsunami, Warga Mentawai Mengungsi ke Bukit. Sumber: http:// daerah.sindonews.com/read/2014/04/03/24/850142/waspada-tsunamiwarga-mentawai-mengungsi-ke-bukit, diakses 28 Mei 2014 pukul 05.30 WIB.
38.
Wawancara dengan Kepala Pos PGA Rokatenda pada 30 April 2014 di Ende dan wawancara dengan Kepala Pelaksana BPBD Sikka pada 29 April 2014 di Maumere.
39.
Dikutip dari Kompas pada 7 April 2014 hal.14 berjudul “INATEWS: Diusulkan Ada Evaluasi untuk Perbaikan.”
40.
Ibid. Sikap evaluatif serupa disampaikan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG dalam wawancara di Jakarta pada 9 Mei 2014.
41.
Wawancara dengan Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG di Jakarta pada 9 Mei 2014.
42.
Harian Kompas 7 April 2014, hal. 14 berjudul “INATEWS: Diusulkan Ada Evaluasi untuk Perbaikan.”
43.
Wawancara dengan warga Kelud pada 3 April 2014 di Kediri.
44.
Wawancara dengan Wakil Bupati Kediri, pada 4 April 2014 di Kediri. Wawancara dengan Pusdalops BPBD Jatim pada 1 April 2014 di Surabaya.
45.
Seperti yang tertulis dalam naskah Bantuan Komunikasi RAPI Lokal 6 Kediri (2014: 12).
46.
Wawancara dengan wartawan Kompas pada 8 April 2014 di Jakarta, wartawan Metro TV dan Tempo pada 4 April 2014 di Surabaya, pengungsi Sinabung pada 24 April 2014 di Kabanjahe, dan BPBD DIY pada 24 Maret 2014 di Yogyakarta.
47.
Wawancara dengan wartawan Tempo pada 26 Maret 2014 di Yogyakarta.
48.
Selain pers, BNPB juga memanfaatkan situs Web, media sosial, dan publikasi buku untuk keperluan komunikasi publik, namun intensitasnya tidak sebesar menggunakan media.
49.
Dalam wawancara wartawan pada 26 April 2014 di Medan, dikatakan mereka banyak memperoleh data berbeda saat meliput letusan Sinabung. Pihaknya
134
RENCANA INDUK | Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
50.
Edelman merupakan perusahaan public relations dengan 67 kantor dan lebih dari 4.800 karyawan di seluruh dunia. Dalam survei tersebut, media massa yang dipelajari meliputi surat kabar, majalah, televisi, radio, dan media sosial Internet. Selain media, institusi yang disurvei mencakup pemerintah, dunia usaha, dan LSM. Hasil survei Indonesia pada 2012 diberitakan di http://nasional.news.viva. co.id/news/read/ 285957kepercayaan-terhadap-media-di-ri-tertinggi Tertinggi, Kepercayaan terhadap Media di RI, diakses 29 Mei 2014 pukul 17.21 WIB serta di http://www.tempo.co/read/news/2012/02/07/ 090382213/Kepercayaan-Rakyatkepada-Media-Tinggi Kepercayaan Rakyat kepada Media Tinggi, diakses 29 Mei 2014 pukul 17.17 WIB. Hasil survei 2013 ada di http://www.edelman.com/trustdownloads/global-results-2/, diakses 29 Mei 2014 pukul 17.40 WIB.
51.
Indikator TIK Indonesia 2011 halaman xvii, Kementerian Komunikasi dan Informasi.
52.
Sumber:http://www.tempo.co/read/news/2014/05/21/090579417/TertinggiKonsumsi-Media-Onli ne-di-Jawa diakses pada 29 Mei 2014 pukul 18.42 WIB.
53.
Wawancara dengan Kepala Pos PGA Kelud pada April 2014 di Kediri.
54.
Ahimsa (2007:161) mengemukakan bahwa kearifan lokal terdiri atas kearifan tradisional (lama) dan kearifan kontemporer (kini). Kearifan lokal adalah perangkat pengetahuan pada suatu komunitas, baik yang berasal dari generasi sebelumnya maupun dari pengalaman berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat lain untuk menyelesaikan persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi, yang memiliki kekuatan hukum atau tidak. Sifat dari kearifan tradisional adalah pengetahuan dan praktik lama yang masih diterapkan pada saat ini. Adapun kearifan kontemporer adalah perangkat pengetahuan yang baru saja muncul dalam komunitas.
55.
Ritual dapat dipahami sebagai simbol yang berkaitan erat dengan kohesi dan transformasi sosial. Sebuah simbol tidak identik dengan obyek yang disimbolkan, melainkan meneranginya. Nilai simbol yang tertinggi terletak dalam substansi bersama dengan ide yang disajikan. Simbol sesungguhnya mengambil bagian realitas yang membuatnya dapat dimengerti. Simbol menjadi efektif sebagai alat untuk tindakan intelektual, artinya sebagai “model,� sederhana dan tajam sehingga secara substansi identik dengan realitas yang diwakilinya. Bdk. Dillistone, F.W, 1986. The Power of Symbols, terjemahan: A. Widyamartana, 2002, Daya Kekuatan Simbol, Yogyakarta, Kanisius, hal. 18-19.
56.
RAPI Lokal Kediri 6, 2014, Bantuan Komunikasi Pascaerupsi Gunung Kelud, Ngancar Kediri, hal.9.
LAMPIRAN
kemudian memilih mencantumkan data berbeda dari beberapa instansi sebagai informasi bagi masyarakat agar tidak keliru memahami situasi.
135
RENCANA INDUK Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019
RENCANA INDUK
Sistem Komunikasi Bencana 2015-2019 Diterbitkan atas dukungan
Cover Rencana Induk Sistem Komunikasi Bencana.indd 1
20/06/2015 13:21:00