Ilustrasi: Ludiana Mubarikah Surayya
Umum dengan salah satu alasan bahwa tidak cukup kuatnya bukti.
Anomali Perlindungan Perempuan dan Putusan Bebas Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Pada Perguruan Tinggi di Riau Oleh: July Warti, S.H., M.H
P
elecehan seksual dan kekerasan seksual adalah topik klasik yang tidak pernah selesai dibicarakan, dan belakang ini kembali menghangat. Hal ini tidak lain dikarenakan banyaknya bermunculan kasus yang terjadi di Indonesia. Bahkan yang ironinya adalah kasus kekerasan seksual tersebut banyak terjadi di lembaga pendidikan. Masih hangat di ingatan kita terkait kasus pencabulan dan pemerkosaan yang berakibat hamilnya beberapa santriwati di sebuah pondok pesantren, yang hingga kini kasusnya masih bergulir. Perdebatan bentuk hukumannya pun mulai terjadi, ada yang pro memberikan hukuman mati dan ada pula yang kontra memberikan hukuman mati. Selain terjadi kekerasan seksual di lembaga pendidikan seperti di pondok pesantren, kekerasan seksual juga sering terjadi di Perguruan Tinggi. Sebagaimana data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang tahun 2015-2020 aduan kasus kekerasan seksual mencapai 34 AKLaMASI- Edisi 19 - Juni 2022
27% dan Perguruan Tinggi menempati urutan ketiga sebagai tempat sering terjadinya kekerasan seksual seperti hasil survey Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) tahun 2019. Lembaga pendidikan yang harusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk menempuh pendidikan berubah menjadi tempat yang menakutkan dikarenakan banyaknya ancaman terjadinya kekerasan seksual. Faktor utama penyebab terjadinya adalah dikarenakan ketimpangan gender dan relasi kuasa. Banyak problematika yang muncul terkait kekerasan seksual ini, pertama, mulai dari kesulitan korban untuk mengungkap kasus kekerasan seksual dikarenakan adanya ancaman pencemaran nama baik; kedua, terkait alat bukti yang secara legal normatif dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP) disebutkan harus minimal dua alat bukti sedangkan dalam kasus kekerasan seksual lazimnya terjadi dalam ruang tertutup yang ada hanya korban dan tersangka; ketiga, korban kerap menjadi pihak yang
disalahkan seperti teori kriminologi Victim Blaming Theory yakni korbanlah yang menstimulus pelaku untuk melakukan kejahatan; keempat, korban kerap mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan saat pemeriksaaan dan bahkan cenderung intimidasi senada dengan yang disampaikan oleh Komisioner Komnas Perempuan; dan problematika lainnya. Salah satu kasus yang terjadi baru-baru ini di Riau adalah adanya dugaan kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen kepada mahasiswa disalah satu universitas negeri. Kronologi singkatnya adalah yang mana mahasiswi tersebut mendapat perlakuan yang mengarah kepada kekerasan seksual ketika melakukan proses bimbingan. Kasus ini pun pada akhirnya menempatkan dosen sebagai tersangka dan kasus berhasil bergulir ke Pengadilan. Namun, pada beberapa waktu lalu Pengadilan Negeri Pekanbaru memutus perkara tersebut dengan membebaskan terdakwa dari tuntutan. Terdakwa tidak terbukti memenuhi perbuatan pidana yang didakwa oleh Jaksa Penuntut
Seperti yang telah saya sampaikan di atas, bahwa memang salah satu problematika dalam penanganan kasus kekerasan seksual adalah dari segi alat bukti yang minim, mengingat bahwa biasanya kekerasan seksual terjadi di dalam ruang tertutup yang mana hanya ada pelaku dan korban. Hal ini berakibat tentu tidak ada saksi lain selain mereka berdua. Selain itu, jika kasus kekerasan seksual mengarah kepada bentuk pemerkosaan tentu bisa didukung dengan alat bukti lain seperti hasil Visum Et Repertum. Lalu bagaimana dengan dengan kasus kekerasan seksual yang berupa pencabulan dan pelecehan secara lisan? Apakah kasus demikian akan selalu berakhir dengan putusan hakim yang serupa? Dengan kasus yang benar-benar nyata terjadi kepada korban? Tentu ini akan mencederai perlindungan mereka para korban ataupun penyintas yang mayoritas adalah perempuan. Ini pula yang membuat para korban suka enggan mengungkap kasus kekerasan seksual yang mereka alami. Mereka tidak punya cukup bukti meskipun itu nyata-nyata terjadi pada mereka dan mereka underestimate terkait perlindungan yang akan mereka dapatkan nantinya. KUHAP memang menyebutkan bahwa harus sekurang-kurangnya minimal dua alat bukti untuk memperoleh keyakinan hakim bahwa terdakwa bersalah, selain itu pada Pasal 185 disebutkan keterangan satu saksi tidak cukup membuktikan. Ini lah yang membuat banyak kasus serupa tidak dapat dibuktikan. Namun dalam penjabaran ayat selanjutnya disebutkan bahwa ketentuan terkait keterangan satu orang saksi tersebut dikecualikan jika disertai dengan alat bukti sah lainnya. Artinya keterangan seorang saksi sah-sah saja diterima jika disertai dengan alat bukti sah lainnya. Terkait alat bukti inipun juga telah dijabarkan dengan lebih baik dalam Undang-undang Tindak Pidana Ke-
kerasan Seksual No 12 Tahun 2022, tujuannya tidak lain untuk menghindari kesalahpahaman terkait alat bukti dalam kasus kekerasan seksual yang berakibat sulitnya pengungkapan kasus kekerasan seksual. Alat bukti dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual adalah alat bukti sebagaimana yang disebut dalam KUHAP; alat bukti berupa informasi dan/atau dokumen elektronik; barang bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan atau sebagai hasil kejahatan tersebut atau barang yang berhubungan dengan kejahatan tersebut; hasil pemeriksaan saksi atau korban pada tahap penyidikan melalui rekaman elektronik; alat bukti surat berupa surat keterangan psikolog klinis/psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik dan hasil pemeriksaan rekening bank. Kemudian, terkait keterangan satu saksi atau korban disebutkan lagi bahwa keterangan saksi atau korban cukup membuktikan terdakwa bersalah jika disertai satu alat bukti lain. Lebih lanjut dijabarkan jika keterangan saksi hanya dapat diperoleh dari korban, maka keterangan yang tidak dilakukan di bawah sumpah kekuatan pembuktiannya dapat didukung dengan keterangan yang diperoleh dari orang yang dapat memberikan keterangan yang berhubungan dengan kejahatan meskipun ia tidak dengar, melihat dan alami sendiri. Sehingga jika aparat penegak hukum yang menangani kasus kekerasan seksual memahami konteks alat bukti yang dimaksud oleh Undang-Undang tersebut, harusnya tidak ada lagi kasus yang terdakwa berakhir putus bebas dengan alasan tidak cukupnya bukti. Terutama kasus yang terjadi di salah satu perguruan tinggi negeri di Riau tersebut. Sehingga langkah yang harusnya dilakukan selanjutnya adalah Jaksa mengajukan upaya hukum kembali (Kasasi) dengan memperbaiki penjabaran dakwaan yang ada dengan berdasar kepada alat bukti seperti yang
telah dibahas di atas, melakukan perbaikan pembuktian dan hakim juga harus dapat melihat kepada pemahaman alat bukti yang termaksud dalam Undang-undang tersebut. Kemudian, untuk pihak kampus sendiri dapat mengambil kebijakan terhadap oknum dosen tersebut dengan berdasar kepada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021. Lahirnya Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual UU No 12 Tahun 2022 dan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 menjadi payung hukum yang kuat untuk penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Perguruan TInggi, maka dari itu sudah seharusnya segala kasus kekerasan seksual yang ada menerapkan regulasi tersebut sehingga kasus kekerasan seksual di Perguruan Tinggi dapat tertangani dengan baik dan kasus semakin berkurang serta para pihak mendapatkan keadilan sebagaimana mestinya seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang Dasar 1945.
Foto: Koleksi Pribadi
OPINI
Lahir di Pekanbaru, 18 Juli 1992. Dosen Fakultas Hukum UIR dan salah satu penulis di Dialektika Hukum Sang Puan serta Dinamika Hukum Pidana Kontemporer.
AKLaMASI- Edisi 19 - Juni 2022 35